Kasus Gagal Jantung Kronik

114
KASUS GAGAL JANTUNG KRONIK KRISTIANI FEBRIYANTI PUJI KURNIAWATI RAHMAN NURNANENGSIH DASRIANTI

Transcript of Kasus Gagal Jantung Kronik

Page 1: Kasus Gagal Jantung Kronik

KASUS GAGAL JANTUNG KRONIK

KRISTIANI

FEBRIYANTI

PUJI KURNIAWATI RAHMAN

NURNANENGSIH

DASRIANTI

Page 2: Kasus Gagal Jantung Kronik

LATAR BELAKANG

Page 3: Kasus Gagal Jantung Kronik
Page 4: Kasus Gagal Jantung Kronik

Menurut ahli jantung Lukman Hakim Makmun dari Di visi Kardiologi Fakultas Kedokteran Uni ver sitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), di Indonesia data pre va lensi gagal jantung secara nasional me mang belum ada. Namun, sebagai gam ba ran, di ruang rawat jalan dan inap Rumah Sa kit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada 2006 lalu didapati 3,23 % kasus gagal jantung dari total 11.711 pasien. (RM.Expose, 2006). Sedangkan pada tahun 2005 di Jawa Tengah terdapat 520 penderita CHF yang pada umumnya adalah lansia. Sebagian besar lansia yang didiagnosis CHF ini tidak dapat hidup lebih dari 5 tahun. (Charlie, 2005 dalam Indowebster, 2010).

Selain itu di RS. Roemani Semarang, kasus penderita jantung mencapai angka 79 penderita dengan kematian 15 orang pada tahun 2006. Jumlah tersebut menunjukkan kematian pada penderita gagal jantung mencapai 18,9% dari penderita yang dirawat. Kemudian pada awal hingga pertengahan tahun 2007, penderita gagal jantung berjumlah 28 orang, penderita meninggal berjumlah 7 orang, dengan kata lain mencapai angka kematian sebesar 25% pada pertengahan tahun, sehingga menunjukkan angka yang lebih besar jika dibandingkan dengan angka kematian pada tahun 2006. (Indowebster, 2011)

Page 5: Kasus Gagal Jantung Kronik

Berdasarkan data rekam medis RSUP. Dr.Wahidin Sudirohusodo, jumlah pasien baru rawat inap CHF mengalami peningkatan selama tiga tahun terakhir , yaitu sebanyak 238pasien pada tahun 2008, 248 pasien pada tahun 2009 dan sebanyak 295pasien pada tahun 2010. Sedangkan di RS. Stella Maris pasien baru rawat inap CHF juga cukup banyak selama tahun 2010 yaitu sebanyak 114 pasien.

Page 6: Kasus Gagal Jantung Kronik

DEFINISI• Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana

jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Gagal jantung menjadi penyakit yang terus meningkat kejadiannya terutama pada lansia. Gagal jantung kongestif (Congestive Heart Failure) adalah ketidakmampuan jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Risiko CHF akan meningkat pada lansia karena penurunan fungsi ventrikel akibat penuaan. CHF ini dapat menjadi kronik apabila disertai dengan penyakit-penyakit lain seperti hipertensi, penyakit jantung katup, kardiomiopati, penyakit jantung koroner, dan lain-lain.

Page 7: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Gagal jantung bukanlah merupakan penyakit atau diagnosis yangspesifik, melainkan merupakan sindrom klinik dimana gangguan jantung memompa darah mengakibatkan penurunan ejeksi ventrikel dan gangguan darah balik pada vena. Pada kejadian gagal jantung, jantung tidak dapat memompa darah secara memadai untuk memenuhi kebutuhan jaringan.

• Gagal sirkulasi adalah menurunnya curah jantung yang disebabkan oleh abnormalitas satu atau lebih komponen sirkulasi (jantung, volume darah, konsentrasi oksihemoglobin, vaskulatur). Sehingga gagal jantung merupakan satu dari banyak kasus gagal sirkulasi.

Page 8: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Jantung, seperti pompa, mengalami kegagalan karena: tidak dapat memompa darah yang cukup ke dalam aorta atau arteri pulmoner untuk mempertahankan tekanan arteri (gagal jantung output rendah), atau tidak dapat secara adekuat mengosongkan cadangan vena (gagal jantung kongestif = congestive heart failure [CHF]). Karena itu, secara klinik gagal jantung dapatdikenali melalui tanda: rendahnya curah jantung (misalnya depresi, letargi, hipotensi) atau kongesti (misalnya asites, efusi pleura, edema pulmoner).

Page 9: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Gagal jantung dapat diakibatkan karena ketidakmampuan jantung mengeluarkan darah secara memadai (gagal sistolik), atau karena pengisian ventrikel yang tidak adekuat (gagal diastolik), atau keduanya. Akibat dari ketiga hal tersebut adalah berkurangnya volume stroke, yang selanjutnya mengakibatkan berkurangnya curah jantung dan mengarah kepada menurunnya tekanan arteri. Pasien penderita gagal jantung parah, curah jantungnya menurun atau tidak adekuat pada keadaan istirahat, sedangkan pasien penderita gagal jantung ringan atau gagal diastolik curah jantungnya menjadi tidak adekuat misalnya pada saat beraktivitas atau stres.

• Gagal jantung juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi, serta gagal jantung kronis. Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan penanganan gagal jantung.

Page 10: Kasus Gagal Jantung Kronik

KLASIFIKASI

• Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan NYHA

Page 11: Kasus Gagal Jantung Kronik

Klasifikasi fungsional NYHA ( New York Heart Assoaciation )Klasifikasi fungsional gagal jantung berdasakan keluhan sesak nafas menurut New York Heart Association dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.

Kelas I Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktivitas fisik. Aktifitas fisik

sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau sesak

Kelas II Terdapat batas aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat,

namun aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi,

atau sesak nafas

Kelas III Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat

istirahat tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, paplpitasi

atau sesak.

Kelas IV Tidak terdapat batasan aktifitas fisik tanpa keluhan, terdapat gejala saat

istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktivitas

Page 12: Kasus Gagal Jantung Kronik

Klasifikasi ACC / AHA ( American College of Cardiology / American College Heart Association )

Stadium A Memiliki resiko tinggi untuk berkembang menjadi gagal

jantung. Tidak terdapat gangguan fungsional jantung, tidak

terdapat tanda atau gejala

Stadium B Telah terbentuk penyakit struktur jantung yang berhubungan

dengan perkembangan gagal jantung, tidak terdapat tanda

atau gejala

Stadium C Gagal jantung yang symtomatis berhubungan dengan

penyakit struktural jantung yang mendasari

Stadium D Penyakit struktural jantung yang lanjut serta gagal jantung

yang sangat bermakna saat istirahat walaupun sudah

mendapat terapi medis maksimal

Page 13: Kasus Gagal Jantung Kronik

Klasifikasi KILLIP

Derajat I Tanpa gagal jantung

Derajat II Gagal jantung dengan ronki basah halus di

basal paru, S3 gallop dan peningkatan tekanan

vena pulmonalis

Derajat

III

Gagal jantung berat dengan edema paru

seluruh lapangan paru.

Derajat

IV

Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan

darah sistolik 90 mmHg) dan vasokonstriksi

perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis)

Page 14: Kasus Gagal Jantung Kronik

Klasifikasi CSS ( Canadian Cardiovaskular Society)

Klasifikasi menurut CCS (Canadian Cardiovascular Society), mengklasifikasikan pasien dengan gejala angina dalam beberapa kelompok berdasarkan keparahan dari gejalanya dapat dilihat pada Tabel

Page 15: Kasus Gagal Jantung Kronik

Temuan klinis Tanda Grade

Tidak ada

keterbatasan

aktivitas biasa

Aktivitas fisik biasa (seperti berjalan atau naik tangga) tidak

menyebabkan angina. Angina dapat terjadi dengan pekerjaan berat

yang cepat atau lama atau rekreasi.

I

sedikit

keterbatasan

aktivitas biasa

Angina pektoris dapat terjadi dengan:

• berjalan atau naik tangga dengan cepat;

• mendaki berjalan menanjak, berjalan atau tangga setelah makan atau

di angin dingin atau di bawah stres emosional;

• berjalan dua blok dari tingkat di kecepatan normal dan dalam

kondisi normal

menaiki tangga lebih dari biasanya dengan kecepatan normal dan

dalam kondisi normal

II

keterbatasan

aktivitas fisik

biasa

Angina dapat terjadi setelah berjalan pada tingkat 1-2 blok atau

menaiki tangga 1 dalam kondisi normal pada kecepatan normal

III

tidak mampu

melakukan

aktivitas fisik

angina dapat hadir pada saat istirahat IV

Page 16: Kasus Gagal Jantung Kronik

Klasifikasi Stevenson

• Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm).

