fraktur v.cervicalis
-
Upload
shila-wisnasari -
Category
Documents
-
view
313 -
download
1
description
Transcript of fraktur v.cervicalis
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
FRAKTUR VERTEBRAE CERVICALIS
Untuk memenuhi laporan profesi di Departemen Surgikal
Periode: 19-24 Agustus 2013
Ruang 13 RSSA Malang
Oleh :
Shila Wisnasari
NIM. 0810720065
JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR VERTEBRAE CERVICALIS
VERTEBRAE CERVICAL (CERVICAL SPINE)
Vertebrae cervical, yang merupakan bagian dari tulang belakang, terdiri atas
tujuh vertebrae. Ketujuh vertebrae ini dinamakan C1 (atlas), C2 (axis), C3, C4, C5,
C6, dan C7 (Gambar 1). Vertebrae cervicalis bertanggung jawab terhadap mobilitas
dan stabilitas kepala dan menghubungkan kepala dengan vertebrae thoracalis.
Cervical spine dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu upper dan lower (Windsor,
2013).
Upper cervical spine terdiri dari atlas (C1) dan axis (C2). Kedua vertebrae
pertama ini berbeda dengan cervical spine lainnya. Atalntoaxial joint (atlas-axis)
bertanggung jawab terhadap 50% rotasi cervical, sedangkan atlanto-occipital joint
(atlas-occiput) bertanggung jawab terhadap fleksi dan ekstensi kepala. Sedangkan
lower cervical spine terdiri dari C3-C7 yang bertanggung jawab terhadap proteksi
dan mobilitas kolumna vertebralis (Windsor, 2013).
Gambar 1. Anatomi dan gambaran radiologis vertebrae cervicalis
A. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur
vertebrae cervicalis dapat didefinisikan sebagai fraktur yang terjadi pada satu atau
lebih dari ketujuh vertebrae pada daerah leher (C1-C7).
B. Etiologi
Penyebab trauma tulang belakang antara lain kecelakaan lalu lintas (44%),
kecelakaan olah raga (22%), terjatuh dari ketinggian (24%), kecelakaan kerja.
Fraktur vertebrae cervicalis terutama merupakan akibat dari injuri traumatik pada
kepala dan leher. Injuri yang melibatkan leher atau vertebrae cervical biasanya
disebabkan benturan yang menekan vertebrae cervical pada bagian leher. Injuri
tersebut meliputi kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, dan luka tembak pada
daerah leher.
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun
mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat
diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan tiba-tiba yang berlebihan, dapat
berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau penarikan.
Akibat tekanan yang kuat, tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan
jaringan lunak juga akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur
melintang dan kerusakan pada kulit di atasnya. Penghancuran kemungkinan
akan menyebabkan fraktur kominutif disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
b. Fraktur akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini
paling sering ditemukan pada tibia, fibula, atau metatarsal terutama pada atlet,
penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal jika tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.
C. Klasifikasi
Berdasarkan derajad kestabilan, fraktur vertebrae cervicalis dapat dibedakan
menjadi:
1) Fraktur stabil (Stable fracture)
2) Fraktur tidak stabil (Unstable fracture)
Yang dimaksud stabilitas dalam konteks trauma vertebrae cervical yaitu tetap
utuhnya komponen ligament-skeletal pada saat terjadinya pergeseran satu segmen
tulang leher terhadap lainnya.
Cedera dianggap stabil jika bagian yang terkena tekanan hanya bagian
medulla spinalis anterior, komponen vertebral tidak bergeser dengan pergerakan
normal, ligament posterior tidak rusak sehingga medulla spinalis tidak terganggu.
Fraktur medulla spinalis disebut tidak stabil jika kehilangan integritas ligament
posterior. Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan pemeriksaan
radiografi minimal 4 posisi, yaitu anteroposterior, lateral, oblik kanan dan kiri. Dalam
menilai stabilitas vertebra, terdapat tiga unsur yang harus dipertimbangkan, yaitu
kompleks posterior (kolumna posterior), kompleks media (kolumna media), dan
kompleks anterior (kolumna anterior).
Pembagian kolumna vertebralis adalah sebagai berikut:
a. Kolumna anterior
Terbentuk dari ligament longitudinal dan 2/3 bagian anterior dari corpus vertebra,
diskus, dan annulus vertebralis.
b. Kolumna media
Terbentuk dari 1/3 bagian posterior corpus vertebralis, diskus, dan annulus
vertebralis.
c. Kolumna posterior
Terbentuk dari pedikulus, sendi-sendi permukaan, arkus tulang posterior,
ligament interspinosa dan supraspinosa.
