KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN...

196

Click here to load reader

Transcript of KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN...

Page 1: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN PERSPEKTIF AL-

QUR’AN: SEBUAH KAJIAN TEMATIK

Tesis

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Agama

(M. Ag.) pada Program Pascasarjana Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis

dengan Konsentrasi Tafsir

Oleh:

ABUZAR ALGHIFARI

NIM: 2113034000020

Pembimbing:

Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA

JURUSAN TAFSIR TAFSIR

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1438 H/2017 M

Page 2: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

ii

Page 3: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

iii

Page 4: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

iv

Page 5: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

v

KATA PENGANTAR

Menulis bukan hanya perkara menggorekan tinta, menyusun huruf–huruf

sekedar membentuk kata-kata, namun sunyi dari ide dan gagasan yang bermakna.

Dengan demikian, maka menulis adalah perkara berat yang melibatkan yang

meniscayakan keterlibatan banyak hal, seperti kelengkapan intelektual,

ketekunan tanpa keluhan, tunjangan finansial, serta aset kesabaran. Tanpa itu

semua, rampungnya sebuah tulisan akan terperangkap dalam genggaman

kemustahilan. Itu sebabnya, rasa syukur sedalam-dalamnya serta puja setinggi-

tingginya hanya kepada Allah, akan menjadi nafas dan detak jantung kehidupan

penulis seiring dengan selesainya tulisan ini. Alhamdulillah, berkat petunjuk dan

‘inayah-Nya, tesis berjudul, ‚Konsep Universalitas-kenabian Perspektif Al-

Qur’an: Sebuah kajian Tematik‛ ini selesai. Tentu jauh dari kata sempurna,

namun inilah apa adanya dari kemampuan maksimal penulis saat ini.

Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis

bingkiskan, sosok yang menjadi tauladan dalam menapaki jalan kehambaan.

Semoga, tulisan sederhana nan kaya dengan kekurangan ini menjadi salah satu

tanda cinta dan rindu penulis kepadanya, jembatan yang akan selalu

menghubungkan antar jiwa untuk sampai kepada Yang Maha Kuasa, amin.

Sebagai manusia yang memiliki kekurangan, penulis menyadari tidak

mungkin dapat menyelesaikan tesis ini tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh

karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada semua

pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian tesis ini. Pihak pertama

yang layak mendapatkan apresiasi dari penulis adalah Prof. Dr. Hamdani Anwar,

MA dan DR. Lilik Ummi Kaltsum, MA, selaku pembimbing tesis yang selalu

setia dan sabar, di tengah kesibukannya yang begitu padat, memberikan masukan

dan koreksi sepanjang penulisan tesis ini. Semoga, keduanya selalu dijaga oleh

Allah Swt, amin. Selain itu, penulis juga ingin menyampaikan terima kasih

kepada berbagai pihak, antara lain:

Page 6: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

vi

1. Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof

Dr. Dede Rosyada, M. A

2. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr.

Masri Mansoer, M. A.

3. Ketua Program magister (S2) Fakultas Ushuluddin Universitas Islam

Negeri Sultan Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. Atiyatul Ulya , M. A dan

Sekretaris progam magister Bapak Maulana, M. Ag.

4. Para dosen yang telah memberikan ilmu dan pencerahan kepada penulis,

terkhusus selama belajar di Program Magister Fakultas Ushuluddin, yaitu:

Prof. Dr. Hamdani Anwar, M.A, Dr. Lilik Umi Kaltsum, M.A, Dr. Abdul

Moqsith Ghazali, M.A, Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, M.A, Prof. Masri

Mansour, M.A, Dr. Atiyatul Ulya, M.A, Ahmad Najib Burhani, S. Ag.

M.A, MSc, PhD, Dr. Akhsin Sakho M. Asyrofuddin, M.A, Dr. Faris Pari,

M. Fils, Dr. Edwin Syarif, M.A, Dr. Mafri Amir, M.A, Bustamin, M.S.i,

Dr. Sri Mulyati, M.A, Dr. Media Zainul Bahri, M.A. Dr. Faizah

Syibromalisi, M.A, dan Prof. Dr. Ridwan Lubis, M.A.

5. Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, MA., selaku pimpinan Pusat Studi Al-

Qur’an (PSQ), yang telah menggembleng penulis selama mengikuti

program ‚Pendidikan Kader Mufassir‛ (PKM) angkatan XI tahun 2015.

Begitu juga kepada Dewan Pakar PSQ lainnya, seperti Prof. Dr. Nasaruddin

Umar, MA, Prof. Dr. Thib Raya, M.A, Prof. Dr, HD. Hidayat, MA, Prof.

Dr. Yunan Yusuf, MA, Dr. Muchlish Hanafi, MA, Prof. Dr. Hamdani

Anwar, Prof. Dr. Amin Suma, MA, Farid Saenong, Ph. D, M.A, Dr. Najela

Syihab, Dr. Wahib Mu’thi, MA (alm.), Dr. Ahsin Sakho Muhammad, MA,

Dr. Luthfi Fathullah, MA, Dr. Sahabuddin, MA, Dr. Muh. Ulinnnuha, MA,

Romli yarqawi, M.A, dan sebagainya.

6. Seluruh pegawai beserta staf Perpustakaan Fakultas Ushuluddin,

Perpustakaan Pascasarjana UIN Jakarta, Perpustakaan Utama UIN Jakarta,

Perpustakaan Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) yang telah memberikan izin dan

layanan kepustakaan kepada penulis, sehingga memudahkan penulis dalam

Page 7: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

vii

menyelesaikan tesis ini. Di samping itu, kepada seluruh pegawai beserta

staf di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya, dan

Fakultas Ushuluddin pada khususnya.

7. Kedua orang tua penulis Ibunda tercinta Halimah dan ayahanda Mahmud,

yang selalu mendo’akan dan mengusahakan kebaikan untuk penulis

sepanjang masa. Semoga Allah swt. selalu menjaga dan memberikan

rahmat kepada keduanya, amin.

8. Keluarga besar penulis, Uwo Ahmad Masy’ari, M.A.Hk, Anga Ahmad

Redho, M. Kep, Nurs, M. Irsyadul Fikri, Etek Siti Zamroti dan Apak

Abdullah, serta seluruh keluarga besar penulis yang selalu mendo’akan dan

memberikan semangat penulis.

9. Teman-teman seperjuangan selama belajar di Program Magister Fakultas

Ushuluddin, terkhusus angkatan ke-3; Bang Khumaidi, Ainun Najib,

Ceceng Muhajir, Aidil Fitriwan, M. Zibad, Zainal Muttaqin, Zakiyah

Muthmainnah, M. Zamri, dan Daswandi, serta semua teman-teman di

fakultas Ushuluddin.

10. Teman-teman diskusi Komunitas Atap Langit (KOALA); Bung Yes,

Bung Rori, Uda Alven, Uda Hepta, Mas Ucup, Angga, Awfa Munawwar,

Zamri, serta anggota seperjuangan KOALA lainnya.

Penulis mengharapkan kepada Allah Swt. agar pihak-pihak yang

telah membantu penulis, baik yang tertulis, maupun yang tidak tertulis

dibalas oleh Allah Swt. dengan kebaikan yang berlipat. Akhirnya hanya

kepada Allah Swt. penulis memohon petunjuk dan berserah diri semoga

tesis ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi amal kebaikan bagi penulis,

âmîn...

Jakata, 26 Januari 2017

Penulis,

Abuzar Alghifari

Page 8: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

viii

ABSTRAK

KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN PERSPEKTIF AL-

QUR’AN: SEBUAH KAJIAN TEMATIK

Tidak dapat dipungkiri kemuliaan Nabi Muhammad sebagai nabi Islam.

Namun kemuliaan kenabian itu dipolemikkan apakah mengatasi dan

mendelegitimasi kenabian-kenabian sebelumnya atau hanya bersifat ekuivalen.

Dalam hal ini, pandangan ulama terbelah kepada dua hal; kenabiannya bersifat

ekuivalen atau bersifat hierarkis.

Tesis ini menyimpulkan bahwa seluruh kenabian; kenabian Nabi

Muhammad dan kenabian-kenabian sebelumnya, bersifat ekuivalen, baik dalam

konteks delegasi maupun legitimasi. Dalam konteks historis, seluruh kenabian

membawa substansi kebenaran yang bersifat universal namun mekanisme

implementasinya secara absolut terproyeksi secara partikular. Dengan demikian,

kenabian Nabi Muhammad yang diyakini bersifat universal adalah dalam arti

tidak bersifat eksklusif dan delegitimatif terhadap kenabian-kenabian

sebelumnya. QS. Ibrȃhȋm [14]: 4 sebagai prinsip utama dalam pendelegasian para

nabi mengimplikasikan pemaknaan bahwa ayat-ayat seputar pendelegasian para

nabi hanya sekedar narasi al-Qur’an terkait pentingnya peran bahasa dalam

komunikasi (al-balâgh al-mubîn) pesan Tauhid sebagai misi utama mereka.

Sehingga, nalar interpretasi limitatif (pembatasan) yang melihat kata-kata

seperti al-Nâs, Kâffah li al-Nâs, dan ‘Âlamîn, seakan kontras dangan kata-kata

seperti Qaumihî, Tsamûd, ‘Âd, Madyan, dan Banî Isrâ‘îl, merupakan suatu hal

yang harus dihindari.

Penelitian ini mendukung Muhammad Abduh, Rashîd Ridâ, Kautsar

Azhari Noer, Abû Ja’far al-Tûsî (w. 460/1067), Abd al-Jabbâr al-Hamadânî (w.

415 H/1025), serta Fred Donner (2010), yang berpandangan seluruh kenabian

bersifat setara dalam status pendelegasian karena itu tidak boleh dibeda-bedakan.

Seluruh agama memiliki titik temu pada dimensi esoterik meskipun berbeda pada

aspek eksoterik karena tuntutan perbedaan konteks ruang dan waktu. Penelitian

ini juga tidak sependapat dengan al-Tabarî, Ibn Katsîr, al-Qurtubî, al-Jîlânî, al-

Page 9: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

ix

Râzî, Ibn ‘Âshûr, al-Suddî, Maulana Walid Khan, al-Marâghî, serta Quraish

Shihab, yang berpandangan bahwa kenabian Muhammad bersifat universal

sedangkan kenabian-kenabian sebelumnya hanya bersifat komunalistik-parsial.

Sumber primer penelitian ini adalah ayat-ayat al-Qur’an yang secara

tematik berkenaan dengan pengutusan Nabi Muhammad serta karya-karya tafsir

sebagai respon atau pandangan para tokoh terhadap pembahasan inti penelitian

ini. Sumber sekunder adalah karya-karya ilmiah lain yang berkaitan dengan objek

formal dan objek material penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian

kepustakaan. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif melalui metode

interpretatif, dengan menggunakan pendekatan dilâlat al-alfâz dalam usûl al-fiqh,

semantik, dan hermeneutik. Semua pendekatan disinergikan untuk mendapatkan

gagasan yang komprehensif dan kontekstual.

Page 10: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

x

ABSTRACK

Universality of Prophethoods be upon them in the Qur’anic Perspective: a tematic

studies

This thesis concludes that the prophethood of Muhammad is equivalent to the

previous prophetics, both in the context of the delegation as well as legitimacy. QS.

Ibrȃhȋm [14]: 4 as a core principle in the delegation of the prophets implies meaning that

all of verses of the koran that closely related with the delegation of the prophets just a

narrative of the Koran on the significance of the role of language in communication (al-

balâgh al-mubîn) of message of Tauhȋd as the primary mission of them. Thus, the

diversity of reasoning interpretation that sees some words like al-Nâs, Kâffah li al-Nâs,

and the al- Âlamîn, contrast with some words like Qaumihî, Tsamûd, ‘Âd, Madyan, and

the Banî Isrâ‘îl, is a matter that should be avoided.

This study supports Muhammad Abduh, Rashîd Ridâ, Kautsar Azhari Noer, Abû

Ja’far al-Tûsî (w. 460/1067), Abd al-Jabbâr al-Hamadânî (w. 415 H/1025), and Fred

Donner (2010), who hold that the entire prophetic delegation is equivalent in level

should therefore not be differentiated. All religions have a common ground on the

different dimensions of esoteric despite the exoteric aspect because the demands of

space and time differences. Meanwhile, this study does not correspond with the opinion

of al-Tabarî, Ibn Katsîr, al-Qurtubî, al-Jîlânî, al-Râzî, Ibn ‘Âshûr, al-Suddî, Maulana

Walid Khan, al-Marâghî, serta Quraish Shihab, who said that the prophethood of

Muhammad is universal while the prophethood of others is only partial.

A primary source of this study is verses of the koran that closely related with the

main topic that is delegating the prophet Muhmmad be upon of him and the books of

tafsir as opinions of the interpretators to this topic. A secondary source is other

academic works, relating to the formal and material objects of the research. This

research is library research. The data obtained are analyzed qualitatively through

interpretative method, by using approaches of dilâlat al-alfâz, semantic, and hermenutic.

All of them will be synergized to get a comprehenensive idea and contextual.

Page 11: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

xi

ادللخص م في ضوء القرآن: دراسة موضوعيةسالالو م الصالة عليهاألنبياء اتمة نبو لمفهوم عا

وتلخص ىذه الرسالة أن نبوة حممد صلى اهلل عليو وسلم يف نفس ادلستوى مع نبوات اآلخرين من يلزم أن كادلوقف األساسي يف إرسال األنبياء 4األنبياء قبلو، سواء يف اإلرسال أم يف التشريع. إن سورة ابراىيم آية

يف اإلرسال كلها ال بد أن تفهم كتعبري القرآن يف أمهية وظيفة اللغة يف تبليغ رسالة التوحيد اليت من من اآليات أجلها إرسال األنبياء كلهم. إضافة إىل ذلك، فالعقل التفسريي التقسيمي الذي يرى بعض الكلمات كالناس

ى مثل قومو ومثود وعاد ومدين وبين إسرائيل، ال بد من متضادة ببض الكلمات األخر وكافة للناس والعادلني االبتعاد عنو يف فهم ىذه اآليات.اإلحذار و

464وتدعم ىذه الدراسة حممد عبد ورشيد رضا وكوثر أزىري نور وأبا جعفر الطوسي )ت. األنبياء كلهم أن (، الذين قالوا 0464م( وفريد دونري )6404ه/464م( وعبد اجلبار اذلمذاين )ت. 6406ه/

سواء يف اإلرسال، لذلك حرم التفريق بينهم. إن ادللل كلها تتالقي يف ناحيتها الداخلية وىي رسالة التوحيدبينها مع أهنا ختتلف يف ناحيتها اخلارجية مقتضاة من اختالف مطالبة األمكنة واألزمنة اليت يواجهها ككلمة سواء

الدراسة مع الطربي وابن كثري والقرطيب واجليالين والرازي وابن عاشور نيب مرسل. ويف نفس الوقت، ال توافق ىذهوالسدي وادلراغي وقريش شهاب وموالنا وليد خان، الذين ذىبوا إىل أن نبيوة حممد صلى اهلل عليو وسلم أفضل

قبلو، حيث نبوتو عامة ونبوهتم خاصة.صلوات اهلل عليهم أمجعني من نبوات األنبياء يسية ذلذه الدراسة ىو اآليات القرآنية ادلتعلقة مبوضوع إرسال النيب حممد صلى اهلل عليو وادلصادر الرئ

وسلم وكتب التفاسري ادلتضمنة آراء ادلفسرين يف ىذا ادلوضوع. وأما ادلصادر الثانوية فهي ادلألفات العلمية األخرى . إن البيانات اليت مت احلصول عليها حتلل ادلتعلقة مبوضوع البحث الرمسي وادلادي معا. إن ىذا البحث حبث مكتيب

وتطبيق مجيع ىرميتطيق.سيمنطيق و حتليال نوعيا من خالل أسلوب تفسريي باستخدام مقاربات دالالت األلفاظ و من ىذه ادلقاربات ألجل احلصول على رأي كلي موضوعي يف موضوع ىذا البحث.

Page 12: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

xii

PEDOMAN TRANSLITERASI

A. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin

D ض ‘ ء

T ط B ب

Z ظ T ت

’ ع Ts ث

Gh غ J ج

F ف H ح

Q ق Kh خ

K ك D د

L ل Dz ذ

M م R ر

N ن Z ز

H ه، ة S س

W و Sy ش

Y ي S ص

B. Vokal

1. Vokal Tunggal

Tanda Nama Huruf Latin Nama

Fathah A A

Kasrah I I

Dammah U U

2. Vokal Rangkap

Tanda Nama Gabungan Nama

... ي Fathah dan Ya Ai A dan I

... و Fathah dan

Waw Au A dan U

C. Vokal Panjang

Tanda Nama Gabungan Nama

ـا Fathah dan alif â a dan topi di atas ــ

ـي Kasrah dan ya î i dan topi di atas ــ

ــو ـ Dammah dan waw û u dan topi di atas ـ

D. Kata Sandang (Alif+Lam)

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan

dengan huruf (ال) dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-

diwân bukan ad-diwân.

Page 13: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

xiii

E. Syaddah (Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab

dilambangkan dengan sebuah tanda ( ) dalam alih aksara ini

dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang

diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang

menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti

oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis ad-

darûrah melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

F. Ta’ Marbûtah

Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta’ marbûtah (ة)

terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut

dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang

sama juga berlaku jika ta’ marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t)

(lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta’ marbûtah tersebut diikuti kata

benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat

contoh 3).

Contoh:

No Kata Arab Alih Aksara

tarîqah طريقة 1

عة اإلسالميةالجام 2 al-jâmi’ah al-islâmiyyah

wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3

(ketentuan ini tidak digunakan terhadap kata-kata Arab yang sudah

diserap ke dalam bahasa Indonesia seperti shalat, zakat, dan sebagainya,

kecuali dikehendaki lafaz aslinya)

G. Huruf Kapital

Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,

dalam alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan

mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan

(EYD) bahasa Indonesia, antara lain nama bulan, nama diri, dan lain-lain.

penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka

yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,

bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî

bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindî bukan Al-Kindî).

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat

diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf

cetak miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul

Page 14: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

xiv

buku itu ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dengan alih

aksaranya. Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang

berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan

meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis

Abdussamad al-Palimbani, tidak ditulis ‘Abd al-Samad al-Palimbânî,

Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

H. Cara Penulisan kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi’l), kata benda (ism), maupun huruf

(harf) ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara

atas kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada

ketentuan-ketentuan di atas:

Kata Arab Alih Aksara

dzhaba al-ustâdzu ذهب األستاذ

sabata al-ajru ثبت األجر

al-harakah al’asriyyah الحركة العصرية

asyhadu an lâ ilâ ha illâ Allâh أشهد أن ال إله إال هللا

Maulânâ Malik al-Sâlih موالنا ملك الصالح

yu‘atstsirukum Allâh يؤثركم هللا

al-mazâhir al-‘aqliyyah المظاهر العقليه

al-âyât al-kauniyyah اآليات الكونية

Al-darûrat tubîhu al-mahzûrât الضرورة تبيح المحظورات

Page 15: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

xv

DAFTAR ISI

Judul i

Lembar Pernyataan ii

Persetujuan Pembimbing iii

Kata Pengantar iv

Abstrak vii

Pedoman Transliterasi x

Daftar Isi xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Pokok Permasalahan 15

1. Identifikasi Masalah 15

2. Batasan Masalah 16

3. Rumusan Masalah 17

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 17

1. Tujuan penelitian 17

2. Kegunaan penelitian 18

D. Kajian Pustaka 19

E. Metodologi Penelitian 22

1. Jenis Penelitian 22

2. Sumber Data 23

3. Teknik Pengumpulan Data 24

4. Metode Analisis Data 25

F. Sistematika Penulisan 28

BAB II KENABIAN-KENABIAN DALAM WACANA AGAMA:

ANTARA PROBLEM DAN SOLUSI

A. Kenabian-kenabian Para Nabi 31

1. Sketsa biografis dan latar sosial-historis 31

2. Kenabian-kenabian: atara Hierarkis dan Ekuivalen

a. Kenabian-kenabian Perspektif Hierarkis

b. Kenabian-kenabian Perspektif Ekuivalen

39

40

49

B. Polemik Signifikansi Kenabian dalam Wacana Agama 56

1. Konstruksi makna kenabian 56

2. Konsepsi agama 63

BAB III AL-QUR’AN DAN TRADISI KENABIAN

A. Paradigma Kenabian dalam al-Qur’an 81

1. Tradisi kenabian berlangsung belakangan dari sejarah

manusia

82

2. Ketauhidan sebagai misi setiap kenabian 88

Page 16: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

xvi

3. Setiap nabi diutus dengan bahasa kaumnya 94

4. Para nabi ditaati atas izin Allah Swt 99

B. Ekuisme Kenabian dalam al-Qur’an 106

1. Keidentikan di antara para nabi

a. Aspek misi

b. Aspek ambilinial

106

107

113

C. Egalitarianisme Para Nabi 120

BAB IV PANDANGAN AL-QUR’AN TENTANG KENABIAN-

KENABIAN

A. Ayat-ayat Argumentasi Universalitas Kenabian Nabi

Muhammad Saw

125

B. Catatan-catatan terhadap Keyakinan tentang

Universalitas Kenabian Nabi Muhammad Saw

1. Ayat-ayat yang multi tafsir

2. Parsialitas kesimpulan

3. Kelaziman bahasa kitab suci

4. Menggeser nalar interpretasi: dari limitative kepada

naratif-historis

135

135

147

153

155

BAB V PENUTUP: KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 166

B. Saran 168

DAFTAR PUSTAKA 170

BIOGRAFI PENULIS 179

Page 17: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbagai konflik keagamaan―atau yang distigmakan sebagai konflik

agama―akhir-akhir ini menghiasi berbagai media dan semakin

memprihatinkan. Tidak hanya bersifat lokal, tapi juga berskala internasional.

Tidak terlalu sulit untuk menyebut contoh, mulai dari konflik di Palestina

yang tak kunjung berakhir, pecah dan memanansnya konflik di Suriah,

penyerangan Saudi di Yaman, hingga konflik dalam negeri seperti insiden di

Tolikara, pemboman gereja di Samarinda, penyerangan vihara di Tanjung

Balai, pembubaran acara Kebaktian jemaat Protestan di Bandung, huru-hara

pilkada Jakarta tentang isu pemimpin non-Muslim, dan sebagainya.

Semuanya ini menonjolkan agama yang bersifat ambivalen.1

Di tengah fakta-fakta intoleransi yang kian merebak, dan aktivisme

kekerasan atas nama agama dan moralitas yang berlangsung dalam eskalasi

yang tinggi, pertanyaan fundamental muncul, ‚Jika tak ramah, melegitimasi

intoleransi, kezaliman, dan penindasan atas manusia, apakah agama masih

dibutuhkan?‛2 pertanyaan ini direspon dengan sikap yang beragam, seperti

justifikasi atas hal tersebut sebagai kehendak suci agama, memilih untuk

1 Agama ditampakkan oleh pemeluknya dengan dua wajah, ramah dan marah. Agama

bisa sebagai aturan sebagaimana juga dapat menjadi pemicu konflik. Penampakan yang kontras

inilah yang disebut sebagai ambivalensi agama. 2 Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme Agama kepada MahaguruPencerahan

(Bandung: Mizan, 2011), h. xi.

Page 18: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

2

ateis (tidak beragama), dan melakukan studi kritis atau reinterpretasi

terhadap agama itu sendiri.

Dalam perspektif Islam misalnya, di antara studi kritis tersebut adalah

reinterpretasi terhadap makna ‚Islam‛, kajian tentang toleransi beragama,

pluralisme agama, eksistensi agama pra-Islam, dan sebagainya. Dalam

semangat yang sama, penulis berinisiatif untuk melakukan kajian tentang

kenabian yang dalam diskursus keagamaan arus utama sering diposisikan

sebagai para meter inti dalam menimbang validitas suatu agama,

sebagaimana terlihat dalam teori klasifikasi normatif agama kepada agama

wahyu dan non-wahyu. Selain itu, sebagaimana ditegaskan Hans Kung, pakar

perbandingan agama berkebangsaan Prancis, bahwa tidak ada dialog antar

agama tanpa masuk ke pondasi agama-agama,3 maka kenabian sebagai

konsep krusial-fundamental dalam wacana agama menjadi semakin layak

untuk dikaji.

Melalui kajian kritis terhadap konsep kenabian ini diharapkan

tergalinya sebuah perspektif baru yang dapat melihat struktur agama sebagai

sebuah entitas secara lebih jelas dan proporsional. Dengan ini diharapkan

munculnya sikap keberagamaan yang tidak hanya atas dasar emosional

belaka, tetapi juga ditunjang oleh sikap yang rasional dan penuh dengan

kesadaran terhadap segala perbedaan dalam konteks agama. Selain itu,

agama yang sering diyakini sebagai sesuatu yang sudah sempurna dan

3 Ibnu Mujib dan Yance Z. Rumahuru, Paradigma Transformatif Masyarakat Dialog;

Membangun Fondasi Dialog Agama-agama Berbasis Teologi Humanis (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2010), cet. I, h. 7.

