HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id V...Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati terletak...
Transcript of HASIL DAN PEMBAHASAN - repository.ipb.ac.id V...Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati terletak...
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum RSUP Fatmawati
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati terletak diwilayah Jakarta
Selatan dengan luas bangunan 57.457,50 m2 dan luar tanah 13 Ha. RSUP
Fatmawati merupakan Badan Layanan Umum (BLU) yang berfungsi sebagai
pusat rujukan bagi wilayah Jakarta Selatan dan juga berfungsi sebagai rumah
sakit pendidikan.
Gambar 3 Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta Selatan
Sejarah dan Tipe RSUP Fatmawati
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati bermula dari gagasan Ibu
Fatmawati Soekarno yang saat itu sebagai Ibu Negara Republik Indonesia yang
bermaksud mendirikan sebuah Rumah Sakit Tuberculose anak-anak, untuk
perawatan anak penderita TBC serta tindakan rehabilitasinya. Peletakan batu
pertama pembangunan Rumah Sakit TBC khusus anak-anak dilakukan oleh Ibu
Fatmawati Soekarno pada tanggal 2 Oktober 1954.
Melalui dana yang dihimpun oleh Yayasan Ibu Soekarno dan bantuan dari
Yayasan Dana Bantuan Kementerian Sosial RI dilaksanakan pembangunan
Gedung Rumah Sakit Ibu Soekarno. Kementerian Kesehatan RI melanjutkan
pembangunan gedung RS Ibu Soekarno hingga selesai dan dapat difungsikan
sebagai rumah sakit. Fungsi rumah sakit tersebut berubah menjadi Rumah Sakit
Umum seperti ketentuan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI, Nomor
21286/KEP/121 tanggal 12 April 1961.
Pada tanggal 20 Mei 1967 oleh Menteri Kesehatan RI, Prof Dr. G.A.
Siwabesi, nama RSU Ibu Soekarno diganti menjadi RSU Fatmawati, dan dengan
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 294/menkes/SK/V/1984 tanggal 20 Mei
1984, RSU Fatmawati ditetapkan sebagai Pusat Rujukan Wilayah Jakarta
Selatan. Setelah keluarnya Keputusan Presiden RI Nomor 38 tahun 1991 pada
tanggal 25 Agustus 1991 tentang Unit Swadana, maka RSU Fatmawati
melakukan berbagai persiapan, sehingga Menteri Keuangan RI mengeluarkan
surat persetujuan penetapan RSU Fatmawati menjadi unit Swadana, Nomor S-
901/MK013/1992.
Berdasarkan surat tersebut, RSU Fatmawati ditetapkan menjadi Rumah
Sakit Swadana Bersyarat, dua tahun mulai 1 Agustus 1992 berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 745/Menkes/SK/IX/1992, tanggal 2
September 1992. Dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
551/Menkes/SK/VI/1994, tanggal 13 Juni 1994, ditetapkan Struktur Organisasi
dan Tata Kerja RSUP Fatmawati sebagai Rumah Sakit Umum Kelas B
Pendidikan, sesuai dengan Keputusan Menkes Nomor 983/Menkes/SK/IX/1992
tanggal 12 November 1992 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum.
Tahun 2010, melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
1243/Menkes/SK/VIII/2010 tanggal 11 Agustus 2010, RSUP Fatmawati
ditetapkan sebagai Rumah Sakit Kelas A Pendidikan.
Visi, Misi, dan Struktur Organisasi
Visi RSUP Fatmawati adalah menjadi Rumah sakit terkemuka yang
memberikan pelayanan yang melampaui harapan pelanggan. Sedangkan Misi
yang ditegakkan oleh RSUP Fatmawati antara lain memberikan pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang sesuai
dengan standar pelayanan dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat
dengan unggulan orthopedi dan rehabilitasi medik; memfasilitasi dan
meningkatkan pendidikan, pelatihan dan penelitian untuk pengembangan sumber
daya manusia dan pelayanan. Menyelenggarakan administrasi dan
penatakelolaan rumah sakit yang efisien serta akuntabel; melaksanakan
pengelolaan keuangan yang efektif, fleksibel berdasarkan prinsip ekonomi dan
produktifitas dan penerapan praktek bisnis yang sehat; mengutamakan
keselamatan pasien dan lingkungan yang sehat; serta meningkatkan semangat
persatuan dan kesejahteraan sumber daya rumah sakit.
RSUP Fatmawati diawasi oleh dewan pengawas dan dipimpin oleh
seorang direktur utama yang dibantu oleh 3 direktur yaitu direktur medik dan
keperawatan, direktur umum, SDM dan pendidikan, dan direktur keuangan.
Direktur utama juga membawahi komite etika dan hukum, komite mutu dan
pengembangan, komite medik, komite keperawatan dan satuan pengawasan
intern. Ketiga wakil direktur bertanggung jawab dibeberapa instalasi dan
membawahi beberapa bidang dan bagian komite-komite tersebut membawahi
beberapa bidang dan bagian.
Pelayanan Medis, Fasilitas Pelayanan dan Pelayanan Penunjang
Pelayanan medis yang terdapat di RSUP Fatmawati meliputi pelayanan
unggulan, pelayanan terpadu, pelayanan pemeliharaan dan klinik dokter
spesialis. Pelayanan Unggulan terdiri atas Bedah Orthopaedi dan Rehabilitasi
Medis, Rawat Darurat, Rawat Jalan, Rawat Inap. Pelayanan Terpadu terdiri atas
Poli VCT, Tumbuh Kembang, Klinik Remaja, Perinatal Resiko Tinggi, dan lain-
lain. Pelayanan Pemeliharaan Kesehatan terdiri atas MCU dan klub.
Pada bagian pelayanan kesehatan untuk pasien inap, RSUP Fatmawati
memiliki beberapa kelas perawatan. Kapasitas seluruh tempat tidur untuk pasien
rawat inap berjumlah 750 unit. Jumlah kapasitas tempat tidur berdasarkan kelas
perawatan di RSUP Fatmawati ditampilkan dalam Tabel 11.
Tabel 11 Jumlah kapasitas tempat tidur berdasarkan kelas perawatan Kelas Jumlah Tempat Tidur (unit)
Super VIP 4
VIP 33
VIP (IRNA A dan IRNA C) 8
Unit Stroke 4
Kelas I 37
CEU 10
ICU 12
NICU 2
PICU 2
Kelas II Umum 128
Kelas II High Care 16
Kelas III 477
Jumlah 750
Fasilitas pelayanan terdiri atas Unit Emergensi, Instalasi Rawat Jalan,
Instalasi Rawat Inap, Instalasi Bedah Sentral, Intersive Care Unit (ICU), Cardiac
Emergency Unit (CEU), Haemodialisa, NICU/PICU, Medical Check Up (MCU).