Fraktur vertebrae cervical dapat diklasifikasikan bedasarkan mekanisme injuri
sebagai berikut:
1) Fleksi
Beberapa injuri yang dikaitkan dengan mekanisme fleksi antara lain:
a. Fraktur Simple Wedge
Vertebrae terjepit sehingga berbentuk baji. Ligament longitudinal anterior dan
kumpulan ligamen posterior utuh sehingga lesi ini bersifat stabil (Gambar 2).
b. Fraktur Teardrop Fleksi
Fraktur tear drop terjadi ketika adanya fleksi dengan kompresi vertical dari
axial, menyebabkan fraktur pada bagian anteroinferior body vertebrae.
Fragmen ini bergeser ke anterior dan menyerupai teardrop. Terjadi
kerusakan pada ligament anterior dan posterior (Gambar 2).
Gambar 2. A) fraktur simple wedge; B) fraktur teardrop fleksi
c. Anterior subluxation
Terjadi robekan pada sebagian ligament di posterior tulang leher, ligament
anterior tetap utuh. Tanda penting pada subluksasi anterior yaitu adanya
angulasi ke posterior (kifosis) lokal pada tempat kerusakan ligament. Tanda-
tanda lainnya yaitu (1) jarak yang melebar antara prosesus spinosus, (2)
subluksasi sendi apofiseal (Gambar 3).
Gambar 3. Fraktur Subluksasi Anterior
d. Dislokasi facet bilateral
Terjadi robekan pada ligament longitudinal anterior dan kumpulan ligament di
posterior tulang leher. Lesi bersifat tidak stabil. Tampak dislokasi anterior
korpus vertebrae. Terjadi dislokasi total sendi apofiseal (Gambar 4).
e. Fraktur Clay shovelerGambar 4. Dislokasi faset bilateral
Fleksi tulang leher dimana terdapat kontraksi ligament posterior tulang leher
mengakibatkan terjadinya fraktur oblik pada prosesus spinosus. Biasanya
terjadi pada vertebrae C6-C7 atau T1 (Gambar 5).
2) Fleksi-rotasi
Terjadi dislokasi intrafacetal pada satu sisi. Lebih stabil walaupun terjadi
kerusakan pada ligament posterior, termasuk sendi apofiseal. Tampak dislokasi
pada anterior korpus vertebra. Vertebra yang bersangkutan dan vertebra
proksimalnya dalam posisi oblik, sedangkan vertebra distalnya tetap dalam posisi
lateral (Gambar 6).
Gambar 6. Dislokasi faset unilateral. (A) gambaran lateral fraktur yang
disebabkan mekanisme fleksi-rotasi. (B) gambaran anteroposterior menunjukkan
disrupsi garis yang menghubungkan prosesus spinosus pada daerah yang
mengalami dislokasi
3) Ekstensi
a. Hangman fracture (traumatic spondylolisthesis of C2)
Terjadi fraktur arkus bilateral dan dislokasi anterior C2 terhadap C3 (Gambar
7). Walaupun termasuk dalam fraktur unstable, jenis fraktur ini jarang
dikaitkan dengan spinal injury. Jika fraktur ini terjadi dengan dislokasi faset
Gambar 5. Fraktur Clay Shoveler
unilateral atau bilateral pada C2, fraktur Hangman bersifat unstable dan
berisiko tinggi terjadi komplikasi neurologis.
b. Extension teardrop fracture (fraktur teardrop fleksi)
Seperti pada fraktur teardrop fleksi, fraktur teardrop ekstensi juga ditandai
dengan pergeseran fragmen anteroinferior. Fraktur tipe ini terjadi ketika
ligament longitudinal anterior mendorong fragmen menjauhi bagian inferior
vertebra karena hiperekstensi secara tiba-tiba. Fraktur ini cenderung terjadi
pada vertebrae cervicalis bagian bawah.
c. Fraktur pada arkus posterior C1 (posterior neural arch)
Tipe fraktur ini terjadi ketika kepala mengalami hiperekstensi dan neural arch
posterior dari C1 tertekan di antara occiput dan prosesus spinosus C2.
Ligament transverses dan arch C1 anterior tidak mengalami kerusakan,
sehingga fraktur ini termasuk fraktur stabil.
