HANDOUT STERIL MG 2.docx

download HANDOUT STERIL MG 2.docx

of 22

Transcript of HANDOUT STERIL MG 2.docx

PERSYARATAN SEDIAAN STERIL Fisik : kejernihan, partikel, suspensi Kimia : isotonis, isohidris Biologi : steril, pirogen

1. Kejernihan Kejernihan adalah suatu batasan yang relatif, yang artinya sangat dipengaruhi oleh penilaian subjektif dari pengamat. Tujuan dilakukan uji kejernihan ini adalah untuk mengetahui kejernihan dari sediaan yang dibuat. Syarat kejernihan yaitu sediaan larutan ( kecuali suspensi dan emulsi) adalah tidak ada zat yang terdispersi dalam larutan jernih2. PartikelSediaan steril harus bebas dari partikel melayang karena dapat menyebabkan kontaminasi dan membawa mikroorganisme.Partikel asing tersebut merupakan partikel-partikel yang tidak larut yang dapat berasal dari larutan dan zat kimia yang terkandung, lingkungan, peralatan, personal, maupun dari wadah. Partikel asing tersebut dapat menyebabkan pembentukan granuloma patologis dalam organ vital tubuh. Untuk mengetahui keberadaan partikel asing dilakukan dengan menerawang sediaan pada sumber cahaya. Tujuan dari uji partikel asing ini adalah agar mengetahui apakah ada partikel dalam sediaan. Dari hasil uji ini mensyaratkan bahwa tidak terdapat partikel asing dalam sediaan. Pada waktu pembuatan sediaan steril kemungkinan jika masih terdapat partikel asing bisa terjadi karena sewaktu penyaringan masing ada partikel yang lolos dari saringan3. Tipe suspensiUntuk sediaan steril tipe suspense harus memenuhi persyaratan yang berlaku untuk suspensi sterilSuspensi optalmik merupakan sediaan cair steril yang mengandung partikel-partikel yang terdispersi dalam cairan pembawa yang ditujukan untuk penggunaan pada mata. Suspensi untuk injeksi merupakan sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikan secara intravena atau kedalam saluran spinal. Sedangkan suspensi untuk injeksi kontinyu merupakan sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai untuk membentuk larutan yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril setelah penambahan bahan pembawa yang sesuai.Suspensi steril berlaku sebagai obat yang hipertonis, mengambil cairan dari jaringan sekitar. Sehingga akhirnya bisa larut. Walau sudah larut semua, cairan tetap sebagai hipertonisPersyaratan fisik lainnya : Stabil. Artinya sediaan tidak mengalami degradasi fisika (ataupun kimia). Misal jika bentuk sediaan larutan maka sediaan tersebut tetap berada dalam bentuk larutan (bukan suspensi). Sifat stabil ini berkaitan dengan formulasi. Ketidakstabilan dapat dilihat dari:a. terjadi perubahan warnaContoh: larutan adrenalin yang awalnya berwarna jernih karena teroksidasi akan menjadi merah karena terbentuk adenokrom.b. terjadi pengendapanContoh: injeksi aminophilin dibuat dengan air bebas CO2, karena jika tidak bebas CO2 maka akan terbentuk theopilin yang kelarutannya kecil dalam air sehingga akan mengendap. Akibatnya dosis menjadi berkurang.

4. Tonisitas Tonisitas menggambarkan tekanan osmose yang diberikan oleh suatu larutan (zat padat yang terlarut di dalamnya) Suatu larutan dapat bersifat isotonis, hipotonis, atau hipertonis NaCl 0,9 % sebagai larutan pengisotoni Tidak semua sediaan steril harus isotonis, tapi tidak boleh hipotonis, beberapa boleh hipertonis Tonisitas laruan obat suntik :1.IsotonisJika suatu larutan konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi dalam sel darah merah, sehingga tidak terjadi pertukaran cairan di antara keduanya, maka larutan dikatakan isotonis.Larutan obat suntik dikatakan isotonis jika :1.Mempunyai tekanan osmotis sama dengan tekanan osmotis cairan tubuh ( darah, cairan lumbal, air mata ) yang nilainya sama dengan tekanan osmotis larutan NaCl 0,9 % b/v2.Mempunyai titik beku sama dengan titik beku cairan tubuh, yaitu - 0,520C.

