HADIS HAMMÎ NABI SAW -...
Transcript of HADIS HAMMÎ NABI SAW -...
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul syukur [ i ]
ABDUL SYUKUR, M.Ag
HADIS HAMMÎ NABI SAW
Dan Implikasinya Terhadap Pemahaman Hadis
Dicetak oleh CV Pustaka Sedayu, Tangerang Selatan
Isi diluar tanggung jawab Percetakan
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ ii ]
Judul :
Hadis Hammî Nabi SAW dan Implikasinya Terhadap Pemahaman Hadis
Penulis :
Abdul Syukur, M.Ag
Cover dan Layout :
Toto Tohari
Cetakan Pertama, Januari 2019
Diterbitkan oleh :
CV Pustaka Sedayu
Jl. Aria Putra Gg. H. Betong Rt.007/018 Kel. Kedauang
Kec. Pamulang, Kota Tangerang Selatan.
ISBN:
988-602-51281-8-2
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta:
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang
memperbanyak atau memindahkan sebagian atau
seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apapun, secara
elektronis maupun mekanis, termasuk fotokopi,
merekam, atau dengan teknik perekam lainnya,
tanpa izin tertulis dari Penerbit. Undang-undang No
19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Bab XII
Ketentuan Pidana, Pasal 72, Ayat (1), (2), dan (6)
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ iii ]
KATA PENGANTAR
Alhamdulillâh wa al-syukur lillâh, segala puji hanya milik
Allâh SWT dan hanya tertuju kepada-Nya atas rahmat dan
karunia yang telah dianugerahkan sehingga penulisan tesis
dengan judul “Hadis Hammî Nabi Saw Dan Implikasinya
Terhadap Pemahaman Hadis” dapat terselesaikan dengan baik
dan lancar. Ṣalâwah serta salâm semoga senantiasa tercurah
kepada yang mulia Nabi besar Muhammad saw yang telah
menuntun manusia dari jalan kebodohan kepada jalan petunjuk
dan kemuliaan.
Dalam penyelesaian tesis ini, penulis berhutang budi
kepada banyak pihak yang telah membantu, baik langsung
maupun tidak langsung. Kepada mereka, penulis sampaikan
ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya,
semoga Allâh SWT memberikan balasan yang sebaik-baiknya
dan menghitungnya sebagai amal saleh di akhirat kelak.
Ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-
besarnya disampaikan kepada yang terhormat Bapak H. Arif
Rachman Arifin yang telah membantu dan membiayai
sepenuhnya untuk mewujudkan cita-cita penulis, sehingga dapat
melanjutkan studi S2 (magister) dengan baik dan lancar. Ucapan
terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada
yang terhormat Tuan Guru Dr. KH. Fuad Thohari, M.A, selaku
penasihat selama penulis menjadi santri dan kuliah, dan kepada
yang terhormat ustadz Dr. Ahmad Fudhaili, M.A, selaku
pemimbing tesis pertama dan ustadz Dr. Bustamin, M.Si, selaku
pembimbing yang kedua, di tangan beliau berdua, bimbingan dan
arahan serta luang waktu terus mengalir selama dalam proses
penulisan tesis ini. Juga kepada Prof. Dr. Dede Rosyada, MA
selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih
yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr.
Masri Mansoer, M.A, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, dan
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ iv ]
para Wakil Dekan Fakultas Ushuluddin, yaitu Prof. Dr. M. Ikhsan
Tanggok, MA, Dr. Bustamin, M.Si, Dr. M. Suryadinata, MA.
Terima kasih yang setinggi-tinggi juga penulis sampaikan kepada
Dr. Atiyatul Ulya, M.A, selaku Ketua Program Magister Ilmu al-
Qur‟an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin
Tidak lupa penulis sampaikan ungkapan terima kasih yang
sertinggi-tingginya kepada seluruh dosen Sekolah Pascasarjana
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
menyajikan berbagai mata kuliah dan pengetahuan selama
penulis menempuh studi dan juga telah banyak memberikan saran
serta kritik konstruktif. Tidak lupa pula penulis sampaikan terima
kasih kepada para penguji tesis yang telah memberikan berbagai
masukan atau pun kritikan-kritikan selama penulis menempuh
beberapa rangkaian ujian dalam penyelesaian tesis ini.
Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu baik langsung maupun tidak
langsung dalam penyelesaian penulisan tesis ini, seperti petugas
perpustakaan utama dan perpustakaan Fakultas. Terima kasih
penulis sampaikan kepada teman-teman magister Ushuluddin
angkatan 2016, para kolega dan saudara-saudara penulis,
khususnya Muhammad Akbar.
Ucapan terima kasih yang teristimewa dan penghargaan
yang terbesar serta bakti yang setulus-tulusnya, penulis
sampaikan kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Mohamad
Qodim (alm.) dan Ibunda tercinta Nyai Siti Masyrifah, isteri
penulis Nur Camaliyah dan tiga putra-putri penulis, Ahmad Labib
„Aidi, Kasya Rieva Tishoumi, dan Utia Minan‟umih al-„Ajeeba
atas pengertian, kesabaran dan dukungan serta do‟a mereka,
selalu menyertai selama penulisan tesis ini sehingga dapat
terselesaikan dengan baik. Kepada mereka inilah, tesis ini
dipersembahkan.
Jakarta, 13 Januari 2019
Penulis, Abdul Syuku
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ v ]
Pedoman Transliterasi
Aksara Arab-Latin
1. Padanan Aksara
Huruf Huruf Keterangan
Arab Latin
tidak dilambangkan ا
b be ة
t te د
ts te dan es س
j je ط
h h dengan garis bawah ػ
kh ka dan ha ؿ
d de ك
dz de dan zet م
r er ه
z zet ى
s es
sy es dan ye
ṣ es dengan titik di bawah
ḍ de dengan titik di bawah
ṭ te dengan titik dibawah
ẓ zet dengan titik bawah ظ
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ vi ]
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
gh ge dan ha ؽ
f ef ف
q qi م
k ka ى
l el
m em
n en
w we
h ha ـ
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia,
terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau
diftong. Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah
sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah ـــ
I Kasrah ـــ
U _ Dammah ــ
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ vii ]
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam
bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ــا
î i dengan topi di atas ــي
û u dengan topi di atas ــو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab
dilambangkan dengan huruf, yaitu dialihaksarakan menjadi huruf
/l/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf kamariah. Contoh:
al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ai a dan i ١ ـــ
au a dan u ـــ
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ viii ]
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab
dilambangkan dengan sebuah tanda (ـــ) dalam alih aksara ini
dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf
yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku
jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata
,tidak ditulis ad-darûrah melainkan al-darûrah (اوهح)
demikian seterusnya.
6. Ta Marbû tah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah
terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal
yang sama juga berlaku jika tamarbûtah tersebut diikuti oleh kata
sifat (na‘t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah
tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
ṭarîqah و٣وخ 1
al-jâmî‟ah al-islâmiyyah اغبؼخ االال٤خ 2
wahdah al-wujûd ؽلح اعك 3
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ ix ]
Abstrak
Pendapat yang berkembang luas pada umumnya
menyatakan bahwa dari segi sifat atau penyandaran kepada
Rasûlullâh saw, hadis terbagi menjadi tiga, yaitu : qaulî, fi’lî,
taqrîrî. Ketiga bentuk tersebut selama ini tidak mengalami
perdebatan serius di kalangan sarjana muslim. Lain halnya jika
mengamati dan memahami secara seksama semisal contoh bahwa
nabi Muhammad saw menyatakan sesuatu hal atau keinginan,
akan tetapi tidak terwujud ; tidak dibuktikan dalam sebuah
tindakan dari hal yang pernah dinyatakan atau diinginkan.
Bahkan, pernyataan atau tindakan yang akan diambil oleh
Rasûlullâh saw terkesan kontra-produktif atau bertentangan
dengan sifat kenabiannya yang ma’ṣûm dari kesalahan atau
keburukan, misalnya riwayat tentang Rasûlullâh saw hendak
menjatuhkan diri dari ketinggian (bunuh diri) ; beliau saw hendak
membakar rumah-rumah warga dan lain-lain. Bentuk riwayat
yang disebutkan terakhir ini oleh sebagian ahli disebut dengan
hadis hammî. Dari contoh-contoh tersebut, muncul pertanyaan
apakah mungkin Rasûlullâh saw melakukan hal-hal demikian.
Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk membuktikan hadis-
hadis hammî tersebut dalam kitab-kitab hadis.
Kesimpulan dalam penelitian ini menetapkan validitas
atau kesahihan hadis-hadis hammî. Pada prinsipnya, dalam
penelitian ini ingin membuktikan kesimpulan al-Syaukânî
(w.1250 H) atau Muhammad Sulaimân al-Asyqar yang
menyatakan bahwa tidak ada unsur ittibâ’ atau ta’assî (keharusan
mengikuti nabi Muhammad) dalam hadis-hadis hammî sebab
beliau saw sendiri urung atau tidak jadi melakukan. Dengan
ungkapan lain, menurut ulama ini, hadis atau riwayat hammî
tidak bermuatan apa pun, ditambah lagi bukti bahwa generasi
selanjutnya (sahabat dan tabi‟in) tidak mengikuti sunnah tersebut.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa hadis-hadis
hammî sangat terkait dengan kajian teologi, yakni tentang
kemaksuman nabi dan berimplikasi terhadap pemahaman-
pemahaman dalam menetapkan maksud atau makna suatu hadis.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ x ]
Dalam penelitian ini ditemukan adanya „dualisme‟ dalam
menyikapi hadis-hadis hammî, yakni antara sikap menolak dan
menerima, serta sikap menolak sekaligus menerima, dalam
pengertian menempuh upaya lain untuk memahami hadis-hadis
hammî.
Pada akhirnya, penelitian ini sejalan dengan cara berpikir
Ibn Hajar al-Haitamî (909-974 H) dan mendukung pendapat di
antaranya al-Syâfi‟î (w.204 H), al-Nawawî (w.676 H), Ibn
Taimiyah (w.728 H), al-Harawi (767-829 H), dan Târiq bin
Muhammad al-Tawarî yang lebih cenderung untuk tetap
menerima riwayat-riwayat tersebut dengan metode semisal ta’wîl
atau pun al-jam’u. Pembuktian dan penemuan dalam penelitian
ini menjawab pendapat al-Syaukânî (w.1250 H) atau pun
Muhammad Sulaimân al-„Asyqar tersebut di atas, di samping
keduanya yang menyatakan tidak mungkin dilakukan oleh
seorang nabi atau rasul.
Sumber utama dalam tesis ini adalah kitab-kitab hadis
dalam cakupan Kutub al-Sittah dan kitab-kitab syarah terkait.
Adapun metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kualitatif dalam bentuk library research (kajian pustaka)
dengan pendekatan sosiologis-teologis, pendekatan historis dan
pendekatan filosofis-yuridis. Penelitian ini juga menggunakan
metode analisa- interpretatif, yaitu metode yang mampu
memberikan keluasan bagi peneliti untuk mengeksplorasi dan
memahami teks-teks yang ada. Dan metode ini pula yang
dianggap cocok terkait keseluruhan kajian yang bersifat analitik.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ xi ]
خض
ػ٠ أ ؼ٠ اؾل٣ش ا٥هاء اؼب ازطهح ٣
ثبػزجبه ب ا٤ق ا٠ اج٢ ٠ هللا ػ٤ ٣و ا٠ صالصخ
، ٢: ه٠، كؼ٠، روو٣و. ن األب اضالصخ ر
بظوح عبكح ث٤ ػبء ا٤. فالكب اما الؽع ل نا
٠ هللا ػ٤ ث٢ء ب أ اضب ان١ هب اج٢ ؾل
اهاك ٤ئب، ٣زؾون، ٣ضجذ ك٢ ػ ٢ء ٣و ٣و٣ل
ك٢ ااهغ. غ أ ازو٣ؾبد أ األكؼب از٢ ٤غو٣ب اج٢
ر ٠ هللا ػ٤ رجل ماد زبئظ ػ٤خ أ قبلخ ثج
٢ أ اؼ اقطبء اؼ٤ة ا٤ب، اضب ها٣خ اج
٣ؾوم اج٢ ٠ هللا ;٣و٠ ل ان اغجب )االزؾبه(
ػ٤ بى اب ؿ٤و مي. نا ا آفو مو
٠ اج٢ ٠ هللا ػ٤ ػل ثؼ اؼبء ٠٣ اؾل٣ش
ث٢ء ٣لؼ. ن األضخ ٣طوػ ائا ٣ ػ٠
األ٤بء. ني ، رلف ن الهاخ ه هللا أ ٣لؼ ض ن
٠ اج٠ ٠ هللا ػ٤ ك٢ زت ا٠ اصجبد ها٣بد
اؾل٣ش.
اج٢ االززبط ك٢ ن الهاخ ٣ضجذ ؾخ ها٣بد
٠ هللا ػ٤ ا٢ء ٣لؼ. ؽ٤ش اجلأ ، و٣ل ك٢
ـ( أ 0521ن الهاخ أ ضجذ اززبعبد اب٢ )د.
ؾل ٤ب اؼوو از٢ ر ػ٠ أ ال ٣عل ػو
٠ )االزيا ثبرجبع اج٢ ؾل ٠ هللا ػبو االرجبع أ ازؤ
اج٢ ٠ هللا ػ٤ ث٢ء ػ٤ ( ك٢ ها٣بد
٣لؼ أل اج٢ ل ٣لهى أ ٣لؼ مي. ثؼجبهح أفو،
اج٢ ٠ هللا ػ٤ ػل ن٣ اجبؽض٤، كب ها٣بد
٤ ل٣ ٢ء ؾز، ثبإلبكخ ا٠ أكخ ػ٠ أ اغ٤ اوبك
)اؾبثخ ازبثؼ٤( ٣زجؼا ن اخ.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ xii ]
اج٢ ٠ هللا فالخ ن الهاخ ا٠ أ ها٣بد
ػ٤ ث٢ء ٣لؼ رورج ا٠ ؽل ل٣ل ثلهاخ االد
(teology) ػ ػخ اج٢ آصبه ػ٠ ازلببد ك٢ ،
اصجبد أؿوا ؼب٠ ا كو اؾل٣ش. ك٢ ن الهاخ ،
اج٢ ٠ هللا ػ٤ علد "صبئ٤خ" ك٢ االزغبثخ ها٣خ
ث٢ء ٣زؾوو ، ٢ ث٤ هق اوك اوج ،
فو ل هق اوك اوج ؼب، ثبؼ٠ ثن عك أ
اج٢ ٠ هللا ػ٤ ث٢ء ٣لؼ ا ها٣بد
٣زؾون.
ك٢ اب٣خ، نا اجؾش ك٠ االرغب ازل٤و ااؽل ثبث
ـ( ٣زلن ثب هب ابكؼ٢ 979 - 919ؽغو ا٤ز٢ )
ـ( ، 758ـ( ، اث ر٤٤خ )د. 676ـ( ، ا١ )د. 512)د.
بهم ث ؾل اطاه١ ان٣ با ـ( 859-767او١ )
أضو ٤ال ا٠ هج ن اوا٣خ ثبزقلا اظ ض ازؤ٣ أ
اغغ. رغ٤ت األكخ ازبئظ ك٢ ن الهاخ ػ هأ١ اب٢
ـ( أ ؾل ٤ب اؼوو انه أػال، 0521)د.
و٤ب ث ثبإلبكخ ا٠ االص٤ ان٣ مو أ ب ازؾ٤ ا
هج ج٢ أ ه.
ابكه اوئ٤٤خ ك٢ ن األوؽخ ٢ ك٢ طبم زت
ازخ ازت اوػ اورجطخ. اغ٤خ ازقلخ ك٢ ن
الهاخ ٢ و٣وخ ػ٤خ ك٢ ثؾش زجخ غ ظ
هبئ٤خ. -اعزبػ٢ الر٢ ، ظ ربه٣ق٢ وبهثخ كل٤خ
ب و٣وخ ازؾ٤ ازل٤و٣خ ، ٢ رزقل ن الهاخ أ٣ و٣وخ هبكهح ػ٠ رك٤و هله ج٤و اجبؽض٤ الزبف ك
ب ورجطخ ا اؾب٤خ. رؼزجو ن اطو٣وخ بجخ أ٣
ثبلهاخ ازؾ٤٤خ ابخ.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ xiii ]
Abstract
The general consensus state that the meaning of the
Hadith as it is added to the Prophet is divided into three: These
three forms were not a serious debate among Muslim scholars.
Another thing if we‟ll observe and understand such an example,
which the Prophet Muhammad (peace and blessings of Allâh be
upon him) said about something or wanted something, but it did
not realized ; and he did not proved in doing anything that he was
said and wanted. Although the statements or actions that the
Prophet (peace and blessings of Allâh be upon him) impress to be
counter-productive or contrary to his infallible prophecy
(ma'ṣûm) of mistakes and defects and forgetfulness, for example
riwaya from the Prophet Muhammad wanted to fallen him self
from the height or from the mountain shoals (suicide):
Muhammad wanted to burned people's houses and so on. This
form of the last mentioned by some scholars called the hadith
hammî, that is Prophet Muhammad wanted somethings but did
not to do. One of these examples raises the question of whether
the Messenger of Allah can do such things. Therefore, this study
aims to prove the hadiths of hammî in the books of traditions.
The conclusion in this study proves the validity of the
hadith of the Prophet (peace and blessings of Allaah be upon
him), which he did not do. In principle, we want to prove the
conclusions of al-Syaukânî (w.1250 H) or Muhammad Sulaiman
al-Asyqar, which states that there is no element of follow-up or
constituency (commitment to follow the Prophet Muhammad) in
the narrations of the Prophet (peace and blessings of Allâh be
upon him) And he did not do anything because the Prophet
himself did not realize or did not do. In other words, when these
two scholars, the narrations of the Prophet (peace and blessings
of Allâh be upon him) have nothing in common, plus, there is the
evidence that the next generation (ṣahâbah and tâbiîn) did not
follow this traditions (sunnah).
This study conclude is that the narrations of the Prophet
(peace and blessings of Allâh be upon him) with something that
he did not do (hadis hammî) are closely related to the study of
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ xiv ]
theology, which is about the infallibility of the Prophet and has
implications for the understandings in proving the purposes of the
hadith. In this study, there is a "dualism" in the response to the
hadith, the Prophet (peace and blessings of Allâh be upon him)
with something that has not been achieved. It is between the
position of refusal and acceptance, and the position of rejection
and acceptance together. In the other words, efforts were made to
understand the narrations of the Prophet (peace and blessings of
Allâh be upon him).
In the end, this research in line with the thinking of Ibn
Hajar al-Haitami (909-974 H) and support to the opionion of al-
Syâfi‟î (w.205), al-Nawawî (676), Ibn Taimiyah (w.728), al-
Harawî (767) -829 H) and Ṭariq bin Muhammad al-Ṭawârî, who
were more inclined to accept this riwaya of hammî by using the
method, such as interpretation methode (ta’wîl) or compromise
method (al’jam’). The evidence and findings in this study answer
the opinion of al-Syaukânî (w.1250 H) or Muhammad Sulaiman
al-Asyqar mentioned above, in addition to the two mentioned that
it was impossible to do it by a prophet or messenger.
The main sources in this research are in the scope of six books
(Kutub al-Sittah) and the books of annotations (kutub syurûh).
The methodology used in this study is a qualitative method in the
form of library research with a sociological-theological approach,
a historical approach and a philosophical-judicial approach. This
study also uses the method of interpretive analysis, a method that
is able to provide a great deal of researchers to explore and
understand the current texts. This method is also suitable for
comprehensive analytical study.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ xv ]
Daftar Isi
Halaman Judul__i
Kata Pengantar__iii
Pedoman Transliterasi__v
Abstrak__ix
Daftar Isi__xv
Bab Satu PENDAHULUAN__1
A. Latar Belakang Masalah__1
B. Permasalahan__10
1. Identifikasi Masalah__10
2. Pembatasan Masalah__11
3. Perumusan Masalah__12
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian__12
D. Tinjauan Pustaka dan Penelitian Terdahulu__13
E. Metode Penelitian__17
F. Sistematika Penulisan__20
Bab Dua HADIS HAMMÎ : ANTARA PAHAM ‘IṢMAH
DAN KEHUJJAHANNYA__23
A. Penggunaan Terminologi Hadis Hammî__23
1. Kedudukan (manzilah) Hamm Dalam Diri
Manusia__29
2. Riwayat-riwayat Hadis Hammî Dalam Kutub
al-Sittah__31
B. Paham ‘Iṣmah Para Nabi Atau Rasul : Kajian
Teologis Dalam Potret Kesejarahan Umat
Islam__44
C. Pandangan Ulama Tentang Kehujjahan Hadis
Hammî__65
Bab Tiga TAKHRÎJ HADIS-HADIS HAMMÎ__71
A. Matan dan Sanad Hadis Tentang Hamm Nabi
saw Menjatuhkan Diri Dari Atas Ketinggian
Bukit (upaya intihâr, suicide)__77
B. Matan dan Sanad Hadis Tentang Hamm Nabi
saw Membakar Rumah-rumah Penduduk Yang
Tidak Mendatangi Salat Berjama‟ah__89
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ xvi ]
C. Matan dan Sanad Hadis Tentang Hamm Nabi
saw Melakukan Puasa Pada Tanggal 9-nya
(Tâsû’â) Atau pun Pada Tanggal 11-nya__118
D. Matan dan Sanad Hadis Tentang Hamm Nabi
saw Membuat Dua Pintu Pada Kedua Sisi
Ka‟bah__131
Bab Empat ANALISA IMPLIKASI HADIS-HADIS HAMMÎ
TERHADAP PEMAHAMAN-PEMAHAMAN
HADIS__152
A. Hadis Hammî Pertama__154
1. Masa Fatrah (Kekosongan Wahyu)__154
2. Pemahaman Seputar Hadis Pertama__155
B. Hadis Hammî Kedua dan Pemahaman-
pemahaman di Dalamnya__165
C. Hadis Hammî Ketiga__175
1. Pemaknaan ‘Âsyûrâ’, Tâsû’â’ Dan
Kesejarahannya__175
2. Pemahaman-pemahaman Seputar ‘Âsyûrâ’
Dan Tâsû’â’__180
D. Hadis Hammî Keempat__187
1. Sejarah Singkat Renovasi Ka‟bah Masa Nabi
Ibrâhîm, Quraisy, dan Masa al-Zubair__187
2. Pemahaman-pemahaman Seputar Pembuatan
Dua Pintu Ka‟bah__192
Bab Lima PENUTUP__199
A. Kesimpulan__199
B. Saran__200
Daftar Pustaka__201
Boidata Penulis__211
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 1 ]
Bab Satu
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam adalah salah satu agama Semitik (dalam pengertian agama
samawi yang sama dalam hal memiliki kitab suci) yang diturunkan paling
akhir oleh Tuhan untuk menyampaikan firman-Nya (wahyu) kepada umat
manusia.1 Namun, untuk menangkap maksud Tuhan, tidak semua manusia
dianggap mampu dan pantas menerimanya, kecuali seorang nabi atau rasul
yang bisa dan mampu menjadi perantara sekaligus penjelasnya di antara
kehendak Tuhan dan manusia.2
Jadi, maksud dan isi risâlah tersebut dijelaskan oleh nabi Muhammad
saw3 untuk umatnya telah benar sesuai dan selaras dengan persetujuan atau
kehendak Allâh SWT. Dengan demikian, segala bentuk perintah sekaligus
larangan nabi Muhammad saw merupakan aturan-aturan yang dibangun di
1Toshihiko Izutsu, God And Man in The Koran : Semantics of The Koranic
Weltanschauung,(Malaysia : Islamic Book Trust, 2002), hal. 164 2Toshihiko Izutsu, God And Man in The Koran : Semantics of The Koranic
Weltanschauung, hal. 145 3Musthafa Azami memberikan sedikit gambaran terkait mandat yang diterima oleh
Nabi saw terhadap hak menjelaskan risalah Tuhan, wahyu ketuhanan (divine reception)
tersebut : “....naturally, Allah did not descend to earth to explain the meaning of this verse or
that ; by stating that „it is for Us to explain it‟ instead of „it is for you (Muhammad) to
explain it‟, Allah was conferring full legitimacy on the Prophet‟s elucidation of all verse –
not as guesswork on his part, but rather as divine inspiration from Allah Himself..”. (Tentu,
Allâh SWT tidak perlu turun ke bumi menjelaskan ayat ini atau itu. Dan hal itu sesuai
dengan penjelasan : ‘adalah tugas Kami untuk menjelaskannya’, bukannya, ‘..ini tugasmu
wahai Muhammad untuk memberi penjelasan, melainkan Allah memberi letigimasi
sepenuhnya akan kefasihan dari penjelasan (bahasa) nabi Muhammad pada seluruh ayat--
ayatnya, pada bagian ini bukan melalui perkiraan, melainkan melalui inspirasi, ilham
wahyu dari Tuhan sendiri....”). Muhammad Mustafa Azami, The History of The Qur'anic
Text From Revelation to Compilation, (Leicester, England : UK Islamic academy, tth.), hal.
52
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 2 ]
atas dasar dan pijakan yang sama dengan perintah Allâh SWT.4 Hal tersebut
dipertegas oleh beberapa ayat al-Qur‟ân, salah satunya adalah firman Allâh
SWT5:
ؽل٤ظ بى ػ٤ بأه ٠ ك ر كول أبع هللا ٣طغ او .ب“Barangsiapa taat kepada Rasûlullâh berarti (sungguh) ia telah taat
pula kepada Allâh SWT. Dan barang siapa yang berpaling (dari
ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.” (QS. Al-Nisâ‟/4 : 80).
هاح ك٢ از ل زثب ػ ٢ ان١ ٣غل اج٢ األ او ٣زجؼ ان٣
ػ ب ٣ ؼوف ثب و ٣ؤ غ٤ اإل ػ٤ ٣ؾو اط٤جبد ٣ؾ و ا
ه ػي اث آ كبن٣ بذ ػ٤ از٢ األؿال و ا غ ػ ٣ قجبئش ا
ؼ أئي يارجؼااهان١ أ و لؾ . ا
“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti rasul, seorang nabi yang ummi,
(yang namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang
ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma‟ruf
dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban
dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang
yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al
Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al
A‟rof/7:157).
Oleh sebab itu, ditegaskan oleh Yahyâ bin Abî Katsîr, sebagaimana
dikutip al-Syaukânî (w.1250 H), bahwa maksud al-Qur‟ân hanya dapat
dipahami dengan bantuan dan melalui al-Sunnah (seperti tergambar dalam
salah satunya tentang asbâb al-nuzûl). Dengan demikian, sesuai salah satu
pendapat, muncul rumusan kaidah yang menyatakan: “al-sunnah qaḍiyyah
4Muhammad Mustafa Azami, On Schacht’s Origin of Muhammadan
Jurisprudence, (Lahore, Pakistan : Suhail Academy, Chowk Urdu Bazar, 2004), hal. 8 5Bandingkan dengan ayat-ayat lain dalam al-Qur‟ân, misal : QS. Al Hasyr/ : 7, QS.
Al Anfâl/ : 20, QS. Al-Taghâbun/ : 12 dan lain sebagainya.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 3 ]
‘alâ al-Qur’ân”, yakni al-Sunnah yang menentukan makna al-Qur‟ân,6
bahkan boleh dikata, menurut Makhûl dan al-Auzâ‟î, al-Qur‟ân lebih
membutuhkan kepada al-Sunnah ketimbang sebaliknya, meskipun ungkapan
tersebut tidak disepakati oleh Ibn Hanbal.7 Sehingga apa yang telah
disampaikan dan dicontohkan Nabi saw dijadikan sebagai hujjah syar’iyyah,
rujukan kedua (sumber hukum kedua, ا اضب٠) setelah al-Qur‟ân, sebab
demikian halnya dengan al-Qur‟ân, menurut al-Khaṭîb al-Baghdâdî (w. 463),
al-Sunnah pun diturunkan oleh pembawa wahyu, Jibrîl, as dari Tuhan; ia
(Jibrîl) mengajarkannya seperti halnya ia mengajarkan al-Qur‟ân.8
Dalam kondisi tertentu, sunnah dipandang sebagai sumber hukum
otoritatif, dalam arti harus diikuti, ditaati dan disandarkan pada waktu dan
tempat manapun, baik sunnah yang berkaitan dengan masalah akidah,
ibadah, mu‟âmalah maupun kehidupan pribadi Nabi saw9; menunjukkan pula
bahwa sumber syar‟iah, baik al-Qur‟ân maupun hadis adalah sama, yaitu
wahyu.10
Inilah yang menjadi acuan para ulama ahli hadis dalam
merumuskan makna hadis dengan cakupan yang lebih luas, yakni:
٠ هللا ػ اج٠ ب اصو ػ روو٣و ا ا كؼ ا ه ٤
ك٠ ؿبه ؽواء ا زؾض اجؼضخ مي هج ب اء أ ٤وح فو٤خ ا و٤خ ا لخ ف
ثؼلب.
6Muhammad bin „Alî bin Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-
Haqq min ‘Ilm al-Uṣûl wa bi Hâmisyih Syarh al-Syeikh Ahmad bin Qâsim al-‘Ibâdî al-
Syâfi’î ‘alâ Syarh Jalâl al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahallî al-Syâfi’î ‘Alâ al-Waraqât
fi al-Uṣûl li al-Imâm al-Haramain ‘Abd al-Malik bin Abdillâh al-Juwainî al-Syâfi’î, (Beirut :
Dâr al-Fikr, tth), hal. 33 7 Mu‟taz al-Khaṭîb, Radd al-Hadîts Min Jihah al-Matn Dirâsah fî Manâhij al-
Muhadditsîn wa al-Uṣûliyyîn, (Beirut : al-Syubkah al-‟Arabiyyah li al-Abhâts wa al-Nasyr,
2011), cetakan ke-1, hal. 386 8Ahmad bin „Alî bin Tsâbit al-Baghdâdî Abû Bakr al-Khaṭîb (w. 463), al-Kifâyah fi
‘Ilm al-Riwâyah, (Heidar Abad : Dâirah al-Ma‟ârif al-„Utsmâniyyah, 1357), hal. 12. 9Muhammad al-Khuḍarî Bik, Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmî, (Mesir : Dâr al-Fikr,
1387 H/1967 M), cetakan ke-8, hal. 4-5 10
QS. Al-Najm/53 : 3-4. Bandingkan dengan QS. Al-A‟raf/7 : 157-158. Dalam
sebuah riwayat disebutkan bahwa seluruh perilaku dan perbuatan Nabi saw telah
mencerminkan nilai-nilai al-Qur‟an. Lihat, Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî
al-Naisâbûrî (206-261 H), Ṣahîh Muslim, tahqîq dan taṣhîh : Muhammad Fu‟âd „Abd al-
Bâqî, (Kairo : Dâr Ihyâ‟ al-Kutub al-‟Arabiyyah, 1918 H), juz ke-1, hal. 512-513
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 4 ]
“Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrîr (ketetapannya), perangai, budi pekerti,
perjalanan hidup (biografi), baik yang terjadi sebelum diangkatnya
beliau menjadi nabi (seperti ber-tahannuts, beribadah di gua Hirâ‟)
maupun setelah diangkat menjadi seorang rasul.11
Dengan pengertian ini, dari segi bentuk penyandarannya (al-
muḍâfah) kepada Nabi saw, mayoritas ulama hadis seperti halnya al-Sakhâwî
(w. 902 H) membagi hadis menjadi tiga: qauliyyah, fi’liyyah, taqrîriyyah.12
Hadis qauliyyah adalah hadis-hadis yang diucapkan oleh Rasûlullâh saw
dalam berbagai konteks dan objek serta tujuan yang berbeda-beda13
yang
menimbulkan hukum syara‟14
, seperti hadis : “Tidak boleh melakukan
sesuatu yang membahayakan diri sendiri atau pun orang lain”, dan juga
ucapan beliau saw : “Bahwasanya amal perbuatan itu tergantung kepada
niatnya...”.15
Sedangkan hadis fi’liyyah menurut sebagian ahli bahasa seperti al-
Jurjânî memahaminya dengan pergerakan secara jasmani, termasuk di
dalamnya gerak jiwa (nafsiyyah) atau suatu keadaan yang berdampak atau
tidak bagi yang lain, seperti halnya memukul, berjalan, berbicara dan lain
sebagainya, bahkan „memaki‟ termasuk contoh gerakan anggota badan. „Ajâj
al-Khaṭîb memahaminya dengan semua perbuatan praktis Nabi saw yang
disampaikan (diilustrasikan) oleh para sahabat dalam bentuk ucapan (hadîts),
11
Muhammad Ṭâhir al-Jawâbi, Juhûd al-Muhadditsîn fî Naqd Matn al-Hadîts al-
Nabawî al-Syarîf, (Tunis : Mu‟assasah „Abd al-Karîm bin „Abdullâh, 1986), hal. 59. Lihat
juga Muhammad „Ajâj al-Khaṭîb, Uṣûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Muṣṭalahuh, (Beirut : Dâr al-
Fikr, 1427 H/2006 M), hal. 19. 12
Syams al-Dîn Abî al-Khair Muhammad bin Abd al-Rahmân al-Sakhâwî al-
Syâfi‟î, Fath al-Mughîts bi Syarh Alfiyyah al-Hadîts, tahqîq : „Abd al-Karîm Abdullâh bin
Abd al-Rahmân al-Khuḍair dan Muhammad Abdullâh bin Fuhaid Âlu Fuhaid, (Riyâḍ :
Maktabah al-Minhâj, 1426 H), juz ke-2, cetakan ke-1, hal. 21 13
Muhammad „Ajâj al-Khaṭîb, Uṣûl al-Hadîts ‘Ulumuh wa Muṣṭalahuh, hal.14 14
Muhammad „Ajâj al-Khaṭîb, al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, (Kairo : Maktabah
Wahbah, 1408 H/1988 M), cetakan ke-2, hal. 16 15
Lafaẓ hadis tersebut dikutip oleh „Ajâj al-Khaṭîb, sebagai berikut : ال ممعاالمنم"ام..."لمات يالن ب ار"رم لمومرمرم . Lihat Muhammad „Ajâj al-Khaṭîb, al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, hal. 16
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 5 ]
seperti cara berwuḍunya nabi, salat, manasik haji, dan sebagainya.16
Adapun
hadis taqrîriyyah adalah bentuk diamnya dan atau sikap menganggap
baiknya (pembenaran), dari Nabi Muhammad saw terhadap suatu ucapan
atau pun perbuatan yang muncul dari para sahabatnya, baik di hadapan
beliau maupun tidak17
disertai sikap nabi yang tidak mengingkarinya.18
Contoh yang cukup dikemukakan di sini adalah riwayat tentang keputusan
(ijtihad) yang dilakukan oleh Mu‟âdz bin Jabal sebagai delegasi yang dikirim
oleh Nabi saw ke wilayah Yaman19
, dan riwayat tentang beberapa sahabat
yang ṣalat ‘aṣar20
di Bani Quraiẓah, yakni perintah Nabi saw: “ jangan
sekali-kali salah satu di antara kalian ṣalat aṣar kecuali di Bani Quraiẓah”.
Sebagian sahabat memutuskan salat ‘aṣar setelah tiba di tempat (Banî
Quraiẓah). Sedangkan sebagian yang lain memutuskan untuk melaksanakan
salat ‘aṣar di tengah perjalanan sebelum tiba waktu malam. Melihat keadaan
yang berlainan dari dua kelompok sahabat tersebut, Nabi saw tidak mencela,
tidak menyalahkan (wa lam yu’annif) satu pun di antara mereka.21
Pembagian hadis selanjutnya adalah hadis hammî atau hammiyyah
sebagaimana disebutkan oleh di antaranya al-Syaukânî (w. 1255 H).
Menurutnya, yang dimaksud dengan hadis hammî tersebut adalah tentang
keinginan-keinginan Nabi saw yang sudah terucapkan, tercatat dalam kitab-
kitab kanonik hadis, namun realitasnya tidak pernah diwujudkan oleh
Rasûlullah saw dalam sebuah tindakan,22
yakni tindakan atau ucapan yang
16
„Alî bin Muhammad al-Sayyid al-Syarîf al-Jurjânî, Mu’jam al-Ta’rîfât Qâmûs li
Muṣṭalahât wa Ta’rîfât ‘Ilm al-Fiqh wa al-Lughah wa al-Falsafah wa al-Manṭiq wa al-
Taṣawwuf wa al-Nahw wa al-Ṣarf wa al-‘Arûḍ wa al-Balâghah, tahqîq : Muhammad Ṣiddîq
al-Mintsawî, (Kairo: Dâr al-Faḍîlah, tth.), hal. 141. Lihat juga, Muhammad „Ajâj al-Khathîb,
Uṣûl al-Hadîts ‘Ulumuh wa Muṣṭalahuh, hal.14 17
Muhammad Ṭâhir al-Jawâbî, Juhûd al-Muhadditsîn fi Naqd Matn al-Hadîts al
Nabawî al-Syarîf, hal. 90 18
Muhammad „Ajâj al-Khaṭîb, al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, hal. 17 19
Muhammad „Ajâj al-Khaṭîb, al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, hal. 17-18 20
Riwayat yang menyebutkan salat ẓuhur terdapat dalam Abu al-Husain Muslim bin
al-Hajjaj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz ke-5, hal. 162 21
Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh al-
Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, tahqîq : Muhîb al-Dîn al-
Khaṭîb, (Kairo : al-Salafiyyah, 1400 H), cetakan ke-1, juz ke-1, hal. 300 22
Muhammad bin „Alî bin Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-
Haqq min ‘Ilm al-Uṣûl wa bi Hâmisyih Syarh al-Syeikh Ahmad bin Qâsim al-‘Ibâdî al-
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 6 ]
urung dilakukan atau tidak diwujudkan. Misalnya : pertama, riwayat tentang
rencana atau keinginan Nabi saw menjatuhkan diri dari ketinggian puncak
gunung23
yang terjadi pada masa awal turunnya wahyu yang pertama. Secara
tekstual, makna ẓâhir hadis menunjukkan suatu keinginan Nabi saw, yang
pada akhirnya tidak ada sejarah yang membuktikan bahwa keinginan
tersebut beliau wujudkan.
Kedua, riwayat tentang rencana Nabi saw akan membakar rumah-
rumah warga yang tidak mengikuti salat berjama‟ah, bukan karena
meninggalkan salat.24
Ketiga, riwayat tentang rencana Nabi saw akan
melaksanakan puasa tâsû’â’25
sebagai pembanding dalam pelaksanaan puasa
„âsyûrâ’, dengan pertimbangan supaya tidak menyamai (menyerupai,
tasyabbuh) dengan puasanya orang Yahudi.26
Namun hingga Nabi saw
wafat, puasa tersebut (tasû’â) tidak terlaksana sebab beliau saw sudah
berpulang di sisi Allâh SWT, tersirat dalam sabda beliau saw: „fa idzâ kâna
al-‘âm al-muqbil‟ (jika umur beliau saw sampai tahun yang akan datang).27
Keempat, disebutkan dalam sejarah, di mana untuk yang kedua
kalinya Ka‟bah harus mengalami perbaikan di berbagai sisinya oleh pihak
Quraisy, termasuk di dalamnya Nabi saw (berusia 35 tahun) yang ikut
berpartisipasi penting, setelah sebelumnya pembangunan Ka‟bah untuk
pertama kalinya dilakukan oleh nabi Ibrâhîm dan puteranya Ismâ‟îl, as atas
Syâfi’î ‘alâ Syarh Jalâl al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahallî al-Syâfi’î ‘alâ al-Waraqât
fi al-Ushûl li al-Imâm al-Haramain ‘Abd al-Malik bin Abdillâh al-Juwainî al-Syâfi’î, hal. 41 23
Abî Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-4, hal. 295 24
Abî„Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-1, hal. 218 25
Abî Bakr Ahmad bin al-Husain bin „Alî al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ, (Beirut :
Dâr al-Ma‟rifah, tth.), juz ke-4, hal. 287 26
Abî „Îsâ Muhammad bin „Îsâ al-Tirmidzî, al-Jâmi’ al-Kabîr, tahqîq : DR.
Basysyâr „Awwâd Ma‟rûf, (Beirut : Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1996), cetakan ke-1, jilid ke-2,
hal. 120 27
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-2, hal. 797-798
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 7 ]
perintah Allâh SWT.28
Tatkala disinggung perihal tersebut, beliau saw
langsung mengatakan:
“Wahai „Â‟isyah, jikalau bukan karena kaummu baru lepas dari
kejahiliyyahan, sungguh aku ingin memerintahkan mereka
menghancurkan Ka‟bah lalu membangunnya, dan aku masukkan ke
dalamnya apa yang telah dikeluarkan darinya, dan aku buat pintunya
menempel dengan tanah, serta aku buatkan pintu timur dan barat
(riwayat lain : dua pintu, bâbain), dan aku sesuaikan dengan pondasi
Ibrâhîm”.29
Keempat bentuk riwayat ini oleh sebagian ahli disebut dengan hadis
hammî. Sedangkan maksud dari terminologi hammî di sini adalah suatu
bentuk keinginan atau rencana yang telah diucapkan atau dinyatakan oleh
Nabi Muhammad saw, namun keinginan tersebut tidak diwujudkan atau
tidak direalisasikan oleh beliau. Penyebutan riwayat-riwayat tersebut
berdasarkan tulisan di antaranya oleh al-Syaukânî (w.1255 H), Muhammad
Sulaimân al-Asyqar, Muhammad Ṣâlih al-Munjid, Nabîl Hâmid Khaḍr.
Mengenai keinginan-keinginan Nabi saw tersebut muncul beberapa
tanggapan dan pendapat para ulama yang menjurus kepada persoalan agama,
dan masing-masing secara tidak langsung masuk kepada ranah teologis.
Masing-masing pendapat mengkaitkan masalah tersebut dengan
kemaksuman beliau saw sebagai seorang nabi, baik pendapat yang
menyatakan kemaksuman sebagai bagian dari pengukuhannya kepada
seorang nabi maupun kemaksuman yang semestinya tidak muncul dari Nabi
saw30
atau tidak mungkin dilakukan oleh seorang nabi, apalagi mengesankan
„kesan miring‟ kepadanya. Dengan ungkapan lain, keempat riwayat tersebut
28
Muhammad Sa‟id Ramaḍân al-Bûṭî, Fiqh al-Sîrah al-Nabawiyyah Ma’a Mujîz li
Târikh al-Khilâfah al-Rasyîdah, (Beirut : Dâr al-Fikr al-Mu‟âṣir, 1411 H/1991 M), cetakan
ke-10, hal. 87-88 29
Abî Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Ṣahîh al-Bukhârî, juz ke-1, hal.
227 30
Muhammad bin Ahmad bin Abd al-„Azîz bin „Alî al-Futûhî al-Hanbalî al-Ma‟rûf
bi Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukab al-Munîr al-Musammâ bi Mukhtaṣar al-Tahrîr au al-
Mukhtabar al-Mubtakar Syarh al-Mukhtaṣar fî Uṣûl al-Fiqh, tahqîq : Dr. Muhammad al-
Zuhaili dan Dr. Nazîh Hammâd, (al-Mamlakah al-„Arâbiyyah al-Sa‟ûdiyyah : Wazârah al-
Syu‟ûn al-Islâmiyyah wa al-Auqâf wa al-Da‟wah wa al-Irsyâd, 1413 H/1993 M), juz ke-2.,
hal. 166-167
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 8 ]
mengisyaratkan suatu perbuatan atau statement Nabi Muhammad saw yang
dalam kenyataannya tidak terwujud atau tidak dibuktikan dalam sebuah
keputusan praktis (perbuatan). Di samping itu, secara literal, redaksi riwayat-
riwayat tersebut memberikan makna atau kesan negatif, yakni suatu hal yang
tidak mungkin dilakukan oleh seorang nabi atau rasul, sehingga muncul
pertanyaan apakah mungkin seorang nabi melakukan kesalahan atau
kekeliruan dalam mengambil keputusan? Sebagai umat akan mengikuti
sunnah tersebut atau meninggalkan? Hal ini erat kaitannya dengan kajian
tentang kemaksuman seorang nabi atau rasul dalam ranah teologi yang telah
menjadi pembahasan cukup panjang oleh berbagai pandangan ulama.
Al-Syaukânî sendiri dan ulama lain yang mendukungnya, tidak
mengakui hadis hammî sebagai bagian dari sunnah Nabi saw, jika dilihat dari
motif di balik pembentukan hukumnya (legal ratio). Selain itu, menurutnya,
hal itu hanya muncul sebagai „goresan hati‟, yang tidak ada unsur mengikat
dalam pelaksanaan hukumnya.31
Pendapat kedua muncul dari kalangan Syâfi‟iyyah, sebagaimana
diungkap oleh al-Zarkâsyî (745-794 H), mereka bersikukuh menjadikannya
sebagai bagian dari sunnah Nabi saw yang mesti dilaksanakan oleh umat,
meskipun dalam rotasi istinbâṭ-nya akan mendahulukan sunnah yang bersifat
qaulî, lalu fi’lî, lalu taqrîr Nabi Muhammad saw, kemudian jika di dalam
ketiganya tidak bisa didapati sumber hukum yang bisa dijadikan dalam
penetapan hukum, maka langkah selanjutnya adalah menjadikan sunnah
hammî sebagai dalilnya.32
Masalah ini bukan sekedar berimplikasi terhadap posisi basyariyyah
Nabi saw dalam tataran beliau sebagai manusia yang mampu untuk
berkomunikasi dengan Tuhan.33
Namun, terkait kenabian atau kerasulan, dan
31
Muhammad bin „Alî bin Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-
Haqq min ‘Ilm al-Uṣûl wa bi Hâmisyih Syarh al-Syeikh Ahmad bin Qâsim al-‘Ibâdî al-
Syâfi’î ‘alâ Syarh Jalâl al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahallî al-Syâfi’î ‘alâ al-Waraqât
fi al-Uṣûl li al-Imâm al-Haramain ‘Abd al-Malik bin Abdillâh al-Juwainî al-Syâfi’î, hal. 42 32
Badr al-Dîn Muhammad bin Bahâdur bin „Abdillâh al-Zarkasyî al-Syâfi‟î, al-
Bahr al-Muhîṭ fî Uṣûl al-Fiqh, (Kairo : Dâr al-Ṣafwah, 1409 H/1988 M), cetakan ke-1, juz
ke-4, hal. 211 33
Muṣṭafâ Ṣabrî, Mauqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-Âlim min Rabb al-‘Âlamîn wa
Ibâdihi al-Mursalîn, (Beirut : Dâr Ihyâ‟ al-Turâts, 1981), juz ke-4, hal. 152
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 9 ]
kemukjizatan yang pada akhirnya berimplikasi erat terhadap keinginan-
keinginan (hamm) yang berada dalam diri Rasûlullâh saw dan secara khusus,
akan membawa konsekuensi bagi umat yang meyakini sepenuhnya bahwa
apa yang beliau ketahui (pengetahuan) dan semua yang beliau ucapkan tidak
beliau lakukan kecuali kebenaran34
yang murni bersumber dari ajaran
Tuhan.35
Selain itu, terkait otoritas sunnah atau hadis akan membawa
implikasi maupun dampak jika diterapkan dalam sistem hukum Islam yang
substantif, minimal akan berdampak pada alam pemikiran Islam itu sendiri.
Maka sunnah yang sebelumnya dianggap sebagai ajaran yang otoritatif untuk
dilaksanakan di tempat dan waktu di mana pun akan beralih menjadi tidak
lagi otoritatif.36
Dengan demikian, penelitian mengenai keinginan-keinginan ataupun
rencana Nabi Muhammad saw yang tidak terwujud (tidak terealisasi) dalam
bentuk hadis-hadis hammî, menjadi kajian yang krusial sebagai standar
penilaian atas otoritas hadis Nabi Muhammad saw. Di samping kajian ini
akan bersinggungan langsung dengan problem teologis terkait ‘iṣmah al-
nubuwwah’ (kemaksuman nabi) dari suatu tindakan yang salah atau keliru
bahkan memberikan kesan negatif, pembahasan tersebut tidak akan lepas
dari dua konteks yang berbeda. Pertama, hadis sebagai bagian penjelas al-
Qur‟ân (mubayyin) yang dijadikan sebagai pedoman umat Islam. Kedua,
hamm Nabi saw tersebut memiliki implikasi baik secara langsung atau tidak
terhadap sikap bahkan mungkin ideologi religiousitas umat secara
keseluruhan sebagai bentuk dari konsekuensi dinamika evolusi otoritas
Sunnah Nabawiyyah.
34
Faruk Terzic, The Problematic of Prophethood and Miracle : Mustafa Sabri’s
Response, (Islamabad : International Islamic University, Islamic Studies 48, 2009), no. 1,
hal. 11 35
Statement ini berdasarkan satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal dan Abî Dâwûd
dari jalur Yûsuf bin Mâhik dari Abdillâh bin „Amr, sebagaimana dikutip oleh Ahmad bin
„Alî bin Hajar al-„Asqallânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî ‘Abdillâh
Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, tahqîq : „Abd al-„Azîz bin „Abdillâh bin Bâz, (tt. : al-
Maktabah al-Salafiyyah, tth.), juz ke-10, hal. 207 36
Sherman Jackson, From Prophetic Action to Constitutional Theory, dalam
(International Journal of Middle East Studies, 25), I, 1993, hal. 71-90
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 10 ]
Oleh sebab itu, dalam kaitannya dengan hadis-hadis hammî yang
masih mewariskan banyak perdebatan di antara para ahli, maka bersikap
menerima atau pun menolak salah satu pendapat mestilah didasarkan dengan
dalil-dalil dan kajian yang sangat mendalam. Dalam kerangka tersebut
ditambah semangat, ghîrah, mencari kebenaran universal, penulis mencoba
untuk membahas permasalahan dan problematika seputar hadis-hadis hammî
dan keterkaitannya terhadap berbagai implikasi yang ditimbulkan, dengan
melakukan suatu kajian secara mendalam melalui penulisan tesis dengan
judul “Hadis Hammî Nabi saw Dan Implikasinya Terhadap Pemahaman-
pemahaman Hadis”.
Implikasi yang dimaksud adalah segala sesuatu yang dihasilkan atau
akibat serta dampak --baik langsung atau pun konsekuensi atas temuan hasil
suatu penelitian-- dari berbagai penafsiran dan pemikiran yang bersumber
dari naṣ-naṣ wahyu.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari paparan latar belakang masalah tersebut di atas, terdapat
persoalan besar terkait dengan posisi dan status rencana atau keinginan Nabi
saw yang tidak terealisasi dalam kajian pemikiran Islam. Di antara masalah
yang teridentifikasi dari judul tersebut adalah seperti:
a. Keterkaitan dan intervensi wahyu dalam mewujudkan dan
menginspirasi keinginan (hamm) Nabi Muhammad saw tersebut. Di
sisi lain, dalam studi teologi, paham kemaksuman menyatakan bahwa
seorang nabi dan rasul, bagaimana mungkin melakukan tindakan salah;
yang kontra produktif, tidak sesuai dengan suatu tindakan, baik terkait
dengan agama atau pun pribadi dan tidak terkecuali terkait langsung
dengan masalah dunia, bahkan umat pengikutnya, sehingga dirasa
bukan atau tidak mungkin berasal dari lisan dan sikap beliau yang
bertentangan dengan nilai-nilai universal al-Qur‟ân; bertentangan
dengan hukum-hukum bagi keumuman umat Islam.37
37
Musfir „Azmillâh al-Dumînî, Maqâyîs Naqd Mutûn al-Sunnah, (Riyâḍ: al-
Sa‟ûdiyyah, 1404 M/1984 M), cetakan pertama, hal. 112
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 11 ]
b. Masalah yang erat kaitannya dengan masalah pertama, yaitu terkait
dengan kekuatan atau otoritas sunnah sebagai bagian dari sumber
ajaran Islam yang notabene muncul dari wahyu Allah SWT.38
c. Sejauhmana kebenaran periwayatan hadis hammî, apakah hal tersebut
akan bersifat mengikat atau tidak sebagai konsekuensi terhadap
pengingkaran terhadapnya.
d. Bagaimana pandangan para ulama, baik yang mendukung atau pun
yang tidak, dalam memahaminya. Hal ini memunculkan implikasi
terhadap pemahaman-pemahaman para ulama yang beragam.
e. Menetapkan kategorisasi hadis hammî dan status kebenaran atau
kesahihan terhadap kehujjahan hadis-hadis hammî tersebut.
f. Apakah ada keterkaitan teologis antara kemaksuman dengan hadis-
hadis hammî
g. Munculnya implikasi atau pengaruh serta dampak yang ditimbulkan
dari sikap menerima hadis tersebut sebagai hujjah atau menolaknya
sebagai bagian dari sunnah nabawiyyah.
2. Pembatasan Masalah
Dari berbagai masalah-masalah yang teridentifikasi di atas, penulis
tidak bermaksud menjawab semua permasalahan yang ada, meskipun pada
gilirannya, dalam sebuah penelitian, tentu terdapat sedikit singgungan-
singgungan di dalamnya sebagai bagian komprehensif untuk mendapatkan
jawaban dan informasi yang argumentatif, lebih akurat, mendalam, dan
tajam.39
Dalam hal ini, penulis akan membatasinya pada hal-hal sebagai
berikut :
a. Pandangan-pandangan para ulama terhadap kebenaran atau tingkat
kehujjahan hadis-hadis hammî, apakah ia akan tetap dipertahankan
sebagai hujjah syar‟iyyah, atau sebaliknya hanya sekedar sebagai
bagian dari kisi-kisi historis dari sekelumit kehidupan Rasûlullâh saw.
38
QS. Al-Najm/53 : 3-4. Lihat juga Ahmad bin „Alî bin Hajar al-„Asqallânî, Fath
al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, juz ke-10,
hal. 207 39
Muhammad Muṣṭafâ al-A‟ẓamî, Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsîn
Nasy’atuh wa Târikhuh, (Mamlakah al-„Arâbiyyah al-Sa‟ûdiyyah : Maktabah al-Kautsar,
1410 H/1990 M), cetakan ke-3, hal. 6.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 12 ]
b. Pandangan ulama terhadap ada tidaknya relasi teologis antara paham
iṣmah dan hadis-hadis hammî. Konsekuensi logis dari kondisi tersebut,
akan memunculkan berbagai implikasi yang terkait di dalamnya, yaitu
keterkaitan implikatif dalam pemahaman-pemahaman para sarjana
muslim (ulama).
Dalam upaya menelusuri standarisasi kesahihan hadis-hadis terkait,
baik dari segi sanad maupun matannya, penelitian ini dibatasi hanya pada
penilaian yang dikemukakan oleh para ulama pensyarah kitab hadis, semisal
Ibn Hajar dalam kitab Fath al-Bârî atau Badr al-Dîn al-„Ainî dalam kitab
‘Umdah al-Qârî, atau al-Harawî (767 H-829 H) dalam Faḍl al-Mun’im, al-
Mizzî dalam Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ‟ al-Rijâl, dan al-Dzahabî al-
Dimasyqî dalam al-Kâsyif fî Ma‟rifah Man Lahu Riwâyah fî Kutub al-Sittah
wa Hâsyiyatuh (kitab catatan yang menyertai al-Kâsyif karya Burhân al-Dîn
Abû al-Wafâ) dan lain-lain, tanpa menyebutkan penilaian lebih lanjut dan
lebih mendalam terkait standarisasi yang digunakan dalam kritik hadis. Hal
ini akan memudahkan penulis dalam melakukan penelitian tanpa harus
menggali lebih jauh terhadap analisa sanad dan matan hadis.
3. Perumusan Masalah
Sebagaimana diketahui bahwa perdebatan (ikhtilâf) di tengah-tengah
masyarakat tentang keinginan atau rencana (hamm) Nabi saw yang tidak
terealisasi sangat berpengaruh kuat dalam melihat kembali di dalamnya
sebagai bagian dari otoritas sunnah dan tentunya bagian dari ajaran agama.
Untuk itu, dari pembatasan masalah yang telah dikemukakan tersebut di atas,
penelitian ini akan menjawab pertanyaan, sebagai berikut :
a. Bagaimana pandangan para ulama tentang kebenaran atau tingkat
kehujjahan hadis-hadis hammî?
b. Apakah ada keterkaitan antara relasi teologis kemaksuman nabi
dengan eksistensi hadis-hadis hammî dan bagaimana implikasi hadis-
hadis tersebut terhadap pemahaman-pemahaman para ulama?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Dari perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
penelitian ini memiliki tujuan, sebagai berikut:
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 13 ]
a. Menganalisa ada atau tidaknya keterkaitan teologis kemaksuman
seorang nabi dengan hadis-hadis hammî melalui pandangan para ulama.
b. Mengungkapkan berbagai jalur riwayat hadis-hadis hammî dalam kitab-
kitab hadis (cakupan Kutub al-Sittah).
c. Menganalisa implikasi-implikasi hadis hammî yang terungkap dalam
berbagai pandangan dan pemahaman para ulama.
Adapun manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini di antaranya
adalah sebagai berikut:
a. Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan rujukan ilmiah terkait
persinggungan antara paham ‘iṣmah dengan hadis-hadis hammî.
b. Dengan penelitian ini dapat menemukan kebenaran terkait kehujjahan
hadis-hadis hammî sekaligus memahami implikasinya dalam berbagai
pemahaman para ulama.
c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi penyemangat
terhadap penelitian-penelitian yang selanjutnya terutama terkait dengan
berbagai tindakan, ucapan, sikap Nabi saw, baik yang bertendesi pada
murni wahyu atau pun posisinya sebagai manusia biasa dengan berbagai
dampak interpretatif atau implikasinya dalam tradisi keilmuan Islam.
D. Tinjauan Pustaka dan Penelitian Terdahulu
Penelitian dan kajian hadis-hadis Nabi Muhammad saw yang bersifat
hammiyyah, yakni hadis-hadis yang terkait dengan keinginan atau harapan
Nabi saw yang tidak terealisasi, telah banyak dilakukan oleh para sarjana
Muslim, baik dalam berbagai bentuk buku maupun blog atau mimbar tanya
jawab.
Adapun singgungan-singgungan terkait pembahasan atau kajian
tersebut dapat dilihat pada beberapa kitab misalnya :
Pertama, kitab Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Uṣûl
karya al-Syaukânî (w.1255 H). Dalam karyanya tersebut, al-Syaukânî
(w.1255 H) memberikan tema pembagian hadis atau sunnah secara
berurutan, sebagaimana tersebut di atas dalam tiga bagian sunnah Nabi saw,
lalu menyebutkan bagian selanjutnya (yang keempat), yakni “mâ hamma bihi
ṣallâ Allâh ‘alaih wa sallam wa lam yaf’alhu (riwayat-riwayat tentang
keinginan Nabi saw yang tidak terealsasikan, urung dikerjakan”. Terkait hal
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 14 ]
itu, ia menyatakan bahwa bagian tersebut bukan bagian dari sunnah Nabi
saw, dan tidak ada suatu tuntutan untuk melaksanakannya, berseberangan
dengan aṣhâb al-Syâfi’î yang mengakuinya sebagai bagian dari sunnah Nabi
saw yang mesti diikuti. Bagi al-Syaukânî, hal tersebut tidak sesuai dengan
perintah Allâh SWT untuk mengikutinya ; tidak ada unsur ittibâ’ atau ta’assî
terkait hal itu.40
Kedua, kitab Syarh al-Kaukab al-Munîr al-Musammâ bi Mukhtaṣar
al-Tahrîr au al-Mukhtabar al-Mubtakar Syarh al-Mukhtaṣar fî Uṣûl al-Fiqh,
karya al-„Allâmah al-Syeikh Muhammad bin Ahmad bin Abd al-„Azîz bin
„Alî al-Futûhî al-Hanbalî al-Ma‟rûf bi Ibn al-Najjâr (w.972 H). Dalam
karyanya tersebut, Ibn al-Najjâr (w.972 H) menyebutkan bahwa “mâ hamma
al-nabî ṣallâ Allâh ‘alaih wa sallam bi fi’lihi wa lam yaf’alhu” merupakan
bagian dari sunnah yang dijadikan hujjah syar’iyyah. Baginya, sesuatu yang
menjadi keinginan beliau saw tetap menjadi bagian dari kebenaran yang
dituntut oleh syara’ dalam menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan
aspek hukum di dalamnya (bayân al-syar’iyyât). Dalam karyanya tersebut, ia
mengkorelasikan aspek-aspek yang berkaitan dengan paham kemaksuman
nabi („iṣmah) di samping menyuguhkan berbagai perdebatan teologis dari
para ahli kalam, yang pada gilirannya ia lebih mengunggulkan pendapat
yang menyokong keharusan menjadikan kehujjahan hadis hammî.41
Ketiga, kitab Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-Ahkâm al-
Syar’iyyah, karya Muhammad Sulaimân al-Asyqar. Ia menyuguhkan karya
yang memberikan elaborasi yang cukup panjang dan rinci, lalu
mendeskripsikan terhadap berbagai bentuk tindakan dan keseharian Nabi
saw yang menggambarkan beliau tidak hanya sebagai rasul atau utusan
40
Muhammad bin „Alî bin Muhammad al-Syaukânî, Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-
Haqq min ‘Ilm al-Uṣûl wa bi Hâmisyih Syarh al-Syeikh Ahmad bin Qâsim al-‘Ibâdî al-
Syâfi’î ‘alâ Syarh Jalâl al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahallî al-Syâfi’î ‘alâ al-Waraqât
fi al-Ushûl li al-Imâm al-Haramain ‘Abd al-Malik bin Abdillâh al-Juwainî al-Syâfi’î, hal.
41-42 41
Muhammad bin Ahmad bin Abd al-„Azîz bin „Alî al-Futûhî al-Hanbalî al-Ma‟rûf
bi Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukab al-Munîr al-Musammâ bi Mukhtaṣar al-Tahrîr au al-
Mukhtabar al-Mubtakar Syarh al-Mukhtaṣar fî Uṣûl al-Fiqh, tahqîq : Muhammad al-Zuhaili
dan Nazîh Hammâd, (al-Mamlakah al-„Arabiyyah al-Sa‟ûdiyyah : Wazârah al-Syu‟ûn al-
Islâmiyyah wa al-Auqâf wa al-Da‟wah wa al-Irsyâd, 1413 H/1993 M), juz ke-2., hal. 166-
177
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 15 ]
Tuhan, lebih dari itu, beliau juga sebagai sosok dan pribadi layaknya
manusia biasa pada umumnya.
Secara umum, dalam karyanya, Sulaimân al-Asyqar menilai bahwa
keseluruhan perbuatan dan tindakan Nabi saw bersumber dari wahyu yang
meniscayakan kepatuhan kepadanya, baik perbuatan beliau dalam cakupan
ibadah maupun dalam konteks layaknya manusia biasa pada umumnya,
sebab itu merupakan contoh ajaran dari kehidupan manusia. Namun
demikian, tidak semua hal yang muncul dari diri Nabi Muhammad saw
mengharuskan untuk diikuti. Bagi M. Sulaimân al-Asyqar, kewajiban
seorang muslim adalah mentaati perintah yang muncul dari beliau dengan
mengetahui konteks perintah beliau itu sendiri, bukan melaksanakan dengan
„taqlid buta‟ tanpa mengetahui bentuk perintah atau bukan.42
Dalam hal ini,
khususnya yang terkait dengan hamm Nabi saw, pendapatnya boleh dibilang
selaras dengan pendapat dan pendirian al-Syaukânî, sebagaimana pula ia
telah mengutipnya.
Keempat, kitab al-Bahr al-Muhîṭ fî Uṣûl al-Fiqh karya Badr al-Dîn
Muhammad bin Bahâdur bin Abdillâh al-Zarkasyî al-Syâfi‟î (745-794 H).
Dalam karyanya, al-Zarkasyî al-Syâfi‟î (745-794 H) sebagaimana terlihat
sama pendiriannya dengan Ibn al-Najjâr (w.972 H) tersebut di atas, bahkan
lebih bersifat me-genaralisasi dalam pembahasannya tanpa memisahkan
antara keinginan Nabi saw yang terealisasi dan yang tidak terealisasi.
Kelihatannya, al-Zarkâsyî lebih memfokuskan pada pembahasan pada aspek
lain ketimbang menyinggung tentang riwayat-riwayat hammî. Terbukti,
ketika ia memberikan suatu contoh hadis hammî yang menimbulkan
kontroversi (al-ta’âruḍ), ia kembalikan kepada kitab asal yang memunculkan
perdebatan tersebut.43
Keempat karya tersebut di atas memberikan contoh riwayat tentang
Nabi Muhammad saw yang berkeinginan membakar rumah-rumah orang
42
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al-Syar’iyyah, (Beirut : al-Risâlah, 1424 H/2003 M), cetakan ke-6, Juz ke-1, hal.
382-404 43
Badr al-Dîn Muhammad bin Bahâdur bin „Abdillâh al-Zarkasyî al-Syâfi‟î, al-
Bahr al-Muhîṭ fî Uṣûl al-Fiqh, (Kairo : Dâr al Shafwah, 1409 H/1988 M), cetakan pertama,
juz ke-4, hal, 211
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 16 ]
yang tidak mengikuti salat berjama‟ah. Berbeda dengan al-Zarkasyî (745-
794 H), al-Syaukânî (w.1255 H) dan M. Sulaimân al-Asyqar menetapkan
untuk tidak menjadikan riwayat tersebut sebagai bagian sunnah yang harus
diikuti oleh umat.
Kelima, tulisan dalam bentuk blog atau mimbar tanya jawab dalam
rubrik : “al-Islâm Su’âl wa Jawâb”, di www. IslamQA.info., yang dipimpin
oleh Muhammad Ṣâlih al-Munjid, yang diupload pada hari Selasa, 29 Jumâdî
al-Âkhir, 1438 H / 28 Maret 2017 M, dan tulisan dengan judul yang sama
juga disajikan oleh Majelis Alûkah dalam www.alukah.net.
Muhammad Ṣâlih al-Munjid, menyebutkan dalam tulisannya dengan
tema: “Riwâyah Hamm al-Nabî Ṣallâ Allâh ‘Alaih wa Sallam bi al-Intihâr lâ
Taṣîhh lâ Sanadan wa Lâ Matnan”, yakni tentang riwayat hamm atau
keinginan Nabi saw melakukan tindakan bunuh diri (intihâr). Tema yang
sama tersebut juga diusung oleh Majelis Alûkah, yang menyajikan lebih luas
cakupan dalam perbandingan matan-matan hadis terkait. Menurutnya,
riwayat tersebut, sebagaimana terdapat dalam Ṣahîh al-Bukhârî bermasalah
dari sisi matan maupun sanadnya. Argumentasi yang ia ajukan berawal dari
ketidakmungkinannya seorang nabi yang melakukan tindakan bodoh, yakni
bunuh diri. Ia menyimpulkan bahwa sanad serta matan riwayat tersebut bâṭil
dan palsu (mauḍû’) dengan dukungan dari berbagai pendapat yang cukup
kuat menurutnya.44
Keenam, tulisan dalam blog.Nabîl Hâmid Khaḍr, 27 Juni 2009 M/4
Rajab 1430 H. Nabîl Hâmid Khaḍr mengawali tulisannya dengan tajuk:
“Dalâlah Mâ Hamma al-Rasûl saw bi Fi’lihi wa Lam Yaf’alhu” tentang
penggunaan term hamm dan beberapa contohnya. Menurutnya, untuk
memahami keinginan Nabi saw, sebagaimana tersebar dalam kitab-kitab
induk hadis, tidak mengharuskan dengan menggunakan lafaẓ hamm
(musytâq bi lafẓ hamm), namun bisa tanpa menggunakan lafaẓ hamm, yakni
dilihat dari makna redaksi yang memberikan pengertian bahwa keinginan
tersebut tidak atau belum terealisasi.
44
Muhammad Ṣâlih al-Munjid, (https://islamqa.info), Selasa, 29 Jumâdî al-Âkhir,
1438 H/28 Maret 2017 M, hal. 1-6. Liihat juga, Majelis Alûkah dalam www.alukah.net.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 17 ]
Ia mencontohkan salah satunya adalah hadis hamm Nabi saw tentang
puasa tâsû’â’. Hal ini sudah menunjukkan bahwa keinginan beliau saw
tersebut tidak terlaksana atau tidak terjadi (lam yumḍa wa lam yaqa’). Ia
mengakui bahwa dengan adanya naṣ yang seperti ini akan berimplikasi
terhadap istinbâṭ suatu hukum atau pun pemahaman-pemahaman dalam
tradisi pemikiran Islam. Ia tidak menafikan pro-kontra yang terjadi di antara
para ahli, meski ia sendiri lebih cenderung kepada pendapat yang moderat
dan ia menegaskan bahwa kenyataan itu mesti terjadi sebagai bagian dari
kemaksuman seorang nabi, sebagaimana ia mengutip tentang kisah yang
serupa, yang pernah dialami oleh nabi Yusuf, as ketika hendak atau
berkeinginan yang sama dengan Zulaikhâ‟ untuk melakukan tindak „asusila‟,
namun urung dilakukan oleh sebab Allâh SWT menegurnya.45
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa riwayat-
riwayat tersebut tidak memiliki keterikatan dan keharusan untuk diikuti oleh
umat, namun pada akhirnya justru memunculkan implikasi pemahaman-
pemahaman dari para ulama. Oleh karena itu, penelitian dalam tesis ini akan
menjadi penting untuk dikaji lebih mendalam agar ditemukan suatu
pemahaman yang komprehensif atas pemaknaan hadis-hadis tersebut.
Dalam penelitian ini, penulis menghendaki adanya integrasi terhadap
berbagai contoh riwayat yang telah disebutkan tersebut di atas tentang
keinginan-keinginan Nabi saw yang tidak terlaksana dan keterkaitannya
dengan kenabian (relasi teologis), sebagaimana telah diungkapkan di atas.
Dalam penelitian ini juga sekaligus mencari jalan tengah atas berbagai
pemahaman di antara para ahli hadis serta menjadi landasan berpikir ilmiah
dalam upaya mencari benang merah di antara perbedaan pemahaman
tersebut.
E. Metododologi Penelitian
1. Metode dan Pendekatan Penelitian
Penelitian ini merupakan kajian pustaka (library research) yang
menggunakan metode kualitatif, yaitu penelitian dalam bentuk kata atau
kalimat yang menghasilkan data-deskriptif. Data-data tersebut dihasilkan dan
45
Blog.Nabîl Hâmid Khaḍr, 27 Juni 2009 M/4 Rajab 1430 H.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 18 ]
dihimpun dari dan atau melalui data-data kepustakaan, baik berupa buku,
dokumen, artikel, jurnal, blog dan lain sebagainya. Upaya ini berupa
pengumpulan data-data primer dan sekunder, yaitu mencari dan
mengumpulkan data yang proporsional dan representatif sesuai dengan
kajian yang diangkat.
Penelusuran data-data primer dan sekunder tersebut kemudian
dideskripsikan dan dianalisa secara kritis sehingga dalam penelitian ini
penulis menggunakan metode deskriptif-analitik. Sedangkan pendekatan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologis-teologis,
terkait dengan kajian yang menyentuh ranah teologi sebagai konsekuensi
dalam kajian kenabian dan doktriner agama dengan aspek sosiologis
Muhammad saw dalam tataran kemanusiaan. Pendekatan filosofis-yuridis,
terkait ada atau tidaknya dampak atau implikasi yuridis dalam kajian hadis-
hadis hammî Nabi saw.
Penelitian ini juga menggunakan metode interpretatif, yaitu metode
yang mampu memberikan keluasan bagi peneliti untuk mengeksplorasi dan
memahami teks-teks yang ada. Dan metode ini pula yang dianggap cocok
terkait keseluruhan kajian yang bersifat analitik.
Adapun sumber data primer yang digunakan dalam penelitian
iniadalah karya-karyayang terkait langsung pembahasan seputar hadis- hadis
hammî Nabi saw, seperti: terutama kitab-kitab syarah hadis dalam Kutub al-
Sittah, seperti kitab Fath al-Bârî karya Ibn Hajar al-„Asqallânî dan lain
sebagainya. Selain itu, kitab Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-
Uṣûl (Beirut: Dâr al-Fikr, tth), karya al-Syaukânî (w.1255 H) edisi tahqîq
dan ta‟lîq: Abî Hafṣ Sâmî al-„Arabî al-Atsarî. Kedua, Syarh al-Kaukab al-
Munîr al-Musammâ bi Mukhtaṣar al-Tahrîr au al-Mukhtabar al-Mubtakar
Syarh al-Mukhtaṣar fî Uṣûl al-Fiqh, tahqîq: Muhammad al-Zuhailî dan
Nazîh Hammâd, (al-Saûdîyyah al-Ârâbiyyah: Wazârah al-Syu‟ûn al-
Islâmiyyah wa al-Auqâf wa al-Da‟wah wa al-Irsyâd, 1413 H/1993 M), karya
al-„Allâmah al-Syeikh Muhammad bin Ahmad bin Abd al-„Azîz bin „Alî al-
Futûhî al-Hanbalî al-Ma‟rûf bi Ibn al-Najjâr (w.972 H). Ketiga, kitab Af’âl
al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-Ahkâm al-Syar’iyyah (Beirut: al-
Risâlah, 1424 H/2003 M), karya Muhammad Sulaimân al-Asyqâr.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 19 ]
Termasuk dalam sumber-sumber primer terkait riwayat-riwayat hadis
hammî, tentu dilakukan dengan cara mengidentifikasi periwayatan-
periwayatan yang tersebar dalam berbagai kitab induk hadis, baik dalam
kelompok Kutub al-Sittah, seperti kitab Ṣâhîh al-Bukhârî (194-256 H), Ṣâhîh
Muslim (204-261 H), Sunan Abî Dâwûd al-Sijistânî (202-275 H), Sunan al-
Tirmidzî (209-279 H), Sunan al-Nasâ’î (215-303 H), Sunan Ibn Mâjah (209-
273), maupun di luar kelompok kitab-kitab tersebut seperti al-Musnad
Ahmad bin Hanbal (164-241 H/780-855 M), Sunan al-Kubrâ li al-Baihaqî,
dan lain sebagainya.
Adapun literatur yang mendukung, sebagai data sekunder untuk dapat
salingmelengkapi akan digali dari sumber-sumber yang masih ada kaitannya
dalam objek penelitian ini, adalah sejumlah kitab atau buku seperti kitab-
kitab syurûh al-hadîts, seperti Fath al-Bârî karya al-Imâm Ibn Hajar46
,
Ikmâl al-Mu’lim karya Qâḍî „Iyâḍ47
, al-‘Urf al-Syâdzî karya Muhammad
Unwarsyah al-Kasymîrî48
, dan lain-lain, kitab-kitab ‘Ulûm al-Hadîs dan
buku-buku dalam kajian kritik hadis, seperti : kitab Maqâyîs Naqd Mutûn al-
Sunnah49
, Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsîn50
terkait landasan teori
dalam kajian kritik matan sanad hadits yang diteliti. Untuk kitab-kitab yang
membahas terkait kenabian dalam masalah teologi, seperti kitab ‘Iṣmah al-
Anbiyâ’, Kairo: Maktabah al-Tsaqâfah al-Dîniyyah, 1406 H/1986 M, cetakan
ke-1, karya al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî (544 - 606 H), dan lain
sebagainya.
46
Ahmad bin „Alî bin Hajar al-„Asqallânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm
Abî Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, tahqîq : al-Syeikh „Abd al-„Azîz bin
Abdillâh bin Bâz, (tt. : al-Maktabah al-Salafiyyah, tth.) 47
Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣabî, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id
Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, tahqîq : Yahyâ Isma‟îl, (tt. : Dâr al-Wafâ‟, 1419 H/1998 M). 48
Muhammad Unwarsyah bin Mu‟ẓamsyah al-Kasymîrî, al-‘Urf al-Syâdzî Syarh
Sunan al-Tirmîdzî, taṣhîh : Mahmûd Syâkir, (Beirut : Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, 1425
H/2004 M). 49
Musfir „Azmillâh al-Dumînî, Maqâyîs Naqd Mutûn al-Sunnah, (Riyâḍ : al-
Sa‟ûdiyyah, 1404 M/1984 M), cetakan pertama. 50
Muhammad Ṭahîr al-Jawâbî, Juhûd al-Muhadditsîn fî Naqd Matn al-Hadîts al-
Nabawî al-Syarîf, (Tunis : Mu‟assasah „Abd al-Karîm bin „Abdullâh, 1986).
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 20 ]
2. Teknik Analisa Data
Dalam hal teknis pengumpulan dan pengolahan (analisis) data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis, yakni alur
penelitian yang menghasilkan data-data deskriptif dari objek yang diamati.51
Penelitian tersebut akan dimulai dengan cara menelaah seluruh data, baik
dari data primer ataupun data sekunder, yang telah dikumpulkan dan
dieksplorasi secara berhati-hati, rinci dan seksama, selanjutnya
dikomparasikan52
dengan berbagai pendapat yang ada, baik pendapat yang
sependapat maupun pendapat yang berseberangan. Untuk kemudian semua
data yang telah diperoleh, selanjutnya dianalisa kekuatan dan kelemahan
masing-masing, lalu dikaji terkait dampak dan implikasi yang ditimbulkan.
Dengan demikian, cara seperti ini akan menghasilkan kajian ilmiah dan
kebenaran yang obyektif.
3. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan dalam penelitian ini, penulis mengacu pada
buku Pedoman Akademik Program Magister Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan.
Dalam penelitian tesis ini terdiri dari lima bab yang memiliki
hubungan pembahasan yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang
lain sehingga menjadi satu kesatuan kajian yang komprehensif dan
diharapkan mampu memberikan jawaban ilmiah dari permasalahan yang ada.
Pembagian bab-bab tersebut antara lain tergambar secara umum pada:
Bab pertama merupakan pendahuluan yang memuat seluk beluk
penelitian ini, dengan uraian mengenai latar belakang masalah itu muncul
51
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya,
2004), hal. 3 52
Teknik analisa data yang bersifat komparatif menggambarkan pola pikir dengan
membandingkan beberapa pendapat, fakta maupun peristiwa yang telah diketahui dengan
kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai landasan dalam berpijak. Lihat, Tatan Maupun
Amirin, Metodologi Riset, (Yogyakarta : Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UIJ,
1979), hal. 4
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 21 ]
sebagai tolok ukur pentingnya suatu kajian ilmiah (penelitian), kemudian
penulis melakukan identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah
yang sedang dibahas sebagai fokus pembahasan yang sedang dituju.
Selanjutnya, penulis melakukan langkah peninjauan terhadap kepustakaan
yang telah ada dan sedang berkembang sebelumnya, sehingga masalah yang
menjadi tujuan dalam penulisan tersebut tidak mengalami tumpang-tindih
(objek pembahasan yang sama) sebab adanya pembahasan atau kajian yang
pernah dilakukan di luar penulis sendiri. Kemudian, dalam bab yang sama,
penulis juga menyebutkan dan memilih metodologi penelitian yang
digunakan, dan terakhir menyebutkan sistematika penulisan.
