Filsafat Kenabian Arif

17

Click here to load reader

Transcript of Filsafat Kenabian Arif

BAB I

FILSAFAT KENABIANOleh: Arif Rahman

A. PendahuluanPada hakekatnya seorang nabi adalah laki-laki pilihan Allah yang diberi wahyu oleh Tuhan untuk disampaikan kepada umatnya. Seorang nabi itu memiliki tugas untuk membimbing umatnya kepada jalan hidup, dan jalan pemikiran yang lebih baik, dan untuk menjalankan tugasnya itu seorang nabi dibimbing oleh Tuhan melalui wahyu yang diturunkan kepadanya.

Seorang nabi harus memiliki sifat-sifat yang baik yang patut dicontoh, baik dari segi ilmunya, sikap dan kepribadiannya, dan seorang nabi itu dalam setiap gerak dan langkah yang akan ia laksanakan selalu mamohon petunjuk kepada Tuhan-Nya.B. Teori Kenabian Menurut Ibn Sina

Pendapat Ibnu Sina tentang Nabi bertitik tolak dari tingkatan akal. Akal materi (al-Aqlu al-Hayulany) sebagai yang terendah adakalanya dianugerahkan Tuhan kepada manusia akal materi yang besar lagi kuat, oleh Ibnu Sina dinamakan al-hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materi serupa ini begitu besarnya sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubugan dengan Akal Aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal ini mempunyai quwwah qudsiyah yaitu bersifat suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, yaitu bentuk akal yang ada pada nabi-nabi.

Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibn Sina membagi manusia ke dalam empat kelompok: mereka yang kecakapan teoritisnya telah mencapai tingkat penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak lagi membutuhkan guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai satu puncak yang demikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang dan berkemampuan untuk menimbulkan gejala-gejala aneh di atas dunia. Kemudian mereka memiliki kesempurnaan daya intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang-orang yang dayang teoritisnya sempurna tetapi tidak praktis. Terakhir adalah orang-orang yang mengungguli sesamanya hanya dalam ketajaman daya praktis mereka.

Nabi Muhammad memiliki syarat-syarat yang dibutuhkan sebagai seorang nabi, yaitu memiliki imajinasi yang sangat kuat dan hidup, bahkan fisiknya sedemikian kuat sehingga ia harus mempengaruhi bukan hanya pikiran orang lain, melainkan juga seluruh materi pada umumnya. Nabi juga harus mampi melontarkan suatu sistem sosial-politik. Dengan kualitas imajinatif yang luar biasa kuatnya, pikiran nabi, melalui keniscayaan psikologis yang mendorong, mengubah kebanaran-kebenaran akal murni dan konsep-konsep menjadi imaji-imaji dan simbol-simbol kehidupan yang demikian kuat sehingga orang yang mendengar atau membacanya tidak hanya menjadi percaya tetapi juga terdorong untuk berubuat sesuatu. Fungsi imajinasi kenabian yang berupa lambang dan hidup ini ditekankan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina, namun oleh Ibnu Sina hal itu lebih diperinci lagi, merupakan sifat dasar imajinasi untuk melambangkan dan menghidupkan pemikiran-pemikiran kita, keinginan-keinginan kita, dan bahkan keterbatasan-keterbatasan psikologis kita.

Pelambangan dan pemberian sugesti ini, apabila ini berlaku pada jiwa dan akal nabi, menimbulkan imaji-maji yang sedemikian kuat dan hidup sehingga apa pun yang dipikirkan dan dirasakan oleh jiwa nabi, ia benar-benar mendengar dan melihatnya. Wahyu-wahyu yang terkandung di dalam kitab-kitab suci keagamaan sebagian besar berupa perintah dan keharusan kiasan, sehingga perlu ditafsirkan untuk mendapatkan kebenaran yang lebih tinggi, mendasar, dan spritual. Adapun al-Quran pada umumnya, jika tidak seluruhnya, merupakan kebenaran simbolis, bukan kebenaran harfiah. Kebenaran harfiah, hanya dimungkinkan bagi orang awam.

Dengan demikian, wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Karena itu tidak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenar-benarnya tetapi kebenaran dalam selubung simbol-simbol.

C. Teori Kenabian al-Farabi

Adapun teori kenabian yang diajukan al-Farabi dimotivisir pemikiran filosofis pada masanya yang mengengkari eksistensi kenabian oleh Ahmad Ibn Ishaq al-Ruwandi (w. akhir abad III H) berkebangsaan Yahudi dan Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria al-Razi (865-825 M). Menurut mereka para filsuf berkemampuan untuk mengadakan komunikasi Aqlu Faal. Menurut al-Farabi, manusia dapat berhubungan dengan Aql Faal melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imaginasi atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan oleh pribadi-pribadi pilihan yang dapat menembus alam materi untuk dapat mencapai cahaya ketuhanan. Sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh Nabi. Perbedaan antara kedua cara tersebut hanya pada tingkatannya, dan tidak mengenai esensinya.

