HEI Anti Dumping REV

25
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Organisasi Perdagangan Dunia atau yang lebih dikenal dengan WTO (World Trade Organization) telah terbentuk selama 15 tahun. Indonesia sebagai salah satu anggota telah pula meratifikasi melalui UU No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Organisasi ini muncul sebagai upaya untuk menciptakan sistem perdagangan dunia yang bebas dari berbagai hambatan untuk melakukan ekspor antar semua negara serta kemudahan melakukan investasi, termasuk dalam kaitannya dengan lalu lintas tenaga kerja. “Dengan demikian, diharapkan kegiatan perekonomian dunia akan terus meningkat dan kemudian akan meningkatkan pula kesejahteraan masyarakat dunia.” 1 Cita-cita mulia tersebut didorong oleh keinginan untuk tidak mengulang kembali sistem perdagangan dunia yang sangat protektif di tahun 1930-an yang menjadi penyebab munculnya “perang dagang” dan kemudian memicu terjadinya Perang Dunia II. 1 H.S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, Cet. II., Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.

Transcript of HEI Anti Dumping REV

Page 1: HEI Anti Dumping REV

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Organisasi Perdagangan Dunia atau yang lebih dikenal dengan WTO (World

Trade Organization) telah terbentuk selama 15 tahun. Indonesia sebagai salah satu

anggota telah pula meratifikasi melalui UU No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan

Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan

Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Organisasi ini muncul sebagai

upaya untuk menciptakan sistem perdagangan dunia yang bebas dari berbagai

hambatan untuk melakukan ekspor antar semua negara serta kemudahan

melakukan investasi, termasuk dalam kaitannya dengan lalu lintas tenaga kerja.

“Dengan demikian, diharapkan kegiatan perekonomian dunia akan terus

meningkat dan kemudian akan meningkatkan pula kesejahteraan masyarakat

dunia.”1 Cita-cita mulia tersebut didorong oleh keinginan untuk tidak mengulang

kembali sistem perdagangan dunia yang sangat protektif di tahun 1930-an yang

menjadi penyebab munculnya “perang dagang” dan kemudian memicu terjadinya

Perang Dunia II.

Setelah melalui proses pembentukan yang sangat panjang, melibatkan

berbagai putaran perundingan yaitu dimulai dengan pembentukan General

Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947 dan gagalnya

pembentukan International Trade Organization (ITO) pada tahun 1950, hingga

WTO akhirnya terbentuk pada 1 Januari 1995. Pembentukan WTO inipun

terutama baru dipercepat sejak tahun 1970-an ketika gejala proteksionisme mulai

tumbuh kembali, yang justru muncul pertama kali di negara-negara besar terutama

Amerika Serikat. WTO sendiri bukan merupakan sebuah organisasi internasional

yang memiliki kemampuan untuk mengatur, melainkan sebagai forum untuk

membantu negara-negara anggota melakukan negosiasi perdagangan dan

menerapkan hasil-hasil kesepakatan dalam bidang tersebut. Aturan-aturan

1 H.S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, Cet. II., Universitas Indonesia,

Jakarta, 1998.

Page 2: HEI Anti Dumping REV

2

mengenai perdagangan dunia terdapat di dalam perjanjian-perjanjian internasional

yang dibentuk yaitu General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) untuk

perdagangan bidang barang, General Agreement on Trade and Services (GATS)

untuk perdagangan dibidang jasa, juga termasuk kebudayaan dan pariwisata, serta

Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Semua pengaturan

dan kesepakatan tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk mencapai kemajuan

dan kemakmuran bersama.

