Hipertensi Dalam Kehamilan
-
Upload
nur-kurnia-putri-halim -
Category
Documents
-
view
4 -
download
2
description
Transcript of Hipertensi Dalam Kehamilan
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
I. PENDAHULUAN
Hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu dari tiga penyakit yang
mematikan, selain perdarahan dan infeksi, dan juga banyak memberikan kontribusi
pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil. Dari tiga kausa klasik angka kematian ibu
(AKI) di Indonesia saat ini hipertensi dalam kehamilan serta kausa non obstetrik
telah melampaui penyebab infeksi dan perdarahan dan cenderung meningkat
meliputi 5 – 7% dari kehamilan dan merupakan komplikasi medis tersering dalam
kehamilan. Kurang lebih 70% wanita yang didiagnosis hipertensi dalam kehamilan
merupakan preeklampsia.1
Sesuai dengan target dari WHO yang dituangkan dalam MDG’s 2015
diharapkan angka kematian ibu sekarang dapat diturunkan menjadi 50%, sehingga
diperlukan penanganan yang adekuat terhadap kasus-kasus hipertensi dalam
kehamilan.1
Berdasarkan data dari WHO tahun 2011, di Asia dan Afrika, satu dari
sepuluh penyakit yang menyebabkan kematian ibu adalah berhubungan dengan
hipertensi dalam kehamilan, dan satu dari empat penyakit yang menyebabkan
kematian ibu di Amerika Latin berhubungan dengan komplikasi hipertensi dalam
kehamilan. Oleh sebab itu, optimalisasi kesehatan ibu selama kehamilan untuk
mencegah dan mengobati gangguan hipertensi dalam kehamilan merupakan
langkah yang penting menuju pencapaian Millenium Development Goals.2
II. DEFINISI
Hipertensi dalam kehamilan adalah meningkatnya tekanan darah bila keadaan
sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg atau tekanan diastolik lebih dari
sama dengan 90 mmHg dengan patokan korotkoff V untuk menilai tekanan diastolik
selama masa kehamilan. Pengukuran tekanan darah sekurang- kurangnya dilakukan 2
kali selang 4 jam.3
1
III. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi penyakit hipertensi dalam kehamilan sampai sekarang belum
dapat diketahui dengan pasti. Banyak teori yang dikemukakan yang dapat
menjelaskan patofisiologi hipertensi dalam kehamilan. Teori-teori tersebut antara
lain:4,5,6
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, terjadi invasi tropoblas ke lapisan otot polos
vaskuler, sehingga lapisan otot beregenerasi dan arteri spiralis dapat berdilatasi.
Dilatasi lumen dan matriks di sekitar vaskuler memberi efek menurunkan tekanan
darah, penurunan resistensi vaskuler, dan peningkatan aliran darah ke jaringan
plasenta, dan janin sehingga terjadinya remodeling arteri spiralis. Namun, pada
hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi tropoblas ke lapisan otot vaskuler
dan matriks sekitarnya sehingga menyebabkan lapisan myoepitel tetap keras dan
kaku. Hal ini menyebabkan tidak terjadi vasodilatasi dan efek remodeling arteri
spiralis yang normal tidak terjadi. Peningkatan tekanan darah dapat menyebabkan
aliran darah uteroplasenta menurun dan akhirnya menyebabkan terjadinya iskemia
plasenta.4,5,6
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
Plasenta yang mengalami iskemia akan menghasilkan radikal bebas atau
oksidan, salah satu yang dihasilkan adalah radikal hidroksil, yang bersifat toksin
terhadap membran sel endotel sehingga dapat merusak membran sel dan ini merubah
lemak tidak jenuh menjadi lemak peroksida. Lemak peroksida ini yang berfungsi
sebagai bahan oksidan yang beredar di dalam darah sebagai bahan toksin pada
penyakit hipertensi dalam kehamilan. Endotel yang terpapar peroksida lemak
mengalami kerusakan sel endotel, dimulai dari membran sel dan akhirnya
menyebabkan terganggunya fungsi endotel. Disfungsi endotel dapat mengakibatkan
2
gangguan metabolisme prostaglandin yang normalnya adalah vasodilator kuat, dan
peningkatan permeabilitas kapiler.4,5,6
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Pada kehamilan normal, tubuh ibu menerima hasil konsepsi, yang adalah
benda asing, dengan baik. Disebabkan oleh adanya HLA-G, yang memodulasi sistem
imun, sehingga tidak bereaksi terhadap hasil konsepsi. Namun, pada hipertensi dalam
kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di sel desidua
di daerah plasenta, menghambat invasi tropoblas dalam desidua, yang penting dalam
memudahkan vasodilatasi pembuluh darah dan matriks di sekitarnya.4,5,6
4. Teori adaptasi kardiovaskular
Pada kehamilan normal, pembuluh darah tidak peka terhadap bahan-bahan
vasopressor, akibat adanya perlindungan dari sintesis prostaglandin oleh sel endotel.
Namun, pada hipertensi dalam kehamilan, endotel kehilangan daya refrakternya
terhadap bahan vasopressor, sehingga terjadi peningkatan kepekaan terhadap
rangsangan dari bahan-bahan tersebut, hingga dalam tahap pembuluh darah menjadi
sangat peka terhadap rangsangan bahan vasopressor.4,5,6
5. Teori genetik
Terdapat penelitian bahwa resiko hipertensi dalam kehamilan diturunkan
dalam gen tunggal pada ibu.4,5,6
6. Teori stimulus inflamasi
Teori ini menjelaskan bahwa lepasnya debris fibroblas akan merangsang
terjadinya inflamasi. Pada kehamilan normal, hal ini juga terjadi, namun dalam batas
wajar, sehingga proses inflamasi yang terhadi tidak menimbulkan masalah. Namun,
pada hipertensi dalam kehamilan, terjadinya disfungsi endotel menyebabkan aktivasi
leukosit yang sangat tinggi pada aliran darah ibu dan akhirnya menyebabkan
inflamasi yang bersifat sistemik.4,5,6
3
Algoritme 1: Patogenesis preeklampsia.
