GAMBARAN PATOLOGI TRAKEA PADA AYAM PETELUR … · hemoragi dan tidak ditemukan adanya eksudat...

47
GAMBARAN PATOLOGI TRAKEA PADA AYAM PETELUR YANG TERSERANG SNOT (CORYZA) SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle Linn). SKRIPSI OLEH NURWAHIDAH ADNIN O 111 11 259 PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015

Transcript of GAMBARAN PATOLOGI TRAKEA PADA AYAM PETELUR … · hemoragi dan tidak ditemukan adanya eksudat...

GAMBARAN PATOLOGI TRAKEA PADA AYAM PETELUR YANG

TERSERANG SNOT (CORYZA) SETELAH PEMBERIAN EKSTRAK DAUN

SIRIH (Piper betle Linn).

SKRIPSI

OLEH

NURWAHIDAH ADNIN

O 111 11 259

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

GAMBARAN PATOLOGI TRAKEA PADA AYAM PETELUR YANG

TERSERANG PENYAKIT SNOT (CORYZA) SETELAH PEMBERIAN

EKSTRAK DAUN SIRIH (Piper betle Linn)

NURWAHIDAH ADNIN

Skripsi

Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan pada

Program Studi Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Nurwahidah Adnin

NIM : O111 11 259

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa :

a. Karya skripsi saya adalah asli.

b. Apabila sebagian atau seluruhnya skripsi ini, terutama dalam bab hasil dan

pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan

dikenakan sangsi akademik yang berlaku.

2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.

Makassar, 3 Desember 2015

Nurwahidah Adnin

ABSTRAK

NURWAHIDAH ADNIN, O111 11 259. Gambaran Patologi Trakea Pada Ayam

Petelur (Layer) Yang Terserang Penyakit Snot (Coryza) Setelah Pemberian

Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn) Di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan

dibimbing oleh drh. A. Magfira Satya Apada dan Dr. drh. Dwi Kesuma Sari.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran patologi trakea pada

ayam petelur (layer) yang terserang snot (coryza) setelah pemberian ekstrak daun

sirih (Piper betle Linn). Penelitian ini di laksanakan pada bulan Mei di Kabupaten

Pinrang selama 2 minggu dengan pemberian ekstrak daun sirih 2,5%, 5% dan 10%

dan dengan dosis 1 ml per ekor diberikan secara oral menggunakan spoit pada ayam

yang terserang snot. Populasi yang diteliti adalah 25 ekor ayam petelur yang terserang

penyakit snot yang dibagi dalam 5 kelompok yaitu kelompok kontrol positif

menggunakan antibiotik (Enrofloxacin) atau kelompok X0, kelompok kontrol negatif

menggunakan NaCMC 0,5% (kelompok X1), kelompok perlakuan ekstrak daun sirih

2,5% (X2), kelompok perlakuan ekstrak daun sirih 5% (X3), dan kelompok perlakuan

ekstrak daun sirih 10% (X4). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran

patologi makroskopik trakea ayam kelompok X0, X1, X2, X3 dan X4 berupa

hemoragi dan tidak ditemukan adanya eksudat serous. Kelompok X1 menunjukkan

gambaran patologi terburuk dari kelompok lainnya berupa hemorragi yang terlihat

jelas dan mencolok. Berdasarkan analisis skoring (kuantitatif), menunjukkan bahwa

gambaran makroskopik X1 tidak berbeda nyata dengan gambaran makroskopik X0

dan X2. Kelompok X1 sangat berbeda nyata jika dibandingkan dengan kelompok X4.

Kelompok X0 tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kelompok X4 dan

berbeda jika dibandingkan dengan kelompok X1 dan kelompok X2. Kesimpulan dari

penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun sirih pada ayam petelur

yang terserang snot mampu mengurangi kerusakan organ trakea akibat bakteri

Haemophillus paragallinarum (HPG). Pemberian ekstrak daun sirih dengan dosis

10% merupakan dosis paling efektif yang digunakan untuk pengobatan penyakit snot.

Kata kunci : ayam petelur, patologi, snot (coryza), daun sirih.

ABSTRACT

NURWAHIDAH ADNIN, O111 11 259. Pathology Trachea on Laying Chicken

(layer) the Esophageal Disease Snot (coryza) After Administration of Betel Leaf

Extract (Piper betle Linn) in Pinrang, South Sulawesi. Guided by drh. A.

Magfira Satya Apada and Dr. drh. Dwi Kesuma Sari.

This study aims to describe the pathology of the trachea in layers which

attacked snot (coryza) after administration od extract of betel leaf (Piper betle Linn).

The study was implemented on May, 2015 in Pinrang for two weeks by

administration of betel leaf extract 2,5%, 5% and 10% with a dose of 1 ml per animal

is administered orally using spoit for the infected chicken snot. The population

studied was 25 laying hens are disease snot was divided into 5 groups : control group

tested positive for antibiotics (Enrofloaxin) or X0 group. Negative control group

using NaCMC 0,5% (group X1), betel leaf extract treatment group 2,5% (X2), betel

leaf extract group 5% (X3), betel leaf extract treatment group 10% (X4). The result

showed that chicken trachea macroskopic pathology group X0, X1, X2, X3, and X4

in the form of hemorrhage and did not reveal any serous exudates. X1 group showed

a picture of worst pathologies of other groups such as visible hemorragi. Based on the

quantitative scoring analysis, showed that the macroscopic picture of X1 was not

significantly different from the macroscopic picture of X2. X1 group was

significantly different when compared with the group X4. X0 group were not

significantly when compared with X4 and different when it compared to the X1 and

X2 group. The conclusion of this study indicate that the administration of betel leaf

extract in laying hens were infected snot can reduce tracheal organ damage due to

bacteria Haemophillus paragallinarum (HPG). Betel leaf extract a dose 10% is the

most effective dose is used for the treatment of snot.

Keywords : Layer, Pathology, Snot (coryza), Betel leaf.

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahi rabbil’alamin. Segala puji syukur penulis panjatkan hanya

bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Gambaran Patologi Trakea Pada Ayam

Petelur (Layer) Yang Terserang Penyakit Snot (Coryza) Setelah Pemberian Ekstrak

Daun Sirih (Piper betle Linn) Di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.”

Proses penyusunan skripsi ini merupakan sebuah proses dan perjalanan panjang yang

tidak lepas dari dukungan banyak pihak, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Drh. Maghfira Satya Apada selaku Pembimbing Utama dan Dr. drh. Dwi

Kesuma Sari selaku pembimbing anggota yang telah meluangkan waktunya

dalam memberikan dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi.

2. Keluarga besar saya, ayahanda H. Adnin, S.Sos, ibunda (Almh) Hj. Hadirah,

Rahmawati, S.Pd, serta adik-adik yang selalu dan tidak henti-hentinya

memberikan dukungan moril, doa, kasih sayang, dan tentunya material sehingga

peneliti mampu menyelesaikan skripsi ini.

3. drh. Muhammad Fadhlullah Mursalim dan Drh. Farida Nur Yulianti, M. Si

sebagai dosen pembahas dan penguji dalam seminar proposal dan hasil yang

telah memberikan masukan-masukan dan penjelasan untuk perbaikan skripsi ini.

4. Dinas pertanian dan peternakan kabupaten pinrang khususnya drh. Igede selaku

dokter hewan yang memberikan motivasi dan bimbingan selama penelitian

berlangsung.

5. Muh. Ridha Salam S.P selaku kakak pembuat ulah yang selalu memberikan

motivasi dan saran-saran demi kelancaran penulisan skripsi.

6. Nursyamsi Asheri, Andi Futri Febriani, Asnelly Asri, dan Umikalsum Yakub

selaku sahabat, teman se almamater yang selalu memberikan motivasi dalam

mengerjakan skripsi ini.

7. Teman-teman Alumni Smansal 2011 khususnya Mitha, Megha, Jannah, Novy

yang selalu memberikan keceriaan dalam suka maupun duka.

8. Staf Dosen dan Tata Usaha PSKH FK UNHAS yang telah memberikan semangat

dan tak pernah putus asa atas doa dan bantuannya dalam menyelesaikan skripsi

ini.

9. Semua pihak yang tak bisa disebutkan satu persatu atas semangat, doa, kasih

sayang, dan bantuannya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis sadar tulisan ini jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap

tulisan ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Nurwahidah Adnin

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... I

LEMBAR PENGESAHAN ......................................................................... II

PERNYATAAN KEASLIAN ..................................................................... III

ABSTRAK ................................................................................................... IV

ABSTRACT ................................................................................................... V

KATA PENGANTAR ................................................................................. VI

RIWAYAT HIDUP ....................................................................................VII

DAFTAR ISI .............................................................................................. VIII

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... X

DAFTAR TABEL ....................................................................................... XI

BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................1

I.1 Latar Belakang ............................................................................................1

I.2 Rumusan Masalah .......................................................................................2

I.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................2

I.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................2

I.5 Hipotesis .....................................................................................................3

I.6 Keaslian Penelitian .....................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................4

II.1 Ayam Petelur (Layer) ................................................................................4

II.2 Snot (Coryza) ............................................................................................5

II.2.1 Pengertian Snot (Coryza) .......................................................................5

II.2.2 Etiologi Snot (Coryza) ............................................................................5

II.2.3 Gejala Klinis ...........................................................................................5

II.2.4 Perubahan Patologi Anatomi ..................................................................5

II.2.5 Perubahan Histolopatologi (Mikroskopik) .............................................6

II.2.6 Sifat Biokimia .........................................................................................6

II.3 Sistem Pernapasan Unggas ........................................................................7

II.4 Trakea ........................................................................................................8

II.5 Daun Sirih (Piper betle Linn) ....................................................................8

II.5.1 Pengertian, Manfaat, dan Kandungan Daun Sirih ..................................8

II.5.2 Mekanisme Kerja Ekstrak Daun Sirih ..................................................10

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................11

III.1 Waktu dan Lokasi Penelitian .................................................................11

III.2 Materi Penelitian ....................................................................................11

III.2.1 Populasi ...............................................................................................11

III.2.2 Sampel .................................................................................................11

III.3 Alat dan Bahan .......................................................................................11

III.3.1 Alat ......................................................................................................11

III.3.2 Bahan ...................................................................................................11

III.4 Metode Penelitian ...................................................................................11

III.4.1 Desain Penelitian .................................................................................11

III.4.2 Variabel Penelitian ..............................................................................12

A.Variabel Dependen .........................................................................12

B.Variabel Independen .......................................................................12

III.4.3 Jumlah Sampel ....................................................................................12

III.4.4 Pembuatan Ekstrak Daun Sirih ...........................................................12

III.4.5 Perlakuan .............................................................................................13

III.4.6 Euthanasia ...........................................................................................13

III.4.7 Nekropsi ..............................................................................................13

III.4.8 Parameter Penelitian ............................................................................13

A.Makroskopik ..................................................................................13

B.Mikroskopik ...................................................................................14

III.5 Pengamatan ............................................................................................14

III.6 Alur Penelitian .......................................................................................14

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .....................................................15

IV.1 Hasil .......................................................................................................15

IV.1.1 Kondisi Umum Ayam Petelur Sebelum Perlakuan .............................15

IV.1.2 Kondisi Ayam Petelur pada Saat Dilakukan Penelitian ......................16

IV.1.3 Gambaran Patologi Trakea Ayam Petelur yang Terserang Snot

(Coryza) Setelah Pemberian Ekstrak Daun Sirih (Piper betle Linn) .............21

IV.2 Pembahasan ............................................................................................25

BAB V PENUTUP ........................................................................................28

V.1 Kesimpulan .............................................................................................28

V.2 Saran ........................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................29

LAMPIRAN ..................................................................................................33

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Trakea Hemoragi ......................................................................................... 6

Gambar 2. Saluran Pernapasan Ayam ........................................................................... 8

Gambar 3. Trakea Normal............................................................................................. 8

Gambar 4. Daun Sirih ................................................................................................... 9

Gambar 5. Patologi Trakea Kelompok Kontrol Positif (Antibiotik) .......................... 22

Gambar 6. Patologi Trakea Kelompok Kontrol Negatif (NaCMC) ........................... 23

Gambar 7. Patologi Trakea Kelompok Perlakuan 2,5 % Ekstrak Daun Sirih ............ 23

Gambar 8. Patologi Trakea Kelompok Perlakuan 5% Ekstrak Daun Sirih ................ 23

Gambar 9. Patologi Trakea Kelompok Perlakuan 10% Ekstrak Daun Sirih .............. 24

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kondisi Umum Ayam Petelur Sebelum Perlakuan ................................... 15

Tabel 2. Kontrol Positif antibiotik (Neo meditril) (Kelompok X0) ........................ 16

Tabel 3. Kontrol Negatif (NaCMC 0,5%) (Kelompok X1) .................................... 17

Tabel 4. Kelompok perlakuan ekstrak daun sirih 2,5% (Kelompok X2) ................ 18

Tabel 5. Kelompok perlakuan ekstrak daun sirih 5% (Kelompok X3) ................... 19

Tabel 6. Kelompok perlakuan ekstrak daun sirih 10% (Kelompok X4) ................. 20

Tabel 7.Gambaran patologi trakea ayam petelur yang terserang snot ..................... 21

Tabel 8. Kriteria Skoring Lesio Patologi Organ Trakea ......................................... 22

Tabel 9. Hasil Skoring Lesio Patologi Organ Trakea ............................................. 22

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Faktor penting agar ayam dalam suatu peternakan dapat tumbuh dan

berproduksi secara maksimal adalah kelompok ayam pada peternakan tersebut harus

dalam keadaan sehat. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa walaupun semua

aspek manajemen peternakan, yaitu bibit, pakan, sistem pemeliharaan, program

kesehatan, dan sistem pemasaran produk telah dikelola secara maksimal, kerapkali

masih terjadi berbagai penyakit yang dapat menimbulkan kerugian pada pemilik

peternakan. Berdasarkan target primernya, penyakit pada ayam dapat dikelompokkan

antara lain sebagai penyakit pernapasan, penyakit pencernaan, penyakit sistem imun

dan penyakit sistem reproduksi (Tabbu, 1996).