Page 17: Kasus Gagal Jantung Kronik

Berdasarkan hal tersebut penderita dibagi menjadi empat kelas, yaitu:

Kelas I (A) kering dan hangat (dry – warm)

Kelas II (B) basah dan hangat (wet – warm)

Kelas III (C) kering dan dingin (dry – cold)

Kelas IV (D) basah dan dingin (wet – cold)

Page 18: Kasus Gagal Jantung Kronik

ANAMESIS

Anamnesis harus mencakup penilaian gaya hidup seseorang serta pengaruh penyakit jantung terhadap kegiatan sehari-hari bila lebih bertujuan pada perawatan penderita. Riwayat pasien sebaiknya mencakup juga riwayat keluarga dan insiden penyakit kardiovaskular pada keluarga tingkat pertama (orang tua dan anak). Biasanya saat melakukan anamnesis dengan penderita penyakit jantung akan dijumpai gejala dan tanda penyakit jantung seperti:

Page 19: Kasus Gagal Jantung Kronik

1. AnginaAngina atau nyeri dada disebabkan karena kekurangan oksigen atau iskemia miokardium. Angina dapat dijumpai sebagai nyeri yang dijalarkan atau nyeri yang berasal dari mandibula, legan atas atau pertengahan punggung

2. DispneaDispnea atau sulit bernafas disebabkan meningkatnya usaha bernapas yang terjadi akibat kongesti pembuluh darah paru dan perubahan kemampuan pengembangan paru. Ortopnea merupakan kesulitan bernapas pada posisi berbaring. Dispnea nokturnalparoksismal atau dispnea yang terjadi sewaktu tidur terjadi akibat kegagalan ventrikel kiri.

Page 20: Kasus Gagal Jantung Kronik

3. PalpitasiPalpitasi atau berdebar terjadi karena perubahan kecepatan, keteraturan, atau kekuatan kontraksi jantung.

4. Edema periferEdema perifder terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang intertisial.

Page 21: Kasus Gagal Jantung Kronik

5. SinkopSinkop atau kehilangan kesadaran sesaat disebabkan akibat aliran darah otak yang tidak adekuat.

6. Kelelahan dan kelemahan,Kelelahan dan kelemahan terjadi akibat curah jantung yang rendah dan perfusi lairan darah perifer yang berkurang..

Page 22: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Faktor pencetus gejala dan tanda penyakit jantung, serta faktor yang dapat menanggulanginya harus ditentukan. Angina biasanya terjadi apabila pasien beraktivitas dan berkurang dengan istirahat. Dispnea dihubungkan dengan kegiatan fisik, tetapi perubahan posisi tubuh dan redistribusi cairan tubuh sesuai gravitasi yang mengikutiya dapat mencetuskan dispenia. Ortopnea dapat dikurangi dengan meninggikan dada dengan bantal. Selain itu derajat gangguan yang berkaitan dengan gejala-gejala itu juga harus ditentukan. New York Heart Association telah membuat pedoman sesuai dengan tingkat aktivitas fisik yang dapat menimbulkan gejala

Page 23: Kasus Gagal Jantung Kronik

Derajat Tingkat aktivitas fisik

I Toleransi olahraga tidak terbatas

II Gejala timbul saat aktivitas berat

III Gejala timbul saat aktivitas ringan

IV Gejala timbul saat aktivitas minimal atau saat istirahat

Derajat gagal jantung kronis menurut New York Heart Association

Gagal jantung kronis bisa berhubungan dengan berkurangnya toleransi olahraga, edema perifer, letargi, malaise, dan penurunan berat badan

Page 24: Kasus Gagal Jantung Kronik

Pemeriksaan FisikPemeriksaan fisik harus ditujukan untuk menetapkan

adanya gagal jantung dan mencari kemungkinan penyebabnya. Pemeriksaan fisik pada sistem kardiovaskular dilakukan dengan cara menilai tekanan dan pulsasi vena jugularis, denyut karotis, inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi dan tanda-tanda vital.

Tekanan vena jugularis (JVP) memberikan informasi yang sangat berguna tentang status volume cairan tubuh pasien dan fungsi jantungnya. JVP mencerminkan tekanan dalam atrium kanan atau tekanan vena sentral, dan sebaliknya JVP dinilai dari pulsasi pada vena jugularis interna kanan. Vena jugularis dan pulsasinya sulit dilihat pada anak usia kurang dari 12 tahun.

Page 25: Kasus Gagal Jantung Kronik

Denyut karotis akan memberikan informasi yang berharga mengenai fungsi jantung dan khususnya berguna untuk mendeteksi stenosis atau insufisiensi katup aorta. Gunakan waktu untuk menilai kualitas caortid upstroke, amplitudo serta konturnya, dan ada-tidaknya thrills atau bruits. Untuk menilai amplitudo dan kontur, pasien harus berbaring dengan kepala ranjang tetap tinggi dengan sudut sekitar 300.

Pada saat melakukan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi pasien harus berbaring terlentang sementara tubuh bagian atas ditinggikan dengan menaikan kepala ranjang atau meja-periksa hingga sudut 300. Inspeksi yang cermat pada anterior dapat mengungkapkan lokasi iktus kordis atau apical impulse (PMI) atau yang lebih jarang lagi gerakan ventrikel pada S3 atau S4 sisi kiri. Penerangan dari samping akan memberikan lapang pandang yang paling jelas untuk melakukan observasi ini.

Page 26: Kasus Gagal Jantung Kronik

Gunakan palpasi untuk memastikan karakteristik iktus kordis. Palpasi juga berguna untuk mendeteksi thrills dan gerakan ventrikel pada S3 atau S4. Pastikan untuk memeriksa ventrikel kanan dengan melakukan palpasi daerah ventrikel kanan pada tepi kiri bawah os sterni dan pada daerah subsifoideus, palpasi daerah arteri pulmonalis pada ruang sela iga ke-2 kiri dan palpasi daerah aorta pada ruang sela iga ke-2 kanan. Palpasi untuk mengecek thrills dilakukan dengan cara menekan permukaan ventral jari tangan anda secara kuat pada dada pasien. Jika pada auskultasi berikutnya ditemukan bising yang keras, kembalilah dan periksa daerah tersebut sekali lagi untuk menemukan thrills.

Page 27: Kasus Gagal Jantung Kronik

Iktus kordis mempresentasikan pulsasi dini ventrikel kiri yang cepat pada saat denyutan ini bergerak ke anterior ketika terjadi kontraksi dan menyentuh dinding dada. Pada beberapa kelainan seperti pembesaran ventrikel kanan, dilatasi arteri pulmonalis dan aneurisma aorta dapat menimbulkan pulsasi yang lebih meninjol daripada denyutan apeks kordis. Pada saat inspeksi dan palpasi kita harus melakukan pengkajian terhadap lokasi, diameter, amplitudo, dan durasi iktus kordis.

Page 28: Kasus Gagal Jantung Kronik

Perkusi dapat menunjukkan tempat untuk mencari iktus kordis jika kita tidak menemukannya saat inspeksi dan palpasi. Pekak jantung sering menempati daerah yang luas. Dengan memulainya dari sisi sebelah kiri dada, lakukan perkusi mulai dari bunyi sonor(resonan) paru ke arah pekak jantung pada ruang sela iga ke-3, ke-4, ke-5 dan mungkin pula ke-6. Selain itu, perkusi juga dapat menentukan besar dari suatu jantung.

Page 29: Kasus Gagal Jantung Kronik

Auskultasi bunyi dan bising jantung merupakan keterampilan yang penting dan sangat bermanfaat dalam pemeriksaan fisik yang secara langsung akan mengarahkan anda pada beberapa diagnosis klinis. Dengarkan jantung pasien dengan stetoskop anda pada ruang sela iga ke-2 kanan di dekat tulang sternum, di sepanjang tepi kiri sternum pada setiap ruang sela iga mulai dari ruang sela iga ke-2 hingga ke-5, dan pada apeks kordis.

Page 30: Kasus Gagal Jantung Kronik

Ruangan tempat pemeriksaan haru setenang dan tidak berisik. Anda harus pula melakukan auskultasi pada setiap daerah tempat terdeteksinya kelainan dan pada daerah di sekitar tempat terdengarnya bising jantung untuk menentukan letak bunyi-bunyi tersebut terdengar paling keras dan ke daerah mana bunyi menjalar. Kita dapat menggunakan sungkup pada stetoskop untuk mendengarkan bunyi bernada rendah. Jika terdengar bising jantung, anda harus belajar mengenali dan mendeskripsikan waktu, bentuk, lokasi intensitas maksimal, radiasi atau transmisinya dari lokasi ini, intensitas, nada, dan kualitasnya. Contoh dari bising jantung adalah bising midsistolik, bising pansistolik (holosistolik), bising sistolik akhir, bising diastolik awal, bising middiastolik dan bising diastolik akhir.