Page 19: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

3

mapan,4 dapat kembali dipahami dalam kerangka objektivitas konteks

historis yang mengitari pertumbuhan dan perkembangannya. Dalam hal ini

perbedaan dalam konteks agama menjadi lebih mudah untuk dipahami dan

disikapi secara lebih arif dan bijaksana.5

Dalam literatur Islam, kenabian adalah pesan atau informasi khusus

yang Allah berikan kepada seseorang di antara hamba-hamba-Nya dan

mengistimewakan hamba tersebut dari manusia lainnya,6 sedangkan wahyu

adalah pemberitahuan petunjuk oleh Allah kepada hamba pilihan-Nya secara

sembunyi dan cepat (tertutup).7 Dengan demikian, maka Nabi adalah orang

yang menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya.8 Wahyu-wahyu

inilah yang kemudian dipahami oleh sementara pakar sebagai agama.9 Hasan

al-Turabi, pemikir dan arsitek utama Republik Islam Sudan, menyatakan ciri

utama agama adalah bersumber dari wahyu dan bukan produk manusia.10

Abdurrahman Badawi, Sarjana berkembangsaan Mesir, menegaskan bahwa

menganulir kenabian sebagai dasar berarti menganulir agama itu sendiri.11

4 Agama sering diyakini sebagai sesuatu yang sudah mapan. Lihat, Daniel L. Pals (ed),

Seven Theories of Religion (New York: Oxford University Press, 1996), h. 1. 5 Keseragaman dapat dimaknai sebagai kekuasaan Tuhan dalam pengertian otoritas-Nya

yang absolut, sedangkan keberagaman dapat pula dipahami sebagai kekuasaan Tuhan dalam

konteks kreatifitas-Nya yang luar biasa, termasuk dalam perkara agama. 6 Muhammad ibn Khalîfah ibn ‘Alî al-Tamîmî, Huqûq al-Nabî ‘alâ Ummatihî fî Daw‘ al-

Kitâb wa al-Sunnah (Riyad: Adwâ‘ al-Salaf, 1997), h. 63. 7 ,Lihat, Mannâ’ al-Qattân .[إعالم هللا تعالى من يصطفي من عباده ما أراد من هداية بطريقة خفية سريعة]

Mabâhits fî Ulûm al-Qur‘ân (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), cet. XI, h. 27. 8 W.J.S. Porwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994),

h. 679. 9 M. Sayuthi, Metodologi Peelitian Agama; Pendekatan teori dan Praktik (Jakarta: PT

Grafindo Persada, 2002), h. 1. 10

Lihat, Hasan al-Turabi, Fiqih Demokratis; Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju

Modernisme Populis, terj. Abdul Haris dan Zaimul Am (Bandung: Penerbit Arasy, 2003), h. 14. 11

Lihat, Abdurrahman Badawi, Min Târîkh al-Ilhâd fî al-Islâm (Kairo: Maktabah al-

Nahdah al-Misriyyah, 1945), h. 208.

Page 20: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

4

Kenyataan di atas melihat bahwa agama adalah keutuhan dari segala

yang lahir dari tradisi kenabian tanpa membedakan antara agama dan

syariatnya. Karena itu, dalam perspektif ini sulit untuk menerima keberadaan

agama lain lantaran adanya perbedaan konsepsi dan ritual.12

Hal ini kontras

dengan apa yang ditegaskan Qatâdah, seorang ahli tafsir terkemuka dari

kalangan tabi’in, [الدين واحد والشريعة مختلفة], ‚agama itu hanya satu, jalannya

saja yang berbeda-beda.‛13

Dengan pernyataan ini, Qatâdah memperlakukan

agama sebagai pesan kebenaran absolut atau ajaran hanif dari Tuhan yang

berpartisipasi dan bersimbiose dalam dialektika sejarah yang beragam, maka

kemudian secara eksoterik dan operasional terbungkus dalam struktur budaya

dan gaya (style) yang ditempatinya.14

Dengan demikian, bagi Qatâdah

perbedaan syariat atau dimensi eksoterik agama bukanlah suatu persoalan.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa ilustrasi kenabian dan wahyu di atas,

secara sinergis menunjukkan terjadinya komunikasi antara yang Trasenden

(Tuhan) dengan yang profan (manusia). Sehingga, tidak heran jika dalam

wacana agama istilah-istilah tersebut (wahyu dan kenabian) sering dijadikan

sebagai parameter inti dalam menilai validitas suatu agama. Dalam hal ini,

agama diasumsikan dengan wahyu-wahyu yang diterima seorang nabi.

12

Komaruddin Hidayat menyebut hal ini dengan istilah kebingungan ‚psikologis-

teologis‛. Lihat, Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 127.

13 Lihat, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî; Jâmi’ al-Bayân ‘An

Ta’wîl Ây al-Qur‘ân, Ed. Mahmûd Muhammad Syâkir (Kairo: Maktabah Ibn Taymiyah, t. th), Jilid VIII h. 494.

14 Jadi, Tuhan yang berada di luar waktu empiris dan substansi agama bersifat trans-

historis, ketika ditangkap manusia yang terbingkai waktu empiris, maka ia keluar dari bentuk

supraformalnya dan lantas berdialog dan berkompromi dengan nilai-bilai dan simbol-simbol yang

bersifat sekuler. Lihat, Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis; Menggungat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Memmbatu (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), h. 13.

Page 21: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

5

Dengan demikian, maka agama yang benar adalah yang perintisnya dikenal

sebagai nabi,15

suatu istilah yang menegaskan terhubungnya seseorang

dengan Tuhan sehingga agama yang dibawanya diyakini bersumber dari

Tuhan. Padahal, seperti yang ditegaskan Qatâdah di atas, agama dan syariat

adalah dua hal yang berbeda. Selain itu, QS. al-Rȗm [30]: 30 secara implisit

menyebutkan bahwa agama sama sekali tidak bersumber dari kenabian tetapi

dianugerahkan secara langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia.16

Meskipun demikian, signifikansi kenabian dalam wacana agama yang

bersifat epistemologis tidak jarang teraktualisasi dalam bentuk teori-teori

tertentu. Misalnya, teori klasifikasi normatif agama kepada agama langit dan

agama bumi. Agama langit disebut juga dengan agama wahyu (revealed

religion), yaitu agama yang diwahyukan oleh Allah kepada para nabi dan

rasul-Nya, sedangkan agama bumi atau yang dikenal juga dengan agama

bukan-wahyu (non-revealed religion) adalah agama hasil ciptaan manusia.17

Berdasarkan asumsi wahyu sebagai bukti legalitas suatu agama, maka dengan

mudah dapat dipahami bahwa agama bumi atau non-wahyu pada klasifikasi

15

Tuhan dan manusia secara ontologis berada pada hirarki wujud yang tidak setara.

Lihat, Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein, dkk (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003), hlm. 77-78. Kenabian adalah

upaya menjembatani keberjarakan tersebut. Lihat, Wan Zailan Kamaruddin, ‚Konsep Nabi dan

Rasul Perspektif al-Qur’an‛. Jurnal Ushuluddin, Universitas Malaya, Bil. 5, Desember (1996): h.

33. 16 ‚Maka hadapkanlah dirimu sepenuhnya kepada dîn secara langsung (pure), yaitu fitrah

(ketetapan) Allah yang telah menciptakan manusia di atasnya. Tidak ada perubahan terhadap ciptaan Allah itu. Itulah agama yang teguh, namun sayang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.‛ QS. al-Rûm [30]: 30.

17 Pengertian di atas adalahpandangan Endang Saifuddin Anshari yang dikutip oleh

Kautsar Azhari Noer. Lihat, langit dan bumi bersifat sewenang-wenang dan subjektif, karena

tidak memiliki nilai ilmiah. Lihat Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi;

Sebuah Telaah atas Klasifikasi Agama-agama,‛ Titik-Temu; Jurnal Dialog Peradaban, vol. 3, no.

2 (Januari-Juni 2011): h. 72.

Page 22: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

6

di atas dipandang sebagai kategori agama yang ilegal, tidak sejati, atau tidak

benar.18

Ahmad Abdullah al-Masdoosi, seorang sarjana Muslim Pakistan,

sebagaimana dikutip oleh Kautsar Azhari Noer, memaparkan tujuh perbedaan

utama antara agama wahyu dan agama non-wahyu, di antaranya adalah

agama wahyu beriman kepada nabi, sedangkan agama bukan-wahyu tidak

demikian.19

Selain itu, al-Madoosi juga menyebutkan bahwa komponen-

komponen yang termasuk ke dalam kategori agama wahyu yang bercirikan

kenabian tersebut berkaitan dengan ras Semitik, yaitu terdiri dari Yudaisme,

Kristen, dan Islam.20

Sedangkan agama non-wahyu lahir dari empat ras;

pertama, Mongolia, darinya lahir tiga agama, yaitu Konfusianisme, Taoisme,

dan Shintoisme, kedua, Arya, darinya muncul empat agama, yaitu

Hinduisme, Jainisme, Sikhisme, dan Zoroastrianisme, ketiga, Miscellaneous,

darinya lahir Buddhisme, dan keempat, Paganisme yang lahir dari selain ras-

ras di atas.21

Fungsi verifikatif dari teori klasifikasi normatif agama sebelumnya,

menghasilkan kesimpulan Yudaisme, Kristen, dan Islam sebagai agama-

18

Sa’dullah Affandy, Abrogasi Agama-agama Pra-Islam (Magelang: PKBM ‚Ngudi

Ilmu‛, 2014), h. 220-222. Klasifikasi normatif ini pada dasarnya bersifat polemis dan debateble, karena oleh sebagian pakar, misalnya Charles Adams-, dinilai sewenang-wenang, tidak objektif,

dan tidak memiliki bobot ilmiah. Lihat, Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama

Bumi, h. 78. Lihat juga, Rusydȋ ‘Ulyȃn dan ‘Abd al-Rahmȃn al-Daurȋ, Usȗl al-Dȋn al-Islȃm (Baghdȃd: Dȃr al-Hurriyah, 1978), h. 17.

19 Ahmad Abdullah al-Madoosi, Living Religions of the World: A socio-Political Study,

Rendered by Zafar Ishaq Ansari (Karachi: Begum Aisha Bawany Wakf, 1962), h. 118.

Bandingkan, Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi, h. 73. 20

Ahmad Abdullah al-Madoosi, Living Religions of the World, h. 11. 21

Burhanuddin Daya, ‚Sejarah Agama-agama: Beberapa Pengertian‛, dalam

Djam’annuri, Ed, Agama Kita: Perspektif Sejarah Agama-agama: Sebuah Pengantar (Yogyakarta:

Kurnia Kalam Semesta&LESFI, 2000), h. 27-28. Bandingkan, Kautsar Azhari Noer, ‚Agama

Langit versus Agama Bumi, h. 74-75.

Page 23: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

7

agama yang sejati dan berasal dari Tuhan.22

Namun, pada perkembangannya

Yudaisme dan Kristen dinilai sebagai agama yang mengalami distorsi-

distorsi karena sikap pemeluknya yang secara sengaja mengotak-atik kitab

suci mereka yang notabene adalah wahyu Tuhan.23

Sikap dan perbuatan

mereka tersebut kemudian berimplikasi kepada eksistensi Yudaisme dan

Kristen sebagai agama sudah tidak lebih dari agama bumi atau non-wahyu.24

Bahwa beberapa kitab suci sebelumnya mengalami distorsi

merupakan kenyataan yang memang ditegaskan oleh beberapa ayat al-

Qur’an.25

Namun, pada saat yang sama tak dapat dipungkiri bahwa al-Qur’an

(misalnya, QS. al-Mȃ‘idah [5]: 44) juga menegaskan di dalam Taurat dan Injil

tersebut, sebagai kitab suci Yudaisme dan Kristen, terdapat petunjuk (hudan)

dan cahaya (nȗr), sehingga Allah memerintahkan agar masing-masing

pemeluknya senantiasa menjadikannya sebagai pedoman hidup serta

mengaplikasikan pesan-pesan yang dikandungnya dalam kehidupan sehari-

hari.26

Dalam hal ini, al-Zamakhsyarȋ menegaskan bahwa hudan adalah

22

Berdasarkan penelusuran Charles Joseph Adams, seperti dikutip Kautsar,

menyebutkan bahwa klasifikasi normatif agama pertama kali terjadi pada abad ke-13 dan

diinisiasi oleh Thomas Aquinas, filsuf dan teolog abad pertengahan. Hal ini dilakukan untuk

meneguhkan Kristen sebagai agama yang dianutnya serta menegasikan agama-agama lain sebagai

rivalnya. Hal ini kemudian diadopsi dan diamini oleh sementara sarjana Islam. Lihat, Kautsar

Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi, h. 77-78. 23

Meskipun demikian, sebuah klarifikasi tentang hal ini misalnya disebutkan bahwa Injil

merupakan pesan-pesan Yesus yang ditulis oleh murid-muridnya sehingga dengan demikian

kedudukannya pada dasarnya sama dengan hadis Nabi. Karena itu, bagi kalangan Kristen

kekuatan Kitab Injil tidak pada autentisitas kodifikasi, melainkan pada substansi pesan yang

dikandungnya. Lihat, Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Toleransi: Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil ‘Ȃlamȋn (Jakarta: Pustaka Oasis, 2010), h. 258.

24 Misalnya yang menegaskan ini, sebagaimana dikutip Kautsar, adalah Endang

Saifuddin Anshari. Lihat, Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi, h. 74. 25

Misalnya, QS. Al-Baqarah [2]: 75, 79, QS. Al-Nisȃ‘ [4]: 46, QS. Al-Mȃ‘idah [5]: 13,

41, dan sebagainya. 26

QS. Al-Mȃ‘idah [5]: 44, 46, 47.

Page 24: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

8

petunjuk untuk merealisasikan kebaikan dan keadilan di kalangan mereka,

sedangkan kata nȗr adalah keterangan tentang hukum-hukum yang masih

mereka ragukan.27

Dengan demikian, upaya-upaya sementara mereka untuk

melakukan distorsi terhadap kitab suci tidak serta merta membuat kitab suci

tersebut kehilangan kredibilitas serta kualifikasinya sebagai kitab suci.

Dalam hal ini, Allah secara tegas mengatakan, ‚mereka hendak memadamkan

cahaya Allah, namun Allah justru hanya berkehendak untuk senantiasa

menyempurnakannya‛ (QS. Al-Taubah [9]: 32).

Tidak cukup sampai di situ, eksistensi Yudaisme dan Kristen sebagai

agama digeser dan semakin dipinggirkan oleh teori lain seputar kenabian.

Teori tersebut adalah teori normatif kenabian Islam. Berbeda dengan tema

distorsi kitab suci sebelumnya, dua agama ini ‚diserang‛ dengan

menjustifikasi bahwa seluruh kenabian para nabi sebelum nabi Islam bersifat

terbatas dan temporal. Sedangkan nabi Islam sebagai penutup rantai kenabian

(khȃtam al-nabiyyȋn) sangat lengkap dan sempurna sehingga bersifat

universal.28

Dengan begitu terstruktur, teori ini secara sistematis

mengantarkan Islam sebagai agama mampu ‚menyingkirkan‛ Yudaisme dan

Kristen, meskipun sama-sama terlahir dari tradisi kenabian.

Universalitas kenabian yang disandang oleh Nabi Muhammad Saw

sebagai nabi Islam, diyakini tidak hanya bergerak ke depan (li tundzira

27

Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, Tafsȋr al-Kasysyâf (Beirȗt: Dȃr

al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), Juz III, cet. I, h. 623. 28

Sayyid Muhammad ibn ‘Alwȋ ibn ‘Abbȃs al-Mȃlikȋ al-Makkȋ al-Hasanȋ, Khasȃ‘is al-Ummah al-Muhammadiyah (al-Madȋnah al-Munawwarah: Maktabah al-Malik Fahd al-

Wataniyah, 2000), Cet. 2, h. 25.

Page 25: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

9

qauman mȃ undzira ȃbȃ‘uhum),29 tetapi juga ke belakang menundukkan

segala aktivitas keagamaan yang ada dan terafiliasi dengan kenabian-

kenabian sebelumnya. Kesempurnaan dan terang-benderangnya cahaya Islam

diposisikan tidak cukup sekedar menenggelamkan pesona cahaya-cahaya

yang ada tapi sekaligus telah ‚mematikan‛nya. Sehingga, tidak ada lagi

cahaya yang tersisa selain cahaya Islam itu sendiri. Pendeknya, tanpa Islam

artinya adalah kegelapan. Segala aktifitas hubungan hamba dan Tuhan hanya

dianggap legal jika berlangsung secara ala kenabian Muhammad Saw. Jika

tidak demikian halnya, maka tidak sah sehingga tidak diterima di sisi

Tuhan.30

Teori klasifikasi normatif kenabian Islam yang dimaksud, seperti

disebutkan dalam Tafsir Tematik Kementrian Agama RI, terdiri dari tiga

tingkatan hierarkis kenabian. Pertama, para nabi yang diutus secara terbatas

dalam konteks ruang dan waktu (khâssah/qaumiyyah). Seperti kenabian Musa

dan Isa, karena keduanya hanya diutus kepada Bani Israil (QS. al-Isrâ‘ [17]: 2

dan QS. al-Saff [61]: 6). Kedua, para nabi yang diutus secara tidak terbatas

dalam konteks ruang namun terbatas dalam konteks waktu. Kenabian seperti

ini di antaranya dimiliki oleh Nuh, yaitu berdasarkan pada QS. Hûd [11]: 44

dan QS. al-Qamar [54]: 12. Sedangkan yang ketiga, nabi yang diutus secara

29

QS. Yȃsȋn [36]: 6, atau (li tunzira qaman mȃ atȃhum min nadzȋr min qablik) QS. al-

Sajadah [32]: 3. 30

Yahudi berlaku sampai diutusnya Isa dan Kristen sampai diutusnya Muhammad.

Begitu komentar Ibn Katsîr ketika menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 62. Ia melanjutkan, ‚tatkala

Muhammad saw. diutus Allah sebagai penutup rantai kenabian dan rasul kepada manusia (banî Âdam) secara keseluruhan, maka mereka wajib membenarkan dan mentaatinya. Mereka inilah

(yang mengikuti Muhammad) yang dimaksud dengan orang beriman yang sejati.‛ Ibn Katsîr al-

Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, jilid I, hlm. 430-432. Sedangkan Ibn ‘Abbâs berpandangan

bahwa QS. al-Baqarah [2]: 62 ini sudah diabrogasi (mansûkh) oleh QS. Âli ‘Imrân [3]: hlm. 85.

Page 26: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

10

tidak terbatas, baik oleh konteks ruang maupun konteks waktu, bahkan

kepada seluruh makhluk. Kenabian tipe ini adalah kenabian yang secara

eksklusif hanya ada pada sosok Nabi Muhammad Saw (QS. al-Saba‘ [34]: 28

dan QS. al-Ahqâf [46]: 29.31

Terlepas dari subjektivitas atau objektivitas teori di atas, universalitas

kenabian Nabi Muhammad di atas ditegaskan banyak mufassir, baik klasik

maupun kontemporer. Misalnya, al-Tabarî, yang mengatakan bahwa Nabi

Muhammad diutus kepada seluruh manusia; ‘Arab dan ‘Ajam, berkulit merah

dan hitam.32

Pendapat yang sama dikatakan oleh al-Qurtubî,33

Ibn Katsîr,34

al-Marâghî,35

Quraish Shihab,36

dan sebagainya. Seperti yang terlihat

sebelumnya, pandangan tersebut didasarkan pada sejumlah ayat dari al-

Qur’an yang di antaranya misalnya adalah QS. al-Sabâ‘ [34]: 28:

31

Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian (Nubuwwah) dalam Al-Qur’an (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf AlQur’an, 2012), cet. I, h. 5-7. Bandingkan dengan,

A. Hamid ‘Izz al-‘Arab et.al, Mabâhits fî al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah (Kairo: Kulliyat al-Dirâsah al-

Islâmiyyah, 1990), h. 140. 32

Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî; Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Ây al-Qur‘ân, Ed. Mahmûd Muhammad Syâkir (Kairo: Maktabah Ibn Taymiyah, t. th), h.

288. 33

Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân; wa al-Mubayyin li Mâ Tadammanahu min al-Sunnah wa Âyi al-Furqân, Ed. Dr. ‘Abd

Allah ibn ‘Abd al-Muhsîn al-Turkî, dkk -Azîm, ed. Mustafâ Sayyid Muhammad, dkk (Beirût,

Mu’assasah al-Risâlah, 2006), jilid XIX, cet. I, h. 314-315. 34

Abû al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, ed. Mustafâ

Sayyid Muhammad, dkk (Jezah: Mu’assasah Qurtubah, t.th), jilid XI, hlm. 287. 35

Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Maktabah Mustafâ al-Bâbî al-

Halabî wa Awlâdih, 1946), Juz IX, cet. I, h. 84. 36

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an..., h. 48.

Page 27: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

11

‚Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.‛37

Sepintas dipahami bahwa pandangan tersebut terbangun dari basis

interpretasi yang skriptual-tekstual. Dalam hal ini, redaksi al-Nâs, Kâffah li

al-Nâs, dan ‘Âlamîn, dipahami sebagai indikator-indikator ketakterbatasan

kenabian Nabi Muhammad, sementara kata-kata seperti Qaumihî, Tsamûd,

‘Âd, Madyan, dan Banî Isrâ‘îl diposisikan pula sebagai indikator-indikator

keterbatasan serta temporalitas kenabian-kenabian sebelumnya. Indikator-

indikator tersebut dipahami secara paradoks sehingga dalam proses

memahaminya kemudian disikapi dengan nalar interpretasi yang bersifat

limitatif (pembatasan)38

yang melihat pengertian setiap indikator di atas

berdasarkan luas atau sempitnya cakupan makna tekstualnya. Dalam hal ini,

komponen kata-kata yang disebutkan pertama lebih luas maknanya dari

komponen yang disebutkan kedua.

Namun, jika konsisten dengan nalar interpretsi (nalar limitatif) yang

digunakan dalam membangun teori klasifikasi normatif kenabian Islam di

atas, maka sulit dipungkiri bahwa pada saat yang sama al-Qur’an juga

mengandung ayat-ayat yang menegaskan sebaliknya, yaitu tentang kenabian

Muhammad Saw yang terbatas dan partikular, serta kenabian sebelumnya

yang universal. Hal ini berdasarkan kenyataan yang ditemukan bahwa

37

Ayat-ayat lain adalah QS. al-Anbiyâ‘ [21]: 107, QS. al-A’râf [7]: 158, QS. al-Nisâ‘

[4]: 79, dan QS. al-Taubah [9]: 33. 38

Limit berarti batas (sebanyak-banyaknya atau sekurang-kurangnya. Lihat, Tim

Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 862.

Page 28: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

12

masing-masing dari kata-kata indikator di atas, sebagai basis interpretasi,

digunakan oleh al-Qur’an untuk setiap kenabian, baik kenabian Nabi

Muhammad sendiri maupun kenabian-kenabian sebelumnya.

Kata qaum misalnya, pada konteks kenabian-kenabian sebelumnya

dipahami sebagai indikator keterbatasan kenabian. Misalnya, QS. al-A’rȃf:

dipahami bahwa ayat tersebut menegaskan ,[وأرسلنا نوحا إلى قومه...];59 :[7]

bahwa Nuh hanya diutus secara terbatas, yaitu kepada kaumnya. Namun

tidak demikian halnya ketika kata qaum jika berkaitan dengan konteks

kenabian Nabi Muhammad Saw. Misalnya, QS. Yȃsȋn [36]: 6; [ لتنذر قوما ما أنذر

meskipun menegaskan bahwa Nabi Muhammad ditugaskan secara ,[آباؤهم

terbatas,39

yaitu untuk memberi peringatan kepada kaum yang nenek

moyangnya belum diperingatkan,40

namun tidak diakui sebagai argumentasi

bagi keterbatasan kenabiannya. Bukan karena menolak pesan ayat tersebut,

tetapi pesannya selalu diperhadapkan kepada keyakinan universalitas

kenabian Muhammad yang dipahami dari ayat-ayat tertentu yang

diasumsikan sebagai basis argumentasinya (misalnya, QS. al-Sabâ‘ [34]: 28).

Contoh lain adalah kata al-Nȃs yang dipahami sebagai genus atau ism

al-jins, misalnya pada QS. al-Sabâ‘ [34]: 28 di atas, yang pada konteks

39

Ayat lain yang menegaskan hal yang sama adalah QS. Al-Qasas [28]: 46 dan QS. Al-

Sajadah [32]: 3 yaitu ‚li tundzira qauman mȃ atȃhum min nadzȋrin min qablika‛ [‚agar kamu

memberi peringatan kepada suatu kaum yang belum pernah datang kepada mereka pemberi

peringatan seorang pun sebelum kamu‛]. 40

Para ulama tafsir memahami kaum yang dimaksud adalah penduduk Mekkah, bahkan

interpretasi yang lebih spesifik memahaminya dengan kaum pagan atau orang-orang musyrik

Mekkah. Misalnya, al-Jȋlȃnȋ yang menafsirkannya dengan ‚penduduk Mekkah‛ yang terdiri dari

orang-orang paganis (musyrikȗn) dan belum memiliki suatu kitab suci (ummiyyȗn). Lihat, Muhy

al-Dîn ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî, Tafsîr al-Jîlânî al-Ghawts al-Rabbânî wa al-Imâm al-Samdânî, Ed. Syaikh Ahmad Farîd al-Mazîdî (Pakistan: al-Makatabah al-Ma’rufiyyah, 2010), Jilid IV, h. 166-

167.

Page 29: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

13

kenabian Muhammad dipahami sebagai argumentasi universalitas

kenabiannya. Jika memang demikian adanya, maka sulit rasanya untuk

memahami sikap al-Qur’an yang juga menggunakan kata al-Nȃs ini pada

konteks kenabian lain, yaitu kata al-Nȃs yang diucapkan Sulaiman ketika

berinteraksi dengan kaumnya.41

Sepanjang ilustrasi di atas, terlihat bahwa teori klasifikasi normatif

kenabian Islam di atas, yang melihat kenabian-kenabian tidak bersifat

ekuivalen, relatif masih rapuh. Tidak hanya karena beberapa faktor, seperti

terbangun dari hegemoni corak interpretasi tekstual-skriptual, masih parsial,

serta dengan nalar interpretasi limitatif (bersifat membatasi) yang dipakai,

tetapi sebuah kontradiksi juga terjadi pada konstruks teori klasifikasi

normatif kenabian itu sendiri. Kontradiksi yang dimaksud adalah status

kenabian Nuh, yang berdasarkan QS. al-A’rȃf: [7]: 59 seharusnya termasuk

kenabian kategori pertama (terbatas dalam konteks ruang dan waktu), namun

pada teori tersebut diposisikan pada kategori kedua (terbatas hanya dalam

konteks waktu dan tidak dalam konteks ruang). Hal ini berdasarkan ayat-ayat

seputar peristiwa banjir pada masa Nuh yang terjadi secara massif meliputi

seluruh permukaan bumi.42

Nalar interpretasi limitatif yang diproyeksikan dalam menyikapi ayat-

ayat seputar pendelegasian para nabi di atas memiliki semangat untuk

41

Hal ini terdapat pada QS. Al-Naml [27]: 16 yaitu ‚wa waritsa Sulaimȃnu Dȃwȗda wa qȃla yȃ ayyuha al-nȃsu ‘ullimnȃ...‛ [‚dan Sulaiman telah mewarisi Daud dan berkata, ‘wahai

manusia, kami telah diberi pengertian tentang...‛]. 42

Lihat, Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik, h. 5-7. Lihat juga, A. Hamid

‘Izz al-‘Arab et.al, Mabâhits fî al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, h. 140.

