hipertensi heart diases
-
Upload
mpaphderry-soulmatenyyamammnta -
Category
Documents
-
view
70 -
download
0
description
Transcript of hipertensi heart diases
TUGAS RESPONSI
KARDIOLOGI
HYPERTENSIVE HEART DISEASE
Oleh:
Andrew Halim 0510710011
Happy Kurnia P 0510710066
M. Dhanny I 0510710081
Rakhmawati Diyana 0510710106
Pembimbing:
Dr. Cholid, SpJP
LAB/SMF PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT DR. SAIFUL ANWAR MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hipertensi meningkatkan resiko dari peyakit kardiovaskular, termasuk
penyakit jantung koroner, gagal jantung kongestif, stroke iskemik dan perdarahan, gagal
ginjal, dan penyakit arteri perifer. Hipertensi sering berhubungan dengan resiko penyakit
kardiovaskular yang lain, dan resiko itu akan semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya faktor resiko yang lain. Meskipun terapi antihipertensi sudah terbukti dapat
menurunkan resiko dari penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal, namun masih sangat
banyak populasi dengan hipertensi yang tidak mendapatkan terapi atau mendapat terapi yang
tidak adekuat (Harrison, 17th).
Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai
hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang
dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder). Tidak ada data akurat mengenai
prevalensi hipertensi sekunder dan sangat tergantung dimana angka tersebut diteliti. Hampir
semua hipertensi sekunder didasarkan pada 2 mekanisme yaitu gangguan sekresi hormon dan
gangguan fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal dini karena komplikasi jantung
(yang disebutt sebagai penyakit jantung hipertensi). Selain itu hipertensi juga dapat
menyebabkan stroke, gagal ginjal, atau gangguan retina mata (PAPDI, 2006).
Penyakit jantung hipertensi adalah kelainan yang menunjukkan akumulasi dari
adaptasi fungsional dan struktural dari peningkatan tekanan darah. Pembesaran ventrikel kiri,
kekakuan vaskular & ventrikel, dan disfungsi diastolik adalah manifestasi yang akan
menyebabkan penyakit jantung iskemik dan dapat berkembang menjadi gagal jantung bila
tidak ditangani dengan baik. Gejala penyakit jantung hipertensi dan gagal jantung dapat
diperbaiki dengan obat-obatan antihipertensi (Izzo&Gradman, 2004).
Peningkatan tekanan darah (hipertensi) yang tidak terkontrol dalam jangka waktu
yang lama akan mengakibatkan berbagai perubahan pada struktur myokardium, vaskularisasi
koroner, dan sistem konduksi jantung. Perubahan ini dapat mengakibatkan pembesaran
ventrikel kiri, penyakit jantung koroner, berbagai kelainan sistem konduksi, dan kelainan
sistolik-diastolik dari myokard, yang akan bermanifestasi klnik sebagai angina atau myokard
infark, aritmia (terutama fibrilasi atrium), dan penyakit jantung kongestif. Penyakit jantung
hipertensi (hypertensive heart disease) adalah semua penyakit jantung; seperti hipertrofi
ventrikel kiri, penyakit jantung koroner, aritmia, penyakit jantung kongestif; yang disebabkan
oleh efek langsung atau tidak langsung dari peningkatan tekanan darah. Meskipun penyakit
ini biasanya diakibatkan oleh peningkatan tekanan darah yang kronis, proses yang akut juga
dapat membangkitkan predisposisi penyakit yang berhubungan dengan hipertensi kronis
(Riaz K, 2009).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit jantung hipertensi adalah kelainan yang menunjukkan akumulasi dari
adaptasi fungsional dan struktural dari peningkatan tekanan darah. Pembesaran ventrikel kiri,
kekakuan vaskular & ventrikel, dan disfungsi diastolik adalah manifestasi yang akan
menyebabkan penyakit jantung iskemik dan dapat berkembang menjadi gagal jantung bila
tidak ditangani dengan baik (Izzo&Gradman, 2004).
2.2 Epidemiologi
Prevalensi hipertensi pada tahun 2005 adalah 35.3 juta pada laki-laki dan 38.3 juta
pada wanita. Sedangkan prevalensi pada LVH tidak diketahui. Jumlah LVH yang ditemukan
berdasar EKG adalah 2,9% pada laki-laki dan 1,5% pada wanita. Pasien-pasien tanpa LVH,
33% telah memiliki distolik disfungsi yang asimtomatik.
Menurut penelitian Framingham, hipertensi merupakan penyebab seperempat gaggal
jantung. Pada populasi dewasa hipertensi berkonstribusi 68% terhadap terjadinya gagal
jantung. Pasien dengan hipertensi mempunyai resiko dua kali lipat pada laki-laki dan tiga kali
lipat pada wanita. (Riaz, 2009)
Peningkatan tekanan darah sistolik seiring dengan pertambahan umur. Peningkatan
tekanan darah lebih tinggi pada laki-laki dibanding wanita, sampai wanita mengalami
menopause, dimana tekanan darah akan meningkat tajam dan mencapai level yang lebih
tinggi daripada pria. Prevalensi hipertensi lebih tinggi pada pria daripada wanita pada usia di
bawah 55 tahun, namun sebaliknya pada usia di atas 55 tahun. Prevalensi gagal jantung
hipertensi mengikuti pola prevalensi hipertensi.
