HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
-
Upload
dwi-endra-juli-pradito -
Category
Documents
-
view
245 -
download
0
description
Transcript of HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Definisi dan Klasifikasi
Terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi hipertensi pada hipertensi secara
umum dengan hipertensi dalam kehamilan. NHBPEP (National High Blood Pressure
Education Working Group Report on High Blood Pressure in Pregnancy) memiliki klasifikasi
tersendiri karena pada kehamilan, terjadi beberapa perubahan hemodinamik yang
mempengaruhi tekanan darah.
Tabel Perbedaan Klasifikasi Kriteria Hipertensi Hamil dan Tidak Hamil
\
Hipertensi dalam kehamilan memiliki terminology tersendiri. Disadur dari Report on the
National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in
Pregnancy (AJOG Vol 183 : S1, July 2000),
Hipertensi dalam kehamilan meliputi:
1. Hipertensi Gestasional
Didapatkan tekanan darah ≥ 140/90 mmHg untuk pertama kalinya pada kehamilan,
tidak disertai dengan proteinuria dan tekanan darah kembali normal < 12 minggu pasca
persalinan.
Hipertensi gestasional terjadi sekitar 6% dari total kehamilan dan separuhnya
berkembang menjadi preeklamsia dengan ditemukannya proteinuri. Diagnosis pasti sering
dibuat di belakang, Jika tes laboratorium tetap normal dan tekanan darah menurun pasca
melahirkan, maka diagnosisnya adalah hipertensi gestational (sebelumnya disebut transcient
hypertension). Wanita dengan hipertensi gestational harus dianggap beresiko terjadinya
preeklamsia, yang dapat berkembangkan setiap saat, termasuk minggu pertama pasca
melahirkan. Sekitar 15% hingga 45% perempuan awalnya didiagnosis dengan hipertensi
gestational akan mengembangkan preeklamsia, dan kemungkinan lebih besar pada pasien
yang memiliki riwayat preeklamsia sebelumnya, miscarriage, dan riwayat hipertensi
kehamilan sebelumnya (Davis et.al, 2007).
2. Preeklamsi
Preeclampsia adalah sindrom yang memiliki manifestasi klinis seperti new-onset
hypertension pada saat kehamilan (setelah usia kehamilan 20 minggu, tetapi biasanya
mendekati hari perkiraan lahir), berhubungan dengan proteinuria: 1+ dipstick atau 300 mg
dalam 24 jam urin tampung. Sindrom ini terjadi pada 5 - 8 % dari seluruh kehamilan.
Pengobatan antihipertensi pada pasien ini bukan ditujukkan untuk menyembuhkan atau
memulihkan preeklamsia. Preeklamsia dapat berkembangkan secara tiba-tiba pada wanita
muda, pada wanita yang sebelumnya normotensive, sehingga perlu pencegahan gangguan
kardiovaskular dan serebrovaskular sebagai konsekuensi dari berat dan cepat peningkatan
tekanan darah, hal ini adalah tujuan utama manajemen klinis yang membutuhkan
kebijaksanaan penggunaan obat antihipertensi (Levine et.al, 2004).
3. Eklamsi
Serangan konvulsi pada wanita dengan preeklampsia yang tidak dapat dihubungkan
dengan sebab lainnya disebut eklamsi. Konvulsi terjadi secara general dan dapat terlihat
sebelum, selama, atau setelah melahirkan. Pada studi terdahulu, sekitar 10% wanita eklamsi,
terutama nulipara, serangan tidak muncul hingga 48 jam setelah postpartum. Setelah
perawatan prenatal bertambah baik, banyak kasus antepartum dan intrapartum sekarang dapat
dicegah, dan studi yang lebih baru melaporkan bahwa seperempat serangan eklampsia terjadi
di luar 48 jam postpartum (Cunningham, 2005).
4. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsi
Timbulnya proteinuria ≥ 300 mg/ 24 jam pada wanita hamil yang sudah mengalami
hipertensi sebelumnya. Proteinuria hanya timbul setelah kehamilan 20 minggu.