Namun dalam proses mewujudkan cita-cita mulia tersebut masih terdapat

banyak faktor extra judicial yang menjadi penentu arah proses liberalisasi

perdagangan, yang berarti menentukan siapa mendapat apa. WTO tidak saja

menentukan “norma” baru perdagangan barang produk manufaktur dan produk

dari sumber daya alam, namun juga merambah sampai ke sektor jasa yang

merupakan industri terbesar dunia di mana pada sektor inilah yang masih “tersisa”

sebagai peluang dan harapan untuk dijadikan sumber andalan dalam memperoleh

devisa oleh negara-negara di Dunia Ketiga.2

Seiring perkembangannya, WTO telah banyak mengeluarkan kebijakan-

kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan antar negara, sebagai salah satu

contoh yaitu adanya kebijakan mengenai tindakan anti-dumping. Dapat dikatakan

suatu tindakan dumping ketika sebuah perusahaan menjual produknya di negara

lain lebih murah dari harga normal pasar dalam negerinya. “Hal ini merupakan

salah satu isu dalam persetujuan WTO yang tidak bersifat menghakimi, tapi lebih

memfokuskan pada tindakan-tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh

negara untuk mengatasi dumping.”3 Perihal pengaturan tentang anti-dumping

dituangkan dalam Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994.

Persetujuan ini dikenal dengan Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping

Agreement).

2 A.D. Axioma, Prospek Jasa Pariwisata Indonesia dan Tantangannya, Makalah untuk kuliah

umum yang disampaikan pada Program MM-Universitas Pelita Harapan, Jakarta, 17 Maret 2004

3 Fernandes Raja Saor Butar Butar, Ketentuan Anti-Dumping: Pengertian dan Studi Kasus Yang Melibatkan Indonesia Melalui WTO , http://raja1987.blogspot.com/2009/02/ketentuan-anti-dumping-pengertian-dan.html, diakses pada 14 April 2010.

Page 3: HEI Anti Dumping REV

3

Sebagai contoh, sekitar tahun 2002 Indonesia pernah mendapat tuduhan dari

Korea Selatan atas tindakan dumping pada produk kertas yang diekspor ke Korea

Selatan. Sehingga membuat Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping

kepada Korea Trade Commision (KTC). Atas pengenaan tindakan anti-dumping

tersebut, Indonesia kemudian mengajak Korea Selatan untuk berkonsultasi,

namun tidak mencapai kesepakatan. Hingga akhirnya Indonesia meminta kepada

DSB WTO, agar Korea Selatan mencabut tindakan anti-dumpingnya terhadap

Indonesia.

I.2. Rumusan Masalah

Adapun beberapa masalah yang dapat dirumuskan dari latar belakang

masalah diatas adalah sebagai berikut :

1. Apakah kebijakan anti-dumping Korea Selatan terhadap produk kertas dari

Indonesia telah sesuai dengan ketentuan anti-dumping WTO?

2. Apakah rekomendasi DSB WTO atas gugatan Indonesia terhadap

kebijakan anti-dumping Korea Selatan dapat di implementasikan secara

efektif?

Page 4: HEI Anti Dumping REV

4

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WORLD TRADE ORGANIZATION,

PENGERTIAN DAN PENGATURAN ANTI-DUMPING

II.1. World Trade Organization (WTO)

World Trade Organization atau yang lebih dikenal dengan WTO merupakan

suatu organisasi internasional yang bergerak dibidang perdagangan. Namun dalam

perkembangannya WTO tidak hanya bergerak dibidang perdagangan saja,

melainkan telah mencakup dalam bidang jasa (services). Dalam WTO juga diatur

mengenai hak atas kekayaan intelektual yang tertuang dalam Trade Related

Intellectual Properties Agreement (TRIPs) serta penyelesaian sengketa.

“Latar belakang berdirinya World Trade Organization (WTO) tidak terlepas

dari sejarah lahirnya ITO (dan GATT). Seperti telah umum diketahui, masyarakat

internasional seusai Perang Dunia II menyadari perlunya pembentukan suatu

organisasi internasional di bidang perdagangan.”4 WTO secara resmi berdiri pada

tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah

abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade

(GATT) Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat

aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat

peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan

perdagangan internasional tertinggi.

Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade

Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem

Bretton Woods (IMF dan bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui

4 Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, PT. RajaGrafindo Persada, 2005,

Jakarta, hal. 115.

Page 5: HEI Anti Dumping REV

5

dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret

1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan

lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang

walaupun sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi  Piagam Havana sehingga ITO

secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap

merupakan instrument multilateral yang mengatur perdagangan internasional.

Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada tahun

1948 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan “plurilateral”

(disepakati oleh beberapa negara saja) dan upaya-upaya pengurangan tariff.

Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan

multilateral yang dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan” (trade round),

sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.

Pada tahun 1990 pemerintah Canada pertama kali mengusulkan secara formal

pembentukan suatu badan perdagangan dunia (WTO). Dan kemudian usulan ini

mendapat sambutan positif oleh Uni Eropa, namun atas usulan Uni Eropa agar

istilah “World” tersebut diganti dengan “Multilateral” (Trade Organization) atau

MTO. Dan pada akhirnya “Pada pertemuan bulan Desember 1993, tercapai

kesepakatan terhadap usulan pembentukan organisasi internasional. tetapi

namanya berubah kembali menjadi WTO. Usulan ini disahkan menjadi

persetujuan akhir yang ditandatangani pada April 1994 di Maroko.”5

WTO bertujuan untuk mendorong pertumbuhan arus barang dan jasa antar

negara dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan perdagangan, tarif

dan non-tarif (subsidi, bantuan ekspor, aturan-aturan yang menghambat ekspor

negara lain, dll). Selain itu, WTO juga memfasilitasi perundingan antar

anggotanya dengan menyediakan forum-forum perundingan yang permanen,

membantu penyelesaian sengketa di antara anggota dan mengawasi pelaksanaan

aturan-aturannya di masing-masing negara anggota.

Walaupun terdapat banyak persetujuan dalam WTO, beberapa prinsip dasar

di bawah ini terkandung dalam persetujuan-persetujuan tersebut, antara lain:

1. Perlakuan sama terhadap semua mitra dagang (Most Favored Nation-MFN);

5 Ibid, hal. 117.

Page 6: HEI Anti Dumping REV

6

2. Perlakuan Nasional (National Treatment);

3. Transparansi (Transparency);

4. Resiprositas (Reciprocity Principle);

5. Tarif sebagai instrument tunggal untuk proteksi;

6. Larangan terhadap Restriksi Kuantitatif;

7. Perlakuan Khusus dan Berbeda (Special and Differential Treatment);

8. Preferensi negara berkembang;

9. Penyelesaian secara damai;

10. Prinsip Perkecualian, terdapat beberapa kebijakan, yaitu anti-dumping,

subsidi, pengamanan (Safeguards Clause) dan perkecualian lainnya seperti

Generalize System Preference (GSP), Escape Clause, Enabling Clause,

Regional Trade Agreement (RTA) Article XXIV GATT.6

II.2. Pengertian Dan Pengaturan Anti-Dumping

Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah

suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah

perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih

rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan

tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.7 Sedangkan

menurut kamus hukum ekonomi dumping adalah praktik dagang yang dilakukan

eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang

dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di

negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya,

praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen

pesaing di negara pengimport.8

6 N. Rosyidah Rakhmawati, Hukum Ekonomi Internasional Dalam Era Global, Bayumedia

Publishing, Malang, 2006, hal. 1277 Aprilia Gayatri dan Femita Adriani, “Tuduhan Praktek Dumping yang Dilakukan Indonesia”

Pada Sengketa Anti-dumping Produk Kertas dengan Korea Selatan, Fakultas Hukum Universitas

Padjadjaran, http://binchoutan.files.wordpress.com/2008/06/studi-kasus-dumping.pdf, di akses

pada 18 April 2010, hal. 6.8 Elips Kamus Hukum Ekonomi, Jakarta 1997, hal 105

Page 7: HEI Anti Dumping REV

7

Menurut Robert Willig ada 5 tipe dumping yang dilihat dari tujuan eksportir,

kekuaran pasar dan struktur pasar import, antara lain:9

1. Market Expansion

Dumping Perusahaan pengeksport bisa meraih untung dengan menetapkan

“mark-up” yang lebih rendah di pasar import karena menghadapi elastisitas

permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah.

