gagal jantung kronik
-
Upload
nabilla-gusrina-diwati -
Category
Documents
-
view
210 -
download
4
description
Transcript of gagal jantung kronik
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar saat ini salah satunya adalah gagal
jantung. Di Asia, terjadi perkembangan ekonomi secara cepat, kemajuan indistri,
urbanisasi dan perubahan gaya hidup, peningkatan konsumsi kalori, lemak dan garam,
peningkatan konsumsi rokok dan penurunan aktifitas. Akibatnya terjadi peningkatan
obesitas, hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit vaskular yang berujung pada
peningkatan insiden gagal jantung.1
Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting
dari definisi ini adalah pertama, defenisi gagal adalah relatif terhadap kebutuhan
metabolik tubuh. Kedua, penekanan arti gagal di tujukan pada fungsi pompa jantung
secara keseluruhan.1
Prevalensi keseluruhan gagal jantung diperkirakan meningkat, sebagian karena
terapi gangguan jantung yang ada saat ini, seperti infark miokard, penyakit jantung katup
dan aritmia, membantu pasien untuk bertahan lebih lama. Sedikit sekali yang diketahui
tentang prevalensi atau resiko terkena gagal jantung pada negara berkembang karena
kurangnya penelitian berbasis populasi pada negara-negara tersebut.2 Prevalensi ini
mengikuti pola eksponensial, meningkat seiring dengan umur, dan mengenai 6 – 10
persen orang diatas 65 tahun. Meskipun insiden relatif gagal jantung lebih rendah pada
wanita dibanding pria, penderita wanita dibanding pria, penderita wanita mencakup
setidaknya setengah kasus gagal jantung, karena angka harapan hidup mereka yang lebih
panjang.2
Gagal jantung adalah masalah dunia yang bertambah banyak dengan cepat,
mengenai lebih dari 20 juta orang.2 Setengah dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung
masih mempunyai harapan untuk hidup selama 5 tahun namun sekitar 250.000 pasien
meninggal oleh sebab gagal jantung baik langsung maupun tidak langsung setiap
tahunnya dan angka tersebut telah meningkat 6 kali dalam 40 tahun terakhir. Risiko
kematian dari penyakit gagal jantung setiap tahunnya sebesar 5 - 10%, pada pasien
dengan gejala ringan akan meningkat hingga 30 – 40 % hingga berlanjutnya penyakit.3
1
Data dari Center for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2012, di
Amerika Serikat terdapat sekitar 5,7 juta penduduk yang menderita gagal jantung.4
Dimana 55.000 kematian tiap tahunnya disebabkan oleh gagal jantung.5
Di Indonesia, menurut Data dan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 menyebutkan
bahwa penyakit jantung masih merupakan penyebab utama dari kematian terbanyak
pasien di rumah sakit Indonesia. Menurut data di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Jakarta pada tahun 2006 di ruang rawat jalan dan inap didapatkan 3,23% kasus gagal
jantung dari total 11.711 pasien.3
Meskipun gagal jantung dulunya diperkirakan timbul terutama pada keadaan
penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri, penekanan kira-kira setengah dari pasien yang
terkena gagal jantung memilikifraksi ejeksi yang normal atau (lebih dari 40-50 persen).
Akibatnya, pasien gagal jantung sekarang dikategorikan menjadi 2 group (1) gagal
jantung dengan penurunan fraksi ejeksi (dikenal sebagai gagal sistolik) atau (2) gagal
jantung dengan fraksi ejeksi tetap (dikenal sebagai gagal jantung diastolik ).2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Gagal Jantung
Jantung secara normal menerima darah dari tekanan pengisian yang rendah
yaitu diastol lalu dipompa dengan tekanan yang lebih tinggi atau yang disebut dengan
keadaan sistolik. Gagal jantung terjadi jika, Jantung tidak mampu memompa darah
untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh atau bisa dipenuhi jika terdapat
peninggian tekanan pengisian jantung secara abnormal atau keduanya.6
2.2 Fisiologi
Studi experimental pada segmen otot jantung menunjukkan beberapa prinsip
penting yang dapat diaplikasikan pada jantung. Ketika segmen otot diregangkan,
hubungan antara panjang dan tarikannya yang pasif membentuk kurva linier,
merefleksikan sifat intrinsik elastisnya. Bila otot diregangkan secara pasif, lalu
distimulus untuk kontraksi, maka tarikan total (pasif dan aktif) proporsional dengan
panjang otot sebelum stimulus. Maka, meregangkan otot sebelum stimulus dapat
memaksimalkan ketumpang tindihan dan interaksi antara filamen aktin dan myosin,
meningkatkan jumlah jembatan silang dan kekuatan kontraksi. Meregangkan otot
jantung juga dapat meningkatkan sensitifitas miofilamen terhadap kalsium yang dapat
menambah kekuatan kontraksi.6
Hubungan antara panjang serat mula-mula dan kekuatan kontraksi sangat
penting pada jantung. Semakin besar volum ventrikel saat diastol, maka semakin
panjang serat tertarik sebelum stimulasi, maka semakin besar pula kekuatan kontraksi
berikutnya. Ini adalah dasar dari hukum Frank-Starling, dimana output ventrikel
membesar sesuai dengan preload (tarikan serat miokardium sebelum kontraksi).6
Observasi kedua pada eksperimen miokardium, yaitu dimana serat-serat
tersebut tidak tertahan namun memendek selama stimulasi pada beban yang tetap
(afterload). Pada kontraksi isotonik, panjang terakhir dari otot pada akhir kontraksi
ditentukan oleh beban bukan oleh panjang otot sebelum stimulasi. Maka ketika (1)
Tegangan pada serat otot sama dengan beban yang menetap, (2) Semakin besar beban
yang melawan kontraksi, maka pemendekan serat otot semakin berkurang, (3) Bila
serat ini diregangkan lebih panjang sebelum kontraksi namun afterload tetap konstan,
maka serat otot ini akan memendek lebih banyak juga sampai mencapai panjang yang
3
sama saat akhir kontraksi. (4) Tegangan maksimum yang terjadi saat kontraksi
isotonik sama dengan kekuatan kontraksi isometrik pada saat panjang fiber mula-
mula.6
Konsep afterload ini juga relevan pada jantung yang sesungguhnya, tekanan
pada ventrikel, dan ukuran bilik pada saat akhir kontraksi bergantung pada beban
yang dilawan kontraksi ventrikel, tapi tidak bergantung pada regangan serat
miokardium sebelum kontraksi.6
Observasi ketiga pada experiment miokardium, yaitu dimana perubahan
kontraksi tidak bergantung pada panjang serat mula-mula dan afterload. Kontraktilitas
menunjukkan pengaruh zat kimia dan hormon pada kontraktilitas jantung. Ketika
kontraktilitas dipacu epinefrin, hubungan antara panjang serat mula-mula dan
kekuatan kontraksi meningkat tinggi. Ketika kontraktilitas dipacu, lalu otot jantung
dibiarkan memendek terhadap suatu beban tetap, maka otot tersebut memendek
melebihi panjang otot mula-mula.6
2.2.1 Faktor-faktor yang berpengaruh pada kontraktilitas jantung
Pada orang sehat cardiac output sesuai dengan kebutuhan metabolisme tubuh.
Cardiac output (CO), setara dengan Stroke Volume (SV), dan Heart Rate (HR)
CO = SV X HR
Gambar 1.
Tiga faktor penting yang berpengaruh pada stroke volume adalah preload,
afterload dan kontraktilitas otot jantung.6
4
Cardiac Output
Heart Rate
Stroke Volume
Contractility Preload Afterload
a. Preload
Konsep preload sudah dijelaskan Frank dan Starling seabad yang lalu. Pada
percobaan experimental, semakin ventrikel terdistensi saat diastol, semakin banyak
juga volum kontraksi sistolik. Hubungan ini dijelaskan oleh kurva Frank-Starling atau
kurva fungsi ventrikuler. Grafik ini menghubungkan kemampuan jantung seperti
cardiac output atau stroke volume pada axis vertikal, sedangkan fungsi preload pada
axis horizontal. Pengukuran yang berkaitan dengan peregangan miokardium dan
sering digunakan untuk mengukur preload adalah end diastolic volume (EDV) atau
end diastolic pressure(EDP) dari ventrikel. Kondisi yang menyebabkan turunnya
volume intravaskular, yang kemudian menurunkan preload ventrikel menyebabkan
rendahnya EDV lalu akhirnya stroke volume mengecil, demikian juga sebaliknya.6
b. Afterload
Afterload merefleksikan tahanan yang harus dilawan ventrikel untuk
mengosongkan bilik. Secara formal dapat juga disebut stress dinding ventrikel yang
terjadi selama ejeksi sistolik. Stress dinding jantung (σ), adalah tekanan per unit area
dari ventrikel kiri bisa ditentukan dari hukum Laplace
σ=P x r2 h
P adalah tekanan ventrikel, r adalah radius bilik, dan h adalah ketebalan
dinding ventrikel. Maka tekanan dinding ventrikel meningkat bila ada tekanan yang
tinggi(e.g. hipertensi) atau peningkatan radius(e.g. dilatasi ventrikel kiri), kemudian
peningkatan ketebalan dinding ventrikel dapat mengurangi stress dinding jantung
karena tekanan tersebar merata pada permukaan otot ventrikel.6
c. Kontraktilitas (disebut juga keadaan inotropik)
Kontraktilitas adalah perubahan pada kekuatan otot jantung pada saat preload
dan afterload, yang berasal dari pengaruh hormone dan zat kimia. Dengan
menghubungkan kemampuan ventrikel dan preload, tiap kurva Frank-Starling adalah
refleksi keadaan inotropik jantung. Perubahan stroke volume karena perubahan
preload direfleksikan pada perubahan posisi kurva Frank-Starling. Maka, ketika
kontraktilitas dipace secara farmakologis, kemampuan ventrikel meningkat pada
preload apapun dan stroke volume juga meningkat, demikian juga sebaliknya.6
5
Tabel 1.