Cairan tubuh kita masih dapat menahan tekanan osmotis larutan injeksi yang sama nilainya dengan larutan NaCl 0,6 - 2,0 % b/v.2.Isoosmotik Jika suatu larutan memiliki tekanan osmose sama dengan tekanan osmose serum darah, maka larutan dikatakan isoosmotik ( 0,9% NaCl, 154 mmol Na+ dan 154 mmol Cl- per liter = 308 mmol per liter, tekanan osmose 6,86 ). Pengukuran menggunakan alat osmometer dengan kadar mol zat per liter larutan.

3.Hipotonis Turunnya titik beku kecil, yaitu tekanan osmosenya lebih rendah dari serum darah, sehingga menyebabkan air akan melintasi membrane sel darah merah yang semipermeabel memperbesar volume sel darah merah dan menyebabkan peningkatan tekanan dalam sel. Tekanan yang lebih besar menyebabkan pecahnya sel sel darah merah. Peristiwa demikian disebut hemolisa.Pecahnya sel ini akan dibawa aliran darah dan dapat menyumbat pembuluh darah yang kecil.

4.Hipertonis Turunnya titik beku besar, yaitu tekanan osmosenya lebih tinggi dari serum darah, sehingga menyebabkan air keluar dari sel darah merah melintasi membran semipermeabel dan mengakibatkan terjadinya penciutan sel sel darah merah. Peristiwa demikian disebut Plasmolisa.Jika larutan injeksi yang hipertonis disuntikkan, air dalam sel akan ditarik keluar dari sel , sehingga sel akan mengkerut, tetapi keadaan ini bersifat sementara dan tidak akan menyebabkan rusaknya sel tersebut.

Bahan pembantu mengatur tonisitas adalah : NaCl, Glukosa, Sukrosa, KNO3 dan NaNO3

pH dan Osmolalitas Injeksia. Isohidris yaitu pH larutan sama dengan pH darah. Kalau bisa pH sama dengan pH darah, tapi tidak selalu, tergantung pada stabilitas obat. Contoh: injeksi aminofilin dibuat sangat basa karena pada kondisi asam akan terurai. Dalam pembuatan ditambahkan etilendiamin untuk menaikkan kelarutan dari aminofilin.Aminofilin injeksi2,4% 24%R/ Teofilin2,0 20,0Etilen diamin 0,55 5,5Aqua p.i. ad 100ad 100 mlCara pemberian i.v. i.m.pH optimal untuk darah atau cairan tubuh yang lain adalah 7,4 dan disebut Isohidri. Karena tidak semua bahan obat stabil pada pH cairan tubuh, sering injeksi dibuat di luar pH cairan tubuh dan berdasarkan kestabilan bahan tersebut.

Pengaturan pH larutan injeksi diperlukan untuk :1.Menjamin stabilitas obat, misalnya perubahan warna, efek terapi optimal obat, menghindari kemungkinan terjadinya reaksi dari obat.2.Mencegah terjadinya rangsangan / rasa sakit waktu disuntikkan.

Jika pH terlalu tinggi (lebih dari 9) dapat menyebabkan nekrosis jaringan (jaringan menjadi mati), sedangkan pH yang terlalu rendah (di bawah 3) menyebabkan rasa sakit jika disuntikkan. misalnya beberapa obat yang stabil dalam lingkungan asam : Adrenalin HCl, Vit.C, Vit.B1 .

pH dapat diatur dengan cara :1.Penambahan zat tunggal , misalnya asam untuk alkaloida, basa untuk golongan sulfa.2.Penambahan larutan dapar, misalnya dapar fosfat untuk injeksi, dapar borat untuk obat tetes mata.