Page 30: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

14

mengkapling masa berlaku rangkaian kenabian yang pernah ada sepanjang

sejarah. Barangkali, di antara yang mengilhami nalar interpretasi ini adalah

hadis Nabi Saw yang berbicara tentang keistimewaan Nabi Muhammad

dibandingkan dengan para nabi sebelumnya. Di antara keistimewaan tersebut

adalah bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh manusia, sedangkan

para nabi sebelumnya diutus secara terbatas kepada kaum mereka masing-

masing. Hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut:

ثنا ي ار هو أبو الحكم قال حد ثنا سي ثنا هشيم قال حد د بن سنان قال حد ثنا محم زيد حد

ص قال قال رسول هللا ثنا جابر بن عبد هللا عليه وسلم أعطيت الفقير قال حد لى هللا

عب مسيرة شهر وجعلت لي خمسا لم يعطهن أحد من النبياء قبلي نصرت بالر

الة فليصل و تي أدركته الص ما رجل من أم أحلت لي الغنائم الرض مسجدا وطهورا وأي

فاعة ة وبعثت إلى الناس كافة وأعطيت الش بي يبعث إلى قومه خاص .وكان الن

Aku telah diberi lima keistimewaan yang tidak diberikan kepada seorang pun dari para nabi sebelumku. Pertama, Aku diberi pertolongan dengan rasa takut yang ditanamkan dalam musuh dalam jangka sebulan (sebelum berperang). Kedua, bumi dijadikan masjid dan suci bagiku. Siapa pun ketika masuk waktu shalat dapat menjalankannya di mana saja. Ketiga, ghanimah (harta rampasan perang) dihalalkan untukku. Sedangkan ghanimah tidak pernah dihalalkan untuk seorang nabi pun sebelumku. Keempat, Aku diberikan syafa'at. Kelima seorang nabi hanya diutus terbatas untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk semua umat manusia.

43

Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan dalam hal ini adalah

mestikah kenabian-kenabian tersebut dikapling-kapling, bukankah sikap

membeda-bedakan (tafrîq)44para nabi merupakan sesuatu yang dilarang oleh

al-Qur’an? Apakah keyakinan tentang universalitas kenabian itu tidak

bertentangan dengan pesan QS. al-Baqarah [2]: 285 serta kandungan

43

HR. Bukhari no. 438. Lihat Abȗ ‘Abd Allȃh Muhammad ibn Ismȃ’ȋl al-Bukhȃrȋ, al-Jȃmi’ al-Sahȋh (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400 H) Cet. I, Juz I, h. 158.

44 QS. al-Baqarah [2]: 285. [ال نفرق بين أحد من رسله].

Page 31: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

15

universal QS. Ibrȃhȋm [14}: 4],45

yang menegaskan bahwa setiap nabi diutus

kepada kaumnya, yaitu orang-orang yang memiliki bahasa yang sama

dengannya? Hingga sampai kepada mempertanyakan secara fundamental

sejauh mana signifikansi kenabian itu dalam tradisi beragama?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas perlu dilakukan

kajian terhadap eksistensi kenabian-kenabian, yaitu dalam konteks delegasi

dan legitimasnya dalam perspektif al-Qur’an. Hal ini dapat dilakukan dengan

mengkaji ayat-ayat al-Qur’an seputar pendelegasian para nabi secara

komprehensif. Dengan demikian, diharapkan akan diketahui pandangan

holistik al-Qur’an terkait dengan status setiap kenabian yang pernah ada

sepanjang sejarah, termasuk Nabi Muhammad Saw sebagai nabi Islam. Upaya

tersebut dilakukan dengan sebuah penelitian yang kemudian dibingkai

dengan judul, Konsep Universalitas Kenabian-Kenabian Perspektif Al-Qur’an

(Sebuah Kajian Tematik).

B. Pokok Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Sepanjang ilustrasi dalam latar belakang di atas, terdapat berbagai

persoalan dan pembahasan yang beragam. Persoalan tersebut di antaranya

adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana konsep agama sebagai sebuah entitas?

45

QS. Ibrȃhȋm [14}: 4], berbunyi: [...وما أرسلنا من رسول إال بلسان قومه ليبين لهم], yaitu, ‚Dan Kami tidaklah mengutus seorang rasulpun selain dengan bahasa kaumnya, demi rasul tersebut dapat menjelaskan kepada mereka…‛.

Page 32: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

16

b. Bagaimana konsep kenabian dalam wacana agama?

c. Sejauh mana signifikansi kenabian dalam wacana agama?

d. Bagaimana validitas teori klasifikasi normatif agama?

e. Bagaimana validitas teori klasifikasi normatif kenabian Islam?

f. Apa saja ayat yang terkait dengan pendelegasian para nabi?

g. Bagaimana mekanisme serta formulasi kompromi untuk menyikapi

‚kontradiksi qur’anik‛ terkait dengan ayat-ayat tersebut?

h. Benarkah ayat-ayat tersebut harus dilihat dengan perspektif nalar

interpretasi limitatif?

i. Bagaimana konsep holistik al-Qur’an tentang status delegasi serta

legimitasi setiap kenabian menurut perspektif al-Qur’an, serta

bagaimana implikasinya?

2. Batasan Masalah

Memperhatikan identifikasi masalah sebagaimana dipaparkan di

atas, banyak sekali permasalahan yang bisa muncul dalam penelitian ini.

karena itu, penulis membatasinya sebagai berikut:

a. Studi ini ingin memetakan posisi kenabian dalam wacana agama.

b. Penelitian ini meninjau kembali validitas pandangan yang

mengatakan mengklasifikasi kenabian secara hierarkis dalam konteks

delegasi dan legitimasinya.

c. Studi ini meneliti gagasan holistik al-Qur’an terkait dengan status

delegasi serta legimitasi setiap kenabian yang telah diutus Tuhan

sepanjang sejarah.

Page 33: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

17

3. Rumusan Masalah

Melihat pembatasan masalah yang telah dikemukakan di atas,

maka pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan menjadi

‚bagaimana konsep holistik al-Qur’an terkait dengan status delegasi serta

legimitasi setiap kenabian para nabi yang diutus oleh Tuhan sepanjang

sejarah‛.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini berorientasi pada dua tujuan yaitu tujuan yang

bersifat umum dan tujuan yang bersifat khusus. Adapun tujuan yang

bersifat umum adalah menginduksi konsep holistik al-Qur’an tentang

universalitas kenabian Muhammad Saw.

Sementara tujuan yang bersifat khusus dari penelitian ini adalah

sebagai berikut:

a. Untuk membuktikan sejauh mana validitas pandangan yang

mengatakan bahwa terdapat hierarki di antara kenabian-kenabian para

nabi yang diutus Tuhan sepanjang sejarah.

b. Menemukan gagasan holistik al-Qur’an terkait dengan status delegasi

serta legimitasi setiap kenabian yang telah diutus Tuhan sepanjang

sejarah.

Page 34: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

18

2. Kegunaan Penelitian

Setidaknya ada dua hal yang hendak penulis sampaikan mengenai

signifikansi atau kegunaan penilitian ini:

a. Dari segi keilmuan, dalam hal ini penulis ingin mengeksplorasi

kembali wacana universalitas kenabian Muhammad yang sudah

menjadi keyakinan mainstream umat Islam, dan sering digunakan

sebagai argumentasi untuk menilai ketidakbenaran dan kadaluarsanya

(expired) agama-agama lain. Sementara pandangan-pandangan yang

anti-mainstream masih belum begitu tersosialisasi di kalangan umat

Islam. Namun, penelitian ini lebih fokus untuk menemukan gagasan

holistik al-Qur’an terkait dengan keyakinan atas universalitas

kenabian Muhammad. Sulit dipungkiri bahwa gagasan mainstream

tersebut belum menemukan argumentasi yang kokoh. Selain itu, ia

tidak sejalan dengan kemajemukan manusia sebagai sebuah

keniscayaan yang dirancang Tuhan.

b. Pada aspek praktis, diharapkan agar penelitian ini akan berguna bagi

kehidupan masyarakat dalam mengkaji dan memahami khazanah

keislaman, terutama yang berkaitan dengan tafsir al-Qur’an.

Setidaknya mampu memberikan secercah pencerahan terkait dengan

tema universalitas kenabian Muhammad Saw. terutama dalam

konteks masyarakat yang plural hari ini.

Page 35: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

19

D. Kajian Kepustakaan

Tulisan tentang para nabi relatif sudah cukup banyak. Namun kajian

seputar status delegasi dan legitimasi kenabian mereka bisa dikatakan masih

sangat terbatas sekali. Di antara penelitian seputar hal tersebut yang penulis

temukan adalah; ‚Kenabian Muhammad SAW menurut Al-Qur’ân (Kajian

Tematik Tentang Misi Kenabian Muhammad SAW,‛ Tesis PPS UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, tahun 2005, karya Muhammad Yusfik. Tesis ini

memaparkan misi-misi kenabian Muhammad, seperti menyeru manusia agar

menyembah Allah, menyampaikan ajaran-Nya kepada manusia, memberi

petunuuk kepada manusia, menjadi teladan yang baik, memperingatkan

manusia tentang akhirat, pemberi syafa’at kepada manusia, serta menjadi

rahmat bagi semesta alam. Tesis ini sama sekali tidak membicarakan perihal

universalitas kenabian Muhammad Saw.

Tulisan yang relatif relevan dengan tema ini ialah ‚Konsep Wahyu

dan Nabi dalam Islam‛, makalah Dr. Anis Malik Thoha yang disampaikan

pada Workshop on Islamic Epistemology and Education Reform yang

diselenggarakan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Kasim

Pekanbaru, Riau, pada tanggal 27 Maret 2010. Kesimpulan besar makalah

tersebut adalah mengukuhkan universalitas kenabian Muhammad, sedangkan

kenabian-kenabian sebelumnya hanyalah bersifat tempo-lokal. Sehingga,

berbagai macam kodifikasi syariah yang pernah ada dari kenabian-kenabian

sebelumnya telah diabrogasi oleh kenabian Muhammad yang holistik dan

universal. Rangkaian para nabi dan rasul dengan wahyu dan risalah sepanjang

Page 36: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

20

zaman, oleh Thoha, dijadikan argumentasi mendasar bahwa

ketidakseragaman teologis tidak mungkin lagi akan terjadi di sepanjang

sejarah dalam bentuk apapun.

Selain berbentuk karya ilmiah, terdapat juga tulisan dalam bentuk

buku. Misalnya, al-Nubuwwah al-Muhammadiyah: al-Wahy, al-Mu’jizah, al-

Âlamiyyah, karya Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar, yang kemudian

diterjemahkan oleh Kamran As’at Irsyady dan Hadiri Abdurrazaq ke dalam

bahasa Indonesia menjadi, Nabi Muhammad Saw.; Argumen Puncak tentang

Wahyu, Mukjizat, dan Universalitas, diterbitkan oleh Penerbit Erlangga,

Jakarta, tahun 2006. Kesimpulan besar buku ini adalah bahwa

keuniversalanan risalah Muhammad mengkristal dalam bentuk keharusan

mengimani dan melaksanakan apa yang menjadi konsekuensi keimanan

terhadap risalah tersebut. Keharusan mengimani risalah Muhammad ini

meliputi segala bangsa di dunia. Mereka adalah ahl al-kitâb, bangsa Arab dan

non-Arab, manusia dan jin serta segenap alam semesta. Semua ini dideduksi

dari redaksi-redaksi sejumlah ayat yang memang bisa saja digunakan sebagai

argumentasi walaupun sangat lemah.46

Terdapat juga buku, Muhammad A Prophet for All Humanity, karya

Maulana Wahid Khan,47

yang kemudian diterjemahkan oleh Irwanti ke dalam

bahasa Indonesia menjadi, Muhammad Nabi untuk Semua, diterbitkan oleh

46

Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar, Nabi Muhammad Saw.; Argumen Puncak tentang Wahyu, Mukjizat, dan Universalitas, terj. Kamran As’at Irsyady dan Hadiri Abdurrazaq

(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), h. 338-339. 47

Dr. Wahiduddin Khan, lahir di Azamgarh, Uttar Pradesh, India, pada tahun 1925. I

merupakan pemikir Muslim modernis dan nasionalis India. Salah satu karya fundamentalnya

adalah ‚Islam and the Modern World.‛ Karyanya ini sempat menjadi best-seller di negara-negara

Arab dan bahkan dijadikan sebagai salah satu bacaan wajib di universitas-universitas Arab.

Page 37: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

21

Pustaka Alvabet, Jakarta tahun 1998. Berbeda dengan yang lain, Khan, dalam

buku ini menegaskan universalitas kenabian Muhammad dengan mengatakan

bahwa kenabian-kenabian sebelum Muhammad belum ada yang berhasil

mengemban misi kenabiannya. Kesuksesan sejati, menurut Khan, hanya ada

pada diri Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir. Baginya, Nabi Muhammad

bukan hanya sebagai utusan yang menyebarkan agama, tetapi juga bertugas

untuk memuliakan Allah lebih dari agama lain.48

Pandangan Khan terkait

universalitas kenabian Muhammad memakai paradigma rigid, bahwa agama

berevolusi ke arah kesempurnaannya dan masa kesempurnaannya adalah

masa kenabian Muhammad. Agama bukanlah suatu hal yang dinamis yang

bisa beradaftasi, berkolaborasi, dan berakulturasi dengan kearifan lokal

tertentu.

Terakhir, penulis menemukan pembahasan dengan tema, al-Syubhah

al-Hâdiyah wa al-‘Isyrûn; Inkâr Khusûsiyat Muhammad Saw. fî ‘Umûm

Risâlatih, dalam buku, Mausû’ah Bayân al-Islâm, al-Radd ‘alâ al-Iftirâ‘ât wa

al-Syubhât, tahun 2012, yang ditulis oleh Tim yang terdiri dari para ulama

besar. Sebagaimana terlihat pada judul di atas, tulisan ini memposisikan

‚gugatan‛ terhadap universalitas kenabian Muhammad sebagai syubhat

(heresi). Tulisan yang terdiri dari delapan halaman ini menyimpulkan bahwa

universalitas kenabian Muhammad merupakan suatu pengkhususan dari

Tuhan, sedangkan kenabian-kenabian sebelumnya bersifat terbatas. Dengan

48

Maulana Wahiduddin Khan, Muahammad nabi untuk Semua, terj. Irwanti (Jakarta:

Pustaka Alvabet, 1998), cet. I, h. 12.

Page 38: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

22

demikian, kenabian Muhammad bersifat universal menembus ruang dan

waktu,49

sedangkan kenabian para nabi lainnya bersifat partikular-temporal.

Sepanjang uraian tersebut, bisa ditegaskan bahwa persoalan status

delegasi dan legitimasi kenabian-kenabian para nabi masih jarang dilakukan

dan kerap dibicarakan hanya secara ringkas dan parsial. Karena itu, distingsi

penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian ini

berupaya menemukan gagasan holistik al-Qur’an tentang status delegasi dan

legitimasi kenabian-kenabian para nabi yang pernah diutus Tuhan sepanjang

sejarah.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Data yang akan digali adalah hal-hal yang berkaitan dengan

informasi seputar status delegasi dan legitimasi kenabian-kenabian para

nabi. Mengingat penelitian ini bersifat teoritis, maka metode yang akan

digunakan adalah metode kualitatif.50

Adapun metode kualitatif secara

umum didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau

prilaku yang dapat diamati.51

Jenis penelitian ini adalah penelitian

49

Nukhbah min Kibâr al-Ulamâ‘, ‚al-Syubhah al-Hâdiyah wa al-‘Isyrûn; Inkâr

Khusûsiyat Muhammad Sallâ Allâh ‘alaihî wa Sallam fî ‘Umûm Risâlatih,‛ Mausû’ah Bayân al-Islâm, al-Radd ‘alâ al-Iftirâ‘ât wa al-Syubhât (Mesir: Dâr Nahdah, 2012), Juz V, h. 160 dan 167.

50 Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta: Paradigma,

2010), h. 134. 51

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2013), h. 4.

Page 39: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

23

kepustakaan (library research), dengan pengertian data-data yang menjadi

objek penelitian terdiri dari bahan-bahan kepustakaan.52

2. Sumber Data

Sumber primer dalam penelitian ini adalah al-Qur’an itu sendiri,

yaitu ayat-ayatnya yang berkaitan topik utama penelitian ini. Selain itu,

penelitian ini juga akan menggunakan literatur-literatur yang kiranya

memiliki kontribusi informasi dalam pengayaan dan pendalaman kajian

seputar tema inti, khususnya literatur-literatur tafsir, baik klasik maupun

kontemporer. Mewakili masa klasik misalnya, tafsir Jâmi’ al-Bayân fî

Ta’wîl al-Qur‘ân karya al-Tabarî, Tafsîr al-Qur‘ân al-Karîm karya Ibn

Katsîr, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân karya al-Qurtubî, dan lain

sebagainya. Sedangkan yang mewakili masa kontemporer misalnya, al-

Mîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân karya al-Tabâtabâ’î, Tafsîr al-Qur‘ân al-Hakîm

karya Muhammad Rasyîd Ridâ, Fahm al-Qur‘ân al-Hakîm karya al-Jâbirî,

dan lain sebagainya. Selain itu, karya-karya lain yang juga bersinggungan

dengan tema pembahasan penelitian ini juga turut memperkaya bobot

data-data penelitian ini, seperti al-Sîrah al-Nabawiyyah karya Ibn Ishâq,

Hayât Muhammad karya Husain Haikal, Qasas al-Anbiyâ‘ karya Ibn

Katsîr, Atlas al-Qur‘ân karya Dr. Syauqî Abû Khalîl dan lain sebagainya.

Keragaman sumber data tersebut menunjukkan bahwa penelitian tafsir

dalam penelitian ini bersifat tekstual-rasional (al-atsarî al-nazarî).

52

Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner, h. 134.

Page 40: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

24

Sedangkan penyebutan beberapa referensi di atas tidak bermaksud

sebagai pembatasan.

Dengan demikin, maka data-data penelitian ini secara umum bisa

diklasifikasikan menjadi dua kategori, yaitu primer dan sekunder. Data

primer merupakan data-data yang menjadi objek utama penelitian ini,

yaitu al-Qur’an itu sendiri. Sedangkan data sekunder merupakan data

yang memberikan keterangan terhadap informasi yang ada pada data

primer, yang terdiri dari literatur-literatur tafsir, baik klasik maupun

kontemporer, serta sumber lainnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library

research), maka pengupulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi.53

Teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai dokumen

terkait objek penelitian yang di dapat dari perpustakaan. Selain itu,

karena objek utama penelitian ini terdiri dari ayat-ayat al-Qur’an yang

bersifat tematis, maka teknik spesifik dan identik yang akan digunakan

adalah tafsir maudû’î (tematik),54

yaitu berdasarkan topik tertentu.55

53

Dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan

observasi, interview (wawancara), kuesioner (angket), dokumentasi, dan triangulasi (gabungan

keempatnya). Lihat, Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung:

Alfabeta, 2008), h. 240. 54

Al-Farmâwî mengklasifikasi metode tafsir al-Qur’an kepada empat kategori, yaitu

tahlîlî, ijmâlî, muqâran, dan maudû’î. Lihat, Abd al-Hay al- Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al- Maudû’î (Kairo: al-Hadârah al-‘Arabiyyah, 1997, h. 23.

55 Mustafâ Muslim membagi metode maudû’î dalam mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an

kepada maudû’î kata, maudû’î surah, dan maudû’î topik. Sedangkan dalam penelitian ini akan

menggunakan maudû’î topik. Lihat, Mustafâ Muslim, Mabâhits fî al-Tafsîr al- Maudû’î (Beirût:

al-Dâr al-Syâmiyyah, 2000), h. 23-29.

Page 41: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

25

4. Metode Analisis Data

Dalam proses analisis data, penelitian ini menggunakan metode

tafsir tematik serta beberapa pendekatan, yaitu usûl al-fiqh, semantik, dan

hermeneutik. Metode tafsir maudû’î meskipun sangat efektif dalam

proses akumulasi ayat-ayat tematis, tapi tidak bisa dipungkiri pada sisi

lain juga berkontribusi dalam proses interpretasi atau analisis, karena,

sebagaimana ditegaskan banyak mufassir, ayat-ayat al-Qur’an itu

terkadang saling menafsirkan satu sama lain.56

Dalam hal ini, langkah

yang dilakukan adalah adaptasi dari formulasi metodis al-Farmawî

tentang tafsir tematik (maudû’î), yaitu; pertama, menetapkan tema,

kedua, membatasi ayat-ayat yang berkaitan dengan tema, ketiga,

mengelompokkan serta menyusun ayat-ayat tersebut secara tematis

dalam bingkai atau kerangka yang cocok dan berkesinambungan,

keempat, memperkaya pembahasan dengan hadis-hadis Nabi Saw dan

pandangan-pandangan para pakar, dan kelima, studi terhadap ayat-ayat

tersebut secara holistik dan komprehensif, dengan mempertimbangkan

aspek kronologis dan sebab turun ayat, serta dilâlat al-alfâzh yang

melingkupinya, sehingga muncullah satu pemahaman utuh tanpa adanya

unsur kontradiktif satu sama lain.57

Karena metode tafsir tematik kerap kali dipandang terlalu

normatif-idealistik karena terlalu membatasi diri pada aspek tekstualitas

56

Lihat, Muhammad ‘Âbid al-Jâbirî, Madkhal ila al-Qur’ân al-Karîm, hlm. 19. Di antara

inspirasi tafsir tematik adalah ungkapan ‚Istantiq al-Qur’ân‛ (ajaklah al-Qur’an berbicara/biarkan

ia menguraikan maksudnya). Lihat, Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an..., h. 87. 57

Abd al-Hay al- Farmâwî, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al- Maudû’î, h. 61-62.

Page 42: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

26

al-Qur’an sehingga terjebak dalam tindakan pengisolasian teks dari

konteks yang mengitari kemunculannya,58

maka untuk membaca

kemungkinan pemaknaan lain, perlu digunakan pendekatan lain, yaitu

usûl al-fiqh, semantik, dan hermeneutik.

Dalam pendekatan usûl al-fiqh, teori yang digunakan adalah teori

dilâlat al-alfâz,59 yang berperan dalam proses pengukuhan makna

‘objektif’ ayat-ayat al-Qur’an melalui berbagai aturan dan ketentuan

teknis seputar permasalahan kata beserta berbagai penggunaan dan

klasifikasinya yang berkaitan erat dengan kaidah-kaidah linguistik dan

syar’î (formal).60

Salah satu fungsi kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai

instrument untuk mendapatkan pemahaman yang reliable mengenai

sistem dogma Islam.61

Dalam konteks tesis ini, pendekatan usûl al-fiqh

digunakan untuk mendeduksi makna ayat-ayat yang berkaitan dengan

pengutusan para nabi.62

58

Paradigma ini disebut juga dengan ‚teologis-ontologis‛. Lihat, Hamid Dabashi,

Islamic Liberation Theology, h. 21-25. 59

Penguasaan terhadap ilmu usûl al-fiqh merupakan pra-syarat utama bagi seseorang

untuk melakukan interpretasi al-Qur’an. Lihat, Nûr al-Dîn al-‘Itr, ‘Ulûm al-Qur‘ân (Damaskus:

Maktabah al-Sabbâh, 1996), hlm. 88. Adapun dilâlat al-alfâz yang dijadikan pendekatan dalam

konteks ini adalah al-dilâla al-lughawiyyah, seperti âm-khâs, mutlaq-muqayyad, haqîqah-majâz, mutarâdif-musytarak, dan sebagainya. Lihat, Wahbah al-Zuhaylî, Usûl al-Fiqh al-Islâmî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1986), h. 198. Pada konteks ini, Quraish Shihab menegaskan, usûl al-fiqh

merupakan salah satu ilmu alat yang sangat dibutuhkan dalam rangka memahami al-Qur’an,

khususnya persoalan lafaz dalam kaitannya dengan makna lafaz itu, baik ketika berdiri sendiri

sebagai satu kosakata, ataupun setelah terangkai dalam satu susunan kalimat. Lihat, M. Quraish

Shihab, Kaidah Tafsir (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 155-156. 60

‘Âbid al-Jâbirî, Takwîn al’Aql al-‘Arabî (Beirût: Markaz Dirâsât al-Wahdah al-

‘Arabiyyah, 20012), h. 55. 61

‘Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Usûl al-Fiqh (Qâhirah: Dâr al-Qalam, 1978), hlm. 140. 62

Pada dasarnya, usûl al-fiqh merupakan metodologi deduksi hukum yang diturunkan

dari al-Qur’an maupun al-Sunnah. Lihat, Munawir Haris, ‚Metodologi Penemuan Hukum Islam,‛

Ulumuna: Jurnal Studi Islam, Vol. 16, No. 1 (Juni, 2012), h. 1-19.

Page 43: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

27

Kemungkinan makna lain semakin diperluas dengan pendekatan

semantik, sebuah disiplin yang kajiannya berhubungan dengan fenomena

makna dalam pengertian yang lebih luas dari sekedar kata atau redaksi

yang mewadahinya.63

Hal ini berangkat dari asumsi kuat bahwa al-Qur’an

tidak turun pada ruang yang hampa dari historisitas dan sosial-kultural

dari masyarakat yang dihadapinya.64

Dalam konteks penelitian ini, konsep

kenabian akan dielaborasi dari titik fokus kebahasaannya, yang kemudian

melibatkan makna-makna relasinya serta kondisi sosial-kultural aktual

yang membentuk makna kata tersebut.

Sedangkan untuk upaya kontekstualisasi pada konteks kekinian,

digunakan pendekatan hermeneutika yang ditawarkan Nasr Hâmid Abû

Zayd. Hermenetika sendiri, seperti yang ditekankan Rudof Bultmann,

merupakan upaya untuk menjembatani jurang antara masa lalu dan masa

kini.65

Dalam teori hermenetika Nasr Hâmid, teks memiliki makna

historis (historical meaning) dan makna signifikansi (significance).

Makna historis merupakan makna original yang dipahami oleh generasi

pertama (Nabi dan para sahabat), sedangkan makna signifikansi terkait

63

Studi al-Qur’an dengan pendekatan semantik pertama kali dipopulerkan oleh

Toshihiku Izutsu. Menurut Izutsu, semantik adalah kajian analitik atas istilah-istilah kunci

bahasa dengan pandangan yang sampai pada pengertian konseptual weltanschauung atau

pandangan dunia masyarakat yang menggunkan suatu bahasa, tidak hanya sebagai alat bicara dan

berpikir, tetapi yang lebih penting lagi pengonsepan dan penafsiran dunia yang melingkupinya.