Terminologi Definisi
Preload Tekanan pada dinding ventrikel akhir diastol. Secara klinis, ini adalah
meregangnya serat-serat ventrikel tepat sebelum kontraksi, sering diukur
dengan end-diastolic volume atau end-diastolic pressure
Afterload Tekanan pada dinding ventrikel selama kontraksi, hambatan yang harus
dilampaui ventrikel untuk mengeluarkan isinya. Sering diukur dengan
tekanan ventrikuler/arterial sistolik
Kontraktilitas
(inotropic)
Bagian dari otot jantung yang bertanggung jawab pada perubahan kekuatan
kontraksi yang tidak dipengaruhi preload dan afterload. Merefleksikan
pengaruh zat kimia dan hormonal pada kekuatan kontraksi
Stroke volume
(SV)
Volume darah yang diejeksikan dari ventrikel selama sistolik
SV= end diastolic volume- end sistolic volume
Ejection
fraction (EF)
Fraksi dari end-diastolic volumeyang diejeksikan dari ventrikel tiap
kontraksi sistolik (nilai normal = 55%-75%)
Cardiac Output
(CO)
Volume darah yang diejeksikan dari ventrikel per menit. CO = SV X HR
Compliance Bagian intrinsic dari bilik yang menjelaskan hubungan tekanan-volume saat
pengisian. Merefleksikan apakah bilik dapat diisi dengan mudah atau tidak.
Definisi Compliance = Δ Volume / Δ tekanan
2.2.2 Kurva Tekanan-Volume
6
Gambar 2.
Kurva ini menunjukkan perubahan volume ventrikel jantung berkaitan dengan
perubahan tekanan selama siklus kardiak. Pada ventrikel kiri pengisian mulai setelah
katup mitral terbuka pada awal diastol (titik a). Kurva antara point a dan b
menunjukkan pengisian diastol. Ketika volume meningkat selama diastol, ada sedikit
kenaikan tekanan yang setara dengan compliance myocard. 6
Berikutnya, onset dari kontraksi sistolik ventrikel kiri menyebabkan tekanan
ventricular kiri meningkat. Ketika tekanan di ventrikel kiri melebihi atrium kiri (titik
b), katup mitral tertutup. Kemudian seiring dengan meningkatnya tekanan, volume
ventrikuler tidak langsung berubah karena katup aorta belum terbuka, karena itu fase
ini disebut kontraksi isovolumetrik. Ketika tekanan ventrikuler mencapai tekanan
diastolik aorta, maka katup aorta akan membuka (titik c) dan ejeksi darah ke aorta
dimulai. Selama ejeksi volume di ventrikel berkurang, tapi tekanannya tetap
meningkat sampai relaksasi ventrikel mulai. Afterload tampak sebagai kurva c-d.
Ejeksi berakhir saat fase relaksasi ketika tekanan ventrikuler turun dan katup aorta
tertutup. 6
Tekanan ventrikel menurun ketika ventrikel mulai relaksasi , namun
volumenya tetap karena katup mitral belum terbuka, fase ini disebut relaksasi
isovolumetrik. Ketika tekanan ventrikel turun melebihi atrium kiri, katup mitral
terbuka lagi (titik a) dan siklus berulang. 6
Perhatikan titik b mewakili tekanan dan volume akhir diastol, dan titik d
mewakili tekanan dan volume akhir sistolik. Perbedaan end diastolik volume dan end
sistolik volume menunjukkan jumlah darah yang diejeksi (stroke volume)
Perubahan apapun pada fungsi jantung, akan nampak pada perubahan kurva
ini. Dengan menganalisa efek dari perubahan preload, afterload atau kontraktilitas
7
Te ka na n (m m Hg
Volume (mL) (((mL)_
SV
a b
cd
terhadap kurva volume-tekanan, kita dapat memprediksi perubahan tekanan
ventrikuler dan stroke volume.6
a. Perubahan preload
Bila afterload dan kontraktilitas tetap, tetapi preload meningkat misalanya
pada masuknya cairan intravena, maka EDV ventrikel kiri meningkat. Peningkatan
preload meningkatkan stroke volume melalui mekanisme Frank-Starling, sehingga
ESV akan sama seperti sebelum preload meningkat. Ini berarti ventrikel kiri mampu
mengatur stroke volume dan secara efektif mengosongkan isinya sampai sama dengan
volume pengisian diastolic, dengan syarat afterload dan kontraktilitas konstan.
Walaupun EDV dan EDP sering disamakan sebagai marker preload, hubungan
antara tekanan dan volume pengisian mempengaruhi pengisian ventrikel. Bila
compliance ventrikel menurun, penurunan pada kurva ab menjadi lebih dangkal.
Ventrikel yang kaku atau tidak compliance akan menurunkan kemampuan pengisian
bilik saat diastol lalu menurunkan EDV. Keadaan ini menyebabkan penurunan SV,
sedangkan EDV tetap.6
b. Perubahan afterload
Bila preload dan kontraktilitas konstan, tetapi afterload dipacu, maka tekanan
pada ventrikel kiri saat ejeksi ikut meningkat. Pada situasi ini, ventrikel bekerja lebih
keras untuk melampaui tahanan yang ada dan pemendekan serat-serat otot berkurang.
Peningkatan afterload, menghasilkan tekanan sistolik ventrikel yang lebih tinggi dan
ESV juga meningkat. Maka dengan meningkatnya afterload, stroke volume menurun.
Depedensi dari ESV pada afterload bersifat linier, disebut juga end-systolic
pressure volume relation (ESPVR).6
c. Perubahan kontraktilitas
Turunan pada garis ESPVR adalah fungsi dari kontraktilitas jantung. Bila
kontraktilitas meningkat, turunan ESPVR menjadi lebih dangkal, bergerak ke atas dan
kiri. Ventrikel mengosongkan isinya lebih efektif menyebabkan turunnya ESV. Bila
kontraktilitas menurun, garis ESPVR akan menurun, konsisten dengan turunnya
stroke volume dan EDV yang lebih tinggi. ESV bergantung pada afterload tetapi tidak
bergantung pada EDV sebelum kontraksi.
Konsep fisiologis yang penting dirangkumkan dalam berikut ini :
8
1. Stroke volume ventrikel dipengaruhi oleh preload, afterload dan kontraktilitas.
Stroke volume meningkat pada penambahan jumlah preload, penurunan jumlah
afterload dan peningkatan kontraktilitas.
2. Ventricular end-diastolic volume (EDV) atau volume akhir diastolik merupakan
gambaran dari preload, yang dipengaruhi oleh pengembangan ruang jantung itu
sendiri.
3. Ventricular end-systolic volume (ESV) bergantung pada afterload dan
kontraktilitas, namun tidak bergantung pada preload.6
2.3 Patofisiologi
Gagal jantung kronik disebabkan berbagai macam gangguan kardiovaskuler.
Menurut etiologi dapat dibagi menjadi (1) gangguan kontraktilitas, (2) peningkatan
afterload, (3) gangguan relaksasi dan pengisian. Gagal jantung yang berasal dari
kelainan pengosongan ventrikel disebut disfungsi sistolik, sedangkan yang disebabkan
kelainan pengisian ventrikel disebut disfungsi diastolik. Namun terdapat tumpah
tindih keadaan, antar definisi dan banyak pasien menunjukkan kedua kelainan
tersebut. Maka, saat ini menjadi umum untuk mengkategorikan gagal jantung menjadi
dua kategori besar (1) Gagal jantung dengan penurunan EF, (2) gagal jantung dengan
EF normal.6
9
↑↑AfterloadOverload tekanan kronik
Stenosis aorta lanjut Hipertensi parah yang
tidak terkontrol
Gangguan kontraktilitas
Penyakit jantung koroner
Overload volume kronik
Cardiomyopathy dilatasi
10
2.3.1 Gagal Jantung dengan Penurunaan Fraksi Ejeksi
Pada keadaan disfungsi sistolik, ventrikel yang terkena kapasitasnya
berkurang untuk mengeluarkan darah karena gangguan kontraktilitas miokard atau
tekanan yang berlebihan (misalnya, afterload yang berlebihan). Kehilangan
kontraktilitas dapat diakibatkan kerusakan myosit, fungsi myosit yang abnormal, atau
fibrosis. Tekanan yang berlebihan mengganggu ejeksi ventrikel secara signifikan juga
meningkatkan tahanan.
Gambar 3.
Gambar A di atas menggambarkan efek dari disfungsi sistolik akibat gangguan
kontraktilitas pada kurva tekanan-volume. ESPVR digeser ke bawah sehingga
pengosongan sistolik berhenti pada volume yang lebih tinggi ESV. Akibatnya,
volume stroke berkurang. Ketika aliran balik vena yang normal dari paru ditambahkan
ke volume akhir-sistolik meningkat yang tetap dalam ventrikel karena pengosongan
lengkap, volume diastolic meningkat, sehingga volume dan tekanan EDV lebih tinggi
dari normal. Sementara itu peningkatan preload menginduksi kenaikan kompensasi
stroke volume (melalui mekanisme Frank-Starling), kontraktilitas terganggu dan
fraksi ejeksi berkurang menyebabkan volume akhir-sistolik tetap tinggi.6
Selama diastol, tekanan LV terus-menerus tinggi disalurkan ke atrium kiri
(melalui katup mitral yang terbuka) dan pembuluh darah paru dan kapiler. Tekanan
kapiler hidrostatik paru bila cukup tinggi (biasanya> 20 mm Hg), bisa membuat
transudasi cairan ke dalam interstitium paru dan gejala kongesti paru.6
11
2.3.2 Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Normal
Pasien yang menunjukkan gagal jantung dengan EF normal sering
menunjukkan kelainan fungsi diastolik: baik gangguan relaksasi diastolik awal
(proses yang aktif, tergantung energi), kekakuan dinding ventrikel yang meningkat
dari dinding ventrikel (proses pasif), atau keduanya. Iskemia miokard akut adalah
contoh dari suatu kondisi yang menghambat pengiriman energi dan relaksasi
diastolik. Sebaliknya, hipertrofi ventrikel kiri, fibrosis, atau kardiomiopati restriktif
menyebabkan dinding LV menjadi menegang kronis. Penyakit perikardial tertentu
(tamponade jantung dan penyempitan pericardial) menghasilkan kekuatan eksternal
yang membatasi pengisian ventrikel dan mewakili jenis disfungsi diastolic yang
reversibel. Pengaruh gangguan fungsi diastolik tercermin dalam kurva tekanan-
volume (lihat Gambar B): Di diastol, pengisian ventrikel terjadi lebih tinggi dari
tekanan normal karena bagian bawah kurva digeser ke atas sebagai hasilnya
compliance bilik berkurang. Pasien dengan disfungsi diastolik sering menampakkan
tanda-tanda tahanan vaskular karena tekanan diastolik tinggi diteruskan kembali ke
vena pulmonal dan sistemik.6
2.3.3 Gagal Jantung Kanan
Sedangkan prinsip-prinsip fisiologis yang disebutkan di atas dapat diterapkan
untuk kedua sisi kanan dan sisi kiri gagal jantung, ada perbedaan yang jelas dalam
fungsi antara kedua ventrikel. Dibandingkan dengan ventrikel kiri, ventrikel kanan
(RV) berdinding tipis, ruang yang sangat sesuai yang menerima volume darah
tersebut pada tekanan rendah dan menyemburkannya terhadap resistensi pembuluh
darah paru yang rendah. Sebagai hasil dari compliance yang tinggi, RV tidak
memiliki kesulitan menerima berbagai jumlah volume tanpa perubahan signifikan
dalam tekanan. Sebaliknya, RV cukup rentan terhadap gagal jantung dalam situasi
peningkatan mendadak dalam afterload, seperti emboli paru akut.6
Penyebab paling umum dari gagal jantung kanan adalah gagal jantung kiri.