IV. ETIOLOGI
Hipertensi dalam kehamilan merupakan kelainan multisistem dan pada kasus
berat menyebabkan gangguan pada fungsi hati dan sistem pembekuan darah.
Walaupun etiologinya tidak jelas, trofoblas merupakan penyebab sebelum usia
5
kehamilan 20 minggu pada kehamilan ganda atau mola hidatidosa, dan hal ini
sembuh setelah melahirkan.4
Predisposisi kejadian hipertensi dalam kehamilan terjadi pada:2,4
1. Primigravida
2. Umur tua
3. Riwayat keluarga dengan preeklamsia atau hipertensi
4. Riwayat hipertensi sebelumnya
5. Kehamilan ganda
6. Diabetik gestasional
7. Mola hidatidosa
8. Sensitisasi rhesus berat
V. KLASIFIKASI HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN
Berdasarkan Report of the National High Blood Pressure Education Program
(NHBPEP) Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy klasifikasi
hipertensi dalam kehamilan adalah: 2,7,8
1. Hipertensi kronik
1.1 Definisi
Hipertensi tanpa proteinuria yang timbul dari sebelum kehamilan dan menetap
setelah persalinan. Hipertensi kronik dalam kehamilan yang didapatkan sebelum
6
timbulnya kehamilan. Apabila tidak diketahui adanya hipertensi sebelum kehamilan,
maka hipertensi kronik didefinisikan bila didapatkan tekanan darah sistolik 140
mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg sebelum umur kehamilan 20
minggu.2,7
1.2 Diagnosis
Tekanan darah ≥140/90 mmHg
Sudah ada riwayat hipertensi sebelum hamil, atau diketahui adanya hipertensi
pada usia kehamilan <20 minggu
Tidak ada proteinuria
2. Superimposed preeklampsia
2.1 Definisi
Preeklamsia yang terjadi pada pasien dengan hipertensi kronik disertai
proteinuria. Diagnosis Superimposed preeclampsia apabila hipertensi kronik disertai
dengan proteinuria. Tanda-tanda superimposed preeclampsia pada hipertensi kronik
adalah : adanya proteinuria, gejala-gejala neurologic, nyeri kepala hebat, gangguan
virus, edema patologik yang menyeluh (anasarka), oliguria, edema paru. Kelainan
laboratorium berupa kenaikan serum kreatinin, trombositopenia, kenaikan
transaminase hepar.2,7,9
2.2 Diagnosis
Ibu dengan riwayat hipertensi kronik (sudah ada sebelum usia kehamilan 20
minggu)
Dari pemeriksaan urin menunjukkan proteinuria +1 atau trombosit <100.000
sel/uL pada usia kehamilan < 20 minggu
7
3. Hipertensi gestasional
3.1 Definisi
Hipertensi tanpa proteinuria yang timbul setelah kehamilan 20 minggu dan
menghilang setelah persalinan dan tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil.
Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan darah mencapai
140/90 mmHg atau lebih besar, tetapi tidak terdapat proteinuria. Hipertensi
gestasional disebut juga transient hypertension dan tekanan darah telah kembali
normal pada 12 minggu postpartum. Apabila tekanan darah naik cukup tinggi selama
trisemester akhir hal ini berbahaya terutama untuk janin, walaupun proteinuria tidak
pernah ditemukan
3.2 Diagnosis
• Tekanan darah ≥140/90 mmHg
• Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil, tekanan darah normal di usia
kehamilan <12 minggu
4. Preeklampsia
4.1 Definisi
Peningkatan tekanan darah dan proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu
yang sebelumnya ibu memiliki normotensi. Preeklampsia terbagi kepada 2 yaitu
preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.
Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley (1985)
menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan dengan tidak adanya
proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam melebihi 300mg per 24 jam,
atau pada sampel urin secara acak menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara
persisten.1,8
8
Dengan demikian, kriteria untuk diagnosis preeklamsia adalah hipertensi
dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium yang abnormal dalam
pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi meningkatkan kepastian diagnosis
preeklamsia Selain itu, pemantauan secara terus-menerus gejala eklampsia, seperti
sakit kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan kepastian tersebut.1,8
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan akibat
nekrosis hepatosellular, iskemia, dan oedem yang meregangkan kapsul Glissoni.
Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum hepatik transaminase yang tinggi
dan biasanya merupakan tanda untuk mengakhiri kehamilan.1
Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsia yang memburuk, dan
hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta hemolisis
mikroangiopati yang disebabkan oleh vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis
yang luas dengan ditemukannya hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau
hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang berat.1
4.2 Diagnosis
Preeklampsia Ringan
Tekanan darah ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu
Dari pemeriksaan urin menunjukkan proteinuria 1+ atau pemeriksaan protein
kuantitatif menunjukkan hasil >300 mg/24 jam
Preeklampsia Berat
Tekanan darah >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu
Dari pemeriksaan urin menunjukkan proteinuria ≥2+ atau pemeriksaan
protein kuantitatif menunjukkan hasil >5 g/24 jam
Atau disertai keterlibatan organ lain:
9
o Trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis mikroangiopati
o Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas
o Sakit kepala , skotoma penglihatan
o Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion
o Edema paru dan/atau gagal jantung kongestif
o Oliguria (< 500ml/24jam), kreatinin > 1,2 mg/dl
4.3 Manifestasi klinis
Perubahan sistem dan organ pada preeklamsia.2,8
Volume plasma
Pada hamil normal volume plasma meningkat dengan bermakna (disebut
hipervolemia), guna memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin. Peningkatan tertinggi
volume plasma pada hamil normal terjadi pada umur kehamilan 32-34 minggu.
