Gambar 13. Sampel Ikan Mas Majalaya (MJ) (Sumber...
Transcript of Gambar 13. Sampel Ikan Mas Majalaya (MJ) (Sumber...
37
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Ciri-ciri Fenotip Sampel Ikan Cyprinid Uji
4.1.1 Ikan Mas Majalaya
Sampel ikan mas Majalaya (MJ) didapatkan dari pembudidaya ikan mas
di daerah Ibun, Majalaya, Jawa Barat. Ikan mas ini merupakan ikan mas berumur
sekitar 5 bulan dengan panjang antara 20 – 22 cm. Ciri-ciri fisik sampel MJ
(Gambar 13) adalah tubuhnya memanjang compressed (pipih) dan lebar, berwarna
abu-abu pada bagian punggung dan putih pada bagian perut. Bagian kepala
berbentuk segitiga berukuran kecil, letak mulut terminal, terdapat sepasang barbel
(sungut) dan dapat disembulkan. Punggung agak tinggi dan melengkung sehingga
dapat terlihat lengkungan agak tinggi antara kepala dan punggung, bentuk perut
membulat. Sirip caudal berbentuk forked (bercagak) berwarna abu-abu cerah,
panjang pangkal ekor (caudal peduncle) lebih pendek dibandingkan dengan
lebarnya, garis linear lateralis memanjang dan agak melengkung dari bagian atas
operculum sampai ke pangkal ekor. Sirip dorsal terdiri dari beberapa baris duri
halus letaknya sejajar dengan sirip ventral, sirip ventral berwarna putih terletak di
bagian perut, sirip pectoral berada di bawah operculum, sedangkan sirip anal
berada di belakang lubang anal dan sebelum pangkal ekor.
Gambar 13. Sampel Ikan Mas Majalaya (MJ)
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Ikan mas Majalaya memiliki beberapa ciri khas pada bagian tubuh yang
terlihat jelas bila dibandingkan dengan strain ikan mas yang lainnya (Gambar 14),
38
yaitu ukuran kepalanya yang kecil berbentuk segitiga bila dilihat dari samping,
punggung tinggi melengkung, sedangkan badannya membulat, lebar dan besar,
sehingga membuat perbandingan antara besar kepala dengan besar tubuh terlihat
begitu kontras. Selain itu ikan mas Majalaya memiliki tubuh yang relatif pendek
bila dibandingkan dengan strain ikan mas lainnya (SNI : 01- 6130 – 1999).
Gambar 14. Ciri Khas Ikan Mas Majalaya (Sumber: BRPBAT 2010 dalam Pratama 2010)
4.1.2 Ikan Mas Rajadanu
Sampel ikan mas Rajadanu (RD) didapatkan dari kolam pembudidaya ikan
mas di daerah Cijambe, Subang, Jawa Barat. Sampel ikan mas Rajadanu
merupakan ikan mas berumur sekitar 4 bulan dengan panjang antara 21 – 24 cm.
Ciri-ciri fisik sampel RD (Gambar 15) adalah tubuhnya memanjang compressed
(pipih), berwarna abu-abu kehijauan di bagian punggung, ke arah perut warnanya
semakin memutih, dan pada bagian perut bawah berwarna putih. Bagian kepala
agak melengkung ke bawah, letak mulut terminal, memiliki sepasang barbel
(sungut) dan dapat disembulkan. Bagian punggung agak landai, sedangkan bagian
perut agak membulat. Sirip caudal berbentuk forked (bercagak) berwarna gelap
kecoklatan, pangkal ekor (caudal peduncle) agak panjang dan agak lebar, garis
linear lateralis memanjang dari operculum sampai ke pangkal ekor. Sirip dorsal
terdiri dari beberapa baris duri halus letaknya sejajar dengan sirip ventral dan
memanjang sampai ke pangkal ekor. Sirip pectoral berada di bawah operculum,
sedangkan sirip anal berada tepat di belakang anal dan sebelum pangkal ekor.
39
Gambar 15. Sampel Ikan Mas Rajadanu (RD)
(Sumber : Dokumentasi pribadi)
Ikan mas strain Rajadanu memiliki ciri khas pada punggungnya yang
landai (rendah) dan tubuhnya memanjang (Gambar 16), sehingga bila dilihat
secara teliti ikan mas Rajadanu seolah terlihat memiliki punggung yang panjang
dan agak lurus. Ikan mas strain Rajadanu memiliki tubuh yang lebih memanjang
dibandingkan dengan ikan mas Majalaya ataupun ikan mas Subang, dengan perut
yang lebih membulat bila dibandingkan dengan ikan mas Subang. Selain itu
bagian kepala ikan mas Rajadanu agak melengkung ke bawah bila dibandingkan
dengan ikan mas Majalaya atau ikan mas Subang (Liptan IP2TP 2000).
Gambar 16. Ciri Khas Ikan Mas Rajadanu (Sumber: BRPBAT 2010 dalam Pratama 2010)
4.1.3 Ikan Mas Subang
Sampel Ikan mas Subang (SB) didapatkan dari pembudidaya ikan mas di
daerah Pabuaran, Subang, Jawa barat. Sampel SB merupakan ikan mas berumur
sekitar dua bulan dengan panjang antara 5 – 7 cm. Ciri-ciri fisik sampel SB
40
(Gambar 17) adalah tubuhnya memanjang compressed (pipih), berwarna hijau
kekuningan pada bagian punggung dan putih kekuningan pada bagian perut.
Kepala berbentuk segitiga tidak sempurna, ukurannya agak besar dan pendek,
letak mulut terminal, memiliki sepasang barbel (sungut) dan dapat disembulkan.
Bagian punggung agak melenggkung ke atas sejajar dengan lekuk kepala, dan
bagian perut membulat. Sirip caudal berbentuk forked (bercagak) berwarna
kekuningan, panjang pangkal ekor (caudal peduncle) lebih besar daripada
lebarnya, garis linear lateralis memanjang dan agak melengkung dari bagian atas
operculum hingga ke pangkal ekor. Sirip dorsal terdiri dari beberapa baris duri
halus, sejajar dengan sirip ventral pada bagian perut. Sirip pectoral berada di
bawah operculum, sedangkan sirip anal berada di belakang lubang anal dan
sebelum pangkal ekor.
Gambar 17. Sampel Ikan Mas Subang (SB)
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Ikan mas Subang sekilas mirip dengan ikan mas Rajadanu (Gambar 18),
tetapi bila dilihat secara teliti ada beberapa perbedaan yang sedikit mencolok.
Perbedaan ikan mas Subang dengan ikan mas Rajadanu bisa dilihat dari tinggi
punggunya, punggung ikan mas Subang lebih tinggi dari punggung ikan mas
Rajadanu, namun lebih rendah dari punggung ikan mas Majalaya (Khairuman dkk.
2008). Selain itu lekukan antara bagian kepala dengan punggung tidak terlalu jelas
terlihat, sehingga membuat garis kepala dengan garis punggung seolah terlihat
sejajar (linear). Bagian perut ikan mas Subang terlihat lebih rata bila dibandingkan
dengan ikan mas Majalaya ataupun ikan mas Rajadanu. Ikan mas Subang juga
41
memiliki pangkal ekor (caudal peduncle) yang lebih panjang dibandingkan
dengan lebarnya, hal ini berbeda dengan ikan mas Majalaya dan Rajadanu yang
memiliki pangkal ekor (caudal peduncle) yang relatif lebih lebar.
Gambar 18. Ciri Khas Ikan Mas Subang
(Sumber: BRPBAT 2010 dalam Pratama 2010)
4.1.4 Grass Carp
Sampel grass carp (GC) milik Aldino Rafiq (FPIK Unpad 2010) yang
didapatkan dari toko ikan hias di Kota Bandung, Jawa Barat. Sampel GC
merupakan grass carp berumur sekitar 2 tahun, dengan panjang antara 40 – 45 cm.