Yang perlu diperhatikan pada penambahan dapar adalah :1.Kecuali darah, cairan tubuh lainnya tidak mempunyai kapasitas dapar.2.Pada umumnya larutan dapar menyebabkan larutan injeksi menjadi hipertonis.3.Bahan obat akan diabsorpsi bila kapasitas dapar sudah hilang, maka sebaiknya obat didapar pada pH yang tidak jauh dari isohidri. Jika kestabilan obat pada pH yang jauh dari pH isohidri, sebaiknya obat tidak usah didapar, karena perlu waktu lama untuk meniadakan kapasitas dapar.

b. Isotonis, yaitu tekanan osmosis larutan sama dengan tekanan osmosis cairan tubuh. Di luar isotonis disebut paratonis, meliputi: hipotonis dan hipertonis.- hipotonis yaitu tekanan osmosis larutan lebih kecil dari tekanan osmosis cairan tubuh (NaCl 0,9%). NaCl jika terurai menjadi Na (15,1 mOsmol) dan Cl (154 mOsmol) sehingga total 308 mOsmol. Sedangkan tekanan osmosis cairan tubuh yaitu 300 mOsmol. Pada hipotonis, cairan masuk ke tubuh dan masuk ke sel darah merah, sehingga sel darah merah bisa pecah (irreversibel)- hipertonis, yaitu tekanan osmosis larutan lebih besar dari tekanan osmosis cairan tubuh. Air akan mengalir keluar dari sel darah sehinggga sel mengkerut (krenasi), bersifat reversibel.

