fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk...

50
KISAH PEMBANGUNAN DALAM REFLEKSI SEJARAH ================== Taufik Abdullah AIPI Reformasi dalam kegelisahan kini Beberapa hari yang lalu saya menerima kiriman Youtube yang menarik. Meskipun sepintas lalu seperti hanya berisi kisah perjalanan seorang wartawan Amerika ke Indonesia, tetapi seketika pesannya tertangkap kiriman ini langsung menggugah perasaan. Sang wartawan ( tentu saja dengan crew tv-ny) datang karena ia sempat melihat siaran TV tentang “an Indonesian smoking baby”, yang katanya telah menjadi ‘ international sensation”. Jadi bisalah dipahami juga kalau Youtube ini dimulai dengan video betapa seorang anak Indonesia merokok dengan “gaya yang canggih”. Rupanya anak yang baru berusia tiga 1

Transcript of fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk...

Page 1: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

KISAH PEMBANGUNAN DALAM

REFLEKSI SEJARAH

==================

Taufik Abdullah

AIPI

Reformasi dalam kegelisahan kini

Beberapa hari yang lalu saya menerima kiriman Youtube yang

menarik. Meskipun sepintas lalu seperti hanya berisi kisah perjalanan

seorang wartawan Amerika ke Indonesia, tetapi seketika pesannya

tertangkap kiriman ini langsung menggugah perasaan. Sang wartawan

( tentu saja dengan crew tv-ny) datang karena ia sempat melihat siaran TV

tentang “an Indonesian smoking baby”, yang katanya telah menjadi ‘

international sensation”. Jadi bisalah dipahami juga kalau Youtube ini

dimulai dengan video betapa seorang anak Indonesia merokok dengan

“gaya yang canggih”. Rupanya anak yang baru berusia tiga tahun ini

menghabiskan dua bungkus rokok sehari. Sang wartawan ini heran juga

sebab telah sekian tahun ia mengalami kegencaran kampanye anti-rokok di

Amerika dan bahkan di mana –mana. Di Amerika boleh dikatakan tidak

ada lagi papan reklame rokok. Harga sebungkus rokok di New York City

tak kurang dari $12.00 atau kira- kira Rp.110 rupiah dan tambah lagi pajak,

$ 1.35. Tetapi di Indonesia seorang anak balita menjadi berita internasional

karena gayanya yang meyakinkan merokok bersama-sama orang-orang

dewasa.

Maka begitulah sang wartawan datang ke Jakarta. Seketika ia keluar

dari terminal airport iapun, katanya, dengan begitu saja merasa seperti “

1

Page 2: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

stepping back in time”. Tiba-tiba ia melihat betapa megahnya iklan rokok

di mana-mana. Ketika perjalanan telah dilanjutkan semakin ia merasakan

betapa hebatnya jaringan pengaruh rokok ini. Di depan sekolah ia melihat

bukan saja betapa megahnya terpampang iklan rokok dengan gambar

Cowboy , yang sudah sekian tahun “absen” di negerinya, tetapi juga penjual

rokok. Dalam wawancara yang diadakannya dengan kelompok anti-rokok ia

mendapat informasi bahwa satu dari empat anak laki-laki yang berumur 13

sampai 17 telah asyik menikmati rokok. Inilah sejenis racun yang dikatakan

seorang ilmuwan, yang ditampilkan dua-tiga dalam Youtube ini, bisa

membunuh satu milyar orang dalam satu abad di seluruh dunia. Delapan

puluh persen dari jumlah ini adalah penduduk dari negara-negara

berkembang. i

Ternyatalah juga bahwa sementara negara-negara maju semakin

berhasil memperkecil pengaruh rokok, di negara berkembang rokok malah

semakin meraja lela. Jadi semakin bisalah dipahami mengapa Philips

Morris membeli Sampurna. Kapitalis Barat rupanya meluaskan jaringannya,

ketika di negerinya sendiri ruangan telah semakin sempit. Tetapi

bagaimanakah masa depan negara berkembang itu. Bagaimanakah masa

depan Indonesia? Tetapi siapakah orang yang terkaya di Indonesia menurut

majalah Forbes ? Bukankah rangking satu dan dua dari orang yang terkaya

itu adalah pengusaha rokok ?

Dalam surat pengantar nya kawan yang mengirim Youtube itu

mengatakan betapa ia harus menahan tangis melihat tayangan tentang kisah

rokok itu. Ia membayangkan masa depan yang gelap jika saja semuanya

berjalan seperti biasa. Tiba-tiba saya mersakan juga dilemma dalam

masyarakat kita. Ke manakah petani tembakau dan para perajin rokok

mencari kehidupan, jika rokok harus dibatasi, apalagi dilarang?

2

Page 3: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

Mungkin nasib saya lagi apes sepagi itu. Baru saja selesai melihat

dengan penuh perhatian Youtube yang berkisah tentang rokok ini berita lain

telah menunggu dalam email saya. Kali ini kisah tentang rekaman tv BBC,

yang mengisahkan keterharuannya seorang binman, pemungut sampah ,

London, yang disponsori datang ke Jakarta untuk melihat dan bahkan

mengecap kehidupan “kolega” sesama pemungut sampah.Betapa terharunya

sang binman London ini. Sering kali ia tak bisa menahan air matanya.

Tidak sanggup ia menyampaikan perasaannya setelah melihat dan mencoba

ikut dalam kemiskinan koleganya ini. Ia tidak bisa membayangkan

kehidupan seperti yang dialami sang pemungut sampah Jakarta yang telah

dianggapnya sebagai teman.

Bagaimanakah perasaan ironistentang berbagai aspek kehidupan

Jakarta, bahkan nuga kota-kota besar lain tak akan terbayangkan setelah

siaran tv BBC ini selesai dibaca. Sementara pedagang kaki lima – mereka

yang mungkin bisa memberi kesempatan bagi sang pemungut sampah untuk

sekadar belanja bagi keperluannya, betapapun mungkin secuil saja-- harus

selalu siaga menghadapi kemungkinan diusir secara baik-baik atau dengan

paksaan , mall dan supermarket yang serba canggih telah membuka pintu

mereka dengan penuh kemegahan. Hampir di setiap mall, yang kemewahan

dan kecanggihannya tidak kalah dari mall manapun di luar negeri, beroperasi

juga toko-toko eksklusif penjual branded items. Maka siapakah yang akan

heran kalau sempat juga membaca hasil suatu survey yang mengatakan

bahwa sebagian terbesar, sekitar 80 per sen, dari pengunjung mall adalah

mereka yang ingin jalan-jalan saja?. Kalau begitu diperlukankah imajinasi

yang canggih untuk menebak bahwa yang berbelanja di toko-toko mewah itu

adalah mereka yang sudah sangat dan bahkan teramat jauh berada di atas

3

Page 4: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

garis kemiskinan. Mereka adalah yang terasuk kategori kelas sosial yang

teramat berada.

Semakin terasalah betapa gambaran sepintas tentang kota besar

bukan sekadar mengatakan bahwa kemiskinan masih meraja lela , tetapi juga

ketimpangan sosial-ekonomis semakin memperlihatkan sosoknya pula.

Betapapun konon “kelas menengah”—suatu ukuran berdasarkan tingkat

kemampuan ekonomis-- telah semakin membesar juga, ketimpangan sosial

ekonomis yang ekstrim pun telah pula semakin menjadi bagian dari realitas

kehidupan bangsa. Apalagi kemiskinan yang tidak kalah ekstrimnya masih

merupakan realitas yang tidak bisa ditutup-tutupi betapapun statistik

mungkin bisa memberikan gambaran yang lebih optimistis. Maka siapakah

yang tidak geleng-geleng kepala kalau perbandingan kekayaan antara

mereka yang sangat berpunya dengan mayoritas penduduk dengan jelas

memperlihatkan betapa negara yang menjadikan “keadilan sosial” sebagai

salah satu landasan kehadiran negara memperlihatkan ketimpangan sosial-

ekonomis yang semakin eksrim. Konon sekarang di Amerika Serikat

kekayaan rata-rata dari 500 orang terkaya adalah 20.000 kali kekayaan

kalangan biasa. Di Singapore , kata studi ini, kekayaan dari 500 orang

terkaya itu 25.000 kali lebih besar dari average citizen of Singapore. Jika

begitu bagaimanakah perbandingan kekayaan perseorangan di Indonesia?