Sebaliknya, oleh sebab yang tidak jelas pada preeklamsia terjadi penurunan volume
plasma antara 30%-40% dibanding hamil normal, disebut hipovolemia. Hipovolemia
diimbangi dengan vasokonstriksi, sehingga terjadi hipertensi. Volume plasma yang
menurun memberi dampak yang luas pada organ-organ penting.2,8
Preeklamsia sangat peka terhadap pemberian cairan intravena yang terlalu
cepat dan banyak. Demikian sebaliknya preeklamsia sangat peka terhadap kehilangan
darah waktu persalinan. Oleh karena itu, observasi cairan masuk ataupun keluar harus
ketat.2
10
Hipertensi
Hipertensi merupakan tanda terpenting guna menegakkan diagnosis hipertensi
dalam kehamilan. Tekanan diastolik menggambarkan resistensi perifer, sedangkan
tekanan sistolik menggambarkan besaran curah jantung. Pada preeklamsia
peningkatan reaktivitas vaskular dimulai umur kehamilan 20 minggu, tetapi
hipertensi dideteksi umumnya pada trimester II. Tekanan darah yang tinggi pada
preeklamsia bersifat labil dan mengikuti irama sirkadian normal. Tekanan darah
menjadi normal beberapa hari pasca persalinan, kecuali beberapa kasus preeklamsia
berat kembalinya tekanan darah normal terjadi 2-4 minggu pasca persalinan.2,8
Tekanan darah bergantung terutama pada curah jantung, volume plasma,
resistensi perifer, dan viskositas darah. Timbulnya hipertensi adalah akibat
vasospasme menyeluruh dengan ukuran tekanan darah ≥140/90 mmHg selang 6 jam.
Tekanan diastolik ditentukan pada hilangnya suara Korotkoff’s phase V. Dipilihnya
tekanan diastolik 90 mmHg sebagai batas hipertensi, karena batas tekanan diastolik
90 mmHg yang disertai proteinuria mempunyai korelasi dengan kematian perinatal
tinggi. Mengingat proteinuria berkorelasi dengan nilai absolut tekanan darah
diastolik, maka kenaikan (perbedaan) tekanan darah tidak dipakai sebagai kriteria
diagnosis hipertensi, hanya sebagai tanda waspada.2,8
Fungsi ginjal
Perubahan fungsi ginjal disebabkan oleh hal-hal yang berikut:2
Menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia sehingga terjadi oliguria
bahkan anuria.
Kerusakan sel gromerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran
basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria.
11
Terjadi gromerular capillary endotheliosis akibat sel endotel gromerular
membengkak disertai deposit fibril.
Gagal ginjal akut terjadi akibat nekrosis tubulus ginjal. Bila sebagian besar kedua
korteks ginjal mengalami nekrosis, maka terjadi nekrosis korteks ginjal yang
bersifat irreversibel.
Dapat terjadi kerusakan intrinsik jaringan ginjal akibat vasospasme pembuluh
darah. Dapat diatasi dengan pemberian dopamin agar terjadi vasodilatasi pembuluh
darah ginjal.
Proteinuria
Bila proteinuria timbul:2
Sebelum hipertensi, umumnya merupakan gejala penyakit ginjal.
Tanpa hipertensi, maka dapat dipertimbangkan sebagai penyulit kehamilan.
Tanpa kenaikan darah diastolik ≥90 mmHg, umumnya ditemukan pada infeksi
saluran kencing atau anemia. Jarang ditemukan proteinuria pada tekanan diastolik
<90 mmHg.
Proteinuria merupakan syarat untuk diagnosis preeklamsia, tetapi proteinuria
umumnya timbul jauh pada akhir kehamilan sehingga sering dijumpai preeklamsia
tanpa proteinuria, karena janin lebih dulu lahir.
Pengukuran proteinuria dapat dilakaukan dengan (a) urin dipstik: 100 mg/l atau +1,
sekurang-kurangya diperiksa 2 kali urin acak selang 6 jam dan (b) pengumpulan
proteinuria dalam 24 jam. Dianggap patologis bila besaran proteinuria ≥300 mg/ 24
jam.
12
Asam urat serum
Umumnya meningkat ≥5 mg/cc. Hal ini disebabkan oleh hipovolemia, yang
menimbulkan menurunnya aliran darah ginjal dan mengakibatkan menurunnya
filtrasi gromerulus, sehingga menurunnya sekresi asam urat. Peningkatan asam urat
dapat terjadi juga akibat iskemia jaringan.2
Kreatinin
Hal ini disebabkan oleh hipovolemia, maka aliran darah ginjal menurun,
mengakibatkan filtrasi gromerulus, sehingga menurunnya sekresi kreatinin, disertai
peningkatan kreatinin plasma. Dapat mencapai kadar kreatinin plasma ≥1 mg/cc, dan
biasanya terjadi pada preeklamsia berat dengan penyulit pada ginjal.2
Oliguria dan anuria
Hal ini terjadi karena hipovolemia sehingga aliran darah ke ginjal menurun
yang mengakibatkan produksi urin menurun (oliguria), bahkan dapat terjadi anuria.