Dari uraian Izutsu tersebut, tampak bahwa sejak awal, analisis semantik hendak melibatkan

kajian lintas disiplin ilmu seperti linguistik, sosiologi, antropologi, filsafat, psikologi, ilmu

sejarah, dan sebagainya. Lihat Dadan Rusmana, M. Ag, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2014), h. 73-74.

64 Hassan Hanafî, Dirâsah .‛الوحي ليس خارج الزمان ثابتا ال يتغير بل داخل الزمان يتغير بتغيره‚

Islâmiyyah (Kairo: Maktabah Anjilu al-Misriyyah, t.th), h. 71. 65

Imam Taufiq, Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis Al-Qur’an (Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2016), h. 25.

Page 44: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

28

dengan makna yang secara spesifik seseorang pahami dalam konteks

sekarang.66

Senada dengan itu, Fazlurrahman berpendapat, hermeneutika

adalah kerja pencarian untuk menemukan pesan-pesan moral universal

dari teks-teks al-Qur’an dengan cara memperhatikan kondisi objektif

Arab, sebagai tempat teks itu lahir. Setelah pesan moral sebuah teks

diperoleh, baru ditransformasikan ke dalam konteks kekinian.67

Dalam

penelitian ini, pendekatan hermeneutika akan digunakan untuk

mengidentifikasi realitas aktual kondisi sosial-kultural dari ayat-ayat

yang memuat redaksi pengutusan Muhammad Saw sebagai nabi Islam.

F. Sistematika Pembahasan

Garis besar pembahasan tesis ini adalah sebagai berikut: Bab satu

merupakan pendahuluan studi ini. Di dalamnya dijelaskan latar belakang

masalah dan rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Bab ini

menjelaskan dinamika globalisasi yang menuntut para penganut agama

mampu berpikir inkusif agar ekuilibritas dan kohesi sosial tetap berjalan

dengan baik. Di antara hal yang bisa dilakukan untuk itu adalah mengkaji

ulang konsep-konsep krusial fundamental agama, seperti doktrin universalitas

kenabian Muhammad. Agama harus tampil digarda terdepan dalam menjamin

keberlangsungan hidup bersama ke depan dan seterusnya. Bab ini juga

66

Nasr Hâmid Abû Zayd, Mafhûm al-Nass: Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’an (Kairo: Hay’ah

al-Misriyyah al-‘âmmah, 1993), h. 28. 67

Imam Taufiq, Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis Al-Qur’an, h. 25.

Page 45: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

29

mengurai penelitian terdahulu yang pernah dilakukan, tujuan yang hendak

dicapai, signifikansi penelitian dan metodologi yang digunakan.

Bab dua mengurai seputar kenabian-kenabian dalam wacana agama:

antara problem dan solusi. Sketsa biografis dan latar sosial-historis kenabian-

kenabian perlu diuraikan sebagai pertimbangan historisitas dalam

mengimbangi aspek normativitas ayat-ayat seputar pendelegasian Nabi

Muhammad selanjutnya. Hal ini adalah dengan tujuan diperolehnya

pembacaan yang lebih proporsional dan kontekstual dengan konteks kekinian.

Selain itu, pada bab ini juga ditampilkan uraian seputar dua kelompok, yaitu

yang mengusung gagasan universalitas kenabian Muhammad serta yang

mengusung gagasan seluruh kenabian bersifat ekuivalen. Selain itu, bab ini

diakhir dengan dua pembahasan fundamental, yaitu seputar signifikansi

kenabian dalam tradisi agama serta konsepsi agama itu sendiri.

Bab tiga secara fokus mengulas seputar al-Qur’an dan tradisi

kenabian. Dalam hal ini dipaparkan paradigma pendelegasian kenabian dalam

al-Qur’an, yang berlaku dan menjadi semacam prinsip umum terhadap semua

proses pendelegasin tersebut. Pembahasan selanjutnya adalah ekuisme

kenabian yang terbagi kepada aspek misi dan ambilinial (keturunan), serta

egalitarianisme antara para nabi dan kenabian. Pembahasan ini sengaja

dihadirkan untuk menepis kebingunan ‚psikologis-teologis‛ sehingga

terhindar dari membeda-bedakan para nabi dan kenabian.

Bab empat membicarakan tentang perspektif holistik al-Qur’an

tentang kenabian-kenabian. Berangkat dari teori klasifikasi normatif

Page 46: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

30

kenabian Islam, ayat-ayat seputar pendelegasian seluruh kenabian secara

holistik dibahas dan dianalisis. Hal ini dilakukan untuk menemukan gagasan

holistik al-Qur’an terkait dengan kenabian Muhammad dan para nabi lainnya.

Disini akan tergambar jawaban inti dari tesis ini, yang kemudian akan

digunakan untuk melihat posisi kenabian Muhammad di antara kenabian para

nabi yang lain serta implikasinya dalam konteks keberlakuan syariat.

Bab lima berisi kesimpulan dari penelitian tesis ini. Bab ini

menyimpulkan seluruh pembahasan yang dipaparkan pada bab-bab

sebelumnya, sebagai jawaban terhadap masalah utama penelitian ini. Bab

akhir ini juga dilengkapi dengan sejumlah saran dan rekomendasi yang

berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan kajian selanjutnya, khususnya

seputar universalitas kenabian Muhammad.

Page 47: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

31

BAB II

KENABIAN-KENABIAN DALAM WACANA AGAMA: ANTARA

PROBLEM DAN SOLUSI

A. Kenabian-kenabian Para Nabi

1. Sketsa biografis dan latar sosial-historis

Sepanjang sejarah, Tuhan telah mengutus orang-orang tertentu di

antara hamba-Nya sebagai medium dialogis yang menjembatani diri-Nya

dengan manusia yang lain (QS. al-Syȗrȃ [42]: 51). Dalam konteks ruang dan

waktu yang berbeda, mereka kemudian tersebar ke berbagai penjuru bumi

sebagai pembawa kebenaran dan pemberi peringatan kepada kaum mereka

masing-masing (QS. al-Ra’d [13]: 7). Perbedaan konteks historis tersebut

membuat suatu masyarakat cenderung memiliki pola pikir dan kebudayaan

tersendiri yang berbeda dengan masyarakat lain, disebabkan berbedanya

tantangan dan permasalahan yang dihadapi masing-masing.1

Perbedaan konteks historis tersebut meniscayakan penanganan yang

cenderung berbeda pula antara satu masyarakat dengan yang lainnya karena

dituntut oleh adanya penyesuaian-penyesuaian dalam menyampaikan misi

kebenaran. Karena itu, dalam persoalan pengutusan para nabi kepada

masyarakat-masyarakat tertentu Tuhan berprinsip bahwa pemberi peringatan

tersebut mesti seseorang dari kalangan mereka sendiri yang memiliki bahasa

(lisȃn); pemikiran serta kebudayaan yang sama dengan mereka (QS. Ibȃhȋm

1 Segala hal yang bersifat historis bersifat partikular dan temporal sebagai kehendak

sejarah itu sendiri yang meniscayakan perubahan-perubahan.

Page 48: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

32

[14]: 4).2 Maka kemudian, muncullah berbagai ritual dan konsepsi agama

yang cenderung berbeda antara satu dengan yang lainnya sepanjang sejarah.

Perbedaan konteks historis yang terdiri dari siapa saja nabi yang

diutus, kepada siapa mereka diutus, di wilayah mana mereka ditugaskan,

banyak atau sedikitnya masyarakat yang dihadapi, status sosial seorang nabi;

apakah rakyat biasa atau penguasa, serta bagaimana ritual dan konsepsi

agama yang dibangun, semuanya secara absolut merupakan wewenang

Tuhan. Ini merupakan kehendak Tuhan sendiri (sunnatullah) yang tidak

menginginkan keseragaman tetapi justru merekayasa keberagaman

sedemikian rupa sebagai ujian serta ajang kompetisi antara satu dengan yang

lainnya dalam kebaikan (QS. al-Mȃ‘idah [5]: 48). Dalam hal ini, Tuhan tidak

hanya ingin memperlihatkan otoritas kekuasaan dalam bentuk keseragaman

tetapi juga berkehendak memperlihatkan kreatifitas kekuasaan-Nya dalam

bentuk keberagaman.

Seiring dengan perjalanan sejarah, maka para nabi kemudian

menghadapi realitas sosialnya tersendiri yang tingkat kompleksitasnya juga

cenderung berbeda antara satu dengan yang lainnya. Adam misalnya, sebagai

manusia pertama tentu memiliki konteks sosial yang jauh lebih sederhana

dibandingkan dengan para nabi setelahnya. Pada saat itu, Adam hanya

mengayomi keluarganya sebagai masyarakat pertama di bumi. Persoalan

2 Izutsu menyebutkan bahwa al-Qur’an memiliki kesadaran yang tinggi terhadap peran

bahasa. Antara masyarakat dan bahasanya terdapat ikatan yang tidak dapat dipisahkan. Lihat,

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, terj.

Agus Fahri Husein, dkk. (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003), h. 205.

Page 49: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

33

yang dihadapinya belum terlalu kompleks, misalnya terkait dengan persoalan

pernikahan yang dilakukan secara silang, kurban dan pembunuhan.

Dalam persoalan pernikahan misalnya, pada saat itu pernikahan

dengan saudara masih diperbolehkan yaitu secara silang, karena memang

hanya mereka manusia yang ada pada saat itu. Tindakan pembunuhan juga

belum diberlakukan Qisȃs, karena manusia masih sedikit (QS. al-Mȃ‘idah [5]:

7). Ketentuan pernikahan silang tersebut juga masih mungkin dinegosiasi

seperti telah dilakukan Qabil sehingga permintaannya tersebut diputuskan

dengan kuban siapa yang diterima. Selain itu, apa yang dikurbankan juga

belum diatur secara detail.3 Fakta ini mendeskripsikan kesederhanaan konteks

sosio-historis pada saat itu.

Begitu juga dengan Nuh, yang berdasarkan riwayat Qatȃdah

merupakan nabi pertama yang diutus.4 Meskipun ada riwayat yang

menceritakan Nabi Nuh sudah pernah melakukan puasa5 dan haji,

6 namun

bisa jadi itu bukan sebagai syariat yang mengikat masyarakat yang

dihadapinya secara keseluruhan melainkan lebih kepada kehendak pribadinya

sendiri untuk melakukannya. Hal ini karena berdasarkan riwayat Ibn ‘Umar,

Nuh hanya pernah mewasiatkan dua hal dan melarang dua hal kepada

anaknya. Dua hal pertama yang diperintahkan adalah tauhid dan ungkapan

3 Abȗ al-Fidȃ Ismȃ’ȋl ibn Katsȋr, Qasas al-Anbiyȃ‘ (Kairo: Dȃr al-Tabȃ’ah wa al-Nasyr

al-Islȃmiyah, 1997), h. 62-63. 4 Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta‘wîl

Ây al-Qur‘ân, ( Kairo: Dâr Hijr, 2001), Juz II, h. 261. Lihat juga, Sȃmȋ ibn ‘Abd Allȃh al-

Maghlȗts, Atlas Tȃrȋkh al-Anbiyȃ‘ wa al-Rusul (Riyȃd: Maktabah al-‘Abȋkȃn, 2005), h. 67. 5 Abȗ al-Fidȃ Ismȃ’ȋl ibn Katsȋr, Qasas al-Anbiyȃ‘, h. 118.

6 Abȗ al-Fidȃ Ismȃ’ȋl ibn Katsȋr, Qasas al-Anbiyȃ‘, h. 119.

Page 50: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

34

‚subhȃnallȃh wa bihamdih‛, sedangkan dua hal kedua yang dilarang adalah

syirik dan sombong.7

Secara formal (syar’an), ibadah haji dan kurban baru dikukuhkan pada

masa kenabian Nabi Ibrahim. Masing-masing, ibadah haji sebagaimana

disebutkan pada QS. al-Hajj [22]: 27, dan ibadah kurban pada QS. al-Saffȃt

[37]: 102). Nabi Ibrahim juga dikenal sebagai bapak para nabi, karena para

nabi setelahnya merupakan keturunan-keturunannya.8 Selain itu, para nabi

berikutnya juga sering dihimbau untuk mengikuti serta mencontoh agama

(millah) Nabi Ibrahim ini yang sekaligus menjadi common platform atau titik

temu bagi dinamika perbedaan ajaran kenabian setelahnya (QS. al-Baqarah

[2]: 135).

Hukum Qisȃs baru diberlakukan pada masa Nabi Musa, yaitu

sebagaimana terdapat dalam Taurat, kitab suci Yudaisme (QS. al-Mȃ‘idah

[5]: 45), yang nantinya diadopsi oleh syariat Nabi Muhammad Saw (QS. al-

Baqarah [2]: 178-179). Begitu seterusnya. Fakta-fakta ini menunjukkkan

bahwa pengutusan para nabi serta formulasi ritual dan konsep keberagamaan

mereka terbentuk secara historis sering dengan perjalan dan kehendak sejarah

itu sendiri. Meskipun demikian, mereka pada dasarnya membawa pesan-

pesan universal yang sama.9

Begitu juga halnya dengan kemukjizatan sebagai bukti penguat bagi

kebenaran seorang nabi. Ketika realitas sosio-historis yang dihadapi pada

7 Abȗ al-Fidȃ Ismȃ’ȋl ibn Katsȋr, Qasas al-Anbiyȃ‘, h. 120.

8 Sȃmȋ ibn ‘Abd Allȃh al-Maghlȗts, Atlas Tȃrȋkh al-Anbiyȃ‘ wa al-Rusul, h. 100.

9 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis

Al-Qur’an (Depok: KataKita, 2009), h. 166.

Page 51: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

35

saat itu berupa sihir, maka mukjizat yang didatangkan bersifat materi pula,

seperti tongkat menjadi ular dan sebagainya. Namun, ketika sosio-historisnya

berubah, misalnya tentang maraknya nalar kausalitas, maka mukjizat nabi

yang ditugaskan untuk menghadapi masyarakat tersebut adalah hal-hal yang

menentang hukum kausalitas tersebut. Misalnya kelahiran Isa tanpa seorang

ayah, kemampuan Isa dalam menyembuhkan penyakit kusta dan buta, serta

mampu menghidupkan orang yang sudah mati.10

Berbeda pula dengan

konteks sosio-historis yang dihadapi Nabi Muhammad Saw berupa

masyarakat yang sangat unggul dalam puisi dan sastra, maka mu’jizat yang

diberikan kepadanya berupa al-Qur’an (bacaan sempurna).11

Berbeda dengan realitas sosio-historis para nabi sebelumnya yang

relatif sederhana, Nabi Muhammad menghadapi realitas sosial yang terdiri

dari pluralitas yang kompleks. Makkah sebagai kota kelahirannya merupakan

kota metropolitan dengan mobilitas sosial yang sudah sangat massif. Ia

merupakan jalur perdagangan internasional tempat persinggahan para

pedagang dari berbagai wilayah dan pelosok negeri. Di sana, berbagai

kebudayaan dan kepercayaan saling bertemu dan berkumpul. Realitas sosial

pada saat itu terdiri dari pluralitas dalam banyak aspek, berbeda dengan

masyarakat yang dihadapi para nabi sebelumnya yang cenderung bersifat

seragam dan hidup secara komunalistik.

10

QS. Ȃli ‘Imrȃn [3]: 49. 11

QS. al-Ra’d [13]: 31.

Page 52: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

36

Sebelum diangkat menjadi nabi, Nabi Muhammad sudah bergaul

dengan masyarakatnya lebih kurang selama 40 tahun.12

Peristiwa yang

mengawali kenabiannya adalah ketika turunnya wahyu pertama (QS. al-‘Alaq

[96]: 1-5).13

Dalam rentang waktu 40 tahun tersebut, Nabi Muhammad

menerima banyak informasi terkait dengan Yudaisme, Kristen, Sabiah,

Zoroaster, Majusi, serta kepercayaan lain yang ada di sekitarnya. Tercatat,

Nabi Muhammad pernah melakukan ekspedisi ke Syam sebanyak dua kali.14

Di daerah Syam, Nabi Muhammad pernah berjumpa dengan dua orang

pendeta Nasrani, Buhairâ dan Nestor. Keduanya menegaskan prediksi

kenabiannya di masa yang akan datang. Di Mekkah, Waraqah ibn Naufal,

seorang Kristen yang juga merupakan sepupu Khadijah, juga telah

menegaskan bahwa Muhammad adalah seorang nabi yang ditunggu-tunggu

untuk umat pada saat itu.15

Selain di Mekkah, dalam menjalankan misi

kenabiannya Nabi Muhammad juga mengunjungi Madinah yang di sana

terdapat komunitas bangsa Yahudi. Dilihat dari aspek geografis, bangsa

Yahudi adalah tetangga bangsa Arab. Sedangkan dari sisi ras, kedua bangsa

12

Safiy al-Rahmân al-Mubârakfûrî , al-Rahîq al-Makhtûm..., h. 65-66. Terdapat

diskursus tentang umur Nabi Muhammad ketika diangkat menjadi nabi. Lihat, Mun’im Sirry,

Kontroversi Islam Awal...,h. 249. 13

Namun menurut al-Mubârakfûrî kenabian sudah berlangsung tiga tahun sebelum itu.

Nabi Muhammad selalu bermimpi melihat cahaya seperti cahaya waktu subuh selama enam

bulan. Mimpi seperti inilah yang termasuk kategori seperempat puluh enam kenabian. Tiga tahun

setelah itu, tepatnya pada bulan Ramadhan, barulah turun wahyu pertama kepada Nabi

Muhammad Saw. Safiy al-Rahmân al-Mubârakfûrî , al-Rahîq al-Makhtûm..., h. 66-67. 14

Ibn Hishâm, al-Sîrah al-Nabawiyyah (Lebanon: al-maktabah al-‘Asriyyah, 2003), Juz

I, h. 219. William Montgomery Watt, Muhammad, Prophet and Statman (Oxford: Oxford

University Press, 1961), h. 1. Mahdî Rizq Allâh Ahmad, al-Sîrah al-Nabawiyyah fî Daw‘ al-Masâdir al-Asliyyah..., h. 119.

15 Mahdî Rizq Allâh Ahmad, al-Sîrah al-Nabawiyyah fî Daw‘ al-Masâdir al-Asliyyah...,

h. 133. Ada yang mengatakan bahwa Waraqah adalah seorang Kristen. Ia memiliki banyak ilmu

pengetahuan dari ahli kitab. Lihat, Ibn Ishâq, al-Sîrah al-Nabawiyyah, Jilid I, h. 163.

Page 53: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

37

ini berasal dari rumpun yang sama, yaitu rumpun Semit.16

Mereka menetap di

sana setelah Palestina dikuasai Romawi dan Raja Titus menghancurkan

Yerussalem pada tahun 70 M.17

Kelompok Yahudi yang ada di madinah dan

terkenal ada tiga kabilah, yaitu Bani Qainuqâ’, Bani Quraizah, dan Bani

Nadîr.18

Belakangan, datang pula ke Madinah dua suku dari Bani Azad dan

Qahtân di Yaman, yaitu ‘Aws dan Khazraj, dalam keadaan miskin.19

Adapun dalam kehidupan beragamaan di Hijaz pada saat Islam

muncul, sedikitnya secara global terdapat dua kelompok; ahli kitab dan ummi

(tidak memiliki kitab). Ahli kitab terdiri dari Yahudi dan Kristen. Sedangkan

yang tidak memiliki kitab terdiri dari paganis Arab atau penyembah berhala

(musyrik).20 Ada juga masyarakat religius lain seperti Sabi’in dan Majusi.

Karena itu, tidak mengherankan ketika ada ayat al-Qur’an yang menyebut

dan membicarakan agama-agama ini. Kenyataan ini menunjukkan bahwa

Muhammad dalam menjalankan kenabiannya berinteraksi dengan setiap

golongan ini.

Sedangkan dalam konteks ilmu pengetahuan, orang Arab sangat

terkenal dengan kemampuan syairnya. Penyair bagi mereka adalah orang

yang berpengetahuan luas. Selain itu, juga terdapat kâhin atau dukun yang

memiliki kemampuan untuk meramal, melakukan komunikasi supranatural

dengan roh-roh dan jin, sehingga mengira hal ini jugalah yang di alami

16

Philip K. Hitti, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet

Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010), cet. I, h. 40. 17

Philip K. Hitti, History of The Arabs, h. 61 dan 104. 18

Ibn Katsîr, al-Sîrah al-Nabawiyyah (Beirût: Dâr al-Fikr, 1978), Juz I, h. 11. 19

Ibn Hishâm, Sîrat al-Nabî..., Juz I, h. 9. 20

Aksin Wijaya, Sejarah Kenabian, h. 213.

Page 54: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

38

Muhammad tehadap apa yang diklaimnya sebagai wahyu. Karena itu,

sejumlah ayat al-Qur’an menyebutkan tuduhan-tuduhan mereka terhadap

Muhammad sebagai penyair atau kâhin.21

Nabi Muhammad Saw wafat pada usia 63 tahun, yaitu pada waktu

dhuha, Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 11 H. Pada waktu itu, Islam sudah

tersebar ke berbagai negeri di luar semenanjung Arab. Setelah bangsa Arab di

semenanjung Arabia, Nabi Muhammad semasa hidupnya juga pernah

mengirim utusan dengan surat ke Raja Persia, Raja Ethiopia, penguasa

Aleksandria, Muwaqis, dan Gubernur Bizantium di Busra.22

Dengan

demikian, Islam pada saat itu tidak hanya sekedar agama lokal tetapi sudah

menjadi keyakinan manusia dalam konteks internasional.

Ilustrasi di atas mendeskripsikan bahwa perbedaan sosio-historis yang

menjadi realitas aktual yang dihadapi oleh para nabi, terutama antara Nabi

Muhammad dengan para nabi sebelumnya, berkontribusi dalam proses

formalisasi ritual dan konsep keagamaan sebagai ajaran kenabian, serta

berpotensi dalam membentuk titik persamaan dan perbedaan antara satu

ajaran kenabian dengan yang lainnya. Merespon kenyataan ini, al-Rȃzȋ

merumuskan bahwa syariat itu ada dua; syariat yang mengalami perubahan

dan syariat yang abadi sehingga tidak perlu diubah.23

21

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, terj. Agus fahri Husein, dkk (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2003), cet. II, h. 185-

186. 22

Lihat Harun Nasution, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan,

1995), cet. I, h. 32. 23

Lihat, Abd. Moqsith Ghazali, Argumen..., h. 183. Bandingkan dengan, Fakhr al-Dîn

al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XIV, h. 158.

Page 55: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

39

Dengan menyadari sepenuhnya, bahwa perbedaan syariat antara satu

kenabian dengan kenabian yang lain yang sepenuhnya merupakan tuntutan

konteks ruang dan waktu di mana kenabian itu berada, maka seharusnya

dipahami bahwa perbedaan syariat tersebut tidak berarti perbedaan agama itu

sendiri. Sehingga, aktifitas keberagamaan seharusnya boleh saja berlangsung

melalui corak kenabian manapun tanpa harus dibatasi dengan kenabian

tertentu. Dalam hal ini, al-Tabȃtabȃ’ȋ berkomentar, jika agama tidak

mungkin dinasakh, maka syariat mungkin saja dimodifikasi bahkan

dinasakh.24

2. Diskursus Kenabian-kenabian: antara Hierarkis dan Ekuivalen

Seluruh aliran Islam menerima konsep nubuwwah atau kenabian,

meskipun terkadang pada tingkat wacana terjadi perdebatan-perdebatan

krusial tentangnya.25

Islam memiliki sebuah doktrin yang sangat menekankan

keimanan kepada para utusan Allah. Umat Islam dalam hal ini meyakini

bahwa Allah telah mengutus banyak nabi sebelum Nabi Muhammad. Hanya

saja, terdapat perbedaan dalam memahami status pendelegasian setiap

kenabian tersebut, apakah bersifat hierarkis26

atau ekuivalen27

antara satu

24

Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid V, h.358.

25 Hajam, Falsafah Nubuwwah Ibn ‘Arabi (Jakarta: Gaung Persada Press Group, 2014),

h. 1. 26

Hierarkis berarti berbentuk atau bersifat hierarki. Sedangkan hierarki berarti

bertingkat-tingkat. Lihat, Tim Pustaka Agung Harapan, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: CV

Pustaka Agung Harapan, t.t), h. 204. 27

Ekuivalen berarti mempunyai nilai (ukuran, arti, atau efek) yang sama; seharga;

sebanding; sepadan. Lihat, Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa,

2008), h. 381.

Page 56: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

40

dengan yang lainnya. Masing-masing pandangan ini memiliki dinamika dan

implikasinya tersendiri.

a. Kenabian-kenabian dalam Perspektif Hierarkis

Yang dimaksud dengan perspektif hirarkis dalam penelitina ini adalah

pandangan yang membedakan kenabian Nabi Muhammad dengan kenabian-

kenabian sebelumnya. Menurut perspektif ini, Nabi Muhammad sebagai nabi

diutus kepada seluruh manusia dan bahkan alam semesta, sehingga

kenabiannya bersifat universal (‘âlamiyyah).28 Sedangkan para nabi

sebelumnya hanya diutus secara terbatas kepada kaum-kaum tertentu saja,

sehingga masing-masing dari kenabian mereka hanya bersifat komunalistik

(qaumiyyah).29

Pandangan di atas melihat bahwa kenabian Nabi Muhammad sebagai

delegasi Tuhan telah mendelegitimasi ajaran-ajaran kenabian sebelumnya.

Karena itu, segala aktivitas kebertuhanan harus diseragamkan menjadi ala

kenabian Muhammad. Singkatnya mereka harus masuk Islam, agama yang

dibawa Nabi Muhammad. Jika tidak demikian, maka aktivitas-aktivitas

28

Dalam menunjukkan universalitas kenabian Muhammad ini digunakan berbagai

istilah, diantaranya ialah istilah âlamiyyah yang dipakai oleh Muhammad Sayyid Ahmad al-

Musayyar dalam bukunya, al-Nubuwwah al-Muhammadiyyah, al-Wahy, al-Mu’jizah, al-Âlamiyyah. Lihat, Muhammad Sayyid Ahmad al-Musayyar, Argumen Puncak tentang Wahyu, Mukjizat, dan Universalitas, terj. Kamran As’at Irsyadi dan Hadiri Abdurrazaq (Jakarta: Penerbit

Erlangga, 2006), h. 338. Ada juga yang menggunakan Istilah umûm dan âmmah. Lihat, Nukhbah

min Kibâr al-Ulamâ‘, ‚al-Syubhah al-Hâdiyah wa al-‘Isyrûn; Inkâr Khusûsiyat Muhammad Sallâ

Allâh ‘alaihî wa Sallam fî ‘Umûm Risâlatih,‛ Mausû’ah Bayân al-Islâm, al-Radd ‘alâ al-Iftirâ‘ât wa al-Syubhât (Mesir: Dâr Nahdah, 2012), Juz V, h. 160 dan 167.

