1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Organisasi Perdagangan Dunia atau yang lebih dikenal dengan WTO (World
Trade Organization) telah terbentuk selama 15 tahun. Indonesia sebagai salah satu
anggota telah pula meratifikasi melalui UU No.7 Tahun 1994 tentang Pengesahan
Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Organisasi ini muncul sebagai
upaya untuk menciptakan sistem perdagangan dunia yang bebas dari berbagai
hambatan untuk melakukan ekspor antar semua negara serta kemudahan
melakukan investasi, termasuk dalam kaitannya dengan lalu lintas tenaga kerja.
“Dengan demikian, diharapkan kegiatan perekonomian dunia akan terus
meningkat dan kemudian akan meningkatkan pula kesejahteraan masyarakat
dunia.”1 Cita-cita mulia tersebut didorong oleh keinginan untuk tidak mengulang
kembali sistem perdagangan dunia yang sangat protektif di tahun 1930-an yang
menjadi penyebab munculnya “perang dagang” dan kemudian memicu terjadinya
Perang Dunia II.
Setelah melalui proses pembentukan yang sangat panjang, melibatkan
berbagai putaran perundingan yaitu dimulai dengan pembentukan General
Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947 dan gagalnya
pembentukan International Trade Organization (ITO) pada tahun 1950, hingga
WTO akhirnya terbentuk pada 1 Januari 1995. Pembentukan WTO inipun
terutama baru dipercepat sejak tahun 1970-an ketika gejala proteksionisme mulai
tumbuh kembali, yang justru muncul pertama kali di negara-negara besar terutama
Amerika Serikat. WTO sendiri bukan merupakan sebuah organisasi internasional
yang memiliki kemampuan untuk mengatur, melainkan sebagai forum untuk
membantu negara-negara anggota melakukan negosiasi perdagangan dan
menerapkan hasil-hasil kesepakatan dalam bidang tersebut. Aturan-aturan
1 H.S. Kartadjoemena, GATT, WTO dan Hasil Uruguay Round, Cet. II., Universitas Indonesia,
Jakarta, 1998.
2
mengenai perdagangan dunia terdapat di dalam perjanjian-perjanjian internasional
yang dibentuk yaitu General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) untuk
perdagangan bidang barang, General Agreement on Trade and Services (GATS)
untuk perdagangan dibidang jasa, juga termasuk kebudayaan dan pariwisata, serta
Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs). Semua pengaturan
dan kesepakatan tersebut pada dasarnya dimaksudkan untuk mencapai kemajuan
dan kemakmuran bersama.
Namun dalam proses mewujudkan cita-cita mulia tersebut masih terdapat
banyak faktor extra judicial yang menjadi penentu arah proses liberalisasi
perdagangan, yang berarti menentukan siapa mendapat apa. WTO tidak saja
menentukan “norma” baru perdagangan barang produk manufaktur dan produk
dari sumber daya alam, namun juga merambah sampai ke sektor jasa yang
merupakan industri terbesar dunia di mana pada sektor inilah yang masih “tersisa”
sebagai peluang dan harapan untuk dijadikan sumber andalan dalam memperoleh
devisa oleh negara-negara di Dunia Ketiga.2
Seiring perkembangannya, WTO telah banyak mengeluarkan kebijakan-
kebijakan yang berkaitan dengan perdagangan antar negara, sebagai salah satu
contoh yaitu adanya kebijakan mengenai tindakan anti-dumping. Dapat dikatakan
suatu tindakan dumping ketika sebuah perusahaan menjual produknya di negara
lain lebih murah dari harga normal pasar dalam negerinya. “Hal ini merupakan
salah satu isu dalam persetujuan WTO yang tidak bersifat menghakimi, tapi lebih
memfokuskan pada tindakan-tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh
negara untuk mengatasi dumping.”3 Perihal pengaturan tentang anti-dumping
dituangkan dalam Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994.
Persetujuan ini dikenal dengan Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping
Agreement).