Page 31: Kasus Gagal Jantung Kronik

Pemeriksaan Penunjang

Untuk mengetahui adanya kelainan patologis/abnormalitas pada jantung dapat digunakan berbagai pemeriksaan penunjang setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat. Salah satu pemeriksaan yang digunakan luas adalah teknik pencitraan atau nradiologi karena dapat menyajikan gambaran yang baik dan membantu dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan radiologi jantung sendiri memiliki beberapa modalitas, yaitu :

Page 32: Kasus Gagal Jantung Kronik

1. Chest X-RayChest x-ray merupakan pemeriksaan x-ray yang digunakan untuk melihat dinding dada, struktur tulang iga dan diafragma, serta organ-organ dalam seperti jalan napas, paru, jantung dan arteri besar/aorta. Chest x-ray juga merupakan modalitas untuk melihat/mendiagnosa keadaan patologis seperti pneumonia dan gagal jantung kongestif. Pemeriksaan ini merupakan teknik non invasif, di mana pasien cukup berdiri di depan mesin sambil menahan napas (inspirasi maksimal).Keuntungan dari pemeriksaan ini adalah tidak ada efek samping, serta cepat dan murah. Pemeriksaan ini dikontraindikasikan pada wanita hamil dengan usia kandungan di bawah enam bulan.

2. EchocardiographyEchocardiography merupakan pemeriksaan dengan menggunakan ultrasound (gelombang suara). Indikasi penggunaan echocardiography adalah untuk melihat fungsi ventrikel, kelainan jantung kongenital, penyakit jantung katup, kardiomiopati, efusi perikardial, adanya massa (tumor) dan penyakit aorta proksimal. Karena echocardiography dapat menghasilkan gambar dengan inherensi (jumlah potongan) yang tinggi, maka echocardiography dapat digunakan untuk melihat pergerakan struktur pada jantung. Keuntungan dari penggunaan echocardiography ini adalah biaya yang terjangkau, digunakan luas, memberikan informasi yang banyak, tidak invasif, pasien tidak terpapar radiasi dan dapat diaplikasikan pada pasien dengan kondisi kritis (bedside usage) serta hasilnya dapat langsung diketahui. Namun penggunaan echocardiography ini membutuhkan keterampilan dan keterlibatan operator ahli.

Page 33: Kasus Gagal Jantung Kronik

3. Computed Tomography (CT)Indikasi penggunaan CT adalah untuk melihat lebih rinci massa yang terdapat di mediastinum atau paru (setelah pemeriksaan chest x-ray), untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan abnormalitas aorta dan menilai emboli paru. Saat ini, beberapa ahli menggunakan CT untuk menilai kalsium di arteri koroner dan memprediksi cardiovascular events di masa yang akan datang. Dengan adanya CT helical dan multislice menghasilkan gambaran yang lebih baik dalam potongan aksial, coronal, sagital dan oblik. Penggunaan zat kontras diperlukan untuk melihat keadaan anatomi jantung dan abnormalitas seperti diseksi atau emboli paru.

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)Penggunaan MRI memiliki beberapa keuntungan seperti tidak menggunakan radiasi, dan dapat menyajikan data morfologi dan fisiologi. MRI menggunakan magnet untuk menghasilkan gambaran melalui manipulasi atom hidrogen di tubuh. Keunggulan lain dari MRI adalah mampu membedakan gambaran berbagai jaringan, noninvasive, dan tidak membutuhkan zat kontras. Indikasi penggunaan MRI adalah untuk melihat adanya kelainan kongenital, massa intrakardiak, gangguan katup, abnormalitas aorta (terutama diseksi aorta), emboli paru, serta derajat dan komposisi aterosklerosis. Pemeriksaan ini dikontraindikasikan untuk wanita hamil, dan sangat hati-hati penggunaannya pada pasien dengan alat pacu jantung, implan koklear atau klip pembuluh darah pada penderita aneurisma

Page 34: Kasus Gagal Jantung Kronik

Elektrokardiografi (EKG) adalah salah satu jenis pemeriksaan jantung, yang dihasilkan dari listrik jantung, yang dapat digunakan untuk melihat kemungkinan adanya gangguan jantung. Pemeriksaan EKG mampu merekam aktivitas listrik jantung. Sumbatan koroner pada jantung yang mengalami iskemik menyebabkan gangguan aktivitas listrik jantung yang terdeteksi melalui pemeriksaan EKG. EKG juga dapat merekam berbagai kelainan aktivitas listrik jantung lainnya. Beberapa jenis penyakit yang bisa dideteksi dengan EKG ini diantaranya yaitu penyakit jantung koroner, infark miokard akut, hipertensi

Page 35: Kasus Gagal Jantung Kronik

Selain pemeriksaan ragiologi dan EKG, dapat juga dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan darah lengkap, Creatinine Kinase (CK) MB dan Cardiac specific Troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim di atas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung ( infark miokard)

Page 36: Kasus Gagal Jantung Kronik

Pada pemeriksaan darah lengkap / Complete Blood Count (CBC), kurang sel darah merah berarti bahwa gagal jantung disebabkan atau diperburuk oleh penurunan dalam kapasitas pembawa oksigen darah. Jumlah darah yang sangat rendah mungkin merupakan tanda bahwa anemia merupakan salah satu faktor yang membuat gagal jantung anda lebih parah. Bahkan jika hal ini terjadi jumlah darah yang rendah dapat membuat jantung anda bekerja lebih keras dan berbahaya bagi anda yang telah mengalami gagal jantung parah

Page 37: Kasus Gagal Jantung Kronik

Creatin Kinase (CK) merupakan enzim yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada otot jantung dan rangka dan dalam konsentrasi rendah pada jaringan otak. Creatinine Kinase (CK) meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10- 36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari. CK serum biasanya meningkat pada penyakit otot rangka, MCI akut, dan hipokalemia. CK memiliki 2 jenis isoenzim yaitu B dan M. Dan dapat dielektorforesis kembali menjadi 3 bagian : MM (otot rangka dan sebagian jantung), MB (jantung), dan BB (dalam otak). CKMB (Creatinin Kinase Myocard Band) meningkat 3 jam setelah miokard infark dan mencapai puncak dalam 10 – 24 jam dan kembali normal dalam 2 – 4 hari. CKMB ini meningkat dan terdapat pada gagal ginjal, AMI (Angina Myocard Infark) dan kerusakan otot skelet.Operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB

Page 38: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Mioglobin adalah protein yang mengikat oksigen. Mioglobin ditemukan dalam sel otot rangka dan otot jantung. Mioglobin dilepas ke sirkulasi setelah terjadi cedera. Kadar mioglobin mencapai puncak nya setelah terjadi MCI selama 8-12 jam. Nilai rujukan : 12-90 ng / ml.

• Lactic Dehidrogenase (LDH) meningkat setelah 24-28 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari. Bila meningkat biasanya terdapat pada keadaan leukemia, gagal ginjal dan kerusakan otot jantung

Page 39: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Kolesterol merupakan lemak darah yang disintesis di hati serta ditemukan dalam sel darah merah, membrane sel, dan otot. Kolesterol serum digunakan sebagai indikator penyakit arteri koroner dan aterosklerosis.

• Hiperkolesterolemia menyebabkan penumpukan plak di arteri koroner sehingga menyebabkan miokard infark. Peningkatan kolesterol juga bisa karena obat-obatan seperti aspirin. Nilai rujukan : Nilai ideal < 200mg/dL. Risiko sedang : 200-240 mg/dL. Risiko tinggi: > 240 mg/dL.

Page 40: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Lipoprotein adalah lipid yang berikatan dengan protein. Fraksi lipoprotein : HDL (kelompok α) , LDL, VLDL (kelompok β). Kelompok β merupakan contributor terbesar terjadi nya aterosklerosis pada penyakit arteri koroner. Kelompok α membantu mengurangi deposit lemak di pembuluh darah. Nilai rujukan : HDL 29-77 mg/dL , LDL 60-160 mg/dL.

• Sebuah natriuretik peptide otak (BNP) tes mengukur jumlah BNP hormone dalam darah anda. BNP dibuat oleh hati anda dan memberitahu seberapa baik jantung anda bekerja. Biasanya, jumlah yang rendah BNP ditemukan dalam darah anda. Namun, jika jantung anda harus bekerja lebih keras selama jangka waktu yang panjang, seperti dari gagal jantung, jantung akan menghasilkan BNP yang lebih dan tingkat darah BNP akan mendapatkan lebih tinggi. Tingkat BNP akan turun bila pengobatan untuk gagal jantung bekerja

Page 41: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Troponin dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu troponin C, I, dan T, dimana Cardiac Troponin I (cTnI) dan Cardiac Troponin T (cTnT) lebih spesifik untuk otot jantung. Troponin adalah protein spesifik berasal dari miokard (otot jantung), kadarnya dalam darah naik bila terjadi kerusakan otot jantung. Kadar troponin dalam darah mulai naik dalam waktu 4 jam setelah permulaan MCI, selanjutnya meningkat terus dan dapat diukur sampai satu minggu. Tes troponin sebaiknya disertai dengan pemeriksaan lain seperti CK-MB, CK, CRP, hs-CRP, dan AST

Page 42: Kasus Gagal Jantung Kronik

Epidemiologi

Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar 0,4% sampai 2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan meninggal dalam empat tahun sejak diagnosis ditegakkan. Bila keadaan gagal jantung berat, lebih dari 50% akan meninggal pada tahun pertama

Page 43: Kasus Gagal Jantung Kronik

Etiologi • Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala

jenis penyakit jantung kongenital maupun didapat. Mekanisme fisologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, meningkatkan beban akhir, atau menurunkan kontraktibilitas miokard. Keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta dan defek septum ventrikel. Keadaan yang meningkatkan beban akhir meliputi stenosis aorta dan hipertensi sistemik. Kontraktibilitas miokard dapat menurun pada infark miokard dan kardiomiopati. Selain ketiga mekanisme fisiologis tersebut, terpadat factor fisiologis lain yang menyebabkan gagal jantung. Faktor-faktor yang mengganggu pengisian ventrikel seperti stenosis katup atrioventrikular, dapat menyebabkan gagal jantung.