Bab kedua membahas tentang hadis-hadis hammî dalam kajian hadis.
Dalam bab ini akan dibagi menjadi beberapa sub, yakni sub-bab berisikan
penjelasan tentang penggunaan terminologi hadis hammî dengan berbagai
riwayat yang terkait dengannya dalam beberapa kitab induk hadis sekaligus
disinggung diskursus kehujjahan hadis-hadis hammî menurut para ulama.
Dalam bab ini pula membahas problematika kemaksuman dalam diri seorang
nabi sebagai penentu lahirnya keputusan suatu hukum hingga pembahasan
tentang konteks kesejarahan yang mengantarkan pembentukan dan gambaran
maksud dari wahyu itu sendiri.
Bab ketiga menguraikan tentang penetapan sahih atau tidaknya suatu
hadis, dalam hal ini status kesahihan hadis hammî. Lazimnya, dalam
tindakan ilmiah untuk mendapatkan dan menetapkan sahih atau tidaknya
suatu hadis atau riwayat, upaya yang dilakukan adalah takhrîj al-hadîts,
penulis akan berupaya sesuai dengan prosedur atau pun langkah-langkah
dalam pen-takhrîj-an yang selanjutnya akan didapatkan jenis atau pun
kategorisasi hadis-hadis hammî tersebut ; kesamaan lafaẓ atau memang isi
matan yang memang berbeda dalam persoalan yang sedang dibicarakan (oleh
Nabi saw).
Bab keempat merupakan bab inti dari penelitian ini yang membahas
tentang implikasi-implikasi atau dampak dari keinginan-keinginan nabi saw
yang tidak terealisasi terhadap otoritas hadis sebagai sumber ajaran Islam.
Baik dalam ranah teologis maupun interrelasi antara keinginan nabi dan
pembentukan hukum, serta kehidupan sosial lainnya dalam perkembangan
pemahaman pemikiran dalam Islam serta diuraikan di dalamnya seputar
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 22 ]
analisa tentang sikap para ulama dalam mencari solusi menyikapi kontradiksi
di dalamnya. Selanjutnya, dalam pembahasan ini penulis menganalisa
berbagai pemahaman yang dikemukakan para ulama, yang selanjutnya
mencari dan menemukan titik temu atau „benang merah‟ antara redaksi hadis
dengan pemahaman-pemahaman para ulama tersebut.
Bab kelima adalah penutup. Bab ini merupakan kesimpulan dari
penelitian tesis ini sebagai satu kesatuan suatu jawaban atas perumusan
masalah dan hasil deskripsi serta pembahasan yang telah dilakukan pada
bab-bab sebelumnya, di samping saran-saran serta kritik konstruktif untuk
melengkapi keterbatasan dalam pembahasan di atas.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 23 ]
Bab Dua
HADIS HAMMÎ : ANTARA PAHAM ‘IṢMAH
DAN KEHUJJAHANNYA
A. Penggunaan Terminologi Hadîts Hammî
Terminologi ini terdiri dari dua kata, yaitu hadîts dan hammî. Kata
hadîts atau al-hadîts adalah bentuk tunggal dari kata al-ahâdîts menurut
bahasa berarti : baru (al-jadîd), kebalikan dari arti: lama (ḍidd al-qadîm),
berita (al-khabar), ucapan (al-kalâm), baik ucapan yang sedikit atau pun
banyak.1 Sedangkan menurut istilah sebagaimana telah disinggung pada bab
sebelumnya, hadîts adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi saw,
baik berupa perkataan (qauliyyah), perbuatan (fi’liyyah), ketetapan
(taqrîriyyah), tabiat-perangai, fisik (khalqiyyah), budi pekerti, akhlak
(khuluqiyyah), perjalanan hidup (biografi), baik yang terjadi sebelum
diangkatnya nabi Muhammad saw menjadi nabi (seperti ber-tahannuts,
beribadah di gua Hirâ’) maupun setelah diangkat menjadi seorang rasûl.2
Definisi ini dinilai penulis lebih representative, dengan cakupan yang lebih
luas sebab sesuai dengan tema penelitian yang akan diangkat selanjutnya.
Sedangkan kata hamm ( ), secara bahasa (etimologi) adalah bentuk
maṣdar (noun) yang berasal dari akar kata hamma-yahummu-hamman
(hamm), atau al-hamm dan al-himm, yang memiliki arti : tujuan, maksud,
niat dan cita-cita, keinginan (al-‘azm wa al-hawâ), ‘azm/’azam (keinginan
yang kuat),3 cemas, khawatir, sedih, duka, gelisah yang terjadi dalam jiwa,
termasuk rasa sakit pada fisiknya, kurus, disebabkan kesedihan yang
berlarut-larut.4 Menurut ahli bahasa, al-Jurjânî (w. 816 H = 1413 M),
1Muhammad Ṭâhir al-Jawâbi, Juhûd al-Muhadditsîn fî Naqd Matn al-Hadîts al-
Nabawî al-Syarîf, (Tunis : Mu‟assasah „Abd al-Karîm bin „Abdullâh, 1986), hal. 59 2Muhammad Ṭâhir al-Jawâbi, Juhûd al-Muhadditsîn fî Naqd Matn al-Hadîts al-
Nabawî al-Syarîf, hal. 59 3Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
taṣhîh : KH. Ali Ma‟shum dan KH. Zainal Abidin Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progresif,
2014), hal. 1519 4Majd al-Dîn Muhammad bin Ya‟qûb al-Fairûz Âbâdî, Qâmûs al-Muhîṭ,
(Damaskus : Mu‟assasah al-Risâlah),1998, hal, 1171
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 24 ]
memahami makna al-hamm sebagai suatu penetapan hati (‘aqd al-qalb)
untuk melakukan sesuatu (perbuatan) sebelum munculnya tindakan nyata,
baik menghasilkan kebaikan maupun keburukan.5 Sedangkan kata al-himm
adalah tertujunya hati dan keinginan yang keluar darinya -melalui kekuatan
rûhâniyyah- menuju sisi kebenaran untuk menghasilkan kesempurnaan atau
selain hal itu.6
Ahli bahasa lainnya, seperti al-Tahânuwî menjelaskan, kata al-hamm,
dengan dibaca fathah atau pun kasrah pada huruf ha’-nya (al-hamm/al-
himm) memiliki arti : tujuan, maksud atau keinginan untuk mewujudkan atau
tidak terhadap sesuatu hal, baik sesuatu itu (berimplikasi) mulia atau
sebaliknya. Menurutnya, Penggunaan kata al-hamm, di kalangan sufi kata
tersebut biasanya digunakan untuk pengertian: perolehan, pencapaian
martabat yang tinggi (terhormat), meskipun juga terkadang digunakan untuk
menetapkan suatu maksud atau pun perolehan dan pencapaian itu sendiri.7
Namun, al-himm (dengan kasrah pada huruf ha’-nya) berarti suatu keinginan
atau cita-cita yang cenderung untuk direalisasikan (li yuf’ala), demikian al-
Fairûz Âbâdî menjelaskan.8
Lebih lanjut, al-Tahânuwî menjelaskan bahwa hamm ini berbeda
dengan pengertian dari kata al-himmah, yang lebih cenderung kepada sikap
angkuh (kibr). Sebenarnya al-hamm ini bersifat mulia, yang secara kodrati
telah disemayamkan oleh Allah SWT pada setiap insan manusia, yang bisa
menempati sisi, tempat manapun dalam diri seseorang. Ada dua pertanda
untuk mengenali hamm ini, pertama, bersifat aktual, seketika itu (hâliyyah),
yaitu kepastian keyakinan yang (ditentukan) dengan berhasilnya sesuatu
yang menjadi tujuan. Kedua, bersifat fi’liyyah, yaitu jika gerakan-gerakan
5„Alî bin Muhammad al-Sayyid al-Syarîf al-Jurjânî (w. 816 H = 1413 M), Mu’jam
al-Ta’rîfât, Qâmûs li Muṣṭalâhât wa Ta’rîfât ‘Ilm al-Fiqh wa al-Lughah wa al-Falsafah wa
al-Manṭiq wa al-Taṣawwuf wa al-Nahw wa al-Ṣarf wa al-‘Arûḍ wa al-Balâghah, tahqîq :
Muhammad Ṣiddîq al-Minsyâwî, (Kairo : Dâr al-Faḍîlah, tth), hal. 215 6„Alî bin Muhammad al-Sayyid al-Syarîf al-Jurjânî (w. 816 H = 1413 M), Mu’jam
al-Ta’rifât, Qômûs li Muṣṭalahât wa Ta’rîfât ‘Ilm al-Fiqh wa al-Lughah wa al-Falsafah wa
al-Manṭiq wa al-Taṣawwuf wa al-Nahw wa al-Ṣarf wa al-‘Arûḍ wa al-Balâghah, hal. 216 7Muhammad „Alî al-Tahânuwî, Mausû’ah Kasysyâf Iṣṭilâhât al-Funûn wa al-
‘Ulûm, (Beirût : Maktabah Lubnân Nâsyirûn, 1996), cetakan ke-1, hal. 1744 8Majd al-Dîn Muhammad bin Ya‟qûb al-Fairuz Âbâdî, Qamûs al-Muhîṭ, hal, 1171
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 25 ]
(aktifitas) yang beriringan bersama-sama dengan adanya rasa ketenangan
(sebelum aktualisasi), bisa dirasakan sesuai dengan apa yang menjadi
maksud dan tujuannya. Jika yang terjadi tidak demikian atau sebaliknya,
maka cita-cita dan keinginan tersebut merupakan cita-cita yang dusta,
harapan palsu (âmâl kâdzibah).9
Al-„Askarî menyebutkan ada beberapa varian kata yang semakna
(yang bermakna : keinginan) dengan hamm, namun memiliki karakteristik
dan penggunaan yang berbeda, adalah sebagai berikut:
Pertama, al-‘azm (اؼي), yakni keinginan secara umum, yang terjadi
dalam setiap perbuatan, pekerjaan (fi’l) yang khusus bagi setia manusia.
Kedua, al-zimâ’ (ايبع), yaitu keinginan yang dikhususkan untuk aktifitas
perjalanan (safar), seperti contoh ungkapan: ؼذ ا ٤و أى , (aku hendak
bepergian). Ketiga, al-irâdah (االهاكح) terjadi pada ucapan dan perbuatan (al-
qaul wa al-fi’l). Keempat, al-tayammum (از٤) berasal dari term al-
ta’ammum (ازؤ) yang berarti menuju kepada sesuatu yang berada di
hadapannya. Kelima, al-taharrî (ازؾو), yaitu keinginan untuk menempati
(tinggal) di suatu tempat. Keinginan ini disertai dengan suatu keyakinan
(kepastian), maka jika keinginan itu tidak sesuai, tidak bisa disebut dengan
al-taharrî. Keenam, al-qaṣd (اول) adalah keinginan atau maksud yang
dikhususkan pada perbuatan seseorang tanpa tercampur (intervensi) oleh
orang lain ; dan dilakukan secara berkesinambungan (istiqâmah). Ketujuh,
al-hard (اؾوك) yang bermakna keinginan (yang tertuju) dari jarak jauh atau
asing.10
Menurut al-„Askarî, makna kata al-hamm sendiri adalah keinginan
yang muncul setelah ‘azm.
Ibn Hajar al-Haitamî (909 – 974 H) memahami kata hamm,
sebagaimana juga terjadi pada diri nabi Yûsuf, as dalam surah Yusuf: 24,
sebagai berikut:
ۦ ذ ث مذ ء ٱغ ه ظشف ع سثۦ وز ءا ثش ل أ س ب ث
خظ١ عجبدب ٱ ۥ فذشبء إ ٱ
9Muhammad „Alî al-Tahânuwî, Mausû’ah Kasysyâf Iṣṭilâhât al-Funûn wa al-
‘Ulûm, hal. 1744 10
Abî Hilâl al-„Askarî, al-Furûq al-Lughawiyyah, tahqîq : Muhammad Ibrâhîm
Salîm, (Kâiro : Dâr al-„Ilm wa al-Tsaqâfah, tth.) , hal. 125-127
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 26 ]
Artinya: “Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan
perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan
pula) dengan wanita itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari)
Tuhannya. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya
kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk
hamba-hamba Kami yang terpilih”.
Menurutnya, sebenarnya nabi Yûsuf, as pun memiliki keinginan
(hasrat) yang sama dengan wanita yang disebutkan dalam ayat tersebut,
namun urung ditunaikan sebab adanya al-burhân11
yang tiba-tiba muncul
dari Tuhannya. Maka hamm yang terjadi pada diri nabi Yûsuf, as termasuk
ke dalam kategori „bisikan hati‟ (hadîs al-nafs) yang dimaafkan.12
Ibn al-Atsîr (544 – 606 H) menjelaskan dalam sebuah ungkapan yang
menunjukkan sindiran terhadap kelambanan, dinyatakan bahwa disebut
hamm jika telah menjadi keinginan yang kuat (‘azm):
بػ ش فبه ١ش ش ش ا
11
Maksud al-burhân di sini dipahami oleh Abu Hayyân sebagai suatu hal yang
sengaja didatangkan oleh Allâh SWT berupa pemberitahuan (pengetahuan, al-‘ilm) tentang
hal yang sudah ditetapkan keharamannya oleh-Nya. Menurut Ibnu „Abbâs r.a, sebagaimana
dikutip oleh al-Imâm Jalâl al-Din al-Suyuṭî bahwa pada saat yang kritis itu tiba-tiba Nabi
Ya‟qûb, as (ayahnya) tampak di hadapan Yûsuf, lalu memukul dadanya sehingga keluarlah
nafsu syahwat yang telah membara itu dari semua ujung-ujung jarinya. Disebutkan dalam
sebuah riwayat dari Qatâdah dan diakui oleh mayoritas ulama ahli tafsir, sebagaimana
dikutip Al-Jamal (w. 1204 H), menyatakan bahwa nabi Yûsuf, as melihat ayahnya, Ya‟qûb,
as, dan mengatakan : „Wahai Yûsuf, apakah engkau akan melakukan seperti perbuatan
orang-orang bodoh (al-sufahâ’), sedangkan engkau telah ditetapkan (maktûb) sebagai salah
satu nabi Allâh SWT”. Munculnya al-burhân tersebut sebagai tanda kemaksuman seorang
nabi yang diberikan oleh Allah SWT. Dengan ungkapan lain, jikalau bukan karena Allah
SWT memeliharamu (‘aṣamaka), niscaya engkau akan terjerumus ke dalam perbuatan
maksiat itu. Demikian tulis pendapat mayoritas ahli tafsîr. Lihat lebih jauh, Abû Hayyân
Muhammad bin Yûsuf bin Alî al-Andalûsi, Tafsîr al-Bahr al-Muhîṭ, tahqîq : al-Syeikh „Âdil
Ahmad Abd al-Maujûd dan al-Syeikh „Alî Muhammad Ma‟ûḍ, (Beirut : Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyyah, 1413 H/1993 M), cetakan ke-1, juz ke-5, hal. 294-295. Lihat juga, Sulaimân bin
„Umar al-„Ajîlî al-Syâfi‟î al-Syahîr bi al-Jamal, al-Futûhât al-Ilâhiyyah bi Tawḍîh Tafsîr al-
Jalâlain li al-Daqâ’iq al-Khafiyyah wa bi al-Hâmisy Kitâb Imlâ’ Mâ Manna bihi al-Rahmân
Min Wujûh al-I’râb wa al-Qirâ’ât Fî Jamî’ al-Qur’ân li Abî al-Biqâ’ Abdillâh bin al-Husain
al-‘Akbarî, (Mesir : „Îsâ al-Bâb al-Halabî wa Syirkâh, tth.), jilid ke-2, hal. 445. 12
Syihâb al-Dîn Ahmad bin Muhammad bin „Alî bin Hajar al-Haitamî al-Syâfi‟î, al-
Fath al-Mubîn bi Syarh al-Arba’în, (Beirut : Dâr al-Minhâj, 1428 H/2008 M), cetakan ke-1,
hal. 592-593
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 27 ]
Artinya: “Bergegaslah, karena sebenarnya engkau adalah orang yang
sangat bersemangat, juga yang lebih dahulu berkeinginan”.
Ibn al-Atsîr melanjutkan bahwa yang dimaksud syair tersebut adalah:
„Jika engkau telah yakin dengan suatu hal, maka bergegaslah (untuk
menyelesaikannya)‟.13
Dengan ungkapan lain, pada dasarnya al-hamm
sangat sulit untuk direalisasikan. Oleh sebab itu, al-himm, menurut Ibn al-
Atsîr diartikan sebagai orang yang lemah sebab umur, yakni orang tua yang
lemah, sesuai dengan pemahamannya dari sebuah riwayat bahwa Nabi saw
yang memerintahkan kepada pasukannya untuk tidak memerangi orang-
orang yang sudah lemah dan kaum perempuan.14
Orang lemah di sini
menggunakan kata al-himm, termasuk di dalamnya mengandung arti orang-
orang tua renta.
Dalam al-Mu’jam al-Wasîṭ disebutkan, kata al-hamm memiliki
makna: keinginan yang kuat untuk menunaikan, namun urung
merealisasikan. Kata ini juga memiliki makna tuntutan (ṭalab) dalam hati
yang berisi siasat (ihtâla) yang bisa terjadi dalam setiap diri seseorang.15
Ada
juga yang memahaminya dengan bisikan, ambisi.16
Dengan ungkapan lain,
kata tersebut bisa berarti suatu keinginan, rencana yang sudah disusun dan
terencana dengan berbagai pertimbangan, meskipun batal dalam realisasinya.
Penelusuran terhadap penggunaan kata hamm, selanjutnya diperluas
cakupannya dalam bahasa asing lainnya (Inggris), penulis temukan ketika
13
Majd al-Dîn Abî al-Sa‟âdât al-Mubârak bin Muhammad al-Jazarî bin al-Atsîr, al-
Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Âtsâr, tahqîq : Ṭâhir Ahmad al-Zâwî dan Mahmûd
Muhammad al-Ṭanâhî, (Riyâḍ : al-Maktabah al-Islâmiyyah), juz ke-5, hal. 274. 14
Majd al-Dîn Abî al-Sa‟âdât al-Mubârak bin Muhammad al-Jazarî bin al-Atsîr, al-
Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Âtsâr, hal. 275 15
Ibrâhîm Unais dan kawan-kawan, al-Mu’jam al-Wasîṭ, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth.),
juz ke-2, hal. 995 16
Tidak sedikit yang salah memahami, atau bahkan tertukar, antara obsesi dan
ambisi. Padahal kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda, di samping
persamaan dari sisi kemunculannya, yaitu kemauan atau keinginan seseorang. Obsesi adalah
keinginan yang cenderung besar bahkan sering tidak terkendali dan terkesan memaksa untuk
meraih keinginan yang dituju. Lain halnya dengan ambisi, yang dipahami sebagai keinginan
yang besar dan kuat dalam meraih kesuksesan. Dengan demikian, perbedaan fundamental
kedua keinginan tersebut adalah pada sisi negatif atau positif. Ambisi cenderung bersifat
positif, sebaliknya obsesi lebih kepada arah negatif. Lihat, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1988), hal. 27-28, dan hal. 623
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 28 ]
mengamati hasil terjemahan dari salah satu hadis yang dijadikan sebagai
bagian dalam penelitian di sini.
Potongan dalam sebuah matan hadis disebutkan: ش ا ذ ا مذ
di sini diterjemahkan dengan: “...I was about toorder for collecting ,ثذطت...
firewood (fuel)...”.17
Be about to merupakan frase yang digunakan untuk
membicarakan hal-hal yang akan terjadi atau bisa juga dilakukan dengan
sangat segera, tergantung pada pelaksanaan atau tidak, dan bermakna:
memiliki tujuan (to be about). Di samping itu, ia memiliki makna seperti:
1. „Hampir’, atau baru saja hendak, seperti contoh: „Nina was about to eat
her friend’s cake (Nina hampir memakan kue temannya).
2. Pada saat past tense, mengarah kepada hal-hal yang akan terjadi namun
pada akhirnya tidak terjadi, tidak terwujud ; sering digunakan dengan
adverb of time saja. Contoh :
- I was about to text you back but my battery died, (saya hampir
membalas pesanmu, namun baterai saya habis).
- We were about to leave the coffee shop when he arrived (Kami hampir
meninggalkan kedai kopi ketika dia tiba).
- I’m just about to go for lunch, I will call you later. (Saya akan segera
pergi untuk makan siang, saya akan menghubungimu nanti).18
Dengan demikian, penggunaan kata dalam bahasa Inggris tersebut
memiliki beberapa kesamaan di antaranya adalah sejalan dengan makna al-
hamm yang berarti suatu keinginan yang besar kemungkinan tidak adanya
realisasi, sebagaimana menjadi batasan pembahasan penelitian ini, yakni
hadis hammî nabi Muhammad saw yang tidak terealisasi atau tidak terwujud.
Adapun untuk mengetahui terminologi hadis hammî dapat
menggunakan kata kunci hamma ( ) yang dapat ditelusuri dalam kitab-kitab
hadis. Namun untuk memahami terkait hadis-hadis hammî dalam kategori
17
Sahih Bukhari, Call For Prayers, Hadith No. 41,
(www.Qur‟anReading.com,Version 2.6, copyright : 2016-2017) 18
https://www.wordsmile.com. lihat juga, Estiwi Retno Purnaning, dkk, Big Book
TOEFL, Tip & Trik Melejitkan Skor toefl, Jakarta : CMedia Imprint Kawan Pustaka, 2014,
cetakan ke-1, hal.118
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 29 ]
yang tidak terealisasi, penulis mengikuti kategorisasi yang telah disebutkan
di antaranya oleh al-Syaukânî (w.1255 H) dan dinyatakan di antaranya oleh
Muhammad Sulaimân al-Asyqar dan Nabîl Khaḍr, tidak mengharuskan
menggunakan kata kunci hamma ( ), melainkan bisa dengan melihat dari
bukti kesejarahan dan segi makna bahwa redaksi riwayat yang dimaksud
menunjukkan keinginan Nabi saw yang tidak terwujud.19
1. Kedudukan (manzilah) Hamm Dalam Diri Manusia.
Untuk mengetahui eksistensi hamm dalam diri manusia, perlu
disebutkan di sini secara hirarki mengenai pembagian dan tingkatannya
menurut klasifikasi al-Imâm al-Subkî (683 H-756 H),20
sebagai berikut:
a. Al-hâjiz, adalah sesuatu yang terjadi dalam diri seseorang tanpa ada
tujuan atau maksud (al-qaṣd) atau tidak ada kelanjutannya sebab hanya
muncul sekejap atau sekilas saja (wamḍah al-ḍau’), seperti ungkapan:
“٠ و ك٠ ل األ ,yang berarti: „terlintas dalam hatiku‟. Kata ini ,”غ
menurut al-Imâm al-Subkî, dibangun berdasarkan tingkat waktu yang
sangat singkat, yang digambarkan dengan seperti halnya suara samar-
samar yang terdengar namun tidak bisa dipahamiatau perasaan was-
was, sesuatu yang terlintas dalam hati, pikiran atau angan-angan.
b. Al-khâṭir, yaitu sesuatu yang berlangsung dalam hati dengan rasa
kebimbangan, keraguan dan berulang-ulang (taraddud). Perasaan ini
berlangsung lebih lama ketimbang perasaan yang terjadi dalam al-
hâjiz. Kata ini berasal dari ungkapan: “ yakni „unta itu ,”فطو اجؼ٤و ثنج
mengeluarkan suara dengan gerakan ekornya‟ ketika ia bergerak ke
kanan dan ke kiri.
c. Hadîts al-nafs, yaitu ungkapan hati yang hendak dimanifestasikan ke
dalam suatu perbuatan, juga berkeinginan untuk tidak mengerjakan
(tidak ingin mewujudkanya). Keadaan ini disebabkan karena adanya
19
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al- Syar’iyyah, (Beirut : al-Risâlah, 1424 H/2003 M), cetakan ke-6, juz ke-2, hal.
132-133. Lihat juga, Blog.Nabîl Hâmid Khaḍr, 27 Juni 2009 M/4 Rajab 1430 H. 20
Nama lengkapnya adalah al-Imâm Abû al-Hasan „Alî bin „Abd al-Kâfî bin „Alî
bin Tamâm bin Yûsuf bin Mûsâ bin Tamâm bin Hâmid bin Yahyâ bin „Umar bin „Utsmân
bin „Alî bin Miswâr bin Sawâr bin Salîm al-Khazrajî al-Anṣârî, Taqî al-Dîn al-Subkî al-
Kabîr.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 30 ]
dua pilhan yang hampir sama dan bersamaan, sehingga terjadi
beberapa pertimbangan di dalamnya.
d. Al-hamm, adalah keinginan untuk memilih antara dua hal yang harus
dikerjakan, atau justru ditinggalkan, seperti sebuah ungkapan:
ػ٤ و٠ ث٤ ا اما ػي اهت عبجب*٤ و اؼ م ت ػ
“Tatkala dia meghendaki (sesuatu), muncul di hadapannya kemauan
yang kuat, lalu kami memperingatkan dengan berbagai konsekuensi yang
akan dialaminya”.
Jadi, hamm itu terjadi sebelum ungkapan „azm, lalu akan
menyesuaikan suatu hal lain yang muncul dalam hati tentang pertimbangan
penting untuk meninggalkannya, yang pada akhirnya menghasilkan kemauan
yang kuat (yaitu al-„azm).
5. Al-‘azm, adalah kuatnya keinginan untuk berbuat atau sebaliknya,
yakni untuk meninggalkan. Hal tersebut terjadi setelah adanya rasa
kebimbangan yang telah berakhir, kemudian tidak ada lagi keinginan
yang lain kecuali (yang ada) tinggal kecenderungan dan kemungkinan
yang tepat. Pengertian kata ini sebagaimana termaktub dalam firman
Allah SWT:
ه د ا ت لفؼ م وذ فظب غ١ظ ٱ ذ ٱلل خ ب سد فج
ع و ذ فز ش فئرا عض ف ٱل س شب ٱعزغفش فٱعف ع ٱلل إ ٱلل
١ و ز ٠ذت ٱ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya”. (QS. Âlu 'Imrân/3:159).
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 31 ]
Dalam hal ini, al-Laits mengatakan bahwa al-‘azm adalah sesuatu
perkara yang telah dikukuhkan bahwa orang tersebut (yang ber‟azam) adalah
pelakunya.21
Dengan demikian, al-‘azm bisa dipahami dengan suatu keputusan
kehendak (irâdah) setelah mengalami ketidakpastian atau kebimbangan dari
berbagai pertimbangan nalar dan lain sebagainya. Oleh karena itu, ‘azm
dinilai oleh sebagian ahli, sebagaimana ditegaskan oleh Sulaiman al-Asyqar,
menempati lebih dahulu dari sebuah tindakan ; dan terjadi sebelum „azm.22
2. Riwayat Hadis-hadis Hammî Dalam Kutub al-Sittah
Sebagaimana telah disinggung pada pembahasan sebelumnya,
riwayat-riwayat hadis hammî adalah terkait keinginan atau rencana yang
akan dilakukan oleh Rasûlullâh saw, namun tidak diteruskan atau tidak
direalisasikan oleh beliau saw. Para ulama menyebutnya dengan „riwâyah
hamm al-Nabî saw al-syai’a wa lam yaf’alhu‟.23
Riwayat-riwayat tersebut
21
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al- Syar’iyyah, juz ke-2, hal. 131-132 22
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al- Syar’iyyah, juz ke-2, hal. 136 23
Dalam beberapa riwayat yang teridentifikasi, lalu dilakukan perbandingan redaksi
yang satu dengan yang lain, ditemukan penggunaan kata kunci hamm, yang secara tidak
konsisten disebut di tempat lain dengan kata kunci arâda. Perbedaan tersebut menunjukkan
bahwa yang dimaksud dengan keinginan (hamm) adalah berbeda dengan term arâda, yakni
term arâda memberikan pengertian sesuatu keinginan yang terealisasi atau terlaksana,
berbeda dengan term hamm. Terlebih, penulis mengkhususkan kepada pelaku tertentu, yaitu
Nabi saw. Selanjutnya, penulis mendalami maksud dari materi hadis tidak memberikan
kesan pada makna hamm Nabi saw yang tidak terealisasi, misalnya :
بد و ؽ زجزب ػ ب ، ػ خ ، كب زجزب ؽ ب ، ٣ؼ خ ػجل١ ثؾ اما اما ؼق ، بئخ جغ ا٠
اؽلح ٤ئخ زجزب ب ، ػ ،كب زجب ػ٤ أ ب ، ٣ؼ ٤ئخ ث
٤ئخ ػجل١ اما زجب ث كالر ػ٤ كب اما ٤ئخ زجب ب كب ػ خ ك ب ثؾ ك ٣ؼ خ كب زجبؽ ب ب ػ
وا زجبػ كب
Ini adalah dua riwayat Abû Hurairah dalam Ṣâhîh Muslim. Jika kita bandingkan
satu per satu, maka akan terlihat masing-masing memiliki versi redaksi atau lafaẓ yang
variatif. Versi Imâm Mâlik (w. 95) mendahulukan „idzâ hamma ‘abdî bi sayyi’ah...‟.
Demikian halnya dengan riwayat lain yang ditemukan dengan penggunaan kata kunci yang
berbeda pula, yakni bisa kita temukan dengan periwayat yang sama, yakni Abû Hurairah
dalam Ṣahîh Ibn Hibbân, bab : tâbi’ kitâb al-birr wa al-ihsân..dan bâb : mâ jâ’a fî al-ṭâ’ât
wa tsawâbihâ.... dan Ṣahîh al-Bukhârî, no.7501, bâb : qaul Allâh ‘yurîdûna an yubaddilû...,
yang menggunakan redaksi : „idzâ arâda ‘abdî an ya’mala sayyi’ah....‟ :
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 32 ]
tersebar dalam kitab-kitab induk hadis, berikut penulis informasikan
berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan, sebagai berikut:
A. Riwayat tentang Rasûl saw berniat menjatuhkan diri dari ketinggian
puncak gunung, terdeteksi hanya sekali disebutkan dalam Ṣahîh al-Bukhârî,
kitâb al-ta’bîr (91), bâb awwal mâ budi’a bihi Rasûlullâh saw min al-wahy
al-ru’yâ al-ṣâlihah (1), no. 6982, dengan melalui dua jalur: pertama,
(haddatsanâ) Yahyâ bin Bukair, (haddatsanâ) al-Laits, (‘an) „Uqail, (‘an)
Ibn Syihâb. Jalur kedua, (haddatsanî) „Abdullâh bin Muhammad,
(haddatsanâ) „Abd al-Razzâq, (haddatsanâ) Ma‟mar. Al-Zuhrî berkata
(qâla) bahwa ia menerima informasi (akhbaranî) dari „Urwah, (‘an)
„Âisyah.24
Riwayat dengan lafaẓ: “...menjatuhkan diri dari ketinggian
puncak gunung...”, tidak terdapat dalam kitab-kitab selain Ṣahîh al-Bukhârî
dalam cakupan Kutub al-Sittah, yang akan disinggung pada bab setelah
bagian ini.
B. Riwayat tentang Rasûl saw berencana membakar rumah-rumah
penduduk yang tidak mengikuti ṣalat berjamâ’ah, terdeteksi dalam:
1. Ṣahîh al-Bukhârî merekam riwayat tersebut di empat tempat,
yaitu: pertama, kitab al-adzân (10), bab wujûb ṣalâh al-jamâ’ah (29), no.
644, dengan jalur dari (akhbaranâ) „Abdullâh bin Yûsuf, dari (‘an) Mâlik,
dari (‘an) Abû al-Zinnâd, dari al-A‟râj, dari (‘an) Abû Hurairah. Makna
redaksi menunjukkan pengertian tentang perintah Nabi saw untuk
mengumandangkan adzan, lalu mengutus salah satu jama‟ah untuk menjadi
imam, sedangkan beliau saw sendiri bermaksud mendatangi dan membakar
ك ب ػ ب ك ب ؼ ٣ ٠ز ؽ ٤ ػ ب ج ز ر ال ك خ ئ ٤ ؼ ٣ أ ١ل ج ػ اك ه أ ام ا هللا و ٣ ب و ر ا ب ض ث ب ج ز ب
ك ٢ ع أ ك ب ؼ ٣ ك خ ؽ ٣ؼ أ اك ه أ ام ا خ ؽ بج ز ب ك ب ػ ب ك خ ؽ بج ز ب ٠ ا ب ب ض أ و ؼ ث بج ز ب
ق ؼ خ بئ ؼ ج
Lihat, Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Ṣahîh Muslim,
tahqiq : Muhammad Fuâd Abd al-Bâqî, (Mesir : Dâr Ihyâ‟ al-Kutub al-„Arabiyyah, 1374
H/1954 M), juz ke-1, hal. 117-118. Lihat juga, al-Imâm Muhammad bin Hibbân Abû Hâtim
al-Tamîmî al-Bustî al-Sijistânî, Ṣâhîh Ibn Hibbân, juz ke-2, hal. 97, 105, dan 205. Lihat
juga, Abî„Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh al-
Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, tahqîq : Muhîb al-Dîn al-
Khaṭîb, (Kairo : al Salafiyyah, 1400 H), cetakan ke-1, juz ke-4, hal. 403 24
Abî„Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-4, hal. 295-296
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 33 ]
rumah-rumah orang yang tidak mendatangi jamâ‟ah ṣalat isyâ‟ dengan
membandingkan keutamaannya seperti daging yang masih menempel pada
tulang-tulang kambing.25
Kedua, kitâb al-adzân (10), bâb faḍl ṣalâh al-‘isyâ’ fi al-jamâ’ah
(34), no. 657, dengan jalur dari (haddatsanâ) „Umar bin Hafṣ, (haddatsanâ)
Abî, (haddatsanâ) al-A‟masy, (haddatsanî) Abû Ṣâlih, (‘an) Abî Hurairah.
Makna redaksi menunjukkan pengertian tentang hal terberat bagi orang
munafik untuk melakukan ṣalâh isyâ‟ dan subuh berjama‟ah, dan Nabi saw
akan membakar rumah-rumah mereka yang tidak mengikuti jama‟ah.26
Ketiga, kitâb al-khuṣûmât (44), bâb ikhrâj ahl al-ma’âṣî wa al-
khuṣûm min al-buyût ba’da al-ma’rifah (5), no. 2420, dengan jalur:
(haddatsanâ) Muhammad bin Basysyâr, (haddatsanâ) Muhammad bin Abû
„Adî, (‘an) Syu‟bah, (‘an) Sa‟d bin Ibrâhîm, (‘an) Humaid bin „Abd al-
Rahmân, (‘an) Abî Hurairah. Makna redaksi menunjukkan pengertian
tentang keinginan Nabi saw berjama‟ah dalam pelaksanaan salat, lalu beliau
akan menginspeksi ke rumah-rumah orang yang tidak menghadirinya, lalu
membakarnya.27
Keempat, kitâb ahkâm (93), bâb ikhrâj al-khuṣûm wa ahl al-riyâb
min al-buyût ba’da al-ma’rifah (52), no. 7224, dengan jalur: (haddatsanâ)
Ismâ‟îl, (haddatsanî) Mâlik, (‘an) Abî al-Zinnâd, (‘an) al-A‟raj, (‘an) Abî
Hurairah. Makna redaksi menunjukkan pengertian yang hampir sama dengan
bagian pertama tersebut di atas, dengan sedikit perbedaan makna redaksi
ucapan Nabi saw: „Seandainya seorang munafik mengetahui bahwa di masjid
ada daging-daging kecil yang masih menempel di tulang (‘arqan samînan)
atau kikil kambing yang sangat bagus (mirmatain hasatain), niscaya ia akan
datang untuk salat isyâ‟ berjama‟ah‟.28
25
Abî„Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-1, hal. 215-216 26
Abî„Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-1, hal. 218 27
Abî„Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-2, hal. 181-182 28
Abî„Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-4, hal. 347
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 34 ]
2. Ṣahîh Muslim merekam riwayat tersebut di lima tempat, yaitu:
dalam kitâb dan bâb yang sama, yaitu: kitâb al-masâjid wa mawâḍi’ al-ṣalâh
(al-mu‟jam 5), (al-mu‟jam 42) bâb faḍl ṣalâh al-jamâ’ah wa bayân al-
tasydîd fî al-takhalluf ‘anhâ wa annahâ farḍ kifâyah (al-tuhfah 95), sebagai
berikut:
Pertama, hadis no. [1481] 251-(651), dengan jalur (haddatsanî) „Amr
al-Nâqid, (haddatsanâ) Sufyân bin „Uyainah, („an) Abi al-Zinnâd, (‘an) al-
A‟raj, (‘an) Abî Hurairah. Makna redaksi menunjukkan pengertian tentang
Rasûlullâh saw merasa kehilangan beberapa kali dalam jama‟ah ṣalat.
Mereka yang dimaksud adalah orang-orang munafik, lalu ingin membakar
rumah mereka yang tidak mengikuti jama‟ah29
Kedua, hadis no. [1482] 252-(…), dengan dua jalur:
1. (haddatsana) Ibn Numair, (haddatsana) Abî, (haddatsana) al-
A‟masy, (‘an) Abî Ṣâlih, (‘an) Abî Hurairah.30
2. (haddatsana) Abu Bakr bin Abî Syaibah dan Abu Kuraib,
(haddatsana) Abu Mu‟âwiyyah, (‘an) al-A‟masy, (‘an) Abî Ṣâlih,
(‘an) Abi Hurairah. Kedua jalur tersebut, makna redaksinya
menunjukkan pengertian tentang salat yang paling sulit dikerjakan
orang munafik (yakni ṣalât isyâ‟ dan subuh), lalu membakar
rumah orang-orang yang tidak menyaksikan (lâ yasyhadûn)
jama‟ah.31
Ketiga, hadis no. [1483] 253-(…), dengan jalur: (haddatsanâ)
Muhammad bin Rafî‟, (haddatsanâ) „Abd al-Razzâq, (haddatsanâ) Ma‟mar,
(‘an) Hammâm bin Munabbih, (haddatsanâ) Abû Hurairah, makna redaksi
menunjukkan pengertian tentang membakar rumah orang-orang yang tidak
mengikuti jama‟ah, meski tanpa menggunakan ungkapan „yatakhallafûn‟.32
29
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-1, hal. 451 30
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-1, hal. 451-452 31
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-1, hal. 451-452 32
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-1, hal. 452
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 35 ]
Keempat, hadis no. [1484] (…), dengan jalur : (haddatsanâ) Zuhair
bin Harb dan Abû Kuraib dan Ishâq bin Ibrâhîm, (‘an) Wakî‟, (‘an) Ja‟far
bin Burqân, (‘an) Yazîd bin al-Aṣamm, (‘an) Abî Hurairah, lafaẓ hadis sama
seperti no [1483].33
Kelima, hadis no. [1485] 254-(652), dengan jalur: (haddatsanâ)
Ahmad bin Abdillâh bin Yûnus, (haddatsanâ) Zuhair, (haddatsanâ) Abu
Ishâq, (‘an) Abi al-Ahwaṣ, (sami’ahu minhu ‘an) Abdillah. Lafaẓ hadis
menunjukkan pengertian: membakar rumah-rumah yang tidak mengikuti
salat Jum‟at (yatakhallafûn ‘an al-jumu’ah).34
3. Sunan Abû Dâwûd merekam riwayat tersebut dua kali di satu
tempat, yaitu : (al-mu’jam 2) kitâb al-ṣalâh (al-tuhfah 2), (al-mu’jam 46) bâb
al-tasydîd fî tark al-jamâ’ah (al-tuhfah 47), no. hadits 548, dengan jalur:
(haddatsanâ) „Utsman bin Abi Syaibah, (haddatsanâ) Abû Mu‟âwiyah, (‘an)
al-A‟masy, (‘an) Abî Ṣâlih, (‘an) Abi Hurairah. Makna redaksi menunjukkan
pengertian bahwa Nabi saw menyuruh (utusan) orang untuk melaksanakan
salat berjama‟ah, lalu beliau mengajak beberapa orang dengan membawa
beberapa ikat kayu bakar, untuk mendatangi kaum yang tidak mengikuti
jama‟ah.35
Hadits no. 549, dengan jalur: (haddatsanâ) al-Nufailî, (haddatsanâ)
Abu al-Malîh, (haddatsanî) Yazîd bin Yazîd, (haddatsanî) Yazîd bin al-
Aṣamm, ia mendengar (sami’a) Abû Hurairah. Makna redaksi menunjukkan
pengertian bahwa Nabi saw memerintahkan bersama beberapa pemuda untuk
mendatangi kaum yang salat di rumah (yuṣallûna fî buyûtihim), tanpa „udzur
(laisat bihim ‘illah), lalu membakar mereka. Dalam riwayat tersebut Yazîd
bin Yazîd meminta penegasan kepada Yazîd bin al-Aṣamm, apakah yang
dimaksud (dalam sabda Nabi saw itu) yang meninggalkan salat Jum‟at atau
juga selainnya. Yazîd bin al-Aṣamm menjawab: “Semoga telingaku tuli jika
aku tidak benar-benar mendengar dari Abû Hurairah yang meriwayatkan
33
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-1, hal. 452 34
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-1, hal. 452 35
Abî Dâwûd Sulaimân bin al-Asy„ats al-Sijistânî (w. 275 H), Sunan Abî Dâwûd,
tahqîq : Muhammad „Abd al-„Azîz al-Khâlidî, (Beirut : Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1416
H/1996 M), juz ke-1 hal. 190
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 36 ]
dari Rasûlullâh saw, bahwa beliau tidak menyebutkan apakah hal itu terkait
salat Jum’at atau selainnya”.36
4. Sunan al-Tirmidzî merekam riwayat tersebut di satu tempat, yaitu
: (al-mu‟jam 2) kitâb al-ṣalâh ‘an Rasûlillâh saw (al-tuhfah 2), bâb mâ jâ’a fî
man sami’a al-nidâ’ falâ yujîb, (al-tuhfah 48), no. 217, dengan jalur:
(haddatsanâ) Hannâd, (haddatsanâ) Wakî‟, (‘an) Ja‟far bin Burqân, (‘an)
Yazîd bin al-Aṣamm, (‘an) Abî Hurairah. Makna redaksi riwayat ini tentang
keinginan Nabi saw untuk mengumpulkan kayu bakar, untuk membakar
rumah-rumah kaum yang tidak menyaksikan (lâ yasyhadûna, melaksanakan)
salat berjama‟ah.37
5. Sunan al-Nasâ’î merekam riwayat tersebut di satu tempat, yaitu:
(al-mu‟jam 2) kitâb al-imâmah, (al-mu‟jam 49) bâb al-tasydîd fî al-takhalluf
‘an al-jamâ’ah (al-tuhfah 241), dengan jalur : (akhbarnâ) Qutaibah, (‘an)
Mâlik, (‘an) Abî al-Zinnâd, (‘an) al-A‟raj, (‘an) Abî Hurairah. Makna
redaksi menunjukkan pengertian tentang perintah Nabi saw untuk
mengumandangkan adzan, lalu mengutus salah satu jama‟ah untuk menjadi
imam, sedangkan beliau saw sendiri bermaksud mendatangi dan membakar
rumah-rumah orang yang tidak mendatangi jama‟ah ṣalât „isyâ‟ dengan
membandingkan keutamaannya seperti daging yang masih menempel pada
tulang-tulang kambing.38
6. Sunan Ibn Mâjah merekam riwayat tersebut di dua tempat, yaitu:
pertama, (al-mu‟jam 3) kitâb al-masâjid wa al-jamâ’ât, (al-tuhfah17) bâb al-
taghlîẓ fi takhalluf ‘an al-jamâ’ah (al-tuhfah 37), no. 791, dengan jalur:
(haddatsanâ) Abû Bakr bin Abî Syaibah, (haddatsanâ) Abû Mu‟âwiyah,
(‘an) al-A‟masy, (‘an) Abi Ṣâlih (‘an) Abi Hurairah. Makna redaksi
menunjukkan pengertian bahwa Nabi saw menyuruh (utusan) orang untuk
melaksanakan ṣalât berjamaah, lalu beliau mengajak beberapa orang dengan
36
Abî Dâwûd Sulaimân bin al-Asy„ats al-Sijistânî (w. 275 H), Sunan Abî Dâwûd,
juz ke-1, hal. 190-191 37
Abî „Îsâ Muhammad bin „Îsâ bin Saurah (209-279 H), al-Jâmi al-Ṣahîh wa Huwa
Sunan al-Tirmidzî, tahqîq : Ahmad Muhammad Syakir, (Mesir : Muṣṭafâ al-Bâbî al-Halabî,
tth.), juz ke-1, hal. 422 38
Abî „Abd al-Rahmân Ahmad bin Syu‟aib bin „Alî Sunan al-Nasâ‟î (215-303 H),
Sunan al-Nasâ’î, ta‟lîq : Muhammad Nâṣir al-Dîn al-Albânî, (Riyâḍ : Maktabah al-Ma‟ârif,
tth.), cetakan ke-1, hal. 140
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 37 ]
membawa beberapa ikat kayu bakar (huzam min haṭab), untuk mendatangi
kaum yang tidak mengikuti jama‟ah.39
Kedua, hadis no. 795, dengan jalur: (haddatsanâ) „Utsmân bin
Ismâ‟îl al-Hudzalî al-Dimasyqî, (haddatsanâ) al-Walîd bin Muslim, (‘an)
Abi Dzi‟b, (‘an) al-Zabriqân bin „Amr al-Ḍamrî, (‘an) Usâmah bin Zaid, ia
berkata (qâla). Dalam jalur ini, redaksi tidak menyebutkan tentang keinginan
Nabi saw, selain ungkapan redaksi : „Sungguh orang-orang yang mencegah
diri dari berjama’ah, atau aku benar-benar akan membakar rumah-rumah
mereka‟.40
C. Riwayat Tentang Rasul Saw Berencana Melaksanakan Puasa Tâsû’â’
Dengan Tujuan Menyelisihi Kaum Yahudi, terdekteksi dalam:
1. Ṣahîh al-Bukhârî tidak merekam riwayat tersebut di tempat atau
bagian mana pun dalam kitab Ṣahîh-nya. Namun al-Bukhârî hanya menyebut
terkait puasa âsyûrâ’ saja, misal sabda Nabi saw ketika tiba di Madinah
bertepatan dengan hari tersebut: “Ini adalah hari âsyûrâ’. Allâh tidak
mewajibkan kepada kalian untuk berpuasa, tetapi hari ini saya sedang
berpuasa. Barang siapa ingin berpuasa pada hari ini, silahkan, dan barang
siapa tidak ingin juga tidak mengapa ”.41
2. Ṣahîh Muslim merekam riwayat tersebut di satu tempat, yakni:
(al-mu‟jam 13) kitâb al-ṣiyâm (al-tuhfah 6) bâb ayyu yaum yuṣâm fî âsyûrâ’,
no. [2666] 133-(1134), dengan jalur, yaitu :(haddatsanâ) al-Hasan bin „Alî
al-Hulwânî, (haddatsanâ) Ibn Abi Maryam, (haddatsanâ) Yahyâ bin Ayyûb,
(haddatsanî) Ismâ‟îl bin Umayyah, ia mendengar (sami’a) Abû Ghaṭafân bin
Ṭarîf al-Murrî, ia mendengar (sami’a) „Abdullâh bin „Abbâs. Makna redaksi
dalam riwayat tersebut tentang Rasûlullâh yang sedang berpuasa âsyûrâ’,
para sahabat menginformasikan kepada beliau bahwa hari ini adalah hari di
mana orang Yahudi dan Nasrani mengagungkannya. Lalu dijawab oleh Rasûl
39
Abi „Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwînî (207-275 H), Sunan Ibn Mâjah,
tahqîq : Muhammad Fuâd „Abd al-Bâqî, (Mesir : Dâr Ihyâ‟ al-Kutub al-„Arabiyyah, tth.), juz
ke-1, hal. 259 40
Abi „Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwînî (207-275 H), Sunan Ibn Mâjah,
juz ke-1, hal. 260 41
Abî „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-2, hal. 58
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 38 ]
saw bahwa tahun depan, beliau akan berpuasa pada hari kesembilannya (al-
tâsi’), in syâ’a Allâh, tanpa ada penjelasan untuk menyelisihi umat Yahudi
atau pun Nasrani42
Hadits no. [2667] 134-(...), dengan jalur: (haddatsanâ) Abû Bakr bin
Abî Syaibah dan Abû Kuraib, keduanya (haddatsanâ) Wakî‟ (‘an) Ibn Abî
Dzi‟b, (‘an) al-Qâsim bin „Abbâs, (‘an) „Abdillâh bin „Umair, (‘an) Abdillâh
bin „Abbâs. Makna redaksinya : „Jika Nabi saw masih menjumpai tahun
berikutnya, beliau akan berpuasa pada hari yang kesembilan (al-tâsi’).43
Muslim memberikan catatan bahwa dalam riwayat tersebut, Abu Bakr
mengatakan bahwa yang dimaksud „hari yang kesembilan (al-tâsi‟) adalah
hari âsyûrâ’. Dalam riwayat ini pun tanpa ada penjelasan untuk menyelisihi
umat Yahudi atau pun Nasrani.44
3. Sunan Abû Dâwûd, merekam riwayat tentang âsyûrâ’ pada no.
hadis (2444), dengan jalur : (haddatsanâ) Ziyâd bin Ayyûb, (haddatsanâ)
Husyaim, (haddatsanâ) Abu Bisyr, (‘an) Sa‟id bin Jubair, (‘an) Ibn „Abbâs.
Makna redaksi terkait alasan dari segi pelaksanaanya adalah sebagai bentuk
penghormatan terhadap nabi Musa, as. (ta’ẓîman lahu), tanpa ada
singgungan terhadap kaum Yahudi.45
Adapun tentang puasa tâsû’â, Abû Dâwûd merekam riwayat dalam
(al-mu‟jam 14) kitâb al-ṣiyâm (al-tuhfah 8), (al-mu‟jam 65) bâb mâ ruwiya
anna âsyûrâ’ al-yaum al-tâsi’ (al-tuhfah 65), no. 2445, dengan jalur:
(haddatsanâ) Sulaimân bin Dâwûd al-Mahrî, (akhbaranâ) Ibn Wahb,
(akhbaranî) Yahyâ bin Ayyûb, ia menyampaikan hadis (haddatsahu)
bahwasanya ia mendengar (sami’a) Abu Ghaṭafân berkata, aku mendengar
(sami’tu) „Abdullâh bin „Abbâs.Makna redaksi hadis secara prinsip sama
42
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-2, hal. 797-798 43
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-2, hal. 798 44
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-2, hal. 798 45
Abî Dâwûd Sulaimân bin al-Asy„ats al-Sijistânî (w. 275 H), Sunan Abî Dâwûd,
juz ke-2 , hal. 196
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 39 ]
persis dengan redaksi dalam Ṣahîh Muslim, no. [2666] 133-(1134), tersebut
di atas.46
No. 2446, memiliki dua jalur, sebagai berikut :
Pertama, (haddatsanâ) Musaddad, (haddatsanâ) Yahyâ, yakni Ibn
Sa‟îd, dari (‘an) Mu‟âwiyah bin Ghallâb.
Kedua, (haddatsanâ) Musaddad, (haddatsanâ) Ismâ‟îl, (akhbaranî)
Hâjib bin „Umar (seluruh maknanya), dari (‘an) al-Hakam bin al-A‟raj. Ia
berkata (qâla) untuk menanyakan perihal puasa âsyûrâ’ kepada Ibn „Abbâs.
Ia menjawab, „jika engkau sudah melihat hilal bulan Muharram, maka
hitunglah. Pada saat memasuki hitungan hari kesembilan (yaum al-tâsi’),
maka berpuasalah. Ia kembali ditanya dan menjawab, „memang demikian
Rasûlullâh melakukannya (berpuasa)‟.47
4. Sunan al-Tirmidzî, merekam riwayat tersebut di satu tempat,
yaitu: (al-mu‟jam 6) kitâb al-ṣiyâm (al-tuhfah 4), (al-mu‟jam 50) bâb ma ja’a
âsyûrâ’ ayyu yaum huwa (al-tuhfah 50), no. 754, dengan jalur (haddatsanâ)
Hannâd dan Abû Kuraib, keduanya berkata: (haddatsanâ) Waki‟, dari (‘an)
Hâjib bin „Umar, dari (‘an) al-Hakam bin al-A‟raj, yang menemui Ibn
„Abbâs yang sedang tidur beralaskan selendangnya di dekat Zam-zam48
,
sebagaimana makna pada Sunan Abî Dâwûd No. 2446 tersebut di atas.
Namun, al-Tirmidzî menambahkan di dalam kitabnya tersebut no.755
berdasarkan riwayat dari Ibn „Abbâs yang menyatakan: “ṣûmû al-tâsi’a wa
al-‘âsyira wa khâlifû al-yahûd”.
5. Sunan al-Nasâ’î, tidak menyinggung sedikitpun tentang riwayat
tersebut (puasa tâsû’â), kecuali singgungan tentang puasa Âsyûrâ’di nomor
2322 dan 2323.49
6. Sunan Ibn Mâjah, merekam riwayat tersebut di satu tempat, yaitu
: (al-mu‟jam 7) kitâb mâ jâ’a fi al-ṣiyâm (al-tuhfah 5), (al-mu‟jam 41) bâb
46
Abî Dâwûd Sulaimân bin al-Asy„ats al-Sijistânî (w. 275 H), Sunan Abî Dâwûd,
juz ke-2 , hal. 196 47
Abî Dâwûd Sulaimân bin al-Asy„ats al-Sijistânî (w. 275 H), Sunan Abî Dâwûd,
juz ke-2 , hal. 196 48
Abî „Îsâ Muhammad bin „Îsâ bin Saurah (209-279 H), al-Jâmi al-Ṣahîh wa Huwa
Sunan al-Tirmidzî, juz ke-3, hal. 119 49
Abî „Abd al-Rahmân Ahmad bin Syu‟aib bin „Alî Sunan al-Nasâ‟î (215-303 H),
Sunan al-Nasâ’î, hal. 363
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 40 ]
ṣiyâm yaum âsyûrâ’ (al-tuhfah 41), no. 1736, dengan jalur : (haddatsanâ)
„Alî bin Muhammad, (haddatsanâ) Wakî‟, (‘an) Ibn Abî Dzi‟b, (‘an) al-
Qâsim bin „Abbâs, (‘an) „Abdillâh bin „Umair maulâ Ibn „Abbâs, (‘an) Ibn
„Abbâs. Dalam riwayat tersebut, Ibn Mâjah menambahkan komentar dari
Abû „Alî, ia berkata: Ahmad bin Yûnus meriwayatkannya (rawâhu) dari
(‘an) Ibn Abî Dzi‟b, ia menambahkan: „Beliau saw khawatir akan
melewatkan hari âsyûrâ’ (makhâfatan an yafûtahu âsyûrâ’).50
Bukan
menggunakan ungkapan „menyelisihi kaum yahudi (yukhâlifu ‘alâ al-
Yahûd).
D. Riwayat Tentang Rasul Saw Berencana Membangun Pintu Kedua
Ka’bah Dari Sisi Yang Lain, terdeteksi dalam:
1. Ṣahîh al-Bukhârî merekam riwayat tersebut di beberapa tempat,
yaitu:
Pertama, kitâb al-‘ilm (3), bâb man taraka ba’ḍa al-ikhtiyâr makhâfata
an yaqṣura fahm ba’ḍ al-nâs ‘anhu fayaqa’û fî asyadd minhu (48), no. 126,
dengan jalur : (haddatsanâ) „Ubaidullâh bin Mûsâ, (‘an) Isrâ‟îl, (‘an) Abî
Ishâq, (‘an) al-Aswad, (qâla lî) Ibn al-Zubair, ia berkata. Makna redaksi
yang disampaikan adalah informasi yang bersumber dari „Âisyah tentang
Nabi saw yang pernah mengucapkan akan merobohkan Ka‟bah dan akan
membuat pintu untuk masuk dan pintu untuk keluar (bâban yadkhulûn al-nâs
wa bâban yakhrujûnah), jika bukan karena sebab masih dekatnya zaman
bagi kaum Quraisy (al-Zubair menyebutkan maksud ‘hadîts ‘ahdihim’:
kekufuran).51
Kedua, kitâb al-hajj (25), bâb faḍl Makkah wa bunyânihâ (42), no.
1585, dengan jalur: (haddatsanâ) „Ubaid bin Ismâ‟îl, (haddatsanâ) Abû
Usâmah, (‘an) Hisyâm, (‘an) Abîhi, (‘an) „Â‟isyah. Dengan redaksi yang
50
Abi „Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwînî (207-275 H), Sunan Ibn Mâjah,
juz ke-, hal. 552 51
Abî „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-1, hal. 64
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 41 ]
berbeda: “..lalu aku akan membangun pintu belakang Ka‟bah (wa ja’altu
lahu khalfan)”.52
Ketiga, hadis no.1586, dengan jalur: (haddatsanâ) Bayân bin „Amr,
(haddatsanâ) Yazîd, (haddatsanâ) Jarîr bin Hâzim, (haddatsana) Yazid bin
Rûmân, (‘an) Urwah, (‘an) ‟Â‟isyah. Dengan redaksi: „dua pintu; pintu
timur dan pintu barat‟ dan alasan al-Zubair merobohkan kembali Ka‟bah .53
Terdapat hadis-hadis terkait tanpa menyebutkan ungkapan: „dua pintu
atau dua sisi‟, no. 1582, 1583, 1584. Kitâb ahâdîts al-anbiyâ’ (60), bâb
yaziffûn (surah al-ṣâffât: 94): al-nasalân fî al-masyi (9), no. 3368.54
Kitâb al-
tafsîr (65), bâb (10) QS. Âlu „Imrân: 127. no. 4484.55
Kitâb al-tamannî (94),
bâb mâ yajûz min al-lau (9), no. 7243.56
2. Ṣahîh Muslim merekam riwayat tersebut di dua tempat, yaitu:
Pertama, (al-mu‟jam 15) kitâb al-hajj (al-tuhfah 7), (al-mu‟jam 69)
bâb naqḍ al-Ka’bah wa binâuhâ (al-tuhfah 69), no. [3244] 401-(…), dengan
jalur : (haddatsanî) Muhammad bin Hâtim, (haddatsanî) Ibn Mahdi,
(haddatsanâ) Sâlim bin Hayyân, (‘an) Sa‟îd (yakni, Ibn Minâ‟), ia berkata:
aku mendengar Abdullâh bin al-Zubair berkata : (haddatsanî) bibinya (yakni
„Â‟isyah). Dengan redaksi : Rasûl saw berkata kepada „Â‟isyah tentang
bangunan yang dibuat lebih kecil dari pondasi sebenarnya (qawâ’id Ibrâhîm)
oleh Quraisy. Lalu beliau ditegaskan kembali oleh „Â‟isyah, dengan berkata:
„Bukannya engkau yang akan mengembalikan ke bentuk semula. Beliau saw
menjawab: „jika bukan karena kaummu yang baru saja meninggalkan
kekufuran (hidtsân qaumik bi al-kufr)…aku jadikan dua pintu, pintu timur
dan pintu barat”.57
52
Abî „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-1, hal. 488 53
Abî „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-1, hal. 489 54
Abî „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih,juz ke-2, hal. 466 55
Abî „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih,juz ke-3, hal. 192-193 56
Abî „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-4, hal. 352 57
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-2, hal. 969-970
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 42 ]
Kedua, hadis no. [3245] 402-(…), dengan jalur : (haddatsana),
Hannâd bin al-Sarî, (haddatsana) Ibn Abi Zâidah, (akhbaranî) Ibn Abi
Sulaimân, (‘an) Aṭâ‟. Dengan redaksi yang sangat panjang tentang Ibn al-
Zubair yang pada awal mula keinginannya yang kuat dan berbagai
pertimbangan serta pandangan dari masyarakat untuk membongkar dan
mengembalikan bangunan Ka‟bah seperti yang diinginkan oleh Rasûlullâh
saw.
Ibn al-Zubair pun membangunnya dengan menambahkan 5 hasta ke
Hijr Isma‟il, ia juga menambahkan 10 hasta panjang Ka‟bah, yang
sebelumnya 18 hasta, kemudian membuka pintu masuk dan pintu keluar.
Namun, ketika ia dibunuh pada masa khalifah Mâlik bin Marwân, Ka‟bah
dibongkar kembali , terutama pada bagian yang ia tambahkan terhadap Hijr
Ismâ‟îl tersebut, dan kedua pintu itu ditutup kembali.58
Terdapat hadis-hadis terkait tanpa menyebutkan ungkapan: „dua
pintu atau dua sisi‟: (al-mu‟jam 15) kitâb al-hajj (al-tuhfah 7), (al-mu‟jam
70) bâb jadr Ka’bah (Hijr Ismâ‟îl) wa bâbuhâ (al-tuhfah 70), no. [3249] 405-
(…), dan no. [3250] 406-(…),59
dan (al-mu‟jam 69) bâb naqḍ al-Ka’bah wa
binâihâ (al-tuhfah 69), no. [3240] 398-(1333), [3241] (…), [3242] 399-(…),
[3243] 400-(…).60
3. Sunan al-Tirmidzî, merekam riwayat tersebut di satu tempat,
yaitu: (al-mu‟jam 7) kitâb al-hajj ‘an Rasûlillâh saw (al-tuhfah 5), (al-
mu‟jam 47) bâb mâ ja’a fi kasr al-Ka’bah (al-tuhfah 47), no. 875, dengan
jalur : (haddatsanâ) Mahmûd bin Ghailân, (haddatsanâ) Abû Daûd,(‘an)
Syu‟bah, (‘an) Abî Ishâq, (‘an) al-Aswad bin Yazid, al-Zubair berkata
kepadanya (al-Aswad) tentang informasi yang ia dapatkan dari „Â‟isyah,
umm al-mu’minîn, tentang sabda Rasûl saw: “Jika bukan karena masalah
58
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-2, hal. 970 59
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-2, hal.973 60
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-2, hal. 968-969
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 43 ]
masa kejahiliyahan kaum Quraisy, beliau akan merobohkan Ka‟bah dan
membuat dua pintu (wa ja’altu lahâ bâbain).61
4. Sunan al-Nasâ’î, merekam riwayat tersebut di dua jalur
periwayatan, pada kitâb dan bâb yang sama, yaitu : (al-mu‟jam 24) kitâb
manâsik al-hajj (al-tuhfah 6), (al-mu‟jam 125) bâb binâ’ al-Ka’bah (al-
tuhfah), no.2902 dan 2903. Hadis no.2902 melalui jalur: (akhbaranâ) Ismâ‟îl
bin Mas‟ûd dan Muhammad bin „Abd al-A‟lâ, (‘an) Khâlid, (‘an) Syu‟bah,
(‘an) Abi Ishâq, (‘an) al-Aswad. „Â‟isyah berkata : , dengan menggunakan
redaksi: „...wa ja’altu lahâ bâbain‟, dan hadis no.2903, melalui jalur:
(akhbarana) „Abd al-Rahmân bin Muhammad Sallâm, ia berkata
(haddatsanâ) Yazîd bin Hârûn, ia berkata (akhbaranâ) Jarir bin Hâzim, ia
berkata (haddatsanâ) Yazîd bin Rûmân, (‘an) „Urwah, (‘an) „Â‟isyah.
Makna redaksi yang digunakan sama dengan redaksi yang lain, dengan
beberapa tambahan dan perbedaan: „...wa ja’altu lahâ bâbain,
menjadikannya dua pintu; pintu sebelah timur dan barat (bâban syarqiyyan,
wa bâban gharbiyyan). Sungguh, mereka (kaum Quraisy) tidak sanggup
membangun ulang dengan sempurna. Dengan begitu, aku akan
mengembalikan pondasi nabi Ibrâhîm.62
5. Sunan Ibn Mâjah merekam riwayat tersebut di satu tempat, yaitu:
(al-mu‟jam 25) kitâb al-manâsik (al-tuhfah 17), (al-mu‟jam 31) bâb al-ṭawâf
bi al-Hijr (al-tuhfah 31), no. 2955, dengan jalur : (haddatsanâ) Abu Bakr bin
Abi Syaibah, (haddatsanâ) „Ubaidullâh bin Mûsâ, (haddatsanâ) Syaiban,
(‘an) Asy‟ats bin Abi al-Sya‟tsâ‟, (‘an) al-Aswad bin Yazid, (‘an) „Â‟isyah.
Redaksi tersebut berawal dari pertanyaan „Â‟isyah yang menanyakan tentang
Hijr Ismâ‟îl, lalu dijawab oleh Rasûlullâh saw bahwa ia bagian Baitullâh.
Lalu ditanya kembali tentang sebab yang menghalangi dimasukkannya Hijr
Ismâ‟îl ke dalamnya. Dijawab oleh Rasul saw bahwa mereka (Quraisy)
kekurangan biaya (‘ajazat bihim al-nafaqah). Dalam riwayat tersebut tidak
menyebut tentang keinginan Nabi saw akan membangun dua pintu Ka‟bah,
61
Abî „Îsâ Muhammad bin „Îsâ bin Saurah (209-279 H), al-Jâmi al-Ṣahîh wa Huwa
Sunan al-Tirmidzî, juz ke-3, hal. 215-216 62
Abî „Abd al-Rahmân Ahmad bin Syu‟aib bin „Alî Sunan al-Nasâ‟î (215-303 H),
Sunan al-Nasâ’î,hal. 449
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 44 ]
melainkan ucapan beliau: „...dan aku akan jadikan pintunya menempel ke
tanah (wa ja’altu bâbahu bi al-arḍ)‟.63
B. Paham ‘Iṣmah Para Nabi Atau Rasul : Kajian Teologis Dalam Potret
Kesejarahan Umat Islam.
Pembahasan ini adalah untuk menjawab pertanyaan apakah mungkin
para nabi atau rasul terjebak dalam kekeliruan, kelalaian, dan kealpaan atau
bahkan bisa jadi jatuh ke dalam bid‟ah dan kekufuran sebagaimana diyakini
sekelompok extrem dalam sekte Islam, al-Fuḍailiyyah,64
sempalan sekte
Khawârij modern.
Para teolog muslim sepakat bahwa para nabi dan rasul mendapatkan
kemaksuman dari Tuhan; mereka terjaga (ma’ṣûm) dari kekufuran dan
bid’ah sebagai konsekuensi dari tugas yang diemban mereka sebagai
penyampai risalah-Nya.65
Yang membedakan di antara para teolog adalah
pada persoalan apakah kemaksuman tersebut berlaku pada keseluruhan
keadaan mereka atau hanya sebagiannya.66
63
Abi „Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwînî (207-275 H), Sunan Ibn Mâjah,
juz ke-1, hal. 985 64
Penyebutan sekte al-Fuḍailiyyah berdasarkan hasil bacaan dalam kitab al-Râzî,
namun sekte tersebut tidak penulis temukan dalam beberapa literatur yang dibaca. Sekilas
ditemukan manakala browsing melalui internet dengan hasil informasi yang menyatakan
bahwa sekte tersebut merupakan perkembangan sekte modern yang banyak berkembang
banyak di Irak, dan tergolong sangat berbahaya. Lihat Fakhr al-Dîn al-Râzî (544 - 606 H),
‘Iṣmah al-Anbiyâ’, (Kairo : Maktabah al-Tsaqâfah al-Dîniyyah, 1406 H/1986 M), cetakan
ke-1, hal. 39. Menurut Alî al Tahânuwî, kelompok yang meyakini bahwa nabi atau rasul
yang bisa terjerumus ke dalam dosa, dusta, yang menurut mereka, hal tersebut yang
menyebabkan munculnya kekufuran, adalah sekte al-Azâriqah, dari golongan Khawârij,
ma’âdzallâh..! Sekte tersebut adalah pengikut Abû Rasyîd bin Nâfi‟ bin al-Azraq. Lihat,
Muhammad „Alî al Tahânuwî, Mausû’ah Kasysyâf Iṣṭilâhât al-Funûn wa al-‘Ulûm, hal.
1184. Lihat juga Abû al-Fath Muhammad „Abd al-Karîm bin Abî Bakr Ahmad al-
Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal, tahqîq : „Abd al-„Azîz Muhammad al-Wakîl, (Beirut :
Dâr al-Fikr, tth.), hal. 118-119 65
„Umar Sulaimân al-Asyqar, al-Rusul wa al-Risâlât, (Kuwait : Dâr al-Nafâ‟is,
1410 H/1989 M), cetakan ke-4, hal. 97 66
„Umar Sulaimân al-Asyqar, al-Rusul wa al-Risâlât, hal. 97
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 45 ]
Bagi kelompok Syî‟ah (pengikut fanatik „Alî bin Abî Ṭâlib) meyakini
secara mutlak kemaksuman para nabi, rasûl dan imam-imam mereka67
, baik
dari dosa kecil maupun dosa besar. Mereka juga mengakui bahwa para nabi
dan rasul tidak mungkin melakukan suatu hal yang disebabkan oleh kealpaan
dan kekeliruan.68
Kata ‘iṣmah (infallibility, vertue, chastity) atau ma’ṣûm itu sendiri
berasal dari kata ‘aṣama-ya’ṣimu-‘aṣman au ‘aṣaman wa ‘iṣmah, yang
berarti : mencegah, melarang, melindungi, menjaga, berpegang, terikat erat.
Maka yang dimaksud dengan para nabi dan rasul memiliki sifat ma’ṣûm,
disebabkan mereka tercegah, terlindungi, terjaga dari sifat lupa, keliru, lalai
dan dosa ; mereka terlarang dari sifat-sifat demikian; dan mereka juga selalu
menjaga dan berpegang erat kepada perintah dan aturan-aturan yang datang
dari Allah SWT.69
Hal ini berdasarkan firman Allah SWT:
ضي بأ عي ثغ باش ٠بأ٠ للا بثغذ سعبز ف رفع إ سثه إ١ه
ىبفش٠ ا م ذ ا ل٠ ابط إبلل ه ٠عظ
“Hai Rasûl, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-risâlah-Nya. Allâh
memelihara (ya’ṣimu) kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (QS.
Al-Mâidah/5 : 67).
67
Syî‟ah Imâmiyyah meyakini bahwa Allâh SWT menciptakan roh yang berada
dalam diri seorang imam, bertugas sebagai makhluk yang meluruskan dalam kehidupan para
imam tersebut. Mereka berdalil dengan QS. Al-Syûrâ/42 : 52, firman-Nya : ...“Dan
demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu ruh (wahyu) sesuai dengan perintah Kami”.
Makna rûh di ayat tersebut diyakini sebagai makhluk yang lebih mulia (roh qudus) dari pada
Jibrîl dan Mikâ‟îl. Roh tersebut berpindah setelah nabi atau rasul meninggal dunia. Sebab
menurut mereka, seorang nabi atau rasul apabila meninggal tidak meninggalkan wasiat,
maka kenabiannya dinilai tidak sempurna (nâqiṣ), dan dianggap telah menelantarkan umat
(ḍayya’a) yang ditinggal setelahnya. Lihat „Umar Sulaimân al-Asyqar, al-Rusul wa al-
Risâlât, hal. 115-116 68
Abû al-Fath Muhammad „Abd al-Karîm bin Abî Bakr Ahmad al-Syahrastanî, al-
Milal wa al-Nihal, hal. 146-147 69
Muhammad „Alî al-Tahânuwî, Mausû’ah Kasysyâf Iṣṭilâhât al-Funûn wa al-
‘Ulûm, hal. 1183-1184
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 46 ]
Dan firman Allah SWT :
٠ ي ع١ب ثعغ ٱللب رم ١ ١ ثٱ لخزب ر١ ٱ مطعب ص
“Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan
atas (nama) Kami,niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan
kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya”.
(al-Hâqqah/69: 44-46).
Menurut sebagian ahli bahasa selain disebutkan di atas,’iṣmah juga
bisa berarti: al-man’u: pencegahan, penghalangan, termasuk juga di
dalamnya pengertian dari makna perlindungan (al-wiqâyah).70
Namun
demikian, tidak selamanya penggunaan kata al-man’u untuk pengertian
„iṣmah. Makna sejati dari term „iṣmah adalah untuk menunjukkan arti
mencegah atau merintangi sesuatu jika ke-muḍarat-an akan menimpanya.
Seperti tersebut dalam al-Qur‟ân:
٠عزظ ثٱلل سعۥ ف١ى ذ ٱلل ءا٠ ع١ى رز أز و١ف رىفش
غزم١ ؽ طش إ ذ فمذ
“Bagaimanakah kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah
dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya pun berada di tengah-tengah
kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah,
maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus”.
(QS. Ali 'Imran/3 : 101).
Kata „ya’taṣim‟ diartikan dengan „yatamassak bi habl,: berpegang
erat pada tali, maka bisa memberikan pengertian: „jika berpegang teguh
(kepada agama Allâh), maka Ia akan menunjukkannya dari kekhawatiran
adanya penyimpangan (inhirâf). Memang, Menurut al-Zajjâj, kata „iṣmah
asalnya bermakna „tali‟ (al-habl) atau juga bermakna „kalung‟ (al-qilâdah).71
70
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al-Syar’iyyah, (Beirut : al-Risâlah, 1424 H/2003 M), cetakan ke-6, juz ke-1, hal. 140 71
Muhammad bin al-Mandzûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut : Dâr Ṣâdir, tth.), juz ke-12,
hal. 403. Ahmad bin Fâris, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, tahqîq : „Abd al-Salâm Muhammad
Hârûn, (Mesir : al-Bâb al-Halabî, 1389 H), juz ke-4, hal 332. Muhammad bin Abî Bakr al-
Râzî, Mukhtâr al-Ṣihâh, tartîb : Mahmud Khâṭir, (Mesir : Dâr al-Nahḍah, tth.), hal. 437. Al-
Fairûz Âbâdî, al-Qâmûs al-Muhîṭ, juz ke-4, hal. 148-149. Ahmad Fayûmî, al-Miṣbâh al-
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 47 ]
Disebut demikian, sebab segala sesuatu jika dijadikan untuk berpegangan
erat maka ia telah ter-’iṣmah.72
Di samping penggunaan kata „aṣama yang disinggung dalam al-
Qur‟ân, beberapa hadis juga menyebutkan, misalnya:
اث ػ اب أهبر ود أ أ ٠ هللا ػ٤ هب هللا ه و أ ػ
٣ئرا الح ، ا ا ٣و٤ ، هللا لا ه ؾ أ ال ا اال هللا لا أ ؽز٠ ٣
ا بح ، كبما كؼا مي ػ ، اي ال اال ثؾن اإل ا أ بء ٠ ك
)ها ( ػ٠ هللا بث ؽ
“Dari Ibnu Umar, bahwa Rasûlullâh saw bersabda: “Aku diperintah
untuk memerangi manusia sehingga bersaksi bahwa tiada ilah kecuali
Allâh dan Muhammad adalah utusan Allâh; (dan supaya) mereka
menegakkan salat dan mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukan itu,
maka darah dan harta mereka mendapat perlindungan dariku, kecuali
karena alasan-alasan hukum Islam. Sedangkan perhitungan terakhir
mereka terserah kepada Allah SWT” (HR. Muslim).
Beberapa pengertian di atas, menurut Ibn al-Atsîr (544 – 606 H),
memiliki kesatuan pengertian yang utuh, yaitu tetap kepada pengertian al-
man’u yang al-hâmî : penghalang yang bisa memberikan perlindungan (al-
hâmî); pegangan, pedoman (al-imtisâk) yang bisa menghalangi, sebagaimana
tersebut dalam ungkapan :
الا اال هللا“ بكح ا ز بذ ػ ”
Yakni, bagi seseorang yang menjadikan kalimat: “lâ ilâha illallâh”
sebagai pelindungnya (‘iṣmatuhu) dari kehancuran kelak di hari kiamat ; dan
kalimat tersebut menjadi pegangan atau pedomannya.73
Munîr fî Gharîb al-Syarh a- Kabîr, taṣhîh : Muṣṭafâ al-Saqâ, (Mesir : Muṣṭafâ al-Bâb al-
Halabî, 1369 H), juz ke-2, hal. 566 72
Muhammad Sulaiman al-Asyqar, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al-Syar’iyyah, hal. 141. Ibn al Mandzûr, Lisân al-‘Arab, juz ke-12, hal. 403, Ibn
Fâris, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, juz ke-4, hal 332. Al-Râzî, Mukhtâr al-Ṣihâh, hal. 437.
Al-Fairûz Âbâdî, al-Qâmûs al-Muhîṭ, juz ke-4, hal. 148-149. Ahmad Fayûmî, al-Miṣbâh al-
Munîr, juz ke-2, hal. 566 73
Majd al-Dîn Abî al-Sa‟âdât al-Mubârak bin Muhammad al-Jazarî bin al-Atsîr, al-
Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Âtsâr, tahqîq : Mahmûd Muhammad al-Ṭanâhî, (Riyâḍ :
al-Maktabah al Islâmiyyah, tth.), juz ke-5, hal. 250
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 48 ]
Menurut istilah (terminologi) kata al-‘iṣmah adalah perlindungan
Allâh SWT kepada hamba-Nya dari terjerumusnya ke dalam hal-hal yang
buruk, baik dalam bentuk dosa atau kesalahan, dan lain sebagainya.74
Ibn al-
Najjâr mengatakan bahwa ‘iṣmah adalah menolak, menghindari ajakan dari
berbagai unsur maksiat, sesuai dengan kemaksuman yang diberikan oleh
Allâh SWT berupa targhîb dan tarhîb.75
Al-Tilmisânî dari kelompok al-Asy‟âriyyah memahami al-‘iṣmah
sebagai bentuk kesediaan seorang hamba untuk menyesuaikan, menyepakati
(al-muwâfaqah) secara mutlak. Menurutnya, hal tersebut dikembalikan
kepada kemampuannya menciptakan setiap bentuk ketaatan.76
Sedikit
berbeda dari kelompok lainnya, Mu‟tazilah memahami‘iṣmah dengan:
menciptakan berbagai macam kebaikan (alṭâf), yang bisa mendekatkan diri
dalam ketaatan. Dalam hal ini, mereka tidak mengembalikan kepada suatu
kemampuan (dalam melakukan ketaatan). Sebab menurut mereka,
kemampuan melakukan kataatan adalah baik bagi kebalikannya.77
74
Fakhr al-Dîn al-Râzî (544 - 606 H), ‘Iṣmah al-Anbiyâ’, hal. 39. Lihat juga
Muhammad „Alî al-Tahânuwîy, Mausû’ah Kasysyâf Iṣṭilâhât al-Funûn wa al-‘Ulûm, hal.