Maka tercatatlah bahwa jumlah kekayaan rata-rata dari masing-masing 500

anggota oligarki Indonesia itu adalah 600.000 kali kekayaan average

Indonesian.1 Jadi janganlah heran kalau terasa sekali betapa orientasi politik

Indonesia sekarang—setelah Reformasi politik dilancarkan—semakin

1 Jeffrey A.Winters, “ If Indonesians are going to find a candidate to ooppose the oligarchs, they need to start organizing now”, i http://www.youtube.com/watch?v=DivWK3f2TpA&feature=youtube-qdata player

4

Page 5: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

dikuasai, langsung ataupun dari belakang layar saja -- oleh para oligarki

yang teramat kaya itu.

Dalam konteks ketimpangan yang sedemikian mencolok ini perlukah

diherankan kalau Indeks Pembangunan Manusia semakin melorot saja?

Dalam release-nya UNDP 2 menunjukkan bahwa Indonesia sekarang

( 2011) berada pada ranking 124 (index 0,617) dari 187 negara. Jadi turun

dari tahun 2010 ketika Indonesia berada pada ranking 108 dari 169 negara.

Dengan ini Indonesia berada di urutan ke lima di negara ASEAN—

Singapore , 26 ( 0,866) Brunei Darusssalam 33 (0,838), Malaysia 61(0,761),

Thailand, 103(0,682), dan Filipina 112 (0,644).Hanyalah Vietnam ( urutan

120), Laos ( 138), Kamboja (139) dan Myanmar ( 112) yang berada di

bawah Indonesia. Ranking yang disampaikan UNDP itu memperlihatkan

juga sebuah ironi. Ternyata penurunan Index Indonesia terutama terjadi di

bidang pendidikan.Pada hal, sesuai dengan ketentuan UUD 1945 ( hasil

amandemen), anggaran pendidikan adalah 20% dari APBN. ii Meskipun –

sebagaimana ingin ditonjolkan pemerintah—landasan ukuran itu adalah

lamanya bersekolah, yaitu rata-rata hanya 5,8 tahun=-- jadi belum lulus

SD-- bukankah hal ini dengan jelas membayangkan ketimpangan sosial yang

cukup ekstrim juga? Semakin nyatalah sekolah-sekolah swasta yang

eksklusif dan perguruan menegah dan tinggi, apalagi sekolah ke luar

negeri, hanyalah milik kelompok sosial yang semakin ekskluisif pula.

Setelah mengalami berbagai macam cobaan politik, sosial, dan

ekonomi , mengapakah struktur kekinian Indonesia masih begitu-begitu saja.

Adanya ketimpangan dalam ketidak-adilan sosial-ekonomi dan bahkan juga

--sebagaimana index pendidikan dan kisah balita merokok terasa sebagai

2 Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Anjok ( penulis : Cornelius Eko Susanto), Media Indonesia, 4, Nov. 2011ii Media Indonsia, 4, 11, 2011

5

Page 6: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

menggelapkan prospek mas depan? Apakah masa kini sedemikian

pentingnya sehingga masa depan hanyalah milik mereka yang telah sanggup

meniti jenjang kelas ekonomi yang memadai saja?

Kalau observasi yang selintas dan index belum mencukupi untuk

memahami situasi yang sedang dihadapi bangsa maka renungkan sajalah

makna dari berbagai peristiwa yang kini membelit kenangan dan bahkan

masih bagian dari pengalaman bangsa. Meskipun konon kabarnya mata

pelajaran geografi, seperti halnya—dan, apalagi— pelajaran sejarah, tidak

lagi merupakan hal yang begitu “dianggap” dalam lembaga pendidikan

rendah dan menengah, namun pengetahuan geografi di kalangan

masyarakat umum tampaknya senantiasa bertambah juga bahkan semakin

cepat saja. Siapakah kini yang tidak pernah mendengar nama-nama Puncak

Jaya, Sape, Bima, dan Mesuji ( yang rupanya berada di dua propinsi ,

Sumatra Selatan dan Lampung), dan Sidomulyo. Apalagi Cikeusik dan

tentu saja Cirebon, jangankan Bali , bahkan juga Bireun dan Aceh Besar.

Malah Sumenep pun menampilkan dirinya dengan gegap gempita di atas

pentas persada tanah air dengan gaya yang sama tetapi dengan skenario

yang berbeda. Tentu nama Bekasi telah umum dikenal. Tetapi berapa jam-

kah jalan raya Bandung-Jakarta kalau lewat Bekasi harus ditempuh? Dua

tiga jam atau malah, ketika pemogokan itu terjadi, sepuluh jam atau lebih?

Di waktu sesuatu yang tidak terbayangkan terjadi di jalan raya pada

pertengahan Januari (2012) puluhan ribu buruh dengan gegap gempita

menghambat kelancaran jalan raya. Mereka menuntut gaji yang mereka

anggap pantas.

Kesemua nama-nama tempat ini seakan-akan dengan bangga

menampakkan diri sejajar dengan nama Ambon, Ternate, Halmahera, Palu,

Sampang, Sampit, bahkan Aceh yang telah lebih berhasil menancapkan

6

Page 7: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

kehadirannya dalam kesadaran bangsa. Kini nama-nama itu mulai setahap

demi setahap “mengundurkan diri” dari berita headline , setelah

“memukau” perhatian bangsa pada tahun-tahun peralihan abad dan

melanjutkannya untuk beberapa lama ke abad 21.

Seketika nama-nama tempat itu disebut berbagai corak kenangan pun

terhampar dalam struktur ingatan atau bahkan dalam pengalaman batin yang

tak mudah terkikis. Nama-nama tempat itu tampil sebagai simbol dari

berbagai permasalahan dan peristiwa yang mengenaskan yang cukup

dirumuskan dalam satu ungkapan saja : konflik internal. Betapa tragis

ketika reformasi, yang menginginkan kembalinya tatanan negara yang

demokratis digairahkan kembali, di saat itu pula beberapa daerah dilanda

konflik horizontal, yang hanya disebabkan oleh kejadian yang semula

sepele saja. Maka begitulah ketika keresahan perseorangan dan sosial

yang semula diransang ketimpangan ekonomis yang dirasakan tidak adil dan

tidak semestinya telah tersalin dengan begitu saja ke dalam bahasa agama

dan etnis, konflik berdarahpun tidak terelakkan dan bahkan dengan begitu

saja menyebar entah ke mana-mana. Sekian banyak korban yang jatuh dan

sedemikian dalam pula dendam yang tertanam, sebelum akhirnya

ketenganan relatif bisa terpulihkan.

Konflik etnis-keagamaan ini masih membekas ketika semangat

intoleransi pada perbedaan dalam pemahaman terhadap keyakinan agama

yang sama-sama dianut menampilkan wajahnya yang ganas. Berapa

orangkah yang terusir dari kampung halamannya dan dari masjidnya di

Jawa Barat, Lombok dan sebagainya? Bahkan kemudian juga di Madura.

Tiba-tiba ethnic jokes tentang Madura yang serba polos dan lugu kehilangan

kelucuannya. Maka siapakah yang akan heran kalau ada lembaga penelitian

yang mencatat betapa beberapa daerah seakan-akan berlomba-lomba dalam

7

Page 8: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

menunjukkan sikap intoleransi-nya terhadap perbedaan? Dan, pemerintah

hanya sekadar geleng-geleng kepala seakan-akan semuanya hal yang wajar

saja. Bahkan ada organisasi yang katanya membela agama dengan gagah

berani menampilkan diri sebagai barisan vigilanté. Demi terwujudnya

tatanan mereka yang diinginkan, anggota organisasi ini berbuat kekerasan

tanpa hak, etika kepatutan dan dengan wajah dan gaya penuh kebencian

dalam konteks sebuah negara hukum.