Ciri-ciri fisik sampel GC (Gambar 19) adalah tubuhnya berbentuk silinder
memiliki panjang yang lebih besar daripada lebarnya, berwarna putih keabuan
pada bagian punggung dan putih pada bagian perut. Kepala berbentuk segitiga
tumpul ukurannya cukup besar, letak mulut terminal, tidak terdapat barbel
(sungut) tidak dapat disembulkan. Punggung sejajar dengan kepala dan lurus,
sedangkan bagian perut agak membulat. Sirip caudal berbentuk forked (bercagak)
berwarna abu-abu gelap, pangkal ekor (caudal peduncle) lebih panjang daripada
lebarnya, garis linear lateralis memanjang dari operculum ke pangkal ekor. Sirip
dorsal hanya terdiri dari beberapa baris duri halus, ukurannya cukup tinggi dan
berada sejajar dengan sirip ventral, sirip ventral berwarna putih berada di bagian
perut agak belakang. Sirip pectoral berada di belakang operculum, sedangkan
sirip anal terdapat di belakang lubang anal dan sebelum pangkal ekor.
42
Gambar 19. Sampel Grass Carp (GC)
Penampakan grass carp sangat berbeda jauh bila dibandingkan dengan
ikan mas ataupun giant barb (Gambar 20), bentuk tubuh yang panjang merupakan
ciri khas ikan pemakan gulma air dari keluarga Cyprinid ini. Ciri khas lain selain
tubuhnya yang panjang diantaranya adalah, sirip dorsal yang dimiliki oleh
grass carp berukuran pendek dan cukup tinggi terletak tepat di punggung bagian
tengah tubuhnya, sirip caudal ikan ini juga memiliki bentuk yang sekilas mirip
seperti kuas. Ikan ini juga memiliki mata yang relatif kecil bila dibandingkan
dengan ikan mas. Selain itu grass carp juga memiliki pangkal ekor (caudal
peduncle) yang relatif panjang (Shireman and Smith 1983).
Gambar 20. Ciri Khas Grass Carp
(Sumber : http://www.dec.ny.gov/animals/52767.html)
4.1.5 Giant Barb
Sampel giant barb (GB) milik Aldino Rafiq (FPIK Unpad 2010) yang
didapatkan dari toko ikan hias di Kota Jakarta, sampel GB merupakan giant barb
berumur sekitar 2 bulan dengan panjang anatara 8 – 10 cm. Ciri-ciri fisik sampel
GB (Gambar 21) adalah tubuhnya memanjang berbentuk stream-line (torpedo),
43
berwarna agak gelap. Kepala berbentuk segitiga tidak sempurna, ukurannya
sekitar 1/3 dari besar tubuhnya, letak mulut terminal, tidak ada barbel (sungut)
dan dapat disembulkan. Punggung bagian depan melengkung ke atas dan
ukurannya besar, semakin ke belakang ukurannya semakin mengecil, sedangkan
bagian perut agak lurus dan sejajar dengan garis kepala. Sirip caudal berbentuk
forked (bercagak) berwarna gelap transparan, pangkal ekor (caudal peduncle)
lebih panjang dibandingkan lebarnya. Sirip dorsal memanjang letaknya tepat di
atas lekukan punggung, sirip pectoral berada di bawah operculum, sirip ventral
berada di bagian perut, sedangkan sirip anal berada di belakang lubang anal dan
memanjang ke arah pangkal ekor.
Gambar 21. Sampel Giant Barb (GB)
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Bentuk tubuh giant barb sekilas terlihat mirip seperti ikan mas
(Gambar 22), namun ketika dilihat secara teliti ikan ini memiliki ciri khas yang
unik dan sangat jelas berbeda bila dibandingkan dengan ikan mas. Giant barb
memiliki bentuk tubuh yang terlihat mirip seperti roket (bagian depan tubuhnya
besar dan agak mengecil di bagian belakang), dengan kepala yang cukup besar
dan agak lebar, ukuran kepalanya sekitar 1/3 dari ukuran tubuhnya. Ikan ini juga
memiliki bentuk punggung yang unik, yakni terlihat tinggi dan melengkung
seperti punuk unta, pada bagian belakang punggung ini terdapat sirip dorsal yang
memanjang sepanjang lekuk punggungnya, sirip dorsal berbentuk segitiga bagian
pangkalnya agak melengkung dengan ujung sirip yang agak runcing. Sirip
pectoral, ventral dan anal terlihat berbentuk segitiga yang nampak seperti ujung
44
pisau belati, sedangkan sirip caudal-nya berbentuk seperti bumerang (bercagak)
dengan ujung yang agak lancip (Rainboth 1996).
Gambar 22. Ciri Khas Giant Barb
(Sumber : http://photos.zoochat.com/large/img_55414-242702.jpg)
4.2 Isolasi DNA Genom Ikan Cyprinid Uji
DNA diisolasi dari kelima sampel ikan uji dengan menggunakan kit
Wizard® Genomic DNA Purification (Promega). Proses isolasi DNA secara garis
besar memiliki empat tahapan, pertama adalah tahapan pemecahan dinding sel,
kedua adalah tahapan ekstraksi DNA dari inti sel, ketiga adalah tahapan
pengendapan (presipitasi) DNA, dan keempat adalah tahapan pencucian DNA
(Rafsanjani 2011).
Sampel yang akan diisolasi DNA-nya diambil dari jaringan sirip sehingga
DNA genom ikan dapat diperoleh tanpa harus membunuh ikan terlebih dahulu.
Pemecahan dinding sel dilakukan dengan pemberian nucleic lysis solution pada
sampel, setelah dinding sel pecah maka DNA pada inti sel dapat diekstraksi.
RNAse solution ditambahkan pada sampel untuk mengekstraksi DNA dan
menghilangkan RNA yang masih menempel pada isolat. Setelah itu dilakukan
pengendapan DNA dengan menambahkan protein precipitation solution pada
sampel. Proses pencucian DNA dilakukan dengan menggunakan ethanol 70 %,
pencucian ini dilakukan untuk membilas sisa-sisa bahan ekstraksi, sisa-sisa
45
protein dan garam-garam, serta senyawa-senyawa lainnya yang ikut mengendap
bersama isolat DNA (Lampiran 2).
Setelah proses isolasi selesai maka dilakukan pengujian kualitas DNA
dengan melakukan elektroforesis dan perhitungan konsentrasi DNA menggunakan
alat spektrofotometrik (Pranawaty dkk. 2012). Elektroforesis dilakukan
menggunakan gel agarose dengan konsentrasi 1 % (agarose serbuk 0,4 gr +
larutan TBE buffer 40 ml) pada beda potensial sebesar 75 V selama satu jam.
Hasil elektroforesis dapat dilihat dengan melakukan visualisasi gel agarose di atas
UV transiluminator. Sebelum melakukan visualisasi gel agarose di atas UV
transiluminator, gel agarose terlebih dahulu direndam di dalam larutan EtBr
(etidium bromide) untuk pewarnaan DNA. Larutan EtBr akan memendarkan DNA
pada gel agarose yang disinari oleh sinar UV dengan panjang gelombang
l = 312 nm pada UV transiluminator.
Hasil elektroforesis kelima DNA sampel uji (Gambar 23) menunjukkan
bahwa hasil isolasi DNA memiliki kualitas yang baik. Hal ini ditunjukkan dengan
tidak terlihatnya smear yang tebal pada hasil elektroforesis. Smear akan terlihat
dari hasil isolasi DNA genom pada gel agarose apabila masih terdapat kontaminan
seperti sisa-sisa isolat, RNA, protein, ataupun senyawa kontaminan lainnya pada
DNA tersebut, atau karena kualitas DNA yang kurang baik.