1184 75
Al-targhîb berasal dari kata raghghaba yang berarti : menjadikan ingin, atau
membujuk. Menurut istilah al-targhîb adalah segala sesuatu yang sangat digemari atau
disenangi oleh objek dakwah, dan mau memenuhi ajakan menuju kebenaran. Dan al-tarhîb
berasal dari kata rahhaba, yang berarti : menakuti atau mengintimadasi. Menurut istilah al-
tarhîb adalah segala sesuatu yang bisa menjadikan ketakutan sebagai peringatan bagi objek
dakwah sebab tidak mengindahkan ajakan atau dakwah nabi serta menolak kebenaran, bisa
juga disebabkan meninggalkan kebenaran setelah mengakuinya. Abd al-Karîm Zaidân, Uṣûl
al-Da’wah, (Beirut : Mu‟assasah al-Risâlah, 1414 H/1993 M), cetakan ke-3, hal. 437 76
Muhammad bin Ahmad bin Abd al-„Azîz bin „Alî al-Futûhî al-Hanbalî al-Ma‟rûf
bi Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukab al-Munîr al-Musammâ bi Mukhtaṣar al-Tahrîr aw al-
Mukhtabar al-Mubtakar Syarh al-Mukhtaṣar fî Uṣûl al-Fiqh, tahqîq : Dr. Muhammad al-
Zuhaili dan Dr. Nazîh Hammâd, (al-Mamlakah al-„Arâbiyyah al-Sa‟ûdiyyah : Wazârah al-
Syu‟ûn al-Islâmiyyah wa al-Auqâf wa al-Da‟wah wa al-Irsyâd, 1413 H/1993 M), juz ke-2.
hal.167 77
Muhammad bin Ahmad bin Abd al-„Azîz bin „Alî al-Futûhî al-Hanbalî al Ma‟rûf
bi Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukab al-Munîr al-Musammâ bi Mukhtaṣar al-Tahrîr au al-
Mukhtabar al-Mubtakar Syarh al-Mukhtaṣar fî Uṣûl al-Fiqh, hal.168
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 49 ]
Abû Bakr al-Bâqillânî berpendapat bahwa al-‘iṣmah bisa bersifat
tidak mutlak untuk selain para nabi atau malaikat,78
kecuali dengan adanya
indikasi (qarînah) pada makna bahasanya, yakni arti „al-salâmah‟,
keselamatan dari sesuatu. Dari sini, lanjut al-Bâqillânî, sebagaimana al-
Syâfi‟î (w.204 H) menyebutkan dalam kitabnya al-Risâlah, sebuah ungkapan
do‟a, yaitu: as’alu al-‘iṣmah, yakni memohon kepada Allâh SWT
perlindungan dan atau keselamatan dari sisi-Nya.Pendapat inilah yang
banyak diikuti oleh para ulama.79
Alhasil, makna al-salâmah (untuk para
nabi) lebih luas cakupannya dari keharusan al-salâmah yang terkadang
dijumpai pada selain sorang nabi atau pun raja, yaitu manusia biasa. Namun
hal itu tidak bersifat mesti atau harus, demikian menurut al Barmâwî,
sebagaimana dikutip al-Syarbînî.80
Dari berbagai definisi (ta’rîf) tersebut di atas, sepertinya perlu
dikemukakan di sini, yakni definisi yang menurut penulis lebih representatif
dan boleh jadi lebih tepat. Al-Imâm al-Qâḍî „Iyâḍ (w.544 H), sebagaimana
dikutip al-Syarbînî, memberikan definisi tentang „iṣmah sebagai berikut:
78
Tentang kemaksuman malaikat pun para ahli berbeda pendapat. Sebagian
mengatakan bahwa mereka tetap dalam keadaan ma’ṣûm ; tidak mungkin melakukan
kesalahan. Dalil yang menunjukkan hal itu adalah :
بها ٤ أ ا ها أل ءا ؤ٣ب ٱن٣ ٣ و ب أ ٱلل لاك ال ٣ؼ خ ؿالظ ئ ؾغبهح ػ٤ب ٱ هكب ٱب
و ب ٣ئ ٣لؼ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar,
keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”. (QS. Al-Tahrîm/66 : 6).
Namun pendapat yang lain (minoritas) mengatakan bahwa malaikat adakalanya
berbuat kesalahan (tidak maksum). Menurut mereka, bukti yang menyatakan hal tersebut
adalah Iblis. Menurut mereka, Iblis pada awalnya adalah dari golongan malaikat sebelum
mereka menentang keputusan Allah SWT. Lihat, Badr al-Dîn Muhammad bin Bahâdur bin
Abdillâh al-Zarkasyî al-Syâfi‟î (745-794 H), al-Bahr al-Muhîṭ fî Uṣûl al-Fiqh¸ juz ke-4, hal.
174-175 79
Muhammad bin Ahmad bin Abd al-„Azîz bin „Alî al-Futûhî al-Hanbalî al Ma‟rûf
bi Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kawkab al-Munîr al-Musammâ bi Mukhtashar al-Tahrîr aw al-
Mukhtabar al-Mubtakar Syarh al-Mukhtashar fî Ushûl al-Fiqh, hal.168 80
Muhammad bin Ahmad bin Abd al-„Azîz bin „Alî al-Futûhî al-Hanbalî al Ma‟rûf
bi Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kawkab al-Munîr al-Musammâ bi Mukhtashar al-Tahrîr aw al-
Mukhtabar al-Mubtakar Syarh al-Mukhtashar fî Ushûl al-Fiqh, hal.168
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 50 ]
“Taufiq dan perlindungan yang datang dari Allâh SWT, yang
mengantarkan atau mengarahkan Nabi-Nya dalam perbuatan baik
(kebaikan) ; dan menghalaunya dari keburukan disertai dengan
tetap adanya ujian dan cobaan (ikhtibâr) sebagai bukti perwujudan
adanya proses cobaan (ibtilâ’).81
Dalam kajian teologis, konteks i’tiqâdiyyah, menurut al-Râzî (544 -
606 H), para nabi dan rasul memiliki kemaksuman dari kekufuran dan
bid‟ah.Dan kelompok yang meyakini bahwa rasul dan nabi pun bisa
terjerumus dalam kekufuran berargumentasi bahwa mereka (rasul dan nabi)
boleh jadi melakukan suatu perbuatan yang mengandung dosa, dan bagi
mereka, dosa adalah bentuk kekufuran.82
Sedangkan dalam konteks yang berkaitan dengan syarî‟ah dan
hukum-hukum yang datang dari Allah SWT, para nabi dan rasul tidak
diperkenankan untuk merubah (tahrîf) dan berkhianat, baik disengaja
ataupun sebab lalai.Adapun dalam konteks fatwa, para nabi dan rasul tidak
diperkenankan melakukan kesalahan. Namun jika disebabkan oleh lupa,
maka dalam hal ini para teolog berbeda pendapat.83
Lebih lanjut, al-Râzî menyatakan bahwa berkenaan dengan persoalan
perbuatan dan keadaan para nabi dan rasul, para teolog berbeda pendapat,
paling tidak terpecah menjadi lima kelompok (madzhab). Pertama,
kelompok al-hasywiyyah, golongan literalis yang membolehkan atas diri
seorang nabi atau rasul melakukan dosa besar dan kecil. Kedua, kelompok
yang mengatakan bahwa seorang nabi atau rasul tidak pantas, dengan
sengaja, melakukan dosa besar sama sekali. Adapun jika melakukan dosa
kecil meski disengaja itu diperbolehkan (jâ’iz), dengan catatan perbuatan
tersebut (dosa kecil) bukan termasuk perbuatan dosa yang merendahkan,
81
„Imâd al-Sayyid al-Syarbînî, Radd Syubuhât Hawla ‘Iṣmah al-Nabî fî Ḍau’ al-
Kitâb wa al-Sunnah, (Mesir : Dâr al-Shahîfah, 1424 H/2003 M),cetakan ke-1, hal 25 82
Fakhr al-Dîn al-Râzî (544 - 606 H), ‘Iṣmah al-Anbiyâ’, hal. 39. Lihat juga
Muhammad „Alî al-Tahânuwîy, Mausû’ah Kasysyâf Iṣṭilâhât al-Funûn wa al-‘Ulûm, hal.
1184 83
Fakhr al-Dîn al-Râzî (544 - 606 H), ‘Iṣmah al-Anbiyâ’, hal. 39
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 51 ]
menghinakan (munfir). Ini pendapat yang dipegang mayoritas penganut
Mu‟tazilah.84
Madzhab yang ketiga, adalah pendapat yang mengatakan seorang
nabi atau rasul tidak diperkenankan dengan sengaja melakukan dosa besar
dan kecil. Akan tetapi diperbolehkan memunculkan hal yang mengandung
dosa dengan cara yang disebabkan oleh lupa atau keliru ketika melakukan
suatu penta‟wilan. Pendapat tersebut dipegang oleh Abû „Alî al-Jubbâ‟î.
Sedangkan pendapat yang keempat, menyatakan bahwa tidak diperkenankan
bagi seorang nabi atau rasul melakukan tindakan dosa besar maupun kecil,
baik disengaja maupun tidak; dengan menta‟wil atau pun keliru. Adapun jika
disebabkan oleh lupa dan lengah maka diperbolehkan, meskipun mereka
(nabi dan rasul) tetap mendapat celaan sebab kelengahan dan kealpaannya
tersebut. Selanjutnya, kewajiban bagi mereka adalah harus benar-benar
mengingat ketika pengetahuan mereka telah menjadi sempurna. Pendapat ini
dipegang oleh Abû Ishâq Ibrâhîm bin Sayyâr al-Naẓẓâm.
Madzhab yang terakhir, kelima adalah kelompok Syî‟ah, yang
menyatakan bahwa tidak diperkenankan bagi seorang nabi atau rasul
melakukan tindakan dosa besar atau pun kecil ; tidak pula menta‟wil ; tidak
diperkenan untuk lupa ataupun keliru.85
Sifat lupa tidak luput dari sekalipun seorang nabi. „Umar al-Asyqar
memberikan contoh tentang sifat lupa dan pengingkaran (juhûd) yang pernah
dilakukan oleh nabi Adam, as,86
sebagaimana digambarkan dalam sebuah
riwayat, sebagai berikut:
ػ أث٢ و٣وح ػ٤ ٠ هللا هللا ه : هب ب فن : هب
هللا آك ٣ز مه فبوب خ و ظ و ػ و ك ؼ ظ خ ، و٤ب ا ا٠ ٣
ػ٠ ػو ه ، ص ب ث٤ ب ا ػ٢٤ ث٤ عؼ أ١ هة آك ، كوب
: أ١ ! ، هب ػ٤٤ ب ث٤ ث٤ كؤػغج ، ٣زي . كوأ هعال مه ئالء ؟ كوب
نا ؟ هب ك : هة ! : .كا خ . هب ز٤ : و ؟ هب ذ ػ عؼ : هة ! كوب
84
Contoh yang termasuk dosa kecil yang tidak “memalukan”, menurut mereka,
adalah mengurangi berat timbangan. Lihat Fakhr al-Dîn al-Râzî (544 - 606 H), ‘Iṣmah al-
Anbiyâ’, hal. 40 85
Fakhr al-Dîn al-Râzî (544 - 606 H), ‘Iṣmah al-Anbiyâ’, hal. 40 86
„Umar Sulaimân al Asyqâr, al-Rusul wa al-Risâlât, hal. 100
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 52 ]
ػ ٠ هة ىك و ب ا : ) ك ػ٤ ٠ هللا هللا ه خ ( . هب و١ أهثؼ٤
و ػ آك د ، كوب ي ا عبء اال أهثؼ٤ خ ؟ :آك و١ أهثؼ ػ ٣جن أ
رؼطب : أ ك اثي هب ؟ كغؾل كا ٢ آك ٣ز ، ، كغؾلد مه غوح ، آك ا كؤ
٣ز فطؤد مه فطؤ ٣ز ، ٤ذ مه ا ) ك (از ه ن١ . و
Abu Hurairah ra, berkata: „Rasûlullâh saw bersabda: "Ketika Allâh
SWT menciptakan Âdam, Dia mengusap punggungnya. Lalu, dari
punggungnya tersebut jatuhlah benih yang kemudian diciptakannya
anak keturunannya hingga hari kiamat. Dan menjadikan di antara
kedua mata setiap mata mereka (manusia) terdapat seberkas cahaya,
kemudian Dia memperlihatkan mereka kepada Adam. Lalu Adam
bertanya, "Wahai Tuhanku, siapakah mereka?" Dia menjawab,
"Mereka adalah anak keturunanmu". Kemudian Âdam melihat
seorang laki-laki di antara mereka, ia kagum terhadap seberkas
cahaya di antara kedua matanya yang menarik perhatiannya, lalu dia
bertanya, "Wahai Tuhanku, siapa dia?" Allâh menjawab, "Dia adalah
seorang laki-laki yang hidup di akhir zaman dari anak keturunanmu,
namanya Dâwûd." Âdam berkata, "Wahai Tuhanku, berapa usia yang
Engkau berikan kepadanya?" Dia berkata, "Enam puluh tahun".
Adam berkata, "Wahai Tuhan, tambahkan umurnya dari umurku 40
tahun. "Maka ketika umur nabi Adam, as telah habis, Malaikat maut
(pencabut nyawa) datang kepadanya. Dia berkata, "Bukankah masih
tersisa umurku 40 tahun?" Malaikat itu menjawab, "Bukankah telah
engkau berikan kepada keturunanmu, Dâwûd?". Âdam mengingkari,
maka anak keturunannya pun ada yang ingkar. Âdam lupa, maka
anak keturunannya pun ada yang lupa. Âdam keliru maka anak
keturunannya pun ada yang keliru." (HR. Al-Tirmidzî).87
Contoh lain disebutkan, bahwa seorang nabi membakar sarang semut
hanya karena ia digigit oleh seekor semut, sehingga ratusan semut, atau
mungkin bahkan ribuan semut mati.88
Berikut riwayat yang menjelaskan
perihal tersebut :
87
Abî „Îsâ Muhammad bin „Îsâ bin Saurah (209-279 H), al-Jâmi al-Ṣahîh wa Huwa
Sunan al-Tirmidzî, juz ke-5, hal. 267 88
„Umar Sulaimân al-Asyqâr, al-Rusul wa al-Risâlât, hal. 100
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 53 ]
ت أخجش ٠ظ ٠ذ١ لبل أخجشب اث خ ث دش ش دذص أث اطب
عجذ خ ث أث ع غ١ت ا عع١ذ ث بة ع ش اث أث ع ع د اش
ع ط للا سعي للا ش ش٠شح ع ج١بء فأ ال خ لشطذ ج١ب أ ع ١
ال خ ىذ أ خ أ لشطزه أف أ إ١ د للا فأدشلذ فأ ثمش٠خ ا
رغجخ )سا غ(
“Seekor semut menggigit seorang nabi, lalu nabi tersebut
memerintahkan untuk membakar sarang semut itu, lalu terbakar.
Kemudian Allâh SWT mewahyukan kepadanya: “Apakah hanya
karena seekor semut yg menggigitmu, lalu engkau musnahkan suatu
umat yg selalu membaca tasbih”.89
Dalam riwayat lain disebutkan:
أث ع ذضا ا د عجذ اش غ١شح ٠ع اث صب ا عع١ذ دذ صب لز١جخ ث دذ
لبي ضي ج ع ع١ ط للا اج ش٠شح أ أث العشط ع بد ع اض
ج١ب ب فأدشلذ ال ش ث أ ب ص رذز فأخشط بص ش ثج خ فأ ء رذذ شجشح فذغز
ادذح )سا غ( خ ل ف إ١ د للا فأ
“Suatu hari seorang nabi berhenti di bawah pohon, lalu dia disengat
seekor semut. Kemudian nabi tersebut memerintahkan untuk
mengeluarkan makanan & mengeluarkan semua semut dari sarangnya,
setelah itu memerintahkan untuk membakarnya. Kemudian Allâh
mewahyukan kepadanya: “Apakah karena seekor semut kamu
kemudian membakarnya”.90
Contoh lain, dikisahkan bahwa Mûsâ, as datang --dari menyelesaikan
tugas dari Tuhannya-- dalam keadaan sangat marah setelah melihat kaumnya
sedang menyembah anak sapi (al-‘ijl), sehingga dengan spontan ia
memegang kepala saudaranya lalu menariknya. Lalu, ia melemparkan
89
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-4, hal. 1759 90
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-4, hal. 1759
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 54 ]
lembaran-lembaran (lauh) yang berisi petunjuk.91
Peristiwa tersebut tercatat
dalam al Qur‟an, sebagai berikut:
ب خفز أعفب لبي ثئغ ۦ غؼج ل إ ع ب سجع
ش سث أ ز ثعذ أعج لبي ٱث ۥ إ١ ٠جش أخز ثشأط أخ١ اح م ٱل أ ى
ل رجع ٱلعذاء ذ ث وبدا٠مز فل رش ٱعزؼعف م ٱ إ أ
١ ٱظ م ع ٱ
Artinya: “Dan tatkala Mûsâ telah kembali kepada kaumnya dengan
marah dan sedih hati berkatalah dia: "Alangkah buruknya perbuatan
yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak
mendahului janji Tuhanmu? Dan Musapun melemparkan lembaran-
lembaran (Taurat) itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya
(Hârûn) sambil menariknya ke arahnya, Hârûn berkata: "Hai anak
ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-
hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan
musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku
ke dalam golongan orang-orang yang ẓalim.” (QS. Al-A‟râf/7:150).
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad saw pernah
lupa ketika melakukan ṣalat ẓuhur yang beliau kerjakan dua rakaat. Berikut
riwayat yang dikutip dari kitab Nail al-Auṭâr, abwâb sujûd al-sahw, bâb mâ
jâ’a fî man sallama min nuqṣân92
, sebagai berikut:
ع ٤و٣ اث ػ٤ لبي : أث٢ و٣وح ع ٠ هللا هللا ٠ ثب ه
٢ ، ك ؼ الر٢ ا اؽل خ ؼو جخ ا٠ ف ، كوب ص ؼز٤ ٠ ه
جي ث٤ و ٤ ٠ ػ٠ ا ٤ غ ٣ل ا ، جب ؿ ؤ ؤ ػ٤ب غل كبر ك٢ ا
٤ ا ل و ػ٠ ظ األ٣ غ فل ، بثؼ أ وػب فوعذ ا و ،
و ك٢ ا الح ؟ ود ا غل ، كوبا : ه اة ا و أث و أث ث ػ كبثب أ
: ٣وب هع و ك٢ ا ب ، ٣ ٤ل٣ م ا أ٤ذ أ هللا : ٣ب ه ود كوب ه
ب ٣و : أ و ، كوب رو أ : الح ؟ كوب ا ٤ل٣ ا ، كزول ؟ كوبا : ؼ
91
„Umar Sulaimân al Asyqar, al-Rusul wa al-Risâlât, hal. 99-100 92
Muhammad bin „Alî bin Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Auṭâr Syarh Muntaqâ
al-Akhbar Min Ahâdîts Sayyid al-Akhyâr, (Mesir : Muṣṭafâ al-Bâb al-Halabî wa Aulâdah,
1371 H/1952 M), juz ke-3, cetakan ke-2, hal. 114-115
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 55 ]
هكغ هأ ، ص أ أ غك ض غل جو ، ص ب روى ، ص ٠ ك
ؤ ، ب جو كوث هكغ هأ ، ص أ أ غك ض غل جو جو ، ص
جئذ أ : أ ، ك٤و ص ٤ ؽ ث وا ػ : ص . هب زفك ع١ ( .
١ظ ل ازشج١ه(. ١ذ ١ذ ع ا ػع ا ف١
ا٠خ لبي: ف س و الح اظ ػ٤ ٠ هللا غ اج٢ ٢ ب أب أ ث٤
هع ، كوب ؼز٤ ه ٤ ث٢ الح أ ود ا أه هللا ٣ب ه كوب
٤ذ. ذذ٠ش عبق ا ا ) ل . س أؽ خ وبذ مظ ا زا ٠ذي ع أ .
ثعذ (ثذؼشر إعل
ب لبي: ب زفك ع١ ا٠خ ف س ٤ذ : ث٠ هل و هب رو أ ,
زا ٠ذي ع رى أ ١ذ٠ اة را ا ب ١ظ ثج اغخ ول عذ ب ع ثعذ
عؤاي.
Dari Abî Hurairah, ia berkata: Rasûlullâh saw bersama kami
melaksanakan salah satu dari salat di waktu sore.93
Lalu beliau salat
(bersama kami) dua rakaat kemudian salam, lalu beliau berdiri menuju
kayu yang terdapat di masjid. Beliau lalu berbaring pada kayu tersebut
seolah sedang marah dengan meletakkan lengan kanannya di atas
lengan kirinya serta menganyam (menggenggam) jari jemarinya,
sedangkan pipi kanannya diletakkan pada punggung telapak tangan
kiri. Orang-orang cepat-cepat keluar dari pintu masjid, mereka pun
berkata: “Apakah salat telah di-qaṣar (diringkas)?” Padahal di tengah-
tengah orang banyak tersebut ada Abû Bakar dan „Umar, keduanya
enggan membicarakannya.
Dan di antara mereka terdapat seseorang yang dikenal dengan nama
Dzû al-Yadain, dia berkata: “Wahai Rasûlullâh, apakah engkau lupa atau
salat (telah) di-qaṣar?‟ Beliau menjawab: “Aku tidak lupa dan salat juga
tidak di-qaṣar.”
93
Kata „al ‘asyiyyî’ diartikan oleh al Azharî, sebagaimana pula dikutip oleh al
Syaukânî, adalah waktu di antara tergelincirnya matahari dan tenggelamnya, yakni waktu
zhuhur dan ashar, demikian kebiasaan yang dipahami orang Arab. Lihat, Muhammad bin
„Alî bin Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Auṭâr Syarh Muntaqâ al-Akhbar Min Ahâdîts
Sayyid al-Akhyâr, hal. 115
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 56 ]
Beliau bertanya: “Apa benar yang dikatakan Dzû al-Yadain?” Orang-
orang menjawab: „Benar‟. Beliau kemudian maju ke depan dan mengerjakan
salat yang tertinggal kemudian salam. Setelah itu beliau takbir dan sujud
seperti sujudnya yang dilakukan atau lebih lama lagi. Kemudian beliau
mengangkat kepalanya dan bertakbir, kemudian bertakbir dan bersujud
seperti sujudnya atau lebih lama lagi, kemudian mengangkat kepalanya dan
takbir.
Bisa jadi, orang-orang bertanya kepadanya (Ibn Sirrîn), apakah dalam
hadis ada lafaẓ: „kemudian beliau salam‟, lalu ia berkata: Aku mendapat
berita bahwa „Imrân bin Huṣain berkata: „Kemudian beliau salam‟. (muttafaq
‘alaih).
Di dalam riwayat Muslim tidak ada kata (keterangan): „meletakkan
tangan di atas tangan‟ dan tidak juga: „menggenggam jari-jarinya‟.
Dalam riwayat lain, ia berkata: “Ketika aku salat bersama Nabi saw
mengerjakan salat zuhur, beliau salam setelah dua rakaat. Lalu ada seorang
laki-laki dari Bani Sulaim berdiri dan berkata: „Wahai Rasûlullâh, apakah
salat di-qaṣar atau Anda lupa?‟ Lalu menyebutkan kelanjutan hadis tersebut.
(HR. Ahmad dan Muslim).
Hal ini menunjukkan bahwa kisah tersebut terjadi di hadapannya dan
setelah keislamannya.
Dan dalam sebuah riwayat Muttafaq ‘Alaih, disebutkan, ketika
mengatakan: “Aku tidak lupa dan (shalat) tidak di-qaṣar”, ia berkata: „Benar,
engkau telah lupa‟, ini menunjukkan bahwa Dzû al-Yadain berbicara bukan
menjawab pertanyaan, setelah tahu tidak ada naskh.
Riwayat-riwayat tersebut menunjukkan bahwa Rasûlullâh saw pernah
mengalami lupa, sebagaimana manusia biasa lainnya. Hal ini pun pernah
beliau tegaskan:
ش فئرا غ١ذ فزو غ ب ر غ و ب أب ثشش أ )ها (إ
“Saya adalah manusia biasa,saya juga bisa lupa sebagaimana kalian
bisa lupa. Oleh sebab itu, jika aku lupa, ingatkanlah aku” (HR.
Muslim).94
94
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-1, hal. 400
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 57 ]
Sebagian pendapat mengatakan bahwa sebenarnya Rasul saw tidak
lupa, namun „dilupakan‟, tentu, oleh Allah SWT, dengan tujuan untuk
pengajaran kepada umatnya. Pendapat tersebut berdasarkan riwayat dari
Abdullâh bin Mas‟ûd, sebagaimana dikutip al-Syaukânî, sebagai berikut:
. اغ لع ى غ, : "ا ل أ ع ط للا ع١ ل ا
“Sebenarnya, aku tidak lupa, akan tetapi dilupakan untuk (tujuan)
mengajarkan tentang kesunnahan”.
Riwayat tersebut menunjukkan tidak adanya sifat lupa dalam diri
Rasul saw. Namun, riwayat tersebut mendapat reaksi keras oleh para ulama,
di antaranya adalah Ibn Hajar al-„Asqallânî, ia menilainya sebagai riwayat
yang tidak memiliki sumber yang jelas ( ال ا). Menurutnya, hadis
tersebut adalah bagian dalam balaghât-nya95
Imam Mâlik yang ghair
mauṣûl (tidak bersambung atau tidak ittiṣâl)96
sanadnya, terbukti setelah
95
Terminologi al-balaghât adalah bentuk jamak dari kata „balâgh‟, terambil dari
kata balagha, yang berarti : sampai..atau sesuatu sampai kepada tujuan”. Dalam Ilmu Hadis,
terminologi ini biasa diartikan dengan „ucapan seorang perawi dengan menggunakan kata
فالن“ عن yakni periwayatan yang tidak muttaṣil, bahkan Hammâm „Abd al-Rahmân ,”بلغىن
mengakui ada beberapa riwayat, yang diakui lupa oleh Imâm Mâlik. Istilah ini sering
digunakan Imâm Mâlik bin Anas (93 H- ) dalam beberapa tempat dalam kitabnya “al-
Muwaṭṭa’”. Tidak hanya balaghat, marasil dan mu’ḍal pun banyak dtemukan dalam kitab
tersebut. Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan balaghat tersebut. Mayoritas
ulama ahli hadits menolak kesahihannya. Di antara ulama yang membela adalah Ibn Abd al-
Barr dalam kitabnya “al-Tamhîd” dengan memberikan komentar-komentar (ta’qîb) tentang
alasan Imam Malik menggunakan balaghât. Di antara alasan kebolehan menggunakan
balaghat bagi Imam Malik adalah karena beliau masih dekat dengan periode kenabian (li
qurbih min ‘iṣr al-nubuwwah). Lihat Jalâl al-Dîn al-Suyûṭî, Tadrîb al-Râwî, (Beirut : Dâr
al-Fikr, tth.), juz ke-1, hal. 326. Lihat juga, Hammâm „Abd al-Rahîm Sa‟îd, al-Fikr al-
Manhajî ‘Inda al-Muhadditsîn, (Qatar : Kitâb al-Ummah, 1408 H), cetakan ke-1, hal. 113-
114. 96
Kriteria hadis ṣahîh yang paling banyak diikuti oleh para ahli hadis adalah apa
yang telah dinyatakan oleh Ibn al-Ṣalâh :
لل ع م ل او اذ ش ون ك ي ل اهو ه ت ن ىم ل ا ط اب الض ل د الع ل ق ن هب اد ن س ا ل ص ت ي ىذ ال د ن س الم ث ي د الح و ه ف ح ي ح الص ث ي د االح م ا “Hadis ṣahîh adalah hadis yang disandarkan kepada Nabi saw ; yang sanadnya
bersambung ; diriwayatkan oleh perawi yang adil dan ḍabiṭ ; diterima oleh perawi yang adil
dan ḍabiṭ pula ; tidak ada kejanggalan, dan tidak ber-illah”.
Dengan demikian, suatu hadis bisa disebut ṣahîh apabila ia memenuhi lima kriteria
: pertama, sanadnya bersambung, kedua, perawi yang ‘adl, ketiga, perawi yang ḍâbiṭ,
keempat, tidak terdapat syâdz, kelima, tidak adanya ‘illah.Lihat, Abû „Amr „Utsmân bin
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 58 ]
dilakukan penyelidikan dan penelitian tentang kebenarannya oleh Ibn
Hajar.97
Lalu kemaksuman apa saja yang merupakan kelaziman bagi para nabi
dan rasul? Umar al-Asyqar memberikan elaborasi bahwa setiap nabi dan
rasul ma’ṣûm dalam hal-hal sebagai berikut:
Pertama, ma’ṣûm dalam mengemban tugas dan menyampaikan
risalah ketuhanan (‘iṣmah fî tahammul wa al-tablîgh).98
Artinya, mereka
tidak akan lalai, apalagi terlupa dari apa yang telah diwahyukan oleh Allah
SWT kepada mereka. Allâh SWT berfirman:
ب ٣بأ٣ هللا بز ذ ه ـ بث ك رلؼ ا هثي ا٤ي يبأ ثؾ او
ا اب ي ال ٣ؼ هللا بكو٣ ا و ل١ ا ٣
“Hai Rasûl, sampaikanlah (sesuai) apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu,
berarti) kamu tidak menyampaikan amanat atau risalah-Nya. Allâh
SWT memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allâh
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” (QS. Al-
Maidah/5 : 67).
Juga firman Allâh SWT:
ب ٠خف ش ج ٱ ۥ ٠ع إ ب شبء ٱلل .إل عمشئه فل رغ“Kami akan membacakan (Al-Qur‟ân) kepadamu (Muhammad) maka
kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allâh menghendaki.
Sesungguhnya Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi”.
(QS. Al-A‟lâ/87: 6-7).
Termasuk kemaksuman para nabi dan rasul adalah kemaksuman yang
bersifat penjagaan atau penjagaan terhadap diri mereka (fisik)99
dari halangan
„Abd al-Rahmân al-Syahrazûrî, ‘Ulûm al-Hadîts li Ibn Ṣalâh, tahqîq : Nûr al-Dîn „Itr,
(Beirut : Dâr al-Fikr al-Mu‟âṣir, 1406 H/1986 M), hal. 11-12. 97
Muhammad bin „Ali bin Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Auṭâr Syarh Muntaqâ
al-Akhbâr Min Ahâdîts Sayyid al-Akhyâr, hal. 117 98
„Umar Sulaimân al-Asyqâr, al-Rusul wa al-Risâlât, hal. 97 99
Pengertian ini (‘iṣmah dalam arti penjagaan dari segi fisik), sesuai dengan definisi
yang dijelaskan dalam kitab Jauharah al-Tauhîd, menyebutkan bahwa termasuk makna
‘iṣmah adalah: “hifẓ Allâh ‘Azza wa Jalla li al-anbiyâ’ bawâṭinahum wa ẓawâhirahum”,
yakni penjagaan dan perlindungan Allâh SWT kepada para nabi dan rasul, baik fisik
maupun batin mereka. Lihat, Muhammad al-Amîr, Ithâf al-Murîd Syarh Jauharah al-Tauhîd
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 59 ]
berdakwah, seperti usaha percobaan pembunuhan terhadap Nabi Muhammad
saw, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Hisyâm yang dikutip oleh Ṣafî al-
Rahmân al-Mubârakfûrî, sebagai berikut:
ف١ز اخطخ ف اإلعذاد ز بس لش٠ش فمؼا جش ب أوبثش أ
اخز١ش ب، ح( طجبد ىخ )داس اذ ب ب ثش خ از أثش شع زه أدذ عشش ا
ؤلء الوبثش، ب شب, :سئ١غ ث أث اعبص, أث ج ث عمجخ اذى
ع١ؾ, أث اذبسس, ث خف, اؼش ث ١خ ث د, أ الع عخ ث ص خ ث ؽع١
ت, عذ, اث خف, أث ث بط.لبي اث اذج ج ث بط, أخ اذج ج١ ث
، ف١ضج ز ب عا ع ثبث ٠شطذ خ ا١ اجز ب وبذ عز إعذبق: ف
ز جبح جبص ٠م١ وبا ع صمخ لف أث ع١ ١خ، دز شح اذ ؤا ا
ف عخش٠خ ف١ ط خبؽجب لطذبث ا لبي اخ١لء، لفخ اض ج
ن ز و ش ع أ ربثعز إ أى ا ٠ضع ذ ذ ضاء : إ اعز عشة ا
رفعا السد، إ وجب جب ، فجعذ ى رى ثعذ ثعضز ، ص اعج
لذ ب. ف١ ا رذشل بس جعذ ى ، ص رى ثعذ ثعضز ، ص ف١ى رثخ وب
و زظش ٠ ز١مظ١ ، فجبرا زظف ا١ شح ثعذ ؤا ه ا ف١ز ر ١عبد ر ب
اد السع، ٠فع ب د اغ ى ، ث١ذ ش للا غبت ع أ ى فش، عبعخ اظ
ل ٠ج١ش ب ٠شبء، ي ط للا ع اش ب خبؽت ث ، فمذ فع ٠جبس ع١
٠خشجن، ٠مزن أ وفشا ١ضجزن أ ىش ثه از٠ إر ٠ ب ثعذ : ف١ ع ع١
ب خ١ش ا للا ، ىش للا ٠ ىش ٠ . وش٠
“Adapun para pemimpin penjahat dari suku Quraisy menggunakan
waktu siang mereka untuk mempersiapkan diri guna melaksanakan
rencana yang telah ditetapkan berdasarkan kesepakatan parlemen
Mekkah, yakni „Dâr al-Nadwah‟100
pada pagi harinya. Untuk
bi Hâmisy Hâsyiyah Muhammad al-Amîr ‘Alâ Jauharah al-Tauhîd, (Mesir : al-Bâb al-
Halabî, 1368 H), hal. 114 100
Dâr al-Nadwah, secara bahasa berarti rumah tempat berkumpul atau
bermusyawarah (balai pertemuan), biasanya tertulis dengan “Barlamân Quraisy”, parlemen
Quraisy. Dâr al-Nadwah adalah sebuah majelis tempat bertemunya para pemimpin besar
kafir Quraisy di Kota Makkah, tepatnya berada di sekitar Masjid al-Harâm. Rumah ini
adalah tempat untuk memusyawarahkan sesuatu urusan bangsa Quraisy. Lembaga ini
dibangun oleh Qusay bin Kilâb. Di tempat ini, lahir keputusan-keputusan yang dilegitimasi
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 60 ]
mengeksekusi hal tersebut dipilihlah sebelas orang terkemuka dari
kalangan mereka, yaitu : Abû Jahal bin Hisyâm, al-Hakam bin Abû al-
„Âṣ, „Uqbah bin Abî Mu‟îṭ, al-Naḍr bin al-Hârits, Umayyah bin
Khalaf, Zam‟ah bin al-Aswad bin „Adî, Abû Lahab, Ubay bin Khalaf,
Nabîh bin al-Hajjâj, Munabbih bin al-Hajjâj. Ibn Ishâq mengatakan :
„Ketika malam telah gelap mereka berkumpul di depan pintu rumah
Rasûlullâh saw dan mengintai kapan beliau bangun, sehingga dapat
menyergapnya. Mereka benar-benar yakin bahwa persekongkolan kali
ini akan berhasil, sehingga melihat hal seperti itu membuat Abu Jahal
berdiri tegak dengan penuh keangkuhan dan kesombongan. Kepada
rekan-rekannya yang ikut mengepung rumah Rasûl saw, dengan nada
mengejek dan merendahkan, dia (Abu Jahal) berkata : „Sesungguhnya
Muhammad mengaku bahwa jika kalian mengikuti ajarannya, niscaya
kalian akan menjadi raja dari raja-raja Arab dan non-Arab, kemudian
kelak kalian akan dibangkitkan (setelah mati) dijadikan untuk kalian
surga-surga laksana suasanan surgawi di lembah-lembah Yordania.
Jika kalian tidak mau melaksanakannya, dia akan menyembelih kalian,
lalu kalian dibangkitkan untuk dijadikan bagi kalian api yang
membakar. Waktu pelaksanaan rencana persekongkolan (al-
muâmarah, conspiracy) tersebut adalah setelah pertengahan malam
saat beliau biasa keluar rumah. Mereka melewati malam dengan terus
berjaga-jaga sembari menunggu tengah malam yang tepat. Namunn,
Allâh Maha Kuasa atas segala sesuatu. Di tangan-Nya segala urusan
langit dan bumi. Dia melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Dialah
Yang Maha Melindungi dan tidak ada yang mampu melindungi kecuali
Dia. Dialah yang telah menetapkan janji yang difirmankan kepada
Rasul-Nya saw, yaitu firman-Nya : “Dan ingatlah, ketika orang-orang
kafir (Quraisy) memikirkan segala daya dan upaya terhadapmu untuk
menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau
bersama, misalnya keputusan perihal pengangkatan pemimpin Quraisy, peperangan,
keputusan haji, perdagangan hingga perjalanan bisnis. Ketika Islam lahir di Makkah,
lembaga inilah yang menjadi sentral keluarnya keputusan yang menentang, menghadapi, dan
menghalangi dakwah Nabi Muhammad saw. Di tempat inilah mereka mengadakan
pertemuan kritis-politis, perundingan perkara yang sangat krusial, genting, bersepakat
merencanakan hal terkutuk bagi keselamatan diri Nabi Muhammad saw. Peristiwa tersebut
terjadi pada hari Kamis, tanggal 26 Ṣafar tahun 14 kenabian, bertepatan dengan bulan
September 622 M. Lihat lebih jauh, Ṣafî al-Rahmân al-Mubârakfûrî, al-Rahîq al-Makhtûm,
Bahts fî al-Sîrah al-Nabawiyyah ‘Alâ Ṣâhibiha Afḍal al-Ṣalâh wa al-Salâm, (India : Dâr
Ihyâ‟ al-Turâts, tth.), hal. 143-145
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 61 ]
mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan
tipu daya itu, dan Allah-lah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (QS. Al
Anfal/8 : 30).101
Kedua, nabi dan rasul terkadang keliru dalam mencapai kebenaran
untuk memutuskan suatu persoalan (qad yukhṭi’ûn fi iṣâbah al-haq fî al-
qaḍâ’).102
Hal tersebut digambarkan dalam sebuah riwayat yang menyatakan
bahwa Nabi saw mendengar pertikaian atau keributan di depan pintu
rumahnya, lalu beliau keluar dan berkata:
صب ؽل ػجل هللا ؼي٣ي ث صب ػجل ا ؼل ؽل ث ٤ اثوا بؼ ػ ػ اث
بة أفجو٢ ث٤و هب اي ح ث ػو أ ذ أث٢ خ ى٣ت ث خ أفجور أ أ
ػ٤ ٠ هللا ط اج٢ أفجورب ى أ ػ٤ ٠ هللا هللا ه ػ
كوب كقوط ا٤ خ ثجبة ؽغور غ ف ق ٣ؤر٢٤ ا ا و ب أب ث ا
أث ٣ أ ثؼ كؼ ثؼ ؾ ٢ ثني ك بكم كؤه ت أ كؤؽ
ب ٤زو ٤ؤفنب أ ابه ك ٢ هطؼخ ب كب ٤ذ ثؾن (ه
“Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa (seperti manusia lainnya).
Terkadang ada orang yang terlibat pertikaian mendatangiku, maka
mungkin saja sebagian dari kalian ada orang yang lebih pandai
berbicara (berargumen) dari pada yang lainnya, lalu aku mengira
bahwa dia yang jujur, lalu aku memutuskan (perkara itu) untuk
memenangkannya. Maka dari itu, barang siapa yang telah aku
menangkan dengan (mengambil) hak sesama muslim, maka
sesungguhnya keputusan itu adalah potongan bara api neraka, maka,
(terserah) dia mengambilnya atau menolaknya. (HR. Al-Bukhârî).103
Ketiga, ma’ṣûm dari syirik, maksiat dan dosa, baik dosa besar
maupun dosa kecil.104
Namun, para nabi dan rasul tidak ma’ṣûm dilihat dari
sisi kemanusiaan mereka, seperti takut, marah dan lupa (al-a’râḍ al-
101
Ṣafî al-Rahmân al-Mubârakfûrî, al-Rahîq al-Makhtûm, Bahts fî al-Sîrah al-
Nabawiyyah ‘Alâ Ṣâhibihâ Afḍal al-Ṣalâh wa al-Salâm, hal. 146-147 102
„Umar Sulaimân al Asyqâr, al Rusul wa al Risâlât, hal. 102 103
Abî „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-4, hal. 338
104„Umar Sulaimân al-Asyqar, al-Rusul wa al-Risâlât, hal. 107-108
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 62 ]
basyariyyah al-jibilliyyah lâ tunâfî al-‘iṣmah).105
Pendapat ini sesuai dengan
statement Ibn Taimiyyah yang mengatakan bahwa pendapat yang
menyatakan bahwa para nabi dan rasul dijaga dari dosa besar namun tidak
dari dosa kecil adalah pendapat yang diikuti kebanyakan ulama Islam, dan
semua golongan, bahkan itu adalah pendapat kebanyakan ahli kalam,
sebagaimana disebutkan oleh Abû al-Hasan al-Âmidî bahwa ini adalah
pendapat mayoritas golongan Asy‟ariyyah, juga pendapat para ahli tafsir dan
hadits, serta ahli fiqih. Bahkan para ulama salaf, sahabat, dan tabi‟in dan para
pengikut mereka tidak menyebutkan pendapatnya kecuali sesuai dengan
pendapat ini.106
Ibn al-Najjâr (w. 972 H) menutup pendiriannya, dengan menyatakan
bahwa ‘iṣmah akan tetap ada pada diri seluruh para nabi atau rasul. Mereka
ma’ṣûm dari setiap dosa, baik dosa besar atau pun dosa kecil ; baik dilakukan
dengan sengaja atau pun karena lupa dalam menetapkan terkait berbagai
hukum syariah. Kemaksuman mereka berlaku secara mutlak, baik sebelum
nubuwwah maupun setelahnya, bahkan semenjak mereka dilahirkan.107
Menurut al-Râzi, tidak demikian kemaksuman berlaku secara mutlak, sebab
dalam masalah ini para ulama masih berselisih pendapat. Sebagian mereka
mengatakan bahwa kemaksuman para nabi dan rasul berlaku mulai dari awal
kelahiran mereka hingga akhir dari umur mereka. Sebagian pendapat lain
mengatakan bahwa hal tersebut berlaku hanya pada usia kenabian (zamân al-
nubuwwah). Adapun masa sebelum kenabian, menurutnya, tidaklah wajib.108
Dari data-data tersebut di atas, dikelompokkan oleh Muhammad
Sulaimân al-Asyqar menjadi madzhab-madzhab ulama (perbedaan pendapat
para ulama) tentang kemaksuman para nabi dan rasul, sebagai berikut:
1. Kelompok Syî‟ah Imâmiyyah menetapkan kemaksuman para nabi
secara mutlak (absolute), sehingga mereka menolak semua perilaku dosa
besar maupun kecil yang bertentangan dengan kenabian, baik itu disengaja
105
„Umar Sulaimân al-Asyqar, al-Rusul wa al-Risâlât, hal. 99 106
„Umar Sulaimân al-Asyqar, al-Rusul wa al-Risâlât, hal. 107 107
Muhammad bin Ahmad bin Abd al „Azîz bin „Ali al Futûhî al-Hanbalî al-Ma‟rûf
bi Ibn al-Najjâr, Syarh al-Kaukab al-Munîr al-Musammâ bi Mukhtaṣar al-Tahrîr au al-
Mukhtabar al-Mubtakar Syarh al-Mukhtaṣar fî Uṣûl al-Fiqh, hal.177 108
Fakhr al-Dîn al-Râzî (544 - 606 H), ‘Iṣmah al-Anbiyâ’, hal. 40
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 63 ]
ataupun karena lalai. Meski di dalam kelompok tersebut terdapat sekelompok
kecil pendapat yang tidak sejalan, yang mengambil jalan tengah, yakni Ibn
Abî al-Hadîd. Baginya, rasul atau nabi boleh saja melakukan dosa yang
disebabkan karena lupa atau lalai, meskipun demikian pendapat ini tidak
berani mengambil keputusan lebih lanjut.109
2. Mayoritas Mu‟tazilah menyepakati pendapat Syî‟ah, kecuali
pendapat seputar dosa-dosa kecil (yang bersifat merendahkan) yang
dilakukan sebelum dan sesudah masa kenabian ; juga tidak sependapat
tentang kedustaan, baik yang besar ataupun yang kecil ; (tentang) lupa dalam
hal yang mesti dilaksanakan. Dalam hal ini, Abu al-Husain al-Baṣri, secara
singkat ia menyatakan: “Tidak diperkenankan bagi para nabi atau rasul
(tindakan dosa-dosa kecil) yang berpengaruh dalam pemenuhan atau
penunaian tugas, kewajiban(al-adâ’), pendidikan (al ta’lîm), dan kerelaan
atau pun kesejahteraan (al-qabûl).110
3. Para ahli kalam (al-Mutakallimûn), di antaranya adalah al-Âmidî,
al-Râzî, al-Bâqillânî, sebagian dari Mu‟tazilah. Mereka berpendapat bahwa
sebelum masa kenabian (qabl al-bi’tsah) para nabi atau rasul tidak terhalang
dalam melakukan dosa besar maupun kecil.111
4. Kelompok Khawârij (khususnya al-Azâriqah), berpendapat bahwa
kelompok ini memperkenankan mengutus nabi yang telah diketahui oleh
Allah, melakukan kekufuran ketika telah ditetapkan kenabiannya (ba’da al-
bi’tsah).112
5. Kelompok Ahl al-Hadîts, berpendapat bahwa para nabi atau rasul
berkemungkinan untuk melakukan dosa besar dengan sengaja. Ibn
Taimiyyah pernah mengatakan: “Sesungguhnya kemaksuman mereka dalam
hal menyampaikan (tablîgh) apa yang telah ditetapkan dari Allah SWT,
sesuai dengan kesepakatan umat”. Dalam kesempatan lain, ia menyatakan
109
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al-Syar’iyyah, juz ke-1, hal. 144 110
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al-Syar’iyyah, juz ke-1, hal. 144 111
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al-Syar’iyyah, juz ke-1, hal. 145 112
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al-Syar’iyyah, juz ke-1, hal. 145
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 64 ]
bahwa nabi ma’ṣûm dalam hal menyampaikan hal-hal yang telah ditetapkan
oleh Allah, namun tidak dijamin kemaksuman dalam kekeliruan
penyampaiannya. Adapun dalam hal yang berkaitan dengan dosa-dosa
mereka tidak ma’ṣûm dalam tindakannya, akan tetapi tidak ada ketetapan
kemaksuman atas dosa, bahkan mereka diberi peringatan ataupun untuk
bertaubat.113
6. Kelompok al-Ẓâhiriyyah, berpandangan bahwa kemaksuman para
nabi atau rasul setelah masa nubuwwah dari dosa besar maupun kecil yang
dilakukan dengan sengaja, namun tidak dalam tindakan yang dilakukan
sebab lupa tanpa suatu maksud dan tujuan, lalu Allah memberikan
peringatan (tanbîh) dengan memperlihatkan kepada mereka dan menjelaskan
maksud dan tujuan adanya peringatan-Nya itu.114
Uraian tersebut di atas, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
kelompok pertama yang mengatakan bahwa nabi tidak mungkin melakukan
dosa atau pun kesalahan. Kelompok kedua, adalah mereka yang menyatakan
bahwa nabi tidak mungkin melakukan dosa. Masing-masing kelompok
memiliki tesis dan argumentasi yang berbeda dan sama-sama kuat. Sebagai
anti-tesisnya, kelompok pertama dianggap sebagai telah menyalahi al-Qur‟ân
dan al-Sunnah, yang telah banyak menyinggung tentang perihal kesalahan,
kekeliruan mereka di samping banyak pula menyinggung tentang
pertaubatan para nabi. Kelompok kedua, membuktikan bahwa apa yang
dilakukan para nabi bukanlah sebuah tindakan dosa, hanyalah bentuk
kekeliruan yang langsung dibersihkan oleh Allah SWT sebagai jaminan-Nya
bagi kesucian mereka.115
Dengan demikian, dari seluruh rangkaian diskusi yang sangat panjang
sebagaimana telah sedikit dibahas, Syeikh al-Marâghî mengomentari bahwa
apa yang mereka (para nabi dan rasul) lakukan, tidak selamanya, wahyu akan
selalu menyertai sisi-sisi kehidupan dan aktivitas yang mereka perbuat,
113
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al-Syar’iyyah, juz ke-1, hal. 146 114
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al-Syar’iyyah, juz ke-1, hal. 146 115
Muhammad al-Arûsy „Abd al-Qadîr, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm, (Jeddah : Dâr al-Mujtama‟, tth.), hal. 23
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 65 ]
ataupun ucapan yang muncul dari mulut mereka; mereka tidak luput dari
kesalahan atau pun kekeliruan. Namun satu hal yang perlu menjadi catatan
adalah bahwa mereka sangat berbeda dengan manusia biasa pada umumnya,
demikian tulis Syeikh al Marâghî dalam muqaddimah ketika
memperkenalkan buku “Hayâh Muhammad”.116
Tentu, kekeliruan yang telah
mereka lakukan, secepatnya akan mendapat koreksi langsung dari
„pemegang sah risâlah‟, yaitu Allâh SWT.
ه ٱلل ب أد رذش ب ٱج أ٠ ٠ Artinya: “Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah
Allah halalkan bagimu..” (QS. Al-Tahrîm/66: 1).
Ayat ini sebagai teguran langsung dari Allâh SWT atas Rasûlullâh
saw kepada salah satu di antara istrinya. Namun, riwayat terkait latar
belakang turunnya ayat tersebut, para ulama berbeda pendapat. Ada yang
mengatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Mariyyah yang
diharamkan oleh Rasûlullâh saw untuk tidak akan menggaulinya lagi atas
dasar desakan dari istri-istri lainnya, terutama „Â‟isyah dan Hafṣah. Beliau
saw lakukan supaya bisa menyenangkan hati istri-istri yang lain. Pendapat
lain menyebutkan bahwa teguran dalam ayat tersebut berkenaan dengan
pengharaman madu oleh beliau saw atas dasar kecemburuan „Â‟isyah dan
Hafṣah terhadap Zainab binti Jahsy.117
C. Pandangan Ulama Tentang Kehujjahan Hadîts Hammi
Sebagaimana disebutkan pada bab sebelumnya, terkait kehujjahan
hadis hammî para ulama terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok
ulama yang mendukung kehujjahannya.118
Kedua, kelompok ulama yang
116
Muhammad Husain Haikal, Hayâh Muhammad, (Kâiro : Dâr al-Ma‟ârif, 1935
M), cetakan ke-14, hal. 11 117
Riwayat-riwayat tersebut terkait penafsiran Surat al-Tahrîm : 1-5. Lihat, Abî
„Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh al-Musnad
Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-3, hal. 312-314. 118
Kehujahan tersebut mengandung konsekuensi fungsional, yakni pelaksanaan
praktis sesuai dengan ketetapan-ketetapan dan tuntutan-tuntutan yang telah digariskan oleh
sunnah. Lihat, Abî „Abdillâh Muhammad bin Sa‟îd Ruslân, al-Sunnah wa Bayân
Makânatihâ fî al-Islâm, (Mesir : Dâr Aḍwâ‟ al-Salaf, 1430 H/2009 M), cetakan ke-1, hal. 71
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 66 ]
tidak menjadikan kehujjahannya berdasarkan argumentasi yang menyatakan
bahwa hadis hammî tidak termasuk bagian dari Sunnah Nabi saw.
Kelompok pertama yang meyakini kehujjahan hadis hammî, adalah
al-Imâm al-Syâfi‟î (150-204 H) dan para pengikutnya. Namun, dalam hal
kategorisasi hadis-hadis hammî, kelompok ini tidak secara tegas
membedakan hammî yang terealisasi ataupun yang tidak; kelompok ini
menganggap semua hadis yang menggunakan term hamm ( ) dianggap
sama kedudukannya sebagai hujjah syar’iyyah.
Mereka, seperti al-Zarkâsyî, menjadikan contoh riwayat tentang
keinginan Nabi saw untuk merubah posisi selendang atau surbannya ketika
khutbah pada salat istisqâ’, sebagai bagian dari hadis hammî, sebagaimana
disebut dalam riwayat dari al-Imâm al-Syâfi‟î (150-204 H), sebagai berikut :
هك١ أفجوب ها ل ال ؾ ؼي٣ي ث ػجل ا ؿي٣خ ، ػ بهح ث ػ ػجبك ، ػ
٤ ر خ ث ٤ ف ػ٤ ػ٤ ٠ هللا هللا و٠ ه ز : ا كاء، ، هب
. هجب ػ٠ ػبرو ب صوذ ػ٤ لب ك٤غؼ أػالب، ك ٣ؤفن ثؤ كؤهاك أ
„Abd al-„Azîz bin Muhammad al-Darâwardî (menginformasikan)
kepada kami, dari „Imârah bin Ghaziyyah, dari „Abbâd bin Tamîm, ia
berkata : “Rasûlullâh saw salat memohon diturunkannya hujan (salat
istisqâ’). Pada saat itu, beliau memakai khamîṣah119
berwarna hitam,
beliau hendak meletakkan bagian kain yg ada di bawah dipindahkan ke
atas, tatkala beliau (terlihat) kesulitan, maka beliau membaliknya di
atas pundak.120
119
Khamîṣah adalah sejenis pakaian yang berwarna hitam, yang memiliki dua
karakter yang berbeda di antara dua sisinya. Namun, dalam perkembangannya, penyebutan
khamîṣahjuga berlaku untuk jenis warna lain, selain hitam. Riwayat yang menggunakan
term khamîṣah, pada jalur tersebut di atas, selainnya menggunakan term al-ridâ’, yang
berarti selendang (sorban). Lihat, Ibn al-Atsîr Majd al-Dîn Abî al-Sa‟âdât al-Mubârak bin
Muhammad bin „Abd al-Karîm al-Jazrî, al-Syâfî fî Syarh Musnad al-Syâfi’î, tahqîq : Ahmad
bin Sulaimân dan Abî Tamîm Yâsir bin Ibrâhîm, (Riyâḍ : Maktabah al-Rusyd, 1426 H/2005
M), cetakan ke-1, juz ke-2, hal. 336 120
Di dalam riwayat lain yang diinformasikan oleh al-Nasa‟i secara marfu’ oleh
„Abbâd bin Tamîm dari „Abdillâh bin Yazîd. Lihat lebih jauh, Ibn al-Atsîr Majd al-Dîn Abî
al-Sa‟âdât al-Mubârak bin Muhammad bin „Abd al-Karîm al-Jazrî, al-Syâfî fî Syarh Musnad
al-Syâfi’î, tahqîq : Ahmad bin Sulaimân dan Abî Tamîm Yâsir bin Ibrâhîm, juz ke-2, hal.
335
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 67 ]
Menurut Ibn al-Atsîr riwayat tersebut terdapat dalam naskah al-Rabî‟
bin Sulaimân, salah satu murid terdekat al-Syâfi‟î (w.204 H), juga
disebutkan dalam kitab al-Umm.121
Lebih lanjut, menurut Ibn al-Atsîr,
riwayat tersebut mursal tâbi’î122
, sebab „Abbâd bin Tamîm adalah seorang
tâbi‟în, tidak mungkin langsung menisbatkan kepada Nabi saw.123
Terkait hal ini, Ibn „Abd al-Barr, sebagaimana dikutip Abî Mu‟âdz
Ṭâriq, menjelaskan bahwa ke-mursal-an seorang tabi‟in masih bisa diterima
dan harus diterima hadisnya serta bisa dijadikan hujjah, selama tabi‟in
tersebut sudah jelas ke-tsiqah-annya dan diterima dari orang yang tsiqah
pula.124
„Alâ‟ al-Dîn menyebutkan bahwa riwayat „Abbâd bin Tamîm dalam
pembahasan salat istisqâ’ bisa dijadikan sebagai hujjah.125
Oleh karena itu,
dengan berdasarkan riwayat tersebut, al-Syâfi‟î (w.204 H) dalam qaul jadid-
nya menetapkan:
غ ..." ٣ي٣ل ل أػال أ هكاء ك٤غؼ ٣ أ ب و اإل , كؤ ثنا أه
ج ان١ ػ٠ و, األ٣ ج ػ٠ األ٣ ج ان١ ػ٠ و ك٤غؼ ٤ ر
121
Muhammad bin Idrîs al-Syâfi‟î, al-Umm wa bi Hâmisyih Mukhtaṣar al-Imâm al-
Jalîl Abî Ibrâhîm Ismâ’îl bin Yahyâ al-Muzanî al-Syâfi’î (w.264 H), (Kairo : Dâr al-Syu‟ab,
1388 H/1968 M), juz ke-1, hal. 222 122
Hadis mursal adalah hadis yang di-marfu’-kan langsung oleh seorang perawi
dari kalangan tâbi’î (baik tâbi’î besar ataupun kecil) kepada Rasûl saw, baik ucapan,
perbuatan, maupun taqrîr-nya. Para ulama berbeda pendapat dalam hal mursal tâbi’î besar
atau kecil. Menurut sebagian ulama, hadis mursal hanya bagi tabi‟i besar, sedangkan mursal
tabi‟i kecil, menurut sebagian ulama digolongkannya sebagai hadîts munqaṭi’. Lihat,
Muhammad „Ajâj al-Khaṭîb, Uṣûl al-Hadîts ‘Ulûmuhu wa Muṣṭalahuhu, (Beirut : Dâr al-
Fikr, 1426-7 H/2006 M), hal. 222-223. Lihat juga, al-Imâm Abû „Amr „Utsmân bin „Abd al-
Rahmân al-Syahrazûrî, ‘Ulûm al-Hadîts li Ibn Ṣalâh, tahqîq : Nûr al-Dîn „Itr, (Beirut : Dâr
al-Fikr al-Mu‟âṣir, 1406 H/1986 M), hal. 52 123
Ibn al-Atsîr Majd al-Dîn Abî al-Sa‟âdât al-Mubârak bin Muhammad bin „Abd
al-Karîm al-Jazrî, al-Syâfî fî Syarh Musnad al-Syâfi’î, juz ke-2, hal. 335 124
Abî Mu‟âdz Ṭâriq bin „Iwaḍillâh bin Muhammad (Ed.), Jâmi’ al-Masâ’il al-
Hadîtsiyyah al-Qawâ’id al-Hadîtsiyyah, (Mesir : Dâr Ibn „Affân, 1431 H/2010 M), cetakan
ke-1, jilid ke-2, hal. 20 125
Abû „Abdillâh „Alâ‟ al-Dîn Maghlaṭî bin Qalîj bin „Abdillâh al-Bakjarî al-Miṣrî
al-Hakarî al-Hanafî, Ikmâl Tahdzîb al-Kamâl fi Asmâ’ al-Rijâl, tahqîq : Abû „Abd al-
Rahmân „Âdil bin Muhammad, (Mesir : al-Fâruq al-Hadîtsah, 1422 H/2001 M), juz ke-7,
hal. 164
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 68 ]
األ٣ و ػ٠ ٠ هللا ػ٤ هللا ب أهاك ه هل عبء ث , ك٤ األ٣ ج
"... ٣ رؾ ب كؼ ث
“...(Berdasarkan riwayat ini, kami berpendapat: „Hendaknya seorang
khaṭîb membalikkan rida’-nya, (dengan cara): bagian atasnya dijadikan
sebagai bagian bawah (bersamaan dengan) merubah sisi bagian pundak
kanan menjadi berpindah ke pundak bagian kiri. Dan (jika
sebelumnya) berada pada bagian pundak kiri dipindahkan ke bagian
pundak kanan. Demikian seperti keadaan yang diharapkan oleh
Rasûlullâh saw yang menghendaki untuk membalikkan dan merubah
rida’ (ketika khutbah istisqâ’)...”.126
Lebih lanjut, al-Zarkasyî menyebutkan contoh tentang al-ghîlah atau
al-ghiyâl127
, sebagaimana terekam dalam Ṣahîh Muslim, kitâb al-nikâh, bâb
jawâz al-ghîlah wa hiya waṭ’ al-murḍi’ wa karâhah al-‘azl. Nabi saw pernah
memiliki niat dan maksud akan melarang tentang al-ghîlah. Namun,
larangan tersebut tidak diteruskan ; tidak dibakukan di dalam masyarakat
(ditarik oleh Nabi sendiri) ketika melihat langsung (di dalam matan hadis
disebutkan و ٠ ؽز٠ م : teringat) tentang fakta sejarah yang menyatakan
bahwa masyarakat bangsa Rumawi maupun Persia telah terbiasa melakukan
al-ghîlah tersebut, karena tidak membahayakan bagi anak mereka yang
masih berada dalam kandungan.128
Dari beberapa contoh yang diajukan, penulis cenderung sependapat
dengan Sulaimân al-Asyqar yang menegaskan adanya kemusykilan yang
jelas terkait hal tersebut yang dikelompokkan ke dalam hadis hamm meski
menggunakan term hamm ( ). Padahal, Nabi saw sendiri telah menarik
126
Muhammad bin Idrîs al-Syâfi‟î, al-Umm wa bi Hâmisyih Mukhtaṣar al-Imâm al-
Jalîl Abî Ibrâhîm Ismâ’îl bin Yahyâ al-Muzanî al-Syâfi’î, hal. 222 127
Al-Nawawî mengatakan, sebagaimana dikutip Mûsâ Syâhin Lâsyîn, bahwa para
ulama berbeda pendapat tentang maksud dari term al-ghîlah dalam hadits tersebut di atas.
Menurut Mâlik dalam kitab Muwaṭṭâ, al-Aṣmu‟i dan beberapa ahli bahasa lainnya
mengatakan bahwa maksudnya adalah seorang suami yang menyetubuhi istrinya dalam
keadaan menyusui. Sedangkan menurut Ibn al-Sikkît, yang dimaksud al-ghîlah adalah
menyetubuhi istri yang sedang dalam keadaan menyusui dan hamil pula. Lihat, Mûsâ Syâhîn
Lâsyîn, Fath al-Mun’im Syarh Ṣahîh Muslim, (Kairo : Dar al-Syurûq, 1423 H/2002 M),
cetakan ke-1, juz ke-5, hal. 600 128
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairi al-Naisâbûrî (206-261 H), Ṣahîh
Muslim, tahqîq : Muhammad Fu‟âd „Abd al-Bâqî, (Kairo : Dâr Ihyâ‟ al-Kutub al-
„Arabiyyah, 1374 H/1954 M), juz ke-2, hal.1067
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 69 ]
ucapan atau pun tindakannya sendiri sehingga ucapan dan tindakan yang
beliau sampaikan menjadi urung dilaksanakan atau tidak diteruskan sebagai
keputusan dan atau ketetapan hukum.129
Mayoritas ulama, seperti pengikut Imâm Mâlik (93-179 H) dan
pengikut Imâm Ahmad bin Hanbal (164-241 H) menolak pendapat tersebut,
bahkan, Ibn Qudâmah menyangsikan otenstisitas hadisnya, sehingga ia
sendiri menilai kemungkinan adanya kekeliruan perawi (ihtimâl khaṭa’ al-
râwi) dalam meriwayatkan hadis-hadis tersebut.130
Sebab jika memang benar
itu riwayat yang ṣahîh bersumber dari Nabi saw, tentu para sahabat dan
generasi setelahnya akan mengikutinya sebagai kesunnahan yang dikerjakan
oleh Rasûlullâh saw.131
Kalangan Syâfi‟iyyah sendiri, sebagaimana diungkap oleh al-
Zarkâsyî (745-794 H), menyatakan bahwa mereka menjadikannya sebagai
bagian dari sunnah Nabi saw yang mesti dilaksanakan oleh umat, meskipun
dalam rotasi istinbaṭ-nya akan mendahulukan sunnah yang bersifat qaulî,
lalu fi’lî, lalu taqrîrî Nabi saw, kemudian jika di dalam ketiganya tidak bisa
didapati sumber hukum yang bisa dijadikan dalam penetapan hukum, maka
langkah selanjutnya adalah menjadikan sunnah hammî sebagai dalilnya.132
Dengan demikian, paparan tersebut di atas memberikan kesimpulan
bahwa terkait kehujjahan hadis hammî tetap memunculkan dua kelompok
pendapat yang berbeda, yakni kelompok yang menetapkan sebagai bagian
dari sunnah Nabi saw dan sepenuhnya mendukung kehujjahannya.
Kelompok ini memunculkan konsekuensi fungsional, yakni adanya bentuk
pelaksanaan praktis sesuai dengan ketetapan-ketetapan dan tuntutan-tuntutan
yang telah digariskan oleh sunnah. Sedangkan kelompok lain yang tidak
menjadikannya sebagai hujjah, berdasarkan argumentasi yang menyatakan
129
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al- Syar’iyyah,juz ke-2, hal. 134-135 130
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al- Syar’iyyah, juz ke-2, hal. 136 131
Muhammad Sulaimân al-Asyqâr, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al- Syar’iyyah, juz ke-2, hal. 136 132
Badr al-Dîn Muhammad bin Bahâdur bin „Abdillâh al-Zarkasyî al-Syâfi‟î, al-
Bahr al-Muhîṭ fî Uṣûl al-Fiqh, (Kairo : Dâr al-Ṣafwah, 1409 H/1988 M), cetakan ke-1, juz
ke-4, hal. 211
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 70 ]
bahwa hadis hammî tidak termasuk bagian dari sunnah Nabi saw yang
mengharuskan umat untuk menjalankan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya.
Oleh karena itu, ucapan atau pun tindakan Nabi saw yang urung
dilaksanakan atau tidak terealisasi, dapat bersifat mengikat dan juga bisa
menjadi keputusan atau ketetapan hukum yang tidak mengikat. Dan menurut
penulis, terkait kemaksuman seorang nabi atau rasul, keputusan hukum
tersebut bisa mengikat atau tidaknya dapat dilihat dari faktor atau motif133
yang melatarbelakangi riwayat tersebut muncul ke permukaan, yang akan
diurai pada pembahasan-pembahasan berikut.
133
Dalam hal ini, penulis memahami arti kata faktor atau motif sebagai burhân atau
‘ilm atau pengetahuan atau koreksi yang didatangkan dan diinformasikan dari Allâh SWT
melalui wahy, sebagaimana telah diuraikan oleh Abû Hayyân al-Andalûsî dan al-Jamal.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 71 ]
Bab Tiga
TAKHRÎJ
HADIS-HADIS HAMMÎ
Untuk mengetahui autentisitas atau kesahihan suatu hadis secara
komprehensif, baik dari segi sanad dalam cakupan kritik eksternal suatu
penelitian atau pun segi matan dalam cakupan kritik internalnya, tidak bisa
tidak upaya pentakhrijan mutlak dilakukan, demi obyektifitas suatu penilaian
atas kebenaran dalam sumber-sumber hadis, serta hal-hal yang berkaitan
dengan diterima atau ditolaknya sebuah hadits.1 Paling tidak, urgensi yang
akan diraih dalam cakupan eksternal (al-khârijî)2, akan diperoleh adanya
kemungkinan kekeliruan atau pun unsur distorsi serta kualitas di dalamnya,
maupun dalam cakupan internal (al-baṭinî, al-dâkhilî), yakni pemahaman
yang benar terhadap makna-makna yang terkandung dalam teks (naṣ).3
Oleh sebab itu, dengan langkah pentakhrijan ini, pengumpulan dari
berbagai sanad dan redaksi dari suatu hadits (matn), merupakan sebuah
metode perbandingan dari berbagai bentuk periwayatan untuk menakar
1Abû Muhammad „Abd al-Mahdi menyebutkan di antara urgensi atau manfaat dalam
upaya pentakhrijan suatu hadis : 1. Mengetahui sumber-sumber hadis, kitab-kitab sumber
yang memuat hadis terkait beserta ulama-ulama yang terlibat dalam koleksi periwayatan 2.
Mengetahui variasi matan serta para perawi (rijâl) dalam variasi sanad yang berbeda-beda 3.
Dengan perbedaan dan variasi yang ada, akan dapat diketahui riwayat yang muttaṣil,
munqaṭi’, ataupun mu’ḍal dan seterusnya, dan dengan keadaan yang banyak seperti akan
diketahui munculnya syawâhid atau pun mutâbi’ sehingga keadaan suatu hadis yang semula
ḍa’îf akan menjadi penguat dengan mengangkat derajat hadis yang lemah menjadi hasan 3.
Mengetahui pendapat dan dasar penetapan para ulama seputar hadis 4. Memperjelas keadaan
ataupun nama seorang perawi yang masih samar melalui perbanding di antara sanad-sanad
yang telah ditakhrij atau diangkat ke permukaan 5. Mengetahui pen-tadlis-an, mukhtalif atau
mukhtaliṭ tafarrud atau yang syâdz, adanya mudraj dan seterusnya dalam suatu periwayatan.
Lihat, „Abd al-Mahdî „Abd al-Qâdir „Abd al-Hâdî, Ṭuruq Takhrîj al-Hadîts Rasûlillâh saw,
(Kairo : Maktabah al-Îmân, 1433 H/2012 H), cetakan ke-4, hal. 13-16 2Ibrâhîm Amîn al-Jâf al-Syahrazûrî al-Baghdâdî, Manâhij al-Muhadditsîn fî Naqd
al-Riwâyât al-Târîkhiyyah li al-Qurûn al-Hijriyyah al-Tsalâtsah al-Ûlâ, (Dubai : Dâr al-
Qalam, 2014), juz ke-1, hal. 92 3Ibrâhîm Amîn al-Jâf al-Syahrazûrî al-Baghdadi, Manâhij al-Muhadditsîn fî Naqd
al-Riwâyât al-Târîkhiyyah li al-Qurûn al-Hijriyyah al-Tsalâtsah al-Ûlâ, juz ke-1, hal.110
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 72 ]
tingkat akurasi4 antara satu riwayat dengan yang lain, meskipun disebutkan
dalam kitab yang sudah dianggap memiliki tingkat akurasi yang paling
tinggi, seperti al-Bukhârî.5
Dalam studi analisa sanad, menjadi sangat penting terkait validitas
pembawa informasi yang beredar dalam rotasi periwayatan. Kenyataan ini
menjadi sangat urgen, paling tidak setelah terjadinya peristiwa fitnah di
dalam umat Islam sendiri, sebagaimana ditegaskan oleh Ibn Sîrîn (33-110
H), sebagaimana dikutip Ibrâhîm Amîn al-Jâf, bahwa sebelumnya di
kalangan mereka tidak mempersoalkan siapa pembawa hadis (transmisi
hadis) hingga peristiwa fitnah itu muncul, setiap mendengar suatu hadis
mereka pasti akan menanyakan dari siapa hadis itu diperoleh.6
4Menurut Ibn al-Ṣalâh, tingkat akurasi seorang perawi dapat diketahui dengan cara
memperbandingkan riwayatnya dengan riwayat perawi yang telah dikenal ke-tsiqah-annya.
Jika riwayatnya sesuai dengan perawi lain yang tsiqah, dan jarang melakukan riwayat yang
berbeda, meskipun hanya sebatas isi, maka perawi tersebut telah melakukan kontrol
terhadap riwayatnya, karena itu ia disebut perawi yang ḍâbiṭ tsubut. Namun jika sebaliknya,
sering ditemukan adanya perbedaan dengan yang lain, maka bisa diketahui bahwa ke-ḍâbiṭ-
annya telah rusak atau lemah ; riwayatnya tidak boleh digunakan sebagai hujjah. Abû
„Umar wa „Utsmân bin „Abd al-Rahmân al-Syahrazûrî, ‘Ulûm al-Hadîts li Ibn Ṣalâh, tahqîq
: Nûr al-Dîn „Itr, (Beirut : Dâr al-Fikr al-Mu‟âṣir, 1406 H/1986 M), hal., hal. 106 5Al-Bukhârî (w.256 H) sendiri tidak pernah menjelaskan secara rinci dalam
kitabnya terkait kriteria atau syarat-syarat yang dijadikannya sebagai standar autentisitas
hadis. Pada kenyataanya, sebagaimana beberapa bukti dalam penelitian oleh Ṭâriq
Muhammad Am‟itîq dan Mahmûd Idrîs al-„Awâmî, ditemukan di beberapa tempat, perawi
yang dipertanyakan ke-ḍabiṭ-annya, tanpa adanya mutâba’ât atau pun syawâhid-nya. Lihat,
Ṭâriq Muhammad Am‟itîq dan Mahmûd Idrîs al-„Awâmî, Namâdzij Min Marwiyyât Man
Khaffa Ḍabṭuhum Fî Ṣahîh al-Bukhârî, Dirâsah Taṭbîqiyyah, (Beirut : Dâr al-kutub al-
„Ilmiyyah, 1433 H/2012 M), cetakan ke-1, hal. 33 6Ibrâhîm Amîn al-Jâf memberikan contoh tentang bagaimana penelusuran seorang
perawi untuk mendapatkan validitas dari para informan yang ia temui. Adalah al-Syabî‟î
yang memperoleh riwayat hadis dari al-Rabî‟ bin Khutsaim, lalu dikatakan kepadanya (al-
Rabî‟), „siapa yang telah menyampaikan informasi ini kepadamu?‟. Dijawab oleh al-Rabî‟
bahwa ia mendapatkannya dari Ibn Abî Lailâ. Al-Syabî‟î pun menemui informan tersebut
terus menerus hingga pada informan yang mendapatkan informasinya langsung dari
Rasûlullâh saw. Lihat lebih jauh, Ibrâhîm Amîn al-Jâf al-Syahrazûrî al-Baghdâdî, Manâhij
al-Muhadditsîn fî Naqd al-Riwâyât al-Târîkhiyyah li al-Qurûn al-Hijriyyah al-Tsalâtsah al-
Ûlâ, hal. 334. Lihat riwayat tersebut secara lengkap dalam mukadimah Imâm Muslim, Abî
al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî (206-261), Ṣahîh Muslim, tahqîq
dan taṣhîh : Muhammad Fu‟âd „Abd al-Bâqî, (Kairo : Dâr Ihyâ‟ al-Kutub al‟Arabiyyah,
1918 H), juz ke-1, hal. 14
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 73 ]
Sehingga, baik Ibn al-Mubârak (w.181 H) maupun Ibn Sîrîn (33-110
H), sama-sama menandaskan bahwa sistem sanad itu merupakan bagian dari
agama; yang bisa memberikan pengaruh terhadap paham serta penyerapan
agamanya. Maka tanpa adanya sistem ini, siapa pun akan mengklaim ucapan
atau pun tindakannya sekehendak dan kepentingannya sendiri; orang akan
berkata semaunya (tanpa memiliki sandaran yang kuat dan benar).7
Sedemikian krusial sanad dalam disiplin ilmu hadis, telah jelas bahwa
ia adalah tiang (sandaran) yang digunakan untuk mengukuhkan atas proses
pentashihan dan pentadh‟ifan hadis. Namun yang dijadikan sandaran bukan
hanya sanad, juga harus ditopang dengan berbagai hal penting lainnya. Jika
keberadaan isnad menjadi hal yang musti (diperlukan) untuk menetapkan
semua hadis, baik ṣahîh atau pun ḍa’îf, maka yang demikian itu termasuk
berbagai hal yang dijadikan keputusan atau ketetapan ; suatu pendapat yang
tidak memiliki sandaran-sanad dalam penuturan dari pembicara, maka tidak
akan ada nilainya (percuma).
Perumpamaan ketiadaan sanad adalah adanya kedustaan di dalamnya.
Dengan demikian, sebenarnya dengan adanya kedustaan maka tidak bisa
diambil seluruh hadisnya. Boleh jadi, ada sebagian kecil di dalam sanad
tersebut yang bersifat jujur (bisa dipercaya), namun pernah berani
memalsukan hadis sekali maka akan dihukumi sama dengan tidak
diterimanya keseluruhan hadisnya.8
Jika keberadaan sanad menjadi begitu prinsip dalam penetapan atas
semua hadis atau pun ucapan (pendapat) yang disandarkan kepada
pemiliknya, maka tidak ada keanehan dan keganjilan ketika itu jika perhatian
para ahli hadis menempatkan kajian sanad pada kedudukan yang utama.
Sebab penetapan (hukum) atas hadis tidak bisa dilakukan kecuali setelah
melakukan pertimbangan dalam sanadnya.9
7Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-1, hal. 15 8Musfir „Azmillâh al-Dumînî, Maqâyîs Naqd Mutûn al-Sunnah, (Riyâḍ: al-
Sa‟ûdiyyah, 1404 M/1984 M), cetakan pertama, hal. 50 9Mahmûd al-Ṭahhân, Uṣûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânîd, (al-Riyâḍ: Maktabah
al-Ma‟ârif, 1412 H/1991 M), cetakan ke-2, hal. 138. Lihat juga, Musfir „Azmillâh al-
Dumînî, Maqâyîs Naqd Mutûn al-Sunnah, hal. 50
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 74 ]
Namun menetapkan hukum kesahihan hadis tidak hanya cukup
dengan isnad yang tanpa ada unsur kedustaan di dalamnya, bahkan tidak
boleh tidak memenuhi di antara syarat-syarat lainnya yang dikembalikan
pada keadaan perawi dan periwayatan itu sendiri. Syarat-syarat tersebut telah
disebutkan oleh imâm al-Syâfi‟î (w.204 H) di antaranya sebagai berikut:
Pertama, orang yang meriwayatkan khabar harus terpercaya
agamanya. Kedua, (orang tersebut) dikenal jujur dalam penuturannya.
Ketiga, ia paham terhadap hal (hadis) yang disampaikan. Keempat, ia
mengetahui dengan benar (alim) suatu lafaẓ yang bisa mengubah makna
hadis ; atau dia adalah periwayat yang bisa menyampaikan hadis sesuai
dengan huruf-hurufnya sebagaimana yang telah ia dengar, tidak menurut
makna. Karena apabila ia meriwayatkan hadis dalam bentuk makna,
sedangkan ia tidak mengetahui aspek-aspek yang bisa mengubah maknanya,
maka ia tidak tahu barangkali ia mengalihkan halal kepada yang haram.
Apabila ia meriwayatkan hadis sesuai dengan huruf-hurufnya, maka tidak
ada lagi alasan kekhawatiran mengubah hadis. Kelima, ia harus hafal jika ia
meriwayatkannya dari hafalannya; ia harus menjaga catatannya jika ia
meriwayatkannya dari kitab (catatannya). Apabila ia menghafal satu hadis
bersama-sama penghafal hadis lainnya, maka ia harus sejalan, sesuai dengan
hadis mereka. Keenam, terbebas dari tuduhan sebagai periwayat mudallis,
yaitu periwayat yang menuturkan atau meriwayatkan dari orang yang
dijumpainya tentang hal yang tidak pernah didengarnya dari orang itu. Di
samping itu, ia juga terbebas dari meriwayatkan hadis dari Nabi Muhammad
saw sedangkan para periwayat terpercaya meriwayatkan hal sebaliknya dari
Nabi saw‟.10
Periwayatan harus terhindar dari syadz11
, dengan menyandarkan
kepada periwayatan lain, sama halnya dalam hadis ahad atau hadis-hadis
yang disusun berdasarkan pokok masalah (yang dibahas), hadis yang disusun
berdasarkan bab atau yang lainnya dari semua hadis-hadis yang diriwayatkan
10
Al-Imâm al-Muṭṭallibî Muhammad bin Idrîs al-Syâfi‟î, al-Risâlah, hal. 370-371. 11
Secara bahasa kata syâdz berarti jarang, yang menyendiri, yang asing, yang
menyalahi aturan, dan yang menyalahi orang banyak. Lihat, Muhammad „Ajâj al-Khaṭîb,
Uṣûl al-Hadîts ‘Ulûmuhu wa Muṣṭalahuhu, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1426-7 H/2006 M), hal.