Kalau kelompok vigilanté telah disebut, bagaimanakah membendung

ingatan pada para teroris, yang memakai nama Allah tetapi melakukan

tindakan kekejian terhadap kemanusiaan. Kalau operasi pembunuhan di Bali

dan Jakarta mereka lakukan di restoran, cafė dan hotel, yang banyak

dikunjungi “orang asing” yang non-Islam, bisa dianggap kebodohan yang

keji, maka penjelasan apakah yang harus diberikan jika perbuatan teror itu

dilakukan di masjid, ketika orang sedang shalat, seperti yang terjadi di

Ceribon?

Nama-nama georafis itu menunjukkan corak konflik yang berbeda-

beda di saat penguasaan lahan yang semakin sempit telah menjadi taruhan.

Ketika negara—demi pembangunan-- telah membuka kesempatan bagi

pengolahan perkebunan besar atau pertambangan dan bahkan melindungi

operasi keduanya di saat masyarakat telah semakin gelisah dan merasa

dirugikan, maka benih-benih konflik pun tertanam dan semakin membesar

begitu saja. Maka ketika waktunya telah sampai dan di saat rasa terpingirkan

yang tidak adil sudah tidak bisa ditahan lagi maka benih konflik yang

tumbuh itupun meledak. Di waktu itulah pula masyarakat semakin

menyadari bahwa pemerintah rupanya sama sekali tidak memperdulikan

nasib dan keresahan mereka dan bahkan memberi kesan yang jelas betapa

negara lebih cenderung membela perusahaan besar itu. Maka setelah korban

8

Page 9: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

satu-satu mulai berjatuhan, sedangkan tanda-tanda penyelesaian masih

belum juga membayang ,siapakah yang secara moral bisa menyalahkan bila

kenekatan masyarakat meledak begitu saja? Siapakah pula yang akan

disalahkan kalau kantor Bupati Bima dibakar masyarakat setempat dan siapa

pulakah yang akan dihukum kalau masyarakat mengarahkan kemarahannya

kepada pihak keamanan?

Ternyata hutan bukanlah lahan yang dengan begitu saja bisa

dieksploitasi tanpa memikirkan masyarakat sekitar dan kelestarian

lingkungan. Ternyata pula betapa keharusan dan bahkan tak jarang,

keserakahan, finansial kekinian bisa mengancam masa depan,.“Indonesia

adalah salah satu negara di dunia yang mengalami resource curse. “, kata

Lex Riefel3, seorang ahli ekonomi dan politik Amerika Serikat. “ Indonesia”,

katanya selanjutnya, “ tidak menangani sumber daya alamnya dengan

efektif , negara ini justru menghancurkan alamnya dengan efektif, negara ini

menghancurkan alam dengan over-eksploitasi, dan tidak menangani

sumber daya alam untuk kepentingan rakyat keseluruhan....Indonesia akan

menjadi masalah baru bagi Asia”iii Kalau telah begini haruskah Pasal 33 ayat

2 dari UUD, yang konon ditulis langsung oleh Bung Hatta, dilupakan saja?

Kalau akan tidak ada bukankah sebaiknya sistem kenegaraan secara terus

terang dinyatakan bersifat kapitalistik murni?

Kisah tentang situasi masa kini belum selesai juga. Siapakah yang

tidak kenal dengan Gayus Tambunan, pegawai muda usia yang bisa

mempermalukan pajak, kejaksaan, kehakiman, bahkan juga imigrasi? Siapa

pulakah yang tak kenal dengan M.Nazaruddin dan berbagai nama yang

disebutnya? Bank apakah yang lebih terkenal daripada Bank Century,

3 “Indonesiia Bisa Jadi Masalah Baru Bagi Asia”, VIVAnews,, 30 Januari,2012 iii Wawanca & Analisis. “Indonesia Bisa Jadi Masalah Baru bagi Asia”. VIVA NEWS, Senen 30 Januai,2012

9

Page 10: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

meskipun bank ini telah berganti nama? Akhirnya wisma apakah yang

belum selesai tetapi malah langsung terkenal, kalau bukan Wisma Atlet?

Apapun komentar dan bahkan pandangan yang akan diberikan, namun

kesimpulan yang hakiki hanya satu saja. Betapa maraknya kecamuk korupsi

sekarang, meskipun gerakan Reformasi dilancarkan dengan landasan

pembasmian KKN di persada Indonesia.

Demokrasi dan otonomi daerah adalah antithesis dari sistem otoriter

yang sentralistis , betapapun dibungkus dengan ideologi yang bercorak

seperti apapun. Tetapi apakah yang akan dikatakan kalau ketika otonomi

dan demokrasi ,yang segera dilancarkan begitu kekuasaan otoriter

ditumbangkan, ternyata memberi pintu bagi masuknya angin konflik lokal,

demi kekuasaan? Dalam suasana inilah konflik lokal terjadi di beberapa

tempat. Para pendukung calon yang dijagokan mengamukbegitu saja ketika

tokoh mereka ternyata kalah. Atau, bahkan munculnya ancaman kekerasan

yang tidak terlalu terselubung bilamana pemilihan kepala daerah dilancarkan

ketika hasrat monopoli kelompok seperti tidak tersalurkan. Maka sebuah

pertanyaan yang dilandasi sinisme mungkin saja bisa tertanyakan. Setelah

sekian lama – sekitar empat puluh tahun—berada dalam sistem otoriter dan

sentralistis , sudah sampai di manakah kesiapan bangsa untuk kembali

berdemokrasi?

Meskipun mungkin saja tidak membayangkan realitas yang

sesungguhnya , tetapi gugatan yang mengatakan bahwa Indonesia tidak

obahnya dengan pesawat terbang yang mempunyai “autopilot” atau kapal

tanpa nachkoda cukup merangsang pemikiran juga. Sinisme ini terasa

mengena karena bukankah sering juga masyarakat menemukan situasi

ketika kehadiran tidak dirasakan,meskipun sangat diperlukan?. Di manakah

representasi kehadiran negara ketika buruh dan majikan berhadapan muka

10

Page 11: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

sehingga mengganggu ketertiban umum? Di manakah pulakah negara

ketika penganiayaan pada golongan yang dianggap tidak sejalan dengan

keharusan dan perilaku keagamaan yang umum berlaku dengan begitu saja

diserang dan bahkan dianiaya? Karena itu bisa jugalah dipahami kalau ada

survey yang memperlihatkan betapa merosotnya penghargaan masyarakt

terhadap hampir semua lembaga kenegaraan.Maka haruskah masyarakat

disalahkan kalau bahkan lembaga hasil pilihannya sendiri, seperti DPR,

bahkan juga beberapa DPRD, dijadikannya sebagai bahan gunjingan yang

sinis?

Harapan, sukses dan kegetiran

Dalam beberapa pidatonya yang disampaikan ketika ia masih seorang

pemimpin pergerakan kebangsaan, Sukarno, sang Proklamator,

membayangkan bahwa kemerdekaan adalah “jembatan” dari masa kini yang

gelap gulita ke masa depan yang cemerlang. Masa depan, yang dibayankan

itu , adalah masa sekarang yang sedang dijalani. Tetapi di manakah suasana

yang cemerlang itu bisa didapatkan? Apakah yang telah dilalui bangsa dan

negara ini sejak cita-cita , sebagaimana yang dirumuskan dalam Pembukaan

UUD, diperjuangan dengan penuh pengorbanan dan kepahlawnan?

Setelah sekian tahun berada dalam suasana dan gelora revolusi untuk

mempertahankan dengan “darah dan airmata” Proklamasi kemerdekaan

bangsa akhirnya pada tanggal 27 Desember 1949 mendapat pengakuan

resmi. Seperti tba-tiba saja negara-bangsa yang baru inipun mengalami

suasana ketika —sebagaimana dikatakan Herbert Feith 4-- “nationalism

was at its zenith”.Optimisme akan masa depan telah terbayang. Kedudukan 4 Herbert Feith, The Decline of Indonesian Constitutional Democracy, Ithaca, New York : Cornell University Press, 1964.