29 Komunalistik disebut juga dengan qaumiyyah. Istilah ini digunakan oleh ‘Izzah

Darwazah. Lihat Muhammad ‘Izzah Darwazah, Sîrat al-rasûl Sallâ Allâh ‘alaih wa Sallam..., Juz

I, h. 22.

Page 57: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

41

tersebut dipandang tidak sah dan bahkan dianggap sebagai bentuk kesesatan

atau penyimpangan. Pernyataan tegas tentang hal ini, misalnya diutarakan

Ibn Katsîr;

ال دن عنده قبله من أحد سوى اإلسالم، وهو اتباع الرسل فما بعثهم هللا به ختموا بمحمد صلى هللا عله وسلم الذي سد جمع الطرق إله إال من ف كل حن حتى

جهة محمد صلى هللا عله وسلم. فمن لق هللا بعد بعثة محمد صلى هللا عله وسلم بدن على غر شرعته فلس بمقبل.

‚Tidak ada agama apapun yang akan diterima oleh Allah dari siapapun selain Islam, yaitu mengikuti ajaran para rasul yang telah diutus oleh Allah di setiap masa sampai diakhiri dengan Muhammad Saw. yang telah menutup semua jalan kepada-Nya selain dari jalur Muhammad. Maka, barangsiapa yang menjumpai Allah setelah diutusnya Muhammad dengan agama tertentu yang bukan syariatnya tidak akan diterima.‛30

Pandangan yang senada dengan itu juga ditemukan diutarakan oleh al-

Tabarî yang mengharuskan umat-umat sebelumnya agar melakukan konversi

kepada ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad. Karena hanya dengan

cara demikian mereka akan dapat menerima pahala dan balasan dari amal

kebaikan yang mereka lakukan. Dalam hal ini, al-Tabarî berkata:

وأما إمان الهود والنصارى والصابئن فالتصدق بمحمد صلى هللا عله وسلم والوم األخر وعمل صالحا فلم بدل وبما جاء به. فمن ؤمن منهم بمحمد وبما جاء به

ولم غر حتى توف على ذلك كله فله ثواب عمله وأجره عند ربه كما وصف جل ثناؤه.

‚Adapun keimanan Yahudi, Nasrani, dan Sabi’in adalah membenarkan Muhammad Saw dan ajarannya. Maka, barangsiapa di antara mereka yang beriman kepada Muhammad beserta ajarannya, hari akhir, serta beramal saleh, setelah itu ia tidak meubah atau mengganti apapun hingga wafat dalam keadaan demikian, ia akan mendapatkan pahala serta balasannya di sisi Tuhannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah.‛31

30

Abû al-Fidâ‘ Ismâ’îl Ibn Katsîr al-Dimashqî, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azîm, Jilid III, h. 36. 31

Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta‘wîl ây al-Qur‘an ( Kairo: Dâr Hijr, 2001), Juz II, h. 39.

Page 58: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

42

Hal yang sama juga ditegaskan oleh al-Suddî, yang menjelaskan

pandangannya berupa pengilustrasian lebih lanjut bagaimana seharusnya

proses konversi agama itu terjadi. Al-Suddî menuturkan:

جاء فكان إمان الهود أنه من تمسك بالتوراة وسنة موسى كان مؤمنا حتى عسى. فلما جاء عسى كان من تمسك بالتوراة وأخذ بسنة موسى فلم دعها وتبع عسى كان هالكا. وإمان النصارى أنه من تمسك باإلنجل منهم وشرائع عسى كان مؤمنا مقبوال منه حتى جاء محمد صلى هللا عله وسلم. فمن لم تبع محمدا صلى هللا

ه من سنتة عسى واإلنجل كان هالكا.عله وسلم منهم ودع ما كان عل‚Keimanan Yahudi itu adalah seseorang berpegang teguh dengan

Taurat dan sunnah Musa, maka dia adalah orang beriman sampai kedatangan Isa. Ketika Isa sudah datang tetapi dia tidak meninggalkan Taurat dan sunnah Musa, maka dia akan celaka. Begitu juga dengan iman Nasrani, seseorang yang berpegang teguh kepada Injil serta syariat Isa, maka dia adalah orang yang beriman lagi diterima amalannya sampai datangnya Muhammad Saw. Maka, barangsiapa di antara mereka yang tidak mengikuti Muhammad Saw. karena tidak meninggalkan sunnah Isa dan Injil, maka dia adalah orang yang celaka.‛32

Pandangan al-Suddî di atas penegasan terjadinya abrogasi wahyu serta

ajaran kenabian secara kronologis. Yang paling menarik adalah al-Suddî

bahkan sedikitpun tidak menyinggung isu-isu perubahan yang terjadi pada

kitab suci sebelumnya, yang barangkali bisa dijadikan sebagai argumentasi

dari pandangannya. Namun, dengan alur berpikir yang sama, ajaran Nabi

Muhammad juga akan diabrogasi jika seandainya masih ada kenabian

setelahnya.

Pandangan di atas kemudian melahirkan paradigma hierarkis dalam

melihat seluruh rangkaian kenabian. Kenabian Muhammad kemudian

disuperiorkan atas kenabian-kenabian sebelumnya, karena ini merupakan

rantai terakhir kenabian dan tidak akan ada lagi kenabian setelahnya yang

32

Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî..., Juz II, h. 40-45.

Page 59: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

43

akan mendelegitimasinya. Dalam hal ini kenabian Muhammad kemudian

dipandang sebagai kenabian universal yang diperuntukkan kepada seluruh

makhluk alam semesta.

Dalam perspektif ini, sebagaimana disebutkan dalam tafsir tematik

Kementrian Agama, Kenabian (Nubuwwah) dalam al-Qur’an, kenabian

diklasifikasikan kepada tiga hal.33

Pertama, para nabi yang diutus kepada

kaum dan umat tertentu, seperti Musa dan Isa, karena keduanya diutus hanya

untuk Bani Israil. Hal ini berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an, di antara sebagai

berikut:

‚Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku.‛34

‚Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, Yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan

33

Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian (Nubuwwah) dalam Al-Qur’an (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf AlQur’an, 2012), cet. I, h. 5-7. Bandingkan dengan,

A. Hamid ‘Izz al-‘Arab et.al, Mabâhits fî al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah (Kairo: Kulliyat al-Dirâsah al-

Islâmiyyah, 1990), h. 140. 34

QS. al-Isrâ‘ [17]: 2.

Page 60: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

44

membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata: "Ini adalah sihir yang nyata."35

Kedua, nabi-nabi yang diutus untuk masa tertentu kepada umat

manusia secara keseluruhan seperti Nuh, karena topan yang terjadi di

masanya menenggelamkan keseluruhan bumi seperti dinyatakan dalam QS.

al-Qamar [54]: 12.36

Ini berarti risalah Nuh—meskipun terbatas untuk waktu

tertentu—tidak terbatas kepada umat tertentu, tetapi kepada seluruh umat

manusia di masanya yang mendiami bumi ini. oleh karenanya, setelah topan

tersebut menenggelamkan semua orang yang menentang risalah Nuh, QS.

Hûd [11]: 44 menyatakan bahwa yang ditenggelamkan itu adalah seluruh

umat manusia yang ada di bumi ini.

‚Dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan Hai langit (hujan) berhentilah," dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: "Binasalah orang-orang yang zalim ."37

Ketiga, khusus Nabi Muhammad Saw. yang diutus kepada seluruh

umat dari kalangan manusia dan jin (al-khalq/seluruh makhluk). Hal ini

berdasarkan firman Allah dalam al-Qur’an, di antaranya ialah:

35

QS. al-Saff [61]: 6. 36

Teks ayat tersebut adalah [ ا فالتقى الماء على أمر قد قدروفجرنا األرض عون ]. Artinya: ‚Dan

Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, Maka bertemu- lah air-air itu untuk suatu

urusan yang sungguh telah ditetapkan.‛ 37

QS. Hûd [11]: 44

Page 61: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

45

‚Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.‛38

‚Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.‛39

Demikianlah, pengkotakan rangkaian kenabian secara umum, jika

dilihat dalam perspektif hirarkis ini. Kenabian Muhammad bersifat universal

ditegaskan oleh banyak ulama. Misalnya, Cendikiawan India, Maulana Wahid

Khan.40

Dalam argumentasinya, Khan mengilustrasikan kegagalan-kegagalan

kenabian sebelumnya. Nabi Yahya (John The Baptist) memiliki pengikut

yang berjumlah sedikit sekali, bahkan ia meninggal sebagai syuhada. Ketika

Nabi Luth meninggalkan umatnya, ia hanya ditemani oleh dua orang anak

perempuannya. Khan menambahkan, menurut Kitab Perjanjian Lama, hanya

delapan orang yang ikut berlayar dalam bahtera Nabi Nuh. Ketika Nabi

Ibrahim meninggalkan Irak, tanah tumpah darahnya, beliau hanya ditemani

38

QS. al-Saba‘ [34]: 28. 39

QS. al-Ahqâf [46]: 29. 40

Dr. Wahiduddin Khan, lahir di Azamgarh, Uttar Pradesh, India, pada tahun 1925. I

merupakan pemikir Muslim modernis dan nasionalis India. Salah satu karya fundamentalnya

adalah ‚Islam and the Modern World.‛ Karyanya ini sempat menjadi best-seller di negara-negara

Arab dan bahkan dijadikan sebagai salah satu bacaan wajib di universitas-universitas Arab.

Page 62: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

46

oleh istrinya, Sarah, dan kemenakannya, Luth, walaupun kelak kedua anak

laki-lakinya, Ismail dan Ishak, bergabung dengan rombongan beliau. Bahkan

setelah usaha besar-besaran Nabi Isa (Yesus), para pendeta dan penguasa

keagamaan lain yang menjadi pendengar ajaran-ajarannya tidak mau

mengikuti ajaran beliau. Kedua belas karib beliau pun kadang-kadang

meninggalkannya pada saat-saat penting.41

Maulana Wahid Khan bukan tidak menyadari bahwa tidak semua nabi

yang bernasib sama seperti yang disebutkannya di atas. Khan menyebutkan

beberapa di antaranya seperti Yusuf, Sulaiman, dan Daud. Namun ia memberi

catatan bahwa kekuasaan dan prestasi nabi-nabi tersebut bukan bersumber

dari hasil mereka menyebarkan agama atau karena popularitas mereka,

melainkan dari sumber-sumber yang lain.42

Kesuksesan sejati, menurut Khan, hanya ada pada diri Nabi

Muhammad sebagai nabi terakhir. Baginya, Nabi Muhammad bukan hanya

sebagai utusan yang menyebarkan agama, tetapi juga bertugas untuk

memuliakannya lebih dari agama lain. Lebih lanjut Khan mengatakan bahwa

kekuasaan Tuhan akan membantu sang nabi menaklukkan musuh-musuhnya.

Sebuah agama sejati dapat didirikan di atas landasan yang kuat dan sabda

Tuhan dapat diabadikan, seperti tertulis dalam Injil, ‚Dan bumi akan

dipenuhi pengetahuan mengenai keagungan Tuhan. Begitu pula seluruh air

41

Maulana Wahiduddin Khan, Muhammad nabi untuk Semua, terj. Irwanti (Jakarta:

Pustaka Alvabet, 1998), cet. I, h. 9-10. 42

Maulana Wahiduddin Khan, Muhammad nabi untuk Semua, h. 11.

Page 63: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

47

yang memenuhi samudera.‛43

Dengan demikian, bagi Khan agama sejati itu

baru muncul pada masa kenabian Muhammad, sehingga bersifat universal.

Sedangkan sebelumnya tidak demikian adanya.

Anis Malik Thoha, termasuk yang berpandangan Muhammad

berkenabian universal. Dalam hal ini, ia mengklasifikasi Islam kepada al-

Islâm al-‘Âmm dan al-Islâm al-Khâss. Yang dimaksud al-Islâm al-‘Âmm

dalah Islam primordial atau fitrah, yang menjadi landasan kesatuan seluruh

agama para nabi. Dalam operasionalnya dipanggung sejarah, al-Islâm al-

‘Âmm senantiasa disesuaikan dengan kondisi ke-kini-an dan ke-di sini-an.

Dalam hal ini, Allah mengirim para nabi dengan wahyu yang spesifik dan

relevan dengan tuntutan ruang dan waktu masing-masing (tempo lokal).

Namun, ketika masa pengutusan Nabi Muhammad—menurutnya—berpadu

dua hal yang universal, yaitu Islam primordial serta syariat yang juga

universal. Karena itu, kenabian Muhammad adalah kenabian pamungkas dan

bersifat universal.44

Sebelumnya, kalangan mufassir klasik juga tidak sedikit yang

menegaskan universalitas kenabian Muhammad. Misalnya al-Tabarî,

mengatakan bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh manusia; ‘Arab

dan ‘Ajam, berkulit merah dan hitam.45

Selanjutnya disusul al-Qurtubî yang

43

Maulana Wahiduddin Khan, Muahammad nabi untuk Semua,h. 12. 44

Anis Malik Thoha, ‚Konsep Wahyu dan Nabi dalam Islam‛, dalam Workshop on Islamic Epistemology and Education Reform, di UIN SUSKA Pekanbaru, tanggal 27 Maret 2010, h. 10-19.

45 Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, h. 288.

Page 64: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

48

menuturkan bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh manusia.46

Dengan redaksi yang agak berbeda, Ibn Katsîr mengutarakan hal yang sama

bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh makhluk yang mukallaf

(manusia).47

Sedang al-Jîlânî menyebut Nabi Muhammad sebagai rasul yang

paling sempurna yang memiliki risalah umum yang mencakup seluruh

manusia (risâlah ‘âmmah shâmilah li qâtibat al-anâm).48

Pandangan klasik tersebut juga diamini oleh sejumlah mufassir

kontemporer. Misalnya al-Marâghî, menyebutkan bahwa Muhammad bukan

hanya diutus untuk kaumya, tetapi merupakan Nabi dan Rasul untuk seluruh

manusia, baik Arab maupun non-Arab.49

Quraish Shihab menyatakan bahwa

kenabian Muhammad Saw. berbeda dengan kenabian utusan Tuhan yang lain.

Sebelum beliau, para Nabi dan Rasul diutus untuk masyarakat dan waktu

tertentu, tetapi Nabi Muhammad Saw. diutus untuk seluruh manusia di setiap

waktu dan tempat.‛50

Jika diamati, secara umum argumentasi pandangan mereka adalah

lafazh-lafazh al-Qur’an seperti kata-kata al-Nâs, Kâffah li al-Nâs, dan

‘Âlamîn (konteks pengutusan Nabi Muhammad), yang kemudian

dikontraskan dangan kata-kata seperti Qaumihî, Tsamûd, ‘Âd, Madyan, dan

46

Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân; wa al-Mubayyin li Mâ Tadammanahu min al-Sunnah wa Âyi al-Furqân, Ed. Dr. ‘Abd

Allah ibn ‘Abd al-Muhsîn al-Turkî, dkk -Azîm, ed. Mustafâ Sayyid Muhammad, dkk (Beirût,

Mu’assasah al-Risâlah, 2006), jilid XIX, cet. I, h. 314-315. 47

Abû al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, Jilid XI, h. 287. 48

Muhyiy al-Dîn ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî, Tafsîr al-Jîlânî al-Ghauts al-Rabbânî wa al-Imâm al-Samadî (Pakistan: Maktabah al-Ma’rûfiyyah, 2010), Juz 4, h. 125.

49 Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Maktabah Mustafâ al-Bâbî al-

Halabî wa Awlâdih, 1946), Juz IX, cet. I, h. 84. 50

M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an..., h. 48.

Page 65: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

49

Banî Isrâ‘îl (konteks pengutusan nabi-nabi sebelumnya). Ini mereka nilah

sebagai sebuah pengkhususan. Sebagaimana Allah mengutamakan para nabi

sebelumnya dengan keutamaan-keutamaan tertentu, maka Nabi Muhammad

diberi keutamaan berupa kenabian universal.51

b. Kenabian-kenabian dalam Perspektif Ekuivalen

Berbeda dengan perspektif hierakis sebelumnya, perspektif akuivalen

ini melihat seluruh kenabian secara equal dan egaliter serta tidak

membedakan status pendelegasian Nabi Muhammad dengan para nabi

sebelumnya. Menurut perspektif ini, Muhammad sebagai nabi diutus kepada

kaum tertentu sebagaimana para nabi sebelumnya. Hal itu tidak dimaknai

sebagai sebuah pembatasan tetapi lebih sebagai tuntutan sejarah yang

menghendaki hal itu. Ajaran-ajaran kenabian tersebut kemudian dapat

berkembang dengan alurnya masing-masing tanpa mengharuskannnya

bersifat universal atau membatasinya menjadi sekedar bersifat komunalistik.

Pandangan ini juga tidak melihat Nabi Muhammad sebagai delegasi

Tuhan telah mendelegitimasi ajaran-ajaran kenabian sebelumnya. Pada

konteks ini, agama diperlakukan sebagai pesan kebenaran absolut atau ajaran

hanif dari Tuhan yang berpartisipasi dan bersimbiose dalam dialektika

sejarah yang beragam, maka kemudian secara eksoterik dan operasional

51

Nukhbah min Kibâr al-Ulamâ‘, ‚al-Syubhah al-Hâdiyah wa al-‘Isyrûn; Inkâr

Khusûsiyat Muhammad Sallâ Allâh ‘alaihî wa Sallam fî ‘Umûm Risâlatih,‛ Mausû’ah Bayân al-Islâm, al-Radd ‘alâ al-Iftirâ‘ât wa al-Syubhât (Mesir: Dâr Nahdah, 2012), Juz V, h. 160 dan 167.

Page 66: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

50

terbungkus dalam struktur budaya dan gaya (style) yang ditempatinya,52

sehingga satu sama lain terlihat berbeda. Namun secara esoterik tetap

memiliki titik temu, meskipun perbedaan masih bisa terjadi dalam hal

rumusan atau konsepsional.

Ibarat cahaya, agama itu satu. Tetapi spektrum kilatannya beraneka

warna. Hakikat agama yang benar secara substansial itu hanya satu dan

berifat perennial, tetapi karena ia muncul dalam bingkai ruang dan waktu

yang tidak stimultan, maka pluralitas dan partikularitas bentuk dan bahasa

agama tidak dapat dielakkan dalam realitas sejarah.53

Karena itulah mengapa

Tuhan tidak menciptakan manusia sebagai umat yang seragam dalam segala

aspek (ummah wâhidah). Tanpa harus mempertentangkan perbedaan-

perbedaan tersebut, manusia justru dituntut untuk berkompetisi dalam

menyumbangkan kontribusi positif sebagai hasil dari keberagamaannya.54

Kautsar Azhari Noer, pakar perbandingan UIN Jakarta, dalam sebuah

penelitiannya menyimpulkan bahwa para sufi merupakan kelompok Islam

yang paling toleran, paling simpatik, paling terbuka, dan paling ramah

terhadap agama-agama lain. Di antara argumentasi yang ia sampaikan adalah

karena para sufi berkeyakinan bahwa risalah (message) seorang nabi dan rasul

bersifat universal dan esensinya sama, yaitu tauhid , ‚tidak ada Tuhan selain

Aku, maka sembahlah Aku‛ (QS. al-Anbiyâ‘ [21]: 25, namun di sampaikan

52

Jadi, Tuhan yang berada di luar waktu empiris dan substansi agama bersifat trans-

historis, ketika ditangkap manusia yang terbingkai waktu empiris, maka ia keluar dari bentuk

supraformalnya dan lantas berdialog dan berkompromi dengan nilai-bilai dan simbol-simbol yang

bersifat sekuler. Lihat, Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis; Menggungat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Memmbatu (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), h. 13.

53 Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis..., h. 13.

54 QS. al-Baqarah [2]: 213.

Page 67: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

51

‚dengan bahasa umatnya‛ (QS. Ibrâhîm [14]: 4.55

Dalam hal ini para sufi

secara adil melihat kesatuan agama secara esoterik, serta keniscayaan

perbedaan pada aspek eksoteriknya sebagai implikasi dari upaya dinamis

mengkomunikasikan pesan tauhid.

Seorang ulama klasik, Abû Ja’far al-Tûsî (w. 460/1067),

menyebutkan bahwa ‚Tuhan tidak akan menarik janji keselamatan-Nya

ketika ia telah berjanji‛.56

Janji-janji Tuhan itu terangkum dalam wahyu-

wahyu yang diturunkannya kepada para nabi. Jika demikian adanya, maka ini

merupakan isyarat tegas bagi berlakunya wahyu-wahyu tersebut sepanjang

masa, atau dengan kata lain risalah setiap kenabian itu bersifat universal,

tanpa mengenal istilah kadaluarsa. Dengan demikian, seluruh kenabian,

termasuk di dalamnya kenabian Muhammad sendiri, sama-sama bersifat

universal dan tidak saling menegasikan.

Pemikir besar beraliran Mu’tazilah, Abd al-Jabbâr al-Hamadânî (w.

415 H/1025) termasuk yang mempertanyakan gagasan kenabian universal

Muhammad Saw. Sebagaimana diungkapkan Jane Dammen, ‚he felt it

necessary to remonstrate against the view tahat if Muhammad had been sent

to all humanity, he shoul have adressed them all in their own languages.‛57

Basis kritik al-Hamadânî adalah QS. Ibrâhîm [14]: 4, yang mengeksplisitkan

bahwa semua utusan Allah diutus sesuai dengan bahasa kaumnya. Karena itu,

bagi al-Hamadânî, gagasan universalitas kenabian Muhammad tersebut

55

Ahmad Najib Burhani, Islam Dinamis..., h. 17. 56

Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci..., h. 68. 57

Lihat Jane Dammen Mc Auliffe (ed), The Cambridge Companion to the Qur’an (New

York, Cambridge University Press, 2006), hal. 155.

Page 68: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

52

bertolak belakang dengan kandungan QS. Ibrâhîm [14]: 4, yang justru

memuat pesan atau ketentuan yang bersifat universal.

Muhammad Abduh, pemikir dan mufassir kontemporer, lebih

menitikberatkan perhatiannya pada substansi agama itu sendiri daripada

manifestasi-manifestasinya yang beragam dalam tradisi kenabian. Dalam hal

ini, Abduh berkomentar:

خذه من ملة فكل ذلك ال أثر له وأما أنساب الشعوب وما تدن به من دن وما تتف رضاء هللا وال غضبه وال تعلق به رفعة شأن قوم وال ضعتهم، بل عماد الفالح ووسلة الفوز بخري الدنا واآلخرة إنما صدق اإلمان باهلل تعالى بأن كون التصدق

أو جشانا ف القلب من عن الوجدان. سطوعا على النفس من مشرق البرهان‚Adapun bangsa, agama, dan millah apapun, sama sekali tidak ada

pengaruhnya terhadap suka ataupun murkanya Allah, tidak pula berarti apa-apa terhadap kemuliaan atau kehinaan suatu kaum. Tetapi kebenaran iman kepada Allah yang menerangi segenap jiwa sebagai refleksi dari jelasnya bukti-bukti (burhân) atau bergeloranya hati oleh pengalaman spiritual terdalam, itulah yang menjadi pilar dan faktor keselamatan dunia dan akhirat.58

Pandangan Abduh di atas mendapatkan afirmasi kuat dari muridnya,

Rashîd Ridâ. Terhadap pandangan Abduh tersebut, dalam hal ini, Ridâ

menegaskan:

ال إشكال ف عدم اشتراط اإلمان بالنب صلى هللا عله وسلم، ألن الكالم ف معاملة هللا تعالى لكل فرق أو األمم المؤمنة بنب ووح بخصوصها

‚Tidak ada masalah terkait dengan tidak disyaratkannya beriman kepada Nabi Muhammad saw., karena komunikasi Allah kepada setiap kelompok dan umat-umat beriman, masing-masing dengan nabi dan wahyunya tersendiri.‛59

‘Izzah Darwazah juga sempat membicarakan tentang status kenabian

Muhammad. Dalam hal ini, ‘Izzah mengomentari pandangan yang

58

Selengkapnya silahkan konfirmasi langsung dalam Sayyid Muhammad Rasyîd Ridâ,

Tafsîr al-Qur‘ân al-Hakîm (Kairo: Dâr al-Manâr, 1947), juz 1, cet. 2, h. 334-335. 59

Lihat Sayyid Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur‘ân al-Hakîm, h. 336.

Page 69: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

53

mengatakan kenabian Muhammad bersifat komunalistik (risâlah qaumiyyah).

Di antara ayat yang diutarakan sebagai dasar argumentasi pandangan tersebut

adalah ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah pemberi

peringatan bagi kaumnya serta bahwa ia juga merupakan saksi (shahîdan)

bagi orang Arab. Hal ini dengan sangat keras disangkal oleh Izzah dan

mengatakan pandangan tersebut sebagai sesuatu yang sangat keterlaluan.

Namun, menyadari bahwa pandangan itu cukup argumentatif (berdasarkan

ayat-ayat sebagai landasan normatif) Izzah kemudian menyebutkan bahwa

kenabian Muhammad pada awalnya memang bersifat lokal, namun kemudian

berkembang menjadi universal. Dalam hal ini, Izzah Darwazah menjelaskan:

لحال القول إن الرسالة المحمدة قد استهدفت كخطوة وال منع هذا بطبعة اأولى إنهاض األمة العربة وتخلصها من جاهلتها وتوحدها وطبعها بالطبع اإلسالم

الذي أهلها لحمل مشعل الهداة للعالم.‚Dan tidak ada hambatan untuk mengatakan bahwa dalam konteks

ini risalah Nabi Muhammad pada awalnya bertujuan untuk kebangkitan masyarakat Arab, membebaskan mereka dari kejahiliahan, membuat mereka bertauhid, serta membentuk mereka dengan kehidupan yang islami yang dipersiapkan untuk membawa obor hidayah kepada dunia.60

Sarjan non-Muslim, Fred Donner, seperti diulas Mun’im Sirry dalam

bukunya Kontroversi Islam Awal, pernah mencoba membuktikan bahwa Nabi

Muhammad semenjak awal tidak memiliki gagasan menjadikan Islam sebagai

identitas atau sebagai agama distingtif. Menurut Donner, pada masa awal

pengikut Muhammad hanya disebut sebagai ‚mukmin‛ bukan ‚muslim‛ yang

kita pahami sekarang. Mukmin dalam pengertian ini menunjukkan arti

inklusivisme serta ekumenisme komunitasnya (community of believers).