2. Cyclical Dumping

Motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar biasa

rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi

dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait.

3. State Trading Dumping

Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping

lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi.

4. Strategic Dumping

Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan

saingan di negara pengimpor melalui strategis keseluruhan negara pengekspor,

baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan

masuknya produk yang sama ke pasar negara pengekspor. Jika bagian dari

porsi pasar domestik tiap eksportir independen cukup besar dalam tolok ukur

skala ekonomi, maka memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus

dikeluarkan oleh pesaing-pesaing asing.

5. Predatory Dumping

Istilah predatory dumping dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan

tujuan mendepak pesaing dari pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan

monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping jenis ini

adalah matinya perusahan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis.

Anti Dumping

9 José Tavares de Araujo Jr, Antidumping in the America: Analyses on trade and integration in the

Americas, 2001, hal 9, http://www.dttc.oas.org/trade/studies/subsid/Antidumptav.pdf, diakses pada

18 April 2010.

Page 8: HEI Anti Dumping REV

8

Karena dampak negatif bagi negara pengimpor dari praktek dumping yang

dilakukan oleh negara pengekspor terhadap jenis barang yang sama, maka

dibutuhkan aturan dan pembatas serta pengendali terhadap praktek dumping

tersebut. Aturan mengenai larangan dumping disebut peraturan anti dumping.

Adapun tujuan dari adanya peraturan Anti Dumping tersebut memberikan proteksi

terhadap industri dalam negeri dari praktek dumping yang diduga dilakukan

ekportir atau produsen luar negeri.

Praktek dumping dapat dikenakan tindakan anti dumping bila merugikan

industri atau produsen negara pengimpor. Hukuman bagi negara yang terbukti

melakukan praktek dumping dan merugikan industri atau produsen dalam negeri

akan dikenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar marjin dumping

(selisih harga ekspor dengan harga di pasar asal eksportir) yang ditemukan, guna

mengeliminir kerugian dari barang dumping sehingga industri dalam negeri tetap

terlindungi dan dapat tetap bersaing dengan barang impor. Pengenaan BMAD

tentunya melalui beberapa tahap proses penyelidikan. Ketika lembaga

pemerintahan (komite anti dumping) yang terkait menerima laporan dari produsen

bahwa terdapat dumping atas barang yang diimpor tersebut maka komite tersebut

barulah bisa memulai proses penyelidikan praktek dumping negara pengekspor

tersebut.

Untuk mencegah kerugian selama melakukan penyelidikan, komite dapat

mengusulkan kepada departemen terkait untuk melakukan tindakan sementara

seperti tindakan berupa pengenaan Bea Masuk Anti Dumping Imbalan Sementara

(BMADS). Pengenaan BMADS ditetapkan oleh menteri keuangan berupa

pembayaran jaminan dalam bentuk uang tunai, jaminan bank, atau jaminan dari

perusahaan asuransi paling besar sama dengan BMAD. Selama proses

penyelidikan dan terbukti negara pengeskpor melakukan praktek dumping maka

pengekspor atau negara pengekspor harus melakukan tindakan penyesuaian

berupa penyesuaian harga atau penghentian ekspor barang tersebut, atau lainnya.

Tujuan dari tindakan penyesuaian tersebut adalah untuk menghilangkan kerugian

industri di negara pengimpor. Namun jika negara pengekspor terbukti melakukan

dumping dan tidak melakukan penyesuaian harga dari produsen negara

Page 9: HEI Anti Dumping REV

9

pengekspor, maka BMAD akan dikenakan sebesar marjin dumping terhadap

barang tersebut.