Berat ringannya oliguria menggambarkan berat ringannya hipovolemia. Hal ini
berarti menggambarkan pula berat ringannya preeklamsia. Pemberian cairan
intravena hanya karena oliguria tidak dibenarkan.2,8
Elektrolit
Kadar elektrolit total menurun pada waktu hamil normal. Pada preeklamsia
kadar elektrolit total sama seperti hamil normal, kecuali bila diberi diuretikum
banyak, restriksi konsumsi garam atau pemberian cairan oksitosin yang bersifat
antidiuretik. Preeklamsia berat yang mengalami hipoksia dapat menimbulkan
gangguan keseimbangan asam basa. Pada waktu terjadi kejang eklamsia kadar
bikarbonat menurun, disebabkan timbulnya asidosis laktat dan akibat kompensasi
hilangnya karbon dioksida. Kadar natrium dan kalium pada preeklamsia sama
dengan kadar hamil normal, yaitu sesuai dengan proporsi jumlah air dalam tubuh.
13
Karena kadar natrium dan kalium tidak berubah pada preeklamsia, maka tidak
terjadi retensi natrium yang berlebihan. Ini berarti pada preeklamsia tidak diperlukn
restriksi konsumsi garam.2,8
Tekanan osmotik koloid plasma/ tekanan onkotik
Osmolaritas serum dan tekanan onkotik menurun pada umur kehamilan 8
minggu. Pada preeklamsia tekanan onkotik makin menurun karena kebocoran
protein dan peningkatan permeabilitas vaskular.2
Koagulasi dan fibrinolisis
Gangguan koagulasi pada preeklamsia, misalnya trombsitopenia, jarang yang
berat, tetapi sering dijumpai. Pada preeklamsia terjadi peningkatan FDP, penurunan
antitrombin III, dan peningkatan fibronektin.2
Viskositas darah
Viskositas darah ditentukan oleh volume plasma, molekul makro: fibrinogen
dan hematokrit. Pada preeklamsia viskositas darah meningkat mengakibatkan
meningkatnya resistensi perifer dan menurunnya aliran darah ke organ.2
Hematokrit
Pada hamil normal hematokrit menurun karena hipovolemia, kemudian
meningkat lagi pada trimester III akibat peningkatan produksi urin. Pada
preeklamsia hematokrit meningkat karena hipovolemia yang menggambarkan
beratnya preeklamsia.2
Edema
Edema dapat terjadi pada kehamilan normal. Edema yang terjadi pada
kehamilan mempunyai banyak interpretasi, misalnya 40% edema dijumpai pada
hamil normal, 60% edema dijumpai pada kehamilan dengan hipertensi, dan 80%
14
edema dijumpai pada kehamilan dengan hipertensi dan proteinuria. Edema terjadi
karena hipoalbuminemia atau sel endotel kapiler. Edema yang patologik adalah
edema yang nondependen pada muka dan tangan, atau edema generalisata, dan
biasanya disertai dengan kenaikan berat badan yang cepat.2,8
Hematologik
Perubahan hematologik disebabkan oleh hipovolemia akibat vasospasme,
hipoalbuminemia, hemolisis mikroangiopatik akibat spasme arteriole dan hemolisis
akibat kerusakan endotel arteriole. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan
hematokrit akibat hipovolemia, peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan
gejala hemolisis mikroangiopatik. Disebut trombositopenia bila trombosit <100 000
sel/ml. Hemolisis dapat menimbulkan destruksi eritrosit.2
Hepar
Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia, dan perdarahan. Bila
terjadi perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan terjadi nekrosis sel hepar
dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini dapat meluas hingga di bawah kapsula
hepar dan disebut kapsular hematoma. Subkapsular hematoma menimbulkan rasa
nyeri di daerah epigastrium dan dapat menimbulkan ruptur hepar, sehingga perlu
pembedahan.2
Neurologik
Perubahan neurologik dapat berupa:2,8
Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak, sehingga menimbulkan vasogenik
edema.
Akibat spasme arteri retina dan edema retina dapat terjadi gangguan visus.
Gangguan visus dapat berupa: pandangan kabur, skotoma, amaurosis yaitu
kebutaan tanpa jelas adanya kelainan dan ablasio retina.
15
Hiperrefleksi sering dijumpai pada preeklamsia berat, tetapi bukan faktor prediksi
terjadinya eklamsia.
Dapat timbul kejang eklamptik. Penyebab kejang eklamptik belum diketahui
dengan jelas. Faktor-faktor yang menimbulkan kejang eklamptik adalah edema
serebri, vasospasme serebri dan iskemia serebri.
Perdarahan intrakranial meskipun jarang, dapat terjadi pada preeklamsia berat dan
eklamsia.
Kardiovaskular
Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload
akibat hipertensi dan penurunan cardiac preload akibat hipovolemia.2,8
Paru
Penderita preeklamsia berat mempunyai resiko besar terjadinya edema paru.
Edema paru dapat disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada
pembuluh darah kapiler paru, dan menurunnya diuresis.2
Janin
Preeklamsia dan eklamsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin
yang disebabkan oleh menurunnya perfusi utero plasenta, hipovolemia, vasospasme,
dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta. Dampak preeklamsia dan
eklamsia pada janin:2
Intrauterine growth restriction dan oligohidramnion
Kenaikan morbiditas dan mortilitas janin secara tidak langsung akibat IUGR,
prematuritas, oligohidramnion, dan solusio plasenta.