Gambar 8. (A) Fraktur pada arkus posterior C1. Proyeksi lateral menunjukkan
garis fraktur pada arkus posterior. (B) Fraktur Jefferson. Disebabkan
mekanisme kompresi vertical (axial). Tipe fraktur ini dihubungkan dengan
disrupsi ligament transversus atlas.
4) Vertical (axial) compression injury
Gambar 7. Fraktur Hangman. Garis
fraktur tampak pada proyeksi lateral C2
Injuri umum yang dikaitkan dengan mekanisme kompresi vertical meliputi fraktur
Jefferson, burst fracture (disperse, axial loading), fraktur atlas, dan fraktur pillar.
a. Jefferson fracture (burst fracture of the ring of C1)
Fraktur ini disebabkan kekuatan kompresi downward yang ditransmisikan
sama besar melalui occipital condyles menuju permukaan artikular superior
dari C1 (Gambar 8).
b. Burst fracture pada vertebral body
Ketika kekuatan kompresi downward ditransmisikan pada vertebrae cervicalis
bagian bawah, body vertebra cervical dapat menonjol keluar (shatter
outward) dan menyebabkan burst fracture (Gambar 9). Fraktur ini melibatkan
disrupsi kolumna anterior dan medial, dengan derajad kerusakan yang
berbeda-beda.
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur vertebrae menurut Lewis (2006) adalah sebagai
berikut:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya
spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Edema
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada
daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Ekimosis / Memar
Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di
jaringan sekitarnya.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syaraf karena edema.
f. Gangguan fungsi
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot.
paralysis dapat terjadi karena kerusakan saraf.
g. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-baaian tulang digerakkan.
h. Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.
i. Shock hipovolemik
Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat.
Manifestasi klinis umum dari fraktur vertebrae cervicalis antara lain:
a. Palpasi prosesus spinosus nyeri leher posterior
b. Keterbatasan ROM pada leher akibat nyeri
c. Kelemahan, mati rasa, atau parestesis sepanjang nervus yang terkena
Selain manifestasi yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat tanda dan
gejala lain yang mungkin muncul. Tanda dan gejala yang sering ditemukan pada
pemeriksaan fisik pasien dengan fraktur vertebrae yaitu sebagai berikut:
a. Shock spinal
Areflexia
Kehilangan tonus sfingter anal
Inkontinensia fecal
Priapismus
Kehilangan reflex bulbocavernosus
b. Shock neurogenik
Hipotensi
Bradikardia paradoksikal
Kulit perifer kering, merah, dan hangat
c. Disfungsi autonom
Ileus
Retensi urine
Poikilothermia
E. Patofisiologi
Penyebab tersering terjadinya cedera tulang belakang cervical adalah
kecelakaan mobil, kecelakaan motor, terjatuh dari ketinggian, cedera olah raga, dan
luka akibat tembakan atau pisau. Menurut mekanisme terjadinya cidera, cidera
servikal di bagi atas fleksi, fleksi rotasi, ekstensi, kompresi aksial. Cidera cervical
atas adalah fraktur dan dislokasi yang mengenai Basis Occiput-C2. Cidera tulang
belakang cervical bawah termasuk fraktur dan dislokasi ruas tulang belakang C3-
C7. Ruas tulang belakang C5 merupakan vertebra cervicalis yang tersering
mengalami fraktur.
C1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas arcus anterior yang tebal
dan arcus posterior yang tipis, serta masa lateralis pada masing-masing sisinya.
Tulang ini berartikulasi dengan kondilus occipitalis membentuk articulatio atlanto-
occipitalis, tempat berlangsungnya gerakan mengangguk. Di bagian bawah, tulang
ini berartikulasi dengan C2, membentuk articulasio atlanto-axialis, tempat
berlangsungnya gerakan memutar kepala. Fraktur tunggal atau multiple pada cincin
C1 dan dislokasi atlanto-occipitalis dapat menyebabkan ketidakmampuan
menggerakkan kepala dan kerusakan pada batang otak. Cedera pada C1 dan C2
menyebabkan ventilasi spontan tidak efektif.