Pengaturan mengenai Anti-Dumping dalam WTO yaitu telah diatur dalam

Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement atau Agreement on the

Implementation of Article VI of GATT 1994). “Tarif yang mengikat (binding

tariff) dan pemberlakuannya secara sama kepada semua mitra dagang anggota

WTO merupakan kunci pokok kelancaran arus perdagangan barang.”10 “Dalam

persetujuan ini pemerintah diperbolehkan untuk mengambil tindakan sebagai

reaksi terhadap dumping jika benar-benar terbukti terjadi kerugian (material

injury) terhadap industri domestik, dan inilah yang dimaksud dengan anti-

dumping.”11 Jadi Anti-Dumping yaitu tindakan atau kebijaksanaan pemerintah

negara pengimpor terhadap barang dumping yang merugikan industri dalam

negeri.

Oleh karena Indonesia merupakan merupakan anggota WTO, dan telah

meratifikasi persetujuan-persetujuan yang dihasilkan dari WTO. Maka secara

yuridis terikat untuk dengan segera mengharmonisasikannya kedalam peraturan

nasional Indonesia. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang

Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan

Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Namun mengenai Anti-Dumping

belum terdapat pengaturannya dalam Undang-Undang tersebut. Sehingga dalam

hukum nasional di Indonesia diatur dalam:12

1. UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan

2. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti

Dumping dan Bea Masuk Imbalan

3. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor :

430/MPP/Kep/9/1999 tentang Komite Antidumping Indonesia dan Tim

Operasional Antidumping

10 Fernandes Raja Saor Butar Butar, loc.cit.

11 Ibid.

12 Aprilia Gayatri dan Femita Adriani, op.cit., hal. 10.

Page 10: HEI Anti Dumping REV

10

4. Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai No. SE-19/BC/1997 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Pemungutan Bea Masuk Anti Dumping/Sementara.

Kelemahan Ketentuan Anti-Dumping WTO

Ketentuan Anti-Dumping dan Countervailing Duties merupakan salah satu

instrumen untuk mencegah adanya persaingan tidak sehat, namun dalam

implementasinya mempunyai kelemahan - kelemahan:

a. Proses administrasi pembuktian dan pengenaan ketentuan Anti-Dumping

sangat rumit serta membutuhkan dana, kapasitas institusi, dan kemampuan

legal yang tinggi (sulit dipenuhi oleh negara berkembang);

b. Panjangnya proses dan prosedur pembuktian menyebabkan kerugian

berlangsung terus menerus sampai instrumen perlindungannya berlaku

secara efektif;

c. WTO tidak menyediakan mekanisme pemberian “ganti rugi” kepada

negara yang dituduh melakukan dumping tetapi tidak terbukti melakukan

dumping padahal negara tsb telah nyata-nyata mengalami kerugian akibat

dihentikannya ekspor ke negara penuduh dumping;

d. WTO tidak menyediakan mekanisme sanksi kepada negara penuduh

dumping setelah tuduhannya tidak terbukti;

Page 11: HEI Anti Dumping REV

11

BAB III

PEMBAHASAN

III.1. Kesesuaian Kebijakan Anti-Dumping Korea Selatan dalam Ketentuan

Anti-Dumping WTO terhadap produk kertas dari Indonesia

Masalah dumping merupakan substansi di bidang rules making yang akan

semakin penting bagi negara berkembang yang akan meningkatkan ekspor

nonmigas terutama di bidang manufaktur. Perbuatan melakukan praktek dumping

dianggap sebagai perbuatan yang tidak fair (unfair), karena itu harus dibalas

dengan sanksi tertentu. Akan tetapi perlu kiranya diperhatikan bahwa apa yang

dinamakan fair atau unfair dalam bidang perdagangan ini sulit untuk dipastikan.13

Indonesia sebagai negara yang melakukan perdagangan internasional dan juga

anggota dari WTO, pernah mengalami tuduhan praktek dumping pada produk

kertas yang diekspor ke Korea Selatan. Kasus ini bermula ketika industri kertas

Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia

kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002.