229
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 75 ]
dari Rasûlullâh saw. Al-Syâfi‟î (w.204 H) berkata : „Bukanlah suatu hadis
dinyatakan mengandung syâdz, hanya jika diriwayatkan oleh seorang
periwayat yang tsiqah, sedang periwayat yang lainnya tidak meriwayatkan
hadits tersebut. Namun yang dimaksud syâdz juga jika hadis diriwayatkan
oleh satu orang perawi tsiqah, yang menyalahi hadis yang diriwayatkan
orang banyak yang juga tsiqah.12
Dari sini, kemungkinan dapat kita pahami bahwa kata syudzûdz
adalah peristilahan yang lebih sering berkaitan dengan matan dari pada
berkaitan dengan sanad. Sebab suatu hadis itu mengandung syâdz atau tidak,
tidak bisa diketahui kecuali dengan cara membandingkan dengan hadis-hadis
lainnya yang berbeda.
Oleh karena itu, para ahli hadis benar-benar mempertimbangkan
persoalan ini menurut definisi mereka terhadap hadis ṣahîh. Maka mereka
mensyaratkan: „Suatu hadis tidak boleh terdapat syudzûdz dan „illah. „Illah’
pada umumnya terjadi pada atau di dalam sanad, sedangkan syudzûdz terjadi
di dalam matan, terkadang juga di dalam sanad. Dan jika ditelusuri, pada
umumnya terjadi di dalam matan, sebagaimana terlihat dari definisi yang
tergambarkan dalam pendapat al-Syâfi‟î yang menyatakan bahwa jika
seorang perawi yang tsiqah meriwayatkan hadis yang menyalahi (berlainan)
dengan hadis yang diriwayatkan orang banyak yang juga tsiqah.13
Jika hal itu
menyalahi pada sebagiannya maka telusuri secara tersendiri supaya cukup
untuk menggambarkan terhadap nilai ke-syâdz-an tanpa yang lainnya.
Namun pendapat mayoritas ulama adalah yang ṣahîh. Betapa banyak hadis
yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang juga tsiqah, tapi tidak disebut
dengan syâdz, serta kesepakatan mereka dengan penilaian ṣahîh.14
Begitu juga, matan tidak bisa ditetapkan kesahihannya hanya karena
para perawi yang tsiqah, namun mengharuskan adanya ketersediaan faktor-
faktor lainnya. Ibn al-Qayyim (691-751 H), sebagaimana dikutip Musfir
„Azmillâh al-Dumînî, berkata: „Mesti diketahui bahwa kesahihan sanad
12
Al-Bulqînî, Mahâsin al-Iṣṭilâh Hâsyiyah ‘Alâ Muqaddimah Ibn Ṣalâh, tahqiq :
„Âisyah Abd al-Rahmân Bint al-Syâṭi‟, (Kairo : Dâr al-Ma‟ârif, 1409 H/1989 M), hal. 173 13
Al-Bulqînî, Mahâsin al-Iṣṭilâh Hâsyiyah ‘Alâ Muqaddimah Ibn Ṣalâh, hal. 173 14
Lihat pembahasan lebih jauh dalam Al-Bulqînî, Mahâsin al-Iṣṭilâh Hâsyiyah ‘Alâ
Muqaddimah Ibn Ṣalâh, hal. 174-176.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 76 ]
adalah salah satu syarat dari berbagai syarat dalam kesahihan hadis dan
bukan hal yang dijadikan sebagai alasan bagi kesahihan hadis. Maka
sebenarnya, suatu hadis bisa dikatakan ṣahîh hanya dengan memenuhi
beberapa syarat, di antaranya: sahih sanadnya, tidak adanya „illah, tidak
adanya syudzûdz dan pengingkaran terhadapnya, dan para perawinya tidak
ada yang menyalahi para perawi lain yang juga tsiqah atau menyimpang,
berbeda (syâdz) dari yang lainnya.15
Lebih lanjut, Ibn al-Jauzî (510-597 H) mengatakan bahwa terkadang
suatu sanad keseluruhannya adalah tsiqah, dan juga terkadang maqlûb,16
atau
juga terjadi tadlîs di dalamnya. Ini termasuk persoalan-persoalan yang sulit,
yang tidak bisa dideteksi, diketahui kecuali dengan melakukan kritikan-
kiritikan‟.17
Jika tidak, suatu hadis tidak perlu ditelusuri para perawinya,
sebab tidak mungkin (mustahil) jikalau suatu penuturan dari orang-orang
15
Musfir „Azmillâh al-Dumînî, Maqâyîs Naqd Mutûn al-Sunnah, hal. 52 16
Hadîts maqlûb adalah hadis yang oleh seorang perawi susunan matannya terbalik,
atau diputarbalikkan dengan membalikkan yang belakang ke depan dan sebaliknya, atau
juga terbaliknya nama seorang perawi dalam sanad hadis. Lihat, Muhammad „Ajâj al-
Khaṭîb, Ushûl al-Hadîts ‘Ulûmuhu wa Muṣṭalahuhu, hal. 228 17
Abî al-Faraj „Abd al-Rahmân bin „Alî bin al-Jauzî al-Qurasyî (510-597 H), al-
Mauḍû’ât, tahqîq : „Abd al-Rahmân Muhammad „Utsmân (Madînah al-Munawwarah :
Maktabah al-Salafiyyah, 1386 H/1966 M), cetakan ke-1, juz ke-1, hal. 99-100. Kata “kritik”
dalam bahasa Arab digunakan oleh beberapa ahli dengan kata al-naqd yang bisa dimaknai
dengan upaya untuk membedakan sesuatu yang baik dan salah, juga upaya pembuktian akan
suatu hal konfirmatif. Istilah ini, menurut M. M. Azami, belum dikenal pada masa Nabi
SAW atau pun masa awal perkembangan hadis. Namun jika pengertiannya seperti hal
tersebut, maka konsep demikian bisa dilihat dalam istilah “tamyîz”, sebagaimana tertuang
dalam pengertian al Qur‟an:
... م نمالطي ب المب يثم الم ؤم ن نيمعملمىمماأمن ت معملميه حمتيم يزم رم كمانمالله ل يمذم مما
“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam
keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik
(mukmin)...(QS. Ali Imron/3:179).
Selanjutnya, ia mengatakan bahwa jika maksud “kritik” sebagaimana tersebut di
atas, sebenarnya hal tersebut dalam makna ayat, telah dimulai pada masa Nabi saw,
meskipun pada masa itu hanya lebih bersifat “pembuktian” dengan cara menemui Nabi saw
untuk mengkonfirmasi sesuatu itu benar berasal dari beliau. Lihat Muhammad Mustafa
Azami, MA. Ph. D., Metodologi Kritik Hadis, terj. Drs. Ahmad Yamin, judul asli “Studies In
Hadith Methodology and Literature“, (Jakarta : Pustaka Hidayah, 1992), cetakan ke-2, hal.
82
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 77 ]
yang terpercaya, ternyata yang dinisbatkan dan dikembalikan kepada mereka
adalah keliru.18
Jadi, isnâd dan matn adalah dua hal yang saling bertautan, terikat,
yang tidak terpisahkan satu sama lain. Maka penetapan hukum terhadap
keda‟ifan suatu sanad, dituntut pula adanya penetapan terhadap matan --dari
jalur tersebut-- dengan yang ḍa’îf juga. Dan suatu matan tidak bisa
ditetapkan mengandung syudzûdz atau ḍa’îf kecuali di dalam sanadnya
terdapat cacat atau ‘illah dan kelemahan juga. Syu‟bah, sebagaimana dikutip
al-Khathîb al-Baghdâdî (w. 463) pernah berkata bahwa suatu hadis yang
syâdz tidak akan anda dapatkan kecuali (berasal) dari perawi (rijâl) yang
syâdz juga.19
Namun, dari uraian tersebut di atas, dalam pembahasan selanjutnya
penulis sangat tidak memungkinkan untuk menelusuri hadis-hadis yang
sangat banyak jumlahnya. Oleh karena itu, penulis akan membatasi
penelusuran pada pen-takhrîj-an secara umum saja, paling tidak, dalam
kajian tersebut dapat mengetahui sumber-sumber hadis, kitab-kitab sumber
yang memuat hadis terkait beserta ulama-ulama yang terlibat dalam koleksi
periwayatan. Di samping itu, penulis dapat mengetahui variasi matan serta
para perawi (rijâl) dalam variasi sanad yang berbeda-beda.20
TAKHRÎJ AL-AHADÎTS
Dari berbagai riwayat yang telah terdeteksi, sebagaimana tersebut di
atas, dapat ditelusuri beberapa perbedaan redaksi, baik perubahan yang
signifikan atau yang terkesan bertentangan, sebagai berikut:
A. Matan dan Sanad Hadis Tentang Hamm Nabi saw Menjatuhkan Diri
Dari Atas Ketinggian Bukit (upaya intihâr, suicide).
18
Abî al-Faraj „Abd al-Rahmân bin „Alî bin al-Jauzî al-Qurasyî (510-597 H), al-
Mauḍû’ât, hal. 105-106. 19
Ahmad bin „Alî bin Tsâbit al-Baghdâdî Abû Bakr al-Khathîb (w. 463), al-Kifâyah
fi ‘Ilm al-Riwâyah, (Heidar Abad : Dâirah al-Ma‟ârif al-„Utsmâniyyah, 1357), hal. 224 20
„Abd al-Mahdî „Abd al-Qâdir „Abd al-Hâdî, Ṭuruq Takhrîj al-Hadîts Rasûlillâh
saw, (Kairo : Maktabah al-Îmân, 1433 H/2012 M), cetakan ke-4, hal. 13
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 78 ]
صب ٤و ؽل ث صب٣ؾ٠٤ ث ا٤ش ؽل ػ ػو٤ بة ػ ػ ص٢ اث ؽل ػجل
ث ل هللا صب ؾ ام ؽل ى صب ػجل او و ؽل ؼ و١ هب اي
ح كؤفجو٢ ػو خ ػ ػبئ ٢ هللا ب هبذ ه ب أ ػ هللا ه ب ثلة ث أ
ب إ٣ب ا ؽ٢ او ا ػ٤ ٠ هللا ال ٣و هإ٣ب اال ب ك كهخ ك٢ ا
٣ؤر٢ ب جؼ ك كن ا ض اد ؽواء عبءد ازؼجل ا٤ب٢ م ك٤زؾش ك٤
٣وعغ ا٠ ك ني ص ٣زي ؼلك ض فل٣غخ ا ك كزي ؾن ب ؽز٠ كغئ ا
ؿبه ؽواء ك٢ ػ٤ ٠ هللا اج٢ اهوأ كوب كوب ي ك٤ كغبء ا
ذ ٢ كو أه ل ص غ ٢ ا ٢ ؽز٠ ثؾ ط ـ ب أب ثوبهة كؤفن٢ ك ذ اهوأ كو كوب
اهوأ كو ٢ كوب أه ل ص غ ٢ ا ٢ اضب٤خ ؽز٠ ثؾ ط ـ ب أب ثوبهة كؤفن٢ ك ذ
أه ل ص غ ٢ ا ٢ اضبضخ ؽز٠ ثؾ ط ـ ب أب ثوبهة كؤفن٢ ك ٢ كوب اهوأ ثب
ؽز٠ ثؾ هثي ان١ فن ٣ؼ ب ب اإل اكه ؽز٠ ػ كوعغ ثب روعق ث
ػ٠ فل٣غخ كف ع كوب او ؽز٠ مت ػ ٢ كي ٢ ى ى كوب
ب فل٣غخ ٣ب و ال أث ٢ كوبذ ٤ذ ػ٠ ل هل ف هب قجو أفجوب ا ٢
روو١ ا رؾ ؾل٣ش لم ا ر ؽ او أثلا اي ز ال ٣قي٣ي هللا هللا ك
ؾ ائت ا ػ٠ رؼ٤ ٤ق ا طوذ ث ا فل٣غخ ن ص ك ههخ ث ؽز٠ أرذ ث
٢ ه ث ؼي ػجل ا ل ث أ ث ػ اث و فل٣غخ وأ ر ا ب أف أث٤ب
ؼوث٢ زبة ا زت ا ٣ ب ٤خ غب ك٢ ا أ بء هللا ب غ٤ اإل ؼوث٤خ زت ثب ك٤
٢ كوبذ ج٤وا هل ػ ٤قب ب زت أف٤ي فل٣غخ ٣ اث غ ا ػ أ١ اث
ههخ كوب بما رو كؤفجو اج٢ أف٢ ب هأ اث ػ٤ ٠ هللا
ههخ كوب ػ٠ ي ان١ أ ٠ نا اب ؽ٤ب ؽ٤ ٣ب ٤ز٢ ك٤ب عنػب أ
كو قوع٢ أ ػ٤ ٠ هللا هللا ه ي كوب ٣قوعي ه ههخ ب ؼ
وا وى ي أ ٢ ٣ ٣له ا اال ػك١ ب عئذ ث ض ث ه ٣ؤد هع
ت ٣ ها ص ئى ههخ ؽ٢ كزوح كزو ا ك٢ ر أ ٠ هللا اج٢ ؽز٠ ؽي
غجب ن ا ا هء ٢ ٣زوك واها ب ؽيب ؿلا ـ ب ث ك٤ ػ٤
رجل ل و٢ ٢ ٣ ح عج ك٠ ثنه ب أ ك ل اي عجو٣ ؾ ٣ب كوب
ؽ هللا ؽ٢ ه كزوح ا ك٤وعغ كبما بذ ػ٤ روو ل ني عؤ وب ك٤
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 79 ]
رجل ح عج ك٠ ثنه مي كبما أ ض ؿلا مي عجو٣ ض كوب هب اث
جبؽ ػجب كبن اإل و ثب٤ و ء ا به ثب ء ا . )ها اجقبه(
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Yahyâ bin Bukair telah
menceritakan kepada kami al-Laits dari „Uqail dari Ibnu Syihâb. Dan
Telah menceritakan kepadaku „Abdullâh bin Muhammad telah
menceritakan kepada kami „Abd al-Razzâq telah menceritakan kepada
kami Ma‟mar, al-Zuhri mengatakan, telah menceritakan kepadaku
Urwah dari „Â‟isyah ra, ia menceritakan; wahyu pertama-tama yang
diturunkan kepada Rasûlullâh saw adalah berupa mimpi yang baik
ketika tidur, beliau tidak bermimpi selain datang seperti fajar subuh,
dan beliau selalu pergi ke gua Hirâ‟ untuk ber-tahannus21
di sana, yaitu
beribadah selama beberapa malam, kemudian kembali kepada
Khadîjah agar dia dapat membekali beliau untuk keperluan seperti itu,
sampai akhirnya beliau dikejutkan dengan al-Haq ketika beliau sedang
berada di dalam gua Hirâ‟, malaikat datang kepada beliau dan berujar;
„bacalah! Nabi saw berkata kepadanya; “maka aku menjawab; „Saya
tidak bisa membaca! Lalu dia mendekapku dan menutupiku hingga
aku kepayahan. kemudian melepasku dan berkata; „Bacalah! „ aku
menjawab; „Saya tidak bisa membaca! Ia mendekapku lagi dan
menutupiku untuk kedua kalinya hingga aku kepayahan, kemudian
melepasku lagi seraya mengatakan; „Bacalah! „ saya menjawab; „Saya
tidak bisa membaca.‟ Maka ia mendekapku dan menutupiku untuk kali
ketiganya hingga aku kepayahan, kemudian melepasku lagi dan
mengatakan; ‘iqra’ bismi rabbik al-ladzî khalaq sampai ayat ‘allam al-
insâna mâ lam ya’lam, kemudian beliau pulang dengan menggigil
21
Kata al-tahannuts berarti ritual peribadatan (yata’abbad), seperti ungkapan :
“Fulân yatahannats, bermakna „Fulan melakukan peribadatan yang berfungsi untuk
mengeluarkan atau melepaskan dari dosa dan kesalahan. Kata ini jg digunakan ketika
menggambarkan peribadatan pada masa jahiliyah yang bermakna al-taqarrub, yakni upaya
untuk mendekatkan diri kepada Allâh. Lihat, Majd al-Dîn Abî al-Sa‟âdât al-Mubârak bin
Muhammad al-Jazarî bin al-Atsîr, al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsâr, tahqîq :
Mahmûd Muhammad al-Ṭanâhî, (Riyâḍ : al-Maktabah al-Islâmiyyah, tth.), juz ke-1, hal.
449. Al-„Ainî (w.855 H) menyatakan bahwa kata tersebut adalah sisipan (idrâj) tafsiran dari
al-Bukhârî, yang bermakna kegiatan menyendiri dengan ritual ibadah, menurut satu
pendapat hanya memperhatikan (Jawa=nyawang) ke arah Ka‟bah. Kegiatan tersebut
sebelumnya sudah dilakukan oleh tokoh sesepuh Quraisy, terutama oleh kakek beliau saw,
„Abd al-Muṭṭalib. Lihat, Badr al-Dîn Abî Muhammad Mahmûd bin Ahmad al-„Ainî (w.855
H), ‘Umdah al-Qârî Syarh Ṣahîh al-Bukhârî, taṣhîh dan ta‟lîq : Muhammad Munîr „Abduh,
(Beirut : Dâr al-Fikr, tth.), juz ke-24, hal. 128
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 80 ]
hingga menemui Khadîjah dan berkata; “Selimutilah aku, selimutilah
aku!” maka keluarganya pun menyelimuti beliau, sampai rasa
ketakutan beliau menghilang, kemudian beliau berkata: “ya Khadîjah,
apa yang terjadi pada diriku?” beliau menceritakan peristiwa tersebut
kepadanya dan berkata; “Aku mengkhawatirkan diriku” Maka
Khadîjah menjawab: „Sekali-kali tidak, bergembiralah, demi Allâh,
Allâh tidak akan menghinakanmu selama-lamanya, sebab engkau suka
menyambung silaturrahim, berkata jujur, menghilangkan kesusahan
orang lain serta menjamu tamu, serta membela kebenaran! „ Maka
Khadîjah pergi bersama beliau menemui Waraqah bin Naufal bin Asad
bin Abd al-„Uzzâ bin Quṣṣay, anak paman Khadîjah, atau saudara
ayahnya, ia adalah semasa jahiliyah beragama nashrânî dan suka
menulis kitab suci Arabi, ia menulis Injil Arabi dengan kehendak
Allâh, dan dia seorang kakek yang cukup umur dan buta. Maka
Khadîjah berkata kepadanya; „Wahai anak pamanku, dengarlah (apa
yang dituturkan) anak saudaramu! „ Waraqah bertanya; „Hai anak
saudaraku, apa yang telah kau lihat? „Maka Nabi saw mengabarkan apa
yang telah beliau lihat, spontan Waraqah mengatakan; „Ini adalah
Nâmûs yang pernah diturunkan kepada Mûsâ, duhai sekiranya ketika
itu aku masih gagah perkasa dan masih hidup, ketika kaummu
mengusirmu! „ “Adakah kaumku akan mengusirku?” tanya Nabi saw.
Waraqah menjawab; „Iya, tidak ada seorang pun yang membawa
seperti yang kau bawa, melainkan ia akan dimusuhi. Jikalau aku temui
hari-harimu, niscaya aku membelamu dengan gigih.‟ kemudian tak
berselang lama Waraqah meninggal dan wahyu berhenti beberapa lama
hingga Nabi saw sedih. Berita yang sampai kepada kami, kesedihan
yang beliau alami sedemikian rupa, hingga beliau beberapa kali ingin
bunuh diri dengan cara menerjunkan diri dari puncak gunung. Namun
setiap kali beliau naik ke puncak gunung untuk menerjunkan dirinya,
Jibril menampakkan diri dan mengatakan; „Hai Muhammad,
sesungguhnya engkau betul-betul utusan Allâh! „ nasehat ini
menjadikan hatinya lega dan jiwanya tenang lalu beliau pulang.
Namun jika sekian lama wahyu tidak turun, jiwanya kembali
terguncang, dan setiap kali ia naik puncak gunung untuk bunuh diri,
Jibril menampakkan diri dan menasehati semisalnya. Ibnu Abbas
mengatakan tentang ayat; „fâliq al-iṣbâh‟ yaitu cahaya matahari ketika
siang, dan cahaya bulan ketika malam.22
22
Abî Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 81 ]
Redaksi tersebut di atas terdapat dalam Ṣahîh al-Bukhârî, kitâb al-
ta’bîr (91), bâb awwal mâ budi’a bihi Rasûlullâh saw min al-wahy al-ru’yâ
al-ṣâlihah (1), no. 6982. Secara terpisah, Imam al-Bukhârî menyebutkan
juga dengan bentuk redaksi dan tempat yang berbeda, tanpa menyebutkan
kisah Rasûl saw yang hendak menjatuhkan diri dari puncak ketinggian.
Perbedaan tersebut dimulai dari teks hadis yang bergaris bawah. Redaksi
tersebut disebutkan pada kitab: „bad’ al-wahy‟ dalam Ṣahîh al-Bukhârî23
,
sebagai berikut:
صب ٤و ؽل ث صب ٣ؾ٠٤ ث ؽل ش ا٤ هب ػ ػو٤ بة ػ اث ح ػ ػو
ث٤و اي ث ػ ٤ ئ ا خ أ ب هبذ ػبئ أ ٠ هللا هللا ه ب ثلة ث أ
ض ال ٣و هإ٣ب اال عبءد ب ك بؾخ ك٢ ا إ٣ب ا ؽ٢ او ا ػ٤
٣ ب قالء ا ؽجت ا٤ جؼ ص به ؽواء قكن ا ـ ازؼجل ث ك٤زؾش ك٤
٣وعغ ك ني ص ٣زي يع ا٠ أ ٣ أ ؼلك هج اد ا ا٤ب٢ م
به ؽواء فل٣غخ ا٠ ـ ك٤ ؾن ضب ؽز٠ عبء ا ك ك٤زي ي كوب اهوأ كغبء ا
اهوأ ٢ كوب أه ل ص غ ٢ ا ٢ ؽز٠ ثؾ ط ـ كؤفن٢ ك ب أب ثوبهة هب هب
ب أب ثوبهة ذ ه ل ص غ ٢ ا ٢ اضب٤خ ؽز٠ ثؾ ط ـ اهوأ كؤفن٢ ك ٢ كوب أه
٢ كوب أه ٢ اضبضخ ص ط ـ ب أب ثوبهة كؤفن٢ ك ذ هثي ان١ كو فن اهوأ ثب
و هثي األ ػن اهوأ ب ػ٤ فن اإل ٠ هللا هللا كوعغ ثب ه
ػ٠ ٣وعق كئاك كلف ب ػ ٢ هللا ٣ل ه ذ ف ٢ فل٣غخ ث ى كوب
٢ كي ى ع كوب او ؽز٠ مت ػ ٤ذ قل٣غخ قجو ول ف أفجوب ا
٢ كوبذ فل٣غخ ػ٠ ل رؾ ؽ او أثلا اي ز ب ٣قي٣ي هللا هللا ال
ؼل ت ا ر طوذ ا ؾن كب ائت ا ػ٠ رؼ٤ ٤ق روو١ ا
فل٣غخ ث ؽز٠ أرذ ث ػ اث ؼي ػجل ا ل ث أ ث ك ههخ ث فل٣غخ ب
زب زت ا ٣ ب ٤خ غب و ك٢ ا وأ هل ر ا غ٤ اإل زت ؼجوا٢ ك٤ ة ا
٢ كوبذ ج٤وا هل ػ ٤قب ب زت ٣ أ بء هللا ب ؼجوا٤خ فل٣غخ ثب ٣ب اث
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, tahqîq : Muhîb al-Dîn al-
Khaṭîb, (Kairo : al-Salafiyyah, 1400 H), cetakan ke-1, juz ke-4, hal. 295 23
Abî„Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-1, hal. 14-15
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 82 ]
أف٤ي كوب اث غ ا ههخ ػ بما رو أف٢ ٣ب اث هللا كؤفجو ه
ب هأ كوب فجو ػ٤ ٠ هللا ههخ هللا ان١ ي نا اب
٠ ػ٠ هللا ه ي كوب ؽ٤ب ام ٣قوعي ه ٣ب ٤ز٢ ك٤ب عنػب ٤ز٢ أ
اال ب عئذ ث ض ث ه ٣ؤد هع ؼ هب قوع٢ أ ػ٤ ٠ هللا
ت ٣ ها ص ئى وا وى ي أ ٢ ٣ ٣له ا ههخ ػك١ كزو ك٢ ر أ
ؽ٢ .ا
Redaksi tersebut di atas (yang bergaris bawah dan seterusnya) diakui
oleh Ibn Hajar al-„Asqalânî adalah murni tambahan (ziyâdah) dan lafaẓnya
itu sendiri adalah milik Ma‟mar pada riwayat „Uqail sebab riwayat yang
dimiliki Ibn Hajar, sebagaimana ia akui, jalur lain yang sama dari „Uqail dari
jalur Abû Zur‟ah al-Râzî dari Yahyâ bin Bukair (guru al-Bukhârî) tidak
menyebutkan riwayat tersebut (tentang keinginan Nabi saw menjatuhkan
diri). Oleh sebab itu, tindakan ini (dengan cara menggabungkan,
sebagaimana terlihat dalam Ṣahîh al-Bukhârî) memberikan kesan seperti
bagian yang sama dari riwayat „Uqail. Al-Humaidî, sebagaimana dikutip Ibn
Hajar, menyatakan bahwa hadis ini hingga kalimat : كزواؽ٠, (dan wahyu pun
terputus; masa kekosongan wahyu), lalu al-Humaidi menyatakan: „Selesai
sampai di sini hadîs „Uqail yang diriwayatkan sendirian (al-mufrad) dari Ibn
Syihâb hingga yang telah kami sebutkan‟.24
Adapun sanad hadis tersebut Imâm al-Bukhârî merekam dari dua
jalur (sanad) periwayatan, terbukti dengan dibubuhkannya tanda huruf (ػ) di
tengah-tengah sanad yang, menurut Ibn Ṣalâh (w.643 H), memberikan
pengertian harf tahwîl25
, yaitu :
24
Ahmad bin „Alî bin Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî
‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, juz ke-12, hal. 359 25
Ibn Ṣalâh (w.643 H) menjelaskan bahwa huruf hâ’ berasal dari kata hâ’il (yang
merintangi, menghalangi antara dua sisi yang berbeda) atau harf tahwîl yakni simbol yang
menandakan adanya peralihan dalam jalur sanad ; yang menandakan bahwa dalam hadis
tersebut al-Bukhârî memiliki jalur lain. Hal ini dimaksudkan supaya tidak terjadi adanya
penumpukkan sanad yang disangka satu, padahal yang dimaksud adalah dua sanad atau
lebih yang berbeda. Sebagian yang lain mengatakan ha’ itu sebagai simbol dari kata al-
hadîs, maka ketika sampai pada huruf tersebut mengucapkan kata : al-hadîts, hal ini sudah
menjadi tradisi sebagian ulama Maghribî, namun sebagian yang lain mengucapkan hâjiz
(pemisah) bukan al-hadis. Lihat Syams al-Dîn Abî al-Khair Muhammad bin Abd al-
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 83 ]
Jalur pertama, al-Bukhârî mendapatkan informasi (dengan
menggunakan term haddatsanâ) dari Yahyâ bin Bukair, ia mendapatkan
informasi (dengan menggunakan term haddatsanâ) dari al-Laits, ia
mendapatkan informasi (dengan menggunakan term ‘an) dari „Uqail, ia
mendapatkan informasi (dengan menggunakan term ‘an) dari Ibn Syihâb.
Jalur kedua, al-Bukhârî mendapatkan informasi (dengan
menggunakan term haddatsanâ) dari Abdullâh bin Muhammad, ia
mendapatkan informasi (dengan menggunakan term haddatsanî) dari
„Abd al-Razzâq, ia mendapatkan informasi (dengan menggunakan term
haddatsanâ) dari Ma‟mar. Sampai di sini, Ma‟mar langsung menyebutkan
al-Zuhrî (Ibn Syihâb), dan al Zuhrî langsung mengatakan (dengan
menggunakan term qâla) bahwa ia mendapatkan berita (dengan
menggunakan term akhbaranî) dari „Urwah, ia mendapatkan informasi
langsung (dengan menggunakan term ‘an) dari „Âisyah, ra.
Jalur isnad pertama dalam hadis tersebut terdiri dari 4 (empat orang
perawi), yakni Yahyâ bin Bukair, al-Laits, „Uqail, dan Ibn Syihâb. Lalu,
bagaimana komentar para kritikus hadis tentang para perawi ini? Beberapa
kritikus hadis menilainya sebagai berikut:
Yahyâ bin Bukair (15526
-231 H27
), ia adalah Abû Zakariyyâ al-
Miṣrî Yahyâ bin „Abdillâh bin Bukair al-Qurasyiyyi al-Makhzûmî, mawlâ
Banî Makhzûm. Ia menerima atau mendapatkan periwayatan hadis (guru),
Rahmân al-Sakhâwî al-Syâfi‟î, Fath al-Mughîts bi Syarh Alfiyyah al-Hadîts, tahqîq : „Abd
al-Karîm Abdullâh bin Abd al-Rahmân al-Khuḍair dan Muhammad Abdullâh bin Fuhaid
Âlu Fuhaid, (Riyâḍ : Maktabah al-Minhâj, 1426 H), juz ke-2, cetakan ke-1, hal. 90. Lihat
juga, Abû „Umar wa „Utsmân bin „Abd al-Rahmân al-Syahrazûrî, ‘Ulûm al Hadîts li Ibn
Ṣalâh, hal. 203-204. Lihat juga, al-Kirmânî, Ṣahîh Abî ‘Abdillâh al-Bukhârî bi Syarh al-
Kirmânî, (Beirut : Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, 1401 H/1981 M), cetakan ke-2, juz ke-24,
hal. 94 26
Menurut Abû Sa‟îd bin Yûnus, Yahyâ bin Bukair lahir pada tahun 154 H. Lihat
Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl,
tahqîq : Basysyâr „Awwâd Ma‟rûf, (Beirût : Mu‟assasah al-Risâlah, 1413 H/1992 M),
cetakan ke-1, juz ke-31, hal. 403 27
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, (Beirut
: Mu‟assasah al-Risâlah, 1422 H/2001 M), juz ke-10, hal. 614
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 84 ]
dari Ḍamrah bin Rabî‟ah, al-Laits bin Sa’d, Mâlik bin Anas.28
Adapun
orang-orang yang menerima riwayat darinya (murid) adalah al-Bukhârî,
Muhammad bin „Abdillâh bin Numair, Muhammad bin Abdillâh, yakni
Muhammad bin Yahyâ bin Abdillâh al-Dzuhalî,Yahyâ bin Ma‟în,.29
Al-
Mizzî (645-742 H) menambahkan di dalamnya termasuk juga Muslim dan
Ibn Mâjah.30
Para kritikus hadis, di antaranya al-Dzahabî (w.748 H/1374 M)
menilai Yahyâ bin Bukair sebagai orang yang hâfiẓ (hafal) lagi ṣadûq (jujur).
Ibn Hibbân menggolongkannya dalam kelompok para perawi yang “tsiqât”
dan ia termasuk orang yang dijadikan sebagai hujjah (otoritatif) oleh
Syaikhân (al-Bukhârî-Muslim). Sedangkan Abû Hâtim menganggap bahwa
Yahyâ, hadisnya boleh ditulis31
, namun tidak bisa dijadikan hujjah (tidak
otoritatif).32
Dan al-Nasâ‟î mengatakan bahwa ia adalah ḍa’îf (lemah).33
Di
tempat lain, al-Nasâ‟î menggunakan ungkapan „tidak tsiqah’ (laisa
bitsiqah).34
Pendapat al-Nasâ‟î ini dibantah oleh al-Dzahabî (w.748 H/1374
M) dengan mengatakan : „aku tidak mengerti atas dasar apa sehingga ia
menilainya lemah (mâ adrî mâ lâha li al-Nasâ’î minhu hattâ ḍa’’afahu).35
Al-Laits (w.175 H), Laits bin Sa‟d bin „Abd al-Rahmân al-Fahmî,
Abû al-Hârits al-Miṣrî, maulâ „Abd al-Rahmân bin Khâlid bin Musâfir (ada
yang mengatakan) maulâ bin Tsâbit bin Ẓâ‟in, kakek „Abd al-Rahman bin
28
Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-31, hal. 401-402 29
Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-31, hal. 402-403 30
Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-31, hal. 404 31
Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-31, hal. 403 32
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahâbî, Siyâr A’lâm al Nubalâ’, juz ke-
10, hal. 613 33
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahâbî, Siyâr A’lâm al Nubalâ’, juz ke-
10, hal. 613 34
Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-31, hal. 403 35
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
10, hal. 615
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 85 ]
Khâlid bin Musâfir. Ia lahir di Qarqasyandah, perkampungan kira-kira empat
parsakh dari mesir.36
Ia menerima riwayat di antaranya dari „Aṭâ‟, Ibn Abî Mulaikah,
Nâfi‟. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya Qutaibah,
Muhammad bin Rumh Al-Dzahabî (w.748 H/1374 M) berkata, ia seorang
yang hâfiẓ dan „âlim al-diyâr (seorang yang „alim di negerinya).37
‘Uqail (w. 141/144 H). Ia adalah „Uqail bin Khâlid al-Ailî. Ia
menerima riwayat dari ‟Ikrimah, al-Qâsim, al-Zuhrî. Sedangkan orang-orang
yang meriwayat darinya seperti al-Laits, Ḍimâm bin Ismâ‟îl, Khalq. Menurut
al-Dzahâbî (673-748 H/1374 M), ia hâfiẓ.38
Ahmad dan al-Nasâ‟î menilainya
sebagai orang yang tsiqah. Abu Zur‟ah mengatakan bahwa ia adalah orang
yang tsiqah ṣadûq (terpercaya lagi jujur).39
Ibn Syihâb (w.124 H). Ia adalah Muhammad bin Muslim bin
„Ubaidillah bin „Abdillah bin Syihâb al-Zuhrî Abu Bakr. Ia menerima hadits
dari Abdullah bin Umar, Anas, Sahl, dan Ibn al-Musayyab. Orang-orang
yang menerima riwayat darinya, seperti Yûnus, „Uqail, Ma‟mar, al-Zubaidî,
Syu‟aib, Mâlik, dan Ibn „Uyainah. Dalam al-Kâsyif, al-Dzahâbî (673-748
H/1374 M) mengatakan bahwa hadis yang ia riwayatkan dari Abi Hurairah
dalam koleksi al-Tirmidzi; dari Rafi‟ bin Khadîj dalam koleksi al-Nasa‟i,
berkedudukan mursal40
.41
36
Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-24, hal. 255-256 37
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
8, hal. 137 38
Syams al-Din Abi „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah wa Hâsyiyatuh li al-Imâm
Burhân al-Dîn Abî al-Wafâ Ibrâhîm bin Muhammad Sibṭ bin al-‘Ajamî al-Halabî, ta‟lîq :
Muhammad „Awwâmah, (Jeddah : Dâr al-Qiblah li al-Tsaqâfah al-Islâmiyyah, 1413 H/1992
M), cetakan ke-1, hal. 32 39
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahâbî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
6, hal. 303 40
Hadis mursal adalah hadis yang di-marfu’-kan langsung oleh seorang perawi dari
kalangan tabi‟i (baik tabi‟i besar ataupun kecil) kepada Rasûl saw, baik ucapan, perbuatan,
maupun taqrîr-nya. Para ulama berbeda pendapat dalam hal mursal tabi‟i besar atau kecil.
Menurut sebagian ulama, hadis mursal hanya bagi tabi‟i besar, sedangkan mursal tabi‟i
kecil, menurut sebagian ulama digolongkannya sebagai hadîts munqathi’. Lihat,
Muhammad „Ajâj al-Khaṭîb, Uṣûl al-Hadîts ‘Ulûmuhu wa Muṣṭalahuhu, (Beirut : Dâr al-
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 86 ]
Jalur isnad kedua dalam hadis tersebut terdiri dari 6 (enam orang
perawi), yakni: Abdullah bin Muhammad, „Abd al-Razzâq, Ma‟mar, al-Zuhrî
(Ibn Syihâb), „Urwah, „Âisyah, ra. Para kritikus hadis memberikan komentar
terhadap para perawi tersebut, sebagai berikut:
Abdullâh bin Muhammad (w.229 H). Ia adalah Abû Ja‟far
„Abdullâh bin Muhammad bin Abdullâh bin Ja‟far bin Yamân al-Ju‟fî,
seorang al-Imâm, al-hâfiẓ, al-mujawwid, al-musnid. Abû Hâtim berkata, ia
orang yang ṣadûq. Ia adalah salah satu guru Imam al-Bukhari, sebagaimana
diakui oleh al-Hâkim.42
‘Abd al-Razzâq (126 H). Ia adalah „Abd al-Razzâq bin Hammâm
bin Nâfi‟al-Hâfiẓ Abû Bakr al-Ṣan‟ânî. Ia menerima riwayat dari Ibn Juraij,
Ma‟mar, Tsaur. Adapun orang-orang yang meriwayatkan hadis darinya,
seperti Ahmad, Ishâq, al-Ramâdî, dan al-Dabarî.43
Para kritikus hadis, seperti
al-Dzahâbî (w.748 H/1374 M), sebagaimana ia mengutip Ahmad al-„Ijlî,
menyatakan bahwa „Abd al-Razzâq seorang tsiqah, juga menganut paham
syi‟ah (tasyayyu’44
).45
Fikr, 1426-7 H/2006 M), hal. 222-223. Lihat juga, Abû „Amr „Utsmân bin „Abd al-Rahmân
al-Syahrazûrî, ‘Ulûm al-Hadîts li Ibn Ṣalâh, tahqîq : Nûr al-Dîn „Itr, (Beirut : Dâr al-Fikr al-
Mu‟âṣir, 1406 H/1986 M), hal. 52 41
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah wa Hasyiyatuh li al-Imam
Burhan al-Din Abi al-Wafa Ibrahim bin Muhammad Sibṭ bin al-‘Ajami al-Halabi, juz ke-2,
hal. 219 42
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
10, hal. 659 43
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah wa Hasyiyatuh li al-Imam
Burhan al-Din Abi al-Wafa Ibrahim bin Muhammad Sibṭ bin al-‘Ajami al-Halabi, juz ke-1,
hal. 651 44
Menurut ulama jarh dan ta’dîl, perawi yang menganut paham ahl al-bid‟ah,
termasuk di dalamnya adalah sekte Syî’ah, Râfiḍah atau Murji’ah dan lain-lain,
periwayatannya masih bisa diterima selagi tidak mengandung unsur ajakan fanatisme
madzhab pribadinya (idzâ lam yakun dâ’iyatun ilaih). Hal ini berdasarkan pendapat
sebagian ulama ahli hadis, seperti jawaban Ahmad bin Hanbal dan al-Baihaqî tentang
hukum penulisan ilmu (hadîts). Lihat, Fârûq Hamâdah, Al-Manhaj al-Islâmî Fî al-Jarh wa
al-Ta’dîl Dirâsah Manhajiyyah Fî ‘Ulûm al-Hadîts, (Kairo : Dâr al-Salâm, 1429 H/2008
M), cetakanke-1, hal. 270-271 45
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahâbî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
9, hal. 566
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 87 ]
Ma’mar (lahir 75 atau 76 H-150 atau 152, 153), ia adalah Ma‟mar
bin Rasyîd al-Azdî al-Huddânî, Abû „Urwah bin „Amr al-Bashrî, maula „Abd
al-Salâm bin „Abd al-Quddûs.
Ia menerima atau mendapatkan periwayatan hadis (guru), dari Abân
bin Abî „Ayyâsy, Ayyûb al-Sakhtiyânî, Bahz bin Hakîm, Tsâbit al-Bunânî,
Tsumâmah bin Abdillâh bin Anas bin Mâlik, Jâbir bin Yazîd al-Ju‟fî, Ja‟far
bin Burqân, Muhammad bin Muslim bin Syihâb al-Zuhrî, Yahyâ bin Abî
Katsîr.46
Adapun orang-orang yang menerima riwayat darinya (murid) adalah:
Ayyûb al-Sakhtiyânî (di antara guru Ma‟mar), Hammâd bin Zaid,Abd al-
Razzâq bin Hammâm, Yahyâ bin Abî Katsîr.47
Para kritikus hadis, seperti al-Mizzî (654-742 H)
mengungkapkan,banyak pujian yang diarahkan kepada Ma‟mar, di antaranya
al-Faḍl bin Ziyâd yang menyatakan bahwa Ma‟mar termasuk perawi yang
pawai ; orang yang pertama kali melakukan perjalanan mencari hadits ke
Yamân, Syâm termasuk al-Jazîrah.48
„Abbas al-Dûrî mengatakan bahwa di
antara orang yang paling tsubut adalah Ma‟mar, selain al-Zuhrî Mâlik bin
Anâs, Yûnus, „Uqail, Syu‟aib bin Abî Hamzah, dan Ibn „Uyainah.49
Mu‟awiyyah bin Shalih dari Yahya bin Ma‟in, dan al „Ijli, Ya‟qub bin
Syaibah, berkata : Ma‟mar seorang yang tsiqqah, dan al Nasa‟i menyebutnya
sebagai al-tsiqah al-ma’mûn.„Utsmân bin Sa‟îd berkata : ia seorang yang
ṣâlih tsiqah.50
Ibn Hibbân sendiri memasukkannya kedalam kitab “al-
Tsiqât”.51
Abû Hafṣ al-Fallâs, sebagaimana dikutip al-Dzahâbî (w.748
46
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-28, hal. 304-305 47
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-28, hal. 305-306 48
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-28, hal. 307 49
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-28, hal. 308 50
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahâbî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
7, hal. 10 51
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-28, hal. 309
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 88 ]
H/1374 M) berkata: Ma‟mar adalah aṣdaq al-nâs.52
Meski demikian,
Ma‟mar menjadi waham53
terutama ketika ia menziarahi ibunya di Baṣrah,
dan ia sering ghalaṭ (katsrah al-ghalaṭ)54
.55
Dari segi kesinambungan sanad, Ibn Hajar memberikan komentar
bahwa maksud dari penyebutan: “... telah sampai kepada kami tentang berita
dari Rasul saw dalam kisah tersebut...” adalah merupakan balâghât al-Zuhrî,
dan riwayat tersebut tidak bersambung (laisa mauṣûlan).56
Al-Kirmânî
menegaskan bahwa jika dilihat dari konteks kalimat : „..telah sampai kepada
kami...‟ tersebut menunjukkan informasi itu bukan berasal dari al-Zuhrî,57
dan yang menyebutkan kalimat tersebut adalah al-Zuhrî itu sendiri.58
Sementara itu, para mukharrij lain, baik Ahmad, Muslim, al-Ismâ‟ilî,
maupun Abû Nu‟aim (dalam Mustakhraj-nya) dan selainnya59
mengacu pada
52
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahâbî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
7, hal. 7 53
Al-wahm adalah keadaan seorang perawi yang diduga melakukan kekeliruan
dalam periwayatan (‘alâ sabîl al-tawahhum). Ada dua kondisi untuk menerima periwayatan
dari perawi yang waham. „Abd al-Rahman al-Mahdî menyatakan bahwa jika pada umumnya
yang diriwayatkannya sahih, maka hadisnya bisa diterima, namun jika sebaliknya, yakni
lebih banyak yang waham, maka harus ditolak. Lihat, Fârûq Hamâdah, Al-Manhaj al-Islâmî
Fî al-Jarh wa al-Ta’dîl Dirâsah Manhajiyyah Fî ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 287 54
Katsrah al-ghalaṭ adalah kesalahan dalam periwayatanya semakin banyak atau
bertambah dari pada benarnya. Keadaan ini samadengan fahsy al-ghalaṭ yang bisa
mengakibatkan tercerabutnya keḍabiṭan seorang perawi. Periwayatan yang seperti ini
ditolak sebagai hujjah (yutraku hadîtsuh wa lâ yakûnu hujjatan). Lihat, Fârûq Hamâdah, Al-
Manhaj al-Islâmî Fî al-Jarh wa al-Ta’dîl Dirâsah Manhajiyyah Fî ‘Ulûm al-Hadîts, hal.
284-285 55
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
7, hal. 12 56
Ahmad bin „Alî bin Hajar al-„Asqallânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî
‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, tahqîq : al-Syeikh „Abd al-„Azîz bin „Abdillâh
bin Bâz, (tt. : al-Maktabah al-Salafiyyah, tth.), juz ke-12, hal. 359 57
Al-Kirmânî, Ṣahîh Abî ‘Abdillâh al-Bukhârî bi Syarh al-Kimânî, (Beirut : Dâr
Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, 1401 H/1981 M), cetakan ke-2, juz ke-24, hal. 97 58
Ahmad bin „Alî bin Hajar al-„Asqallânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî
‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, juz ke-12, hal. 359 59
Penyebutan „...dan selainnya‟ tidak terdapat dalam Fath al-Bârî, namun penulis
cantumkan berdasarkan penelitian al-Mallâh. Lihat, Abû „Abd al-Rahmân Mahmûd bin
Muhammad al-Mallâh, al-Ta’lîq ‘Alâ al-Rahîq al-Makhtûm, (Mesir : al-Dâr al-„Âlamiyyah,
1431 H/2010 M), cetakan ke-1, hal. 55
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 89 ]
jalur seluruh perawi al-Laits (aṣhâb al-Laits) dari al-Laits tidak
mencantumkan kalimat tersebut.60
B. Matan dan Sanad Hadis Tentang: Hamm Nabi saw Membakar
Rumah-rumah Penduduk Yang Tidak Mendatangi Salat
Berjama’ah, tersebar dalam berbagai kitab hadis, sebagai berikut:
1. Ṣahîh al-Bukhârî, merekam dalam beberapa tempat, yaitu:
a. Kitab al-adzân (10), bâb wujûb ṣalâh al-jamâ’ah (29), no. 644.
صب ق ؽل ٣ ث أفجوب ػجل هللا بي هب أث٢ ػ
بك اي األػوط ػ ان١ أث٢ و٣وح ػ هب ػ٤ ٠ هللا هللا ه أ
الح ٢ ث٤ل ل و ثب آ و ثؾطت ك٤ؾطت ص آ ذ أ و ول آ ب ص ك٤ئم
٢ ث٤ل ان١ ل ث٤ر م ػ٤ كؤؽو أفبق ا٠ هعب ص اب هعال ك٤ئ
أؽل بء ٣ؼ ؼ ل ا ز٤ ؽ بر٤ و ٤ب أ ٣غل ػوهب أ
b. Kitâb ahkâm (93), bâb ikhrâj al-khuṣûm wa ahl al-riyab min al-
buyût ba’da al-ma’rifah (52), no. 7224.
صب ؽل بػ٤ ص٢ ا بي ؽل بك ػ أث٢ اي األػوط ػ أث٢ ػ
و٣وح ػ ٢ هللا ه ٢ ث٤ل ان١ ل هب ػ٤ ٠ هللا هللا ه ول أ
ب الح ك٤ئم و ثب آ و ثؾطت ٣ؾزطت ص آ ذ أ و هعال ك٤ آ ص اب ئ
أ أؽل ٣ؼ ٢ ث٤ل ان١ ل ث٤ر م ػ٤ كؤؽو أفبق ا٠ هعب ٣غل ص
بء ؼ ل ا ز٤ ؽ بر٤ و ٤ب أ ػوهب
Maksud redaksi tersebut adalah tentang keinginannya mengumpulkan
kayu bakar dan memerintahkan seseorang untuk menjadi imam dalam
pelaksanaan salat, sementara Nabi saw beranjak menemui orang-orang untuk
membakar rumah-rumah mereka yang tidak menghadiri (jama‟ah) salat
isya‟, dengan perbandingan adanya perandaian (keutamaan) tentang daging
kikil yang sangat bagus.
c. Kitâb al-khuṣûmât (44), bâb ikhrâj ahl al-ma’âṣî wa al-khuṣûm
min al-buyût ba’da al-ma’rifah (5), no. 2420.
60
Ahmad bin „Alî bin Hajar al-„Asqallânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî
‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, juz ke-12, hal. 359
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 90 ]
صب به ؽل ث ل ث ؾ صب أث٢ ػل١ ؽل ل ث ؾ ؼجخ ػ ؼل ػ ث
٤ اثوا ػ ؽ ػجل او ٤ل ث ؽ أث٢ و٣وح ػ ػ٤ ٠ هللا اج٢ ػ
هب ل ال ٣ ه بى أفبق ا٠ ص الح كزوب و ثب آ ذ أ الح ول ا
م ػ٤ كؤؽو
Maksud redaksi tersebut adalah tentang keinginannya akan
mendatangi kediaman (manâzil) kaum yang tidak menghadiri (jama‟ah) salat
(tanpa menyebutkan waktu salat tertentu), lalu membakar (kediaman)
mereka.
d. Kitâb al-adzân (10), bab faḍl ṣalâh al-‘isya’ fî al-jamâ’ah (34),
no. 657.
صب ؽل ؽل و ث صب ػ ؽل صب أث٢ هب ؽل هب ص٢ األػ ؽل أث هب
بؼ أث٢ و٣وح ػ هب ػ٤ ٠ هللا اج٢ هب الح أصو ػ٠ ٤
بء ؼ ا لغو ا بكو٤ ا ذ أ ا ول ؽج ب ب ألر ب ك٤ ٣ؼ
ال م ػ٠ به كؤؽو ؼال آفن ص اب و هعال ٣ئ آ ص ك٤و٤ ئم و ا آ
الح ثؼل ٣قوط ا٠ ا
Maksud redaksi tersebut adalah tentang dua statemen Nabi saw:
pertama, tentang dua waktu salat yang paling sulit dilaksanakan oleh orang
munafik adalah salat subuh dan isyâ‟,61
dan jika mereka mengetahui
keutamaan keduanya, niscaya akan menghadirinya meskipun dengan cara
merangkak. Kedua, keinginan beliau saw untuk membakar rumah-rumah
bagi seseorang yang tidak menghadiri (jama‟ah) salat, terlihat dalam
statemen Nabi saw: „setelah itu (ba’d)‟.
Adapun para perawi dalam Ṣahîh al-Bukhârî periwayatannya melalui
jalur, sebagai berikut:
(haddatsanâ) „Abdullâh bin Yûsuf, dari (akhbaranâ) Mâlik, dari (‘an)
Abû al-Zinnâd, dari al-A‟râj, dari (‘an) Abû Hurairah.
61
Al-„Ainî (w.855 H) mengetengahkan bahwa terdapat berbagai riwayat yang
berbeda yang hanya menyebutkan salat „isyâ‟, dan juga riwayat lain yang hanya
menyebutkan salat fajar (subuh). Lihat, Badr al-Dîn Abî Muhammad Mahmûd bin Ahmad
al-„Ainî, ‘Umdah al-Qârî Syarh Ṣahîh al-Bukhârî, taṣhîh dan ta‟lîq : Muhammad Munîr
„Abduh, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth.), juz ke-5, hal. 161
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 91 ]
(haddatsanâ) Ismâ‟îl, (haddatsanî) Mâlik, (‘an) Abî al-Zinnâd, (‘an)
al-A‟râj, (‘an) Abî Hurairah.62
‘Abdullâh bin Yûsuf, Abû Muhammad al-Dimasyqî (w.218 H). Ia
menerima riwayat dari „Abd al-Rahmân bin Yazîd bin Jabir, Sa‟id bin Abd
al-„Azâz. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya al-Bukhari,
Bakr bin Sahl, Habbûsy bin Rizqillâh.63
Yahyâ bin Ma‟în menyebutnya
sebagai atsbat al-nâs, dan Abû Hâtim menyebutnya: tsiqah. Ibn „Adi
menyebutnya: ṣadûq khair fâḍil. Ibn Yunus menyebutnya: tsiqah hasan al-
hadîts.64
Ismâ’il (w.167 H), „Abdullâh bin „Abdillâh bin Abî Uwais al-Aṣbahî,
Abu Uwais. Ia menerima riwayat di antaranya dari : Syarahbîl bin Sa‟d,
Ḍamrah bin Sa‟îd, al-Zuhrî. Dan di antara orang yang menerima riwayat
darinya : Abu Bakr (puteranya), Ismâ‟îl, dan Manṣûr bin Abî Muzâhim. Ibn
Ma‟în menyatakan bahwa ia orang yang ṣâlih sebagai pujian atas agama dan
‘adâlah-nya, tapi ia tercela dalam hafalannya (talyîn li ḍabṭihi)65
, Ibn Hajar
dalam al-Taqrîb, sebagaimana dikutip al-Dzahabî (673-748 H), menyatakan,
ia orang yang jujur tapi terkadang lupa (ṣadûq yahim).66
Mâlik (93-179 H), al-Imâm Abû Abdillâh Mâlik bin Anas al-Aṣbahî.
Ia menerima riwayat di antaranya dari : Nâfi‟ dan al-Zuhrî. Dan di antara
62
Abî„Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-4, hal. 347 63
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 610 64
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
10, hal. 358 65
Maksud talyîn dalam ilmu hadis (khususnya dalam disiplin jarh wa ta’dîl),
menurut Abû Hâtim al-Râzî (w.327 H) adalah pensifatan kepada periwayat yang hadisnya
dapat ditulis namun masih perlu diperhatikan (lebih jeli) dalam penelitian selanjutnya. Al-
Dâruquṭnî (w.385 H) mengatakan bahwa lafaz tersebut menunjukkan bahwa hadis yang
diriwayatkannya mengandung kecacatan, namun nilai cacatnya bukan berasal dari tingkat
„adâlahnya. Lihat, Abû Hâtim al-Râzî (w.327 H). Al-Dzahabî (673-748 H) menjadikan jarh
tersebut pada urutan ke-5 (terakhir) dalam urutan derajat al-jarh,sedangkan al-Sakhawî
menjadikannya pada martabat yang ke-6. hal. Lihat, Fârûq Hamâdah, Al-Manhaj al-Islâmî
Fî al-Jarh wa al-Ta’dîl Dirâsah Manhajiyyah Fî ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 299-302 66
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 565
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 92 ]
orang yang menerima riwayat darinya: Ibn Mahdî, Ibn al-Qâsim, Ma‟n, dan
Abû Muṣ‟ab.67
Abû al-Zinnâd (w.131 H), al-Imâm Abdullâh bin Dzakwân Abû
„Abd al-Rahmân Abû al-Zinnâd al-Madanî. Ia menerima riwayat di
antaranya dari : Anas bin Mâlik, „Umar bin Abi Salamah, Sa‟id bin al-
Musayyab, al-A‟raj, dan „Iddah. Dan di antara orang yang menerima riwayat
darinya : Mâlik bin Anas, al-Laits. Syams al-Din al-Dzahabi (673-748 H),
menyebutnya : tsiqah tsabt.68
Al-A’raj (w.117 H),„Abd al-Rahman bin Hurmuz al-A‟raj Abû
Dâwûd. Ia menerima riwayat di antaranya dari : Abu Hurairah, „Abdullah
bin Buhainah. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya : al-
Zuhrî, Ibn Luhai‟ah. Syams al-Dîn al-Dzahabî (673-748 H), menyebutnya :
tsiqah tsabt ‘âlim.69
(haddatsanâ) „Umar bin Hafṣ, (haddatsanâ) Abi, (haddatsanâ) al-
A‟masy, (haddatsani) Abû Ṣâlih, (‘an) Abî Hurairah.70
‘Umar bin Hafṣ (w.222 H),„Umar bin Hafṣ bin Ghiyâts al-Nakhâ‟î.
Ia menerima riwayat di antaranya dari : ayahnya (Hafṣ bin Ghiyâts),
Jamâ‟ah. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: al-Bukhari,
Muslim, Abu Zur‟ah, dan Khalq. Ibn Hibbân, dan Abî Hâtim, sebagaimana
dikutip Syams al-Din al-Dzahabi (673-748 H), menyebutnya: tsiqah dan
terkadang juga ragu (wahm), terkadang keliru (akhṭa’).71
Bahkan, Abu
Dâwûd, sebagaimana dikutip al-Dzahâbî (w.748 H), pernah menyatakan:
„Aku pernah mengikuti hingga ke tempatnya, namun sepertinya aku tidak
67
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 234 68
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 549 69
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 647 70
Abî„Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-1, hal. 218 71
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 57
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 93 ]
sesuai untuk mendengarkan (riwayat) darinya (wa lam yattafiq lî an asma’a
minhu)‟.72
Abî (w.194 H), ayah dari „Umar bin Hafṣ, yaitu Hafṣ bin Ghiyâts al-
Nakhâ‟î, seorang qâdî di wilayah Kûfah. Ia menerima riwayat di antaranya
dari : „Âṣim al-Ahwal, Yahyâ bin Sa‟îd, al-A‟masy. Dan di antara orang
yang menerima riwayat darinya : Ahmad, Yahyâ, Ishâq. Al-Dzahabi (673-
748 H) menyatakan, ia seorang yang tsabt tatkala meriwayatkan hadits dari
tulisannya (kitab), dan sangat berhati-hati dalam sebagian hafalannya (wa
yuttaqâ ba’ḍ hifẓihi).73
Al-A’masy (w.148 H), Sulaimân bin Mihrân al-Hâfiẓ Abû
Muhammad al-Kâhilî al-A‟masy. Menurut Ibn al-Madînî, ia memiliki 1300
hadis. Ia menerima riwayat di antaranya dari : Ibn Abî Aufâ, Wazirr, dan Abi
Wâ‟il. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: Syu‟bah, Wakî‟.
Menurut al-Tirmidzi dalam „al-Jâmi’-nya‟, kitâb al-ṭahârah, bâb al-istitâr
‘inda al-hâjah, sebagaimana dikutip al-Dzahabî (673-748 H), menyatakan
bahwa al-A‟masy (dalam riwayat tentang hal itu) melakukan tadlis dan irsal,
sebab ia tidak pernah mendengar langsung dari Anas bin Mâlik atau pun
salah satu sahabat Nabi saw lainnya.74
Ibn Hajar al-„Asqallânî (w.852 H)
menyebutkan bahwa al-A‟masy dinilai melakukan tadlîs di antaranya oleh
al-Karâbîsî, al-Nasâ‟î, al-Dâraquṭnî.75
Abû Ṣâlih (w.101 H), Dzakwân Abû Ṣâlih al-Sammân al-Ziyyât. Ia
menerima riwayat di antaranya dari : „Âisyah, Abi Hurairah. Dan di antara
orang yang menerima riwayat darinya : (putera-puteranya: „Abdullah, Suhail,
dan Ṣâlih), al-A‟masy. Menurut al-Dzahabî (673-748 H), ia termasuk di
antara imam-imam hadits yang tsiqah (min al-aimmah al-tsiqât).76
72
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahâbî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
10, hal. 639 73
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 343 74
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 464 75
Ahmad bin „Alî bin Muhammad bin Hajar al-„Asqallânî, Ta’rîf Ahl al-Taqdîs bi
Marâtib al-Mauṣûfîn bi al-Tadlîs, tahqîq : „Âṣim bin „Abdillâh al-Qaryûtî, (Madînah :
Maktabah al-Mannâr, tth.), cetakan ke-1, hal. 33 76
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 386
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 94 ]
(haddatsanâ) Muhammad bin Basysyâr, (haddatsanâ) Muhammad bin
Abû „Adî, (‘an) Syu‟bah, (‘an) Sa‟d bin Ibrâhîm, (‘an) Humaid bin
„Abd al-Rahmân, (‘an) Abî Hurairah.77
Muhammad bin Basysyâr (w.252 H), Muhammad bin Basysyâr bin
„Utsmân Abû Bakr al-Baṣrî Bundâr. Ia menerima riwayat di antaranya dari:
Mu‟tamir, Ghundâr. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: al-
Jamâ‟ah, Ibn Khuzaimah. Menurut Ahmad bin „Abdillah al-„Ijlî, ia tsiqah.
Abû Hâtim al-Râzî berkata, ia ṣadûq.78
Muhammad bin Abî ‘Adî (w.194 H), Muhammad bin Ibrâhîm bin
Abî „Adî Abu „Amr. Ia menerima riwayat di antaranya dari: Humaid
(sami’a). Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: Ahmad bin
Sinân. Al-Dzahabî (673-748 H), Abu Hâtim al-Râzî dan lainnya mengatakan,
ia tsiqah.79
Syu’bah (w.160 H), bin al-Hajjâj al-Hâfiẓ Abû Bisṭâm al-„Atakî,
mendapat julukan dalam bidang hadis: amîr al-mu’minîn. Ia menerima
riwayat langsung (sami’a) di antaranya dari : Mu‟âwiyah bin Qurrah, al-
Hakam, Salamah bin Kuhail. Dan di antara orang yang menerima riwayat
darinya: Ghundar, Abû al-Walîd, „Alî bin al-Ja‟d. Al-Dzahabî (673-748 H)
berkata, ia sedikit keliru dalam menyebutkan beberapa nama perawi, namun
ia tsabt, dan bisa dijadikan hujjah.80
Sa’d bin Ibrâhîm (w.125 H), bin „Abd al-Rahmân bin „Auf al-Zuhrî,
seorang qâḍî di Madinah. Ia menerima riwayat di antaranya dari : Anas, Abi
Umâmah bin Sahl. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya:
Ibrahim (puteranya), Syu‟bah, Ibn „Uyainah. Al-Dzahabî (673-748 H)
berkata, ia tsiqah, berpuasa sepanjang usianya.81
77
Abî„Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-2, hal. 181-182 78
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahâbî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
12, hal. 146 79
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 154 80
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 485 81
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 427
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 95 ]
Humaid bin ‘Abd al-Rahmân (w.95 H), bin „Auf al-Zuhrî (saudara
sekandung Sa‟d bin Ibrâhîm). Ibunya (Umm Kaltsûm binti „Uqbah bin Abî
Mu‟aiṭ) adalah salah satu di antara para wanita yang ikut berhijrah ke
Madinah. Ia menerima riwayat di antaranya dari : „Umar dan kedua orang
tuanya. Ada yang berpendapat bahwa ia tidak pernah bertemu (melihat)
Umar. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: „Abd al-Rahmân
(puteranya), al-Zuhri,dan Qatâdah. Menurut al-„Alâ‟î, sebagaimana dikutip
al-Dzahabî (673-748 H) berkata, hadis yang ia riwayatkan dari sahabat Abu
Bakr dan „Ali sebagai mursal, --padahal ia bersama „Ali berada di Madinah--
sebab ia memperoleh langsung (sami’a) dari ayahnya, „Umar dan „Utsmân.82
B. Matan Dan Sanad Dalam Ṣahîh Muslim.
Ṣahîh Muslim, merekam riwayat tersebut di lima tempat, yaitu :
1. Dalam kitâb dan bâb yang sama, yaitu : kitâb al-masâjid wa
mawâḍi’ al-ṣalâh (al-mu‟jam 5), (al-mu‟jam 42) bâb faḍl ṣalâh al-jamâ’ah
wa bayân al-tasydîd fî al-takhalluf ‘anhâ wa annahâ farḍ kifâyah (al-tuhfah
95), sebagai berikut:
Pertama, hadis no. [1481] 251-(651). Makna redaksi menunjukkan
pengertian tentang Rasûl saw merasa kehilangan (beberapa orang) beberapa
kali dalam jama‟ah salat. Mereka yang dimaksud adalah orang-orang
munafik, lalu ingin membakar rumah mereka yang tidak mengikuti jama‟ah83
ص٢ ؽل و ابهل صب ػ ػ٤٤خ ؽل ث ل٤ب أث٢ ػ
بك اي األػوط ػ ب أث٢ و٣وح ػ كول ب ػ٤ ٠ هللا هللا ه ك٢ أ
اد كوب ا ثؼ أفبق ا٠ هعب ص ٢ ثبب و هعال ٣ آ ذ أ ول
ها ػ٤ ك٤ؾو و ث ب كآ ػ ٣زقل أ أؽل ػ ؾطت ث٤ر ا ثؾي
بء ٣غل ػظ ؼ الح ا لب ٣ؼ٢ ٤ب .ب
Maksud redaksi tersebut adalah tentang Nabi saw melihat sebagian
orang tidak melaksanakan beberapa waktu salat (faqida nâsan fî ba’ḍ al-
ṣalawât), lalu Nabi saw memerintahkan seseorang untuk menjadi imam
82
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 353 83
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-1, hal. 451
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 96 ]
dalam pelaksanaan salat, sementara Nabi saw beranjak untuk mendatangi
(ukhâlifa) mereka yang tidak memenuhi pelaksanaan salat (yatakhallafûn
‘anhâ), lalu membakar rumah-rumah mereka. Nabi saw membandingkan
dengan perandaian tentang keutamaannya dengan daging yang gemuk
(tebal), niscaya mereka akan melaksanakan. Maksud salat tersebut adalah
salat isyâ.
Kedua, hadis no. [1482] 252-(…), dengan dua jalur:
صب ٤و ؽل صب اث صب أث٢ ؽل ؽل صب األػ ؽل ٤جخ ػ و ثؤث٢ أث أث ث
صب و٣ت ب هبال ؽل الع ٣خ ؼب أث ػ األػ بؼ ؼ أث٢ أث٢ ػ
و٣وح هب ػ٤ ٠ هللا هللا ه هب بكو٤ الح ػ٠ ا أصو ا
لغو الح ا بء ؼ الح ا ؽج ب بألر ب ك٤ ٣ؼ ذ أ ول ا
ؽي ؼ ؼ٢ ثوعب طن أ ص ٢ ثبب و هعال ك٤ آ ص الح كزوب و ثب آ
ثببه ث٤ر م ػ٤ الح كؤؽو ا ل ال ٣ ؽطت ا٠ ه
Kedua jalur tersebut, makna redaksinya menunjukkan pengertian
tentang ṣalat yang paling sulit dikerjakan orang munafik (yakni salat isya‟
dan subuh), lalu membakar rumah orang-orang yang tidak menyaksikan (lâ
yasyhadûn) jama‟ah.84
صب ٤و ؽل صب اث صب أث٢ ؽل األ ؽل صب ػ ؽل أث٢ ػ و ث أث ث
٤جخ و٣ت أث ب هبال الع صب ٣خ ؽل ؼب أث ػ األػ أث٢ ؼ
بؼ أث٢ و٣وح ػ هب ػ٤ ٠ هللا هللا ه الح ػ٠ هب أصو ا
لغو الح ا بء ؼ الح ا بكو٤ ول ا ا ؽج ب بألر ب ك٤ ٣ؼ
و ث آ ذ أ ؼ٢ ثوعب طن أ ص ٢ ثبب و هعال ك٤ آ ص الح كزوب ب
ثببه ث٤ر م ػ٤ الح كؤؽو ا ل ال ٣ ؽطت ا٠ ه ؽي ؼ
Ketiga, hadis no. [1483] 253-(…). Makna redaksi menunjukkan
pengertian tentang membakar rumah orang-orang yang tidak mengikuti
jama‟ah, meski tanpa menggunakan ungkapan „yatakhallafûn‟.85
84
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Ṣahîh Muslim , juz
ke-1, hal. 451-452 85
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Ṣahîh Muslim, , juz
ke-1, hal. 452
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 97 ]
صب ؽل هاكغ ل ث ؾ صب ام ؽل ى صب ػجل او و ؽل ؼ ػ ج ث ب هب
صب ب ؽل و أؽبك٣ش أث و٣وح نا كن ػ٤ ٠ هللا هللا ه ػ
ب ػ٤ ٠ هللا هللا ه هب ا زؼل ٣ و كز٤ب٢ أ آ ذ أ ول
م ث٤د ػ٠ رؾو ص ٢ ثبب و هعال ٣ آ ؽطت ص ٢ ثؾي
صب ك٤ب ؽل ؽوة و٣ت ى٤و ث أث ٤ اثوا ؾن ث ا ٤غ ػ عؼلو ػ
ثوهب ث ػ األ ؤث٢ و٣وح ػ ٣ي٣ل ث ٠ هللا اج٢ ػ ثؾ ػ٤
Keempat, hadis no. [1484] (…). Lafaẓ hadis sama seperti no [1483].86
صب ؽل ٣ ث ػجل هللا ل ث صب أؽ صب ى٤و ؽل ؾن ؽل أث ا أث٢ ػ
األؽ ػ ؼ ػجل هللا هب ػ٤ ٠ هللا اج٢ أ ٣زقل و
ؼخ غ ا ػ ٣زقل م ػ٠ هعب أؽو ص ٢ ثبب و هعال ٣ آ ذ أ ول
ؼخ ث٤ر غ ا .ػ
Maksud redaksi tersebut adalah tentang Nabi saw mengatakan kepada
suatu kaum (qâla li qaum) yang memenuhi, meniggalkan (yatakhallafûn)
salat Jum‟at, lalu Nabi saw memerintahkan untuk melaksanakan salat
tersebut, sementara beliau saw akan membakar rumah-rumah mereka yang
meninggalkan salat Jum‟at.
Kelima, hadis no. [1485] 254-(652). Lafaẓ hadis menunjukkan
pengertian: membakar rumah-rumah yang tidak mengikuti salat Jum‟at
(yatakhallafûn ‘an al-jumu’ah).87
الح كزوب و ثب آ ؾطت ص ا ؼا ؽي ٣غ و كز٤ز٢ أ آ ذ أ م ول أؽو ص
ال ا الح ػ٠ أه ا ل ٣ .
ل هب غب ئ ػجب ٣و اث به ا ٣ هع ال ػ ؼخ ل ع ال ٣ ا٤
بػخ هب ك٢ ابه ع صب ثني ؽل صب بك هب ؾبهث٢ ؽل ا ٤ش ػ ل ػ غب هب
ال ؾل٣ش أ ؼ٠ ا ب ثب رب ب زقلبكب ثؾو ا ب ؼخ هؿجخ ػ غ ا بػخ غ ل ا ٣
86
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-1, hal. 452 87
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-1, hal. 452
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 98 ]
Maksud redaksi tersebut adalah tentang keinginannya mengumpulkan
kayu bakar, lalu memerintahkan dilaksanakannya salat, sementara Nabi saw
sendiri yang akan membakar kaum yang tidak menghadiri salat (lâ
yasyhadûna). Mujâhid mengatakan tentang Ibn „Abbâs yang ditanya perihal
seseorang yang berpuasa di siang harinya, dan tahajjud di malam harinya
(yaqûm al-laila), namun tidak menghadiri salat Jum‟at dan tidak pula
berjama‟ah. Dijawab oleh Ibn „Abbâs: „orang tersebut masuk neraka.
Dijelaskan juga dalam riwayat lain oleh Mujâhid tentang makna hadis
tersebut adalah bagi orang-orang yang tidak menghadiri salat berjama‟ah dan
Jum‟at karena tidak suka, merendah dan menganggap remeh tentang
memenuhi perintah tersebut (raghbatan ‘anhâ wa istikhfâfan bi haqqihâ wa
tahâwunan bihâ).
Adapun para perawi dalam Ṣahîh Muslim periwayatannya melalui
jalur, sebagai berikut:
Pertama, hadis no. [1481] 251-(651), dengan jalur:
(haddatsanî) „Amr al-Nâqid, (haddatsanâ) Sufyân bin „Uyainah, (‘an)
Abî al-Zinnâd, (‘an) al-A‟raj, (‘an) Abû Hurairah.88
‘Amr al-Nâqid (w.232 H), „Amr bin Muhammad bin Bukair al-
Nâqid Abû „Utsmân al-Hâfiẓ al-Baghdâdî. Ia menerima riwayat di antaranya
dari: Husyaim, Mu‟tamir. Dan di antara orang yang menerima riwayat
darinya: al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd, al-Firyâbî, al-Baghawî. Ahmad
dan Ibn Ma‟în mengatakan, ia ṣadûq, sedangkan Abû Dâwûd dan selainnya
menyatakan bahwa ia tsiqah.89
Abu Hatim menandaskan bahwa ia tsiqah
amîn.90
Sufyân bin ‘Uyainah (w.198 H), Abû Muhammad al-Hilâlî al-Kûfî
al-A‟war. Ia menerima riwayat di antaranya dari : al-Zuhri, „Amr bin Dinar.
Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: Ahmad, „Alî, al-
88
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-1, hal. 451 89
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahâbî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
11, hal. 148 90
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 87
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 99 ]
Za‟farânî, Ibn Juraij. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsiqah tsabt hâfiẓ
imâm.91
Abi al-Zinnâd, (w.131 H), al-Imâm Abdullâh bin Dzakwân Abû
„Abd al-Rahmân Abû al-Zinnâd al-Madanî. Ia menerima riwayat di
antaranya dari : Anas bin Malik, „Umar bin Abi Salamah, Sa‟îd bin al-
Musayyab, al-A‟raj, dan „Iddah. Dan di antara orang yang menerima riwayat
darinya : Malik bin Anas, al-Laits. Syams al-Din al-Dzahabi (673-748 H),
menyebutnya : tsiqah tsabt.92
Al-A’raj (w.117 H), „Abd al-Rahmân bin Hurmuz al-A‟raj Abû
Dâwûd. Ia menerima riwayat di antaranya dari: Abu Hurairah, „Abdullâh bin
Buhainah. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: al-Zuhrî, Ibn
Luhai‟ah. Syams al-Dîn al-Dzahabî (673-748 H), menyebutnya: tsiqah tsabt
‘âlim.93
Kedua, hadis no. [1482] 252-(…), dengan dua jalur:
a. (haddatsanâ) Ibn Numair, (haddatsanâ) Abî, (haddatsanâ) al-
A‟masy, (‘an) Abî Ṣâlih, (‘an) Abî Hurairah.94
Ibn Numair (w.234 H), Muhammad bin „Abdillâh bin Numair al-
Hâfiẓ, Abû Abd al-Rahmân al-Khârifî al-Kûfî al-Zâhid. Ia menerima riwayat
di antaranya dari: al-Muṭṭalib bin Ziyâd, Ibn „Uyainah. Dan di antara orang
yang menerima riwayat darinya: al-Bukhâri, Muslim, Abû Dâud, Ibn Mâjah,
Muṭayyin, Abû Ya‟lâ. Ahmad bin Hanbal sangat mengagumi dan
menghormati Ibn Numair (ta’ẓîman ‘ajîban).95
Abu Hatim, Ahmad bin
91
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 449. 92
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 549 93
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 647 94
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim, juz
ke-1, hal. 451-452 95
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 191
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 100 ]
Abdillâh al-„Ijli mengatakan, ia tsiqah dan hadisnya dijadikan hujjah. Al-
Nasa‟i berkata, ia tsiqah ma’mun. Abu Dâwûd berkata, ia atsbat.96
Abî (w.199 H), „Abdullâh bin Numair al-Hamdânî Abû Hisyâm. Ia
menerima riwayat di antaranya dari : Hisyam bin „Urwah, al-A‟masy. Dan di
antara orang yang menerima riwayat darinya : puteranya (Ibn Numair),
Ahmad, Ibn Ma‟în. Al-Dîn al-Dzahabî (673-748 H), menyebutnya hujjah
(bisa dijadikan sebagai hujjah).97
Al-A’masy (w.148 H), Sulaimân bin Mihrân al-Hâfiẓ Abû
Muhammad al-Kâhilî al-A‟masy. Menurut Ibn al-Madînî, ia memiliki 1300
hadis. Ia menerima riwayat di antaranya dari : Ibn Abî Aufâ, Wazirr, dan Abi
Wâ‟il. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya : Syu‟bah, Wakî‟.
Menurut al-Tirmidzi dalam „al-Jâmi’-nya‟, kitâb al-ṭahârah, bâb al-istitâr
‘inda al-hâjah, sebagaimana dikutip al-Dzahabî (673-748 H), menyatakan
bahwa al-A‟masy melakukan tadlis dan irsal, sebab ia tidak pernah
mendengar langsung dari Anas bin Mâlik atau pun salah satu sahabat Nabi
saw lainnya.98
Abî Ṣâlih Abû Ṣâlih (w.101 H), Dzakwan Abû Ṣâlih al-Sammân al-
Ziyyât. Ia menerima riwayat di antaranya dari: „Âisyah, Abi Hurairah. Dan
di antara orang yang menerima riwayat dariny: (putera-puteranya: „Abdullah,
Suhail, dan Ṣâlih), al-A‟masy. Menurut al-Dzahabî (673-748 H), ia termasuk
di antara imam-imam hadits yang tsiqah (min al-aimmah al-tsiqât).99
b. (haddatsanâ) Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Abû Kuraib,
(haddatsanâ) Abû Mu‟âwiyyah, (‘an) al-A‟masy, (‘an) Abî Ṣâlih,
(‘an) Abî Hurairah.100
96
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahâbî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
11, hal. 457 97
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 604 98
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 464 99
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 386 100
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim ,
juz ke-1, hal. 451-452
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 101 ]
Abû Bakr bin Abî Syaibah (w.235 H), „Abdullâh bin Muhammad
bin al-Qâḍî Abî Syaibah al-Hâfiẓ, Abû Bakr al-„Abasî al-Kûfî. Ia menerima
riwayat di antaranya dari: Syarîk, Ibn al-Mubârak, Husyaim. Dan di antara
orang yang menerima riwayat darinya : al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâud, Ibn
Mâjah, Abû Ya‟lâ, al-Bâghandî.101
Ahmad bin Hanbal, berkata, ia ṣadûq, al-
„Ijlî berkata, ia tsiqah, dan al-Khaṭîb berkata, ia mutqin hâfiẓ.102
Abû Kuraib (w.248 H), Muhammad bin al-„Alâ‟ Abû Kuraib al-
Hamdânî al-Hâfiẓ. Ia menerima riwayat di antaranya dari : Husyaim, Ibn al-
Mubârak. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: al-Sarrâj, Ibn
Khuzaimah. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsiqah hâfiẓ.103
Abû Hâtim
berkata, ia ṣadûq. Al-Nasâ‟î dan selainnya berkata, ia tsiqah.104
Abû Mu’âwiyah (w.195 H), Muhammad bin Khâzim Abû
Mu‟âwiyah al-Ḍarîr al-Hâfiẓ. Ia menerima riwayat di antaranya dari:
Hisyâm, al-A‟masy. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya:
Ahmad, Ishâq, „Alî, Ibn Ma‟în. Menurut al-Dzahabî (673-748 H), ia dinilai
tsiqah hâfiẓ pada periwayatan jalur al-A‟masy.105
Menurut Abu Daud, ia
seorang kepala sekte Murji‟ah di Kufah. Al-Nasa‟i berkata, ia tsiqah. Ibn
Hibban berkata, ia hâfiẓ mutqin, namun ia seorang penganut murji‟ah yang
buruk (murji’an khabîtsan).106
Al-A’masy (w.148 H), Sulaimân bin Mihrân al-Hâfiẓ Abû
Muhammad al-Kâhilî al-A‟masy. Menurut Ibn al-Madînî, ia memiliki 1300
hadis. Ia menerima riwayat di antaranya dari : Ibn Abî Aufâ, Wazirr, dan Abi
Wâ‟il. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya : Syu‟bah, Wakî‟.
