Gangguan Koagulasi.docx
-
Upload
susianna-rismanda -
Category
Documents
-
view
35 -
download
2
Transcript of Gangguan Koagulasi.docx
Gangguan Koagulasi
Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk mempertahankan sistim
hemostasis
yaitu mempertahankan komponen darah tetap dalam keadaan cair (Fluid state)
sehingga tubuh dalam keadaan fisiologik mampu mempertahankan aliran darah
dari/dalam pembuluh darah. Bilamana terjadi kerusakan pembuluh darah maka
sistem hemostasis tubuh akan mengontrol perdarahan melalui mekanisme (1)
interaksi pembuluh darah dan jaringan penunjang, (2) interaksi trombosit dan
pembuluh darah yang mengalami kerusakan, (3) pembentukan fibrin oleh sistim
koagulasi, (4) regulasi dari bekuan darah oleh faktor inhibitor koagulasi dan sistim
fibrinolitik, (5) remodeling dan reparasi dari pembuluh darah yang mengalami
kerusakan(Gambar 1).1,2
Bilamana terdapat gangguan dalam regulasi hemostasis baik oleh karena kapasitas
inhibitor tidak sempurna atau oleh karena adanya stimulus yang menekan fungsi
natural anticoagulant maka akan terjadi trombosis yaitu suatu proses terjadinya
bekuan darah dalam pembuluh darah. Secara klinis proses terjadinya trombosis
melibatkan (1) aliran darah dan pembuluh darah, (2) interaksi trombosit–
pembuluh darah oleh karena kerusakan endotelium dan (3) sistim koagulasi baik
natural antikoagulan dan sistem fibrinolitik.
Endothelium
Endotel pembuluh darah berperan penting dalam sistem hemostasis tubuh,
endotelium normal berfungsi mempertahankan darah dalam keadaan cair (fluid
state) dengan cara memproduksikan inhibitor yang akan mencegah atau
menghambat koagulasi darah dan agregasi trombosit, mempertahankan tonus dan
permiabilitas pembuluh darah, menghasilkan suatu lapisan pelindung yang
mencegah terjadinya kontak antara darah dan endotelium yang mengalami cedera.
Endotelium akan mensintesis terjadinya suatu basemen membrane yang
mengandung protein adesif, kolagen, fibronectin, laminin, vitronectin, dan VWF.
Endotelium menghambat terjadinya koagulasi dengan cara menghasilkan
trombomodulin dan heparin sulfat; memacu fibrinolisis dengan cara
memproduksikan t-PA, urokinase plasminogen aktivator, plasminogen aktivator
inhibitor; menghambat agregasi trombosit dengan cara melepaskan PGI2 dan
nitrit oxide (NO); regulasi dinding pembuluh darah melalui sintesis endotelin
yang
menyebabkan konstriksi pembuluh darah dan juga PGI2 dan NO yang
menyebabkan dilatasi pembuluh darah (lihat Gambar 2).1,2
Trombosit
Trombosit berperan dalam mengontrol perdarahan melalui mekanisme (1) adesi,
(2) agregasi,(3) sekresi dan (4) aktifitas prokoagulan (Gambar 3). Dalam keadaan
normal trombosit tidak akan mengalami adesi pada sel endotelium pembuluh
darah oleh karena aktifitas inhibitor (PGI2, NO, ADPase) yang dihasilkan sel
endotel pembuluh darah. Trombosit akan mengalami aktifasi apabila mengalami
kontak dengan benda asing atau bahan bahan agonis seperti kolagen, trombin,
epinefrin, ADP, tromboxan A2, calcium ionopore.1
Koagulasi
Sistim prokoagulasi
Suatu sistem prokoagulasi terdiri dari proses interaksi antara enzim serin protease
dan beberapa kofaktor dengan permukaaan fosfolipid yang terdapat pada
membran trombosit dan endotel yang mengalami kerusakan untuk membentuk
fibrin yang stabil. Terdapat 2 lintasan utama yang menginduksi terjadinya proses
koagulasi yaitu jalur ekstrinsik (tissue factor faktor VII) dan jalur intrinsik
(surface-contact factors). Disebut sebagai jalur ekstrinsik oleh karena terjadi
plasma mengalami kontak dengan tissue factor(TF) yang mempunyai afinitas
yang kuat dengan faktor VII yang ada dalam plasma. Dalam keadaan normal TF
tidak ditemukan dalam peredaran darah, TF akan diproduksikan oleh pembuluh
darah yang mengalami
cedera. Faktor Intrinsik merupakan proses koagulasi yang dihasilkan oleh
komponen yang ada dalam plasma, apabila terjadi kontak dengan permukaan
asing
(misalnya tabung gelas) maka darah secara otomatis akan mengalami pembekuan.
Jalur ekstrinsik merupakan proses permulaan dalam pembentuk fibrin sedangkan
jalur intrinsik berperan dalam melanjutkan proses pembentukan fibrin yang stabil
(Gambar 4).