60

Lihat Muhammad ‘Izzah Darwazah, Sîrat al-rasûl..., Juz I, h. 26-27.

Page 70: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

54

Artinya, mereka belum menjadi sebuah komunitas keagamaan terpisah dari

komunitas keagamaan yang sudah mapan, seperti Yahudi dan kristen.

Komunitas tersebut terdiri dari mereka yang mempunyai kesamaan dengan

keyakinan Nabi Muhammad tentang monoteisme, hari akhirat, dan

pentingnya amal saleh.61

Dalam bukunya, Muhammad and the Believers, sebagaimana dikutip

Mun’im Sirry, Donner menyertakan sejumlah argumentasi atas

pandangannya tersebut. Pertama, kata ‚muslim‛ muncul di dalam al-Qur’an

jauh lebih sedikit (sekitar 75 kali) dari kata ‚mu’min‛ (hampir 1000 kali). Ini

merupakan indikasi bahwa perhatian al-Qur’an adalah untuk membangun

community of believers. Kedua, dalam QS. al-Baqarah [2]: 62 dan QS. al-

Mâidah [5]: 69, Allah berfirman: ‚mereka yang beriman, Yahudi, Sabi’in,

Kristen, siapapun yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir kemudian

beramal saleh, maka tidak ada ketakutan bagi mereka dan tidak juga

kesedihan.‛ Berdasarkan ayat ini, faktor krusial untuk mencapai keselamatan

bukanlah seseorang harus bergabung ke dalam satu kelompok agama tertentu,

melainkan keimanannya terhadap Tuhan, Hari Akhir, dan amal saleh.

Implikasinya adalah sebagian Yahudi, sebagian Kristen, sebagian Sabi’in,

dan sebagainya, dapat dikatakan mukmin dan bergabung di bawah payung

besar komunitas beriman (community of believers).62

Ketiga, bukti historis berupa ‚Piagam Madinah‛. Di dalamnya

diebutkan bahwa kaum Yahudi, Kristen, dan pengikut Nabi merupakan satu

61

Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci..., h. 120-121. 62

Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci..., h. 121-122.

Page 71: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

55

komunitas (ummah). Hal ini, menurut Donner, merupakan indikator kuat

bagi gagasan tentang community of believers di atas. Keempat, terdapat dua

catatan awal (papyrus), yang menyebut Mu’awiyyah sebagai ‚amîr al-

mu’minîn‛, dan yang lain tertulis, ‚sanah itsnain wa arba’în min qadâ‘ al-

mu‘minîn‛ (tahun empat puluh dua dari kekuasaan kaum mukminin). Hal

yang menarik, dua dokumen awal itu masih menggunakan istilah mu‘minûn

bukan muslimûn. Hal ini dapat dimaknai sebagai indikasi bahwa identitas

kaum beriman sebagai Muslim yang terpisah dari komunitas Yahudi dan

Kristen belum sepenuhnya mengkristal.63

Pandangan Fred Donner, beserta argumentasi-argumentasinya di atas,

setidaknya afirmatif dengan pandangan yang tidak membedakan kenabian

yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini, Donner mencoba

mendeskripsikan bahwa Nabi Muhammad sebagai delegasi Tuhan tidak

mendelegitimasi kenabian-kenabian sebelumnya, tetapi justru merangkul

serta meneguhkan orang-orang yang masih menjaga tradisi-tradisi dan ajaran-

ajaran mereka. Berdasarkan ilustrasi di atas, Donner menyimpulkan bahwa

Islam sebagai agama distingtif baru terjadi pada masa belakangan, bukan

semenjak awal masa kenabian.

Sebagai seorang yang konsen dalam studi semantik al-Qur’an, Izutsu

melihat kenabian Muhammad lewat perspektif bahasa. Izutsu yang secara

tegas menyebut bahwa semua nabi yang diutus sebelum Muhammad

berbicara dengan kaumnya dengan bahasa yang mereka miliki. Hal yang sama

63

Mun’im Sirry, Polemik Kitab Suci..., h. 122-123.

Page 72: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

56

juga terjadi pada Muhammad. Karena beliau merupakan Nabi yang berasal

dari Arab dan Rasul untuk orang Arab, maka Kitab yang diturunkan kepada

beliau pun berbahasa Arab. Jika tidak demikian, maka tidak ada alasan

mengapa bahasa Arab yang dipilih—untuk wahyu tersebut—, dan bukan

bahasa lainnya.64

Dalam hal ini, Izutsu memahami bahwa al-Qur’an sangat

menyadari bahwa bahasa dan masyarakat dua hal yang tidak bisa

dipisahkan.65

B. Polemik Signifikansi Kenabian dalam Wacana Agama

1. Konstruksi makna kenabian

Kenabian merupakan istilah religius yang secara fundamental

diposisikan sebagai suatu hal yang substansial dan signifikan dalam wacana

agama. Ia sering digunakan sebagai parameter inti dalam menilai validitas

sebuah agama, bahkan jantung bagi eksistensi agama itu sendiri. Kenyataan

ini sebagaimana terlihat dalam tradisi agama langit, atau yang sering juga

disebut dengan istilah agama wahyu. Baik istilah langit maupun wahyu,

keduanya menegaskan pemaknaan tentang agama yang berasal dari tradisi

profetik atau kenabian.

Meskipun demikian, kenyataan ditemukan bahwa kenabian hanya

identik dengan agama-agama yang muncul di Timur Tengah. Sedangkan

pemimpin-pemimpin agama dunia, yang melahirkan agama baru atau

memperbarui suatu agama dari kawasan lain tidak lazim disebut nabi. Tokoh-

64

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan manusia..., h. 211. 65

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan manusia..., h. 205.

Page 73: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

57

tokoh seperti Konfusius, Lao-tse, dan Mencius dari Cina atau Sidharta

Gauthama dari India, tidak disebut sebagai nabi, karena memang tidak

mengklaim diri sebagai penerima wahyu atau diutus oleh Tuhan.66

Dengan demikian, maka kenabian dapat dimaknai dalam dua hal;

agama wahyu atau agama Timur Tengah. Kedua makna tersebut dapat

diintegrasikan dengan sebuah klaim bahwa agama wahyu hanyalah agama

yang lahir di Timur Tengah. Pada perkembangannya, agama profetik juga

dikenal dengan istilah agama semitik. Kata semitik merujuk kepada bangsa

Semit yang merupakan keturunan salah seorang dari tiga putrah Nabi Nûh,

yaitu Sâm ibn Nûh.67

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kenabian adalah sifat (hal)

Nabi atau yang berkenaan dengan Nabi. Sedangkan Nabi sendiri adalah

istilah yang ditujukan kepada orang yang menjadi pilihan Allah untuk

menerima wahyu-Nya.68

Pemaknaan yang sama dapat dijumpai dalam banyak

literatur Islam. Dalam Tafsir Tematik Kementrian Agama: Kenabian

(Nubuwwah) dalam al-Qur’an, disebutkan bahwa definisi terbaik (jâmi’

mâni’) adalah apa yang telah dirumuskan oleh Sa’d al-Dîn al-Taftazânî, pakar

telogi Islam yang otoritatif, bahwa kenabian ialah, ‚sifat (hal) yang

berkenaan dengan manusia (al-insân) yang diutus oleh al-Haq (Allah) kepada

66

M. Dawam Rahardjo, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002), Cet. II, h. 297.

67 Mustafâ Sâdiq al-Râfi’î, Târîkh Âdâb al-‘Arab (al-Mansûrah: Maktabah al-Aymân,

1997), cet. I, h. 37. 68

W.J.S. Porwadaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1994),

h. 679.

Page 74: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

58

al-Khalq (makhluk).‛69

Kemudian, dalam buku Huqûq al-Nabî ‘alâ Ummatihî

fî Daw‘ al-Kitâb wa al-Sunnah, disebutkn bahwa kenabian adalah pesan atau

informasi khusus yang Allah berikan kepada seseorang di antara hamba-

hamba-Nya dan mengistimewakan hamba tersebut dari manusia lainnya

(dalam bentuk pengabdian), serta mentaati syariat Allah, apakah hal tersebut

dalam hal perintah, larangan, bimbingan, janji baik atau ancaman.70

Dari keterangan ini, dipahami bahwa penjelasan seputar nabi dan

kenabian mengandaikan pelibatan satu konsep teknis yang tanpanya mustahil

nabi dan kenabian dapat dibicarakan. Konsep yang dimaksud adalah konsep

wahyu, yaitu salah satu bentuk relasi komunikatif yang terbangun antara

Tuhan yang Transenden dengan manusia sebagai makhluk-Nya yang profan.

Inilah yang menjadi pertimbangan mengapa kenabian diposisikan sebagai

epistemologi agama, yaitu sebagai garansi bagi validitas terjadinya kontak

dengan Tuhan, yaitu lewat proses pewahyuan.

Terkait dengan pewahyuan, Nûr al-Dîn ‘Itr mengutip Ibn Fâris,

menyebutkan bahwa kombinasi wâw, hâ, dan harf mu’tal (wahy) adalah

penyampaian informasi kepada orang lain secara sembunyi-sembunyi.

Berangkat dari makna ini, Nûr al-Dîn ‘Itr kemudian memahami wahyu

sebagai isyarat yang cepat 71

Senada dengan itu, berangkat dari dua makna

dasarnya, yaitu al-khafâ‘ (tersembunyi) dan al-sarî’ah (cepat), al-Qattân

69

Lihat Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian (Nubuwwah) dalam Al-Qur’an, h. 5, sebagaimana dikutip dari, Sa’d al-Dîn al-Taftazânî, Syarh al-Maqâsid, ‘Abd al-Rahmân ‘Umairah (ed.) (Beirut: ‘âlam al-Kutub, 1989), Jilid V, h. 25.

70 Muhammad ibn Khalîfah ibn ‘Alî al-Tamîmî, Huqûq al-Nabî ‘alâ Ummatihî fî Daw‘

al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyad: Adwâ‘ al-Salaf, 1997), h. 63. 71

Nûr al-Dîn ‘Itr, Ulûm al-Qur‘ân al-Karîm (Damaskus: Matba’ah al-Sabl, 1993), h. 14.

Page 75: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

59

memaknai wahyu sebagai pemberitahuan terhadap komunikan yang

berlangsung secara tersembunyi, cepat, serta eksklusif, karena tersembunyi

dari pihak lain.72

Atas kenyataan ini, wahyu dalam pengertian religiusnya

kemudian dimaknai oleh al-Qattân dengan ‚pemberitahuan petunjuk oleh

Allah kepada hamba pilihan-Nya secara sembunyi dan cepat (tertutup).73

Dalam wacana agama, pihak yang menerima pesan secara eksklusif dari

Tuhan inilah yang kemudian disebut sebagai nabi.

Setelah menerima pesan tersebut, maka para nabi selaku delegasi

Tuhan akan menyampaikan pesan tersebut kepada komunitas di mana mereka

berada. Hal ini karena—sebagaimana ditegaskan oleh Ubay ibn Ka’ab, Ibn

Zayd, dan al-Tabarî, —kemunculan setiap tradisi kenabian dilatarbelakangi

oleh adanya perselisihan sosial (ikhtilâf) di tengah masyarakat.74

Proses

penyampaian inilah yang disebut sebagai tablîgh, sehingga seorang nabi

dalam hal ini memiliki fungsi berikutnya sebagai rasul atau utusan.75

Ilustrasi penjelasan seputar pewahyuan di atas pada dasarnya sedang

mendeskripsikan fenomena kenabian itu sendiri. Pewahyuan dan kenabian

yang dibedakan oleh sudut pandang saja. Pewahyuan mendeskripsikan proses

dari sumber, yaitu Allah, sedangkan kenabian proses tersebut dilihat dari

penerimanya, yaitu sosok nabi tertentu. Sedangkan istilah rasul, berkaitan

72

Mannâ’ al-Qattân, Mabâhits fî Ulûm al-Qur‘ân,h. 26. 73

[ من صطف من عباده ما أراد من هداة بطرقة خفة سرعةإعالم هللا تعالى ]. Lihat, Mannâ’ al-Qattân,

Mabâhits fî Ulûm al-Qur‘ân,h. 27. 74

Ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Jilid III, h. 624. 75

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia..., h. 197.

Page 76: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

60

dengan fungsi seorang nabi ketika menyampaikan kepada manusia apa yang

telah diterimanya dari Tuhan.

Namun, jika kita konfirmasi kepada al-Qur’an, term wahyu dipakai

dalam pengertian yang sangat luas. Dalam al-Qur’an kata wahyu juga

dihubungkan—misalnya— dengan ibu Musa (perempuan), lebah, syaitan, dan

sebagainya.76

Korelasi kata wahyu dengan manusia pada umumnya, disebut

oleh Izutsu sebagai ilhâm atau ‚inspirasi‛ (bersifat lebih umum dan non-

verbal). Ini menunjukkan bahwa Tuhan mengkomunikasikan kehendak-Nya

secara langsung kepada manusia tanpa perantara, hanya saja ini dilakukan

tanpa formulasi pemikiran linguistik apapun. Tuhan, dalam hal ini,

menghidupkan pikiran manusia sedemikian rupa sehingga manusia segera

memahami kehendak Tuhan.77

Kenabian dalam pengertian yang disebutkan Izutsu di atas, sejalan

dengan apa yang diungkapkan oleh kaum rasionalis Islam, seperti al-Farabî

w.950 M), Ibn Sinâ w.1037), Ibn ‘Arabî, dan sebagainya. Misalnya, al-Farabî

dan Ibn Sinâ, menyebutkan bahwa manusia yang memperoleh kenabian itu

dianugerahi akal yang hebat dan kuat serta berdaya suci (al-hads al-qudsî).

Dengan akal yang istimewa itu mereka dapat berhubungan (ittisâl) dengan

akal aktif (al-‘aql al-fa’âl) yang disebut Jibril dan dapat menerima cahaya

atau wahyu ilahi. Dengan kata lain, menurut kedua filsuf ini, manusia yang

memperoleh akal mustafâd tanpa melalui usaha dengan daya imajinasi

kompositifnya (al-quwwah al-mutakahyyilah) itulah manusia yang menerima

76

Lihat, Mannâ’ al-Qattân, Mabâhits fî Ulûm al-Qur‘ân,h. 26-27. 77

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia...,h. 177.

Page 77: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

61

nubuat yang selanjutnya disebut nabi.78

Pandangan ini mendapat kritik dari

para teolog dan ahli fikih muslim, karena dianggap merendahkan kenabian

serta menjadikan kenabian terkesan bisa diusahakan (iktisâb).79

Sementara itu, kenabian yang bersifat iktisâb juga ditonjolkan dalam

filsafat kenabian Ibn ‘Arabî. Menurutnya, dalam diri manusia dan semesta

terdapat aspek makrokosmik dan mikrokosmos. Dalam pandangan Ibn ‘Arabî,

jiwa manusia merupakan mikrokosmos, yaitu mengandung semua realitas

semesta dalam dirinya.80

Dari kenyataan ini, konstruks pemikirannya tentang

kenabian terdiri dari tiga tahapan; wilâyah atau kewalian (kesudian dan

kedekatan diri kepada Allah, maqâmât (tahapan pengalaman rohaniah), dan

terakhir nubuwwah (kemampuan komunikasi dengan Tuhan).81

Dengan

melewati tahapan-tahapan tersebut, seseorang akan dapat menggapai derajat

kenabian tersebut.

Sepanjang uraian di atas, maka kenabian menjadi tidak hanya terbatas

kepada makna mainstream seperti agama langit, agama Timur Tengah, atau

agama semitik saja. Mengingat hampir setiap figur perintis atau pemimpin

agama dunia melakukan aktifitas yang terangkum dalam konstruk makna

kenabian tersebut. Mereka menerima pencerahan dari Tuhan lalu

menyebarkannya kepada manusia yang ada di sekitarnya. Sehingga, dalam

78

Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian (Nubuwwah) dalam Al-Qur’an, h. 7. Bandingkan dengan, Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian dalam Islam (Antara Filsafat dan Ortodoksi (Bandung: Mizan, 2003), h. 49.

79 Lihat, Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian (Nubuwwah)

dalam Al-Qur’an, h. 8-9. 80

William C. Chittick, The Sufi Path of Knowledge, Pengetahuan Spiritual Ibn al’Arabi, terj. Achmad Nidjam (jakarta:Qalam, 2001).

81 Hajam, Falsafah Nubuwwah Ibn ‘Arabi, h. 11.

Page 78: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

62

hal ini tidak ada hambatan apapun untuk menyebut mereka juga sebagai

nabi. Kenyataan ini diperkuat oleh adanya sanggahan kuat terhadap teori

klasifikasi normatif agama kepada agama langit dan agama bumi yang dinilai

tidak argumentatif sama sekali.82

Di antara yang menggugat teori tersebut adalah Ali Syari’ati (1933-

1977), cendikiawan dan sosiolog Iran, yang mengatakan bahwa para nabi

secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok: nabi-nabi non-

Semitik (Iran, China, dan India, yaitu orang-orang Arya atau Chrysalis) dan

nabi-nabi Semitik. Dalam pandangan Ali Syari’ati, tokoh seperti Zoroaster,

Buddha, Konfusius, Laotse, Mahavira, dan sebagainya, termasuk di antara

nabi-nabi besar.83

Selain itu, jika pembacaan terhadap kenabian dengan perspektif

etimologis kata wahy berimplikasi kepada kenabian sebagai sesuatu hal yang

sifatnya ikhtisâs (penunjukan), maka pembacaannya secara filosofis justru

mengesankannya menjadi bersifat iktisâb (bisa diusahakan). Jika kenabian

dipandang sebagai sesuatu hal yang dapat diusahakan, maka ia merupakan

suatu hal yang tetap terbuka dan terus berlangsung hingga akhir zaman,

82

Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi; Sebuah Telaah atas

Klasifikasi Agama-agama,‛ Titik-Temu; Jurnal Dialog Peradaban, vol. 3, no. 2 (Januari-Juni

2011): h. 78. 83

Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi…, h. 89. Bandingkan, Ali

Syari’ati. The Visage of Islam, terj. Abdulaziz Abdulhussein Sachedina (Tehran: Committee for

Intenational Propagation of the Islamic Revolution in collaboration with Soroush Publications,

1981), h. 8.

Page 79: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

63

meski tidak membawa syariat baru. Hal ini sebagaimana menjadi keyakinan

Ahmadiyah, baik aliran Lahore maupun aliran Qadyan.84

Pandangan ini identik dengan gagasan tokoh Yahudi, Maimonides

atau Rabi Moses ibn Maimon, seorang filosuf Yahudi, lahir di Kordova pada

1135 atau 1138 M, yang hidup sezaman dengan Ibn Rushd (w. 594 H/1198

M). Maimonides memperkenalkan istilah nubuwwah minor, yaitu kenabian

yang muncul sebagai repetisi atau paling jauh penyempurna terhadap yang

sebelumnya. Ia tidak hadir sepenuhnya dengan ajaran atau syariat baru.

Kenabian minor ini bisa dicapai oleh siapa saja, dan fenomenanya masih terus

berlanjut sehingga siapapun kemudian bisa menjadi ‚Nabi‛.85

2. Konsepsi agama

Agama merupakan sebuah entitas yang belum terdefinisikan secara

tuntas dan hadir dalam penampakan yang bermacam-macam. Mulai dari

sekedar ajaran akhlak hingga ideologi pergerakan, sejak perjalanan spiritual

yang sangat individual hingga tindakan kekerasan yang massal, sejak ritus-

ritus khidmat yang menyejukkan hingga ceramah-ceramah demagog yang

84

Pandangan kenabian seperti ini sering diposisikan sebagai penodaan terhadap Islam

dan menandingi kenabian Muhammad Saw. Lihat, Mirza Ghulam Ahmad, Haqîqat al-Wahy (t.tp:

t.p, 1907), h. 97. Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam (New Delhi: National

Publication and Printing House, 1890), h. 263. Maulana Muhammad, Gerakan Ahmadiyah, terj.

Tbg. Muhammad Syarif E. Koesnadi (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2002), h. 19-20.

Syarif Ahmad Lubis, Jemaat Ahmadiyah: Sebuah Pengantar (Parung: JAI, 1994), h. 13.

Bandingkan dengan A. Fajar Kurniawan, Teologi Nubuwwah Ahmadiyah (Jakarta: RM Books,

2006), h. 87-88. 85

Ibrâhîm Madzkûr, Filsafat Islam: Metode dan Penerapannya, terj. Yudian Wahyudi

(Jakarta: CV. Rajawali, 1988), h. 151-152. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London dan New York: Rouledge, 1996), h. 730-731.

Page 80: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

64

menyesakkan.86

Di antara yang menegaskan ini misalnya, Wilfred C. Smith,

pakar studi agama-agama dunia, yang menyatakan bahwa sejauh ini tidak

satu definisi pun tentang religi (agama) yang pernah diajukan terbukti

meyakinkan; tidak satu generalisasi pun yang agak memadai.‛87

Kenyataan ini tentu saja merupakan suatu hal yang krusial sekali,

mengingat agama merupakan sebuah entitas yang memiliki kontribusi serta

peran yang sangat besar dan signifikan sepanjang sejarah manusia, baik itu

dulu, sekarang maupun nanti. Karena itu, upaya serius untuk menemukan

konstruks batasan agama yang proporsional mutlak diperlukan.

Upaya tersebut dapat di awali dengan berangkat dari fakta bahwa

agama lebih dominan dipahami sebagai sebuah institusi sosial. Eksistensi

sejumlah istilah seperti Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, Konghucu,

dan sebagainya, adalah membuktikan hal demikian. Agama dalam hal ini

adalah seperti yang didefinisikan Emile Durkheim (1858-1917M), yaitu

sebagai sistem yang dipadukan mengenai kepercayaan-kepercayaan dan

praktik-praktik yang berhubungan dengan hal-hal suci (sacred things), yakni

hal-hal yang terpisah dan terlarang, kepercayaan-kepercayaan dan praktik-

praktik yang menyatukan semua pengikutnya ke dalam satu komunitas moral

tunggal yang disebut umat.88

86

Lihat Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama; Sebuah Pengantar (Bandung: Mizan,

2003), cet. I, h. 20. 87

Wilfred C. Smith, Memburu Makna Agama, terj. Landung Simatupang (Bandung:

Penerbit Mizan, 2004), hlm. 19. 88

Lihat, Nurcholish Madjid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Penerbit

Mizan, 2008), h. 130.

Page 81: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

65

Hal yang tidak jauh berbeda ditemukan dalam The Encyclopedia of

Philosophy ketika menguraikan seputar karakteristik agama (characteristic

features of religio). Unsur-unsur tersebut terdiri dari; keyakinan terhadap

wujud supranatural, klasifikasi objek sakral dan profan, aktivitas ritual

kepada objek sakral, ajaran moralitas dari Tuhan, perasaan khas agama

(takut, takjub, misterius, bersalah, dan sebagainya), sembahyang dan bentuk-

bentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan, pandangan dunia atau gambaran

umum tentang dunia secara keseluruhan, sikap hidup yang bersifat

menyeluruh yang didasarkan pada pandangan dunia tersebut, serta kelompok

sosial yang dilingkupi oleh kesamaan-kesamaan dari hal-hal di atas.89

Meskipun tidak bermaksud memberikan batasan terhadap agama, namun

beberapa poin dari karakteristik-karakteristik tersebut lebih menegaskan

agama sebagai sebuah institusi sosial.

Karakteristik-karakteristik itu kemudian disederhanakan oleh

Moqsith menjadi tiga hal pokok.90

Pertama, adanya seorang perintis atau

pendiri yang dipercaya memiliki kekuatan spiritual dan telah mendapat

wahyu dari Tuhan sehingga sangat dihormati bahkan disakralkan. Orang-

orang inilah yang biasa disebut nabi, rasul, dan semacamnya, yang kemudian

membentuk komunitas atau umat pertama. Yahudi dibawa oleh Musa,

Kristen oleh Yesus, Islam oleh Muhammad Saw., Budha oleh Sidharta

89

Paul Edwards (Ed), The Encyclopedia of Philosophy (USA: Macmillan Reference, t.t),

Volume VII, h. 141. Lihat juga, Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an (Depok: KataKita, 2009), h. 51. Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama; Sebuah Pengantar, h. 20.

90 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama..., h. 51-53.

Page 82: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

66

Gautama, dan sebagainya. Para nabi itu kemudian menyampaikan wahyu

yang diterimanya kepada sahabat-sahabatnya. Pada periode rintisan, semua

agama yang kini berkembang menjadi agama dunia biasanya hadir pertama

kali sebagai agama lokal; di anut dan diyakini segelintir manusia.

Kedua, adanya doktrin yang dijadikan pegangan para pengikut agama.

Dalam rumpun atau tradisi agama Abrahamik, doktrin itu dibukukan sebagai

kitab suci, dan begitu juga sabda nabinya. Islam menyebutnya al-Qur’an,

Kristen menyebutnya Alkitab, Yahudi menyebutnya Torah atau Taurat.

Dalam kitab-kitab tersebut biasanya dijelaskan pokok-pokok ajaran agama

yang meliputi tata cara ritual berhubungan dengan Tuhan, perihal kehidupan

akhirat, berbicara tentang surga dan neraka, juga tata cara sosial berhubungan

dengan manusia. Agama-agama besar di luar tradisi Abrahamik juga

memiliki kitab-kitab suci serupa, misalnya Weda, Tripitaka, Zanda Avesta.

Sedangkan ajaran-ajaran agama lokal atau primitif biasanya tidak dibakukan

atau dikodifikasi dalam sebuah kitab, melainkan disampaikan dari lisan ke

lisan secara turun-temurun sebagaimana tergambar dalam tradisi-tradisi dan

upacara-upacara.