Dalam situasi ini, afterload berlebihan berkaitan dengan ventrikel kanan karena
tekanan pembuluh darah paru meninggi yang dihasilkan dari disfungsi LV. Gagal
jantung kanan tanpa kelainan si sebelah kiri kurang umum dan biasanya
mencerminkan RV meningkat karena afterload terhadap penyakit paru-paru atau
12
parenkim pembuluh darah paru. Gagal jantung kanan yang dihasilkan dari proses paru
primer dikenal sebagai corpulmonale, yang dapat menyebabkan gejala gagal jantung
kanan.6
Contoh kondisi yang menyebabkan gagal jantung kanan :6
Penyebab dari jantung
o Gagal jantung kiri
o Stenosis katup pulmonal
o Infark ventrikel kanan
Penyakit parenkim paru-paru
o Penyakit Paru Obstruktif kronis
o Penyakit paru interstitial
o Adult Respiratory Distress Syndrome
o Infeksi paru kronis atau bronchiectasis
Penyakit vaskuler paru-paru
o Emboli paru
o Hipertensi pulmonal primer
Ketika ventrikel kanan gagal, tekanan diastolik tinggi diteruskan kembali ke
atrium kanan dengan tahanan berikutnya dari pembuluh darah sistemik, disertai
dengan tanda-tanda gagal jantung kanan seperti yang dijelaskan di bawah ini. Secara
tidak langsung, gagal jantung kanan primer juga dapat mempengaruhi fungsi jantung
kiri: output ventrikel kanan menurun mengurangi darah kembali ke LV (yaitu, preload
berkurang), menyebabkan stroke volume menurun.6
2.4 Mekanisme Kompensasi
Beberapa mekanisme kompensasi alami muncul pada pasien dengan gagal
jantung yang mengkompensasi penurunan curah jantung dan membantu mengatur
tekanan darah agar cukup untuk perfusi organ-organ vital. Kompensasi ini termasuk
(1) mekanisme Frank-Starling, (2) perubahan neurohormonal, dan (3) hipertrofi
ventrikel dan remodeling.6
13
Gambar 4.
Gambar di atas menunjukkan Mekanisme kompensasi pada gagal jantung.
Kedua mekanisme Frank-Starling (yang dipicu oleh kenaikan EDV) dan hipertrofi
miokard (dalam meresponi overload tekanan atau volume) berfungsi untuk
mempertahankan stroke volume (garis putus-putus). Namun, kenaikan kronis di EDV
oleh kekakuan ventrikel lalu meningkatkan tekanan atrium, yang pada gilirannya
mengakibatkan manifestasi klinis gagal jantung (misalnya, kongesti paru dalam kasus
gagal jantung kiri).6
2.4.1 Mekanisme Frank-Starling
Gagal jantung yang disebabkan oleh gangguan kontraktilitas ventrikel kiri
menyebabkan pada preload tertentu, stroke volume menurun dibandingkan dengan
normal. Stroke volume yang berkurang menyebabkan pengosongan ruang tidak
lengkap, sehingga volume darah yang terakumulasi dalam ventrikel selama diastol
lebih tinggi dari normal. Hal ini meningkatkan peregangan pada myofibers, lalu
melalui mekanisme Frank-Starling, menginduksi stroke volume yang lebih besar pada
kontraksi berikutnya, yang membantu untuk mengosongkan ventrikel kiri yang
membesar dan menormalkan kembali curah jantung.6
Mekanisme kompensasi yang menguntungkan memiliki batas-batasnya
namun, dalam kasus gagal jantung berat dengan depresi kontraktilitas, kurva mungkin
hampir datar pada volume diastolik yang lebih tinggi, mengurangi pembesaran dari
cardiac output yang dicapai melalui penigkatan pengisian ruang jantung. Bersamaan
dalam keadaan tersebut, ditandai peningkatan EDV dan EDP (yang disalurkan
14
retrograde ke atrium kiri, vena paru, dan kapiler) dapat mengakibatkan kongesti paru
dan edema.6
2.4.2 Perubahan Neurohormonal
Beberapa mekanisme kompensasi neurohormonal diaktifkan saat gagal
jantung dalam mengkompensasi curah jantung yang menurun. Tiga kompensasi yang
paling penting (1) sistem saraf adrenergik, (2) sistem renin-angiotensin-aldosteron,
dan (3) peningkatan hormon antidiuretik (ADH). Mekanisme ini berfungsi untuk
meningkatkan resistensi pembuluh darah sistemik, yang membantu untuk
mempertahankan perfusi arteri ke organ vital, bahkan dalam keadaan output jantung
berkurang. Artinya, karena tekanan darah (BP) adalah sama dengan cardiac output
(CO) dan resistensi perifer total (TPR), peningkatan TPR yang disebabkan oleh
mekanisme kompensasi hampir dapat menyeimbangkan penurunan CO dan, pada
gagal jantung tahap awal, mempertahankan BP dalam rentang normal. Selain itu, hasil
aktivasi neurohormonal dalam retensi natrium dan air, yang pada gilirannya
meningkatkan volume intravaskular dan preload ventrikel kiri, memaksimalkan stroke
volume melalui mekanisme Frank-Starling.6
15
Gambar 5.
Gambar dia atas menunjukkan kompensasi neurohormonal dalam menanggapi
output jantung yang berkurang dan tekanan darah pada gagal jantung. Peningkatan
aktivitas sistem saraf simpatik, renin-angiotensin-aldosteron system, dan hormon
antidiuretik berfungsi untuk mendukung curah jantung dan tekanan darah (kotak).
Namun, konsekuensi yang merugikan dari aktivasi (garis putus-putus) mencakup
peningkatan afterload dari vasokonstriksi berlebihan (yang kemudian dapat
menghambat cardiac output) dan retensi cairan yang berlebihan, yang menyebabkan
edema perifer dan kongesti paru.
Meskipun efek akut dari stimulasi neurohormonal menguntungkan, efek
kronis dari mekanisme ini seringkali pada akhirnya terbukti merusak jantung secara
progresif.6
a. Sistem Saraf Adrenergik
16
Penurunan curah jantung pada gagal jantung direspon oleh baroreseptor di
sinus karotis dan arkus aorta. Reseptor ini menurunkan tingkat stimulasi reseptor
secara proporsional dengan penurunan tekanan darah, dan sinyal yang diteruskan oleh
saraf kranial ke-9 dan ke-10 ke pusat kontrol kardiovaskular di medula. Akibatnya,
aliran simpatik terhadap jantung dan sirkulasi perifer meningkat, dan kerja
parasimpatis berkurang. Ada tiga konsekuensi langsung: (1) peningkatan denyut
jantung, (2) penambahan kontraktilitas ventrikel, dan (3) vasokonstriksi yang
disebabkan oleh stimulasi α-reseptor pada pembuluh darah dan arteri sistemik.6
Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas ventrikel secara langsung
meningkatkan cardiac output. Vasokonstriksi dari sirkulasi vena dan arteri juga
awalnya menguntungkan. Penyempitan vena menambah darah yang kembali ke
jantung, yang meningkatkan preload dan meningkatkan stroke volume melalui
mekanisme Frank-Starling. Konstriksi arteriolar meningkatkan resistensi pembuluh
darah perifer dan karena itu membantu untuk menjaga tekanan darah (BP = CO ×
TPR). Distribusi regional α-reseptor adalah sedemikian rupa sehingga selama
stimulasi simpatis, aliran darah didistribusikan ke organ vital (misalnya, jantung dan
otak) dengan mengorbankan kulit, liver, dan ginjal.6
b. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron
Sistem ini juga diaktifkan dini pada pasien dengan gagal jantung, dimediasi
oleh peningkatan pelepasan renin. Rangsangan utama untuk sekresi renin yang berasal
dari sel-sel juxtaglomerular dari ginjal pada pasien gagal jantung meliputi (1)
penurunan tekanan arteri perfusi ginjal sekunder karena cardiac output yang rendah,
(2) penurunan pengiriman garam ke macula densa dari ginjal karena perubahan dalam
hemodinamik intrarenal, dan (3) stimulasi langsung juxtaglomerular β2-reseptor oleh
sistem saraf adrenergik.6
Renin adalah enzim yang menguraikan angiotensinogen untuk membentuk
angiotensin I, yang kemudian dengan cepat dipecah oleh enzim converting
angiotensin (ACE) untuk membentuk angiotensin II (A-II), suatu vasokonstriktor
yang kuat. Peningkatan AII menyempitkan arteriol dan meningkatkan resistensi
perifer total, sehingga berfungsi untuk mempertahankan tekanan darah sistemik.