5. Hipertensi kronik (preexisting hypertention)
Ditemukannya tekanan darah ≥ 140/ 90 mmHg, sebelum kehamilan atau sebelum
kehamilan 20 minggu dan tidak menghilang setelah 12 minggu pasca persalinan. Wanita usia
subur dengan hipertensi esensial stage I yang tidak memiliki kerusakan organ target dan
dalam kondisi kesehatan yang baik memiliki prognosis yang baik dalam kehamilan.
Walaupun terdapat peningkatan resiko terjadi superimposed preeclampsia, akan tetapi secara
fisiologi akan terjadi penurunan tekanan darah selama kehamilan dan penurunan kebutuhan
terhadap agen antihipertensi. Capaian tatalaksananya adalah mempertahankan tekanan darah
pada level yang memiliki resiko gangguan kardiovaskular dan serebrovaskular pada ibu yang
minimal (Abalos et.al, 2007).
Kadang-kadang, wanita dengan hypertensi kehamilan akan tetap hipertensi setelah
melahirkan. Pada pasien ini kemungkinan besar memiliki hipertensi kronis yang sudah ada
sebelumnya, yang tertutup/tak tampak di awal kehamilan oleh karena respon fisiologis dari
kehamilan yakni vasodilasi. Kejadian hipertensi pada periode pasca melahirkan dan waktu
maksimum untuk normalisasi tekanan darah belum diketahui. Pada umumnya, hipertensi >
140/90 mm Hg menetap lebih dari 3 bulan pasca melahirkan didignosis sebagai hipertensi
kronis.
DIAGNOSIS
Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan laboratorium guna
memantau perubahan dalam hematologi, ginjal, dan hati yang dapat mempengaruhi prognosis
pasien dan janinnya. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk memantau pasien
hipertensi dalam kehamilan adalah hemoglobin dan hematokrit untuk memantau
hemokonsentrasi yang mendukung diagnosis hipertensi gestasional. Pemeriksaan enzim AST,
ALT, dan LDH untuk mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui adanya
proteinuria atau jumlah ekskresi protein urin 24 jam. Kreatinin serum diperiksa untuk
mengetahui fungsi ginjal, yang umumnya pada kehamilan kreatinin serum menurun. Asam
urat perlu diperiksa karena kenaikan asam urat biasanya dipakai sebagai tanda beratnya pre
eklampsia. Pemeriksaan EKG diperlukan pada hipertensi kronik. Seperti juga pada kehamilan
tanpa hipertensi, perlu pula dilakukan pemeriksaan gula darah dan kultur urin (Suhardjono,
2007).
Diagnosis hipertensi dalam kehamilan berarti adalah ditemukannya peningkatan
tekanan darah pada pemeriksaan vital sign. Standar pengukuran tekanan darah adalah sebagai
berikut. Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi duduk dengan posisi cuff setinggi
jantung. Adanya penekanan vena kava inferior oleh uterus gravid pada posisi berbaring dapat
mengganggu pengukuran sehingga terjadi pengukuran yang lebih rendah. Sebelum
pengukuran, wanita hamil dianjurkan untuk duduk tenang 5-10 menit (Gipson dan Carson,
2009).
Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu beristirahat 140/90 mmHg
atau lebih besar, fase ke V Korotkoff digunakan untuk menentukan tekanan darah diastolik.
Dahulu telah dianjurkan agar peningkatan tambahan tekanan diastolik 15 mmHg atau sistolik
30 mmHg digunakan sebagai kriteria diagnostik, bahkan apabila tekanan darah saat diukur di
bawah 140/90 mmHg. Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi dianjurkan karena bukti
menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan untuk mengalami efek
samping merugikan saat kehamilan. Sebagai tambahan, tekanan darah biasanya menurun
pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan diastolik pada primigravida dengan kehamilan
normotensi kadang-kadang naik sebesar 15 mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria
diagnostik karena hal tersebut juga banyak terjadi pada wanita hamil yang normotensi.