Pelayanan Unggulan Terpadu (Poli Konseling OHDA Wijaya Kusuma, Klinik
Tumbuh Kembang, Klinik Kesehatan Remaja, Kanker/PPKT). Selain itu terdapat
pula Praktek Dokter Spesialis (PDS), Klub Kesehatan (stroke, asma, diabetes,
osteoporosis, geriatri dan jantung sehat).
Pelayanan penunjang terdiri atas Farmasi/Apotek (24 jam), Laboratorium
Klinik (24 jam), Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Patologi Anatomi,
Radiologi dan Kedokteran Nuklir (CT Scan, C-Arm, Mammography). Diagnosik
Penunjang (ECG, EEG, EMG, Echo-Cardiograph Color dan Doppler
Audiometric), Instalasi Gizi, Instalasi Forensik dan Perawatan Jenazah serta
Instalasi Sterilisasi dan Sentralisasi Binatu.
Gambaran Umum Instalasi Gizi RSUP Fatmawati
Visi dan Misi
Instalasi Gizi RSUP Fatmawati dirancangkan selain untuk melayani
makanan bagi pasien rawat inap juga melayani pemesanan makanan diet bagi
masyarakat yang membutuhkan. Bagi yang membutuhkan konsultasi gizi, pasien
dapat datang ke klinik gizi. Upaya yang dilakukan untuk menjamin kebersihan
makanan, proses persiapan makanan serta peralatan yang digunakan mulai dari
pencucian alat makan sampai dengan penataan makanan kedalam insulated tray
dilakukan secara higienis.
Visi Instalasi Gizi RSUP Fatmawati adalah menjadi pusat layanan gizi
yang terbaik dengan memberikan pelayanan melampaui harapan pelanggan.
Adapun misi yang diterapkan antara lain melakukan pelayanan gizi yang meliputi
penyediaan makanan, pelayanan gizi di ruang rawat inap, penyuluhan dan
konsultasi gizi dan pengembangan gizi terapan secara efektif dan efisien dengan
mutu yang prima; memfasilitasi dan meningkatkan pendidikan untuk
pengembangan sumber daya manusia dan pelayanan gizi; melakukan inovasi
terus menerus dalam bidang pelayanan gizi rumah sakit, serta melakukan usaha
untuk meningkatkan kesejahteraan sumber daya manusia instalasi gizi.
Komponen Ketenagaan
Gambar 4 Instalasi gizi RSUP Fatmawati
Berdasarkan jenis kegiatan, ketenagaan di Instalasi Gizi RSUP Fatmawati
terdiri atas dokter spesialis gizi klinik (1), ahli gizi (16), pengatur gizi (3),
administrasi (1), pengolah makanan (28) dan pramusaji (36). Berdasarkan jenis
pendidikan terdiri atas dokter spesialis gizi klinik (1), sarjana pertanian jurusan
gizi (1), sarjana kesehatan ,masyarakat (1), DIV Gizi dan Sarjana Ekonomi (1),
DIV Gizi (2), DIII Gizi (11), D1 Gizi (3), SMA (5), SMKK (26), SMIP (1), KPAA (5),
SMP (21) dan SD (7).
Gambaran Penyelenggaraan Makanan di Instalasi Gizi RSUP Fatmawati
Proses penyelenggaraan makanan di Instalasi Gizi RSUP Fatmawati
terdiri atas beberapa subkegiatan, dimulai dari perencanaan menu, pengadaan
bahan makanan, penyimpanan, proses pengolahan, pemorsian dan distribusi
makanan. Jenis makanan yang disediakan oleh Instalasi Gizi RSUP Fatmawati
dibedakan berdasarkan konsistensinya yaitu makanan biasa, makanan lunak,
makanan saring, blender dan makanan cair. Berdasarkan jenis diet, Instalasi Gizi
menyediakan beberapa jenis diet diantaranya Diet Djantung Rendah Garam
(DDRG), Diet Diabetes Mellitus (DM), Diet Rendah Garam (RG), Diet Tinggi
Kalori Tinggi Protein (TKTP), Diet Rendah Protein (RP), Diet Hati (DH), dan Diet
Lambung (DL).
Perencanaan Menu
Kegiatan perencanaan menu bertujuan untuk menyediakan beberapa
susunan menu yang akan digunakan. Siklus menu yang diterapkan oleh RSUP
Fatmawati yaitu siklus menu 10 hari. Bulan dengan jumlah 31 hari akan
menggunakan menu ke 11. Perputaran menu dilakukan sebanyak tiga kali
dengan pergantian menu yang dilakukan setiap enam bulan. Hal ini dilakukan
agar pasien tidak merasa bosan terhadap menu yang diberikan.
Jenis menu yang diterapkan di RSUP Fatmawati dibagi menjadi dua yaitu
menu pilihan dan menu non pilihan. Menu pilihan diberikan kepada pasien VIP,
dimana menu untuk makan pagi diberikan tiga paket menu pilihan yang dapat
dipilih oleh pasie VIP, sedangkan untuk makan siang dan sore diberikan dua
menu pilihan. Pasien kelas perawatan I, II dan III menggunakan menu non
pilihan atau menu yang telah ditetapkan oleh pihak rumah sakit.
Pembelian dan Pemesanan Bahan Makanan
Pembelian bahan makanan dilakukan oleh tim pengadaan barang non
medik dan gizi. Pelaksanaan pembelian antara lain dilakukan melalui pelelangan
umum dan terbatas, penunjukkan langsung, maupun pembelian langsung.
Pemesanan bahan makanan adalah penyusunan permintaan bahan makanan
berdasarkan menu dan rata-rata jumlah pasien.
Langkah-langkah pemesanan bahan makanan adalah ahli gizi membuat
rekapitulasi kebutuhan bahan makanan untuk esok hari dengan cara mengalikan
standar porsi dengan jumlah pasien, kemudian meminta persetujuan kepala
instalasi gizi. Surat pemesanan tersebut diserahkan kepada rekanan yang telah
ditetapkan. Bahan makanan basah dipesan setiap hari, sementara bahan
makanan kering dipesan 1-2 kali dalam 1 bulan.
Penerimaan, Penyimpanan dan Penyaluran Bahan Makanan
Penerimaan bahan makanan adalah kegiatan yang meliputi pemeriksaan
bahan makanan, pencatatan dan pelaporan kesesuaian kualitas dan kuantitas
bahan makanan yang diterima dengan pesanan dan spesifikasi yang telah
ditetapkan. Penyimpanan bahan makanan adalah suatu tata cara menata,
menyimpan, meemlihara, menjaga keamanan bahan makanan kering dan basah
serta pencatatan dan pelaporannya. Penyaluran bahan makanan adalah tata
cara mendistribusikan bahan makanan berdasarkan permintaan harian, yang
bertujuan agar tersedianya bahan makanan siap pakai dengan kualitas dan
kuantitas yang tepat sesuai kebutuhan.