Gambar 23. DNA Genom Ikan Uji (Tanda )
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
46
Perhitungan kemurnian DNA juga perlu dilakukan untuk memastikan
kualitas sampel hasil isolasi DNA genom secara kuantitatif menggunakan alat
spektrofotometrik dengan melakukan perbandingan nilai absorban A260 nm
dengan A280 nm (Lampiran 3). Hasil perhitungan konsentrasi DNA (Tabel 3)
menunjukkan nilai yang berbeda-beda pada setiap sampelnya. Perbandingan nilai
absorban A260 nm dengan A280 nm terendah diperoleh dari sampel grass carp
(GC) sebesar 1,761 dan yang tertinggi diperoleh dari sampel ikan mas Subang
(SB) sebesar 1,936. Rata-rata perbandingan nilai absorban A260 nm dengan A280
nm dari semua sampel berada pada angka 1,761 – 1,936. Hal ini menunjukkan
bahwa sampel memenuhi persyaratan kemurnian DNA untuk proses amplifikasi,
dimana syarat DNA bisa dinyatakan murni dan memenuhi persyaratan kemurnian
untuk analisis molekuler bila rasio dari kedua nilai absorban A260 nm dengan A280
nm berada di antara 1,8 – 2,0 (Sambrook et al. 1989), meskipun sampel GC
memiliki nilai perbendingan sebesar 1,761 layak sebagai DNA template untuk
proses amplifikasi DNA karena nilai tersebut masih mendekati nilai minimum 1,8.
Tabel 3. Hasil Perhitungan Kemurnian DNA Genom Ikan Cyprinid Uji
No. Sampel Abs260 nm Abs280 nm Kemurnian DNA 1. MJ 0,163 0,088 1,852 2. RD 0,221 0,118 1,873 3. SB 0,182 0,094 1,936 4. GC 0,456 0,259 1,761 5. GB 0,123 0,064 1,922
Kemurnian DNA yang baik sangat diperlukan untuk menunjang
keberhasilan pada proses amplifikasi DNA menggunakan teknik PCR, apabila
DNA yang dijadikan sebagai template atau cetakan kurang murni atau bahkan
tidak murni kemungkinan besar primer tidak akan bisa menempel pada sekuen
DNA yang akan diamplifikasi karena terhalang oleh kontaminan-kontaminan
yang ada pada isolat DNA genom, sehingga hal ini dapat mengakibatkan gagalnya
proses amplifikasi DNA. Selain kualitas DNA template optimasi primer juga
menjadi penentu keberhasilan proses amplifikasi DNA.
47
4.3 Amplifikasi DNA dan Analisis Polimorfisme
Setelah didapatkan DNA dengan kualitas yang baik maka selanjutnya
DNA tersebut akan dijadikan sebagai template pada proses amplifikasi DNA.
Sebelum melakukan amplifikasi perlu dilakukan optimasi primer untuk mencari
tempratur annealing yang tepat sehingga primer dapat menepel secara optimal
pada DNA genom yang dijadikan sebagai template. Tempratur annealing yang
akan digunakan dicari melalui perkiraan dengan melakukan penyesuaian terhadap
melting temperature (Tm) dari masing-masing primer (McPherson and
Moller 2006).
Amplifikasi DNA genom dilakukan dengan metode RAPD-PCR (random
amplified polymorphic DNA – polymerase chain reaction) menggunakan empat
jenis primer OPA, yaitu OPA-2, OPA-3, OPA-5, dan OPA-13. Setelah proses
amplifikasi menggunakan keempat primer tersebut selesai kemudian sampel
dielektroforesis pada gel agarose dengan konsentrasi 1,4 % (agarose serbuk
0,4 gr + larutan TBE buffer 40 ml), hasil yang didapatkan yaitu hanya ada tiga
jenis primer yang menghasilkan beragam pita polimorfik (OPA-2, OPA-3, dan
OPA-13), sedangkan primer OPA-5 tidak mampu memunculkan pita polimorfik
dari DNA ikan Cyprinid uji (Lampiran 4). Dari ketiga primer inilah kemudian
dilakukan analisis polimorfik untuk mencari tingkat kekerabatan ikan Cyprinid uji.
Amplifikasi DNA sampel dengan menggunakan primer OPA-2
menghasilkan beragam pita-pita polimorfik dengan besaran amplikon antara
467 bp – 2.515 bp (Gambar 24). Sumur M merupakan marker DNA ladder 1 kb
dengan jarak basa mulai dari 250 bp sampai dengan 10.000 bp. Penggunaan
marker DNA ladder 1 kb ini tepat karena DNA sampel target yang teramplifikasi
berkisar antara 450 – 2550 bp (Lampiran 5).
Sumur MJ memunculkan 3 pita (Gambar 24), 2 diantaranya adalah pita
polimorfik (906 bp, 581 bp) dan 1 pita monomorfik yang sejajar dengan pita yang
muncul pada sumur RD dan SB (698 bp) (Tabel 4), hal ini menunjukkan bahwa
ikan mas Majalaya memiliki perbedaan dibandingkan dengan ikan mas Rajadanu
ataupun ikan mas Subang meskipun ikan mas Majalaya masih memiliki kesamaan
dengan ikan mas Rajadanu dan ikan mas Subang, perbedaan ini terlihat dari
48
bentuk tubuh ikan mas Majalaya yang khas dimana punggungnya tinggi dan
perutnya besar membulat serta panjang tubuh relatif pendek, selain itu ukuran
kepala ikan mas Majalaya relatif lebih kecil (Gambar 14).
Sumur RD dan sumur SB (Gambar 24) memunculkan 2 pita pada lokasi
yang sama (698 bp, 467 bp) (Tabel 4), penggunaan primer OPA-2 menunjukkan
bahwa ikan mas Rajadanu dan ikan Mas Subang memiliki tingkat kesamaan
genetik yang sangat dekat, hal ini dibuktikan dengan miripnya ciri fenotip antara
ikan mas Rajadanu dengan ikan mas Subang, walaupun sebenarnya terdapat
sedikit perbedaan antara ikan mas Rajadanu dengan ikan mas Subang, perbedaan
ini dapat dilihat dari bentuk kepala, punggung dan perut yang berbeda antara ikan
mas Radajadu dengan ikan mas Subang.
Gambar 24. Hasil Amplifikasi DNA (OPA-2)
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Keterangan:
M = Marker 1 kb SB = Ikan mas Subang MJ = Ikan mas Majalaya GC = Grass carp RD = Ikan mas Rajadanu GB = Giant barb
49
Sumur GC memunculkan 5 pita (Gambar 24), dengan 4 diantaranya adalah
pita polimorfik (2515 bp, 1181 bp, 1069 bp, 769 bp) dan 1 pita monomorfik
(698 bp) yang sejajar dengan ketiga strain ikan mas (Tabel 4). Adanya 4 pita
polimorfik menunjukkan bahwa secara fenotip maupun genotip grass carp sangat
berbeda jauh dengan ikan mas walaupun ada sedikit kesamaan dengan ketiga ikan
tersebut. Perbedaan ini sangat terlihat jelas dengan bentuk tubuh grass carp yang
memanjang, sirip dorsal yang pendek dan cukup tinggi, ukuran mata yang relatif
kecil, dan sirip caudal yang seperti kuas (Gambar 20).