Page 44: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Keadaan-keadaan seperti pericarditis konstriktif dan tamponade jantung juga dapat menyebabkan gagal jantung melalui kombinasi beberapa efek seperti gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel. Selain karena mekanisme fisiologis di atas, fektivitas jantung sebagai pompa juga dapat dipengaruhi oleh berbagai gangguan patofisologis.

• Penelitian terbaru menekankan pada peranan TNF dalam perkembangan gagal jantung. Jantung normal tidak menghasilkan TNF, sedangkan jantung yang mengalami kegagalan menghasilkan TNF dalam jumlah banyak.

• Di Eropa dan Amerika, disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner yang disebabkan oleh infark miokard, yang merupakan penyebab tersering pada usia kurang dari 75 tahun, disusul hipertensi dan diabetes. Sedangkan di Indonesia belum ada data yang pasti, sementara data dari rumah sakit di Palembang menunjukkan hipertensi sebagai penyebab terbanyak, disusul penyakit EImjantung koroner dan kelainan katup

Page 45: Kasus Gagal Jantung Kronik

PatofisiologisKelainan intrinsic pada kontraktilitas

miokardium yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi volume sekuncup, dan meningkatkan volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya EDV (end diastolic volume) ventrikel, terjadi peningkatan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri (LVEDP). Derajat peningkata tekanan bergantung pada kelenturan ventrikel. Dengan meningkatnya LVEDP, terjadi pula pemingkatan tekanan atrium kiri (LAP). Peningkatan LAP diteruskan ke dalam pembuluh darah paru, meningkatkan tekanan kapiler dan vena paru.

Page 46: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Apabila tekanan hidrostatik kapiler paru melebihi tekanan onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial, menyebabkan edema intertisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke dalam alveoli dan terjadi edema paru. Tekanan arteri paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis tekanan vena paru. Serangkaian kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri juga akan terjadi pada jantung kanan yang akhirnya akan menyebabkan edema dan kongesti sistemik

Page 47: Kasus Gagal Jantung Kronik

Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme primer yang dapat dilihat, yaitu meningkatnya aktivitas adrenergic simpatis, meningkatnya beban awal akibat aktivasi system RAA, dan hipertrofi ventrikel. Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung. Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada awal perjalanan gagal jantugn, terutama pada saat istirahat. Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat beraktivitas, sehingga dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi kurang efektif. Awalnya, repon kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan, namun akhirnya mekanisme tersebut dapat menimbulkan gejala, meningkatkan kerja jantung, dan memperburuk derajat gagal jantung.

Page 48: Kasus Gagal Jantung Kronik

Manifestasi Klinis • Dispnea adalah manifestasi gagal jantung yang

paling umum. Dispnea disebabkan oleh peningkatan kerja pernafasan akibat kongesti vascular paru yang mengurangi kelenturan paru. Meningkatnya tahanan aliran udara juga dapat menimbulkan dyspnea. Ortopnea atau dyspnea saat berbaring terutama disebabkan oleh redistribusi aliran darah dari bagian-bagian tubuh bawah kea rah sentral. Dispnea nocturnal paroksimal (PND) atau mendadak bangun karena dyspnea dipicu oleh timbulnya edema paru intertisial. PND merupakan manifestasi yang lebih spesifik dari gagal jantung dibandingkan dispena atau ortopnea.

Page 49: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Batuk non produktif juga dapat terjadi akibat kongesti paru, terutama pada posisi berbaring. Timbulnya ronki yang disebabkan transudasi cairan paru merupaka ciri khas dari gagal jantung. Hemoptisis dapat disebabkan oleh pendarahan vena bronkial yang terjadi akibat distensi vena. Distensi atrium kiri atau vena pulmonalis dapat menyebabkan kompresi oesofagus dan disfagia Edema perifer terjadi akibat penimbunan cairan dalam ruang intertisial. Nokturia disebabkan oleh redistribusi cairan dan reabsorbsi pada waktu berbaring, dan juga berkurangnya vasokonstriksi ginjal pada waktu istirahat. Gagal jantung yang berlanjut dapat menyebabkan asites atau edema anasarka (edema tubuh generalisata). Semua manifestasi tersebut secara khas diawali dengan bertambahnya berat badan, yang jelas menunjukkan adanya retensi natrium dan air

Page 50: Kasus Gagal Jantung Kronik

Penatalaksanaan• Dalam 10-15 tahun terakhir terlihat berbagai

perubahan dalam pengobatan gagal jantung. Pengobatan tidak saja ditujukan dalam memperbaiki keluhan, tetapi juga diupayakan pencegahan agar tidak terjadi perubahan disfungsi jantung yang asimtomatik. Selain itu upaya juga dilakukan untuk menurunkan angka kesakitan dan diharapkan penurunan angka kematian dalam jangka panjang. Oleh karena itu dalam pengobatan gagal jantung kronik perlu dilakukan identifikasi objektif jangka pendek maupun jangka panjang. Pendekatan terapi pada gagal jantung dapat berupa saran umum (tanpa obat-obatan), pemakaian obat-obatan, dan pemakaian alat dan tindakan bedah.

Page 51: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Penatalaksanaan umum tanpa obat-obatan:

Edukasi mengenai gagal jantung, penyebab, dan bagaimana mengenal serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan.

Istirahat, olahraga, aktivitas sehari-hari, edukasi aktivitas seksual, serta rehabilitas.

Edukasi pola diet, control asupan garam, air, dan kebiasaan alcohol.

Monitor berat badan, hati-hati dengan kenaikan berat badan yang tiba-tiba.

Mengurangi berat badan pada pasien yang obesitas.

Hentikan kebiasaan merokok.

Pada perjalanan jauh dengan pesawat, ketinggian, udara panas, dan humiditas memerlukan perhatian khusus.

Konseling mengenai obat, baik efek samping, dan menghindari obat-obat tertentu seperti NSAID, antiaritmia klas I, verapamil, diltiazem, dihidropiridin efek cepat, antidepresan trisiklik, steroid.

Page 52: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Pemakaian obat-obatan:

ACE inhibitor

ACE inhibitor dianjurkan sebagai obat lini pertama baik dengan atau tanpa keluhan dengan fraksi ejeksi 40-45% untuk meningkatkan survival, memperbaiki symptom, mengurangi kekerapan rawat inap di rumah sakit. Obat ini harus diberikan sebagai terapi awal bila tidak ditemui retensi cairan. Bila disertai retensi cairan harus diberikan bersama diuretic. Penggunaan obat ini harus dititrasi sampai dosis yang dianggap bermanfaat sesuai bukti klinis, bukan berdasarkan perbaikan gejala.

Page 53: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Diuretik

Loop diuretic, tiazid, dan metolazon penting untuk pengobatan simtomatik bila ditemukan beban cairan berlebihan, kongesti paru, dan edema perifer. Penggunaan diuretic tidak menunjukkan bukti dalam memperbaiki survival, dan harus dikombinasi dengan ACE inhibitor atau beta blocker.

• Beta blocker

Beta blocker direkomendasikan pada semua gagal ajntung ringan sampai berat yang stabil dengan syarat tidak ditemukan adanya kontraindikasi terhadap beta blocker. Sampai saat ini hanya beberapa beta blocker yang direkomendasikan, yaitu bisoprolol, karvedilol, metoprolol suksinat, dan nebivolol.

Page 54: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Antagonis reseptor aldosterone

Obat ini digunakan sebagai tambahan terhadap ACE inhibitor dan beta blocker pada gagal jantung sesudah infark jantung atau diabetes, dan terbukti menurunkan morbiditas dan mortalitas.

• Angiotensin II Receptor Blocker (ARB)

ARB masih merupakan alternative bila pasien tidak toleran dengan ACE inhibitor. Efektifitas ARB sama dengan ACE inhibitor. Dapat dipertimbangkan penambahan ARB pada pemakaian ACE inhibitor pada pasien yang simtomatik untuk menurunkan mortalitas.

• Glikosida jantung (digitalis)

Digitalis merupakan indikasi pada fibrilasi atrium pada berbagai derajat gagal jantung. Kombinasi digoksin dan beta blocker lebih superior dibandingkan bila dipakai tanpa kombinasi.