Persiapan Bahan Makanan
Persiapan bahan makanan merupakan suatu proses dalam rangka
menyiapkan bahan makanan dan bumbu yang siap untuk dimasak sesuai
dengan standar resep serta perlengkapan atau peralatan sebelum dilakukan
pemasakan. Instalasi Gizi RSUP Fatmawati mempunyai ruang persiapan bahan
makanan tersendiri.
Kegiatan persiapan bahan makanan terdiri atas persiapan untuk bahan
hewani, nabati, makanan pokok dan sayuran. Sebelum dimasak, bahan
makanan tersebut melewati tahapan seperti pemotongan dan pencucian.
Persiapan bahan makanan cair di Istalasi Gizi RSUP Fatmawati yaitu mulai dari
pengambilan bahan makanan cair dari gudang harian sesuai dengan kebutuhan.
Bahan untuk makanan blender telah dipersiapkan dan diolah sebelumnya di
dapur pengolahan.
Pengolahan Bahan Makanan
Pengolahan makanan di Instalasi Gizi RSUP Fatmawati memfokuskan
kepada makanan diet untuk pasien rawat inap. Pengolahan dibagi berdasarkan
bagian jenis makanannya yaitu makanan pilihan dan non pilihan.
Proses pengolahan makanan untuk pasien kelas VIP dan kelas I
dilakukan pada satu area dengan tenaga pengolah sebanyak empat orang.
Penggabungan pengolahan antara kelas VIP dan kelas I dilakukan karena
jumlah pasien VIP yang sedikit. Alasan lain yaitu pada hidangan sayur, menu
pasien kelas I mengikuti menu VIP.
Makanan yang diolah untuk kelas perawatan II dan III terdiri atas
makanan biasa dan diet khusus. Penggabungan proses pengolahan makanan
biasa dan diet khusus dikarenakan perbedaan makanan hanya terdapat pada
menu lauk hewani dan nabati saja, sedangkan untuk sayur, jenis hidangannya
sama antara kelas II dan III. Pengolahan makanan biasa dan diet dilakukan oleh
tiga tenaga pengolah. Pengolahan lauk nabati dan hewani untuk penderita DM
dibedakan yaitu tidak menggunakan bumbu seperti kecap ataupun gula. Bagi
pasien dengan Diet Hati, lauk hewani dan nabati yang diberikan diolah tanpa
menggunakan santan. Begitu pula dengan Diet Rendah Garam, penggunaan
garam dibatasi bahkan ada yang tidak menggunakan garam.
Gambar 5 Lauk dan tumisan sebelum diporsikan
Makanan cair yang akan dibuat oleh pengolah sesuai dengan jumlah dan
kebutuhan pasien yang membutuhkan makanan cair pada hari tersebut. Hal ini
diketahui dengan cara pramusaji tiap ruangan memberikan amprahan atau daftar
kebutuhan makan pasien kepada tenaga pekerja yang bekerja di dapur susu.
Cara pengolahan makanan cair yaitu dengan memblender semua bahan yang
diberi sedikit air panas, setelah itu dilakukan pengemasan. Makanan cair yang
berupa susu, pengolah akan mengemas susu bubuk kedalam kemasan-kemasan
kecil yang sudah sesuai dengan takaran dan jumlah pemberian.
Pengolahan makanan selingan pagi dan buah dilakukan hanya untuk
pasien kelas II dan III. Jumlah tenaga yang bekerja pada makanan selingan yaitu
satu orang, sehingga jenis makanan yang dihidangkan hanya berupa makanan
selingan yang mudah dibuat. Salah satu contoh hidangan selingan yang terdapat
di instalasi gizi yaitu agar-agar dan bubur kacang hijau.
Pemorsian Makanan
Proses pemorsian makan pasien dilakukan oleh petugas pengolah makan
atau pekarya serta pramusaji makanan. Proses pemorsian makan pasien untuk
kelas VIP dan kelas I dibedakan dengan tempat pemorsian untuk kelas II dan III.
Pemorsian kelas VIP dilakukan didapur pantry sedangkan pemorsian kelas I, II
dan III dilakukan didapur instalasi gizi. Tempat pemorsian kelas II dan kelas III
dilakukan di atas tray conveyor dengan cara plato disusun kemudian makanan
yang akan diporsikan terlebih dahulu berupa makanan pokok (nasi biasa, nasi
tim, bubur, kentang rebus) beserta buah kemudian lauk hewani, lauk nabati dan
terkahir sayur sesuai dengan etiket pasien. Proses wrapping dilakukan setelah
makanan diporsikan pada plato. Hal ini dilakukan agar makanan terhindar dari
kontaminasi.
Distribusi Makanan
Proses distribusi makanan pasien di RSUP Fatmawati dilakukan secara
sentralisasi dan desentralisasi. Proses sentralisasi dilakukan dengan ketentuan
makanan tiap pasien langsung diporsikan di dapur instalasi gizi. Proses ini
dilakukan untuk pasien kelas I,II dan III, sedangkan pasien kelas VIP
menggunakan sistem desentralisasi yaitu makanan diporsikan di dapur pantry
kemudian didistribusikan ke pasien. Petugas distribusi makanan pasien kelas
VIP, I, II dan III dilakukan oleh pramusaji di tiap lantai ruang rawat inap yang
terdiri dari dua sampai tiga orang.
Gambar 6 Bagian luar dan bagian dalam kereta makan pasien
Karakteristik Subyek
Karakteristik subyek meliputi jenis kelamin, usia dan status gizi. Sebaran
subyek berdasarkan karakteristik disajikan dalam Tabel 12.
Tabel 12 Sebaran subyek berdasarkan karakteristik subyek
Karakteristik Subyek
Jumlah
n %
Jenis Kelamin
Laki-Laki 31 62
Perempuan 19 38
TOTAL 50 100
Usia
Remaja 0 0
Dewasa Awal 21 42
Dewasa Menengah 29 58
TOTAL 50 100
Status Gizi
Underweight 13 26
Normal 32 64
At Risk 2 4
Obesitas I 3 6
Obesitas II 0 0
TOTAL 50 100
Jenis Kelamin
Total subyek dalam penelitian ini adalah 50 orang. Sebagian besar
subyek (62%) berjenis kelamin laki-laki. Subyek dengan jenis kelamin
perempuan berjumlah 38%.
Usia
Usia subyek dikelompokkan menjadi 3, yaitu remaja (17-19 tahun),
dewasa awal (20–45 tahun) dan dewasa menengah (46-55 tahun). Subyek yang
tergolong usia dewasa awal berjumlah 42% dan yang tergolong dalam usia
dewasa menengah yaitu 58%.
Status Gizi
Status gizi subyek diperoleh dengan menghitung indeks massa tubuh.