Jalur ekstrinsik
Proses koagulasi dalam darah in vivo dimulai oleh jalur ekstrinsik yang
melibatkan komponen dalam darah dan pembuluh darah. Komponen utama adalah
tissue factor, suatu protein membran intrinsik yang berupa rangkaian polipeptide
tunggal yang diperlukan sebagai kofaktor faktor VIII dalam jalur intrinsik dan
faktor V dalam common pathway. Tissue faktor ini akan disintesis oleh makrofag
dan sel endotel bilamana mengalami induksi oleh endotoksin dan sitokin seperti
interleukin dan-1 dan tumor necrosis faktor. Komponen plasma utama dari jalur
ekstrinsik adalah faktor VII yang merupakan vitamin K dependen protein (seperti
halnya faktor IX, X, protrombin, dan protein C). Jalur ekstrinsik akan diaktifasi
apabila tissue factor
yang berasal dari sel-sel yang mengalami kerusakan atau stimulasi kontak dengan
faktor VII dalam peredaran darah dan akan membentuk suatu kompleks dengan
bantuan ion Ca. kompleks factor VIIa–tissue factor ini akan menyebabkan aktifasi
faktor X menjadi Xa disamping juga menyebabkan aktifasi faktor IX menjadi IXa
(jalur intrinsik).2
Jalur Intrinsik
Jalur intrinsik merupakan suatu proses koagulasi paralel dengan jalur ekstrinsik,
dimulai oleh komponen darah yang sepenuhnya ada berada dalam sistem
pembuluh
darah. Proses koagulasi terjadi sebagai akibat dari aktifasi dari faktor IX menjadi
faktor IXa oleh faktor XIa. <lih figure 1-4 colman> Protein contact system (faktor
XII, prekalikrein, high moleculer weight kininogen dan C1 inhibitor) disebutkan
sebagai pencentus awal terjadinya aktifasi ataupun inhibisi faktor XI. Protein
contact system ini akan berperan sebagai respon dari reaksi inflamasi, aktifasi
komplemen, fibrinolisis dan angiogenesis. Faktor XI dikonversikan menjadi XIa
melalui 2 mekanisme yang berbeda yaitu diaktifkan oleh kompleks faktor XIIa
dan high molekuler weight kininogen(HMWK) atau sebagai regulasi negative
feedback dari trombin,3 regulasi negative feedback ini juga terjadi pada faktor
VIII dan faktor V, hal ini yang dapat menerangkan tidak terjadinya perdarahan
pada penderita yang kekurangan faktor XII, prekalikrein dan HMWK Faktor IXa
akan membentuk suatu kompleks dengan faktor VIIIa dengan bantuan adanya
fospolipid dan kalsium yang kemudian akan mengaktifkan faktor X menjadi
faktor Xa. Faktor Xa akan mengikat faktor V bersama dengan kalsium dan
fosfolipid membentuk suatu kompleks yang disebut protrombinase, suatu
kompleks yang bekerja mengkonversi protrombin menjadi trombin. Faktor IX
dapat juga diaktifkan oleh faktor XIa.
Common pathway
Bilamana telah terbentuk faktor Xa baik melalui faktor ekstrinsik atau intrinsik
maka akan terjadi konversi protrombin menjadi trombin. Bersama dengan vit K
dependen yang lain akan suatu kompleks protrombinase (faktor Xa, faktor V,
fosfolipid, dan kalsium). Kompleks protrombinase ini mempunyai kemampuan
lebih tinggi kurang lebih 300.000 kali lipat dalam hal mengaktifasi protrombin
dibandingkan dengan hasil yang didapat dari aktifasi enzim (faktor Xa) dan
subtrat (protrombin) sendiri.
Sistem Inhibisi
Mekanisme antikoagulan dalam sistem pembuluh darah akan membatasi dan
melokalisasi pembentukan hemostatis plug atau trombus pada tempat terjadinya
kerusakan pembuluh darah. Inhibitor utama dari unsur-unsur sistem kontak adalah
C1 inhibitor, terutama berperan sebagai inhibitor faktor XIIa dan juga terhadap
kalikrein. Antitrombin III merupakan suatu inhihitor utama terhadap faktor IXa,
Xa, dan trombin. Di dalam peredaran darah, terdapat cukup antitrombin III
sehingga mampu menetralisasi terjadinya trombin yang dalam darah. Akan tetapi
bilamana terjadi penurunan sekitar 40 – 50% dari jumlah normal maka keadaan
ini merupakan predisposisi terhadap terjadinya penyakit trombotik seperti pada
kasus defisiensi anti trombin III kongenital yang mempunyai risiko tinggi
terjadinya tromboembolism. Kemampuan inhibisi yang dihasilkan anti trombin III
akan diperkuat dengan adanya heparin, akan tetapi bila telah terbentuk trombin
maka trombin ini akan menjadi resisten terhadap anti trombin demikian juga
terhadap kompleks anti trombin dan heparin. Heparin dalam tubuh dikenal
sebagai heparin kofaktor II merupakan suatu serin protease inhibitor khususnya
terhadap trombin tidak terhadap faktor Xa. Disamping itu juga dikenal á2-
macroglobulin yang merupakan inhibitor terhadap beberapa faktor koagulasi
dalam plasma dan terhadap enzim fibrinolitik seperti kalikrein, plasmin dan
trombin. Alfa-2 antiplasmin merupakan inhibitor primer terhadap plasmin, bekerja
mencegah terjadinya respon
fibrinogenolitik terhadap stimulus dalam darah, membatasi terjadinya respons
fibrinolitik akibat stimulus dari trombus dan menyebabkan hemostatic plug tetap
utuh sampai terjadi penyembuhan terjadi. Pada keadaan defisiensi á2-antiplasmin
maka hemostatic plug akan melarut sebelum penyembuhan terjadi.
Pembentukan fibrin dan fibrinolisis
Trombin bekerja pada berbagai bahan, termasuk fibrinogen, faktor XIII, V dan
VII; membran trombosit; protein S dan protein C. Dapat dikatakan bahwa trombin
memegang peran sentral dalam mengontrol proses pembentukan hemostatic plug
melalui mekanisme positive dan negative feed back.1,2 Pembentukan fibrin
merupakan suatu proses fase kedua (setelah fase pertama agregasi trombosit).
Fibrinogen merupakan bahan dasar dari fibrin, suatu glikoprotein dengan BM
340.000 dalton yang terdapat dalam konsentrasi yang tinggi dalam plasma dan
granul trombosit. Trombin akan terikat pada fibrinogen dan akan membebaskan
fibrinopeptida dan membentuk fibrin monomer dan selanjutnya membentuk fibrin
polimer. Pengikatan fibrin dengan faktor XIIIa ini akan menjadikan fibrin resisten
terhadap degragasi plasmin dan keadaan ini juga diperkuat oleh pengaruh á2-
plasmin inhibitor yang melindungi dari fibrin terhadap efek fibrinolisis dari
plasmin. Mekanisme terakhir untuk membatasi pembentukan bekuan darah adalah
fibrinolisis. Mekanisme ini diperlukan untuk reparasi pembuluh darah dan struktur
jaringan lainnya bersamaan dengan pertumbuhan kembali sel endotel dan
rekanalisasi pembuluh darah. Fibrinolisis merupakan suatu rangkaian proses
aktifasi faktor-faktor pembekuan yang meliputi konversi zimogen-enzim,
mekanisme feedback potensiasi dan inhibisi, dan reparasi struktur pembuluh
darah.