Ciri khas seorang Nabi bagi al-Farabi adalah mempunyai daya imaginasi yang kuat di mana obyek inderawi dari luar tidak dapat mempengaruhinya. Ketika ia berhubungan dengan Aql al-Fal ia dapat menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu. Wahyu adalah limpahan dari Tuhan melalui Aqlu al-Faal (akal 10) yang dalam penjelasan al-Farabi adalah Jibril. Dapatnya Nabi berhubungan dengan langsung dengan akal 10 (Jibril) tanpa latihan, karena Allah menganugerahinya akal yang mempunyai kekuatan suci (qudsiyah) dengan daya tangkap utama yang luar biasa yang diberi nama hads. Sedangkan filsuf dapat berhubungan dengan Tuhan melalui akal mustafad (perolehan yang telah terlatih dan kuat aya tangkapnya, sehingga dapat menangkap hal-hjal yang tidak sejajar tingkatannya dengan nabi, karena setiap nabi adalah filsuf, tetapi tidak setiap filsuf itu Nabi karena adanya unsur pilhan Allah.

Karena nabi dan fiflsuf asma-sama dapat berhubungan dengan akal 10, maka antara wahyu dan filsafat tidak dapat bertentangan, dapat saja terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum alam, karena sumber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal 10 yang mengatur dunia ini.

D. Teori Kenabian al-RaziAl-Razi menyanggah anggapan bahwa untuk keteraturan kehidupan, manusia memerlukan nabi. Pendapat yang kontroversial ini harus dipahami bahwa ia adalah seorang rasionalis murni. Akal menurutnya adalah karunia Tuhan yang terbesar untuk manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Karena itu, manusia tidak boleh menyia-nyiakan dan mengekang ruang gerak akal, tetapi memberi kebebasan sepenuhnya dalam segala hal. Jika akal tidak ada samalah halnya manusia dengan binatang atau anak-anak atau orang gila.Pandangan al-Razi yang mengkuktuskan kekuatan akal tersebut menjadikan ia tidak percaya kepada wahyu dan danya nabi sebagaimana diutarakannya dalam bukunya Naqd al-Adyan au fi al-Nubuwwah (Kritik terhadap Agama-agama atau terhadap Kenabian). Menurutnya, para Nabi tidak berhak mengklaim dirinya sebagai orang yang memiliki keistimewaan khusus, baik pikiran maupun rohani, karena semua orang itu adalah sama dan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak membedakannya antara seseorang dengan yang lainnya. Perbedaan antara manusia timbul karena berlainan pendidikan dan berbedanya suasana perkembangannya. Lebih lanjut dikatakannya, tidaklah masuk akal bahwa Tuhan mengutus para nabi padahl mereka tidak luput dari kekeliruan. Setiap bangsa hanya percaya kepada nabinya dan tidak mengakui nabi bangsa lain. Akibatnya terjadi banyak peperangan keagamaan dan kebencian antara bangsa karena kefanatikan kepada agama bangsa yang dipeluknya. Kelangsungan agam hanya berasal dari tradisi, dari kepentingan para ulama yang diperalat oleh negara, dan dari upacara-upacara yang menyilaukan mata rakyat bodoh.Berkaitan dengan sanggahan terhadap wahyu dan nabi sebagai pembawa berita eskatologis (alam keakhiratan), seperti kematian. Bagi al-Razi, kematian bukanlah suatu hal yang perlu ditakuti, karena bila tubuh hancur, maka ruh juga hancur. Setelah mati, tak sesuatu pun terjadi pada manusia, karena ia tidak merasakan apa-apa lagi. Selama hidupnya, manusia selalu merasa sakit, tetapi setelah mati, ia tidak akan merasa sakit selamanya. Sebaiknya orang yang menggunakan nalar menghindari rasa takut mati, karena bila ia mempercayai kehidupan lain, maka ia tentu gembira, sebab melalui mati ia pergi ke dunia lain yang lebih baik. Bila ia percaya bahwa ia tiada sesuatu pun setelah mati, maka ia tak perlu cemas. Betapapun orang tidak perlu merasa cemas akan kematian, karena tidak ada alasan untuk merasa cemas.