Nilai IMT dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu: kurus; normal; at risk;
obesitas I dan obesitas II. Lebih dari separuh subyek (64%) memiliki status gizi
normal. Persentase subyek dengan status gizi kurus yaitu 26% dan 6% tergolong
status gizi obesitas I.
Riwayat Penyakit
Lama Sakit
Lebih dari separuh subyek (58%) telah menderita penyakit ginjal selama
kurun waktu 1 – 5 tahun, sedangkan 30% subyek telah menderita penyakit ginjal
selama 6 – 10 tahun. Persentase subyek yang menderita penyakit ginjal < 1
tahun dan antara kurun 11 – 15 tahun yaitu 4% dan 8%. Secara rinci dapat dilihat
pada Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran subyek berdasarkan lama sakit
Lama Penyakit (thn) n %
< 1 2 4 1 – 5 29 58 6 – 10 15 30 11 – 15 4 8 > 15 0 0
Total 50 100
Perubahan lingkungan pada orang yang dirawat dalam waktu lama di RS,
dapat menyebabkan tekanan psikologis pada orang yang bersangkutan. Hal ini
menyebabkan hilangnya nafsu makan dan rasa mual terhadap makanan yang
disajikan (Subandriyo 1995).
Komplikasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh subyek sudah mengalami
komplikasi. Komplikasi yang menyertai subyek antara lain diabetes mellitus,
hipertensi, anemia, intake sulit, Chronic Heart Failure (CHF), hiperkalemia,
sindrom dispepsia dan asidosis metabolik. Sebaran subyek berdasarkan ada
tidaknya komplikasi ditampilkan dalam Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran subyek berdasarkan ada tidaknya komplikasi
Komplikasi n %
Ada 50 100 Tidak Ada 0 0
Total 50 100
Status Pernah Dirawat di RS
Status perawatan penyakit ginjal yaitu riwayat pernah atau tidaknya
subyek dirawat di RS karena penyakit ginjal sebelum penelitian dilakukan.
Berdasarkan status perawatan subyek dibedakan menjadi pernah dan tidak
pernah. Subyek yang pernah dirawat di RS karena penyakit ginjal dan yang tidak
pernah dirawat memiliki persentase yang sama yaitu 50%. Sebaran subyek
berdasarkan status perawatan penyakit ginjal ditampilkan dalam Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran subyek berdasarkan status pernah dirawat di RS
Status Perawatan n %
Pernah 25 50 Tidak Pernah 25 50
Total 50 100
Lama Dirawat di RS
Lama dirawat di RS dihitung sejak subyek masuk RS hingga saat
dilakukan pengamatan. Lama perawatan subyek dibedakan menjadi 3 hari, 4 -7
hari dan >7 hari. Lebih dari separuh subyek (66%), telah dirawat antara kurun
waktu 4 – 7 hari. Persentase subyek yang telah dirawat selama 3 hari sebesar
28%. Hanya 6% subyek yang telah dirawat >7 hari. Sebaran subyek berdasarkan
lama perawatan di RS disajikan dalam Tabel 16.
Tabel 16 Sebaran subyek berdasarkan lama dirawat di RS
Lama dirawat n %
3 hari 15 28
4 – 7 hari 33 66
> 7 hari 3 6
Total 50 100
Diet yang diberikan RS
Jenis Diet
Jenis diet yang diberikan oleh RS kepada pasien dengan gagal ginjal
kronik dibedakan menjadi 2, yaitu Rendah Protein (RP) dan Diabetes Mellitus
Rendah Protein (DMRP). Diet RP diberikan kepada pasien gagal ginjal kronik
tanpa komplikasi diabetes mellitus sedangkan diet DMRP diberikan kepada
pasien gagal ginjal kronik yang disertai dengan diabetes mellitus. Sebaran
subyek berdasarkan jenis diet yang diberikan RS ditampilkan dalam Tabel 17.
Tabel 17 Sebaran subyek berdasarkan jenis diet yang diberikan RS
Jenis Diet n %
RP 30 60 DMRP 20 40
Total 50 100
Lebih dari separuh jumlah subyek (60%) dalam penelitian 60% diberikan
diet RP. Persentase subyek yang mendapatkan diet DMRP yaitu sebesar 40%.
Berdasarkan ketentuan RS, menu pada diet RP dan DMRP sudah termasuk diet
rendah garam (RG). Ketetapan ini diberlakukan untuk membatasi konsumsi
natrium bagi pasien penyakit ginjal kronik.
Gambar 7 Diet RP dan DMRP lunak
Konsistensi Makanan Pokok
Konsistensi diet yang diamati dalam penelitian ini adalah makanan lunak
dan makanan biasa pada masing-masing diet yang diberikan (RP dan DMRP).
Perbedaan konsistensi makanan lunak dan biasa terlihat pada makanan pokok
yang diberikan. Diet dengan konsistensi makanan lunak diberikan makanan
pokok berupa bubur atau nasi tim, sedangkan pada konsistensi makanan biasa,
makanan pokoknya berupa nasi. Tidak ada perbedaan pada lauk maupun sayur
yang disajikan. Sebaran subyek berdasarkan konsistensi makanan pokok
disajikan dalam Tabel 18.
Tabel 18 Sebaran subyek berdasarkan konsistensi makanan pokok
Konsistensi Diet n %
Lunak 42 84 Biasa 8 16
Total 50 100
Sebagian besar subyek (84%) diberikan diet dengan konsistensi
makanan lunak. Hanya 16% subyek yang diberikan diet dengan konsistensi
makanan biasa.
Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Lain
Kebutuhan energi dihitung menggunakan rumus cepat menurut Almatsier
(2004) yang juga digunakan oleh RS dan menggunakan rumus Oxford Equation.
Kebutuhan energi subyek berdasarkan rumus cepat RS berkisar antara 1276
hingga 2580 Kal dengan rata-rata 2003 343 Kal. Sementara itu, kebutuhan
energi subyek berdasarkan perhitungan menggunakan rumus Oxford Equation
berkisar antara 1228 hingga 2174 Kal dengan rata-rata 1624 189 Kal.
Kebutuhan protein subyek ditetapkan oleh RS yaitu sebesar 40 g. Hasil
perhitungan rata-rata kebutuhan energi dan zat gizi lain subyek ditampilkan
dalam Tabel 19.
Tabel 19 Rata-rata kebutuhan energi dan zat gizi lain
Zat Gizi Rata-rata Kebutuhan (Rumus Cepat RS)
Rata-rata Kebutuhan (Oxford Equation)
Energi (Kal) 2003 343 1624 189 Protein (g) 40,0 0,0 40,0 0,0 Zat Besi (mg) 15,9 5,7 15,9 5,7 Natrium (mg) 3000,0 0,0 3000,0 0,0
Kalium (mg) 2500,0 0,0 2500,0 0,0
Kebutuhan zat besi seluruh subyek berkisar antara 12 hingga 26 mg.