Pengaturan tonisitasPengaturan tonisitas adalah suatu upaya untuk mendapatkan larutan yang isotonis. Upaya tersebut meliputi pengaturan formula sehingga formula yang semula hipotonis menjadi isotonis,dan langkah kerja pengerjaan formula tersebut.Ada dua kelas untuk pengaturan tonisitas :1. Metode Kelas satu 2. Metode kelas 2 Metode Kelas Satu Dari formula yang ada (termasuk jumlah solvennya) dihitung tonisitasnya dengan menentukan Tf nya, atau kesetaraan dengan NaCl. Jika Tf-nya kurang dari 0,52O atau kesetaraannya dengan NaCl kurang dari 0,9 %, dihitung banyaknya padatan NaCl, yang harus ditambahkan supaya larutan menjadi isotonis. Cara pengerjaannya semua obat ditimbang, ditambah NaCl padat, diatamabah air sesuai formula. Metode kelas satu meliputi metode kriskopik (penurunan titik beku), perhitungan dengan faktor disosiasi dan metode ekuivalensi NaCl Metode Kelas Dua Dari formula yang ada (selain solven) hitung volume larutannya yang memungkinkan larutan menjadi isotonis. Jika volume ini lebih kecil dari pada volume dalam formula, artinya larutan bersifat hipotonis. Kemudian hitunglah volume larutan isotonis, atau larutan dapar isotonis, yang ditambahkan berupa larutan NaCl 0,9%, bukan padatan NaCl, misalnya NaCl 0,9 % yang harus ditambahkan dalam formula tadi untuk mengganti posisi solven selisih volume formula dan volume larutan isotonis. Metode kelas dua meliputi metode White-Vincent dan metode Sprowls. Contoh soal : Suatu formula injeksi tiap 500 ml mengandung Morfin HCl (BM=375,84 g/mol dan Liso=3,3) 3 gram dan nicotinamida (BM=122,13 g/mol dan Liso=1,9) 10 gram. Aturlah tonisitasnya dengan 4 metode di atas Penyelesaian Formula di atas adalah sebagai berikut: R/Morfin HCl3 Nikotinamida10 Aquadest ad500 ml Pengaturan tonisitas kelas satu mengubah formula menjadi sebagai berikut:R/Morfin HCl3 Nikotinamida10 NaClx gramAquadest ad500 ml X dapat dihitung dengan metode Kriskopik, metode ekuivalensi NaCl, dan faktor disosiasi Pengaturan tonisitas kelas dua mengubah formula menjadi sebagai berikut R/Morfin HCl 3 Nikotinamida10 Aqua ad y ml (y < 500 ml, sehingga larutan yang didapat isotonis)NaCl 0,9 % ad500 ml Harga y dapat dihitung dengan metode white vincent dan metode sprowls Metode Kriskopik Memerlukan data Tf1% data bisa dicari di Farmakope Indonesia Ed IV atau buku lainnya. Dengan diketahui harga BM dan Liso sebenarnya harga Tf1% bisa dihitung. Morfin HClTf1% = Liso x C = 3,3 x (3 g/375,84 g/mol): 1 L = 0,026O NikotinamidaTf1% = Liso x C = 1,9 x (10 g/122,13 g/mol): 1 L = 0,16O 1 % Morfin HCl mempunyai Tf = 0,026O, formula: 0,6%, maka Tf-nya 0,6x0,026=0,016O 1 % Nikotinamid mempunyai Tf = 0,16O, formula: 2%, maka Tf-nya 2x0,16=0,32O Maka Tf formula adalah 0,016+0,32 = 0,336 < 0,52 hipotonis, maka perlu penambahan NaCl untuk menurunkan titik bekunya sehingga Tf-nya menjadi 0,52, Hafalkan Tf% NaCl adalah 0,58. NaCl yang diperlukan untuk 100 ml formula adalah 0,52 0,336 --------------- x 1 g = 0,317 gram, sehingga untuk 500 ml perlu 1,586 gram 0,58 X dalam formula perubahan adalah 1,586 Metode Ekuivalensi NaCl memerlukan data E yang bisa dilihat di Farmakope Indonesia Ed IV atau buku lainnya. Dengan diketahui harga BM dan Liso sebenarnya harga E bisa dihitung. E adalah banyaknya NaCl yang secara koligatif setara dengan 1 gram obat (Penurunan TB oleh Obat 1 gram = Penurunan TB oleh NaCl E gram)Untuk Morfin HCl 1/1 LE/ 1 L 3,3 ----------- = 3,4 ------------Emorfin HCl = 0,15 375,84 58, 45 Untuk nikotinamida 1/1 LE/1 L 1,9 ----------- = 3,4 ------------E nikotinamida = 0,27 122,13 58, 45 Metode Ekuivalensi NaCl dimulai dari sini 1 g morfin HCl setara dengan 0,15 g NaCl, di formula 3 g maka setara 0,45 g NaCl 1 g nikotinamida setara dengan 0,27 g NaCl, di formula 10 g maka setara 2,7 g NaCl Maka tonisitas formula setara dengan 0,45+2,7 g NaCl dalam 500 ml larutan, kurang dari 0,9 % (0,9 g dalam 100 ml) atau 4,5 g per 500 ml, hipotonis Kekurangan NaCl = 4,5 g 3,15 g = 1,35 gram tiap 500 ml Contoh soal : Injeksi fenobarbital R/ Na fenobarbital1 g etil morfin HCl0,5 g aquaad 1 literDiketahui: etil morfin E = 0,16, Tf1%=0,09na fenobarbital E=0,24, Tf1%=0,14Cek isotonis/blm?Kalau belum aturlah Metode white vincent

