hipertensi eklampsia.docx
-
Upload
verlina-maya-gita -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
description
Transcript of hipertensi eklampsia.docx
HIPERTENSI URGENCY
DEFINISI
Hipertensi urgensi (mendesak) ditandai dengan TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa
kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam
sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral
INSIDEN & EPIDEMIOLOGI
Survei kesehatan nasional dalam berbagai negara sudah menunjukkan prevalensi yang tinggi
dari control hipertensi yang lemah. Studi ini sudah melaporkan prevalensi hipertensi itu
adalah di Canada 22%, dimana 16% terkendali; 26,3% di Mesir, dimana 8% terkendali; dan
13,6% dinegeri China, dimana 3% terkendali. Hipertensi adalah sesuatu yang mewabah di
seluruh dunia; pada banyak dnegara-negara , 50% dari populasi berusia diatas 60 tahun
mempunyai hipertensi. Keseluruhan kira-kira 20% orang dewasa di dunia diperkirakan sudah
mengalami hipertensi. Dari 20 % prevalensi adalah untuk hipertensi dengan tekanan darah
lebih dari 140/90 mmHg. Prevalensi secara dramatis meningkat pada pasien berusia diatas 60
tahun
Angka kejadian krisis HT menurut laporan dari hasil penelitian dekade lalu di negara maju
berkisar 2 – 7% dari populasi HT, terutama pada usia 40 – 60 tahun dengan pengobatan yang
tidak teratur selama 2 – 10 tahun. Angka ini menjadi lebih rendah lagi dalam 10 tahun
belakangan ini karena kemajuan dalam pengobatan HTKrisis hipertensi mempengaruhi lebih
dari 500.000 orang Amerika setiap tahunnya. Walaupun insiden krisis hipertensi rendah,
mengenai kurang dari 1% pada orang dewasa yang menderita hipertensi, lebih dari 5 juta
orang Amerika menderita penyakit hipertensi) Di Indonesia belum ada laporan tentang angka
kejadian ini.
ETIOLOGI
Krisis hipertensi dapat terjadi pada penderita dengan hipertensi esensial maupun hipertensi
yang terakselerasi. Juga dapat terjadi pada penderita dengan tekanan darah normal
(normotensif). Krisis hipertensi pada penderita yang dulunya normotensif kemungkinan
karena glomerulonefritis akut, reaksi terhadap obatmonoamin oksidase inhibitor (MAO),
feokromositoma atau toksemia gravidarum. Sedangkan pada penderita yang telah mengidap
hipertensi kronis, krisis hipertensi terjadi karena glomerulonefritis, pielonefritis, atau
penyakit vaskular kolagen, lebih sering pada hipertensi renovaskuler dengan kadar renin
tinggi
Krisis hipertensi dapat mengenai usia manapun, dapat mengenai neonatus dengan hipoplasi
arteri ginjal kongenital, anak-anak dengan glomerulonefritis akut, wanita hamil dengan
eklampsia, atau orang yang lebih tua dengan arterisklerotis stenosis pembuluh darah ginjal
Etiologi terjadinya hipertensi urgensi :
o Peningkatan drastis dari tahanan pembuluh darah sistemik
o Peningkatan vasokontriksi sistemik
o Hormon (angiotensin II, vasopressin dan norepinerin)
Berikut ini beberapa penyakit yang dapat menyertai terjadinya hipertensi urgency :
o Hipertensi maligna
o Gagal Jantung Kiri
o Angina tak stabil
o Hipertensi perioperatif
o Preeklampsia
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi yang tepat mengenai terjadinya krisis hipertensi tidaklah diketahui. Akselerasi
dari hipertensi maligna mungkin salah satu reaksi non spesifik terhadap kenaikan tekanan
darah yang sangat tinggi. Faktor-faktor humoral (terutama sekali pusat rennin-angiotensin)
dan produk lokal yang diproduksi oleh darah (misalnya prostaglandin, radikal bebas) terlibat
juga dalam menaikkan tekanan darah ke level yang kritis
Ada 2 teori yang dianggap dapat menerangkan timbulnya hipertensi ensephalofati, yaitu :
1. Teori “ Over Autoregulation”
Dengan kenaikan tekanan darah menyebabkan spasme yang berat pada arteriole mengurangi
aliran darah ke otak dan iskemi, Meningginya permeabilitas kapiler akan menyebabkan
pecahnya dinding kapiler, edema di otak, petekhie, perdarahan dan mikro infark.2. Oedema Otak
Teori “Breakthrough of Cerebral Autoregulation” bila tekanan darah mencapai ambang
penerima isyarat tertentu dapat mengakibatkan transudasi, mikroinfark dan edema otak,
ptekhie, hemorage, fibrinoid dari arteriole.