Oedem dianggap patologis bila menyeluruh dan meliputi tangan, muka, dan tungkai. Sebagai
catatan, oedem tidak selalu terdapat pada pasien preeklamsi maupun eklamsi (Brooks, 2005).
Kriteria diagnosis hipertensi dalam kehamilan rekomendasi dari The Associety of
Obstetrician and Gynaecologists of Canada (JOGC Vol 30 number 3, March 2008) adalah: 1.
Pemeriksaan tekanan darah harus dilakukan di rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan
primer, 2. Hipertensi dalam kehamilan didefinisikan sebagai tekanan diastolic >90 mmHg,
didapatkan pada minimal 2 kali pemeriksaan pada lengan yang sama, 3.Wanita dengan
sistolik >140mmHg harus dipantau untuk mengawasi adanya perkembangan kea rah
hipertensi diastolic, 4. Hipertensi berat, didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥160
mmHg atau tekanan darah diastolic ≥110mHg,5. Untuk hipertensi tidak berat, pemeriksaan
tekanan darah serial harus dicatat sebelum menegakkan diagnosis hipertensi, 6. Pada
hipertensi berat, konfirmasi pemeriksaan ulang dilakukan setelah 15 menit.
1. Hipertensi Gestasional
Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :
TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.
Tidak ada proteinuria.
TD kembali normal < 12 minggu postpartum.
Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.
Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri epigastrium atau
trombositopenia (Cunningham, 2005).
2. Pre Eklamsia dan Eklamsia
Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :
Kriteria minimal, yaitu :
TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.
Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.
Kemungkinan terjadinya preeklamsi :
TD 160/110 mmHg.
Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.
Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat.
Trombosit <100.000/mm3.
Hemolisis mikroangiopati (peningkatan LDH).
Peningkatan ALT atau AST.
Nyeri kepala persisten atau gangguan penglihatan atau cerebral lain.
Nyeri epigastrium persisten. (Cunningham, 2005)
Beratnya preeklamsi dinilai dari frekuensi dan intensitas abnormalitas yang dapat
dilihat pada Tabel. Semakin banyak ditemukan penyimpangan tersebut, semakin besar
kemungkinan harus dilakukan terminasi kehamilan. Perbedaan antara preeklamsi ringan dan
berat sulit dibedakan karena preeklamsi yang tampak ringan dapat berkembang dengan cepat
menjadi berat.
Meskipun hipertensi merupakan syarat mutlak dalam mendiagnosis preeklampsia,
tetapi tekanan darah bukan merupakan penentu absolut tingkat keparahan hipertensi dalam
kehamilan. Contohnya, pada wanita dewasa muda mungkin terdapat proteinuria +3 dan
kejang dengan tekanan darah 135/85 mmHg, sedangkan kebanyakan wanita dengan tekanan
darah mencapai 180/120 mmHg tidak mengalami kejang. Peningkatan tekanan darah yang
cepat dan diikuti dengan kejang biasanya didahului nyeri kepala berat yang persisten atau
gangguan visual.
Pada preeklamsia dapat terjadi komplikasi akibat tekanan darah yang tinggi sehingga
terjadi kejang. Kejang terjadi tanpa adanya riwayat epilepsy dan bukan merupakan proses
intracranial. Keadaan ini dikenal sebagai keadaan eklamsia.
Tabel Gejala berat hipertensi dalam kehamilan (Cunningham, 2005)
3. Superimposed Preeclampsia
Kriteria diagnosis Superimposed Preeclampsia adalah :
Proteinuria 300 mg/24 jam pada wanita dengan hipertensi yang belum ada sebelum
kehamilan 20 minggu.
Peningkatan tiba-tiba proteinuria atau tekanan darah atau jumlah trombosit <100.000/mm3
pada wanita dengan hipertensi atau proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu (Brooks, 2005)
4. Hipertensi Kronis
Diagnosis hipertensi kronis yang mendasari dilakukan apabila :
Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) terbukti mendahului kehamilan.
Hipertensi (≥ 140/90 mmHg) diketahui sebelum 20 minggu, kecuali bila ada penyakit
trofoblastik.