Metode white-vincent memerlukan data E, dengan perhitungan dimulai seperti metode Ekuivalensi NaCl. Formula setara dengan 3, 15 gram NaCl, supaya isotonis maka volumenya (3,15/0,9) x 100 ml = 350 ml, maka jumlah NaCl 0,9 % yang dibutuhkan adalah 500 ml 350 ml = 150 ml Formula menjadi: . R/Morfin HCl3 Nikotinamida10 Aquadest ad 350 ml (dengan volume segini, di dapat larutan isotonis, tetapi kadar obatnya terlalu besar, maka perlu diencerkan. Supaya tetap isotonis maka pengenceran menggunakan larutan yang isotonis pula, yaitu NaCl 0,9%) NaCl 0,9 % ad 500 ml Pengerjaan: Morfin HCl 3 gram, Nikotinamida10 gram, dilarutkan dalam air sampai 350 ml (didapat larutan obat isotonis dengan kadar terlalu tinggi), kemudian larutan ini diencerkan dengan NaCl 0,9 % sampai volume 500 ml

0,3 g Morfin HCl supaya isotonis volumenya 5,07 ml, formula 3 g maka volumenya 50,7 0,3 g nikotinamida supaya isotonis volumenya 8,98 ml, formula 10 g maka volumenya 299,3 Maka volume larutan obat isotonis adalah 350 ml, kadar obat belum sesuai yang diinginkan maka perlu diencerkan dengan NaCl 0,9 % sampai 500 ml. Formula menjadi: R/Morfin HCl3Nikotinamida10Aquadest ad 350 mlNaCl 0,9 % ad 500 mlPengerjaan: Morfin HCl 3 gram, Nikotinamida10 gram, dilarutkan dalam air sampai 350 ml (didapat larutan obat isotonis dengan kadar terlalu tinggi), kemudian larutan ini diencerkan dengan NaCl 0,9 % sampai volume 500 mlCara menghitung isotonis:1. cara wSatuan g% atau g/100 mlContoh:Dibuat 100 ml, kadar 10 mg/ml.a = 0.101b = 0.76Jawab:Kadar metadon = 10mg/ml = 1000 mg/100ml = 1 g/100ml (1%).NaCl 0.9% = 0.52 (disebut isotonis)1/0.9 x 0.52 = 0.76 (isotonis)Zat itu hipo atau hiper?Liat a. Jikaa = 0.52 (isotonis)a < 0.52 (hipotonis)a > 052 (hipertonis)w = zat pengisotonis yang perlu ditambahkankalau tanda negatif ditulis, hipernya berapa?a bisa gabungan, bisa dilihat di tabel.2. cara hH = mh / fh x (0.28 fa/ma x a + fb/mb x b .) g/Lmh = beratfh = faktor disosiasi- netral: 1- asam lemah, basa lemah : 1.5- kuat : 1.8Contoh infus laktat :NaCl 0.3 (a) > 3 g/LKCl 0.1 (b) > 1 g/LCaCl2 0.1 (c) > 1 g/LAqua ad 100 > 1000Jawab:h = 1.8/58.5 x 3 + 1.8/.. x 1 + 1.8/ x 1Dalam penggunaan metode h lebih simpel, tidak perlu tabel5. SterilPERSYARATAN STERILSterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril. Secara tradisional keadan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai akibat penghancuran dan penghilangan semua mikroorganisme hidup.

Konsep ini menyatakan bahwa steril adalah istilah yang mempunyai konotasi relative, dan kemungkinan menciptakan kondisi mutlak bebas dari mikroorganisme hanya dapat diduga atas dapat proyeksi kinetis angka kematian mikroba.

Tujuan sterilisasi adalah menjamin sterilitas produk maupun karakteristik kualitasnya, termasuk stabilitas produk