Rata-rata kebutuhan zat besi yaitu 15,9 5,7 mg. Kebutuhan natrium dan kalium
diperoleh berdasarkan rekomendasi jumlah natrium dan kalium yang dianjurkan
untuk penderita penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis yaitu 3000 mg
natrium dan 2500 mg kalium (Greene dan Thomas 2008).
Perbedaan yang cukup signifikan terlihat pada rata-rata kebutuhan energi
subyek, dimana rata-rata kebutuhan subyek berdasarkan rumus Oxford Equation
lebih kecil dibandingkan dengan perhitungan menggunakan rumus cepat RS.
Perbedaan ini terjadi karena pada perhitungan menggunakan Oxford Equation
dalam menentukan nilai Angka Metabolisme Basal (AMB) digolongkan
berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur, sedangkan perhitungan
menggunakan rumus cepat RS hanya dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin.
Ketersediaan dan Tingkat Ketersediaan Makanan RS
Ketersediaan Makanan RS
Jumlah ketersediaan energi dan zat gizi lain makanan RS diperoleh
dengan menjumlahkan masing-masing zat gizi yang tersedia selama 3 hari
kemudian dirata-ratakan. Rincian rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi
subyek disajikan dalam Tabel 20.
Tabel 20 Rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi makanan RS
Zat Gizi Rata-rata Ketersediaan
Energi (Kal) 1357 190 Protein (g) 40,8 4,7 Zat Besi (mg) 17,9 3,4 Natrium (mg) 256,7 35,4 Kalium (mg) 3492,5 500,8
Ketersediaan energi seluruh subyek berkisar antara 1069 hingga 1714
Kal dengan rata-rata 1357 190 Kal. Ketersediaan protein berkisar antara 32,1
hingga 56,4 g dengan rata-rata 40,8 4,7 g. Ketersediaan zat besi berkisar
antara 12,8 mg hingga 27,2 mg dengan rata-rata 17,9 3,4 g.
Ketersediaan natrium seluruh subyek berkisar antara 206,3 hingga 417,5
mg dengan rata-rata 256,7 35,4 mg. Ketersediaan kalium berkisar antara 2484
hingga 4826 mg dengan rata-rata 3492,5 500,8 mg.
Tingkat Ketersediaan Makanan RS
Tingkat ketersediaan energi dan zat gizi lain diperoleh dengan
membandingkan angka ketersediaan zat gizi dengan kebutuhan subyek. Tingkat
ketersediaan energi dan protein dikategorikan menjadi defisit,normal dan lebih.
Sebaran subyek berdasarkan tingkat ketersediaan energi dan protein ditampilkan
dalam Tabel 21.
Tingkat ketersediaan energi (rumus cepat RS) seluruh subyek berkisar
antara 46,4 hingga 119,5% dengan rata-rata 70,2 17,1%. Berdasarkan hasil
perhitungan, diketahui persentase terbesar subyek terdapat pada tingkat
ketersediaan energi dengan kategori defisit yaitu sebesar 86%. Hanya 12% dari
keseluruhan subyek yang memiliki tingkat ketersediaan energi dengan kategori
normal dan 2% subyek tergolong kategori lebih.
Sementara itu, tingkat ketersediaan energi (rumus Oxford Equation)
seluruh subyek berkisar antara 54,2 hingga 124,1% dengan rata-rata 84,7
15,6%. Lebih dari separuh jumlah subyek (62%) tergolong kategori defisit. Hanya
30% dari keseluruhan subyek yang memiliki tingkat ketersediaan energi dengan
kategori normal dan 8% subyek tergolong kategori lebih. Ketidaksesuaian
ketersediaan energi dengan kebutuhan subyek diduga karena kurang tepatnya
pemorsian makanan.
Tabel 21 Sebaran subyek berdasarkan tingkat ketersediaan energi dan protein
Tingkat Ketersediaan
Energi (rumusRS) Energi (rumusOE) Protein
n % n % n %
Defisit 43 86 31 62 5 10 Normal 6 12 15 30 41 82 Lebih 1 2 4 8 4 8
Total 50 100 50 100 50 100
Keterangan : rumusRS = rumus yang digunakan oleh rumah sakit rumusOE = rumus Oxford Equation
Tingkat ketersediaan protein seluruh subyek berkisar antara 80,1 hingga
141,1% dengan rata-rata 102 11,8%. Persentase terbesar subyek terdapat
pada tingkat ketersediaan protein dengan kategori normal (90 – 120% dari angka
kebutuhan) yaitu sebesar 82%. Persentase terkecil subyek terdapat pada tingkat
ketersediaan protein dengan kategori defisit (< 90%dari angka kebutuhan) yaitu
sebesar 10%. Hal ini menunjukkan ketersediaan protein RS sudah sesuai
dengan kebutuhan pasien penyakit ginjal kronik. Pembatasan protein pada
pasien penyakit ginjal kronik dan pasien nefropati diabetik merupakan hal yang
penting. Pemberian diet rendah protein bertujuan untuk mempertahankan fungsi
ginjal. Saat ini, anjuran konsumsi protein 0,8 g/kgBB/hari, kurang atau sama
dengan 10% dari total energi. Sebagian besar protein (50%) bernilai biologis
tinggi (IKCC 2007).
Hasil penelitian Primadhani (2006) menunjukkan bahwa tingkat
ketersediaan energi dan protein pada pasien penyakit dalam kelas III RS Cipto
Mangunkusumo sebagian besar tergolong defisit. Sementara itu, penelitian
Ratnasari (2003) menyebutkan bahwa tingkat ketersediaan energi pasien
penyakit dalam di RSUD Kabupaten Cilacap 55,3% tergolong defisit dan 2,1%
tergolong defisit protein.
Tabel 22 Sebaran subyek berdasarkan tingkat ketersediaan zat besi, natrium dan kalium
Tingkat Ketersediaan
Zat Besi Natrium Kalium
n % n % n %
Dibawah kebutuhan 12 24 50 100 1 2 Sesuai kebutuhan 8 16 0 0 1 2 Diatas kebutuhan 30 60 0 0 48 96
Total 50 100 50 100 50 100
Tingkat ketersediaan zat besi, natrium dan kalium dikategorikan menjadi
dibawah kebutuhan, sesuai kebutuhan dan diatas kebutuhan. Sebaran subyek
berdasarkan tingkat ketersediaan zat besi, natrium dan kalium disajikan dalam
Tabel 22.
Hasil perhitungan menunjukkan tingkat ketersediaan zat besi seluruh
subyek berkisar antara 49,4 hingga 209,2% dengan rata-rata 124,3 42,3%.