Ayam petelur (layer) merupakan salah satu komoditas peternakan yang dapat

diandalkan. Mengingat sifat-sifat unggulnya yaitu tidak memerlukan tempat luas

dalam pemeliharaan, bergizi tinggi, pertumbuhan cepat dan efisien mengkonversikan

makanan menjadi gizi tinggi. Pemeliharaan ayam petelur membutuhkan penanganan

khusus yang bertujuan menghasilkan pertumbuhan yang baik, kondisi yang sehat, dan

tingkat mortalitas yang rendah sehingga menghasilkan ayam petelur dengan produksi

telur yang tinggi.

Penularan penyakit dapat terjadi melalui kontak langsung dengan ayam sakit

atau ayam karier, tetapi dapat pula terjadi secara tidak langsung melalui air minum,

pakan, dan peralatan yang terkontaminasi (Blackall et al., 1997; Shane, 1998). Wabah

penyakit sering terjadi pada musim peralihan dari penghujan ke musim kemarau atau

sebaliknya. (Gordon dan Jordan, 1982; Blackall et al., 1997). Salah satu penyakit

yang sering terjadi pada musim tersebut yaitu penyakit snot (coryza).

Penyakit infeksius snot atau infeksi Haemophilus paragallinarum ini sering

disebut sebagai penyakit snot menular, merupakan penyakit saluran pernafasan ayam

bagian atas yang menyebabkan gangguan pernafasan. Penyakit tersebut sangat

penting pada industri peternakan ayam, baik di negara-negara maju maupun sedang

berkembang, termasuk Indonesia. Semua jenis ayam baik ayam pedaging maupun

petelur pada semua umur mudah terserang infeksi bakteri Haemophilus

paragallinarum. Snot menular sangat komplek bila terjadi infeksi sekunder, sehingga

masalah penyakit yang ditimbulkan lebih parah dan mengakibatkan kerugian

ekonomi yang lebih besar. Bila terjadi wabah pada ayam petelur, produksi telur turun

hingga 10 – 40% dan jika menyerang ayam pada stadium grower dapat

mengakibatkan penurunan pertumbuhan (Miao et al., 2000).

Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Balai Besar penelitian Veteriner

(Bbalitvet) Indonesia tahun 1930, dan pada tahun 1975 Bbalitvet telah berhasil

mengisolasi dan mengidentifikasi kuman Haemophilus paragallinarun penyebab

Infeksius snot pada ayam. Menurut hasil survei dan penelitian di Indonesia telah

ditemukan Haemophilus paragallinarum serotipe A, B dan C (Sarji, dkk. 2010).

Trakea merupakan salah satu organ yang dapat dijadikan sampel untuk

pemeriksaan penyakit snot karena penyakit ini sudah jelas menyerang saluran

pernapasan atas. Mendiagnosa penyakit ini, selain tanda klinik umum (lesu dan

kurang nafsu makan) dapat juga dilihat pada trakea terdapat hemoragi dan juga

terdapat eksudat yang mengental.

Alternatif pengobatan pada penyakit unggas selain pemberian antibiotik

adalah dengan menggunakan obat tradisional. Daun sirih merupakan salah satu

tanaman herbal tradisional Indonesia yang memiliki banyak manfaat. Beberapa

penelitian menyatakan bahwa daun sirih dapat mengobati bronkitis, mengatasi diare,

mengobati bisul. Penelitian lain juga menyatakan bahwa daun sirih dapat

menghambat pertumbuhan bakteri, baik itu bakteri gram positif maupun bakteri gram

negatif.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian ini terfokus pada

perubahan patologi yang terjadi baik perubahan makroskopik maupun perubahan

mikroskopik. Peneliti akan memberikan perlakuan dengan ekstrak daun sirih dengan

dosis yang berbeda pada ayam yang terserang penyakit snot. Dari uraian tersebut,

penulis mengangkat judul penelitian ini yaitu “Gambaran Patologi Trakea Pada Ayam

Petelur (Layer) Yang Terserang Snot (Coryza) Setelah Pemberian Ekstrak Daun Sirih

(Piper betle Linn).”

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini, antara lain:

1.2.1. Bagaimana gambaran patologi trakea pada ayam petelur yang terserang

penyakit snot.

1.2.2. Bagaimana gambaran patologi trakea pada ayam petelur yang terserang

penyakit snot setelah pemberian ekstrak daun sirih.

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran patologi trakea pada ayam petelur yang

terserang snot setelah pemberian ekstrak daun sirih.

1.3.2. Tujuan Khusus

- Untuk mengetahui gambaran patologi trakea pada ayam petelur yang terserang

penyakit snot.

- Untuk mengetahui apakah terdapat perubahan gambaran patologi trakea pada

ayam petelur yang terserang penyakit snot setelah pemberian ekstrak daun sirih.

1.4. Manfaat penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

- Penelitian ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu kedokteran

khususnya di bidang patologi kedokteran hewan.

- Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi dalam penelitian

selanjutnya, dan dapat mengetahui dosis pemberian ekstrak daun sirih yang

efisien terhadap perubahan gambaran patologi trakea pada ayam petelur yang

terserang snot.

1.4.2. Manfaat aplikatif

Penelitian ini sebagai masukan bagi para mahasiswa/mahasiswi kedokteran

hewan dan juga para tenaga veteriner agar memiliki pengetahuan yang lebih baik

terhadap pemanfaatan daun sirih sebagai alternatif pengganti obat antibiotik pada

ayam petelur yang terserang snot.

1.5. Hipotesis

Terdapat perubahan gambaran patologi trakea pada ayam petelur (layer) yang

terserang snot (coryza) setelah pemberian ekstrak daun sirih.

1.6. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai gambaran patologi trakea pada ayam petelur yang

terserang penyakit snot setelah pemberian ekstrak daun sirih (Piper betle Linn) belum

pernah dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan pada ayam petelur yang terserang

snot, tetapi terdapat perbedaan perlakuan yaitu dengan pemberian kaldu dengan judul

“Pathogenesis Of infectiuos Coryza In chicken (Gallus gallus) by Avibacterium

Paragallinarumn Isolate of Bangladesh”, oleh M.M. Hossain, dkk pada tahun 2013,

lain halnya pada penelitian pemberian ekstrak daun sirih sudah banyak yang pernah

dilakukan hanya pemberian ekstrak daun sirih diberikan pada penyebab penyakit

yang berbeda-beda yaitu dengan judul “Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper betle

Linn) Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus Dan Escherichia coli Dengan

Metode Difusi Disk” oleh Anang Hermawan pada tahun 2007.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Ayam Petelur (Layer)

Ayam petelur merupakan ayam yang dibudidayakan khusus untuk

menghasilkan telur. Kelompok ayam petelur umumnya terdapat dua kelompok

diantaranya tipe ringan dimana tipe ini menghasilkan telur dengan kerabang warna

putih dan terdapat tipe medium dimana tipe ini menghasilkan telur dengan kerabang

warna coklat (North dan Bell, 1990). Ayam ras tipe medium mulai bertelur pada

umur 20-22 minggu dengan puncak produksi terjadi pada umur sekitar 20-30 minggu

dan setelah itu mengalami penurunan sampai tiba waktunya untuk diafkir (Scott,

1982). Produktifitas dari ayam petelur ditentukan oleh genetik dan kualitas ransum,

dimana kualitas ransum bergantung dari kandungan zat-zat nutrisi, keseimbangan

antara energi metabolis serta zat-zat nutrisi lainnya (Wahju, 2004).

Ayam petelur unggul yang ada sangat baik dimanfaatkan sebagai plasma

nutfah untuk menghasilkan bibit yang bermutu. Usaha ayam buras memiliki prospek

yang baik ditinjau dari aspek ekonomi dan penyediaan pangan bergizi, baik berupa

usaha daging maupun telur (Kusnadi, 2001). Perkembangan ayam ras petelur juga

semakin maju dari hasil silang genetik berbagai ras ayam unggulan seluruh dunia,

salah satunya ISA Brown. Ayam ISA Brown merupakan hasil penelitian dari

perusahaan Institut de Selection Animale yang memiliki kelebihan diantaranya adalah

tingginya produktivitas telur yakni mencapai 409 butir pada setiap periode

pemeliharaan, dan berat telur rata-rata 62,9 gram (Santoso, 2013).

Peternak masih banyak yang mengabaikan masalah lingkungan, sehingga

masyarakat banyak yang mengeluhkan keberadaan usaha peternakan tersebut.

Berbagai jenis penyakit hewan menular yang menyerang ternak ayam yang hampir

secara merata terdapat diberbagai wilayah Indonesia. Beberapa penyakit tersebut

sudah bersifat endemik; sangat infeksius; serta memiliki tingkat morbiditas dan

mortalitas yang sangat tinggi. Kondisi ini menjadikan ayam lokal berada pada posisi

sangat rawan terhadap ancaman serangan penyakit yang kemungkinan besar dapat

terjadi setiap saat. Wabah penyakit yang terjadi akan fatal karena dapat

mengakibatkan kematian seluruh populasi ayam yang diusahakan oleh para peternak

(Retno, 2006).

Penanganan terbaik untuk mengurangi kejadian penyakit yaitu melakukan

pencegahan dengan vaksinasi yang teratur, sehingga dapat mengurangi pemakaian

antibiotika yang terus menerus dan berlebihan yang mengakibatkan terjadinya

resistensi bakteri dan akumulasi residu antibiotika pada bahan pangan asal ternak.

Pengobatan diberikan antibiotika melalui suntikan atau air minum selama 3-7 hari

berturut-turut, tergantung ringan beratnya serangan penyakit. Intensifnya pemakaian

antibiotika untuk pencegahan dan pengobatan penyakit, telah dilaporkan adanya

bakteri Haemophillus paragallinarum yang resisten terhadap beberapa antibiotika

dan preparat sulfa secara in vitro (Poernomo, 1997; Takagi, 1991).

II.2. Snot

II.2.1. Pengertian Snot

Snot merupakan penyakit unggas terutama pada ayam yang menyerang

pernafasan bagian atas dan penyakit ini bersifat akut. Kejadian penyakit ini telah

menyebar luas di seluruh dunia dan sering terjadi pada musim dingin (cuaca jelek).

Penyebaran penyakit dalam kandang sangat cepat, baik secara kontak langsung

dengan ayam-ayam sakit, maupun tidak langsung. Penyebaran dengan tidak langsung

dapat melalui air minum, udara, dan peralatan yang tercemar (Hinz, 1981). Penyakit

snot menyerang ayam pedaging maupun ayam petelur yang dapat menghambat

pertumbuhan ayam muda dan menurunkan produksi telur (Istiyaningsih, 2011).

