Hipertensi Dalam Kehamilan

48
HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN I. PENDAHULUAN Hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu dari tiga penyakit yang mematikan, selain perdarahan dan infeksi, dan juga banyak memberikan kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil. Dari tiga kausa klasik angka kematian ibu (AKI) di Indonesia saat ini hipertensi dalam kehamilan serta kausa non obstetrik telah melampaui penyebab infeksi dan perdarahan dan cenderung meningkat meliputi 5 – 7% dari kehamilan dan merupakan komplikasi medis tersering dalam kehamilan. Kurang lebih 70% wanita yang didiagnosis hipertensi dalam kehamilan merupakan preeklampsia. 1 Sesuai dengan target dari WHO yang dituangkan dalam MDG’s 2015 diharapkan angka kematian ibu sekarang dapat diturunkan menjadi 50%, sehingga diperlukan penanganan yang adekuat terhadap kasus-kasus hipertensi dalam kehamilan. 1 Berdasarkan data dari WHO tahun 2011, di Asia dan Afrika, satu dari sepuluh penyakit yang menyebabkan kematian ibu adalah berhubungan dengan hipertensi dalam kehamilan, dan satu dari empat penyakit yang menyebabkan kematian ibu di Amerika Latin berhubungan dengan 1

description

Hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu dari tiga penyakit yang mematikan, selain perdarahan dan infeksi, dan juga banyak memberikan kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil. Dari tiga kausa klasik angka kematian ibu (AKI) di Indonesia saat ini hipertensi dalam kehamilan serta kausa non obstetrik telah melampaui penyebab infeksi dan perdarahan dan cenderung meningkat meliputi 5 – 7% dari kehamilan dan merupakan komplikasi medis tersering dalam kehamilan. Kurang lebih 70% wanita yang didiagnosis hipertensi dalam kehamilan merupakan preeklampsia.1

Transcript of Hipertensi Dalam Kehamilan

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

I. PENDAHULUAN

Hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu dari tiga penyakit yang

mematikan, selain perdarahan dan infeksi, dan juga banyak memberikan kontribusi

pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil. Dari tiga kausa klasik angka kematian ibu

(AKI) di Indonesia saat ini hipertensi dalam kehamilan serta kausa non obstetrik

telah melampaui penyebab infeksi dan perdarahan dan cenderung meningkat

meliputi 5 – 7% dari kehamilan dan merupakan komplikasi medis tersering dalam

kehamilan. Kurang lebih 70% wanita yang didiagnosis hipertensi dalam kehamilan

merupakan preeklampsia.1

Sesuai dengan target dari WHO yang dituangkan dalam MDG’s 2015

diharapkan angka kematian ibu sekarang dapat diturunkan menjadi 50%, sehingga

diperlukan penanganan yang adekuat terhadap kasus-kasus hipertensi dalam

kehamilan.1

Berdasarkan data dari WHO tahun 2011, di Asia dan Afrika, satu dari

sepuluh penyakit yang menyebabkan kematian ibu adalah berhubungan dengan

hipertensi dalam kehamilan, dan satu dari empat penyakit yang menyebabkan

kematian ibu di Amerika Latin berhubungan dengan komplikasi hipertensi dalam

kehamilan. Oleh sebab itu, optimalisasi kesehatan ibu selama kehamilan untuk

mencegah dan mengobati gangguan hipertensi dalam kehamilan merupakan

langkah yang penting menuju pencapaian Millenium Development Goals.2

II. DEFINISI

Hipertensi dalam kehamilan adalah meningkatnya tekanan darah bila keadaan

sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg atau tekanan diastolik lebih dari

sama dengan 90 mmHg dengan patokan korotkoff V untuk menilai tekanan diastolik

selama masa kehamilan. Pengukuran tekanan darah sekurang- kurangnya dilakukan 2

kali selang 4 jam.3

1

III. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi penyakit hipertensi dalam kehamilan sampai sekarang belum

dapat diketahui dengan pasti. Banyak teori yang dikemukakan yang dapat

menjelaskan patofisiologi hipertensi dalam kehamilan. Teori-teori tersebut antara

lain:4,5,6

1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta

Pada kehamilan normal, terjadi invasi tropoblas ke lapisan otot polos

vaskuler, sehingga lapisan otot beregenerasi dan arteri spiralis dapat berdilatasi.

Dilatasi lumen dan matriks di sekitar vaskuler memberi efek menurunkan tekanan

darah, penurunan resistensi vaskuler, dan peningkatan aliran darah ke jaringan

plasenta, dan janin sehingga terjadinya remodeling arteri spiralis. Namun, pada

hipertensi dalam kehamilan, tidak terjadi invasi tropoblas ke lapisan otot vaskuler

dan matriks sekitarnya sehingga menyebabkan lapisan myoepitel tetap keras dan

kaku. Hal ini menyebabkan tidak terjadi vasodilatasi dan efek remodeling arteri

spiralis yang normal tidak terjadi. Peningkatan tekanan darah dapat menyebabkan

aliran darah uteroplasenta menurun dan akhirnya menyebabkan terjadinya iskemia

plasenta.4,5,6

2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel

Plasenta yang mengalami iskemia akan menghasilkan radikal bebas atau

oksidan, salah satu yang dihasilkan adalah radikal hidroksil, yang bersifat toksin

terhadap membran sel endotel sehingga dapat merusak membran sel dan ini merubah

lemak tidak jenuh menjadi lemak peroksida. Lemak peroksida ini yang berfungsi

sebagai bahan oksidan yang beredar di dalam darah sebagai bahan toksin pada

penyakit hipertensi dalam kehamilan. Endotel yang terpapar peroksida lemak

mengalami kerusakan sel endotel, dimulai dari membran sel dan akhirnya

menyebabkan terganggunya fungsi endotel. Disfungsi endotel dapat mengakibatkan

2

gangguan metabolisme prostaglandin yang normalnya adalah vasodilator kuat, dan

peningkatan permeabilitas kapiler.4,5,6

3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin

Pada kehamilan normal, tubuh ibu menerima hasil konsepsi, yang adalah

benda asing, dengan baik. Disebabkan oleh adanya HLA-G, yang memodulasi sistem

imun, sehingga tidak bereaksi terhadap hasil konsepsi. Namun, pada hipertensi dalam

kehamilan, terjadi penurunan ekspresi HLA-G. Berkurangnya HLA-G di sel desidua

di daerah plasenta, menghambat invasi tropoblas dalam desidua, yang penting dalam

memudahkan vasodilatasi pembuluh darah dan matriks di sekitarnya.4,5,6

4. Teori adaptasi kardiovaskular

Pada kehamilan normal, pembuluh darah tidak peka terhadap bahan-bahan

vasopressor, akibat adanya perlindungan dari sintesis prostaglandin oleh sel endotel.