Persentase terbesar subyek terdapat pada tingkat ketersediaan zat besi dengan
kategori diatas kebutuhan yaitu sebesar 60%. Persentase terkecil subyek
terdapat pada tingkat ketersediaan zat bsei dengan kategori sesuai kebutuhan
yaitu sebesar 16%.
Tingkat ketersediaan natrium seluruh subyek berkisar antara 6,9 hingga
hingga 13,9% dengan rata-rata 8,6 1,2%. Seluruh subyek (100%) memiliki
tingkat ketersediaan natrium dengan kategori dibawah kebutuhan.
Tingkat ketersediaan kalium berkisar antara 99,4 hingga 193,1% dengan
rata-rata 139,7 20%. Sebesar 96% dari keseluruhan subyek termasuk dalam
kategori diatas kebutuhan. Subyek yang termasuk dalam kategori dibawah
kebutuhan dan sesuai dengan kebutuhan memiliki persentase yang sama yaitu
2%.
Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Makanan RS
Konsumsi Makanan RS
Konsumsi makanan RS pada penelitian ini diamati menggunakan metode
food weighing. Konsumsi zat gizi yang diamati adalah energi, protein, zat besi,
natrium dan kalium. Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lain dari makanan RS
ditampilkan dalam Tabel 23.
Tabel 23 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lain dari makanan RS
Zat Gizi Rata-rata Konsumsi
Energi (Kal) 992 208 Protein (g) 29,3 6,8 Zat Besi (mg) 10,2 3,0 Natrium (mg) 189,7 50,9 Kalium (mg) 3492,5 500,8
Konsumsi energi seluruh subyek berkisar antara 566 Kal hingga 1450 Kal
dengan rata-rata 992 208 Kal. Konsumsi protein seluruh subyek berkisar antara
10,4 hingga 42,4 g dengan rata-rata 29,3 6,8 g. Konsumsi zat besi berkisar
antara 4,2 hingga 19,3 mg dengan rata-rata 10,2 3,0 mg.
Konsumsi natrium seluruh subyek berkisar antara 57,8 hingga 408 mg
dengan rata-rata 189,7 50,9 mg. Konsumsi kalium seluruh subyek berkisar
antara 4626,7 hingga 3292,5 mg, dengan rata-rata 3492,5 500,8 mg.
Sebagian besar subyek tidak menghabiskan makanan yang disajikan RS.
Alasan subyek tidak menghabiskan makanan antara lain karena lemas, pusing,
mual, tidak berselera makan, lidah terasa pahit, dan tidak bisa buang air besar.
Bahkan menurut Khomsan (2003) konsumsi obat-obatan tertentu dapat
menurunkan nafsu makan. Konsumsi subyek yang cenderung kurang dari diet
yang telah ditetapkan RS menyebabkan terjadinya malnutrisi klinis. Malnutrisi
klinis dapat terjadi disebabkan oleh penyakit pasien sendiri dan kurang gizi, dan
dapat juga karena efek samping terapi atau pembedahan (Philipi 2007).
Tingkat Konsumsi terhadap Ketersediaan Makanan RS
Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan zat gizi dikategorikan menjadi
defisit tingkat berat, defisit tingkat sedang, defisit tingkat ringan dan normal.
Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan disajikan
dalam Tabel 24.
Tabel 24 Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan energi dan protein makanan RS
Tingkat Konsumsi
Energi Protein
n % n %
Defisit tingkat berat 21 42 21 42 Defisit tingkat sedang 15 30 14 28 Defisit tingkat ringan 9 18 8 16 Normal 5 10 7 14
Total 50 100 50 100
Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan energi seluruh subyek berkisar
antara 49 hingga 98,7% dengan rata-rata 73,1 11,8%. Hampir seluruh subyek
(90%) tergolong kategori defisit (ringan hingga berat) dan 10% termasuk kategori
normal.
Hasil perhitungan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan protein seluruh
subyek berkisar antara 28,5 hingga 102% dengan rata-rata 71,9 15,2%.
Sebagian besar subyek (86%) termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga
berat) dan hanya 14% yang tergolong kategori normal.
Pendamping pasien maupun pasien sebaiknya perlu menyadari akan
pentingnya zat gizi pada saat penyembuhan, baik saat dirawat dirumah sakit
maupun saat rawat jalan. Bagi pasien rawat inap diharuskan menghabiskan
makanan yang telah disediakan RS (Kresnawan 2007). Beberapa penelitian di
Eropa melaporkan bahwa konsumsi energi pasien rawat inap dapat distimulasi
dengan meningkatkan suasana sosial dan pelayanan terhadap pasien, rasa
makanan, dan memberikan pilihan menu (Larsen & Toubro 2007).
Tabel 25 Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan zat besi, natrium dan kalium makanan RS
Tingkat Konsumsi
Zat Besi Natrium Kalium
n % N % n %
Defisit tingkat berat 40 80 18 36 17 34 Defisit tingkat sedang 5 10 14 28 15 30 Defisit tingkat ringan 3 6 13 26 10 20 Normal 1 2 5 10 8 16
Total 50 100 50 100 50 100
Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan zat
besi, natrium dan kalium ditampilkan dalam Tabel 25. Tingkat konsumsi terhadap
ketersediaan zat besi seluruh subyek berkisar antara 29,4 hingga 101,4%
dengan rata-rata 56,9 14,9%. Sebagian besar subyek yaitu 80% terdapat pada
kategori defisit tingkat berat. Hanya 2% subyek yang terdapat pada kategori
normal.
Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan natrium seluruh subyek berkisar
antara 21,9 hingga 143,1% dengan rata-rata 74,4 18,6%. Hampir seluruh
subyek (90%) termasuk kategori defisit (ringan hingga berat) dan hanya 10%
yang tergolong kategori normal.
Hasil perhitungan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan kalium seluruh
subyek berkisar antara 30,2 hingga 138,7% dengan rata-rata 64,5 0,8%.
Persentase terbesar subyek terdapat pada kategori defisit (ringan hingga berat)
yaitu 84% dan hanya 16% yang tergolong kategori normal.
Tingkat Konsumsi Makanan RS terhadap Kebutuhan
Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan dikategorikan menjadi defisit
tingkat berat, defisit tingkat sedang, defisit tingkat ringan, normal dan lebih.
Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan energi dan
protein disajikan dalam Tabel 26.