Selain itu, A-II bertindak untuk meningkatkan volume intravaskular melalui dua
mekanisme: (1) pada hipotalamus, merangsang rasa haus dan karena itu asupan air
17
bertambah, dan (2) di korteks adrenal, meningkatkan sekresi aldosteron. Hormon
yang terakhir meningkatkan reabsorpsi natrium dari tubulus distal ginjal ke dalam
sirkulasi untuk meningkatkan volume intravaskular. Kenaikan volume intravaskular
meningkatkan preload ventrikel kiri dan dengan demikian menambah curah jantung
melalui mekanisme Frank-Starling.6
c. Hormon Antidiuretik
Sekresi hormon ini (juga disebut vasopressin) oleh hipofisis posterior
meningkat pada banyak pasien dengan gagal jantung, mungkin dimediasi melalui
baroreseptor arteri, dan oleh peningkatan tingkat A-II. ADH berkontribusi terhadap
penignkatan volume intravaskular karena menyebabkan retensi air di nefron distal.
Volume intravaskular meningkat berfungsi untuk meningkatkan preload ventrikel kiri
dan cardiac output. ADH juga berperan dalam vasokonstriksi sistemik.6
Meskipun masing-masing perubahan neurohormonal pada gagal jantung pada
awalnya menguntungkan, aktivasi terus akhirnya membuktikan sebalinknya.
Misalnya, volume sirkulasi meningkat dan ditambah aliran balik vena ke jantung
dapat memperburuk peregangan pembuluh darah paru-paru dan memperburuk gejala
paru kongestif. Selain itu, peningkatan resistensi arteriolar meningkatkan afterload
dikompensasi dengan kondisi kontraksi ventrikel yang buruk dan karena itu dapat
mengganggu stroke volume dan mengurangi cardiac output. Selain itu, peningkatan
denyut jantung menambah kebutuhan metabolisme dan karena itu dapat mengurangi
kerja jantung. Aktivasi simpatik terus menerus menyebabkan β-adrenergik reseptor
terhambat dan protein G terpacu, berkontribusi terhadap penurunan sensitivitas
miokardium terhadap katekolamin di sirkulasi dan respon inotropik yang berkurang.6
Peningkatan A-II yang kronis dan aldosteron memiliki efek merugikan
tambahan. Mereka memprovokasi produksi sitokin (protein kecil sebagai mediasi
komunikasi sel-sel dan respon imun), mengaktifkan makrofag, dan merangsang
fibroblas, sehingga terjadi fibrosis dan remodeling yang buruk pada jantung.6
Karena konsekuensi yang tidak diinginkan dari aktivasi neurohormonal kronis
pada akhirnya lebih besar daripada manfaatnya, banyak terapi farmakologis saat ini
dirancang untuk mengontrol mekanisme "kompensasi" ini dalam batas normal.6
d. Peptida Natriuretik
18
Berbeda dengan konsekuensi akhir yang merugikan dari perubahan
neurohormonal, peptida natriuretik selalu "menguntungkan", ini adalah hormon yang
dikeluarkan pada saat gagal jantung sebagai respons terhadap peningkatan tekanan
intracardiac. Yang sampai saat ini paling dikenal adalah atrium natriuretik peptida
(ANP) dan B-peptida natriuretik tipe (BNP). ANP disimpan dalam sel-sel atrium dan
dilepaskan sebagai respons terhadap distensi atrium. BNP tidak terdeteksi di dalam
jantung normal tetapi diproduksi ketika ventrikel miokardium yang mengalami stres
hemodinamik (misalnya, pada gagal jantung atau selama infark miokard). Studi
terbaru menunjukkan hubungan yang erat antara kadar serum BNP dan keparahan
gagal jantung secara klinis.6
Peptida natriuretik dimediasi oleh reseptor natriuretic spesifik dan sebagian
besar kerjanya berlawanan dengan sistem hormon lainnya yang aktif saat gagal
jantung. Peptida-peptida ini menghasilkan ekskresi natrium dan air, vasodilatasi,
penghambatan sekresi renin, dan antagonisme dari efek A-II pada aldosteron dan
vasopressin. Meskipun efek ini bermanfaat bagi pasien dengan gagal jantung, tetapi
biasanya tidak cukup untuk sepenuhnya mengkompensasi vasokonstriksi dan efek
menjaga-volume- dari sistem hormonal lain.6
e. Peptida Lainnya
Di antara peptida lain yang dihasilkan pada gagal jantung adalah endothelin-
1, suatu vasokonstriktor kuat yang berasal dari sel-sel endotel yang melapisi
pembuluh darah. Pada pasien dengan gagal jantung, konsentrasi plasma dari
endotelin-1 berkorelasi dengan keparahan penyakit dan ini adalah efek yang
merugikan. Obat yang dirancang untuk menghambat reseptor endotelin,
meningkatkan fungsi LV pada pasien gagal jantung, tapi manfaat klinis jangka
panjang belum tampak.6
2.4.3 Hipertrofi dan Remodeling Ventrikel
Hipertrofi ventrikel dan remodeling adalah proses kompensasi penting yang
berkembang dari waktu ke waktu dalam meresponi beban hemodinamik. Stres pada
dinding jantung (sebagaimana didefinisikan sebelumnya) sering meningkat pada gagal
jantung karena baik dilatasi LV (radius ruang yang meningkat) atau kebutuhan untuk
menghasilkan tekanan sistolik tinggi untuk mengatasi afterload yang berlebihan
19
(misalnya, pada stenosis aorta atau hipertensi). Sebuah peningkatan yang
berkelanjutan dalam stres dinding jantung(bersama dengan perubahan neurohormonal
dan sitokin) merangsang perkembangan hipertrofi miokard dan deposisi matriks
ekstraseluler. Massa yang meningkat dari serat otot berfungsi sebagai mekanisme
kompensasi yang membantu untuk menjaga kekuatan kontraktil dan melawan stres
yang tinggi pada dinding ventrikel (ingat bahwa ketebalan dinding terletak dalam
penyebut dari rumus stres dinding Laplace). Namun, karena peningkatan kekakuan
dinding, menyebabkan tekanan diastolik ventrikel yang meninggi, yang diteruskan ke
atrium kiri dan pembuluh darah paru.6
Pola kompensasi hipertrofi dan remodeling yang berkembang tergantung pada
apakah ventrikel terkena overload volume yang kronis atau tekanan. Dilatasi bilik
yang kronik karena volume overload (misalnya, regurgitasi mitral atau aorta yang
kronik) menyebabkan sintesis sarkomer baru secara seri dengan yang lama,
menyebabkan miosit memanjang. Jari-jari ruang ventrikel membesar, proporsional
dengan peningkatan ketebalan dinding, dan disebut hipertrofi eksentrik. Tekanan
berlebihan kronis (misalnya, disebabkan oleh hipertensi atau stenosis aorta)
menyebabkan sintesis sarkomer baru secara paralel dengan yang lama (miosit
menebal), disebut hipertrofi konsentrik. Dalam situasi ini, yang meketebalan
dinding meningkat tanpa dilatasi ruang yang proporsional, sehingga stres dinding
dapat dikurangi.6
Hipertrofi dan remodeling tersebut membantu mengurangi stres dinding dan
mempertahankan kekuatan kontraktil, tapi pada akhirnya, fungsi ventrikel mungkin
menurun, memungkinkan bilik melebar melebihi ketebalan dinding. Ketika ini terjadi,
beban hemodinamik yang berlebihan pada kontraktilitas menghasilkan penurunan
fungsi dengan simtomatologi gagal jantung progresif.
2.5 Miosit yang Mati dan Disfungsi Seluler
Penurunan fungsi ventrikel pada gagal jantung mungkin disebabkan miosit
yang mati dan / atau gangguan fungsi miosit yang hidup. Matinya miosit dapat
disebabkan dari nekrosis seluler (misalnya, dari infark miokard atau paparan obat
kardiotoksik seperti doxorubicin) atau apoptosis (kematian sel terprogram). Dalam
apoptosis, instruksi genetik mengaktifkan jalur intraseluler yang menyebabkan sel
20
untuk menjalani fragmentasi dan fagositosis oleh sel lain, tanpa respon inflamasi.