2 A.D. Axioma, Prospek Jasa Pariwisata Indonesia dan Tantangannya, Makalah untuk kuliah
umum yang disampaikan pada Program MM-Universitas Pelita Harapan, Jakarta, 17 Maret 2004
3 Fernandes Raja Saor Butar Butar, Ketentuan Anti-Dumping: Pengertian dan Studi Kasus Yang Melibatkan Indonesia Melalui WTO , http://raja1987.blogspot.com/2009/02/ketentuan-anti-dumping-pengertian-dan.html, diakses pada 14 April 2010.
3
Sebagai contoh, sekitar tahun 2002 Indonesia pernah mendapat tuduhan dari
Korea Selatan atas tindakan dumping pada produk kertas yang diekspor ke Korea
Selatan. Sehingga membuat Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping
kepada Korea Trade Commision (KTC). Atas pengenaan tindakan anti-dumping
tersebut, Indonesia kemudian mengajak Korea Selatan untuk berkonsultasi,
namun tidak mencapai kesepakatan. Hingga akhirnya Indonesia meminta kepada
DSB WTO, agar Korea Selatan mencabut tindakan anti-dumpingnya terhadap
Indonesia.
I.2. Rumusan Masalah
Adapun beberapa masalah yang dapat dirumuskan dari latar belakang
masalah diatas adalah sebagai berikut :
1. Apakah kebijakan anti-dumping Korea Selatan terhadap produk kertas dari
Indonesia telah sesuai dengan ketentuan anti-dumping WTO?
2. Apakah rekomendasi DSB WTO atas gugatan Indonesia terhadap
kebijakan anti-dumping Korea Selatan dapat di implementasikan secara
efektif?
4
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG WORLD TRADE ORGANIZATION,
PENGERTIAN DAN PENGATURAN ANTI-DUMPING
II.1. World Trade Organization (WTO)
World Trade Organization atau yang lebih dikenal dengan WTO merupakan
suatu organisasi internasional yang bergerak dibidang perdagangan. Namun dalam
perkembangannya WTO tidak hanya bergerak dibidang perdagangan saja,
melainkan telah mencakup dalam bidang jasa (services). Dalam WTO juga diatur
mengenai hak atas kekayaan intelektual yang tertuang dalam Trade Related
Intellectual Properties Agreement (TRIPs) serta penyelesaian sengketa.
“Latar belakang berdirinya World Trade Organization (WTO) tidak terlepas
dari sejarah lahirnya ITO (dan GATT). Seperti telah umum diketahui, masyarakat
internasional seusai Perang Dunia II menyadari perlunya pembentukan suatu
organisasi internasional di bidang perdagangan.”4 WTO secara resmi berdiri pada
tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah
abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT) Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat
aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat
peraturan-peraturan mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan
perdagangan internasional tertinggi.
Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade
Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem
Bretton Woods (IMF dan bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui
4 Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, PT. RajaGrafindo Persada, 2005,
Jakarta, hal. 115.
5
dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret
1948, proses ratifikasi oleh lembaga-lembaga legislatif negara tidak berjalan
lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang
walaupun sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi Piagam Havana sehingga ITO
secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap
merupakan instrument multilateral yang mengatur perdagangan internasional.
Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada tahun
1948 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan “plurilateral”
(disepakati oleh beberapa negara saja) dan upaya-upaya pengurangan tariff.
Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan
multilateral yang dikenal dengan nama “Putaran Perdagangan” (trade round),
sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.
Pada tahun 1990 pemerintah Canada pertama kali mengusulkan secara formal
pembentukan suatu badan perdagangan dunia (WTO). Dan kemudian usulan ini
mendapat sambutan positif oleh Uni Eropa, namun atas usulan Uni Eropa agar
istilah “World” tersebut diganti dengan “Multilateral” (Trade Organization) atau
MTO. Dan pada akhirnya “Pada pertemuan bulan Desember 1993, tercapai
kesepakatan terhadap usulan pembentukan organisasi internasional. tetapi
namanya berubah kembali menjadi WTO. Usulan ini disahkan menjadi
persetujuan akhir yang ditandatangani pada April 1994 di Maroko.”5
WTO bertujuan untuk mendorong pertumbuhan arus barang dan jasa antar
negara dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan perdagangan, tarif
dan non-tarif (subsidi, bantuan ekspor, aturan-aturan yang menghambat ekspor
negara lain, dll). Selain itu, WTO juga memfasilitasi perundingan antar
anggotanya dengan menyediakan forum-forum perundingan yang permanen,
membantu penyelesaian sengketa di antara anggota dan mengawasi pelaksanaan
aturan-aturannya di masing-masing negara anggota.