Fraktur pada C3-C5 dapat menyebabkan kerusakan nervus frenikus
sehingga dapat terjadi hilangnya inervasi otot pernafasan aksesori dan otot
interkostal yang dapat menyebabkan komplience paru menurun. Jika fraktur terjadi
pada C4-C7, dapat terjadi terjadi penjepitan medula spinalis oleh ligamentum flavum
di posterior dan kompresi osteosif/material diskus dari anterior yang bisa
menyebabkan nekrosis dan menstimulasi pelepasan mediator kimia yang
menyebabkan kerusakan myelin dan akson, sehingga terjadi gangguan sensorik
motorik. Lesi pada C5-C7 dapat mempengaruhi intercostal, parasternal, scalenus,
otot-otot abdominal, intak pada diafragma, otot trapezius, dan sebagian pectoralis
mayor.
Cedera pada tulang servikal dapat menimbulkan lesi atau cedera pada
medulla spinalis yang dapat terjadi beberapa menit setelah adanya benturan keras
mengenai medulla spinalis. Pada fase ini, secara histologis medulla spinalis masih
normal. Dalam waktu 24-48 jam kemudian terjadi nekrosis fokal dan inflamasi. Pada
waktu cedera, terjadi disrupsi mekanik akson dan neuron. Hal ini disebut cedera
neural primer. Di samping itu juga terjadi perubahan fisiologis dan patologis
progresif akibat cedera neural sekunder.
Beberapa saat setelah terjadi kecelakaan atau trauma pada servikal maka
akan terjadi kerusakan secara struktural yang mengakibatkan gangguan pada saraf
spinal dan pembuluh darah disekitarnya yang akan menghambat suplai oksigen ke
medulla spinalis atau akan terjadi ischemia pada jaringan tersebut. Karena terjadi
ischemia pada jaringan tersebut, dalam beberapa menit atau jam kemudian akan
ada pelepasan vasoactive agent dan cellular enzym yang menyebabkan konstriksi
kapiler pada pusat substansi abu-abu medula spinalis. Ini merupakan permulaan
dari cedera neural sekunder pada cedera medula spinalis. Selanjutnya adalah
peningkatan level kalsium (Ca) pada intraselular yang mengakibatkan kerusakan
pada endotel pembuluh darah yang dalam beberapa jam kemudian dapat
menimbulkan aneurisma dan ruptur pada pembuluh darah di medula spinal.
Peningkatan potassium (K) pada ekstraseluler mengakibatkan terjadinya
depolarisasi pada sel (Conduction Block). Hipoxia akan merangsang pelepasan
katekolamin sehingga terjadi perdarahan dan nekrosis pada sel.
Di tingkat selular, adanya kerusakan mitokondria akibat defisit suplai oksigen
dapat merangsang pelepasan superoksid (radikal bebas), disertai terjadinya
ketidakseimbangan elektrolit dan pelepasan mediator inflamasi yang dapat
mengakibatkan terjadinya kematian sel (apoptosis) dengan manifestasi sel
mengkerut dan kromatin nuclear yang padat.
F. Diagnosis
Evaluasi radiografi diindikasikan pada kondisi-kondisi sebagai berikut:
Pasien yang menunjukkan defisit neurologis konsisten dengan cord lesion
Pasien dengan gangguan sensori yang didapatkan dari cedera kepala atau
intoksikasi
Pasien yang mengeluh nyeri atau kekakuan pada leher
a. CT-scan
Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik pada komponen tulang
servikal dan sangat membantu terdapat fraktur akut. Akurasi pemeriksaan CT
berkisar antara 72 -91 % dalam mendeteksi adanya herniasi diskus. Akurasi
dapat mencapai 96 % bila mengkombinasikan CT dengan myelografi.
b. MRI
MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun diskus. Seluruh daerah medula
spinalis, radiks saraf, dan tulang vertebra dapat divisualisasikan. Hasil
pemeriksaan ini tetap harus dihubungkan dengan riwayat perjalanan penyakit,
keluhan maupun pemeriksaan klinis.
c. Elektromiografi (EMG)
Pemeriksaan EMG membantu mengetahui apakah suatu gangguan bersifat
neurogenik atau tidak, karena pasien dengan spasme otot dan artritis juga
mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari
iritasi/kompresi radiks, membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer,
membedakan adanya iritasi atau kompresi.
Metode untuk foto daerah cervical
1. Pada foto anteroposterior garis lateral harus utuh, dan prosesus spinosus dan
bayangan trakea harus berada pada garis tengah. Diperlukan foto dengan mulut
terbuka untuk memperlihatkan C1 dan C2 (untuk fraktur massa lateral dan
odontoid).