Al-Razi juga mengkritik kitab-kitab suci, baik Injil maupun al-Quran. Ia mengkritik yang satu dengan menggunakan yang lain. Ia mengkritik yang satu dengan menggunakan yang lain. Ia menolak mukjizat al-Quran, baik segi isi maupun gaya bahasanya. Menurutnya, orang mungkin saja dapat menulis kitab yang lebih baik dengan gaya bahasa yang lebih indah. Boleh jadi pendapatnya yang ekstrim inilah menyebabkan buku-bukunya dimusnahkan. Kendati pun demikian, al-Razi tidak berarti seorang atheis, karena ia masih tetap meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta, sebab itu ia lebih tepat disebut rasionalis murni. Dalam buku Tarikh Hukamaan al-Islam karya Zahir al-Din al-Baihaqi, al-Razi tercantum di antara pemikir-pemikir Islam. Demikian pula dalam buku Thabaqat al-Umam karya Abu al-Qasim Said ibn Ahmad al-Andalusi, ia disebut dokter orang-orang Islam tanpa ada tandingannya. Kalau demikian halnya, tuduhan atheis (mulhid) terhadapnya sengaja didegung-dengungkan oleh lawan-lawannya yang tidak senang dengan popularitas yang dicapai al-Razi. Dalam hal ini, Ibn Abu Ushaibiah, seorang penulis sejarah kedokteran, dan juga seorang dokter, menganggap risalah makhraj al-Anbiya sebagai tulisan al-Razi, menurutunya kemungkinan risalah itu ditulis oleh orang yang benci kepadanya, lalu dinisbahkan kepada al-Razi untuk menjelek-jelekkannya, padahal al-Razi jauh dari sifat serupa itu. Sedangkan menurut Abd al-Lathif Muhammad al-Abbad janganlah dilupakan apa yang telah dicatat dalam sejarah mengenai kitab-kitabnya yang lain, yang di dalamnya terdapat pengakuannya tentang adanya Hari akhirat dan tentang Khaliq Yang Bijaksana. Bahkan dalam kitabnya Sirr al-Asrar dan Baru al-Saah, al-Razi tidak lupa mengucapkan shalawat kepada Nabi Muhammad saw.Adapun tentang pemikiran al-Razi tentang Lima Kekal, tidak otomatis ia menjadi Zindik, apabila bila dinilai dengan al-Quran, tidak satu ayat pun yang secara qathi bertentangan dengan pemikiran tersebut. Karena itu, tidak tertutu kemungkinan benar pemikiran al-Razi tersebut.

BAB IIIKESIMPULAN

Pemikiran mengenai teori kenabian itu berbeda-bedan dari tiap tokoh. Dari ketiga tokoh yang memaparkan teori kenabian ini pada dasarnya sama bahwa untuk menjadi seorang nabi itu harulah memiliki sifat, sikap, dan kepribadian yang lebih dari manusia biasa, karena seorang nabi itu adalah panutan bagi umatnya.Dalam setiap langkah dan gerak, seorang nabi itu selalu dibimbing oleh Tuhannya melalui wahyu, yang diturunkan melalui perantara malaikat Jibril. Fungsi dari wahyu itu adalah untuk membimbing manusia ke arah yang lebih baik agar bisa menjadi manusia yang memiliki sikap, sifat, ilmu dan kepribadian yang telah diperintahkan oleh Tuhan.

KATA PENGANTARSegala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, yang telah menciptakan manusia dengan bentuk yang paling sempurna. Shalawat dan salah semoga terlimpah-curahkan pada junjunan alam yang telah mengajak manusia untuk bertauhid kepada-Nya, yaitu orang yang berfilsafat dengan bijaksana, yakni habibana wanabiyyana Muhammad saw. Allah telah memberikan manusia akal, yang mana dengan akal tersebut manusia bisa mengembangkan potensi akalnya, mengapa dikatakan demikian? Karena manusia diberi kehendak oleh Allah untuk melakukan hal apapun dengan akalnya, tanpa terlepas dari koridor-koridor ke-Islaman yang dimilikinya.Oleh sebab itu, sepatutnyalah manusia bisa mengkaji apa-apa yang menjadi pemikirannya. Di antaranya adalah masalah Kenabian. Dengan akal yang penuh dengan keterbatasan, penulis akan sedikit membuat karya ilmiah yang mengambil judul Filsafat Kenabian al-Razi, al-Farabi dan Ibnu Sina.Mudah-mudahan Allah swt., memberikan kemudahan pada pembuatan makalah ini, serta bermanfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi kita semua yang kebetulan membacanya.

Tasikmalaya, April 2008

Penyusun

DAFTAR ISIKATA PENGANTAR

i

DAFTAR ISI

ii

BAB IPENDAHULUAN

1

BAB IIPEMBAHASAN

2A. Teori Kenabian al-Razi

2B. Teori Kenabian al-Farabi

4

C. Teori Kenabian Ibnu Sina

5

BAB IIIKESIMPULAN

8

FILSAFAT KENABIAN AL-RAZI, AL-FARABI DAN IBNU SINAMAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Filsafat Islam

.

Disusun Oleh :

Nama:Sulaeman

Siti Nurjanah

Leni Linasari

Halimah

Kelas:II.B / IV

Fak./Jur.:Tarbiyah / PAI

INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG

SINGAPARNA TASIKMALAYA

2008i

ii

PAGE 3