Pada proses permulaan pembentuk hemostatic plug, trombosit dan sel endotel
akan melepaskan plasminogen activator inhibitor untuk menfasilitasi
pembentukan fibrin. Proses selanjut, melalui suatu proses yang belum diketahui
dengan pasti danpada waktu yang tepat, sel endotel akan melepaskan plasminogen
aktivator dan
prourokinase yang akan mengkonversi plasminogen (terutama yang terikat pada
fibrin) menjadi bentuk aktif yaitu plasmin, yang nantinya akan mencetuskan
terjadinya fibrinolisis.
Pemeriksaan Penyaring Kelainan Koagulasi
Bilamana pada suatu pemeriksaan anamnesis dan fisik ditemukan adanya
kecenderungan perdarahan maka seharusnya dilakukan pemeriksaan skrining
hemostasis seperti halnya hitung trombosit, waktu perdarahan, dan pemeriksaan
yang khususnya menggambarkan kelainan koagulasi dan rangkaian hemostasis
selanjutnya seperti pembentukan fibrin dan fibrinolisis yaitu activated partial
tromboplastin time(APTT), protrombin time(PT), trombin cloting time (TCT),
fibrinogen, euglobin lysis time (ELT), fibrinogen-fibrin degradation product
(FDP),3
Activated Partial Thromboplastin Time (APTT)
Pemeriksaan APTT dah sejak 1950 dikenal sebagai pemeriksaan skrining untuk
mengetahui kelainan koagulasi. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang
sensitif terhadap kelainan dalam jalur intrinsik (XII,XI,IX dan VIII) dan kurang
sensitif terhadap pemeriksaan defisiensi protrombin dan fibrinogen. Pemeriksaan
APPT ini ditujukan untuk mengetahui adanya defisiensi faktor pembekuan atau
adanya inhibitor dalam jalur intrinsik. Bilamana APTT memanjang menunjukkan
adanya defisiensi dari satu atau beberapa faktor pembekuan (prekalikrein, high
molekuler weight kininogen, faktor XII,XI,VIII,X,V,II atau fibrinogen) atau
adanya inhibisi pada proses koagulasi (heparin, lupus anti coagulant,
fibrinfibrinogen degradation product) atau oleh karena adanya faktor inhibitor
spesifik.
Pemeriksaan defisiensi faktor pembekuan
Pemeriksaan APTT umumnya digunakan untuk menjaring kasus dengan kelainan
pada lintasan intrinsik seperti defisiensi faktor kontak, hemofila A (defisiensi
faktor VIII), hemofilia B (defisiensi faktor IX) dan hemofilia C (defisiensi faktor
XI ). Kadar APTT akan memberikan gambaran abnormal (memanjang) bilamana
defisiensi faktor berada pada level <0,3 – 0,4 U/ml. Kemampuan untuk
mempertahankan fungsi hemostasis minimal dari faktor VIII, IX, XI adalah pada
nilai 30% dengan demikian APTT merupakan tes skrining hemostatik yang
sensitif terhadap defisiensi faktor. Meskipun demikian prosedur APTT akan
mempunyai kemungkinan gagal mendeteksi kasus hemofilia ringan atau
borderline dengan nilai 25 – 30% dari kadar normal, pada kasus demikian
pemeriksaan faktor pembekuan
spesifik perlu dilakukan bilamana dicurigai suatu hemofilia ringan.3
Pemeriksaan terhadap inhibitor
Pemeriksaan APTT merupakan pemeriksaan skrining yang penting untuk
mengetahui adanya inhibitor terhadap koagulasi seperti lupus antikoagulan,
demikian juga dengan efek inhibisi dari fibrin degradation product dan juga efek
dari heparin akan memperpanjang APTT.
Protrombin Time (PT)
Pemeriksaan PT merupakan pemeriksaan skrining terhadap kelainan dalam
lintasan ekstrinsik yaitu terhadap faktor VII, X, V dan II. Pemeriksaan ini juga
untuk mendeteksi kadar fibrinogen yang rendah yaitu bila kadar fibrinogen <100
mg/dl; terutama digunakan untuk monitoring terapi antikoagulan atau skrining
terhadap defisiensi vitamin K. Pemeriksaan PT kurang sesitif terhadap inhibisi
oleh FDP dan heparin dibandingkan dengan pemeriksaan PTT atau thrombin time.
Thrombin Clotting Time (TCT)
Pemeriksaan TCT merupakan suatu pemeriksaan dengan menambahkan trombin
dalam plasma untuk mengetahui keadaan jumlah dan kualitas fibrinogen atau
kecepatan konversi fibrinogen menjadi fibrin. Nilai TCT yang memanjang
menggambarkan adanya defisiensi fibrinogen (<100 mg/dl); misalnya pada
keadaan congenital hipofibrinogemia atau afibrinogemia, kadar yang abnormal
terjadi pada reaksi inflamasi, kualitas yang abnormal dari fibrinogen (hereditary
dysfibrinogemia, sirosis, karsinoma hepatoselular, neonatus). Selain itu bahan-
bahan yang mengganggu kerja trombin dalam mengubah fibrinogen menjadi
fibrin
seperti heparin, anti thrombin antibody, produk proteolitik dari fibrinogen dan
fibrin (FDP) akan menyebabkan TCT memanjang.
Pemeriksaan Faktor Koagulasi
Pemeriksaan Faktor Koagulasi terdiri atas 2 jenis yaitu (1) qualitative coagulation
factor activity assay dan (2) quantitative coagulation factor activity. Kualitatif
terdiri dari atas 2 tipe yaitu clotting time assays dan chromogenic assays. Clotting
time assays dilakukan dengan mengukur aktivitas faktor dengan menggunakan
plasma depleted factor congenital atau dengan menggunakan factor depleted
plasma artificial. Kuantitatif, ditujukan untuk mengukur jumlah protein
pembekuan (prokoagulan, antikoagulan, komponen fibrinolitik, peptida aktif ).