16
Patofisologi hipertensi dalam kehamilan (Friedman dan Liendheimer, 1999)
5. Eklampsia
5.1 Definisi
Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklamsia, yang disertai
dengan kejang menyeluruh dan koma. Eklampsia postpartum terjadi dalam waktu 24
jam pertama setelah persalinan.2,7
17
Eklamsia merupakan kasus akut pada penderita preeklamsia, yang disertai
dengan kejang menyeluruh dan koma. Sama hanya dengan preeklamsia, eklamsia
dapat timbul pada antepartum, intrapartum, dan postpartum. Eklamsia postpartum
umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan.2
Pada penderita preeklamsia yang akan kejang, umumnya memberi gejala-
gejala atau tanda-tanda yang khas, yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma akan
terjadinya kejang. Preeklamsia yang disertai dengan tanda-tanda prodoma ini disebut
sebagai impending eclampsia atau imminent eclampsia.2
5.2 Diagnosis
Kejang umum dan/atau koma
Ada tanda dan gejala preeklampsia
Tidak ada kemungkinan penyebab lain (misalnya epilepsi, perdarahan
subarakhnoid, dan meningitis)
VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah rutin,
kreatinin, fungsi hati, asam urat, LDH, faktor pembekuan, urinalisa, dan ratio
protein : kreatinin urin. Diagnosa preeklamsia dilakukan dengan adanya proteinuria
1+ atau lebih besar pada dip urin atau >300 mg protein/ 24 jam. Pengambilan
spesimen urin yang baik harus dilakukan dengan membuang urin pertama yang keluar
sebelum mengambil spesimen urin yang benar setelahnya dengan jumlah yang cukup.
Kelainan yang sering ditemukan pada analisa laboratorium merupakan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit), hemolisis (trombositopenia, peningkatan
LDH), gangguan renal (peningkatan kreatinin), kerusakan hati (peningkatan fungsi
hati), koagulopati (peningkatan prothrombine time, PT), peningkatan international
18
normalized ratio (INR), peningkatan partial thromboplastin time (PTT), fibrinogen
menurun, dan peningkatan asam urat.9
Tidak ada pemeriksaan radiologi spesifik yang diperlukan pada emergensi
maternal hipertensi. Insiden perdarahan serebral pada eklamsia non fatal tidak
diketahui dan dilaporkan 50% adalah reversibel, strok iskemia pada kehamilan terjadi
oleh karena preeklamsia. Jika perubahan neurologi menetap dan suspek patologi
intrakranial ditemukan setelah resolusi kejang, diindikasikan pemeriksaan computed
tomography (CT) imaging. Jika suspek edema paru, dilakukan roentgen dada. Jika
suspek gagal jantung, boleh dilakukan echocardiography apabila keadaan ibu dan
janin sudah stabil.9
Pada resiko tinggi untuk terjadinya morbiditas janin seperti abrupsi, restriksi
pertumbuhan, dan ketidakcukupan plasenta, evaluasi janin diperlukan. Pemeriksaan
dini terhadap janin dengan menggunakan nonstress test (NST) dan/atau BPP
dilakukan jika ada gejala. Selain itu, evaluasi perkembangan janin, volume cairan
amniotic, dan ratio sistolic-to-diastolic arteri umbilikalis menggunakan ultrasound
adalah direkomendasikan pada pasien dengan preeklamsia.9
VII. PENATALAKSANAAN
Tujuan tata laksana hipertensi dalam kehamilan adalah untuk melindungi ibu
dari berbagai komplikasi dan dapat melanjutkan kehamilannya sampai persalinan
yang aman. Penanganan hipertensi dalam kehamilan adalah berdasarkan usia
kehamilan yaitu usia kehamilan <37 minggu dan ≥37 minggu .1,8
Usia kehamilan <37 minggu
Pada usia kehamilan <37 minggu tanpa tanda-tanda impending eklampsia
dengan keadaan janin baik, kehamilan dipertahankan selama mungkin. Keadaan ibu
diobservasi sambil monitor denyut jantung janin dan kontraksi uterus ibu.
Pemeriksaan USG dilakukan untuk mengevaluasi pertumbuhan janin dan jumlah
19
cairan ketuban. Diberikan pengobatan medikamentosa untuk menstabilisasi keadaan
ibu dengan pemberian magnesium sulfat dan anti hipertensi. Pengobatan
medikamentosa dapat diberikan asalkan tidak terdapat hipertensi yang tidak
terkontrol, tanda-tanda disfungsi organ ibu dan gawat janin selambat-lambatnya
dalam waktu 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan, keadaan ini dianggap
sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus kehamilan diterminasi.2,8
Usia kehamilan ≥37 minggu
Pada usia kehamilan ≥ 37 minggu, yaitua usia kehamilannya sudah aterm,
oleh itu dianjurkan untuk mengakhiri kehamilan (termiansi kehamilan). Terminasi
kehamilan dilakukan jika terdapat kegagalan terapi medikamentosa yaitu apabila
setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan darah yang
persisten atau setelah 24 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa terjadi
kenaikan darah desakan darah yang persisten. Selain itu, terdapat tanda dan gejala
impending eklampsia, gangguan fungsi hepar, gangguan fungsi ginjal, dicurigai
terjadi solusio placenta, dan timbulnya onset partus, ketuban pecah dini dan
pendarahan. Pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan thrombositopenia
progesif, yang menjurus ke sindroma HELLP. 2,8
Terapi medikamentosa
Magnesium sulfat
Pemberian magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin
pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi
neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium
sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi
(terjadi kompetetif inhibisi antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium
yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat. Magnesium
20
sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk anti kejang pada
preeklamsia atau eklampsia.9
Magnesium sulfat regimen:9
Loading dose: initial dose
-4 gram MgSO4 40% intravena dalam 100cc NaCl 0,9% selama 30 menit
Maintenance dose:
-Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan MgSO4 40 % 2 gram intravena
selama 5 menit.
-6 gram MgSO4 40% intravena dalam 500 cc Ringer laktat/ 6 jam.
-1 gram MgSO4 40% intravena dalam Ringer laktat/ jam diberikan sampai 24
jam post partum.
Syarat-syarat pemberian MgSO4:9
Harus tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas
10% = 1 g (10% dalam 10 cc) diberikan i.v 3 menit.
Refleks patella (+) kuat.