II.2.2. Etiologi Snot

Menurut Poernomo pada tahun 1975 menyatakan bahwa penyebab snot

diasingkan dari ayam yang terserang snot pertama kali terjadi di Indonesia pada tahun

1975. Penyebab utama gangguan pernapasan ayam bagian atas yang dikenal dengan

penyakit snot yaitu Haemophillus paragallinarum (Hinz, 1981).

Penyakit ini disebabkan oleh Haemophillus paragallinarum yang merupakan

bakteri gram negatif, berbentuk batang pendek atau coccobacilli. Bakteri ini bersifat

polar, non-motil, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob, dan membutuhkan

media khusus untuk tumbuh. Bakteri HPG merupakan organisme yang mudah mati

secara cepat diluar tubuh hospes. Eksudat yang mengandung bakteri ini yang

dicampur dengan air akan mengalami inaktivasi dalam waktu 4 jam pada temperatur

yang fluktuatif dan akan tetap infeksius selama 24 jam pada temperatur 37, bahkan

dapat sampai 48 jam (Tabbu, 2000).

II.2.3. Gejala Klinis

Infeksi snot dapat dijumpai pada setiap peternakan unggas pada saat

pergantian musim. Morbiditasnya dari penyakit snot bervariasi 1-20% dan

mortalitasnya dapat diabaikan bila tidak terjadi komplikasi dengan penyakit lain

(Shane, 1998). Penyakit ini menyerang ayam sejak umur tiga minggu sampai

berproduksi (Tabbu, 2000).

Agen penyebab snot adalah HPG, berhasil diisolasi oleh Poernomo (1975)

dari ayam sakit dari daerah di sekitar Bogor. Serangan bakteri HPG memperlihatkan

gejala khas, cairan mukoid dari rongga hidung yang berbau busuk dan sedikit

berbusa. Cairan hidung yang mengering sering terlihat di sekitar rongga hidung

sampai di bagian atas paruh. Bakteri HPG tidak bisa hidup lama (tidak lebih dari 12

jam) di luar induk semang. Sampel atau ayam utuh yang akan diisolasi bakteri harus

sesegera mungkin dikirim ke laboratorium. Proses pengiriman sampel yang harus

diperhatikan antara lain: sampel untuk pemeriksaan mikrobiologis harus dalam

keadaan segar dan dingin (dimasukkan dalam kontainer yang berisi es), swab atau

organ dimasukkan dalam media transpor, sedangkan organ untuk pemeriksaan

histopatologi diawetkan dalam Buffer Neutral Formalin (BNF) 10 persen (Shane,

1998).

II.2.4. Perubahan Patologi Anatomi (Makroskopik)

Perubahan makroskopik ayam yang terinfeksi snot mengeluarkan eksudat dari

hidung yang akan menjadi kuning kental, pada keadaan kronik terdapat peradangan

kantong hawa, mata sering terdapat eksudat, muka dan pialnya bengkak, serta

kesulitan pada saat bernafas (Dharma dan Putra, 1997).

Gejala-gejala klinis dari penyakit ini ditandai dengan keluarnya eksudat dari

hidung yang mula-mula berwarna kuning dan encer (sereous), dalam waktu yang

lama berubah menjadi kental dan bernanah dengan bau yang khas (mucopurulent).

Bagian paruh di sekitar hidung tampak kotor atau berkerak dikarenakan sisa pakan

yang menempel pada eksudat. Sinus infraorbitalis membengkak, yang ditandai

dengan pembengkakan sekitar mata dan muka. Suara ngorok sering terdengar dan

ayam penderita agak sulit bernafas. Penurunan nafsu makan dan diare sering terjadi,

sehingga pertumbuhan ayam menjadi terhambat dan kerdil (Anonim, 1980;

Hardjoutomo, 1985; Gordon dan Jordan, 1982; Blackall, 1997).

Gambar 1. Trakea Hemoragi (Makroskopik)

II.2.5. Perubahan Histopatologi (Mikroskopik)

Gejala klinis yang terlihat pada gambaran mikroskopik pada bagian hidung,

sinus infraorbital dan trakea terdapat eksudasi mukopurulent. Decilliasi dan sel epitel

menjadi bengkak, vacuola, edema pada lamina propria, kelenjar mukosa hiperplasia

dengan lendir terlihat jelas, selulitis fibrinopurulent teramati pada kelopak mata,

peradangan pada dermis dan subkutis infiltrasi fibrin dan heterophilic yang paling

banyak pada subkutis. Perubahan histopatologi terlihat adanya eksudat dan massa

cassousa yang dikelilingi oleh sel-sel raksasa. Kantung udara menunjukkan

penebalan, edema, hiperplasia mesothelial, deposisi fibrin dan infiltrasi heterophilic

di stroma, eksudat fibrinopurulent dapat menumpuk pada permukaan kantung udara,

lesi pada kantung udara terlihat di sekitar 25% kasus (Droual R, 1990). Lesi

histopatologi terjadi kongesti, hemoragi, nekrosis, pengkatan sel-sel inflamasi) di

berbagai organ yang dinilai sebagai ± = hampir tidak adanya lesi, + = lesi ringan, ++

= lesi sedang dan +++ = lesi parah (Hossain, 2013).

II.2.6. Sifat Biokimia Sifat biokimiawi bakteri Haemophillus paragallinarum menggunakan

fermentasi karbohidrat. Hasil fermentasi bakteri HPG yaitu positif terhadap mannitol,

maltosa, dan sukrosa. Hasil fermentasi karbohidrat menggunakan 92 isolat HPG

terdapat 75 isolat yang positif terhadap maltosa, sukrosa, mannitol, dan menunjukkan

hasil katalase negatif (Blackall, 1989). Sifat biokimiawi bakteri Haemophillus Avium

menggunakan fermentasi karbohidrat 21 isolat menunjukkan hasil katalase positif.

Bakteri Haemophillus avium secara umum mempunyai sifat-sifat biokimiawi yang

heterogen maka perlu dilakukan penelitian pada 21 isolat yang katalase-positif untuk

mengetahui sifat-sifat fisiologik termasuk sifat biokimiawinya dengan melakukan

pengujian menggunakan karbohidrat lainnya sehingga dapat dipastikan klasifikasi

Haemophillus pada ayam (Blackall dan Reid, 1982; Blackall, 1988).

Sifat biokimiawi bakteri adalah cara untuk menentukan dan mengidentifikasi

sifat murni bakteri hasil isolasi melalui sifat-sifat fisiologik bakteri tersebut. Proses

biokimiawi berkaitan dengan metabolisme sel. Reaksi kimiawi oleh sel, menunjukkan

hasil yang memanfaatkan energi dan menghasilkan energi untuk sintesis komponen-

komponen sel dan untuk kegiatan seluler. Bakteri tidak dapat diidentifikasi hanya

berdasarkan sifat morfologinya saja, tapi perlu diteliti lebih lanjut sifat-sifat

biokimiawi dan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhannya (Blackall et al.,

1989).

II.3. Sistem Pernapasan Unggas

Sistem respirasi pada unggas merupakan tempat untuk pertukaran oksigen,

melepaskan karbondioksida, melepaskan tekanan, detoksifikasi zat-zat kimia,

mengatur keseimbangan asam basa, dan mengatur suara (Tony, 2013). Unggas dan

mamalia memiliki struktur sistem respirasi yang sangat berbeda dalam

berlangsungnya pertukaran oksigen. Unggas membutuhkan energi berupa oksigen

yang sangat tinggi sehingga anatomi dan fisiologi unggas berbeda dengan mamalia.

Paru-paru pada unggas hanya sebagai tempat berlangsungnya pertukaran gas di dalam

darah karena pada unggas tidak memiliki diafragma (Tony, 2013).

Sistem pernapasan unggas dimulai dari glottis. Glottis akan menutup ketika

makanan masuk ke dalam kerongkongan sehingga dapat mencegah masuknya

makanan ke dalam paru-paru. Trakea memiliki cincin kartilago untuk mencegah

terjadinya kolaps pada saat terjadi tekanan negatif akibat inspirasi dari udara. Syrinx

merupakan sumber suara. Suara pada ayam dihasilkan dari tekanan pada suara katub

jantung dan dibantu oleh otot yang tegang (Tony, 2013).

Gambar 2. Saluran pernapasan ayam

II.4. Trakea

Alat pernafasan pada ayam terdiri dari tiga komponen penting yaitu saluran

pernafasan (hidung, sinus hidung, trakea dan bronkhus), paru-paru dan kantong udara

(air sac).

Trakea merupakan struktur anatomi dari sistem pernapasan unggas yang

berfungsi sebagai tempat keluar masuknya udara, menghubungkan laring dan faring

dengan paru-paru. Trakea dapat ditemukan di daerah dada dan tersusun atas tulang

lunak yang disebut dengan tulang rawan (Alis, 2000).

Trakea tersusun atas cincin cartilago melingkar menyerupai bentuk O yang

berfungsi mencegah terjadinya collaps dari tekanan negatif paru-paru (McLelland,

1990). Trakea unggas disusun oleh cincin cartilago yang bervariasi setiap jenis

unggas dan ditautkan oleh ligament yang rapat dan sempit (Setijanto, 1998).

Gambar 3. Trakea normal

II.5. Daun Sirih (Piper betle Linn)

II.5.1. Pengertian, Manfaat, dan Kandungan Daun Sirih

Menurut bahasa latin, sirih berarti Piper betle Linn., dalam bahasa Inggris

sirih disebut betle leaf vine, betle pepper, betle leaf pepper atau betlevine (Darwis,

1991). Daun sirih mempunyai nama yang berbeda disetiap daerahnya diantaranya

suruh atau sedah berasal dari bahasa Jawa; seureuh berasal Jawa Barat; sere berasal

dari bahasa Madura; sebutan base atau sedah berasal dari Bali; sebutan dari ranub

asalnya dari bahasa Aceh; sebutan burangir dari Mandailing; demban berasal dari

Toba; sirieh atau nama lainnya cambia berasal dari Minang; sebutan sirih dengan

sebutan manuf berasal dari Timor; ganjeng berasal dari kota Makassar; bido atau

nama lainnya tele berasal dari Tidore dan Ternate; sebutan untuk cambia berasal dari

Lampung; dan masih banyak lagi nama daerah daun sirih yang terdapat di Indonesia

(Rosman dan Suhirman, 2006).

Daun sirih mempunyai taksonomi yang terdiri dari divisi, subdivisi, kelas,

ordo, famili, genus dan spesies. Menurut Syamsuhidayat dan Putapea pada tahun

1991, taksonomi sirih sebagai berikut:

Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledone

Ordo : Piperales

Famili : Piperaceae

Genus : Piper

Spesies : Piper betle Linn.

Gambar 4. Daun sirih

Tanaman sirih merupakan tanaman herbal yang berdaun tunggal, bentuk

bervariasi dengan ujung daun berbentuk runcing. Ukuran daun sirih memiliki panjang

6-17,5 cm, dan lebar 3,5-10 cm, pangkal daun berbentuk jantung dan agak bundar

asimetris (Rosman dan Suhirman, 2006). Tanaman sirih memiliki tinggi mencapai 2-

4 meter dan tumbuh merambat menggunakan akar tambahan yang berukuran pendek

dan berjumlah banyak. Sirih memiliki batang yang sangat kuat seperti kayu dan

batang yang masih muda terlihat licin tidak berbulu. Daun sirih memiliki pinggiran

daun rata agak berombak, daun sirih tebal, beruas-ruas, bagian sisi depan dan

belakang daun sirih agak mengkilap berwarna hijau terang dan biasanya mempunyai

urat daun yang terdiri dari 5-7 pasang, sirih memiliki tangkai daun yang kuat dengan

panjang 2-2,5 cm. Daun sirih berbentuk tunggal dimana letak daun berseling,

memiliki warna bervariasi dari kuning, hijau sampai hijau tua, serta memiliki bau

khas yang menyengat (Syukur dan Hernani, 2002).

Indonesia memiliki banyak ragam tanaman obat, salah satu diantaranya daun

sirih yang dapat digunakan untuk pengobatan berbagai macam penyakit diantaranya

pengobatan untuk sakit gigi dan mulut, penghilang bau mulut, hidung berdarah,

kepala pusing, dan jantung berdebar (Syukur dan Hernani, 1999). Sirih juga

merupakan salah satu jenis tanaman obat yang dijadikan alternatif sebagai antiseptik

yang bersifat aman dan mudah terurai. Manfaat daun sirih dapat digunakan sebagai

antibakteri karena mengandung 4,2% minyak atsiri yang sebagian besar terdiri dari

betephenol yang merupakan isomer Euganol allypyrocatechine, Cineol methil

euganol, Caryophyllen (siskuiterpen), kavikol, kavibekol, estragol dan terpinen

(Sastroamidjojo, 1997).

