HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

29
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN Definisi dan Klasifikasi Terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi hipertensi pada hipertensi secara umum dengan hipertensi dalam kehamilan. NHBPEP (National High Blood Pressure Education Working Group Report on High Blood Pressure in Pregnancy) memiliki klasifikasi tersendiri karena pada kehamilan, terjadi beberapa perubahan hemodinamik yang mempengaruhi tekanan darah. Tabel Perbedaan Klasifikasi Kriteria Hipertensi Hamil dan Tidak Hamil \ Hipertensi dalam kehamilan memiliki terminology tersendiri. Disadur dari Report on the National High Blood Pressure

description

bahan belajar

Transcript of HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Page 1: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Definisi dan Klasifikasi

Terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi hipertensi pada hipertensi secara

umum dengan hipertensi dalam kehamilan. NHBPEP (National High Blood Pressure

Education Working Group Report on High Blood Pressure in Pregnancy) memiliki klasifikasi

tersendiri karena pada kehamilan, terjadi beberapa perubahan hemodinamik yang

mempengaruhi tekanan darah.

Tabel Perbedaan Klasifikasi Kriteria Hipertensi Hamil dan Tidak Hamil

\

Hipertensi dalam kehamilan memiliki terminology tersendiri. Disadur dari Report on the

National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in

Pregnancy (AJOG Vol 183 : S1, July 2000),

Hipertensi dalam kehamilan meliputi:

1. Hipertensi Gestasional

Page 2: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Didapatkan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg untuk pertama kalinya pada kehamilan,

tidak disertai dengan proteinuria dan tekanan darah kembali normal < 12 minggu pasca

persalinan.

Hipertensi gestasional terjadi sekitar 6% dari total kehamilan dan separuhnya

berkembang menjadi preeklamsia dengan ditemukannya proteinuri. Diagnosis pasti sering

dibuat di belakang, Jika tes laboratorium tetap normal dan tekanan darah menurun pasca

melahirkan, maka diagnosisnya adalah hipertensi gestational (sebelumnya disebut transcient

hypertension). Wanita dengan hipertensi gestational harus dianggap beresiko terjadinya

preeklamsia, yang dapat berkembangkan setiap saat, termasuk minggu pertama pasca

melahirkan. Sekitar 15% hingga 45% perempuan awalnya didiagnosis dengan hipertensi

gestational akan mengembangkan preeklamsia, dan kemungkinan lebih besar pada pasien

yang memiliki riwayat preeklamsia sebelumnya, miscarriage, dan riwayat hipertensi

kehamilan sebelumnya (Davis et.al, 2007).

2. Preeklamsi

Preeclampsia adalah sindrom yang memiliki manifestasi klinis seperti new-onset

hypertension pada saat kehamilan (setelah usia kehamilan 20 minggu, tetapi biasanya

mendekati hari perkiraan lahir), berhubungan dengan proteinuria: 1+ dipstick atau 300 mg

dalam 24 jam urin tampung. Sindrom ini terjadi pada 5 - 8 % dari seluruh kehamilan.

Pengobatan antihipertensi pada pasien ini bukan ditujukkan untuk menyembuhkan atau

memulihkan preeklamsia. Preeklamsia dapat berkembangkan secara tiba-tiba pada wanita

muda, pada wanita yang sebelumnya normotensive, sehingga perlu pencegahan gangguan

kardiovaskular dan serebrovaskular sebagai konsekuensi dari berat dan cepat peningkatan

tekanan darah, hal ini adalah tujuan utama manajemen klinis yang membutuhkan

kebijaksanaan penggunaan obat antihipertensi (Levine et.al, 2004).

3. Eklamsi

Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat dihubungkan

dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi secara general dan dapat terlihat

sebelum, selama, atau setelah melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi,

terutama nulipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah postpartum. Setelah

perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus antepartum dan intrapartum sekarang dapat

dicegah, dan studi yang lebih baru melaporkan bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi

di luar 48 jam postpartum (Cunningham, 2005).

Page 3: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsi

Timbulnya proteinuria ≥ 300 mg/ 24 jam pada wanita hamil yang sudah mengalami

hipertensi sebelumnya. Proteinuria hanya timbul setelah kehamilan 20 minggu.