2. Foto lateral harus mencakup ketujuh vertebra cervical dan T1, jika tidak cedera
yang rendah akan terlewatkan. Hitung vertebra kalau perlu, periksa ulang
dengan sinar-X sementara menerapkan traksi ke bawah pada lengan. Kurva
lordotik harus diikuti dan menelusuri empat garis sejajar yang dibentuk oleh
bagian depan korpus vertebra, bagian belakang badan vertebra. Setiap
ketidakteraturan massa lateral dan dasar-dasar prosesus spinosus menunjukkan
suatu fraktur atau pergeseran. Ruang interspinosa yang terlalu lebar
menunjukkan luksasi anterior. Trakea dapat tergeser oleh hematoma jaringan
lunak.
3. Jarak tiang odontoid dan bagian belakang arkus anterior pada atlas tidak boleh
melebihi 4,5 mm (anak-anak) dan 3mm pada dewasa
4. Untuk menghindari terlewatnya dislokasi tanpa fraktur, diperlukan film lateral
pada posisi ekstensi dan fleksi.
5. Pergeseran korpus vertebra ke arah depan terhadap korpus vertebra di
bawahnya dapat berarti klinis, yaitu dislokasi permukaan unilateral jika
pergeseran yang kurang dari setengah lebar korpus vertebra. Untuk hal ini
diperlukan foto oblik untuk memperlihatkan sisi yang terkena. Pergeseran yang
lebih dari setengah lebar korpus vertebra tersebut menunjukkan dislokasi
bilateral.
6. Lesi yang tidak jelas perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan CT scan.
G. Penatalaksanaan
Setelah diagnosis ditegakkan, di samping kemungkinan pemeriksaan cedera
lain yang menyertai, misalnya trauma kepala atau trauma thoraks, maka
pengelolaan patah tulang belakang tanpa gangguan neurologik bergantung pada
stabilitasnya. Pada tipe yang stabil atau tidak stabil temporer, dilakukan imobilisasi
dengan gips atau alat penguat. Pada patah tulang belakang dengan gangguan
neurologik komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk stabilisasi patah
tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat dilakukan mobilisasi dini.
Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyulit yang timbul pada
kelumpuhan akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran nafas, infeksi
saluran kencing atau dekubitus dapat dicegah. Pembedahan juga dilakukan dengan
tujuan dekompresi yaitu melakukan reposisi untuk menghilangkan penyebab yang
menekan medula spinalis, dengan harapan dapat mengembalikan fungsi medula
spinalis yang terganggu akibat penekanan tersebut. Dekompresi paling baik
dilaksanakan dalam waktu enam jam pascatrauma untuk mencegah kerusakan
medula spinalis yang permanen. Tidak boleh dilakukan dekompresi dengan cara
laminektomi, karena akan menambah instabilitas tulang belakang.
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha
mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder, yaitu
dengan dilakukannya imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan alas
yang keras. Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu
atau sarana apapun yang beralas keras. Hal ini dilakukan pada semua penderita
yang dicurigai berdasarkan jenis kecelakaan, penderita yang merasa nyeri di
daerah tulang belakang, terutama bila terdapat kelemahan pada ekstremitas yang
disertai mati rasa. Selain itu harus selalu diperhatikan jalan napas dan sirkulasi. Bila
dicurigai cedera di daerah servikal, harus diusahakan agar kepala tidak menunduk
dan tetap di tengah dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan kain untuk
menyangga leher pada saat pengangkutan.
Setelah semua langkah tersebut dipenuhi, baru dilakukan pemeriksaan fisik
dan neurologik yang lebih cermat. Pemeriksaan penunjang seperti radiologik dapat
dilakukan. Pada umumnya terjadi paralisis usus selama dua sampai enam hari
akibat hematom retroperitoneal sehingga memerlukan pemasangan pipa lambung
(NGT). Pemasangan kateter tetap pada fase awal bertujuan mencegah terjadinya
pengembangan kandung kemih yang berlebihan, yang lumpuh akibat syok spinal.
Selain itu pemasangan kateter juga berguna untuk memantau produksi urin, serta
mencegah terjadinya dekubitus karena menjamin kulit tetap kering.
Terapi pada cidera medula spinalis terutama ditujukanuntuk meningkatkan
dan memperhatikan dan mempertahankan fungsi sensoris dan motoris. Pasien
dengan cidera medula spinalis komplet hanya memiliki peluang 5% untuk kembali
normal. Lesi medula spinalis komplet yang tidak menunjukkan perbaikan dalam 72
jam pertama, cenderung menetap dan prognosisnya buruk. Cedera medula spinalis
tidak komplet cenderung memiliki prognosis yang lebih baik. Apabila fungsi
sensoris di bawah lesi masih ada, maka kemungkinan untuk kembali berjalan
adalah lebih dari 50%.