Pemicu apoptosis pada gagal jantung meliputi peningkatan katekolamin, A-II, sitokin
pro inflamasi, dan ketegangan mekanik pada miosit karena stres pada dinding yang
meningkat.6
Bahkan miokardium yang hidup pada gagal jantung tidak dalam keadaan sehat
di tingkat ultrastruktural dan molekuler. Stress pada dinding, aktivasi neurohormonal,
dan sitokin pro inflamasi, seperti tumor necrosis factor α (TNF-α), diyakini mengubah
ekspresi genetik protein kontraktil, saluran ion, enzim katalitik, reseptor permukaan,
dan messenger sekunder di miosit tersebut. Bukti eksperimental telah menunjukkan
perubahan tersebut pada tingkat subselular yang mempengaruhi pengaturan kalsium
intraseluler oleh retikulum sarkoplasma, menurunkan respon dari miofilamen kalsium,
merusak kerja eksitasi-kontraksi, dan mengubah produksi energi sel. Mekanisme
seluler saat ini dianggap sebagai kontributor paling penting untuk disfungsi pada
gagal jantung meliputi: (1) kemampuan seluler berkurang untuk mempertahankan
homeostasis kalsium, dan / atau (2) perubahan dalam ketersediaan, produksi, dan
pemanfaatan energi tinggi yaitu fosfat. Namun, perubahan subselular yang tepat yang
mengakibatkan gagal jantung belum terurai, dan area ini tetap menjadi salah satu yang
paling aktif dalam penelitian kardiovaskular.6
2.6 Faktor Presipitasi
Banyak pasien dengan gagal jantung tetap asimtomatik untuk waktu yang
lama baik karena penurunan yang ringan atau karena disfungsi jantung yang
terkompensasi. Seringkali manifestasi klinis dipicu oleh keadaan yang meningkatkan
beban kerja jantung dan menjadi dekompensasi.6
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan gejala pada pasien dengan gagal
jantung kronis terkompensasi
Kebutuhan metabolic yang meningkat
o Demam, infeksi, anemia, takikardi, hipetirois, kehamilan
Peningkatan preload
o Konsumsi sodium berlebihan, intake cairan berlebihan, gagal ginjal
Peningkatan afterload
o Hipertensi yang tidak terkontrol, emboli paru
Keadaan yang mengganggu kontraktilitas
21
o Obat inotropik negative, iskemia myocard atau infark, konsumsi ethanol
berlebihan
Makan obat gagal jantung tidak teratur, bradikardia yang terlalu pelan
Kondisi kebutuhan metabolisme yang meningkat seperti demam atau infeksi
tidak dapat diimbangi dengan peningkatan output yang cukup oleh gagal jantung,
sehingga gejala insufisiensi jantung muncul. Tachyarrhythmias memicu gagal jantung
dengan mengurangi waktu pengisian diastolik ventrikel dan dengan meningkatnya
kebutuhan oksigen miokard. Denyut jantung yang terlalu rendah langsung
menyebabkan penurunan curah jantung (ingat, cardiac output = stroke volume ×
denyut jantung). Peningkatan konsumsi garam, disfungsi ginjal, atau makan obat
diuretik yang tidak teratur dapat meningkatkan volume sirkulasi, sehingga
menyebabkan bendungan sistemik dan paru. Hipertensi tidak terkontrol menekan
fungsi sistolik karena afterload yang berlebihan. Emboli paru yang besar
menyebabkan hipoksemia (menurunkan suplai oksigen pada miokard) dan
peningkatan afterload ventrikel kanan. Faktor iskemik (misalnya, iskemia miokard
atau infark), konsumsi etanol, atau obat inotropik negatif (misalnya, β-blockers dosis
besar dan penyekat calcium channel tertentu) semua dapat menurunkan kontraktilitas
miokard dan memunculkan gejala pada pasien jantung terkompensasi.6
2.7 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari gagal jantung bearasal dari output jantung yang
terganggu dan / atau tekanan vena yang meningkat, dan berhubungan dengan ventrikel
yang gagal. Seorang pasien dapat datang dengan gejala progresif kronis gagal jantung
atau, dalam kasus-kasus tertentu, dengan dekompensasi jantung kiri (misalnya, edema
paru akut).6
2.7.1 Gejala Klinis
Gejala Umum dan Temuan Fisik Gagal Jantung
Gagal jantung kiri
o Gejala
Dyspnea, Orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, fatigue
o Temuan fisik
22
Diaforesis, takikardia, takipneu, rales paru, P2 terdengar keras, S3
gallop, S4 gallop.
Gagal jantung kanan
o Gejala
Edema perifer, kuadran kanan atas tidak nyaman (hepatomegali)
o Temuan fisik
Distensi vena jugularis, hepatomegali, edema perifer
Manifestasi paling menonjol dari kegagalan ventrikel kiri kronis adalah
dyspnea (sesak napas) saat aktivitas. Kontroversi mengenai penyebab gejala ini telah
berpusat pada apakah itu primer akibat kongesti vena paru, atau dari penurunan curah
jantung. Tekanan vena paru yang melebihi 20 mmHg menyebabkan transudasi cairan
ke dalam interstitium paru dan bendungan parenkim paru. Compliance yang
dihasilkan paru berkurang, menyebabkan peningkatan kerja pernapasan untuk
memindahkan volume udara yang sama. Selain itu, kelebihan cairan dalam
interstitium menekan dinding bronkiolus dan alveoli, meningkatkan resistensi
terhadap aliran udara dan memerlukan usaha repirasi yang lebih besar. Selain itu,
reseptor juxtacapillary (reseptor J) dirangsang dan memediasi pernapasan yang
dangkal dan cepat. Pasien gagal jantung juga dapat menderita dyspnea bahkan tanpa
adanya kongesti paru, karen aliran darah ke otot-otot pernapasan berkurang dan
akumulasi asam laktat juga dapat menyebabkan sensasi itu. Gagal jantung pada
awalnya dapat menyebabkan dyspnea hanya pada aktivitas, namun disfungsi yang
parah juga menimbulkan gejala saat istirahat.6
Manifestasi lain cardiac output yang rendah pada gagal jantung mungkin
termasuk gangguan status mental karena perfusi serebral berkurang dan output urin
terganggu karena perfusi ginjal menurun. Yang terakhir ini menjelaskan kenapa
frekuensi kencing meningkat pada malam hari (nokturia) ketika, terlentang, aliran
darah didistribusikan ke ginjal, memeperbaiki perfusi ginjal dan diuresis. Menurunya
perfusi otot rangka dapat menyebabkan kelelahan dan kelemahan.6
Manifestasi kongestif lainnya termasuk ortopnea, dispnea nocturnal
paroksismal (PND), dan batuk malam hari. Ortopnea adalah sensasi sesak napas saat
berbaring datar dan lega dengan duduk tegak. Ini hasil dari redistribusi darah
intravaskuler dari bagian tubuh yang bergantung pada gravitasi (perut dan ekstremitas
bawah) ke paru-paru setelah berbaring. Tingkat ortopnea umumnya dinilai dengan
23
jumlah bantal di mana pasien tidur untuk menghindari sesak napas. Kadang-kadang,
ortopnea sangat penting sehingga pasien mungkin mencoba untuk tidur tegak di
kursi.6
PND adalah sesak napas berat yang membangunkan pasien dari tidur 2 sampai
3 jam setelah ke tempat tidur. Gejala menakutkan ini berasal dari reabsorpsi bertahap
edema ekstremitas bawah ke dalam sirkulasi setelah berbaring, dengan ekspansi
volume intravaskular dan peningkatan aliran balik vena ke jantung dan paru-paru.
Batuk nokturnal adalah gejala lain kongesti paru dan muncul dengan mekanisme yang
mirip dengan ortopnea. Hemoptisis (batuk darah) dapat terjadi akibat pecahnya
pembuluh darah bronchial yang membesar.6
Dalam gagal jantung kanan, tekanan vena sistemik yang tinggi dapat
mengakibatkan ketidaknyamanan perut karena liver membesar dan kapsul liver
meregang. Demikian pula, anoreksia (nafsu makan menurun) dan mual mungkin
akibat dari edema dalam saluran pencernaan. Edema perifer, terutama di pergelangan
kaki dan kaki, juga mencerminkan peningkatan tekanan hidrostatik vena. Karena efek
gravitasi, cenderung memburuk ketika pasien berdiri siang hari dan sering membaik
pagi hari setelah berbaring telentang di malam hari. Bahkan sebelum edema perifer
muncul, pasien dapat melihat kenaikan berat badan yang tak terduga akibat akumulasi
cairan interstitial.6
Gejala-gejala gagal jantung biasanya dinilai sesuai dengan klasifikasi New
York Heart Association (NYHA), dan pasien bisa berubah dari satu kelas ke kelas
lainnya, di kedua arah, dari waktu ke waktu. Sebuah sistem yang lebih baru
mengklasifikasikan pasien menurut perjalanan penyakit mereka dalam gagal jantung.
Dalam sistem ini, perkembangan ini hanya dalam satu arah, dari Tahap A ke Tahap D,
mencerminkan urutan khas manifestasi gagal jantung dalam praktek klinis.6
Klasifikasi New York Heart Association
Kelas I : Tidak ada gejala saat aktivitas fisik
Kelas II : Sedikit gejala saat aktivitas. Dyspnea dan kelelahan saat aktivitas
sedang (misalnya : lari naik tangga)
Kelas III : Gejala sedang saat aktivitas. Dyspnea saat aktivitas sedikit, misalnya
jalan naik tangga
Kelas IV : Gejala berat saat aktivitas. Gejala muncul saat istirahat
Tahapan Gagal Jantung Kronis
24
Tahap A
Pasien dengan resiko gagal jantung, tapi belum ada disfungsi struktur
jantung (contoh : pasien, dengan penyakit jantung koroner, hipertensi
atau dengan riwayat keluarga kardiomyopati).
Tahap B
Pasien dengan kerusakan struktur jantung berkaitan dengan gagal
jantung tapi belum muncul gejala.
Tahap C
Pasien yang saat ini atau sebelumnya ada gejala gagal jantung yang
berkaitan dengan kerusakan struktur jantung.