Frekuensi pernapasan >16 kali/ menit, tidak ada tanda-tanda distres napas.
Urin minimal 30ml/jam dalam 4 jam terakhir
Magnesium sulfat dihentikan bila:9
Ada tanda-tanda intoksikasi
Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir.
21
Pemberian magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan
didapatkan 50% dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas). Bila
terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka diberikan salah satu obat berikut:
tiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam, atau fenitoin.9
Anti hipertensi
Tujuan utama terapi anti hipertensi adalah untuk mengurangi risiko ibu, yang
meliputi abrupsi plasenta, hipertensi urgensi yang memerlukan rawat inap, dan
kerusakan organ target (komplikasi serebrovaskuler dan kardiovaskuler). Risiko
kerusakan organ target meningkat jika kenaikan tekanan darah terjadi tiba-tiba pada
wanita yang sebelumnya normotensi. Tekanan darah >170/110 mmHg merusak
endotel secara langsung. Pada tekanan darah 180-190/120-130 mmHg terjadi
kegagalan autoregulasi serebral yang meningkatkan risiko perdarahan serebral. Selain
itu, risiko abrupsi plasenta dan asfiksia juga meningkat. Penurunan tekanan darah
yang terlalu cepat dan mendadak dapat menurunkan perfusi uteroplasenta, sehingga
dapat menyebabkan hipoksia janin. Target tekanan darah adalah sekitar 140/90
mmHg. Guideline European Society of Hypertension (ESH) / European Society of
Cardiology (ESC) terbaru merekomendasikan jika tekanan darah sistolik >170 mmHg
atau diastolik >110 mmHg pada wanita hamil diklasifikasikan sebagai emergensi dan
merupakan indikasi rawat inap. Jenis-jenis obat anti hipertensi dalam penanganan
hipertensi dalam kehamilan adalah golongan:10
Calcium Channel Blocker
CCB bekerja pada otot polos arteriolar dan menyebabkan vasodilatasi dengan
menghambat masuknya kalsium ke dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat
pemberian CCB dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada sirkulasi vena
hanya minimal. Pemberian CCB dapat memberikan efek samping maternal,
diantaranya takikardia, palpitasi, sakit kepala, flushing, dan edema tungkai akibat
22
efek lokal mikrovaskular serta retensi cairan. Obat dari golongan CCB yang
direkomendasikan adalah:10,11
Nifedipin 4x 10-30 mg per oral (short acting)
1x 20-30 mg per oral (long acting)
Dapat menyebabkan hipoperfusi pada ibu dan janin bila
diberikan sublingual
Nikardipin 5mg/ jam, dapat dititrasi 2,5mg jam tiap 5 menit hingga
maksimum 10mg/ jam
β-Blocker
Atenolol merupakan β-blocker kardioselektif dan dapat menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, terutama jika digunakan dalam jangka waktu yang
lama selama kehamilan atau diberikan pada trimester pertama sehingga
penggunaannya dibatasi pada keadaan pemberian anti hipertensi lainnya tidak efektif.
Pemberian labetolol 10 mg per oral. Jika respon tidak membaik setelah 10 menit,
berikan lagi labetolol 20 mg per oral.10,11
Agonis Reseptor Alfa
Metildopa merupakan agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat
dan merupakan anti hipertensi yang sering digunakan untuk wanita hamil dengan
hipertensi kronis. Walaupun metildopa bekerja pada sistem saraf pusat, namun juga
memiliki sedikit efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan
darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah ginjal relatif tidak
terpengaruh. Efek samping pada ibu adalah letargi, mulut kering, mengantuk, depresi,
hipertensi postural, anemia hemolitik, dan drug-induced hepatitis. Dosis metildopa
adalah 2x 250-500 mg per oral (dosis maksimum 2000 mg/hari).10,11
23
VIII. KOMPLIKASI
Hipertensi dalam kehamilan merupakan antara 3 kausa kematian ibu hamil.
Tekanan darah yang meningkat mengakibatkan pembuluh darah mengalami
vasokontriksi. Akibatnya suplai darah ke jaringan tubuh akan berkurang. Organ akan
kehilangan asupan nutrisi dan oksigen sehingga lambat laun mengakibatkan organ
tidak berfungsi dan bahkan kematian organ. Akibatnya, ibu hamil meninggal karena
komplikasi dari hipertensi dalam kehamilan seperti gagal ginjal atau kematian organ
lainnya.7,8
1. Sindrom HELLP
Sindroma HELLP adalah komplikasi yang timbul akibat preeklampsia-
eklapmsia yang ditandai dengan hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar,
dan trombositopenia.
H: Hemolysis
EL: Elevated liver Enzyme
LP: Low Platelets Count
Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan
pada penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan
kelainan koagulasi. Sindrom ini kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang
menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler;
akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya
terjadi kerusakan endotel. Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemi hemolitik
mikroangiopati merupakan tanda khas. Sel darah merah terfragmentasi saat melewati
pembuluh darah kecil yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Peningkatan
kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran darah hati oleh deposit
fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis periportal dan pada kasus
yang berat dapat terjadi perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur
hati.
24
Diagnosis Sindrom HELLP:
Didahului tanda dan gejala yang tidak khas malaise, lemah, nyeri
kepala, mual,muntah (semua ini mirip tanda dan gejala infeksi virus)
Adanya tanda dan gejala preeklamsia
Tanda-tanda hemolisis intravaskular, khususnya kenaikan LDH, AST,
dan bilirubin indirek.