Hipertensi berlangsung lama setelah kelahiran.
Hipertensi kronis dalam kehamilan sulit didiagnosis apalagi wanita hamil tidak
mengetahui tekanan darahnya sebelum kehamilan. Pada beberapa kasus, hipertensi kronis
didiagnosis sebelum kehamilan usia 20 minggu, tetapi pada beberapa wanita hamil, tekanan
darah yang meningkat sebelum usia kehamilan 20 minggu mungkin merupakan tanda awal
terjadinya preeklamsi.
Sebagian dari banyak penyebab hipertensi yang mendasari dan dialami selama
kehamilan dicatat pada Tabel 2.2. Hipertensi esensial merupakan penyebab dari penyakit
vaskular pada > 90% wanita hamil. Selain itu, obesitas dan diabetes adalah sebab umum
lainnya. Pada beberapa wanita, hipertensi berkembang sebagai konsekuensi dari penyakit
parenkim ginjal yang mendasari.Seperti:
Pada beberapa wanita dengan hipertensi kronis, tekanan darah dapat meningkat
sampai tingkat abnormal, khususnya setelah 24 minggu. Jika disertai oleh proteinuria, maka
preeklamsi yang mendasarinya dapat didiagnosis. Preeklamsi yang mendasari hipertensi
kronis ini sering berkembang lebih awal pada kehamilan daripada preeklamsi murni, dan hal
ini cenderung akan menjadi lebih berat dan sering menyebabkan hambatan dalam
pertumbuhan janin. Indikator tentang beratnya hipertensi sudah diperlihatkan pada Tabel 2.1
dan digunakan juga untuk menggolongkan preeklamsi yang mendasari hipertensi kronis
tersebut (Cunningham, 2005).
PENATALAKSANAAN
Setiap wanita harus dievaluasi sebelum konsepsi untuk menentukan kondisi tekanan
darahnya. Jika terdapat hipertensi, dapat ditentukan beratnya, sebab sekunder yang mungkin,
kerusakan target organ, dan rencana strategis penatalaksanaannya. Kebanyakan wanita
penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan harus menjalani skrining adanya
faeokromositoma karena angka morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi apabila keadaan ini
tidak terdiagnosa pada ante partum.
Pada umumnya, frekuensi kunjungan antenatal menjadi sering pada akhir trimester
untuk menemukan awal preeklamsi. Wanita hamil dengan tekanan darah yang tinggi (140/90
mmHg) akan dievaluasi di rumah sakit sekitar 2-3 hari untuk menentukan beratnya
hipertensi. Wanita hamil dengan hipertensi yang berat akan dievaluasi secara ketat bahkan
dapat dilakukan terminasi kehamilan. Wanita hamil dengan penyakit yang ringan dapat
menjalani rawat jalan.
Pada wanita penderita hipertensi yang merencanakan kehamilan, penting diketahui
mengenai penggantian medikasi anti hipertensi yang telah diketahui aman digunakan selama
kehamilan, seperti metildopa atau beta bloker. Penghambat ACE dan ARB jangan dilanjutkan
sebelum terjadinya konsepsi atau segera setelah kehamilan terjadi.
Perawatan di rumah sakit dipertimbangkan pada wanita dengan hipertensi berat, terutama
apabila terdapat hipertensi yang persisten atau bertambah berat atau munculnya proteinuria.
Evaluasi secara sistematis meliputi :
Pemeriksaan detil diikuti pemeriksaan harian terhadap gejala klinis seperti sakit kepala,
pandangan kabur, nyeri epigastrium, dan penambahan berat badan secara cepat.
Penimbangan berat badan saat masuk rumah sakit dan setiap hari setelahnya.
Analisis proteinuria saat masuk rumah sakit dan setiap 2 hari.
Pengukuran tekanan darah dengan posisi duduk setiap 4 jam kecuali saat pertengahan
tengah malam dengan pagi hari.