Walaupun terdapat banyak persetujuan dalam WTO, beberapa prinsip dasar
di bawah ini terkandung dalam persetujuan-persetujuan tersebut, antara lain:
1. Perlakuan sama terhadap semua mitra dagang (Most Favored Nation-MFN);
5 Ibid, hal. 117.
6
2. Perlakuan Nasional (National Treatment);
3. Transparansi (Transparency);
4. Resiprositas (Reciprocity Principle);
5. Tarif sebagai instrument tunggal untuk proteksi;
6. Larangan terhadap Restriksi Kuantitatif;
7. Perlakuan Khusus dan Berbeda (Special and Differential Treatment);
8. Preferensi negara berkembang;
9. Penyelesaian secara damai;
10. Prinsip Perkecualian, terdapat beberapa kebijakan, yaitu anti-dumping,
subsidi, pengamanan (Safeguards Clause) dan perkecualian lainnya seperti
Generalize System Preference (GSP), Escape Clause, Enabling Clause,
Regional Trade Agreement (RTA) Article XXIV GATT.6
II.2. Pengertian Dan Pengaturan Anti-Dumping
Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah
suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah
perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih
rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan
tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.7 Sedangkan
menurut kamus hukum ekonomi dumping adalah praktik dagang yang dilakukan
eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang
dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di
negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya,
praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen
pesaing di negara pengimport.8
6 N. Rosyidah Rakhmawati, Hukum Ekonomi Internasional Dalam Era Global, Bayumedia
Publishing, Malang, 2006, hal. 1277 Aprilia Gayatri dan Femita Adriani, “Tuduhan Praktek Dumping yang Dilakukan Indonesia”
Pada Sengketa Anti-dumping Produk Kertas dengan Korea Selatan, Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran, http://binchoutan.files.wordpress.com/2008/06/studi-kasus-dumping.pdf, di akses
pada 18 April 2010, hal. 6.8 Elips Kamus Hukum Ekonomi, Jakarta 1997, hal 105
7
Menurut Robert Willig ada 5 tipe dumping yang dilihat dari tujuan eksportir,
kekuaran pasar dan struktur pasar import, antara lain:9
1. Market Expansion
Dumping Perusahaan pengeksport bisa meraih untung dengan menetapkan
“mark-up” yang lebih rendah di pasar import karena menghadapi elastisitas
permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah.
2. Cyclical Dumping
Motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar biasa
rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi
dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait.
3. State Trading Dumping
Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping
lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi.
4. Strategic Dumping
Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan
saingan di negara pengimpor melalui strategis keseluruhan negara pengekspor,
baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan
masuknya produk yang sama ke pasar negara pengekspor. Jika bagian dari
porsi pasar domestik tiap eksportir independen cukup besar dalam tolok ukur
skala ekonomi, maka memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus
dikeluarkan oleh pesaing-pesaing asing.
5. Predatory Dumping
Istilah predatory dumping dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan
tujuan mendepak pesaing dari pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan
monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping jenis ini
adalah matinya perusahan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis.
Anti Dumping
9 José Tavares de Araujo Jr, Antidumping in the America: Analyses on trade and integration in the
Americas, 2001, hal 9, http://www.dttc.oas.org/trade/studies/subsid/Antidumptav.pdf, diakses pada
18 April 2010.
8
Karena dampak negatif bagi negara pengimpor dari praktek dumping yang
dilakukan oleh negara pengekspor terhadap jenis barang yang sama, maka
dibutuhkan aturan dan pembatas serta pengendali terhadap praktek dumping
tersebut. Aturan mengenai larangan dumping disebut peraturan anti dumping.
Adapun tujuan dari adanya peraturan Anti Dumping tersebut memberikan proteksi
terhadap industri dalam negeri dari praktek dumping yang diduga dilakukan
ekportir atau produsen luar negeri.