11

Page 12: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

Indonesia kini telah sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Ketika itulah pula

sekelompok seniman dengan penuh percaya diri membuat sebuah

manifesto, “ Kami adalah ahli waris kebudayaan dunia yang syah”. Tetapi

mengapa tidak? Bukankah mereka adalah warganegara dari sebuah negara

demokratis yang sedang merintis masa depan? Dalam waktu yang teramat

singkat keutuhan Republik Indonesia Serikat—sebuah negara hasil

kompromi—terancam oleh gerakan bekas KNIL di Jawa Barat dan Sulawesi

Selatan. Tetapi ancaman yang meninggalkan korban ini hanya mempercepat

perubahan RIS untuk kembali menjadi negara kesatuan. Sementara itu

universitas-universitas mulai berdiri-- bukan saja di Jawa, tetapi juga d

Sumatra dan kemudian di Sulawesi dan Bali. Betapapun berbagai corak

ancaman bagi ketenteraman publik masih membayang, namun masa depan

yang cerah telah mulai membayang dalam konteks struktur kenegaraan yang

bercorak demokrasi parlementer.5

Berbagai problem yang berasal dari masa revolusi nasional ternyata

harus juga segera dihadapi dan diselesaikan. Kelompok politik yang sempat

terpisah selama revolusi kini menuntut keabsyahan kehadiran dirinya, maka

Darul Islam pun menjadi saluran dari keresahan politik di beberapa daerah

( Jawa Barat, Aceh, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan). Dalam suasana

ini pula gerakan separatisme, Republik Maluku Selatan ,mengancam

keutuhan negara. Sementara itu kedudukan bekas pejuang dalam konstelasi

negara yang ingin melakukan modernisasi ketentaraan pun harus pula

diatasi. Ketika parlemen terasa seperti menyuarakan kepentingan partainya,

maka bagaimanakah akan mengelak dari persaingan partai dengan

kepentingan modernisasi ketentaraan?

5 Bagian ini berdasarkan Taufik Abdullah, Indonesia. Toward Democracy. Singapore: ISEAS, 2009

12

Page 13: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

Ketika sekian banyak tuntutan yang saling bertentangan harus

dihadapi kelangsungan hidup parlementarisme pun menghadapi kenyataan

yang pahit. Perbenturan ideologi dalam merintis hari depan yang diinginkan

tidak bisa dengan begitu saja terhindarkan,betapa pun harapan akan masa

depan tidak pernah digoyahkan. Pemilihan Umum bahkan memperlihatkan

betapa Indonesia sesungguhnya terdiri atas berbagai unsur politik dan

kultural dengan hasrat kekinian aspirasi akan masa depan yang berbeda.

Maka kestabilan politik pun menjadi taruhan yang terelakkan. Ketika

percaturan politik telah didampingi kemacetan dalam menentukan dasar

negara, sedangkan pembangkangan daerah masih belum juga teratasi,

apalagi Irian Barat masih berada di bawah kekuasaan Belanda, suatu

initiatif yang berani rupanya diperlukan. Tetapi di saat keberanian ini

diwujudkan ketika itu pula pelanggaran keharusan konstitusi dilakukan.

Seketika ini terjadi maka kegelisahan politik pun mengalami trasnformasi

menjadi pembangkangan. Seketika intervensi asing mulai bermain integritas

keutuhan negara pun menjadi taruhan.

Ketika itulah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli

1959. Dengan argumen kembali pada “kepribadian nasional” maka sistem

parlementer yang dikatakan “tradisi liberal Barat” pun ditinggalkan.

Keharusan perubahan ditekankan lagi karena , sebagaimana selalu

dikampanyekan “revolusi belum selesai”. Kembali ke UUD 1945 adalah

juga sesungguhnya “ the rediscovery of our revoution”. .Tetapi seketika itu

pula kehidupan demokrasi menemui ajalnya, meskipun namanya

diperabadikan juga dalam istilah “Demokrasi Terpimpin”

Begitulah masa demokrasi parlementer yang penuh idealisme tentang

hari depan bangsa berakhir sudah. Idealisme sistem politik yang demokratis

telah terbentur pada pertentangan ideologi dan persaingan politik serta

13

Page 14: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

kegelisahan daerah yang tidak mudah teratasi. Pemilihan Umum , yang

umum dianggap paling bersih, hanya memperlihatkan kompleksitas dari

keragaman aliran dan aspirasi politik. Tidak banyak memang pembangunan

konkrit yang bisa ditinggalkan masa yang penuh idealisme dan pertentangan

politik dan ideologi ini. Keragaman konflik yang multi-dimensional

rupanya terlalu berat untuk diatasi dengan kesabaran. Hanya saja seketika

Demokrasi Terpimpin telah berdiri, di waktu itu pula benih ke arah

tumbuhnya negara yang serakah disemaikan. Secara bertahap tetapi dalam

waktu yang sangat singkat negara pun menampilkan dirinya bukan saja

sebagai pemegang hak tunggal dari sistem kekuasaan dan perekonomian,

tetapi juga pemilik hegemoni wacana dan penentu corak ingatan kolektif

bangsa. Dengan menjadikan dirinya sebagai pusat kekuasaan negara yang

syah—Presiden dan Panglima Tertinggi-- dan sekali gus personifikasi dari

ideologi yang dipelihara– Pemimpin Besar Revolusi dan Penyambung Lidah

Rakyat—Presiden Sukarno bukan saja meniadakan keberlakukan konsep

Trias Politica—pembagian tugas kenegaraan atas eksekutif, legislatif, dan

judikatif -- tetapi juga melihat dunia dengan kaca mata konflik. Maka prinsip

ideologis akan ketidak-mungkinan terjadinya persesuaian yang damai antara

New Emerging Forces dengan Old Established Forces dijadikan sebagai

landasan dalam memahami realitas dan dinamika politik.

Dalam suasana pemikiran inilah semangat revolusi yang tanpa henti

senantiasa dikobarksan. Dengan landasan pemikiran ini pula program

pembangunan yang lebih dipentingkan ialah yang bercorak Nation and

Character building. Untuk keperluan inilah indoktrinasi anak-bangsa

diperlukan dan karena ini pula berbagai simbol atau “mercu suar”

kebanggaan bangsa dibangun. Gedung DPR ( semula untuk gedung

CONEFO), monumen nasional, masjid Istiqlal, bahkan juga kota

14

Page 15: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

Palangkaraya adalah contoh dari visi Bung Karno untuk mendatangkan

kebanggaan Indonesia sebagai bangsa yang besar. Hanya saja kesemuanya

baru bisa diselesaikan ketika masa Demokrasi Terpimpin telah berakhir dan

zamannya telah disebut sebagai periode Orde Lama. Tetapi sementara itu

kemerosotan ekonomi dan prose penurunan kesejahteraan masyarakat

berjalan mulus saja. Antri untuk mendapatkan secuil keperluan pokok

seakan-akan tampil sebagai salah satu unsur budaya bangsa.

Dalam suasana serba revolusioner tetapi didampingi kemunduran

kesejahteraan ekonomis inilah pula politik Belanda untuk menjadikan Irian

Barat sebagai “sebuah negara merdeka” harus dihadapi. Dengan “tiga

komando rakyat “(Tritura) persiapan perang semesta pun mulai dijalankan.

Tetapi intervensi PBB ( dan Amerika Serikat) kemungkinan perang

Indonesia-Belanda bisa dihalangani dengan diadakannya perjanjian New

York ( 1962) .Indonesiapun diberi tugas untuk menjalankan trusteeship

PBB atas Irian Barat sampai diadakannya Act of Free Choise pada tahun

1969.

Tahun 1962 adalah tahun isimewa. Sebab di tahun ketika Indonesia

dengan gemilang berhasil sebagai tuan rumah Asian Games . Tidak pernah

sebelum dan sesudah itu prestasi internasional atlet-atlet Indonesia sehebat

yang dicapai ketika Jakarta menjadi tuan rumah pekan olah raga Asia ini.