Tabel 26 Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan energi dan protein
Tingkat Konsumsi
Energi (rumusRS) Energi (rumusOE) Protein
n % N % n %
Defisit tingkat berat 44 88 39 78 19 38 Defisit tingkat sedang 3 6 5 10 14 28 Defisit tingkat ringan 2 4 3 6 8 16 Normal 1 2 2 4 9 18 Lebih 0 0 1 2 0 0
Total 50 100 50 100 50 100
Keterangan : rumusRS = rumus yang digunakan oleh rumah sakit rumusOE = rumus Oxford Equation
Hasil perhitungan menggunakan rumus cepat RS menunjukkan tingkat
konsumsi terhadap kebutuhan energi seluruh subyek berkisar antara 25,2 hingga
112,8% dengan rata-rata 51,5 16,3%. Hampir seluruh subyek yaitu 98%
termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga berat). Hanya 2% subyek yang
tergolong kategori normal. Sementara itu, perhitungan menggunakan rumus
Oxford Equation menunjukkan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan energi
berkisar antara 39,1 hingga 117% dengan rata-rata 61,9 15,6%. Hampir
seluruh subyek (78%) tergolong kategori defisit (ringan hingga berat), 4%
tergolong normal dan hanya 2% subyek yang tergolong kategori lebih.
Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan protein seluruh subyek berkisar
antara 26,1 hingga 105,6% dengan rata-rata 73,2 16,9%. Sebesar 82% dari
keseluruhan subyek termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga berat). Hanya
10% subyek yang tergolong kategori normal.
Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan zat
besi, natrium dan kalium ditampilkan dalam Tabel 27. Tingkat konsumsi terhadap
kebutuhan zat besi seluruh subyek berkisar antara 21,5 hingga 160,6% dengan
rata-rata 70,7 29,8%. Sebagian besar subyek yaitu 82% termasuk dalam
kategori defisit (ringan hingga berat). Hanya 18% subyek yang tergolong kategori
normal.
Tabel 27 Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan zat besi, natrium dan kalium
Tingkat Konsumsi
Zat Besi Natrium Kalium
n % n % n %
Defisit tingkat berat 19 38 50 100 25 50 Defisit tingkat sedang 14 28 0 0 7 14 Defisit tingkat ringan 8 16 0 0 4 8 Normal 9 18 0 0 13 26 Lebih 0 0 0 0 1 2
Total 50 100 50 100 50 100
Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan natirum seluruh subyek berkisar
antara 1,9 hingga 13,6% dengan rata-rata 6,3 1,7%. Hasil perhitungan
menunjukkan seluruh subyek (100%) termasuk dalam kategori defisit tingkat
berat.
Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan kalium seluruh subyek berkisar
antara 91 hingga 185% dengan rata-rata 131 20%. Lebih dari separuh subyek
(61%) tergolong kategori defisit (ringan hingga berat). Sebesar 13% subyek
tergolong dalam kategori normal.
Daya Terima Terhadap Makanan RS
Daya Terima Setiap Waktu Makan
Daya terima subyek terhadap makanan RS adalah tingkat atau derajat
kesukaan subyek terhadap makanan yang disajikan RS. Daya terima subyek
terhadap makanan RS merupakan gambaran penilaian subyek terhadap 9 atribut
makanan. Atribut makanan yang dinilai meliputi warna, aroma, rasa lauk, rasa
sayur, tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu. Penilaian daya
terima dilakukan selama 3 hari. Sebaran subyek berdasarkan daya terima
terhadap makanan RS pada setiap waktu makan ditampilkan dalam Tabel 28.
Sebagian besar subyek (80%) memiliki daya terima yang tinggi terhadap
makan pagi. Begitu pula dengan daya terima subyek terhadap makan siang,
sebesar 78% memiliki daya terima yang tinggi. Lebih dari separuh subyek (58%)
memiliki daya terima sedang terhadap makanan yang disajikan waktu sore.
Tabel 28 Sebaran subyek berdasarkan daya terima terhadap makanan RS tiap waktu makan
Daya Terima Pagi Siang Sore
n % n % n %
Rendah 0 0 0 0 0 0 Sedang 10 20 11 22 29 58 Tinggi 40 80 39 78 21 42
Total 50 100 50 100 50 100
Penilaian Subyek Terhadap Atribut Makanan
Penilaian terhadap makanan waktu makan pagi menunjukkan bahwa
sebagian besar subyek memiliki penilaian biasa terhadap warna (70,7%), aroma
(91,3%), rasa lauk (60%), tekstur (62,7%), bentuk (70%), kebersihan alat
(84,7%), dan variasi menu (89,3%). Sebanyak 40,7% tidak menyukai rasa sayur.
Lebih dari separuh subyek menilai suka terhadap suhu makanan. Rincian
sebaran subyek berdasarkan berdasarkan penilaian atribut makanan pada waktu
makan pagi ditampilkan dalam Tabel 29.
Tabel 29 Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan pada waktu makan pagi
Atribut Makanan Tidak Suka Biasa Suka Total
n % n % n % n %
Warna 7 4,7 106 70,7 37 24,7 150 100 Aroma 10 6,7 137 91,3 3 2,0 150 100 Rasa Lauk 0 0,0 90 60,0 60 40,0 150 100 Rasa Sayur 61 40,7 50 33,3 39 26,0 150 100 Tekstur 25 16,7 94 62,7 31 20,7 150 100 Bentuk 0 0,0 105 70,0 45 30,0 150 100 Suhu 0 0,0 67 44,7 83 55,3 150 100 Kebersihan Alat 23 15,3 127 84,7 0 0,0 150 100 Variasi Menu 6 4,0 134 89,3 10 6,7 150 100
132 88,1 910 606,7 308 205,4 1350 900
Keterangan : ntotal = 1 makan pagi x 3 hari x 50 orang
Penilaian terhadap makanan waktu makan siang menunjukkan bahwa
36% subyek tidak menyukai rasa sayur. Sebagian besar subyek cenderung
memberikan penilaian biasa terhadap warna (72%), aroma (80%), rasa lauk
(74%), tekstur (67,3%), bentuk (70%), kebersihan alat (82%) dan variasi menu
(89,3%). Separuh subyek (50,7%) memberikan penialai suka terhadap suhu
makanan. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30 Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan pada waktu makan siang
Atribut Makanan Tidak Suka Biasa Suka Total
n % n % n % n %
Warna 5 3,3 108 72,0 37 24,7 150 100 Aroma 7 4,7 120 80,0 23 15,3 150 100 Rasa Lauk 11 7,3 74 49,3 65 43,3 150 100 Rasa Sayur 55 36,7 49 32,7 46 30,7 150 100 Tekstur 12 8,0 101 67,3 36 24,0 150 100 Bentuk 0 0,0 105 70,0 45 30,0 150 100 Suhu 9 6,0 65 43,3 76 50,7 150 100 Kebersihan Alat 28 18,7 123 82 0 0,0 150 100 Variasi Menu 5 3,3 134 89,3 11 7,3 150 100
132 88 879 585,9 339 226 1350 900
Keterangan : ntotal = 1 makan siang x 3 hari x 50 orang
Penilaian terhadap makanan waktu makan sore menunjukkan bahwa
sebagian besar subyek cenderung memberikan penilaian biasa terhadap warna
(69,3%), aroma (90,7%), rasa lauk (61,3%), rasa sayur (52,7%), tekstur (67,3%),
bentuk (70%), kebersihan alat (75,3%) dan variasi menu (92,7%). Lebih dari
separuh subyek (52,7%) suka terhadap suhu makanan. Secara rinci dapat dilihat
pada Tabel 31.