Tanda kerusakan/ disfungsi sel hepatosit hepar: kenaikan ALT, AST,
LDH
TrombositopeniaTrombosit ≤ 150.000/ml
Klasifikasi sindroma HELLP menurut klasifikasi Mississippi
Berdasarkan kadar trombosit darah, maka sindroma HELLP diklasifikasi
dengan:Klasifikasi Mississippi
Klas 1 : Kadar trombosit : ≤ 50.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
Klas 2 : Kadar trombosit : > 50.000/ml ≤ 100.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l
Klas 3: Kadar trombosit : > 100.000/ml ≤ 150.000/ml
LDH ≥ 600 IU/l
AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l.2
KLasifikasi Tennessee
Benar atau lengkap
Platelet < 100.000
AST > 70 IU/l
LDH > 600 IU/l
Parsial atau tidak lengkap
Preeklasia berat dengan salah satu dari berikut: ELLP , HEL , EL , LP
Keterangan:
25
ELLP : tidak ada hemolisis
HELnda : tidak adanya trombosit rendah
EL : fungsi hati yang tinggi
LP : trombosit rendah
Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah
kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai dosis
awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai produksi
urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala keracunan MgSO4. Jika terjadi
keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% iv. Terapi anti hipertensi harus
dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110 mmHg di samping penggunaan
MgSO4. Hal ini berguna menurunkan risiko perdarahan otak, solusio plasenta dan
kejang pada ibu. Tujuannya mempertahankan tekanan darah diastolik 90 – 100
mmHg. Anti hipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine dalam dosis kecil
2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang diinginkan
tercapai. Labetalol dan nifedipin juga digunakan dan memberikan hasil baik. Karena
efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin dan MgSO4 diberikan bersamaan.
Diuretik dapat mengganggu perfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan.7,8
Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan
menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai
pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera
mengakhiri kehamilan. Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada
hal-hal yang mengganngu kesehatan ibu dan janin. area ini. Anestesi umum
merupakan metode terpilih pada seksio sesarea7,8
2. Disseminated intravascular coagulation (DIC)
Disseminated intravascular coagulation atau DIC adalah gangguan serius
yang terjadi pada mekanisme pembekuan darah pada tubuh. Normalnya tubuh
membentuk bekuan darah sebagai reaksi terhadap trauma. Dengan DIC, tubuh
membentuk bekuan darah kecil secara berlebihan, mengurangi jumlah faktor
26
pembekuan dan trombosit dalam tubuh. Bekuan-bekuan darah kecil ini berbahaya,
dan dapat mempengaruhi suplai darah ke organ tubuh, menyebabkan disfungsi dan
kerusakan organ. Perdarahan secara besar-besaran dapat terjadi karena kurangnya
faktor pembekuan dan trombosit pada tubuh.
Kehamilan menyebabkan kondisi status hiperkoagulasi. Terdapat peningkatan
aktivitas semua faktor koagulasi kecuali faktor XI dan XIII. Fibrinogen meningkat
sejak awal kehamilan sekitar 12 minggu,dan mencapai puncaknya dengan kadar 400-
650 mg/dL pada kehamilan aterm. Sistem fibrinolitik tertekan pada kehamilan dan
persalinan, akan tetapi kembali normal dalam satu jam setelah plasenta lahir. Banyak
kasus DIC yang berhubungan dengan kehamilan yang disebabkan oleh preeklampsia-
eklampsia.
DIC pada kehamilan
Pada kasus obstetri DIC selalu merupakan akibat adanya proses yang lain.
Aktifasi sistem koagulasi terjadi dengan cara:
1. Pelepasan sistem tromboplastin kedalam sirkulasi maternal dari plasenta dan
jaringan desidua. Mekanisme ini terjadi secara cepat pada kasus solusio
plasenta,emboli air ketuban, ruptur uteri, dan terjadi secara perlahan dan
membahayakan pada kasus IUFD.
2. Kerusakan pada sel endotelial membuka kolagen utama ke dalam plasma dan
mengaktifkan faktor koagulasi. Eklamsia dan preeclampsia termasuk dalam kategori
ini.
3. Kerusakan pada sel darah merah dan trombosit melepaskan pospolipid. Hal ini
terjadi pada reaksi transfusi
3.Solusio plasenta
27
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan
maternalplasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua
endometrium sebelumwaktunya yakni sebelum anak lahir. Di berbagai literatur
disebutkan bahwa risiko mengalamisolusio plasenta meningkat dengan bertambahnya
usia. Solusio plasenta atau disebut abruption placenta / ablasia placenta adalah
separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya di uterus (korpus uteri)
dalam masa kehamilan lebih dari 20 minggu dan sebelum janin lahir. Dalam plasenta
terdapat banyak pembuluh darah yang memungkinkan pengantaran zat nutrisi dari ibu
kejanin, jika plasenta ini terlepas dari implantasi normalnya dalam masa kehamilan
maka akan mengakibatkan perdarahan yang hebat.
Penyebab primer dari solusio plasenta tidak diketahui, tetapi terdapat
beberapa keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan atau menyertai
solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor resiko. Hipertensi essensial atau pre-
eklampsi, karena desakan darah tinggi, maka pembuluh darah mudah pecah,
kemudian terjadi hematom retropalsenta yang dapat menyebabkan sebagian plasenta
dapat terlepas.
4. Kematian Janin Dalam Rahim (IUFD)
Kematian janin dalam Rahim adalah keadaan tidak adanya tanda-tanda
kehidupan janin dalam kandungan. Kematian janin dalam kandungan (KJDK) atau
intra uterine fetal death (IUFD), sering dijumpai baik pada kehamilan dibawah 20
minggu maupun sesudah kehamilan 20 minggu
• Sebelum 20 minggu :
Kematian janin dapat terjadi dan biasanya berakhir dengan abortus. Bila hasil
konsepsi yang sudah mati tidak dikeluarkan dan tetap tinggal dalam rahim disebut
missed abortion.