Page 55: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Vasodilator agents

Tidak ada peran spesifik vasodilator direk pada gagl jantung kronik. Hidrasalazin-isosorbid dinitrat dapat dipakai sebagai tambahan pada keadaan dimana pasien tidak toleran terhadap ARB maupun ACE inhibitor. Nitrat digunakan sebagai tambahan bila ada keluhan angina atau sesak. Pemakaian nitrat dengan dosis sering dapat terjadi toleran (takipilasis), oleh karena itu dianjurkan interval delapan atau 12 jam, atau kombinasi dengan ARB.

Page 56: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Nesiritid

Nesiritid merupakan klas obat vasodilator baru yang merupakan rekombinan otak manusia yang dikenal sebagai natriuretic peptide tipe B. Obat ini identic dengan hormone endogen dari ventrikel yang mempunyai efek dilatasi arteri, vena, dan coroner, dan menurunkan preload dan afterload, serta meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropic. Sejauh ini belum banyak data klinis yang menyokong pemakaian obat ini.

Page 57: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Obat inotropic positif

Pemakaian jangka panjang dan berulang tidak dianjurkan karena menignkatkan mortalitas. Pemakaian secara intravena pada kasus berat sering digunakan, namun tidak ada bukti yang bermanfaat, justru lebih sering timbul komplikasi. Fosfodiesterase blocker seperti milirinon dan enoksimon efektif bila digabungkan dengan beta blocker, dan mempunyai efek vasodilatasi perifer dan coroner. Namun disertai juga dengan efek takikaritmia atrial dan ventrikel, dan vasodilatasi berlebih yang dapat menimbulkan hipotensi. Levosimendan merupakan calcium sensitizer baru yang mempunyai efek vasodilatasi namun tidak seperti fosfodiesterase blocker yang menyebabkan hipotensi. Uji klinis menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan dobutamin.

Page 58: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Calcium sensitizer

Pada gagl jantung sistolik, penyekat kalsium tidak direkomendasikan, dan dikontraindikasikan pemakaian kombinasi dengan beta blocker. Felodipin dan amilodipin tidak memberikan efek yang lebih baik untuk survival bila digabung dengan ARB dan diuretic. Data jangka panjang menunjukkan efek netral terhadap survival, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai tambahan obat hipertensi bila control tekanan darah sulit dengan pemakaian nitrat atau beta blocker.

• Antitrombotik

Pada gagal jantung kronik yang disertai fibrilasi atrium, riwayat fenomena tromboemboli, bukti adanya thrombus yang mobil, pemakaian antikoagulan sangat dianjurkan. Pada gagal jantung kronik dengan PJK dianjurkan pemakaian antiplatelet. Aspirin harus dihindari pada perawatan rumah sakit berulang dengan gagal jantung yang memburuk.

Page 59: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Anti Aritmia

Pemakaian selain beta blocker tidak dianjurkan pada gagal jantung kronik kecuali pada fibrilasi atrium dan takikardi ventrikel. Obat anti aritmia klas I tidak dianjurkan pada gagal jantung kronik. Obat anti aritmia klas II (beta blocker) dapat digunakan sendiri atau kombinasi dengan amiodaron. Anti aritmia klas III (amiodaron) efektif untuk aritmia supraventrikel dan ventrikel, tetapi pemakaian amiodaron rutin tidak dianjurkan pada gagal jantung.

• Oksigen

Pemakaian alat dan tindakan bedah:

Page 60: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Revaskularisasi • Operasi katup mitral • Aneurismektomi • Kardiomioplasti • External cardiac support • Pacu jantung, resinkronisasi pacu jantung

biventrikular • Implantable cardioverter defibrillators (ICD) • Heart transplantation, ventricular assist

devices, artificial heart • Ultrafiltrasi, hemodialisis

Page 61: Kasus Gagal Jantung Kronik

Pencegahan • Upaya pencegahan gagal jantung harus selalu menjadi

objektif primer, terutama pada kelompok resiko tinggi. • Obati penyebab potensial dari kerusakan miokard dan

factor resiko PJK. • Pengobatan infark jantung segera, serta pencegahan infark

ulangan. • Pengobatan hipertensi yang agresif. • Koreksi kelainan kongenital serta penyakit katup jantung. • Memerlukan pembahasan khusus dengan tenaga ahli

(dokter). • Bila sudah ada disfungsi miokard, upayakan eliminasi

penyebab yang mendasari, selain modulasi progresif dari disfungsi asimtomatik menjadi gagal jantung.

Page 62: Kasus Gagal Jantung Kronik

Komplikasi • Komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita

jantung adalah syok kardiogenik. Syok kardiogenik ini merupakan suatu sindrom klinis kompleks yang mencakup sekelompok keadaan dengan berbagai manifestasi hemodinamik, tetapi petunjuk umum adalah tidak memadainya perfusi jaringan. Pada gagal jantung terjadi syok terkompensasi dimana terjadi usaha untuk menstabilkan sirkulasi guna mencegah kemunduran lebih lanjut. Namun terjadi manifestasi sistemik terjadi keadaan hipoperfusi yang memperburuk hantaran oksigen dan nutrisi serta pembuangan sisa-sisa metabolit pada tingkat jaringan sehingga saat masuk tahap dimana sudah terjadi kerusakan sel yang hebat dan tidak dapat dihindari, pada akhirnya terjadi kematian.

Page 63: Kasus Gagal Jantung Kronik

Prognosis

• Secara umum, kematian setelah rawat inap untuk pasien dengan gagal jantung adalah 10,4% pada 30 hari, 22% pada 1 tahun, dan 42,3% pada 5 tahun, meskipun peningkatan yang nyata dalam terapi medis dan perangkat. Setiap rehospitalization meningkatkan kematian 20-22% sekitar. Kematian lebih besar dari 50% untuk pasien dengan NYHA kelas IV, ACC / AHA D tahap gagal jantung. Gagal jantung yang terkait dengan MI akut memiliki angka kematian 20-40% rawat inap; kematian mendekati 80% pada pasien yang juga hipotensi (misalnya, syok kardiogenik)

Page 64: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Sebuah studi oleh van Diepen dkk menyarankan pasien dengan gagal jantung atau fibrilasi atrium memiliki risiko lebih tinggi secara signifikan mortalitas pasca operasi noncardiac dibandingkan pasien dengan penyakit arteri koroner;. Risiko ini harus dipertimbangkan bahkan jika prosedur kecil direncanakan

Page 65: Kasus Gagal Jantung Kronik

KASUS 1

Page 66: Kasus Gagal Jantung Kronik

ILUSTRASI KASUS

Seorang pasien anak laki-laki, umur 9 tahun masuk ke bangsal anak Rumah Sakit XXX  pada tanggal 25 Maret 2010 denganKeluhan utama :Jantung berdebar, bengkak pada kaki dan nafas sesak.

Page 67: Kasus Gagal Jantung Kronik

Riwayat Penyakit

Page 68: Kasus Gagal Jantung Kronik

PEMERIKSAAN AWAL• TD : 90/60• Nadi : 110 X

menit• Nafas : 40 X

menit• Suhu : 36 0 C• Berat badan : 23

kg

PEMERIKSAAN PENUNJANG• EKG• Rontgen• Pemeriksaan

darah :• -  Na = 138  

mmol/L (136-145 mmol/L)

• -  K = 3,9 mmol/L (3,5 – 5,1 mmol/L)

• -  Cl = 109 mmol/L (97 – 111 mmol/L)

DIAGNOSIS • Gagal

jantung/decompensatio cordis

Page 69: Kasus Gagal Jantung Kronik

PENATALAKSANAAN :

• IV FD D5 + Na Cl 0,9 %• Lasix 1 X 20 mg inj.• Digoxin 0,5 mg sebagai loading

dose, lalu dilanjutkan 0,25 mg dan dilanjutkan 0.125 mg

• Diet Jantung II 1500 kkal• O2 3 L/menit

Page 70: Kasus Gagal Jantung Kronik

Hari ke-1 rawatan ( 25-3-1010)

S O Psesak nafas, dada kiri berdebar dan kaki bengkak

TD : 90/60Nadi : 110 x/menitNafas : 46 x/menitSuhu : 36,7 0C

lasix injeksi 20 mgdigoxin 0, 5 mg sebagai loading dose dan dilanjutkan dengan 0,125 mg sebagai maintenance doseIVFD D5+NaCL 0,9 % (11 tts/1)Kontrol intake/outputKontrol EKG

Page 71: Kasus Gagal Jantung Kronik

Hari ke-2 rawatan ( 26-3-1010)

S O PSesak nafas (pagi), demam dan sesak nafas (jam 10.00 WIB)

TD : 100/60Suhu : 40 0CN: 66 x/menit

(obat yang diberikan)1.   Digoxin 0,125 mg2.  Paracetamol 340 mg (4x 1)3.  Lasix injeksi 20 mg4. Kontrol intake/output

Page 72: Kasus Gagal Jantung Kronik

Hari ke-3 rawatan (27-3-2010)

S O Pdemam, sesak nafas - (obat yang diberikan)