Ketiga, adanya komunitas atau umat yang mengikuti dan

mempercayai nabi dan ajarannya. Anggota komunitas tersebut bisa berjumlah

sedikit, bisa juga mencapai jutaan orang. Komunitas inilah yang menentukan

kelestarian sebuah agama dengan menjalankan ritual peribadatan. Untuk

tujuan peribadatan itu, didirikan rumah-rumah ibadah, seperti masjid, gereja,

wihara, dan candi.mereka juga berperan menyampaikan dan menyebar ajaran

Page 83: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

67

agamanya ke kelompok, individu dan bangsa lain sehingga agama tersebut

dianut bukan oleh kelompok terbesar melainkan juga oleh banyak kelompok

secara luas, mulai dari kalangan miskin hingga kalangan kaya, dari rakyat

jelata hingga penguasa.

Berdasarkan keterangan Moqsith di atas, maka agama sebagai sebuah

institusi sosial dapat dikatakan sebagai perpaduan antara tiga hal pokok,

yaitu sosok perintis, doktrin, serta komunitas (para pengikut). Faktanya,

realitas memang membuktikan bahwa setiap agama memiliki tiga hal

tersebut, bahkan dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun. Atas

kenyataan ini, Komaruddin Hidayat misalnya, mengatakan bahwa

penjelmaan agama menjadi sebuah institusi sosial merupakan satu

perkembangan historis yang tidak bisa dihindarkan.91

Dengan demikian, bagi

Komaruddin, agama institutif bukanlah sebuah definisi tetapi hanya

kehendak mutlak perkembangan sejarah yang sulit dielakkan.

Pandangan Komaruddin Hidayat di atas dapat dijadikan pijakan awal

untuk mengelaborasi agama sebagai sebuah entitas secara lebih kritis. Dalam

perspektif ini, hal ini dapat dilakukan dengan upaya menanggalkan unsur-

unsur potensial pembentuk makna institutif itu sendiri dari sebuah batasan

agama. Tiga unsur pokok di atas, yaitu tokoh perintis, doktrin, dan

komunitas, secara keseluruhan potensial mengarahkan agama ke arah

pengertiannya yang institutif. Selain itu, distingsi antar agama pada tiga

aspek ini membuktikan hal-hal tersebut bukan suatu hal yang paling

91

Komaruddin Hidayat, Wahyu di Langit Wahyu Di Bumi; Doktrin dan Peradaban Islam di Panggung Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 62-63.

Page 84: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

68

fundamental dan substansial dalam agama. Sesuatu yangpaling substansial

dan fundamental itu adalah sesuatu hal yang selalu ada pada setiap agama di

tengah perbedaan-perbedaan yang ada. Hal tersebut tidak lain adalah

kepercayaan kepada Tuhan, bukan pada tataran konsep, tetapi yang tertanam

dalam jiwa manusia. Hal ini merupakan suatu hal yang langsung

dianugerahkan Tuhan kepada setiap manusia, sehingga setiap mereka

meilikinya. Dengan demikian, agama bukan suatu hal yang diperoleh dari

orang lain atau dari proses tertentu apapun.

Dalam perpektif di atas, maka pandangan yang mengatakan agama

adalah wahyu yang diturunkan Tuhan kepada manusia92

merupakan suatu hal

yang keliru. Seharusnya, dalam hal ini agama dipahami sebagai sesuatu yang

tidak dapat berubah, bersifat abadi, dan diberikan sekali untuk selamanya,93

atau seperti yang ditegaskan John Locke (1632-1704), agama merupakan

sesuatu bersifat khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan

mustahil bagi orang lain memberi petunjuk kepadaku jika jiwaku sendiri

tidak memberitahu kepadaku.94

Anggapan agama adalah wahyu yang diturunkan oleh Tuhan kepada

para nabi untuk disampaikan kepada segenap umat manusia mendapat

catatan kritis dari Kautsar Azhari Noer, pakar perbandingan agama. Dalam

hal ini, secara tegas Kautsar mengatakan bahwa al-Qur’an dan hadis tidak

92

M. Sayuthi, Metodologi Peelitian Agama; Pendekatan teori dan Praktik (Jakarta: PT

Grafindo Persada, 2002), h. 1. 93

Burhanuddin Daya, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan di Belanda (Jakarta:

INIS, 1992), h. 24. 94

Dikutip oleh Quraish Shihab dalam M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…,h.

209

Page 85: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

69

pernah mengatakan bahwa Allah telah mewahyukan atau menurunkan agama

kepada para nabi-Nya. Al-Qur’an hanya mengatakan bahwa Allah telah

menurunkan Injil (Q 3: 3, 65; 5: 46), Taurat (Q 3: 3, 65), Zabur (Q 4: 163; 17:

55), dan al-Qur’an (Q 3: 3, 7; 4: 113; 16: 44).95

Dengan demikian, gagasan

agama wahyu (revealed religion) yang mengandung arti bahwa yang

diwahyukan adalah sebuah agama,96

secara otomatis juga tertolak.

Secara teoritis, penolakan terhadap gagasan bahwa agama adalah

sesuatu yang diwahyukan dapat dijelaskan lewat perspektif tiga kata qur’anic

yang sering diidentikkan bermakna agama. Di dalam al-Qur’an, terdapat tiga

kata yang sering dimaknai para mufassir sebagai agama. Kata-kata tersebut

terdiri dari dîn, millah, dan ummah.

Pertama; kata dîn. Secara etimologis, dîn mencakup arti ketaatan dan

kemaksiatan, kemuliaan dan kehinaan, paksaan dan kesalehan, perhitungan

dan pembalasan, putusan, kekuasaan, pengaturan, tingkah laku, adat,

kebiasaan, hal, keadaan, perkara, urusan, kepercayaan, tauhid, ibadah, millah,

mazhab, dan nama bagi semua sarana untuk menyembah Allah.97

Kenyataan

95

Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi…, h. 84. 96

Kautsar Azhari Noer, ‚Agama Langit versus Agama Bumi…, h. 86. 97

Muhammad ‘Abd Allah Darrâz, al-Dîn; Buhûts Mumahhadah li Dirâsat Târîkh al-Adyân (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1974), cet. III, 30. Lihat juga, Ahsin Wijaya Al-Hafidz, Kamus Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2006), h. 65.

Page 86: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

70

ini menunjukkan dîn bukan hanya sekedar kata ambigu (mushtarak)98 tetapi

juga ambivalen atau bermakna kontradiktif (addâd).99

Problem tersebut kemudian dianalisis oleh Abdullah Badran, guru

besar al-Azhar, dalam bukunya al-Madkhal ilâ al-Adyân. Dari analisisnya,

sebagaimana dikutip Quraish Shihab, Badran sampai kepada kesimpulan

bahwa seluruh kata yang terbentuk dari asal kata dal, ya’, dan nun, seperti

dain yang berarti utang atau dana yadinu (dîn) yang berarti menghukum, taat,

dan sebagainya, semuanya menggambarkan adanya dua pihak yang

melakukan interaksi seperti yang tergambar dalam makna-maknanya.100

Ambivalensi makna yang terkandung pada kata dîn di atas,

membuatnya tidak lengkap (parsial) jika hanya memaknainya dengan

tâ’ah dan inqiyâd.101 Dalam hal ini Izutsu berkomentar, ‚kepatuhan‛

hanya mewakili satu aspek dari persoalan tersebut. Hal ini karena dîn

merupakan kata yang ambivalen (addâd), yaitu memiliki dua wajah yang

berlawanan; positif dan negatif, yang bisa digunakan dalam waktu yang

bersamaan tanpa pembedaan. Konsep dîn menjadi komprehensif dengan

98

Sibawaih mendefinisikan musytarak dengan [إتفاق اللفظ واختالف المعان], yaitu kata yang

sama namun bermakna berbeda. Sedangkan ulama Usul al-Fiqh mendefinisikannya dengan [ اللفظ

yaitu suatu kata yang dari awal memiliki ,[الموضوع لحققتن مختلفتن أو أكثر، وضعا أوال من حث هما كذلك

makna hakiki dua atau lebih. Lihat Muhammad Nûr al-Dîn al-Munjid, al-Isytirâk al-Lafzy fî al-Qur`ân al-Karîm Bain al-Nazriyyah wa al-Tatbîq (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998), h. 29 dan 56.

99 Addâd (ambivalen), yakni kata-kata yang memiliki dua makna yang berlawanan. Lihat

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia..., h. 247. 100

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), cet. VI, h. 209. Bandingkan dengan Quraish

Shihab, Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera

Hati, 2006), h. 21. 101

Misalnya, seperti yang dilakukan al-Sahrastânî. Lihat, Abû al-Fath Muhammad ibn

’Abd al-karîm al-Sahrastânî, al-Milal wa al-Nihal, Juz I, h, 33-34.

Page 87: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

71

dua arah yang berlawanan ini.102

Pernyataan Izutsu ini menegaskan

pandangan Badran di atas.

Dengan demikian, dîn yang biasa diterjemahkan ‚agama‛

dipahami oleh Badran dan Izutsu sebagai kata yang menggambarkan

hubungan eksklusif antara dua pihak di mana yang pertama mempunyai

kedudukan lebih tinggi dari pada yang kedua, yang tentu saja dalam

konteks agama maksudnya adalah Tuhan sebagai pihak pertama dan

personal manusia sebagai pihak kedua.103

Kenyataan di atas dikonfirmasi oleh friman Allah di dalam al-

Qur’an, sebagaimana berbunyi:

‚Maka hadapkanlah dirimu kepada dîn secara langsung (pure), itulah fitrah (ketetapan) Allah yang telah menciptakan manusia di atasnya. Tidak ada perubahan terhadap ciptaan Allah itu. Itulah agama yang teguh, namun sayang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.‛104

Ayat tersebut menegaskan bahwa agama merupakan karya Tuhan

langsung yang ditanamkan di setiap jiwa manusia yang disebut al-Qur’an

102

‚Inilah sebabnya dalam beberapa kasus kata dîn yang sama dapat ditafsirkan baik

sebagai qahr ‚menggunakan kekuatan superiornya untuk menundukkan orang lain‛, dan tâ’ah ‚kepatuhan‛, tanpa kita dapat mengatakan mana di antara dua cara penafsiran tersebut yang

benar.‛ Lihat, Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia..., h. 247. 103

Izutsu memvisualisasikan interaksi dua pihak itu (Tuhan dan personal manusia)

dalam bentuk sebuah lingkaran yang mengalienasi keduanya dari yang lain. Sehingga hal itu

menjadi benar-benar eksklusif. Lihat Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia..., h. 77-78. 104

QS. al-Rûm [30]: 30.

Page 88: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

72

dengan istilah fitrah, bukan suatu hal yang didapatkan dari tardisi

kenabian.105

Pada ayat tersebut, Allah menyebut fitrah sebagai

keterangan (badal) dari dîn yang disebutkan sebelumnya, bahkan

menegaskannya kembali pada kesempatan selanjutnya sebagai agama

yang teguh (al-dîn al-qayyim). Suatu hal yang menarik, Tuhan menyebut

hal ini merupakan kenyataan yang tidak disadari kebanyakan manusia.

Karena, tidak jarang kompleksitas atribut eksoterik agama justru

mengaburkan pandangan manusia, membuat mereka sulit

mengidentifikasi bagian sejati dari agama itu sendiri.

Dengan demikian, agama sebagai entitas yang mengungkapkan

hubungan langsung yang eksklusif antara Tuhan dan personal manusia,

memposisikan selain keduanya dalam wacana agama hanya sebagai

pihak-pihak eksternal, bukan pihak internal yang menjadi bagian inti.

Dalam hal ini, pernyataan bahwa agama bukanlah suatu hal yang

diwahyukan menjadi lebih mudah dipahami. Agama sebagai institusi

sosial bukanlah realitas objektif yang menggambarkan sebuah entitas

agama apa adanya, tetapi lebih merupakan sebagai sebuah konfigurasi

formalisasinya. Di antara argumentasi bahwa agama itu adalah fitrah dan

bukan dari kenabian adalah terkait dengan kasus bayi-bayi yang lahir

namun meninggal sebelum mukallaf, baik dari orang tua Muslim maupun

105

Ayat di atas mengandung pengertian bahwa Allah menciptakan potensi ma’rifat al-

îmân (mengenal iman) pada diri manusia sudah ada semenjak atau berbarengan dengan waktu

penciptaan dirinya. Hal ini karena kata fatara berarti penciptaan yang penekanannya pada

penciptaan dari permulaan, sejak awal, tanpa ada contoh sebelumnya. Lihat, M. Quraish Shihab,

ed., ‚Fâthir‛, dalam Ensiklopedia Al-Qur’an..., Jilid 1, h. 224.

Page 89: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

73

musyrik sekalipun. Dalam hal ini, Nabi menyebutkan mereka selamat dan

masuk surga.106

Padahal, tentu saja dalam keadaan itu mereka belum

mengenal dan bersinggungan sedikitpun dengan persoalan kenabian.

Kedua; kata millah. Salah satu kata yang juga sering diartikan

sebagai agama oleh para mufassir adalah kata millah. Tidak jarang, ketika

menafsirkan kata millah, para mufassir hanya menukarnya dengan kata

dîn, begitu juga sebaliknya.107

Hal ini sebagaimana juga disebutkan oleh

para pakar bahasa. Ibn Manzûr misalnya, berpandangan bahwa millah

sama persis dengan syarî’ah dan dîn.108 Sedangkan al-Râghib al-Asfahânî

hanya menyebut millah itu sesuatu yang mirip dengan agama.109

Dengan

demikian, terdapat sedikit perbedaan antara Ibn Manzûr dan al-Asfahânî

dalam melihat kata millah, antara sama persis dengan hanya sekedar

mirip.

Agama bukan satu-satunya makna yang dimiliki kata millah. Ibn

Ishâq, sebagaimana dikutip Ibn Manzûr, menyebutkan bahwa millah

106

Terdapat sebuah hadis yang menceritakan bahwa ‘Aisyah menanyakan kepada Nabi

perihal anak-anak orang-orang musyrik. Nabi menjawab, [هم من آبائهم]. Tidak puas dengan jawaban

itu, ‘Aisyah kembali bertanya, Nabi menjawab, [هللا أعلم بما كانوا عاملن]. Masih tidak puas, ‘Aisyah

bertanya untuk ketiga kalinya, Maka turunlah ayat [وال تزر وازرة وزر أخرى] kepada Nabi, lalu

menjawab, [إنهم على الفطرة] atau pada riwayat lain [ف الجنة]. Hal ini merupakan pendapat jumhur, di

antaranya al-Nawâwî. Ia mengatakan ini adalah pendapat yang benar (al-sahîh al-mukhtâr). Lihat,

Jalâl al-Dîn ‘Abd. Al-Rahmân al-Suyûtî, al-Ta’zîm wa al-Minnah fî anna Abaway Rasûl Allâh fî al-Jannah (t.tp: Dâr Jawâmi’ al-Kalim, t.th), h. 33-34.

107 ), Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî, Juz III, cet. I, h. 620-

621. Juz XVI, h. 392-393. Juz XVII, h. 60-61. 108

lihat, Abû al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukram Ibn ,[الملة: الشرعة والدن]

Manzûr, Lisân al-‘Arab..., h. 4271. 109

Abû al-Qâsim al-Husain ibn Muhammad (al-Râghib al-Asfahânî), al-Muradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘âlamiyyah, 2008), Juz II, h. 610. Pendapat ini senada

dengan salah satu pandangan yang dikutip dan disebutkan oleh Ibn Manzûr, bahwa millah adalah

Lihat Abû al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukram Ibn .[ه معظم الدن، وجملة ما جئ به الرسل]

Manzûr, Lisân al-‘Arab..., h. 4271.

Page 90: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

74

secara etimologis berarti sunnah atau tarîq. Sedangkan Abû al-Haitsam

mengungkap makna lain dari kata millah adalah diyah.110 Dengan

demikian, jelas bahwa millah merupakan kata yang ambiguistik

(mushtarak), yaitu memiliki lebih dari satu makna. Meskipun demikian,

sepertinya para mufassir lebih dominan mengartikannya dengan agama

dan hampir tidak ada menafsirkannya dengan selain bermakna agama.

Di dalam al-Qur’an,111

ditemukan kata millah disebutkan

sebanyak 15 kali, dengan klasifikasi; 7 kali dinisbahkan kepada

Ibrahim,112

1 kali kepada Ibrahim dan nabi-nabi lain secara bersamaan,113

dan selebihnya kepada kaum-kaum tertentu.114

Sekilas kalau diamati,

terlihat bahwa kata millah di dalam al-Qur’an berlaku secara umum;

dapat disandingkan kepada nabi dan juga kepada selain nabi. Hanya saja,

perbedaannya adalah penyandingan tersebut berkonotasi positif hanya

ketika disandingkan kepada para nabi, sedangkan kepada selain nabi

penyandingan tersebut berkonotasi negatif.

Identifikasi lain terhadap kata millah disebutkan oleh al-Râghib

al-Asfahânî. Ia menjelaskan bahwa distingsi antara kata millah dengan

kata dîn adalah kata millah tidak disandarkan (idâfah) kecuali kepada

para nabi atau pembawa syariat, dan bahkan tidak disandarkan kepada

110

Lihat Abû al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukram Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr al-Sadr, 1968), h. 4271.

111 Lihat Muhammad Fu`âd ‘Abd al-Bâqî, al-Mu’jam al-Mufahras..., h. 676.

112 QS. al-Baqarah [2]: 130, 135, QS. Âli ‘Imrân [3]: 95, QS. al-Nisâ’ [4]: 125, QS. al-

An’âm [6]: 161, QS. al-Nahl [16]: 123, QS. al-Hajj [22]: 78. 113

QS. Yûsuf [12]: 38. 114

QS. al-Baqarah [2]: 120, QS. al-A’râf [7]: 88, 89, QS. Yûsuf [12]: 37, QS. Ibrâhîm

[14]: 13, QS. al-Kahfî [18]: 20, QS. Sâd [38]: 7.

Page 91: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

75

Allah ataupun kepada personal umat nabi. Karena itu, tidak ditemukan

misalnya, ‚millat Allâh‛, ‚millatî‛, ‚millah zaid‛, sedangkan ungkapan

‚dîn Allâh‛, ‚dîn zaid‛, dan lain sebagainya, ditemukan pemakaiannya.115

Dengan demikian, terlihat bahwa millah erat sekali kaitannya

dengan kenabian. Hal ini terlihat dari beberapa definisi millah yang

diutarakan para pakar. Ibn Manzûr misalnya, mengatakan millah adalah

agama besar dan totalitas apa yang dibawa oleh para rasul.116

Senada

dengan itu, al-Râghib al-Asfahânî bertutur, ‚millah mirip (tidak sama

persis) dengan dîn, yaitu nama bagi segala hal yang telah disyariatkan

Allah atas hamba-hamba-Nya melalui lisan para nabi, agar membimbing

mereka dekat dengan Allah.‛117

Berbeda dengan itu, al-Sahrastânî dalam

bukunya al-Milal wa al-Nihal mengilutrasikan makna millah, ‚ketika

manusia butuh untuk hidup bersama dengan yang lain dalam memenuhi

kebutuhan, maka kehidupan bersama tersebut mesti berpolakan tamânu’

dan ta’âwun. Dengan tamânu’ ia bisa menjaga apa yang sudah dimiliki,

sedangkan dengan ta’âwun ia bisa memperoleh apa yang tidak ia miliki.

Pola inilah yang disebut dengan millah.‛118 Sekilas, definisi al-Sahrastânî

115

Abû al-Qâsim al-Husain ibn Muhammad (al-Râghib al-Asfahânî), al-Muradât..., h.

610 116

bahwa millah adalah [ه معظم الدن، وجملة ما جئ به الرسل]. Lihat Abû al-Fadl Jamâl al-

Dîn Muhammad ibn Mukram Ibn Manzûr, Lisân al-‘Arab..., h. 4271. 117

Redaksi aslinya adalah [ الملة كالدن وهو اسم لما شرع هللا تعالى لعباده على لسان األنباء لتوصلوا به Lihat, Abû al-Qâsim al-Husain ibn Muhammad (al-Râghib al-Asfahânî), al-Muradât .[إلى جوار هللا.fî Gharîb al-Qur‘ân, Juz II, h. 610.

118 Teks aslinya adalah [ ،ولما كان نوع اإلنسان محتاجا إلى اجتماع مع آخر من بن جنسه، ف إقامة معاشه

االستعداد لمعاده؛ وذلك االجتماع جب أن كون على شكل حصل به التمانع والتعاون، حتى حفظ بالتمانع ما هو له، وحصل على هذه الهئة ه: الملة بالتعاون ما لس له؛ فصورة االجتماع ]. Lihat, Abû al-Fath Muhammad ibn ’Abd al-

karîm al-Sahrastânî, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), Juz I, cet. II,

h. 34.

Page 92: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

76

tidak mengaitkannya dengan kenabian. Namun, perlu digarisbawahi

bahwa al-Qur’an menginformasikan bahwa tatkala kompleksitas

kehidupan terjadi pada saat itulah dimulainya pengutusan para nabi (QS.

al-Baqarah [2]: 213).

Namun, meskipun penyandingan kata millah dengan yang lain

selain nabi dikonotasikan oleh al-Qur’an secara negatif, setidaknya hal ini

tidak bisa diabaikan begitu saja. Kenyataan ini penting dalam

pengembangan pemahaman tentang millah dalam al-Qur’an itu sendiri.

Setidaknya, dari fakta itu dipahami bahwa kata millah memiliki tekanan

makna pada percontohan atau sesuatu yang ditiru apa adanya. Karena

itulah, mengapa kata millah selalu dipadankan dengan kata ittibâ’. Dalam

hal ini tentu saja para nabi adalah contoh terbaik,—sehingga al-Qur’an

menarasikannya secara positif—jika dibandingkan dengan selain mereka

(sehingga al-Qur’an mengungkapkannya secara negatif).

Ilustrasi di atas diafirmasi oleh kata dasar millah, sebagaimana

disebutkan al-Râghib al-Asfahânî, berasal dari kata [أمللت الكتاب] yang

artinya ‚saya mendiktekan kitab.119

Sehingga sebagai mashdar atau

gerund, kata millah dapat diartikan dengan ‚diktean‛. Dengan demikian,

maka misalnya, ungkapan millah ibrâhîm diartikan dengan ‚diktean

Ibrahim‛ atau ‚contoh/tauladan dari Ibrahim‛. Pada konteks ini terdapat

kesesuain antara pemaknaan ini dengan pengertian millah yang telah

diutarakan oleh Ibn Manzûr dan al-Râghib al-Asfahânî sebelumnya.

119

al-Râghib al-Asfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân..., Juz II, h. 260.

Page 93: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

77

Masih dalam konteks keintiman korelasi millah dengan kenabian,

kita dapat memahami bahwa sebelum berlangsungnya kenabian maka

gagasanmillah juga belum ada. Sehingga pada titik ini perlu ditemukan

motif atau latar belakang munculnya gagasan tersebut. Kata kunci

sementara untuk menemukan motif tersebut adalah, sebagaimana

diungkapkan al-Sahrastânî bahwa manusia dalam kesendiriannya tidak

mengenal kata millah,120 atau dibahasakan oleh Izutsu dengan tidak

berkonotasi personal, ia mengandung arti sesuatu yang tegas, objektif,

dan formal, serta selalu mengingatkan kita akan eksistensi suatu

masyarakat yang berlandaskan pada suatu agama yang lazim.121

Sebatas

ini, dipahami bahwa gagasan millah muncul dalam konteks sosial (hidup

bersama secara komunal), bukan dalam konteks personal-individual.

Penting untuk diingat bahwa kehidupan sosial adalah manifestasi

dari kelemahan manusia secara personal, bahwa manusia tidak bisa hidup

tanpa yang lain. Dalam interaksi sosial tersebut, perlu adanya aturan yang

tegas, objektif, dan formal. Konteks ini berkesesuaian dengan pengertian

millah yang diusung oleh al-Sahrastânî di atas. Adapun dalam konteks

agama, lahirnya gagasan millah tidak terlepas dari tema dîn dalam arti

fitrah sebagaimana pada pembahasan sebelumnya. Ketika kehidupan

manusia masa awal sudah mulai bergeser ke arah yang lebih kompleks,

maka fenomena kompleksitas kehidupan tersebut kemudian

120

Abû al-Fath Muhammad ibn ’Abd al-karîm al-Sahrastânî, al-Milal wa al-Nihal, Juz I,

h, 35. 121

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, h. 254.

Page 94: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

78

‚mengganggu‛ vitalitas fitrah tersebut. Karena itu, perlu dilakukan

stimulus-stimulus tertentu untuk penyegaran bagi fitrah tersebut, yaitu

dengan mengutus para nabi. Hal ini berkesesuaian dengan firman Allah,

‚Dulu (awalnya) manusia itu umat yang satu ( kemudian mereka saling

berselisih), maka mulailah Allah mengutus para Nabi untuk memberikan

kabar gembira dan peringatan, dan Allah menurunkan bersama para nabi

tersebut al-kitâb (aturan-aturan formal),,,.‛122

Pada kesempatan lain, al-Qur’an mempertegas hal di atas, bahwa

kompleksitas kehidupan sosial berpengaruh terhadap dîn atau vitalitas

fitrah tersebut. Bahwa agama yang sejati lebih mudah ditemukan dalam

kesendirian, bukan dalam keramaian. Dalam beberapa ayat al-Qur’an,

Allah menarasikan orang-orang yang dalam keadaan terdesak dan genting

di tengah lautan karena akan digulung ombak yang besar, akan sangat

mudah menemukan ‚agama‛ yang sejati (fitrah sesungguhnya). Namun

setelah itu, jika selamat dan kembali ke darat fitrah tersebut kembali

terganggu dan bahkan ditenggelamkan oleh kemusyrikan.123

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa agama tidak diperoleh

dari kenabian. Agama merupakan fitrah yang sudah ditanam oleh Allah

dalam setiap jiwa manusia. Kenabian dengan millahnya hanyalah

berperan sebagai stimulan yang akan memberikan pengaruh positif

kepada fitrah manusia sehingga menemukan vitalitasnya kembali. Pada

122

QS. al-Baqarah [2]: 213. 123

Misalnya, QS. Yûnus [10]: 22, QS. al-‘Ankabût [29]: 65, QS. Luqmân [31]: 32, dan

QS. Ghâfir [40[: 14.

Page 95: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

79

dasarnya, para nabi hanyalah duta manusia dan delegasi Tuhan, yang

bagaimanapun kemuliaannya tetap berada dalam wilayah makhluk dan

hamba Tuhan, sebagaimana manusia lainnya. Semua manusia hanya

mengabdi kepada Tuhan semesta alam.