Pengukuran serum kreatinin, hematokrit, trombosit, dan serum enzim hati, frekuensi
pemeriksaan tergantung beratnya penyakit.
Evaluasi berkala tentang ukuran janin dan cairan amnion secara klinis dan dengan
menggunakan ultrasonografi (Brooks, 2004).
Selain itu, pasien juga dianjurkan mengurangi aktivitas sehari-harinya yang
berlebihan. Tirah baring total tidak diperlukan, begitu pula dengan pemberian sedatif. Diet
harus mengandung protein dan kalori dalam jumlah yang cukup. Pembatasan garam tidak
diperlukan asal tidak berlebihan (Cunningham, 2005).
1. Pengobatan Hipertensi Kronis
Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk komplikasi
kardiovaskular selama kehamilan dan hanya menjalani terapi perubahan gaya hidup karena
tidak ada bukti bahwa terapi farmakologis meningkatkan prognosis neonatal. Lebih lanjut
lagi, tekanan darah biasanya menurun pada awal kehamilan, disamping itu hipertensi mudah
di kontrol dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi gaya hidup, latihan aerobik ringan harus
dibatasi berdasarkan teori yang menyatakan bahwa aliran darah plasenta yang inadekuat
dapat meningkatkan risiko preeklampsia. Walaupun data pada wanita hamil bervariasi,
banyak ahli yang merekomendasikan restriksi intake garam sebesar 2,4 gram. Penggunaan
alkohol dan rokok harus dihentikan (Gibson dan Carson, 2007).
Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum kehamilan sehingga obat-
obat yang memiliki efek berbahaya terhadap janin dapat diganti dengan obat lain seperti
metildopa dan labetalol. Metil dopa merupakan obat anti hipertensi yang umum digunakan
dan tetap menjadi obat pilihan karena tingkat keamanan dan efektivitasnya yang baik.
Banyak wanita yang diterapi dengan diuretika, akan tetapi apakah terapi diuretik dilanjutkan
selama kehamilan masih menjadi bahan perdebatan. Terapi diuretik berguna pada wanita
dengan hipertensi sensitif garam atau disfungsi diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus
dihentikan apabila terjadi preeklamsi atau tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat.
Keputusan untuk memulai terapi anti hipertensi pada hipertensi kronis tergantung dari
beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit kardiovaskular yang mendasari, dan potensi
kerusakan target organ. Obat lini pertama yang biasanya dipergunakan adalah metil dopa.
Bila terdapat kontra indikasi (menginduksi kerusakan hepar) maka obat lain seperti nifedipin
atau labetalol dapat digunakan (Cunningham, 2005).\
\
Tidak ada agen antihipertensi yang aman digunakan pada trimester pertama. Terapi
dengan obat diindikasikan pada hipertensi kronis tanpa komplikasi dan saat tekanan diastolic
≥100mmHg. Tatalaksana dengan dosis yang lebih rendah diberikan pada pasien dengan
diabetes mellitus, gagal ginjal, atau kerusakan organ target.
2. Pilihan obat antihipertensi pada Preeklampsia dan Eklamsia
Prinsip pengobatan antihipertensi pada pasien dengan preeklamsia dan eklamsia
adalah untuk mencegah hipertensi meningkat secara progresif, mempertahankan tekanan
darah pada level yang memiliki resiko terendah terhadap gangguan kardiovaskular dan
serebrovaskular pada ibu (Abalos et.al, 2007). Pada keadaan hipertensi yang berat dalam
kehamilan, didefinisikan sebagai tekanan darah > 160/110mmHg, keadaan ini membutuhkan
pengobatan karena pada keadaan ini terjadi peningkatan resiko terjadinya perdarahaan
cerebral, terapi pada keadaan ini untuk mencegah kematian ibu. Target pengobatan terhadap
kedaruratan hipertensi berat dalam kehamilan adalah penurunan tekanan diastolic menjadi
90-100mmHg.