• Sesudah 20 minggu :
28
Biasanya ibu telah merasakan gerakan janin sejak kehamilan 20 minggu dan
seterusnya. Apabila wanita tidak merasakan gerakan janin dapat disangka terjadi
kematian dalam Rahim.
Preeklamsia dan eklamsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin
yang disebabkan oleh menurunnya perfusi utero plasenta, hipovolemia, vasospasme,
dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta yang akhir menyebabkan
kurangnya aliran darah ke janin.
Bila umur kehamilan <37 minggu/TBF <2500 g solusio plasenta ringan maka
pengelolaan konservatif meliputi tirah baring, sedatif, mengatasi anemia, monitoring
keadaan janin dengan kardiotokografi dan USG serta menunggu persalinan spontan.
Pada solusio plasenta sedang dan berat atau solusio plasenta ringan yang memburuk,
jika persalinan diperkirakan < 6 jam, diusahakan partus pervaginam dengan
amniotomi dan pitosin drip. Seksio sesarea diindikasikan bila persalinan diperkirakan
> 6 Jam. Pasien dengan solusio plasenta sedang atau berat, tranfusi darah atau
resusitasi cairan dan pemberian oksigen pada saat terjadi syok hendaknya dilakukan
terlebih dahulu sebelum tindakan obstetri. Ketuban dapat segera dipecah untuk
mengurangi regangan uterus. Setelah ketuban pecah, segera berikan infus oksitosin.
Pemecahan ketuban (amniotomi) dapat mengurangi syok serta mengurangi
kemungkinan masuknya tromboplastin.
Bila umur kehamilan 37 minggu seksio sesar diindikasikan jika persalinan
pervaginam diperkirakan berlangsung lama baik pada solusio plasenta ringan, sedang
maupun berat. Seksio sesarea biasanya di lakukan pada keadaan dimana solusio
plasenta dengan anak hidup tapi pembukaan kecil, solusio plasenta dengan toksemia
berat dengan perdarahan banyak tetapi pembukaan kecil, dan solusio plasenta dengan
panggul sempit atau letak melintang. Seksio sesarea juga menjadi pilihan jika janin
harus dilahirkan cepat karena mengalami gawat janin
IX. KESIMPULAN
29
Hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu dari tiga tiga kausa klasik
angka kematian ibu (AKI) di Indonesia selain perdarahan dan infeksi . Definisi
hipertensi dalam kehamilan adalah peningkatan tekanan darah darah bila keadaan
sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg atau tekanan diastolik lebih dari sama
dengan 90 mmHg dengan patokan korotkoff V untuk menilai tekanan diastolik
selama masa kehamilan
Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP
dibagi menjadi 5 tipe, yaitu hipertensi kronis, hipertensi gestasional, preeklamsia,
superimposed, preeklampsia, dan eklampsia.
Sebab potensial dan patofisiologi terjadinya hipertensi dalam kehamilan
adalah invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus, intoleransi imunologis
antara jaringan plasenta ibu dan janin, maladaptasi maternal pada perubahan
kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan normal, dan pengaruh genetik.
Penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan adalah berdasarkan usia
kehamilan yaitu usia kehamilan <37 minggu dan usia kehamilan ≥37 minggu. Pada
usia kehamilan <37 minggu tanpa tanda- anda impending eklampsia dengan keadaan
janin baik, kehamilan dipertahankan selama mungkin. Diberi pengobatan
medikamentosa untuk menstabilisasi keadaan ibu dengan mempertimbangkan
pemberian magnesium sulfat dan anti hipertensi. Pada usia kehamilan ≥ 37 minggu
dianjurkan untuk mengakhiri kehamilan dengan cara terminasi kehamilan.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. HKFM Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Panduan
Penatalaksanaan Hipertensi Dalam Kehamilan; 2010
2. WHO Recommendations for Prevention and Treatment Of Pre-Eclampsia and
Eclampsia, WHO Handbook for guideline development. Geneva, World Health
Organization, 2010
3. James M et al, Hypertension in Pregnancy: Report of the American College of
Obstetricians and Gynecologists. Women’s Health Care Physicians; November
2013:Vol 122
4. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K,
Hypertensive Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22,
New York: McGraw-Hill, 2010 : 706-747
5. Branch D, Porter T, Hypertensive Disorders of Pregnancy, dalam Danforth’s
Obstetrics&Gynecologiy, edisi ke-`10, Scott J, Saia P, Hammond C, Spellacy W,
penyunting, Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2008: 258-275
6. Reem M et al, A Comprehensive Review of Hypertension in Pregnancy. Hindawi
Publishing Corporation Journal of Pregnancy, Vol 2012; Article 105918, p.19
7. New York State Department of Health, Hypertensive Disorder in Pregnancy
Guideline Summary, New York; May 2013
8. Endy M et al, Bagian 4: Kehamilan dan Persalinan dengan Penyulit Obstetri,
Pelayan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan; Kementerian
Kesehatan dan HOGSI, Edisi Pertama; 2013
9. Ansar MD, Hipertensi Dalam Kehamilan. Saifuddin AB, Rachimhadhi T,
31
Wiknjosastro GH, editors. Dalam Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi
Keempat. PT Bina Pustaka. Jakarta. 2010. p. 530-59.
10. Myrtha R, Penatalaksanaan Tekanan Darah Pada Preeklampsia, PPDS-1 Ilmu
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah; Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret/ RSUD Dr. Muwardi, Surakarta, 2015 ; CDK-227/ vol. 42 no. 4
11. Scantlebury et al, The Treatment of Hypertension During Pregnancy: When
Should Blood Pressure Medications Be Started. National Intitute of Health Public
Access Author Manuscript; Curr Cardiol Rep. 2013 November ; 15(11)
32