Kebutuhan konsumen terhadap produk sumber protein hewani yang aman dan

sehat perlu dilakukan penelitian menggunakan tanaman herbal yang mempunyai

manfaat yang sama dengan antibiotik. Tanaman obat yang dapat dimanfaatkan adalah

daun sirih karena daun sirih memiliki khasiat yang hampir sama dengan antibiotik.

Tanaman sirih dalam bidang kedokteran manusia dapat dimanfaatkan sebagai obat

kumur, sariawan, asma, batuk, encok, hidung berdarah, kepala pusing, radang selaput

lendir pada mata, gusi bengkak, radang pada tenggorokan, menambah ketahanan

tubuh, mencegah gangguan pencernaan, dan mencegah gangguan saluran pernafasan.

Daun sirih juga memiliki daya antioksidan, antiseptik, bakterisida dan fungisida

(Darwis, 1991).

II.5.2. Mekanisme Kerja Ekstrak Daun Sirih

Daun sirih merupakan jenis tumbuhan yang telah lama digunakan masyarakat

Indonesia untuk menjaga kesehatan gigi dan mulut. Daun sirih memiliki kandungan

kimia yang bersifat antiseptik karena daun sirih mengandung banyak minyak atsiri.

Minyak atsiri memiliki daya antibakteri karena dalam minyak atsiri terdapat

kandungan senyawa fenol dan turunannya yang dapat mendenaturasi protein sel

bakteri. Komponen utama dari minyak atsiri terdiri dari senyawa fenol dan

turunannya (Heyne, 1987). Turunan dari senyawa fenol salah satunya adalah kavikol

yang memiliki daya antibakteri lima kali lebih kuat dibandingkan fenol (Hasim,

2003).

Ekstrak daun sirih merupakan golongan dari antioksidan primer karena

mengandung kavikol dan eugenol yang menunjukkan aktivitas antioksidan terhadap

radikal lipid. Mekanisme reaksi antioksidan ekstrak daun sirih terjadi melalui

pemberian atom hidrogen dari gugus hidroksil dengan cepat kepada radikal substrat.

Radikal bebas yang terbentuk dari mekanisme reaksi antioksidan ekstrak daun sirih

cukup stabil dengan mencegah dari reaksi yang terjadi berikutnya (Jariyah dan

Susiloningsih, 2006).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2015. Pengamatan dan perlakuan

dilakukan di Kecamatan Wattang Sawitto, Kab. Pinrang, Sulawesi Selatan.

Pembuatan preparat Histopatologi dilakukan di Laboratorium Histologi dan Patologi

Program Studi Kedokteran Hewan.

III.2. Materi Penelitian

III.2.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua ayam petelur (layer) yang

terserang Snot di Kecamatan Wattang Sawitto, Kabupaten Pinrang, Sulawesi

Selatan.

III.2.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian dari populasi yaitu semua ayam

petelur yang menderita snot di Kecamatan Wattangsawitto, Kabupaten Pinrang,

Sulawesi Selatan. Dengan jumlah sampel 25 ekor ayam petelur.

III.3. Alat dan Bahan Penelitian

III.3.1 Alat

Alat yang digunakan dalam persiapan kandang, perawatan, perlakuan,

nekropsi, dan pembuatan preparat patologi adalah empat buah kandang, tempat

pakan, tempat minum, koran, kabel, lampu, wadah pencampur, spoit 1 ml, spoit

berukuran 10 ml untuk proses euthanasia; satu set alat bedah nekropsi yaitu gunting,

scalpel, penggaris, pinset anatomis, dan pinset chirurgis; mikroskop untuk

pengamatan histologis; mikrotom, mikroskop, inkubator, waterbath, kaca objek, dan

kaca penutup.

III.3.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam persiapan kandang, perawatan, perlakuan,

nekropsi, serta pembuatan preparat patologi adalah air pakan, ekstrak daun sirih

dengan dosis 2,5%, 5%, dan 10%, ketamine, alkohol (70%, 80%, 90%, 95%, 100%),

formalin 10%, xylol, aquades, pewarna H.E, dan parrafin.

III.4. Metode Penelitian

III.4.1. Desain Penelitian

X = Subjek penelitian

X0 = Kelompok kontrol positif (tanpa ekstrak daun sirih, hanya pemberian

antibiotik)

X1 = Kelompok kontrol negatif (hanya pemberian Na CMC 0,5%)

X2 = Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak daun sirih dengan dosis 2,5%

X3 = Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak daun sirih dengan dosis 5%

X4 = Kelompok perlakuan yang diberikan ekstrak daun sirih dengan dosis 10%

Y0 = Pengamatan derajat perubahan trakea pada kelompok kontrol positif

Y1 = Pengamatan derajat perubahan trakea pada kelompok negatif

Y2 = Pengamatan derajat perubahan trakea pada kelompok perlakuan dengan dosis

2,5% Y3 = Pengamatan derajat perubahan trakea pada kelompok perlakuan dengan

dosis 5%

Y4 = Pengamatan derajat perubahan trakea pada kelompok perlakuan dengan dosis

10%.

Desain penelitian yang dilakukan adalah Experimental, yaitu tiga kelompok

ayam sebagai kelompok perlakukan diberikan ekstrak daun sirih, dan satu kelompok

sebagai kelompok kontrol tanpa pemberian ekstrak daun sirih, kemudian akan dilihat

perubahan patologi yang terjadi.

III.4.2. Variabel Penelitian

A. Variabel Dependen : Gambaran patologi trakea yang terserang snot.

B. Variabel Independen : Pemberian ekstrak daun sirih.

III.4.3. Jumlah sampel

Penelitian ini menggunakan uji coba dengan metode pemberian ekstrak daun

sirih kepada ayam petelur yang terserang snot, maka jumlah sampel dalam penelitian

ini sebanyak 24 ekor ayam petelur yang terserang snot. Jumlah sampel ditentukan

dengan menggunakan rumus federer yaitu: (n-1)(t-1) > 15, dimana n = jumlah

sampel dan t = jumlah kelompok. Penelitian ini terdapat 1 kelompok kontrol dan 3

kelompok perlakuan. Bila dimasukkan dalam rumus Federer, maka dapat ditentukan

jumlah sampel per kelompok yaitu :

(n-1)(t-1) > 15

(n-1)(5-1) > 15

(n-1)(4) > 15

(n-1) > 15 : 4

(n-1) > 4

n > 4+1

n > 5

Maka jumlah sampel per kelompok minimal 5 ekor ayam petelur yang

terserang snot. Sehingga dalam penelitian ini dipakai 25 ekor ayam petelur yang

terserang snot.

III.4.4. Pembuatan Ekstrak Daun Sirih

Daun sirih yang digunakan adalah daun sirih Hijau, daun sirih segar yang

telah dipetik sebanyak ± 1 kg dibersihkan dari kotoran, dicuci dengan air sampai

bersih dan ditiriskan, kemudian dikeringkan dengan oven dengan suhu 40°C sampai

kering, kemudian diremas dan dihaluskan sampai menjadi serbuk menggunakan

blender. Serbuk kemudian dimaserasi dengan larutan etanol dan diambil filtratnya

dengan penyaringan. Hasil saringan diuapkan dalam rotary vacum evaporator

dengan suhu 40°C. Pada akhir proses ini didapatkan ekstrak murni dengan cairan

kental, berwarna coklat, dengan bau khas aromatik. Ekstrak dari daun diencerkan

dengan Na CMC 0,5% sesuai dengan konsentrasi yang diharapkan (Poeloengan dan

Soeripto, 1998).

III.4.5. Perlakuan

Terdapat 3 kelompok perlakuan dengan dosis yang berbeda yaitu 2,5%, 5%,

10% dan 2 kelompok kontrol yaitu kelompok kontrol positif (dengan pemberian

antibiotik) dan kelompok kontrol negatif (hanya diberikan NaCMC 0,5%).

Pemberian ekstrak daun sirih yang diberikan 1 kali dalam sehari pada ayam yang

terserang snot. Berdasarkan referensi, penggunaan ekstrak daun sirih kepada bakteri

penyebab penyakit dengan taraf 2,5%, 5%, dan 10% memiliki daya hambat yang

berbeda-beda, semakin tinggi dosis yang diberikan maka semakin rendah tingkat

kerusakan (Hermawan, 2007). Perlakuan diberikan selama 7 hari (Hossain, 2013).

Perlakuan tersebut yaitu:

P0 = Pemberian antibiotik (kelompok kontrol positif)

P1= Pemberian NaCMC 0,5% (kelompok kontrol negatif)

P2= 2,5% Ekstrak daun sirih

P3= 5% Ekstrak daun sirih

P4= 10% Ekstrak daun sirih

III.4.6 Euthanasia

Ayam di euthanasia dengan menginjeksikan Ketamine dengan dosis 67,9

mg/kg BB secara intravena (McGrath et al,. 1984). Metode euthanasia pada hewan

dengan injeksi agen kimiawi tidak boleh dilakukan melalui intramuscular

berdasarkan AVMA (American Veterinary Medical Association) Guidelines on

Euthanasia (2007).

III.4.7 Nekropsi

Setelah ayam di euthanasia, rongga dada kemudian dibuka dengan hati-hati

untuk pengamatan topografik. Pengamatan dilakukan pada organ trakea yang

menempel pada tubuh. Pengambilan gambar dilakukan dengan menggunakan

kamera digital dari berbagai sudut yaitu ventral dan lateral. Trakea hingga bronkus

beserta otot yang melekat kemudian diangkat dan dipisahkan dari tubuh secara hati-

hati menggunakan pisau bedah.

III.4.8. Parameter Penelitian

Pengamatan dan pencatatan dilakukan terhadap ayam petelur yang terserang

snot dan mengamati pengaruh pemberian ekstrak daun sirih dari 3 perlakuan

pemberian dosis yang berbeda dan 2 perlakuan kontrol tanpa pemberian ekstrak

daun sirih. Parameter yang diamati adalah perubahan patologi trakea pada ayam

petelur yang terserang snot.

A. Makroskopik

Gejala klinis yang terlihat berupa keluarnya exudat sinus hidung, kepala

depan bengkak (Droual et al.,1990). Serangan bakteri HPG memperlihatkan gejala

khas, cairan mukoid dari rongga hidung yang berbau busuk dan sedikit berbusa.

Kadang-kadang cairan hidung yang mengering terlihat di sekitar rongga hidung

sampai di bagian atas paruh. Bakteri Avibacterium paragallinarum tidak bisa hidup

lama (tidak lebih dari 12 jam) di luar induk semang (Shane, 1998). Pada perubahan

patologi anatomi pada penyakit snot dapat dilihat dari muka asimetris serta sinus

infraorbital dan trakea terdapat eksudat serous (Prasetyo, 2014).

B. Mikroskopik

Saluran nasal menunjukkan akantosis, kongesti, mucous glanduler cell

hyperplasia, hyperplasia nasal sinus dan parakeratosis, serta lesi pneumonik pada

paru-paru.

III.5. Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan dalam bentuk deskriptif, dimana melihat adanya

perubahan pada organ yang terserang snot setelah pemberian ekstrak daun sirih.

III.6. Alur Penelitian

Populasi Sampel Perlakuan

Kelompok kontrol

(Antibiotik dan

NaCMC 0,5%)

Kelompok

perlakuan ekstrak

daun sirih (2,5%,

5%, 10%)

Euthanasia, Nekropsi

Pengamatan organ

secara makroskopik

Perlakuan

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Hasil Penelitian ini menggunakan ekstrak daun sirih dengan konsentrasi berbeda.

Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan, maka perubahan patologi trakea

memberikan perubahan baik yang cukup signifikan. Penyakit snot umumnya ditandai

gejala klinis adanya eksudat dari hidung, pembengkakan pada muka, lakrimasi,

anoreksia, dan diare, sinusitis, konjungtivitis, penurunan berat badan dan produksi

telur menurun (10-40%) (Sarji, 2010). Hewan coba dalam penelitian ini

menggunakan ayam petelur dengan berat badan rata-rata 1,8 kg.