Tabel Pilihan obat dalam control kedaruratan pada Hipertensi Berat dalam kehamilan
Pada keadaan hipertensi ensefalopati, perdarahan, atau eklamsia membutuhkan terapi
antihipertensi parenteral untuk menurunkan mean arterial pressure. Wanita dengan
preeklamsia,perlu pertimbangan dalam memberikan terapi hipertensi berat yang akut.
Diberikan dosis yang lebih rendah karena pada pasien ini terjadi deplesi volume intravascular
dan meningkatnya resiko terjadi hipotensi.
3. Pengelolaan hipertensi pasca melahirkan
Pada masa post partum, wanita hamil yang sebelumnya normotensive mengalami
peningkatan tekanan darah, maksimum pada hari kelima post partum, dan pada 1 penelitian
12% pasien mencapai tekanan diastolik yang melebihi 100 mmHg. Hal ini diduga
konsekuensi dari ekspansi volume fisiologis dan pergerakan cairan pada periode post partum.
Periode pemulihan tekanan darah secara alamiah dalam hipertensi gestational dan
preeklamsia tidak diketahui. Tidak ada literature yang pasti mengenai obat antihipertensi
pada periode post partum. Tan dan de Swiet (2002) menyarankan bahwa obat-obatan
antihipertensi diberikan jika tekanan darah sistolik melebihi 150 mmHg atau tekanan darah
diastolic melebihi 100 mmHg dalam 4 hari pertama periode post partum. Pilihan agen
antihipertensi pada periode post partum dipengaruhi juga dengan keadaan menyusui, tetapi
pada umumnya agen yang digunakan dalam periode antepartum dilanjutkan hingga post
partum (tabel 2.3). Medikasi dihentikan ketika tekanan darah berangsur normal. Hal ini dapat
terjadi dalam hari bahkan hingga beberapa minggu pasca melahirkan (Beardmore dan Morris,
2002).
Dalam suatu kasus wanita dengan preeklamsia berat, tampak beberapa manfaat
pemberian diuresik furosemide pada periode pasca melahirkan, khususnya untuk pasien
dengan hipertensi disertai gejala edema paru dan edema perifer.
4. Penggunaan antihipertensi masa menyusui
Belum ada penelitian yang dirancang dengan baik untuk menilai efek neonatal dari
obat antihipertensi yang dikonsumsi ibu dan kemudian dikeluarkan melalui ASI. Pengaruh
obat yang ditelan oleh bayi menyusu tergantung pada volume yang ditelan, interval antara
minum obat dan menyusui, oral bioavailability, dan kapasitas bayi untuk mengekskresi obat.
Neonatus yang terpapar methyldopa saat menyusu masih dalam batas aman dan biasanya
kemungkinannya kecil (tabel 2.5). Atenolol dan metoprolol yang terkonsentrasi di ASI, dapat
mencapai konsentrasi yang memiliki efek terhadap bayi. Sebaliknya, paparan labetalol dan
propranolol konsentrasinya rendah. Meskipun konsentrasi diuretik dalam susu rendah dan
dianggap aman, agen ini dapat secara signifikan mengurangi produksi susu. Terdapat laporan
bahwa Calsium channel blocker dapat masuk ke dalam air susu ibu, akan tetapi tanpa efek
samping. Terdapat cukup data yang memaparkan keamanan 2 obat dari golongan
ACEinhibitor, yakni captopril dan enalapril konsentrasi captopril adalah 1% dari yang
ditemukan dalam darah, dengan konsentrasi yang diterima bayi 0.03% dari dosis reguler
(Shannon et.al, 2000). Kadar enalapril tidak signifikan berada di ASI, berdasarkan penelitian
ini, American Academy of Pediatrics menganggap obat ini dapat diterima pada masa
menyusui. Saat ini tidak cukup data pada penelitian terhadap angiotensin II receptor blocker;
variasi kadar obat dalam ASI hewan coba sangat tinggi dan sebagai rekomendasi keamanan,
obat jenis ini tidak diberikan (Tiina dan Phyllis, 2008).