Namun, pada hipertensi dalam kehamilan, endotel kehilangan daya refrakternya

terhadap bahan vasopressor, sehingga terjadi peningkatan kepekaan terhadap

rangsangan dari bahan-bahan tersebut, hingga dalam tahap pembuluh darah menjadi

sangat peka terhadap rangsangan bahan vasopressor.4,5,6

5. Teori genetik

Terdapat penelitian bahwa resiko hipertensi dalam kehamilan diturunkan

dalam gen tunggal pada ibu.4,5,6

6. Teori stimulus inflamasi

Teori ini menjelaskan bahwa lepasnya debris fibroblas akan merangsang

terjadinya inflamasi. Pada kehamilan normal, hal ini juga terjadi, namun dalam batas

wajar, sehingga proses inflamasi yang terhadi tidak menimbulkan masalah. Namun,

pada hipertensi dalam kehamilan, terjadinya disfungsi endotel menyebabkan aktivasi

leukosit yang sangat tinggi pada aliran darah ibu dan akhirnya menyebabkan

inflamasi yang bersifat sistemik.4,5,6

3

Gambar 1 : Patofisiologi preeklamsia.

4

Algoritme 1: Patogenesis preeklampsia.

IV. ETIOLOGI

Hipertensi dalam kehamilan merupakan kelainan multisistem dan pada kasus

berat menyebabkan gangguan pada fungsi hati dan sistem pembekuan darah.

Walaupun etiologinya tidak jelas, trofoblas merupakan penyebab sebelum usia

5

kehamilan 20 minggu pada kehamilan ganda atau mola hidatidosa, dan hal ini

sembuh setelah melahirkan.4

Predisposisi kejadian hipertensi dalam kehamilan terjadi pada:2,4

1. Primigravida

2. Umur tua

3. Riwayat keluarga dengan preeklamsia atau hipertensi

4. Riwayat hipertensi sebelumnya

5. Kehamilan ganda

6. Diabetik gestasional

7. Mola hidatidosa

8. Sensitisasi rhesus berat

V. KLASIFIKASI HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Berdasarkan Report of the National High Blood Pressure Education Program

(NHBPEP) Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy klasifikasi

hipertensi dalam kehamilan adalah: 2,7,8

1. Hipertensi kronik

1.1 Definisi

Hipertensi tanpa proteinuria yang timbul dari sebelum kehamilan dan menetap

setelah persalinan. Hipertensi kronik dalam kehamilan yang didapatkan sebelum

6

timbulnya kehamilan. Apabila tidak diketahui adanya hipertensi sebelum kehamilan,

maka hipertensi kronik didefinisikan bila didapatkan tekanan darah sistolik 140

mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg sebelum umur kehamilan 20

minggu.2,7

1.2 Diagnosis

Tekanan darah ≥140/90 mmHg

Sudah ada riwayat hipertensi sebelum hamil, atau diketahui adanya hipertensi

pada usia kehamilan <20 minggu

Tidak ada proteinuria

2. Superimposed preeklampsia

2.1 Definisi

Preeklamsia yang terjadi pada pasien dengan hipertensi kronik disertai

proteinuria. Diagnosis Superimposed preeclampsia apabila hipertensi kronik disertai

dengan proteinuria. Tanda-tanda superimposed preeclampsia pada hipertensi kronik

adalah : adanya proteinuria, gejala-gejala neurologic, nyeri kepala hebat, gangguan

virus, edema patologik yang menyeluh (anasarka), oliguria, edema paru. Kelainan

laboratorium berupa kenaikan serum kreatinin, trombositopenia, kenaikan

transaminase hepar.2,7,9

2.2 Diagnosis

Ibu dengan riwayat hipertensi kronik (sudah ada sebelum usia kehamilan 20

minggu)

Dari pemeriksaan urin menunjukkan proteinuria +1 atau trombosit <100.000

sel/uL pada usia kehamilan < 20 minggu

7

3. Hipertensi gestasional

3.1 Definisi

Hipertensi tanpa proteinuria yang timbul setelah kehamilan 20 minggu dan

menghilang setelah persalinan dan tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil.

Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan darah mencapai

140/90 mmHg atau lebih besar, tetapi tidak terdapat proteinuria. Hipertensi

gestasional disebut juga transient hypertension dan tekanan darah telah kembali

normal pada 12 minggu postpartum. Apabila tekanan darah naik cukup tinggi selama

trisemester akhir hal ini berbahaya terutama untuk janin, walaupun proteinuria tidak

pernah ditemukan

3.2 Diagnosis

• Tekanan darah ≥140/90 mmHg

• Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil, tekanan darah normal di usia

kehamilan <12 minggu

4. Preeklampsia

4.1 Definisi

Peningkatan tekanan darah dan proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu

yang sebelumnya ibu memiliki normotensi. Preeklampsia terbagi kepada 2 yaitu

preeklampsia ringan dan preeklampsia berat.

Proteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley (1985)

menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan dengan tidak adanya

proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam melebihi 300mg per 24 jam,

atau pada sampel urin secara acak menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara

persisten.1,8

8

Dengan demikian, kriteria untuk diagnosis preeklamsia adalah hipertensi

dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium yang abnormal dalam

pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi meningkatkan kepastian diagnosis

preeklamsia Selain itu, pemantauan secara terus-menerus gejala eklampsia, seperti

sakit kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan kepastian tersebut.1,8

Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan akibat

nekrosis hepatosellular, iskemia, dan oedem yang meregangkan kapsul Glissoni.

Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum hepatik transaminase yang tinggi

dan biasanya merupakan tanda untuk mengakhiri kehamilan.1

Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsia yang memburuk, dan

hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta hemolisis

mikroangiopati yang disebabkan oleh vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis

yang luas dengan ditemukannya hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau

hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang berat.1

4.2 Diagnosis

Preeklampsia Ringan

Tekanan darah ≥140/90 mmHg pada usia kehamilan > 20 minggu

Dari pemeriksaan urin menunjukkan proteinuria 1+ atau pemeriksaan protein

kuantitatif menunjukkan hasil >300 mg/24 jam

Preeklampsia Berat

Tekanan darah >160/110 mmHg pada usia kehamilan >20 minggu

Dari pemeriksaan urin menunjukkan proteinuria ≥2+ atau pemeriksaan

protein kuantitatif menunjukkan hasil >5 g/24 jam

Atau disertai keterlibatan organ lain:

9

o Trombositopenia (<100.000 sel/uL), hemolisis mikroangiopati

o Peningkatan SGOT/SGPT, nyeri abdomen kuadran kanan atas

o Sakit kepala , skotoma penglihatan

o Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion

o Edema paru dan/atau gagal jantung kongestif

o Oliguria (< 500ml/24jam), kreatinin > 1,2 mg/dl

4.3 Manifestasi klinis

Perubahan sistem dan organ pada preeklamsia.2,8

Volume plasma

Pada hamil normal volume plasma meningkat dengan bermakna (disebut

hipervolemia), guna memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin. Peningkatan tertinggi

volume plasma pada hamil normal terjadi pada umur kehamilan 32-34 minggu.

Sebaliknya, oleh sebab yang tidak jelas pada preeklamsia terjadi penurunan volume

plasma antara 30%-40% dibanding hamil normal, disebut hipovolemia. Hipovolemia

diimbangi dengan vasokonstriksi, sehingga terjadi hipertensi. Volume plasma yang

menurun memberi dampak yang luas pada organ-organ penting.2,8

Preeklamsia sangat peka terhadap pemberian cairan intravena yang terlalu

cepat dan banyak. Demikian sebaliknya preeklamsia sangat peka terhadap kehilangan

darah waktu persalinan. Oleh karena itu, observasi cairan masuk ataupun keluar harus

ketat.2

10

Hipertensi

Hipertensi merupakan tanda terpenting guna menegakkan diagnosis hipertensi

dalam kehamilan. Tekanan diastolik menggambarkan resistensi perifer, sedangkan

tekanan sistolik menggambarkan besaran curah jantung. Pada preeklamsia

peningkatan reaktivitas vaskular dimulai umur kehamilan 20 minggu, tetapi

hipertensi dideteksi umumnya pada trimester II. Tekanan darah yang tinggi pada

preeklamsia bersifat labil dan mengikuti irama sirkadian normal. Tekanan darah

menjadi normal beberapa hari pasca persalinan, kecuali beberapa kasus preeklamsia

berat kembalinya tekanan darah normal terjadi 2-4 minggu pasca persalinan.2,8

Tekanan darah bergantung terutama pada curah jantung, volume plasma,

resistensi perifer, dan viskositas darah. Timbulnya hipertensi adalah akibat

vasospasme menyeluruh dengan ukuran tekanan darah ≥140/90 mmHg selang 6 jam.

Tekanan diastolik ditentukan pada hilangnya suara Korotkoff’s phase V. Dipilihnya

tekanan diastolik 90 mmHg sebagai batas hipertensi, karena batas tekanan diastolik

90 mmHg yang disertai proteinuria mempunyai korelasi dengan kematian perinatal

tinggi. Mengingat proteinuria berkorelasi dengan nilai absolut tekanan darah

diastolik, maka kenaikan (perbedaan) tekanan darah tidak dipakai sebagai kriteria

diagnosis hipertensi, hanya sebagai tanda waspada.2,8

Fungsi ginjal

Perubahan fungsi ginjal disebabkan oleh hal-hal yang berikut:2

Menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia sehingga terjadi oliguria

bahkan anuria.

Kerusakan sel gromerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran

basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria.

11

Terjadi gromerular capillary endotheliosis akibat sel endotel gromerular

membengkak disertai deposit fibril.

Gagal ginjal akut terjadi akibat nekrosis tubulus ginjal. Bila sebagian besar kedua

korteks ginjal mengalami nekrosis, maka terjadi nekrosis korteks ginjal yang

bersifat irreversibel.

Dapat terjadi kerusakan intrinsik jaringan ginjal akibat vasospasme pembuluh

darah. Dapat diatasi dengan pemberian dopamin agar terjadi vasodilatasi pembuluh

darah ginjal.

Proteinuria

Bila proteinuria timbul:2

Sebelum hipertensi, umumnya merupakan gejala penyakit ginjal.

Tanpa hipertensi, maka dapat dipertimbangkan sebagai penyulit kehamilan.

Tanpa kenaikan darah diastolik ≥90 mmHg, umumnya ditemukan pada infeksi

saluran kencing atau anemia. Jarang ditemukan proteinuria pada tekanan diastolik

<90 mmHg.

Proteinuria merupakan syarat untuk diagnosis preeklamsia, tetapi proteinuria

umumnya timbul jauh pada akhir kehamilan sehingga sering dijumpai preeklamsia

tanpa proteinuria, karena janin lebih dulu lahir.

Pengukuran proteinuria dapat dilakaukan dengan (a) urin dipstik: 100 mg/l atau +1,

sekurang-kurangya diperiksa 2 kali urin acak selang 6 jam dan (b) pengumpulan

proteinuria dalam 24 jam. Dianggap patologis bila besaran proteinuria ≥300 mg/ 24

jam.

12

Asam urat serum

Umumnya meningkat ≥5 mg/cc. Hal ini disebabkan oleh hipovolemia, yang

menimbulkan menurunnya aliran darah ginjal dan mengakibatkan menurunnya

filtrasi gromerulus, sehingga menurunnya sekresi asam urat. Peningkatan asam urat

dapat terjadi juga akibat iskemia jaringan.2

Kreatinin

Hal ini disebabkan oleh hipovolemia, maka aliran darah ginjal menurun,

mengakibatkan filtrasi gromerulus, sehingga menurunnya sekresi kreatinin, disertai

peningkatan kreatinin plasma. Dapat mencapai kadar kreatinin plasma ≥1 mg/cc, dan

biasanya terjadi pada preeklamsia berat dengan penyulit pada ginjal.2

Oliguria dan anuria

Hal ini terjadi karena hipovolemia sehingga aliran darah ke ginjal menurun

yang mengakibatkan produksi urin menurun (oliguria), bahkan dapat terjadi anuria.