Tahap D
Pasien dengan kerusakan structural jantung dan gejala gagal jantung
yang bermakna, walaupun sudah dengan terapi medis maksimal dan
membutuhkan intervensi lanjut seperti transplant jantung.6
2.7.2 Tanda Fisik
Tanda-tanda fisik dari gagal jantung tergantung pada tingkat keparahan dan
kronisitas kondisi dan dapat dibagi menjadi disfungsi kiri atau kanan. Pasien
dengan hanya kerusakan ringan dapat terlihat sehat. Namun, pasien dengan gagal
jantung kronik parah dapat menunjukkan cachexia (penampilan lemahdan kurus)
karena nafsu makan yang buruk dan tuntutan metabolik untuk meningkatkan
pernapasan. Dalam dekompensasi gagal jantung kiri, pasien mungkin tampak
kusam (penurunan curah jantung) dan diaforesis (berkeringat karena peningkatan
aktivitas saraf simpatik), dan ekstremitas yang dingin karena vasokonstriksi arteri
perifer. Takipnea (napas cepat) adalah gejala umum. Respirasi Cheyne-Stokes
muncul pada gagal jantung stadium lanjut, ditandai dengan periode hiperventilasi
di antara periode apnea (pernapasan berhenti). Pola ini berkaitan dengan
memanjangnya waktu sirkulasi antara paru-paru dan pusat pernapasan di otak pada
gagal jantung yang mengganggu mekanisme umpan balik normal pada oxigenasi
sistemik. Sinus takikardia (yang dihasilkan dari peningkatan aktivitas sistem saraf
simpatik) juga umum. Pulsus alternans (kontraksi yang kuat dan lemah bergantian
terdeteksi dalam pulsa perifer) dapat muncul sebagai tanda disfungsi ventrikel
prgresif.6
25
Dalam gagal jantung kiri, auskultasi paru berupa rales disebabkan oleh
terbukanya saluran udara kecil selama inspirasi yang telah tertutup oleh cairan
edema. Temuan ini awalnya terlihat di basal paru-paru, di mana tekanan hidrostatik
yang besar, namun, kongesti paru yang memburuk dikaitkan dengan rales yang
meninggi pada paru-paru. Kompresi saluran udara karena bendungan pada paru
dapat menghasilkan ronki kasar dan mengi, mengi yang ditemukan pada gagal
jantung disebut asma kardiak.6
Tergantung pada penyebab gagal jantung, palpasi jantung dapat
menunjukkan bahwa ictus ventrikel kiri tidak fokus tetapi menyebar (pada
cardiomyopathy dilatasi), berkelanjutan (pada overload tekanan seperti stenosis
aorta atau hipertensi), atau kuat angkat dalam kualitas (dalam volume overload
seperti regurgitasi mitral). Karena peningkatan tekanan jantung kiri menyebabkan
peningkatan tekanan pembuluh darah paru, komponen pulmonic dari suara jantung
kedua sering lebih keras dari biasanya. Suara diastolik awal (S3) sering terdengar
pada orang dewasa dengan gagal jantung sistolik dan disebabkan oleh pengisian
abnormal bilik yang melebar. Suara diastolik akhir (S4) berasal dari kontraksi
atrium kuat ke dalam ventrikel yang kaku dan umum pada penurunan compliance
LV(disfungsi diastolik). Murmur regurgitasi mitral kadang-kadang terauskultasi
pada gagal jantung kiri jika dilatasi LV telah memregangkan anulus katup dan
menyebarkan otot papiler terpisah dari satu sama lain, sehingga mencegah
penutupan yang tepat dari katup mitral di sistolik.6
Dalam gagal jantung kanan, temuan fisik yang berbeda mungkin muncul.
Pemeriksaan jantung dapat menunjukan terabanya heave ventrikel kanan pada
parasternal, mewakili pembesaran RV, atau gallop S3/S4 gallop sisi kanan. Murmur
regurgitasi trikuspid dapat diauskultasi, akibat pembesaran ventrikel kanan, analog
dengan regurgitasi mitral yang muncul di dilatasi LV. Meningginya tekanan vena
sistemik diproduksi oleh gagal jantung kanan dimanifestasikan oleh distensi vena
jugularis serta pembesaran hati dengan nyeri tekan kuadran perut kanan atas. Edema
terakumulasi di bagian terendah dari tubuh, dimulai pada pergelangan kaki dan kaki
pasien rawat jalan dan di daerah presakral dari mereka yang terbaring di tempat
tidur.6
Efusi pleura dapat muncul dalam gagal jantung kiri atau kanan, karena vena
pleura mengalir ke kedua vena sistemik dan paru. Pasien dengan efusi pleura pada
26
pemeriksaan fisik bila diperkusi menghasilkan suara redup pada dasar paru-paru
posterior.6
2.8 Studi Diagnostik
Tekanan rata-rata atrium kiri (LA) yang normal ≤ 10 mm Hg. Jika tekanan LA
melebihi 15 mm Hg, foto toraks menunjukkan atas zona redistribusi vaskular,
sehingga pembuluh darah pada lobus atas paru-paru lebih besar daripada yang di
bawah. Hal ini dijelaskan sebagai berikut: ketika pasien berada dalam posisi tegak,
aliran darah biasanya lebih besar pada basis paru-paru daripada apeks karena efek
gravitasi. Redistribusi aliran terjadi karena edema interstisial dan perivaskular, karena
edema tersebut paling menonjol di dasar paru-paru (di mana tekanan hidrostatik yang
tertinggi), sehingga pembuluh darah di basal yang terkompresi, sedangkan yang ke
paru-paru bagian atas kurang terpengaruh.6
Ketika tekanan LA melampaui 20 mm Hg, edema interstisial biasanya muncul
pada rontgen dada sebagai bentuk pembuluh darah yang tidak jelas dan garis Kerley
B (tanda linier pendek di perifer paru-paru yang lebih rendah menunjukkan edema
interlobular). Jika tekanan LA melebihi 25-30 mmHg, edema paru alveolar dapat
muncul, dengan peningkatan opasitas dari bagian udara. Hubungan antara tekanan LA
dan temuan radiografi dada berubah pada pasien dengan gagal jantung kronis karena
peningkatan drainase limfatik, sehingga tekanan yang lebih tinggi dapat diakomodasi
dengan sedikit tanda-tanda radiologis.6
Tergantung pada penyebab gagal jantung, rontgen dada dapat menunjukkan
kardiomegalyi didefinisikan sebagai rasio kardiotoraks lebih besar dari 0,5 pada film
posteroanterior. Tekanan atrium yang tinggi menyebabkan pembesaran siluet vena
azygous. Efusi pleura mungkin ikut tampak.6
Tes untuk BNP, dijelaskan sebelumnya dalam bab ini, berkorelasi kuat dengan
tingkat disfungsi LV dan prognosis. Selain itu, tingkat serum dari BNP dapat
membantu membedakan gagal jantung dari penyebab lain dari dyspnea, seperti
penyakit parenkim paru.
Penyebab gagal jantung sering terlihat dari riwayat pasien, seperti pasien yang
telah menderita infark miokard yang besar, atau dengan pemeriksaan fisik, seperti
pada pasien dengan murmur katup jantung. Jika penyebabnya tidak jelas dari evaluasi
27
klinis, langkah pertama adalah untuk menentukan apakah fungsi ventrikel sistolik
normal atau terdepresi. Dari tes invasif yang dapat membantu membuat penentuan ini,
echocardiography sangat disarankan.6
2.9 Tatalaksana Gagal jantung
2.9.1 Mendefinisikan Strategi Terapi yang tepat untuk gagal jantung kronis
Setelah struktur jantung pasien terkena, terapi tergantung pada klasifikasi
fungsional NYHA. Meskipun sistem klasifikasi ini sangat subjektif dan memiliki
variabilitas antar pengamat yang besar, namun klasifikasi ini telah bertahan bertaun-
tahun dan terus secara luas diterapkan pada pasien gagal jantung. Untuk pasien
dengan disfungsi sistolik namun asimtomatik (kelas I), tujuan terapi untuk
memperlambat perkembangan penyakit dengan memblok sistem neurohormonal yang
menyebabkan remodeling jantung. Untuk pasien dengan gejala (kelas II-IV), tujuan
utama seharusnya mengurangi retensi cairan, kecacatan, dan menghambat
progesivitas penyakit dan kematian. Terapi umumnya terdiri dari kombinasi diuretik
(untuk mengontrol retensi garam dan air) dengan intervensi neurohormonal (untuk
meminimalisir remodeling jantung).2
A. Manajemen Pasien Gagal Gantung dengan Penurunan Fraksi Ejeksi (<40%)
a. Tindakan Umum
Dokter harus bertujuan untuk mencari dan mengobati komorbid seperti
hipertensi, CAD, diabetes mellitus, anemia, dan gangguan napas saat tidur, karena
kondisi ini cenderung memperburuk gagal jantung. Pasien gagal jantung harus
disarankan untuk berhenti merokok dan membatasi konsumsi alkohol untuk dua
minuman standard per hari pada pria atau satu per hari pada wanita. Pasien yang
diduga memiliki kardiomiopati akibat alkohol harus didesak untuk menjauhkan diri
dari konsumsi alkohol selamanya. Temperatur yang ekstrem dan aktivitas fisik yang
berat harus dihindari. Obat-obatan tertentu yang dikenal untuk memperburuk gagal
jantung harus dihindari. Sebagai contoh, obat anti nflamasi non steroid, termasuk
cyclooxygenase 2 inhibitor, tidak dianjurkan pada pasien dengan gagal jantung kronis
karena resiko gagal ginjal dan retensi cairan yang meningkat dengan adanya
penurunan fungsi ginjal atau terapi ACE inhibitor. Pasien harus menerima imunisasi
28
dengan vaksin influenza dan pneumokokus untuk mencegah infeksi pernapasan. Hal
ini sama pentingnya untuk mendidik pasien dan keluarga tentang gagal jantung,
pentingnya diet yang tepat, dan pentingnya kepatuhan pada terapi. Pengawasan rawat
jalan oleh perawat yang terlatih khusus atau asisten dokter dan / atau di klinik khusus
gagal jantung sangat menolong pasien, terutama pada pasien dengan penyakit lanjut.2
Faktor yang dapat menimbulkan dekompensasi akut pada pasien dengan gagal
jantung kronis :
Diet yang salah
Myocardial iskemia / infark
Aritmia (takikardia atau bradikardia)
Penghentian terapi gagal jantung
Infeksi
Anemia
Obat yang memperburuk gagal jantung
- Kalsium antagonis (verapamil, diltiazem), Beta blockers, obat anti-inflamasi
non steroid, obat antiaritmia
Konsumsi alkohol
Kehamilan
HIpertensi
Insufisiensi valvular akut
b. Aktivitas
Meskipun pekerjaan fisik yang berat tidak dianjurkan pada penderita gagal
jantung, latihan sederhana rutin telah terbukti bermanfaat pada pasien dengan NYHA
kelas I-III. Untuk pasien euvolemic, olahraga isotonik teratur seperti berjalan atau
mengendarai ergometer sepeda-stasioner,sangat bermanfaat. Hasil pelatihan
menunjukkan gejala gagal jantung berkurang, kapasitas latihan meningkat, dan
peningkatan kualitas hidup.2
c. Diet
29
Pembatasan diet natrium (2-3 gram sehari) dianjurkan pada semua pasien
gagal jantung. Pembatasan lebih lanjut (<2 g sehari) dapat pada gagal jantung sedang
hingga berat. Restriksi cairan umumnya tidak perlu kecuali pasien mengalami
hiponatremia (<130 meq / L), yang mungkin akibat aktivasi sistem renin angiotensin-,
sekresi berlebihan dari hormon antidiuretik, atau hilangnya garam dalam air yang
berlebihan dari penggunaan diuretik. Restriksi cairan (<2 L / hari) harus
dipertimbangkan pada pasien hyponatremic atau mereka dengan retensi cairan yang
sulit dikendalikan meskipun sudah dengan diuretik dosis tinggi dan pembatasan
natrium. Antagonis vasopresin mungkin juga berguna dalam hiponatremia.