4.1.1 Kondisi Umum Ayam Petelur Sebelum Perlakuan

Tabel 1. Kondisi umum ayam petelur sebelum perlakuan

Kelompok

Ayam

Bau

Eksudat

Lakrimasi Pembengkakan Leleran

hidung

Kontrol Positif

(Enrofloxacin)

+++(*)

X ++(**)

Y

Kontrol

Negatif

(NaCMC)

+++(*)

X ++(**)

Y

Perlakuan

(2,5%)

+++(*)

X ++(**)

Y

Perlakuan

(5%)

+++(*)

X ++(**)

Y

Perlakuan

(10%)

+++(*)

X

++(**)

Y

Keterangan :

Eksudat : Sangat bau +++(*)

, bau ++(*)

, sedikit bau +(*)

.

Pembengkakan : Sangat bengkak +++(**)

, bengkak ++(**)

, tidak bengkak +(**)

.

Lakrimasi : Lembab hampir basah (XX), mengering (X).

Leleran hidung : Lembab hampir basah (YY), mengering (Y).

Data-data dari hasil pemeriksaan 25 ekor ayam petelur yang dibagi atas lima

kelompok sebelum dilakukan penelitian adalah gejala klinis yang terlihat pada

kelompok kontrol X0 yaitu pada saat dilakukan evaluasi bau eksudat memiliki bau

+++(*)

(sangat bau), air mata selalu keluar, terdapat leleran hidung, terjadi

pembengkakan dengan derajat keparahan ++(**)

(bengkak). Gejala klinis yang terlihat

pada kelompok kontrol X1 hampir sama dengan gejala klinis yang terjadi pada

kelompok X0 yaitu bau eksudat +++(*)

(sangat bau), air mata selalu keluar, juga

terdapat leleran hidung, serta terdapat pembengkakan ++(**)

(bengkak). Gejala klinis

yang terlihat pada kelompok perlakuan X2 dengan dosis 2,5% ekstrak daun sirih juga

memiliki bau eksudat +++(*)

(sangat bau), terdapat air mata dan leleran hidung, juga

terjadi pembengkakan ++(**)

(bengkak). Gejala klinis yang terlihat pada kelompok

perlakuan X3 dengan dosis 5% ekstrak daun sirih yaitu evaluasi bau eksudat memiliki

bau +++(*)

(sangat bau), air mata selalu keluar dan leleran hidung yang menyebabkan

lembab disekitar mata, dan juga terjadi pembengkakan. Gejala klinis yang terlihat

pada kelompok perlakuan X4 dengan dosis 10% ekstrak daun sirih hampir sama pada

masing-masing kelompok X0, X1, X2, dan X3 yaitu +++(*)

( sangat bau), air mata

selalu keluar sehingga pada daerah sekitar mata terlihat lembab, pembengkakan

ditandai dengan simbol ++(**)

(bengkak) menandakan tingkat keparahan terlihat jelas

bengkak dibagian mata dan pada leleran hidung terlihat agak lembab menghampiri

basah disekitar hidung. Pemeriksaan kondisi umum ayam petelur sebelum penelitian

memberikan hasil yang hampir sama untuk setiap ekor ayam petelur.

4.1.2 Kondisi Ayam Petelur pada Saat Dilakukan Penelitian

Tabel 2. Kontrol Positif antibiotik (Enrofloxacin) Kelompok X0

Kelompok Hari-ke Eksudat Pembengkakan Lakrimasi Leleran

hidung

X0 1 +++(*)

++(**)

X Y

2 +++(*)

++(**)

X Y

3 +++(*)

++(**)

X Y

4 +++(*)

++(**)

X Y

5 +++(*)

++(**)

X Y

6 +++(*)

++(**)

X Y

7 +++(*)

++(**)

X Y

8 ++(*)

++(**)

X Y

9 ++(*)

++(**)

X Y

10 ++(*)

++(**)

X Y

11 ++(*)

++(**)

X Y

12 +(*)

+(**)

X Y

13 +(*)

+(**)

X Y

14 +(*)

+(**)

X Y

Keterangan :

Eksudat : Sangat bau +++(*)

, bau ++(*)

, sedikit bau +(*)

.

Pembengkakan : Sangat bengkak +++(**)

, bengkak ++(**)

, tidak bengkak +(**)

.

Lakrimasi : Lembab hampir basah (XX), mengering (X).

Leleran hidung : Lembab hampir basah (YY), mengering (Y).

Data-data dari hasil pemeriksaan kondisi ayam kelompok kontrol positif

antibiotik Enrofloxacin atau kelompok X0 saat dilakukan penelitian pada hari ke-1

sampai hari ke-7 memiliki bau yang sama yaitu +++(*)

(sangat bau) yang berasal dari

perkejuan yang berisi nanah pada daerah wajah, pada hari ke-8 sampai hari ke-11 bau

eksudat mulai menurun hingga ++(*)

(bau) dan hari ke-12 sampai hari ke-14 bau

eksudat hanya +(*)

(sedikit bau). Pembengkakan mulai menurun pada hari ke-12

sampai pada hari ke-14, dari tingkat pembengkakan yang ++(**)

(bengkak) menjadi

+(**)

(sedikit bengkak). Air mata selalu keluar yang menyebabkan daerah sekitar mata

menjadi lembab. Leleran hidung yang keluar sehingga hidung terlihat lembab

cenderung basah.

Antibiotik sering digunakan, beberapa antibiotik yang digunakan peternak

dalam mengatasi infeksi snot, seperti preparat tetrasiklin, neomisin, streptomisin,

sulfadimetoksin. Adnan (2010) menyatakan bahwa preparat flumequin lebih efektif

dibandingkan antibiotik lain karena antibiotik ini dapat menjangkau ke bagian sinus

yang kurang pembuluh darah yang membuat tidak semua antibiotik mampu

menjangkaunya. Mengatasi lendir atau ngorok dapat menggunakan cerdex yang

disemprotkan pada unggas yang sakit.

Tabel 3. Kontrol Negatif (NaCMC 0,5%) (Kelompok X1) Kelompok Hari-ke Eksudat Pembengkakan Lakrimasi Leleran

hidung

X1 1 +++(*)

++(**)

X Y

2 +++(*)

++(**)

X Y

3 +++(*)

++(**)

X Y

4 +++(*)

++(**)

X Y

5 +++(*)

++(**)

X Y

6 +++(*)

++(**)

X Y

7 +++(*)

++(**)

X Y

8 +++(*)

++(**)

X Y

9 +++(*)

++(**)

X Y

10 +++(*)

++(**)

X Y

11 +++(*)

++(**)

X Y

12 +++(*)

++(**)

X Y

13 +++(*)

++(**)

X Y

14 +++(*)

+(**)

X Y

Keterangan :

Eksudat : Sangat bau +++(*)

, bau ++(*)

, sedikit bau +(*)

.

Pembengkakan : Sangat bengkak +++(**)

, bengkak ++(**)

, tidak bengkak +(**)

.

Lakrimasi : Lembab hampir basah (XX), mengering (X).

Leleran hidung : Lembab hampir basah (YY), mengering (Y).

Data-data dari hasil pemeriksaan kondisi ayam kelompok kontrol negatif

(NaCMC 0,5%) atau kelompok X1 saat dilakukan pemeriksaan pada hari ke-1 sampai

hari ke-14 bau eksudat memiliki bau yang sama yaitu +++(*)

(sangat bau) yang

berasal dari perkejuan yang berisi nanah pada daerah muka. Pembengkakan terlihat

jelas dengan tingkat keparahan bengkak ++(**)

pada hari ke-1 sampai hari ke-13.

Penurunan tingkat kebengkakan terjadi pada hari ke-14 ditandai dengan sedikit

bengkak +(**)

. Air mata selalu keluar sehingga menyebabkan daerah sekitar mata

lembab cenderung basah. Leleran hidung keluar sehingga hidung terlihat lembab.

Pemeriksaan kondisi kelompok kontrol X1 hampir sama dengan hasil pemeriksaan

kondisi kelompok kontrol X0 dikarenakan penggunaan antibiotik sudah sangat sering

dilakukan jadi apabila ayam yang terserang penyakit kemudian diberikan pengobatan

dengan antibiotik secara kurang tepat maka akan menimbulkan efek negatif, salah

satunya dapat menyebabkan keracunan.

Tabel 4. Kelompok perlakuan ekstrak daun sirih 2,5% (Kelompok X2)

Kelompok Hari-

ke

Eksudat Pembengkakan Air mata Leleran

hidung

X2 1 +++(*)

+++(**)

XX YY

2 +++(*)

+++(**)

X Y

3 +++(*)

++(**)

X Y

4 +++(*)

++(**)

X Y

5 +++(*)

++(**)

X Y

6 +++(*)

++(**)

X Y

7 +++(*)

++(**)

X Y

8 ++(*)

++(**)

X Y

9 ++(*)

++(**)

X Y

10 ++(*)

++(**)

X Y

11 ++(*)

++(**)

X Y

12 ++(*)

+(**)

X Y

13 ++(*)

+(**)

X Y

14 ++(*)

+(**)

X Y

Keterangan :

Eksudat : Sangat bau +++(*)

, bau ++(*)

, sedikit bau +(*)

.

Pembengkakan : Sangat bengkak +++(**)

, bengkak ++(**)

, tidak bengkak +(**)

.

Lakrimasi : Lembab hampir basah (XX), mengering (X).

Leleran hidung : Lembab hampir basah (YY), mengering (Y).

Data-data hasil pemeriksaan kondisi ayam petelur kelompok perlakuan 2,5%

(kelompok X2) saat dilakukan penelitian pada hari ke-1 sampai hari ke-7 bau eksudat

memiliki bau yang sama yaitu +++(*)

(sangat bau) yang berasal dari perkejuan berisi

nanah, pada hari ke-8 sampai hari ke-14 mengalami penurunan bau eksudat yaitu

++(*)

(bau). Pembengkakan yang terlihat jelas pada hari ke-1 dan ke-2 ditandai sangat

bengkak +++(**)

. Penurunan pembengkakan didaerah wajah mulai terlihat pada hari

ke-3 sampai hari ke-11 ditandai dengan bengkak ++(**)

. Berkurangnya atau tidak

adanya pembengkakan dilihat pada hari ke-12 ke-13, dan ke-14. Air mata selalu

keluar pada hari ke-1 dengan tingkat keparahan lembab hampir basah, hari ke-2

sampai dengan hari ke-14 sudah terlihat air mata mulai mengering. Pengamatan pada

leleran hidung sama halnya dengan air mata yaitu pada hari ke-1 terlihat lembab

hampir basah kemudian hari ke-2 sampai hari ke-14 leleran hidung mengering.

Ekstrak daun sirih yang diberikan dengan konsentrasi 2,5% mampu mengurangi bau

eksudat, air mata dan leleran hidung yang mengering.

Tabel 5. Kelompok perlakuan ekstrak daun sirih 5% (Kelompok X3)

Kelompok Hari-

ke

Eksudat Pembengkakan Air mata Leleran

hidung

X3 1 +++(*)

+++(**)

XX YY

2 +++(*)

+++(**)

X Y

3 +++(*)

+++(**)

X Y

4 +++(*)

+++(**)

X Y

5 +++(*)

+++(**)

X Y

6 +++(*)

+++(**)

X Y

7 +++(*)

+++(**)

X Y

8 ++(*)

+++(**)

X Y

9 ++(*)

+++(**)

X Y

10 ++(*)

+++(**)

X Y

11 ++(*)

++(**)

X Y

12 +(*)

++(**)

X Y

13 +(*)

++(**)

X Y

14 +(*)

++(**)

X Y

Keterangan :

Eksudat : Sangat bau +++(*)

, bau ++(*)

, sedikit bau +(*)

.

Pembengkakan : Sangat bengkak +++(**)

, bengkak ++(**)

, tidak bengkak +(**)

.

Lakrimasi : Lembab hampir basah (XX), mengering (X).

Leleran hidung : Lembab hampir basah (YY), mengering (Y).