Berat ringannya oliguria menggambarkan berat ringannya hipovolemia. Hal ini

berarti menggambarkan pula berat ringannya preeklamsia. Pemberian cairan

intravena hanya karena oliguria tidak dibenarkan.2,8

Elektrolit

Kadar elektrolit total menurun pada waktu hamil normal. Pada preeklamsia

kadar elektrolit total sama seperti hamil normal, kecuali bila diberi diuretikum

banyak, restriksi konsumsi garam atau pemberian cairan oksitosin yang bersifat

antidiuretik. Preeklamsia berat yang mengalami hipoksia dapat menimbulkan

gangguan keseimbangan asam basa. Pada waktu terjadi kejang eklamsia kadar

bikarbonat menurun, disebabkan timbulnya asidosis laktat dan akibat kompensasi

hilangnya karbon dioksida. Kadar natrium dan kalium pada preeklamsia sama

dengan kadar hamil normal, yaitu sesuai dengan proporsi jumlah air dalam tubuh.

13

Karena kadar natrium dan kalium tidak berubah pada preeklamsia, maka tidak

terjadi retensi natrium yang berlebihan. Ini berarti pada preeklamsia tidak diperlukn

restriksi konsumsi garam.2,8

Tekanan osmotik koloid plasma/ tekanan onkotik

Osmolaritas serum dan tekanan onkotik menurun pada umur kehamilan 8

minggu. Pada preeklamsia tekanan onkotik makin menurun karena kebocoran

protein dan peningkatan permeabilitas vaskular.2

Koagulasi dan fibrinolisis

Gangguan koagulasi pada preeklamsia, misalnya trombsitopenia, jarang yang

berat, tetapi sering dijumpai. Pada preeklamsia terjadi peningkatan FDP, penurunan

antitrombin III, dan peningkatan fibronektin.2

Viskositas darah

Viskositas darah ditentukan oleh volume plasma, molekul makro: fibrinogen

dan hematokrit. Pada preeklamsia viskositas darah meningkat mengakibatkan

meningkatnya resistensi perifer dan menurunnya aliran darah ke organ.2

Hematokrit

Pada hamil normal hematokrit menurun karena hipovolemia, kemudian

meningkat lagi pada trimester III akibat peningkatan produksi urin. Pada

preeklamsia hematokrit meningkat karena hipovolemia yang menggambarkan

beratnya preeklamsia.2

Edema

Edema dapat terjadi pada kehamilan normal. Edema yang terjadi pada

kehamilan mempunyai banyak interpretasi, misalnya 40% edema dijumpai pada

hamil normal, 60% edema dijumpai pada kehamilan dengan hipertensi, dan 80%

14

edema dijumpai pada kehamilan dengan hipertensi dan proteinuria. Edema terjadi

karena hipoalbuminemia atau sel endotel kapiler. Edema yang patologik adalah

edema yang nondependen pada muka dan tangan, atau edema generalisata, dan

biasanya disertai dengan kenaikan berat badan yang cepat.2,8

Hematologik

Perubahan hematologik disebabkan oleh hipovolemia akibat vasospasme,

hipoalbuminemia, hemolisis mikroangiopatik akibat spasme arteriole dan hemolisis

akibat kerusakan endotel arteriole. Perubahan tersebut dapat berupa peningkatan

hematokrit akibat hipovolemia, peningkatan viskositas darah, trombositopenia, dan

gejala hemolisis mikroangiopatik. Disebut trombositopenia bila trombosit <100 000

sel/ml. Hemolisis dapat menimbulkan destruksi eritrosit.2

Hepar

Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia, dan perdarahan. Bila

terjadi perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan terjadi nekrosis sel hepar

dan peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini dapat meluas hingga di bawah kapsula

hepar dan disebut kapsular hematoma. Subkapsular hematoma menimbulkan rasa

nyeri di daerah epigastrium dan dapat menimbulkan ruptur hepar, sehingga perlu

pembedahan.2

Neurologik

Perubahan neurologik dapat berupa:2,8

Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak, sehingga menimbulkan vasogenik

edema.

Akibat spasme arteri retina dan edema retina dapat terjadi gangguan visus.

Gangguan visus dapat berupa: pandangan kabur, skotoma, amaurosis yaitu

kebutaan tanpa jelas adanya kelainan dan ablasio retina.

15

Hiperrefleksi sering dijumpai pada preeklamsia berat, tetapi bukan faktor prediksi

terjadinya eklamsia.

Dapat timbul kejang eklamptik. Penyebab kejang eklamptik belum diketahui

dengan jelas. Faktor-faktor yang menimbulkan kejang eklamptik adalah edema

serebri, vasospasme serebri dan iskemia serebri.

Perdarahan intrakranial meskipun jarang, dapat terjadi pada preeklamsia berat dan

eklamsia.

Kardiovaskular

Perubahan kardiovaskular disebabkan oleh peningkatan cardiac afterload

akibat hipertensi dan penurunan cardiac preload akibat hipovolemia.2,8

Paru

Penderita preeklamsia berat mempunyai resiko besar terjadinya edema paru.

Edema paru dapat disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada

pembuluh darah kapiler paru, dan menurunnya diuresis.2

Janin

Preeklamsia dan eklamsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin

yang disebabkan oleh menurunnya perfusi utero plasenta, hipovolemia, vasospasme,

dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta. Dampak preeklamsia dan

eklamsia pada janin:2

Intrauterine growth restriction dan oligohidramnion

Kenaikan morbiditas dan mortilitas janin secara tidak langsung akibat IUGR,

prematuritas, oligohidramnion, dan solusio plasenta.