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%, sedangkan
tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14,3% dan meningkat
menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab penyakit jantung di Indonesia.
Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi
primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian hipertensi yang dapat ditemukan
penyebabnya (hipertensi sekunder). (Panggabean, 2006).
Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) yang dilakukan Departemen Kesehatan tahun
1986 menunjukkan bahwa penyakit jantung menduduki urutan ke-3 sebagai penyebab
kematian, dengan catatan pada golongan umur 45 tahun keatas penyakit kardiovaskuler
menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian, sedangkan pada SKRT tahun 1972
penyakit jantung masih menduduki urutan ke-11. Kekerapan penyakit jantung juga
meningkat dari 5,2% sampai 6,3%. Penyakit jantung dan pembuluh darah yang banyak di
Indonesia adalah penyakit jantung koroner, penyakit jantung reumatik dan penyakit
hipertensi. Penyakit hipertensi merupakan salah satu faktor resiko terjadinya penyakit jantung
koroner dan dapat menyebabkan komplikasi pada organ lain, seperti mata, ginjal, dan otak.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI melaporkan
bahwa didapatkan angka kekerapan penyakit hipertensi ini pada golongan usia 45-54 tahun
adalah 19.5%, kemudian meningkat menjadi 30.6% di atas usia 55 tahun (Rilantono et al,
2004)
2.3 Patofisiologi dan Patogenesis
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah interaksi yang kompleks dari
faktor hemodinamik, struktural, neuroendokrin, selular, dan molekular. Di satu sisi faktor-
faktor ini berperan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, sementara di sisi lain
peningkatan tekanan darah juga mempengaruhi faktor-faktor tersebut. Peningkatan tekanan
darah akan menyebabkan perubahan struktur dan fungsi jantung dengan 2 jalur: secara
langsung melalui peningkatan afterload dan secara tidak langsung melalui interaksi
neurohormonal dan vaskular (Riaz K, 2003).
Hipertrofi ventrikel kiri merupakan kompensasi jantung menghadapi tekanan darah
tinggi ditambah dengan faktor neurohormonal yang ditandai oleh penebalan konsentrik otot
jantung (hipertrofi konsentrik). Fungsi diastolik akan mulai terganggu akibat dari gangguan
relaksasi ventrikel kiri, kemudian disusul oleh dilatasi ventrikel kiri (hipertrofi eksentrik).
Rangsangan simpatis dan aktivasi sistem RAA memacu mekanisme Frank-Starling melalui
peningkatan volume diastolik ventrikel sampai tahap tertentu dan pada akhirnya akan terjadi
gangguan kontraksi miokard (penurunan/gangguan fungsi diastolik) (PAPDI, 2006).
Iskemia miokard (asimtomatik, angina pektoris, infark jantung, dll) dapat terjadi
karena kombinasi akselerasi proses aterosklerosis dengan peningkatan kebutuhan oksigen
miokard akibat dari hipertrofi ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri, iskemia miokard, dan
gangguan fungsi endotel merupakan faktor utama kerusakan miosit pada hipertensi (PAPDI,
2006).
2.3.1 Hipertrofi Ventrikel Kiri
15-20% pasien dengan hipertensi akan mengalami pembesaran ventrikel kiri. Resiko
pembesaran ventrikel kiri akan meningkat dua kali lipat dengan adanya obesitas. Prevalensi
pembesaran ventrikel kiri berdasarkan bacaan elektrokardiografi, yang tidak terlalu sensitif,
bervariasi. Penelitian menunjukkan hubungan langsung antara tingkat dan durasi hipertensi
dengan hipertrofi ventrikel kiri (Riaz K, 2009).
Hipertrofi ventrikel kiri, yang didefinisikan sebagai peningkatan massa ventrikel kiri,
disebabkan oleh respon miosit pada berbagai macam stimulus yang menyertai peningkatan
tekanan darah. Hipertrofi miokard timbul sebagai kompensasi dari peningkatan afterload.
Stimulus mekanik dan neurohormonal serta hipertensi menimbulkan aktivasi pertumbuhan
miokard, ekspresi gen (yang terdapat pada miokard fetal), dan hipertrofi ventrikel kiri. Sistem
renin-angiotensin juga turu mempengaruhi pertumbuhan interstisium dan komponen matriks
seluler. Kesimpulannya, hipertrofi ventrikel kiri terjadi akibat hipertrofi miosit dan
ketidakseimbangan antara miosit dan struktur interstisium miokard (Riaz K, 2009).