Sejumlah perusahaan dalam kasus dumping kertas yang dituduhkan oleh

Korea Selatan terhadap Indonesia diantaranya PT. Indah Kiat Pulp and Paper Tbk,

PT. Pindo Deli Pulp and Mills, dan PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, serta

April Pine Paper Trading Pte. Ltd. Pada 9 Mei 2003 Korea Selatan

memberlakukan bea masuk anti dumping kepada produk kertas dari Indonesia,

13 DR. Sukarmi, SH.,MH., Praktek Dumping Dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha,

Seminar: Implementasi Peraturan Anti dumping Sera Pengaruhnya Terhadap Persaingan Usaha

Dan Perdagangan Internasional diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga,

Surabaya, 21 Juni 2008, http://www.fh.unair.ac.id/entryfile/MakalahPraktekDumping-

Sukarmi.pdf, di akses pada 18 April 2010, hal. 1.

Page 12: HEI Anti Dumping REV

12

namun pada 7 November 2003, Korea Selatan melalui KTC menurunkan kembali

bea masuk anti dumpingnya. Pada 4 Juli 2004, Indonesia dan Korea Selatan

mengadakan konsultasi bilateral akan tetapi tidak mencapai kesepakatan.

Sehingga pada 27 September 2004, Indonesia menggugat Korea Selatan atas

kebijakan anti-dumpingnya kepada Disputes Settlement Body (DSB) WTO.

kemudian DSB WTO membentuk Panel guna membahas kebijakan anti-dumping

Korea Selatan. Para pihak yang berpartisipasi diantaranya Amerika Serikat,

Eropa, Jepang, China dan Kanada. 1-2 Februari 2005 diselenggarakan Sidang

Panel kesatu dan selanjutnya pada 30 Maret 2005 diselenggarakan kembali Sidang

Panel kedua, yang akhirnya pada 28 Oktober 2005 Panel mengeluarkan laporan

berkaitan gugatan anti-dumping Korea Selatan.

Laporan Panel Disputes Settlement Body (DSB) WTO menyatakan bahwa:

1. KTC telah melanggar ketentuan WTO dalam hal penentuan margin dumping

bagi beberapa perusahaan Indonesia;

2. Korea Selatan telah melanggar ketentuan WTO dengan menolak data dari dua

perusahaan kertas Indonesia;

3. Dalam hal ini, Panel hanya memeriksa kasus hukum ekonomi berdasarkan

klaim utama yang diajukan oleh Indonesia;

4. Panel menolak permohonan Indonesia agar Panel membatalkan tindakan anti-

dumping yang dilakukan oleh Korea Selatan.

Kriteria dumping yang dilarang oleh WTO adalah dumping oleh suatu negara

yang harus ada tindakan dumping yang LTFV (Less Than Fair Value), harus ada

kerugian material di negara importer, adanya hubungan sebab akibat antara harga

dumping dengan kerugian yang terjadi. Seandainya terjadi dumping yang less

than fair value tetapi tidak menimbulkan kerugian, maka dumping tersebut tidak

dilarang.

III.2. Implementasi Rekomendasi Panel Disputes Settlement Body WTO

Terhadap Gugatan Indonesia Kepada Korea Selatan Atas Kebijakan

Anti-Dumping

Page 13: HEI Anti Dumping REV

13

Pada 28 Oktober 2005 panel Disputes Settlement Body WTO mengeluarkan

laporan (Panel Report) dan disampaikan kepada seluruh anggota yaitu dengan

menyatakan bahwa kebijakan anti-dumping Korea Selatan tidak konsisten dan

telah menyalahi ketentuan Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement).