Terasa juga betapa tahun 1962 ini sebagai “ a golden year” .Zaman baru

bagi kehidupan bangsa mulai membayang. Tetapi betapa cepanya hari

berlalu. Dalam waktu yang teramat singkat tahun 1962 berubah saja

menjadi “ the year of wasted opportunities”. Dalam tahun ini pula politik

konfrontasi atas pembentukan Malaysia dijalankan, dengan penuh semangat.

Tetapi “konfrontasi”, yang dilancarkan Indonesa sebagai pelopor gerakan

New Emerging Forces bukan saja menyebabkan Indonesia merasa perlu

15

Page 16: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

memencilkan dirinya dari pergaulan internasional dan membiarkan benih-

benih perpecahan dalam tubuh bangsa tumbuh semakin subur.

Maka ketika waktunya telah datang, “malam petaka” itu terjadi dan

tragedi yang teramat memilukan segera pula berkecamut dalam kehidupan

bangsa. Siapakah yang tak tergencil untuk berkhayal betapa peristiwa yang

terjadi di peralihan malam 30 September jalan 1 Oktober subuh di tahun

1965 itu tidaak pernahj terjadi? Bagaimanakah mengelak dari pengandaian

khayal kesejarahan ( “if in history”) tentang situasi bangsa yang tidak

dihantui oleh hari-hari dan bulan-bulan penuh konflik dan pembunuhan

yang teramat memilukan itu?.Tetapi peristiwa yang memilukan adalah

realitas yang tak terpungkiri. Peristiwa itu benar-benar terjadi dan akibatnya

Demokrasi Terpimpin pun tersingkir ke dalam keranjang sejarah. Bapak

Bangsa pun dibiarkan dalam kesendiriannya, sebelum akhirnya Sang Maha

Pencipta menjemputnya. Sementara itu Orde Baru telah menyatakan

kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan

kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila.

Dengan berakhirnya Demokrasi Terpimpin, yang telah disebut Orde

Lama, masa “ the rediscovery of our revolution” pun tamatlah sudah dan

perode yang disebut “ pembangunan nasional” bermula. Dunia tak lagi harus

dilihat sebagai medan pertentangan tanpa henti antara NEFOS dan

OLDEFOS, tetapi calon pasar dan partner dalam pembangunan dan

perkembangan ekonomi. Dengan begini penampilan yang serba

revolusioner pun kehilangan daya tarik. Dalam suasana ini tiada lagi politik

“konfrontasi” yang harus dilakukan. Secara ideologis dan politik kedudukan

para revolusioner mulai digantikan para teknokrat—profesi yang baru

diperkenalkan dalam kamus politik populer. Masa developmentalisme yang

teknokratis pun bermula meskipun berada di bawah dominasi militer yang

16

Page 17: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

ber-dwifungsi. Tetapi dalam suasana ini konsep “kepribadian nasional”

dipertahankan , meskipun dengan ungkapan “jati diri bangsa” Bukankah

dengan argumen keaslian budaya , bukannya tiruan dari dunia Barat,

kekuasaan yang otoriter bisa dipertahankan?

Begitulah dalam perjalanan waktu kekuasaan yang semula bercorak

“otoriter yang revolusioner” kini semakin menekankan developmentalisme

yang ditopang oleh sistem kekuasaan yang otoriter dan sentralistis. Tiada

lagi “komando revolusioner”yang harus diikuti karena “program

pembangunan” yang sentralistis semakin menampakkan diri. Segala

keharusan prosedural UUD 1945 pun diikuti—pemilihan umum, GBHN,

Presiden dipilih MPR – tetapi kata akhir berasal dari belakang layar. Sang

Mandataris MPR adalah sumber kekuasan yang otentik. Dalam situasi inilah

“kesatuan dan persatuan” bangsa dijaga dengan keharusan berlakunya azas

tunggal, Pancasila, bagi semua organisasi sosial, dan disederhanakannya

sistem kepartaian yang hanya terdiri atas kelompok “spritual-material”, PPP,

dan “material-spiritual, PDI, dan Golkar, partai yang bukan partai,sebab

“electoral machine” dari pemerintah. Untuk menjamin kesemunya ini

“penataran penghayatan dan pelaksanaan Pancasila” pun dijalankan. Semua

murid, pelajar dan mahasiswa,pegawai,tentara dan aktivis organisasi dan

kepartaian diharuskan mengikuti P-4.. Maka BP7 pun mempunyai cabang

sampai ke daerah tingkat II. Pada puncak perkembangannya sistem

kekuasan tidak lagi hanya terletak pada uniformitas dan sentralisasi

pemerintahan daerah , tetapi juga menjadikan masyarakat desa sebagai

bagian dari sistem pemerintahan yang telah diseragamkan. Bukankah dengan

keseragaman yang terpusat pembangunan nasional yang dikatakan

“berkesinambungan” lebih mudah diselenggarakan?

17

Page 18: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

Bagi Orde Baru “pembangunan nasional” bukan saja sebuah

landasan legitimasi dari kehadirannya tetapi juga arah langkah politik yang

diayunkan dengan penuh perhatian. Maka BAPPENAS pun memainkan

peranan penting, seperti juga GBHN selalu merupakan tugas utama MPR,

meskipun draftnya telah lebih dulu disiapkan team ahli. Setiap departemen,

apalagi universitas, harus mempunyai pusat-pusat penelitian dan

pengembangan. Setiapdaerah pun harus memounyai BAPPEDA.

Pembangunan nasional bukan saja program yang harus dijalankan tetapi

bagi Orde Baru adalah juga landasan ideologis dari legitimasi kehadirannya.

Maka, apapun yang hendak dikatakan tentang regim di bawah

kepemimpinan Presiden Soeharto ini, ketika semua telah berlalu, harus

diakui juga bahwa Orde Baru, adalah rezim yang mengubah peta Indonesia

seacra dramatis. Dalam masa kekuasannya kota-kota baru, baik yang

merupakan satelit dari kota lama, maupun yang bukan – seperti Batam,

umpamanya—didirikan dan bahkan juga berkembang. Sementara itu kota-

kota lama bertambah ramai dan semakin menjadi pusat perekonomian bagi

daerah sekitarnya. Kota-kota inipun semakin besar dan modern juga.

Jaringan jalan raya dan jembatan dan seterusnya bertambah luas. Dalam

masa Orde Baru pula hubungan antar daerah , dari yang terujung Barat

sampai terujung Timur, terjadi. Naik pesawat terbang semakin menjadi hal

yang rutin dan semakin penumpangnya semakin cenderung pula

meninggalkan batas-batas kelas sosial ekonomi. Di masa Orde Baru pula

Indonesia mendapat penghargaan internasional karena berhasil menjadi

negara yang swasembada beras serta pelaksana program keluarga berencana

yang sukses. Jaringan sekolah meluas ke pelosok-pelosok. Di setiap

propinsi, bahkan di sebagian ibukota kabupaten berdiri universitas atau

perguruan tinggi lainnya, baik milik pemerintah ataupun swasta. Puskemas

18

Page 19: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

dan Posyandu tersedia di hampir setiap pelosok yang strategis bagi

masyarakat desa dan kampung di pinggiran kota. Sementara itu GNP pun

rata-rata naik 7 per sen per tahun. Para peninjaupun asing tanpa ragu-ragu

menyebut Indonesia sebagai salah satu the emergimg Asian Tigers.