Praktek dumping dapat dikenakan tindakan anti dumping bila merugikan
industri atau produsen negara pengimpor. Hukuman bagi negara yang terbukti
melakukan praktek dumping dan merugikan industri atau produsen dalam negeri
akan dikenakan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar marjin dumping
(selisih harga ekspor dengan harga di pasar asal eksportir) yang ditemukan, guna
mengeliminir kerugian dari barang dumping sehingga industri dalam negeri tetap
terlindungi dan dapat tetap bersaing dengan barang impor. Pengenaan BMAD
tentunya melalui beberapa tahap proses penyelidikan. Ketika lembaga
pemerintahan (komite anti dumping) yang terkait menerima laporan dari produsen
bahwa terdapat dumping atas barang yang diimpor tersebut maka komite tersebut
barulah bisa memulai proses penyelidikan praktek dumping negara pengekspor
tersebut.
Untuk mencegah kerugian selama melakukan penyelidikan, komite dapat
mengusulkan kepada departemen terkait untuk melakukan tindakan sementara
seperti tindakan berupa pengenaan Bea Masuk Anti Dumping Imbalan Sementara
(BMADS). Pengenaan BMADS ditetapkan oleh menteri keuangan berupa
pembayaran jaminan dalam bentuk uang tunai, jaminan bank, atau jaminan dari
perusahaan asuransi paling besar sama dengan BMAD. Selama proses
penyelidikan dan terbukti negara pengeskpor melakukan praktek dumping maka
pengekspor atau negara pengekspor harus melakukan tindakan penyesuaian
berupa penyesuaian harga atau penghentian ekspor barang tersebut, atau lainnya.
Tujuan dari tindakan penyesuaian tersebut adalah untuk menghilangkan kerugian
industri di negara pengimpor. Namun jika negara pengekspor terbukti melakukan
dumping dan tidak melakukan penyesuaian harga dari produsen negara
9
pengekspor, maka BMAD akan dikenakan sebesar marjin dumping terhadap
barang tersebut.
Pengaturan mengenai Anti-Dumping dalam WTO yaitu telah diatur dalam
Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement atau Agreement on the
Implementation of Article VI of GATT 1994). “Tarif yang mengikat (binding
tariff) dan pemberlakuannya secara sama kepada semua mitra dagang anggota
WTO merupakan kunci pokok kelancaran arus perdagangan barang.”10 “Dalam
persetujuan ini pemerintah diperbolehkan untuk mengambil tindakan sebagai
reaksi terhadap dumping jika benar-benar terbukti terjadi kerugian (material
injury) terhadap industri domestik, dan inilah yang dimaksud dengan anti-
dumping.”11 Jadi Anti-Dumping yaitu tindakan atau kebijaksanaan pemerintah
negara pengimpor terhadap barang dumping yang merugikan industri dalam
negeri.
Oleh karena Indonesia merupakan merupakan anggota WTO, dan telah
meratifikasi persetujuan-persetujuan yang dihasilkan dari WTO. Maka secara
yuridis terikat untuk dengan segera mengharmonisasikannya kedalam peraturan
nasional Indonesia. Melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang
Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Namun mengenai Anti-Dumping
belum terdapat pengaturannya dalam Undang-Undang tersebut. Sehingga dalam
hukum nasional di Indonesia diatur dalam:12
1. UU No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan
2. Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Anti
Dumping dan Bea Masuk Imbalan
3. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor :
430/MPP/Kep/9/1999 tentang Komite Antidumping Indonesia dan Tim
Operasional Antidumping
10 Fernandes Raja Saor Butar Butar, loc.cit.
11 Ibid.
12 Aprilia Gayatri dan Femita Adriani, op.cit., hal. 10.
10
4. Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai No. SE-19/BC/1997 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemungutan Bea Masuk Anti Dumping/Sementara.