Teknik pemeriksaan yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan
agglutination of antibody-coated beads, imunoelektroporesis, radio immuno
assays dan enzyme linked immunoabsorbent assay (ELISA). Pemeriksaan
kuantitatif tidak akan mengukur fungsi dari protein faktor koagulasi.
Aplikasi Klinis yang Berhubungan Kelainan Koagulasi Evaluasi perdarahan
yang berhubungan dengan kelainan koagulasi pada masa neonatus
Pemeriksaan darah pada masa perinatal merupakan pemeriksaan skrining yang
unik, informasi yang diperoleh sebelum anak dilahirkan akan sangat penting
dalam merencanakan pemeriksaan skrining yang dibutuhkan. Informasi ini berupa
riwayat riwayat penyakit perdarahan dalam keluarga seperti penyakit keturunan
yang dominan (penyakit von Willenbrand, dysfibrinogemia) atau penyakit X-
linked (hemofilia A dan B) memerlukan perencanaan pengambilan contoh darah
(darah umbilikus) segera setelah bayi dilahirkan. Bilamana dicurigai suatu
hemofilia maka assayfactor pembekuan dibutuhkan untuk konformasi, bilamana
adanya komplikasi prenatal dan obstretrik maka harus selalu diwaspadai adanya
risiko perdarahan
misalnya oleh karena penggunaan obat-obatan (anti konvulsan, warfarin),
abruption placenta, kematian janin kembar. Pemeriksaan skrining yang
dibutuhkan
adalah hitung trombosit, PT, APTT,TT dan fibrinogen. 3,4
Evaluasi perdarahan yang berhubungan dengan kelainan koagulasi pada
anak dan dewasa
Pemeriksaan dasar untuk skrining hemostatik adalah hitung trombosit dan
hapusan darah, bleeding time (BT), activated partial thromboplastin time (APTT),
prothrombine time (PT), thrombine clotting time (TT), dan fibrinogen
Evaluasi hemostasis preoperatif
Pemeriksaan hemostatik rutin preoperatif seperti APTT dan BT tidak selamanya
mempunyai nilai prediktif yang berarti dan cost effective. Pemeriksaan skrining
dasar sebaiknya dilakukan pada pasien yang positif diketahui menderita penyakit
perdarahan atau mereka yang mempunyai risiko tinggi terjadi perdarahan oleh
karena hal-hal khusus, misalnya pemeriksaan skrining dianjurkan pada anak
sebelum diadakan tonsilektomi dan adenoidektomi oleh karena risiko perdarahan
kemungkinan besar terjadi dan pada anak tersebut apabila riwayat perdarahan
sebelumnya tidak diketahui atau sulit dideteksi oleh karena tidak ada tindakan
bedah atau trauma sebelumnya.1
APTT yang memanjang (isolated prolongation of APTT)
Problematik terjadi bilamana pasien yang akan dioperasi hanya ditemukan APTT
yang memanjang (isolated prolongation of aPTT) sedangkan pemeriksaan
skrining hemostasis yang lain (PT, TCT, hitung trombosit, BT, fibrinogen) dalam
batas normal. Pendekatan pada kasus ini dilakukan dengan melihat hasil koreksi
dengan plasma normal (Gambar 5).1,2 Umumnya kasus dengan isolated
prolongation of
aPTT mempunyai kelainan dalam hal sistem kontak (seperti defisiensi faktor XII
atau slow activator), sebagian besar kasus-kasus ini tidak menunjukan perdarahan
hebat dan bilamana terjadi perdarahan maka kemungkinan penyebab adalah
hemofilia ringan atau penyakit von Willebrand (lihat Tabel 1)
Defisiensi Vitamin K
Pada penderita dengan penyakit yang berat akan mudah terjadi defisiensi vitamin
K oleh karena nutrtisi yang jelek ataupun oleh karena penggunaan antibiotika
jangka panjang. Defisiensi Viamin K akan menyebabkan penurunan aktifitas
faktor pembekuan II, VII, IX dan X dengan demikian PT dan aPTT akan
memanjang akan tetapi kadar fibrinogen dan TT masih dalam keadaan normal. PT
akan lebih dahulu ditemukan memanjang sebelum perubahan dar aPTT terlihat,
hal ini disebabkan oleh karena half-life yang pendek dari faktor VII (5 jam).
Penyakit hati
Hati merupakan tempat sintesis dari hampir semua faktor pembekuan, dengan
demikian PT dan APTT akan memanjang pada penyakit hati lanjut. Seperti pada
defisiensi vit K , PT akan lebih dahulu ditemukan memanjang dibandingkan
dengan APTT. TT akan ditemukan memanjang disebabkan oleh karena hambatan
sintesis hepar akibat disfungsi fibrinogen atau inhibisi terhadap polimerasi fibrin
oleh FDP
dalam sirkulasi. Bilamana terjadi gagal hati maka konsentrasi fibrinogen akan
turun. BT akan memanjang dalam tingkatan ringan-sedang oleh karena
mekanisme yang belum jelas. ELT akan memendek pada penyakit hati lanjut oleh
karena enzim fibrinolitik dalam sirkulasi gagal di inaktifasi oleh hati.
Disseminated intravascular coagulation (DIC)
DIC adalah suatu proses sistemik disebabkan oleh pembentukan trombin
patologis.