5. Hipertensi kronik (preexisting hypertention)

Ditemukannya tekanan darah ≥ 140/ 90 mmHg, sebelum kehamilan atau sebelum

kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan. Wanita usia

subur dengan hipertensi esensial stage I yang tidak memiliki kerusakan organ target dan

dalam kondisi kesehatan yang baik memiliki prognosis yang baik dalam kehamilan.

Walaupun terdapat peningkatan resiko terjadi superimposed preeclampsia, akan tetapi secara

fisiologi akan terjadi penurunan tekanan darah selama kehamilan dan penurunan kebutuhan

terhadap agen antihipertensi. Capaian tatalaksananya adalah mempertahankan tekanan darah

pada level yang memiliki resiko gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular pada ibu yang

minimal (Abalos et.al, 2007).

Kadang-kadang, wanita dengan hypertensi kehamilan akan tetap hipertensi setelah

melahirkan. Pada pasien ini kemungkinan besar memiliki hipertensi kronis yang sudah ada

sebelumnya, yang tertutup/tak tampak di awal kehamilan oleh karena respon fisiologis dari

kehamilan yakni vasodilasi. Kejadian hipertensi pada periode pasca melahirkan dan waktu

maksimum untuk normalisasi tekanan darah belum diketahui. Pada umumnya, hipertensi >

140/90 mm Hg menetap lebih dari 3 bulan pasca melahirkan didignosis sebagai hipertensi

kronis.

DIAGNOSIS

Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan laboratorium guna

memantau perubahan dalam hematologi, ginjal, dan hati yang dapat mempengaruhi prognosis

pasien dan janinnya. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk memantau pasien

hipertensi dalam kehamilan adalah hemoglobin dan hematokrit untuk memantau

hemokonsentrasi yang mendukung diagnosis hipertensi gestasional. Pemeriksaan enzim AST,

ALT, dan LDH untuk mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui adanya

proteinuria atau jumlah ekskresi protein urin 24 jam. Kreatinin serum diperiksa untuk

mengetahui fungsi ginjal, yang umumnya pada kehamilan kreatinin serum menurun. Asam

urat perlu diperiksa karena kenaikan asam urat biasanya dipakai sebagai tanda beratnya pre

eklampsia. Pemeriksaan EKG diperlukan pada hipertensi kronik. Seperti juga pada kehamilan

tanpa hipertensi, perlu pula dilakukan pemeriksaan gula darah dan kultur urin (Suhardjono,

2007).

Page 4: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Diagnosis hipertensi dalam kehamilan berarti adalah ditemukannya peningkatan

tekanan darah pada pemeriksaan vital sign. Standar pengukuran tekanan darah adalah sebagai

berikut. Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi duduk dengan posisi cuff setinggi

jantung. Adanya penekanan vena kava inferior oleh uterus gravid pada posisi berbaring dapat

mengganggu pengukuran sehingga terjadi pengukuran yang lebih rendah. Sebelum

pengukuran, wanita hamil dianjurkan untuk duduk tenang 5-10 menit (Gipson dan Carson,

2009).

Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu beristirahat 140/90 mmHg

atau lebih besar, fase ke V Korotkoff digunakan untuk menentukan tekanan darah diastolik.

Dahulu telah dianjurkan agar peningkatan tambahan tekanan diastolik 15 mmHg atau sistolik

30 mmHg digunakan sebagai kriteria diagnostik, bahkan apabila tekanan darah saat diukur di

bawah 140/90 mmHg. Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi dianjurkan karena bukti

menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan untuk mengalami efek

samping merugikan saat kehamilan. Sebagai tambahan, tekanan darah biasanya menurun

pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan diastolik pada primigravida dengan kehamilan

normotensi kadang-kadang naik sebesar 15 mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria

diagnostik karena hal tersebut juga banyak terjadi pada wanita hamil yang normotensi.

Oedem dianggap patologis bila menyeluruh dan meliputi tangan, muka, dan tungkai. Sebagai

catatan, oedem tidak selalu terdapat pada pasien preeklamsi maupun eklamsi (Brooks, 2005).

Kriteria diagnosis hipertensi dalam kehamilan rekomendasi dari The Associety of

Obstetrician and Gynaecologists of Canada (JOGC Vol 30 number 3, March 2008) adalah: 1.

Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan

primer, 2. Hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai tekanan diastolic >90 mmHg,

didapatkan pada minimal 2 kali pemeriksaan pada lengan yang sama, 3.Wanita dengan

sistolik >140mmHg harus dipantau untuk mengawasi adanya perkembangan kea rah

hipertensi diastolic, 4. Hipertensi berat, didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥160

mmHg atau tekanan darah diastolic ≥110mHg,5. Untuk hipertensi tidak berat, pemeriksaan

tekanan darah serial harus dicatat sebelum menegakkan diagnosis hipertensi, 6. Pada

hipertensi berat, konfirmasi pemeriksaan ulang dilakukan setelah 15 menit.

1. Hipertensi Gestasional

Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :

TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.

Page 5: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Tidak ada proteinuria.

TD kembali normal < 12 minggu postpartum.

Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.

Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri epigastrium atau

trombositopenia (Cunningham, 2005).

2. Pre Eklamsia dan Eklamsia

Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :

Kriteria minimal, yaitu :

TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.

Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.

Kemungkinan terjadinya preeklamsi :

TD 160/110 mmHg.

Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.

Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat.

Trombosit <100.000/mm3.

Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).

Peningkatan ALT atau AST.

Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.

Nyeri epigastrium persisten. (Cunningham, 2005)

Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas yang dapat

dilihat pada Tabel. Semakin banyak ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar

kemungkinan harus dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan

berat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan dapat berkembang dengan cepat

menjadi berat.

Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis preeklampsia,

tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut tingkat keparahan hipertensi dalam

kehamilan. Contohnya, pada wanita dewasa muda mungkin terdapat proteinuria +3 dan

kejang dengan tekanan darah 135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan

darah mencapai 180/120 mmHg tidak mengalami kejang. Peningkatan tekanan darah yang

Page 6: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

cepat dan diikuti dengan kejang biasanya didahului nyeri kepala berat yang persisten atau

gangguan visual.

Pada preeklamsia dapat terjadi komplikasi akibat tekanan darah yang tinggi sehingga

terjadi kejang. Kejang terjadi tanpa adanya riwayat epilepsy dan bukan merupakan proses

intracranial. Keadaan ini dikenal sebagai keadaan eklamsia.

Tabel Gejala berat hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, 2005)

3. Superimposed Preeclampsia

Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :

Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum ada sebelum

kehamilan 20 minggu.

Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah trombosit <100.000/mm3

pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu (Brooks, 2005)

Page 7: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

4. Hipertensi Kronis

Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :

Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.

Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu, kecuali bila ada penyakit

trofoblastik.

Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.

Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita hamil tidak

mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus, hipertensi kronis

didiagnosis sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan

darah yang meningkat sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan tanda awal

terjadinya preeklamsi.

Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan dialami selama

kehamilan dicatat pada Tabel 2.2. Hipertensi esensial merupakan penyebab dari penyakit

vaskular pada > 90% wanita hamil. Selain itu, obesitas dan diabetes adalah sebab umum

lainnya. Pada beberapa wanita, hipertensi berkembang sebagai konsekuensi dari penyakit

parenkim ginjal yang mendasari.Seperti:

Page 8: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah dapat meningkat

sampai tingkat abnormal, khususnya setelah 24 minggu. Jika disertai oleh proteinuria, maka

preeklamsi yang mendasarinya dapat didiagnosis. Preeklamsi yang mendasari hipertensi

kronis ini sering berkembang lebih awal pada kehamilan daripada preeklamsi murni, dan hal

ini cenderung akan menjadi lebih berat dan sering menyebabkan hambatan dalam

pertumbuhan janin. Indikator tentang beratnya hipertensi sudah diperlihatkan pada Tabel 2.1

dan digunakan juga untuk menggolongkan preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis

tersebut (Cunningham, 2005).

PENATALAKSANAAN

Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk menentukan kondisi tekanan

darahnya. Jika terdapat hipertensi, dapat ditentukan beratnya, sebab sekunder yang mungkin,

kerusakan target organ, dan rencana strategis penatalaksanaannya. Kebanyakan wanita

penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan harus menjalani skrining adanya

faeokromositoma karena angka morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi apabila keadaan ini

tidak terdiagnosa pada ante partum.

Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering pada akhir trimester

untuk menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil dengan tekanan darah yang tinggi (140/90

mmHg) akan dievaluasi di rumah sakit sekitar 2-3 hari untuk menentukan beratnya

hipertensi. Wanita hamil dengan hipertensi yang berat akan dievaluasi secara ketat bahkan

dapat dilakukan terminasi kehamilan. Wanita hamil dengan penyakit yang ringan dapat

menjalani rawat jalan.

Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan, penting diketahui

mengenai penggantian medikasi anti hipertensi yang telah diketahui aman digunakan selama

Page 9: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

kehamilan, seperti metildopa atau beta bloker. Penghambat ACE dan ARB jangan dilanjutkan

sebelum terjadinya konsepsi atau segera setelah kehamilan terjadi.

Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita dengan hipertensi berat, terutama

apabila terdapat hipertensi yang persisten atau bertambah berat atau munculnya proteinuria.

Evaluasi secara sistematis meliputi :

Pemeriksaan detil diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala klinis seperti sakit kepala,

pandangan kabur, nyeri epigastrium, dan penambahan berat badan secara cepat.

Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap hari setelahnya.

Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari.

Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam kecuali saat pertengahan

tengah malam dengan pagi hari.

Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum enzim hati, frekuensi

pemeriksaan tergantung beratnya penyakit.

Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara klinis dan dengan

menggunakan ultrasonografi (Brooks, 2004).

Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas sehari-harinya yang

berlebihan. Tirah baring total tidak diperlukan, begitu pula dengan pemberian sedatif. Diet

harus mengandung protein dan kalori dalam jumlah yang cukup. Pembatasan garam tidak

diperlukan asal tidak berlebihan (Cunningham, 2005).

1. Pengobatan Hipertensi Kronis

Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk komplikasi

kardiovaskular selama kehamilan dan hanya menjalani terapi perubahan gaya hidup karena

tidak ada bukti bahwa terapi farmakologis meningkatkan prognosis neonatal. Lebih lanjut

lagi, tekanan darah biasanya menurun pada awal kehamilan, disamping itu hipertensi mudah

di kontrol dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi gaya hidup, latihan aerobik ringan harus

dibatasi berdasarkan teori yang menyatakan bahwa aliran darah plasenta yang inadekuat

dapat meningkatkan risiko preeklampsia. Walaupun data pada wanita hamil bervariasi,

banyak ahli yang merekomendasikan restriksi intake garam sebesar 2,4 gram. Penggunaan

alkohol dan rokok harus dihentikan (Gibson dan Carson, 2007).

Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum kehamilan sehingga obat-

obat yang memiliki efek berbahaya terhadap janin dapat diganti dengan obat lain seperti

metildopa dan labetalol. Metil dopa merupakan obat anti hipertensi yang umum digunakan

Page 10: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

dan tetap menjadi obat pilihan karena tingkat keamanan dan efektivitasnya yang baik.

Banyak wanita yang diterapi dengan diuretika, akan tetapi apakah terapi diuretik dilanjutkan

selama kehamilan masih menjadi bahan perdebatan. Terapi diuretik berguna pada wanita

dengan hipertensi sensitif garam atau disfungsi diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus

dihentikan apabila terjadi preeklamsi atau tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat.

Keputusan untuk memulai terapi anti hipertensi pada hipertensi kronis tergantung dari

beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit kardiovaskular yang mendasari, dan potensi

kerusakan target organ. Obat lini pertama yang biasanya dipergunakan adalah metil dopa.

Bila terdapat kontra indikasi (menginduksi kerusakan hepar) maka obat lain seperti nifedipin

atau labetalol dapat digunakan (Cunningham, 2005).\

Page 11: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

\

Tidak ada agen antihipertensi yang aman digunakan pada trimester pertama. Terapi

dengan obat diindikasikan pada hipertensi kronis tanpa komplikasi dan saat tekanan diastolic

≥100mmHg. Tatalaksana dengan dosis yang lebih rendah diberikan pada pasien dengan

diabetes mellitus, gagal ginjal, atau kerusakan organ target.