Aliran darah ke otak pada penderita hipertensi kronis tidak mengalami perubahan bila Mean
Arterial Pressure (MAP) 120 mmHg – 160 mmHg, sedangkan pada penderita hipertensi baru
dengan MAP 60 – 120 mmHg. Pada keadaan hiperkapnia, autoregulasi menjadi lebih sempit
dengan batas tertinggi 125 mmHg, sehingga perubahan sedikit saja dari TD menyebabkan
asidosis otak akan mempercepat timbulnya edema otak. (2)
GEJALA KLINIS
Derajat kenaikan tekanan darah pada kegawatan dan ada tidaknya penyakit pada end organ
sebelumnya sangat menentukan tanda dan keluhan yang ada pada krisis hipertensi. Bila
terdapat keluhan, manifestasinya biasa berupa ensefalopati hipertensi dengan keluhan sakit
kepala, perubahan mental dan gangguan neurologist, mual, muntah, gangguan kesadaran,
atau disertai dengan gejala kerusakan end organ seperti (nyeri dada, pemendekan nafas,
kecemasan, gangguan penglihatan, dll).(3,4,6)
Pada tingkat permulaan, manifestasi klinis krisis hipertensi dapat hilang seluruhnya tanpa
meninggalkan komplikasi yang menetap. Oleh karena itu diagnosa harus secepatnya
ditegakkan, agar tindakan pengobatan dilakukan dengan cepat dan tepat.(3)
PENATALAKSANAAN
Dasar-dasar penanggulangan krisis hipertensi
Tujuan pengobatan hipertensi tidak hanya menurunkan tekanan darah, tetapi
mencegah/memperbaiki kelainan fungsional dan structural yang terjadi akibat hipertensinya
(komplikasi organ sasaran), yaitu :
1. Menurunkan tekanan darah seoptimal mungkin, tetapi tidak mengganggu perfusi organ
sasaran.
2. Mencegah komplikasi vaskuler/arteriosklerotik dan kerusakan organ sasaran, mengontrol
faktor resiko lain.
3. Bila sudah ada komplikasi diusahakan retardasif/kalau mungkin regresi komplikasi
vaskuler/arteriosklerosis dan kerusakan target organ (LVH, nefropati, dsb)
4. Memantau dan mengontrol efek samping obat yang lain (hipokalemia dan sebagainya)
yang dapat menambah morbiditas dan mortalitas.(11)
Tekanan darah yang sedemikan tinggi pada krisis hipertensi haruslah segera diturunkan
karena penundaan akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun lambat.
Tetapi dipihak lain penurunan yang terlalu agresif juga dapat menimbulkan berkurangnya
perfusi dan aliran darah ke organ vital terutama otak, jantung dan ginjal.(2) oleh karena itu
penurunan tekanan darah terutama pada hipertensi kronik, harus bertahap dan memerlukan
pendekatan individual.(11)
Sampai sejauh mana tekanan darah harus diturunkan, perlu diperhatikan berbagai factor
antara lain; keadaan hipertensi sendiri (TD segera diturunkan atau bertahap, pengamatan
problem yang menyertai krisis hipertensi, perubahan aliran darah dan autoregulasi tekanan
darah pada organ vital serta pemilihan obat anti hipertensi yang efektif untuk krisis hipertensi
dan monitoring efek samping obat.(2)
Selain itu keadaan klinis pasien juga harus diperhitungkan. Pada penderita dengan aneurisma
aorta desenden akut atau feokromasitoma dengan hipertensi akut, atau setelah mendapat
MAO inhibitor dan pernah mengalami krisis hipertensi, tekanan sistolik dapat diturunkan
menjadi 100-120 mmHg. Demikian juga bila fungsi ginjal normal dan tidak ada riwayat CVD
atau CAD, tekanan darah dapat diturunkan sampai normal. Namun demikian pada penderita
dengan penyakit pembuluh darah otak, penderita penyakit jantung koroner, atau penderita
yang telah mengalami trombosis serebri terutama 6 minggu terakhir, akan berbahaya
menurunkan tekanan darah ketingkat normal karena akan memperberat gangguan koroner
atau akan terjadi gangguan serebrovaskuler. Pada beberapa penderita tingkat penurunan
tekanan darah yang aman adalah sampai 160-180 mmHg sistolik dan 100-110 mmHg
diastolik. Kecepatan penurun tekanan darah tergantung pada keadaan klinis penderita.(3)
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit. Sebaiknya
penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur kembali dalam 30
menit. Bila TD tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai pengobatan. Umumnya
digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi hipertensi urgensi ini dan
hasilnya cukup memuaskan.