Jadi pemilihan metode berdasarkan pertimbangan : 1. Kondisi dari materi/objek yang disterilkan(perlu perhatian khusus) 2. Tingkat sterilitas yang ingin dicapai(hasil)6. PirogenPirogen merupakan substansi yang mampu menyebabkan demam dan sering mencemari sediaan farmasi. Sampai saat ini, substansi pirogenik yang diketahui paling aktif dan paling sering mencemari sediaan farmasi adalah endotoksin; selain itu masih banyak substansi pirogenik lainnya seperti bakteri, fungi , DNARNA virus dan lain-lain (Suwandi, 1988). Endotoksin merupakan suatu produk mikroorganisme terutama dari bakteri gram negatif yang terdiri atas suatu senyawa kompleks lipopolysaccharida yang pyrogenic, suatu protein dan suatu lipid yang inert. Pada saat ini endotoksin diketahui merupakan pirogen yang paling, kuat, namun kehadiran pirogen lain dalam suatu sediaan perlu diperhitungkan; karena manusia tidak hanya respon terhadap endotoksin saja tetapi juga pirogen yang lain.Pada tahun 1923 Seibert membuktikan bahwa pirogen adalah substansi yang tidak tersaring, thermostabil, dan non volatile. Pada tahun 1937 Co Tui membuktikan bahwa kontaminasi pirogen ini juga terjadi pada alat-alat seperti wadah-wadah untuk melarutkan obat suntik, juga pada zat kimia yang digunakan sebagai zat berkhasiat. Pirogen dapat bersumber dari: Pelarut Zat aktif Peralatan Timbul pada proses penyimpananSifat sifat pirogen: Thermostabil, sehingga hanya dapat dihilangkan dengan pemanasan pada suhu 650C selama 1 menit, 250C selama 15 menit atau 180C selama 4 jam; Larut dalam air. Sehingga tidak bisa memakai penyaring bakteri; Tidak dipengaruhi oleh bakterisida yang biasa; Tidak menguap, destilasi biasa ada yang ikut bersama percikan air; Berat molekul (BM) antara 15.000 4.000.000; dan Ukuran umumnya 1 50m.Secara garis besar, pirogen dikelompokkan menjadi 2 golongan; yaitu pirogen endogen dan pirogen eksogen. Pirogen Endogenyaitu faktor-faktor yang berasal dari dalam tubuh kita sendiri sebagai reaksi kekebalan melawan kuman penyakit yang masuk ke tubuh. Misalnya interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6), alpha-interferon, dan tumor necrosis factor (TNF). Pirogen Eksogenyaitu faktor eksternal tubuh yang menyebabkan gangguan pada fungsi tubuh manusia. Misalnya bagian dari sel bakteri dan virus. Selain itu, bisa juga berupa zat racun (toksin) yang dihasilkan oleh bakteri atau virus tertentu.Jika suatu pirogen masuk ke tubuh, maka pirogen menjadi suatu benda asing yang dapat menimbulkan respon imun berupa demam. Demam yaitu suatu keadaan ketika temperatur tubuh di atas batas normal yang dapat disebabkan oleh kelainan dalam otak sendiri atau oleh bahan bahan toksik yang mempengaruhi pusat pengaturan temperatur. Penyebab penyebab tersebut meliputi penyakit bakteri, tumor otak, dan keadaan lingkungan yang dapat berakhir dengan serangan panas.Uji pirogenitas adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui apakan suatu sediaan uji bebas pirogen atau tidak (Anonim, 1995) dengan maksud untuk membatasi resiko reaksi demam yang dapat diterima oleh pasien apabila diinjeksi dengan suatu sediaan farmasi (Suwandi, 1988). Uji pirogenitas biasanya menggunakan kelinci. Pengujian ini ditetapkan di USP pertama kali pada tahun 1942 dan merupakan pengujian resmi untuk menentukan non-pirogenitas sediaan farmasi. Sejak diketahui bahwa endotoksin ternyata mampu menggumpalkan sel darah Limulus, kemudian dikembangkan suatu pengujian untuk mendeteksi adanya endotoksin dengan menggunakan reagensia yang dibuat dari sel darah Limulus. Pengujian ini kemudian dikenal sebagai metode Limulus Amebocyt Lysate (LAL Test). Meskipun demikian, pengujian pirogenitas menggunakan kelinci masih menjadi pilihan utama karena: Metode ini telah lama dikenal dan digunakan untuk menguji berbagai sediaan dan terbukti memberikan hasil memuaskan; Kelinci memiliki sensitivitas terhadap substansi pirogenik yang mirip dengan manusia. Kenaikan suhu kelinci akibat substansi-pirogenik, sampai batas tertentu masih dapat diterima oleh manusia; sehingga kenaikan suhu kelinci tersebut dapat distandardisasi terhadap substansi pirogenik yang dapat diterima manusia. Bangham menyebutkan, uji kelinci menggambarkan seluruh respon farmakologis terhadap pirogen dan relevan dengan respon pada manusia; Metode kelinci mampu mendeteksi semua pirogen termasuk endotoksin sedangkan LAL tidak.Sedangkan kelemahan metode uji pirogenitas menggunakan kelinci dibandingkan dengan LAL Test antara lain: Memerlukan pemeliharaan dan perawatan hewan dan laboratorium yang lebih intensif. Hewan harus dipelihara dalam ruangan dengan temperatur tidak jauh berbeda dengan tempat percobaan. Pemeliharaan hewan harus dilakukan dengan sebaik mungkin untuk menghindari infeksi penyakit yang dapat mengganggu percobaan atau mengacaukan interpretasi hasil. Berat badan kelinci harus dijaga jangan sampai mengalami penurunan yang berarti dalam 1 minggu menjelang digunakan; Sensitivitas dipengaruhi oleh musim, kegaduhan, kegelisahan, makanan dan lain sebagainya. Kegelisahan akan dapat menyebabkan kenaikan suhu relatip tinggi, sehingga mengacaukan interpretasi hasil; Variabilitas biologis. Respon setiap kelinci terhadap substansi yang sama belum tentu sama, sehingga terdapat variasi kenaikan suhu pada tiap kelinci.Prinsip uji pirogenitas menggunakan kelinci adalah dengan injeksi intravena ke tubuh kelinci di bawah kondisi tertentu dan selanjutnya dipantau dan dicatat temperatur 3 kelinci dalam jangka waktu tertentu.Farmakope Indonesia menyebutkan, suatu sediaan dinyatakan memenuhi syarat, jika kenaikan suhu ketiga kelinci tidak melebihi batas tertentu; dan tidak memenuhi syarat jika total kenaikan suhu ketiga kelinci melebihi batas tertentu (lihat Tabel 1).Tabel 1: Syarat Pirogenitas SediaanJumlah Kelinci(1)Sediaan uji memenuhi syarat jika jumlah respon tidak melebihi ( C)(2)Sediaan uji tidak memenuhi syarat jika jumlah respon melebihi (C)(3)