Hanya saja di balik keberhasilan ini corak lain dari perkembangan dari

perkembangan sosial terjadi juga. Setelah perdebatan antara pilihan

“persamaan”, equity, dan “pertumbuhan” , growth, atau, dalam alur wacana

lain , “adil” atau ”makmur” diselesaikan dengan pilihan yang tegas pada

alternatif yang kedua dan keyakinan akan terjadinya trickle down effects

telah pula semakin dimantapkan , maka dinamika sosial-ekonomi yang tak

diucapkan,tetapi mudah diramalkan ,terjadi begitu saja. Kemakmuran

rupanya lebih sering bertengger di atas dengan curahan yang terbatas ke

bawah. Dengan begini negara bukan saja semakin bisa memperkuat dirinya,

sehingga hampir tak mungkin digoyah, tetapi juga semakin menjadikan

dirinya sebagai pendukung pertumbuhan oligarki, yang merelatifkan batas-

batas antara kekuasan politik dan penguasaan kapital. Dengan begini

pelebaran jarak kelas sosial pun semakin menunjukkan bentuknya. Ketika

batas-batas kepatutan tradisional, yang disimbolkan dalam ungkapan

“negara kekeluargaan”, telah diwujudkan dalam kecenderungan untuk

merelatifkan batas-batas keharusan negara modern, yang bertolak dari

kepastian hukum, maka praktek KKN pun tak terhindarkan. Maka proses

pembentukan dan peneguhan kekuasaan oligarki pun terjadi secara alamiah

saja. Maka begitulah dalam proses pertumbuhannya Orde Baru , yang ingin

menjalankan UUD 1945 secara murni dan menjadikan Pancasila sebagai

“azas satu-satunya” telah tergelincir pada sistem oligarki,meskipun sejauh

mungkin masih mencoba bertindak sebagai pemabawa sistem enlightened

19

Page 20: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

despotism. Orde Baru mencoba berbuat baik pada rakyat, tetapi tanpa

keikut-sertaan rakyat

Otoritarianisme dan sentralisme yang ditempa oleh semangat

developmentalisme yang teknokratis ternyata adalah perjudian yang mahal

juga jika dipakai dalam usaha menghadapi masa depan , yang hanya bisa

diperkirakan , tetapi tidak kepastian. Perjudian itu semakin serius juga

karena senantiasa dipelihara dengan penguasaan sistem wacana dan makna

—hegemony of discourse and meaning . Dalam tradisi yang dipelihara ini

tiada pemikiran tantangan yang dibiarkan bisa bersuara apalagi mencoba

menampilkan diri sebagai alternatif yang syah dalam percaturan pemikiran

dan perumusan strategi pembangunan. Maka begitulah ketika semuanya

telah terpusat pada suatu titik kekuasaan dan di waktu pemikiran hanya

dianggap berharga kalau sesuai dengan landasan asumsi yang telah

diperabadikan maka ketergelinciran dalam menjawab tantangan yang

berada di luar paradigma yang dianggap syah terjadi begitu saja. Apalagi

dalam perjalanan waktu kebuntuan dalam kreativitas bukan saja

menimbulkan kebosanan intelektual, tetapi juga membekukan imanjinasi di

saat tantangan yang di luar skenario terhampar di depan mata dan bahkan

memasuki relung-relung kehidupan sosial -ekonomi. Ketika hal ini terjadi,

skenario kejatuhan pun dengan cepat bermain di hadapan mata. Inilah yang

terjadi ketika krisis moneter yang mula-mula melanda Thailand tetapi datang

dengan kekuatan yang masif ke Indonesia. Krismon –pun menjadi cambuk

untuk membangunkan kekuatan massa. Dengan dimotori para mahasiswa

dan kaum terpelajar lainnya akhirnya Orde Baru tidak mempunyai pilihan

sangat terbatas. Meskipun dipilih untuk ke tujuh kalinya sebagai Presiden,

dengan suara mayoritas yang teramat mutlak, lengser keprabon pun tak

terhindarkan. Hanya saja ketika Presiden Soeharto akhirnya meletakkan

20

Page 21: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

jabatan, tetapi hasratnya untuk menjadi pandito tidak kesampaian. Indonesia

pun memasuki masa reformasi. Orde baru telah berakhir, setidaknya

begitulah terungkap dalam sistem politik.

Tetapi tradisi politik yang dipelihara selama hampir empat puluh

tahun – sejak Dekrit Presiden 5 Juli, 1959 sampai 21 Maret 1998—tidak

pudar begitu saja. Dalam situasi ini bangsa pun mengalami perbenturan

antara keharusan reformasi yang ingin ditegakkan dan tradisi otoritarianisme

yang telah menjadi bagian kedirian pribadi dan tradisi. Maka batas antara

reformasi dengan euforia demokrasi pun menjadi kabur dan bahkan kadang-

kadang semakin kabur saja. Sebuah pertanyaan pun tertanyakan juga –

kapankah dan dalam suasana apakah euforia demokrasi menyingkit dan

regormasi yang sesungguhnya bisa jalan sendiri?

Antara keresahan dan optimisme

Seketika mendengar bahwa Presiden Soeharto meletakkan jabatan,

para mahasiswa, yang telah selama beberapa hari menduduki kompleks

gedung DPR, bersujud dan menangis. Kemenangan pertama untuk

menghapus praktek KKN dan mengembalikan negara pada tatanan

kehidupan demokratis, yang bertolak dari kesadaran rule of law, telah

tercapai. Tetapi di kalangan sebagian elit, peralihan kekuasaan dari Presiden

Soeharto dan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie dirasakan tidak lebih

daripada persambungan yang tidak syah dan tidak dikehendaki. Bukankah

Habibie adalah “anak didik” Soeharto? Maka terbentuklah gerakan untuk

menjatuhkan sang Presiden. Terhambat oleh keharusan konstitusiona,

gagasan tentang tatanan sistem kekuasaan yang bersifat sementara pun

dilansir pula. Hanya saja sikap demokratis dari mereka yang menginginkan

“demokrasi yang murni” ini semakin menjadi problematik ketika mereka

21

Page 22: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

menolak untuk berdialog dengan Presiden yang tidak mereka akui itu.

Perkembangan selanjutnya memperlihatkan bahwa sikap mereka hanyalah

simptomatik dari kecenderungan otoriter yang diterapkan dalam konteks

situasi ketika tradisi dan keharusan demokrasi hendak dihidupkan kembali.

Tetapi memang harus diakui juga ambivalensi adalah salah satu ciri melekat

pada masa peralihan.

Sementara itu dan dalam waktu yang teramat singkat tanpa sekalipun

mengecam pendahulunya Presiden Habibie memperkenalkan sekian banyak

undang-undang yang sesuai dengan idealisme yang terkandung dalam UUD

1945. Otonomi Daerah , kebebasan pers, hak berserikat, dan sebagainya

diperkenalkan. Bank Indonesia dipisahkan dari kabinet. Ketika BP7

dibubarkan berarti secara simbolik Habibie menyatakan zaman dari

“negara yang serakah” ( greedy state)., yang menguasai kesemuanya, telah

berakhir. Terlepas dari perdebatan tentang kearifan politik atau suatu

kesalahan fundamental, tetapi ketika Presiden Habibie memberi kebebasan

pada rakyat Timor Timur untuk memilih untuk “merdeka” atau tetap

menjadi bagian dari R.I. secara implisit ia ingin mengikuti kalimat pertama

dari Pembukaan UUD—“ kemerdekaan adalah hak semua bangsa”. Iapun

harus membayar harga politik yang mahal, ketika ia berani mengadakan

Pemilu dan pemilihan Presiden sebelum waktunya. Pidato pertanggungan-

jawabnya ditolak. Pemerintahan Habibie pun berakhir tetapi zaman

reformasi diharuskan mengikuti irama sejarah yang tertimpa pada dirinya.