Obat-obat oral anti hipertensi yang digunakan a.l :
1. Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit).Buccal (onset 5 –10
menit),oral (onset 15-20 menit),duration 5 – 15 menit secara sublingual/buccal). Efek
samping : sakit kepala, takhikardi, hipotensi, flushing, hoyong.
2. Clonidine : Pemberian secara oral dengan onset 30 – 60 menit Duration of Action 8-12
jam. Dosis : 0,1-0,2 mg,dijutkan 0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d 0,7mg. Efek samping : sedasi,
mulut kering.Hindari pemakaian pada 2nd degree atau 3rd degree, heart block, brakardi,sick
sinus syndrome.Over dosis dapat diobati dengan tolazoline.
3. Captopril : pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25mg dan dapat diulang setiap 30 menit
sesuai kebutuhan. Efek samping : angio neurotik oedema, rash, gagal ginjal akut pada
penderita bilateral renal arteri sinosis.
4. Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang perjam bila perlu. Efek
samping : first dosyncope, hipotensi orthostatik, palpitasi, takhikardi dan sakit kepala.
Dengan pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral dicapai penurunan MAP
sebanyak 20 % ataupun TD<120 mmHg. Demikian juga Captopril, Prazosin terutama
digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekholamine. (2,4)
Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual dapat menyebabkan
penurunan TD yang cepat dan berlebihan bahkan sampai kebatas hipotensi (walaupun hal ini
jarang sekali terjadi).
Dikenal adanya “first dose” effek dari Prozosin. Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi
akibat pemberian oral Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark miokard dan stroke.(2,6)
Dengan pengaturan titrasi dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD dapat
diturunkan bertahap dan mencapai batas aman dari MAP.
Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih sensitive
terhadap penambahan terapi.Untuk penderita ini dan pada penderita dengan riwayat penyakit
cerebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua dan pasien dengan volume depletion
maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine harus dikurangi.Seluruh penderita diobservasi
paling sedikit selama 6 jam setelah TD turun untuk mengetahui efek terapi dan juga
kemungkinan timbulnya orthotatis.Bila gejala penderita yang diobati tidak berkurang maka
sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit.(2)
DAFTAR PUSTAKA
2. Working team, 2003, The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention,
Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), U . S . Department
and Human Service,
3. Abdul Majid, 2004, Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan, Bagian Fisiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Digitized by USU digital Library.
4. Idham Idris, M. Kasim. Krisis Hipertensi dalam Buku Ajar Kardiologi, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
5. Amy Bales, MD, 1999, Hypertensive Crisis, Volume 105, Number 5, Postgraduate Medicine
Online
6. Nursebob, Hypertensive Crisis in Critical Care, http://rnbob.tripod.com/hyperten.htm
7. Luc Lanthier, MD, FRCPC; and Danielle Pilon, MD, MSc, FRCPC, 2002 Recognizing
Hipertensive Crisis, The Canadian Journal of CME.
8. Donald Vilt, MD, 2006, Hipertensive Crisis Acute
http://www.clevelandclinicmeded.com/diseasemanagement/nephrology/crises/crises.htm
9. William T. Branch, Jr, R. Wayne Alexander, Robert C Schlant, J. Willis Hurst, 2000,
Cardiology In Primary Care, The Mc Graw – Hill Companies, Inc, Singapore
10. Riaz Kamran, Hypertensive Heart Disease, Available from : http:/www.emedicine.com. 2006
11. Sharma Sat, Hypertension. Available from: http:/www.emedicine.com. 2006
12. Budi Susetyo Pikir, 1997, Penatalaksanaan Komplikasi Kardiovaskuler pada Hipertensi