Fistula Ani Tgs NIA
-
Upload
rahmania-kannesia-dahuri -
Category
Documents
-
view
82 -
download
2
Transcript of Fistula Ani Tgs NIA
Fistula AniOleh, Rahmania Kannesia Dahuri
1. Definisi
Fistula ani adalah hubungan abnormal antara epitel dari kanalis anal dan
epidermis dari kulit perianal. Biasanya merupakan kelanjutan dari abses anorektal,
sehingga fistula ani merupakan bentuk kronis dari abses anorektal. Dalam muara
interna (primer) hampir selalu berada dalam kripta, fistula biasanya tunggal dan hanya
melibatkan bagian muskulus sfingter; fistula majemuk atau fistula-fistula yang
melibatkan seluruh muskulus sfingter eksterna kurang lazim ditemukan.
Hampir semua fistula anus disebabkan oleh perforasi atau penyaliran abses
anorektum, sehingga kebanyakan fistula mempunyai satu muara di kripta di
perbatasan anus dan rectum dan lubang lain di perineum di kulit perianal. Kadang,
fistula disebabkan oleh colitis disertai proktitis seperti TBC, amobiasis dan morbus
Crohn. Bila gejala diare menyertai fistula anorektal yang berulang, perlu dipikirkan
penyakit Crohn, karena 50 % penderita penyakit Crohn mengalami fistula anus.
Fistula dapat terletak di subkutis, submukosa, antar sphingter atau menembus
sfingter. Fistula mungkin terletak di anterior, lateral atau posterior. Bentuknya
mungkin lurus, bengkok, atau mirip sepatu kuda. Umumnya fingter bersifat tunggal,
kadang ditemukan yang kompleks.
2. Anatomi
Daerah batas rektum dan kanalis analis ditandai dengan perubahan jenis epitel.
Rektum dilapisi oleh mukosa glanduler usus sedangkan kanalis analis oleh anoderm
yang merupakan lanjutan epitel berlapis gepeng kulit luar. Kanalis analis dan kulit
luar di sekitarnya kaya akan persyarafan sensoris somatik dan peka terhadap
rangsangan nyeri, sedangkan mukosa rektum mempunyai persyarafan autonom dan
tidak peka terhadap nyeri. Darah vena di atas garis anorektum mengalir melalui
sistem porta, sedangkan yang berasal dari anus dialirkan ke sistem kava melalui V.
Iliaka. Sistem limfe dari rektum mengalirkan isinya melalui pembuluh limfe
sepanjang pembuluh hemoroidalis superior ke arah kelenjar limfe paraaorta melalui
kelenjar limfe Iliaka Interna, sedangkan limfe yang berasal dari kanalis analis
mengalir ke arah kelenjar inguinal.
Kanalis analis berukuran panjang kurang lebih 3 sentimeter. Sumbunya
mengarah ke ventrokranial yaitu mengarah ke umbilikus dan membentuk sudut yang
nyata ke dorsal dengan rektum dalam keadaan istirahat. Pada saat defekasi, sudut ini
menjadi lebih besar. Batas atas kanalis anus disebut garis anorektum, garis
mukokutan, linea pektinata atau linea dentata. Pada daerah ini terdapat kripta anus dan
muara kelenjar anus antara kolumna rektum. Infeksi yang terjadi di sini dapat
menimbulkan abses anorektum yang dapat membentuk fistel. Lekukan antar-sfingter
sirkuler dapat diraba di dalam kanalis analis sewaktu melakukan colok dubur dan
menunjukkan batas antara sfingter ekterna dan sfingter interna (garis Hilton). Cincin
sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter interna dan sfingter
eksterna. Sisi posterior dan lateral cincin ini terbentuk dari fusi sfingter interna, otot
longitudinal, bagian tengah dari otot levator (puborektalis) dan komponen m. sfingter
eksternus. M. Sfingter internus terdiri dari serabut otot polos, sedangkan M. Sfingter
eksternus terdiri atas serabut olot lurik.