Kelemahan Ketentuan Anti-Dumping WTO
Ketentuan Anti-Dumping dan Countervailing Duties merupakan salah satu
instrumen untuk mencegah adanya persaingan tidak sehat, namun dalam
implementasinya mempunyai kelemahan - kelemahan:
a. Proses administrasi pembuktian dan pengenaan ketentuan Anti-Dumping
sangat rumit serta membutuhkan dana, kapasitas institusi, dan kemampuan
legal yang tinggi (sulit dipenuhi oleh negara berkembang);
b. Panjangnya proses dan prosedur pembuktian menyebabkan kerugian
berlangsung terus menerus sampai instrumen perlindungannya berlaku
secara efektif;
c. WTO tidak menyediakan mekanisme pemberian “ganti rugi” kepada
negara yang dituduh melakukan dumping tetapi tidak terbukti melakukan
dumping padahal negara tsb telah nyata-nyata mengalami kerugian akibat
dihentikannya ekspor ke negara penuduh dumping;
d. WTO tidak menyediakan mekanisme sanksi kepada negara penuduh
dumping setelah tuduhannya tidak terbukti;
11
BAB III
PEMBAHASAN
III.1. Kesesuaian Kebijakan Anti-Dumping Korea Selatan dalam Ketentuan
Anti-Dumping WTO terhadap produk kertas dari Indonesia
Masalah dumping merupakan substansi di bidang rules making yang akan
semakin penting bagi negara berkembang yang akan meningkatkan ekspor
nonmigas terutama di bidang manufaktur. Perbuatan melakukan praktek dumping
dianggap sebagai perbuatan yang tidak fair (unfair), karena itu harus dibalas
dengan sanksi tertentu. Akan tetapi perlu kiranya diperhatikan bahwa apa yang
dinamakan fair atau unfair dalam bidang perdagangan ini sulit untuk dipastikan.13
Indonesia sebagai negara yang melakukan perdagangan internasional dan juga
anggota dari WTO, pernah mengalami tuduhan praktek dumping pada produk
kertas yang diekspor ke Korea Selatan. Kasus ini bermula ketika industri kertas
Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia
kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002.
Sejumlah perusahaan dalam kasus dumping kertas yang dituduhkan oleh
Korea Selatan terhadap Indonesia diantaranya PT. Indah Kiat Pulp and Paper Tbk,
PT. Pindo Deli Pulp and Mills, dan PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, serta
April Pine Paper Trading Pte. Ltd. Pada 9 Mei 2003 Korea Selatan
memberlakukan bea masuk anti dumping kepada produk kertas dari Indonesia,
13 DR. Sukarmi, SH.,MH., Praktek Dumping Dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha,
Seminar: Implementasi Peraturan Anti dumping Sera Pengaruhnya Terhadap Persaingan Usaha
Dan Perdagangan Internasional diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya, 21 Juni 2008, http://www.fh.unair.ac.id/entryfile/MakalahPraktekDumping-
Sukarmi.pdf, di akses pada 18 April 2010, hal. 1.
12
namun pada 7 November 2003, Korea Selatan melalui KTC menurunkan kembali
bea masuk anti dumpingnya. Pada 4 Juli 2004, Indonesia dan Korea Selatan
mengadakan konsultasi bilateral akan tetapi tidak mencapai kesepakatan.
Sehingga pada 27 September 2004, Indonesia menggugat Korea Selatan atas
kebijakan anti-dumpingnya kepada Disputes Settlement Body (DSB) WTO.
kemudian DSB WTO membentuk Panel guna membahas kebijakan anti-dumping
Korea Selatan. Para pihak yang berpartisipasi diantaranya Amerika Serikat,
Eropa, Jepang, China dan Kanada. 1-2 Februari 2005 diselenggarakan Sidang
Panel kesatu dan selanjutnya pada 30 Maret 2005 diselenggarakan kembali Sidang
Panel kedua, yang akhirnya pada 28 Oktober 2005 Panel mengeluarkan laporan
berkaitan gugatan anti-dumping Korea Selatan.
Laporan Panel Disputes Settlement Body (DSB) WTO menyatakan bahwa:
1. KTC telah melanggar ketentuan WTO dalam hal penentuan margin dumping
bagi beberapa perusahaan Indonesia;
2. Korea Selatan telah melanggar ketentuan WTO dengan menolak data dari dua
perusahaan kertas Indonesia;
3. Dalam hal ini, Panel hanya memeriksa kasus hukum ekonomi berdasarkan
klaim utama yang diajukan oleh Indonesia;
4. Panel menolak permohonan Indonesia agar Panel membatalkan tindakan anti-
dumping yang dilakukan oleh Korea Selatan.