1.   Digoxin 0,25 mg (3×1)2.   Paracetamol 340 mg (4x 1)3.   Cefadroxil 250 mg (2 x 1)4.   Furocemide 1 x 20 mg (1×1)

Page 73: Kasus Gagal Jantung Kronik

Hari ke-4 rawatan (28-3-2010)

S O Pbatuk, Buang Air Besar(-) sudah 4 hari, masih sesak nafas, kurang nafsu makan

- : (obat yang diberikan)1.  Digoxin 0,25 mg ( 3x 1)2.  Paracetamol 340 mg (4×1)3.  Cefadroxil 250 mg ( 2×1)4.  Furocemide 20 mg ( 1×1)

Page 74: Kasus Gagal Jantung Kronik

Hari ke-5 rawatan ( 29-3-2010)

S O Pbatuk, Buang Air Besar(-) sudah 4 hari, masih sesak nafas

- : (obat yang diberikan)Digoxin 0,25 mg (3×1)Paracetamol 340 mg (4×1)Cefadroxil 250 mg (2 X 1)

Page 75: Kasus Gagal Jantung Kronik

ANALISA

Dilaporkan kasus seorang pasien laki-laki berumur 9 tahun dengan keluhan jantung berdetak cepat, kaki membengkak dan sesak nafas. pasien masuk pada tanggal 25 Maret 2010 jam 8.15 ke IGD. Pasien kemudian diberikan terapi Lasix® secara injeksi intravena sebanyak 20 mg. Lalu, pasien masuk ke bangsal anak jam 10.30 dan pada jam 11.00 diberikan terapi Digoxin 0.5 mg secara oral sebagai loading dose. Pasien juga diberikan infuse IV FD D5 + Na Cl 0.9 % dan oksigen 3 L/menit. Pada jam 19.00, pasien diberikan digoxin 0.25 mg secara oral. Lalu, pada jam 03.00 juga diberikan terapi digoxin 0.25 mg.

Page 76: Kasus Gagal Jantung Kronik

Kemudian pada hari kedua tanggal 26 Maret 2010, udem pasien sudah berkurang. Tetapi sesak nafas masih ada. Terapi digoxin tetap dilanjutkan dengan dosis 0.125 mg pada jam 12.00 dan lebih kurang jam 20.00. Injeksi Lasix® tetap diberikan pada jam 11.00 secara iv. Pada malam hari kedua, pasien mengamati demam dan diberikan parasetamol 340 mg secara oral. Oksigen dan infuse tetap diberikan.

Page 77: Kasus Gagal Jantung Kronik

Pada hari ke-3 tanggal 27 Maret 2010, pasien masih mengalami demam, tetapi udem di kaki sudah tidak ada. Tetapi dari hasil rontgent, masih terdapat udem di paru akibat cairan. Terapi Lasix® dihentikan dan diganti dengan Furosemid oral 20 mg untuk mengatasi udem di paru. Dosis digoxin dinaikkan menjadi 0.25 mg per oral pada jam 08.00, jam 16.00 dan jam 24.00. Pasien mengeluhkan batuk, tetapi tidak diberi terapi karena diduga batuk disebabkan karena adanya edema paru. Pasien juga diberi terapi Cefadroxil 250 mg 2X1 hari untuk mencegah dugaan adanya endokarditis atau infeksi Streptococcus grup A di paru. Oksigen dan infus tetap diberikan.

Page 78: Kasus Gagal Jantung Kronik

Pada hari ke-3 tanggal 27 Maret 2010, pasien masih mengalami demam, tetapi udem di kaki sudah tidak ada. Tetapi dari hasil rontgent, masih terdapat udem di paru akibat cairan. Terapi Lasix® dihentikan dan diganti dengan Furosemid oral 20 mg untuk mengatasi udem di paru. Dosis digoxin dinaikkan menjadi 0.25 mg per oral pada jam 08.00, jam 16.00 dan jam 24.00. Pasien mengeluhkan batuk, tetapi tidak diberi terapi karena diduga batuk disebabkan karena adanya edema paru. Pasien juga diberi terapi Cefadroxil 250 mg 2X1 hari untuk mencegah dugaan adanya endokarditis atau infeksi Streptococcus grup A di paru. Oksigen dan infus tetap diberikan.

Page 79: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Pada hari ke-5, tanggal 29 Maret 2010, pasien mengeluhkan demam, susah buang air besar, batuk. Pasien mengalami muntah pada pagi hari. Terapi yang diberikan yaitu digoxin 0.25 mg pada jam 08.00, 16.00 dan 24.00, parasetmol 340 mg 4X1, cefadroxil 250 mg 2X1.

• Hari ke-6 tanggal 30 Maret 2010, terapi infuse dihentikan. Demam, susah buang air besar, nafsu makan menurun. Terapi infuse dihentikan. Digoxin tetap diberikan 0.125 mg pada jam 08.00, 16.00, dan 24.00. parasetamol 340 mg 4X1, cefadroxil 250 mg 2X1. Kemudian ditambah terapi obat dulcolax sirup 10 mg untuk mengatasi konstipasi.

Page 80: Kasus Gagal Jantung Kronik

PEMBAHASAN

• Pada kasus ini penggunaan dogoxin TIDAK rasional, karena pengobatan MELEBIHI DOSIS yang disarankan. Penggunaan loading dose dengan dosis 0.5 mg sudah tepat karena pada digoxin untuk mencapai kadar terapetik windows digoxin dalam plasma sehingga obat dapat segera berefek. Untuk mencapai terapeutik windows digoxin dalam plasma diperlukan waktu 12-24 jam. Jika tidak diberikan loading dose, konsentrasi dalam plasma baru akan tercapai selama 3-5 hari terapi.

Page 81: Kasus Gagal Jantung Kronik

Pemberian Digoxin dan Lasix® memungkinkan adanya toksisitas. Pada pasien yang menerima terapi diuretik seperti furosemid dan digoxin harus dilakukan pemantauan/monitoring kadar K, Mg, Ca. Hipokalemia yang diinduksi oleh furosemid akan menyebabkan toksisitas pada digoksin yaitu dapat menyebabkan meningkatnya distribusi digoxin ke jantung dan otot. Pada pasien  tidak ditemukan adanya tanda-tanda keracunan digitalis, karena kadar Kalium pasien masih dalam range normal yaitu 3,9 mmol/L.

Digoxin diberikan secara oral yaitu dalam bentuk puyer. Dosis sudah tepat yaitu :

• Loading dose untuk anak usia 5-10 tahun adalah 15-30 mcg/kg.

Page 82: Kasus Gagal Jantung Kronik

Berat pasien adalah 23 kg. berarti dosis yang diperlukan untuk loading dose adalah 23 kg X 15 mcg/kg = 345 mcg dan 30 mcg X 23 mcg/kg= 690 mcg. Obat yang diberikan 500 mcg. Artinya, obat berada dalam range yang diperbolehkan. Untuk maintenance dose, tidak tepat karena melebihi range dosis untuk anak usia 5-10 tahun. Range dosis digoxin sebagai maintenance adalah 5-10 mcg/kg. Range bawah 23 kg X 5 mcg/kg= 115 dan 23 mcg X 10 = 230 mcg. Dosis yang diberikan adalah 0.25 mg X 3 = 0.75 atau 750 mcg. Sementara range dosis yang dibolehkan adalah 115-230 mcg, artinya kemungkinan besar terjadi tokisistas pada pasien karena terapeutik windows sudah terlewati. (sumber : BNF for children, Lexicomp Drug Information Handbook)

Page 83: Kasus Gagal Jantung Kronik

Lasix® diberikan secara iv lambat yaitu tidak lebih dari 4 mg/menit karena efek sampingnya akan menyebabkan tinnitus dan tuli sementara pada pasien jika diberikan secara iv cepat. pH Lasix® adalah 9,1 sehingga Lasix® tidak bisa diberikan secara i.m karena akan menyebabkan rasa sakit pada otot disebabkan pH yang basa.

Page 84: Kasus Gagal Jantung Kronik

Pemberian cefadroxil 250 mg 2X1 tidak ada indikasi karena pasien tidak mengalami infeksi. Kadar leucosit pasien masih berada pada range normal. Selain itu, Ada Drug related problem pada pemberian cefadroksil yaitu pada regimen dosis. Pasien diberikan terapi pada jam 08.00 dan jam 18.00. Seharusnya obat kedua diberikan pada jam 20.00. Dosis lazim untuk cefadroxil adalah 3 mg/kg BB. Sedangkan pasien diberikan terapi 250 mg 2X1. Dosis tidak mencukupi. Seharusnya dosis yang diberikan adalah 690 mg/hari. (sumber : BNF)

Page 85: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Pemberian parasetamol ditujukan untuk mengatasi demam pada pasien. Akan tetapi, demam ini diduga karena adanya pemasangan infuse, karena terlihat penurunan suhu yang cukup signifikan setelah infuse dilepas.