16

Patofisologi hipertensi dalam kehamilan (Friedman dan Liendheimer, 1999)

5. Eklampsia

5.1 Definisi

Eklampsia merupakan kasus akut pada penderita preeklamsia, yang disertai

dengan kejang menyeluruh dan koma. Eklampsia postpartum terjadi dalam waktu 24

jam pertama setelah persalinan.2,7

17

Eklamsia merupakan kasus akut pada penderita preeklamsia, yang disertai

dengan kejang menyeluruh dan koma. Sama hanya dengan preeklamsia, eklamsia

dapat timbul pada antepartum, intrapartum, dan postpartum. Eklamsia postpartum

umumnya hanya terjadi dalam waktu 24 jam pertama setelah persalinan.2

Pada penderita preeklamsia yang akan kejang, umumnya memberi gejala-

gejala atau tanda-tanda yang khas, yang dapat dianggap sebagai tanda prodoma akan

terjadinya kejang. Preeklamsia yang disertai dengan tanda-tanda prodoma ini disebut

sebagai impending eclampsia atau imminent eclampsia.2

5.2 Diagnosis

Kejang umum dan/atau koma

Ada tanda dan gejala preeklampsia

Tidak ada kemungkinan penyebab lain (misalnya epilepsi, perdarahan

subarakhnoid, dan meningitis)

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah rutin,

kreatinin, fungsi hati, asam urat, LDH, faktor pembekuan, urinalisa, dan ratio

protein : kreatinin urin. Diagnosa preeklamsia dilakukan dengan adanya proteinuria

1+ atau lebih besar pada dip urin atau >300 mg protein/ 24 jam. Pengambilan

spesimen urin yang baik harus dilakukan dengan membuang urin pertama yang keluar

sebelum mengambil spesimen urin yang benar setelahnya dengan jumlah yang cukup.

Kelainan yang sering ditemukan pada analisa laboratorium merupakan

hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit), hemolisis (trombositopenia, peningkatan

LDH), gangguan renal (peningkatan kreatinin), kerusakan hati (peningkatan fungsi

hati), koagulopati (peningkatan prothrombine time, PT), peningkatan international

18

normalized ratio (INR), peningkatan partial thromboplastin time (PTT), fibrinogen

menurun, dan peningkatan asam urat.9

Tidak ada pemeriksaan radiologi spesifik yang diperlukan pada emergensi

maternal hipertensi. Insiden perdarahan serebral pada eklamsia non fatal tidak

diketahui dan dilaporkan 50% adalah reversibel, strok iskemia pada kehamilan terjadi

oleh karena preeklamsia. Jika perubahan neurologi menetap dan suspek patologi

intrakranial ditemukan setelah resolusi kejang, diindikasikan pemeriksaan computed

tomography (CT) imaging. Jika suspek edema paru, dilakukan roentgen dada. Jika

suspek gagal jantung, boleh dilakukan echocardiography apabila keadaan ibu dan

janin sudah stabil.9

Pada resiko tinggi untuk terjadinya morbiditas janin seperti abrupsi, restriksi

pertumbuhan, dan ketidakcukupan plasenta, evaluasi janin diperlukan. Pemeriksaan

dini terhadap janin dengan menggunakan nonstress test (NST) dan/atau BPP

dilakukan jika ada gejala. Selain itu, evaluasi perkembangan janin, volume cairan

amniotic, dan ratio sistolic-to-diastolic arteri umbilikalis menggunakan ultrasound

adalah direkomendasikan pada pasien dengan preeklamsia.9

VII. PENATALAKSANAAN

Tujuan tata laksana hipertensi dalam kehamilan adalah untuk melindungi ibu

dari berbagai komplikasi dan dapat melanjutkan kehamilannya sampai persalinan

yang aman. Penanganan hipertensi dalam kehamilan adalah berdasarkan usia

kehamilan yaitu usia kehamilan <37 minggu dan ≥37 minggu .1,8

Usia kehamilan <37 minggu

Pada usia kehamilan <37 minggu tanpa tanda-tanda impending eklampsia

dengan keadaan janin baik, kehamilan dipertahankan selama mungkin. Keadaan ibu

diobservasi sambil monitor denyut jantung janin dan kontraksi uterus ibu.

Pemeriksaan USG dilakukan untuk mengevaluasi pertumbuhan janin dan jumlah

19

cairan ketuban. Diberikan pengobatan medikamentosa untuk menstabilisasi keadaan

ibu dengan pemberian magnesium sulfat dan anti hipertensi. Pengobatan

medikamentosa dapat diberikan asalkan tidak terdapat hipertensi yang tidak

terkontrol, tanda-tanda disfungsi organ ibu dan gawat janin selambat-lambatnya

dalam waktu 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan, keadaan ini dianggap

sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus kehamilan diterminasi.2,8

Usia kehamilan ≥37 minggu

Pada usia kehamilan ≥ 37 minggu, yaitua usia kehamilannya sudah aterm,

oleh itu dianjurkan untuk mengakhiri kehamilan (termiansi kehamilan). Terminasi

kehamilan dilakukan jika terdapat kegagalan terapi medikamentosa yaitu apabila

setelah 6 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa, terjadi kenaikan darah yang

persisten atau setelah 24 jam sejak dimulai pengobatan medikamentosa terjadi

kenaikan darah desakan darah yang persisten. Selain itu, terdapat tanda dan gejala

impending eklampsia, gangguan fungsi hepar, gangguan fungsi ginjal, dicurigai

terjadi solusio placenta, dan timbulnya onset partus, ketuban pecah dini dan

pendarahan. Pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan thrombositopenia

progesif, yang menjurus ke sindroma HELLP. 2,8

Terapi medikamentosa

Magnesium sulfat

Pemberian magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin

pada rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi

neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium

sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi

(terjadi kompetetif inhibisi antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium

yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat. Magnesium

20

sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk anti kejang pada

preeklamsia atau eklampsia.9

Magnesium sulfat regimen:9

Loading dose: initial dose

-4 gram MgSO4 40% intravena dalam 100cc NaCl 0,9% selama 30 menit

Maintenance dose:

-Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan MgSO4 40 % 2 gram intravena

selama 5 menit.

-6 gram MgSO4 40% intravena dalam 500 cc Ringer laktat/ 6 jam.

-1 gram MgSO4 40% intravena dalam Ringer laktat/ jam diberikan sampai 24

jam post partum.

Syarat-syarat pemberian MgSO4:9

Harus tersedia antidotum MgSO4 bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas

10% = 1 g (10% dalam 10 cc) diberikan i.v 3 menit.

Refleks patella (+) kuat.

Frekuensi pernapasan >16 kali/ menit, tidak ada tanda-tanda distres napas.