Data-data hasil pemeriksaan kondisi ayam kelompok perlakuan 5%

(kelompok X3) saat dilakukan pemeriksaan pada hari ke-1 sampai hari ke-7 memiliki

bau eksudat yang sama yaitu +++(*)

(sangat bau), yang berasal dari perkejuan yang

berisi nanah, pada hari ke-8 sampai hari ke-11 mengalami penurunan bau eksudat

yaitu ++(*)

(bau), hari ke-12, ke-13, dan ke-14 bau eksudat menurun lagi menjadi +(*)

(sedikit bau). Pembengkakan diamati dari hari ke-1 sampai hari ke-10 pada 2 ekor

ayam pembengkakannya sangat bengkak +++(**)

dan terdapat 1 ekor ayam yang tidak

terjadi pembengkakan +(**)

. Air mata selalu keluar pada hari ke-1 sehingga

menyebabkan daerah sekitar mata lembab menghampiri basah, kemudian hari ke-2

sampai hari ke-14 air mata mulai mengering. Pengamatan pada leleran hidung pada

hari ke-1 selalu keluar sehingga hidung terlihat lembab cenderung basah, selanjutnya

pada hari ke-2 sampai hari ke-14 leleran hidung mengering.

Tabel 6. Kelompok perlakuan ekstrak daun sirih 10% (Kelompok X4)

Kelompok Hari-

ke

Eksudat Pembengkakan Air mata Leleran

hidung

X4 1 +++(*)

+++(**)

XX YY

2 ++(*)

++(**)

X Y

3 ++(*)

++(**)

X Y

4 ++(*)

++(**)

X Y

5 ++(*)

++(**)

X Y

6 ++(*)

++(**)

X Y

7 ++(*)

+(**)

X Y

8 ++(*)

+(**)

X Y

9 ++(*)

+(**)

X Y

10 ++(*)

+(**)

X Y

11 +(*)

+(**)

X Y

12 +(*)

+(**)

X Y

13 +(*)

+(**)

X Y

14 +(*)

+(**)

X Y

Keterangan :

Eksudat : Sangat bau +++(*)

, bau ++(*)

, sedikit bau +(*)

.

Pembengkakan : Sangat bengkak +++(**)

, bengkak ++(**)

, tidak bengkak +(**)

.

Lakrimasi : Lembab hampir basah (XX), mengering (X).

Leleran hidung : Lembab hampir basah (YY), mengering (Y).

Data-data hasil pemeriksaan kondisi ayam kelompok perlakuan 10%

(kelompok X4) saat dilakukan pemeriksaan pada hari ke-1 bau eksudat memiliki bau

+++(*)

(sangat bau) yang berasal dari perkejuan yang berisi nanah, pada hari ke-2

sampai hari ke-10 mengalami penurunan bau eksudat yaitu ++(*)

(bau), hari ke-11

sampai hari ke-14 bau eksudat hanya +(*)

(agak bau). Pembengkakan diamati pada

hari ke-1 terlihat pembengkakan +++(**)

(sangat bengkak), pada hari ke-2 sampai

pada hari ke-6 terlihat tingkat pembengkakan ++(**)

(bengkak), pada hari ke-7 sampai

pada hari ke-14 pembengkakan mengempis dan hampir tidak adanya pembengkakan

disekitar wajah. Air mata dan leleran hidung selalu keluar pada hari ke-1 dan

kemudian pada hari ke-2 sampai pada hari ke-14 terlihat air mata dan leleran hidung

mengering. Dosis ekstrak daun sirih 10% sangat efektif memberikan perubahan yang

lebih baik dari pada dosis 2,5% dan 5% yang diberikan pada ayam yang terserang

penyakit snot karena dilihat dari data-data yang telah diperoleh menunjukkan bahwa

terjadinya perubahan yang sangat signifikan hanya beberapa hari perlakuan dengan

pemberian ekstrak daun sirih yaitu dapat mengurangi bau eksudat, menurunkan

pembengkakan, air mata dan leleran hidung mengering.

Pemeriksaan kondisi ayam kelompok X4 dengan dosis 10% ekstrak daun sirih

paling efektif dibandingkan dengan kelompok lainnya karena dalam kandungan daun

sirih terdapat unsur Eugenol dan Metil-Eugenol yang berfungsi mengurangi rasa sakit

dan mengurangi air atau leleran yang keluar pada mata dan hidung. Semakin tinggi

dosis ekstrak daun sirih yang diberikan, maka semakin banyak kandungan Eugenol

dan Metil-Eugenol yang masuk ke dalam tubuh yang bisa mengurangi gejala klinis

yang terjadi pada ayam sakit (Tamalluddin, 2014).

4.1.3 Gambaran Patologi Trakea Ayam Petelur yang Terserang Snot (Coryza)

Setelah Pemberian Ekstrak Daun Sirih (Piper Betle Linn).

A. Pengamatan Makroskopik

Hasil dari pengamatan makroskopik bertujuan untuk mengetahui perubahan

yang terjadi pada trakea setelah pemberian antibiotik (Enrofloxacin), NaCMC 0,5%

dan ekstrak daun sirih dosis 2,5%, 5% dan 10%. Pengamatan makroskopik berupa

adanya hemorragi dan eksudat serous pada trakea.

Tabel 7. Gambaran patologi trakea ayam petelur yang terserang snot Kelompok Ayam Nekropsi hari

ke-

Hemorragi Eksudat

serous

Kontrol Positif (Enrofloxacin) 1 8 -

2 8 -

3 11 -

4 14 -

5 14 -

Kontrol Negatif (NaCMC

0,5%)

1 8 -

2 8 -

3 11 -

4 14 -

5 14 -

Perlakuan (2,5%) 1 8 -

2 8 -

3 11 -

4 14 -

5 14 -

Perlakuan (5%) 1 8 -

2 8 -

3 11 -

4 14 -

5 14 -

Perlakuan (10%) 1 8 -

2 8 -

3 11 -

4 14 -

5 14 -

Tabel 8. Kriteria Skoring Lesio Patologi Organ Trakea

Skor Keterangan

0 Normal

1 Sebagian Hemorragi

2 Seluruh Bagian Hemorragi

3 Eksudat Serous dan Hemorragi

Tabel 9. Hasil Skoring Lesio Patologi Organ Trakea

Kelompok Keterangan Skoring

Xo Pemberian Enrofloxacin 1

X1 Pemberian NaCMC 0,5% 2

X2 Pemberian Ekstrak Daun

Sirih 2,5%

2

X3 Pemberian Ekstrak Daun

Sirih 5%

1

X4 Pemberian Ekstrak Daun

Sirih 10%

1

Berdasarkan hasil pengamatan patologi, bahwa hasil skoring patologi trakea

kelompok ayam yang tidak diberi ekstrak daun sirih tapi diberikan antibiotik

enrofloxazin (kontrol positif) berbeda nyata dengan kelompok ayam yang diberi

NaCMC 0,5% (kontrol negatif).

Gambaran patologi trakea dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 5. Patologi trakea kelompok kontrol positif (antibiotik).

Hasil pengamatan patologi trakea ayam kelompok Xo memperlihatkan

sebagian trakea terdapat adanya hemoragi dan tidak terdapat eksudat serous.

Perubahan patologis yang terjadi pada trakea kelompok Xo dikarenakan trakea

memang merupakan salah satu organ target penyakit snot (coryza) (Tabbu, 2000).

Hemoragi kelompok Xo terlihat jelas pada trakea bagian bawah.

Gambar 6. Patologi trakea kelompok kontrol negatif (NaCMC)

Gambar 7. patologi trakea kelompok perlakuan 2,5% ekstrak daun sirih

Gambar 8. Patologi trakea kelompok perlakuan 5% ekstrak daun sirih

Gambar 9. Patologi trakea kelompok perlakuan 10% ekstrak daun sirih

Gambaran patologi trakea pada kelompok X1 secara umum memperlihatkan

kerusakan yang parah pada trakea, berupa hemorragi pada seluruh bagian trakea dan

tidak ditemukan adanya eksudat serous. NaCMC merupakan cairan pelarut untuk

membuat ekstrak dan tidak mengandung zat kimia yang berfungsi sebagai antibiotik.

Kerusakan trakea, dapat dilihat berupa hemorragi pada seluruh bagian trakea.

Skoring patologi trakea ayam kelompok X2 tidak berbeda nyata dengan kelompok

X0. Pengamatan ini menunjukkan bahwa kerusakan yang diakibatkan oleh bakteri

HPG setelah diberi ekstrak daun sirih tidak memberikan perubahan yang besar dalam

mengurangi hemoragi yang timbul akibat bakteri HPG, dikarenakan dosis ekstrak

daun sirih yang rendah tapi hemoragi pada kelompok X2 lebih rendah dibandingkan

kelompok X0 dan X1.

Kerusakan trakea, dapat dilihat perbedaan yang nyata jika dibandingkan

dengan kelompok X2, tapi perbedaan yang sangat nyata terlihat jika dibandingkan

dengan kelompok X1. Kelompok X3 mempunyai gambaran patologi yang lebih baik

berupa hemoragi yang hanya terjadi pada sebagian trakea yaitu jelas terlihat pada

trakea bagian bawah, namun kondisi kelompok ini tidak mampu menyerupai kondisi

kelompok X1, hal ini dikarenakan ekstrak daun sirih mampu memberikan perubahan

pada gambaran patologi trakea ayam yang terserang snot. Daun sirih mengandung

minyak atsiri dimana komponen utama minyak atsiri tersebut adalah fenol dan

senyawa turunannya, diantara senyawa turunannya itu adalah klavikol yang memiliki

daya bakterisida lima kali lebih kuat dibanding fenol.

Tampak perbedaan yang tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan

kelompok X3. Kelompok X4 mempunyai gambaran patologi yang lebih baik

dibandingkan X3 berupa hemoragi yang terjadi pada sebagian trakea. Perubahan

hanya jelas terlihat pada trakea bagian bawah, kondisi kelompok ini sangat berbeda

nyata dengan kelompok X0, X1, dan X2. Kelompok X4 ini memberikan perubahan

yang sangat nyata terhadap kelompok X1. Perubahan gambaran patologi yang lebih

baik disebabkan oleh ekstrak daun sirih yang mengandung senyawa kimia (senyawa

fenol dan turunannya) yang bersifat sebagai antibakteri, semakin tinggi dosis ekstrak

daun sirih yang diberikan maka semakin banyak senyawa fenol yang masuk ke dalam

tubuh seekor ayam, sehingga gambaran patologi akan terlihat lebih baik pada saat

dinekropsi.

Hasil penelitian Koesmiati (1966) menunjukkan bahwa 82,8% komponen

penyusun minyak atsiri daun sirih terdiri dari senyawa-senyawa fenol, dan hanya

18,2% merupakan senyawa bukan fenol. Senyawa anti bakteri dapat bersifat

bakterisidal, fungisidal, maupun germisidal (Fardiaz, 1989). Ekstrak daun sirih

mengandung senyawa kavikol dan eugenol yang menandakan adanya aktivitas

antioksidan.

4.2 Pembahasan

Penelitian ini menunjukkan adanya perubahan patologi yang terjadi pada

trakea ayam petelur yang terserang snot setelah pemberian ekstrak daun sirih. Kondisi

cuaca di Indonesia menjadi penyebab utama yang mempengaruhi penurunan produksi

telur. Indonesia juga memiliki kelembaban tropis yang cukup tinggi. Kelembaban

diatas 80% secara terus menerus membuat penyakit pernapasan menjadi meningkat,

dalam kondisi demikian itu produksi telur akan merosot tajam. Cara mengatasi hal ini

adalah dengan memberikan obat anti cekaman yang dicampur dalam air minum setiap

kali ada pergantian musim, terutama bila musim hujan sedang berlangsung (Rasyraf,

1991).

Snot merupakan penyakit yang biasanya berjangkit pada musim hujan atau

jika kondisi stress. Penyakit ini menyerang semua umur, akan tetapi lebih peka pada

ayam yang berumur lebih 15 minggu. Gejala penyakit ini antara lain : 1) Ayam lesu

dan keluar cairan yang jernih dari hidung, makin lama makin kental, 2) Pernapasan

terganggu, kadang-kadang disertai bersin-bersin, 3) Terjadi pembengkakan atau

oedema pada muka, 4) Penyebaran penyakit ini sangat cepat, masa bertelur sampai

dengan terlihat sakit bisa dalam 1-3 hari, 5) Untuk ayam fase layer, produksi telur

dapat merosot jauh sekali (dari 80% menjadi 30-40%) (Rahayu, 2011).