Tabel 4. Tabel Polimorfik dan Monomorfik OPA-2
Base Pair (bp) MJ RD SB GC GB 2515 --* 1749 --* 1181 --* 1069 --* 999 --* 906 --* 769 --* 698 -- -- -- -- 616 --* 581 --* 540 --* 467 -- --
Keterangan: -- = Pita Monomorfik | --* = Pita Polimorfik
Sumur GB memunculkan 4 pita (Gambar 24) dan keempatnya merupakan
pita polimorfik (1749 bp, 999 bp, 616 bp, 540 bp) (Tabel 4). Pita-pita polimorfik
ini menunjukkan bahwa giant barb memiliki cukup banyak ciri khas yang tidak
ditemukan pada ikan uji lainnya. Ciri fenotip yang khas pada giant barb
diantaranya adalah, bentuk kepalanya yang besar dan lebar memiliki ukuran
sekitar 1/3 dari besar tubuhnya, tubuhnya sendiri berbentuk seperti roket, bagian
punggungnya mirip seperti punuk unta karena bentuknya yang tinggi dan
melengkung, pada lekuk punggung bagian belakang terdapat sirip dorsal yang
khas berbentuk segitiga dimana bagian pangkalnya agak melengkung dan
memiliki ujung yang agak lancip, selain itu sirip pectoral, ventral dan anal juga
memiliki bentuk yang khas seperti ujung pisau belati, sedangkan sirip caudal-nya
50
memiliki bentuk seperti bumerang dengan ujung sirip yang agak runcing
(Gambar 22).
Amplifikasi DNA sampel dengan menggunakan primer OPA-3
memunculkan banyak pita polimorfik dan monomorfik yang lebih beragam bila
dibandingkan dengan hasil amplifikasi DNA sampel menggunakan primer OPA-2.
Pita-pita yang muncul pada gel agarose memiliki besaran amplikon yang beragam
mulai dari 338 bp – 1755 bp (Gambar 25). Sumur M merupakan marker DNA
ladder 1 kb dengan jarak basa mulai dari 250 bp sampai dengan 10.000 bp.
Penggunaan marker DNA ladder 1 kb ini tepat karena DNA sampel target yang
teramplifikasi berkisar antara 300 – 1800 bp (Lampiran 6).
Penggunaan primer OPA-3 untuk mengamplifikasi DNA sampel ikan mas
Majalaya memunculkan 7 pita yang berbeda (Gambar 25), dimana 2 pita
diantaranya merupakan pita polimorfik (688 bp, 608) dan 5 pita lainnya adalah
pita monomorfik (1337 bp, 1041 bp, 981 bp, 543 bp, 419 bp) (Tabel 5). Hasil
amplifikasi DNA dengan menggunakan primer OPA-3 ini menunjukkan bahwa
cukup banyak sekuen DNA ikan mas Majalaya yang komplementer dengan
sekuen primer OPA-3. Kedua pita polimorfik yang muncul menunjukkan bahwa
ikan mas Majalaya memiliki keragaman berbeda dari ikan mas uji lainnya, hal ini
sesuai dengan ciri khas fenotip dari tubuh ikan mas Majalaya yang memiliki
punggung tinggi, badan besar membulat dan panjang tubuhnya relatif pendek,
serta ukuran kepala yang relatif lebih kecil (Gambar 14). Ikan mas Majalaya
memiliki tingkat kesamaan genetik yang lebih dekat dengan ikan mas Rajadanu
dibandingkan dengan ikan mas Subang, hal ini ditunjukkan dengan adanya lima
pita monomorfik yang sama pada sampel ikan mas Rajadanu (1337 bp, 1041 bp,
981 bp, 543 bp, 419 bp), sedangkan hanya ada empat pita monomorfik yang sama
pada sampel ikan mas Subang (1337 bp, 1041 bp, 981 bp, 543 bp). Ikan mas
Majalaya juga memiliki beberapa kesamaan genetik dengan giant barb, hal ini
ditunjukkan dengan adanya pita monomorfik dengan besar fragmen 1041 bp dan
981 bp yang juga ditemukan pada sampel giant barb.
Penggunaan primer OPA-3 dalam mengamplifikasi DNA sampel ikan mas
Rajadanu dan DNA sampel ikan mas Subang menghasilkan cukup banyak pita
51
monomorfik yang sama untuk kedua sampel ini. Ada 4 pita monomorfik yang
sama-sama muncul pada sumur RD maupun sumur SB (Gambar 25), besaran
fragmen keempat pita monomorfik tersebut terdiri dari 1337 bp, 1041 bp, 981 bp,
dan 543 bp (Tabel 5). Munculnya 4 pita monomorfik yang sama mengindikasikan
bahwa ikan mas Rajadanu dan ikan mas Subang memiliki tingkat kesamaan
genetik yang sangat dekat, meskipun pada sampel ikan mas Rajadanu terdapat
2 pita monomorfik yang berbeda (781 bp, 419) dan 1 pita polimorfik (621 bp)
(Tabel 5). Dua pita monomorfik yang berbeda pada sampel ikan mas Rajadanu
satu diantaranya sejajar dengan pita monomorfik yang muncul pada sumur GC
(781 bp), dan sisanya sejajar dengan pita monomorfik yang muncul pada sumur
MJ (419 bp).
Gambar 25. Hasil Amplifikasi DNA (OPA-3)
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Keterangan:
M = Marker 1 kb SB = Ikan mas Subang MJ = Ikan mas Majalaya GC = Grass carp RD = Ikan mas Rajadanu GB = Giant barb
52
Kemunculan pita monomorfik yang berbeda dan pita polimorfik pada
sampel RD menandakan bahwa terdapat beberapa perbedaan genetik antara ikan
mas Rajadanu dengan ikan mas Subang, perbedaan tersebut dapat dilihat dari
bentuk tubuh ikan mas Rajadanu dengan ikan mas Subang, ikan mas Rajadanu
memiliki ciri khas pada kepalanya yang agak melengkung ke bawah,
punggungnya yang landai (rendah) dan bentuk tubuhnya yang agak pipih
memanjang (Gambar 16), sedangkan ikan mas Subang memiliki bentuk tubuh
dengan punggung agak tinggi dan perut yang relatif datar (Gambar 18).
Salah satu pita monomorfik pada sampel RD yang sama dengan pita
monomorfik yang terdapat pada sampel GC menunjukkan adanya sedikit
kesamaan antara ikan mas Rajadanu dengan grass carp, sedangkan satu pita
monomorfik lainnya yang sama dengan pita monomorfik pada sampel MJ
menunjukkan bahwa ikan mas Rajadanu juga memiliki tingkat kesamaan genetik
yang cukup dekat dengan ikan mas Majalaya. Ikan mas Rajadanu dan ikan mas
Subang juga memiliki kesamaan genetik yang serupa dengan ikan mas Majalaya
dan giant barb yakni pada pita monomorfik berukuran 1041 bp dan 981 bp.
Penggunaan primer OPA-3 dalam amplifikasi DNA sampel grass carp
memunculkan 4 pita berbeda (Gambar 25), primer OPA-3 hanya mampu
memunculkan 3 pita polimorfik saja (1755 bp, 1478 bp, 621 bp) (Tabel 5) dimana
sebelumnya pada penggunaan primer OPA-2 mampu memunculkan 4 pita
polimorfik. Hal ini disebabkan karena sekuen gen polimorfik pada DNA grass
carp ada yang tidak komplementer dengan sekuen primer OPA-3. Ketiga pita
polimorfik yang muncul pada agarose bisa jadi merupakan representasi dari tiga
ciri khas fenotip grass carp (bentuk tubuh, sirip dorsal, sirip caudal atau mata)
(Gambar 20).
Penggunaan primer OPA-3 dalam amplifikasi DNA sampel giant barb
mampu memunculkan lebih banyak pita polimorfik maupun monomorfik bila
dibandingkan dengan hasil amplifikasi menggunakan primer OPA-2 (Gambar 25).
Ada 6 pita polimorfik yang berhasil diamplifikasi oleh primer OPA-3 (1639 bp,
814 bp, 737 bp, 561 bp, 474 bp, 338 bp) (Tabel 5), keenam pita polimorfik ini
kemungkinan merupakan gambaran dari ciri khas fenotip giant barb yang berbeda
53
dengan keempat sampel lainnya, perbedaan tersebut dapat dilihat dari bentuk
kepala, bentuk punggung, bentuk sirip (dorsal, pectoral, ventral, anal), dan sirip
caudal (Gambar 22).