Secara klinis, DIC ditandai oleh trombosis maupun perdarahan. DIC dihasilkan
oleh aktivasi koagulasi lokal atau sistemik yang tidak terkendali, yang
menyebabkan deplesi faktor-faktor koagulasi dan fi brinogen sampai dengan
trombositopenia karena trombosit diaktifkan dan dikonsumsi.2,3
DIC merupakan komplikasi suatu penyakit. Berbagai penyakit yang mendasari
DIC yaitu sepsis (koagulasi diaktifkan karena adanya lipopolisakarida) begitu
juga leukemia akut, kanker lainnya (terutama adenokarsinoma), trauma, luka
bakar, emboli cairan ketuban, abruptio placentae, atau kematian pada kehamilan
(dilepaskan faktor jaringan/tissue factor). Aneurisma aorta dan hemangioma
kavernosum dapat memicu DIC melalui stasis vaskuler, dan bisa gigitan ular
dapat
menyebabkan DIC akibat adanya toksin eksogen.2,3 Perdarahan pada DIC
umumnya terjadi di berbagai lokasi, seperti kateter intravena atau insisi, dan dapat
meluas (purpura fulminan). DIC pada kanker umumnya bermanifestasi sebagai
trombosis (sindrom Trousseau).3 Sering terdapat pemanjangan faal hemostasis
atau trombositopenia yang akut dan progresif pada pasien yang sedang dirawat
karena penyakit lain. Pada DIC awal, jumlah trombosit dan kadar fi brinogen
masih dalam interval normal, meskipun turun. Terjadi trombositopenia yang
progresif (jarang sampai berat), pemanjangan activated partial thromboplastin
time (aPTT) dan prothrombin time (PT), dan kadar fi brinogen yang rendah.
Kadar D-dimer umumnya akan meningkat akibat aktivasi koagulasi dan fibrin
yang saling terhubung secara difus. Schistocytes dari apusan darah tepi akibat
terpotongnya sel
darah merah setelah melalui mikrovaskuler (mikroangiopati), ditemukan pada 10-
20% pasien, sehingga penting mempertimbangkan TTP-HUS sebagai suatu
diagnosis banding. Abnormalitas laboratoris pada sindrom HELLP (hemolysis,
elevated liver enzymes, low platelets) merupakan suatu bentuk DIC yang berat
dengan angka mortalitas tinggi pada wanita peripartum, termasuk peningkatan
transaminase hati dan (pada banyak kasus) disfungsi renal akibat hemoglobinuria
masif dan nefropati pigmen. DIC yang dijumpai pada pasien kanker dapat
menunjukkan jumlah trombosit dan faal hemostasis yang normal.2,3
Kelainan penyebab yang mendasarinya harus diterapi (contohnya: dengan
antimikroba, kemoterapi, pembedahan, atau persalinan dari konsepsi). Jika terjadi
perdarahan yang terjadi bersifat signifikan secara klinis, hemostasis harus tercapai
(Tabel 8).3
Derajat perubahan laboratorium yang ditemukan pada DIC adalah kadar
fibrinogen yang rendah(<100mg/dl), kadar dari FDP yang tinggi (D Dimer > 2
ìg/ml), PT dan aPTT yang memanjang, trombositopenia dan BT yang memanjang.
ELT normal pada sebagian besar kasus penderita DIC. Pada DIC yang ringan,
kadar fibrinogen seringkali normal hal ini disebabkan oleh karena terjadinya
peningkatan sintesis sebagai respon terhadap reaksi fase akut akan tetapi keadaan
ini diikuti oleh meningkatnya konsumsi dari fibrinogen. Demikian juga aPTT
akan memendek, kemungkinan oleh karena aktifasi faktor-faktor pembekuan.5,6
Dilutional Coagulopathy
Pada penderita yang mengalami trauma atau pembedahan maka kehilangan darah
akan diganti sementara dengan cairan intravenous dalam jumlah yang cukup
besar, pada keadaan demikian ini akan terjadi dilusi dari faktor pembekuan dan
trombosit.
Sindrom “Washout” ini akan diperberat dengan terjadinya konsumsi dari factor
pembekuan dan trombosit pada jaringan tubuh yang mengalami kerusakan.
Hampir semua pemeriksaan skrining hemostassis akan menjadi abnormal.1
Daftar Pustaka
1. Hattaway WE, Goodnight SH. Physiology of hemostasis and thrombosis.
Disorder of hemostasis and thrombosis, 2nd edition, McGraw-Hill Inc, New York,
1993 : 3-20.
2. Colman RW, Clowes AW, George JN. Overview of hemostasis. In:Colman
RW, Hirsh J, Marder VJ, Clowes AW, George JN eds.Hemostasis and
Thrombosis,4th
ed.Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins,2001:3- 16.
3. Hattaway WE, Bonnar J. Physiology of coagulation in the fetus and newborn
infant.Hemostatic disorder of the pregnant woman and newborn infant, 1st
edition,
Elsevier, NewYork, 1987:57-68.
3. Papadakis M, McPhee S. Current Medical Diagnosis & Treatment. 52nd ed.
New York: The McGraw-Hill Co., Inc; 2013.
4. Kitchen S, McCraw A. Diagnosis of haemophilia and other bleeding disorders.
A laboratory manual. The World Federation of Hemophilia, 2003
5. Moll S, Roberts HR. Overview of anticoagulant drugs for the future. Seminar in
Hematology. Semin Hematol, 2002;39:145-57.
6. Hotchkiss RS, Karl IE. The pathophysiology and treatment of sepsis. N Engl J
Med,2003;348:138-50.
THROMBOSIS DAN USIA LANJUT
PENDAHULUAN
Thrombosis merupakan penyebab kematian terbanyak di Amerika Serikat. Lebih
dari 2 juta orang meninggal setiap tahun akibat thrombosis arteri atau vena atau
penyakit-penyakit yang ditimbulkannya. Dalam jumlah yang sama dijumpai
penderita thrombosis non-fatal seperti misalnya thrombosis vena dalam (deep vein
thrombosis), emboli paru non-fatal, thrombosis serebrovaskuler, transient cerebral
ischemic attack, penyakit jantung koroner non-fatal, thrombosis vaskuler retina,
dan lain-lain. Jika dibandingkan dengan kematian akibat kanker sebesar 550.000
per tahun, thrombosis menimbulkan kematian 4 kali lebih banyak. Ini
menunjukkan bahwa thrombosis memberikan dampak luar biasa pada morbiditas,
mortalitas dan biaya perawatan medik.1,2 Sebagian morbiditas tersebut dapat
dicegah dengan pencegahan primer, dan sebagian lagi dengan pencegahan
sekunder sesudah terjadi serangan. Oleh karena itu pengertian tentang faktor
risiko dan patogenesisnya menjadi sangat penting dalam rangka menyusun cara
pencegahan dan pengobatan yang baik. 1,2 Kecenderungan yang sama dapat
dijumpai di negaran-negara berkembang termasuk Indonesia. Di Indonesia,
thrombosis (penyakit jantung koroner dan stroke) merupakan penyebab kematian
nomor satu, lebih sering dari penyakit infeksi..1,2 Data epidemiologik
menunjukkan bahwa kejadian thrombosis baik arteri ataupun vena semakin
meningkat dengan meningkatnya usia. Bahkan umur dianggap sebagai salah satu
faktor risiko thrombosis. Apakah usia merupakan faktor risiko independen dan
bagaimana mekanismenya, perlu dipahami lebih baik,
sehingga dapat diambil tindakan untuk dapat mengurangi dampak usia terhadap
kejadian thrombosis.