Urin minimal 30ml/jam dalam 4 jam terakhir

Magnesium sulfat dihentikan bila:9

Ada tanda-tanda intoksikasi

Setelah 24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir.

21

Pemberian magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan

didapatkan 50% dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas). Bila

terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka diberikan salah satu obat berikut:

tiopental sodium, sodium amobarbital, diazepam, atau fenitoin.9

Anti hipertensi

Tujuan utama terapi anti hipertensi adalah untuk mengurangi risiko ibu, yang

meliputi abrupsi plasenta, hipertensi urgensi yang memerlukan rawat inap, dan

kerusakan organ target (komplikasi serebrovaskuler dan kardiovaskuler). Risiko

kerusakan organ target meningkat jika kenaikan tekanan darah terjadi tiba-tiba pada

wanita yang sebelumnya normotensi. Tekanan darah >170/110 mmHg merusak

endotel secara langsung. Pada tekanan darah 180-190/120-130 mmHg terjadi

kegagalan autoregulasi serebral yang meningkatkan risiko perdarahan serebral. Selain

itu, risiko abrupsi plasenta dan asfiksia juga meningkat. Penurunan tekanan darah

yang terlalu cepat dan mendadak dapat menurunkan perfusi uteroplasenta, sehingga

dapat menyebabkan hipoksia janin. Target tekanan darah adalah sekitar 140/90

mmHg. Guideline European Society of Hypertension (ESH) / European Society of

Cardiology (ESC) terbaru merekomendasikan jika tekanan darah sistolik >170 mmHg

atau diastolik >110 mmHg pada wanita hamil diklasifikasikan sebagai emergensi dan

merupakan indikasi rawat inap. Jenis-jenis obat anti hipertensi dalam penanganan

hipertensi dalam kehamilan adalah golongan:10

Calcium Channel Blocker

CCB bekerja pada otot polos arteriolar dan menyebabkan vasodilatasi dengan

menghambat masuknya kalsium ke dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat

pemberian CCB dapat mengurangi afterload, sedangkan efeknya pada sirkulasi vena

hanya minimal. Pemberian CCB dapat memberikan efek samping maternal,

diantaranya takikardia, palpitasi, sakit kepala, flushing, dan edema tungkai akibat

22

efek lokal mikrovaskular serta retensi cairan. Obat dari golongan CCB yang

direkomendasikan adalah:10,11

Nifedipin 4x 10-30 mg per oral (short acting)

1x 20-30 mg per oral (long acting)

Dapat menyebabkan hipoperfusi pada ibu dan janin bila

diberikan sublingual

Nikardipin 5mg/ jam, dapat dititrasi 2,5mg jam tiap 5 menit hingga

maksimum 10mg/ jam

β-Blocker

Atenolol merupakan β-blocker kardioselektif dan dapat menyebabkan

pertumbuhan janin terhambat, terutama jika digunakan dalam jangka waktu yang

lama selama kehamilan atau diberikan pada trimester pertama sehingga

penggunaannya dibatasi pada keadaan pemberian anti hipertensi lainnya tidak efektif.

Pemberian labetolol 10 mg per oral. Jika respon tidak membaik setelah 10 menit,

berikan lagi labetolol 20 mg per oral.10,11

Agonis Reseptor Alfa

Metildopa merupakan agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat

dan merupakan anti hipertensi yang sering digunakan untuk wanita hamil dengan

hipertensi kronis. Walaupun metildopa bekerja pada sistem saraf pusat, namun juga

memiliki sedikit efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan

darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah ginjal relatif tidak

terpengaruh. Efek samping pada ibu adalah letargi, mulut kering, mengantuk, depresi,

hipertensi postural, anemia hemolitik, dan drug-induced hepatitis. Dosis metildopa

adalah 2x 250-500 mg per oral (dosis maksimum 2000 mg/hari).10,11

23

VIII. KOMPLIKASI

Hipertensi dalam kehamilan merupakan antara 3 kausa kematian ibu hamil.

Tekanan darah yang meningkat mengakibatkan pembuluh darah mengalami

vasokontriksi. Akibatnya suplai darah ke jaringan tubuh akan berkurang. Organ akan

kehilangan asupan nutrisi dan oksigen sehingga lambat laun mengakibatkan organ

tidak berfungsi dan bahkan kematian organ. Akibatnya, ibu hamil meninggal karena

komplikasi dari hipertensi dalam kehamilan seperti gagal ginjal atau kematian organ

lainnya.7,8

1. Sindrom HELLP

Sindroma HELLP adalah komplikasi yang timbul akibat preeklampsia-

eklapmsia yang ditandai dengan hemolisis, peningkatan enzim hepar, disfungsi hepar,

dan trombositopenia.

H: Hemolysis

EL: Elevated liver Enzyme

LP: Low Platelets Count

Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Yang ditemukan

pada penyakit multisistem ini adalah kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan

kelainan koagulasi. Sindrom ini kelihatannya merupakan akhir dari kelainan yang

menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler;

akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregasi trombosit dan selanjutnya

terjadi kerusakan endotel. Hemolisis yang didefinisikan sebagai anemi hemolitik

mikroangiopati merupakan tanda khas. Sel darah merah terfragmentasi saat melewati

pembuluh darah kecil yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Peningkatan

kadar enzim hati diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran darah hati oleh deposit

fibrin di sinusoid. Obstruksi ini menyebabkan nekrosis periportal dan pada kasus

yang berat dapat terjadi perdarahan intrahepatik, hematom subkapsular atau ruptur

hati.

24

Diagnosis Sindrom HELLP:

Didahului tanda dan gejala yang tidak khas malaise, lemah, nyeri

kepala, mual,muntah (semua ini mirip tanda dan gejala infeksi virus)

Adanya tanda dan gejala preeklamsia

Tanda-tanda hemolisis intravaskular, khususnya kenaikan LDH, AST,

dan bilirubin indirek.