Penelitian menggunakan ekstrak daun sirih ini dilakukan untuk menentukan

efektifitasnya yang baik sebagai antibiotik. Daun sirih dapat digunakan sebagai

antibakteri karena mengandung 4,2% minyak atsiri yang sebagian besar terdiri dari

betephenol yang merupakan isomer Euganol allypyrocatechine, Cineol methil

euganol, Caryophyllen (siskuiterpen), kavikol, kavibekol, estragol dan terpinen

(Sastroamidjojo, 1997). Daya antibakteri minyak atisiri daun sirih disebabkan

kandungan senyawa fenol dan turunannya yang dapat mendenaturasi protein sel

bakteri. Komponen utama minyak atsiri terdiri dari fenol dan senyawa turunannya,

salah satunya adalah kavikol yang memiliki daya bakterisida lima kali lebih kuat

dibandingkan fenol (Hasim, 2003). Mekanisme kerja fenol dalam membunuh

mikroorganisme yaitu dengan cara mendenaturasi protein sel (Pelczar dan Chan,

1981). Terdenaturasinya protein sel, maka semua aktivitas metabolisme sel dikatalisis

oleh enzim yang merupakan suatu protein (Lawrence dan Block, 1968).

Penelitian serupa menggunakan ekstrak daun sirih pada penyakit mastitis

subklinis pada sapi diujikan secara in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa

efektivitas ekstrak daun sirih mempunyai daya antibakteri untuk menurunkan jumlah

bakteri susu pada penderita mastitis. Penelitian ini menggunakan konsentrasi 6,25%,

12,5%, 25% dan 50% (Andriani, 2005).

Ayam memiliki sistem pernapasan yang agak berbeda dengan sistem

pernapasan pada mamalia, karena dilengkapi dengan kantung udara yang mempunyai

struktur dan fungsi yang unik, serta paru-paru yang tergolong sederhana. Saluran

pernapasan ayam bagian atas terdiri dari rongga hidung, laryng, trakea (tenggorokan),

bronkus dan bronkiolus. Rongga hidung juga terhubung langsung ke bagian sinus,

dimana sinus merupakan tempat predileksi sebagian bibit penyakit yang masuk

melewati saluran pernapasan, tidak berfungsinya sistem pertahanan primer yaitu kulit,

silia (bulu getar) saluran pernapasan, lendir/mukus, enzim sampai reaksi bersin dan

batuk akan menjadi pemicu utama masuknya bibit penyakit. Deskuamasi sel epitel

mukosa saluran pernafasan ayam diakibatkan oleh sifat merusak agen patogen.

Kerusakan lapis atas struktur jaringan sistem pernafasan berpotensi untuk terjadinya

infeksi sistemik apabila agen patogen berhasil masuk ke jaringan submukosa

(Tumpey et al., 2002).

Gambaran patologi trakea ayam pada semua kelompok, baik kelompok

kontrol maupun kelompok perlakuan, menunjukkan adanya hemoragi. Gambaran

patologi trakea kelompok X4 menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan

dengan kelompok perlakuan lain dan menunjukan hasil yang lebih bagus

dibandingkan kelompok X1, hal ini merupakan pengaruh efektifitas dari tanaman

ekstrak daun sirih 10% yang diberikan. Zat aktif yang terkandung dalam ekstrak daun

sirih memiliki berbagai potensi. Hasil uji farmakologi menunjukkan bahwa infusa

daun sirih dapat menghambat pertumbuhan bakteri penyebab pneumonia dan Gaseus

gangrene. Pengujian antibakteri dengan metode dilusi air rebusan daun sirih jawa

dapat menghambat pertumbuhan Staphylococcus aureus pada konsentrasi 60%

(Irmasari, 2002). Berdasarkan kandungan zat aktif daun sirih yang bersifat

antibakteri, penggunaan ekstrak daun sirih dapat dijadikan sebagai alternatif

pengganti antibiotik untuk mengobati penyakit snot yang disebabkan oleh bakteri

HPG.

Obat antibiotik untuk penyakit snot diberikan melalui suntikan atau air minum

selama 3-7 hari berturut-turut, tergantung ringan beratnya serangan penyakit.

Meminimalisir pemakaian antibiotika untuk pencegahan dan pengobatan penyakit

karena adanya bakteri Hpg yang resisten terhadap beberapa antibiotika dan preparat

sulfa secara in vitro (Poernomo et al., 1997; Takagi et al., 1991). Neo meditril adalah

obat berbentuk larutan yang mengandung Enrofloxacin, suatu antibakteri derivat

Fluoroquinolon yang bekerja luas membasmi bakteri. Daya kerjanya adalah

berdasarkan hambatan terhadap enzim DNA girase yang diperlukan untuk

pembelahan inti sel bakteri. Neo meditril efektif membasmi Mycoplasma sp.,

Escherichia coli, Haemophilus paragallinarum dan Pasteurella multocida. Dosis: 0,1

ml tiap kg berat badan atau 0,5 ml tiap liter air minum diberikan selama 3-5 hari

berturut-turut, bila perlu, pemberian diulangi setelah 7-10 hari.

Antibiotik secara umum masuk melalui mulut ke saluran pencernaan

kemudian diserap oleh usus dan diedarkan ke seluruh tubuh termasuk ke saluran

pernapasan untuk membunuh mikroorganisme penyebab ngorok, itu merupakan

proses yang panjang dan tidak fokus pada sumber penyakit. Antibiotik cerdex untuk

mengobati penyakit snot berbeda dengan antibiotik lain. Cerdex merupakan antibiotik

yang bekerja langsung ke pusat penyebab ngorok yaitu saluran pernapasan,

membunuh bakteri, menghancurkan sel yang telah terinfeksi dan mengeluarkan lendir

yang menyumbat saluran pernapasan (Adnan, 2010).

Pemberian NaCMC pada kelompok negatif (X1) tidak memberikan perubahan

patologi pada trakea. NaCMC merupakan zat dengan warna putih atau sedikit

kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa, berbentuk granula yang halus atau bubuk

yang bersifat higroskopis (Inchem, 2002). Menurut Tranggono dkk. (1991), NaCMC

ini mudah larut dalam air panas maupun air dingin. Pemanasan pada NaCMC dapat

mengurangi viskositas yang bersifat dapat balik (reversible). Menurut Fardiaz, dkk.

(1987), ada empat sifat fungsional yang penting dari NaCMC yaitu untuk pengental,

stabilisator, pembentuk gel dan beberapa hal sebagai pengemulsi. Didalam sistem

emulsi hidrokoloid (NaCMC) tidak berfungsi sebagai pengemulsi tetapi lebih sebagai

senyawa yang memberikan kestabilan.

Pemberian antibiotik (kelompok kontrol positif) memberikan perubahan baik

yang sangat nyata pada patologi trakea, sedangkan NaCMC (kelompok kontrol

negatif) tidak memberikan perubahan yang lebih baik patologi pada trakea.

Penyebaran penyakit dalam kandang sangat cepat, baik secara kontak langsung

dengan ayam-ayam sakit, maupun tidak langsung melalui air minum, udara, dan

peralatan yang tercemar (Hinz, 1981). Gejala yang ditimbulkan akibat infeksi bakteri

HPG sangat bervariasi, hal tersebut tergantung pada bakteri, spesies, umur,

intercurrent infeksi, lingkungan, dan status imun inang (Easterday dan Hinshaw

1991). Aktivitas bakteri mendapatkan perlawanan dari sel pertahanan tubuh, baik

yang spesifik maupun non spesifik, maka pengaruh bakteri dalam tubuh ditentukan

oleh kekebalan tubuh inangnya (Ressang, 1984).

Pemberian ekstrak daun sirih dapat memberikan perubahan baik yang cukup

signifikan terhadap gambaran patologi trakea ayam yang terserang snot. Tingkat

kerusakan organ juga tergantung dari sistem kekebalan tubuh ayam serta tingkat

virulensi dari bakteri HPG. Masuknya penyakit dikarenakan rongga hidung terhubung

langsung ke beberapa sinus seperti sinus infraorbitalis dan sinus supraorbitalis

sehingga memudahkan benda-benda asing yang terdapat di udara, termasuk bibit

penyakit dapat masuk ke dalam sinus secara langsung. Carlander (2002) menyatakan,

ayam memiliki sensitifitas tinggi terhadap protein asing, sehingga dengan jumlah

sedikit dapat memberikan respon pembentukan antibodi, setelah bakteri masuk ke

dalam tubuh maka terjadi reaksi homeostasis tubuh untuk mengeluarkan dan

memusnahkan benda asing yang masuk.

Berdasarkan gambaran patologi trakea dari seluruh kelompok, maka dapat

diketahui bahwa ekstrak daun sirih 10% dapat memberikan efektifitas yang baik

terhadap gambaran patologi trakea, yaitu dapat menurunkan derajat keparahan

hemoragi jika dibandingkan dengan kelompok X0, X1, X2, X3. Dilihat dari segi

ketahanan terhadap bakteri, maka bahan aktif dari ekstrak daun sirih 10% yang

digunakan pada penelitian ini mampu menghambat infeksi dari bakteri HPG sehingga

memberikan perubahan yang baik terhadap gambaran patologi trakea. Hal ini

dibuktikan oleh pengaruh ekstrak daun sirih terhadap pertumbuhan bakteri

Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan metode difusi disk diperoleh

kesimpulan bahwa ekstrak daun sirih (Piper betle L.) berpengaruh terhadap

pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli (Hermawan, 2007).

BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan beberapa hal

sebagai berikut :

1. Pemberian antibiotik (kelompok kontrol positif) 0,1 ml perekor ayam

memberikan perubahan eksudat dan pembengkakan daerah muka pada hari ke-8

dan hari ke-12, sedangkan untuk gambaran patologi trakea perubahan yang

terjadi setelah dinekropsi terlihat hemoragi pada trakea bagian bawah atau

terlihat sebagian hemoragi.

2. Pemberian NaCMC 0,5% (kelompok kontrol negatif), baik perubahan eksudat

dan pembengkakan maupun perubahan patologi trakea setelah dinekropsi pada

hari ke-8, ke-11, ke-14 tidak memberikan perubahan yang nyata atau terdapat

seluruh bagian trakea hemoragi.

3. Pemberian ekstrak daun sirih dengan dosis 2,5%, 5%, dan 10% memberikan

perubahan yang lebih efektif dibandingkan NaCMC dan antibiotik. Perubahan

yang paling efektif terlihat jelas dan nyata pada pemberian ekstrak daun sirih

dengan dosis 10% karena terlihat pada gambaran patologi trakea hanya sebagian

hemoragi.

V.2 Saran

1. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap ayam petelur yang terserang

snot dengan pemberian dosis ekstrak daun sirih yang lebih tinggi dan bervariasi.

2. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap penggunaan ekstrak daun sirih

sebagai obat herbal untuk pengobatan yang berhubungan dengan penyakit lain.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan. 2010. Penyakit Unggas. http://dokterternak.com/2010/05/13/cara-ampuh-

dan- cepat-mengatasi-snot-coryza/ (diakses pada 14 oktober 2015).

Andriani. 2005. Efektivitas Ekstrak Daun Sirih (Piper Betle Linn) Terhadap Mastitis

Subklinis. Balai Penelitian Veteriner, Bogor.

Anonim. 1980. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Jilid II. Direktorat

Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian.

Jakarta.

Blackall, P.J. and G.G. Reid. 1982. Further Characterization of Haemophilus

Paragallinarum and Haemophilus Avium. Vet. Microbiol. 7:359-366.

Blackall, P.J. 1983. An Evaluation of Methods for the Detection of Carbohydrate

Fermentation in Avian Haemophilus Species. J. Microbiol. Methods 1 : 275-

281.

Blackall, P.J. 1988. Biochemical Properties of Catalase-Positive Avian Haemophili.

J. Gen. Microbiol. 134: 2801-2805.

Blackall,P.J. and R. Yamamoto. 1989. Haemophilus Gallinarum are-examination. J.

Gen. Microbiol.135: 469-474.

Blackall, P.J., L.E. Eaves, and D.G. Rogers. 1989. Biotyping of Haemophilus

Paragallinarum Isolates Using Harmagglutinin Serotyping, Carbohydrate

Fermentation Patterns and Antimicrobial Drug Resistance Patterns. Avian

Dis. 33:491-496.

Blackall, P.J., M. Matsumoto, and R. Yamamoto. 1997. Infectious Coryza. In:

Diseases of Poultry. 10th. ed. Calnek, B.W. et al. (ed). The Iowa State

University Press. Iowa. USA.