Terdapat beberapa macam hipertrofi ventrikel kiri, meliputi remodelling konsentris,
hipertrofi ventrikel kiri konsentris, dan hipertrofi ventrikel kiri eksentris. Hipertrofi ventrikel
kiri konsentris adalah peningkatan ketebalan dan massa ventrikel kiri dengan peningkatan
tekanan dan volume diastolik, umumnya ditemukan pada pasien dengan hipertensi dan
merupakan petanda yang buruk bagi pasien ini. Dibandingkan dengan hipertrofi ventrikel kiri
eksentris, dimana peningkatan ketebalan ventrikel kiri terjadi tidak secara merata, hanya di
tempat tertentu, misalnya pada septum. Walaupun, hipertrofi ventrikel kiri berperan sebagai
respon protektif terhadap peningkatan tekanan dinding jantung untuk mempertahankan curah
jantung yang adekuat, namun hal ini dapat menyebabkan disfungsi sistolik dan diastolik
(Riaz K, 2009).
2.3.2 Kelainan Atrium Kiri
Perubahan struktural dan fungsi atrium kiri sangat sering terjadi pada pasien dengan
hipertensi. Peningkatan afterload akan berdampak pada atrium kiri oleh peningkatan tekanan
diastolik akhir ventrikel kiri dan sekunder oleh karena peningkatan tekanan darah yang
mengakibatkan kerusakan atrium kiri, penurunan fungsi atrium kiri, dan penebalan/pelebaran
atrium kiri. Pelebaran atrium kiri yang menyertai hipertensi tanpa adanya penyakit katup
jantung atau disfungsi sistolik biasanya merupakan implikasi dari hipertensi kronis atau
mungkin berhubungan dengan tingkat keparahan disfungsi diastolik ventrikel kiri. Dengan
adanya perubahan struktur tersebut, pasien memiliki resiko tinggi untuk mengalami fibrilasi
atrium dan dapat mengakibatkan gagal jantung (Riaz K, 2009).
2.3.3 Penyakit Katup
Meskipun penyakit katup jantung tidak menyebabkan penyakit jantung hipertensi,
hipertensi yang parah dan kronis dapat menyebabkan dilatasi aorta yang menimbulkan
insufisiensi aorta. Insufisiensi aorta juga dapat ditemukan pada pasien-pasien hipertensi yang
tidak terkontrol. Peningkatan tekanan darah yang akut dapat memperparah keadaan
insufusiensi aorta, dimana akan membaik jika tekanan darah terkontrol dengan baik.
Disamping dapat juga menyebabkan regurgitasi aorta, hipertension juga dapat mempercepat
proses sklerosis aorta dan regurgitasi mitral (Riaz K, 2009).
2.3.4 Gagal Jantung
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada peningkatan tekanan
darah yang terjadi secara kronis. Hipertensi sebagai penyebab dari gagal jantung kongestif
seringkali tidak terdeteksi, karena saat proses gagal jantung terjadi, disfungsi ventrikel kiri
tidak menyebabkan peningkatan tekanan darah. Prevalensi dari disfungsi diastolik
asimtomatis pada pasien dengan hipertensi namun tanpa pembesaran ventrikel kiri sekitar
33% (Riaz K, 2009).
Disfungsi diastolik sering terjadi pada pasien dengan hipertensi, dan sering disertai
dengan pembesaran ventrikel kiri. Faktor-faktor yang menyebabkan disfungsi diastolik
disamping adanya peningkatan afterload, adalah interaksi antara penyakit jantung koroner,
usia, disfungsi sistolik, dan kelainan struktural, misalnya fibrosis dan hipertrofi ventrikel kiri.
Biasanya disfungsi diastolik juga diikuti oleh disfungsi sistolik asimtomatis. Selanjutnya,
hipertrofi ventrikel kiri gagal untuk mengkompensasi peningkatan curah jantung karena
peningkatan tekanan darah, sehingga ventrikel kiri mengalami dilatasi untuk
mempertahankan curah jantung. Ketika memasuki tahap akhir, fungsi sistolik ventrikel kiri
semakin menurun. Hal ini meningkatkan aktivasi neurohormonal dan sistem renin-
angiotensin, mengakibatkan peningkatan retetensi garam dan cairan, serta peningkatan
vasokonstriksi perifer, menambah kerusakan lebih lanjut pada ventrikel kiri menjadi
disfungsi sistolik yang simtomatik(Riaz K, 2009).
Apoptosis, atau kematian sel yang terprogram, yang distimulasi oleh hipertrofi
miokard dan ketidakseimbangan antara stimulan dan inhibitor, memiliki peran yang penting
dalam transisi tahap kompensasi ke tahap dekompensasi. Pasien dapat menjadi simtomatik
dalam tahap disfungsi sistolik atau diastolik asimtomatis, tergantung dari kondisi afterload
atau adanya keterlibatan miokard (misalnya iskemia, infark). Peningkatan tekanan draah yang
terjadi secara tiba-tiba dapat mengakibatkan edema paru akut tanpa perlu terjadi perubahan
fraksi ejeksi ventrikel kiri. Umumnya, perkembangan disfungsi atau dilatasi ventrikel kiri,
baik yang asimtomatis maupun simtomatis, dianggap sebagai penyebab penurunan status
klinis yang cepat dan meningkatkan angka kematian. Penebalan ventrikel kanan dan disfungsi
diastolik juga berperan menyebabkan penebalan septum dan disfungsi ventrikel kiri (Riaz K,
2009).