Tabel 31 Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan pada waktu makan sore
Atribut Makanan Tidak Suka Biasa Suka Total
n % n % n % n %
Warna 11 7,3 104 69,3 35 23,3 150 100 Aroma 6 4,0 136 90,7 8 5,3 150 100 Rasa Lauk 56 37,3 92 61,3 2 1,3 150 100 Rasa Sayur 69 46 79 52,7 2 1,3 150 100 Tekstur 9 6,0 101 67,3 30 20,0 150 100 Bentuk 0 0,0 105 70,0 45 30,0 150 100 Suhu 0 0,0 71 47,3 79 52,7 150 100 Kebersihan Alat 37 24,7 113 75,3 0 0,0 150 100 Variasi Menu 6 4,0 139 92,7 5 3,3 150 100
194 129,3 940 626,6 206 137,2 1350 900
Keterangan : ntotal = 1 makan sore x 3 hari x 50 orang
Konsumsi Makanan Luar RS dan Infus
Makanan Luar RS
Lebih dari separuh subyek (66%) selain mengkonsumsi makanan RS juga
mengkonsumsi makanan dari luar RS. Sebaran subyek berdasarkan konsumsi
makanan luar RS dipat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32 Sebaran subyek berdasarkan konsumsi makanan luar RS
Konsumsi Makanan Luar RS
Laki-laki Perempuan Subyek
n % n % n %
Ya 16 32 17 34 33 66 Tidak 14 28 3 6 17 34
Total 30 60 20 40 50 100
Rata-rata (n=33) konsumsi energi dari makanan luar RS sebesar 158,4
Kal dan konsumsi protein 3,3 g. Konsumsi zat besi, natrium, dan kalium yang
berasal dari makanan luar RS rata-rata sebesar 2 mg, 134,7 mg dan 196,9 mg.
Jenis makanan luar RS yang dikonsumsi oleh subyek secara rinci dapat dilihat
pada Tabel 33.
Tabel 33 Jenis makanan luar RS yang dikonsumsi
Jenis Makanan Contoh Makanan
Nasi Bubur ayam, lontong Lauk Ayam goreng, kentang goreng, telur rebus Sayur Sup wortel jagung Buah Apel, jeruk, pir Roti Roti manis (cokelat, keju), roti tawar Biskuit Biskuit manis, wafer Krekers Krekers manis, krekers tawar Makanan Rebus Kentang, ubi, pisang Minuman Teh manis
Subyek mengkonsumsi makanan luar RS karena beberapa alasan yaitu
ingin makanan kesukaan, masih lapar dan merasa bosan dengan makanan
rumah sakit.
Pemberian Infus
Jenis infus yang diberikan kepada sebagian besar subyek (88%) subyek
adalah NaCl 0,9%, Ringer Laktat (RL), sedangkan infus Dextrose 5% hanya 10%
subyek dan infus Flashbumin 2%. Sebaran sampe berdasarkan jenis infus yang
diberikan ditampilkan dalam Tabel 34.
Tabel 34 Sebaran subyek berdasarkan jenis infus yang diberikan
Jenis Infus Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
NaCl 0,9% 21 42 13 26 34 68 Ringer Laktat 6 12 4 8 10 20 Dextrose 5% 3 6 2 4 5 10 Flashbumin 0 0 1 2 1 2
Total Subyek 30 60 20 40 50 100
Energi rata-rata dari subyek yang diberikan infus dextrose 5% (n=5)
sebesar 300 Kal. Protein yang diperoleh dari infus flashbumin sebesar 55,13 g.
Pasien yang diberikan infus NaCl 0,9% dan Ringer Laktat tidak memperoleh
tambahan energi maupun protein dari infus, karena jenis infus tersebut hanya
mengandung elektrolit (natrium, kalium, kalsium, klorida, laktat).
Kontribusi Konsumsi Energi dan Zat Gizi Lain
Kontribusi konsumsi energi makanan RS terhadap total konsumsi
(makanan RS, luar RS, infus) subyek yaitu 90% dan persentase kontribusi
protein adalah 92,5% total konsumsi. Kontribusi zat besi, natrium dan kalium
terhadap total konsumsi yaitu 91,9%, 38,5% dan 96,2%. Persentase kontribusi
natrium makanan RS jauh lebih rendah dibandingkan dengan kontribusi energi,
protein, zat besi dan kalium. Hal ini terjadi karena konsumsi natrium hampir
separuh diperoleh dari infus dan sisanya diperoleh dari makanan luar RS.
Rincian kontribusi konsumsi energi dan zat gizi lain makanan RS, luar RS dan
infus terhadap total konsumsi ditampilkan dalam Tabel 35.
Tabel 35 Rata-rata kontribusi konsumsi energi dan zat gizi lain makanan RS, luar RS dan infus terhadap total konsumsi
Zat Gizi Makanan RS Makanan Luar RS Infus Total
Energi 90% 8,1% 1,9% 100% Protein 92,5% 6,2% 1,3% 100% Zat Besi 91,9% 8,1% 0% 100% Natrium 38,5% 12,1% 49,4% 100% Kalium 96,2% 3,5% 0,3% 100%
Persentase kontribusi energi makanan luar RS terhadap total konsumsi
yaitu 8,1% dan kontribusi protein 6,2%. Kontribusi zat besi, natrium dan kalium
masing-masing 8,1%, 12,1% dan 3,5%.
Kontribusi energi infus terhadap total konsumsi yaitu 1,9% dan kontribusi
protein 1,3%. Persentase kontribusi zat besi, natrium dan kalium adalah 0%,
49,4% dan 0,3%. Hampir separuh kontribusi natrium subyek diperoleh dari infus.
Sebagian besar subyek memperoleh infus NaCl maupun Ringer Laktat yang
mengandung elektrolit (natrium, klorida, kalium, kalsium, laktat) dan tidak
mengandung energi maupun protein.
Hubungan Tingkat Konsumsi dengan Daya Terima
Hasil uji Spearman menunjukkan nilai p>0,05 dan r<0,5 yang berarti tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat konsumsi energi, protein, zat
besi, natrium dan kalium dengan daya terima. Hal ini mengindikasikan bahwa
daya terima makanan tidak berhubungan dengan tingkat konsumsi energi dan
zat gizi lain. Meskipun daya terima terhadap energi dan zat gizi lain cenderung
tinggi namun konsumsi subyek tergolong rendah. Hal ini diduga disebabkan oleh
faktor penyakit (merasa lemas, lidah terasa pahit, pusing) dan pengaruh obat
(mual dan susah buang air besar).