Page 12: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

2. Pilihan obat antihipertensi pada Preeklampsia dan Eklamsia

Prinsip pengobatan antihipertensi pada pasien dengan preeklamsia dan eklamsia

adalah untuk mencegah hipertensi meningkat secara progresif, mempertahankan tekanan

darah pada level yang memiliki resiko terendah terhadap gangguan kardiovaskular dan

serebrovaskular pada ibu (Abalos et.al, 2007). Pada keadaan hipertensi yang berat dalam

kehamilan, didefinisikan sebagai tekanan darah > 160/110mmHg, keadaan ini membutuhkan

pengobatan karena pada keadaan ini terjadi peningkatan resiko terjadinya perdarahaan

cerebral, terapi pada keadaan ini untuk mencegah kematian ibu. Target pengobatan terhadap

kedaruratan hipertensi berat dalam kehamilan adalah penurunan tekanan diastolic menjadi

90-100mmHg.

Tabel Pilihan obat dalam control kedaruratan pada Hipertensi Berat dalam kehamilan

Page 13: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Pada keadaan hipertensi ensefalopati, perdarahan, atau eklamsia membutuhkan terapi

antihipertensi parenteral untuk menurunkan mean arterial pressure. Wanita dengan

preeklamsia,perlu pertimbangan dalam memberikan terapi hipertensi berat yang akut.

Diberikan dosis yang lebih rendah karena pada pasien ini terjadi deplesi volume intravascular

dan meningkatnya resiko terjadi hipotensi.

3. Pengelolaan hipertensi pasca melahirkan

Pada masa post partum, wanita hamil yang sebelumnya normotensive mengalami

peningkatan tekanan darah, maksimum pada hari kelima post partum, dan pada 1 penelitian

12% pasien mencapai tekanan diastolik yang melebihi 100 mmHg. Hal ini diduga

konsekuensi dari ekspansi volume fisiologis dan pergerakan cairan pada periode post partum.

Periode pemulihan tekanan darah secara alamiah dalam hipertensi gestational dan

preeklamsia tidak diketahui. Tidak ada literature yang pasti mengenai obat antihipertensi

pada periode post partum. Tan dan de Swiet (2002) menyarankan bahwa obat-obatan

Page 14: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

antihipertensi diberikan jika tekanan darah sistolik melebihi 150 mmHg atau tekanan darah

diastolic melebihi 100 mmHg dalam 4 hari pertama periode post partum. Pilihan agen

antihipertensi pada periode post partum dipengaruhi juga dengan keadaan menyusui, tetapi

pada umumnya agen yang digunakan dalam periode antepartum dilanjutkan hingga post

partum (tabel 2.3). Medikasi dihentikan ketika tekanan darah berangsur normal. Hal ini dapat

terjadi dalam hari bahkan hingga beberapa minggu pasca melahirkan (Beardmore dan Morris,

2002).

Dalam suatu kasus wanita dengan preeklamsia berat, tampak beberapa manfaat

pemberian diuresik furosemide pada periode pasca melahirkan, khususnya untuk pasien

dengan hipertensi disertai gejala edema paru dan edema perifer.

4. Penggunaan antihipertensi masa menyusui

Belum ada penelitian yang dirancang dengan baik untuk menilai efek neonatal dari

obat antihipertensi yang dikonsumsi ibu dan kemudian dikeluarkan melalui ASI. Pengaruh

obat yang ditelan oleh bayi menyusu tergantung pada volume yang ditelan, interval antara

minum obat dan menyusui, oral bioavailability, dan kapasitas bayi untuk mengekskresi obat.

Neonatus yang terpapar methyldopa saat menyusu masih dalam batas aman dan biasanya

kemungkinannya kecil (tabel 2.5). Atenolol dan metoprolol yang terkonsentrasi di ASI, dapat

mencapai konsentrasi yang memiliki efek terhadap bayi. Sebaliknya, paparan labetalol dan

propranolol konsentrasinya rendah. Meskipun konsentrasi diuretik dalam susu rendah dan

dianggap aman, agen ini dapat secara signifikan mengurangi produksi susu. Terdapat laporan

bahwa Calsium channel blocker dapat masuk ke dalam air susu ibu, akan tetapi tanpa efek

samping. Terdapat cukup data yang memaparkan keamanan 2 obat dari golongan

ACEinhibitor, yakni captopril dan enalapril konsentrasi captopril adalah 1% dari yang

ditemukan dalam darah, dengan konsentrasi yang diterima bayi 0.03% dari dosis reguler

(Shannon et.al, 2000). Kadar enalapril tidak signifikan berada di ASI, berdasarkan penelitian

ini, American Academy of Pediatrics menganggap obat ini dapat diterima pada masa

menyusui. Saat ini tidak cukup data pada penelitian terhadap angiotensin II receptor blocker;

variasi kadar obat dalam ASI hewan coba sangat tinggi dan sebagai rekomendasi keamanan,

obat jenis ini tidak diberikan (Tiina dan Phyllis, 2008).