2.3.5 Iskemik Miokard
Pasien dengan angina memiliki prevalensi hipertensi yang tinggi. Hipertensi
melipatgandakan resiko untuk penyakit jantung koroner. Iskemia pada pasien dengan
hipertensi terjadi karena multifaktor (Riaz K, 2009).
Yang penting, pada pasien dengan hipertensi, angina dapat muncul tanpa penyakit
jantung koroner. Hal ini terjadi karena peningkatan afterload sekunder karena hipertensi
mengakibatkan peningkatan tekanan ventrikel kiri dan transmural, menghambat aliran darah
koroner saat diastol. Selanjutnya, pada pasien dengan hipertensi, mikrovaskularisasi yaitu
arteri koroner epikardial, mengalami disfungsi dan tidak dapat mengkompensasi peningkatan
metabolisme dan kebutuhan oksigen (Riaz K, 2009).
Perkembangan dan progresifitas arteriosklerosis, dasar dari penyakit jantung koroner,
adalah kerusakan arteri terus-menerus karena peningkatan tekanan darah. Tekanan yang
terus-menerus mengakibatkan disfungsi endotel, dan menyebabkan kelainan sistesis dan
pengeluaran agen vasodilator nitrit oxide. Penurunan kadar nitrit oxide menyebabkan dan
mempercepat proses arteriosklerosis dan penumpukan plak (Riaz K, 2009).
2.3.6 Aritmia
Aritmia yang sering terjadi pada pasien dengan hipertensi diantaranya adalah atrial
fibrilasi, PVC (premature ventricular contractions) dan ventrikular takikardi. Resiko dari
kematian mendadak juga meningkat. Terdapat berbagai mekanisme yang berperan dalam
patogenesis aritmia diantaranya penurunan struktur dan metabolisme seluler, inhomogenitas
miokard, perfusi yang buruk, fibrosis miokard, dan fluktuasi afterload. Semua faktor ini dapat
meningkatkan resiko terjadinya ventrikular takiaritmia (Riaz K, 2009).
Atrial fibrilasi (paroksismal, kronik rekuren, atau kronik persisten) seringkali
didapatkan pada pasien dengan hipertensi. Faktanya, peningkatan tekanan darah adalah
penyebab tersering dari atrial fibrilasi di daerah barat. Penelitian menunjukkan bahwa hampir
50% pasien dengan atrial fibrilasi memiliki riwayat hipertensi. Meskipun etiologinya belum
diketahui, abnormalitas struktural atrium kiri, penyakit jantung koroner, dan hipertrofi
ventrikel kiri dianggap sebagai faktor yang berperan. Atrial fibrilasi dapat menyebabkan
dekompensasi sistolik, bahkan disfungsi diastol, menyebabkan penurunan curah atrium juga
resiko komplikasi trimboemboli yang dapat mengakibatkan stroke (Riaz K, 2009).
PVC (premature ventricular contraction), ventrikular aritmia, dan kematian mendadak
sering didapatkan pada pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri. Etologi dari aritmia ini
diantaranya penyakit jantung koroner dan fibrosis miokard (Riaz K, 2009).
2.4 Gejala Klinis
Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya, kebanyakn pasien tidak ada
keluhan. Bila simtomatik maka biasanya disebabkan oleh:
Peningkatan tekanan darah itu sendiri, seperti berdebar-debar, rasa melayang (dizzy),
dan impoten
Penyakit jantung/vaskular hipertensi seperti cepat capek, sesak napas, sakit dada
(iskemia miokard atau diseksi aorta), bengkak kedua kaki atau perut. Gangguan
vaskular lainnya adalah epistaksis, hematuria, pandangan kabur karena perdarahan
retina, transient cerebral ischemic.
Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder: polidipsi, poliuria,dan kelemahan
otot pada aldosteronism primer; peningkatan BB dengan emosi yang labi pada
sindrom Cushing. Phaeocromositoma dapat muncul dengan keluhan episode sakit
kepala, palpitasi, banyak keringat, dan rasa melayang saat berdiri (PAPDI, 2006).
2.5 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai keadaan umum dan memperhatikan
keadaan khusus, seperti: Cushing, Phaeocromositoma, perkembangan tidak proporsionalnya
tubuh atas dibanding bawah yang sering ditemukan pada koartasio aorta. Pengukuran tekanan
darah di tangan kiri dan kanan saat tidur dan berdiri. Funduskopi dengan klasifikasi Keith-
Wagener-Barker sangat berguna untuk menilai prognosis. Palpasi dan auskultasi arteri karotis
untuk menilai stenosis atau oklusi (PAPDI, 2006).