Suplementasi kalori direkomendasikan untuk pasien dengan gagal jantung lanjut dan
penurunan berat badan yang tidak disengaja atau pengecilan otot (cachexia jantung),
namun, steroid anabolik tidak dianjurkan untuk pasien karena bisa terjadi retensi
volume. Penggunaan suplemen makanan ("nutriceuticals") harus dihindari dalam
pengelolaan gejala gagal jantung karena terbukti kurang bermanfaat terbukti dan
terbukti ada potensi interaksi yang signifikan (merugikan) dengan terapi gagal
jantung.2
d. Diuretik
Banyak dari manifestasi klinis sedang sampai berat akibat dari retensi air dan
garam yang berlebihan yang menyebabkan ekspansi volume dan gejala kongestif.
Diuretik adalah satu-satunya agen farmakologis yang dapat mengendalikan retensi
cairan dalam gagal jantung lanjut, dan harus digunakan untuk memulihkan dan
menjaga volume teap normal pada pasien dengan gejala kongestif (dyspnea, ortopnea,
edema) atau tanda-tanda peningkatan tekanan pengisian (rales, distensi vena jugularis,
edema perifer). Furosemide, torsemide, dan bumetanide bekerja di loop Henle (loop
diuretik) menghambat reabsorpsi Na +, K +, dan Cl-dalam tubulus ascending tebal
loop Henle (reversibel); tiazid dan metolazone mengurangi reabsorpsi Na + dan Cl-
pada paruh pertama tubulus konvoulsi distal, dan diuretik hemat kalium seperti
spironolakton bekerja pada tubulus kolektivus.2
Tabel 2.
30
Terapi untuk gagal jantung kronik (EF <40%)
Dosis awal DosisMaximal
Diuretik
Furosemide 20–40 mg qd/bid 400 mg/da
Torsemide 10–20 mg qd/bid 200 mg/da
Bumetanide 0.5–1 mg qd/bid 10 mg/da
Hydrochlorthiazide 25 mg qd 100 mg/da
Metolazone 2.5–5 mg qd/bid 20 mg/da
Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors
Captopril l6.25 mg tid 50 mg tid
Enalapril 2.5 mg bid 10 mg bid
Lisinopril 2.5–5 mg qd 20–35 mg qd
Ramipril 1.25–2.5 mg bid 2.5–5 mg bid
Trandolapri 0.5 mg qd 4 mg qd
Angiotensin Receptor Blocker
Valsartan 40 mg bid 160 mg bid
Candesartan 4 mg qd 32 mg qd
Irbesartan 75 mg qd 300 mg qdb
Losartan 12.5 mg qd 50 mg qd
Β-Receptor Blockers
Carvedilol 3.125 mg bid 25–50 mg bid
Bisoprolol 1.25 mg qd 10 mg qd
Metoprolol succinate CR 12.5–25 mg qd 200 mg qd
Terapi tambahan
Spironolactone 12.5–25 mg qd 25–50 mg qd
Eplerenone 25 mg qd 50 mg qd
Combination of hydralazie/isosorbide dinitrate
10–25 mg/10 mg tid 75 mg/40 mg tid
31
Fixed dose of hydralazine/isosorbide dinitrate
37.5 mg/20 mg (1 tablet) tid
75 mg/40 mg (2 tablet) tid
Digoxin 0.125 mg qd 0.375 mg/db
Notes:
a Dosis harus dititrasib Dosis pasti masih belum diketahui.
Meskipun semua diuretik meningkatkan ekskresi natrium dan volume urin,
diuretik berbeda dalam potensi dan sifat farmakologis. Sedangkan diuretik loop
meningkatkan eksresi natrium 20-25%, diuretik thiazide meningkatkan hanya 5-10%
dan cenderung kehilangan efektivitas pada pasien dengan insufisiensi ginjal sedang
atau berat (kreatinin> 2,5 mg / dL). Oleh karena itu, diuretik loop umumnya
dibutuhkan untuk mengembalikan volume normal pada pasien dengan gagal jantung.
Diuretik sebaiknya dimulai dalam dosis rendah dan kemudian dengan hati-hati
dititrasi ke atas untuk meringankan tanda dan gejala overload cairan dalam upaya
untuk mendapatkan "dry weight" pasien. Ini biasanya membutuhkan penyesuaian
dosis ganda selama beberapa hari dan kadang-kadang minggu pada pasien dengan
overload cairan berat. Diuretik Intravena mungkin diperlukan untuk mengurangi
kongestif akut dan dapat dilakukan dengan aman dalam pengaturan rawat jalan.
Setelah kongestif teratasi, pengobatan dengan diuretik harus dilanjutkan untuk
mencegah terulangnya retensi garam dan air.2
Refrakter terhadap terapi diuretik mungkin mewakili ketidakpatuhan pasien,
efek langsung penggunaan diuretik kronis pada ginjal, atau perkembangan penyakit
penyebab gagal jantung. Penambahan tiazid atau metolazone, sekali atau dua kali
sehari, untuk diuretik loop dapat dipertimbangkan pada pasien dengan retensi cairan
persisten meskipun mendapat diuretik loop dosis tinggi. Metolazone umumnya lebih
kuat dan lebih lama daripada tiazid. Namun, penggunaan sehari-hari jangka panjang,
terutama metolazone, harus dihindari, karena potensi perubahan status elektrolit dan
deplesi volume. Ultrafiltrasi dan dialisis dapat digunakan dalam kasus-kasus retensi
cairan refrakter yang tidak responsif terhadap diuretik dosis tinggi dan dalam jangka
pendek terbukti efektif.2
Efek samping
32
Diuretik memiliki potensi untuk deplesi elektrolit dan volume serta azotemia
memburuk. Selain itu, dapat menyebabkan memburuknya aktivasi neurohormonal dan
perburukan penyakit. Salah satu konsekuensi yang merugikan yang paling penting
dari diuresis adalah perubahan dalam homeostasis kalium (hipokalemia atau
hiperkalemia), yang meningkatkan risiko aritmia. Secara umum, diuretik loop-dan
thiazide menyebabkan hipokalemia, sedangkan spironolactone, eplerenone, dan
triamterene menyebabkan hiperkalemia.
Mencegah Progresivitas Penyakit Obat yang menahan aktivasi yang
berlebihan dari sistem RAA dan sistem saraf adrenergik dapat meringankan gejala
gagal jantung dengan penurunan EF dengan cara menstabilkan dan / atau
memperbaiki remodeling jantung. Dalam hal ini, ACE inhibitor dan beta blockers
sebagai landasan terapi modern untuk gagal jantung dengan penurunan EF.
e. Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) Inhibitor
Ada bukti kuat bahwa ACE inhibitor sebaiknya digunakan pada pasien
bergejala dan tanpa gejala dengan penurunan EF tertekan (<40%). ACE inhibitor
bekerja pada sistem renin angiotensin-dengan menghambat enzim yang bertanggung
jawab untuk konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Namun, karena ACE
inhibitor juga menghambat kininase II, dapat menyebabkan upregulation bradikinin,
yang selanjutnya dapat meningkatkan efek menguntungkan penekanan
angiotensin. ACE inhibitors menstabilkan remodeling LV, memperbaiki gejala,
mengurangi rawat inap, dan memperpanjang hidup. Karena retensi cairan dapat
melemahkan pengaruh ACE inhibitor, lebih baik mengoptimalkan dosis diuretic
sebelum memulai ACE inhibitor. Namun, mungkin perlu untuk mengurangi dosis
diuretic selama inisiasi inhibisi ACE untuk mencegah hipotensi simptomatik. ACE
inhibitor harus dimulai dalam dosis rendah, diikuti oleh kenaikan bertahap jika dosis
rendah telah dapat ditoleransi dengan baik. Dosis inhibitor ACE harus ditingkatkan
sampa efektif dalam uji klinis. Dosis yang lebih tinggi lebih efektif daripada dosis
rendah dalam mencegah rawat inap.2
33
Gambar 6.
Algoritma pengobatan untuk pasien gagal jantung kronis dengan penurunan
fraksi ejeksi. Setelah diagnosis klinis gagal jantung ditegakkan, penting untuk
mengobati retensi cairan sebelum memulai ACE inhibitor (atau ARB jika pasien
intoleran ACE). Beta blockers harus dimulai setelah retensi cairan telah diobati dan /
atau inhibitor ACE telah dinaikkan titrasinya. Jika pasien masih bergejala, ARB,
antagonis aldosteron, atau digoxin dapat ditambahkan sebagai "triple therapy."
Kombinasi dosis tetap hydralazine / isosorbide dinitrate harus ditambahkan ke ACE
inhibitor dan beta blocker di pasien dengan NYHA kelas II-IV HF. Terapi perangkat
harus dipertimbangkan selain terapi farmakologis pada pasien yang tepat.2
Efek samping
Sebagian besar efek samping terkait dengan penekanan pada sistem renin-
angiotensin. Penurunan tekanan darah dan azotemia ringan yang mungkin terjadi
selama inisiasi terapi umumnya ditoleransi dengan baik dan tidak memerlukan
penurunan dosis inhibitor ACE. Namun, jika hipotensi disertai dengan pusing atau
34
jika disfungsi ginjal menjadi berat, mungkin perlu untuk mengurangi dosis inhibitor.