Menurut al-Tirmidzi dalam „al-Jâmi’-nya‟, kitâb al-ṭahârah, bâb al-istitâr
101
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 592 102
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahâbî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
11, hal. 124-125 103
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 208 104
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahâbî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
11, hal. 397-398 105
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 167 106
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahâbî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
9, hal. 77
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 102 ]
‘inda al-hâjah, sebagaimana dikutip al-Dzahabî (673-748 H), menyatakan
bahwa al-A‟masy melakukan tadlis dan irsal, sebab ia tidak pernah
mendengar langsung dari Anas bin Mâlik atau pun salah satu sahabat Nabi
saw lainnya.107
Abû Ṣâlih (w.101 H), Dzakwan Abû Ṣâlih al-Sammân al-Ziyyât. Ia
menerima riwayat di antaranya dari: „Âisyah, Abi Hurairah. Dan di antara
orang yang menerima riwayat darinya: (putera-puteranya: „Abdullah, Suhail,
dan Ṣâlih), al-A‟masy. Menurut al-Dzahabî (673-748 H), ia termasuk di
antara imam-imam hadits yang tsiqah (min al-aimmah al-tsiqât).108
Ketiga, Hadis no. [1483] 253-(…), dengan jalur:
(haddatsanâ) Muhammad bin Rafî‟, (haddatsanâ) „Abd al-Razzâq,
(haddatsanâ) Ma‟mar, (‘an) Hammâm bin Munabbih, (haddatsanâ)
Abû Hurairah.109
Muhammad bin Râfi’ (w. 245), Muhammad bin Râfi‟ al-Qusyairi
al-Hâfiz al-zâhid.Ia menerima riwayat langsung (sami’a) di antaranya dari :
Waki‟, „Abd al-Razzâq. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya
: para imam mukharrij (jama’ah) selain Ibn Mâjah, Ibn Khuzaimah, Ibn Abî
Dâwûd. Al-Nasâ‟î berkata, ia seorang yang tsiqah ma’mûn.110
‘Abd al-Razzâq (w.211 H), „Abd al-Razzâq bin Hammâm Nâfi‟ al-
Hâfiẓ Abu Bakr al-Ṣan‟ânî. Ia menerima riwayat di antaranya dari Ibn Juraij,
Ma‟mar, Tsaur. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya Ahmad,
Ishâq, al-Ramâdî, al-Dabarî. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsiqah
hâfiẓ. Di akhir umurnya ia mengalami kebutaan dan berpaham syi‟ah
(tasyayyu’).111
107
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 464 108
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 386 109
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim, ,
juz ke-1, hal. 452 110
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 170 111
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 651
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 103 ]
Ma’mar, (lahir 75 atau 76 H-150 atau 152, 153), ia adalah Ma‟mar
bin Rasyîd al-Azdî al-Huddânî, Abû „Urwah bin „Amr al-Baṣrî, maula „Abd
al-Salâm bin „Abd al-Quddûs. Ia menerima riwayat di antaranya dari: al-
Zuhri, Hammam. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya
:Ghundar, Ibn al-Mubarak, „Abd al-Razzaq.112
Para kritikus hadis, seperti al-Mizzî (654-742 H) mengungkapkan,
banyak pujian yang diarahkan kepada Ma‟mar, di antaranya al-Faḍl bin
Ziyâd yang menyatakan bahwa Ma‟mar termasuk perawi yang pawai; orang
yang pertama kali melakukan perjalanan mencari hadits ke Yamân, Syâm
termasuk al-Jazîrah.113
„Abbas al-Dûrî mengatakan bahwa di antara orang
yang paling tsubut adalah Ma‟mar, selain al-Zuhrî Mâlik bin Anas, Yûnus,
„Uqail, Syu‟aib bin Abî Hamzah, dan Ibn „Uyainah.114
Mu‟âwiyyah bin Ṣalih dari Yahyâ bin Ma‟în, dan al „Ijli, Ya‟qûb bin
Syaibah, berkata : Ma‟mar seorang yang tsiqah, dan al Nasâ‟î menyebutnya
sebagai al-tsiqah al-ma’mûn. „Utsmân bin Sa‟id berkata: ia seorang yang
ṣâlih tsiqah.115
Ibn Hibbân sendiri memasukkannya kedalam kitab “al-
Tsiqât”.116
Abû Hafṣ al-Fallâs, sebagaimana dikutip al-Dzahabî (w.748
H/1374 M) berkata: Ma‟mar adalah aṣdaq al-nâs.117
Meski demikian,
Ma‟mar menjadi wahm terutama ketika ia menziarahi ibunya di Baṣrah, dan
ia sering ghalaṭ.118
Hammâm bin Munabbih (w.132 H), bin Kâmil bin Saij al-Abnâwi
al-Ṣan‟ânî. Ia menerima riwayat di antaranya dari Abu Hurairah, Mu‟awiyah.
112
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 282 113
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-28, hal. 307 114
Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-28, hal. 308 115
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
7, hal. 10 116
Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-28, hal. 309 117
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
7, hal. 7 118
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
7, hal. 12
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 104 ]
Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya „Uqail bin Ma‟qil,
Ma‟mar. Al-Dzahâbî (w.748 H/1374 M) berkata, ia tsiqah.119
Keempat, hadis no. [1484] (…), dengan jalur :
(haddatsanâ) Zuhair bin Harb dan Abû Kuraib dan Ishâq bin
Ibrâhîm, (‘an) Wakî‟, (‘an) Ja‟far bin Burqân, (‘an) Yazîd bin al-
Aṣamm, (‘an) Abî Hurairah, lafaẓ hadis sama seperti no [1483].120
Zuhair bin Harb (w.234 H), bin Syaddâd Abu Khaitsamah al-Nasâ‟î
al-Hâfiẓ. Ia menerima riwayat di antaranya dari Jarir, Husyaim. Dan di
antara orang yang menerima riwayat darinya al-Bukhari, Muslim, Abû
Dâwûd, al-Nasâ‟î, Abu Ya‟lâ. Al-Dzahâbî (w.748 H/1374 M) berkata, ia
tsiqah tsabt.121
Abû Kuraib (w.248 H), Muhammad bin al-„Alâ‟ Abû Kuraib al-
Hamdânî al-Hâfiẓ. Ia menerima riwayat di antaranya dari Husyaim, Ibn al-
Mubârak. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya al-Sarrâj, Ibn
Khuzaimah. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsiqah hâfiẓ.122
Abû Hâtim
berkata, ia ṣadûq. Al-Nasâ‟î dan selainnya berkata, ia tsiqah.123
Ishâq bin Ibrâhîm (w.238 H), Ishâq bin Ibrâhîm bin Makhlad al-
Imam Abu Ya‟qub al-Marwazî Ibn Râhawaih. Ia menerima riwayat di
antaranya dari Jarir, al-Darâwardî, Mu‟tamir. Dan di antara orang yang
menerima riwayat darinya al-Bukhari, Muslim, Abû Dâwûd, al-Tirmidzi, al-
Nasa‟i, Abu al-„Abbas al-Sarrâj.124
Wakî’ (128-197 H), Wakî‟ bin al-Jarrâh Abu Sufyan al-Ru‟âsî. Ia
menerima riwayat di antaranya dari al-A‟masy, Hisyâm bin „Urwah. Dan di
119
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 339 120
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim,
tahqiq : Muhammad Fuâd Abd al-Bâqî, (Mesir : Dâr Ihyâ‟ al-Kutub al-„Arabiyyah, 1374
H/1954 M), juz ke-1, hal. 452 121
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 407 122
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 208 123
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
11, hal. 397-398 124
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 233
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 105 ]
antara orang yang menerima riwayat darinya Ahmad, Ishaq, Ibrahim bin
Abdillah al-Qiṣṣâr.125
Ja’far bin Burqân (w.154 H), Ja‟far bin Burqân al-Kilâî al-Raqiyyî.
Ia menerima riwayat di antaranya dari Maimun bin Mihrân, „Uddah. Dan di
antara orang yang menerima riwayat darinya Wakî‟, Abu Na‟îm. Ibn Ma‟î
berkata, ia seorang yang tsiqah, namun tidak pandai membaca dan menulis
(ummî). Ahmad berkata bahwa ia tidak lengsung mendengar dari al-Zuhri.
Abu Hatim pun menegaskan bahwa ia tidak dibenarkan riwayatkan yang ia
peroleh dari mendengar dari Abi al-Zubair, bahkan, menurut Abu Hatim,
boleh jadi keduanya menjadi lemah (la’allahumâ ḍa’îf).126
Yazîd bin al-Aṣamm (w.103 H), Yazîd bin al-Aṣamm al-„Âmirî Abû
„Auf. Ia menerima riwayat di antaranya dari Maimûnah (saudara
perempuannya), Abu Hurairah. Dan di antara orang yang menerima riwayat
darinya al-Zuhri, Ja‟far bin Burqân. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia
tsiqah.127
Kelima, hadis no. [1485] 254-(652), dengan jalur:
(haddatsanâ) Ahmad bin Abdillâh bin Yûnus, (haddatsanâ)
Zuhair, (haddatsanâ) Abû Ishâq, (‘an) Abi al-Ahwaṣ, (sami’ahu
minhu ‘an) Abdillah bin Mas‟ûd.128
Ahmad bin Abdillâh bin Yûnus (w.227 H), Ahmad bin Abdillâh
bin Yûnus al-Tamimi al-Yarbu‟i al-Kufi al-Hâfiẓ. Ia menerima riwayat di
antaranya dari Ibn Abi Dzi‟b, „Âṣim bin Muhammad, al-Tsauri. Dan di
antara orang yang menerima riwayat darinya al-Bukhari, Muslim, Abu
125
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 350 126
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 294 127
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 380 128
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Ṣahîh Muslim,
tahqiq : Muhammad Fuâd Abd al-Bâqî, (Mesir : Dâr Ihyâ‟ al-Kutub al-„Arabiyyah, 1374
H/1954 M), juz ke-1, hal. 452
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 106 ]
Daud129
, „Abd, Khalq. Abu Hatim berkata, ia tsiqah mutqin selain
periwayatan dari Sufyân. Al-Nasa‟i berkata, ia tsiqah.130
Zuhair (w.173 H), Zuhair bin Mu‟awiyah bin Hudaij al-Hâfiẓ Abû
Khaitsamah al-Ju‟fi al-Kufi. Ia menerima riwayat di antaranya dari Ziyad bin
„Ilâqah, Manṣûr. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya al-
Qaṭṭân, „Ali bin al-Ja‟d, dan Yahya bin Yahya. Al-Dzahabî (673-748 H)
berkata, ia tsiqah hujjah. Burhân al-Dîn Abî al-Wafâ‟ berkata bahwa ia
(Zuhair) mendapatkan riwayat (simâ’) dari Abi Ishâq pada masa-masa
belakangan (simâ’uhu min Abî Ishâq bi akharah).131
Abû Ishaq (w.127 H), „Amr bin „Abdillah bin Dzî Yahmad Abû
Ishaq al-Hamdani al-Sabî‟î. Ia menerima riwayat di antaranya dari Jarir, „Adî
bin Hâtim, Zaid bin Arqam, Ibn „Abbas, Umam. Dan di antara orang yang
menerima riwayat darinya Yunus (puteranya), Hafîduh Isrâ‟îl, Syu‟bah, Abu
Bakr bin „Iyâsy.Abî al-Wafâ‟ berkata bahwa iaseorang yang banyak
beribadah, dan pada masa-masa akhir ia sering ikhtilaṭ132
dan tadlîs. Namun
pendapat ini disangkal al-Dzahabi, sebagaimana dikutip Burhân al-Dîn Abî
al-Wafâ‟, bahwa ia tidak mukhtaliṭ, hanya terkadang berubah sedikit (wa lam
yakhtaliṭ, wa qad taghayyar qalîlan).133
129
Menurut Ahmad bin „Abd al-Jabbar al-„Uṭârî, pendapat yang menyatakan Abû
Dâwûd menerima riwayat dari Ahmad bin Yunus adalah pendapat yang keliru. Lihat
hâsyiyah dalam Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-
Dimasyqî, al-Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 198 130
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 198 131
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 408 132
Ikhtilaṭ adalah istilah bagi perawi yang melakukan kesalahan atau kekeliruan
dalam penyebutan periwayatan. Untuk menetapkan hukum dalam keadaan seperti ini, ulama
ahli hadis mengkondisikan, jika kekeliruan atau kesalahannya terjadi setelah periwayatan,
maka hadisnya bisa diterima. Namun jika sebaliknya, maka harus ditolak. Persoalan ini tidak
dianggap final manakala muncul persoalan bagaimana jika terdapat kesulitan untuk
menetapkan atau mendeteksi kapan terjadinya ikhtilaṭ, maka ulama ahli hadis menetapkan
hadisnya ditolak (mardûd). Lihat, Jâsim bin Muhammad bin Muhalhal al-Yâsîn, al-Jadâwil
al-Jâmi’ah fî al-‘Ulûm al-Nâfi’ah, (Beirut : Mu‟assasah al-Ryyân, 2010), cetakan ke-3, hal.
hal. 471 133
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 82
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 107 ]
Abi al-Ahwaṣ (w.179 H), Sallâm bin Sulaim al-Hâfiẓ Abu al-Ahwaṣ.
Ia menerima riwayat di antaranya dari Âdam bin „Alî, Ziyad bin „Ilâqah. Dan
di antara orang yang menerima riwayat darinya Musaddad, Hannâd. Ibn
Ma‟in berkata, ia tsiqah mutqin.134
C. Matan dan Sanad Hadis Dalam Sunan Abû Dâwûd
Sunan Abû Dâwûd merekam riwayat tersebut dua kali di satu tempat,
yaitu : (al-mu‟jam 2) kitâb al-ṣalâh (al-tuhfah 2), (al-mu‟jam 46) bâb al-
tasydîd fî tark al-jamâ’ah (al-tuhfah 47), no. hadits 548. Makna redaksi
menunjukkan pengertian bahwa Nabi saw menyuruh (utusan) orang untuk
melaksanakan salat berjamaah, lalu beliau mengajak beberapa orang dengan
membawa beberapa ikat kayu bakar, untuk mendatangi kaum yang tidak
mengikuti jama‟ah.135
صب ٤جخ ؽل أث٢ ث ب صب ػض ٣خ ؽل ؼب أث ػ األػ أث٢ ػ
بؼ أث٢ و٣وح ػ هب ػ٤ ٠ هللا هللا ه و هب آ ذ أ ول
ؽي ؼ ؼ٢ ثوعب طن أ ص ٢ ثبب و هعال ك٤ آ ص الح كزوب ثب
ؽطت ا٠ ث٤ر م ػ٤ الح كؤؽو ا ل ال ٣ ثببه ه
Hadits no. 549 tersebut menunjukkan pengertian bahwa Nabi saw
memerintahkan bersama beberapa pemuda untuk mendatangi kaum yang
salat di rumah (yuṣallûna fî buyûtihim), tanpa „udzur (laisat bihim ‘illah),
lalu membakar mereka. Dalam riwayat tersebut Yazîd bin Yazîd meminta
penegasan kepada Yazîd bin al-Aṣamm, apakah yang dimaksud (dalam
sabda Nabi saw itu) yang meninggalkan salat Jum‟at atau juga selainnya.
Yazîd bin al-Aṣamm menjawab: “Semoga telingaku tuli jika aku tidak
benar-benar mendengar dari Abu Hurairah yang meriwayatkan dari
134
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 474 135
Abû Dâwûd Sulaimân bin al-Asy„ats al-Sijistânî (w. 275 H), Sunan Abî Dâwûd,
tahqîq : Muhammad „Abd al-„Azîz al-Khâlidî, (Beirut : Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1416
H/1996 M), juz ke-1 hal. 190
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 108 ]
Rasulullah saw, bahwa beliau tidak menyebutkan apakah hal itu terkait salat
Jum’at atau selainnya”.136
صب صب ال٢٤ ؽل ٤ؼ ؽل ص٢ أث ا ٣ي٣ل ٣ ؽل ص٢ ي٣ل ث ؽل ٣ي٣ل ث
ؼذ األ أثب و٣وح هب ذ ٣و ول ػ٤ ٠ هللا هللا ه هب
ؽطت ص ب ؼا ؽي و كز٤ز٢ ك٤غ آ أ ذ ث ٤ ك٢ ث٤ر ب ٣ آر٢ ه
هب ػ٤ ذ ػخ كؤؽو ه األ ؿ٤وب هب ٣ب ٤ي٣ل ث ؼخ ػ٠ أ غ كب أثب ػ
ؼذ أ زب أمب١ ا أثب و٣وح ػ٤ ٠ هللا هللا ه ٣ؤصو ػ
ال ؿ٤وب ؼخ و ع ب م
Nabi saw memerintahkan kepada sekelompok pemuda untuk
mengumpulkan kayu bakar, lalu beliau mendatangi orang-orang yang
melaksanakan salat di rumah-rumah mereka tanpa suatu sebab „udzur („illah)
dan membakarnya. Ditanyakan (menegaskan) kepada Yazîd bin al-Aṣamm
apakah yang dimaksud salat Jum‟at atau juga selainnya. Dia (Yazîd)
menegaskan dengan klaim mendengar langsung dari Abû Hurairah bahwa
yang dimaksud adalah salat Jum‟at juga selainnya.
Adapun para perawi dalam Sunan Abû Dâwûd, periwayatannya
melalui jalur sebagai berikut:
(haddatsanâ) „Utsmân bin Abî Syaibah, (haddatsanâ) Abû
Mu‟âwiyah, (‘an) al-A‟masy, (‘an) Abî Ṣâlih, (‘an) Abî Hurairah.137
‘Utsmân bin Abî Syaibah (w.239 H),„Utsmân bin Abî Syaibah Abû
al-Hasan al-„Absî al-Kûfî al-Hâfiẓ.Ia menerima riwayat di antaranya dari
Syarîk, Abu al-Ahwaṣ. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya
al-Bukhârî, Muslim, Abu Dâwûd, Ibn Mâjah, Abû Ya‟lâ, dan al-Baghawî.
Yahyâ berkata, ia tsiqah. Menurut Burhân al-Dîn Abî al-Wafâ‟, berkata
bahwa perihal „Utsmân, terdapat beberapa pendapat, ada yang mengatakan
bahwa ia tsiqah hâfiẓ syahîr, tapi ia tidak hafal al-Qur‟ân (al-Hâfiẓ),
136
Abû Dâwûd Sulaimân bin al-Asy„ats al-Sijistânî (w. 275 H), Sunan Abî Dâwûd,
juz ke-1, hal. 190-191 137
Abû Dâwûd Sulaimân bin al-Asy„ats al-Sijistânî (w. 275 H), Sunan Abî Dâwûd,
juz ke-1 hal. 190
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 109 ]
sebagaimana yang lain memberikannya gelar tersebut, bahkan dalam kitab
„al-‘Ilal‟ ia memiliki wahm.138
Abû Mu’âwiyah (w.195 H), Muhammad bin Khâzim Abû
Mu‟âwiyah al-Ḍarîr al-Hâfiẓ. Ia menerima riwayat di antaranya dari Hisyâm,
al-A‟masy. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya Ahmad,
Ishâq, „Alî, Ibn Ma‟în. Menurut al-Dzahabî (673-748 H), ia dinilai tsiqah
hâfiẓ pada periwayatan jalur al-A‟masy.139
Menurut Abu Dâwûd, ia seorang
kepala sekte Murji‟ah di Kufah. Al-Nasa‟i berkata, ia tsiqah. Ibn Hibban
berkata, ia hâfiẓ mutqin, namun ia seorang penganut murji‟ah yang buruk
(murji’an khabîtsan).140
Al-A’masy (w.148 H), Sulaimân bin Mihrân al-Hâfiẓ Abû
Muhammad al-Kâhilî al-A‟masy. Menurut Ibn al-Madînî, ia memiliki 1300
hadis. Ia menerima riwayat di antaranya dari : Ibn Abî Aufâ, Wazirr, dan Abi
Wâ‟il. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya : Syu‟bah, Wakî‟.
Menurut al-Tirmidzi dalam „al-Jâmi’-nya‟, kitâb al-ṭahârah, bâb al-istitâr
‘inda al-hâjah, sebagaimana dikutip al-Dzahabî (673-748 H), menyatakan
bahwa al-A‟masy melakukan tadlîs dan irsâl, sebab ia tidak pernah
mendengar langsung dari Anas bin Mâlik atau pun salah satu sahabat Nabi
saw lainnya.141
Abû Ṣâlih (w.101 H), Dzakwân Abû Ṣâlih al-Sammân al-Ziyyât. Ia
menerima riwayat di antaranya dari: „Âisyah, Abi Hurairah. Dan di antara
orang yang menerima riwayat darinya: (putera-puteranya: „Abdullâh, Suhail,
dan Ṣâlih), al-A‟masy. Menurut al-Dzahabî (673-748 H), ia termasuk di
antara imam-imam hadits yang tsiqah (min al-aimmah al-tsiqât).142
Hadits no. 549, dengan jalur:
138
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal.12 139
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 167 140
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
9, hal. 77 141
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 464 142
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 386
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 110 ]
(haddatsanâ) al-Nufailî, (haddatsanâ) Abû al-Malîh, (haddatsanî)
Yazîd bin Yazîd, (haddatsanî) Yazîd bin al-Aṣamm, ia mendengar
(sami’a) Abu Hurairah.143
Al-Nufailî (w.234 H), „Abdullâh bin Muhammad bin „Alî bin Nufail
al-Hâfiẓ Abû Ja‟far al-Nufailî al-Harrânî. Ia menerima riwayat di antaranya
dari : Mâlik, Zuhair. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya:
Abu Dâwûd, Hilâl bin al-„Alâ‟, al-Firyâbî.144
Abû Hâtim berkata, ia tsiqah
ma’mûn.145
Abu al-Malîh (w.181 H), al-Hasan bin „Umar Abû al-Malîh al-Raqî.
Ia menerima riwayat di antaranya dari: Maimûn bin Mihrân, „Aṭâ‟. Dan di
antara orang yang menerima riwayat darinya: al-Nufailî, Dâwûd bin
Rusyaid. Menurut Ahmad dan Abû Zur‟ah, ia tsiqah.146
Yazîd bin Yazîd (w.133 H), Yazîd bin Yazîd bin Jâbir al-Azdî. Ia
menerima riwayat di antaranya dari: „Umar bin „Abd al-„Azîz, Yazîd bin al-
Aṣamm. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: Sufyan bin
„Uyainah, Sufyân al-Tsaurî. Menurut al-Dzahabî (673-748 H), ia tsiqah
ṣâlih, seorang yang banyak menangis (bukkâ’).147
Menurut Burhân al-Dîn
Abî al-Wafâ‟, berkata, perawi yang majhûl, yakni ia tidak meriwayatkan
kepada selain Abû al-Malîh.148
Yazîd bin al-Aṣamm (w.103 H), Yazîd bin al-Aṣamm al-„Âmirî Abû
„Auf. Ia menerima riwayat di antaranya dari: Maimûnah (saudara
perempuannya), Abu Hurairah. Dan di antara orang yang menerima riwayat
143
Abî Dâwûd Sulaimân bin al-Asy„ats al-Sijistânî (w. 275 H), Sunan Abî Dâud, juz
ke-1, hal. 190-191 144
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 595 145
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
10, hal. 636-637 146
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 328 147
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 391 148
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 391
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 111 ]
darinya: al-Zuhri, Ja‟far bin Burqân. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia
tsiqah.149
D. Matan dan Sanad Hadis Dalam Sunan al-Tirmidzî
Sunan al-Tirmidzî merekam riwayat tersebut di dua tempat, yaitu:
(al-mu‟jam 2) kitâb al-ṣalâh ‘an Rasûlillâh saw (al-tuhfah 2), bâb mâ jâ’a fî
man sami’a al-nidâ’ falâ yujîb, (al-tuhfah 48), no. 217. Makna redaksi
riwayat ini tentang keinginan Nabi saw untuk mengumpulkan kayu bakar,
untuk membakar rumah-rumah kaum yang tidak menghadiri (lâ yasyhadûn)
salat berjama‟ah.150
صب صب بك ؽل ٤غ ؽل ػ ثوهب ػ عؼلو ث األ ٣ي٣ل ث أث٢ ػ
و٣وح هب ػ٤ ٠ هللا اج٢ ؼا ػ ٣غ و كز٤ز٢ أ آ ذ أ ول
الح كزوب و ثب آ ؾطت ص ا ؽي ال ٣ ا هؼ٠ أه أؽو الح ص ا ل
Dalam Kitâb al-ṣalâh, bâb mâ ja’a fî faḍl ṣalâh jamâ’ah, al-Tirmidzî
menguatkan riwayat tersebut di atas dengan makna redaksi yang menyatakan
tentang orang yang tidak menghadiri salat berjama‟ah dan salat Jum‟at
dengan alasan benci, menganggap enteng atau merendahkan kewajibannya
sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat Muslim di atas.
Adapun para perawi dalam Sunan al-Tirmidzî, periwayatannya
melalui jalur, sebagai berikut:
(haddatsana) Hannâd, (haddatsana) Wakî‟, (‘an) Ja‟far bin Burqân,
(‘an) Yazid bin al-Aṣamm, (‘an) Abi Hurairah.151
Hannâd (w.243 H), Hannâd bin al-Sarî bin Muṣ‟ab bin Abi Bakr bin
Syibr bin Ṣa‟fûq Abu al-Sarî al-Tamîmî al-Dârimî al-Kûfî al-Hâfiẓ al-Zâhid.
Ia menerima riwayat di antaranya dari : Syarîk, „Absyar. Dan di antara orang
yang menerima riwayat darinya: Muslim, al-Bukhari, al-Tirmidzî, Abu
149
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 380 150
Abî „Îsâ Muhammad bin „Îsâ bin Saurah (209-279 H), al-Jâmi al-Ṣahîh wa Huwa
Sunan al-Tirmidzî, tahqîq : Ahmad Muhammad Syâkir, (Mesir : Muṣṭafâ al-Bâbî al-Halabî,
tth.), juz ke-1, hal. 422 151
Abî „Îsâ Muhammad bin „Îsâ bin Saurah (209-279 H), al-Jâmi al-Ṣahîh wa Huwa
Sunan al-Tirmidzî, juz ke-1, hal. 422
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 112 ]
Dâwûd, al-Nasâ‟î, al-Sarrâj. al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia seorang
rahib di wilayah Kufah.152
Menurut Burhân al-Dîn Abî al-Wafâ‟, berkata ia
tsiqah.153
Wakî’ (128-197 H), Wakî‟ bin al-Jarrâh Abu Sufyan al-Ru‟âsî. Ia
menerima riwayat di antaranya dari: al-A‟masy, Hisyâm bin „Urwah. Dan di
antara orang yang menerima riwayat darinya : Ahmad, Ishâq, Ibrâhîm bin
Abdillâh al-Qiṣṣâr.154
Ja’far bin Burqân (w.154 H), Ja‟far bin Burqân al-kilâî al-Raqiyyî.
Ia menerima riwayat di antaranya dari : Maimun bin Mihrân, „Uddah. Dan di
antara orang yang menerima riwayat darinya : Wakî‟, Abu Na‟îm. Ibn Ma‟în
berkata, ia seorang yang tsiqah, namun tidak pandai membaca dan menulis
(ummî). Ahmad berkata bahwa ia tidak lengsung mendengar dari al-Zuhri.
Abû Hâtim pun menegaskan bahwa ia tidak dibenarkan riwayatkan yang ia
peroleh dari mendengar dari Abi al-Zubair, bahkan, menurut Abû Hâtim,
boleh jadi keduanya menjadi lemah (la’allahumâ ḍa’îf).155
Yazîd bin al-Aṣamm (w.103 H), Yazîd bin al-Aṣamm al-„Âmirî Abû
„Auf. Ia menerima riwayat di antaranya dari : Maimûnah (saudara
perempuannya), Abu Hurairah. Dan di antara orang yang menerima riwayat
darinya: al-Zuhri, Ja‟far bin Burqân. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia
tsiqah.156
E. Matan Dan Sanad Hadis Dalam Sunan al-Nasâ’î
Sunan al-Nasâ‟î merekam riwayat tersebut di satu tempat, yaitu: (al-
mu‟jam 2) kitâb al-imâmah, (al-mu‟jam 49) bâb al-tasydîd fî al-takhalluf ‘an
al-jamâ’ah (al-tuhfah 241). Makna redaksi menunjukkan pengertian tentang
perintah Nabi saw untuk mengumandangkan adzân, lalu mengutus salah satu
152
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 339 153
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 339 154
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 350 155
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 294 156
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 380
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 113 ]
jama‟ah untuk menjadi imam, sedangkan beliau saw sendiri bermaksud
mendatangi dan membakar rumah-rumah orang yang tidak mendatangi
jama‟ah shalat isya‟ dengan membandingkan keutamaannya seperti daging
yang masih menempel pada tulang-tulang kambing.157
هز٤جخ أفجوب بي ػ بك ػ أث٢ اي األػوط ػ أث٢ و٣وح ػ أ
ػ٤ ٠ هللا هللا ه و ثؾطت هب آ ذ أ ول ٢ ث٤ل ان١ ل
أفبق ا٠ هعب ص اب و هعال ك٤ئ آ ب ص الح ك٤ئم و ثب آ ك٤ؾطت ص
ث٤ر م ػ٤ كؤؽو ٢ ث٤ل ان١ ل ٤ب أ ب ٣غل ػظ أ أؽل ٣ؼ
بء ؼ ل ا ز٤ ؽ بر٤ و
Adapun para perawi dalam Sunan al-Nasâ‟î, periwayatannya
melalui jalur, sebagai berikut:
(akhbaranâ) Qutaibah, (‘an) Mâlik, (‘an) Abî al-Zinnâd, (‘an) al-A‟raj,
(‘an) Abî Hurairah.158
Qutaibah (w.240 H), Qutaibah bin Sa‟îd bin Jamîl bin Ṭarîf Abu
Rajâ‟ al-Tsaqafî al-Balkhî. Ia menerima riwayat di antaranya dari : Mâlik al-
Laits. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya : al-Jamâ‟ah (para
ulama hadis, mukharrij) selain Ibn Mâjah, al-Firyâbî, al-Sarrâj.159
Mâlik (93-179 H), al-Imâm Abû Abdillâh Mâlik bin Anas al-Aṣbahî.
Ia menerima riwayat di antaranya dari : Nâfi‟ dan al-Zuhrî. Dan di antara
orang yang menerima riwayat darinya: Ibn Mahdî, Ibn al-Qâsim, Ma‟n, dan
Abû Muṣ‟ab.160
157
Abî „Abd al-Rahmân Ahmad bin Syu‟aib bin „Alî Sunan al-Nasâ‟î (215-303 H),
Sunan al-Nasâ’î, ta‟lîq : Muhammad Nâṣir al-Dîn al-Albânî, (Riyâḍ : Maktabah al-Ma‟ârif,
tth.), cetakan ke-1, hal. 140 158
Abî „Abd al-Rahmân Ahmad bin Syu‟aib bin „Alî Sunan al-Nasâ‟î (215-303 H),
Sunan al-Nasâ’î, ta‟lîq : Muhammad Nâṣir al-Dîn al-Albânî, (Riyâḍ : Maktabah al-Ma‟ârif,
tth.), cetakan ke-1, hal. 140 159
Terkait nama Qutaibah, para ulama berbeda pendapat, sebagaimana diikuti
Burhân al-Dîn Abî al-Wafâ‟, bahwa di antara nama-nama yang diperselisihkan adalah :
Yahyâ, „Alî, Yasâr. Menurut al-Khaṭib, yang lebih tepat adalah Yasâr, sebab Qutaibah
adalah laqabnya. Lihat, Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-
Dimasyqi, al-Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 134 160
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 234
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 114 ]
Abû al-Zinnâd (w.131 H), al-Imâm Abdullâh bin Dzakwân Abû
„Abd al-Rahmân Abû al-Zinnâd al-Madanî.Ia menerima riwayat di antaranya
dari: Anas bin Malik, „Umar bin Abi Salamah, Sa‟id bin al-Musayyab, al-
A‟raj, dan „Iddah.Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: Malik
bin Anas, al-Laits. Syams al-Din al-Dzahabi (673-748 H), menyebutnya:
tsiqah tsabt.161
Al-A’raj (w.117 H),„Abd al-Rahmân bin Hurmuz al-A‟raj Abû
Dâwûd. Ia menerima riwayat di antaranya dari: Abu Hurairah, „Abdullâh bin
Buhainah. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: al-Zuhri, Ibn
Luhai‟ah. Syams al-Dîn al-Dzahabî (673-748 H), menyebutnya: tsiqah tsabt
‘âlim.162
F. Matan Dan Sanad Hadis Dalam Sunan Ibn Mâjah
Sunan Ibn Mâjah merekam riwayat tersebut di dua tempat, yaitu:
pertama, (al-mu‟jam 3) kitâb al-masâjid wa al-jamâ’ât, (al-tuhfah 17) bâb
al-taghlîẓ fi takhalluf ‘an al-jamâ’ah (al-tuhfah 37), no. 791. Makna redaksi
menunjukkan pengertian bahwa Nabi saw memerintahkan orang (utusan)
untuk melaksanakan salat berjamaah, lalu beliau mengajak beberapa orang
dengan membawa beberapa ikat kayu bakar (huzam min haṭab), untuk
mendatangi kaum yang tidak mengikuti jama‟ah.
Dalam riwayat lain disebutkan tentang orang yang mendengar
panggilan (al-nidâ’) untuk melaksanakan jama‟ah, salat yang dikerjakannya
tidak sah tanpa adanya ‘udzur. 163
صب ٤جخ ؽل أث٢ و ث صب أث ث ٣خ ؽل ؼب أث ػ األػ أث٢ ػ
بؼ أث٢ و٣وح ػ هب ػ٤ ٠ هللا هللا ه و هب آ ذ أ ول
٢ ثبب و هعال ك٤ آ ص الح كزوب ؽطت ثب ؽي ؼ طن ثوعب أ ص
ثببه ث٤ر م ػ٤ الح كؤؽو ا ل ال ٣ ا٠ ه
161
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 549 162
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 647 163
Abi „Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwînî (207-275 H), Sunan Ibn Mâjah,
tahqîq : Muhammad Fuâd „Abd al-Bâqî, (Mesir : Dâr Ihyâ‟ al-Kutub al-„Arabiyyah, tth.), juz
ke-1, hal. 259
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 115 ]
صب ؾ ؽل ط٢ ػجل ا ا ا ث٤ب ٤ل ث جؤب أ ٤ ؼجخ ػ ػ ػل١ ث
صبثذ عج٤و ػ ؼ٤ل ث ػ ػجب اث هب ػ٤ ٠ هللا اج٢ ػ
ال كال ٣ؤر غ الاء ك ػنه ح اال
Kedua, hadis no. 795.164
صب و٢ ؽل ن٢ ال ا ؼ٤ ا ث ب صب ػض ؽل ٤ل ث ا أث٢ ػ اث
مئت و١ ػ و ا ػ ث ثوهب اي ى٣ل ػ خ ث ب ٠ هب أ هللا ه وب
ػ٤ هللا ث٤ر ه ألؽو بػخ أ غ روى ا ػ هعب ٤ ز ٤
Dalam redaksi tersebut tidak menyebutkan tentang keinginan Nabi
saw, selain ungkapan redaksi: „Sungguh orang-orang yang mencegah diri
dari berjama’ah, atau aku benar-benar akan membakar rumah-rumah
mereka‟.
Adapun para perawi dalam Sunan Ibn Mâjah, periwayatannya melalui
jalur, sebagai berikut:
(haddatsanâ) Abu Bakr bin Abi Syaibah, (haddatsanâ) Abu
Mu‟awiyah, (‘an) al-A‟masy, (‘an) Abi Ṣâlih (‘an) Abi Hurairah.165
Abû Bakr bin Abî Syaibah (w.235 H), „Abdullâh bin Muhammad
bin al-Qâḍî Abî Syaibah al-Hâfiẓ, Abû Bakr al-„Abasî al-Kûfî. Ia menerima
riwayat di antaranya dari Syarîk, Ibn al-Mubârak, Husyaim. Dan di antara
orang yang menerima riwayat darinya al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd, Ibn
Mâjah, Abû Ya‟lâ, al-Bâghandî.166
Ahmad bin Hanbal, berkata, ia ṣadûq, al-
„Ijlî berkata, ia tsiqah, dan al-Khaṭîb berkata, ia mutqin hâfiẓ.167
Abû Mu’âwiyah (w.195 H), Muhammad bin Khâzim Abû
Mu‟âwiyah al-Ḍarîr al-Hâfiẓ. Ia menerima riwayat di antaranya dari Hisyâm,
164
Abi „Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwînî (207-275 H), Sunan Ibn Mâjah,
juz ke-1, hal. 260 165
Abi „Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwînî (207-275 H), Sunan Ibn Mâjah,
tahqîq : Muhammad Fuâd „Abd al-Bâqî, (Mesir : Dâr Ihyâ‟ al-Kutub al-„Arabiyyah, tth.), juz
ke-1, hal. 259 166
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 592 167
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
11, hal. 124-125
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 116 ]
al-A‟masy. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya Ahmad,
Ishâq, „Alî, Ibn Ma‟în. Menurut al-Dzahabî (673-748 H), ia dinilai tsiqah
hâfiẓ pada periwayatan jalur al-A‟masy.168
Menurut Abu Dâwûd, ia seorang
kepala sekte Murji‟ah di Kufah. Al-Nasâ‟î berkata, ia tsiqah. Ibn Hibbân
berkata, ia hâfiẓ mutqin, namun ia seorang penganut murji‟ah yang buruk
(murji’an khabîtsan).169
Al-A’masy (w.148 H), Sulaimân bin Mihrân al-Hâfiẓ Abû
Muhammad al-Kâhilî al-A‟masy. Menurut Ibn al-Madînî, ia memiliki 1300
hadis. Ia menerima riwayat di antaranya dari Ibn Abî Aufâ, Wazirr, dan Abi
Wâ‟il. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya Syu‟bah, Wakî‟.
Menurut al-Tirmidzi dalam „al-Jâmi’-nya‟, kitâb al-ṭahârah, bâb al-istitâr
‘inda al-hâjah, sebagaimana dikutip al-Dzahabî (673-748 H), menyatakan
bahwa al-A‟masy melakukan tadlis dan irsal, sebab ia tidak pernah
mendengar langsung dari Anas bin Mâlik atau pun salah satu sahabat Nabi
saw lainnya.170
Abû Ṣâlih (w.101 H), Dzakwan Abû Ṣâlih al-Sammân al-Ziyyât. Ia
menerima riwayat di antaranya dari „Âisyah, Abi Hurairah. Dan di antara
orang yang menerima riwayat darinya adalah (putera-puteranya: „Abdullah,
Suhail, dan Ṣâlih), al-A‟masy. Menurut al-Dzahabî (673-748 H), ia termasuk
di antara imam-imam hadits yang tsiqah (min al-aimmah al-tsiqât).171
Kedua, hadis no. 795, dengan jalur:
(haddatsanâ) „Utsmân bin Ismâ‟îl al-Hudzalî al-Dimasyqî,
(haddatsanâ) al-Walîd bin Muslim, (‘an) Abû Dzi‟b, (‘an) al-
Zabriqân bin „Amr al-Ḍamrî, (‘an) Usâmah bin Zaid.
‘Utsmân bin Ismâ’îl bin ‘Imrân al-Hudzalî Abu Muhammad al-
Dimasyqî. Ia menerima riwayat di antaranya dari al-Walîd bin Muslim,
168
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 167 169
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
9, hal. 77 170
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 464 171
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 386
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 117 ]
Marwân bin Mu‟âwiyah. Dan di antara orang yang menerima riwayat
darinya : Ibn Mâjah, Muhammad bin Khuraim, dan al-Hasan bin Sufyân. Al-
Dzahabi berkata, haditsnya maqbûl.172
Al-Walîd bin Muslim (w.195 H), al-Walîd bin Muslim al-Hâfiẓ Abu
al-„Abbâs. Ia menerima riwayat di antaranya dari Yahyâ al-Dzimârî, Tsaur
bin Yazîd. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: Ahmad,
Ishâq, dan Duhaim.173
Ibn Abî Dzi’b (w.159 H), Muhammad „Abd al-Rahmân bin al-
Mughîrah bin Abî Dzi‟b Abû al-Hârits al‟Âmirî. Ia menerima riwayat di
antaranya dari: „Ikrimah, Nâfi‟, al-Zuhrî. Dan di antara orang yang menerima
riwayat darinya: Ma‟mar, Ibn al-Mubârak, Ibm Wahb, al-Qaṭṭân, „Alî bin al-
Ja‟d. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsiqah.174
Al-Zabriqân bin ‘Amr bin Umayyah al-Ḍamrî. Ia menerima
riwayat di antaranya dari: „Urwah, „Uddah. Dan di antara orang yang
menerima riwayat darinya: Bakr bin Sawâdah, Ibn Abî Dzi‟b. Al-Nasâ‟î
menilainya tsiqah.175
Usâmah bin Zaid (w.54 H), Usâmah bin Zaid bin Hâritsah bin
Syarâhîl bin „Abd al-„Uzza bin „Umri‟ al-Qais. Ia salah satu sahabat tercinta
Rasûlullâh saw. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: Kuraib,
Abû Ẓabyân, dan Khalq.176
Ibn Mâjah (207-275 H) sendiri, dalam al-Zawâ’id memberikan
komentar bahwa isnad al-Walîd bin Muslim al-Dimasyqî adalah seorang
mudallis. Dan „Utsman bin Ismâ‟îl adalah perawi yang tidak ditemukan
identitasnya (lâ yu’raf hâluhu).177
172
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 5 173
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 355 174
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 194 175
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 401 176
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 232 177
Abi „Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwînî (207-275 H), Sunan Ibn
Mâjah, juz ke-1, hal. 260
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 118 ]
C. Matan Dan Sanad Hadis Tentang Hamm Nabi saw Melakukan
Puasa Pada Tanggal 9-nya (Tâsû’â’) Atau pun Pada Tanggal 11-nya,
tersebar dalam berbagai kitab hadis, sebagai berikut:
A. Ṣahîh al-Bukhârî tidak merekam riwayat tersebut di tempat atau bagian
mana pun dalam kitab Shahîh-nya. Namun al-Bukhârî hanya menyebut
terkait puasa „âsyûrâ’ saja, misal sabda Nabi saw ketika tiba di Madinah
bertepatan dengan hari tersebut:
“Ini adalah hari Âsyûrâ’. Allah tidak mewajibkan kepada kalian
untuk berpuasa, tetapi hari ini saya sedang berpuasa. Barang siapa
ingin berpuasa pada hari ini, silahkan, dan barang siapa tidak ingin
juga tidak mengapa ”.178
B. Ṣahîh Muslim, merekam riwayat tersebut di satu tempat, yakni: (al-
mu‟jam 13) kitâb al-ṣiyâm (al-tuhfah 6) bâb ayyu yaum yuṣâm fî Âsyûrâ’, no.
[2666] 133-(1134). Makna redaksi dalam riwayat tersebut tentang Rasulullah
yang sedang berpuasa Âsyûrâ’, para sahabat menginformasikan kepada
beliau bahwa hari ini adalah hari di mana orang Yahudi dan Nasrani
mengagungkannya. Lalu dijawab oleh Rasul saw bahwa tahun depan, beliau
akan berpuasa pada hari kesembilannya (al-tâsi’), in syâ’a Allâh, tanpa ada
penjelasan untuk menyelisihi umat Yahudi atau pun Nasrani.179
صب ؽل ا٢ ؾ ػ٢ ا ث ؾ صب ا ؽل و٣ أث٢ صب اث ؽل ٣ؾ٠٤ ث
٤خ ؾلص٢أ٣ث أ ث ؼ٤ غ ا ١ أ و و٣ق ا ث أثب ؿطلب ٣و
ؼذ ػجب ث ػجل هللا ب ٣و ػ ٢ هللا ه ٠ هللا هللا ه ب ؽ٤
ػ٤ ٣ ا هللا هبا ٣ب ه ٤ب و ث أ هاء ػب ٣
٤ك رؼظ به ا ا ػ٤ ٠ هللا هللا ه كوب ؼب ا ب كبما
از ٤ ب ا بء هللا ا وج غ ا ب ك٢ ه ؽز٠ ر وج ا ؼب ٣ؤد ا ك هب
ػ٤ ٠ هللا هللا
178
Abî „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-
Ṣahîh al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-2, hal. 58 179
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-2, hal. 797-798
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 119 ]
Hadits no. [2667] 134-(...). Makna redaksinya: „Jika Nabi saw masih
menjumpai tahun berikutnya, beliau akan berpuasa pada hari yang
kesembilan (al-tâsi’).180
Muslim memberikan catatan bahwa dalam riwayat
tersebut, Abu Bakr mengatakan bahwa yang dimaksud „hari yang
kesembilan (al-tâsi’)‟ adalah hari Âsyûrâ’. Dalam riwayat ini pun tanpa ada
penjelasan untuk menyelisihi umat Yahudi atau pun Nasrani.181
صب ٤جخ ؽل أث٢ و ث و ، أث ث أث صب ٣ت ٤غ ، هبال : ؽل ، ػ اث
ت أث٢ مئ ، ػ ػجب ث وب ا ث ، ػ ٤و ػجل هللا ػ : ػ هب ، ؼ ػجل هللا
ػجب ث ػ٤ ٠ هللا هللا ه : هب ب ، هب ػ ٢ هللا ثو٤ذ : ه ئ
غ ازب ، أل هاء ا٠ هبث ػب : ٣ؼ٢ ٣ و ، هب ا٣خ أث٢ ث ك٢ ه ،
صب أ ؽل و ث ٤جخ أث ث صب ث٢ اػ ، ؽل غو ا ٤غ ث ، ػ ؽبعت ث
و ػ األػوط ، ػ ث ؾ ز٤ذ ا٠ ا : ا ، هب ػجب اث ب ػ ٢ هللا و
هاء ، كوب ػب ذ أفجو٢ ػ ، كو ي ل هكاء ك٢ ى ز اما هأ٣ذ :
ب بئ غ ازب جؼ ٣ أ كبػلك ، ؾو ا ال هللا ه ب نا ذ : ، ه
: ؼ ، هب ٣ ػ٤ ٠ هللا ص٢ ، ؽل ؽبر ل ث ؾ صب ٣ؾ٠٤ ، ؽل
وطب ؼ٤ل ا و، ػ ث ػ ٣خ ث ؼب ص٢ األػوط ، ؽل ث ؾ : ا ، هب
ذ ؤ ػجب اث ، ػ ي ل ى ل هكاء ػ ز ب ػ ٢ هللا ه
و ػ ؽل٣ش ؽبعت ث ض هاء ، ث ػب
Adapun para perawi dalam Ṣahîh Muslim, periwayatannya melalui
jalur sebagai berikut:
(haddatsanâ) al-Hasan bin „Alî al-Hulwânî, (haddatsanâ) Ibn Abî Maryam,
(haddatsanâ) Yahyâ bin Ayyûb, (haddatsanî) Isma‟il bin Umayyah, ia
mendengar (sami’a) Abû Ghaṭafân bin Ṭarîf al-Murrî, ia mendengar (sami’a)
„Abdullâh bin „Abbâs.182
180
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Ṣahîh Muslim,juz
ke-2, hal. 798 181
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim,juz
ke-2, hal. 798 182
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim, juz
ke-2, hal. 797-798
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 120 ]
Al-Hasan bin ‘Ali al-Hulwânî (w.242 H), al-Hasan bin „Ali al-
Hudzalî al-Hulwânî al-Raihânî al-Khallâl. Ia menerima riwayat di antaranya
dari Abû Mu‟âwiyah, Wakî‟. Dan di antara orang yang menerima riwayat
darinya al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd, al-Tirmidzî, Ibn Mâjah, al-Sarrâj.
Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsabt hujjah.183
Ya‟qûb bin Syaibah
berkata, ia tsiqah tsabt mutqin.184
Ibn Abî Maryam (w.224), Sa‟îd bin Abî Maryam Abû Muhammad
Sa‟îd bin al-Hakam bin Muhammad bin Sâlim al-Jumahî. Ia menerima
riwayat di antaranya dari: Mâlik, Nâfi‟ bin „Umar. Dan di antara orang yang
menerima riwayat darinya: al-Bukhârî, Ahmad bin Hammâd. Abû Hâtim dan
selainnya berkata, ia tsiqah.185
Yahyâ bin Ayyûb (w.168 H), Yahyâ bin Ayyûb Abû al-„Abbâs al-
Ghâfiqî al-Miṣrî. Ia menerima riwayat di antaranya dari: Yazîd bin Abî
Habîb, Ja‟far bin Rabî‟ah.Dan di antara orang yang menerima riwayat
darinya: Ibn Wahb, Sa‟îd bin Abî Maryam. Abû Hâtim berkata, hadisnya
tidak dapat dijadikan hujjah (lâ yuhtajj bihi). Al-Nasâ‟i berkata, ia tidaklah
kuat (laisa bi al-qawî).186
Ismâ’îl bin Umayyah (w.139 H), Ismâ‟îl bin Umayyah bin „Amr bin
Sa‟îd al-Umawî. Ia menerima riwayat di antaranya dari: ayahnya, Jamâ‟ah,
„Ikrimah.Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: Bisyr bin al-
Mufaḍḍal. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsiqah. Dalam kasus (riwayat)
lain, Ismâ‟il dipersoalkan oleh al-Dâruquṭnî dalam „al-Tatabbu’ wa al-
Ilzâmât‟, sebagaimana dikutip Burhân al-Din Abû al-Wafâ‟ (753-841 H)
dalam al-Dzahabî (673-748 H).187
183
Abi „Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwînî (207-275 H), Sunan Ibn Mâjah,
juz ke-1, hal. 328 184
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
11, hal. 399 185
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 433-434 186
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 361-362 187
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 243-244
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 121 ]
Abû Ghaṭafân bin Ṭarîf al-Murrî. Ia menerima riwayat di
antaranya dari : Khuzaimah bin Tsâbit, Abû Hurairah.Dan di antara orang
yang menerima riwayat darinya: Ismâ‟îl bin Umayyah, „Umar bin Hamzah.
Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsiqah.188
Hadits no. [2667] 134-(...), dengan jalur:
(haddatsanâ) Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Abu Kuraib, keduanya
(haddatsanâ) Waki‟ (‘an) Ibn Abi Dzi‟b, (‘an) al-Qâsim bin „Abbâs,
(‘an) „Abdillah bin „Umair, (‘an) Abdillâh bin „Abbâs.189
Abu Bakr bin Abi Syaibah (w.235 H), „Abdullâh bin Muhammad
bin al-Qâḍî Abî Syaibah al-Hâfiẓ, Abû Bakr al-„Abasî al-Kûfî. Ia menerima
riwayat di antaranya dari Syarîk, Ibn al-Mubârak, Husyaim. Dan di antara
orang yang menerima riwayat darinya al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd, Ibn
Mâjah, Abû Ya‟lâ, al-Bâghandî.190
Ahmad bin Hanbal, berkata, ia ṣadûq, al-
„Ijlî berkata, ia tsiqah, dan al-Khaṭîb berkata, ia mutqin hâfiẓ.191
Abû Kuraib, (w.248 H), Muhammad bin al-„Alâ‟ Abû Kuraib al-
Hamdânî al-Hâfiẓ. Ia menerima riwayat di antaranya dari : Husyaim, Ibn al-
Mubârak. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya : al-Sarrâj,
Ibn Khuzaimah. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsiqah hâfiẓ.192
Abû
Hâtim berkata, ia ṣadûq. Al-Nasâ‟î dan selainnya berkata, ia tsiqah.193
Wakî’ (128-197 H), Wakî‟ bin al-Jarrâh Abû Sufyân al-Ru‟âsî. Ia
menerima riwayat di antaranya dari al-A‟masy, Hisyâm bin „Urwah. Dan di
188
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqi, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 450 189
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim,juz
ke-2, hal. 798 190
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqi, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 592 191
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
11, hal. 124-125 192
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 208 193
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
11, hal. 397-398
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 122 ]
antara orang yang menerima riwayat darinya Ahmad, Ishâq, Ibrâhîm bin
Abdillah al-Qiṣṣâr.194
Ibn Abî Dzi’b (w.159 H), Muhammad „Abd al-Rahmân bin al-
Mughîrah bin Abî Dzi‟b Abû al-Hârits al‟Âmirî. Ia menerima riwayat di
antaranya dari „Ikrimah, Nâfi‟, al-Zuhrî. Dan di antara orang yang menerima
riwayat darinya Ma‟mar, Ibn al-Mubârak, Ibm Wahb, al-Qaṭṭân, „Alî bin al-
Ja‟d. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsiqah.195
Al-Qâsim bin ‘Abbâs (w.131 H),196
al-Qâsim bin „Abbâs al-Hâsyimî
al-Lahabî. Ia menerima riwayat di antaranya dari Nâfi‟ bin Jubair, Jam‟. Dan
di antara orang yang menerima riwayat darinya Ibn Abî Dzi‟b. Ibn Hajar
menilainya tsiqah.197
‘Abdillâh bin ‘Umair (w.117 H)198
, „Abdillah bin „Umair al-
„Abbasî. Ia menerima riwayat di antaranya dari „Abdullah bin „Abbâs. Dan
di antara orang yang menerima riwayat darinya al-Qâsim bin „Abbâs199
, Ibn
Abî Dzi‟b200
. Ibn Sa‟d, dan Abû Hâtim menilainya tsiqah. Ibn Hibbân
menyebutkannya dalam “al-Tsiqât”. Menurut Ibn al-Mundzîr, „Abdillâh bin
194
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 350 195
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 194 196
Al-Dzahabî tidak menyebutkan lebih jauh terkait biografi, tahun kelahiran atau
pun wafatnya. Burhân al-Dîn Abû al-Wafâ, menyebutkan tahun wafatnya, 130 atau 131 H,
dengan kuniyah : Abû Muhammad. Ibn Hibbân memasukkannya di dalam kitabnya, al-
Tsiqqât. Lihat, Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-
Dimasyqî, al-Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 128 197
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 128 198
Al-Dzahabî dan selainnya tidak menyebutkan lebih jauh terkait biografi, tahun
kelahiran atau pun wafatnya. Namun menurut Ibn Hibbân, sebagaimana dikutip al-Mizzî
(654-742 H), ia wafat pada tahun 110 H, ada juga yang berpendapat 117 H. Lihat, Syams al-
Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-Kâsyif fî Ma’rifah
Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 581. Lihat juga, Jamâl al Dîn Abî al-
Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-15, hal. 385 199
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-15, hal. 385 200
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 581
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 123 ]
„Umair adalah perawi yang tidak dikenal (lâ yu’raf).201
Berdasarkan catatan
Al-Mizzî (654-742 H), Muslim dan Ibn Mâjah merekam hadis dari sanad
„Abdillâh bin „Umair hanya sekali, yakni hanya pada hadits tentang puasa
yang ke-9, sebagaimana dalam ungkapan redaksi : „lain baqîtu ilâ qâbilin
laaṣûmanna al-yaum al-tâsi’‟.202
C. Sunan Abû Dâwûd, merekam riwayat tentang Âsyûrâ’ pada no. hadis
(2444). Makna redaksi terkait alasan dari segi pelaksanaanya adalah sebagai
bentuk penghormatan terhadap nabi Musa, as. (tu’aẓẓamahu = ta’ẓîman
lahu), tanpa ada singgungan terhadap kaum Yahudi.203
Adapun tentang puasa tasu’a, Abû Dâwûd merekam riwayat dalam
(al-mu‟jam 14) kitâb al-ṣiyâm (al-tuhfah 8), (al-mu‟jam 65) bâb mâ ruwiya
anna Âsyûrâ’al-yaum al-tâsi’ (al-tuhfah 65), no. 2445. Makna redaksi hadis
secara prinsip sama persis dengan redaksi dalam Ṣahîh Muslim, no. [2666]
133-(1134), tersebut di atas.204
صب و١ ؽل ك ا كا ث ب ٤ صب ت ؽل أفجو٢ اث ٣ؾ٠٤ ث
أ٣ة ٢ أ وو ٤خ ا أ ث ؼ٤ غ ا ص أ ؽل ؼز أثب ؿطلب ٣و ث ؼجل هللا
ػجب ٣و ؽ٤ ػ٤ ٠ هللا اج٢ ب وب أ هاء ػب ٣
٤ب ث رؼظ ٣ ا هللا ٤ك هبا ٣ب ه ٠ ا هللا ه بهىلوب ا
٣ غ ك ازب ب ٣ وج ا ؼب ا ب كبما ػ٤ ؽز٠ هللا وج ا ؼب ؤد ا
ػ٤ ٠ هللا هللا ك٢ ه ر
Al-Hakam bin al-A‟raj menanyakan perihal puasa Âsyûrâ‟ kepada
Ibn Abbâs. Ia menjawab, „jika engkau sudah melihat hilal bulan Muharram,
maka hitunglah. Pada saat memasuki hitungan hari kesembilan (yaum al-
201
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 581 202
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-15, hal. 385 203
Abî Dâwûd Sulaimân bin al-Asy„ats al-Sijistânî (w. 275 H), Sunan Abî Dâwûd,
juz ke-2, hal. 196 204
Abî Dâwûd Sulaimân bin al-Asy„ats al-Sijistânî (w. 275 H), Sunan Abî Dâwûd,
juz ke-2 , hal. 196
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 124 ]
tâsi’), maka berpuasalah. Ia kembali ditanya dan menjawab, „memang
demikian Rasûlullâh melakukannya (berpuasa)‟.205
صب ك ؽل ل صب ؼ٤ل ٣ؾ٠٤ ؽل ٣ؼ٢ اث ة ػ ؿال ٣خ ث ؼب ػ
صب ك ؽل ل صب ؽل ؼ٤ و أفجو٢ ا ػ ؽبعت ث ث ؾ ب ؼ٠ ػ ٤ؼب ا ع
األػوط أر٤ذ هب ػجب ل هكاء ك٢ اث ز ؾوا غل ا ا ز ػ ؤ ك
هاء كوب ػب ٣ كبػلك كبما ؾو ا ال غ اما هأ٣ذ ازب ٣ ب
ب بئ جؼ كؤ ب ني كوب ٣ ػ٤ ٠ هللا ل ؾ ب نا ذ كو
٣ ػ٤ ٠ هللا ل ؾ
Adapun para perawi dalam Sunan Abû Dâwûd, periwayatannya
melalui jalur, sebagai berikut:
(haddatsanâ) Sulaimân bin Dâwûd al-Mahrî, (akhbaranâ) Ibn
Wahb, (akhbaranî) Yahyâ bin Ayyûb, ia menyampaikan hadis
(haddatsahu) bahwasanya ia mendengar (sami’a) Abû Ghaṭafân
berkata, aku mendengar (sami’tu) „Abdullâh bin „Abbâs.206
Sulaimân bin Dâwûd al-Mahrî (w.253 H), Abû al-Rabî‟ al-Mahrî
al-Miṣrî Ia menerima riwayat di antaranya dari Ibn Wahb, „Uddah. Dan di
antara orang yang menerima riwayat darinya Abû Dâwûd, al-Nasâ‟î, Ibn Abî
Dâwûd. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsiqah faqîh.207
Ibn Wahb (w.197 H), „Abdullâh bin Wahb bin Muslim Abû
Muhammad al-Fihrî. Ia menerima riwayat di antaranya dari: Ibn Juraij,
Yûnus. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: Ahmad bin
Ṣâlih, Harmalah, al-Rabî‟. Burhân al-Din Abû al-Wafâ‟ (753-841 H) dan
Yahyâ bin Ma‟în berkata, ia seorang tsiqah hâfiẓ ‘âbid. Abu Hatim berkata,
ia ṣadûq.208
205
Abî Dâwûd Sulaimân bin al-Asy„ats al-Sijistânî (w. 275 H), Sunan Abî Dâwûd,
juz ke-2 , hal. 196 206
Abî Dâwûd Sulaimân bin al-Asy„ats al-Sijistânî (w. 275 H), Sunan Abî Dâwûd,
juz ke-2 , hal. 196 207
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 459 208
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 606
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 125 ]
Yahyâ bin Ayyûb (w.168 H), Yahyâ bin Ayyûb Abû al-„Abbâs al-
Ghâfiqî al-Miṣrî. Ia menerima riwayat di antaranya dari : Yazîd bin Abî
Habîb, Ja‟far bin Rabî‟ah. Dan di antara orang yang menerima riwayat
darinya : Ibn Wahb, Sa‟îd bin Abî Maryam. Abû Hâtim berkata, haditsnya
tidak dapat dijadikan hujjah (lâ yuhtajj bihi). Al-Nasâ‟i berkata, ia tidaklah
kuat (laisa bi al-qawî).209
Abu Ghaṭafân, Ia menerima riwayat di antaranya dari: Khuzaimah
bin Tsâbit, Abû Hurairah. Dan di antara orang yang menerima riwayat
darinya : Ismâ‟îl bin Umayyah, „Umar bin Hamzah. Al-Dzahabî (673-748 H)
berkata, ia tsiqah.210
Hadits no. 2446, memiliki dua jalur, sebagai berikut:
Pertama, (haddatsanâ) Musaddad, (haddatsanâ) Yahyâ, yakni Ibn
Sa‟îd, dari (‘an) Mu‟âwiyah bin Ghallâb.
Kedua, (haddatsanâ) Musaddad, (haddatsanâ) Ismâ‟îl, (akhbaranî)
Hâjib bin „Umar (seluruh maknanya), dari (‘an) al-Hakam bin al-A‟raj. Ia
berkata (qâla) untuk menanyakan perihal puasa Âsyûrâ‟ kepada Ibn „Abbâs.
Ia menjawab, „jika engkau sudah melihat hilal bulan Muharram, maka
hitunglah. Pada saat memasuki hitungan hari kesembilan (yaum al-tâsi’),
maka berpuasalah. Ia kembali ditanya dan menjawab, „memang demikian
Rasûlullâh melakukannya (berpuasa)‟.211
Musaddad212
(w. 228 H), Musaddad bin Musarhad bin Musarbal al-
Asadî al-Baṣrî Abû al-Hasan al-Hâfiẓ. Ia menerima riwayat di antaranya dari
Juwairiyyah bin Asmâ‟, Hammâd bin Zaid, Abî „Awânah. Dan di antara
orang yang menerima riwayat darinya al-Bukhârî, Abû Dâwûd, Abû Hâtim,
209
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 361-362 210
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 450 211
Abî Dâwûd Sulaimân bin al-Asy„ats al-Sijistânî (w. 275 H), Sunan Abî Dâwûd,
juz ke-2 , hal. 196 212
Menurut sebagian ulama, sebagaimana dukutip Burhân al-Din Abû al-Wafâ‟
(753-841 H),nama yang sebenarnya adalah „Abd al-Malik bin „Abd al-„Azîz. Adapun
penyebutan Musaddad dan Musarhad, keduanya adalah laqabnya. Syams al-Dîn Abî
„Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu
Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 256
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 126 ]
dan Abû Khalîfah. Abu Hâtim dan al-Nasâ‟î berkata, ia tsiqah. Yahyâ bin
Ma‟în dan selainnya berkata, ia ṣadûq.213
Yahyâ (120-198 H), yakni Yahyâ bin Sa‟îd bin Farrûkh, Abû Sa‟îd
al-Tamîmî al-Baṣrî al-Qaṭṭân al-Hâfiẓ al-Kabîr. Ia menerima riwayat di
antaranya dari : Hisyâm bin „Urwah, Humaid, dan al-A‟masy. Dan di antara
orang yang menerima riwayat darinya : Ahmad, „Ali, Yahyâ.214
Abû Hâtim
dan Abû Zur‟ah berkata, ia tsiqah hâfiẓ. Al-Nasâ‟î berkata, ia tsiqah tsabt
murḍî.215
Mu’âwiyah bin Ghallâb.216
Mu‟âwiyah bin „Amr Ghallâb al-Naṣrî
al-Baṣrî. Ia menerima riwayat di antaranya dari al-Hasan al-Baṣrî, al-Hakam
bin al-A‟raj. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya Hammâd
bin Salamah, Yahyâ bin Sa‟îd al-Qaṭṭân. Al-Nasâ‟î dan Ibn Hibbân, Yahya
bin Ma‟in berkata, ia tsiqah.217
Ismâ’îl (w.193 H), Ismâ‟îl bin Ibrâhîm bin Miqsam al-Asadî bin
„Ulayyah Abu Bisyr. Ia menerima riwayat di antaranya dari Ayyûb bin Abi
Tamim, Ibn Jud‟ân, „Aṭâ‟ bin al-Sâib. Dan di antara orang yang menerima
riwayat darinya Ahmad, Ishâq, Ibn Ma‟în. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata,
ia hujjah.218
Yahyâ bin Ma‟în berkata, ia tsiqah ma’mun ṣadûq muslim
wara’.219
213
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 256 214
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 366 215
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-31, hal. 340 216
Ibn Hajar membacanya dengan takhfîf huruf lâmnya, yakni Ghalâb, sedangkan
al-Sam‟ânî membacanya dengan tasydîd pada huruf lâmnya, yakni Ghallâb sesuai dengan
nasabnya. Menurut al-Mizzî (654-742 H) yang lebih tepat adalah yang dibaca takhfîf.
Tentang tahun lahir dan wafatnya, baik al-Dzahabi, Abu al-Wafâ maupun al-Mizzi tidak
merekam terkait hal tersebut. Lihat, Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H),
Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-28, hal. 304 217
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-28, hal. 305 218
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 243 219
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-3, hal. 29
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 127 ]
Hâjib bin ‘Umar (w.158 H), Hâjib bin „Umar Abu Khusyainah al-
Tsaqafî al-Baṣrî. Ia menerima riwayat diantaranya dari al-Hasan,
Muhammad. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya al-Qaṭṭân,
al-Hauḍî. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsiqah.220
Al-Hakam bin al-A’raj, Al-Hakam bin „Abdillah al-A‟raj. Ia
menerima riwayat di antaranya dari „Imrân bin Huṣain, Ibn „Abbâs. Dan di
antara orang yang menerima riwayat darinya : Abû Khaitsamah Hâjib bin
„Umar. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia ṣadûq. Ahmad bin Hanbal
menilainya tsiqah.221
D. Sunan al-Tirmidzî, merekam riwayat tersebut di satu tempat, yaitu: (al-
mu‟jam 6) kitâb al-masâjid wa al-jamâ’ât (al-tuhfah 4), (al-mu‟jam 50) bâb
ma ja’a Âsyûrâ’ayyu yaum huwa (al-tuhfah 50), no. 754, dengan jalur
(haddatsanâ) Hannâd dan Abû Kuraib, keduanya berkata : (haddatsanâ)
Wakî‟, dari (‘an) Hâjib bin „Umar, dari (‘an) al-Hakam bin al-A‟raj, yang
menemui Ibn „Abbâs yang sedang tidur beralaskan selendangnya di dekat
Zam-zam222
, sebagaimana makna pada Sunan Abi Dâwûd, No. 2446,
tersebut di atas. Namun, al-Tirmidzî menambahkan di dalam kitabnya
tersebut no.755 berdasarkan riwayat lain dengan sumber yang sama dari Ibn
„Abbâs, menyatakan: “ṣûmû al-tâsi’a wa al-‘âsyira wa khâlifû al-yahûd”.
صب و٣ت بك ؽل صب أث ٤غ هبال ؽل و ػ ػ ؽبعت ث ػ ث ؾ ا
األػوط ز٤ذ ا٠ هب ا ػجب ل هكاء ك٢ اث ز ي ذ ى أفجو٢ كو
هاء أ١ ٣ ػب ٣ ػ هب أ كبػلك ؾو ا ال اما هأ٣ذ ص
جؼ أ غ بازب بئ هب ب نا ذ أ كو ل ٣ ؾ ٠ هللا ػ٤
ؼ هب
Adapun para perawi dalam Sunan al-Tirmidzî, periwayatannya
melalui jalur, sebagai berikut:
220
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 301 221
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 344 222
Abî „Îsâ Muhammad bin „Îsâ bin Saurah (209-279 H), al-Jâmi al-Ṣahîh wa Huwa
Sunan al-Tirmidzî, juz ke-3, hal. 119
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 128 ]
(haddatsanâ) Hannâd dan Abû Kuraib, keduanya berkata :
(haddatsanâ) Wakî‟, dari (‘an) Hâjib bin „Umar, dari (‘an) al-
Hakam bin al-A‟raj, yang menemui Ibn „Abbâs yang sedang tidur
beralaskan selendangnya di dekat Zam-zam.223
Hannâd (w.243 H), Hannâd bin al-Sarî bin Muṣ‟ab bin Abi Bakr bin
Syibr bin Ṣa‟fûq Abu al-Sarî al-Tamîmî al-Dârimî al-Kûfî al-Hâfiẓ al-Zâhid.
Ia menerima riwayat di antaranya dari : Syarîk, „Absyar. Dan di antara orang
yang menerima riwayat darinya : Muslim,al-Bukhari, al-Tirmidzi, Abu
Dâwûd, al-Nasâ‟i, al-Sarrâj. al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia seorang
rahib di wilayah Kufah.224
Menurut Burhân al-Dîn Abî al-Wafâ‟, berkata ia
tsiqah.225
Abû Kuraib, (w.248 H), Muhammad bin al-„Alâ‟ Abû Kuraib al-
Hamdânî al-Hâfiẓ. Ia menerima riwayat di antaranya dari: Husyaim, Ibn al-
Mubârak. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: al-Sarrâj, Ibn
Khuzaimah. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsiqah hâfiẓ.226
Abû Hâtim
berkata, ia ṣadûq. Al-Nasâ‟î dan selainnya berkata, ia tsiqah.227
Wakî’ (128-197 H), Wakî‟ bin al-Jarrâh Abû Sufyân al-Ru‟âsî. Ia
menerima riwayat di antaranya dari: al-A‟masy, Hisyâm bin „Urwah. Dan di
antara orang yang menerima riwayat darinya: Ahmad, Ishâq, Ibrâhîm bin
Abdillâh al-Qiṣṣâr.228
Hâjib bin ‘Umar (w.158 H), Hâjib bin „Umar Abu Khusyainah al-
Tsaqafî al-Baṣrî. Ia menerima riwayat di antaranya dari: al-Hasan,
223
Abî „Îsâ Muhammad bin „Îsâ bin Saurah (209-279 H), al-Jâmi al-Ṣahîh wa Huwa
Sunan al-Tirmidzî, juz ke-3, hal. 119 224
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 339 225
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 339 226
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 208 227
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
11, hal. 397-398 228
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 350
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 129 ]
Muhammad. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: al-Qaṭṭân,
al-Hauḍî. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsiqah.229
Al-Hakam bin al-A’raj, Al-Hakam bin „Abdillah al-A‟raj. Ia
menerima riwayat di antaranya dari : „Imrân bin Huṣain, Ibn „Abbâs. Dan di
antara orang yang menerima riwayat darinya: Abû Khaitsamah Hâjib bin
„Umar. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia ṣadûq. Ahmad bin Hanbal
menilainya tsiqah.230
F. Sunan Ibn Mâjah, merekam riwayat tersebut di satu tempat, yaitu: (al-
mu‟jam 7) kitâb mâ jâ’a fi al-ṣiyâm (al-tuhfah 5), (al-mu‟jam 41) bâb ṣiyâm
yaum Âsyûrâ’ (al-tuhfah 41), no. 1736. Dalam riwayat tersebut, Ibn Mâjah
menambahkan komentar dari Abû „Alî, ia berkata: Ahmad bin Yûnus
meriwayatkannya (rawâhu) dari (‘an) Ibn Abi Dzi‟b, ia menambahkan:
„Beliau saw khawatir akan melewatkan hari Âsyûrâ‟ (makhâfatan an
yafûtahu Âsyûrâ’).231
Bukan menggunakan ungkapan „menyelisihi kaum
yahudi (yukhâlifu ‘alâ al-Yahûd).
صب ل ؽل ؾ صب ػ٢ ث ٤غ ؽل أث٢ مئت ػ اث ا ػ ث وب
ػجب ٤و ػ ػ ث ٠ ػجل هللا ػجب اث ػ ػجب اث هب هللا ه هب
ػ٤ ٠ هللا غ ازب ٤ ا أل ثو٤ذ ا٠ هبث ئ أث هب
ا ػ٢ ه ٣ ل ث أؽ أث٢ مئت ػ هاء اث ٣لر ػب قبكخ أ ىاك ك٤
Adapun para perawi dalam Sunan Ibn Mâjah, periwayatannya
melalui jalur, sebagai berikut:
(haddatsanâ) „Alî bin Muhammad, (haddatsanâ) Wakî‟, (‘an) Ibn Abî
Dzi‟b, (‘an) al-Qâsim bin „Abbâs, (‘an) „Abdillâh bin „Umair maulâ Ibn
„Abbâs, (‘an) Ibn „Abbâs.
229
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 301 230
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 344 231
Abi „Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwînî (207-275 H), Sunan Ibn Mâjah,
juz ke-, hal. 552
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 130 ]
‘Alî bin Muhammad232
(w.230/233 H), „Alî bin Muhammad bin
Ishâq al-Ṭanâfisî Abû al-Hasan al-Hâfiẓ. Ia menerima riwayat di antaranya
dari: Muhammad bin „Ubaid, Ya‟lâ bin Muhammad, Ibn „Uyainah, Wakî‟,
Ibn Wahb. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: Ibn Mâjah,
Ibn Abî Hâtim. Burhân al-Dîn Abî al-Wafâ‟, berkata ia ṣadûq, terkadang
keliru.233
Wakî’ (128-197 H),Wakî‟ bin al-Jarrâh Abu Sufyan al-Ru‟âsî. Ia
menerima riwayat di antaranya dari : al-A‟masy, Hisyam bin „Urwah. Dan di
antara orang yang menerima riwayat darinya: Ahmad, Ishâq, Ibrahim bin
Abdillah al-Qiṣṣâr.234
Ibn Abî Dzi’b (w.159 H), Muhammad „Abd al-Rahmân bin al-
Mughîrah bin Abî Dzi‟b Abû al-Hârits al‟Âmirî. Ia menerima riwayat di
antaranya dari : „Ikrimah, Nâfi‟, al-Zuhrî. Dan di antara orang yang
menerima riwayat darinya : Ma‟mar, Ibn al-Mubârak, Ibm Wahb, al-Qaṭṭân,
„Alî bin al-Ja‟d. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsiqah.235
Al-Qâsim bin ‘Abbâs (w.131 H)236
, al-Qâsim bin „Abbâs al-Hâsyimî
al-Lahabî. Ia menerima riwayat di antaranya dari : Nâfi‟ bin Jubair, Jam‟.
232
„Alî bin Muhammad bin Abi al-Khaṣîb al-Kûfi al-Wasysyâ‟ (w.258 H) dan „Alî
bin Muhammad bin Ishâq al-Ṭanâfisî Abû al-Hasan al-Kûfi al-Hâfiẓ, keduanya sama-sama
guru Ibn Mâjah menerima riwayat yang sama, yakni dari Wakî‟ bin al-Jarrâh. Yang
membedakan adalah guru yang kedua disebutkan tersebut tinggal di perkampungan yang
sama dengan Ibn Mâjah, yaitu Qazwain. Dan penilaian dari kritikus hadis menyebutkan
bahwa „Alî bin Muhammad, yang pertama disebutkan dinilai terkadang keliru. Lihat, Syams
al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-Kâsyif fi Ma’rifah
Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 36 233
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 36 234
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 350 235
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 194 236
Al-Dzahabî tidak menyebutkan lebih jauh terkait biografi, tahun kelahiran atau
pun wafatnya. Burhân al-Dîn Abû al-Wafâ, menyebutkan tahun wafatnya, 130 atau 131 H,
dengan kuniyah : Abû Muhammad. Ibn Hibbân memasukkannya di dalam kitabnya, al-
Tsiqqât. Lihat, Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-
Dimasyqî, al-Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 128
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 131 ]
Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya : Ibn Abî Dzi‟b. Ibn
Hajar menilainya tsiqah.237
‘Abdillah bin ‘Umair (w.117 H), „Abdillah bin „Umair al-„Abbasî.
Ia menerima riwayat di antaranya dari : „Abdullah bin „Abbâs.Dan di antara
orang yang menerima riwayat darinya: al-Qâsim bin „Abbâs, Ibn Abî Dzi‟b.
Ibn Sa‟d, dan Abû Hâtim menilainya tsiqah. Ibn Hibbân menyebutkannya
dalam “al-Tsiqât”. Menurut Ibn al-Mundzîr, „Abdillâh bin „Umair adalah
perawi yang tidak dikenal (lâ yu’raf).238
Berdasarkan catatan Al-Mizzî (654-
742 H), Muslim dan Ibn Mâjah merekam hadis dari sanad „Abdillah bin
„Umair hanya sekali, yakni hanya pada hadits tentang puasa yang ke-9,
sebagaimana dalam ungkapan redaksi: „lain baqîtu ilâ qâbilin la aṣûmanna
al-yaum al-tâsi’‟.239
D. Matan dan Sanad Hadis Tentang Hamm Nabi saw Membuat Dua
Pintu Pada Kedua Sisi Ka’bah, tersebar dalam berbagai kitab hadis,
sebagai berikut:
A. Ṣahîh al-Bukhârî, merekam riwayat tersebut di beberapa tempat, yaitu:
Pertama, kitâb al-‘ilm (3), bâb man taraka ba’ḍa al-ikhtiyâr
makhâfata an yaqṣura fahm ba’ḍ al-nâs ‘anhu fayaqa’û fî asyadd minhu
(48), no. 126, dengan makna redaksi yang disampaikan adalah informasi
yang bersumber dari „Â‟isyah tentang Nabi saw yang pernah mengucapkan
akan merobohkan Ka‟bah dan akan membuat pintu untuk masuk dan pintu
untuk keluar (bâban yadkhulûn al-nâs wa bâban yakhrujûna), jika bukan
karena sebab masih dekatnya zaman kaum Quraisy (al-Zubair menyebutkan
maksud ‘hadîts ‘ahdihim’ : kekufuran).240
صب ٠ ؽل ث ػج٤ل هللا ، ػ وائ٤ ا ؾبم ، ػ أث٢ ا ك ، ػ ، األ
: هب ث٤و ٢ هب اي بذ : اث خ و ا٤ي ػبئ ؼجخ ، ر صزي ك٢ ا ب ؽل ض٤وا ، ك
237Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 128 238
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 581 239
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-15, hal. 385 240
Abî „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-1, hal.64
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 132 ]
ػ٤ ٠ هللا اج٢ ذ : هبذ ٢ : هب ي ؽل٣ش " : ه ال ه خ ، ٣ب ػبئ
ذ ؼجخ ، كغؼ ذ ا لو و ث٤و : ث اي اث ، هب ل ػ ، ثبة ٣لف ب ثبث٤
ثبة ٣قوع ث٤و " اب اي ، كلؼ اث
Kedua, kitâb al-hajj (25), bâb faḍl Makkah wa bunyânuhâ (42), no.