Tabel 5. Tabel Polimorfik dan Monomorfik OPA-3
Base Pair (bp) MJ RD SB GC GB 1755 --* 1639 --* 1478 --* 1337 -- -- -- 1041 -- -- -- -- 981 -- -- -- -- 901 --* 814 --* 781 -- -- 737 --* 688 --* 621 --* 608 --* 561 --* 543 -- -- -- 474 --* 419 -- -- 338 --*
Keterangan: -- = Pita Monomorfik | --* = Pita Polimorfik
Penggunaan primer OPA-13 untuk mengamplifikasi sampel ikan Cyprinid
uji menghasilkan cukup banyak ragam pita yang muncul dari hasil amplifikasi
DNA genom (Gambar 26). Pita yang muncul memiliki besaran fragmen mulai
dari 390 bp – 1957 bp (Lampiran 7). Tetapi setelah melakukan analisa dan
perbandingan data didapatkan hasil yang tidak konsisten dan tidak sesuai, dimana
pada penggunaan primer OPA-13 hampir seluruh pita yang muncul merupakan
pita monomorfik baik pada sampel MJ, RD, SB, dan GC. Pita polimorfik yang
muncul hanya terdapat pada sampel grass carp dan giant barb saja, sedangkan
pada sampel ikan mas sama sekali tidak ditemukan pita polimorfik.
54
Gambar 26. Hasil Amplifikasi DNA (OPA-13)
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Keterangan:
M = Marker 1 kb SB = Ikan mas Subang
MJ = Ikan mas Majalaya GC = Grass carp
RD = Ikan mas Rajadanu GB = Giant barb
Pita polimorfik yang muncul pada sampel GC hanya berjumlah 1 pita saja
(1957 bp), sedangkan ada 9 pita polimorfik yang muncul pada sampel GB
(1417 bp, 1177 bp, 1073 bp, 1005 bp, 993 bp, 702 bp, 615 bp, 519 bp, 437 bp)
(Tabel 6). Banyaknya pita monomorfik yang muncul pada gel agarose
mengindikasikan bahwa primer OPA-13 lebih komplementer terhadap sekuen
DNA monomorfik pada sampel ikan Cyprinid uji (terutama pada sampel ikan mas
dan grass carp) dibandingkan dengan sekuen DNA polimorfik-nya. Kemungkinan
hal ini terjadi karena sekuen primer OPA-13 tidak komplementer sama sekali
dengan gen polimorfik pada DNA ikan mas uji, dan sedikit sekuen primer yang
komplementer dengan gen polimorfik pada DNA grass carp. Primer OPA-13
hanya komplementer dengan sekuen gen polimorfik pada DNA giant barb saja.
55
Tabel 6. Tabel Polimorfik dan Monomorfik OPA-13
Base Pair (bp) MJ RD SB GC GB 1957 --* 1873 -- -- 1618 -- -- 1417 --* 1350 -- -- 1177 --* 1113 -- -- 1073 --* 1005 --* 993 --* 957 -- -- -- 874 -- -- -- -- -- 824 -- -- -- 702 --* 632 -- -- -- 615 --* 519 --* 455 -- -- 437 --* 390 -- -- --
Keterangan: -- = Pita Monomorfik | --* = Pita Polimorfik
Penggunaan dua jenis primer OPA (OPA-2 dan OPA-3) menghasilkan
beragam pita polimorfik yang muncul pada beberapa sampel ikan Cyprinid uji.
Hasil amplifikasi DNA menggunakan primer OPA-2 berhasil memunculkan 2 pita
polimorfik pada sampel MJ, 4 pita polimorfik pada sampel GC, dan 4 pita
polimorfik pada sampel GB, sedangkan hasil amplifikasi DNA menggunakan
primer OPA-2 berhasil memunculkan 2 pita polimorfik pada sampel MJ, 3 pita
polimorfik pada sampel GC, dan 6 pita polimorfik pada sampel GB.
Kemunculan pita-pita polimorfik ini dapat dibandingkan dengan ciri-ciri
fenotip masing-masing ikan uji yang khas untuk mencari tahu efektifitas primer
dalam mengamplifikasi DNA sampel. Berdasarkan perbandingan jumlah pita
polimorfik yang muncul pada gel agarose dengan ciri-ciri fenotip yang khas dari
sampel ikan Cyprinid uji maka bisa disimpulkan bahwa penggunaan primer
OPA-2 dan OPA-3 memiliki kemampuan yang sama untuk mengamplifikasi pita
polimorfik pada sampel MJ dimana hasil amplifikasi menunjukkan adanya 2 pita
56
polimorfik yang teramplifikasi, jumlah pita polimorfik ini sesuai dengan jumlah
ciri khas fenotip sampel MJ. Primer OPA-3 lebih komplementer dengan sekuen
gen polimorfik RD dibandingkan dengan OPA-2, karena berhasil memunculkan
1 pita polimorfik pada sampel RD yang menunjukkan bahwa RD memiliki ciri
khas berbeda dibandingkan dengan dua ikan mas lainnya. Primer OPA-2 lebih
komplementer dengan sekuen gen polimorfik pada DNA grass carp bila
dibandingkan dengan primer OPA-3, karena primer OPA-2 mampu memunculkan
4 pita polimorfik yang jumlahnya sesuai dengan ciri khas fenotip sampel GC,
sedangkan primer OPA-3 hanya mampu memunculkan 3 pita polimorfik saja.
Primer OPA-3 memunculkan lebih banyak pita polimorfik pada sampel GB bila
dibandingkan dengan primer OPA-2, dimana primer OPA-3 mampu
memunculkan 6 pita polimorfik, sedangkan primer OPA-2 hanya mampu
memunculkan 4 pita polimorfik saja, meskipun demikian penggunaan primer
OPA-2 ataupun OPA-3 sudah sesuai dengan ciri khas fenotip pada sampel GB.
Penggunaan primer OPA-2 maupun OPA-3 tidak dapat memunculkan pita
polimorfik pada sampel SB, hal ini disebabkan karena kedua sekuen primer ini
tidak ada yang komplementer dengan sekuen gen polimorfik pada DNA sampel
SB. Pita polimorfik yang muncul pada setiap sampel belum tentu merupakan
representasi dari ciri khas fenotip yang ada pada masing-masig ikan uji, karena
sifat primer yang menempel secara acak tidak dapat diketahui dengan jelas apakah
sekuen primer tersebut menempel pada sekuen gen polimorfik yang diekspresikan
menjadi fenotip, atau bukan merupakan sekuen gen polimorfik yang diekspresikan
menjadi fenotip (Liu and Cordes 2004).
4.4 Analisis Kekerabatan Ikan Cyprinid Uji
Setelah melakukan pengamatan dan analisis polimorfisme dari hasil
amplifikasi DNA ikan Cyprinid uji, langkah selanjutnya adalah melakukan
analisis kekerabatan pada ikan yang diujikan. Pola pita yang muncul pada gel
agarose diterjemahkan kedalam data numerik tanpa membedakan tebal atau
tipisnya pita DNA. Penerjemahan pola pita dilakukan dengan memberikan angka
(0) bila tidak ditemukan pita pada sampel, dan angka (1) bila ditemukan pita pada
57
sampel menggunakan primer OPA-2 (Lampiran 8), OPA-3 (Lampiran 9) dan
OPA-13 (Lampiran 10). Penentuan ada atau tidak adanya pita pada gel agarose
dilakukan dengan bantuan beberapa software komputer, diantaranya adalah
Coreldraw X6, dan Microsoft Excel 2007 (Lampiran 11).