Kriteria dumping yang dilarang oleh WTO adalah dumping oleh suatu negara
yang harus ada tindakan dumping yang LTFV (Less Than Fair Value), harus ada
kerugian material di negara importer, adanya hubungan sebab akibat antara harga
dumping dengan kerugian yang terjadi. Seandainya terjadi dumping yang less
than fair value tetapi tidak menimbulkan kerugian, maka dumping tersebut tidak
dilarang.
III.2. Implementasi Rekomendasi Panel Disputes Settlement Body WTO
Terhadap Gugatan Indonesia Kepada Korea Selatan Atas Kebijakan
Anti-Dumping
13
Pada 28 Oktober 2005 panel Disputes Settlement Body WTO mengeluarkan
laporan (Panel Report) dan disampaikan kepada seluruh anggota yaitu dengan
menyatakan bahwa kebijakan anti-dumping Korea Selatan tidak konsisten dan
telah menyalahi ketentuan Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement).
Dalam hasil Panel Report disebutkan bahwa KTC telah melanggar ketentuan
WTO dalam hal penentuan margin dumping bagi beberapa perusahaan Indonesia,
Korea Selatan telah melanggar ketentuan WTO dengan menolak data dari dua
perusahaan kertas Indonesia, dalam kasus ini, Panel hanya memeriksa kasus
hukum ekonomi berdasarkan klaim utama yang diajukan oleh Indonesia, serta
Panel menolak permohonan Indonesia agar Panel membatalkan tindakan anti-
dumping yang dilakukan oleh Korea Selatan. Atas hasil Panel Report tersebut,
Maka “Korea Selatan disarankan oleh Panel untuk merevisi aturannya dan
melakukan perhitungan kembali bea masuk anti dumping yang dikenakan kepada
perusahaan kertas asal Indonesia. Hal ini menunjukkan kemenangan Indonesia
dalam kasus ini.”14
Namun sangat disayangkan hingga kini Korea Selatan belum juga mematuhi
keputusan DSB, meskipun telah dinyatakan salah menerapkan bea masuk anti-
dumping (BMAD) terhadap produk kertas dari Indonesia, karena belum juga
mencabut pengenaan bea masuk anti-dumping tersebut.15 Dalam proses
penyelesaian sengketa menjadi tanggung jawab dari Disputes Settlement Body
(DSB) yang berada dibawah General Council WTO. Satu-satunya Badan
Penyelesaian Sengketa yang memiliki wewenang untuk membentuk panel adalah
DSB WTO yang terdiri dari para ahli. “DSB tersebut memonitor pelaksanaan
putusan-putusan dan rekomendasi serta memiliki kekuasaan atau wewenang untuk
mengesahkan retaliasi jika suatu negara tidak mematuhi suatu putusan.”16
“Jika suatu negara telah melanggar aturan WTO dengan menetapkan aturan
yang tidak konsisten dengan WTO, maka negara tersebut harus segera mengoreksi
14 Freddy Josep Pelawi, Penyelesaian Sengketa WTO Dan Indonesia,
http://ditjenkpi.depdag.go.id/images/Bulletin/buletin%2044.pdf, di akses pada 18 April 2010, hal.
8.15 Aprilia Gayatri dan Femita Adriani, op.cit., hal. 12.
16 Freddy Josep Pelawi, op.cit., hal. 3.
14
kesalahannya dengan menyelaraskan aturannya dengan aturan WTO.”17 “Jika
negara tersebut masih melanggar aturan WTO, maka harus membayar kompensasi
atau dikenai “retaliasi”. Biasanya kompensasi atau retaliasi diterapkan dalam
bentuk konsesi atau akses pasar.”18 Sebelum sanksi perdagangan diterapkan atau
diberlakukan, tergugat harus menyelaraskan kebijakannya dengan rekomendasi
atau keputusan DSB.
Negara yang kalah sengketa harus mengikuti rekomendasi yang disebutkan
dalam laporan Panel (Panel Report) atau laporan banding (Appelate Body Report).