Gambar . Anatomi Anus dan Rektum
3. Fisiologi
Normalnya, kelenjar rektum yang terdapat di kripta antar kolumna rektum
berfungsi sebagai barrier terhadap lewatnya mikroorganisme penyebab infeksi yang
berasal dari lumen usus ke daerah perirektal. Kelenjar ini mengeluarkan semacam
lendir, berguna sebagai pelicin/ lubrikasi. Saluran ini memiliki klep satu arah agar
produksi bisa keluar tapi feses tidak bisa masuk. Terhalangnya jalan keluar produksi
dari kelenjar ini akibat stasis menyebabkan kuman dan cairan feses masuk ke dalam
kelenjar. Feses yang banyak kumannya berkembang biak ke dalam kelenjar,
membentuk peradangan yang jadi abses. Abses akan mencari jalan keluar dan
membentuk semacam pipa yang menembus kulit. Akibatnya, kulit jadi tampak seperti
bisul lalu pecah. Pecahan ini tidak bisa menutup karena nanah selalu keluar dan tidak
bisa kering karena berhubungan dengan feses. Kondisi ini bisa berlangsung berbulan-
bulan hingga bertahun-tahun.
4. Insiden & Epidemiologi
Fistula perianal sering terjadi pada laki laki berumur 20 – 40 tahun, berkisar 1-
3 kasus tiap 10.000 orang. Sebagian besar fistula terbentuk dari sebuah abses (tapi
tidak semua abses menjadi fistula). Sekitar 40% pasien dengan abses akan terbentuk
fistula.
5. Etiologi
Kebanyakan fistula berawal dari kelenjar dalam di dinding anus atau rektum.
Kadang-kadang fistula merupakan akibat dari pengeluaran nanah pada abses
anorektal. Terdapat sekitar 7-40% pada kasus abses anorektal berlanjut menjadi fistel
perianal. Namun lebih sering penyebabnya tidak dapat diketahui. Organisme yang
biasanya terlibat dalam pembentukan abses adalah Escherichia coli, Enterococcus sp
dan Bacteroides sp. Fistula juga sering ditemukan pada penderita dengan penyakit
Crohn, tuberkulosis, devertikulitis, kanker atau cedera anus maupun rektum,
aktinomikosis dan infeksi klamidia. Fistula pada anak-anak biasanya merupakan cacat
bawaan. Fistula yang menghubungkan rektum dan vagina bisa merupakan akibat dari
terapi sinat x, kanker, penyakit Crohn dan cedera pada ibu selama proses persalinan.
6. Patofisiologi
Hipotesa kriptoglandular menyatakan bahwa infeksi yang pada awalnya
masuk melalui kelenjar anal akan menyebar ke dinding otot sphingter anal
menyebabkan abses anorektal. Abses yang pecah spontan, akhirnya meninggalkan
bekas berupa jaringan granulasi di sepanjang saluran, sehingga menyebabkan gejala
yang berulang.
7. Klasifikasi Fistula Perianal
Berdasarkan lokasi internal opening, maka fistula dibagi dalam dua kelompok
yaitu :
a) Fistula letak rendah dimana internal opening fistel ke anus terdapat di
bawah cincin anorektal. Fistula letak rendah dapat dibuka tanpa takut adanya
resiko inkontinensia permanen akibat kerusakan bundle anorektal.
b) Fistula letak tinggi dimana internal opening fistel ke anus terdapat di atas
cincin anorektal. Pada fistula letak tinggi dilakukan koreksi bertahap dengan
prosedur operasi yang lebih sulit.
Sistem klasifikasi Parks menjelaskan ada 4 tipe fistula perianal yang terjadi
akibat infeksi kriptoglandular, yaitu:
Fistula intersphincteric berawal dalam ruang diantara M. Sfingter Eksterna
dan Interna dan bermuara berdekatan dengan lubang anus.