Pemeriksaan jantung untuk mencari pembesaran jantung ditujukan untuk menilai
hipertrofi ventrikel kiri dan tanda-tanda gagal jantung. Impuls apeks yang prominen. Bunyi
jantung S2 yang meningkat akibat kerasnya penutupan katup aorta. Kadang ditemukan
murmur diastolik akibat regurgitasi aorta. Bunyi S4 (gallop atrial atau sistolik) dapat
ditemukan akibat dari peninggian tekanan atrium kiri. Sedangkan bunyi S3 (gallop ventrikel
atau protodiastolik) ditemukan bila tekanan akhir diastolik ventrikel kiri meningkat akibat
dilatasi ventrikel kiri. Bila S3 dan S4 ditemukan bersama disebut summation gallop. Paru
perlu diperhatikan apakah ada suara napas tambahan seperti ronkhi basah atau ronkhi kering.
Pemeriksaan perut ditujukan untuk mencari aneurisma, pembesaran hati, lien, ginjal, dan
ascites. Auskultasi bising di sekitar kiri kanan umbilicus (renal artey stenosis). Areteri
radialis, arteri femoralis, dan arteri dorsalis pedis harus diraba. Tekanan darah di betis harus
diukur minimal sekali pada hipertensi usia muda (kurang dari 30 tahun) (PAPDI, 2006).
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium awal meliputi:
Urinalisis: protein, leukosit, eritrosit, silinder
Darah lengkap: leukosit, hemoglobin, hematokrit, trombosit
Elektrolit darah: kalium, kalsiuj, fosfor
Ureum/kreatinin
Gula darah puasa
Total kolesterol, trigliserida, HDl, LDL
Elektrokardiografi
TSH
Foto thorax
Ekokardiografi
Ekokardiografi dilakukan karena dapat menemukan hipertrofi ventrikel kiri lebih dini
dan lebih spesifik. Indikassi ekokardiografi pada pasien hipertensi adalah:
- Konfirmasi gangguan jantung atau murmur
- Hipertensi dengan kelainan katup
- Hipertensi pada anak atau remaja
- Hipertensi saat aktivitas, tetapi normal saat istirahat
- Hipertensi disertai sesak napas yang belum jelas sebabnya (gangguan fungsi
sistolik atau diastolik)
Ekokardiografi doopler dapat dipakai untuk menilai fungsi diastolik (gangguan fungsi
relaksasi ventrikel kiri, pseudo-normal, atau tipe restriktif) (PAPDI, 2006).
2.7 Penatalaksanaan
Terapi untuk HHD terbaik ada dalam konteks dari JNC 7
dan ACC tahun 2001 / pedoman HF AHA yang menekankan pentingnya
terapi antihipertensi berdasarkan bukti klinis dan kondisi natural history. Awalnya, HHD
belum sepenuhnya diintegrasikan ke dalam ACC / pedoman AHA, tetapi jelas bahwa HHD
cocok sempurna dalam keseluruhan konteks seperti diuraikan. (Joseph, 2004)
Dibawah ini terapi berdasarkan stadium gagal jantung. sebelumngya di bawah ini
akan dijelaskan stadium gagal jantung.
ACC / AHA staging gagal jantung
Tahapan gagal jantung berdasarkan pada
struktur dan kerusakan otot jantung
NYHA Klasifikasi fungsional
Severity berdasarkan gejala
dan aktivitas fisik
Tahap A Pada risiko tinggi untuk
mengembangkan gagal jantung. Tidak
Kelas I tidak ada keterbatasan aktivitas
fisik. Biasa aktivitas fisik tidak
teridentifikasi abnormalitas struktural atau
fungsional, tidak ada tanda-tanda atau
gejala.
menyebabkan kelelahan yang tidak
semestinya, debar jantung, atau dispnea.
Tahap B Dikembangkan penyakit jantung
struktural yang sangat terkait dengan
perkembangan gagal jantung, tapi
tanpa tanda-tanda atau gejala.
Kelas II sedikit keterbatasan aktivitas fisik.
Nyaman saat istirahat, tapi kegiatan fisik
dalam kelelahan, debar jantung, atau
dispnea.
Tahap C simtomatik gagal jantung yang
berhubungan dengan dasar
penyakit jantung struktural
Kelas III Ditandai keterbatasan aktivitas
fisik. Nyaman saat istirahat, tapi
kurang dari hasil kegiatan biasa dalam
kelelahan, debar jantung, atau
dispnea.
Tahap D Advanced penyakit jantung
struktural dan gejala ditandai
gagal jantung saat istirahat meskipun
terapi medis maksimal.
Kelas IV Tidak untuk melakukan kegiatan
fisik apapun tanpa rasa tidak nyaman.
Gejala saat istirahat. Jika aktivitas fisik
dilakukan,
ketidaknyamanan meningkat
ACC =American College of Cardiology; AHA
¼ American Heart Association. Hunt SA et
al. Circulation 2005;112:1825–1852.
The Criteria Committee of the New York Heart Association. Nomenclature and Criteria for Diagnosis of Diseases of the Heart and Great Vessels. 9th ed. Little Brown & Co;1994. pp 253–256.