Setelah pita-pita yang muncul pada gel agarose diterjemahkan menjadi
data numerik dalam bentuk matriks biner, langkah selanjutnya adalah melakukan
perhitungan koefisien kesamaan (simple matching) dari data tersebut
(Lampiran 12). Berdasarkan hasil perhitungan koefisien kesamaan (simple
matching) selanjutnya pohon kekerabatan (fenogram) dibuat dengan
menggunakan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic
Averages) melalui program NTSYS-PC. Pohon kekerabatan (fenogram) ini
menunjukkan persentase tingkat kesamaan genetik dan hubungan kekerabatn
antara masing-masing sampel yang diujikan. Pohon kekerabatan (fenogram) yang
diperoleh berdasarkan pita-pita teramplifikasi (polimorfik dan monomorfik)
menggunakan primer OPA-2 (Gambar 27), OPA-3 (Gambar 28) dan OPA-13
(Gambar 29) memiliki hasil yang berbeda. Perbedaan hasil fenogram ini
merupakan konsekuensi logis dari adanya perbedaan pola pita teramplifikasi pada
gel agarose, karena penggunaan primer RAPD untuk mengamplifikasi sekuen
DNA pada suatu organisme uji memiliki prinsip amplifikasi DNA polimorfik
secara acak.
Fenogram hasil analisis UPGMA dengan menggunakan primer OPA-2
(Gambar 27) menunjukkan dari 5 sampel ikan Cyprinid uji diperoleh 3 kelompok,
dimana kelompok pertama terdiri dari sampel MJ, sampel RD, dan sampel SB
dengan nilai koefisien kesamaan sebesar 0,40. Nilai koefisien ini berarti bahwa
ketiga sampel MJ, RD, dan SB memiliki 40 % kesamaan genetik, dengan
demikian ketiga sampel ini masih memiliki tingkat kekerabatan yang cukup dekat.
Kelompok kedua terdiri dari sampel RD dan SB dengan nilai koefisien kesamaan
sebesar 1,00. Hal ini berarti bahwa antara sampel RD dengan sampel SB memiliki
100 % kesamaan genetik, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sampel RD
identik dengan sampel SB dan kekerabatan antara kedua sampel tersebut sangat
dekat. Kelompok ketiga terdiri dari sampel MJ, RD, dan SB dengan sampel GC,
58
dimana nilai koefisien kesamaannya sebesar 0,28. Nilai ini menunjukkan bahwa
antara ketiga sampel ikan mas yang diujikan (MJ, RD, SB) memiliki 28 %
kesamaan genetik dengan sampel GC, hal ini berarti bahwa ikan mas memiliki
hubungan kekerabatan yang jauh dengan grass carp. Sampel GB pada analisis ini
tidak termasuk kedalam kelompok apapun. Sampel GB dengan keempat sampel
lainnya memiliki nilai koefisien kesamaan sebesar 0,00 yang berarti bahwa
sampel GB dengan keempat sampel tersebut sama sekali tidak memiliki kesamaan
genetik, dalam kata lain sampel GB memiliki tingkat kekerabatan yang sangat
jauh dengan sampel uji lainnya.
Gambar 27. Fenogram Ikan Cyprinid Uji (OPA-2)
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)
Keterangan:
MJ = Ikan mas Majalaya GC = Grass carp
RD = Ikan mas Rajadanu GB = Giant barb
SB = Ikan mas Subang
Fenogram hasil analisis UPGMA dengan menggunakan primer OPA-3
(Gambar 28) memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan hasil fenogram
sebelumnya. Fenogram di bawah menunjukkan bahwa dari 5 sampel ikan
Cyprinid uji diperoleh 4 kelompok, dimana kelompok pertama masih terdiri dari
tiga sampel ikan mas uji (MJ, RD, SB) dengan nilai koefisien kesamaan sebesar
59
0,67. Nilai ini lebih besar daripada nilai koefisien kesamaan pada fenogram
OPA-2 sebelumnya, penggunaan OPA-3 mendeteksi bahwa antara ketiga sampel
ikan mas uji memiliki kesamaan genetik sebesar 67 %, hal ini menunjukkan
bahwa hubungan kekerabatan antara ketiga sampel tersebut dekat.
Gambar 28. Fenogram Ikan Cyprinid Uji (OPA-3)
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Keterangan:
MJ = Ikan mas Majalaya GC = Grass carp
RD = Ikan mas Rajadanu GB = Giant barb
SB = Ikan mas Subang
Kelompok kedua masih terdiri dari dua sampel yang sama yaitu sampel
RD dan SB, namun pada fenogram OPA-3 ini nilai koefisien kesamaan antara
sampel RD dengan sampel SB lebih kecil dari hasil sebelumnya, yakni nilai
koefisien kesamaannya hanya 0,80 saja. Adanya penurunan nilai koefisien
persamaan menunjukkan bahwa antara ikan mas Rajadanu dengan ikan mas
Subang memiliki beberapa perbedaan genetik, sehingga tingkat kesamaan
genetiknya hanya sebesar 80 % yang semula 100 % pada fenogram OPA-2,
meskipun demikian kedua sampel ini masih tergolong memiliki hubungan
kekerabatan yang sangat dekat. Kelompok ketiga terdiri dari tiga sampel ikan mas
uji (MJ, RD, SB) dengan sampel SB, nilai koefisien kesamaannya sebesar 0,33.
60
Komposisi ikan pada kelompok kedua dari hasil fenogram OPA-3 terdapat
perbedaan, dimana sampel GB menjadi salah satu jenis ikan yang termasuk
kedalam kelompok ini menggantikan sampel GC, sedangkan sebelumnya sampel
GB pada fenogram OPA-2 tidak termasuk pada kelompok manapun. Fenogram
OPA-3 ini menunjukkan bahwa antara ketiga sampel ikan mas uji dengan sampel
giant barb memiliki kesamaan genetik sebesar 33 %, hal ini juga berarti bahwa
ikan mas memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dengan giant barb.
Kelompok terakhir terdiri dari tiga sampel ikan mas dan sampel giant barb
dengan sampel GC. Nilai koefisien kesamaan pada kelompok ini sebesar 0,05, hal
ini berarti sampel GC hanya memiliki 5 % kesamaan genetik dengan keempat
sampel lainnya. Fenogram OPA-3 ini menunjukkan bahwa sampel GC sangat jauh
berbeda dengan keempat sampel lainnya, dengan demikian bisa dipastikan
hubungan kekerabatan antara grass carp dengan ikan mas atau giant barb sangat
jauh.
Fenogram hasil analisis UPGMA dengan menggunakan primer OPA-13
(Gambar 29) menunjukkan hasil yang cukup berbeda jauh dengan kedua
fenogram sebelumnya. Fenogram di bawah menunjukan dari 5 sampel ikan
Cyprinid uji didapatkan 4 kelompok yang terdiri dari, kelompok pertama terdiri
dari tiga sampel ikan mas (MJ, RD, SB) dengan nilai koefisien kesamaannya
sebesar 0,67. Nilai koefisien ini sama dengan kelompok pertama pada hasil
fenogram OPA-3, hal ini menunjukkan bahwa pada fenogram OPA-13 ketiga ikan
mas uji memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan nilai kesamaan
genetik sebesar 67 %. Kelompok kedua pada fenogram OPA-13 masih terdiri dari
sampel ikan mas Rajadanu dengan sampel ikan mas Subang dengan nilai
koefisien kesamaan yang lebih besar dari hasil fenogram OPA-3 yakni 0,92, nilai
ini menunjukkan bahwa pada fenogram OPA-13 sampel RD dengan sampel SB
memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat dengan perbedaan genetik
sebesar 8 % saja, atau dengan kata lain sampel RD dengan sampel SB memiliki
92 % kesamaan genetik. Fenogram OPA-3 kurang tepat dalam mengelompokkan
sampel GC dengan sampel GB kedalam satu kelompok (kelompok ketiga) dengan
nilai koefisien kesamaan sebesar 0,44. Nilai ini menunjukkan bahwa grass carp
61
dengan giant barb memiliki kesamaan genetik yang cukup dekat bila
dibandingkan dengan ikan mas, padahal bila dilihat dari ciri fenotipnya grass carp
dengan giant barb memiliki bentuk tubuh yang sangat jauh berbeda.