Colon and Rectal Surgery, 2005
Fistula transsphincteric berawal dalm ruang diantara M. Sfingter Eksterna
dan Interna, kemudian melewati M. Sfingter Eksterna dan bermuara sepanjang
½ inchi di luar lubang anus.
Colon and Rectal Surgery, 2005
Fistula suprasphincteric berawal dari ruang diantara M. Sfingter Eksterna
dan Interna dan membelah ke atas M. Puborektalis lalu turun diantara
puborektal dan M. Levator ani lalu muncul ½ inchi di luar anus.
Colon and Rectal Surgery, 2005
Fistula extrasphincteric berawal dari rektum/colon sigmoid dan memanjang
ke bawah, ,elewati M. Levator ani dan berakhir di sekitar anus. Biasanya
akibat dari trauma, Chron’s Disease, PID, dan abses supralevator.
Colon and Rectal Surgery, 2005
8. Penatalaksanaan
Tujuan terapi dari fistula ani adalah eradikasi sepsis tanpa menyebabkan
inkonstinensia. Terapi dari fistula tergantung dari jenis fistulanya sendiri.
Simple intersphincteric fistula sering diterapi dengan fistulotomy (membuka
tract fistula), kuretase, dan penyembuhan sekunder.
Colon and Rectal Surgery, 2005
Pada fistula transsphinteric terapi tergantung dari lokasi kompleks sphincter
yang terkena. Bila fistula kurang dari 30% otot sphincter yang terkena dapat
dilakukan sphincterotomy tanpa menimbulkan inkonstinensia yang berarti. Bila
fistulanya high transsphincteric dapat dilakukan dengan pemasangan seton.
Pada fistula suprasphenteric biasanya diterapi juga dengan pemasangan seton.
Pada fistula extrasphincteric terapi tergantung dari anatomi dari fistula,
biasanya bila fistula diluar sphincter dibuka dan didrainase.
Seton digunakan untuk identifikasi tract, sebagai drainase, dan merangsang
terjadinya fibrosis dengan tetap menjaga fungsi dari sphincter. Cutting seton terbuat
dari karet yang diletak pada fistula untuk merangsang fibrosis. Noncutting seton
terbuat dari plastic yang digunakan sebagai drainase.
Beberapa metode telah diperkenalkan untuk mengidentifikasi tract fistula saat
berada di kamar operasi:
Memasukkan probe melalui lubang eksternal sampai ke bukaan internal, atau
sebaliknya.
Menginjeksi cairan warna seperti methylene blue, susu, atau hidrogen
peroksida, dan memperhatikan titik keluarnya di linea dentata.
Mengikuti jaringan granulasi pada traktus fistula.
Memperhatikan lipatan kripta anal saat traksi dilakukan pada traktus. Hal ini
dapat berguna pada fistula sederhana namun kurang berhasil pada varian yang
kompleks
Terapi Konservatif Medikamentosa dengan pemberian analgetik, antipiretik
serta profilaksis antibiotik jangka panjang untuk mencegah fistula rekuren.
Terapi pembedahan:
- Fistulotomi : Fistel di insisi dari lubang asalnya sampai ke lubang kulit,
dibiarkan terbuka, sembuh per sekundam intentionem. Dianjurkan sedapat
mungkin dilakukan fistulotomi.
- Fistulektomi : Fistulekotomi merupakan tindakan pembedahan untuk
membuat lubang anus pada anus malformasi fistel rendah, secara singkat
tehnik operasi dengan posisi litotomi, lubang fistula dimasukan sonde untuk
guiding mencapai anal dimple, kemudian dilakukan irisan ke posterior arah
anal dimple, kemudian mukosa anus dijahit kekulit anal dimple serapat
mungkin, dan dipasang tampon dengan tule, Luka bekas fistula dibiarkan
terbuka. Jaringan granulasi harus di eksisi keseluruhannya untuk
menyembuhkan fistula. Terapi terbaik pada fistula ani adalah membiarkannya
terbuka.