TERMINOLOGI
Beberapa terminologi perlu dijelaskan untuk mendapat persepsi yang sama
Thrombosis
Thrombosis adalah keadaan dimana terjadi pembentukan massa bekuan darah
intravaskuler, yang berasal dari konstituen darah, pada orang yang masih hidup.
Dalam pengertian yang luas thrombus dapat bersifat fisiologik disebut sebagai
hemostatic thrombus. yang berguna untuk menutup kerusakan dinding pembuluh
darah setelah injury, dapat juga bersifat patologik, disebut sebagai pathologic
thrombus, thrombus yang justeru dapat menyumbat lumen pembuluh darah. Pada
umumnya yang dimaksud dengan thrombosis ialah pembentukan pathologic
thrombus.3 Thrombosis dapat terjadi pada arteri, disebut sebagai thrombosis arteri
(arterial thrombosis), dapat juga terjadi pada vena disebut sebagai thrombosis
vena
(venous thrombosis). Thrombus arteri berbeda sifatnya dengan thrombus vena.
Komponen thrombus arteri sebagian besar terdiri dari platelet (thrombosit)
diselingi
oleh anyaman fibrin, komponen eritrositnya sangat rendah sehingga thrombus
berwarna putih disebut sebagai white thrombus.. Sedangkan thrombus vena
sebagian besar terdiri dari sel darah merah disela-sela anyaman fibrin, komponen
thrombosit sangat sedikit, thrombus berwarna merah disebut sebagai red
thrombus3
Thrombophilia
Thrombophilia adalah suatu keadaan dimana sesorang lebih mudah mendapat
thrombosis dibandingkan dengan orang normal. Thrombophilia dapat disebabkan
karena faktor-faktor yang didapat sehingga disebut acquired thrombophilia, dapat
juga disebabkan oleh karena faktor-faktor yang diturunkan, disebut sebagai
hereditary thrombophilia. Ada juga yang menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan thrombophilia hanyalah hereditary thrombophilia.3
Hypercoagulable state
Hypercoagulable state atau keadaan hiperkoagulabel ialah suatu istilah yang
pengertiannya sama dengan thrombophilia.3
Atherosklerosis
Atherosklerosis ialah terjadinya deposisi plak atheroma pada dinding pembuluh
darah.3
Atherothrombosis
Atherothrombosis adalah terjadinya thrombus pada permukaan plak atheroma
yang mengalami ruptur. 3
HEMOSTASIS
Hemostasis adalah suatu sistem dalam tubuh manusia yang terdiri dari komponen
seluler dan protein yang sangat terintegrasi. Fungsi utama hemostasis adalah
menjaga keenceran darah (blood fluidity) sehingga darah dapat mengalir dalam
sirkulasi dengan baik, serta membentuk thrombus sementara (temporary
thrombus) atau disebut juga hemostatic thrombus pada dinding pembuluh darah
yang mengalami kerusakan (vascular injury). Hemostasis terdiri dari enam
komponen utama, yaitu: platelet, endotil vaskuler, procoagulant plasma protein
factors, natural anticoagulant proteins, protein fibrinolitik dan protein
antifibrinolitik. Semua komponen ini harus tersedia dalam jumlah cukup, dengan
fungsi yang baik serta tempat yang tepat untuk dapat menjalankan faal hemostasis
dengan baik. Interaksi komponen ini dapat memacu terjadinya thrombosis disebut
sebagai sifat prothrombotik dan dapat juga menghambat proses thrombosis yang
berlebihan, disebut sebagai sifat antithrombotik. Faal hemostasis dapat berjalan
normal jika terdapat keseimbangan antara faktor prothrombotik dan faktor
antithrombotik.3-9 Hemostasis normal dapat dibagi menjadi dua tahap: yaitu
hemostasis primer (primary hemostasis) dan hemostasis sekunder (secondary
hemostasis). Pada hemostasis primer yang berperan adalah komponen vaskuler
dan komponen trombosit. Disini terbentuk sumbat trombosit (platelet plug) yang
berfungsi segera menutup kerusakan dinding pembuluh darah. Sedangkan pada
hemostasis sekunder yang berperan adalah protein pembekuan darah, juga dibantu
oleh trombosit. Disini terjadi deposisi fibrin pada sumbat trombosit sehingga
sumbat ini menjadi lebih kuat yang disebut sebagai stable fibrin plug.3-10
Proses koagulasi pada hemostasis sekunder merupakan suatu rangkaian reaksi
dimana terjadi pengaktifan suatu prekursor protein (zymogen) menjadi bentuk
aktif. Bentuk aktif ini sebagian besar merupakan serine protease yang memecah
protein pada asam amino tertentu sehingga protein pembeku tersebut menjadi
aktif. Sebagai hasil akhir adalah pemecahan fibrinogen menjadi fibrin yang
akhirnya membentuk fibrin ikat silang (cross linked fibrin). Proses ini jika dilihat
secara skematik tampak sebagai suatu air terjun (waterfall) atau sebagai suatu
tangga (cascade).3-9 Proses koagulasi dapat dimulai melalui dua jalur, yaitu jalur
ekstrinsik (extrinsic pathway) dan jalur intrinsik (intrinsic pathway). Jalur
ekstrinsik dimulai jika terjadi kerusakan vaskuler sehingga faktor jaringan (tissue
factor) mengalami pemaparan terhadap komponen darah dalam sirkulasi. Faktor
jaringan dengan bantuan kalsium menyebabkan aktivasi faktor VII menjadi FVIIa.