Pengelompokan ini bisa dipastikan menunjukkan ketidak akuratan primer OPA-13
dalam menggambarkan hubungan kekerabatan antara grass carp dengan
giant barb, karena pada faktanya giant barb secara umum lebih menyerupai ikan
mas daripada grass carp, sedangkan grass carp jelas sangat berbeda bila
dibandingkan dengan ketiga sampel ikan mas maupun giant barb. Kelompok
terakhir adalah gabungan antara kelompok pertama dengan kelompok ketiga (ikan
mas dengan grass carp dan giant barb), pengelompokan ini masih dapat ditolerir
walaupun pada kelompok ketiga terdapat kerancuan, karena kemungkikan ikan
mas masih memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dengan grass carp maupun
giant barb mengingat kelima ikan yang diujikan merupakan satu famili
Cyprinidae.
Gambar 29. Fenogram Ikan Cyprinid Uji (OPA-13)
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Keterangan:
MJ = Ikan mas Majalaya GC = Grass carp
RD = Ikan mas Rajadanu GB = Giant barb
SB = Ikan mas Subang
62
Berdasarkan hasil analisa polimorfik dan fenogram (OPA-3) sebelumnya,
bila ketiga jenis ikan mas dianalisis untuk mencari strain ikan mas yang memiliki
potensi sifat unggul tanpa memasukkan grass carp ataupun giant barb, maka
didapatkan hasil ikan mas yang masih memiliki potensi sifat unggul adalah ikan
mas strain Majalaya dan ikan mas strain Rajadanu, hal ini didasarkan kepada
munculnya pita polimorfik dari masing-masing ikan mas Majalaya (688 bp,
608 bp) maupun ikan mas Rajadanu (901 bp, 781 bp) (Tabel 7), pita-pita
polimorfik yang muncul ini bisa jadi merupakan salah satu gen pengendali sifat-
sifat unggul dari ikan mas tersebut (contoh, gen pengendali laju pertumbuhan)
selain dari gen yang diekspresikan menjadi fenotip.
Tabel 7. Tabel Polimorfik dan Monomorfik Sampel Ikan Mas (OPA-3)
Base Pair (bp) MJ RD SB 1337 -- -- -- 1041 -- -- -- 981 -- -- -- 901 --* 781 --* 688 --* 608 --* 543 -- -- -- 419 -- --
Keterangan: -- = Pita Monomorfik | --* = Pita Polimorfik
Ikan mas Rajadanu memiliki potensi yang lebih unggul daripada ikan mas
Majalaya. Keunggulan ikan mas Rajadanu bila dibandingkan dengan kedua ikan
mas uji lainnya adalah dari laju pertumbuhannya yang cepat yakni 1,62 % dari
bobot ikan per hari, sendangkan ikan mas Majalaya sebesar 1,40 % dari bobot
ikan per hari, dan ikan mas Subang sebesar 1,33 % dari bobot ikan per hari. Selain
itu ikan mas Rajadanu memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap perubahan
lingkungan dimana ikan ini hidup. Meskipun tidak ada pita polimorfik yang
muncul pada ikan mas Subang, ikan mas ini masih memiliki sedikit keunggulan
dibandingkan dengan kedua ikan mas lainnya. Ikan mas Subang memiliki tingkat
kelangsungan hidup tertinggi diantara ketiga jenis ikan mas yang dujikan dengan
nilai sebesar 99,67 %, sedangkan ikan mas Rajadanu memiliki tingkat
63
kelangsungan hidup sebesar 95,67 %, dan ikan mas Majalaya sebesar 93,67 %
(Pratama 2010).
Karena memiliki hubungan kekerabatan yang jauh dengan ikan mas,
grass carp dan giant barb memiliki potensi untuk dikawin silangkan dengan ikan
mas sebagai program perbaikan kualitas genetik ikan mas yang mengalami
penurunan, karena kedua ikan ini masih memiliki cukup banyak keragaman
genetik bila dibandingkan dengan ikan mas yang diujikan. Selain itu kedua jenis
ikan ini juga terkenal dengan laju pertumbuhannya yang cepat, grass carp dapat
tumbuh dengan cepat dan bisa mencapai berat maksimum 35 kg di alam (Weimin
2004) laju pertumbuhan ikan ini sekitar 0,91 kg per bulan, ikan muda biasanya
tumbuh lebih cepat dari ikan dewasa, dan ikan betina tumbuh lebih cepat
dibandingkan dengan ikan jantan (Sutton et al 2012), sedangkan giant barb bisa
tumbuh dari 2 sampai 4 kg selama delapan bulan (Leelapatra et al. 2000 dalam
Mattson 2002).
4.5 Perbandingan Keakuratan Primer
Suatu primer bisa dinyatakan baik apabila komplementer dengan sekuen
DNA sampel dan mampu untuk memunculkan banyak pita polimorfik dari setiap
sampel yang diujikan, selain itu primer yang baik juga akan menghasilkan data
analisis polimorfisme maupun fenogram hubungan kekerabatan yang konsisten
dan sesuai dengan karakteristik ikan uji. Keakuratan penggunaan primer OPA-2,
OPA-3 dan OPA-13 dalam menganalisa polimorfisme dan hubungan kekerabatan
antar ikan Cyprinid uji pada penelitian ini dapat diuji dengan cara
membandingkan antara hasil analisis polimorfisme dan analisis kekerabatan
(fenogram) dengan karakteristik fenotip ikan uji (Tabel 8).
Berdasarkan hasil fenogram OPA-2 (Gambar 27) di atas, sampel MJ
memiliki kesamaan genetik sebesar 40 % dengan sampel RD maupun sampel SB,
hal ini berarti bahwa sampel MJ memiliki 60 % perbedaan genetik dibandingkan
dengan kedua sampel tersebut dan menunjukkan bahwa antara ikan mas Majalaya
dengan ikan mas Rajadanu dan ikan mas Subang memiliki kekerabatan yang
cukup dekat. Perbedaan antara sampel MJ dengan sampel RD dan sampel SB
64
dibuktikan dengan bentuk tubuhnya yang khas dan berbeda bila dibandingkan
dengan sampel RD maupun sampel SB. Ciri khas fenotip sampel MJ adalah
tubuhnya membulat besar, dan lebar dengan punggungnya yang tinggi. Selain itu
ikan ini memiliki panjang tubuh yang relatif pendek dengan kepalanya yang
relatif kecil. Berbeda dengan sampel RD yang memiliki bentuk tubuh agak pipih
memanjang dengan punggungnya yang landai (rendah) dan kepalanya yang agak
panjang serta moncongnya agak melengkung ke bawah, ataupun sampel SB yang
memiliki punggung yang agak tinggi dengan perutnya yang agak rata dan pangkal
ekornya yang relatif lebih panjang.