Metilpredinsolon merupakan terapi yang paling umum digunakan untuk
cedera medula spinalis traumatika. Metilprednisolon menurunkan inflamasi dengan
menekan migrasi leukosit polimorfonuklear dan mengembalikan permeabilitas
kapiler yang sebelumnya mengalami peningkatan. Namun, penggunaannya sebagai
terapi utama cidera medula spinalis traumatik masih dikritisi banyak pihak dan
belum digunakan sebagai standart terapi. Metilpredinsolon dosis tinggi merupakan
satu satu terapi farmakologik yang terbukti efektif pada uji klinis tahap 3 sehingga
dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi cedera medula spinalis traumatika.
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan
pasien cidera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupulasi dan blader training pada
pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah
mempertahankan ROM (Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan
memperkuat fungsi otot-otot yang ada. Pasien dengan central cord syndrome/CSS
biasanya mengalami pemulihan kekuatan otot ekstremitas bawah yang baik
sehingga dapat berjalan dengan bantuan apapun ataupun tidak.
Terapi Okupasional terutama ditujukan untuk memperkuat dan memperbaiki
fungsi ektermitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup sdehari hari/
activiting of dayli living (ADL). Pembentukan kontraktur harus dicegah seoptimal
mungkin.
Penatalaksanaan Operatif
Tujuan dari penanganan operasi adalah untuk mereeduksi mal alignment,
dekompresi elemen neural dan mengembalikan stabilitas spinal. Macam tindakan
yang dilakukan dapat berupa operasi anterior dan posterior
Anterior approach, indikasi:
- ventral kompresi
- kerusakan anterior collum
- kemahiran neuro surgeon
Posterior approach, indikasi:
- dorsal kompresi pada struktur neural
- kerusakan posterior collum
Penggunaan Cervical Collar
Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi gerak leher.
Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang lebih banyak dibandingkan
kolar lunak (soft collars), kecuali pada gerak fleksi dan ekstensi. Kelebihan kolar
lunak yaitu memberikan kenyamanan yang lebih pada pasien. Salah satu studi
menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pasien untuk menggunakan kolar berkisar
68-72%. Penggunaan kolar sebaiknya selama mungkin sepanjang hari. Setelah
gejala membaik, kolar dapat digunakan hanya pada keadaan khusus, seperti saat
menyetir kendaraan dan dapat tidak digunakan lagi bila gejala sudah menghilang.
Sangat sulit untuk menyatakan waktu yang tepat kolar tidak perlu digunakan lagi,
namun hilangnya rasa nyeri, hilangnya tanda spurling dan perbaikan defisit motorik
dapat dijadikan sebagai petunjuk.
Modalitas Terapi Lain
Termoterapi dapat digunakan untuk membantu menghilangkan nyeri.
Modalitas terapi ini dapat digunakan sebelum atau pada saat traksi servikal untuk
relaksasi otot. Kompres dingin dapat diberikan selama 15-30 menit, 1 sampai 4 kali
sehari, atau kompres panas/pemanasan selama 30 menit, 2 sampai 3 kali sehari
jika dengan kompres dingin/pendinginan tidak efektif. Pilihan antara modalitas
panas atau dingin sangat pragmatik tergantung pada persepsi pasien terhadap
pengurangan nyeri.
Traksi leher merupakan salah satu terapi yang banyak digunakan meskipun
efektifitasnya belum dibuktikan dan dapat menimbulkan komplikasi sendi
temporomandibular. Ada beberapa jenis traksi, namun yang dapat dilakukan di
rumah adalah door traction. Traksi dapat dilakukan 3 kali sehari selama 15 menit
dan dapat dilakukan dengan frekuensi yang lebih sedikit selama 4 sampai 6 minggu.
Setelah keluhan nyeri hilang, traksi masih dapat dianjurkan. Traksi
dikontraindikasikan pada pasien dengan spondilosis berat dengan mielopati dan
adanya arthritis dengan subluksasi atlanto-aksial. Latihan yang menggerakan leher
maupun merangsang nyeri sebaiknya dihindari pada fase akut. Saat nyeri hilang
latihan penguatan otot leher isometrik lebih dianjurkan.