• Pemberian dulcolax pada hari ke-6 bertujan untuk mengatasi konstipasi pada pasien Karena pasien mengeluhkan susah buang air besar dan tidak BAB sejak 6 hari yang lalu. Adanya konstipasi ini diduga karena immobilisasi pasien dan dehidrasi karena output lebih besar dari pada intake.

Page 86: Kasus Gagal Jantung Kronik

DRP :• Jam pemberian obatnya masih terdapat

kesalahan.• Dosis digoxin melampaui batas yang dibolehkan• Cefadroxil adalah obat yang tidak tepat indikasi.

Selain itu Dosis terapi cefadroksil tidak mencukupi.

Monitoring • Monitoring yang dilakukan terhadap pasien

adalah frekuensi denyut jantung, jumlah pernafasan, tekanan darah dan intake output cairan.

Page 87: Kasus Gagal Jantung Kronik

SARAN DARI FARMASIS

• Masih terdapat adanya DRP/drug related problem pada penggunaan obat pasien, yaitu pada dosis digoxin yang melampau batas. Disarankan agar dosis diturunkan pada range yang diperbolehkan yaitu pada range 115-230 mcg. DRP pada penggunaan cefadroksil. Regimen dosis  seharusnya setiap 12 jam dan dosis yang diberikan harus lebih besar yaitu 690 mg agar tidak terjadi resistensi pada pasien.

• Untuk monitoring, diperlukan adanya pemeriksaan kadar Na dan K setelah pemberian Lasix dan digoxin untuk melihat apakah Lasix menyebabkan hipokalemia yang mengakibatkan toksisitas pada digoxin. Selain itu, diperlukan pemeriksaan dan pemantauan kadar digoxin dalam darah.

Page 88: Kasus Gagal Jantung Kronik

KASUS KE- 2

Page 89: Kasus Gagal Jantung Kronik

LAPORAN KASUS

• Seorang penderita laki-laki, umur 78 tahun datang ke RSUP Prof Dr R. D. Kandou Manado tanggal 10 Agustus 2009 dengan keluhan utama sesak napas.

• Dari anamnesis ditemukan sesak napas mulai dirasakan penderita sejak ± 2 minggu SMRS. Sesak semakin berat jika beraktifitas, seperti mandi atau berjalan. Penderita juga sering terbangun malam hari karena sesak. Penderita merasa lebih nyaman jika tidur menggunakan 2-3 bantal.

• Penderita beberapa kali mengalami nyeri dada sebelah kiri yang dirasakan menjalar sampai ke belakang dan kedua tangan terasa kram.

Page 90: Kasus Gagal Jantung Kronik

Batuk juga dialami penderita sejak 2 minggu SMRS, lendir berwarna putih, darah tidak ada. Panas tidak ada, mual dan muntah tidak ada. Nyeri kepala dirasakan seperti ditusuk-tusuk sejak 2 minggu yang lalu. Kedua kaki bengkak sejak ± 1 bulan y.l. Riwayat Hipertensi (+) sejak ± 10 tahun yang lalu dan Stroke ± 2 tahun yang lalu. Riwayat penyakit jantung, ginjal, hati, dan kencing manis disangkal penderita. Pada riwayat keluarga, hanya penderita yang sakit seperti ini

Page 91: Kasus Gagal Jantung Kronik

PEMERIKSAAN FISIK

Dari pemeriksaan fisik pada penderita didapatkan keadaan umum penderita sedang, kesadaran compos mentis, dengan tanda vital tekanan darah 150/90 mmHg, Nadi 100x/m,ireguler, Respirasi 28x/m, Suhu badan 36,20C. Kulit berwarna sawo matang, lapisan lemak kesan cukup. Edema tidak ada. Turgor kembali dengan cepat. Tidak ada effloresensi, jaringan parut ataupun pigmentasi.

Page 92: Kasus Gagal Jantung Kronik

Bentuk kepala mesocephal, rambut warna hitam dan sukar dicabut, ubun-ubun besar tertutup, tidak ada edema pada wajah (moon face).

Mata tidak ditemukan eksoftalmus, tekanan bola mata normal, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, refleks kornea normal, pupil bulat isokor, refleks cahaya positif, lensa mata jernih.

Daun telinga normal, terdapat liang telinga, membran timpani utuh dan tidak ditemukan sekret dari telinga.

Tidak ditemukan kelainan septum dan lubang hidung, konka tidak hiperemis dan tidak terdapat sekret dari hidung..

Page 93: Kasus Gagal Jantung Kronik

Bibir tidak sianosis, gigi-geligi tidak ditemukan caries, selaput lendir basah.

Lidah tidak ditemukan tanda beslag, gusi tidak ada perdarahan. Tonsil berukuran normal T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis.

Pada leher ditemukan trakea letak tengah, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tekanan vena jugular dalam batas normal 5 ± 3 cm.

Page 94: Kasus Gagal Jantung Kronik

Dada berbentuk normal, pada inspeksi dada simetris, tidak ditemukan retraksi dinding dada.

Pada inspeksi paru ditemukan gerakan napas simetris kiri dengan kanan.

Palpasi ditemukan stem fremitus kiri sama dengan kanan, perkusi didapatkan sonor pada dada kiri dan kanan, pada auskultasi terdengar suara pernapasan vesikuler, terdapat ronkhi minimal di daerah basal paru-paru kanan dan kiri, namun tidak ditemukan wheezing. Detak jantung 120 x/menit, iregular, iktus kordis tidak tampak, iktus kordis tidak teraba, batas jantung kiri di linea midclavicularis kiri ICS VI, batas jantung kanan di linea parasternal kanan ICS IV, bunyi jantung I dan II normal, tidak ditemukan bising jantung, M1>M2, T1>T2, A1P2.

Page 95: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Pada inspeksi abdomen terlihat datar, pada palpasi dinding abdomen teraba lemas, hepar dan lien tidak teraba, tidak ada ballotement. Pada perkusi didapatkan bunyi tympani. Pada auskultasi bising usus normal.

• Penderita berjenis kelamin laki-laki, normal. Bagian akral anggota gerak hangat, terdapat  edema pada kaki kiri dan kanan, tidak ditemukan jari-jari tabuh, tidak ditemukan sianosis. Tidak ditemukan deformitas, tonus dan kekuatan normal. Refleks fisiologis positif normal, refleks patologis tidak ada.

Page 96: Kasus Gagal Jantung Kronik

HASIL PEMERIKSAAN

• Hasil pemeriksaan laboratorium saat penderita masuk rumah sakit hemoglobin 12,5 g/dl,  eritrosit 4,56 .106/mm3, leukosit 4.800/mm3, trombosit 121.000/mm3, MCV 87 µm3 , MCHC 31,3g/dl, GDS 91, Ureum 56, Creatinin 2,1, Na 138 mmol, K 4,8 mmol, Cl 110 mmol.

• Hasil EKG pada pasien ini didapatkan Irama Ireguler, HR 120x/m, gelombang P jumlahnya tidak dapat diidentifikasi, interval P-R tidak dapat dihitung, kompleks QRS normal. Kesan: AF Rapid Respons. Serta hasil x-foto thorax CTR > 50%, kesan: cardiomegaly.

Page 97: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang,  penderita didiagnosa sebagaiGagal jantung kongesti fungsional III, Fibrilasi atrial, hipertensi derajat I, Susp. Pneumonia. Dan diterapi dengan bed rest posisi ½ duduk, O2 3L/m, pemasangan  Veinflon, Furosemid injeksi intravena sekali sehari, Bisoprolol tablet 5 mg setengah tablet tiap pagi hari, Aspilet tablet 80mg tiap siang hari, ISDN 5 mg tablet 3 kali sehari, Captopril 25 mg tablet 3 kali sehari, Digoksin 0,25mg tablet sekali sehari. Dan direncanakan untuk pemeriksaan asam urat, profil lipid, SGOT, SGPT, dan urinalisis.

Page 98: Kasus Gagal Jantung Kronik

PENGAMATAN• Hari Perawatan I (11 Agustus 2009)

Keluhan penderita berupa sesak masih ada. Keadaan umum penderita sedang, kesadaran komposmentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, Nadi  81x/m, ireguler, Respirasi 24x/m, Suhu badan 36,10C. Pada pemeriksaan fisik ronkhi +/+ minimal di basal paru dan pada ekstremitas terdapat edema di kedua kaki. Diterapi dengan bed rest posisi ½ duduk, O2 3L/m, Veinflon, Furosemid injeksi intravena sekali sehari, Bisoprolol tablet 5 mg setengah tablet tiap pagi hari, Aspilet tablet 80mg tiap siang hari, ISDN 5 mg tablet 3 kali sehari, Captopril 25 mg tablet 3 kali sehari, Digoksin 0,25mg tablet sekali sehari.