Tabel. Pengobatan antihipertensi ibu yang dapat digunakan saat masa menyusui
PILIHAN OBAT ANTIHIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah
menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih memperhatikan
keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak disukai adalah metil dopa, berdasarkan laporan
tentang stabilnya aliran darah uteroplasental dan hemodinamika janin dan ketiadaan efek
samping yang buruk pada pertumbuhan anak yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan
(Abalos, 2007).
Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi obat anti
hipertensi dan rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika persalinan
terjadi lebih dari 48 jam kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena keamanannya.
Alternatif lain seperti labetalol oral dan beta bloker serta antagonis kalsium juga dapat
dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian antihipertensi parenteral lebih
praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi persalinan pada tekanan darah
diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan menurunkannya sampai 95-105 mmHg
(Cunningham, 2005).
Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan :
1. Metildopa
Merupakan agonis α-adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti hipertensi yang telah
terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total
perifer tanpa menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat ini
menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral α-2 lewat α-metil
norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi
sebagai penghambat α-2 perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan
sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu,
metil dopa biasanya dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak
hamil. Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi
2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah
dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah
sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat menyebabkan
anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk memberhentikan obat ini (Cunningham,
2005).
2. Hidralazin
Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang dapat
menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil respon simpatis
sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting
karena dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme oleh hepar.
Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol mencapai 110 mmHg atau
lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg
setiap interval 15-20 menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah
diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek
puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing,
dizziness, palpitasi, dan angina. Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian
perdarahan serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus
preeklamsi (Cunningham, 2005).
3. Labetalol
Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat α1-adrenergik
post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena.
Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok β 1 dan non selektif β, dan
digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah penelitian
yang membandingkan labetalol dengan hidralazine menunjukkan bahwa labetalol
menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine
menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg
intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg labetalol.
Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis
maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja
adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian
labetalol secara intra vena tidak mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman
membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu maupun janin. Menurut
NHBPEP, pemberian labetalol tidak melebihi 220 mg tiap episode pengobatan (Reynold et.al,
2003).
4. Klonidin
Merupakan agonis α-adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan dosis 0.1
mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari.
Tekanan darah menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam.
Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output menurun
namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping adalah xerostomia dan sedasi.
Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi yang dapat diatasi dengan
pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang belum ada penelitian besar yang mempelajari
klonidin seperti metil dopa (Reynold, 2003).
5. Prazosin
Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor α1-adrenergik. Obat ini dapat
menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga
menurunkan preload dan afterload. Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan
laju jantung, curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini
dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi obat melalui kandung
empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan, absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh
menjadi lebih panjang. Dalam sebuah penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit
pada wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90 menit
setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan pemberian sebelum tidur. Percobaan
binatang menunjukkan tidak ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat
sehingga sering dikombinasikan dengan beta bloker (Reynold, 2003).
6. Diuretik
Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga curah jantung dan
tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi vaskular akibat konsentrasi sodium
interselular pada sel otot polos.
Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi plasenta karena efek segera
meliputi pengurangan volume intravaskular, dimana volume tersebut sudah berkurang akibat
preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh karena itu, diuretik tidak lagi
digunakan untuk menurunkan tekanan darah karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi
darah ibu dan menyebabkan efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat
ante partum dibatasi pada kasus khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat diuretika
seperti triamterene dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat meningkatkan
risiko defek janin (Reynold, 2003).
7. ACE-inhibitor
Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang mengkonversi
angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor poten), tanpa penurunan curah jantung.
Sebagai tambahan, obat ini juga meningkatkan sintesis prostaglandin vasodilatasi dan
menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini seperti captopril,
enalapril, dam lisinopril (National Heart, Lung, and Blood Institute, 2004).
8. Obat anti hipertensi lain
NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini menginhibisi
influk transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan
kontraksi coupling di jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan
resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis 10 mg oral dan diulang
tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga
memiliki masalah utama hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut
penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa dapat terjadi
penurunan tekanan darah yang cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan
ini, nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal.
Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih memerlukan penelitian lebih
lanjut untuk digunakan dalam kehamilan (Reynold, 2003).
Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg per jam
dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin
dapat digunakan baik secara oral maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan darah
pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini dinyatakan pada penelitian yang dilakukan
oleh Belforts dan kawan-kawan. Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan
hasil yang baik menurut penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak
direkomendasikan lagi oleh NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap pemberian
hidralazin, labetalol atau nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi
arteri dan vena tanpa efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2 menit,
puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5 menit. Obat ini sangat efektif
dalam mengontrol tekanan darah dalam hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan
obat secara intra vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non parturien karena efek samping
toksisitas sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan merupakan pemblok ganglionik
yang digunakan oleh ahli anestesi dalam menurunkan tekanan darah sebelum laringoskopi
dan intubasi untuk anestesi umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus mekonium.
Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai vasodilator vena yang tampak aman bagi
janin. Obat ini merupakan anti hipertensi potensi sedang (Cunningham, 2005).
DAFTAR PUSTAKA
Abalos E, Duley L, Steyn D, dan Henderson-Smart D. 2007. Antihypertensive drug therapy
for mild to moderate hypertension during pregnancy. http:
//hyper.ahajournals.org/content/51/4/960.
AJOG. 2000. Working group on high blood pressure in keywords: eclampsia, hypertension,
preeclampsia, pregnancy, treatment. American Journal of Obstetrics and Gynecology. 183(1)
August P. 2009. Management of Hypertension in Pregnancy. http
://www.uptodate.com/patients/content/topic.
Beardmore KS dan Morris JM. 2002. Excretion of antihypertensive medication into human
breast milk: a systematic review. Hypertensi Pregnancy.
Brooks M. 2005. Pregnancy and Preeclampsia. http : //www.emedicine.com. (1 Januari
2013).
Cunningham FG. 2005. Obstetri William Edisi 21. Jakarta: EGC.
Davis GK, Mackenzie C, Brown MA, Homer CS, Holt J, dan McHugh Mangos G. 2007.
Predicting transformation from gestational hypertension preeclampsia in clinical practice: a
possible role for 24 hour ambulat blood pressure monitoring. Hypertens Pregnancy.
Gibson P dan Carson M. 2009. Hypertension and Pregnancy. http :
//emedicine.medscape.com/article/261435.
Levine RJ, Maynard SE, Qian C, Lim KH, England LJ, Yu KF, Schisterman EF, Thadhani R,
Sachs BP, Epstein FH, Sibai BM, Sukhatme VP, dan Karumanchi SA. 2004. Circulating
angiogenic factors and the risk of preeclampsia. N Engl J Med. 350.
National Heart, Lung, and Blood Institute, Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment
of High Blood Pressure. 2004. The Seventh Report of the Joint National Committee. NIH
publication.
Purwanto B. 2009. Pathogenesis, Etiology, and Management of Hypertension and Nefrotoxic
Agents. Disampaikan pada Half Day Simposium: Renal Disease Induced by Nefrotoxic
Agents. Surakarta
Reynolds C, Mabie W, dan Sibai B. 2003. Hypertensive States of Pregnancy. In: Current
Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment, edisi ke-9. New York : McGraw-Hill,
pp: 338-353
Roeshadi RH. 2004. Hipertensi dalam Kehamilan. In:Hariadi R. Ilmu kedokteran
fetomaternal. Surabaya: Himpunan Kedokteran fetomaternal POGI.
Shannon ME, Malecha SE, dan Cha AJ. Angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEIs)
and angiotensin II receptor blockers (ARBs) and lactation: an update. J Hum Lact.
2000.16:152–155.
Suhardjono. 2007. Hipertensi pada Kehamilan. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 614-15.
Tan LK dan de Swiet M. The management of postpartum hypertension. Bjog. 2002;109:733–
736.
Tiina P dan August P. 2008. Update on the Use of Antihypertensive Drugs in Pregnancy.
http://hyper.ahajournals.org/.
Yogiantoro M. 2007. Hipertensi Esensial. In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FKUI, pp: 610-14.