Capucinno, J.G and N. Sherman. 2001. Microbiology: A Laboratory Manual. 6th ed.

Benjamin Cummings. San Fransisco.

Darwis, S. N. 1991. Potensi Sirih (Piper betle Linn) Sebagai Tanaman Obat. Warta

Tumbuhan Obat Indonesia. 1 (1): 11-12.

Droual, R., A.A. Bickford, B.R. Chariton, G.L. Cooper and S.E. Channing. 1990.

Infection Coryza in Meat Chickens in the San Joaquin Valley of

California. Avian Dis. 34: 1009 – 1016.

El Houadfi, M. and J. Vanmarcke, 1991. Evaluation of the Efficacy of Avian Coryza

Vaccine (Haemovax) in a layer flock in Morocco. Maghreb Veterinaire, 5:

17- 20.

Eliot, C.P. and M.R. Lewis. 1934. A Haemophilic Bacterium as the Cause of

Infectious Coryza in the Fowl. J. Am. Vet. Med. Ass. 84: 878-888.

Gordon, R.F. and F.T.W. Jordan (ed.). 1982. Infectious coryza (Haemophilus

Gallinarum; H. Paragallinarum). In: Poultry Disease. 2th. ed. Bailliere

Tindal. London. 48-50.

Hardjoutomo, S. 1985. Snot menular pada ayam petelur. I. Wabah Snot Menular

pada Peternakan Ayam Sambilan di Kabupaten Bogor. Penyakit Hewan. 30:

13-18.

Hasim, D. 2003. Daun Sirih Sebagai Antibakteri Pasta Gigi. http://www.pdgi-

online.com/v2/index.php?option=com_content&task=view&id=594&Itemid=

39 (diakses 27 februari 2015).

Hermawan, 2007. Pengaruh Ekstrak Daun Sirih (Piper Betle L.) Terhadap

Pertumbuhan Staphylococcus Aureus Dan Escherichia Coli Dengan Metode

Difusi Disk. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya.

Heyne, K. 1987. Pertumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Cetakan I. Yayasan

Sarana Wana Jaya Jakarta: 622-627.

Hinz, K.H. 1981. Serological Differentiation of Haemophilus Paragallinarum Strains

by Their Heat Stable Antigens. In: Haemophilus, Pasteurella and

Actinobacillus. M. Kilian, W. Fredicksen and E.L. Biberstein (ed.).

Academic Press. London. 1-10.

Hossain, dkk. 2013. Pathogenesis of Infectious Coryza in Chickens (Gallus gallus) by

Avibacterium paragallinarumn Isolate of Bangladesh. Department of

Pathology, Faculty of Veterinary Science, Bangladesh Agricultural

University, Mymensingh- 2202, Bangladesh.

Ipteknet, 2005. Tanaman Obat Indonesia. http://www.iptek.net.id/ind/pd_

tanobat/view.php?id=130. Diakses 26 Januari 2015.

Irmasari, A.2002. Perbandingan Daya Antibakteri Antara Gerusan Daun Sirih

Hitam, Sirih Jawa Dengan Oksitetrasiklin Terhadap Staphylococcus aureus

Secara In Vitro. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.

Surabaya.

Istiyaningsih. 2011. Kajian Pengujian Mutu Vaksin Coryza dan Kejadian Penyakit di

Lapangan. Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan, Bogor.

Jabarsyah, 2005. Pengaruh Ekstrak Daun Sirih Terhadap Pertumbuhan (Vibrio sp).

Mahasiswa FPIK, Universitas Borneo Tarakan.

Jariyah dan Susiloningsih. 2006. Pengaruh Perendaman Daging Ayam Dalam Jus

Daun Sirih Terhadap Daya Simpan Dendeng Ayam. Jurnal Protein. 13(2):

154-160.

Kusnadi, U., A. Gozali, H. Resnawati, S.N. Jarmani, dan S. Iskandar. 2001.

Evaluasi Potensi Sumber Pakan Lokal Dan Sistim Kelembagaan

Dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha Ayam Buras. Prosiding

Hasil Penelitian Bagian Proyek “Rekayasa Teknologi

Peternakan/ARMP II”. Puslitbang Peternakan. Bogor. Pp. 21-28.

Kusuma, 2010. Pengaruh Daya Antibakteri Ekstrak Daun Sirih (Piper betle L.)

Terhadap Streptococcus Mutans. Fakultas Kedokteran Universitas

Sebelas Maret, Surakarta.

Lawrence, C.A. and S.S. Block. 1968. Desinfection, Sterilization and Preservation.

Lea and Febiger. Philadelphia.

McGavin MD, Zachary JF. 2007. Pathologic Basis of Veterinary Disease. Edisi ke-4.

USA: Mosby Elsevier.

McGrath et al,. 1984. A Guide to Ethical Conduct and Behaviour and to Fitness to

Practise. Comhairle na nDoctuiri Leighis The Medical Council.

McLelland J.1990. A Colour Atlas of Avian Anatomy. Wolfe Publisihing, England.

Miao, d., p. Zhang, y. Gong, t. Yamaguchi, y. Iritani and P.J. Blackall. 2000. The

development and application of blocking ELISA kit for the diagnosis of

infectious coryza. Avian Pathol. 29: 219 – 225.

Mursito, B. 2002. Ramuan Tradisional Untuk Penyakit Malaria. PT. Penebar

Swadaya, Jakarta.

Nataamijaya, A.G., A.R. Setioko, B. Brahmantyo, dan K Diwyanto. 2003.

Performans dan karakteristik tiga galur ayam lokal (Pelung, Arab dan

Sentul). Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan

Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor. Pp. 353-359.

North, M. O. and D. D. Bell. 1990. Commercial Chicken Prodution Manual. 4th

Edition. Chapman and Hall, New York.

Poeloengan dan Soeripto. 1998. Pengaruh Putih Telur Terhadap Pertumbuhan Gram

Positif Dan Gram Negatif Secara In Vitro. Media kedokteran Hewan Institute

Pertanian Bogor. Bogor.

Poernomo, S., Sutarma, dan S.A.K.D. Silawatri. 1997b. Haemophilus paragallinarum

pada ayam di Indonesia. III. Uji sensitifitas Haemophilus paragallinarum

dari ayam penderita Snot terhadap obat anti mikroba. J. Ilmu Ternak

Veteriner. 2(4): 267-269.

Poernomo, S. 1975. Haemophilus paragallinarum pada ayam di Indonesia. I. Isolasi

Haemophilus paragallinarum dari ayam. Bulletin Lembaga Penelitian

Penyakit Hewan. 8-9: 13-23.

Poernomo Sri dan Kusumaningsih Anni. 1995. Infeksius Coryza atau Snot Pada

Ayam di Indonesia. Balai Penelitian Veteriner Bogor.

Rahayu, I. 2011. Panduan Lengkap Ayam. Penerbit Penebar Swadaya, Depok.

Rasyraf. 1991. Pengelolaan Produksi Telur. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Retno. 2006. Beternak Ayam Kampung Petelur. Malang.

Rosman, R dan S. Suhirman. 2006. Sirih Tanaman Obat Yang Perlu Mendapat

Sentuhan Tekonologi Budaya. Warta Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Industri, 12 (1): 13-15.

Santoso. 2013. Ayam Petelur Unggul. Stikom Surabaya.

Sarji, dkk. 2010. Pengkajian Efikasi Vaksin Invectious Coryza Di Lapangan : Status

Kekebalan Ayam Layer Pasca Vaksinasi. Buletin Pengujuan Mutu Obat

Hewan, Gunung Sindur, Bogor.

Sastroamidjojo, S. 1997. Obat Asli Indonesia. Dian Rakyat, Jakarta.

Setijanto H. 1998. Anatomi Unggas. IPB Press, Bogor.

Shane, S.M. 1998. Buku Pedoman Penyakit Unggas. American Soybean Association.

Indonesia. 95-97.

Syamsuhidayat, S. dan Putapea, J. R. 1991. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (1).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Jakarta.

Syukur, C dan Hernani. 2002. Budidaya Tanaman Obat Komersil. Cetakan ke-2.

Penebar Swadaya. Jakarta.

Scott, M. L., M. C. Nesheinm and R. J. Young. 1982. Nutrient of The Chicken. 3rd

Edition. M. L. Scott and Associates, Itacha, New York.

Sembiring, P. 2009. Buku Ajar dan Penuntun Dasar Ternak Unggas. USU Press.

Medan.

Syukur, C. dan Hernani. 1999. Budidaya Tanaman Obat Tradisional. PT. Penebar

Swadaya, Jakarta.

Tabbu, C.R. 1996. Dampak Ekonomis dari Penyakit Unggas. Pros. Temu Ilmiah

Hasil-Hasil Penelitian Peternakan. Ciawi-Bogor, 9-Il Januari 1996.

Puslitbangnak. Badan Litbang Pertanian. him. 49-58.

Tabbu, 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penerbit Kanisius,

Yogjakarta.

Takagi, M., Takahashi, N., Hirayama, Istianingsih, S. Mariana, K.J. Zarkasie, M.

Ogata and S. Ohta. 1991. Survey of Infectious Coryzaof Chicken in

Indonesia. J. Vet. Med. Sci. 53: 637-642.

Tamalluddin. 2014. Obat Herbal Untuk Mengatasi Penyakit Ayam.

http://www.ternakpertama.com/2014/12/obat-herbal-untuk-mengatasi-

penyakit.html?m=1 (diakses pada 15 Oktober 2015, di Makassar).

Tony. 2013. Chicken Anatomy and Physiology : Respiratory System. Department of

Agriculture, and Kentucky Counties, Cooperating, University of Kentucky.

Tumpey, TM., D.L. Suarez, L.E.L. Perkins, D.A. Senne, J. Lee , Y.J. Lee, I.P. Mo,

H.W. Sung, and D.E. Swayne. 2002. Characterization of highly

pathogenic avian influenza H5N1 avian influenza A virus isolated

from duck meat. J. Virol. 76(12):6344-6355.

Wahju, J, 2004. Ilmu Nutrisi Unggas. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta.

Wargovich, M.J., c.j. Woods, v.w. Eng, l.c. Stephens and K. Gray. 1988.

Chemoprevention of N-nitrosomethylbenzyla mine-induced Esophageal

Cancer in Rats by the Naturally Occuring Thioether, Dyallil Sulfide.

Cancer Res. 48: 6872 – 6875.

LAMPIRAN

Keterangan sampel

Ayam petelur 25 ekor yang terserang penyakit snot (coryza).

Ayam petelur yang berumur ± 1,5 tahun.

Berat badan ayam petelur ± 1,8 kg.

Dosis ekstrak daun sirih yang diberikan untuk per ekor ayam 1 ml/hari.

Dosis ketamin yang diberikan untuk Euthanasia 1 ml/ekor ayam petelur.

Dokumentasi

Gambar 1. Sampel ayam petelur yang terserang snot (coryza).

Gambar 2. Pemberian ekstrak daun sirih melalui oral menggunakan spoit 1 ml.

Gambar 3. Euthanasia injeksi ketamin pada vena axilaris.

Gambar 4. Nekropsi

Gambar 5. Kultur bakteri (positif bakteri Haemophillus Paragallinarum)

Gambar 6. Pengujian lab hasil pengamatan mikroskop (positif bakteri Haemophillus

paragallinarum)

Gambar 7. Ketamin yang digunakan dalam Euthanasia

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lasusua tanggal 19 Juli 1993

dari Ayah H. Adnin, S.Sos dan Ibu Hj. Hadirah (Almh).

Penulis merupakan anak pertama dari satu bersaudara (Anak

Tunggal). Penulis memulai pendidikan di TK Darmawanita

Lasusua pada tahun (1998-1999), SDN 1 Lasusua (1999-

2005), MTsN Lasusua (2005-2008), dan menyelesaikan

pendidikan sekolah menengah atas di SMAN 1 Lasusua

(2008-2011).

Pada tahun 2011 penulis lolos Seleksi Nasional

Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) dengan jurusan Kedokteran Hewan,

Fakultas Kedokteran, Universitas Hasanuddin Makassar.

Tugas akhir dalam pendidikan tinggi negeri diselesaikan dengan menulis

skripsi yang berjudul “Gambaran Patologi Trakea Pada Ayam Petelur (Layer) Yang

Terserang Penyakit Snot (Coryza) Setelah Pemberian Ekstrak Daun Sirih (Piper betle

Linn) Di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan”.