Penggunaan terapi farmakologik dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan
mungkin mengurangi inflamasi di sekitar radiks saraf (meskipun inflamasi
sebenarnya tidak pernah dapat dibuktikan di radiks saraf maupun diskus). Jika
gejala membaik dengan berbagai modalitas terapi di atas, aktivitas dapat secara
progresif ditingkatkan dan terapi dihentikan atau kualitas diturunkan. Jika tidak ada
perbaikan atau justru mengalami perburukan sebaiknya dilakukan eksplorasi yang
lebih jauh termasuk pemeriksaan MRI dan dipertimbangkan dilakukan intervensi
seperti pemberian steroid epidural maupun terapi operatif. Tidak ada patokan
sampai berapa lama terapi non-operatif dilanjutkan sebelum tindakan operatif.
Defisit neurologis pada herniasi diskus daerah lumbal yang cukup besar dilaporkan
bisa terjadi perbaikan tanpa operasi. Mungkin hal ini juga bisa terjadi pada herniasi
diskus di servikal.
H. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi antara lain
1. Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur simpatik desending pada
medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan
kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstremitas bawah maka terjadi
penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi.
2. Syok spinal
Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah
terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal mungkin akan tampak
seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak.
3. Hipoventilasi
Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang merupakan hasil dari
cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau
torakal atas.
4. Hiperfleksia autonomic
Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti nasal,
bradikardi dan hipertensi.
I. Pathway Trauma mengenai tulang belakang (vertebrae): kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga, terjatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, luka tembak
Fraktur cervicalis
Diskontinuitas tulang
Pergeseran fragmen tulang
Perubahan jaringan sekitar
Laserasi kulit Spasme otot
Deformitas Nyeri akut
Kerusakan integritas kulit
Open fraktur
Perdarahan hebat
Putus vena/arteri
Shock hipovolemik
Defisit volume cairan
Kerusakan struktural
Gangguan saraf spinal dan pembuluh darah sekitar
Suplai oksigen terhambat
Iskemia jaringan
Pelepasan vasoactive agent dan cellular enzyme
Konstriksi kapiler pada grey rima
Ca intrasel ↑
Kerusakan endotel
Kerusakan mitokondria
Pelepasan superoxide
Apoptosisi sel
Hipoksia
Pelepasan katekolamin
Perdarahan dan nekrosisi sel
Reaksi inflamasi
Pelepasan mediator kimia: histamine,
bradikinin, prostaglandin
Peningkatan permeabilitas kapiler
Edema
Fraktur multiple C1
Kerusakan pada articulasio atlanto-occipitalis
Ketidakmampuan menggerakkan kepala
Kerusakan batang otak
Cedera C1-C2
Ventilasi spontan tidak efektif
Ketidakefektifan ventilasi spontan
Fraktur C3-C5
Kerusakan nervus frenikus
Hilangnya inervasi otot asesori pernapasan dan
otot interkostal
Compliance paru menurun
Fraktur C4-C7
Penjepitan medulla spinalis oleh
ligamentum flavum
Kerusakan myelin dan akson
Gangguan sensorik motorik
Fraktur C5-C7
Gangguan pada intercostals, parasternal, otot-otot
abdominal, diafragma, otot trapezius, dan sebagian
perctoris mayor
Kelumpuhan
Kerusakan mobilitas fisik
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan trauma tulang belakang meliputi:
a) Aktifitas dan istirahat: kelumpuhan otot, terjadi kelemahan selama syok
spinal
b) Sirkulasi: berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi,
Hipotensi, bradikardi, ekstremitas dingin atau pucat
c) Eliminasi: inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi
perut, peristaltik hilang
d) Integritas ego: menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
gelisah dan menarik diri
e) Pola makan: mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang
f) Pola kebersihan diri: sangat ketergantungan dalam melakukan ADL
g) Neurosensori: kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis
flasid, hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek,
perubahan reaksi pupil
h) Nyeri/kenyamanan: nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah
trauma, dan mengalami deformitas pada daerah trauma
i) Pernapasan: napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis
j) Keamanan: suhu yang naik turun
(Carpenito (2000), Doenges at al (2000))
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin kita muncul pada pasien dengan fraktur
servikal diantaranya :
1) Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
2) Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan
3) Nyeri berhubungan dengan adanya cedera, terputusnya kontinuitas jaringan
tulang
4) Gangguan eliminasi alvi/konstipasi berhubungan dengan gangguan
persarafan pada usus dan rektum.
5) Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat
perkemihan.