Tabel. Pengobatan antihipertensi ibu yang dapat digunakan saat masa menyusui

Page 15: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

PILIHAN OBAT ANTIHIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah

menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih memperhatikan

keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak disukai adalah metil dopa, berdasarkan laporan

tentang stabilnya aliran darah uteroplasental dan hemodinamika janin dan ketiadaan efek

samping yang buruk pada pertumbuhan anak yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan

(Abalos, 2007).

Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi obat anti

hipertensi dan rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika persalinan

terjadi lebih dari 48 jam kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena keamanannya.

Alternatif lain seperti labetalol oral dan beta bloker serta antagonis kalsium juga dapat

dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian antihipertensi parenteral lebih

praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi persalinan pada tekanan darah

diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan menurunkannya sampai 95-105 mmHg

(Cunningham, 2005).

Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan :

1. Metildopa

Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti hipertensi yang telah

terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total

perifer tanpa menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat ini

menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral α-2 lewat α-metil

Page 16: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi

sebagai penghambat α-2 perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan

sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu,

metil dopa biasanya dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak

hamil. Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi

2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah

dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah

sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat menyebabkan

anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk memberhentikan obat ini (Cunningham,

2005).

2. Hidralazin

Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang dapat

menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil respon simpatis

sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting

karena dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme oleh hepar.

Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol mencapai 110 mmHg atau

lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg

setiap interval 15-20 menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah

diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek

puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing,

dizziness, palpitasi, dan angina. Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian

perdarahan serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus

preeklamsi (Cunningham, 2005).

3. Labetalol

Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat α1-adrenergik

post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena.

Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok β 1 dan non selektif β, dan

digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah penelitian

yang membandingkan labetalol dengan hidralazine menunjukkan bahwa labetalol

menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine

menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg

intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg labetalol.

Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis

Page 17: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja

adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian

labetalol secara intra vena tidak mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman

membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu maupun janin. Menurut

NHBPEP, pemberian labetalol tidak melebihi 220 mg tiap episode pengobatan (Reynold et.al,

2003).

4. Klonidin

Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan dosis 0.1

mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari.

Tekanan darah menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam.

Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output menurun

namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping adalah xerostomia dan sedasi.

Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi yang dapat diatasi dengan

pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang belum ada penelitian besar yang mempelajari

klonidin seperti metil dopa (Reynold, 2003).

5. Prazosin

Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat ini dapat

menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga

menurunkan preload dan afterload. Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan

laju jantung, curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini

dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi obat melalui kandung

empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan, absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh

menjadi lebih panjang. Dalam sebuah penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit

pada wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90 menit

setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan pemberian sebelum tidur. Percobaan

binatang menunjukkan tidak ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat

sehingga sering dikombinasikan dengan beta bloker (Reynold, 2003).

6. Diuretik

Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga curah jantung dan

tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi vaskular akibat konsentrasi sodium

interselular pada sel otot polos.

Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi plasenta karena efek segera

meliputi pengurangan volume intravaskular, dimana volume tersebut sudah berkurang akibat

Page 18: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh karena itu, diuretik tidak lagi

digunakan untuk menurunkan tekanan darah karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi

darah ibu dan menyebabkan efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat

ante partum dibatasi pada kasus khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat diuretika

seperti triamterene dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat meningkatkan

risiko defek janin (Reynold, 2003).

7. ACE-inhibitor

Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang mengkonversi

angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor poten), tanpa penurunan curah jantung.

Sebagai tambahan, obat ini juga meningkatkan sintesis prostaglandin vasodilatasi dan

menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini seperti captopril,

enalapril, dam lisinopril (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2004).