Kompleks FVIIa, tissue factor dan kalsium (disebut sebagai extrinsic tenase
complex) mengaktifkan faktor X menjadi FXa dan faktor IX menjadi FIXa. Jalur
ekstrinsik berlangsung pendek karena dihambat oleh tissue factor pathway
inhibitor (TFPI). Jadi jalur ekstrinsik hanya memulai proses koagulasi, begitu
terbentuk sedikit thrombin, maka thrombin akan mengaktifkan faktor IX menjadi
FIXa lebih lanjut, sehingga proses koagulasi dilanjutkan oleh jalur intrinsik. Jalur
intrinsik dimulai dengan adanya contact activation yang melibatkan faktor XII,
prekalikrein dan high molecular weigth kinninogen (HMWK) yang kemudian
mengaktifkan faktor IX menjadi FIXa. Akhir-akhir ini peran faktor XII, HMWK
dan prekalikrein dalam proses koagulasi dipertanyakan. Proses selanjutnya adalah
pembentukan intrinsic tenase complex yang melibatkan FIXa, FVIIIa, posfolipid
dari PF3 (platelet factor 3) dan kalsium. Intrinsic tenase complex akan
mengaktifkan faktor X menjadi FXa. Langkah berikutnya adalah pembentukan
kompleks yang terdiri dari FXa, FVa, posfolipid dari PF3 serta kalsium yang
disebut sebagai prothrombinase complex yang mengubah prothrombin menjadi
thrombin yang selanjutnya memecah fibrinogen menjadi fibrin.Thrombin
mempunyai fungsi sentral dalam faal koagulasi, oleh karena thrombin mempunyai
berbagai macam fungsi.3-9
Pengendalian terhadap pembentukan fibrin yang berlebihan
Faal hemostasis merupakan proses yang sangat terkendali dan berkeseimbangan
serta terbatas hanya di tempat kerusakan dinding pembuluh darah, tidak boleh
meluas secara sistemik. Pembentukan fibrin berlebihan (sifat prothrombotik)
menyebabkan thrombosis, sedangkan pembentukan fibrin yang tidak adekuat
menyebabkan perdarahan. Mekanisme yang mengendalikan pembentukan fibrin
berlebihan adalah:
1. Sel endotil intak (unpertubed endothelium) bersifat antithrombotik sehingga
tidak memungkinkan perluasan thrombus ke luar daerah injury.9
2. Antikoagulan alamiah (natural anticoagulant), yaitu kompleks yang terdapat
dalam sirkulasi normal yang berfungsi menghambat proses koagulasi.
Antikoagulan alamiah terdiri dari:3-9
a. Sistem TAT (thrombin-antithrombin).
b. Sistem protein C dan protein S.
c. Tissue factor pathway inhibitor (TFPI).
d. Sistem Protein Z.
3. Sistem fibrinolisis yang dapat menghancurkan (lisis) fibrin yang sudah
terbentuk.
Sistem thrombin-antithrombin
Antithrombin (AT), dulu dikenal sebagai AT-III, suatu serine protease inhibitor
yang mengendalikan koagulasi dengan menginaktivasi thrombin dan prokoagulan
lain seperti faktor Xa, IXa dan XIIa. Inaktivasi thrombin oleh AT akan diperkuat
oleh adanya kofaktor pada permukaan endotil yaitu heparan sulfat (suatu
glycosaminoglycan), atau adanya heparin yang berasal dari luar. Defek AT
sebagian besar bersifat herediter tetapi dapat juga bersifat didapat. Defek AT
menyebabkan aktivitas thrombin berlebihan sehingga mendorong terjadinya
thrombosis.3-9
Sistem Protein C dan Protein S
Protein C adalah suatu vitamin K . dependent plasma proteins yang dapat
diaktifkan oleh thrombinthrombomodulin complex menjadi protein C aktif
(activated protein C) atau APC. Thrombomodulin terdapat pada permukaan
endotil vaskuler yang intak. Thrombomodulin mengikat thrombin yang mengubah
sifat thrombin yang semula prothrombotik menjadi antithrombotik. APC akan
menginaktifkan faktor V aktif (FVa) dan faktor VIII aktif (FVIIIa) dengan
demikian dapat menghambat produksi thrombin. Aktivitas APC sangat diperkuat
dengan adanya protein S yang juga merupakan suatu vitamin K-dependent plasma
protein. Defisiensi protein C atau protein S menyebabkan penurunan antikoagulan
alamiah sehingga aktivitas thrombin meningkat. Fungsi APC menjadi menurun
jika struktur faktor V berubah, sebagai akibatnya faktor Va tidak dapat
dinonaktifkan oleh APC. Keadaan ini disebut APC resistance, terutama dijumpai
pada faktor V Leiden. 3-9
Tissue Factor Pathway Inhibitor (TFPI)
TFPI adalah suatu multivalent Kunitz type plasma protein inhibitor. TFPI
memodulasi tissue factor-dependent coagulation in vivo dengan menghambat
extrinsic tenase complex (faktor VIIa dan tissue factor). TFPI dikenal sebagai
regulator poten dari thrombosis. Sampai saat ini belum dikenal adanya defisiensi
TFPI herediter.11
Protein Z
Protein Z adalah vitamin K-dependent plasma protein yang mempunyai struktur
mirip dengan faktor VII, IX, X, protein C dan protein S. Protein Z bekerja sama
dengan protein Z-dependent protease inhibitor, procoagulant phospholipids (PF3)
dan kalsium akan menghambat secara cepat (rapid inhibition) faktor Xa. Dengan
demikian menghambat pembentukan thrombin. 12,13
Sistem fibrinolisis
Plasminogen dipecah menjadi plasmin oleh plasminogen activator, terutama tissue
plasminogen activator (t-PA). Sebagai penyeimbangnya maka plasminogen
activator inhibitor- 1 (PAI-1) menghambat kerja t-PA. 3-9
PATOGENESIS THROMBOSIS
Lebih dari 100 tahun yang lalu Rudolph Virchow pada tahun 1854
mengemukakan Virchow Triad, yang prinsipnya sampai sekarang masih dianggap
valid. Berdasar teori Virchow triad, thrombosis timbul karena tiga hal: 3-9
a. Kelainan dinding pembuluh darah (vascular injury).
b. Gangguan aliran darah (gangguan rheology).
c. Kelainan konstituen darah (hypercoagulable state).