Retensi kalium juga bisa menjadi masalah jika pasien menerima suplemen kalium
atau diuretik hemat kalium. Retensi Kalium yang tidak responsif mungkin
memerlukan pengurangan dosis ACE inhibitor.2
f. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Obat ini ditoleransi dengan baik pada pasien yang tidak toleran terhadap
inhibitor ACE karena batuk, ruam kulit, dan angioedema. ARB harus digunakan pada
pasien bergejala dan tanpa gejala dengan EF <40% yang ACE intoleran untuk alasan
lain selain hiperkalemia atau insufisiensi ginjal. Meskipun ACE inhibitor dan ARB
menghambat sistem renin-angiotensin, tetapi mekanismenya berbeda. ACE inhibitor
memblokir enzim yang bertanggung jawab untuk mengkonversi angiotensin I menjadi
angiotensin II, ARB memblokir efek angiotensin II pada reseptor angiotensin tipe 1.
Beberapa uji klinis telah menunjukkan manfaat terapeutik dari penambahan ARB ke
ACE inhibitor pada pasien dengan HF kronis. Ketika diberikan bersama dengan beta
blocker, ARB membalikkan proses remodelling LV, memperbaiki gejala pasien,
mencegah opname, dan memperpanjang hidup.2
Efek samping
ACE inhibitor dan ARB baik memiliki efek yang sama pada tekanan darah,
fungsi ginjal, dan kalium. Oleh karena itu, masalah hipotensi simtomatik, azotemia,
dan hiperkalemia terjadi pada kedua obat tersebut.2
g. Penyekat Reseptor β-Adrenergic
Penyekat Beta merupakan kemajuan besar dalam pengobatan pasien dengan
penurunan EF. Obat ini bekerja pada aktivasi yang berkelanjutan dari sistem saraf
adrenergik oleh antagonis kompetitif satu atau lebih reseptor adrenergik (α1, β1, dan
β2).Meskipun ada sejumlah manfaat potensial untuk memblokir ketiga reseptor,
sebagian besar dari efek buruk dari aktivasi adrenergic dimediasi oleh reseptor
β1. Ketika diberikan bersama dengan inhibitor ACE, penyekat beta membalikkan
proses remodelling LV, memperbaiki gejala pasien, mencegah opname, dan
memperpanjang hidup.Oleh karena itu, penyekat beta diindikasikan untuk pasien
dengan HF bergejala atau tanpa gejala dan EF turun <40%.
35
Analog dengan penggunaan inhibitor ACE, penyekat beta harus dimulai dalam dosis
rendah, diikuti oleh kenaikan bertahap dalam dosis jika dosis rendah telah dapat
ditoleransi dengan baik. Dosis penyekat beta harus ditingkatkan sampai dosis efektif
dalam uji klinis. Namun, tidak seperti ACE inhibitor, yang dapat dititrasi ke atas
relatif cepat, titrasi penyekat beta sebaiknya dilanjutkan tidak lebih cepat dari 2
minggu, karena inisiasi dan / atau peningkatan dosis dapat menyebabkan retensi
cairan. Dengan demikian, penting untuk mengoptimalkan dosis diuretik sebelum
memulai terapi dengan penyekat beta. Retensi cairan bisa muncul, dalam 3-5 hari dari
terapi mulai, dan akan bermanifestasi sebagai peningkatan berat badan dan / atau
gejala gagal jantung yang memburuk. Retensi cairan biasanya dapat diatasi dengan
meningkatkan dosis diuretik. Pada beberapa pasien dosis penyekat beta mungkin
harus dikurangi.2
Bertentangan dengan laporan awal, hasil agregat uji klinis menunjukkan
bahwa penyekat beta ditoleransi dengan baik oleh sebagian besar (85%) dari pasien
gagal jantung, termasuk pasien dengan kondisi komorbiditas seperti diabetes melitus,
penyakit paru-paru obstruktif kronis, dan penyakit pembuluh darah perifer.
Meskipun demikian, ada pasien (10-15%) yang intoleran terhadap penyekat
beta karena memburuknya retensi cairan atau hipotensi simtomatik atau bradikardia.2
Efek samping
Efek samping dari penyekat beta umumnya terkait dengan komplikasi yang
timbul dari sistem saraf adrenergik. Reaksi ini biasanya terjadi dalam beberapa hari
dari mulai terapi dan umumnya responsif terhadap penyesuaian obat secara
bersamaan, seperti dijelaskan di atas. Terapi dengan penyekat beta dapat
menyebabkan bradikardi dan / atau memperburuk blok jantung. Dengan demikian,
dosis beta blocker harus dikurangi jika denyut jantung menurun hingga <50 denyut /
menit dan / atau blok jantung derajat dua atau tiga atau hipotensi simptomatik muncul.
Penyekat beta tidak dianjurkan untuk pasien yang menderita asma dengan
bronkospasme aktif. Penyekat beta yang juga memblokir reseptor α1 dapat
mengakibatkan efek samping vasodilator.2
36
h. Antagonis Aldosteron
Meski tergolong diuretik hemat kalium, obat yang memblokir efek aldosteron
(spironolactone atau eplerenone) memiliki efek menguntungkan yaitu tidak
mempengaruhi keseimbangan natrium. Meskipun penghambatan ACE dapat
menurunkan sekresi aldosteron, dengan terapi jangka panjang ada pengembalian cepat
aldosteron ke tingkat yang sama sebelum terapi ACE inhibitor. Dengan demikian,
pemberian antagonis aldosteron direkomendasikan untuk pasien dengan NYHA kelas
IV atau kelas III yang memiliki EF (<35%) dan menerima terapi standar, termasuk
diuretik, inhibitor ACE, dan beta bloker . Dosis antagonis aldosteron harus
ditingkatkan sampai dosis efektif dalam uji klinis.2
Efek samping
Masalah utama dengan penggunaan antagonis aldosteron adalah hiperkalemia,
yang lebih rentan terjadi pada pasien yang menerima suplemen kalium atau dengan
insufisiensi ginjal. Antagonis aldosteron tidak direkomendasikan jika kreatinin
serum> 2,5 mg / dL (atau kreatinin clearance <30 mL / menit) atau ketika kalium
serum> 5 mmol / L. Ginekomastia yang nyeri dapat muncul pada 10-15% dari pasien
yang menggunakan spironolactone, dapat disubtitusi dengan eplerenone.
i. Terapi dengan alat
Cardiac Resynchronization
Sekitar sepertiga pasien dengan penurunan EF dan gejala gagal jantung
(NYHA kelas III-IV) juga mempunyai gejala durasi QRS> 120 ms. EKG digunakan
untuk mengidentifikasi pasien dengan kontraksi ventrikel dissinkron. Konsekuensi
mekanik disynkron ventrikel termasuk pengisian ventrikel suboptimal, penurunan
kontraktilitas ventrikel, regurgitasi mitral, dan gerakan paradox dinding septal.
Biventricular pacing, atau terapi resinkronisasi jantung (CRT), merangsang kedua
ventrikel hampir bersamaan, dengan demikian meningkatkan koordinasi kontraksi
ventrikel dan mengurangi keparahan dari regurgitasi mitral. Ketika CRT ditambahkan
untuk terapi medis yang optimal pada pasien dengan irama sinus, terjadi penurunan
signifikan dalam tingkat kematian pasien dan rawat inap dan perbaikan remodelling
LV, serta peningkatan kualitas hidup dan kapasitas latihan. Oleh karena itu, CRT
direkomendasikan untuk pasien dengan irama sinus dengan EF <35% dan QRS> 120
37
ms dan bergejala (NYHA III-IV) walaupun sudah dengan terapi medis yang optimal.
Manfaat dari CRT pada pasien dengan atrial fibrilasi belum jelas.2
Cardiac Defibrillator Implan (ICD)
ICD pada pasien dengan gagal jantung ringan-sedang (NYHA kelas II-III)
telah terbukti mengurangi kejadian kematian jantung mendadak pada pasien
dengan kardiomiopati iskemik atau nonischemic. Dengan demikian, implantasi
ICD harus dipertimbangkan untuk pasien di NYHA kelas II-III HF dengan EF
<35% yang sudah pada terapi medis yang optimal, termasuk inhibitor ACE (atau
ARB), beta blocker, dan antagonis aldosteron. ICD juga dapat digabungkan dengan
alat pacu jantung biventricular pada pasien dengan NYHA kelas III-IV HF.2
B. Manajemen Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Normal (> 40-50%)
Meskipun banyak informasi yang berkaitan dengan evaluasi dan pengelolaan
gagal jantung dengan penurunan EF, tidak ada terapi farmakologis atau perangkat
terbukti dan / atau disetujui untuk pengelolaan pasien dengan gagal jantung dengan
EF normal. Oleh karena itu, dianjurkan bahwa upaya pengobatan awal harus
difokuskan, sedapat mungkin, pada proses penyakit yang mendasarinya (misalnya,
iskemia miokard, hipertensi). Faktor pencetus seperti takikardia dan atrial fibrilasi
harus diperlakukan secepat mungkin melalui pengendalian nadi dan restorasi ritme
sinus jika diperlukan. Dyspnea dapat diobati dengan mengurangi total volume
(pembatasan natrium dan diuretik), penurunan volume darah sentral (nitrat), atau
menghambat aktivasi neurohormonal dengan ACE inhibitor, ARB, dan / atau beta
blockers. Pengobatan dengan diuretik dan nitrat harus dimulai pada dosis rendah
untuk menghindari hipotensi dan kelelahan.2
2.10 Prognosis
Meskipun kemajuan baru-baru ini banyak dalam evaluasi dan pengelolaan
gagal jantung, perkembangan gagal jantung masih membawa prognosis buruk. Studi
menunjukkan 30-40% dari pasien meninggal dalam waktu 1 tahun sejak diagnosis dan
60-70% mati dalam waktu 5 tahun, terutama karena perburukan gejala atau sebagai
ada kejadian mendadak (kemungkinan akibat aritmia ventrikel). Meskipun sulit untuk
38
memprediksi prognosis dalam individu, pasien dengan gejala saat istirahat (New York
Heart Association (NYHA) kelas IV) memiliki angka kematian 30-70% per tahun,
sedangkan pasien dengan gejala dengan aktivitas sedang (NYHA kelas II) memiliki
tingkat tahunan kematian 5-10%. Dengan demikian, status fungsional merupakan
prediktor penting dari prognosis pasien.2
39