Tanda kerusakan/ disfungsi sel hepatosit hepar: kenaikan ALT, AST,

LDH

TrombositopeniaTrombosit ≤ 150.000/ml

Klasifikasi sindroma HELLP menurut klasifikasi Mississippi

Berdasarkan kadar trombosit darah, maka sindroma HELLP diklasifikasi

dengan:Klasifikasi Mississippi

Klas 1 : Kadar trombosit : ≤ 50.000/ml

LDH ≥ 600 IU/l

AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l

Klas 2 : Kadar trombosit : > 50.000/ml ≤ 100.000/ml

LDH ≥ 600 IU/l

AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l

Klas 3: Kadar trombosit : > 100.000/ml ≤ 150.000/ml

LDH ≥ 600 IU/l

AST dan/atau ALT ≥ 40 IU/l.2

KLasifikasi Tennessee

Benar atau lengkap

Platelet < 100.000

AST > 70 IU/l

LDH > 600 IU/l

Parsial atau tidak lengkap

Preeklasia berat dengan salah satu dari berikut: ELLP , HEL , EL , LP

Keterangan:

25

ELLP : tidak ada hemolisis

HELnda : tidak adanya trombosit rendah

EL : fungsi hati yang tinggi

LP : trombosit rendah

Pasien sindrom HELLP harus diterapi profilaksis MgSO4 untuk mencegah

kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 g MgSO4 20% sebagai dosis

awal, diikuti dengan infus 2 g/jam. Pemberian infus ini harus dititrasi sesuai produksi

urin dan diobservasi terhadap tanda dan gejala keracunan MgSO4. Jika terjadi

keracunan, berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% iv. Terapi anti hipertensi harus

dimulai jika tekanan darah menetap > 160/110 mmHg di samping penggunaan

MgSO4. Hal ini berguna menurunkan risiko perdarahan otak, solusio plasenta dan

kejang pada ibu. Tujuannya mempertahankan tekanan darah diastolik 90 – 100

mmHg. Anti hipertensi yang sering digunakan adalah hydralazine dalam dosis kecil

2,5-5 mg (dosis awal 5 mg) tiap 15-20 menit sampai tekanan darah yang diinginkan

tercapai. Labetalol dan nifedipin juga digunakan dan memberikan hasil baik. Karena

efek potensiasi, harus hati-hati bila nifedipin dan MgSO4 diberikan bersamaan.

Diuretik dapat mengganggu perfusi plasenta sehingga tidak dapat digunakan.7,8

Langkah selanjutnya ialah mengevaluasi kesejahteraan bayi dengan

menggunakan tes tanpa tekanan, atau profil biofisik, biometri USG untuk menilai

pertumbuhan janin terhambat. Terakhir, harus diputuskan apakah perlu segera

mengakhiri kehamilan. Sindrom ini bukan indikasi seksio sesarea, kecuali jika ada

hal-hal yang mengganngu kesehatan ibu dan janin. area ini. Anestesi umum

merupakan metode terpilih pada seksio sesarea7,8

2. Disseminated intravascular coagulation (DIC)

Disseminated intravascular coagulation atau DIC adalah gangguan serius

yang terjadi pada mekanisme pembekuan darah pada tubuh. Normalnya tubuh

membentuk bekuan darah sebagai reaksi terhadap trauma. Dengan DIC, tubuh

membentuk bekuan darah kecil secara berlebihan, mengurangi jumlah faktor

26

pembekuan dan trombosit dalam tubuh. Bekuan-bekuan darah kecil ini berbahaya,

dan dapat mempengaruhi suplai darah ke organ tubuh, menyebabkan disfungsi dan

kerusakan organ. Perdarahan secara besar-besaran dapat terjadi karena kurangnya

faktor pembekuan dan trombosit pada tubuh.

Kehamilan menyebabkan kondisi status hiperkoagulasi. Terdapat peningkatan

aktivitas semua faktor koagulasi kecuali faktor XI dan XIII. Fibrinogen meningkat

sejak awal kehamilan sekitar 12 minggu,dan mencapai puncaknya dengan kadar 400-

650 mg/dL pada kehamilan aterm. Sistem fibrinolitik tertekan pada kehamilan dan

persalinan, akan tetapi kembali normal dalam satu jam setelah plasenta lahir. Banyak

kasus DIC yang berhubungan dengan kehamilan yang disebabkan oleh preeklampsia-

eklampsia.

DIC pada kehamilan

Pada kasus obstetri DIC selalu merupakan akibat adanya proses yang lain.

Aktifasi sistem koagulasi terjadi dengan cara:

1. Pelepasan sistem tromboplastin kedalam sirkulasi maternal dari plasenta dan

jaringan desidua. Mekanisme ini terjadi secara cepat pada kasus solusio

plasenta,emboli air ketuban, ruptur uteri, dan terjadi secara perlahan dan

membahayakan pada kasus IUFD.

2. Kerusakan pada sel endotelial membuka kolagen utama ke dalam plasma dan

mengaktifkan faktor koagulasi. Eklamsia dan preeclampsia termasuk dalam kategori

ini.

3. Kerusakan pada sel darah merah dan trombosit melepaskan pospolipid. Hal ini

terjadi pada reaksi transfusi

3.Solusio plasenta

27

Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan

maternalplasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua

endometrium sebelumwaktunya yakni sebelum anak lahir. Di berbagai literatur

disebutkan bahwa risiko mengalamisolusio plasenta meningkat dengan bertambahnya

usia. Solusio plasenta atau disebut abruption placenta / ablasia placenta adalah

separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya di uterus (korpus uteri)

dalam masa kehamilan lebih dari 20 minggu dan sebelum janin lahir. Dalam plasenta

terdapat banyak pembuluh darah yang memungkinkan pengantaran zat nutrisi dari ibu

kejanin, jika plasenta ini terlepas dari implantasi normalnya dalam masa kehamilan

maka akan mengakibatkan perdarahan yang hebat.

Penyebab primer dari solusio plasenta tidak diketahui, tetapi terdapat

beberapa keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan atau menyertai

solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor resiko. Hipertensi essensial atau pre-

eklampsi, karena desakan darah tinggi, maka pembuluh darah mudah pecah,

kemudian terjadi hematom retropalsenta yang dapat menyebabkan sebagian plasenta

dapat terlepas.

4.  Kematian Janin Dalam Rahim (IUFD)

Kematian janin dalam Rahim adalah keadaan tidak adanya tanda-tanda

kehidupan janin dalam kandungan. Kematian janin dalam kandungan (KJDK) atau

intra uterine fetal death (IUFD), sering dijumpai baik pada kehamilan dibawah 20

minggu maupun sesudah kehamilan 20 minggu

• Sebelum 20 minggu :

Kematian janin dapat terjadi dan biasanya berakhir dengan abortus. Bila hasil

konsepsi yang sudah mati tidak dikeluarkan dan tetap tinggal dalam rahim disebut

missed abortion.