369121,202,804,506,602,704,306,006.60

Jika respon yang terjadi terletak di antara kolom (2) dan kolom (3), pengujian dapat diulangi menggunakan 3 kelompok kelinci yang lain. Apabila pengujian ke empat jumlah respon melebihi 6,60 C, sediaan tersebut dinyatakan tidak memenuhi syarat.Yang dimaksud dengan respon adalah selisih antara suhu maksimum (suhu tertinggi yang dicatat selama 3 jam setelah penyuntikan sediaan uji) dikurangi suhu awal kelinci (suhu rata rata 2 pembacaan suhu dengan interval 30 menit yang dilakukan 40 menit dan 10 menit sebelum penyuntikan sediaan uji). Jika hasilnya negatif, maka dianggap sama dengan 0 (nol).Tidak semua kelinci dapat digunakan sebagai hewan uji. Kelinci dengan kriteria berikut ini tidak dapat digunakan: 3 (tiga) hari sebelumnya telah dipakai untuk uji pirogenitas dan hasilnya negatif (menunjukkan penurunan suhu badan) 3 (tiga) minggu sebelumnya telah digunakan untuk uji pirogenitas dan hasilnya sediaan uji tidak memenuhi syarat Telah digunakan kapan saja untuk uji pirogenitas dengan respon rata rata kelompok kelinci melebihi 1,2oC.