8. Obat anti hipertensi lain

NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini menginhibisi

influk transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan

kontraksi coupling di jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan

resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis 10 mg oral dan diulang

tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga

memiliki masalah utama hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut

penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa dapat terjadi

penurunan tekanan darah yang cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan

ini, nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal.

Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih memerlukan penelitian lebih

lanjut untuk digunakan dalam kehamilan (Reynold, 2003).

Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg per jam

dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin

dapat digunakan baik secara oral maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan darah

pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini dinyatakan pada penelitian yang dilakukan

oleh Belforts dan kawan-kawan. Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan

hasil yang baik menurut penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak

direkomendasikan lagi oleh NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap pemberian

hidralazin, labetalol atau nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi

arteri dan vena tanpa efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2 menit,

puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5 menit. Obat ini sangat efektif

Page 19: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

dalam mengontrol tekanan darah dalam hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan

obat secara intra vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non parturien karena efek samping

toksisitas sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan merupakan pemblok ganglionik

yang digunakan oleh ahli anestesi dalam menurunkan tekanan darah sebelum laringoskopi

dan intubasi untuk anestesi umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus mekonium.

Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai vasodilator vena yang tampak aman bagi

janin. Obat ini merupakan anti hipertensi potensi sedang (Cunningham, 2005).

Page 20: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

DAFTAR PUSTAKA

Abalos E, Duley L, Steyn D, dan Henderson-Smart D. 2007. Antihypertensive drug therapy

for mild to moderate hypertension during pregnancy. http:

//hyper.ahajournals.org/content/51/4/960.

AJOG. 2000. Working group on high blood pressure in keywords: eclampsia, hypertension,

preeclampsia, pregnancy, treatment. American Journal of Obstetrics and Gynecology. 183(1)

August P. 2009. Management of Hypertension in Pregnancy. http

://www.uptodate.com/patients/content/topic.

Beardmore KS dan Morris JM. 2002. Excretion of antihypertensive medication into human

breast milk: a systematic review. Hypertensi Pregnancy.

Brooks M. 2005. Pregnancy and Preeclampsia. http : //www.emedicine.com. (1 Januari

2013).

Cunningham FG. 2005. Obstetri William Edisi 21. Jakarta: EGC.

Davis GK, Mackenzie C, Brown MA, Homer CS, Holt J, dan McHugh Mangos G. 2007.

Predicting transformation from gestational hypertension preeclampsia in clinical practice: a

possible role for 24 hour ambulat blood pressure monitoring. Hypertens Pregnancy.

Gibson P dan Carson M. 2009. Hypertension and Pregnancy. http :

//emedicine.medscape.com/article/261435.

Levine RJ, Maynard SE, Qian C, Lim KH, England LJ, Yu KF, Schisterman EF, Thadhani R,

Sachs BP, Epstein FH, Sibai BM, Sukhatme VP, dan Karumanchi SA. 2004. Circulating

angiogenic factors and the risk of preeclampsia. N Engl J Med. 350.

National Heart, Lung, and Blood Institute, Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment

of High Blood Pressure. 2004. The Seventh Report of the Joint National Committee. NIH

publication.

Purwanto B. 2009. Pathogenesis, Etiology, and Management of Hypertension and Nefrotoxic

Agents. Disampaikan pada Half Day Simposium: Renal Disease Induced by Nefrotoxic

Agents. Surakarta

Reynolds C, Mabie W, dan Sibai B. 2003. Hypertensive States of Pregnancy. In: Current

Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-9. New York : McGraw-Hill,

pp: 338-353

Roeshadi RH. 2004. Hipertensi dalam Kehamilan. In:Hariadi R. Ilmu kedokteran

fetomaternal. Surabaya: Himpunan Kedokteran fetomaternal POGI.

Page 21: HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Shannon ME, Malecha SE, dan Cha AJ. Angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEIs)

and angiotensin II receptor blockers (ARBs) and lactation: an update. J Hum Lact.

2000.16:152–155.

Suhardjono. 2007. Hipertensi pada Kehamilan. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit

Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 614-15.

Tan LK dan de Swiet M. The management of postpartum hypertension. Bjog. 2002;109:733–

736.

Tiina P dan August P. 2008. Update on the Use of Antihypertensive Drugs in Pregnancy.

http://hyper.ahajournals.org/.

Yogiantoro M. 2007. Hipertensi Esensial. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit

Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 610-14.