Dalam hasil Panel Report disebutkan bahwa KTC telah melanggar ketentuan

WTO dalam hal penentuan margin dumping bagi beberapa perusahaan Indonesia,

Korea Selatan telah melanggar ketentuan WTO dengan menolak data dari dua

perusahaan kertas Indonesia, dalam kasus ini, Panel hanya memeriksa kasus

hukum ekonomi berdasarkan klaim utama yang diajukan oleh Indonesia, serta

Panel menolak permohonan Indonesia agar Panel membatalkan tindakan anti-

dumping yang dilakukan oleh Korea Selatan. Atas hasil Panel Report tersebut,

Maka “Korea Selatan disarankan oleh Panel untuk merevisi aturannya dan

melakukan perhitungan kembali bea masuk anti dumping yang dikenakan kepada

perusahaan kertas asal Indonesia. Hal ini menunjukkan kemenangan Indonesia

dalam kasus ini.”14

Namun sangat disayangkan hingga kini Korea Selatan belum juga mematuhi

keputusan DSB, meskipun telah dinyatakan salah menerapkan bea masuk anti-

dumping (BMAD) terhadap produk kertas dari Indonesia, karena belum juga

mencabut pengenaan bea masuk anti-dumping tersebut.15 Dalam proses

penyelesaian sengketa menjadi tanggung jawab dari Disputes Settlement Body

(DSB) yang berada dibawah General Council WTO. Satu-satunya Badan

Penyelesaian Sengketa yang memiliki wewenang untuk membentuk panel adalah

DSB WTO yang terdiri dari para ahli. “DSB tersebut memonitor pelaksanaan

putusan-putusan dan rekomendasi serta memiliki kekuasaan atau wewenang untuk

mengesahkan retaliasi jika suatu negara tidak mematuhi suatu putusan.”16

“Jika suatu negara telah melanggar aturan WTO dengan menetapkan aturan

yang tidak konsisten dengan WTO, maka negara tersebut harus segera mengoreksi

14 Freddy Josep Pelawi, Penyelesaian Sengketa WTO Dan Indonesia,

http://ditjenkpi.depdag.go.id/images/Bulletin/buletin%2044.pdf, di akses pada 18 April 2010, hal.

8.15 Aprilia Gayatri dan Femita Adriani, op.cit., hal. 12.

16 Freddy Josep Pelawi, op.cit., hal. 3.

Page 14: HEI Anti Dumping REV

14

kesalahannya dengan menyelaraskan aturannya dengan aturan WTO.”17 “Jika

negara tersebut masih melanggar aturan WTO, maka harus membayar kompensasi

atau dikenai “retaliasi”. Biasanya kompensasi atau retaliasi diterapkan dalam

bentuk konsesi atau akses pasar.”18 Sebelum sanksi perdagangan diterapkan atau

diberlakukan, tergugat harus menyelaraskan kebijakannya dengan rekomendasi

atau keputusan DSB.

Negara yang kalah sengketa harus mengikuti rekomendasi yang disebutkan

dalam laporan Panel (Panel Report) atau laporan banding (Appelate Body Report).

“Secara prinsipil, sanksi diterapkan pada bidang yang sama dengan bidang yang

disengketakan. Jika sanksi tersebut tidak dapat dilaksanakan atau tidak efektif,

maka sanksi dapat diterapkan dalam sektor yang lain, dalam satu persetujuan yang

sama.”19 Selanjutnya, apabila laporan Panel belum dilaksanakan atau belum

efektif, dan bila keadaannya cukup serius, maka tindakan dapat diambil di bawah

persetujuan WTO lain. “Maksudnya adalah untuk memperkecil kesempatan

merambatnya tindakan tersebut ke dalam bidang-bidang yang tidak ada

hubungannya dengan bidang tersebut, sekaligus menjamin agar tindakan tersebut

efektif.”20

Dalam setiap kasus, DSB senantiasa mengawasi pelaksanaan putusan yang

telah disahkan. Kasus-kasus yang masih dalam proses tetap menjadi agenda DSB

sampai berhasil diselesaikan. Apabila merujuk pada proses penyelesaian sengketa

tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Disputes Settlement Body (DSB) WTO