Pencegahan (individu tahap A)
Tujuan terapi pada tahap A (mereka yang beresiko untuk HF) adalah penekanan
faktor risiko, dengan mengontrol tekanan darah adalah hal yang paling penting. Individu
tahap A harus didorong untuk melakukan perubahan gaya hidup, khususnya mengkontrol
berat badan dan latihan aerobik untuk mengontrol tekanan darahdan faktor risiko lain seperti
dislipidemia dan dysglycemia. Aktifitas fisik memperbaiki
Fungsi jantung dan mengurangi tekanan daah dan afterload jantung dengan cara berbagai
mekanisme, termasuk kekakuan arteri berkurang. Obat
hipertensi dianjurkan untuk individu dengan BP 140/90 mm Hg pada
populasi umum atau 130/80 mm Hg pada diabetes atau
penyakit ginjal kronis. Penekanan ditempatkan pada mencapai tujuan pengobatan,
yang biasanya membutuhkan kombinasi dari agen anti hipertensi. Terapi antihipertensi
diuretik memungkinkan pengurangan sekitar 50% terjadinya HF. Angiotensin-converting
enzyme (ACE) inhibitor dan b-bloker juga, sedangkan kalsium
antagonis dan β-blocker tampaknya kurang efektif dalam mencegah HF. (Joseph, 2004)
Gabungan pencegahan / pengobatan (tahap B dan hipertrofi ventrikel kiri)
Tujuan perawatan khusus untuk pasien dengan tahap B tanpa gejala''
HF''adalah untuk mengurangi, menghambat, maladaptive jantung dan pembuluh
darah, sehingga mencegah atau menunda terjadinya HF. Kontrol tekanan darah
tetap menjadi dasar dari terapi dalam tahap B, bersama dengan manajemen faktor risiko
lainnya. Tahap B harus mencakup LVH karena banyak ahli percaya
bahwa regresi LVH merupakan target terapeutik penting. Data studi menunjukkan bahwa
penurunan tegangan EKG berhubungan dengan pengurangan yang signifikan dalam kejadian
CVD Dalam analisis-meta dari empat penelitian terapi antihipertensi, pasien denganecho-
regresi LVH mengalami 59% pengurangan risiko CVD dibandingkan
dengan mereka yang tidak regresi atau dengan perkembangan selanjutnya dari LVH. Karena
afterload jantung meningkat adalah stimulus utama untuk konsentris
LVH, hampir semua rejimen terapi yang mengurangi tekanan darah sistolik mendorong
regresi LVH. Vasodilator adalah pengecualian karena obat-obatan seperti hydralazine dan
minoxidil sebaliknya tidak mengurangi LVH meskipun Efektif menurunkan tekanan darah.
Beberapa peneliti telah mengusulkan bahwa efek prohypertrophic
angiotensin II menjadi dasar untuk status pilihan inhibitor ACE dan
angiotensin reseptor bloker (ARB) dalam regresi LVH; Namun, kalsium
antagonis dan diuretik, yang cenderung untuk merangsang angiotensin II, hanya
sedikit lebih buruk (sekitar 10%) dari ACE inhibitor atau ARB dalam mengatasi
regresi LVH. (Joseph, 2004)
Terapi Optimal HF tahap B masih belum jelas karena relatif
kurangnya studi klinis langsung di daerah ini. Pada keseimbangan, ACE inhibitor
b-blocker, dan ARB masuk pilihan dalam setiap tahap pasien B dengan disfungsi sistolik atau
LVH. Kombinasi penghambat ACE dan ARB pada pasien B tahap tidak mencapai manfaat
tambahan. Peran diuretik thiazide dalam tahap B HF agak kurang jelas.
Gagal jantung (tahap C-D)
agen tertentu yang direkomendasikan oleh JNC 7 untuk pengobatan
hipertensi dan HF sebagai indikasi. adalah suatu kondisi yang berisiko tinggi berhubungan
dengan hipertensi yang ada uji klinis bukti manfaat hasil tertentu untuk kelas tertentu obat
anti hipertensi. ujuan perawatan untuk pasien dengan HF adalah untuk mengurangi
gejala, mencegah masuk rumah sakit, mencegah remodelling lambat atau remodelling
progresif, dan menurunkan angka kematian. Tekanan darah pada HF memnutuhkan
perawatan lanjutan yang layak. Penurunan tekanan darah yang agresif adalah sangat
pentingkarena sensitivitas dari afterload ventrikel gagal jantung meningkat. Dengan
demikian, sering kali diperlukan untuk mengurangi tekanan darah sistolik sebanyak mungkin,
bahkan sampai nilai di bawah 120 mm Hg jika pasien tidak bergejala (ortostatik biasanya
hipotensi berat atau kelelahan).
Untuk sistolik disfungsi, terapi obat merupakan hal terpenting dalam manajemen.
Obat yang memenuhi persyaratan sebagai JNC 7 indikasi kuat untuk pengobatan hipertensi
dan HF dapat diklasifikasikan secara luas sebagai menghambat neurohormonal (Yaitu, obat-
obatan yang mengganjal simpatik dan renin-angiotensin-aldosteron sistem). Termasuk dalam
kategori ini adalah inhibitor ACE, ARB, b-blocker,
dan antagonis aldosteron.