“Secara prinsipil, sanksi diterapkan pada bidang yang sama dengan bidang yang
disengketakan. Jika sanksi tersebut tidak dapat dilaksanakan atau tidak efektif,
maka sanksi dapat diterapkan dalam sektor yang lain, dalam satu persetujuan yang
sama.”19 Selanjutnya, apabila laporan Panel belum dilaksanakan atau belum
efektif, dan bila keadaannya cukup serius, maka tindakan dapat diambil di bawah
persetujuan WTO lain. “Maksudnya adalah untuk memperkecil kesempatan
merambatnya tindakan tersebut ke dalam bidang-bidang yang tidak ada
hubungannya dengan bidang tersebut, sekaligus menjamin agar tindakan tersebut
efektif.”20
Dalam setiap kasus, DSB senantiasa mengawasi pelaksanaan putusan yang
telah disahkan. Kasus-kasus yang masih dalam proses tetap menjadi agenda DSB
sampai berhasil diselesaikan. Apabila merujuk pada proses penyelesaian sengketa
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Disputes Settlement Body (DSB) WTO
masih belum dapat mengimplementasikan rekomendasi Panel Report yang
dikeluarkan pada 28 Oktober 2005. Hal ini dikarenakan KTC Korea Selatan
hingga saat ini belum melaksanakan rekomendasi Panel Report DSB WTO dan
telah melewati batas waktu yang telah ditentukan.
17 Freddy Josep Pelawi, loc.cit.
18 Freddy Josep Pelawi, op.cit., hal. 4.
19 Ibid.
20 Ibid.
15
BAB IV
PENUTUP
IV.1. Simpulan
Dari Pembahasan permasalahan diatas, maka dapat diambil simpulan sebagai
berikut :
1. Berdasarkan Laporan Panel (Panel Report), yang menyatakan bahwa :
a. KTC telah melanggar ketentuan WTO dalam hal penentuan margin
dumping bagi beberapa perusahaan Indonesia;
b. Korea Selatan telah melanggar ketentuan WTO dengan menolak data dari
dua perusahaan kertas Indonesia;
c. Dalam hal ini, Panel hanya memeriksa kasus hukum ekonomi berdasarkan
klaim utama yang diajukan oleh Indonesia;
d. Panel menolak permohonan Indonesia agar Panel membatalkan tindakan
anti-dumping yang dilakukan oleh Korea Selatan.
Hal ini menunjukkan bahwa KTC Korea Selatan dianggap telah menyalahi
penentuan margin dumping dan menolak data dari perusahaan kertas
Indonesia sebagaimana yang telah ditentukan dalam Anti-Dumping
Agreement Article VI GATT.
2. Adanya penolakan pembatalan tindakan anti-dumping yang dilakukan Korea
Selatan oleh Panel DSB, mengindikasikan bahwa Indonesia tidaklah sepenuhnya
dapat dikatakan sebagai pemenang kasus. Serta Panel Report yang hingga saat ini
16
belum dilaksanakan oleh pihak Korea Selatan, menunjukkan bahwa implementasi
atau perwujudan dari laporan tersebut belum dapat dikatakan terwujud serta
menunjukkan tidak efektifnya proses penyelesaian sengketa anti-dumping WTO.
IV.2. Saran
Adapun saran atau rekomendasi yang dapat diberikan berdasarkan simpulan
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Hendaknya bagi setiap negara anggota WTO khususnya dalam penentuan anti-
dumping merujuk pada ketentuan anti-dumping WTO sebagaimana yang telah
tertuang dalam Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994.
Sehingga tidak menyalahi prosedur dalam penyelidikan antidumping serta
tidak terjadi kesalahan pada penentuan bea anti-dumping.
2. Berlarut-larutnya penyelesaian sengketa anti-dumping antara Korea Selatan
dan Indonesia, menunjukkan bahwa tidak efektifnya proses Disputes
Settlement Mechanism (DSM) dalam hal implementasi atas Panel Report dari
DSB WTO terutama dalam kasus anti-dumping Korea Selatan terhadap
produk kertas Indonesia. Hal ini akan berdampak kepada kurangya
kepercayaan negara-negara anggota khususnya negara berkembang terhadap
WTO khususnya DSB WTO. Oleh karenanya, DSB WTO harus segera
merealisasikan laporan panelnya. Dalam kasus anti-dumping Korea Selatan,
DSB WTO harus segera mendesak KTC Korea Selatan untuk menjalankan
putusan panel DSB WTO.