1585, dengan redaksi yang berbeda: “..lalu aku akan membangun pintu
belakang Ka‟bah (wa ja’altu lahu khalfan)”.241
صب ؽل بػ٤ ا صب ػج٤ل ث أث ؽل
خ ب أ ػ ب ػ أث٤ خ ػ ب هبذ ػبئ ػ ٢ هللا ه هللا ٢ ه هب
ذ لو و ي ثب ال ؽلاصخ ه ػ٤ ٠ هللا ج٤ذ ج٤ز ػ٠ ا ص
ب أ ٤ ػ اثوا ال كب ا ب ٤ لب هو٣ ذ ف عؼ ود ثبء زو أث ا هب
لب ٣ؼ٢ ثبثب ف ب صب ٣خ ؽل ؼب
Ketiga, hadis no. 1586, dengan redaksi: „dua pintu ; pintu timur dan
pintu barat‟ dan alasan al-Zubair merobohkan kembali Ka‟bah .242
صب و ؽل ػ ث صب ث٤ب صب ٣ي٣ل ؽل ؽل عو٣و ث صب ؽبى ؽل ٣ي٣ل ث
ب ه ح ػ ػو خ ػ ب ػبئ ػ ٢ هللا ه هب ػ٤ ٠ هللا اج٢ أ
خ ب ٣ب ٤ ػبئ ل ثغب ي ؽل٣ش ػ ه ال أ ود ج٤ذ خ أل ثب كل ذ ك٤ كؤكف
ذ ث ـ ثبثب ؿوث٤ب كج وه٤ب ثبثب ذ ثبث٤ عؼ يهز ثبأله أ ب أفوط
ب أ ٤ اثوا ث٤و كني ان١ ؽ اي اث ٢ هللا ه ب ػ٠ ل ػ
لد ٣ي٣ل هب ث٤و اي اث ك٤ أكف ثب ل ؾغو ؽ٤ هل هأ٣ذ ا
ب أ ٤ اثوا هب ث خ اإل ؤ أه عو٣و ؽغبهح ؼ هب ذ أ٣ كو ٣
ؼ ذ كلف ؾغو ا٥ ا ب ب هب كوب ب به ا٠ كؾيهد عو٣و كؤ
ؾغو ب ا ؾ زخ أمهع أ
Adapun para perawi dalam Ṣahîh al-Bukhârî, periwayatannya melalui
jalur, sebagai berikut:
241
Abî „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-1, hal. 488 242
Abî „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-1, hal. 489
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 133 ]
A. Ṣahîh al-Bukhârî, merekam riwayat tersebut di beberapa tempat, yaitu:
Pertama, kitâb al-‘ilm (3), bâb man taraka ba’ḍa al-ikhtiyâr
makhâfata an yaqṣura fahm ba’ḍ al-nâs ‘anhu fayaqa’û fî asyadd minhu
(48), no. 126, dengan jalur:
(haddatsanâ) „Ubaidullâh bin Mûsâ, (‘an) Isrâ‟îl, (‘an) Abî Ishâq,
(‘an) al-Aswad, (qâla lî) Ibn al-Zubair.243
‘Ubaidullâh bin Mûsâ (w.213 H), „Ubaidullâh bin Mûsâ Abû
Muhammad al-„Absî al-Hâfiẓ. Ia menerima riwayat di antaranya dari:
Hisyâm bin „Urwah, Ismâ‟îl bin Abî Khâlid, Ibn Juraij. Dan di antara orang
yang menerima riwayat darinya : al-Bukhârî, al-Dârimî, al-Hârits bin
Muhammad. Dzahabî (673-748 H) Burhân al-Dîn Abî al-Wafâ‟berkata, ia
tsiqah dan pernah melakukan bid‟ah serta menganut paham Syi‟ah
(tasyayyu’).244
Isrâ’îl (w.162 H), Isrâ‟îl bin Yûnus bin Abî Ishâq „Amr bin
„Abdillâh. Ia menerima riwayat di antaranya dari : Abî Ishâq (kakeknya),
Ziyâd bin „Ilâqah, Âdam bin „Alî. Dan di antara orang yang menerima
riwayat darinya : Yahyâ bin Âdam, Muhammad bin Katsîr. Menurut Ahmad
dan Yahyâ bin Ma‟în, sebagaimana dikutip al-Dzahabî, berkata, ia tsiqah.
Abû Hâtim berkata, ia tsiqah ṣadûq.245
Sedangkan menurut Ibn al-Madînî, ia
ḍa’îf.246
Abû Ishaq (w.127 H), „Amr bin „Abdillâh bin Dzî Yahmad Abû
Ishâq al-Hamdanî al-Sabî‟î. Ia menerima riwayat di antaranya dari :Jarir,
„Adî bin Hâtim, Zaid bin Arqam, Ibn „Abbas, Umam. Dan di antara orang
yang menerima riwayat darinya : Yunus (puteranya), Hafîduh Isrâ‟îl,
Syu‟bah, Abu Bakr bin „Iyâsy.Abî al-Wafâ‟ berkata bahwa iaseorang yang
banyak beribadah, dan pada masa-masa akhir ia sering ikhtilaṭ dan tadlîs.
Namun pendapat ini disangkal al-Dzahabi, sebagaimana dikutip Burhân al-
243
Abî „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-1, hal.64 244
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 687 245
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahâbî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
7, hal. 358. 246
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 241
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 134 ]
Dîn Abî al-Wafâ‟, bahwa ia tidak mukhtaliṭ, hanya terkadang berubah sedikit
(wa lam yakhtaliṭ, wa qad taghayyar qalîlan).247
Al-Aswad (w.74/75 H), Al-Aswad bin Yazîd bin Qais al-Nakha‟i
Abû „Amr. Ada yang menyebutnya Abû „Abd al-Rahmân al-Kûfî.Ia
menerima riwayat di antaranya dari : Abû Bakr, „Umar, „Ali, Mu‟âdz, Ibn
Mas‟ûd. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: Muhârib bin
Dîtsâr, Abû Ishâq al-Sabî‟î. Menurut Abû Hâtim dan Yahyâ bin Ma‟în,
sebagaimana dikutip al-Mizzî (654-742 H) menyebutkan, ia tsiqah.248
Ibn al-Zubair (w.72/73 H), „Abdullâh bin al-Zubair bin al-„Awwâm
bin Khuwailid bin Asad al-Qurasyî al-Asadî Abû Bakr. Ada yang
menyebutnya, Abû Khubaib al-Madanî. Ia berumur 8 tahunan Rasûl saw
wafat.
Kedua, kitâb al-hajj (25), bâb faḍl Makkah wa bunyânuhâ (42), no.
1585, dengan jalur:
(haddatsanâ) „Ubaid bin Ismâ‟îl, (haddatsanâ) Abû Usâmah, (‘an)
Hisyâm, (‘an) Abîhi, (‘an) „Â‟isyah.249
‘Ubaid bin Ismâ’îl (w.250 H), „Ubaid bin Ismâ‟îl al-Habbârî. Ia
menerima riwayat di antaranya dari: Ibn „Uyainah, al-Muhâribî. Dan di
antara orang yang menerima riwayat darinya: al-Bukhârî, Ibn Bujair.250
Muṭayyin, sebagaimana dikutip Abî al-Wafâ‟, menilainya sebagai tsiqah.251
Abû Usâmah (w.201 H), Hammâd bin Usâmah Abu Usâmah al-Kûfî
al-Hâfiẓ. Ia menerima riwayat di antaranya dari: Hisyâm bin „Urwah, al-
A‟masy. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: Ahmad, Ishâq,
Yahyâ.252
Abû al-Wafâ berkata, ia tsiqah tsabt, terkadang ia berbuat tadlîs.
247
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 82 248
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-3, hal. 234-235 249
Abî „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-1, hal. 488 250
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 688 251
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 688 252
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 348
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 135 ]
Pada masa-masa belakangan, ia pernah menyampaikan riwayat (yang ia
ambil) dari kitab milik orang lain (wa kâna bi akhrah yuhadditsu min kutub
ghairih).253
Hisyâm (w.146 H), Hisyâm bin „Urwah bin al-Zubair bin al-
„Awwâm bin Khuwailid Abû al-Mundzir. Ada yang menyebutnya Abû
„Abdillah. Ia menerima riwayat di antaranya dari : Ibn al-Zubair, „Urwah.
Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya: Syu‟bah, Mâlik, al-
Qaṭṭân. Abû Hâtim berkata, ia tsiqah imâm fî al-hadîts.254
Burhân al-Dîn
Abû al-Wafâ menyebutkan, sebagaimana pendapatnya diperkuat oleh Ibn
Hajar, bahwa Hisyâm terkadang mentadlîs, bahkan disebutkan dalam urutan
pertama perawi yang melakukan tadlîs.255
Abîhi (w.93/94 H), „Urwah bin al-Zubair bin al-„Awwâm Abû
„Abdillâh. Ia menerima riwayat di antaranya dari: kedua orang tuanya,
saudaranya (Abdullâh), „Alî, Khalq. Dan di antara orang yang menerima
riwayat darinya : putera-puteranya, „Utsmân, „Abdillah, Hisyâm Yahyâ, al-
Zuhrî. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsabt ma’mûn katsîr al-hadîts.256
Ketiga, hadis no. 1586, dengan jalur:
(haddatsana) Bayan bin „Amr, (haddatsana) Yazid, (haddatsana) Jarir
bin Hâzim, (haddatsana) Yazid bin Rûmân, (‘an) Urwah,257
Bayân bin ‘Amr (w.222 H),Bayân bin „Amr al-Bukhârî al-
Âbid.258
Ada yang menyebutnya Abû Muhammad al-Âbid, dengan kuniyah
Muslim atau Abû „Amr.259
Ia menerima riwayat di antaranya dari: Yahyâ al-
253
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 348 254
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 337 255
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 337 256
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 18 257
Abî „Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, juz ke-1, hal. 489 258
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 277 259
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-4, hal. 304-305
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 136 ]
Qaṭṭân. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya al-Bukhârî, Abû
Zur‟ah. Burhân al-Dîn Abû al-Wafâ menyatakan, ia ṣadûq jalîl.260
Abû
Hâtim mencatatnya dalam kitab “al-Tsiqât”. Al-Mizzî (654-742 H)
menyebutkan bahwa dia seorang yang wahm.261
Yazîd (w.206 H),Yazîd bin Hârûn bin Zâdzî Abû Khâlid al-Sulamî
al-Wâsiṭî. Ia menerima riwayat di antaranya dari : Humaid, al-Jurairî. Dan di
antara orang yang menerima riwayat darinya : al-Dzuhlî, „Abd, al-Hârits bin
Abî Usâmah. Ahmad berkata, ia seorang yang hâfiẓ mutqin. Al-„ijlî berkata,
ia tsabt.262
Jarîr bin Hâzim (w.), Jarîr bin Hâzim bin Zaid bin „Abdillâh bin
Syujâ‟ al-Azdî al-„Atakî atau al-Jahḍamî. Ia menerima riwayat di antaranya
dari : Yazîd bin Rûmân, Yazîd bin Hâzim. Dan di antara orang yang
menerima riwayat darinya: Yazîd bin Hârûn, Yahya bin Ayyûb al-Miṣrî.
Menurut Abu Bakr bin Abi Khaitsamah, sebagaimana dikutip al-Mizzî (654-
742 H), ketika ditanya perbandingan antara Jarîr bin Hâzim dengan Abu al-
Asyhab, ia menjawab: „ia (Jarîr bin Hâzim) lebih sering wahm-nya (wa lâkin
Jarîr kâna aktsaruhumâ wahman).263
Yazîd bin Rûmân (w.129/130 H264
),Yazîd bin RûmânAbû Raum al-
Madanî al-Qârî. Ia menerima riwayat di antaranya dari: Ibn al-Zubair, Ṣâlih
bin Khawwât. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya :Jarîr bin
Hâzim, Mâlik.265
‘Urwah (w.93/94 H),„Urwah bin al-Zubair bin al-„Awwâm Abû
„Abdillâh. Ia menerima riwayat di antaranya dari : kedua orang tuanya,
260
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 277 261
Al-Hâfizh al-Mutqin Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H),
Tahdzîb al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-4, hal. 306 262
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 391 263
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-4, hal.524-528 264
Tahun wafat Yazîd bin Rûmân tersebut berdasarkan catatan Burhân al-Dîn Abû
al-Wafâ. Lihat, Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al- Dzahabî al-
Dimasyqi, al-Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 382 265
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al- Dzahabî al-Dimasyqi,
al-Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 382
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 137 ]
saudaranya (Abdullâh), „Alî, Khalq. Dan di antara orang yang menerima
riwayat darinya: putera-puteranya, „Utsmân, „Abdillah, Hisyâm Yahyâ, al-
Zuhrî. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsabt ma’mûn katsîr al-hadîts.266
B. Ṣahîh Muslim, merekam riwayat tersebut di dua tempat, yaitu:
Pertama, (al-mu‟jam 15) kitâb al-hajj (al-tuhfah 7), (al-mu‟jam 69)
bâb naqḍ al-Ka’bah wa binâuhâ (al-tuhfah 69), no. [3244] 401-(…). Dengan
redaksi : Rasûl saw berkata kepada „Â‟isyah tentang bangunan yang dibuat
lebih kecil dari pondasi sebenarnya (qawâ’id Ibrâhîm) oleh Quraisy. Lalu
beliau ditegaskan kembali oleh „Â‟isyah, dengan berkata: „Bukannya engkau
yang akan mengembalikan ke bentuk semula. Beliau saw menjawab : „jika
bukan karena kaummu yang baru saja meninggalkan kekufuran (hidtsân
qaumik bi al-kufr)…aku jadikan dua pintu, pintu timur dan pintu barat”.267
ص٢ ؽل ؽبر ل ث ؾ ص٢ ل١ ؽل صب اث ؽل ؽ٤ب ث ٤ ؼ٤ل ػ
٤بء ؼذ ٣ؼ٢ اث ث٤و هب اي ث صز٢ ػجل هللا ؽل فبز٢ ٣و
خ ٣ؼ٢ هبذ ػبئ ه ٣بهب ػ٤ ٠ هللا هللا خ ي ػبئ ه ال أ
ذ وى ل ل ث ؼجخ ؽل٣ض ػ وه٤ب ا ثبثب ذ ب ثبث٤ عؼ يهزب ثبأله كؤ
زخ أمهع ىكد ك٤ب ثبثب ؿوث٤ب ؾغو ا ب كب ورب ؽ٤ش هو٣ اهز
ؼجخ ثذ ا
Kedua, hadis no. [3245] 402-(…). Dengan redaksi yang sangat panjang
tentang Ibn al-Zubair yang pada awal mula keinginannya yang kuat dan
berbagai pertimbangan serta pandangan dari masyarakat untuk membongkar
dan mengembalikan bangunan Ka‟bah seperti yang diinginkan oleh
Rasûlullâh saw.
Ibn al-Zubair pun membangunnya dengan menambahkan 5 hasta ke
Hijr Ismâ‟îl, ia juga menambahkan 10 hasta panjang Ka‟bah, yang
sebelumnya 18 hasta, kemudian membuka pintu masuk dan pintu keluar.
Namun, ketika ia dibunuh pada masa khalifah Mâlik bin Marwân, Ka‟bah
266
Syams al-Din Abi „Abdillah Muhammad bin Ahmad al- Dzahabî al-Dimasyqi,
al-Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 18 267
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim, juz
ke-2, hal. 969-970
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 138 ]
dibongkar kembali, terutama pada bagian yang ia tambahkan terhadap Hijr
Ismâ‟îl tersebut, dan kedua pintu itu ditutup kembali.268
صب و١ ؽل ا صب بك ث أث٢ ىائلح ؽل أث٢ أفجو٢ اث اث
ب ٤ ب اؽزوم ػطبء ػ ج٤ذ هب ا ٣خ ى ؼب ؿياب ٣ي٣ل ث ؽ٤
أ ب ا رو ب ب و أ ب ث٤و ك اي اث ٣و٣ل أ ا اب ؽز٠ هل
ػ٠ أ ث ٣ؾو أ ئ ٣غو ب ٤وا ػ٢ ك ا أ ب اب ٣ب أ٣ هب له اب ب
ؼجخ ك٢ ا ب هب ٠ ب ؼ أ أث٢ ثبءب أ ب ص و أ ػجب كب٢ هل اث
ر ب ٠ ب ؼ ر كوم ٢ هأ١ ك٤ب أه أ ػ٤ اب لع ث٤زب أ
كوب ػ٤ ٠ هللا ثؼش ػ٤ب اج٢ ػ٤ب اب أؽغبها أ اث
ث٤و ٤ق ث٤ذ اي ك ٢ ؽز٠ ٣غل ب ه اؽزوم ث٤ز أؽل ب ا٢ هث
غ هأ٣ ػ٠ أ ٠ اضالس أع ب و١ ك ػ٠ أ ػبى زق٤و هث٢ صالصب ص
ؼل بء ؽز٠ ا و أ ؼل ك٤ ٣ اب ثؤ ي ٣ أ ب اب ب كزؾب و ٣
ـا هع ؽز٠ ث ٢ء رزبثؼا كو بث أ ٣و اب ب ؽغبهح ك و٠ كؤ
كغؼ األه ث٤و ث اي اث هب زه ؽز٠ اهرلغ ثبإ زو ػ٤ب ا لح ك أػ اث
ث٤و ؼذ ا٢ اي خ ػبئ اج٢ رو ا هب ػ٤ ٠ هللا اب ال أ
ذ ك٤ ذ أكف ١ ػ٠ ثبئ ب ٣و الوخ ل١ ػ ٤ لو ث ل ؽل٣ش ػ
ؾغو أمهع ا ف اب ذ ب ثبثب ٣لف غؼ ثبثب ٣قوع هب
ؾغو ا أمهع ف كياك ك٤ هب ذ أفبف اب لن ب أ أعل ٤ كؤب ا
ب جبء ا كج٠ ػ٤ ا٤ ب ظو اب ؼجخ ؽز٠ أثل أ وح ا ب٢ ػ ص
ب أؽل ثبث٤ عؼ و أمهع ػ و كياك ك٢ زو ا ب ىاك ك٤ مهاػب ك
ب هز ك ا٥فو ٣قوط ث٤و ٣لف اي زت اث بط ؾغ ا٠ ا ي ث ػجل ا
ا و ٣قجو أ ث٤و ٣قجو ثني اي اث ظو ا٤ جبء ػ٠ أ غ ا هل
أ ؼل خ ا زت ا٤ ي ػجل ك ط٤ـ ا ر ب ث٤و اب اي ٢ء اث ك٢
جبة ل ا ا٠ ثبئ ؾغو كوك ا ب ىاك ك٤ ب أ كؤهو ب ىاك ك٢ ب أ
أػبك ا٠ ثبئ ان١ كزؾ كو
268
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-2, hal.970
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 139 ]
Terdapat hadis-hadis terkait tanpa menyebutkan ungkapan: „dua pintu
atau dua sisi‟ : (al-mu‟jam 15) kitâb al-hajj (al-tuhfah 7), (al-mu‟jam 70) bâb
jadr Ka’bah (Hijr Ismâ‟îl) wa bâbihâ (al-tuhfah 70), no. [3249] 405-(…),
dan no. [3250] 406-(…),269
dan (al-mu‟jam 69) bâb naqḍ al-Ka’bah wa
binâuhâ (al-tuhfah 69), no. [3240] 398-(1333), [3241] (…), [3242] 399-(…),
[3243] 400-(…).270
Adapun biografi singkat para perawi dalam Ṣahîh Muslim,
periwayatannya melalui jalur, sebagai berikut:
Pertama, (al-mu‟jam 15) kitâb al-hajj (al-tuhfah 7), (al-mu‟jam 69) bâb
naqḍ al-Ka’bah wa binâuhâ (al-tuhfah 69), no. [3244] 401-(…), dengan
jalur:
(haddatsani) Muhammad bin Hatim, (haddatsani) Ibn Mahdi,
(haddatsanâ) Salim bin Hayyan, (‘an) Sa‟id (yakni, Ibn Minâ‟), ia
berkata.271
Muhammad bin Hâtim (w.235 H), Abû „Abdillâh Muhammad bin
Hâtimbin Maimûn al-Qaṭî‟î al-Marwazî al-Baghdâdî al-Samîn.Ia menerima
riwayat di antaranya dari: Ibn „Uyainah, „Abdullâh bin Idrîs, Ismâ‟îl bin
„Ulayyah. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya :Muslim, Abû
Dâud, Ahmad bin al-Hasan al-Ṣûfî. Al-Dâruquṭnî Ibn Hibbân menilainya
tsiqah.272
Ibn Ma‟în menyatakan, ia seorang yang lembek, mudah berubah
(talyîn). Pernyataan ini (talyîn) dipertegas oleh Abû al-Wafâ, mengutip dari
kitab “al-Tahdzîb” bahwa ia seorang yang banyak dusta (kadzdzâb). Ibn
Qâni‟ berkata, ia ṣadûq. Dan Ibn Hajar berkata, ia ṣadûqterkadang waham
(ṣadûq rubamâ wahm), meski sebelumnya utama.273
269
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim, juz
ke-2, hal.973 270
Al-Imâm al-Hâfizh Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî,
Shahîh Muslim, juz ke-2, hal. 968-969 271
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Shahîh Muslim, juz
ke-2, hal. 969-970 272
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahâbî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
11, hal. 451 273
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 162
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 140 ]
Ibn Mahdî (w.198 H), „Abd al-Rahmân bin Mahdî bin Hissân Abû
Sa‟îd al-„Anbarî al-Baṣrî al-Lu‟luî. Ia menerima riwayat di antaranya dari:
„Umar bin Dzarr, Aiman bin Nâbil. Dan di antara orang yang menerima
riwayat darinya: Ahmad, Rustah, al-Dzuhalî.274
Abu „Utsmân al-Nasâ‟î dan
selainnya berkata, ia tsiqah. Ibn Hajar dan selainnya berkata, ia ḍabṭ.275
Salîm bin Hayyân, Salîm bin Hayyân al-Hudzalî Baṣrî. Ia menerima
riwayat di antaranya dari: Sa‟îd bin Mînâ, Nâfi‟. Dan di antara orang yang
menerima riwayat darinya: al-Qaṭṭân, „Affân bin Muslim. Al-Dzahabî
berkata, ia ṣadûq. Abû al-Wafâ berkata, ia tsiqah.276
Sa’îd (w.), yakni, Sa‟îd bin Minâ‟Abû al-Walîd al-Hijâzî. Ia
menerima riwayat di antaranya dari: Abû Hurairah, Jâbir. Dan di antara
orang yang menerima riwayat darinya: Salîm bin Hayyân, Hanẓalah bin Abî
Sufyân. Al-Dzahabî dan Ahmad bin Hanbal berkata, ia tsiqah.277
Kedua, hadis no. [3245] 402-(…), dengan jalur:
(haddatsana), Hannad bin al-Sarî, (haddatsana) Ibn Abi Zâidah, (akhbaranî)
Ibn Abi Sulaiman, (‘an) Atha‟.278
Hannâd bin al-Sarî (w.243 H), Hannâd bin al-Sarî bin Muṣ‟ab bin
Abî Bakr bin Syibr bin Ṣa‟fûq Abû al-Sarî al-Tamîmî al-Dârimî al-Kûfî. Ia
menerima riwayat di antaranya dari :Syarîk, „Abtsar. Dan di antara orang
yang menerima riwayat darinya : Muslim, Abu Daud, al-Nasa‟i, al-Tirmidzi,
al-Sarrâj. Ada yang menyebutnya, ia seorang rahib di wilayah Kufah. Abû
al-Wafâ berkata, ia tsiqah.279
274
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 645 275
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 645 276
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 456 277
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 445 278
Al-Imâm al-Hâfizh Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî,
Shahîh Muslim, juz ke-2, hal.970 279
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 339
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 141 ]
Ibn Abî Zâidah (w.183 H), Yahyâ bin Zakariyyâ bin Abî Zâidah
Abû Sa‟îd al-Wâdi‟î. Ia menerima riwayat di antaranya dari : ayahnya,
„Âṣim al-Ahwal, Dâwûd bin Abî Hindun. Dan di antara orang yang
menerima riwayat darinya : Ibn Ma‟în, Abû Kuraib. Ibn Hajar dalam al-
Taqrîb, sebagaimana dikutip Abû al-Wafâ, berkata bahwa ia tsiqah
mutqin.280
Ibn Abî Sulaimân (w.145 H),„Abd al-Malik bin Abî Sulaimân Abû
Muhammad Abû „Abdillâh al-„Arzumî al-Kûfî.Ia menerima riwayat di
antaranya dari : Anas, Sa‟îd bin Jubair, „Aṭâ‟. Dan di antara orang yang
menerima riwayat darinya : al-Qaṭṭân, Ya‟lâ bin „Ubaid. Ahmad berkata
bahwa ia seorang yang tsiqah namun seringkeliru (tsiqah yukhṭi’).281
Aṭâ’ (w.114/115 H) Aṭâ‟ bin Abî Rabâh Abû Muhammad al-Qurasyî.
Ia menerima riwayat di antaranya dari „Âisyah, Abû Hurairah. Dan di antara
orang yang menerima riwayat darinya al-Auzâ‟î, Ibn Juraij, Abû Hanîfah, al-
Laits. Para ulama, seperti Ibn „Aun, berselisih pendapat bahkan
meninggalkan riwayat yang datang darinya, tentang kebenaran Atha‟
memperoleh secara simâ’ dari para sahabat disebabkan usianya yang masih
sangat belia (minfutyâhum fi al-ṣarf). Ibn Hajar sendiri, sebagaimana dikutip
oleh Abû al-Wafâ, menyatakan bahwa tidak dibenarkan (lam yaṣihh)
simâ’nya (Atha‟) dari Abî al-Dardâ‟, demikian juga dari al-Faḍl bin
„Abbâs.282
C. Sunan al-Tirmidzî, merekam riwayat tersebut di satu tempat, yaitu: (al-
mu‟jam 7) kitâb al-hajj ‘an Rasûlillâh saw (al-tuhfah 5), (al-mu‟jam 47) bâb
ma ja’a fi kasr al-Ka’bah (al-tuhfah 47), no. 875, tentang informasi yang ia
dapatkan dari „Â‟isyah, umm al-mukminîn, tentang sabda Rasûl saw : “Jika
280
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 365 281
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 665 282
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 22
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 142 ]
bukan karena masalah masa kejahiliyahan kaum Quraisy, beliau akan
merobohkan Ka‟bah dan membuat dua pintu (wa ja’altu lahâ bâbain).283
صب ؽل ؿ٤ال ك ث ؾ صب ك ؽل أث كا ؼجخ ػ أث٢ ػ
ؾن ا ٣ي٣ل ػ ك ث األ ث٤و أ اي اث ٢ ا٤ي أ بذ رل ب ص٢ ث ؽل هب
٣ؼ٢ ٤ ئ خ ا صز٢ ػبئ ؽل : كوب هب ػ٤ ٠ هللا هللا ه أ
ل ث ب ي ؽل٣ض ػ ه ال أ ذ ٤خ ل غب ب ذ ب ثبث٤ عؼ ؼجخ ب ا ك هب
ي ث٤و اي اث ٠ نا ؽل٣ش ؽ أث ػ٤ هب ب ثبث٤ عؼ ب ؾ٤ؼ ل
Adapun para perawi dalam Sunan al-Tirmidzî, periwayatannya
melalui jalur, sebagai berikut:
(haddatsanâ) Mahmûd bin „Ghailân, (haddatsanâ) Abu Dâwûd, (‘an)
Syu‟bah, (‘an) Abi Ishaq, (‘an) al-Aswad bin Yazid, al-Zubair berkata
kepadanya (al-Aswad) tentang informasi yang ia dapatkan dari „Aisyah,
umm al-mukminin..284
Mahmûd bin ‘Ghailân (w.239 H), Mahmûd bin „Ghailân Abû
Ahmad al-Marwazî. Ia menerima riwayat di antaranya dari al-Faḍl bin Mûsâ,
Ibn „Uyainah. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya selain
Abû Dâwûd, Ibn Khuzaimah, al-Baghawî. Abû al-Wafâ dan al-Nasâ‟î
berkata, ia tsiqah.285
Abû Dâwûd (w.204 H), Sulaimân bin Dâwûd bin al-Jârûd al-Asadî
al-Fârisî al-Ṭayâlisî. Ia menerima riwayat di antaranya dari Ibn „Aun,
Syu‟bah. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya Bundâr, Ibn
al-Furât, al-Kudaimî. Menurut Al-Dzahabî (673-748 H), ia keliru dalam
menyebutkan hadits yang ke seribunya. Ibn „Adî dan akhirnya pun diakui
oleh Ahmad bin Hanbal bahwa ia tsiqah jugakeliru dalam beberapa hadits.286
283
Abî „Îsâ Muhammad bin „Îsâ bin Saurah (209-279 H), al-Jâmi al-Ṣahîh wa Huwa
Sunan al-Tirmidzî, juz ke-3, hal. 215-216 284
Abî „Îsâ Muhammad bin „Îsâ bin Saurah (209-279 H), al-Jâmi al-Ṣahîh wa Huwa
Sunan al-Tirmidzî, juz ke-3, hal. 215-216 285
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 246 286
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 458. Lihat juga,
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahâbî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-9, hal. 384
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 143 ]
Syu’bah (w.160 H),bin al-Hajjâj al-Hâfiẓ Abû Bisṭâm al-„Atakî,
mendapat julukan dalam bidang hadis : amîr al-mu’minîn. Ia menerima
riwayat langsung (sami’a) di antaranya dari Mu‟âwiyah bin Qurrah, al-
Hakam, Salamah bin Kuhail. Dan di antara orang yang menerima riwayat
darinya Ghundar, Abû al-Walîd, „Alî bin al-Ja‟d. Al-Dzahabî (673-748 H)
berkata, ia sedikit keliru dalam menyebutkan beberapa nama perawi, namun
ia tsabt, dan bisa dijadikan hujjah.287
Abû Ishâq (w.127 H), „Amr bin „Abdillah bin Dzî Yahmad Abû
Ishaq al-Hamdani al-Sabî‟î. Ia menerima riwayat di antaranya dari Jarir, „Adî
bin Hâtim, Zaid bin Arqam, Ibn „Abbas, Umam. Dan di antara orang yang
menerima riwayat darinya : Yunus (puteranya), Hafîduh Isrâ‟îl, Syu‟bah,
Abu Bakr bin „Iyâsy.Abî al-Wafâ‟ berkata bahwa iaseorang yang banyak
beribadah, dan pada masa-masa akhir ia sering ikhtilaṭ dan tadlîs. Namun
pendapat ini disangkal al-Dzahabî (673-748 H), sebagaimana dikutip Burhân
al-Dîn Abî al-Wafâ‟, bahwa ia tidak mukhtaliṭ, hanya terkadang berubah
sedikit (wa lam yakhtaliṭ, wa qad taghayyar qalîlan).288
Al-Aswad (w.74/75 H), Al-Aswad bin Yazîd bin Qais al-Nakha‟î
Abû „Amr. Ada yang menyebutnya Abû „Abd al-Rahmân al-Kûfî. Ia
menerima riwayat di antaranya dari Abû Bakr, „Umar, „Ali, Mu‟âdz, Ibn
Mas‟ûd. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya : Muhârib bin
Dîtsâr, Abû Ishâq al-Sabî‟î. Menurut Abû Hâtim dan Yahyâ bin Ma‟în,
sebagaimana dikutip al-Mizzî (654-742 H) menyebutkan, ia tsiqah.289
D. Sunan al-Nasâ’î, merekam riwayat tersebut di dua jalur periwayatan,
pada kitab dan bab yang sama, yaitu : (al-mu‟jam 24) kitâb manâsik al-hajj
(al-tuhfah 6), (al-mu‟jam 125) bâb bina’ al-Ka’bah (al-tuhfah), no. 2902 dan
2903. Hadis no. 2902, dengan menggunakan redaksi: „...wa ja’altu lahâ
bâbain‟.
287
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 485 288
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 82 289
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-3, hal. 234-235
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 144 ]
ؼك أفجوب ث ؼ٤ ػجل ا ل ث ؾ
األػ٠ فبل ػ ؼجخ ػ ؾن ػ أث٢ ا ك ػ األ أ ٤ ئ ا بذ ه أ ا
هب ػ٤ ٠ هللا هللا ك٢ ؽل٣ش ه ٢ ه ال أ ل ؾ ي ؽل٣ش ه ذ ٤خ ل ل ثغب ؼجخ ػ ذ ب ثبث٤ ا عؼ ي ب ث٤و ل اي اث ب ثبث٤ عؼ
Dan hadis no. 2903. Makna redaksi yang digunakan sama dengan
redaksi yang lain, dengan beberapa tambahan dan perbedaan: „...wa ja’altu
lahâ bâbain, menjadikannya dua pintu ; pintu sebelah timur dan barat (bâban
syarqiyyan, wa bâban gharbiyyan). Sungguh, mereka (kaum Quraisy) tidak
sanggup membangun ulang dengan sempurna. Dengan begitu, aku akan
mengembalikan pondasi Nabi Ibrâhîm.290
أفجوب ال ل ث ؾ ث ؽ صب ػجل او ؽل هب به ٣ي٣ل ث هب
جؤب أ ؽبى صب عو٣و ث ؽل هب ب ه ٣ي٣ل ث ح ػ ػو خ ػ ػبئ ه أ
ب هب ػ٤ ٠ هللا خ ٣ب هللا ػبئ ي ؽل٣ش ػ ه ال أ ٤خ ل ثغب
ود ج٤ذ أل ثب ب أفوط ذ ك٤ كؤكف كل ذ ثبث٤ عؼ يهز ثبأله أ
ب أ ذ ث ـ كج ثبئ هل ػغيا ػ ثبثب ؿوث٤ب كب وه٤ب ٤ ثبثب اثوا ػ٤
ال ا كني ان١ ؽ ث٤و هب اي اث هب لد ٣ي٣ل ػ٠ ل هل اث
ث٤و اي ك٤ أكف ثب ل ؾغو ؽ٤ ا ب هل هأ٣ذ أ ٤ اثوا ػ٤
ث خ اإل ؤ ال ؽغبهح خ ا زالؽ
Adapun para perawi dalam Sunan al-Nasâ‟î, periwayatannya melalui
jalur, sebagai berikut:
1. Hadis no. 2902 melalui jalur:
(akhbaranâ) Ismâ‟îl bin Mas‟ûd dan Muhammad bin „Abd al-A‟lâ, (‘an)
Khâlid, (‘an) Syu‟bah, (‘an) Abî Ishâq, (‘an) al-Aswad. „Â‟isyah berkata:
„...‟.
Ismâ’îl bin Mas’ûd (w.248 H), Ismâ‟îl bin Mas‟ûd al-Jahdarî. Ia
menerima riwayat di antaranya dari Khalaf bin Khalîfah. Dan di antara orang
290
Abî „Abd al-Rahmân Ahmad bin Syu‟aib bin „Alî al-Nasâ‟î (215-303 H), Sunan
al-Nasâ’î,hal. 449
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 145 ]
yang menerima riwayat darinya al-Nasâ‟î, Muhammad bin Jarîr. Al-Dzahabî
(673-748 H) berkata, ia tsiqah.291
Muhammad bin ‘Abd al-A’lâ (w.245 H), Muhammad bin „Abd al-
A‟lâ al-Ṣan‟ânî al-Baṣrî. Ia menerima riwayat di antaranya dari Ibn
„Uyainah, Mu‟tamir. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya
Muslim, al-Tirmidzî, al-Nasâ‟î, Ibn Mâjah, Ibn Khuzaimah, Ibn Bujair. Abû
Hâtim berkata, ia tsiqah.292
Khâlid (w.186 H), Khâlid bin al-Hârits bin „Ubaid bin Sulaimân bin
„Ubaid bin Sufyân Abû „Utsmân al-Hujaimî. Ada yang mengatakan, ia
adalah Khâlid bin al-Hârits bin Sulaim bin „Ubaid bin Sufyân. Ia menerima
riwayat di antaranya dari Humaid, Husain al-Mu‟allim. Dan di antara orang
yang menerima riwayat darinya : Ahmad, Ishâq. Menurut al-Tirmidzî,
sebagaimana dikutip Abû al-Wafâ dalam al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia
tsiqah ma’mûn.293
Syu’bah (w.160 H), bin al-Hajjâj al-Hâfiẓ Abû Bisṭâm al-„Atakî,
mendapat julukan dalam bidang hadis : amîr al-mu’minîn. Ia menerima
riwayat langsung (sami’a) di antaranya dari Mu‟âwiyah bin Qurrah, al-
Hakam, Salamah bin Kuhail. Dan di antara orang yang menerima riwayat
darinya Ghundar, Abû al-Walîd, „Alî bin al-Ja‟d. Al-Dzahabî (673-748 H)
berkata, ia sedikit keliru dalam menyebutkan beberapa nama perawi, namun
ia tsabt, dan bisa dijadikan hujjah.294
Abû Ishaq (w.127 H), „Amr bin „Abdillah bin Dzî Yahmad Abû
Ishaq al-Hamdani al-Sabî‟î. Ia menerima riwayat di antaranya dari Jarir, „Adî
bin Hâtim, Zaid bin Arqam, Ibn „Abbas, Umam. Dan di antara orang yang
menerima riwayat darinya Yunus (puteranya), Hafîduh Isrâ‟îl, Syu‟bah, Abu
Bakr bin „Iyâsy.Abî al-Wafâ‟ berkata bahwa iaseorang yang banyak
beribadah, dan pada masa-masa akhir ia sering ikhtilaṭ dan tadlîs. Namun
291
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 249 292
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 191 293
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 362 294
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 485
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 146 ]
pendapat ini disangkal al-Dzahabi, sebagaimana dikutip Burhân al-Dîn Abî
al-Wafâ‟, bahwa ia tidak mukhtaliṭ, hanya terkadang berubah sedikit (wa lam
yakhtaliṭ, wa qad taghayyar qalîlan).295
Al-Aswad (w.74/75 H), Al-Aswad bin Yazîd bin Qais al-Nakha‟i
Abû „Amr. Ada yang menyebutnya Abû „Abd al-Rahmân al-Kûfî. Ia
menerima riwayat di antaranya dari Abû Bakr, „Umar, „Ali, Mu‟âdz, Ibn
Mas‟ûd. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya Muhârib bin
Dîtsâr, Abû Ishâq al-Sabî‟î. Menurut Abû Hâtim dan Yahyâ bin Ma‟în,
sebagaimana dikutip al-Mizzî (654-742 H) menyebutkan, ia tsiqah.296
2. Dan hadis no. 2903, melalui jalur:
(akhbarna) „Abd al-Rahmân bin Muhammad Sallâm, ia berkata
(haddatsanâ) Yazîd bin Hârûn, ia berkata (akhbaranâ) Jarir bin
Hâzim, ia berkata (haddatsana) Yazîd bin Rûmân, (‘an) „Urwah,
(‘an) „Â‟isyah.297
‘Abd al-Rahmân bin Muhammad bin Sallâm298
bin Nâṣih al-
Ṭarasûsî al-Baghdâdî. Ia menerima riwayat di antaranya dari Abû
Mu‟âwiyah, Ishâq al-Azraq. Dan di antara orang yang menerima riwayat
darinya Abû Dâwûd, al-Nasâ‟î, keduanya menilainya tsiqah.299
Al-Nasâ‟ di
tempat lain berkata, ia tsiqah dan tidak mengapa(lâ ba’sa bih), dan Ibn
Hibbân berkata, ia terkadang bertentangan (rubamâ khâlafa).300
Yazîd (w.206 H), Yazîd bin Hârûn bin Zâdzî Abû Khâlid al-Sulamî
al-Wâsiṭî. Ia menerima riwayat di antaranya dari Humaid, al-Jurairî. Dan di
295
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 82 296
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-3, hal. 234-235 297
Abî „Abd al-Rahmân Ahmad bin Syu‟aib bin „Alî Sunan al-Nasâ‟î (215-303 H),
Sunan al-Nasâ’î,hal. 449 298
Burhân al-Dîn Abû al-Wafâ (673-748 H) mendapati informasi dalam al-Taqrîb
bahwa biografi tersebut („Abd al-Rahmân bin Muhammad bin Sallâm) yang dimaksud
adalah „Abd al-Rahman bin Muhammad bin Zaid bin Jud‟ân. Lihat, Syams al-Dîn Abî
„Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqî, al-Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu
Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 642, hal. 643 299
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 642 300
Jamâl al Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-17, hal. 392
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 147 ]
antara orang yang menerima riwayat darinya al-Dzuhlî, „Abd, al-Hârits bin
Abî Usâmah. Ahmad berkata, ia seorang yang hâfiẓ mutqin. Al-„ijlî berkata,
ia tsabt.301
Jarîr bin Hâzim (w.), Jarîr bin Hâzim bin Zaid bin „Abdillâh bin
Syujâ‟ al-Azdî al-„Atakî atau al-Jahḍamî. Ia menerima riwayat di antaranya
dari Yazîd bin Rûmân, Yazîd bin Hâzim. Dan di antara orang yang
menerima riwayat darinya Yazîd bin Hârûn, Yahyâ bin Ayyûb al-Miṣrî.
Menurut Abu Bakr bin Abi Khaitsamah, sebagaimana dikutip al-Mizzî (654-
742 H), ketika ditanya perbandingan antara Jarîr bin Hâzim dengan Abu al-
Asyhab, ia menjawab : „ia (Jarîr bin Hâzim) lebih sering wahamnya (wa
lâkin Jarîr kâna aktsaruhumâ wahman).302
Yazîd bin Rûmân (w.129/130 H303
), Yazîd bin Rûmân Abû Raum
al-Madanî al-Qârî. Ia menerima riwayat di antaranya dari Ibn al-Zubair,
Ṣâlih bin Khawwât. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya
Jarîr bin Hâzim, Mâlik.304
‘Urwah (w.93/94 H),„Urwah bin al-Zubair bin al-„Awwâm Abû
„Abdillâh. Ia menerima riwayat di antaranya dari kedua orang tuanya,
saudaranya (Abdullâh), „Alî, Khalq. Dan di antara orang yang menerima
riwayat darinya putera-puteranya, „Utsmân, „Abdillah, Hisyâm Yahyâ, al-
Zuhrî. Al-Dzahabî (673-748 H) berkata, ia tsabt ma’mûn katsîr al-hadîts.305
E. Sunan Ibn Mâjah merekam riwayat tersebut di satu tempat, yaitu: (al-
mu‟jam 25) kitâb al-manâsik (al-tuhfah 17), (al-mu‟jam 31) bâb al-ṭawâf bi
al-Hijr (al-tuhfah 31), no. 2955. Redaksi tersebut berawal dari pertanyaan
„Â‟isyah yang menanyakan tentang Hijr Ismâ‟îl, lalu dijawab oleh
301
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 391 302
Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-4, hal.524-528 303
Tahun wafat Yazîd bin Rûmân tersebut berdasarkan catatan Burhân al-Dîn Abû
al-Wafâ. Lihat, Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-
Dimasyqî, al-Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 382 304
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 382 305
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-2, hal. 18
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 148 ]
Rasûlullâh saw bahwa ia bagian dari Baitullâh. Lalu ditanya kembali tentang
sebab yang menghalangi dimasukkannya Hijr Ismâ‟îl ke dalamnya. Dijawab
oleh Rasûl saw bahwa mereka (Quraisy) kekurangan biaya (‘ajazat bihim al-
nafaqah). Dalam riwayat tersebut tidak menyebut tentang keinginan Nabi
saw akan membangun dua pintu Ka‟bah, melainkan ucapan beliau: „...dan
aku akan jadikan pintunya menempel ke tanah (wa ja’altu bâbahu bi al-
arḍ)‟.306
صب ٤جخ ؽل أث٢ و ث صب أث ث ؽل ػج٤ل هللا ث
٠ صب ؽل ٤جب ؼضبء ػ أث٢ ا ؼش ث أ ػ ك ث األ
٣ل ٣ي خ ػ ػ هبذ ػبئ ٠ هللا هللا ذ ه ؤ ػ ؾغو ٤ ا كوب
ج٤ذ الوخ ا ػغيد ث كوب ٣لف ك٤ أ ؼ ب ذ ثبث ه ؤ ب ذ ك ه
ي ٤لف ه مي كؼ هب اال ث ؼل ا٤ ورلؼب ال ٣ ؼ ٣ بءا
أؿ٤و ظود لو هث ر قبكخ أ لو ل ث ي ؽل٣ش ػ ه ال أ بءا
ذ ثبث ثبأله عؼ زو ب ا ك٤ كؤكف
Adapun para perawi dalam Sunan Ibn Mâjah, periwayatannya melalui
jalur, sebagai berikut:
Abû Bakr bin Abî Syaibah (w.235 H), „Abdullâh bin Muhammad
bin al-Qâḍî Abî Syaibah al-Hâfiẓ, Abû Bakr al-„Abasî al-Kûfî. Ia menerima
riwayat di antaranya dari Syarîk, Ibn al-Mubârak, Husyaim. Dan di antara
orang yang menerima riwayat darinya al-Bukhârî, Muslim, Abû Dâwûd, Ibn
Mâjah, Abû Ya‟lâ, al-Bâghandî.307
Ahmad bin Hanbal, berkata, ia ṣadûq, al-
„Ijlî berkata, ia tsiqah, dan al-Khaṭîb berkata, ia mutqin hâfiẓ.308
‘Ubaidullâh bin Mûsâ (w.213 H), „Ubaidullâh bin Mûsâ Abû
Muhammad al-„Absî al-Hâfiẓ. Ia menerima riwayat di antaranya dari Hisyâm
bin „Urwah, Ismâ‟îl bin Abî Khâlid, Ibn Juraij. Dan di antara orang yang
menerima riwayat darinya al-Bukhârî, al-Dârimî, al-Hârits bin Muhammad.
306
Abî „Abdillâh Muhammad bin Yazîd al-Qazwînî (207-275 H), Sunan Ibn Mâjah,
juz ke-1, hal. 985 307
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahâbî al-Dimasyqî, al-
Kasyif fi Ma’rifah Man Lahu Riwayah fi al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 592 308
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
11, hal. 124-125
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 149 ]
Dzahabî (673-748 H) Burhân al-Dîn Abî al-Wafâ‟berkata, ia tsiqah dan
pernah melakukan bid‟ah serta menganut paham Syi‟ah (tasyayyu’).309
Syaibân (w.164 H), Syaibân bin „Abd al-Rahmân al-Nahwî al-
Mu‟addib al-Tamîmî al-Baṣrî. Ia menerima riwayat di antaranya dari al-
Hasan al-Baṣrî, Yahyâ bin Abî Katsîr. Dan di antara orang yang menerima
riwayat darinya adalah Abû Hanîfah, „Ubaidillâh bin Mûsâ. Al-Dzahabî
sebagaimana ia mengutip Yahyâ bin Ma‟în, berkata bahwa ia (Syaibân)
tsiqah. Abû Hâtim berkata : ia hasan al-hadîts, ṣâlih al-hadîts.310
Ibn al-Atsîr
mengatakan bahwa ia tidak pernah meriwayatkan hadis kecuali dua saja.311
Asy’ats bin Abî al-Sya’tsâ’ (w.125 H), Sulaim al-Mahâribî. Ia
menerima riwayat di antaranya dari ayahnya, al-Aswad. Dan di antara orang
yang menerima riwayat darinya adalah Syu‟bah, Zâidah. Al-Dzahabî berkata
ia tsiqah.312
Al-Aswad (w.74/75 H), Al-Aswad bin Yazîd bin Qais al-Nakha‟i
Abû „Amr. Ada yang menyebutnya Abû „Abd al-Rahmân al-Kûfî. Ia
menerima riwayat di antaranya dari : Abû Bakr, „Umar, „Ali, Mu‟âdz, Ibn
Mas‟ûd. Dan di antara orang yang menerima riwayat darinya : Muhârib bin
Dîtsâr, Abû Ishâq al-Sabî‟î. Menurut Abû Hâtim dan Yahyâ bin Ma‟în,
sebagaimana dikutip al-Mizzî (654-742 H) menyebutkan, ia tsiqah.313
Dari paparan tersebut di atas, selain penjelasan pada hadis hammî
yang pertama, terdapat beberapa perawi yang mempengaruhi kualitas dalam
periwayatan hadis, seperti terkait dengan paham bid‟ah, melakukan irsal, dan
tadlîs. Pertama, para perawi yang tersangkut paham bid‟ah seperti paham
Syî‟ah, Râfiḍah, atau pun Murji‟ah, menurut ulama jarh dan ta’dîl,
periwayatannya masih bisa diterima selagi tidak mengandung unsur ajakan
309
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 687 310
Muhammad bin Ahmad bin „Utsmân al-Dzahabî, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, juz ke-
7, hal. 408 311
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 491 312
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-Dzahabî al-Dimasyqî, al-
Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah, juz ke-1, hal. 253 313
Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf al-Mizzî (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, juz ke-3, hal. 234-235
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 150 ]
fanatisme madzhab pribadinya (idzâ lam yakun dâ’iyan ilaih). Hal ini
berdasarkan pendapat sebagian ulama ahli hadis, seperti jawaban Ahmad bin
Hanbal dan al-Baihaqî tentang hukum penulisan ilmu (hadîts) dari para
perawi yang berpaham tersebut.314
Kedua, terkait perawi yang melakukan
irsal dalam periwayatannya. Menurut ulama ahli hadis, hadis mursal adalah
hadis yang di-marfu’-kan langsung oleh seorang perawi dari kalangan tâbi’î
(baik tâbi’î besar atau pun kecil) kepada Rasûl saw, baik ucapan, perbuatan,
maupun taqîr-nya. Para ulama berbeda pendapat pendapat dalam hal mursal
tâbi’î besar atau kecil. Menurut sebagian ulama, hadis mursal hanya bagi
tabi‟i besar, sedangkan mursal tabi‟i kecil, menurut sebagian ulama
digolongkannya sebagai hadîts munqaṭi’.315
Ibn „Abd al-Barr menyatakan
bahwa ke-mursal-an seorang tabi‟in masih bisa diterima dan harus diterima
hadisnya serta bisa dijadikan hujjah, selama tabi‟in tersebut sudah jelas ke-
tsiqah-annya dan diterima dari orang yang tsiqah pula.316
Ketiga, di antara data-data tersebut di atas, terdapat perawi yang
melakukan tadlîs dalam periwayatan. Terkait hal ini, al-Syâfi‟i (w.204 H),
sebagaimana dikutip Ṣubhî al-Ṣâlih, adalah seorang ulama yang menolak
sama sekali periwayatan seorang perawi yang pernah melakukan tadlîs
meskipun hanya sekali. Namun bagi mayoritas ulama berpendapat bahwa
perawi yang pernah melakukan tadlîs masih bisa diterima riwayatnya,
dengan ketentuan apa yang disampaikan menggunakan lafaz yang
menegaskan bahwa ia mendengar sendiri, sebaliknya riwayatnya itu ditolak
jika menggunakan ungkapan yang masih mengandung adanya kemungkinan
lain atau tidak jelas.317
Dalam riwayat-riwayat hammî tersebut di atas,
terdapat perawi mudallis yaitu al-A‟masy. Bagi sebagian ulama kritikus
314
Fârûq Hamâdah, al-Manhaj al-Islâmî Fî al-Jarh wa al-Ta’dîl Dirâsah
Manhajiyyah Fî ‘Ulûm al-Hadîts, hal. 270-271 315
Muhammad „Ajâj al-Khaṭîb, Uṣûl al-Hadîts ‘Ulûmuhu wa Muṣṭalahuhu, (Beirut
: Dâr al-Fikr, 1426-7 H/2006 M), hal. 222-223. Lihat al-Imâm Abû „Amr „Utsmân bin „Abd
al-Rahmân al-Syahrazûrî, ‘Ulûm al-Hadîts li Ibn Ṣalâh, tahqîq : Nûr al-Dîn „Itr, (Beirut :
Dâr al-Fikr al-Mu‟âṣir, 1406 H/1986 M), hal. 52 316
Abî Mu‟âdz Ṭâriq bin „Iwaḍillâh bin Muhammad (Ed.), Jâmi’ al-Masâ’il al-
Hadîtsiyyah al-Qawâ’id al-Hadîtsiyyah, (Mesir : Dâr Ibn „Affân, 1431 H/2010 M), cetakan
ke-1, jilid ke-2, hal. 20 317
Ṣubhî al-Ṣâlih, Ulûm al-Hadîts wa Muṣṭalhuh ‘Arḍ wa Dirâsah, (Beirût : Dâr al-
Malâyîn, 1984 H), cetakan ke-1, hal. 171
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 151 ]
hadis semisal Ibn Hajar al-„Asqallânî, keberadaannya (al-A‟masy) dalam
kitab Ṣahîh lebih tepat dengan sebutan mursal khafî, bukan tadlîs. Di antara
alasan-alasan yang dikemukakan oleh sebagian ulama yang membela perawi
mudallis yang terdapat dalam kitab-kitab Ṣahîh adalah bahwa bisa jadi Imâm
al-Bukhârî atau pun Imâm Muslim tidak mengetahui bahwa mudallis yang
mereka riwayatkan hadisnya memang dari mendengar langsung. Dan kedua
Imâm tersebut tahu persis bahwa hadis-hadisnya memiliki mutâbi- mutâbi
yang menunjukkan kesahihannya.318
Tidak hanya pembelaan tersebut di atas, Fahmî Ahmad „Abd al-
Rahmân, membuktikan berdasarkan penelitiannya yang menyatakan bahwa
para perawi yang ditengarai telah di-tadlîs oleh al-A‟masy, seperti Abî al-
Ṣâlih al- Sammân, Ibrâhîm, Abî Wâ‟il (sebagaimana para perawi tersebut
masuk dalam jalur-jalur pada isnad beberapa periwayatan di pembahasan
tersebut di atas) adalah jalur yang ada kemungkinannya bersambung (fa inna
riwâyatahu ‘an hâdzâ al-ṣinf mahmûlah ‘alâ al-ittiṣâl) dan hadisnya bisa
dijadikan sebagai hujjah.319
Hal ini juga ditegaskan oleh al-Ṭahawî yang
menilai pada setiap jalurnya sebagai para perawi yang tsiqah (rijâluh tsiqât)
atau dengan menyatakan isnâduh ṣahîh ‘alâ syarṭ al-syaikhain.320
318
Ṣubhî al-Ṣâlih, Ulûm al-Hadîts wa Muṣṭalhuh ‘Arḍ wa Dirâsah, hal. 176-177 319
Fahmî Ahmad „Abd al-Rahmân, al-Mudallisîn wa Marwiyyâtihim fî Ṣahîh al-
Bukhârî, (Beirût : Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1433 H/2012 M), cetakan ke-1, juz ke-1, hal.
531 320
Abî Ja‟far Ahmad bin Muhammad bin Salâmah al-Ṭahâwî, Syarh Musykil al-
Âtsâr, tahqîq : Syu‟aib al-Arnaûṭ, (Beirût : Mu‟assasah al-Risâlah, 1415 H/1994 M), cetakan
ke-1, hal. 36-49, dan juz ke-15, hal. 96-101
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 152 ]
Bab Empat
ANALISA IMPLIKASI HADIS HAMMÎ
TERHADAP PEMAHAMAN HADIS
Secara faktual, terdapat perbedaan signifikan antara al-Qur’ân dan
al-Hadîts, selain perbedaan pendapat para ulama dalam menetapkan kaidah
kesahihan hadis, yaitu hal yang telah menjadi konsensus umat bahwa sifat al-
Qur’ân yang qaṭ’î al-wurûd dan tsubut-nya dengan al-Hadîts yang ẓannî al-
wurûd. Al-Qur’ân disebut demikian, sebab proses periwayatan yang dimulai
dari masa awal Nabi saw hingga periode selanjutnya berlangsung secara
mutawâtir1, baik redaksi maupun maknanya.
2 Tidak sepenuhnya demikian
yang terjadi dalam hadis atau sunnah Nabi saw, para ulama berbeda pendapat
dalam menetapkan status wurûd atau pun dalâlah-nya.
Kenyataan ini membawa dampak kepada pemahaman terhadap hadis,
sebagai suatu pekerjaan yang tidak bisa disebut dengan hal yang mudah
dalam menelaah serta meneropong segala sesuatu hal yang dinisbahkan
kepada Nabi saw. Boleh jadi, bagi generasi awal di mana mereka hidup
berdampingan dengan Rasûlullâh saw tidak mengalami kesulitan dan
hambatan; dari berbagai kendala dan persoalan pemahaman yang ada, baik
terkait persoalan keagamaan atau pun sosial kemasyarakatan akan segera
1Muhammad „Ajâj al-Khaṭîb, Uṣûl al-Hadîts ‘Ulûmuhu wa Muṣṭalahuhu, (Beirut :
Dâr al-Fikr, 1426-7 H/2006 M), hal. 127-128. 2Terdapat di antara riwayat yang menyebutkan tentang gambaran tersebut di atas,
al-Makhûl berkata : „Kami pernah mengunjungi Watsîlah bin al-Asqâ‟, kemudian kami
berkata : „Wahai Abû al-Asqâ‟, sampaikan kepada kami suatu hadis yang pernah engkau
dengar dari Rasûlullâh saw, yang tiada rasa was-was dan lupa, maka al-Asqâ‟ berkata :
„Apakah di antara kalian membaca ayat-ayat al-Qur‟an dalam semalam?. Mereka menjawab
: „Iya, ia berkata : „Apakah kalian menambahkan sesuatu, alif atau wau? Maka aku katakan :
„Sesungguhnya kami (tidak akan berani) menambahkan atau pun mengurangi, kami tidak
akan melakukan demikian (terhadap al-Qur‟ân) dalam menghafal. Ia berkata : „Al-Qur‟ân
ini di tengah-tengah kalian sedangkan kalian mempelajarinya siang dan malam. Lalu
bagaimana kami menyampaikan suatu hadis yang kami dengar dari Rasulullah saw sekali
atau dua kali, jika aku menyampaikan kepada kalian sesuai dengan maknanya, maka itu
sudah cukup bagi kalian”. Lihat lebih jauh, Ahmad bin „Alî bin Tsâbit al-Baghdâdî Abû
Bakr al-Khaṭîb (w. 463), al-Kifâyah fi ‘Ilm al-Riwâyah, (Heidar Abad : Dâirah al-Ma‟ârif al-
„Utsmâniyyah, 1357), hal. 308
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 153 ]
merujuk atau menanyakan langsung kepada Rasûlullâh saw, atau beliau saw
sendiri yang langsung mengaturnya.
Kondisi tersebut berbeda secara kontras jika dibandingkan dengan
kondisi kekinian yang harus menghadapi persoalan yang menuntut acuan
agar tetap „ṣâlih li kull zamân wa makân‟, di tengah-tengah sikap dan
tindakan sebagian pendapat yang mengkhawatirkan terbuangnya sebuah
hadis3, penetapan terhadap syarat sah suatu hadis
4, dan perbedaan pandangan
nalar, serta eksistensi redaksi (lafẓ al-hadîts) yang mengandung
kemungkinan makna yang tidak tunggal5, dalam memahami teks hadis
sebagai salah satu sumber dalam perkembangan pemikiran Islam (al-kalimah
al-nabawiyyah min manâbi’ al-fikr al-islâmî), meminjam istilah Anwar al-
Jundî.6
Pada akhirnya, dalam memberikan pemahaman terhadap eksistensi
hadis tersebut, khususnya pada pembahasan hadis-hadis hammî, akan
berimplikasi dalam pembentukan dua kelompok besar ulama yang „mau
tidak mau‟ memberikan perbedaan-perbedaan pemahaman atau pemikiran
masing-masing yang meyakini keabsahan suatu riwayat sebagai bukti
kemaksuman seorang nabi. Di sisi lain yang berseberangan, kelompok ulama
yang tidak perlu memberikan argumentasi panjang lebar meyakini bahwa
eksistensi hadis-hadis tersebut tidak lebih dari suatu rencana atau keinginan
seorang nabi layaknya manusia pada umumnya yang tidak ditindaklanjuti.
Maka kelompok yang disebutkan terakhir ini hampir selalu memberikan
argumentasi dengan prinsip yang menegaskan: „laisa fî al-hadîts hujjah li
annahu ‘alaih al-salâm hamma wa lam yaf’al‟ atau pun dengan menyatakan
hadis tersebut mansûkh berdasarkan data-data riwayat selainnya. Paling
3Lihat lebih jauh terkait pembahasan tentang beberapa kesulitan dalam penelitian
kritik matan hadis (ṣu’ûbah al-bahts fî al-Mauḍû’) dalam Ṣalâh al-Dîn bin Ahmad al-Adlabî,
Manhaj al-Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulamâ’ al-Hadîts al-Nabawî, (Beirut : Dâr al-Âfâq al-
Jadîdah, 1403 H/1983 M), cetakan ke-1, hal. 22-23 4Muhammad „Awwâmah, Atsar al-Hadits al-Syarîf fî Ikhtilâf al-Aimmah al-
Fuqahâ’ Raḍiyallâh ‘Anhum, (Kairo : Dâr al-Salâm, 1407 H/1987 M), cetakan ke-2, hal. 26 5Muhammad „Awwâmah, Atsar al-Hadits al-Syarîf fî Ikhtilâf al-Aimmah al-
Fuqahâ’ Raḍiyallâh ‘Anhum, hal. 85 6Anwar al-Jundî, Min Manâbi’ al-Fikr al-Islâmî, (Kementerian Luar Negeri Sa‟ûdî
Arâbiyyah : Lajnah al-Ta‟rîf al-Islâm, 1386 H/1967 M), hal. 9
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 154 ]
tidak, kelompok ini akan memberikan penetapan hukum yang berbeda
dengan ketetapan ulama pada umumnya, sebagaimana akan tergambar pada
pembahasan-pembahasan berikut ini.
A. Hadis Hammî Pertama
1. Masa Fatrah al-Wahy (Kekosongan Wahyu).
Menurut keterangan dari Ahmad bin Hanbal yang diriwayatkan dari
al-Sya‟bî, sebagaimana dikutip Ibn Hajar, bahwa masa kekosongan wahyu
berlangsung selama tiga tahun atau dua setengah tahun. Al-Baihaqî
menyatakan bahwa masa Nabi saw menerima wahyu lewat mimpi (muddah
al-ru’yâ) berlangsung selama enam bulan dimulai dengan permulaan
kenabian (ibtidâ’ al-nubuwwah) yang terjadi pada bulan kelahiran beliau,
yaitu Rabî‟ al-Awwal. Sedangkan permulaan wahyu dalam keadaan terjaga
terjadi pada bulan Ramaḍân setelah genap usia beliau saw empat puluh
tahun.7
Pendapat tersebut di atas, menurut Ibn Hajar, bukanlah yang
dimaksud dengan masa fatrah adalah selama tiga tahun ketidakhadiran Jibril,
as kepada Nabi saw hingga turunnya ayat “iqra’ bismirabbika....” dan ayat
“yâ ayyuha al-muddatstsir...”, melainkan (masa fatrah) adalah turunnya al-
Qur‟ân hanya terlambat sebentar saja. Hal ini dipertegas dengan riwayat dari
Ibn „Abbâs yang menyatakan bahwa masa tersebut hanya beberapa hari
saja.8 Terkait riwayat Ibn „Abbâs tersebut, Ṣafî al-Rahmân al-Mubârakfûrî
memberikan komentar, bahwa berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukannya, riwayat-riwayat yang menyatakan masa kekosongan wahyu
berlangsung hingga dua setengah atau tiga tahun sama sekali tidak ṣahîh.9
7Ahmad bin „Alî bin Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî
‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, tahqîq : „Abd al-„Azîz bin „Abdillâh bin Bâz,
(tt. : al-Maktabah al-Salafiyyah, tth.), juz ke-1, hal. 27 8Ahmad bin „Alî bin Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî
‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, juz ke-1, hal. 27 dan juz ke-12, hal. 360 9Ṣafî al-Rahmân al-Mubârakfûrî, al-Rahîq al-Makhtûm Bahts Fî al-Sîrah al-
Nabawiyyah ‘Alâ Ṣâhibihâ Afḍal al-Ṣalâh wa al-Salâm, (Riyâḍ : Dâr Ihyâ‟ al-Turâts, tth.),
hal. 58
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 155 ]
2. Pemahaman Seputar Hadis Pertama.
Hadis pertama dalam penelitian ini adalah tentang hamm Nabi saw
menjatuhkan diri dari atas ketinggian bukit pada saat kekosongan wahyu
(fatrah al-wahy), di mana pada Nabi saw merasakan kesedihan yang sangat
berat. Ungkapan ini (bunuh diri) sepertinya terdengar „tidak melegakan‟ di
telinga, „bergemuruh‟ dalam hati seorang mukmin, atau bahkan secara
spontan mengkerenyutkan dahi, memicingkan mata kita dan seterusnya,
manakala dikaitkan dengan tindakan salah seorang nabi agung, Muhammad
saw. Memang demikian penangkapan bunyi makna dalam redaksi yang
sudah disebut-sebut di atas.10
Bahkan, oleh beberapa ulama, riwayat tersebut
dijadikan sebagai data untuk mendukung penafsiran mereka terhadap surat
dalam al-Qur‟an. Dengan ungkapan lain, secara jelas mereka, sebut saja
Syeikh al-Marâghî, mendukung dan mensahîhkan riwayat tersebut. Bisa
dibuktikan tatkala mereka mengawali dalam tafsirannya dengan
menggunakan ungkapan, sebagai berikut:
اح ػ غ او أع س كزوح ك٢ ي هح ؽل ا ن جت ي ٠ أ
هللا ؽ٢ ػ٠ ه ملسو هيلع هللا ىلصا واها ا٠ اغجب ل٣لا ؽز٠ ؿلا ني ؽيب ؽي أ
ؼ اال ٣ ب ب أ وب، ا ٤زوك ه افجبه ا٣ب أ ي ا ض ر
.هللا ؽوبArtinya: “Telah menjadi kesepakatan para perawi bahwa sebab
turunnya ayat ini (al-Ḍuhâ) adalah kesedihan yang sangat berat, yang
terjadi pada masa kekosongan turunnya wahyu kepada Rasulullah
10
Hal ini akan menjadi jelas dengan mengemukakan berbagai masalah yang
dijadikan sebagai perbandingan dalam standarisasi atau tolok ukur kritik hadis dengan naṣ
al-Qur‟ân, hadîts ṣahîh atau tidak menutup kemungkinan dengan teori-teori yang cukup
untuk menyangkal dan membantah, dengan asumsi bahwa ini bukan hukum yang ditetapkan
Rasûlullâh saw-- hal demikian disebabkan karena menyalahi maksud al-Qur‟ân dan lain-
lainnya yang menjadi perhatian para peneliti hadits : „bahwasanya itu bukan ucapan
Rasûlullâh saw‟. Al-Qur‟ân dan al-Sunnah yang ṣahîh adalah wahyu yang datang dari sisi
Allâh SWT --fakta dari masalah ini-- dan tidak mungkin keduanya saling berseberangan dan
bertolak belakang. Boleh jadi, orang yang meriwayatkan atau menyampaikannya keliru atau
lupa ; atau ia tidak menyampaikan seluruh apa yang ia dengar ; atau juga pemahaman dari
lafaẓ-lafaẓ hadîts tersebut tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh Rasûl saw. Lihat, Musfir
„Azmillâh al-Dumînî, Maqâyîs Naqd Mutûn al-Sunnah, (Riyâḍ : al-Sa‟ûdiyyah, 1404
M/1984 M), cetakan pertama, hal. 61
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 156 ]
saw. Hal tersebut menjadikan beliau berkali-kali berusaha untuk
menjatuhkan dirinya dari atas bukit. Dan hal itu tercegah setelah
malaikat muncul dan menyampaikan bahwa ia (Muhammad) adalah
benar-benar utusan Allah SWT...”.11
Sedikit berbeda dengan Muṣṭafâ al-Marâghî di atas, pendahulunya,
Muhammad Abduh pun mengawali ulasannya dengan menyatakan: „...telah
menjadi kesepakatan dari berbagai riwayat (ittafaqat al-riwâyât)...‟, lalu ia
mengklaim telah bersumber dalam kitab al-Ṣahîh (mungkin yang dimaksud
adalah kitab al-Bukhâri), sedangkan para ulama ahli hadis telah menetapkan
bahwa riwayat tersebut adalah bagian dari afrâd al-Bukhârî dan belum
menjadi kesepakatan secara bersama (kolektif). Bahkan, menurut hemat
penulis, dalam uraiannya seolah-olah Abduh sedang lupa dengan
„rasionalitas‟ yang selama itu ia sandang.
Menurut „rasionalisasi sufistik‟ yang digunakan „Abduh adalah
bahwa yang sedang terjadi dengan Nabi saw merupakan rasa kerinduan dan
kenikmatan rasa (dzauq) yang begitu besar tatkala berhubungan dengan
kewahyuan (dzâqa min halâwah al-ittiṣâl bi wahyihi), dan kerinduan
munculnya hal-hal yang ia lihat dan apa saja yang telah ia pahami tentang
Allah SWT (wa mâ fahima ‘an Allâh). Bagi Abduh, setiap kerinduan akan
memunculkan kegelisahan, kecemasan dan setiap kegelisahan akan
melahirkan ketakutan (wa kull syauq yuṣbihuhu qalaq wa kullu qalaq
yasyûbuhu khauf).12
Dari sini, Nabi saw yang hanya manusia biasa ; yang
membedakan hanyalah dari segi penerimaan wahyu, sangat lumrah
mengalami kesedihan yang menyebabkan beliau berniat untuk menjatuhkan
diri dari ketinggian bukit.13
Abduh menolak informasi yang menyatakan bahwa penyebab
kesedihan Nabi saw adalah ucapan serta ejekan kaum kafir14
yang
11
Ahmad Muṣṭafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Mesir : Muṣṭafâ al-Bâbî al-
Halabî, 1365 H/1946 M), cetakan ke-1, juz ke-30, hal. 182 12
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Juz ‘Amma, (Mesir : Syirkah
Sâhimah Miṣriyyah, 1341 H), Muntadan al-„Aqlâniyyîn al-„Arab, cetakan ke-3, hal. 109 13
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Juz ‘Amma, (Mesir : Syirkah
Sâhimah Miṣriyyah, 1341 H), hal. 109 14
Terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan tentang orang yang melontarkan
ucapan : “Ya Muhammad, Tuhanmu telah membencimu dan juga meninggalkanmu!”.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 157 ]
mengatakan bahwa: „Tuhan Muhammad telah membencinya dan juga
meninggalkannya‟.15
Baginya, ayat ini (al-Ḍuhâ: 3) merupakan gambaran
kegelisahan Nabi saw selama kekosongan turunnya wahyu, yang dengan
keadaan ini, Allah SWT ingin menenangkan hati Nabi-Nya.16
Terlepas dari beberapa pena‟wilan kedua mufassir di atas, Târiq bin
Muhammad al-Ṭawârî17
memberikan penawaran terkait riwayat tersebut
dengan mengawali analisanya menyebutkan berbagai persangkaan negatif
oleh sekelompok orang yang tidak menyukai Islam, selain permasalahan dari
segi periwayatannya (isnâd). Tuduhan mereka di antaranya adalah apakah
pantas, dalam konteks teologis, seorang nabi hendak menjatuhkan diri dari
puncak gunung atau bunuh diri, dan tuduhan lain seperti nabi yang masih
meragukan kenabiannya (ma’ṣûm), padahal sebelumnya telah diinformasikan
kepadanya tentang datangnya kebenaran tanda-tanda kenabian dalam dirinya
oleh Waraqah bin Naufal dan peneguhan langsung dari istrinya, Khadîjah,
terlebih Jibril telah berulang kali menegaskan dengan ucapannya bahwa ia
(Muhammad) benar-benar seorang rasul Allâh, sebagaimana ditegaskan
dalam redaksi hadis.18
Pertanyaan dan sikap demikian pun telah dirasakan semenjak masa
al-Ismâ‟ilî, sebagaimana dikutip Ibn Hajar. Ia menanggapi bahwa jika
perkara besar dan mulia hendak disampaikan kepada seorang manusia yang
Menurut al-Jamal, orang yang melontarkan ucapan tersebut adalah : pertama, Umm Jamîl,
isteri Abû Lahab. Kedua, orang-orang Yahudi, yang sebelumnya, menanyakan tentang rûh,
Dzî al-Qarnain, dan Aṣhâb al-Kahfi. Dijawab oleh Nabi saw : „Aku akan menjawabnya
besok‟, tanpa menyebut kata „in syâ’a Allâh‟, ternyata keesokan harinya wahyu pun tidak
kunjung tiba hingga ditegur oleh Jibrîl dengan turunnya QS. al-Kahfi/18 : 23. Lihat,
Sulaimân bin „Umar al-„Ajîlî al-Syâfi‟î al-Syahîr bi al-Jamal, al-Futûhât al-Ilâhiyyah bi
Tawḍîh Tafsîr al-Jalâlain li al-Daqâ’iq al-Khafiyyah wa bi al-Hâmisy Kitâb Imlâ’ Mâ
Manna bihi al-Rahmân Min Wujûh al-I’râb wa al-Qirâ’ât Fî Jamî’ al-Qur’ân li Abî al-
Biqâ’ Abdillâh bin al-Husain al-‘Akbarî, (Mesir : „Îsâ al-Bâb al-Halabî wa Syirkâh, tth.),
jilid ke-4, hal. 550 15
QS. al-Ḍuhâ/93 : 3 16
Muhammad „Abduh, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Juz ‘Amma, hal. 108-109 17
Târiq bin Muhammad al-Ṭawârî, adalah salah satu tenaga pengajar pada Fakultas
Syarî‟ah, Universitas Kuwait. 18
Târiq bin Muhammad al-Ṭawârî, „Ilal Riwâyah Muhâwalah Taradduyi al-Nabî
Min al-Jabal ‘Inda al-Bukhârî wa Ghairih Min Kutub al-Sunnah, dalam Majallah Jâmi‟ah
al-Syâriqah li al-„Ulûm al-Syar‟iyyah wa al-Qânûniyyah, (Kuwait, edisi 8, Jumadî al-
Âkhirah 1432 H/2011 M), hal. 110
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 158 ]
akan diangkat menjadi nabi, maka biasanya akan didahului dengan adanya
hal-hal yang berhubungan dengan nilai kepatutan serta pengukuhan baginya
(tarsyîh wa ta’sîs).19
Hal-hal tersebut di antaranya adalah kegemarannya
untuk berkhalwah, gemar berbuat baik, menyambung silaturrahim, mimpi
yang benar (al-ru’yâ al-ṣâdiqah). Dan termasuk di dalamnya adalah
munculnya malaikat secara tiba-tiba adalah peristiwa luar biasa bagi beliau
saw, sebagai calon nabi yang hendak menerima wahyu.