Maka ketika semuanya telah terhampar di atas poentas sejarah,

apakah yang bisa dipelajari dari pengalaman yang masih segar dalam

ingatan ini. Jika diingat-ingat bolehlah dikatakan bahwa tidak ada satu

bangsa dan negara pun yang tidak pernah mengalami masa-masa yang

diselimuti tragedi yang kadang-kadang dramatis dan bahkan juga

22

Page 23: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

mengenaskan. Demikian pula nasib yang menimpa Indonesia. Seketika

Demokrasi Terpimpin menyatakan kehadiran dirinya, dengan menyingkir

sistem parlementer, Indonesia pun memasuki periode panjang dari

keberlakuan ‘Hukum militer”. Dalam suasana inilah beberapa partai

dibubarkan dan sekian pemimpin partai politik dan tokoh masyarakat

di-“istirahatkan” di rumah tahanan militer. Tetapi ketika Demokrasi

Terpimpin telah mendekati ajalnya, tragedi yang teramat parah dan tragis

pun harus dialami anak bangsa. Betapapun besarnya keinginan untuk

melupakan peristiwa ini, dorongan untuk mempertanyakan, “mengapa

semua itu harus terjadi?” tidak juga bisa disingkirkan. Begitu dulu dan

demikian pula sekarang, bahkan sering juga dibangkit-bangkit dengan segala

macam corak argumen, yang menyembunyikan perasaan dendam.

Cerita lama pun seakan-akan berulang lagi di waktu gerakan

reformasi telah mendapatkan kemenangan—ada harga yang harus bagi

perubahan yang fundamental. Di waktu itulah euforia demokrasi bergelora

seperti tak terbendung. Tiba-tiba di samping lahirnya partai-partai baru yang

bertolak dari idealisme yang mungkin telah lama dipupuk, tiga partai yang

dipelihara Orde Baru—Golkar, PPP, PDI-- menemukan diri mereka

terpecah-pecah. Bahkan , kemudian pecahan itupun pecah pula dan ecah

lagi. Dalam proses selanjutnya, kata “pemimpin” pun seperti terhapus saja

dalam wacana politik. Tetapi kata “ elit politik” telah menjadi bagian dari

wacana dan kritik politik. Hubungan kepemimpinan telah mengalami krisis.

Seketika itu pula tampak betapa krisis saling percaya ( crisis of mutual trust)

berkecamuk begitu saja. Rupanya ketika “tutup dari kotak segala corak

perbedaan” , yang dijaga keutuhannya oleh Orde Baru, terbuka di waktu

kejatuhannya, masyarakat pun menyadari bahwa selama ini mereka tidak

saling mengenal orientasi pemikiran masing-masing. Kini terasalah betapa

23

Page 24: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

“kesatuan dan persatuan”, yang selalu diagung-pagungkan dan bahkan

diharuskan, hanyalah kamuflase dari perbedaan yang tidak pernah mendapat

kesempatan untuk saling mengerti dansaling menyesuaikan. Dominasi

yangnyaris total dari Orde Baru telahmenjadikan semuanya bunghkam,

seakan-akan semua adalah pengikut yang setia dari keharusan kekuasaan..

Jika katub tutuoan tekah terbuka dan segala perbedaan telah menampakkan

dirinya , mestikah diherankan kalau crisis of crisis management telah pula

dengan begitu saja menghinggapi kehidupan bangsa? Berapa lamakah

sebuah konflik yang sederhana bisa diselesaikan?

Dalam situasi ini , meskipun dua-tiga Presiden, telah \mendapat

kepercayaan rakyat, namun gejala sosial-politik, bahkan juga dalam

administrasi pemerintahan, situasi yang memungkinkan terjadinya apa yang

bisa disebut sebagai the spiral of stupidity masih juga belum terhindarkan.

Bukankah sering juga terjadi ketika sebuah tindakan “bodoh” dengan begitu

saja ditanggapi secara “bodoh” pula? Dan sebelum kita tahu masalah yang

sesungguhnya dua kampung yang bertetangga telah saling membunuh atau

sebuah partai telah pecah begitu saja dan sekian banyak contoh bisa

diajukan. Atau, sebagaimana kerapkali juga terjadi di kalangan mereka yang

kini disebut elit politik—suatu pernyataan :bodoh” ditanggapi secara

”bodoh” pula. Dan sebelum kita sadar apa yang terjadi, pertengkaran politik

di kalangan elit politik, telah dengan begitu saja menghambat penyelesaiaan

masalah yang dihadapi bangsa dan negara. . Peserta dan pemerhati pun

kehilangan fokus tentang masalah apa yang sesungguhnya menjadi taruhan.

Maka pertanyaan yang fundamental pun tertanyakan juga . Apakah

tanah air tercinta ini telah dikutuk untuk berada dalam lingkaran harapan

akan perubahan tetapi tergelincir kembali kepada kekecewaan? Bukankah

terasa juga betapa seakan-akan dengan begitu setiap perubahan yang terjadi

24

Page 25: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

bangsa kita seperi tergelincir kembali kepada ketidakpastian. Situasi semula

terasa sebagai mendekat kembali. Kalau begitu ,masihkah kita bisa berharap

akan masa depan yang cerah bagi kehidupan bangsa?

Tetapi apakah kesan sepintas ini adalah suatu realitas dalam

keutuhannya? Ataukah semua ini hanyalah peristiwa dan fenomena sosial-

politik yang dengan sangat cepat tetapi dengan mendalam bisa memasuki

ingatan dan kesadaran ? Bukankah yang mudah teringat dan yang hampir

selalu tercatat ialah hal-hal yang menyentuh subjetivitas perasaan dan yang

dirasakan sebagai menggugah kemantapan? Kalau hal ini yang menjadi

pertanyaan maka ternyatakah bahwa sejarah sesungguhnya bukanlah sekadar

cacatan tentang rentetan peristiwa -- “One damned thing after another”,

kata orang sana. Sejarah bukan pula sekadar rentetan kisah tentang

berbagai corak krisis dan konflik, betapapun hal-hal ini terlalu biasa

dicatat dan bahkan diingat. Sejarah tidaklah pula membiarkan tanpa catatan

peristiwa yang tenang-tenang berlalu tanpa gegap gempita. Jika seandainya

yang tidak bersuara gegap gempita ini diperhatikan, bagaimanakah

optimisme akan hari depan bangsa bisa dipungkiri?

Terlepas atau bahkan di samping segala corak krisis politik,bahkan

sosial, serta berbagai ragam kekecewaan , yang malah sampai kini mungkin

masih menjadi bagian dalam kesadaran sebagian anak bangsa—andaipun

tidak golongan mayoritas—bagimanakah akan bisa dilupakan begitu saja

sekian banyak keberhasilan fundamental yang pernah dan bahkan masih

dicapai peruangan bangsa? Ambillah contoh yang paling sederhana., tetapi

biasa sekali terlupakan. Berapa banyakkah suku-bangsa, besar kecil, yang

menjadi bagian dari yangdisebut Ben Anderson “ imagined community”

alias “bangsa” ini. Berapa pulakah tagam bahasa yang menjadi unsur-unsur

penting yang membentuk bahasa Indonesia ini? Sedemikian kompleks

25

Page 26: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

keragamannya tetapi mengapa kesemuanya—terlepas dari krisis-krisis yang

kadang-kadang melanda—tetap menjadi bagian dari bangsa dan negara-

bangsa Indonesia? Pertanyaan ini mungkin tak tertanyakan ketika hanya

Indonesia yang jadi perhatian, karena telah dianggap sebagai hal yang

semestinya saja. Tetapi seketika perbandingan dengan pengalaman wilayah

lain ( Uni Sovyet, Yugoslavia, British India, dan sebagainya) dilakukan,

maka jawab apakah yang didapatkan? Berapa banyakkah krisis yang

mengancam perpecahan telah dilalui sejak proklamasi Kemerdekaan, tetapi

mengapa keutuhan relatif masih terpelihara, bahkan semakin kuat juga?

Ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan berapa orangkah anak

bangsa yang sempat atau yang pernah dimungkinkan untuk menginjak

perguruan tinggi? Tetapi sekarang lembaga manakah yang berani meng-

claim diri sebagai pemegang angka yang pasti tentang jumlah anak bangsa

yang telah mendapatkan apa yang dulu dianggap sebagai kemewahan itu.