Tabel 8. Ciri Khas Fenotip Ikan Cyprinid Uji
Ikan Cyprinid
Ciri Khas Fenotip Kepala Tubuh Caudal
MJ
Bentuk segitiga, ukurannya kecil, letaknya sejajar dengan garis tubuh
Punggung tinggi, perut membulat, relatif pendek
Pangkal ekor agak lebar, sirip caudal bercagak ujungnya membulat bagian bawah lebih panjang
RD
Bentuk moncong mulut agak melengkung ke bawah
Punggung landai (rendah), perut agak membulat, tubuh memanjang
Pangkal ekor agak panjang dan agak lebar, sirip caudal bercagak ujungnya membulat bagian bawah lebih panjang
SB
Bentuk segitiga runcing, agak panjang dan lebar, sejajar dengan lekuk tubuh
Punggung agak tinggi, perut relatif datar, tubuh agak memanjang
Pangkal ekor panjang, sirip caudal bercagak ujungnya membulat dan panjangnya sama
GC
Bentuk segitiga runcing, ukurannya agak kecil, sejajar dengan garis punggung, tanpa barbell
Punggung rata dengan garis kepala (rata), perut agak membulat, tubuh silinder panjang
Pangkal ekor relatif panjang dan agak lebar, sirip caudal bercagak seperti kuas
GB
Bentuk seperti setengah lingkaran, ukurannya besar agak lebar, tanpa barbell
Punggung tinggi, perut relatif datar, tubuh besar dan lebar
Pangkal ekor relatif pendek, sirip caudal bercagak seperti bumerang ujungnya agak runcing
65
Penggunaan primer OPA-2 tidak mampu menunjukkan perbedaan ciri
fenotip antara sampel RD dengan sampel SB, hal ini ditunjukkan dengan nilai
kesamaan genetik antara kedua sampel ini yang mencapai 100 %. Nilai kesamaan
genetik ini jelas tidak tepat karena nyatanya antara sampel RD dengan sampel SB
memiliki perbedaan yang cukup jelas, dimana RD memiliki tubuh pipih
memanjang dengan punggungnya yang landai sedangkan SB memiliki punggung
agak tinggi dengan perutnya yang agak datar. Hal ini menunjukkan bahwa primer
OPA-2 memiliki ketidak akuratan dalam membedakan ciri fenotip antara sampel
RD dengan sampel SB. Selain itu primer OPA-2 kurang tepat mengelompokkan
sampel grass carp kedalam kelompok 3 dengan sampel ikan mas karena
perbedaan antara ikan mas dengan grass carp sangat terlihat jelas. Contohnya dari
bentuk tubuh saja sudah menunjukkan bahwa grass carp yang memiliki tubuh
silinder dan panjang berbeda dengan ikan mas yang umumnya memiliki bentuk
tubuh agak membulat, selain itu sirip dorsal pada grass carp juga berbeda dengan
sirip dorsal pada ikan mas, begitupun dengan sirip caudal. Ketidak akuratan
primer OPA-2 juga ditunjukkan dengan nilai koefisien kesamaan antara sampel
GB dengan keempat sampel lainnya yang bernilai 0,00. Hal ini tidak tepat karena
secara umum bentuk tubuh giant barb memiliki kesamaan dengan bentuk tubuh
ikan mas, walaupun giant barb memiliki banyak ciri fenotip yang khas yang tidak
dimiliki oleh strain ikan mas manapun.
Berdasarkan hasil fenogram OPA-3 (Gambar 28) di atas, sampel MJ
memiliki kesamaan genetik 67 % dengan sampel RD dan sampel SB, hal ini
menunjukkan bahwa ikan mas Majalaya memiliki hubungan kekerabatan yang
dekat dengan ikan mas Rajadanu dan ikan mas Subang. Meskipun deimikan ikan
mas Majalaya masih memiliki keragaman genetik dengan adanya 2 pita
polimorfik yang teramplifikasi oleh primer OPA-2 maupun OPA-3. Penggunaan
primer OPA-3 berhasil menunjukkan perbedaan antara ikan mas Rajadanu dengan
ikan mas Subang, perbedaan ini ditunjukkan dengan adanya dua pita mononorfik
yang berbeda pada ikan mas Rajadanu, meskipun bukan pita polimorfik yang
muncul namun hal ini mengindikasikan bahwa antara ikan mas Rajadanu dengan
ikan mas Subang terdapat perbedaan yang nyata walaupun sekilas bentuk tubuh
66
keduanya nampak sama. Pengelompokan sampel giant barb dengan ketiga jenis
ikan mas pada fenogram OPA-3 tepat, karena giant barb secara umum memiliki
bentuk tubuh yang lebih mirip dengan ikan mas dibandingkan grass carp. Selain
itu primer OPA-3 mampu untuk memunculkan 6 pita polimorfik pada sampel
giant barb, jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan pita polimorfik yang
dihasilkan oleh primer OPA-2 (4 pita). Posisi grass carp pada fenogram OPA-3
berada di kelompok 4, atau kelompok terakhir dengan nilai kesamaan genetik 5 %,
hasil ini bisa dikatakan cukup akurat karena berdasarkan ciri fenotipnya
grass carp memiliki bentuk tubuh yang paling berbeda dari keempat ikan uji
lainnya. Berbedanya ciri fenotip grass carp sudah mengindikasikan bahwa ikan
ini merupakan kerabat yang sangat jauh dengan ikan mas ataupun giant barb,
namun tidak menutup kemungkinan bahwa grass carp masih memungkinkan
untuk dikawinkan secara silang dengan ikan mas atau giant barb, ataupun
dilakukan rekayasa genetik lainnya.
Berdasarkan hasil fenogram OPA-13 (Gambar 29) di atas, sampel MJ
memiliki kesamaan genetik sebesar 67 % dengan sampel RD dan SB, nilai ini
sama dengan hasil fenogram OPA-3 yang menunjukkan bahwa ikan mas Majalaya
memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan ikan mas Rajadanu dan ikan
mas Subang. Meskipun nilai kesamaan genetik ketiga ikan mas ini sama dengan
nilai kesamaan genetik pada fenogram OPA-3, tetapi tidak ada pita polimorfik
yang muncul pada analisis polimorfisme OPA-13, bisa jadi hal ini disebabkan
karena sekuen primer OPA-13 yang tidak komplementer dengan sekuen suatu gen
penyandi (exon) yang terekspresi menjadi suatu fenotip pada ikan mas, namun
komplementer dengan sekuen yang tidak diekspresikan (intron) menjadi fenotip
sebagai akibat dari sifat primer RAPD yang menempel secara acak pada sekuen
DNA genom sampel (Liu and Cordes 2004). Fenogram OPA-13 juga
menunjukkan kekeliruan dalam mengelompokkan grass carp dan giant barb
kedalam satu kelompok yang sama, ketidak akuratan ini dapat dibuktikan dengan
melakukan perbandingan antara ciri fenotip dari grass carp dengan giant barb,
dimana grass carp memiliki bentuk tubuh yang khas yaitu berbentuk silinder dan
panjang, sedangkan giant barb memiliki bentuk tubuh seperti torpedo dan besar
67
serta bila dilihat secara umum giant barb lebih menyerupai ikan mas daripada
dengan grass carp. Adanya ketidak akuratan hasil analisa polimorfisme dan
analisa kekerabatan dengan fenotip ini membuat primer OPA-13 dinilai kurang
tepat untuk menganalisa tingkat polimorfisme dan kekerabatan genetik antara ikan
Cyprinid uji, oleh karenanya primer OPA-13 bukan primer yang ideal.
Primer OPA-2 dapat memunculkan beragam pita polimorfik maupun
monomorfik pada setiap sampel uji dan menghasilkan fenogram yang cukup baik,
namun primer ini masih kurang akurat karena adanya beberapa hasil analisis yang
menunjukkan ketidak konsistenan bila dibandingkan dengan karakteristik ikan uji.
Berbeda halnya dengan OPA-3 yang mampu memunculkan lebih banyak ragam
pita polimorfik dan monomorfik dari OPA-2, kemudian dari pola pita tersebut
dihasilkan fenogram yang memiliki kesesuaian dengan ciri-ciri fenotip ikan uji.
Secara keseluruhan OPA-3 lebih unggul daripada OPA-2, karena OPA-3
memberikan hasil analisa yang lebih akurat dan konsisten serta sesuai dengan
karakteristik ikan uji, meskipun pada amplifikasi sampel GC pita polimorfik yang
dihasilkan lebih sedikit.