Menurut al-Ismâ‟ilî, hal-hal tersebut tidak menegasikan dan tidak
luput dari sisi kemanusiaan (basyariyyah) beliau sebagai seorang manusia
biasa, terutama munculnya malaikat yang menjadikan beliau ketakutan dan
merasa kaget. Al-Ismâ‟ilî menegaskan, status kenabian tidak menghilangkan
tabiat kemanusiaan seluruhnya (li anna al-nubuwwah lâ tazîl ṭibâ’a al-
basyariyyah kullahâ). Oleh sebab itu, bukan hal yang aneh jika beliau
dikagetkan oleh hal yang belum pernah dihadapi sebelumnya.20
Lebih lanjut, al-Ismâ‟ilî menjelaskan bahwa maksud Nabi saw yang
hendak menjatuhkan dirinya dari atas puncak adalah disebabkan oleh
beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut, seperti: pertama, lemahnya
kekuatan beliau dalam menanggung beban kenabian (ḍa’f quwwatihi ‘an
tahammul mâ hamilahu min a’bâ’ al-nubuwwah), kedua, rasa takut atau
kekhawatiran dalam menjalankan dari apa yang telah beliau peroleh, dan
kekhawatiran tidak mampu memberikan penjelasan kepada seluruh umat
manusia.21
Kenyataan ini, sebagaimana ditegaskan sendiri oleh Ibn Hajar al-
„Asqalânî (773-852 H), membuat Nabi saw berujar: “(melihat keadaan
seperti ini) Sungguh aku bermaksud ingin menghempaskan diriku dari
puncak gunung (fa laqad hamamtu an aṭraha nafsî min hâliq jabal)”.22
19
Ahmad bin „Alî bin Hajar al-„Asqallânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî
‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, juz ke-12, hal. 360 20
Ahmad bin „Alî bin Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî
‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, juz ke-12, hal. 360 21
Jalur sanad tersebut dinilai ṣahîh oleh ulama ahli hadis. Lihat, Ahmad bin „Alî bin
Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî ‘Abdillâh Muhammad bin
Ismâ’îl al-Bukhârî, juz ke-12, hal. 361 22
Statement Ibn Hajar tersebut berdasarkan data riwayat yang ia kutip dari al-
Ṭabarî dari jalur al-Nu‟mân bin Râsyid dari Ibn Syihâb. Lihat, Ahmad bin „Alî bin Hajar al-
„Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî ‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl al-
Bukhârî, juz ke-12, hal. 361
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 159 ]
Adapun dari segi fungsional, menurut Ibn Taimiyah (w.728 H),
sebagaimana dikutip oleh Muhammad Sulaimân al-Asyqar, riwayat atau
hadis yang muncul sebelum masa kenabian (qabla al-bi’tsah) tersebut tidak
bisa dijadikan sebagai dasar pensyari‟atan (lâ tu’khad li tasyarru’),
menurutnya, hal tersebut telah menjadi kesepakatan umat bahwa masa
setelah nubuwwah, Allâh SWT telah mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya
untuk mengimani serta mengamalkan apa saja yang dibawa oleh Rasûlullâh
saw.23
Berbeda dengan Ibn Taimiyyah (w.728 H), al-Khaṭîb al-Syarbînî
(w.977 H), seorang ulama bermadzhab Syâfi‟î, menyatakan bahwa masa
sebelum nubuwwah bisa dijadikan sebagai hujjah, ia berargumentasi bahwa
Nabi Muhammad saw ketika itu melakukan ibadah (yang telah ditetapkan
oleh Allâh SWT), beliau lakukan sendirian dan hal tersebut masih
berlangsung pada masa-masa awal keisalaman para sahabatnya yang
melakukan salat di rumah masing-masing.24
Kehujjahan riwayat tersebut
pun, menurut Muhammad Sulaimân al-Asyqar yang menyatakan ada
kemungkinan diakui pula oleh Imâm al-Bukhârî (w.256 H) terbukti dengan
adanya riwayat-riwayat tersebut dalam kitab Ṣahîh-nya.25
Dari berbagai paparan di atas, menurut penulis, semua pemahaman
masih terfokus pada kesimpulan bahwa nabi Muhammad saw sendiri yang
berkeinginan untuk menjatuhkan diri. Analisa selanjutnya, penulis ingin
mengikuti beberapa data, dengan suatu keyakinan akan menemukan
jawaban-jawaban yang dianggap lebih meyakinkan dalam memberikan
pemahaman pada pembahasan kali ini, sebagai berikut:
1. Penulis berasumsi bahwa untuk memahami hadis ini perlu diungkap
beberapa hal: pertama, keinginan itu kalau pun terjadi pada diri seorang
nabi, bisa dianggap sah karena beliau tetap masih seperti manusia pada
umumnya yang memiliki tabiat lemah, takut, dan sebagainya, dan yang lebih
penting, ketika itu belum ada bentuk naṣ atau ayat yang turun (syarî‟ah)
23
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al-Syar’iyyah, (Beirut : al-Risâlah, 1424 H/2003 M), cetakan ke-6, juz ke-2, hal.139 24
Sulaimân bin Muhammad bin „Umar al-Bujairamî al-Syâfi‟î, Hâsyiyah al-
Bujairamî ‘Alâ al-Khaṭîb, (Beirût : Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2011), cetakan ke-5, juz ke-3,
hal. 302 25
Muhammad Sulaimân al-Asyqar, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ al-
Ahkâm al-Syar’iyyah, juz ke-2, hal.139
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 160 ]
tentang pengharaman bunuh diri. Sebab jika hal tersebut sudah disadari, akan
bertentangan dengan beberapa sabda beliau saw sendiri yang melarang
perbuatan membunuh diri, sebagaimana tersebut di bawah di antaranya
adalah :
أث٢ و٣وح ػ ػ٤ ٠ هللا هللا ه : هب " : ، هب هز ٣ز ثؾل٣لح ، كؾل٣لر ك٢ ٣ل قلا ك٤ب ل فبلا ، ك٢ به ع ؤ ثب ك٢ ثط ع
قلا ك٤ب فبلا ب ، ك٢ به ع ٣زؾ ك ل ب ، كوز وة أثلا ،
، ك ل ، كوز عج روك قلا أثلا ، فبلا ٣زوك ك٢ به ع
ك٤ب أثلا
Artinya: “Barang siapa yg membunuh dirinya sendiri dengan besi,
maka ia akan datang kelak pada hari kiamat, sedangkan besi itu
berada di tangannya seraya menusuk-nusuk perutnya di dalam neraka
jahannam kekal selama-lamanya. Dan barang siapa yg membunuh
dirinya sendiri dengan racun, maka racun itu akan senantiasa berada
di tangannya dan mengkomsumsinya di dalam neraka jahannam
selama-lamanya. Dan barang siapa membunuh diri (dengan cara)
menjatuhkan diri dari atas bukit” (HR. Muslim).26
Kedua, sebagaimana al-Ṭawârî mengutip Ibn Taimiyyah (w.728 H),
bahwa hadis ini hanya sebuah keinginan yang tidak terealisasi, dan keinginan
seperti itu tidak berdosa (wa al-hamm laisa dzanban). Hal ini berdasarkan
hadîts qudsî dalam riwayat Ibn „Abbâs :
ؼجب أث٢ ا ػ ٢ هللا ػب، ػ ت ه ػجل ا ث ػجب ث ػجل هللا : رؼب٠ هب ، رجبهى هث ، ك٤ب ٣و ػ ٠ هللا ػ٤ »ه هللا ا
خ ثؾ مي : ك ث٤ ٤ئبد ص ؾبد ا ل هللا زت ا ػ ب زجب هللا ٣ؼ ك
بد ا٠ و ؽ ػ زجب هللا ب ثب كؼ ا خ ل ؽخ ب رؼب٠ ػ رجبهى
زجب ب ٣ؼ ث٤ئخ ك ا ؼبف ض٤وح ، ؼق ا٠ أ بئخ جؼ ل ػ هللا
اؽلح ٤ئخ زجب هللا ب ثب كؼ ا خ ، خ ب زلن ػ٤« ؽ
26
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî (206-261), Ṣahîh
Muslim, tahqîq : Muhammad Fuâd „Abd al-Bâqî, (Mesir : Dâr Ihyâ‟ al-Kutub al-„Arabiyyah,
1374 H/1954 M), juz ke-1, hal. 103-104
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 161 ]
“Sesungguhnya Allâh SWT itu mencatat semua kebaikan dan
keburukan, kemudian menerangkan yang sedemikian itu, yakni
mana-mana yang termasuk kebaikan dan mana-mana yang termasuk
keburukan. Maka barangsiapa yang berkehendak mengerjakan
kebaikan, kemudian tidak jadi melakukannya, maka dicatatlah oleh-
Nya sebagai suatu kebaikan yang sempurna di sisi-Nya, dan
barangsiapa berkehendak mengerjakan kebaikan itu kemudian
melakukannya, maka dicatatlah oleh Allâh SWT sebagai sepuluh
kebaikan di sisi-Nya, sampai menjadi tujuh ratus kali lipat, bahkan
dapat sampai menjadi berlipat ganda yang sangat banyak. Selanjutnya
barangsiapa yang berkehendak mengerjakan keburukan kemudian
tidak jadi melakukannya maka dicatatlah oleh-Nya sebagai suatu
kebaikan yang sempurna di sisi-Nya dan barangsiapa yang
berkehendak mengerjakan keburukan itu kemudian jadi
melakukannya, maka dicatatlah oleh Allâh SWT sebagai satu
keburukan saja di sisi-Nya”.27
2. Analisa yang dikemukakan al-Harawî (767 H-829 H), sebagaimana
dirasakan pula oleh Qâḍî „Iyâḍ (471 H-544 H), menyatakan bahwa
sebenarnya riwayat tersebut harus dikompromikan (al-jam’) dengan riwayat-
riwayat yang lain, di samping berargumentasi adanya ketidakmungkinan
seorang rasul atau nabi melakukan tindakan buruk atau keliru. Riwayat
pembanding yang akan dikompromikan dengan riwayat tersebut di atas
adalah sebagai berikut :
عل١، ص٢ أث٢، ػ : ؽل ا٤ش، هب ؼ٤ت ث ي ث ص٢ ػجل ا ؽل
ص٢ : ؽل ػجل هب خ ث ؼذ أثب : بة، هب اث فبل، ػ ث ػو٤
٠ هللا ػ٤ هللا غ ه ػجل هللا، أ : أفجو٢ عبثو ث ، ٣و ؽ او
: ٣و ؽ٢ ػ٢ كزوح » كزو ا ٢ص ؽل٣ش «، كج٤ب أب أ ض و م ، ص
: هب ، ؿ٤و أ ٣« ٣ذ ا٠ األه كوهب ؽز٠ أث «كغضضذ هب : ، هب
رزبثغ. ؽ٢ ثؼل ٢ ا ؽ : ص ، هب صب عي األ او خ: هاكغ، ل ث ؾ ص٢ ؽل
، ؽل٣ش ٣ بك ؾ ، ثنا اإل و١ اي و، ػ ؼ ام، أفجوب ى صب ػجل او ؽل
او { صو{ ا٠ ه ل ب ا رؼب٠: }٣ب أ٣ هللا رجبهى ي : كؤ هب غو{ عي كب
27
Târiq bin Muhammad al-Ṭawârî, „Ilal Riwâyah Muhâwalah Taradduyi al-Nabî
Min al-Jabal ‘Inda al-Bukhârî wa Ghairih Min Kutub al-Sunnah, hal. 111
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 162 ]
الح 2-0]الصو: ا رلو أ -[ هج صب ٢ األ - ب هب : كغضضذ هب
ػو٤
“„Abd al-Malik bin Syu‟aib bin al-Laits menyampaikan kepadaku
dari ayah, dari kakeknya dari „Uqail bin Khâlid, dari Ibn Syihâb yang
mengatakan : „Aku mendengar dari Abû Salamah bin „Abd al-
Rahmân, dari Jâbir bin „Abdullâh yang mengabarkan bahwa dia
mendengar Rasûlullâh saw bersabda : “Kemudian wahyu terhenti
tidak turun kepadaku sementara waktu, ketika aku berjalan...,”.
Kemudian perawi menyebutkan seperti hadits riwayat Yunus, namun
dia menyebutkan : “Aku terkejut dan ketakutan hingga aku terjatuh
ke tanah --Abû Salamah mengatakan : „al-rujz = berhala-berhala--
setelah itu wahyu turun silih berganti”.28
Dari segi ketersambungan sanad, sebagian pendapat hanya
mempersoalkan kebenaran informasi yang diperoleh Jâbir dengan cara simâ’.
Sebab ketika itu masih dalam masa fatrah dan, tentu, pada masa itu ia sendiri
masih dalam masa jahiliyah. Terlebih, Jâbir adalah seorang anṣâr, sedang
peristiwa awal turunnya wahyu pertama di Mekkah.29
Namun, al-Harawî
(767 H-829 H) meyakini bahwa riwayat tersebut ada kemungkinan Jâbir
mendengar dari seorang sahabat (lainnya) yang hadir ketika kasus atau
perkara (al-qaḍiyyah) itu muncul meskipun ketika itu Jâbir belum menjadi
sahabat Nabi (wa in lam yakun ṣahâbiyan hâla wuqû’ al-qaḍiyyah).30
Bagi
al-Harawî riwayat ini tetap disebut berkesinambungan sanadnya (itsbât al-
ittiṣâl) dan bukan hadîts mursal. Statemen tersebut ia perkuat dengan riwayat
lain, yakni lafaẓ yang dimiliki al-Bukhârî, dengan redaksi: “...anna Jâbir ibn
‘Abdillâh al-Anṣârî qâla wa huwa yuhadditsu ‘an fatrah al-wahy....31
28
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî (206-261), Ṣahîh
Muslim, tahqîq dan taṣhîh : Muhammad Fu‟âd „Abd al-Bâqî, (Kairo : Dâr Ihyâ‟ al-Kutub al-
‟Arabiyyah, 1918 H), juz ke-1, hal. 143 29
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin „Aṭâ‟illâh bin Muhammad al-Harawî
al-Hanafî al-Syâfi‟î, Faḍl al-Mun’îm Fî Syarh Ṣahîh Muslim, tahqîq : Nûr al-Dîn Ṭâlib,
(Damaskus : Dâr al-Nawâdir, 1433 H/2012 M), cetakan ke-1, jilid ke-4, hal. 58 30
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin „Aṭâ‟illâh bin Muhammad al-Harawî
al-Hanafî al-Syâfi‟î, Faḍl al-Mun’îm Fî Syarh Ṣahîh Muslim, jilid ke-4, hal. 59 31
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin „Aṭâ‟illâh bin Muhammad al-Harawî
al-Hanafî al-Syâfi‟î, Faḍl al-Mun’îm Fî Syarh Ṣahîh Muslim, jilid ke-4, hal. 59
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 163 ]
Dari segi matan atau isi hadis, ia menitikberatkan pada statemen Nabi
Muhammad saw: “...hattâ hawaitu...” dan ini yang di-ṣahîh-kan oleh al-
Harawî (767 H-829 H). Baginya, bukan Nabi saw yang hendak menjatuhkan
diri dari ketinggian puncak gunung, sebagaimana terdapat dalam riwayat al-
Bukhârî. Menurutnya, nabi Muhammad saw memang terjatuh (hattâ hawaitu
: sehingga aku terjatuh) setelah melihat dan menyaksikan secara tiba-tiba
(dengan menggunakan ungkapan : fa idzâ huwa ‘alâ al-‘arsy fî al-hawâ)32
munculnya malaikat jibrîl dengan berbagai bentuk atau rupa (taṣwîr al-
malâikah ‘alâ ṣuwar mukhtalifah) ; terkadang muncul berada di atas puncak
gunung, terkadang di langit-langit goa, terkadang pula di atas (menempati)
sesuatu di udara. Sesuatu tersebut bisa diartikan dengan kursi, papan atau
pun sayap, atau juga bisa bermakna singgasana.33
Perbedaan bentuk dan
kondisi tersebut untuk memperlihatkan kekuasaan (qudrah) Allâh SWT
kepada seorang calon nabi.
Al-Harawî (767 H-829 H), sebagaimana juga diungkap oleh Qâḍî
„Iyâḍ (w.544 H), melanjutkan bahwa kata “hawâ-terjatuh” itu sendiri bisa
bermakna : terjatuh dari jarak dekat atau pun jauh (hawâ min qarîb wa ahwâ
min ba’îd),34
yakni nabi Muhammad saw terjatuh dari tempat yang telah ia
daki atau juga bisa bermakna „merosot‟ ( ketika beliau saw menaiki (اج
sesuatu.35
Statemen ini (hattâ hawaitu), ungkap al-Harawî (767 H-829 H),
disebutkan setelah Nabi Muhammad saw menyatakan : “fa jutsitstu minhu
faraqan” (lalu aku terkejut seraya takut...).36
32
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin „Aṭâ‟illâh bin Muhammad al-Harawî
al-Hanafî al-Syâfi‟î, Faḍl al-Mun’îm Fî Syarh Ṣahîh Muslim, jilid ke-4, hal. 60-61 33
Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin „Aṭâ‟illâh bin Muhammad al-Harawî
al-Hanafî al-Syâfi‟î, Faḍl al-Mun’îm Fî Syarh Ṣahîh Muslim, jilid ke-4, hal. 61 34
Menurut Qâḍî „Iyâḍ, para ulama lebih banyak menggunakan lafaẓ hawâ (همومى)
ketimbang ahwâ ( هومىا ). Lihat, Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣâbî, Ikmâl al-
Mu’lim bi Fawâ’id Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, tahqîq : Yahyâ Ismâ‟îl, (Kairo : Dâr al-
Wafâ, 1419 H/1998 M), cetakan ke-1, juz ke-1, hal. 492 35
Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣâbî, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id
Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-1, hal. 492 36
Al-Qurṭubî, sebagaimana dikutip al-Harawî, menyatakan bahwa dalam berbagai
riwayat yang berbeda, penggunaan kata : jutsitstu, fuzi’tu, ru’ibtu, bermakna satu yaitu kaget
yang bercampur rasa takut. Lihat lebih jauh, Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin
„Aṭâ‟illâh bin Muhammad al-Harawî al-Hanafî al-Syâfi‟î, Faḍl al-Mun’îm Fî Syarh Ṣahîh
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 164 ]
Dengan demikian, sebagaimana disimpulkan Qâḍî „Iyâḍ (w.544 H)
bahwa nabi Muhammad saw terjatuh disebabkan oleh rasa takut dan
terkejutnya beliau melihat malaikat yang belum pernah beliau saksikan
sebelumnya tatkala menengadah ke arah langit (alqâ bihâ fîhâ ba’da an
rafa’ahâ ilâ al-samâ’).37
Dan dengan melihat riwayat tersebut, maka
sebenarnya imam al-Bukhârî pun memiliki riwayat yang sama seperti halnya
riwayat yang disebutkan dalam Ṣahîh Muslim. Riwayat tersebut disebutkan
dalam Ṣahîh al-Bukhârî, sebagai berikut:
صب ق ؽل ٣ ث ص٢ ش ا٤ أفجوب ػجل هللا ؽل هب ػو٤ بة ػ اث هب
ؼذ خ أفجو٢ أثب هب ػجل هللا ب عبثو ث ػ ٢ هللا غ اج٢ ه أ
٣و ػ٤ ٠ هللا رب ؼذ ٢ ؽ٢ كزوح كج٤ب أب أ كزو ػ٢ ا ص
بء كو ا ي بء كبما ا ا و١ هج هبػل ػ٠ ثؾواء ان١ عبء٢ كؼذ ث
٢ كغئذ أ ٣ذ ا٠ األه ؽز٠ كغئضذ األه بء ا ٢ ث٤ و
رؼب هللا ي ٢ كؤ ٢ ى ذ ى عي ٠كو او نه ا٠ ه كؤ صو ه ل ب ا ٣ب أ٣
غو كب خ هب أث صب عي األ او
“...Bahwasanya Jâbir bin 'Abdullâh, ra mendengar Nabi saw
bersabda: „Kemudian wahyu berhenti turun kepadaku pada masa
tertentu hingga ketika aku sedang berjalan, aku mendengar suara dari
langit. Maka aku mengarahkan pandanganku menghadap langit yang
ternyata ada malaikat yang pernah datang kepadaku di gua Hirâ‟
sedang duduk di atas kursî antara langit dan bumi. Aku menjadi takut
karenanya sehingga aku terjatuh ke tanah. Lalu aku mendatangi
keluargaku sambil mengatakan : „Selimuti aku, selimuti aku. Maka
kemudian Allâh SWT menurunkan firman-Nya (QS. Al-Mudatstsir
ayat 1-5): „Wahai orang yang berselimut, bangun dan berilah
peringatan hingga frman-Nya : Dan perbuatan dosa jauhilah. Abû
Salamah berkata : al-Rujz = berhala-berhala.38
Muslim, jilid ke-4, hal. 63-64. Lihat juga, Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣâbî,
Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-1, hal. 490-492 37
Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣâbî, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id
Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-1, hal. 492 38
Abî„Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh
al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, tahqîq : Muhîb al-Dîn al-
Khaṭîb, (Kairo : al Salafiyyah, 1400 H), cetakan ke-1, juz ke-2, hal. 430
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 165 ]
Oleh karena itu, menurut hemat penulis, Imâm al-Bukhârî (194-256
H) telah jujur dan transparan mengutarakan semua riwayat terkait Nabi
Muhammad saw. Hal ini bertentangan dengan pandangan miring seperti
yang dituduhkan beberapa kalangan muslim, seperti al-Albânî, sebagaimana
dikutip Ṣafî al-Rahmân al-Mubârakfûrî39
dan al-Mallâh, yang menyatakan
bahwa penisbatan riwayat (tentang Nabi saw menjatuhkan diri) telah sesuai
dengan syarat sahîh al-Bukhârî (194-256 H) adalah kekeliruan yang sangat
besar (khaṭa’ fâhisy), dan al-Bukhârî sendiri mengira bahwa kisah bunuh diri
itu benar (ṣahîh) sehingga ia mencantumkan dalam kitabnya.40
II. Hadis Hammî Kedua dan Pemahaman -pemahaman Di Dalamnya
Hadis tentang hamm Nabi saw membakar rumah-rumah penduduk
yang tidak mendatangi salat berjama‟ah. Tergambar dalam riwayat tersebut
seolah-oleh telah pasti ketentuan hukum terkait kewajiban pelaksanaan salat
berjamaah atau jika melihat secara literal dalam redaksinya ; akan
menetapkan suatu keputusan hukum yang menyatakan bahwa pelaksanaan
salat harus (wâjib) dilaksanakan secara berjama‟ah, jika tidak, rumah-rumah
mereka akan dibakar. Tidak demikian pemahamannya, tulis al-Tâwudî
mengawali analisa terhadap riwayat tersebut.41
Dari sini, muncul ketetapan hukum dalam pelaksanaan salat
berjamaah: pertama, pendapat yang dipegangi oleh Dâwûd al-Ẓâhirî,
menyatakan bahwa berjamaah adalah syarat sah salat, maka salat yang
dilakukan sendirian dianggap batal (salatnya). Kelompok ini, mensyaratkan
masjid sebagai tempat dalam pelaksanaannya.42
39
Ṣafî al-Rahmân al-Mubârakfûrî, al-Rahîq al-Makhtûm Bahts Fî al-Sîrah al-
Nabawiyyah ‘Alâ Ṣâhibihâ Afḍal al-Ṣalâh wa al-Salâm, (Riyâḍ : Dâr Ihyâ‟ al-Turâts, tth.),
hal. 56 40
Abû „Abd al-Rahmân Mahmûd bin Muhammad al-Mallâh, al-Ta’lîq ‘Alâ al-
Rahîq al-Makhtûm, (Mesir : al-Dâr al-„Âlamiyyah, 1431 H/2010 M), cetakan ke-1, hal. 55 41
Muhammad al-Tâwudî bin Muhammad al-Ṭâlib bin Saudah al-Murrî, Hâsyiyah
al-Tâwudî bin Saudah ‘Alâ Ṣahîh al-Bukhârî, tahqîq : „Umar Ahmad al-Râwî, (Beirut : Dâr
al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2007 M), cetakan ke-1, juz ke-1, hal. 389 42
Kelompok ini berpegang pada riwayat : (lâ ṣalâta li jâr al-masjid illâ fî al-masjid
: „tidak sah salat orang yang berdekatan dengan masjid kecuali di masjid‟). Para ulama
menyepakati bahwa riwayat tersebut adalah ucapan (maqâlah) „Alî bin Abî Ṭâlib, bukan
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 166 ]
Menurut mereka, makna ẓâhir hadis telah menunjukkan kefarduan
atas setiap pribadi (farḍ ‘ain), hal ini bukan kesunnahan jika dilihat dari
bentuk ancaman pembakaran bagi yang meninggalkannya ; juga tidak bisa
ditetapkan sebagai farḍ kifâyah, sebab pelaksanaan hukuman pembakaran
hanya dilakukan oleh Rasûl saw sendiri tanpa orang lain yang
menyertainya.43
Kedua, adalah kelompok yang menyatakan sebagai
kewajiban yang bersifat bagi setiap pribadi (farḍ ‘ain) seperti halnya
kelompok pertama. Perbedaannya adalah, kelompok ini masih menganggap
sah yang dilakukan sendirian meski tetap berdosa, dan tidak mensyaratkan
dalam masjid sebagai tempat dalam pelaksaannya. Kelompok ini dipegangi
oleh „Alî ra, Ibn Qudâmah, Ishâq, „Aṭâ‟, al-Auzâ‟î, dan Ahmad bin Hanbal.44
Ketiga, pendapat yang menyatakan bahwa berjamaah adalah kewajiban yang
cukup dilakukan oleh sebagian kelompok (farḍ kifâyah). Kelompok ini
dipegangi oleh al-Syâfi‟î dan sebagian ulama Mâlikiyyah.45
Keempat,
pendapat yang menyatakan bahwa hukum berjamaah adalah sunnah
mu’akkadah. Pendapat ini dipegangi oleh mayoritas ulama, ulama madzhab
Mâlik yang masyhur, Abû Hanîfah, dan pengikut madzhab Syâfi‟î
(syâfi’îyyah).46
Kelima, pendapat yang menyatakan bahwa kewajiban
sabda Nabi saw. Lihat, Hamzah Muhammad Qâsim, Manâr al-Qârî Syarh Mukhtaṣar Ṣahîh
al-Bukhârî, taṣhîh dan murâja‟ah : Basyîr Muhammad „Uyûn dan al-Syeikh „Abd al-Qâdir
al-Arnâuṭ, (Beirut : Dâr al-Bayân, 1410 H/1990 M), juz ke-2, hal. 125 43
Dalam hal ini, Dâwûd al-Ẓâhirî murni hanya berpegang pada riwayat dalam al-
Bukhari no.644 tanpa mempertimbangkan riwayat lain, sebagaimana telah dibahas pada bab
sebelumnya (footnote). Lihat, Muhammad al-Tâwudî bin Muhammad al-Ṭâlib bin Saudah
al-Murrî, Hâsyiyah al-Tâwudî bin Saudah ‘Alâ Ṣahîh al-Bukhârî, juz ke-1, hal. 389 44
Kelompok ini berpegang pada riwayat : („ju’ilat lî al-arḍ ṭayyibatan ṭahûran wa
masjidan : Dijadikan untukku bumi itu sebagai tempat yang baik, bersih, serta sebagai
tempat untuk bersujud). Lihat, Hamzah Muhammad Qâsim, Manâr al-Qârî Syarh
Mukhtaṣar Ṣahîh al-Bukhârî, juz ke-2, hal.125 45
Kelompok ini berpegang pada riwayat : („mâ min tsalâtsah fî qaryah wa lâ badw
wa lâ tuqâm fîhim al-ṣalâh illâ qad istahwadza ‘alaihim al-syaiṭân fa ‘alaika bi al-jamâ’ah
fa innamâ ya’kulu al-dzi’b al-qâṣiyah : tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang
tidak didirikan salat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai
mereka. Karena itu, tetaplah kalian dalam berjamaah, karena sesungguhnya serigala itu
hanyaakan menerkam kambing yang sendirian‟). Lihat, Hamzah Muhammad Qâsim, Manâr
al-Qârî Syarh Mukhtaṣar Ṣahîh al-Bukhârî, juz ke-2, hal.125 46
Kelompok ini berpegang pada riwayat : („ṣalâh al-jamâ’ah tafḍulu ‘alâ ṣalâh al-
fadzdz bi sab’ wa ‘isyrîn darajah : salat berjamaah lebih unggul dari pada salat sendirian
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 167 ]
berjama‟ah yang dimaksud adalah salat Jum‟at, bukan pada salat yang lain.
Pendapat ini dipegangi oleh al-Qurṭubî, sebagaimana dikutip Mûsâ Syâhîn
Lâsyîn.47
Bagi kelompok yang menganggap sebagai kewajiban setiap individu,
berargumentasi berdasarkan bentuk ketegasan dan penekanan sebagaimana
terkandung dalam makna redaksi hadis. Menurut mereka, jika perintah ini
hanya sekedar kesunnahan atau kifayah pasti lafaẓ yang digunakan dalam
hadis tersebut tidak sedemikian kerasnya.48
Pada gilirannya, bagi yang
menyatakan kewajiban berjama‟ah dan pelaksanaannya mesti di masjid,
muncul cabang hukum baru. Al-„Ainî (w.855 H) menyebutkan contoh bahwa
jika ada seseorang mendatangi masjid lalu yang ia jumpai salat berjama‟ah
telah selesai, maka ketetapan menurut madzhab mereka adalah : pertama,
orang tersebut tidak diwajibkan mencari (jama‟ah) lagi ke masjid lain,
sedangkan pendapat yang kedua menetapkan orang tersebut dinilai baik jika
tetap mencari masjid lain yang masih atau sedang melaksanakan pelaksanaan
salat jama‟ah (meski tertinggal beberapa rakaat).49
Secara luas, pembahasan
tersebut dikupas dalam kitab-kitab furu‟ fiqhiyyah seperti Muhadzdzab dan
lain sebagainya.
Al-Syâfi‟î (w.204 H) didukung ulama mutaqaddimin lainnya
menetapkan sebagai farḍ kifâyah. Sedangkan mayoritas ulama pengikut
madzhab Hanafî dan Mâlikî menetapkan sebagai sunnah mu’akkadah. Bagi
dengan nilai dua puluh tujuh derajat‟). Lihat, Muhammad bin „Alî bin Muhammad al-
Syaukânî, Nail al-Auṭâr Syarh Muntaqâ al-Akhbar Min Ahâdîts Sayyid al-Akhyâr, (Mesir :
Muṣṭafâ al-Bâb al-Halabî wa Aulâdah, 1371 H/1952 M), juz ke-3, cetakan ke-2, hal. 133.
Lihat juga, Hamzah Muhammad Qâsim, Manâr al-Qârî Syarh Mukhtaṣar Ṣahîh al-Bukhârî,
juz ke-2, hal.125 47
Mûsâ Syâhîn Lâsyîn, Fath al-Mun’im Syarh Ṣahîh Muslim, (Kairo : Dâr al-
Syurûq, 1423 H/2002 M), cetakan ke-1, juz ke-3, hal. 379 48
Salah satu riwayat yang dijadikan dalil atau argumentasi dalam madzhab mereka
adalah sebagaimana terekam dalam Musnad Ahmad, menyatakan : “Sekiranya di dalam
rumah itu tidak ada wanita dan anak keturunan (dzurriyyah) mereka yang sedang
melaksanakan salat isyâ’, tentu aku perintahkan kepada seorang pemuda yang ikut
bersamaku untuk membakar rumah mereka”. Lihat, Badr al-Dîn Abî Muhammad Mahmûd
bin Ahmad al-„Ainî (w.855 H), ‘Umdah al-Qârî Syarh Ṣahîh al-Bukhârî, taṣhîh dan ta‟lîq :
Muhammad Munîr „Abduh, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth.), juz ke-5, hal. 160 49
Badr al-Dîn Abî Muhammad Mahmûd bin Ahmad al-„Ainî (w.855 H), ‘Umdah
al-Qârî Syarh Ṣahîh al-Bukhârî, juz ke-5, hal. 161
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 168 ]
al-Tâwudî, penyebutan „wajib‟ dengan adanya bentuk ancaman (al-tahdîd)
adalah bagi mereka yang meninggalkan salat secara langsung, berbeda
dengan kaum yang meninggalkan jama‟ah dan melaksanakan salat di rumah
masing-masing disertai alasan „udzur50
, maka keadaan seperti ini termasuk
yang tidak akan dibakar, sebagaimana al-Tâwudî mengutip riwayat dalam
Sunan Abî Dâwûd.51
Berbeda dengan kebanyakan sarjana muslim lainnya, Qâḍî „Iyâḍ
(w.544 H) menyatakan dengan tegas bahwa hadis tersebut bukan suatu
hujjah dalam penetapan hukum. Baginya, tidak ada ada unsur kehujjahan di
dalamnya sebab hanya sebuah hamm (keinginan) Nabi saw yang tidak beliau
laksanakan (laisa fî al-hadîts hujjah li annahu hamm wa lam yaf’al).52
Pendapatnya ini dibantah oleh Daqîq al-„Îd (w.702 H) yang menyatakan
bahwa meskipun hanya keinginan Nabi saw pribadi, tetap bisa dijadikan
hujjah sebab beliau tidak mungkin menginginkan sesuatu perkara yang tidak
diperkenankan, dan semestinya umat yang menunaikan keinginan beliau
tersebut.53
Secara ẓahir, hadis tersebut terlihat keluar dari bentuk pelarangan dan
penegasan dilihat dari ungkapan riwayat lain yang menyebutkan: ( ػ٠ اصو
بكو٤ .(ا54
Menurut Daqîq al-„Îd (w.702 H), sebenarnya tidak demikian,
50
Ibn Qudâmah (541-620 H) menjelaskan bahwa hal yang termasuk ke dalam ‘udzr
meninggalkan jama‟ah adalah rasa takut (khauf) dan sakit (maraḍ), sebagaimana ia
mengutip sebuah riwayat Ibn „Abbâs. Lihat Muwaffiq al-Dîn Abî Muhammad bin „Abdillâh
bin Ahmad bin Muhammad bin Qudâmah al-Maqdisî al-Jammâ‟îlî al-Dimasyqî al-Ṣâlihî al-
Hanbalî, al-Mughnî, tahqîq : „Abdullâh bin „Abd al-Muhsin al-Turkî dan „Abd al-Fattâh
Muhammad al-Hulw, (al-Riyyâḍ : Dâr „Âlam al-Kutub, 1417 H/1997 M), cetakan ke-3, juz
ke-2, hal. 376. 51
Muhammad al-Tâwudî bin Muhammad al-Ṭâlib bin Saudah al-Murrî, Hâsyiyah
al-Tâwudî bin Saudah ‘Alâ Ṣahîh al-Bukhârî, juz ke-1, hal. 390 52
Ahmad bin „Alî bin Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî
‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, tahqîq : al-Syeikh „Abd al-„Azîz bin „Abdillâh
bin Bâz, (tt. : al-Maktabah al-Salafiyyah, tth.), juz ke-2, hal. 126 53
Muhammad al-Tâwudî bin Muhammad al-Ṭâlib bin Saudah al-Murrî, Hâsyiyah
al-Tâwudî bin Saudah ‘Alâ Ṣahîh al-Bukhârî, juz ke-1, hal. 389 54
Riwayat tersebut terdapat di antaranya dalam Ṣahîh al-Bukhârî, kitab al-adzân
(10), bab fadl ṣalah al-‘isya’ fi al-jama’ah (34), no. 657, dan kitâb ahkâm (93), bâb ikhrâj
al-khuṣûm wa ahl al-riyab min al-buyût ba’da al-ma’rifah (52), no. 7224. Lihat,
Abî„Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh al-Musnad
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 169 ]
sebab maksud dari munâfiqîn di sini adalah kemunafikan dalam bentuk
perbuatan maksiat (nifâq al-ma’ṣiyyah), bukan kemunafikan dalam arti
kekufuran.55
Namun, pena‟wilan seperti ini (tentang makna dan maksud dari
munâfiqîn), bagi Qâḍî „Iyâḍ (w.544 H) seraya menyatakan : „ma’âdzallâh‟
(memohon perlindungan kepada Allah) jika sifat ini ada pada diri para
sahabat dan orang-orang beriman lainnya ketika itu. Padahal, menurutnya,
yang dimaksud munâfiqîn dalam hadis tersebut adalah memang benar terjadi
pada diri orang-orang munafik yang sebenarnya, sebab para sahabat dan
muslimin lainnya selalu bersama dan tidak pernah meninggalkan Nabi saw.56
Qâḍî „Iyâḍ (w.544 H) menyebutkan di antara kelompok munafiq yang
meninggalkan barisan muslimin tersebut adalah Ka‟b bin Mâlik, Murârah bin
al-Rabî‟ al-Âmirî, Hilâl bin Umayyah al-Wâqifî. Peristiwa pembelotan ini
terjadi pada perang Tabuk dan jumlah mereka bertambah hingga lebih dari
delapan puluh orang. Rasul saw sendiri telah melarang kaum muslimin untuk
berbicara kepada mereka.57
Bahkan, dalam catatan terakhir pembahasan
riwayat-riwayat tersebut, Qâḍî „Iyâḍ (w.544 H) menegaskan bahwa semua
riwayat tersebut hanya menjelaskan tentang orang-orang munafiq (kulluh
bayân annahâ fî al-munâfiqîn).58
Hal ini dipertegas dengan riwayat di
antaranya dari Abdullâh bin Mas‟ûd yang menyatakan bahwa (ketika itu)
orang-orang yang meninggalkan jama‟ah hanyalah kelompok munafiq dan
orang-orang yang sakit.59
Senada dengan Qâḍî „Iyâḍ (w.544 H), mula-mula al-Syaukânî
(w.1250 H) mengutip al-Hâfiẓ Ibn Hajar al-„Asqallânî (773-852 H), yang
Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih, tahqîq : Muhîb al-Dîn al-Khaṭîb, (Kairo
: al-Salafiyyah, 1400 H), cetakan ke-1, juz ke-1, hal. 218, dan dalam kitab yang sama, juz
ke-4, hal. 347 55
Muhammad al-Tâwudî bin Muhammad al-Ṭâlib bin Saudah al-Murrî, Hâsyiyah
al-Tâwudî bin Saudah ‘Alâ Ṣahîh al-Bukhârî, juz ke-1, hal. 389 56
Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣâbî, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id
Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-2, hal. 622 57
Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣâbî, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id
Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-2, hal. 623 58
Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣâbî, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id
Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-2, hal. 624 59
Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣâbî, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id
Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-2, hal. 623
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 170 ]
menyatakan bahwa hukum membakar akan mendatangkan pembunuhan.
Namun penetapan sangsi hukuman tersebut akan ditetapkan, sebagaimana
terkandung dalam hadis, jika ada kesepakatan secara kolektif untuk
meninggalkan pelaksanaan jama‟ah (idzâ tamâla’a al-jamî’ ‘alâ al-tark)60
.
Di tempat lain, Qâḍî „Iyâḍ (w.544 H) pun menyatakan bahwa dalam hadis
tersebut mengandung makna adanya penerimaan alasan atau mungkin
ampunan sebelum dijatuhkannya keputusan sangsi ; terlebih dahulu
diberikan peringatan atau pun ancaman (al-i’dzâr qabla al-‘uqûbah bi al-
tahdîd bi al-qaul wa al-wa’îd).61
Oleh sebab itu, menurut al-Syaukânî (1173-1250 H), adanya bentuk
ancaman tersebut bisa menjadi penguat adanya naskh, dibuktikan dengan
adanya hadis lain yang muncul tentang keutamaan salat berjama‟ah. Al-
Syaukânî juga menguatkannya dengan pendapat dari Qâḍî „Iyâḍ yang
menegaskan bahwa kewajiban salat yang dilakukan secara berjama‟ah itu
terjadi pada masa awal diperintahkannya salat, lalu perintah kewajiban ini di-
naskh (mansûkh).62
Sebagaimana Ibn Qayyim al-Jauziyyah (691-751 H)
menegaskan bahwa keniscayaan berjama‟ah (luzûm al-jamâ’ah) dalam
keadaan apa pun itu hanya terjadi pada masa fitnah dan peperangan.63
Namun bagi al-Khaṭîb al-Syarbînî (w.977 H), sebagaimana disampaikan al-
Bujairamî (w.1221 H), ia mengatakan bahwa selama kurang lebih 13 tahun
di Mekkah, Nabi Muhammad saw melaksanakan salat hanya sendirian, tanpa
berjama‟ah dengan beberapa sahabatnya. Sedangkan para sahabat yang
60
Muhammad bin „Alî bin Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Auṭâr Syarh Muntaqâ
al-Akhbar Min Ahâdîts Sayyid al-Akhyâr,juz ke-3, hal. 131 61
Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣâbî, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id
Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-2, hal. 623 62
Muhammad bin „Alî bin Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Auṭâr Syarh Muntaqâ
al-Akhbar Min Ahâdîts Sayyid al-Akhyâr, juz ke-3, hal. 133. Lihat juga, Ahmad bin „Alî bin
Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî ‘Abdillâh Muhammad bin
Ismâ’îl al-Bukhârî, juz ke-2, hal. 126 63
Abî „Abdillâh Muhammad bin Abî Bakr bin Ayyûb bin Qayyim al-Jauziyyah, al-
Furûsiyyah al-Muhammadiyyah, tahqîq : Zâid bin Ahmad al-Nasyîrî, (Jeddah : Dâr „Ilm al-
Fawâid, tth.), hal. 206-207
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 171 ]
menerima dakwah ketika itu masih melaksanakannya di rumah masing-
masing.64
Ibn al-„Arabî al-Mâlikî (435-542 H) memberikan analisa yang
berbeda. Menurutnya, perintah berjama‟ah itu menjadi suatu kewajiban
disebabkan kehadiran orang-orang munafik bisa mempengaruhi umat Islam
oleh sifat malas mereka (yatakâsalûn), maka jika salah satu dari umat Islam
diberikan peluang rukhṣah, pelaksanaan jama‟ah akan terancam batal dan
mereka (orang munafik) akan terus berbaur, mempengaruhi orang-orang
yang keimanannya masih murni, benar dan kokoh (al-muwahhid al-mukhliṣ).
Oleh karena itu, bagi Ibn al-„Arabî al-Mâlikî (435-542 H) yang ṣahîh
adalah seseorang yang salat dikerjakan di rumah secara berjamaah tetap
sama dalam memiliki pahala yang sempurna (wa âkhar ṣallâ fi al-jamâ’ah
yuqâlu lahu addâ fî baitih min ‘udzr fa ajruhu kâmil kamâ lau kâna fî ṣalâh
al-jamâ’ah). Lebih lanjut ia menyatakan bahwa hukum yang benar dalam
pelaksanaan tersebut adalah mandûb.65
Secara apik dan arif, al-Ustâdz Mûsâ Syâhîn Lâsyîn, dalam Fath al-
Mun’im memberikan elaborasi dan gambaran yang cukup komprehensif.
Mûsâ Syâhîn mengungkapkan bahwa dalam rangka membentuk dan
menanamkan prinsip-prinsip kesatuan dan persamaan (al-mabda’ fi al-
musâwâh) dalam kelompok (barisan muslimin) yang kuat dan rapat
(mustaqîmah mutarâṣṣah) diperlukan mediasi-mediasi dan sarana yang tepat,
yakni dengan berdasarkan seruan beliau saw : “Salat yang dilakukan dengan
berjama’ah lebih utama nilainya dibandingkan dengan salat di antara
kalian yang dilakukan sendirian dengan (nilai) dua puluh lima bagian”,
Rasûl saw berhasil membuat pengaruh kepada umat Islam sehingga mereka
berlomba-lomba, baik laki-laki maupun perempuan atau bahkan anak-anak
mereka, untuk datang membentuk kelompok (berjama‟ah) pada satu tempat,
meski mereka berada dalam keadaan gelap gulita saat salat „isyâ’ dan
64
Sulaimân bin Muhammad bin „Umar al-Bujairamî al-Syâfi‟î, Hâsyiyah al-
Bujairamî ‘Alâ al-Khaṭîb, juz ke-3, hal. 302 65
Ibn al-„Arabî al-Mâlikî (435-542 H), ‘Âriḍah al-Ahwadzî bi Syarh Ṣahîh al-
Tirmidzî, (Beirut : Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, tth.), juz ke-2, hal. 17-18
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 172 ]
kenikmatan tidur yang masih menyelimuti mereka, tetap mendatangi salat
fajar dengan berjama‟ah.66
Keadaan ini menjadi berubah di saat kelompok munafiq memasuki
barisan umat Islam. Mereka merasa keberatan dengan adanya jama‟ah di
waktu „isyâ’ dan subuh67
, mereka pun meninggalkan barisan jama‟ah. Nabi
saw telah berkali-kali menyemangati mereka dengan mengatakan : “Jika
seseorang berwudu dan menyempurnakannya, lalu ia menuju masjid, maka
Allâh akan mencatat dari setiap langkahnya sebagai pahala kebaikan
untuknya, dan (langkahnya itu) Allâh akan mengangkat derajatnya, dan
akan menghapuskan dosanya”. Nabi saw juga memberikan penyemangat
dengan sabda beliau yang lain : “Barang siapa salat subuh berjama’ah maka
ia berada dalam jaminan dan pemeliharaan Allâh SWT sepanjang hari. Dan
barang siapa yang tidak melaksanakannya, Allâh akan menuntut hak-Nya,
dan barang siapa yang telah Allah tuntut maka akan ditelungkupkan
wajahnya ke dalam api neraka”. Namun, orang-orang munafik tetap
meninggalkan jama‟ah, mereka kelompok pengecut yang tidak tahu malu,
yang pantas mendapatkan ancaman, lalu Rasûl saw pun bersabda:
ود ٢ ول ك و هعال ٣ آ ، ص ٣و٤ الح ئم ا ٣ئم ذ أ اؾطت كزؾوم ث٤د ؽي ؼ الز٤خ آفن ثؼ ٢، ص ثلال ثبب
ثؾ مي ك٤ب بػخ اغ ػ زقل٤ بػخ ا ا ػ٠ اغ كؾبكظ بكو٤ ا
٣ ؼنه ا و٣ ا ٠ ب ػ٤ب، ؽز٠ األػ ؽو اىكاك ا
ب ٣زقق ػ ثب أ ٤ ز ف ...٣ ثؼل بػخ )كقق الح اغ بذ نا ق
ؿ٤ب( و ف ٣ ارل ارجؼا ا الح بػا ا أArtinya: “Aku benar-benar telah mempertimbangkan dan sangat ingin
memerintahkan seseorang untuk mengumandangkan adzan, lalu
dilaksanakanlah ṣalat. Kemudian aku perintahkan seseorang
menggantikanku untuk mengimami ṣalat, lalu kuperintahkan sebagian
66
Mûsâ Syâhîn Lâsyîn, Fath al-Mun’im Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-3, hal. 371-372 67
Berdasarkan pendapat Abû al-Ṭayyib, waktu salat yang mesti dikerjakan dengan
berjama‟ah adalah waktu „îsyâ dan subuh. Lihat, Abû al-Ṭayyib Muhammad Syams al-Haq
al-„Aẓîm Âbadî, ‘Aun al-Ma’bûd Syarh Sunan Abî Dâwûd Ma’a Syarh al-Hâfiẓ Ibn Qayyim
al-Jauziyyah, tahqîq : „Abd al-Rahmân „Utsmân, (al-Madînah al-Munawwarah : al-
Maktabah al-Salafiyyah, 1388 H/1968 M), cetakan ke-2, hal. 252
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 173 ]
pemuda untuk mengambil kayu bakar untuk membakar rumah-rumah
orang yang meninggalkan jama‟ah. Sampailah berita (tentang rencana
Nabi saw tersebut) kepada orang-orang munafik. Umat Islam pun
semakin bertambah semangat dalam menjaga jama‟ah, tidak
melalaikan meskipun buta dan sakit atau pun sedang dalam keadaan
„udzur....beginilah gambaran dahulu, Nabi saw memerintahkan salat
berjama‟ah, sehingga al-Qur‟ân menyingung keadaan tersebut :
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang
menyia-nyiakan salat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka
mereka kelak akan menemui kesesatan”.68
Lebih lanjut, seraya menyimpulkan berdasarkan pendapat Ibn Hajar
al-„Asqallânî (773-852 H), ia mengungkapkan bahwa makna ẓâhir hadis
(tentang keinginan Nabi saw membakar rumah) menunjukkan : pertama,
tidak adanya keharusan dalam pelaksanaan salat berjama‟ah dilihat dari
keinginan atau rencana beliau saw yang tidak diwujudkan (‘adam nafdz mâ
hamma bih). Ibn Hajar al-„Asqallânî (773-852 H) menegaskan, jika
keputusan Nabi saw meninggalkan sangsi pembakaran setelah adanya bentuk
ancaman, intimidasi atau peringatan menunjukkan tidak adanya perintah ke-
farḍu-an (fa tarkuhu saw al-tahrîq ba’da al-tahdîd dalîl ‘alâ ‘adam al-
farîḍah).69
Kedua, hadis tersebut muncul dengan bentuk teguran atau
ancaman (al-zajr).
Hakikatnya, hanya memberikan makna suatu pernyataan yang
bersifat sungguh-sungguh (mubâlaghah) yang ditujukan (sangsinya)
semestinya kepada orang-orang kafir, sedangkan umat Islam telah
menyepakati tidak adanya bentuk sangsi seperti itu (yursyidu ilâ dzâlik
wa’îdihim bi al-‘uqûbah allatî yu’âqibuhâ al-kuffâr, wa qad in’aqada al-
ijmâ’ ‘alâ man’ ‘uqûbah al-muslimîn bi dzâlik).70
Ketiga, hadis tersebut
menunjukkan peringatan dan teguran secara langsung (ketika itu) bagi
seseorang yang meninggalkan salat. Keempat, hadis tersebut muncul sebagai
himbauan (al-hitsts) kepada umat Islam untuk tidak berlaku seperti halnya
kelompok munafik, dan peringatan supaya tidak mengikuti perilaku mereka
68
Mûsâ Syâhîn Lâsyîn, Fath al-Mun’im Syarh Ṣahîh Muslim, (Kairo : Dâr al-
Syurûq, 1423 H/2002 M), cetakan ke-1, juz ke-3, hal. 371-372 69
Mûsâ Syâhîn Lâsyîn, Fath al-Mun’im Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-3, hal. 378 70
Mûsâ Syâhîn Lâsyîn, Fath al-Mun’im Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-3, hal. 378
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 174 ]
(al-hitsts ‘alâ mukhâlafah fi’l ahl al-nifâq wa al-tahdzîr min al-tasyabbuh
bihim).71
Kelima, sebagaimana mengutip pendapat Qâḍî „Iyâḍ (w.544 H),
bahwa kefarḍuan berjama‟ah terjadi pada masa awal perjuangan Islam
supaya dapat menutup rapat-rapat dari kemangkiran kewajiban-kewajiban
salat bagi orang-orang munafik (li ajl sadd bâb al-takhalluf ‘an al-ṣalawât
‘alâ al-munâfiqîn), lalu kewajiban tersebut dihapuskan (mansûkh) dengan
munculnya hadis tentang keutamaan salat berjama‟ah.72
Selain itu, al-Ṭahâwî (239-321 H) setelah menyebutkan berbagai
riwayat terkait, ia menyimpulkan bahwa para ahli sepakat ke-mansukh-an
riwayat tentang keinginan Nabi Muhammad saw yang hendak membakar
rumah-rumah orang yang akan meninggalkan jama‟ah. Dan menolak bentuk-
bentuk hukuman (asykâl al-‘uqûbah) terhadap fisik termasuk harta dan
benda.73
Dari paparan tersebut di atas, penulis cenderung dengan pendapat
yang menyatakan bahwa kemunafikan dalam riwayat tersebut bukan
dialamatkan kepada orang-orang terdekat Rasûlullâh saw atau kepada
mukmin dari umat beliau saw lainnya ; dan tidak mungkin beliau saw
berkeinginan untuk membakar rumah-rumah mereka. Namun, meskipun jika
pengertian yang dimaksud adalah orang-orang munafik sebenarnya, dari sisi
nubuwwah, sangat tidak mungkin akan dilakukan oleh Rasûlullâh saw.
Bukankah banyak riwayat yang menjelaskan larangan tentang hukum
membakar?74
Dalam hal ini, bukan berarti yang melaksanakan salat sendiri atau
yang pelaksanaannya di rumah akan dibakar, sebagaimana pula dirasakan
Ibn Qudâmah. Sebab menurut catatan Ibn Qudâmah (541-620 H), Rasûlullâh
71
Mûsâ Syâhîn Lâsyîn, Fath al-Mun’im Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-3, hal. 378 72
Mûsâ Syâhîn Lâsyîn, Fath al-Mun’im Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-3, hal. 379 73
Abî Ja‟far Ahmad bin Muhammad bin Salâmah al-Ṭahâwî, Syarh Musykil al-
Âtsâr, tahqîq : Syu‟aib al-Arnaûṭ, (Beirût : Mu‟assasah al-Risâlah, 1415 H/1994 M), cetakan
ke-1, juz ke-15, hal. 102 74
Terkait riwayat tentang larangan hukuman membakar, misal al-Imâm al-Bukhârî
merekam dalam kitabnya, di antaranya adalah no. 3016, 3017, 3018 dan lain-lain, kitab al-
jihâd wa al-sair. Lihat lebih lanjut, Abî„Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî (194-
256 H), al-Jâmi’ al-Ṣahîh al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih,
juz ke-2, hal. 362-363
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 175 ]
saw pernah melaksanakan salat hanya berdua dengan „Abdullâh bin „Abbâs
yang ketika itu masih kanak-kanak atau belum baligh (al-ṣabî) ; pernah juga
dengan Ibn Mas‟ûd, sebab jumlah minimal dalam pelaksanaan ṣalât
berjama‟ah adalah dua orang (wa tan’aqid al-jamâ’ah biitsnain fa ṣâ’idan).75
Bagi kami (Ibn Qudâmah), pelaksanaan ṣalâh di rumah, di masjid,
hutan, padang pasir (al-ṣakhrâ’) atau pun di mana saja diperbolehkan dan
sah (anna al-ṣalâh fî ghair al-masjid ṣahîhah jâizah)76
sebagaimana
pelaksanaannya di dalam masjid yang dilaksanakan secara berjamaah. Yang
membedakan adalah dari sisi keutamaan ; semakin banyak orang yang
melaksanakan, akan semakin tinggi nilai keutamaannya.77
Dan yang
terpenting, hemat penulis adalah tidak lari dari jamaah, dalam arti, jika
sedang dilaksanakannya salat berjamaah, di mana pun berada, berapa pun
jumlahnya, maka semestinya mempercepat diri untuk mengikuti pelaksanaan
tersebut, bukan malah bersantai ria, asyik dan sibuk dengan handphone atau
pun merokok dengan maksud „sedikit meremehkan-tasâhul‟ bisa
dilaksanakan sendirian.
III. Hadis Hammî Ketiga
1. Pemaknaan ‘Âsyûrâ’, Tâsû’â’ dan Kesejarahannya.
Terminologi ‘Âsyûrâ’ dan Tâsû’â’ diambil dari kata bilangan al-‘asyr
(sepuluh) dan al-tis’ (sembilan), menggunakan wazan fâ’ûlâ’ yang bermakna
sungguh dan penghormatan (al-mubâlaghah wa al-ta’ẓîm).78
Pada mulanya,
penyebutan hari ‘Âsyûrâ’ dikaitkan dengan malam ‘Âsyûrâ’ (al-lailah al-
75
Ibn Qudâmah al-Maqdisî al-Jammâ‟îlî al-Dimasyqî al-Ṣâlihî al-Hanbalî, al-
Mughnî, juz ke-3, hal. 7 76
Dalam hal ini, Ibn Qudâmah (541-620 H) berpegang pada riwayat “...ju’ilat lî al-
arḍ ṭayyibah ṭahûran wa masjidan fa ayyumâ rajul adrakathu al-ṣalâh ṣallâ haitsu kâna...
Lihat pentakhrijan riwayat tersebut di kitab yang sama karya Ibn Qudâmah, juz ke-1, hal.
13. Lihat lebih jauh, Ibn Qudâmah al-Maqdisî al-Jammâ‟îlî al-Dimasyqî al-Ṣâlihî al-
Hanbalî, al-Mughnî, juz ke-3, hal. 7 77
Hal ini sebagaimana diungkap oleh Ibn Qudâmah (541-620 H) di antaranya
adalah : “..fi’l al-ṣalâh fî mâ katsura fîh al-jam’u min al-masjid afḍal...”. Lihat lebih jauh,
Ibn Qudâmah al-Maqdisî al-Jammâ‟îlî al-Dimasyqî al-Ṣâlihî al-Hanbalî, al-Mughnî, juz ke-
3, hal. 8-9 78
Badr al-Dîn Abî Muhammad Mahmûd al-„Ainî, ‘Umdah al-Qârî Syarh Ṣahîh al-
Bukhârî, (Damaskus : Idârah al-Ṭibâ‟ah al-Munîriyyah, tth.), juz ke-11, hal. 116
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 176 ]
„Âsyirah) yang kemudian lazim dengan penyebutan ‘Âsyûrâ’ saja, demikian
pendapat al-Qurṭubî (w. 671 H) sebagaimana dikutip al-„Ainî (w.855 H).79
Menurut Ibn al-Atsîr (544-606 H) adalah nama Islami (ism islâmî)
yang lahir setelah Nabi Muhammad saw mapan dan berkembang di
Madinah, bukan berasal dari Bahasa Arab sebab wazan dan cara pembacaan
tersebut (fâ’ûlâ’) tidak terdapat dalam bahasa yang biasa mereka gunakan.80
Masing-masing berasal dari kata al-‘âsyir dan al-tâsi’ yang berarti hari yang
kesepuluh dan kesembilan dari bulan Muharram, sebagaimana pula diungkap
al-Qurṭubî (w. 671 H), bahwa istilah tersebut semakna (ma’dûl) dengan kata
al-‘Âsyir (kesepuluh).81
Menurut Fairûzâbâdî (w.817 H), terminologi tersebut bisa berwazan
fâ’ûlâ’, sebagaimana telah menjadi pendapat yang masyhur atau fa’ulâ’
dengan dibaca pendek (al-qaṣr).82
Dan menurutnya, terminologi ‘Âsyûrâ’
bisa bermakna kesepuluh atau juga kesembilan dari bulan Muharram.83
Penakwilan seperti ini berdasarkan kebiasaan orang Arab zaman dahulu yang
memberikan minum unta-unta ternak mereka yang digembalakan dari tempat
jauh. Maka mereka menyebut hari kamis yang dimaksud adalah hari rabu,
dihitung dari kedatangan ternak mereka ke tempat di mana mereka
memberikan minum (mengistirahatkan).84
79
Badr al-Dîn Abî Muhammad Mahmûd al-„Ainî, ‘Umdah al-Qârî Syarh Ṣahîh al-
Bukhârî, juz ke-11, hal. 116 80
Majd al-Dîn Abî al-Sa‟âdât al-Mubârak bin Muhammad al-Jazarî bin al-Atsîr, al-
Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, tahqîq : Ṭâhir Ahmad al-Zâwî dan Mahmûd
Muhammad al-Ṭanâhî, (Riyâḍ : al-Maktabah al-Islâmiyyah), juz ke-3, hal. 240. Lihat juga,
Badr al-Dîn Abî Muhammad Mahmûd al-„Ainî, ‘Umdah al-Qârî Syarh Ṣahîh al-Bukhârî,
juz ke-11, hal. 117 81
Mûsâ Syâhîn Lâsyîn, Fath al-Mun’im Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-4, hal. 588 82
Abî al-„Alî Muhammad „Abd al-Rahmân bin „Abd al-Rahîm al-Mubârakfûrî
(1283-1353 H), Tuhfah al-Ahwadzî Bi Syarh Jâmi’ al-Tirmidzî, taṣhîh : „Abd al-Wahhâb
„Abd al-Laṭîf, (Dâr al-Fikr, tth.), juz ke-3, hal. 456 83
Majd al-Dîn Muhammad bin Ya‟qûb al-Fairûzâbâdî, al-Qâmûs al-Muhîṭ, tahqîq :
Maktabah al-Risâlah, (Damaskus : Mu‟assasah al-Risâlah, 1998), cetakan ke-6, hal. 440 84
Abî „Alî Muhammad „Abd al-Rahmân bin „Abd al-Rahîm al-Mubârakfûrî (1283-
1353 H), Tuhfah al-Ahwadzî Bi Syarh Jâmi’ al-Tirmidzî, juz ke-3, hal. 459. Lihat juga,
Muhammad bin „Alî bin Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Auṭâr Syarh Muntaqâ al-Akhbar
Min Ahâdîts Sayyid al-Akhyâr, juz ke-4, hal. 256
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 177 ]
Pendapat yang disebutkan terakhir di atas berdasarkan pendapat
(madzhab) Ibn „Abbâs, sebagaimana dikutip oleh Abî al-„Alî al-Mubârakfûrî
(1283-1353 H), sebagaimana pula ia menegaskannya dengan mengukutip
pendapat Imâm al-Nawawî.85
Namun, menurut Muhammad Anwarsyâh al-
Kasymîrî pendapat tersebut adalah semata-mata pendapat ulama generasi
yang datang jauh setelah periode sahabat yang disandarkan (nisbah) kepada
„Abdullâh bin „Abbâs, yaitu al-Zain bin al-Munîr.86
Bahkan menurutnya,
pendapat tersebut adalah penisbahan yang keliru (nisbah ghalaṭ) ;
penisbahan yang tidak memiliki dasar yang kuat,87
dan penakwilan yang jauh
dari tujuan yang semestinya (ghâyah al-bu’d).88
Berbeda dengan pendapat tersebut di atas, Badr al-Dîn al-„Ainî
(w.855 H) menyatakan bahwa sebenarnya terminologi ‘Âsyûrâ’ berasal dari
bahasa „Ibrânî yang telah dikenal luas oleh masyarakat Arab ketika itu,
hanya saja penyebutan kata yang berwazan tersebut tidak dikenal pada masa
jahiliyah.89
Dari sisi historis, berdasarkan makna dari riwayat tersebut, berawal
dari kedatangan Nabi saw di Madinah, lalu beliau menyaksikan orang-orang
Yahudi sedang melakukan puasa ‘âsyûrâ’, lalu beliau saw menanyakan hari
tersebut. Dijawab oleh mereka bahwa hari itu adalah hari di mana Allâh
menyelamatkan Mûsâ dan Bani Israil dari kekejaman Fir‟aun. Mereka
berpuasa sebagai bentuk penghormatan (ta’ẓîman) kepada nabi Mûsâ. Mûsâ
pun ketika itu berpuasa sebagai ungkapan syukur kepada Allâh. Mendengar
85
Abî al-„Alî Muhammad „Abd al-Rahmân bin „Abd al-Rahîm al-Mubârakfûrî
(1283-1353 H), Tuhfah al-Ahwadzî Bi Syarh Jâmi’ al-Tirmidzî, juz ke-3, hal. 459 86
Abî al-„Alî Muhammad „Abd al-Rahmân bin „Abd al-Rahîm al-Mubârakfûrî
(1283-1353 H), Tuhfah al-Ahwadzî Bi Syarh Jâmi’ al-Tirmidzî, juz ke-3, hal. 459. Lihat
juga, Muhammad Anwarsyah bin Mu‟ẓamsyah al-Kasymîrî, al-‘Urf al-Syadzî Syarh Sunan
al-Tirmidzî, taṣhîh : al-Syaikh Mahmûd Syâkir, (Beirut : Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, 1425
H/2004 M), juz ke-2, hal. 177 87
Muhammad Anwarsyah bin Mu‟ẓamsyah al-Kasymîrî, al-‘Urf al-Syadzî Syarh
Sunan al-Tirmidzî, juz ke-2, hal. 177. Lihat juga, Muhammad bin „Alî bin Muhammad al-
Syaukânî, Nail al-Auṭâr Syarh Muntaqâ al-Akhbar Min Ahâdîts Sayyid al-Akhyâr, juz ke-4,
hal. 259 88
Abî al-„Alî Muhammad „Abd al-Rahmân bin „Abd al-Rahîm al-Mubârakfûrî
(1283-1353 H), Tuhfah al-Ahwadzî Bi Syarh Jâmi’ al-Tirmidzî, juz ke-3, hal. 459 89
Badr al-Dîn Abî Muhammad Mahmûd al-„Ainî, ‘Umdah al-Qârî Syarh Ṣahîh al-
Bukhârî, juz ke-11, hal. 116
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 178 ]
hal itu, Nabi saw berkata : „Kami lebih berhak dari pada kalian‟. Lalu beliau
pun memerintahkan untuk melakukan puasa.90
Dalam konteks historis-penanggalan, al-Kasymîrî (1292-1346 H).
mempersoalkan pengertian kedatangan Nabi ke Madinah, sebagaimana
tersebut dalam riwayat : “fa lammâ qadima al-Madînah”. Berdasarkan data
sejarah, menurutnya, ada perbedaan prinsipal antara perhitungan falakiyyah
(hisâb) antara Yahudi dan Islam ketika itu. Kaum Yahudi (pengikut ajaran
nabi Mûsâ, as = mûsawiyyah) menggunakan sistem kalender Syamsiyyah
sedangkan umat Islam dengan Qamariyyah. Dalam analisanya, puasa
„âsyûrâ’ yang dilakukan umat Yahudi ketika itu terjadi pada bulan ke
sepuluh yang pertama dari tahun Syamsiyyah, yang disebut dengan “Tisyrîn
al-awwal” atau bulan Oktober.91
Sedangkan kedatangan Nabi Muhammad
saw ke Madinah terjadi pada bulan Rabî‟ al-Awwal, dan beliau saw
meletakkan dasar penanggalan pelaksanaan puasa „âsyûrâ’ pada tanggal
sepuluh bulan Muharram.92
Analisanya tersebut berdasarkan statemen yang
digunakan oleh nabi Muhammad saw adalah : “..hari apakah ini?”. Dan
ketika peristiwa itu terjadi Nabi saw sendiri sedang dalam keadaan berpuasa,
yang menunjukkan bahwa beliau saw sendiri tidak menyadari dalam rangka
apa umat Yahudi melakukan puasa.
Keraguan Nabi saw tersebut dipertegas oleh al-Mâzarî (453-536 H),
sebagaimana dikutip al-Nawawî (w.676 H), yang menyebutkan bahwa Nabi
saw menerima informasi dan pengetahuan (al-‘ilm) tentang puasa ‘Asyûrâ’
bersumber dari orang-orang Yahudi. Pendapat tersebut tidak dibenarkan oleh
al-Nawawî (w.676 H) sebab beliau saw telah menerima wahyu (tentang
puasa tersebut), dan telah mengetahuinya sebelum tiba di Madinah.
90
Muhy al-Dîn Yahyâ bin Syaraf bin Murrî bin Hasan bin Husain bin Hizâm al-
Nawawî, Ṣahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, (Mesir : al-Maṭba‟ah al-Miṣriyyah, 1347
H/1929 M), cetakan ke-1, juz ke-8, hal. 9 91
Penyebutan tisyrîn berasal dari bahasa Suryânî, yang berlaku selama dua bulan,
yaitu tisyrîn al-awwal dan tisyrîn al-tsânî ; perhitungan kalender Mîlâdiyyah yang berarti
bulan ke-10 dan ke-11. Lihat, Muhammad Anwarsyah bin Mu‟ẓamsyah al-Kasymîrî, al-‘Urf
al-Syadzî Syarh Sunan al-Tirmidzî, juz ke-2, hal. 178-179 92
Muhammad Anwarsyah bin Mu‟ẓamsyah al-Kasymîrî, al-‘Urf al-Syadzî Syarh
Sunan al-Tirmidzî, juz ke-2, hal. 179
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 179 ]
Setibanya di Madinah, beliau saw membenarkan informasi tentang puasa
Asyûrâ’ yang datang dari mereka.93
Pendapat al-Nawawî (w.676 H) ini diperkuat oleh pernyataan Qâḍî
„Iyâḍ berdasarkan riwayat dalam Ṣahîh Muslim. Menurutnya, puasa ‘Asyûrâ’
adalah puasa yang telah ada perintahnya94
dan telah lama rutin dilakukan di
kalangan Quraisy termasuk Rasûl saw sendiri dan para sahabat lainnya
(muslimin).95
Tatkala Nabi saw tiba di Madinah, di mana orang-orang
Yahudi sedang berpuasa, beliau sedang atau telah berpuasa dan (perintah itu)
bukan bermula dari informasi Yahudi.96
Oleh karena itu, menurutnya, ke-
farḍu-an puasa Âsyûrâ’ menjadi mansûkh.
Selain Qâḍî „Iyâḍ (w.544 H), Abû Ja‟far sebagaimana dikutip al-
Ṭahâwî (239-321 H) meyakini bahwa puasa Âsyûrâ’ pada masa nabi Mûsâ,
as merupakan kewajiban seperti halnya puasa Ramaḍân, bukan semata-mata
berdasarkan ungkapan rasa syukur atas keselamatannya dari kejaran
Fir‟aun.97
Namun, bagi al-Syâfi‟î (w.204 H) puasa ‘âsyûrâ’ tidak pernah
menjadi suatu kewajiban, melainkan hanya sunnah mu’akkadah, dan di
tempat lain disebut dengan mustahab saja.98
Dari perbedaan pendapat tersebut, al-Nawawî (w.676 H) memberikan
kesimpulan bahwa jauh sebelum datang ke Madinah, Nabi saw dan kalangan
Quraisy Makkah telah melakukan puasa Âsyûrâ’ berdasarkan tuntunan
93
Muhy al-Dîn Yahyâ bin Syaraf bn Murrî bin Hasan bin Husain bin Hizâm al-
Nawawî, Ṣahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, juz ke-8, hal. 10-11 94
Tentang hukum pelaksanaan puasa ‘Asyûrâ’ sebelum turun pensyariatan puasa
Ramaḍan, para ulama berbeda pendapat. Kalangan Syâfi‟iyyah menyatakan sunnah
mu’akkadah, sebagian yang lain menyatakan suatu anjuran (mustahab). Sedangkan menurut
mazhab Abî Hanîfah menyatakan wajib. Pendapat yang terakhir ini didukung oleh Qâḍî
„Iyâḍ dan sebagian ulama salaf. Lihat, Muhy al-Dîn Yahyâ bin Syaraf bn Murrî bin Hasan
bin Husain bin Hizâm al-Nawawî, Ṣahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, hal. 5-6. 95
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-2, hal. 792 96
Muhy al-Dîn Yahyâ bin Syaraf bn Murrî bin Hasan bin Husain bin Hizâm al-
Nawawî, Ṣahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, juz ke-8, hal. 11 97
Abî Ja‟far Ahmad bin Muhammad bin Salâmah al-Ṭahâwî, Syarh Musykil al-
Âtsâr, juz ke-6, hal. 44, 48 98
Ibn al-Atsîr Majd al-Dîn Abî al-Sa‟âdât al-Mubârak bin Muhammad bin „Abd al-
Karîm al-Jazrî, al-Syâfî fî Syarh Musnad al-Syâfi’î, tahqîq : Ahmad bin Sulaimân dan Abî
Tamîm Yâsir bin Ibrâhîm, (Riyâḍ : Maktabah al-Rusyd, 1426 H/2005 M), cetakan ke-1, juz
ke-3, hal. 244
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 180 ]
wahyu, atau berdasarkan rentetan berita yang beredar secara mutawâtir di
negeri Mekkah, atau bisa jadi muncul dari ijtihad Nabi saw itu sendiri, bukan
semata-mata bersumber dari informasi orang Yahudi.99
2. Pemahaman-pemahaman Seputar ‘Âsyûrâ’, Dan Tâsû’â’.
Hadis tentang hamm Nabi saw melakukan puasa pada tanggal 9-nya
(tasû’â) atau pun pada tanggal 11-nya (al-hâdiya ‘asyara) supaya berbeda
dengan puasanya umat Yahudi. Sebagaimana telah diketahui pada bab
sebelumnya, redaksi riwayat yang menyebutkan rencana Nabi saw berpuasa
pada tanggal sembilannya (tasû’â) ada dalam Kutub al-Sittah kecuali Ṣahîh
al-Bukhârî. Sedangkan redaksi riwayat yang menyebutkan statement tentang
menyelisihi kaum Yahudi, hanya disebutkan dalam Sunan al-Tirmidzî
sebagai tambahan di dalam kitabnya tersebut no.755 berdasarkan riwayat
lain yang sama bersumber dari Ibn „Abbâs, menyatakan : “ṣûmû al-tâsi’a wa
al-‘âsyira wa khâlifû al-yahûd”, sebagaimana pula ditegaskan oleh Ahmad
Syâkir.100
Terkait riwayat tersebut, al-Tirmidzî menyatakan bahwa para
ulama berbeda pendapat mengenai puasa âsyûrâ’. Sebagian ulama
mengatakan bahwa puasa âsyûrâ’ adalah hari kesembilan, sebagian lainnya
menyatakan hari kesepuluh.101
Terkait pemahaman tersebut, Mûsâ Syâhîn menyatakan, ada dua
kemungkinan maksud dari penggalan kalimat : “ṣumnâ al-yaum al-tâsi’”.
Pertama, bermakna keinginan untuk mengalihkan puasa pada hari kesepuluh
(al-‘âsyir) berada pada hari kesembilan (al-tâsi’). Kedua, bermakna
99
Muhy al-Dîn Yahyâ bin Syaraf bin Murrî bin Hasan bin Husain bin Hizâm al-
Nawawî, Ṣahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, juz ke-8, hal. 11 100
Abî „Îsâ Muhammad bin „Îsâ bin Saurah (209-279 H), al-Jâmi al-Ṣahîh wa Huwa
Sunan al-Tirmidzî, tahqîq : Ahmad Muhammad Syâkir, (Mesir : Muṣṭafâ al-Bâbî al-Halabî,
tth.), juz ke-3, hal. 119 101
Abî „Îsâ Muhammad bin „Îsâ bin Saurah (209-279 H), al-Jâmi al-Ṣahîh wa Huwa
Sunan al-Tirmidzî, juz ke-3, hal. 119
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 181 ]
keinginan untuk menggabungkan hari kesembilan dengan hari kesepuluh102
sebagai bentuk kehati-hatian dalam menjalankan ibadah.103
Para ulama sendiri berbeda pendapat dalam memahami terminologi
hari âsyûrâ’ dan tâsû’â’. Al-„Ainî (w.855 H) mencatat bahwa
Sayyidah„Âisyah, Sa‟îd bin al-Musayyab, Mâlik, al-Syâfi‟î, Ahmad, Ishâq
dan Abdullâh bin „Abbâs berpendapat yang disebut dengan âsyûrâ’ adalah
hari yang kesembilan (tâsû’â). Lebih lanjut, al-„Ainî (w.855 H) menjelaskan
bahwa di kalangan para sahabat sendiri berbeda pendapat dalam memaknai
âsyûrâ’. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang disebut dengan
âsyûrâ’ adalah hari kesembilan, hari kesepuluh dan hari kesebelas (tanggal 9,
10, dan 11 Muharram). Bahkan, Abdullâh bin Umar sendiri tidak pernah
berpuasa pada hari tersebut kecuali ia sendiri sedang berpuasa pada hari
biasanya ia berpuasa tanpa mengkhususkan (ta’yîn) hari âsyûrâ’ atau pun
tâsû’â.104
Dan Ibn Umar memandang makruh bagi seseorang yang dengan
sengaja berniat berpuasa hanya pada hari tersebut.105
Sedangkan Abû al-Laits
al-Samarqandî (310-395 H), sebagaimana dikutip al-„Ainî (w.855 H),
meyakini bahwa hari âsyûrâ’ adalah malam kesebelas (al-lailah al-hâdiya
‘asyara).106
Muhammad Anwarsyah al-Kasymîrî menyatakan bahwa yang disebut
dengan puasa hari Âsyûrâ’ adalah puasa yang dilakukan pada hari
kesembilan (tasû’â) digabungkan dengan hari yang kesepuluh (al-‘âsyir),
bukan hari kesembilan adalah hari Âsyûrâ’. Baginya, derajat atau kedudukan
yang paling utama dalam melakukan puasa Âsyûrâ’ adalah melakukan pada
hari kesembilan dan sesudahnya (kesembilan dan kesebelas, qablahu wa
ba’dahu), yakni hari kesembilan, kesepuluh dan kesebelas. Kedudukan
102
Mûsâ Syâhîn Lâsyîn, Fath al-Mun’im Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-4, hal. 591.
Lihat juga, Muhammad bin „Alî bin Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Auṭâr Syarh Muntaqâ
al-Akhbar Min Ahâdîts Sayyid al-Akhyâr, juz ke-4, hal. 259 103
Muhammad bin „Alî bin Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Auṭâr Syarh Muntaqâ
al-Akhbar Min Ahâdîts Sayyid al-Akhyâr, juz ke-4, hal. 259 104
Badr al-Dîn Abî Muhammad Mahmûd al-„Ainî, ‘Umdah al-Qârî Syarh Ṣahîh al-
Bukhârî, juz ke-11, hal. 119 105
Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣâbî, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id
Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-4, hal. 79 106
Badr al-Dîn Abî Muhammad Mahmûd al-„Ainî, ‘Umdah al-Qârî Syarh Ṣahîh al-
Bukhârî, juz ke-11, hal. 117
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 182 ]
setelahnya (yang lebih rendah) adalah pelaksanaan hari kesembilan yang
digabungkan dengan hari kesepuluh atau sebaliknya yaitu hari kesepuluh
yang digabungkan dengan hari kesebelas. Kemudian derajat atau kedudukan
yang lebih rendah lagi adalah pelaksanaan puasa yang dilakukan hanya satu
hari di hari kesepuluhnya. Sedangkan yang hanya melakukan puasa pada hari
kesepuluh atau secara tersendiri (tidak digabungkan dengan hari sebelum
atau sesudahnya) dihukumi makruh. Menurutnya, hal ini dibuktikan dengan
adanya statement Rasûlullâh saw yang berniat atau bercita-cita akan
melakukan pada hari kesembilannya, meski umur beliau tidak sampai pada
keinginan yang dimaksud.107
Namun ketika memahami statement Nabi saw yang menyatakan :
khâlifû al-Yahûd, tidak banyak ulama yang memberikan ragam komentar
terkait hal itu. Al-Syaukânî, misalnya, ia hanya menyatakan bahwa maksud
membedakan atau menyelisihi Yahudi adalah merupakan bentuk
kekhawatiran atau kehati-hatian terhadap kesamaan atau keserupaan
(tasyabbuh) dengan agama Yahudi.108
Dan menurut al-Syâfi‟î (w.204 H)
statement Ibn „Abbâs tersebut memberikan dua maksud : pertama, supaya
tidak sampai ada kesesuaian waktu atau bebarengan (muwâfaqah) dengan
waktu pelaksanaannya jika dilakukan secara tersendiri (fî ifrâdihi), yakni
hanya pada tanggal sepuluhnya. Kedua, tidak hanya sebagai bentuk kehati-
hatian (ihtiyâṭ) saja, tetapi mempertimbangkan faktor tidak menentunya
cuaca atau kondisi, yang mana kondisi hilal terkadang dalam keadaan
tertutup awan dalam proses ru’yah al-hilâl.109
Sedikit berbeda pendapat dengan al-Syâfi‟î (w.204 H), Ahmad bin
Hanbal (164-241 H), sebagaimana dikutip Ibn Qudâmah (w.629 H)
menyatakan bahwa jika ragu dalam menetapkan awal bulan, maka puasa
Âsyûrâ’ bisa dilakukan tiga hari sebab hal tersebut akan meyakinkan puasa
107
Muhammad Anwarsyah bin Mu‟ẓamsyah al-Kasymîrî, al-‘Urf al-Syadzî Syarh
Sunan al-Tirmidzî, juz ke-2, hal. 177 108
Muhammad bin „Alî bin Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Auṭâr Syarh Muntaqâ
al-Akhbar Min Ahâdîts Sayyid al-Akhyâr, juz ke-4, hal. 258. Lihat juga, Ahmad bin „Alî bin
Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî ‘Abdillâh Muhammad bin
Ismâ’îl al-Bukhârî, juz ke-4, hal. 245 109
Ibn al-Atsîr Majd al-Dîn Abî al-Sa‟âdât al-Mubârak bin Muhammad bin „Abd al-
Karîm al-Jazrî, al-Syâfî fî Syarh Musnad al-Syâfi’î, juz ke-3, hal. 246
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 183 ]
hari yang kesembilan dan kesepuluh (fa in isytabaha ‘alaih awwal al-syahr,
ṣâma tsalâtsah ayyâm. Wa innamâ yaf’alu dzâlik liyatayaqqana ṣaum al-
tâsi’ wa al-‘âsyir).110
Oleh karena itu, Qâḍî „Iyâḍ (w.544 H) dalam pendapat lainnya,
secara ṣarîh menetapkan untuk mengkompromikan (al-jam’) kedua riwayat
tersebut, yakni antara riwayat yang menyatakan puasa âsyûrâ’ dan yang
menyatakan al-tâsû’â. Baginya, kedua riwayat tersebut memberikan
pengertian bahwa supaya tidak tasyabbuh dengan umat yahudi dan
membedakan dari mereka ; dan sebagai bentuk kehati-hatian, maka berpuasa
pada hari sebelumnya.111
Lebih lanjut, Qâḍî „Iyâḍ menjelaskan, sebagaimana
ia mengutip al-Khaṭṭâbî, bahwa maksud dari kedua ungkapan Nabi saw
adalah bahwa beliau saw memberikan petunjuk dan anjuran untuk dapat
melakukan puasa yang dimaksud oleh kedua riwayat di atas, di waktu-waktu
yang utama (li auqât al-faḍl) sesuai dengan petunjuk dan arahan langsung
dari beliau saw, yaitu tanggal sembilan atau sepuluhnya supaya tidak terlupa
ketika waktunya tiba secara tidak terduga (muṣâdafah waqtih).112
Hal ini sebagaimana diyakini Ibn „Abbâs bahwa Rasûlullâh saw
sendiri bermaksud menetapkan dan menentukan (hal itu) berdasarkan
kehendaknya sendiri (muzmi’an ‘alâ fi’lih),113
sebagaimana al-Nawawî
menyebutnya dengan : “berdasarkan ijtihad beliau saw sendiri”.114
Dari paparan tersebut di atas, penulis menggarisbawahi dua hal
sebagaimana menjadi fokus pembahasan dalam penulisan ini, yaitu :
terminologi al-tâsi’ atau al-tâsû’â dan statement : menyelisihi Yahudi,
sebagai berikut:
110
Ibn Qudâmah al-Maqdisî al-Jammâ‟îlî al-Dimasyqî al-Ṣâlihî al-Hanbalî, al-
Mughnî, juz ke-4, hal. 441 111
Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣâbî, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id
Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-4, hal. 85 112
Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣâbî, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id
Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-4, hal. 90 113
Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣâbî, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id
Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-4, hal. 86 114
Muhy al-Dîn Yahyâ bin Syaraf bin Murrî bin Hasan bin Husain bin Hizâm al-
Nawawî, Ṣahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, juz ke-8, hal. 11
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 184 ]
Pertama, terdapat banyak perbedaan pendapat ulama dalam
memahami tentang âsyûrâ’. Dari perbedaan pendapat tersebut terhimpun ke
dalam pemahaman-pemahaman di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Terminologi âsyûrâ’ asli muncul dari Islam.