Pada thrombosis arteri ketiga faktor tersebut memegang peranan penting, tetapi
pada thrombosis vena, thrombosis dapat terjadi pada dinding pembuluh darah
yang masih intak, berarti yang berperanan penting adalah faktor aliran darah
(stasis) dan keadaan hiperkoagulabel
Pada thrombosis arteri, proses dimulai dari endotel yang mengalami kerusakan
dimana terjadi aktivasi trombosit yang menyebabkan adhesi dan agregasi
trombosit pada dinding pembuluh darah. Terjadilah thrombus dengan komponen
utamanya adalah trombosit yang diikat oleh serat-serat fibrin dan beberapa sel
darah merah, maka thrombus ini berwarna agak keputihan, disebut sebagai white
thrombus. Sedangkan pada thrombosis vena komponen utamanya adalah fibrin
dengan banyak sel darah merah sehingga thrombus ini disebut sebagai red
thrombus. Perbedaan jenis thrombus ini ditentukan oleh perbedaan kecepatan
aliran darah (shear rate) pada arteri dan vena. Pada arteri dijumpai high shear rate
sedangkan pada vena low shear rate. Thrombus putih daya kohesinya lebih kuat
sehingga tidak mudah terlepas, sedangkan thrombus merah lebih friable sehingga
lebih mudah lepas sebagai emboli.3-9 Deitcher dan Rodgers1 menggambarkan
patofisiologi thrombosis, baik arterial ataupun vena seperti yang terlihat pada
gambar 1.
Kelainan dasar atau faktor risiko yang dapat menimbulkan thrombosis
Seperti halnya pada anemia maka pada thrombosis kita tidaklah cukup hanya
sampai diagnosis thrombosis, tetapi yang lebih penting adalah mencari penyakit
dasar atau faktor risiko dari thrombosis.3 Faktor risiko ini dapat dibagi menjadi 3
golongan besar3
a. Situational risk factors.
b. Inherited risk factors (inherited thrombophilia).
c. Acquired risk factors (acquired thrombophilia).
Situational risk factors menunjukkan keadaan klinis yang jelas (well defined) dan
transien yang disertai peningkatan risiko thrombosis selama keadaan tersebut atau
sesaat setelah keadaan tersebut. Contohnya adalah: operasi, imobilisasi
berkepanjangan, pemakaian kontraseptif oral (oral contraceptive = OCP), terapi
ganti hormon (hormone replacement therapy = HRT) kehamilan, kemoterapi
kanker, dan heparin-induced thrombocytopenia. 3 Inherited risk factors
menunjukkan adanya mutasi genetik atau polimorfisme yang menyebabkan
defisiensi antikoagulan alamiah (protein C, protein S atau AT), akumulasi faktor
prokoagulan (prothrombin G20210A, atau ensim methyltetrahydrofoalte
reductase), atau faktor koagulan yang resisten terhadap inaktivasi antikoagulan
alamiah (faktor V Leiden). Semua keadaan ini menyebabkan terganggunya
mekanisme regulasi koagulasi normal yang menghasilkan lebih banyak thrombin
yang mengakibatkan peningkatan risiko thrombosis.3 Acquired risk factors timbul
sebagai akibat kelainan medik atau kelainan hematologik nonfamilial yang
mengganggu hemostasis normal atau reologi darah. Contohnya adalah kanker,
inflammatory bowel disease, sindroma nefrotik, vaskulitis, sindroma
antiposfolipid, kelainan mieloproliferatif, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria,
dan sindroma hiperviscositas. Berbeda dengan situational risk factor yang bersifat
transien, acquired risk factors disebabkan oleh penyakit atau proses yang bersifat
ireversibel dan menetap.3 Daftar penyebab thrombophilia didapat, herediter atau
gabungan herediter dan didapat dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Thrombophilia didapat, herediter atau situasional2
Inherited disorders
APC resistance
Factor V Leiden mutation
Factor V Cambridge
Factor V Hongkong
Factor V HR2 mutation
Prothrombin 20210A mutation
Factor XII deficiency
Dysfibrinogenemia
Platelet defects: sticky platelet syndrome
Disorders both inherited and acquired
Antithrombin deficiency
Heparin cofactor II deficiency
Protein C deficiency
Protein S deficiency
Plasminogen deficiency
APC resistence
Acquired disorders
Antiphospholipid antibodies
Anticardiolipin antibodies
Lupus anticoagulant
Myeloproliferative disorders
Trousseau syndrome (cancer)
Paroxysmal nocturnal syndrome
Diabetes mellitus
Hyperviscosity syndrome
Interaksi berbagai faktor risiko
Pada seorang penderita dapat dijumpai gabungan beberapa faktor risiko, baik
faktor risiko situasional, herediter atau didapat. Interaksi antara faktor herediter
disebut gene to gene interaction., sedangkan interaksi faktor herediter dengan
faktor didapat disebut gene to environtment interaction..1 Secara teoritik
gabungan faktor risiko ini akan meningkatkan risko thrombosis. Hal ini sesuai
pula dengan penemuan klinik pada beberapa individu dengan gabungan faktor
risko. Gerhardt et al14 melaporkan bahwa risiko thrombosis selama kehamilan dan
puerperium pada wanita dengan gabungan faktor V Leiden dan mutasi
prothrombin meningkat secara disproporsional dibandingkan dengan wanita yang
mempunyai mutasi tunggal. Mandel et al 15 juga melaporkan bahwa koeksistensi
hiperhomositinuria herediter dengan faktor V Leiden meningkatkan risiko
thrombosis. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut apakah interaksi ini
mengikuti model additive effects ataukah supra-additive effect. Pada model
additive effect diasumsikan bahwa tidak ada interaksi dan efek yang timbul
merupakan penjumlahan masing-masing efek. Pada model supra-additive effect
diasumsikan terjadi interaksi dan efek yang timbul lebih dari penjumlahan
masing-masing efek.16