C. Rencana Keperawatan
Dignosa: Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam pola nafas efektif
Kriteria hasil:
ventilasi adekuat
PaCo2<45
PaO2>80
RR 16-20x/ menit
Tanda-tanda sianosis (-)
Intervensi keperawatan :
1. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.
Rasional : pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk
mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.
2. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik
sekret.
Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan
sekret, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.
3. Kaji fungsi pernapasan.
Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan
secara partial, karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.
4. Auskultasi suara napas.
Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret
yang berakibat pnemonia.
5. Observasi warna kulit.
Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan
tindakan segera
6. Kaji distensi perut dan spasme otot.
Rasional: kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan
diafragma
7. Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari.
Rasional : membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret
sebagai ekspektoran.
8. Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan.
Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus
untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.
9. Pantau analisa gas darah.
Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai
contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.
10. Berikan oksigen dengan cara yang tepat.
Rasional : metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi pernapasan.
11. Lakukan fisioterapi nafas.
Rasional : mencegah sekret tertahan pada jalan napas.
Diagnosa: Nyeri berhubungan dengan adanya cedera, terputusnya kontinuitas
jaringan tulang
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam nyeri berkurang
Kriteria hasil: klien melaporkan rasa nyerinya berkurang, wajah tampak lebih rileks,
TTV dalam battas normal
Intervensi keperawatan :
1. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5.
Rasional : pasien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera.
2. Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus.
Rasional : nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi
kandung kemih dan berbaring lama.
3. Berikan tindakan kenyamanan.
Rasional : memberikan rasa nayaman dengan cara membantu mengontrol nyeri.
4. Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi.
Rasional : memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.
5. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan.
Rasional : untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan
dan meningkatkan istirahat
Diagnosa: Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat
perkemihan.
Tujuan perawatan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pola
eliminasi kembali normal.
Kriteria hasil :
Produksi urine 50cc/jam
Keluhan eliminasi urin tidak ada
Intervensi keperawatan:
1. Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam.
Rasional : mengetahui fungsi ginjal
2. Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
3. Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari.
Rasional : membantu mempertahankan fungsi ginjal.
4. Pasang dower kateter.
Rasional membantu proses pengeluaran urine.
Diagnosa: Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan
persarafan pada usus dan rektum.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien tidak
menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi.
Kriteria hasil : pasien bisa BAB secara teratur, abdomen soefl, distensi (-)
Intervensi keperawatan :
1. Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.
Rasional : bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal.
2. Observasi adanya distensi perut.
3. Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT.
Rasional : pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat
trauma dan stress.
4. Berikan diet seimbang TKTP cair
Rasional : meningkatkan konsistensi feces
5. Berikan obat pencahar sesuai program.
Rasional: merangsang kerja usus
Diagnosa: Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan
Tujuan: selama dilakukan tindakan keperawatan gangguan mobilisasi bisa
diminimalisasi sampai cedera diatasi dengan pembedahan.
Kriteria hasil :
Tidak ada konstraktur
Kekuatan otot meningkat
Klien mampu beraktifitas kembali secara bertahap
Intervensi keperawatan :
1. Kaji secara teratur fungsi motorik.
Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum
2. Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan.
Rasional memberikan rasa aman
3. Lakukan log rolling.
Rasional : membantu ROM secara pasif
4. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki.
Rasional mencegah footdrop
5. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling.
Rasional : mengetahui adanya hipotensi ortostatik
6. Inspeksi kulit setiap hari.
Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan
integritas kulit.
7. Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam.
Rasional : berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan
dengan spastisitas.
DAFTAR PUSTAKA
Adhim.2010. Diagnosis dan Penanganan Fraktur Servikal.http/www.fik-
unipdu.web.id.
Davenport, Moira. 2013. Cervical Spine Fracture.
http://emedicine.medscape.com/article/824380-overview
http://www.innerbody.com/anatomy/skeletal/cervical-vertebrae-lateral#full-
description
Larrie, Parker. 2013. Cervical Spine Fractures.
http://www.hughston.com/hha/a.cspine.htm
Sika.2010.Asuhan Keperawatan dengan Pasien Fraktur Servikalis.
http://id.shvoong.com/medicine-and-health/pathology
Windsor, RE. 2013. Cervical Spine Anatomy.
http://emedicine.medscape.com/article/1948797-overview#showall
Yip, Kevin .2010. Cervical Spine Trauma: Dislocation and Subluxation.
http://indonesian.orthopaedicclinic.com.sg/