Loop diuretik sangat diperlukan dalam mengelola gejala berkaitan dengan volume
overload dan dalam kontrol agresif tekanan darah di beberapa individu. Digitalis dapat
memperbaiki gejala, tetapi tidak mempengaruhi prognosa. Tambahan modalitas seperti
defibrillator implant, counterpulsation perangkat, dan transplantasi organ kadang-kadang
digunakan dalam kasus-kasus yang kompleks.
Saat ini, tidak ada yang direkomendasikan pengobatan untuk disfungsi diastolik
karena kekurangan bukti klinis. Namun demikian, di dalam disfungsi diastolik, terapi
berbasis ARB dikaitkan dengan 11% kecenderungan menuju perbaikan hasil penyakit
kardiovaskuler, terutama HF rawat inap. Terapi lain yang belum diuji dalam disfungsi
diastolik khusus, namun diyakini oleh beberapa ahli bahwa tingkat perlambatan dengan β-
bloker atau antagonis kalsium nondihydropyridine berguna karena
meningkatkan pengisian ventrikel. Digitalis glikosida dan agen inotropic lainnya
umumnya tidak dianjurkan karena kontraktilitas jantung tidak terganggu. (Joseph, 2004)
Rangkuman penatalaksanaan pada penyakit jantung hipertensi ada pada tabel di
bawah ini:
2.7.1 Penatalaksanaan non farmakologis
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah
tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi.
Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup.
Perubahan yang sudah terlihat menurunkan tekanan darah dapat terlihat pada tabel sesuai
dengan rekomendasi dari JNC VII. Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien
dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah
ke hipertensi pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi. (He, 2000)
Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan darah adalah
mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola makan
DASH (Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet
rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah pasien
dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi;
mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari menggunakan obat.
(Hyman, 2001)
Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk menurunkan berat
badan secara perlahan-lahan pada pasien yang gemuk dan obes disertai pembatasan
pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan
moril. Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien mengerti rasionalitas
intervensi diet: (Dosh, 2001)
a) Hipertensi 2 – 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding orang dengan berat
badan ideal
b) Lebih dari 60 % pasien dengan hipertensi adalah gemuk (overweight)
c) Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4.5 kg) dapat menurunkan tekanan
darah secara bermakna pada orang gemuk
d) Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang juga prekursor dari
hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat berlanjut ke DM tipe 2.
dislipidemia, dan selanjutnya ke penyakitkardiovaskular.
e) Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh dapat menurunkan
tekanan darah pada individu dengan hipertensi.
f) Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam, kebanyakan
pasien mengalami penurunaan tekanan darah sistolik dengan pembatasan natrium.
JNC VII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya dengan buah, sayur, dan
produk susu redah lemak dengan kadar total lemak dan lemak jenuh berkurang. Natrium yang
direkomendasikan < 2.4 g (100 mEq)/hari.
Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik secara teratur paling
tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu ideal untuk kebanyakan pasien. Studi
menunjukkan kalau olah raga aerobik, seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan
menggunakan sepeda, dapat menurunkan tekanan darah. Keuntungan ini dapat terjadi
walaupun tanpa disertai penurunan berat badan. Pasien harus konsultasi dengan dokter untuk
mengetahui jenis olah-raga mana yang terbaik terutama untuk pasien dengan kerusakan organ
target.
Merokok merupakan faktor resiko utama independen untuk penyakit kardiovaskular.
Pasien hipertensi yang merokok harus dikonseling berhubungan dengan resiko lain yang
dapat diakibatkan oleh merokok.
2.7.2 Penatalaksanaa Farmakologis
Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, penyekat beta, penghambat enzim konversi
angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium
dianggap sebagai obat antihipertensi utama. Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi,
harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti
menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya
diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana perbedaan yang bermakna dari
studi terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek samping. Penyekat alfa,
agonis alfa 2 sentral, penghambat adrenergik, dan vasodilator digunakan sebagai obat
alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat utama.
Evidence-based medicine adalah pengobatan yang didasarkan atas bukti terbaik yang
ada dalam mengambil keputusan saat memilih obat secara sadar, jelas, dan bijak terhadap
masing-masing pasien dan/atau penyakit. Praktek evidence-based untuk hipertensi termasuk
memilih obat tertentu berdasarkan data yang menunjukkan penurunan mortalitas dan
morbiditas kardiovaskular atau kerusakan target organ akibat hipertensi. Bukti ilmiah
menunjukkan kalau sekadar menurunkan tekanan darah, tolerabilitas, dan biaya saja tidak
dapat dipakai dalam seleksi obat hipertensi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini,
obat-obat yang paling berguna adalah diuretik, penghambat enzim konversi angiotensin
(ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), penyekat beta, dan antagonis kalsium
(CCB).Berikut ini digambarkan panduan pengobatan hipertensi menurut paduan ESC-ESH.