Page 99: Kasus Gagal Jantung Kronik

Hari Perawatan II (12 Agustus 2009)

• Keluhan penderita berupa sesak berkurang. Keadaan umum penderita sedang, kesadaran komposmentis. Tekanan darah 120/70 mmHg, Nadi  80x/m, regular, Respirasi 24x/m, Suhu badan 360C. Pada pemeriksaan fisik ronkhi +/+ minimal di basal paru dan pada ekstremitas terdapat edema di kedua kaki. Diterapi dengan bed rest posisi ½ duduk, O2 3L/m,  Veinflon, Furosemid injeksi intravena sekali sehari, Bisoprolol tablet 5 mg setengah tablet tiap pagi hari dihentikan, Aspilet tablet 80mg tiap siang hari, ISDN 5 mg tablet 3 kali sehari, Captopril 25 mg tablet 3 kali sehari, Digoksin 0,25mg tablet sekali sehari.

• Hasil lab yang masuk hari ini: Hasil Lab: As.urat : 10,5, SGOT : 25,

• SGPT: 14, Choles. Total : 125, HDL: 36, LDL: 71, Trigliserid: 91, Urinalisis: Epitel : 3-4, Eritrosit: 1-2, Leuko: 6-8.

Page 100: Kasus Gagal Jantung Kronik

Hari Perawatan III (13 Agustus 2009)

• Keluhan penderita berupa sesak sudah tidak ada. Keadaan umum penderita cukup, kesadaran komposmentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi 72x/m, regular, Respirasi 20x/m, Suhu badan 36,20C. Pada pemeriksaan fisik ronkhi -/- di basal paru dan pada ekstremitas terdapat edema di kedua kaki.

• Diterapi dengan bed rest posisi ½ duduk, O2 3L/m dicabut, Veinflon, Furosemid injeksi intravena dua ampul dipagi hari dan dua ampul siang hari, Aspilet tablet 80mg tiap siang hari, ISDN 5 mg tablet 3 kali sehari, Captopril 25 mg tablet 3 kali sehari, Digoksin 0,25mg tablet sekali sehari. Ditambah Warfarin (simark) 2mg tablet sekali sehari, Allopurinol 100mg tablet tiap pagi hari, Spironolakton 25mg tiap pagi hari.

Page 101: Kasus Gagal Jantung Kronik

Hari Perawatan IV (14 Agustus 2009)

• Keluhan penderita berupa sesak sudah tidak ada. Keadaan umum penderita cukup, kesadaran komposmentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi 72x/m, regular, Respirasi 20x/m, Suhu badan 36,20C. Pada ekstremitas terdapat edema di kedua kaki.

• Penderita direncanakan rawat jalan dan kontrol di poli jantung. Sehingga terapi yang diberikan yaitu Veinflon dicabut, Furosemid injeksi intravena diganti dengan furosemid 40mg dua tablet di pagi hari, Aspilet tablet 80mg tiap siang hari, ISDN 5 mg tablet 3 kali sehari, Captopril 25 mg tablet 3 kali sehari, Digoksin 0,25mg tablet sekali sehari, Warfarin (simark) 2mg tablet sekali sehari, Allopurinol 100mg tablet tiap pagi hari, Spironolakton 25mg tiap pagi hari.

Page 102: Kasus Gagal Jantung Kronik

PEMBAHASAN• Dari hasil anamnesis pada pasien ini didapatkan adanya sesak

nafas yang dirasakan sejak 2 minggu yang lalu, namun menghebat dalam 12 jam terakhir SMRS. Sejak 2 minggu terakhir pasien sering terbangun malam hari karena sesak, keadaan ini menunjukan adanya paroksismal nocturnal dispnea. Penderita lebih merasa nyaman dengan menggunakan 2-3 bantal menunjukan adanya ortopnea. Selain itu sejak ± 1 bulan kedua kaki penderita bengkak. Batuk juga dialami penderita sejak 2 minggu yang lalu, lendir (+) warna putih.

• Pada pemeriksaan fisik pasien dengan gagal jantung kongesti dapat ditemukan adanya distensi vena leher, rhonki paru, kardiomegali, edema paru akut, gallop S3, peningkatan tekanan vena jugularis, refluks hepatojugular, edema ekstremitas, hepatomegali, efusi pleura, penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal, takikardia (>120/m).

Page 103: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Sedangkan dari hasil pemeriksaan fisik  pada pasien ini ditemukan tekanan vena jugularis yang meningkat yaitu 5 + 3 cmH2O, pada auskultasi paru didapatkan adanya rhonki di basal paru kanan dan kiri. Pada perkusi jantung didapatkan batas kanan pada ICS V linea parasternal dekstra dan batas kiri pada ICS VI linea mid clavikularis sinistra, sedangkan pada auskultasi jantung tidak di dapatkan adanya bising.

• Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa CHF yaitu : pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG) yang memberikan gambaran adanya hipertropi atrial atau ventrikel, penyimpangan aksis, iskemia, disritmia, takikardi, fibrilasi atrial dan X-foto thoraks yang dapat menunjukkan adanya pembesaran jantung,baik yang mencerminkan dilatasi atau hipertropi bilik, atau perubahan dalam pembuluh darah abnormal. Sedangkan pada kasus kami gambaran EKG menunjukkan AF rapidrespon (HR :120  x/m), dan X- foto thoraks memberikan kesan adanya pembesaran jantung.

Page 104: Kasus Gagal Jantung Kronik

Diagnosis dari kasus ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Kriteria Framingham dapat dipakai untuk diagnosis gagal jantung kongestif yang terdiri dari kriteria mayor :

1) Paroksismal nocturnal dispnea.

2) Distensi vena leher.

3) Rhonki paru.

4) Kardiomegali.

5) Edema paru akut

6) Gallop S3.

7) Peningkatan tekanan vena jugularis.

8) Refluks hepatojugular;

Page 105: Kasus Gagal Jantung Kronik

dan kriteria minor :

1) Edema ekstremitas.

2) Batuk malam hari.

3) Dyspneu d’effort.

4) Hepatomegali.

5) Efusi pleura.

6) Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal.

7) Takikardi (>120x/menit)

Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor atau 2 kriteria major.

Page 106: Kasus Gagal Jantung Kronik

Berikut ini adalah klasifikasi fungsional gagal jantung kongestif berdasarkan New York Association (NYHA) :

I) bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.

II) Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.

III) bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.

IV) bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus tirah baring.

Page 107: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Pada kasus ini dipenuhi 4 kriteria major yaitu berupa paroksismal nokturnal dispnea, rhonki paru, kardiomegali, peninggian tekanan vena jugularis dan adanya gejala dan tanda edema paru akut, serta dipenuhi 3 kriteria minor yaitu berupa batuk malam hari, dispnea d’effort,dan edema ekstremitas. Berdasarkan klasifikasi NYHA, penderita digolongkan CHF fungsional III, karena penderita tidak dapat melakukan aktivitas apapun tanpa keluhan.

• Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita.

• Pada Framingham Study mengungkapkan, 90 persen gagal jantung kongestif (CHF) disebabkan penyakit jantung koroner dan hipertensi.

Page 108: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung.

• Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian, dimana hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard.

Page 109: Kasus Gagal Jantung Kronik

• Pada kasus kami, penderita mempunyai riwayat hipertensi sejak 10 tahun, tidak terkontrol, dan pernah mengalami stroke ± 2 thn y.l. Dari anamnesis penderita juga pernah beberapa kali mengalami nyeri dada saat aktivitas, namun nyeri hilang jika penderita beristirahat. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tensi 150/90 mmHg, nadi 100x/m, ireguler, respirasi 28x/m. Hasil pemeriksaan EKG pada pasien ini menunjukkan adanya AF rapidrespon (HR : 120x/m).

• Dengan demikian dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan didukung dengan pemeriksaan penunjang maka penderita pada kasus kami didiagnosa dengan Gagal jantung kongesti fungsional III, Fibrilasi atrial, hipertensi derajat I, Susp. Pneumonia.

Page 110: Kasus Gagal Jantung Kronik

PENATALAKSANAAN• Prinsip penatalaksanaan gagal jantung kongestif adalah

meningkatkan oksigenasi dengan pemberian oksigen dan menurunkan konsumsi O2 melalui istirahat/pembatasan aktivitas, mengurangi beban awal dengan pembatasan cairan, pemberian diuretik dan vasodilator, mengurangi beban akhir dengan pemberian ACE antagonis dan prasosin, serta memperbaiki kontraktilitas dengan pemberian inotropik. Pada kasus kami, terapi yang diberikan yaitu Bed Rest Posisi ½ duduk, O2 3L/m, Veinflon, Furosemid 1-0-0 iv, Bisoprolol 5 mg ½-0-0, Aspilet 80mg 0-1-0, ISDN 3×5 mg, Captopril 3×25 mg, Digoksin 1×0,25mg.

• Meskipun banyak peningkatan dalam evaluasi dan penanganan dari gagal jantung, gejala-gejala dari gagal jantung masih memberikan prognosis yang buruk. Namun pada pasien ini prognosisnya cukup baik karena karena kondisi penderita mengalami perbaikan dalam perawatan.

Page 111: Kasus Gagal Jantung Kronik
Page 112: Kasus Gagal Jantung Kronik
Page 113: Kasus Gagal Jantung Kronik
Page 114: Kasus Gagal Jantung Kronik