- Seton : Benang atau karet diikatkan malalui saluran fistula. Terdapat dua
macam Seton, cutting Seton, dimana benang Seton ditarik secara gradual
untuk memotong otot sphincter secara bertahap, dan loose Seton, dimana
benang Seton ditinggalkan supaya terbentuk granulasi dan benang akan
ditolak oleh tubuh dan terlepas sendiri setelah beberapa bulan.
- Advancement Flap : Menutup lubang dengan dinding usus, tetapi
keberhasilannya tidak terlalu besar.
- Fibrin Glue: Menyuntikkan perekat khusus (Anal Fistula Plug/AFP) ke dalam
saluran fistula yang merangsang jaringan alamiah dan diserap oleh tubuh.
Penggunaan fibrin glue memang tampak menarik karena sederhana, tidak
sakit, dan aman, namun keberhasilan jangka panjangnya tidak tinggi, hanya
16%.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sabiston D, Oswari J.Buku Ajar Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.1994.
3. Schwartz, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6.
Jakarta :EGC.2000.
4. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2.
Jakarta :Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004.Hal 747-748
5. Grace P, Borley N. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi ketiga.Jakarta :
Erlangga.2006.
Overview Enterocutaneus Fistula
A fistula is an abnormal communication between 2 epithelialized surfaces, with an
enterocutaneous fistula (ECF) being an abnormal communication between the small
or large bowel and the skin. An ECF can arise from the duodenum, jejunum, ileum,
colon, or rectum. (See the image below.)
Almost healed wound around an enterocutaneous fistula.
Although fistulas arising from other regions of the gastrointestinal (GI) tract (eg,
stomach, esophagus) may sometimes be included in the definition of ECF, the
discussion in this article is limited to the conventional definition of ECF. A fistula-in-
ano, although anatomically an ECF, conventionally is not referred to as such, because
its presentation and management are different.
An ECF, which is classified as an external fistula (as opposed to an internal fistula,
which is an abnormal communication between 2 hollow viscera), is a complication
that is usually seen following surgery on the small or large bowel. Earlier study
suggests that about 95% of ECFs were postoperative and ileum was found to be the
most common site of ECF.[1] Forty-nine percent of fistulas were high output and 51%
were low output.
ECFs are a common presentation in general surgical wards, and despite advances in
the management of these lesions, they are still responsible for a significant mortality
rate, ranging from 5-20%, due to associated sepsis, nutritional abnormalities, and
electrolyte imbalances.
Understanding the pathophysiology of, as well as the risk factors for, ECFs should
help to reduce their occurrence. Moreover, the well-established treatment guidelines
for these lesions, along with some newer treatment options, should help clinicians to
achieve a better outcome in patients with an ECF.
Output-based classification
The type of ECF, as based on the output of the enteric contents, also determines the
patient's health status and how the patient may respond to therapy. ECFs are usually
classified into 3 categories, as follows[2] :
• Low-output fistula (< 200mL/day),
• Moderate-output fistula (200-500mL/day)
• High-output fistula (>500mL/day)
A high-output fistula increases the possibility of fluid and electrolyte imbalance and
malnutrition.
Surgical versus conservative treatment
The conventional therapy for an ECF in the initial phase is always conservative.
Immediate surgical therapy on presentation is contraindicated, because the majority of
ECFs spontaneously close as a result of conservative therapy. Surgical intervention in
the presence of sepsis and poor general condition would be hazardous for the patient.
However, patients with an ECF with adverse factors, such as a lateral duodenal
fistula, ileal fistula, high-output fistula, or a fistula associated with a diseased bowel,
may require early surgical intervention.
Reference
http://emedicine.medscape.com/article/1372132-overview