(ESH, 2003):
Diagram di bawah ini (A, B, dan C) menunjukkan bagaimana memulai pengobatan
antihpertensi yang didasarkan pada nilai tekanan darah awal dan jumlah total resiko
kardiovaskular:
BAB III
DATA MEDIS PASIEN
Nama : Ny. Soeminharti
Anamnesis
Keluhan utama : Sesak nafas
Pasien mengeluh sesak nafas kambuh-kambuhan yang memberat hari sabtu pagi. Pasien
minum obat racikan dari dokter paru dengan teratur setiap hari 2x, tetapi pada hari sabtu pagi
sesak memberat dan akhirnya pasien pergi ke IRD RSSA. Pasien mulai sesak sejak tahun
1998, tidak ada riwayat asma sebelumnya, tidak ada riwayat keturunan penderita asma, hanya
saja pasien mempunyai riwayat alergi terhadap bau-bauan yang merangsang seperti bau
parfum, bumbu masak, asap dll. Setiap ada bau-bauan, pasien segera pilek. Sejak tahun 1998,
bau-bauan tidak hanya membuat pasien pilek, tetapi juga sesak nafas. Pasien mempunyai
riwayat tekanan darah tinggi sejak 34 tahun yang lalu, ketahuan waktu pasien melahirkan
anak yang pertama. Sejak saat itu, pasien rutin kontrol ke dokter dan rutin minum obat, tetapi
tekanan darah pasien setiap kali kontrol berkisar antara 150/90 sampai 180/100. Ibu pasien
mempunyai riwayat tekanan darah tinggi. Pada tahun 2003, pasien sempat masuk ICU karena
sesak nafas. Menurut pasien, waktu itu dokter menjelaskan bahwa paru-parunya kempis
karena kurang oksigen. Waktu itu, gula darah pasien berkisar antara 400. Pasien diberi insulin
1 vial, tetapi tidak dilanjutkan pengobatan gula darahnya, karena menurut dokter gula darah
pasien yang tinggi ini disebabkan karena pasien minum obat asma (dexamethason) setiap
hari. Sampai sekarang, pasien tetap mengkonsumsi obat asma secara teratur dan gula darah
tetap tinggi, tetapi tidak minum obat untuk menurunkan gula darahnya.
Pemeriksaan Fisis
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
GCS : 456
Kepala : Conjunctiva anemis - , icterik –
Leher : JVP R+2 cm H2O
Thorax
Cor : Ictus invisible, palpable pada ICS VI AAL sinistra
S1S2 single, murmur –
Pulmo : Spontan, simetris
v / v rh - / - wh - / -
v / v - / - + / +
v / - / - + / +
Abdomen : Soefl, BS+N
Shifting dullness –
Liver unpalpable, liver span 10 cm
Lien unpalpable, traube’s space tympani
Extremitas : Edema + / +
+ / +
Pemeriksaan penunjang
Chest X-Ray (6 Maret 2010)
AP position, asimetris, soft tisuue normal, bone normal, inter costal space dextra &
sinistra normal, trakhea di tengah, cor site normal, CTR > 50%, bentuk kardiomegali,
hemidiafragma dextra & sinistra bentuk kubah (dome), sudut phrenicocostalis destra &
sinistra di tengah. Paru kanan: infiltrat di area atas dan bawah, air bronchogram, corak
bronkial meningkat. Paru kiri: infiltrat pada area atas dan bawah, air bronchogram di area
bawah.
Kesimpulan: pneumonia, kardiomegali
Elektrokardiografi
Sinus rhythm, HR 75 x/menit regular
Ekhokardiografi
1. AR ringan (s. Dec 1,6 m/s2), Aorta dilatasi
2. Ventrikel kiri dilatasi (LV Idd 5,6 cm), fungsi sistolik ventrikel kiri normal (EF 62%),
fungsi diastolik ventrikel kiri abnormal relaksasi (E/A 0,59), ventrikel kiri
normokinetik, hipertrofi ventrikel kiri (+) ringan
3. Tidak tampak trombus maupun vegetasi intrakardial
Pemeriksaan laboratorium
Darah
6 maret 2010 9 maret 2010
Leukosit 5000 5500
Hemoglobin 11,8 12,9
Hematokrit 32,1 37,7
Trombosit 258.000 284.000
GDA 210
GDP 171
GD2PP 243
Ureum 28,1
Creatinin 0,80
SGOT 25
SGPT 13
CPK 138
CKMB 85
Natrium 139
Kalium 3,7
Clorida 103
Albumin 4,76
Kolesterol
total
228
HDL 138
LDL 71
Trigliserida 203
Bilirubin total 0,09
Bilirubin direk 0,08
Bilirubin
indirek
0,01
Troponin I (-) 0,02
BGA:
pH
pCO2
pO2
HCO3
Saturasi O2
arteri
BE
7,379
40,1
76,7
22,9
95%
-1,8
Urine
7 maret 2010
BJ 1.015
pH 6
Leukosit -
Nitrit -
Albumin +1
Glukosa +4
Keton +1
Urobilinogen -
Bilirubin -
Eritrosit -
Daftar pustaka
He J et al. Long-Term Effects Of Weight Loss And Dietary Sodium Reduction
On Incidence Of Hypertension. Hypertension 2000;35:544-549
Hyman DJ et al. Characteristic Of Patients With Uncontrolled HypertensionIn The United States. NEJM 2001;345:479-486
Dosh SA. The diagnosis of essential and secondary hypertension in adults.J.Fam Pract 2001;50:707-712