masih belum dapat mengimplementasikan rekomendasi Panel Report yang

dikeluarkan pada 28 Oktober 2005. Hal ini dikarenakan KTC Korea Selatan

hingga saat ini belum melaksanakan rekomendasi Panel Report DSB WTO dan

telah melewati batas waktu yang telah ditentukan.

17 Freddy Josep Pelawi, loc.cit.

18 Freddy Josep Pelawi, op.cit., hal. 4.

19 Ibid.

20 Ibid.

Page 15: HEI Anti Dumping REV

15

BAB IV

PENUTUP

IV.1. Simpulan

Dari Pembahasan permasalahan diatas, maka dapat diambil simpulan sebagai

berikut :

1. Berdasarkan Laporan Panel (Panel Report), yang menyatakan bahwa :

a. KTC telah melanggar ketentuan WTO dalam hal penentuan margin

dumping bagi beberapa perusahaan Indonesia;

b. Korea Selatan telah melanggar ketentuan WTO dengan menolak data dari

dua perusahaan kertas Indonesia;

c. Dalam hal ini, Panel hanya memeriksa kasus hukum ekonomi berdasarkan

klaim utama yang diajukan oleh Indonesia;

d. Panel menolak permohonan Indonesia agar Panel membatalkan tindakan

anti-dumping yang dilakukan oleh Korea Selatan.

Hal ini menunjukkan bahwa KTC Korea Selatan dianggap telah menyalahi

penentuan margin dumping dan menolak data dari perusahaan kertas

Indonesia sebagaimana yang telah ditentukan dalam Anti-Dumping

Agreement Article VI GATT.

2. Adanya penolakan pembatalan tindakan anti-dumping yang dilakukan Korea

Selatan oleh Panel DSB, mengindikasikan bahwa Indonesia tidaklah sepenuhnya

dapat dikatakan sebagai pemenang kasus. Serta Panel Report yang hingga saat ini

Page 16: HEI Anti Dumping REV

16

belum dilaksanakan oleh pihak Korea Selatan, menunjukkan bahwa implementasi

atau perwujudan dari laporan tersebut belum dapat dikatakan terwujud serta

menunjukkan tidak efektifnya proses penyelesaian sengketa anti-dumping WTO.

IV.2. Saran

Adapun saran atau rekomendasi yang dapat diberikan berdasarkan simpulan

tersebut adalah sebagai berikut :

1. Hendaknya bagi setiap negara anggota WTO khususnya dalam penentuan anti-

dumping merujuk pada ketentuan anti-dumping WTO sebagaimana yang telah

tertuang dalam Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994.

Sehingga tidak menyalahi prosedur dalam penyelidikan antidumping serta

tidak terjadi kesalahan pada penentuan bea anti-dumping.

2. Berlarut-larutnya penyelesaian sengketa anti-dumping antara Korea Selatan

dan Indonesia, menunjukkan bahwa tidak efektifnya proses Disputes

Settlement Mechanism (DSM) dalam hal implementasi atas Panel Report dari

DSB WTO terutama dalam kasus anti-dumping Korea Selatan terhadap

produk kertas Indonesia. Hal ini akan berdampak kepada kurangya

kepercayaan negara-negara anggota khususnya negara berkembang terhadap

WTO khususnya DSB WTO. Oleh karenanya, DSB WTO harus segera

merealisasikan laporan panelnya. Dalam kasus anti-dumping Korea Selatan,

DSB WTO harus segera mendesak KTC Korea Selatan untuk menjalankan

putusan panel DSB WTO.