2. Terminologi âsyûrâ’ bukan berasal dari terminologi Islam, melainkan
dari bahasa „Ibrânî yang kemudian digunakan secara turun temurun
hingga telah lazim di dalam masyarakat Arab, terutama di kalangan
umat Islam awal.
3. Secara ẓâhir, pengertian âsyûrâ’ adalah hari kesepuluh dari bulan
Muharram.
4. Pengertian âsyûrâ’ dipahami oleh para ulama dengan : hari kesembilan,
kesepuluh, dan kesebelas.
5. Penyebutan al-tâsi’ bermakna keinginan untuk mengalihkan atau
mengganti puasa pada hari kesepuluh (al-‘âsyir) berada pada hari
kesembilan (al-tâsi’).
6. Penyebutan al-tâsi’ bermakna keinginan untuk menggabungkan hari
kesembilan dengan hari kesepuluh
7. Hukum menjalankan puasa âsyûrâ’ bagi umat terdahulu adalah wajib.
8. Hukum menjalankan puasa âsyûrâ’ bagi umat Islam setelah turun
kewajiban Ramaḍân adalah sunnah.
9. Hukum menjalankan puasa âsyûrâ’ bagi umat terdahulu adalah sunnah,
dan mustahab (anjuran) bagi umat Islam.
10. Puasa âsyûrâ’ bukan merupakan kesunnahan sebagaimana dilakukan
sahabat Ibn Umar. Bahkan dihukumi makruh bagi yang mengkhususkan
berpuasa pada hari tersebut.
11. Pelaksanaan puasa pada tanggal 9 atau 11 tidak hanya sebagai bentuk
kehati-hatian (ihtiyâṭ) saja, tetapi mempertimbangkan faktor tidak
menentunya cuaca atau kondisi, yang mana kondisi hilal terkadang
dalam keadaan tertutup awan dalam proses ru’yah al-hilâl.
12. Untuk meyakinkan (tayaqqun) dalam pelaksanaan, puasa âsyûrâ’
dilakukan selama tiga hari.
Kedua, statement nabi Muhammad saw yang menyatakan bahwa
beliau saw melakukan puasa pada hari yang kesembilan (al-tâsi’) supaya
bisa menyelisihi Yahudi (khâlifû al-Yahûd); supaya tidak menyamai
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 185 ]
(tasyabbuh) syari‟at Yahudi. Hal ini memunculkan pertanyaan, mengapa
harus menyelisihi mereka, padahal syari‟at mereka sudah jelas-jelas berbeda,
baik aqidah maupun cara mereka berpuasa?115
Padahal puasa Âsyûrâ‟ adalah
mengikuti nabi Mûsâ, as yang notabene adalah seaqidah dengan Rasûlullâh
saw.
Dengan demikian, penulis lebih cenderung dengan pendapat paling
masyhur yang dikemukakan oleh al-Imâm al-Syâfi‟i (w.204 H), sebagaimana
dikutip al-„Ainî (w.855 H), yang mengatakan bahwa baik puasa âsyûrâ’,
puasa tasû’â atau pun pada tanggal 11-nya (al-hâdiya ‘asyara) hanyalah
kesunnahan di mana awal mula puasa tersebut disyari‟atkan kepada umatnya
(sebelum Islam). Namun, tatkala turun kewajiban puasa Ramaḍân,
kedudukannya hanya sebatas anjuran saja (mustahab)116
atau pun seperti
halnya kesunnahan hari-hari lainnya dalam ibadah puasa yang memang tidak
diwajibkan oleh Allâh SWT.117
Hal ini menambah keyakinan penulis bahwa penyebutan “ṣumnâ al-
yaum al-tâsi’” atau “ṣûmû al-tâsi’a wa al-‘âsyira wa khâlifû al-yahûd”
adalah bagian dari ijtihad Nabi Muhammad saw, sebagaimana juga diperkuat
dalam riwayat Ibn Mâjah, yang menyatakan bahwa nabi Muhammad saw
akan melakukan puasa pada hari sebelumnya disebabkan karena beliau saw
khawatir akan melewatkan hari Âsyûrâ‟ (makhâfatan an yafûtahu
115
Pertanyaan serupa pernah dilontarkan oleh al-Idlibî ketika mengomentari riwayat
tentang puasanya nabi Nuh, as dan puasanya Rasûlullâh saw. Lihat lebih jauh, Ṣalâh al-Dîn
bin Ahmad al-Idlibî, Manhaj Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulamâ al-Hadîts al-Nabawî, (Beirût :
Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, 1403 H/1983 M), hal. 306 116
Menurut sebagian ulama ahli uṣûl, pengertian terminologi mustahab, sunnah, al-
nafl atau pun muraghghab fîh adalah sama (mutarâdif). Sedangkan menurut Zakariyyâ al-
Anṣârî, mustahab adalah perbuatan yang dikerjakan oleh Rasûlullâh saw satu atau dua kali
dan atau belum dikerjakan sama sekali. Perbedaan makna masing-masing, Lihat lebih jauh,
Abî Yahyâ Zakariyyâ al-Anṣârî al-Syâfi‟î, Ghâyah al-Wuṣûl Syarh Lubb al-Wuṣûl, (Mesir :
Dâr al-Kutub al-„Arabiyyah al-Kubrâ, tth.), hal. 11. Lihat Badr al-Dîn Abî Muhammad
Mahmûd al-„Ainî, ‘Umdah al-Qârî Syarh Ṣahîh al-Bukhârî, juz ke-11, hal. 118 117
Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣâbî, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id
Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-4, hal. 86
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 186 ]
Âsyûrâ’)118
, sebagaimana juga diduga oleh al-Nawawî (w.676 H) dalam
kitabnya, al-Minhâj.119
Di samping itu, ibadah puasa merupakan amaliyah kebaikan bagi
manusia itu sendiri dan bisa dilakukan pada hari dan waktu-waktu yang baik,
sehingga dalam kehidupan Abdullâh bin Umar tidak berpuasa pada hari
tersebut kecuali ia sendiri sedang berpuasa pada hari biasanya ia berpuasa
tanpa mengkhususkan (ta’yîn) hari âsyûrâ’ atau pun tâsû’â.120
Bahkan, pada
masa jahiliyah, menurut al-Syaukânî (w.1250 H) sebagaimana pula ia
mengutip Ibn Hajar al-„Asqalânî (773-852 H), mereka melaksanakan puasa
tersebut tanpa menyebutkan atau tidak lazim dengan menyebutkan nama
âsyûrâ’ (wa lâkinna ṣaumahum lâ yastalzim an yakûn musammâ ‘indahum
bi dzâlik al-ism).121
Rasûlullâh saw sendiri sama sekali tidak bermaksud
mengikuti mereka (Yahudi), sebab sebelum Nabi saw mengetahui mereka
berpuasa, beliau saw sedang atau telah berpuasa. Pendapat inilah yang
dipegang diantaranya oleh al-Qurṭubî dan al-Syaukânî.
Oleh karena itu, hemat penulis, jika dirunut ungkapan dalam riwayat
tersebut akan menjadi pernyataan yang mengungkapkan bahwa nabi
Muhammad saw suatu ketika mendatangi (bukan hijrah) kota Madinah
dalam kadaan sedang berpuasa sunnah, sebagaimana biasa dilakukan dalam
kesehariannya. Namun di tengah-tengah perkampungan, beliau saw
menyaksikan sebagian warga Yahudi di Madinah terlihat sedang berpuasa.
Ditanya terkait alasan mereka berpuasa adalah disebabkan oleh waktu yang
bertepatan dengan hari di mana nabi Mûsâ, as mensyukuri (dengan cara
berpuasa) atas anugerah diselamatkannya oleh Allâh SWT.
118
Abi „Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwînî (207-275 H), Sunan Ibn Mâjah,
juz ke-, hal. 552 119
Muhy al-Dîn Yahyâ bin Syaraf bin Murrî bin Hasan bin Husain bin Hizâm al-
Nawawî, Ṣahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, juz ke-8, hal. 11 120
Badr al-Dîn Abî Muhammad Mahmûd al-„Ainî, ‘Umdah al-Qârî Syarh Ṣahîh al-
Bukhârî, juz ke-11, hal. 119 121
Muhammad bin „Alî bin Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Auṭâr Syarh Muntaqâ
al-Akhbar Min Ahâdîts Sayyid al-Akhyâr, juz ke-4, hal. 256. Lihat juga, Ahmad bin „Alî bin
Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî ‘Abdillâh Muhammad bin
Ismâ’îl al-Bukhârî, juz ke-4, hal. 248
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 187 ]
Melihat jawaban mereka seperti itu, ditanggapi oleh Rasûlullâh saw
seolah-olah beliau menjawab : “Jika mereka berpuasa atas dasar rasa syukur
Mûsâ kepada Tuhannya, maka, semestinya kami yang seakidah, lebih berhak
untuk mengungkapkan rasa syukur tersebut dari pada kalian. Oleh sebab itu,
aku anjurkan kepada kalian (para sahabat) untuk melakukan puasa itu, dan
jika kelak umurku sampai tahun depan, aku akan melakukan puasa pada hari
sebelumnya atau sesudahnya, karena aku khawatir akan melewatkan hari
Âsyûrâ‟ tersebut.122
Dengan demikian, dalam pembahasan ini, penulis berasumsi bahwa
boleh jadi motif atau burhân yang melatarbelakangi diurungkannya
keinginan Nabi Muhammad saw, penulis sependapat dengan analisa al-
Nawawî (w.676 H) dan al-Kasymirî, adalah besar kemungkinan ketika Nabi
Muhammad saw berkunjung ke Madinah, beliau sedang berpuasa seperti
biasanya beliau lakukan dalam kesehariannya yang memang sering berpuasa.
Lalu mendengar alasan kaum Yahudi yang berpuasa ‘âsyûrâ’ (sesuai dengan
penanggalan mereka) karena memperingati nabi Mûsâ, lantas Nabi saw
langsung seolah-olah berujar : “(jika kalian berpuasa karena alasan seperti
itu), sebenarnya kami yang lebih berhak melakukannya, sebab saya adalah
pewarisnya. Maka untuk membedakan ‘âsyûrâ’ mereka (kaum Yahudi)
dengan ‘âsyûrâ’ umat Islam, Rasûlullâh saw menyampaikan kepada para
sahabatnya untuk melakukannya pada tanggal 9 Muharram sebagai bagian
murni ijtihad beliau saw, sebagaimana dirasakan pula oleh al-Nawawî
(w.676 H).
IV. Hadis Hammî Keempat
1. Sejarah Singkat Renovasi Kabah Masa Nabi Ibrahim, Quraisyi Dan
Masa Al-Zubair
Imam al-Nawawî (w.676 H), sebagaimana dikutip Mûsâ Syâhîn,
mencatat bahwa sepanjang sejarah kemanusiaan, Ka‟bah pernah mengalami
lima kali perubahan dalam konstruksinya. Pertama, disebutkan bahwa
Ka‟bah pertama kali dibangun oleh Malaikat, sebelum nabi Adam, as tanpa
122
Abi „Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwînî (207-275 H), Sunan Ibn
Mâjah, juz ke-, hal. 552
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 188 ]
ada catatan sejarah yang mengabadikan bentuk dan gambaran dari Ka‟bah itu
sendiri.123
Kedua, Nabi Ibrâhîm bersama puteranya membangun kembali
Ka‟bah dengan bentuk persegi panjang dan Hijr Ismâ‟îl termasuk bagian di
dalamnya. Ketiga, setelah mengalami kerusakan akibat banjir, Ka‟bah
dibangun kembali oleh Quraisy pada masa jahiliyyah, dan ketika itu Rasul
saw ikut andil di dalamnya sekitar umur 35 tahun, sebelum kenabian.
Keempat, renovasi berlangsung kembali pada masa Ibn al-Zubair. Kelima,
Ka‟bah diperbaiki kembali oleh al-Hajjâj pada masa kekhalifahan „Abd al-
Malik bin Marwân, dan bentuk konstruksinya tidak berubah hingga
sekarang.124
Menurut makna redaksi dalam riwayat tersebut pada bab sebelumnya,
Rasûlullâh saw tidak sepenuhnya menerima hasil perbaikan yang telah
dilakukan oleh kalangan Quraisy. Oleh karena itu, untuk melihat perbedaan
periode perbaikan masing-masing, penulis perlu mengemukakan di sini,
paling tidak, tiga periode tersebut, sebagaimana disebutkan dalam redaksi
hadis, tanpa menyebutkan secara rinci aspek kesejarahan lainnya, sebagai
berikut :
Pertama, berdasarkan catatan al-Kharbuṭlî, Nabi Ibrâhîm dan
puteranya, Ismâ‟îl, as membangun Ka‟bah tanpa memiliki atap dan
membuka dua pintu dari arah yang sama, sejajar dengan tanah tanpa daun
pintu yang menutup. Keduanya telah meninggikan Ka‟bah atas perintah
Allâh SWT dengan tinggi 9 hasta ( + 4,5 m), panjang dari utara hingga ke
selatan (sisi timur) adalah 32 hasta ( +16 m). Sedangkan panjang dari utara
hingga ke selatan (sisi barat) adalah 31 hasta (+15.5 m). Adapun panjang
dari timur ke barat melalui sisi selatan atau dari arah Hajar Aswad ke arah
Rukun Yamani adalah 20 hasta (+10 m). Sedangkan panjang dari timur ke
barat melalui sisi utara atau dari arah Hijr Ismâ‟îl adalah 22 hasta (+11 m).
Pada bagian utara dibangun semacam rangka kayu yang diperuntukkan
sebagai kandang kambing Ismâ‟îl, yang disebut dengan Hijr Ismâ‟îl. Nabi
Ibrâhîm dan Ismâ‟îl, as juga membuat dua pintu yang sejajar dari arah yang
123
Menurut al-Kharbuṭlî, riwayat terkait pembangunan pertama oleh malaikat atau
sebelum Nabi Adam, as tidak memiliki dasar yang kuat. Lihat, „Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-
Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, (Kairo : Dâr al-Ma‟ârif, tth.), cetakan ke-2, hal. 7
124Mûsâ Syâhîn Lâsyîn, Fath al-Mun’im Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-5, hal. 378
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 189 ]
berbeda hingga menyentuh tanah. Pintu pertama berada di sebelah timur,
dekat Hajar Aswad, dan pintu kedua berada di sebelah barat, dekat rukun
Yamanî.125
Kedua, periode Quraisy. Menurut catatan sejarah, lima tahun sebelum
kenabian Mekkah mengalami banjir besar sehingga konstruk Ka‟bah
mengalami beberapa kerusakan dan banyak bagian yang memang telah
termakan usia (rapuh), yang mengharuskan dilakukannya perbaikan. Namun,
pihak Quraisy sendiri dihinggapi rasa bimbang antara memperbaiki atau
membiarkan Ka‟bah dalam keadaan apa adanya, di samping keadaan
ekonomi mereka yang dilanda kesulitan. Bahkan banyak pula di kalangan
mereka yang tidak berani mengotak-atik keadaan Ka‟bah disebabkan
keyakinan mereka akan „kesakralan‟-nya.126
Melihat keadaan Ka‟bah yang semakin memprihatinkan, memaksa
kaum Quraisy untuk memperbaikinya. Selesai diruntuhkan, Ka‟bah dibangun
kembali dan di antara perubahan dalam konstruk Ka‟bah adalah
ditinggikannya pintu Ka‟bah setinggi badan orang dewasa127
, dengan
maksud untuk menghindari adanya pencurian barang-barang persembahan
yang berharga yang tersimpan dalam Ka‟bah128
sebagaimana yang telah
terjadi sebelumnya.
Dengan kondisi ekonomi yang memperihatinkan, kaum Quraisy
kehabisan dana dari penghasilan yang baik, mereka menyisakan atau
mengurangi pembangunan pada bagian utara kira-kira 6 hasta lebih sejengkal
(3 meter lebih sedikit), yang kemudian disebut dengan nama al-Hijr atau al-
Hâtim. Ketinggian Ka‟bah mencapai 15 hasta129
yang disangga oleh 6 tiang
penyangga. Ada juga pendapat yang mengatakan tingginya hingga 19 hasta
125
„Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, hal. 22 126
„Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, hal. 68 127
„Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, hal. 70 128
Tempat tersebut berupa galian dalam Ka‟bah yang dibuat oleh Nabi Ibrahim, as
yang berfungsi sebagai tempat atau gudang penyimpanan semua harta nadzar. Dan pada
masa-masa selanjutnya, banyak kalangan yang memberikan sesembahan berupa emas dan
barang-barang berharga lainnya. Lihat, „Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-
‘Uṣûr, hal. 22 129
„Ali al-Kharbuṭlî menyebutkan 18 hasta. Lihat, „Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-
Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, hal. 71
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 190 ]
(9 meter). Mereka juga membuat atap dan membuat pancuran atap dari kayu
dengan bentuk Pintu yang berada di sebelah barat mereka tutup dan
meninggikan pintu sebelah timur setinggi kira-kira dua meter untuk
mencegah pihak-pihak yang tidak dikehendaki keluar masuk Ka‟bah.130
Ketiga, konflik politis antara „Abdullâh bin al-Zubair dan pasukan
utusan dari Yazîd bin Mu‟âwiyyah pada tahun 64 H/683 M menyebabkan
banyak bagian-bagian Ka‟bah mengalami kerusakan. Ibn al-Zubair
bermaksud untuk memperbaiki dan mengembalikan berdasarkan atas
pondasi-pondasi Ibrâhîm, as sebagaimana telah menjadi cita-cita Rasûl saw.
Bahkan bermaksud membangunnya dengan bangunan yang lebih indah.
Untuk mewujudkan hal tersebut, Ibn al-Zubair mendatangkan batu-batu
berwarna (mozaik, fusaifusâ’) dan sebagian bahan-bahan lainnya dari
Ṣana’â’, yang konon dahulu digunakan juga oleh Abrâhah untuk
membangun gereja yang dijadikan sebagai „saingan‟ dari Ka‟bah.131
Namun niat dan maksud yang menurutnya baik, justru mendapat
kecaman dari sebagian kaum muslimin, terlebih Ibn al-Zubair dinilai banyak
melakukan perubahan-perubahan dalam proses pembangunan Ka‟bah. Di
antara perubahan-perubahan yang dilakukannya adalah menambah
ketinggian Ka‟bah menjadi 27 hasta yang sebelumnya hanya 9 hasta, pintu
Ka‟bah dibuat menjadi 2 bagian, sebagaimana pengakuan Ibn al-Zubair yang
teringat dengan keinginan Nabi Muhammad saw dan hanya berharap rida
Allâh SWT.132
Selain itu, Ibn al-Zubair juga memberi aroma wewangian yang sangat
kuat pada bangunan Ka‟bah ; membuatkan kain penutup Ka‟bah dari bahan
sutera yang sebelumnya dari bahan wol.133
Ibn al-Zubair pun membangunnya
130
Ṣafî al-Rahmân al-Mubârakfûrî, al-Rahîq al-Makhtûm Bahts Fî al-Sîrah al-
Nabawiyyah ‘Alâ Ṣâhibihâ Afḍal al-Ṣalâh wa al-Salâm, hal. 52. Lihat juga, „Alî Husnî al-
Kharbuṭlî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, hal. 71 131
„Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, hal. 97 132
Diakui sejarahwan al-Mas‟ûdî dan al-‟Umarî bahwa upaya yang dilakukan Ibn
al-Zubair telah sesuai dengan keinginan Rasûlullâh saw yang tertunda, bahkan sebelum
melakukan pembongkaran, hal tersebut telah disaksikan oleh tujuh puluh tokoh Quraisy
setelah melalui musyawarah. Di antara sahabat yang tidak sejalan dengan langkah yang
diambil al-Zubair adalah „Abdullâh bin „Abbâs. Lihat, „Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-Ka’bah
‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, hal. 98 133
„Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, hal. 98
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 191 ]
dengan menambahkan 5 hasta ke Hijr Ismâ‟îl (memasukkan Hijr Ismâ‟îl ke
dalam Ka‟bah),134
ia juga menambahkan 10 hasta panjang Ka‟bah, yang
sebelumnya 18 hasta, kemudian membuka pintu masuk dan pintu keluar
serta menjadikan keduanya rata dengan tanah.135
Namun, ketika ia dibunuh
pada masa khalifah Malik bin Marwân, Ka‟bah dibongkar kembali, terutama
pada bagian yang ia tambahkan terhadap Hijr Ismâ‟îl tersebut, dan kedua
pintu itu ditutup kembali.136
Keempat, periode al-Hajjâj bin Yûsuf al-Tsaqafî. Pada periode ini,
konflik lanjutan antara „Abdullâh bin al-Zubair dan Bani Umayyah di bawah
kepemimpinan khalifah Malik bin Marwân, menyebabkan Ka‟bah kembali
rusak di banyak bagian dan sisinya dan di masa ini pula, Ka‟bah mengalami
perombakan hingga dua kali yang dilakukan oleh satu tangan.137
Pada masa
ini, sesuai perintah khalifah, al-Hajjâj merubah kembali kondisinya seperti
masa sebelum al-Zubair (periode Quraisy). Ia membangun kembali Ka‟bah
seperti pada masa Rasûlullâh saw, kecuali tinggi Ka‟bah yang masih
dipertahankan dan menghancurkan seluruh tambahan yang dilakukan
„Abdullâh bin al-Zubair.
Perombakan tersebut menjadi penyesalan bagi khalifah „Abd al-
Malik bin Marwân setelah al-Hârits bin Abî Rabî‟ah menyampaikan hadis
dari „Âisyah tentang maksud dan tujuan yang telah dilakukan „Abdullâh bin
al-Zubair dalam membangun Ka‟bah adalah telah sesuai dengan keinginan
yang dicita-citakan oleh Rasûlullâh saw. Dengan rasa penyesalan,
perombakan kedua pun kembali dilakukan.
Dari paparan di atas, perbedaan secara prinsip dalam perubahan
konstruk Ka‟bah yang dilakukan al-Hajjâj adalah perubahan kembali pada
kedua pintu Ka‟bah sebagaimana kondisi yang telah dilakukan pada masa
Quraisy, yakni hanya satu pintu yang berada dekat dengan rukun Hajar
Aswad dan menutup pintu yang kedua serta memisahkan konstruk Ka‟bah
134
„Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, hal. 97 135
„Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, hal. 97 136
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisabûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-2, hal. 970 137
„Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, hal. 102
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 192 ]
dan Hijr Isma‟il sehingga Ka‟bah berbentuk kubus yang sebelumnya persegi
panjang.
2. Pemahaman-pemahaman Seputar Pembuatan Dua Pintu Ka’bah
Hadis tentang hamm Nabi saw membuat dua pintu pada kedua sisi
ka‟bah telah disinggung sebelumnya dan berakhir dengan keputusan umat
untuk menutup sisi lain dari pintu Ka‟bah. Dengan demikian, pintu Ka‟bah
hanya satu yaitu yang berada pada sisi kiri Rukun Hajar Aswad dan
Multazam.
Sesuai dengan riwayat-riwayat tersebut di atas, faktor yang
menyebabkan kaum Quraisy tidak dapat menyesuaikan konstruk Ka‟bah
adalah kondisi finansial atau kekurangan biaya yang sedang mereka alami,
sehingga tidak mampu untuk menyempurnakan bangunan sebagaimana
bentuk semula yang sesuai dengan pondasi-pondasi nabi Ibrâhîm, as.138
Menurut al-Fâkihî, sebagaimana dikutip Mûsâ Syâhîn, menuturkan
bahwa sebenarnya Rasûlullâh saw seolah-olah ingin mengutarakan kepada
kaum Quraisy bahwa di dalam Ka‟bah terdapat perbendaharaan yang cukup
untuk menopang kekurangan biaya pembangunan Ka‟bah sebesar 60 ûqiyyah
(kira-kira 1 ûqiyyah = 12 dirhâm = 28 gram emas). Namun maksud beliau
saw tersebut urung disampaikan untuk menjaga perasaan kaum Quraisy,
sebagaimana juga Rasûlullâh saw mendiamkan pembangunan Ka‟bah tidak
sesuai dengan pondasi Ibrâhîm, as. Di samping itu, lanjut al-Fâkihî,
penyebab Rasûlullâh saw tidak ingin mengutarakan maksudnya adalah
karena Ka‟bah bagian wakaf umat yang tidak diperkenankan untuk dirubah
oleh beliau saw kecuali oleh pemegang hak wakaf. Namun pendapat ini tidak
diterima oleh Ibn Hajar (773 H–852 H) sebagaimana dikutip Mûsâ Syâhîn,
sebab tidak bisa memberikan alasan yang jelas.139
Dengan kondisi seperti ini, Ka‟bah berbentuk kubus dan Hijr Ismâ‟îl
berada seperti di luar bangunan Ka‟bah. Namun, terkait masalah al-hijr atau
al-jadr telah ditetapkan oleh Rasûlullâh saw bahwa al-Hijr termasuk bagian
dari Bait (Ka‟bah), sesuai riwayat „Â‟isyah yang menanyakan tentang al-jadr
138
Muhy al-Dîn Yahyâ bin Syaraf bin Murrî bin Hasan bin Husain bin Hizâm al-
Nawawî, Ṣahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, juz ke-9, hal. 89 139
Mûsâ Syâhîn Lâsyîn, Fath al-Mun’im Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-5, hal. 374
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 193 ]
atau al-hijr kepada Rasûl saw.140
. Meskipun demikian masih terdapat
perbedaan pendapat ulama seputar permasalahan al-jadr atau al-hijr apakah
termasuk bagian dari Ka‟bah atau tidak, sebagian atau keseluruhannya.141
Hal tersebut tidak secara luas penulis kemukakan dalam penelitian ini untuk
lebih fokus kepada persoalan yang menjadi konsentrasi yang dijadikan inti
pembahasan dalam penelitian ini.
Melihat kondisi tersebut, ditambah kesan seolah meninggalkan
keinginan Rasûl saw, Ibn Baṭâl sebagaimana dikutip al-„Ainî (w.855 H),
menyatakan bahwa persoalan itu (terkait dengan riwayat-riwayat yang
tersebar) memberikan implikasi beberapa pemahaman, sebagai berikut :
Pertama, di dalam makna riwayat tersebut memberikan pemahaman
bahwa persoalan yang sederhana dari suatu kebajikan (al-ma’rûf) terkadang
akan dikesampingkan jika khawatir menimbulkan fitnah dari suatu kaum
yang akan mengingkari. Dalam hal ini, Nabi saw mengharuskan
meninggalkan ke-maṣlahat-an di satu sisi, yaitu pembangunan Ka‟bah yang
sesuai dengan pondasi sebelumnya dan seterusnya untuk menutup rapat-rapat
mafsadah yang akan muncul di sisi lain. Ketiga, menurut al-Nawawî (w.676
H), sebagaimana pula diungkap Ibn Hajar (773-852 H), dalam riwayat
tersebut Nabi saw memberikan pelajaran bahwa jika dihadapkan pada
kondisi yang berbeda, yaitu antara maṣlahah dan mafsadah yang keduanya
sulit untuk dikompromikan (ta’adzdzur al-jam’i), maka yang didahulukan
adalah hal atau perkara yang lebih krusial dan berdampak luas.142
Keempat,
memberikan pelajaran bagi seorang walî al-amr (pemerintah) diberikan
140
Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣâbî, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id
Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-4, hal. 427 141
Persoalan al-jadr atau al-hijr bagian dari Ka‟bah atau tidak, erat kaitannya
dengan sah-tidaknya dalam proses tawaf. Mayoritas ulama menyatakan bahwa tawaf yang
dilakukan di dalam al-hijr atau al-jadr dianggap tidak sah atau tidak sempurna, namun tetap
sah dan sempurna menurut Abî Hanîfah (80-148 H). Lihat, Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin
„Iyâḍ al-Yahṣâbî, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-4, hal.
427 142
Badr al-Dîn Abî Muhammad Mahmûd al-„Ainî, ‘Umdah al-Qârî Syarh Ṣahîh al-
Bukhârî, juz ke-2, hal. 204. Lihat juga, Ahmad bin „Alî bin Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bârî
bi Syarh Ṣahîh al-Imâm Abî ‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, juz ke-3, hal. 448.
Lihat juga, Muhy al-Dîn Yahyâ bin Syaraf bin Murrî bin Hasan bin Husain bin Hizâm al-
Nawawî, Ṣahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, juz ke-9, hal. 89
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 194 ]
kebijakan yang luas dalam masalah memberikan kemaslahatan dan
pengayoman kepada wilayah kekuasaannya serta mampu menjauhkan atau
menghindari hal-hal yang bisa menimbulkan maḍârat, di luar hal-hal yang
telah ditetapkan oleh syarî‟ah, seperti zakat dan pelaksanaan had.143
Selain itu, lanjut al-„Ainî (w.855 H), di dalam riwayat tersebut
menggambarkan karakter asli manusia yang mana dalam segala hal akan
mengatur dan memilih atau pun menghias benda yang dimiliki sesuai dengan
yang ia sukai144
, sehingga ketika Ibn al-Zubair merasa memiliki finansial dan
modal yang kuat untuk memperbaiki Ka‟bah, maka ia memberikan perhatian
yang terbaik dan material bangunan yang berkualitas terbaik untuk membuat
bangunan Ka‟bah seindah mungkin.145
Dari paparan tersebut di atas, penulis menggarisbawahi beberapa hal,
yang menurut hemat penulis, semua pertimbangan pemikiran atau pun
tindakan untuk memelihara Ka‟bah, baik kaum Quraisy, Rasûlullâh saw, Ibn
al-Zubair atau pun generasi selanjutnya, sama-sama merujuk kepada nilai-
nilai kemaslahatan dan kepentingan umum, sebagai berikut : pertama,
pertimbangan yang dilakukan kaum Quraisy, sebagaimana tersebut dalam
riwayat, adalah mempertimbangkan sisi keluhuran, yakni dengan
menetapkan sumber pembiayaan yang bersih, atau dari penghasilan yang
halal ; bukan dari hasil kotor seperti : hasil perjudian dan lain-lain. Bukan
hanya faktor kekurangan pembiayaan yang menyebabkan
ketidaksempurnaan konstruk Ka‟bah (qaṣarat ‘an tamâm binâihâ), selain itu,
terkait penutupan salah satu pintu Ka‟bah, kaum Quraisy
mempertimbangkan dari segi keamanan. Hal tersebut bisa dilihat dari awal
mula yang menjadi faktor utama diperbaikinya Ka‟bah. Terkait faktor-faktor
tersebut, al-Kharbuṭlî menulis :
143
Badr al-Dîn Abî Muhammad Mahmûd al-„Ainî, ‘Umdah al-Qârî Syarh Ṣahîh al-
Bukhârî, juz ke-2, hal. 204 144
Badr al-Dîn Abî Muhammad Mahmûd al-„Ainî, ‘Umdah al-Qârî Syarh Ṣahîh al-
Bukhârî, juz ke-2, hal. 204 145
Al-Mas‟ûdî, sebagaimana dikutip al-Kharbuṭlî, menggambarkan Ibn al-Zubair
mendatangkan batu-batu berwarna (al-fusaifisâ’) dari Ṣana‟a yang dahulu digunakan
Abrahah untuk membangun gereja Ṣana‟â‟. Ia juga membawa tiga tiang penuh warna
dengan ukiran sandrusi hingga orang-orang yang melihatnya menyangka bahwa tiang itu
terbuat dari emas. Lihat, „Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, hal. 97
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 195 ]
ض٤وح ك اد ن و رل بذ هو٣ ..." بذ ثل ؼجخ. كول و ا ٠ ا
وهخ ثؼ ا ػ٠ اهل , ان٣ ٤ب ب عؼب خ االهرلبع قل وق,
اه ب كب. ثب ك٠ ع ٣ؾزلظ ٤ اوو ب ؼجخ از٠ ى ا غ ؼجخ ر رلبع ا
األه ز ثبثب ث ب وق. ب ٣ زبه جؼخ ا ا امهع ا ؾ
ك, ك و ٤ت زبع ؽ٢ ه ن و٠ ك٤ب ابمه ٣ بء. زوغ ك٤لفب
٤ ل ثبثب ػ٠ ٣ ٢ ثئو ػ ه, م ن ل ضبثخ بذ ث ؼجخ از٠ ك٠ فياخ ا
"... اف ال“...selama bertahun-tahun kaum Quraisy memikirkan kondisi Ka‟bah
yang tidak beratap dan dindingnya rendah. Akibatnya, para pencuri
seringkali masuk dan mengambil barang-barang berharga dari hasil
persembahan kepada Ka‟bah yang diletakkan di dasar bagian
dalamnya. Ketika itu, tinggi Ka‟bah hanya 9 hasta (kira-kira 7 meter);
pintunya sejajar dengan tanah sehingga siapa pun bisa memasukinya.
Dahulu, orang-orang yang bernadzar bisa melemparkan benda
nadzarnya bisa berupa perhiasan, barang-barang berharga lainnya,
wewangian atau uang ke dalam sebuah tempat di bawah ka‟bah yang
berbentuk sumur di sebelah kanan pintu masuk Ka‟bah...”.146
Selain itu, hemat penulis, ada hal lain yang lebih relevan dalam
menjawab persoalan Ka‟bah selain kondisi fisik yang mengharuskan untuk
diperbaiki, yaitu ucapan Abû Khudzaifah al-Mughîrah, sebagaimana dikutip
al-Kharbuṭlî :
, ال٣لفب "....٣به , كب ث ؼجخ ؽز٠ ال٣لفب اؽل اال ا ثبة ا اهكؼ
بال به و ك ث ٤ز ه و ر عبء اؽل , كب اهكر ؽ٤ئن اال
٣وا..." “Wahai kaum Quraisy, tinggikanlah pintu Ka‟bah sehingga tidak ada
seorang pun yang bisa memasukinya kecuali dengan menggunakan
tangga.147
Dengan demikian, tidak ada yang bisa memasukinya
kecuali seseorang yang kalian kehendaki. Jika ada seseorang yang
146
„Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, hal. 67-68 147
Statemen ini sesuai dengan riwayat dalam Ṣahîh Muslim, sebagaimana diungkap
Mûsâ Syâhîn, yaitu sebab ditinggikannya pintu Ka‟bah supaya tidak bisa memasukinya
kecuali dengan tangga atau alat yang bisa mencapainya. Lihat, Mûsâ Syâhîn Lâsyîn, Fath
al-Mun’im Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-5, hal. 374
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 196 ]
tidak kalian sukai, lempari saja ia sampai terjatuh supaya (hal itu)
menjadi pelajaran dan peringatan bagi yang melihatnya...”.148
Kedua, pertimbangan Rasûlullâh saw, juga sangat beralasan, sebab
beliau saw secara genetik, harus meneruskan estafet kenabian dari
pendahulunya, nabi Ibrâhîm, as. Tentu, Rasûlullâh saw berharap apa yang
telah dibangun oleh Bapak para nabi (abû al-anbiyâ’) itu tetap utuh ; Ka‟bah
tidak berubah sedikit pun sebagai warisan sejarah dan simbol dari qiblah
agama monoteisme yang dibawanya dengan tetap mempertahankan “warisan
sejarah” generasi hunafâ’.149
Al-Kharbuṭlî mencatat, sebelum Islam hadir di
tengah-tengah masyarakat Mekkah, muncul beberapa kelompok, termasuk
Rasûlullâh saw, yang sangat berharap mengembalikan Ka‟bah menjadi
qiblah yang bersih dari berhala-berhala (takhlîṣ al-Ka’bah ‘an al-autsân)
sesuai dengan ajaran dan tujuan agama Ibrâhîm yang hanîf.150
Selain itu, sebagaimana sedikit disinggung di atas, Nabi saw harus
menetapkan untuk meninggalkan ke-maṣlahat-an di satu sisi, yaitu
pembangunan Ka‟bah yang sesuai dengan pondasi sebelumnya dan
seterusnya, untuk menutup rapat-rapat mafsadah yang akan muncul di sisi
lain, yaitu kekhawatiran kembalinya kekufuran masyarakat Quraisy,151
di
mana mereka meyakini sepenuhnya keagungan Ka‟bah tanpa merubahnya
kembali.152
Kekhawatiran Rasûlullâh saw ini terlihat dalam ucapannya : „jika
bukan karena kaummu yang baru saja meninggalkan kekufuran (hidtsân
qaumik bi al-kufr)…aku jadikan dua pintu, pintu timur dan pintu barat”.153
148
„Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, hal. 70 149
Di antara pengertian hanîf, al-hanîfiyyah, atau hunafâ’, menurut al-Kharbuṭlî
adalah orang-orang yang tetap berpegang teguh mengikuti agama ; ajaran yang dibawa nabi
Ibrâhîm, as. Mereka tidak menyembah berhala ; mereka tidak syirik. Mereka juga bukan
Yahudi atau pun Nasrani. Lihat, „Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr,
hal. 65 150
„Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, hal. 64, 151
Badr al-Dîn Abî Muhammad Mahmûd al-„Ainî, ‘Umdah al-Qârî Syarh Ṣahîh al-
Bukhârî, juz ke-2, hal. 204 152
Muhy al-Dîn Yahyâ bin Syaraf bin Murrî bin Hasan bin Husain bin Hizâm al-
Nawawî, Ṣahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, juz ke-9, hal. 89 153
Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Ṣahîh Muslim, juz
ke-2, hal. 969-970
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 197 ]
Ketiga, pertimbangan „Abdullâh bin al-Zubair sebagai pemimpin,
tokoh masyarakat, plus generasi yang masih tergolong sangat dekat dengan
masa kenabian berharap bisa merealisasikan cita-cita sang Pemimpin besar
umat manusia. Ditambah, Ibn al-Zubair menyaksikan perlakuan para sahabat
Rasûlullâh saw serta pemimpin dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya yang
begitu mengistimewakan dan sangat memperhatikan Ka‟bah. Dalam hal ini,
dualisme muncul dalam diri Ibn al-Zubair, yakni antara merealisasikan
keinginan Rasûlullâh saw terhadap Ka‟bah dan keinginannya untuk
memperbaiki secara keseluruhan (sempurna), sebagaimana ucapannya:
“Sekiranya rumah kalian terbakar, tentu tidak akan rela kecuali akan
diperbaiki dengan sempurna” (law anna baita ahadikum ihtaraqa lam yarḍa
lahu illâ bi akmal iṣlâh)”154
, bagaimana pula (sikap kalian) jika terjadi
dengan rumah Tuhan kalian sendiri?155
Perombakan ini terus berlangsung sehingga ketika khalifah Hârûn al-
Rasyîd berkeinginan untuk mengembalikan kondisi Ka‟bah sebagaimana
yang dikehendaki Ibn al-Zubair atau Rasûlullâh saw, Imâm Mâlik bin Anas
memberikan saran kepadanya :
لري هللا ٣ب ى...ب ؼجخ ٤و ٣ ٠ ا ٤ل : أف و أ بي ث هب
بء أؽل اال ى ال٣ ج٤ذ ؼجخ نا ا ال رغؼ أ ٤ ئ ٤و ا ثب أ و
ه اب ل .كزنت ٤جز
“Aku khawatir akan menjadi bahan permainan bagi para
penguasa156
...(dengan tegas) Aku menghimbau kepadamu, wahai Amîr
al-Mu‟minîn untuk tidak menjadikan Rumah Allâh (Ka‟bah) ini
sebagai permainan para raja sehingga mudah sekali bagi mereka untuk
154
„Alî Husnî al-Kharbuṭlî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, hal. 97. Lihat juga, Ibn
al-„Arabî al-Mâlikî (435-542 H), ‘Âriḍah al-Ahwadzî bi Syarh Ṣahîh al-Tirmidzî, juz ke-4,
hal. 106 155
Ibn al-„Arabî al-Mâlikî (435-542 H), ‘Âriḍah al-Ahwadzî bi Syarh Ṣahîh al-
Tirmidzî, juz ke-4, hal. 106 156
Ahmad bin „Alî bin Hajar al-„Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-Imâm
Abî ‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, juz ke-3, hal. 448
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 198 ]
menghancurkan kemudian membangunnya kembali. (Jika ini
dibiarkan) akan hilanglah kehebatannya di hati umat manusia...”.157
Dengan demikian, boleh dikata, motif atau al-burhân yang
melatarbelakangi diurungkannya keinginan Nabi Muhammad saw adalah
terkait pertaruhan yang sangat prinsip antara maṣlahah dan keberlangsungan
dakwah Islam. Jika Nabi saw lebih memilih maṣlahah, boleh jadi dakwah
Islam yang dimulai dari kota kelahiran beliau saw sendiri akan gagal dan
tidak menutup kemungkinan dakwah selanjutnya, Islam tidak bisa
diperkenalkan di dunia lain. Sungguh ini pelajaran sangat berharga dari
Baginda nabi besar Muhammad saw.
157
Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin „Iyâḍ al-Yahṣâbî, Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id
Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, juz ke-4, hal. 428
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 199 ]
Bab Lima
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan-pembahasan di atas, penelitian ini menyimpulkan
hal-hal sebagai berikut:
Pertama, berdasarkan data-data yang didapat, penulis melakukan
generalisasi berdasarkan pendapat ulama yang menetapkan validitas atau
kesahihan dan kehujjahan hadis-hadis hammî. Kedua, adanya relasi teologis
kemaksuman nabi Muhammad saw dengan hadis-hadis hammî. Relasi
teologis tersebut erat hubungannya dengan pendirian atau pun pandangan
umat (ulama) terhadap bagaimana memahami kemaksuman.
Secara garis besar, sebagian ulama menyatakan bahwa iṣmah akan
tetap ada pada diri seluruh para nabi atau rasul. Mereka ma’ṣûm dari setiap
dosa, baik dosa besar atau pun dosa kecil ; baik dilakukan dengan sengaja
atau pun karena lupa dalam menetapkan terkait berbagai hukum syari‟ah.
Kemaksuman mereka berlaku secara mutlak, baik sebelum nubuwwah
maupun setelahnya, bahkan semenjak mereka dilahirkan. Sebagian lainnya
menyatakan bahwa iṣmah muncul untuk membuktikan bahwa apa yang
dilakukan para nabi bukanlah sebuah tindakan dosa, tapi hanyalah bentuk
kekeliruan yang langsung dibersihkan atau dikoreksi oleh Allâh SWT
sebagai jaminan-Nya bagi kesucian mereka. Kemaksuman dalam pandangan
ini diyakini sebagai taufik dan perlindungan yang datang dari Allâh SWT,
yang mengantarkan atau mengarahkan nabi-Nya dalam perbuatan baik
(kebaikan); dan menghalaunya dari keburukan.
Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pendirian dan pandangan
teologis tersebut berdampak pada pemahaman para ulama terhadap hadis-
hadis hammî. Ulama yang berpendirian bahwa kemaksuman berlaku dari
semenjak lahir akan menegasikan riwayat-riwayat hammî sebab tidak ada
unsur ittibâ’ di dalamnya, paling tidak, akan menetapkan riwayat tersebut
sebagai mansûkh. Terhadap ulama yang berpendirian kemaksuman sebagai
bentuk koreksi, menjumpai motif dan burhân yang menjadi faktor
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 200 ]
diurungkannya keinginan-keinginan Rasûlullâh saw tersebut. Namun
berdasarkan hasil penelitian selanjutnya ternyata muncul upaya yang tidak
masuk ke dalam pendirian pertama maupun yang kedua, yaitu ulama lebih
memilih untuk menempuh upaya lain dalam memahami hadis-hadis hammî,
yakni kelompok yang mengambil jalan tengah di antara dua kelompok
tersebut di atas.
B. Saran
Dari penelitian yang telah dilakukan, peneliti banyak menemukan
khazanah dan wawasan keilmuan serta tradisi pemikiran Islam yang sangat
luas terkait hadis yang diangkat di sini. Peneliti meyakini bahwa dengan nilai
obyektivitas yang murni tanpa tendensi miring, komprehensif serta efisien,
suatu riwayat dapat ditangkap pemahaman yang berbeda, paling tidak,
menurut hemat penulis lebih mendekati kebenaran obyektif. Oleh karena itu,
kajian dan penelitian ini masih jauh dari sempurna dan masih bisa terus
untuk dikembangkan, diperdalam dengan berbagai metode dan objek kajian
yang relevan untuk diamati. Dan dari sini, peneliti ingin memberikan saran-
saran, sebagai berikut:
1. Riwayat-riwayat terkait hamm atau keinginan Nabi Muhammad saw yang
tidak terwujud, betapa pun keadaan kualitasnya, baik sanad atau pun
matannya, masih terbuka adanya kemungkinan lain dalam memahaminya
sebelum ditetapkan sebagai suatu riwayat yang lemah atau bahkan palsu.
2. Bagi para peneliti kajian ilmiah yang melakukan penelitian terkait hadis-
hadis hammî atau lainnya dalam lingkup kajian Islam, hendaknya bisa
mengembangkannya dengan metode atau pun pendekatan-pendekatan
terkait lainnya.
3. Dalam penelitian selanjutnya, perlu adanya kesepakatan dari berbagai ahli
dalam menetapkan kategorisasi terkait cakupan hadis-hadis hammî. Sebab
selama penelitian, penulis merasakan bahwa penelusuran dengan hanya
menggunakan kata kunci hamm ( ) banyak yang tidak ditemukan maksud
atau makna dalam fokus dan cakupan pembahasan penelitian ini. Oleh
sebab itu, perlu waktu yang tidak sedikit dalam pencarian riwayat-riwayat
yang memberikan maksud terkait riwayat hammî yang tidak terwujud.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 201 ]
Daftar Pustaka
Al-Qur‟ân al-Karîm dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik
Indonesia.
Âbadî, Abû al-Ṭayyib Muhammad Syams al-Haq al-„Aẓîm, ‘Aun al-Ma’bûd
Syarh Sunan Abî Dâwûd Ma’a Syarh al-Hâfiẓ Ibn Qayyim al-Jauziyyah,
tahqîq: „Abd al-Rahmân „Utsmân, (al-Madînah al-Munawwarah : al-
Maktabah al-Salafiyyah, 1388 H/1968 M), cetakan ke-2
Âbâdî, Majd al-Dîn Muhammad bin Ya‟qûb al-Fairûz, Qâmûs al-Muhîṭ,
(Damaskus : Mu‟assasah al-Risâlah), 1998.
„Abd al-Hâdî, „Abd al-Mahdî „Abd al-Qâdir, Ṭuruq Takhrîj al-Hadîts
Rasûlillâh saw, (Kairo : Maktabah al-Îmân, 1433 H/2012 H), cetakan
ke-4
„Abduh, Muhammad, Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm, Juz ‘Amma, (Mesir :
Syirkah Sâhimah Miṣriyyah, 1341 H), Muntadan al-„Aqlâniyyîn al-
„Arab, cetakan ke-3
Abî Bakr, Muhammad bin al-Râzî, Mukhtâr al-Ṣihâh, tartîb : Mahmud
Khâṭir, (Mesir : Dâr al-Nahḍah, tth.)
Al-Adlabî, Ṣalâh al-Dîn bin Ahmad, Manhaj al-Naqd al-Matn ‘Inda ‘Ulamâ’
al-Hadîts al-Nabawî, (Beirut : Dâr al-Âfâq al-Jadîdah, 1403 H/1983 M),
cetakan ke-1
Ahmad, Abû al-Fath Muhammad „Abd al-Karîm bin Abî Bakr al-
Syahrastânî, al-Milal wa al-Nihal, tahqîq : „Abd al-„Azîz Muhammad
al-Wakîl, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth.)
Al-„Ainî, Badr al-Dîn Abî Muhammad Mahmûd bin Ahmad, ‘Umdah al-
Qârî Syarh Ṣahîh al-Bukhârî, taṣhîh dan ta‟lîq : Muhammad Munîr
„Abduh, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth.)
Al-Amîr, Muhammad, Ithâf al-Murîd Syarh Jauharah al-Tauhîd bi Hâmisy
Hâsyiyah Muhammad al-Amîr ‘Alâ Jauharah al-Tauhîd, (Mesir : al-Bâb
al-Halabî, 1368 H)
Amirin, Tatan Maupun, Metodologi Riset, (Yogyakarta : Pusat Penelitian dan
Pengabdian Masyarakat UIJ, 1979).
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 202 ]
Alî, Abû Hayyân Muhammad bin Yûsuf bin al-Andalûsi, Tafsîr al-Bahr al-
Muhîṭ, tahqîq : al-Syeikh „Âdil Ahmad Abd al-Maujûd dan al-Syeikh
„Alî Muhammad Ma‟ûḍ, (Beirut : Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1413
H/1993 M), cetakan ke-1
Al-Ṣâlih, Ṣubhî, Ulûm al-Hadîts wa Muṣṭalhuh ‘Arḍ wa Dirâsah, (Beirût :
Dâr al-Malâyîn, 1984 H), cetakan ke-1
Al-„Askarî, Abî Hilâl, al-Furûq al-Lughawiyyah, tahqîq: Muhammad
Ibrâhîm Salîm, (Kâiro : Dâr al-„Ilm wa al-Tsaqâfah, tth.)
Al-Asy„ats, Abî Dâwûd Sulaimân bin al-Sijistânî (w. 275 H), Sunan Abî
Dâwûd, tahqîq : Muhammad „Abd al-„Azîz al-Khâlidî, (Beirut: Dâr al-
Kutub al-„Ilmiyyah, 1416 H/1996 M)
Al-Asyqar, Muhammad Sulaimân, Af’âl al-Rasûl saw wa Dalâlatuhâ ‘alâ
al-Ahkâm al-Syar’iyyah, (Beirut : al-Risâlah, 1424 H/2003 M), cetakan
ke-6, Juz ke-1
Al-Asyqar, „Umar Sulaimân, al-Rusul wa al-Risâlât, (Kuwait: Dâr al-
Nafâ‟is, 1410 H/1989 M)
„Awwâmah, Muhammad, Atsar al-Hadits al-Syarîf fî Ikhtilâf al-Aimmah al-
Fuqahâ’ Raḍiyallâh ‘Anhum, (Kairo : Dâr al-Salâm, 1407 H/1987 M),
cetakan ke-2
Al-„Awâmî, Ṭâriq Muhammad Am‟itîq dan Mahmûd Idrîs, Namâdzij Min
Marwiyyât Man Khaffa Ḍabṭuhum Fî Ṣahîh al-Bukhârî, Dirâsah
Taṭbîqiyyah, (Beirut : Dâr al-kutub al-„Ilmiyyah, 1433 H/2012 M),
cetakan ke-1
Al-A‟ẓamî, Muhammad Mustafa, Manhaj al-Naqd ‘Inda al-Muhadditsîn
Nasy’atuh wa Târikhuh, (Mamlakah al-„Arâbiyyah al-Sa‟ûdiyyah :
Maktabah al-Kautsar, 1410 H/1990 M), cetakan ke-3
......., Metodologi Kritik Hadis, terj. Drs. Ahmad Yamin, judul asli “Studies
In Hadith Methodology and Literature“, (Jakarta: Pustaka Hidayah,
1992), cetakan ke-2
......., On Schacht’s Origin of Muhammadan Jurisprudence, (Lahore,
Pakistan : Suhail Academy, Chowk Urdu Bazar, 2004).
......., The History of The Qur'anic Text From Revelation to Compilation,
(Leicester, England : UK Islamic academy, tth.).
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 203 ]
Al-Baihaqî, Abî Bakr Ahmad bin al-Husain bin „Alî, al-Sunan al-Kubrâ,
(Beirut : Dâr al-Ma‟rifah, tth.), juz ke-4, hal. 287
Al-Bakjarî, Abû „Abdillâh „Alâ‟ al-Dîn Maghlaṭî bin Qalîj bin „Abdillâh al-
Miṣrî al-Hakarî al-Hanafî, Ikmâl Tahdzîb al-Kamâl fi Asmâ’ al-Rijâl,
tahqîq : Abû „Abd al-Rahmân „Âdil bin Muhammad, (Mesir: al-Fâruq
al-Hadîtsah, 1422 H/2001 M)
Bik, Muhammad al-Khuḍarî, Târîkh al-Tasyrî’ al-Islâmî, (Mesir: Dâr al-Fikr,
1387 H/1967 M), cetakan ke-8.
Al-Bujairamî Sulaimân bin Muhammad bin „Umar al-Syâfi‟î, Hâsyiyah al-
Bujairamî ‘Alâ al-Khaṭîb, (Beirût : Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2011),
cetakan ke-5
Al-Bukhârî, Abî„Abdillâh Muhammad bin Ismâ‟îl (194-256 H), al-Jâmi’ al-
Ṣahîh al-Musnad Min Hadîts Rasûlillâh saw wa Sunanih wa Ayyâmih,
tahqîq : Muhîb al-Dîn al-Khaṭîb, (Kairo: al Salafiyyah, 1400 H), cetakan
ke-1
Al-Bulqînî, Mahâsin al-Iṣṭilâh Hâsyiyah ‘Alâ Muqaddimah Ibn Ṣalâh, tahqiq
: „Âisyah Abd al-Rahmân Bint al-Syâṭi‟, (Kairo : Dâr al-Ma‟ârif, 1409
H/1989 M)
Al-Bûṭî, Muhammad Sa‟id Ramaḍân, Fiqh al-Sîrah al-Nabawiyyah Ma’a
Mujîz li Târikh al-Khilâfah al-Rasyîdah, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu‟âṣir,
1411 H/1991 M), cetakan ke-10
Al-Dumînî, Musfir „Azmillâh, Maqâyîs Naqd Mutûn al-Sunnah, (Riyâḍ : al-
Sa‟ûdiyyah, 1404 M/1984 M), cetakan pertama.
Al-Dzahabî,
Syams al-Din Abi „Abdillâh Muhammad bin Ahmad al-
Dimasyqi, al-Kâsyif fî Ma’rifah Man Lahu Riwâyah fî al-Kutub al-Sittah
wa Hâsyiyatuh li al-Imâm Burhân al-Dîn Abî al-Wafâ Ibrâhîm bin
Muhammad Sibṭ bin al-‘Ajamî al-Halabî, ta‟lîq : Muhammad
„Awwâmah, (Jeddah : Dâr al-Qiblah li al-Tsaqâfah al-Islâmiyyah, 1413
H/1992 M), cetakan ke-1
Fayûmî, Ahmad, al-Miṣbâh al-Munîr fî Gharîb al-Syarh a- Kabîr, taṣhîh:
Muṣṭafâ al-Saqâ, (Mesir : Muṣṭafâ al-Bâb al-Halabî, 1369 H)
Haikal, Muhammad Husain, Hayâh Muhammad, (Kâiro : Dâr al-Ma‟ârif,
1935 M), cetakan ke-14
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 204 ]
Al-Haitamî, Syihâb al-Dîn Ahmad bin Muhammad bin „Alî bin Hajar al-
Syâfi‟î, al-Fath al-Mubîn bi Syarh al-Arba’în, (Beirut : Dâr al-Minhâj,
1428 H/2008 M), cetakan ke-1, hal. 592-593
Al-Hajjâj, Abî al-Husain Muslim bin al-Qusyairî al-Naisabûrî, Ṣahîh
Muslim, tahqiq : Muhammad Fuâd Abd al-Bâqî, (Mesir : Dâr Ihyâ‟ al-
Kutub al-„Arabiyyah, 1374 H/1954 M)
Hajar, Ahmad bin „Alî bin al-„Asqallânî, Fath al-Bârî bi Syarh Ṣahîh al-
Imâm Abî ‘Abdillâh Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, tahqîq : „Abd
al-„Azîz bin „Abdillâh bin Bâz, (tt. : al-Maktabah al-Salafiyyah, tth.).
......., Ta’rîf Ahl al-Taqdîs bi Marâtib al-Mauṣûfîn bi al-Tadlîs, tahqîq :
„Âṣim bin „Abdillâh al-Qaryûtî, (Madînah : Maktabah al-Mannâr, tth.),
cetakan ke-1
Hamâdah, Fârûq, Al-Manhaj al-Islâmî Fî al-Jarh wa al-Ta’dîl Dirâsah
Manhajiyyah Fî ‘Ulûm al-Hadîts, (Kairo : Dâr al-Salâm, 1429 H/2008
M), cetakanke-1
Al-Harawî, Syams al-Dîn Abî „Abdillâh Muhammad bin „Aṭâ‟illâh bin
Muhammad al-Hanafî al-Syâfi‟î, Faḍl al-Mun’îm Fî Syarh Ṣahîh
Muslim, tahqîq : Nûr al-Dîn Ṭâlib, (Damaskus : Dâr al-Nawâdir, 1433
H/2012 M), cetakan ke-1
Hizâm, Muhy al-Dîn Yahyâ bin Syaraf bin Murrî bin Hasan bin Husain bin
al-Nawawî, Ṣahîh Muslim bi Syarh al-Nawawî, (Mesir : al-Maṭba‟ah al-
Miṣriyyah, 1347 H/1929 M), cetakan ke-1
Ibn al-„Arabî, al-Mâlikî (435-542 H), ‘Âriḍah al-Ahwadzî bi Syarh Ṣahîh al-
Tirmidzî, (Beirut : Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, tth.)
Ibn al-Atsîr Majd al-Dîn Abî al-Sa‟âdât al-Mubârak bin Muhammad al-
Jazarî, al-Nihâyah fi Gharîb al-Hadîts wa al-Âtsâr, tahqîq : Ṭâhir
Ahmad al-Zâwî dan Mahmûd Muhammad al-Ṭanâhî, (Riyâḍ : al-
Maktabah al-Islâmiyyah).
......., al-Syâfî fî Syarh Musnad al-Syâfi’î, tahqîq : Ahmad bin Sulaimân dan
Abî Tamîm Yâsir bin Ibrâhîm, (Riyâḍ : Maktabah al-Rusyd, 1426
H/2005 M), cetakan ke-1
Ibn Saurah, Abî „Îsâ Muhammad bin „Îsâ (209-279 H), al-Jâmi al-Ṣahîh wa
Huwa Sunan al-Tirmidzî, tahqîq : Ahmad Muhammad Syakir, (Mesir :
Muṣṭafâ al-Bâbî al-Halabî, tth.)
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 205 ]
Ibn Hibbân, al-Imâm Muhammad Abû Hâtim al-Tamîmî al-Bustî al-Sijistânî,
Ṣâhîh Ibn Hibbân
Ibn al-Najjâr, Muhammad bin Ahmad bin Abd al-„Azîz bin „Alî al-Futûhî al-
Hanbalî al-Ma‟rûf, Syarh al-Kaukab al-Munîr al-Musammâ bi
Mukhtaṣar al-Tahrîr au al-Mukhtabar al-Mubtakar Syarh al-Mukhtaṣar
fî Uṣûl al-Fiqh, tahqîq : Muhammad al-Zuhaili dan Nazîh Hammâd, (al-
Mamlakah al-„Arâbiyyah al-Sa‟ûdiyyah : Wazârah al-Syu‟ûn al-
Islâmiyyah wa al-Auqâf wa al-Da‟wah wa al-Irsyâd, 1413 H/1993 M)
Ibn Fâris, Ahmad, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah, tahqîq : „Abd al-Salâm
Muhammad Hârûn, (Mesir : al-Bâb al-Halabî, 1389 H)
Ibn al-Mandzûr, Muhammad, Lisân al-‘Arab, (Beirut : Dâr Ṣâdir, tth.)
Ibn Muhammad, Abî Mu‟âdz Ṭâriq bin „Iwaḍillâh (Ed.), Jâmi’ al-Masâ’il al-
Hadîtsiyyah al-Qawâ’id al-Hadîtsiyyah, (Mesir : Dâr Ibn „Affân, 1431
H/2010 M), cetakan ke-1
Ibn Qayyim, Abî „Abdillâh Muhammad bin Abî Bakr bin Ayyûb al-
Jauziyyah, al-Furûsiyyah al-Muhammadiyyah, tahqîq : Zâid bin Ahmad
al-Nasyîrî, (Jeddah : Dâr „Ilm al-Fawâid, tth.)
Ibn Qudâmah, Muwaffiq al-Dîn Abî Muhammad bin „Abdillâh bin Ahmad
bin Muhammad al-Maqdisî al-Jammâ‟îlî al-Dimasyqî al-Ṣâlihî al-
Hanbalî, al-Mughnî, tahqîq : „Abdullâh bin „Abd al-Muhsin al-Turkî dan
„Abd al-Fattâh Muhammad al-Hulw, (al-Riyyâḍ : Dâr „Âlam al-Kutub,
1417 H/1997 M), cetakan ke-3
Ibrâhîm Amîn al-Jâf al-Syahrazûrî al-Baghdâdî, Manâhij al-Muhadditsîn fî
Naqd al-Riwâyât al-Târîkhiyyah li al-Qurûn al-Hijriyyah al-Tsalâtsah
al-Ûlâ, (Dubai : Dâr al-Qalam, 2014)
„Iyâḍ, Abî al-Faḍl „Iyâḍ bin Mûsâ bin al-Yahṣabî, Ikmâl al-Mu’lim bi
Fawâ’id Muslim Syarh Ṣahîh Muslim, tahqîq : Yahyâ Isma‟îl, (tt. : Dâr
al-Wafâ‟, 1419 H/1998 M).
Izutsu, Toshihiko, God And Man in The Koran : Semantics of The Koranic
Weltanschauung, (Malaysia : Islamic Book Trust, 2002).
Jackson, Sherman, From Prophetic Action to Constitutional Theory, dalam
(International Journal of Middle East Studies, 25), I, 1993.
Al-Jamal, Sulaimân bin „Umar al-„Ajîlî al-Syâfi‟î al-Syahîr bi, al-Futûhât al-
Ilâhiyyah bi Tawḍîh Tafsîr al-Jalâlain li al-Daqâ’iq al-Khafiyyah wa bi
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 206 ]
al-Hâmisy Kitâb Imlâ’ Mâ Manna bihi al-Rahmân Min Wujûh al-I’râb
wa al-Qirâ’ât Fî Jamî’ al-Qur’ân li Abî al-Biqâ’ Abdillâh bin al-Husain
al-‘Akbarî, (Mesir : „Îsâ al-Bâb al-Halabî wa Syirkâh, tth.)
Al-Jawâbi, Muhammad Ṭâhir, Juhûd al-Muhadditsîn fî Naqd Matn al-Hadîts
al-Nabawî al-Syarîf, (Tunis : Mu‟assasah „Abd al-Karîm bin „Abdullâh,
1986).
Al-Jundî, Anwar, Min Manâbi’ al-Fikr al-Islâmî, (Kementerian Luar Negeri
Sa‟ûdî Arâbiyyah : Lajnah al-Ta‟rîf al-Islâm, 1386 H/1967 M).
Al-Jurjânî, „Alî bin Muhammad al-Sayyid al-Syarîf (w. 816 H = 1413 M),
Mu’jam al-Ta’rîfât, Qâmûs li Muṣṭalâhât wa Ta’rîfât ‘Ilm al-Fiqh wa
al-Lughah wa al-Falsafah wa al-Manṭiq wa al-Taṣawwuf wa al-Nahw
wa al-Ṣarf wa al-‘Arûḍ wa al-Balâghah, tahqîq : Muhammad Ṣiddîq al-
Minsyâwî, (Kairo : Dâr al-Faḍîlah, tth)
Al-Kasymîrî, Muhammad Anwarsyah bin Mu‟ẓamsyah, al-‘Urf al-Syadzî
Syarh Sunan al-Tirmidzî, taṣhîh : al-Syaikh Mahmûd Syâkir, (Beirut :
Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, 1425 H/2004 M)
Khaḍr, Nabîl Hâmid, Blog.Nabîl Hâmid Khaḍr, 27 Juni 2009 M/4 Rajab
1430 H.
Al-Kharbuṭlî, „Alî Husnî, al-Ka’bah ‘Alâ Marr al-‘Uṣûr, (Kairo : Dâr al-
Ma‟ârif, tth.), cetakan ke-2
Al-Khaṭîb, Ahmad bin „Alî bin Tsâbit al-Baghdâdî Abû Bakr (w. 463), al-
Kifâyah fi ‘Ilm al-Riwâyah, (Heidar Abad : Dâirah al-Ma‟ârif al-
„Utsmâniyyah, 1357).
Al-Khaṭîb, Muhammad „Ajâj, , al-Sunnah Qabla al-Tadwîn, (Kairo :
Maktabah Wahbah, 1408 H/1988 M), cetakan ke-2
......., Uṣûl al-Hadîts ‘Ulûmuh wa Muṣṭalahuh, (Beirut : Dâr al-Fikr, 1427
H/2006 M).
Al-Khaṭîb, Mu‟taz, Radd al-Hadîts Min Jihah al-Matn Dirâsah fî Manâhij
al-Muhadditsîn wa al-Uṣûliyyîn, (Beirut : al-Syubkah al-‟Arabiyyah li
al-Abhâts wa al-Nasyr, 2011), cetakan ke-1
Al-Kirmânî, Ṣahîh Abî ‘Abdillâh al-Bukhârî bi Syarh al-Kirmânî, (Beirut :
Dâr Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, 1401 H/1981 M), cetakan ke-2
Lâsyîn, Mûsâ Syâhîn, Fath al-Mun’im Syarh Ṣahîh Muslim, (Kairo : Dar al-
Syurûq, 1423 H/2002 M), cetakan ke-1.
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 207 ]
Al-Mallâh, Abû „Abd al-Rahmân Mahmûd bin Muhammad, al-Ta’lîq ‘Alâ
al-Rahîq al-Makhtûm, (Mesir : al-Dâr al-„Âlamiyyah, 1431 H/2010 M)
Al-Marâghî, Ahmad Muṣṭafâ, Tafsîr al-Marâghî, (Mesir : Muṣṭafâ al-Bâbî
al-Halabî, 1365 H/1946 M), cetakan ke-1
Al-Mizzî, Jamâl al-Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf (654-742 H), Tahdzîb al-Kamâl
fî Asmâ’ al-Rijâl, tahqîq : Basysyâr „Awwâd Ma‟rûf, (Beirût :
Mu‟assasah al-Risâlah, 1413 H/1992 M), cetakan ke-1
Moleong Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remaja
Rosdakarya, 2004)
Al-Mubârakfûrî, Abî al-„Alî Muhammad „Abd al-Rahmân bin „Abd al-
Rahîm (1283-1353 H), Tuhfah al-Ahwadzî Bi Syarh Jâmi’ al-Tirmidzî,
taṣhîh : „Abd al-Wahhâb „Abd al-Laṭîf, (Dâr al-Fikr, tth.)
Al-Mubârakfûrî, Ṣafî al-Rahmân, al-Rahîq al-Makhtûm, Bahts fî al-Sîrah al-
Nabawiyyah ‘Alâ Ṣâhibiha Afḍal al-Ṣalâh wa al-Salâm, (India : Dâr
Ihyâ‟ al-Turâts, tth.)
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap, taṣhîh : KH. Ali Ma‟shum dan KH. Zainal Abidin
Munawwir, (Surabaya : Pustaka Progresif, 2014)
Al-Munjid, Muhammad Ṣâlih, (https://islamqa.info), Selasa, 29 Jumâdî al-
Âkhir, 1438 H/28 Maret 2017 M
......., Majelis Alûkah dalam www.alukah.net.
Al-Murrî, Muhammad al-Tâwudî bin Muhammad al-Ṭâlib bin Saudah,
Hâsyiyah al-Tâwudî bin Saudah ‘Alâ Ṣahîh al-Bukhârî, tahqîq : „Umar
Ahmad al-Râwî, (Beirut : Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 2007 M), cetakan
ke-1
Mu‟ẓamsyah, Muhammad Unwarsyah bin al-Kasymîrî, al-‘Urf al-Syâdzî
Syarh Sunan al-Tirmîdzî, taṣhîh : Mahmûd Syâkir, (Beirut : Dâr Ihyâ‟
al-Turâts al-„Arabî, 1425 H/2004 M).
Al-Naisâbûrî, Abî al-Husain Muslim bin al-Hajjâj al-Qusyairî (206-261 H),
Ṣahîh Muslim, tahqîq dan taṣhîh : Muhammad Fu‟âd „Abd al-Bâqî,
(Kairo : Dâr Ihyâ‟ al-Kutub al-‟Arabiyyah, 1918 H), juz ke-1
Al-Nasâ‟î, Abî „Abd al-Rahmân Ahmad bin Syu‟aib bin „Alî (215-303 H),
Sunan al-Nasâ’î, ta‟lîq : Muhammad Nâṣir al-Dîn al-Albânî, (Riyâḍ :
Maktabah al-Ma‟ârif, tth.), cetakan ke-1
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 208 ]
Purnaning, Estiwi Retno, dkk, Big Book TOEFL, Tip & Trik Melejitkan Skor
toefl, Jakarta : CMedia Imprint Kawan Pustaka, 2014, cetakan ke-1,
hal.118
Qâsim, Hamzah Muhammad, Manâr al-Qârî Syarh Mukhtaṣar Ṣahîh al-
Bukhârî, taṣhîh dan murâja‟ah : Basyîr Muhammad „Uyûn dan al-Syeikh
„Abd al-Qâdir al-Arnâuṭ, (Beirut : Dâr al-Bayân, 1410 H/1990 M)
Al-Qazwînî, Abi „Abdillah Muhammad bin Yazid (207-275 H), Sunan Ibn
Mâjah, tahqîq : Muhammad Fuâd „Abd al-Bâqî, (Mesir : Dâr Ihyâ‟ al-
Kutub al-„Arabiyyah, tth.).
Al-Rahmân, Fahmî Ahmad „Abd, al-Mudallisîn wa Marwiyyâtihim fî Ṣahîh
al-Bukhârî, (Beirût : Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1433 H/2012 M),
cetakan ke-1
Ruslân, Abî „Abdillâh Muhammad bin Sa‟îd, al-Sunnah wa Bayân
Makânatihâ fî al-Islâm, (Mesir : Dâr Aḍwâ‟ al-Salaf, 1430 H/2009 M),
cetakan ke-1.
Ṣabrî, Muṣṭafâ, Mauqif al-‘Aql wa al-‘Ilm wa al-Âlim min Rabb al-‘Âlamîn
wa Ibâdihi al-Mursalîn, (Beirut : Dâr Ihyâ‟ al-Turâts, 1981), juz ke-4
Al-Syahrazûrî, Abû „Amr „Utsmân bin „Abd al-Rahmân, ‘Ulûm al-Hadîts li
Ibn Ṣalâh, tahqîq : Nûr al-Dîn „Itr, (Beirut : Dâr al-Fikr al-Mu‟âṣir, 1406
H/1986 M).
Sa‟îd, Hammâm „Abd al-Rahîm, al-Fikr al-Manhajî ‘Inda al-Muhadditsîn,
(Qatar : Kitâb al-Ummah, 1408 H), cetakan ke-1
Al-Sakhâwî, Syams al-Dîn Abî al-Khair Muhammad bin Abd al-Rahmân al-
Syâfi‟î, Fath al-Mughîts bi Syarh Alfiyyah al-Hadîts, tahqîq : „Abd al-
Karîm Abdullâh bin Abd al-Rahmân al-Khuḍair dan Muhammad
Abdullâh bin Fuhaid Âlu Fuhaid, (Riyâḍ : Maktabah al-Minhâj, 1426
H), juz ke-2, cetakan ke-1.
Saurah, Abî „Îsâ Muhammad bin „Îsâ bin al-Tirmidzî (209-279 H), al-Jâmi
al-Ṣahîh wa Huwa Sunan al-Tirmidzî, tahqîq : Ahmad Muhammad
Syâkir, (Mesir : Muṣṭafâ al-Bâbî al-Halabî, tth.).
Al-Suyûṭî, Jalâl al-Dîn, Tadrîb al-Râwî, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth.), juz ke-1.
Al-Syâfi‟î, Muhammad bin Idrîs, al-Umm wa bi Hâmisyih Mukhtaṣar al-
Imâm (Kairo : Dâr al-Syu‟ab, 1388 H/1968 M).
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 209 ]
Al-Syarbînî, „Imâd al-Sayyid, Radd Syubuhât Hawla ‘Iṣmah al-Nabî fî Ḍau’
al-Kitâb wa al-Sunnah, (Mesir : Dâr al-Shahîfah, 1424 H/2003
M),cetakan ke-1.
Al-Syaukânî, Muhammad bin „Alî bin Muhammad, Irsyâd al-Fuhûl ilâ
Tahqîq al-Haqq min ‘Ilm al-Uṣûl wa bi Hâmisyih Syarh al-Syeikh
Ahmad bin Qâsim al-‘Ibâdî al-Syâfi’î ‘alâ Syarh Jalâl al-Dîn
Muhammad bin Ahmad al-Mahallî al-Syâfi’î ‘Alâ al-Waraqât fi al-Uṣûl
li al-Imâm al-Haramain ‘Abd al-Malik bin Abdillâh al-Juwainî al-
Syâfi’î, (Beirut : Dâr al-Fikr, tth).
......., Nail al-Auṭâr Syarh Muntaqâ al-Akhbar Min Ahâdîts Sayyid al-Akhyâr,
(Mesir : Muṣṭafâ al-Bâb al-Halabî wa Aulâdah, 1371 H/1952 M), juz ke-
3, cetakan ke-2
Al-Tahânuwî, Muhammad „Alî, Mausû’ah Kasysyâf Iṣṭilâhât al-Funûn wa
al-‘Ulûm, (Beirût : Maktabah Lubnân Nâsyirûn, 1996), cetakan ke-1
Al-Ṭahâwî, Abî Ja‟far Ahmad bin Muhammad bin Salâmah, Syarh Musykil
al-Âtsâr, tahqîq : Syu‟aib al-Arnaûṭ, (Beirût : Mu‟assasah al-Risâlah,
1415 H/1994 M), cetakan ke-1
Al-Ṭahhân, Mahmûd, Uṣûl al-Takhrîj wa Dirâsah al-Asânîd, (al-Riyâḍ :
Maktabah al-Ma‟ârif, 1412 H/1991 M), cetakan ke-2
Al-Ṭawârî, Târiq bin Muhammad, „Ilal Riwâyah Muhâwalah Taradduyi al-
Nabî Min al-Jabal ‘Inda al-Bukhârî wa Ghairih Min Kutub al-Sunnah,
dalam Majallah Jâmi‟ah al-Syâriqah li al-„Ulûm al-Syar‟iyyah wa al-
Qânûniyyah, (Kuwait, edisi 8, Jumadî al-Âkhirah 1432 H/2011 M)
Terzic, Faruk, The Problematic of Prophethood and Miracle : Mustafa
Sabri’s Response, (Islamabad : International Islamic University, Islamic
Studies 48, 2009), no. 1.
Tim P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1988).
Al-Tirmidzî, Abî „Îsâ Muhammad bin „Îsâ, al-Jâmi’ al-Kabîr, tahqîq :
Basysyâr „Awwâd Ma‟rûf, (Beirut : Dâr al-Gharb al-Islâmî, 1996),
cetakan ke-1
Unais, Ibrâhîm dan kawan-kawan, al-Mu’jam al-Wasîṭ, (Beirut : Dâr al-Fikr,
tth.)
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 210 ]
Al-Yâsîn, Jâsim bin Muhammad bin Muhalhal, al-Jadâwil al-Jâmi’ah fî al-
‘Ulûm al-Nâfi’ah, (Beirut : Mu‟assasah al-Ryyân, 2010), cetakan ke-3.
Yazîd, Abi „Abdillah Muhammad bin al-Qazwînî (207-275 H), Sunan Ibn
Mâjah, tahqîq : Muhammad Fuâd „Abd al-Bâqî, (Mesir : Dâr Ihyâ‟ al-
Kutub al-„Arabiyyah, tth.)
Zaidân, Abd al-Karîm, Uṣûl al-Da’wah, (Beirut : Mu‟assasah al-Risâlah,
1414 H/1993 M), cetakan ke-3, hal. 437
Zakariyyâ, Abî Yahyâ al-Anṣârî al-Syâfi‟î, Ghâyah al-Wuṣûl Syarh Lubb al-
Wuṣûl, (Mesir : Dâr al-Kutub al-„Arabiyyah al-Kubrâ, tth.)
Al-Zarkasyî, Badr al-Dîn Muhammad bin Bahâdur bin „Abdillâh al-Syâfi‟î,
al-Bahr al-Muhîṭ fî Uṣûl al-Fiqh, (Kairo : Dâr al Shafwah, 1409 H/1988
M), cetakan pertama
https://www.wordsmile.com.
Sahih Bukhari, Call For Prayers, Hadith No. 41,
(www.Qur‟anReading.com,Version 2.6, copyright : 2016-2017)
hadis hammî nabi saw dan implikasinya terhadap pemahaman hadis
Abdul Syukur [ 211 ]
Biodata Penulis
Abdul Syukur lahir di Tegal pada 14 Juni 1978 dari pasangan Kyai
Muh. Qodim dan Nyai Siti Masyrifah. Pendidikan dasarnya dimulai di SDN
Kaligangsa 04 pagi. Pada level pendidikan dasar yang sama, siang hingga
menjelang maghrib mengenyam pendidikan agamanya di Madrasah
Diniyyah Awwaliyyah dan jenjang Wustho di Raudhatul „Ulum selama
kurang lebih enam tahun. Pada tahun 1991 melanjutkan pendidikan
menengahnya pada MTs Negeri Brebes. Tiga tahun kemudian melanjutkan
pendidikan agamanya di MAK sekaligus mondok di pesantren al-Hikmah
Benda, Sirampog, Brebes.
Pendidikan sarjana (S1) dan Program Magister (S2) dilalui pada Jurusan
yang sama pada Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada
tahun 2005-2007 mengikuti program Pendidikan Kader Ulama angkatan VII
MUI DKI Jakarta. Semenjak tahun 2004-sekarang aktif dalam berbagai
kegiatan keagamaan masyarakat sebagai pengajar ta‟lim di wilayah
Mampang dan sekitarnya. Dan pada tahun 2013-sekarang menjadi pengasuh
pada yayasan pengembangan ilmu dan Ma‟had al-Islâmî Himmatul‟Ârif Ilâ
Nailisysyarîf Duren Tiga-Pancoran.