Betapapun mungkin kekecewaan akan masih sangat terbatasnya terasa

jumlah itu dan betapapun pula kemampuan lapangan kerja juga terbatas ,

prestasi ini tidak bisa dianggap enteng saja. Di waktu kaumterpelajar telah

merupakan siuatu komunitas besar yang didukung oleh keilmuan dan

keterempilan teknologis yang beragam dan mendalam, di waktu itu pula hak

untuk berputus asa tekah kehilangan makna. Betapapun mungkin masih

terasa jauh dari yang diinginkan terbentunya golngan terpelajar dari segala

suku-bangsa adalah harta yang tak terpermanai. Jakarta – jika boleh disebut

sebagai contoh—tak lebih dari sebuah big village, ketika tahun 1970

dimasuki. Sekarang? Maka biarlah orang menghitung-hitung ranking berapa

Jakarta sebagai salah satu metropolitan dunia. Rumah sakit , besar dan kecil,

bahkan mewah ataupun sederhana, telah menjadi pemandangan yang

semakin biasa, meskipun rumah-rumah reyot, yang membayangkan

26

Page 27: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

kemiskinan belum sepenuhnya teratasi. Jakarta hanyalah sekadar contoh

saja dan bahkan belum pula tentu yang pantas dibanggakan. Tetapi

perubahan yang fundamental tak bisa dipungkiri telah terjadi juga.

Berbagai krisis, bahkan tak jarang yang berdarah dan mengancam

keutuhan dsn eksistensi negara telah dilalui sejak roda revolusi nasional

digulirkan. Tetapi kata akhir masih tetap sama—“Indonesia survives”.

Berapa banyakkah pemberontakan yang terjadi atau bahkan “revolusi dalam

revolusi” yang harus dihadapi atau pembelokan yang keras dari cita-cita

kebangsaan yang berhasil diselesaikan tanpa mengurangi integritas negara-

bangsa? Tetapi sampai kini kesemuanya masih bisa , meskipun kadang-

kadang dengan pengorbanan yang mendalam, diselesaikan dengan berhasil.

Maka kalau kesemuanya dihitung-hitung lagi, apalagi kalau sekian banyak

cerita sukses boleh dimasukkan, akhirnya kesimpulan apakah yang harus

diambil selain daripada optimisme akan masa depan bangsa.

Tetapi apakah langkah yang harus diayunkan untuk mengatasi

masalah yang kini dihadapi? . Mungkin hanyalah sebuah klise saja. Tetapi

bagaimanapun juga harus diingat kembali bahwa tujuan mendirikan negara-

bangsa yang telah menjadi konsensus bangsa , bahkan telah pula ditempa

oleh berbagai corak ujian sejarah, termaktub dalam Pembukaan UUD .

Kesemuanya masih teramat relevan sebagai bimbingan dalam mengusai

masa kini dan melangkah ke hari depan. Di samping “melindungi segenap

tumpah darah dan bangsa”, “ meningkatkan kesejahteraan rakyat”, serta “

ikut serta menjamin perdamaian dunia” , bukankah jelas juga tercantum tiga

kata yang sederhana, “ mencerdaskan kehidupan bangsa”? Tetapi seperti

apakah kehidupan bangsa yang cerdas berdasarkan P:ancasila, sebagaimana

dikatakan Pembukaan itu.

27

Page 28: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

Berbagai visi dan teori bisa dimajukan, tetapi kalau saja pengalaman

bangsa bisa dipelajari dan dipahami, maka tampaklah betapa tidak

memadainya semboyan ataupun bahkan sikap yang hanya berdasarkan pada

konsep “kebenaran”. Ketika telah dihadapkan ke wilayah publik maka

ternyatalah bahwa tidak ada kebenaran tunggal itu. Jika dipaksakan

kebenarann yang diyakini itu maka konflik pun tak selamanyab

terhindarkan.. Siapakah yang salah dansiapa pulakah yang benar? Sekian

puluh contoh dalam sejarah kehidupan kenegaraan bisa diperlihatkan tentang

masalah ini. Apakah pemberontak salah? Ataukah mereka sesungguhnya

bertolak dari keyakinan akan “kebenaran” yang mereka anut?

Demikian pula halnya dengan “keadilan”. Seperti apakah adil yang

sama-sama dirasakan?. Buruh merasa adil kalau upah mereka dinaikkan,

pengusaha merasa adil kalau biaya yang dikeluarkan bisa mendatangkan

keuntungan , bukan sebaliknya. Dan sebutlah sekian banyak contoh lain,

ketika konsep keadilan yang berbeda-beda, meskipun sama-sama

berdasarkan kebenaran yang diyakini, sering hanya berakhir dengan konflik.

Inilah wajah bangsa yang sering “menghiasi “ media cetak dan elektronik.

Kedua prinsip yang agung ini barulah mempunyai arti jika telah didampingi

oleh “kearifan” . Tetapi sayang, jika sejarah boleh dikaji lagi, tampaklah

betapa konflik dan sekikan hal yang tak diinginkan terjadi ketika “kearifan”

tertinggal dalam proses penentuan sikap dan strategi sosial-politik.

Kearifan , yang menjadi pasangan dari “kebenaran” dan

“keadilan” ,seadar menentukan amnakah yang baik dan jelek. Kearifan

adalah kemampuan untuk memilih yang terbaik dari sekian banyak alternatif

yang tersedia. Keaifan adalah pula—dan mungkin lebih lebih berat—

melepaskan diri dan sekali gus menetukan sikap ketika berbagai corak

dilema ethis harus dihadapi. Karena itulah bisa pula dikatakan bahwa

28

Page 29: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

kearifan tidaklah bisa didapatkan hanya dengan samadi atau bertanya pada

‘orang pintar”, tetapi pada pemahaman tentang masyarakat, bangsa dan

kemanusiaan. Kearifan juga bertolak dari pemahaman yang mendalam

tentang hakekat dari struktur realitas serta corak dinamika nya. Batrangkali

ucapan sederhana dari Bismark , kanselir Prusia , boleh dikatakn mengena

juga. “ Orang-orang pintar”, katanya, “belajar dari pengalaman sendiri.

Saya belajar dari penalaman orang lain”. Pengalaman orang lain? Artinya ia

belajar dari sejarah. Dan ia berhasil mempersatukan Jerman. Kerajaan

Prussia berakhir tetapi Jerman yang bersatu tampil sebagai keuatan Eropa

yang besar setelah mengakahkan Perancis (1870). Ini tentu saja sekadar

contoh saja dari kasus klearifan sejarah.. Kini bayangkanlah pula dari

manakah para pelopor kemerdekaan tanah air membayangkan terbentuknya

sebuah bangsa yang bergerak menuju kemerdekaan. Dari manakah mereka

mendapat inspirasi yang arif dalam mengayuh ke kemerdekaan bangsa.

Hanya saja sekarang entah apa sebabnya ada juga masalah dalam

pendidikan. Di negeri tercinta ini, mata pelajaran sejarah telah

dikesampingkan, meskipun bangsa ini dibentuk dari pemahaman dan

kesadaran sejarah dan para pemimpinnya bicara tentang pembentukan

karakter bangsa. Tetapi sudahlah. Mungkin saja mereka yang lebih tahu

bisa menerangkan alasan dari kebijaksanaan yang aneh ini.

Kembali ke masalah semula. Kesimpulan yang bisa ditarik

sederhanha saja, bahkan telah rutin. Kebenaran bagaimana pun juga harus

senantiasa ditegakkan. Kalau begitu korupsi tentu saja harus dikikis habis.

Tegaknya keadilan pun harus selalu diperjuangan. Tetapi keduanya,

dsengan segala macam embel-embelan yang teroikat pada keduanya, bisa ja

membuyar, jika saja kearifan tertinggal di belakang. Kearifan

bagaimanapun senantiasa jadi pembimbing, Bukankah ketiga unsur ini lah

29

Page 30: fpips.upi.edu · Web viewSementara itu Orde Baru telah menyatakan kehadirannya dengan janji untuk memenuhi janji-janji Proklamasi dan kesetiaan pada UUD 1945 dan Pancasila. Dengan

yang sesungguhnya membetiuk apa yang dikatakan “ kehiduoan bangsa

yang cerdas”? Setelah itu? Maka doa kepada Allah adalah perilaku orang

yang beriman.

30