• Sesudah 20 minggu :

28

Biasanya ibu telah merasakan gerakan janin sejak kehamilan 20 minggu dan

seterusnya. Apabila wanita tidak merasakan gerakan janin dapat disangka terjadi

kematian dalam Rahim.

Preeklamsia dan eklamsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin

yang disebabkan oleh menurunnya perfusi utero plasenta, hipovolemia, vasospasme,

dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta yang akhir menyebabkan

kurangnya aliran darah ke janin.

Bila umur kehamilan <37 minggu/TBF <2500 g solusio plasenta ringan maka

pengelolaan konservatif meliputi tirah baring, sedatif, mengatasi anemia, monitoring

keadaan janin dengan kardiotokografi dan USG serta menunggu persalinan spontan.

Pada solusio plasenta sedang dan berat atau solusio plasenta ringan yang memburuk,

jika persalinan diperkirakan < 6 jam, diusahakan partus pervaginam dengan

amniotomi dan pitosin drip. Seksio sesarea diindikasikan bila persalinan diperkirakan

> 6 Jam. Pasien dengan solusio plasenta sedang atau berat, tranfusi darah atau

resusitasi cairan dan pemberian oksigen pada saat terjadi syok hendaknya dilakukan

terlebih dahulu sebelum tindakan obstetri. Ketuban dapat segera dipecah untuk

mengurangi regangan uterus. Setelah ketuban pecah, segera berikan infus oksitosin.

Pemecahan ketuban (amniotomi) dapat mengurangi syok serta mengurangi

kemungkinan masuknya tromboplastin.

Bila umur kehamilan 37 minggu seksio sesar diindikasikan jika persalinan

pervaginam diperkirakan berlangsung lama baik pada solusio plasenta ringan, sedang

maupun berat. Seksio sesarea biasanya di lakukan pada keadaan dimana solusio

plasenta dengan anak hidup tapi pembukaan kecil, solusio plasenta dengan toksemia

berat dengan perdarahan banyak tetapi pembukaan kecil, dan solusio plasenta dengan

panggul sempit atau letak melintang. Seksio sesarea juga menjadi pilihan jika janin

harus dilahirkan cepat karena mengalami gawat janin

IX. KESIMPULAN

29

Hipertensi dalam kehamilan merupakan salah satu dari tiga tiga kausa klasik

angka kematian ibu (AKI) di Indonesia selain perdarahan dan infeksi . Definisi

hipertensi dalam kehamilan adalah peningkatan tekanan darah darah bila keadaan

sistolik lebih dari sama dengan 140 mmHg atau tekanan diastolik lebih dari sama

dengan 90 mmHg dengan patokan korotkoff V untuk menilai tekanan diastolik

selama masa kehamilan

Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP

dibagi menjadi 5 tipe, yaitu hipertensi kronis, hipertensi gestasional, preeklamsia,

superimposed, preeklampsia, dan eklampsia.

Sebab potensial dan patofisiologi terjadinya hipertensi dalam kehamilan

adalah invasi trofoblastik abnormal pembuluh darah uterus, intoleransi imunologis

antara jaringan plasenta ibu dan janin, maladaptasi maternal pada perubahan

kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan normal, dan pengaruh genetik.

Penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan adalah berdasarkan usia

kehamilan yaitu usia kehamilan <37 minggu dan usia kehamilan ≥37 minggu. Pada

usia kehamilan <37 minggu tanpa tanda- anda impending eklampsia dengan keadaan

janin baik, kehamilan dipertahankan selama mungkin. Diberi pengobatan

medikamentosa untuk menstabilisasi keadaan ibu dengan mempertimbangkan

pemberian magnesium sulfat dan anti hipertensi. Pada usia kehamilan ≥ 37 minggu

dianjurkan untuk mengakhiri kehamilan dengan cara terminasi kehamilan.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. HKFM Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Panduan

Penatalaksanaan Hipertensi Dalam Kehamilan; 2010

2. WHO Recommendations for Prevention and Treatment Of Pre-Eclampsia and

Eclampsia, WHO Handbook for guideline development. Geneva, World Health

Organization, 2010

3. James M et al, Hypertension in Pregnancy: Report of the American College of

Obstetricians and Gynecologists. Women’s Health Care Physicians; November

2013:Vol 122

4. Cunningham F, Leveno K, Bloom S, Hauth J, Gilstrap L, Wenstrom K,

Hypertensive Disorders in Pregnancy, dalam William Obstetrics, edisi ke-22,

New York: McGraw-Hill, 2010 : 706-747

5. Branch D, Porter T, Hypertensive Disorders of Pregnancy, dalam Danforth’s

Obstetrics&Gynecologiy, edisi ke-`10, Scott J, Saia P, Hammond C, Spellacy W,

penyunting, Philadelphia: Lippincott Williams&Wilkins, 2008: 258-275

6. Reem M et al, A Comprehensive Review of Hypertension in Pregnancy. Hindawi

Publishing Corporation Journal of Pregnancy, Vol 2012; Article 105918, p.19

7. New York State Department of Health, Hypertensive Disorder in Pregnancy

Guideline Summary, New York; May 2013

8. Endy M et al, Bagian 4: Kehamilan dan Persalinan dengan Penyulit Obstetri,

Pelayan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan; Kementerian

Kesehatan dan HOGSI, Edisi Pertama; 2013

9. Ansar MD, Hipertensi Dalam Kehamilan. Saifuddin AB, Rachimhadhi T,

31

Wiknjosastro GH, editors. Dalam Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi

Keempat. PT Bina Pustaka. Jakarta. 2010. p. 530-59.

10. Myrtha R, Penatalaksanaan Tekanan Darah Pada Preeklampsia, PPDS-1 Ilmu

Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah; Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas

Maret/ RSUD Dr. Muwardi, Surakarta, 2015 ; CDK-227/ vol. 42 no. 4

11. Scantlebury et al, The Treatment of Hypertension During Pregnancy: When

Should Blood Pressure Medications Be Started. National Intitute of Health Public

Access Author Manuscript; Curr Cardiol Rep. 2013 November ; 15(11)

32