Ketiga: kata ummah. Para mufassir juga sering memaknai kata ini

dengan agama. Misalnya, Ibn ‘Abbâs yang memahami kata ummah pada

QS. al-Baqarah [2]: 213 dengan dîn.124 Hal ini dielaborasi oleh al-Tabarî,

bahwa kata ummah pada ayat tersebut pada dasarnya bermakna al-

jamâ’ah tajtami’ ‘alâ dîn wâhid, yaitu suatu komunitas yang terbentuk

didasari atas kesamaan agama. Hanya saja, karena keintiman makna maka

kata ummah dimunculkan untuk merepresentasikan kata dîn tersebut.125

dengan demikian, kata ummah hanya sekedar pengganti, bukan sebuah

kata yang memang berkonotasi agama.

Kata ummah (أمة) merupakan bentuk gerund (masdar) dari ‘amma-

ya‘ummu ( ؤم -أم ) yang berarti ‘menuju’, ‘menjadi’, ‘ikutan’, dan

‘gerakan’. Kata ini mengandung beberapa arti, antara lain; (1) suatu

golongan manusia, (2) setiap kelompok manusia yang dinisbatkan kepada

seorang nabi, misalnya umat Nabi Muhammad saw., umat Nabi Musa as.,

dan (3) setiap generasi manusia yang menjadi umat yang satu (ummah

wâhidah).126 Sumber lain menyebutkan kata ummah bermakna,

‚kelompok manusia yang berhimpun karena didorong oleh ikatan-ikatan;

124

Abû Ja’fâr Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‘ al-Bayân..., Juz III, h. 621. 125

Abû Ja’fâr Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‘ al-Bayân..., Juz III, h. 622. 126

Quraish Shihab (Ed), Ensiklopedia Al-Qur’an; Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera

Hati, 2007), cet. I, h. 1035.

Page 96: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

80

(1). persamaan sifat, kepentingan, dan cita-cita, (2) agama, (3) wilayah

tertentu dan waktu tertentu.127

Dalam buku Ensiklopedia Al-Qur’an; Kajian Kosakata, terdapat

uraian seputar klasifikasi makna ummah dari perspektif makiyyah-

madaniyyah. Pandangan tersebut mengatakan bahwa pada konteks

Makkah, kata ummah lebih banyak mengacu kepada ide kesatuan dengan

mengakomodir berbagai kelompok primordial masyarakat ketika itu,

sedangkan dalam konteks Madinah, ia banyak dihubungkan dengan

Islam.128

Sepanjang ilustrasi di atas, terlihat bahwa kata ummah bukanlah

kata yang secara tegas menunjukkan arti agama. Kata ummah yang

berkonotasi agama menunjuk kepada kelompok manusia yang tebentuk

atas dasar kesamaan agama. Dalam hal ini, kata ummah adalah

sekelompok orang yang memiliki orientasi keagamaan yang sama.‛129

Dengan demikian, ‚umat nabi‛ tertentu berarti pengikut nabi itu sendiri,

sedangkan umat suatu agama berarti penganut agama tersebut.130

127

Ibrâhîm Anîs, al-Mu’jam al-Wasît (Beirut: Dâr al-Fikr, t. th), Jilid I, h. 27. 128

Lihat, Quraish Shihab (Ed), Ensiklopedia Al-Qur’an; Kajian Kosakata..., h. 1035. 129

Jhon L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World (New York:

Oxford University Press, 1995), vol. VI, h. 93. 130

Hal ini berdasarkan; [وكل قوم نسبوا إلى شئ وأضفوا إله فهم أمة]. Lihat Aẖmad ibn al-Hasan

ibn Fâris ibn Zakariyâ, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah..., Juz I, h. 28.

Page 97: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

81

BAB III

AL-QUR’AN DAN TRADISI KENABIAN

A. Paradigma Kenabian dalam al-Qur’an

Paradigma berarti pola atau model.1 Seperti disebutkan Biklen, ia dapat

berupa sekumpulan hal-hal logis yang longgar seperti asumsi, konsep, atau

preposisi yang berfungsi untuk mengarahkan cara berpikir dan riset.2 Atas

kenyataan ini, maka pembahasan mengenai paradigma kenabian dalam al-Qur’an

menjadi perlu dirumuskan. Langkah ini diharapkan akan dapat memberi orientasi

berpikir dan riset dalam menemukan tema inti penelitian ini.

Dalam hal ini, pola atau model tersebut dirumuskan dari lafazh-lafazh

umum (alfâz al-‘âm) al-Qur’an yang bercerita tentang pengutusan para nabi.

Dalam studi Ulûm al-Qur‘ân, konsep al-‘âm adalah kata yang memuat seluruh

bagian dari kandungan lafazh sesuai dengan pengertian kebahasaan tanpa

pengecualian oleh kata lain.3 Dengan demikian, suatu ketentuan yang ada akan

mengikat seluruh satuan-satuan tersebut secara bersamaan. Sehingga

memungkinkannya untuk dirumuskan sebagai pola atau model. Sedangkan

indikator yang dapat dijadikan sebagai acuan makna umum, misalnya, seperti

yang disebutkan Khâld al-Sabt, adalah kata kullu, kata jamî’, bentuk jamak yang

1 http://www.gurupendidikan.com/10-pengertian-paradigma-menurut-para-ahli/. Diakses

pada hari Senin, 09 Januari 2017. 2 Pandangan yang sama banyak disebutkan para pakar. Lihat, Vian Ahmed, dkk (Ed),

Research Methodology in the Built Environment: A Selection of Case Studies (New York:

Routledge, 2016), h. 22. 3 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda

Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati, 2013), hlm. 179.

Keumuman di sini juga berkorelasi dengan waktu yang tidak terbatas. Lihat Mannâ‘ al-Qattân,

Mabâhits fî Ulûm al-Qur’ân (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), cet. XI, h. 212.

Page 98: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

82

ber-alif-lâm al-istighrâqiyyah, bentuk jamak yang ma’rifah dengan idâfah, bentuk

mufrad yang ber-alif-lâm al-istighrâqiyyah, asmâ’ al-syart, asmâ’ al-istifhâm,

nakirah yang terletak setelah siyâq al-nafî, nakirah yang memiliki sifat umum,

dan al-asmâ’ al-mausû’ah.4.

1. Tradisi kenabian berlangsung belakangan dari sejarah manusia.

Terdapat pandangan yang sangat kuat bahwa kenabian merupakan

suatu hal yang signifikan dan fundamental dalam wacana agama. Dalam

pandangan ini kenabian diposisikan sebagai epistemologi agama itu sendiri.

Antara keduanya terdapat korelasi yang bersifat inheren, sehingga adanya

agama karena adanya kenabian dan agama tidak akan ada tanpa kenabian.

Singkatnya, kenabian dianggap prinsip dalam agama. Pola seperti ini adalah

mekanisme yang berlangsung sebagaimana dalam teori klasifikasi agama

kepada agama langit dan agama bumi.

Pandangan bahwa kenabian adalah prinsip dalam agama memang

ditegaskan oleh banyak ulama. Seorang sarjana berkembangsaan Mesir,

Abdurrahman Badawi, melakukan kritik keras terhadap pandangan Abu Bakr

Muhammad ibn Zakarya al-Razi yang menolak konsep kenabian. Badawi

mengatakan, jika al-Razi menganulir dasar, yakni kenabian, berarti ia juga

menganulir agama itu sendiri.5 Senada dengan itu, Hasan al-Turabi, pemikir

4 Syaikh Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Ik, Usûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû (Beirut: Dâr al-

Nafâ’is, 1982), cet. II, h. 381-383. 5 Abdurrahman Badawi, Min Târîkh al-Ilhâd fî al-Islâm (Kairo: Maktabah al-Nahdah al-

Misriyyah, 1945), h. 208.

Page 99: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

83

dan arsitek utama Republik Islam Sudan, menyatakan bahwa ciri utama

agama adalah bahwa ia bersumber dari wahyu dan bukan produk manusia.6

Terlepas dari pandangan di atas, al-Qur’an justru menginformasikan

bahwa tradisi kenabian bukanlah suatu hal yang sudah berlangsung dari awal.

Terdapat fase sejarah manusia yang kosong dari kenabian, yaitu masa-masa

awal sejarah manusia. Jika demikian adanya, maka dari kenyataan ini dapat

dipahami bahwa tradisi kenabian berlangsung lebih merupakan kehendak

perkembangan historis itu sendiri dari pada alasan teologis. Hal ini

sebagaimana ditegaskan oleh al-Qur’an:

‚Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para Nabi, sebagai pemberi peringatan dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.‛7

6 Hasan al-Turabi, Fiqih Demokratis; Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju

Modernisme Populis, terj. Abdul Haris dan Zaimul Am (Bandung: Penerbit Arasy, 2003), h. 14. 7 QS. al-Baqarah [2]: 213.

Page 100: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

84

Abû Muslim al-Ashfahânî dan al-Qâdî ‘Abd al-Jabbâr, berpandangan

bahwa kata al-Nabiyyîn pada ayat tersebut bermakna umum dan istighrâq,

sedangkan huruf fa sendiri bermakna al-tarâkhî. 8 Dengan demikian, dipahami

bahwa pengutusan para nabi baru terjadi belakangan, dan bukan suatu hal

yang sudah berlangsung dari awal. Pandangan ini semakin ditegaskan oleh al-

Tabâtabâ’î ketika mengamati kata ba’atsa yang digunakan pada ada ayat

tersebut, bukan kata irsâl, sebagai penunjuk awal mula berlangsungnya

pengutusan para nabi. Menurutnya, penggunaan kata tersebut adalah

untuk menginformasikan keadaan awal sejarah manusia yang tenang

dan sunyi, sehingga dipilihlah kata al-ba’ts yang berarti bangun tidur,

mulai mendiami sebuah daerah, dan sebagainya.9

Pertanyaan yang muncul adalah apakah pada fase tersebut berarti

agama belum ada dan manusia pada saat itu tidak dapat dikatakan beragama

lantaran belum berlangsungnya tradisi kenabian? Bagaimana kondisi manusia

pada saat itu? Adalah al-Râzî, ketika menjelaskan pandangan Abû Muslim al-

Ashfahânî dan al-Qâdî ‘Abd al-Jabbâr di atas, mengatakan bahwa manusia

pada saat itu bertopang sepenuhnya kepada rasionalitas; mereka meyakini

adanya Pencipta dan sifat-sifat-Nya, berjibaku dalam berkhidmat dan

mensyukuri ni’mat-Nya, serta menjauhi hal-hal yang tercela, seperti

kezaliman, kebohongan, kebodohan, dan sebagainya. Setelah kehidupan

8 Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî al-Musytahar bî al-Tafsîr al-Kabîr wa

Mafâtîh al-Ghaib (Beirût: Dâr al-Fikr, 1971), Jilid VI, cet. III, h. 11-14. 9 Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân

(Beirût: Mu‘assasat al-A’lamî li al-Matbû’ât, 1997), h. 129.

Page 101: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

85

berkembang semakin kompleks, mereka berselisih (ikhtilâf) dan Tuhan pun

mengutus para nabi.10

Selain itu, kata (ummah) pada ayat tersebut ditafsirkan secara

variatif oleh para mufassir. Di antara mereka banyak yang

memahaminya identik dengan agama. Qatâdah misalnya,

memahaminya dengan al-hudâ (petunjuk), sedangkan Ibn ‘Abbâs secara

tegas memahaminya dengan al-dîn (agama). Dalam hal ini kata ummah

dipandang sebagai ganti (badal) dari al-dîn.11 Lebih tegas dari itu, kata

(ummah) dipahami oleh al-Zamakhsyarî dengan dîn al-islâm.12 Dengan

demikian, ilustrasi penafsiran-penafsiran ini dapat dijadikan pijakan bahwa

meskipun kosong dari kenabian, namun tidak berarti pada fase tersebut

agama tidak ada sehingga manusia pada saat itu tidak beragama.13

Terkait dengan keterangan berapa lama fase tersebut berlangsung,

para mufassir juga berbeda pendapat. Di antaranya, al-Qurtubî, menyebutkan

bahwa Ibn Abî Khaitsamah berpendapat (ummah wâhidah) itu berlangsung

10

Fakhr al-Dîn Muhammad al-Râzî ibn al-‘Allâmah Diyâ‘ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr al-Fakhr al-Râzî, Juz VI, cet. III, h. 11-14.

11 Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân..., Jilid III h. 621-622.

12 Lihat juga, Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an

Haqâ‘iq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‘wîl (Riyâd: Maktabah al-

‘Abîkân, 1998), Juz I, cet. I, h. 421. 13

Dalam hal ini, muncul pertanyaan bagaimana status Adam, apakah ia seorang nabi

atau tidak. Berdasarkan riwayat Qatȃdah yang menyebut Nuh sebagai nabi pertama yang diutus,

maka Adam bukanlah seorang nabi melainkan sebatas nenek moyang manusia saja. Abû Ja’far

Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta‘wîl Ây al-Qur‘ân, ( Kairo:

Dâr Hijr, 2001), Juz II, h. 261. Lihat juga, Sȃmȋ ibn ‘Abd Allȃh al-Maghlȗts, Atlas Tȃrȋkh al-Anbiyȃ‘ wa al-Rusul (Riyȃd: Maktabah al-‘Abȋkȃn, 2005), h. 67.

Page 102: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

86

dari sejarah awal manusia sampai masa Idris.14

Ibn ‘Abbâs menyebutkan

fase tersebut adalah sepuluh generasi (‘asyratu qurûn) dalam rentang waktu

antara Nuh dan Adam.15

Sebagian lagi, seperti al-Kalabî dan al-Wâqidî

mengatakan bahwa yang dimaksud pada ayat tersebut adalah Nuh dan orang-

orang yang bersamanya di dalam bahtera pada saat banjir besar.16

Riwayat

lain dari Ibn ‘Abbas menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah manusia

pada masa sebelum pengutusan Ibrahim, setelah ia dilahirkan lalu diutuslah ia

dan para nabi setelahnya.17

Ilustrasi penafsiran ini menunjukkan gerakan ke

arah semakin belakangannya pengutusan kenabian itu baru mulai berlangsung

dari awal sejarah manusia.

Sepanjang uraian di atas, jelaslah bagaimana posisi para nabi dengan

kenabian mereka dalam wacana agama. Agama sudah ada seiring dengan

berlangsungnya sejarah manusia, sedangkan kenabian baru muncul jauh

setelahnya. Ternyata agama dan ‚beragama‛ justru sudah berlangsung tanpa

tradisi kenabian. Dengan demikian, meskipun besarnya peran kenabian dalam

wacana agama tidak dapat dipungkiri, namun tetap saja ia bukan prinsip yang

membuat agama sepenuhnya menjadi tergantung kepadanya tanpa bisa

dipisah dan dipilah sama sekali.

14

Hal ini dibantah oleh Ibn Katsîr karena menurutnya yang benar adalah bahwa Idris

diutus setelah masa Nuh. Lihat, Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr al-

Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, Juz III, cet. I, h. 404. 15

Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân..., Jilid III h. 621. 16

Lihat juga, Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf..., Juz I,

cet. I, h. 421. 17

Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân li mâ Tadammanahû min al-Sunnah wa Ây al-Qur‘ân (Beirût: Mu‘assat al-Risâlah, 2006),

cet. I, Juz III, cet. I, h. 404-405.

Page 103: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

87

Agama dan ‚beragama‛ sudah ada dan berlangsung seiring dengan

terciptanya eksistensi manusia itu sendiri. Karena agama sejatinya adalah

sesuatu yang dari awal langsung dianugerahkan dan diterima oleh manusia

dari Tuhan kepadanya. Ini merupakan sesuatu yang pure dan genuine sekali.

Al-Qur’an menyebutnya sebagai fitrah (QS. al-Rûm [30]: 30), sesuatu yang

tertanam begitu kuat dalam lubuk jiwa setiap manusia, streril dari segala

intervensi, dan menjadi semacam wilayah eksklusif antara dirinya dengan

Tuhan.18

Sedangkan tradisi kenabian, seperti yang dikatakan oleh al-

Tabâtabâ’î merupakan awal terjadinya formalisasi agama (tashrî’) yang

dipicu oleh perkembangan sejarah yang semakin kompleks sehingga

memicu terjadinya perselisihan di antara manusia yang sebelumnya

bersatu dan kompak (ummah wâhidah).19

Sealur dengan perkembangan sejarah manusia yang mengarah ke

arah yang semakin kompleks dan berkembang tersebut, Tuhan

kemudian menginisiasi pengutusan banyak nabi. Agama sebagai fitrah

itu perlu dimanifestasikan secara terus menerus dan kontekstual,

mengikuti kehendak dan tuntutan konteks ruang dan waktu sejarah

yang mengitarinya. Sebaliknya, penyesuian juga perlu terjadi terhadap

18

Agama adalah sesuatu yang tidak dapat berubah, bersifat abadi, dan diberikan sekali

untuk selamanya. Burhanuddin Daya, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan di Belanda (Jakarta: INIS, 1992), hlm. 24. John Locke (1632-1704), agama merupakan sesuatu bersifat

khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan mustahil bagi orang lain memberi petunjuk

kepadaku jika jiwaku sendiri tidak memberitahu kepadaku. Dikutip oleh Quraish Shihab dalam

M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an…,hlm. 209. 19

al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân (Beirût: Mu‘assasat al-A’lamî li al-Matbû’ât, 1997), Juz II, h. 113.

Page 104: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

88

upaya-upaya tertentu yang mengarah kepada revitalisasi fitrah tersebut.

Dalam hal ini, segala hal yang bersifat historis tidak mungkin bersifat

statis dan tetap tanpa adanya perubahan-perubahan atau penyesuaian-

penyesuaian.

Atas pengertian tersebut, maka yang ahistoris adalah keyakinan (dîn),

sedangkan manifestasinya bersifat historis yaitu berupa syarî’ah (konsep dan

tradisi agama). Sebagaimana dikatakan Husein Muhammad, dîn adalah

berkaitan dengan keyakinan, sedangkan syarî’ah merupakan cara atau jalan

mendekati Tuhan dalam bentuknya yang lahiriah.20

Dîn sejati adalah

pengabdian kepada Tuhan, sehingga ia bukanlah khazanah dari kelompok

(firqah) manapun.21

Dengan demikian, kenabian bukanlah prinsip dalam

wacana agama. Ia hanya sebagai proses formalisasi agama yang dapat

mengambil bentuk (konsepsi dan tradisi) sesuai dengan konteks ruang dan

waktu yang mengitarinya.

2. Ketauhidan sebagai misi setiap kenabian

Kata ‚Tuhan‛ dalam al-Qur’an diungkapkan dengan dua varian kata,

yaitu ilâh dan rabb. Terkait dengan distingsi makna antara keduanya, al-

Zamakhsyarî menyebut bahwa al-ilâh merupakan genus yang meliputi segala

sesembahan (ma’bûd), dalam konteks kebenaran maupun tidak.22

Sedangkan

20

Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan (Bandung:

Penerbit Mizan, 2011), h. 11-12 21

Abul Kalam Azad, Tarjumân al-Qur‘ân, Ed. Dr. Zakir Husayn (New Delhi: Sahitya

Academy, 1964), h. 169. 22

Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf..., Juz I, cet. I, h. 108.

Page 105: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

89

al-rabb bermakna al-mâlik (pemilik). Makna ini sebagaimana ditunjukkan

oleh perkataan Safwân kepada Abû Sufyân; [ ألن ربن رجل من قرش أحب إل من

saya lebih suka dimiliki oleh laki-laki Quraisy‚ ,[أن ربن رجل من هوازن

daripada laki-laki Hawâzin‛.23

Meskipun demikian, ketika diucapkan istilah

‚kalimat tauhid‛, maka yang dimaksud tidak lain adalah ungkapan [ ال إله إال

.‛yaitu ‚tidak ada Tuhan selain Allah ,[هللا

Jika ingin ditegaskan lebih lanjut berdasarkan makna ilâh sebelumnya,

yaitu ma’bûd, maka makna [ال إله إال هللا] menjadi ‚tidak ada sesembahan selain

Allah.‛ Dari kenyataan ini dapat dikembangkan bahwa ‚hamba Allah‛ berarti

‚penyembah Allah‛, dan ‚beribadah‛ kepada Allah berarti ‚menyembah-

Nya‛. Sedangkan misi ‚tauhid‛ berarti seruan untuk ‚menjadikan Allah

sebagai satu-satunya sesembahan.‛ Berdasarkan ilustrasi ini, dapat dipahami

bahwa tauhid sebagai misi utama para nabi bermakna bahwa tugas utama

mereka adalah menyeru manusia agar hanya menyembah Allah, hanya

menjadi hamba Allah, atau menjadi hamba Allah sejati.

Sebagai utusan Tuhan, maka para nabi memiliki misi ketauhidan

sebagai misi utama, yaitu menyeru manusia agar hanya mengabdi (menjadi

abdi atau hamba) kepada Allah Swt. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh

Allah Swt. dalam firman-Nya:

23

Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf..., Juz I, cet. I, h. 113-

114.

Page 106: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

90

‚Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku.‛24

Ayat tersebut diawali dengan redaksi yang terdiri dari al-nakirah al-

manfiyah (وما أرسلنا من قبلك من رسول). Dalam studi ulûm al-qur‘ân, al-nakirah

al-manfiyah adalah salah satu di antara pola-pola yang memberikan

keumuman makna.25

Pada ayat ini, keumuman makna tersebut ditegaskan

lagi (taukîd) oleh keberadaan min yang melekat pada nakirah tersebut.26

Dengan demikian, ayat tersebut bermakna bahwa tidak seorang nabi pun

yang diutus oleh Tuhan tanpa misi tauhid [ال إله إال هللا].

Menurut al-Marâghî, ayat tersebut merupakan penegasan Allah

tentang tugas utama setiap utusan-Nya, seolah-olah Allah berkata, ‚Dan

tidaklah Kami mengutus seorang rasulpun kepada suatu umat dari umat-umat

yang lain kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan

(ma’bûd) di langit maupun di bumi selain Aku. Karena itu, murnikanlah

penghambaan (‘ibâdah) kalian hanya untuk-Ku serta khususkanlah ketuhanan

24

QS. al-Anbiyâ’ [25]: 25. 25

Sebuah kaidah mengatakan [النكرة بعد النف تفد العموم], yaitu ism nakirah (kata benda

tanpa alif-lam) yang terdapat dalam susunan nafy menunjukkan keumuman makna. Mannâ‘ al-

Qattân, Mabâhits fî Ulûm al-Qur’ân (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), cet. XI, h. 214. 26

Adapun [ من] yang terdapat dalam al-Qur’an itu banyak sekali macamnya. ‚Min al-

Zâ’idah‛ merupakan salah satunya. Yang dimaksud dengan ‚Min al-Zâ’idah‛ ialah [ دخولها ف الكالم

yaitu ada atau tidaknya ‚min‛ tersebut tidak merubah pengertian selain penekanan atas ,[كسقوطها

pengertian tersebut. Ia terdiri dari dua fungsi; al-tansîs ‘alâ al-‘âm dan tawkîd al-âm. Lihat

Muhammad ‘Abd al-Khâliq ‘Adîmah, Dirâsât li Uslûb al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Dâr al-Hadîts,

t.th), Juz III, h. 398-411.

Page 107: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

91

(ulûhah) hanya untuk-Ku.‛27

Sedangkan Ibn Katsîr berpendapat, ayat ini

menegaskan bahwa para nabi yang diutus Allah, semuanya menyerukan

pemurnian penghambaan hanya kepada Allah.28

Pada ayat lain, hal yang senada ditegaskan oleh Allah Swt. Hal ini

sebagaimana dalam firman-Nya:

‚Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).‛29

Perintah untuk menyembah Allah pada ayat tersebut dipahami oleh

al-Qurtubî sebagai seruan mentauhidkan Allah Swt. Sedangkan al-tâghût ia

pahami sebagai semua sesembahan selain Allah (kullu ma’bûd min dûn

Allâh), seperti syaitan, peramal, berhala, dan semua yang berpotensi

menyesatkan.30

Sedangkan al-Râzî menyebutkan makna al-tâghût itu ada dua;

pertama, hampir mirip dengan al-Qurtubî, yaitu penyembahan terhadap

sesembahan selain Allah (‘ibâdat mâ ta’budûna min dûn Allâh). Kedua,

27

Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Maktabah Mustafâ al-Bâbî al-

Halabî wa Awlâdih, 1946), Juz XVII, cet. I, h. 21. 28

Abû al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, ed. Mustafâ

Sayyid Muhammad, dkk (Jezah: Mu’assasah Qurtubah, t.th), Jilid IX, h. 398. 29

QS. al-Nahl [16]: 36. 30

Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân…, Juz XII, h. 322.

Page 108: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

92

mentaati syaitan lantaran dia telah mendoakan (tâ’at al-shaitân fî du’â’ih

lakum).31 Dengan demikian, segala bentuk penyembahan kepada selain Allah,

baik secara tegas ataupun tidak, termasuk dalam pengertian al-tâghût.

Sealur dengan tauhid sebagai misi utama para nabi, maka Allah

menyebut tugas utama manusia adalah beribadah kepada Allah (QS. al-

Dzâriyât [51]: 56), yaitu menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang

disembah. Hal ini karena kata ilâh, sebagaimana disebutkan sebelumnya

berlaku untuk hal yang benar [ال إله إال هللا] maupun salah [ من اتخذ إلهه

.[هواه32

Sehingga, tawhîd dapat dipahami sebagai upaya menghindarkan

manusia dari menyembah diri sendiri untuk kemudian hanya menyembah

Allah Swt.

Namun, perlu dicatat bahwa ketauhidan bukanlah suatu hal yang baru

bagi manusia, dengan pengertian bahwa manusia mengenalnya baru ketika

disampaikan lewat pengutusan para nabi. Tauhid merupakan kehendak fitrah

yang dari awal sudah ditanam dalam-dalam oleh Tuhan pada lubuk jiwa

setiap manusia. Di sini adalah ketika setiap manusia sudah selesai dengan

‚Tuhan‛ dalam makna rabb. Hal ini sebagaimana ditegaskan QS. al-A’râf [7]:

172, yang berbunyi: [ بلى شهدنا، أن تقولوا وم القامة إنا كنا قالوا ألست بربكم،

,bukankah Aku ini Tuhanmu?‛ Mereka menjawab: ‚benar‚ ,[عن هذا ؼافلن

31

Fakhr al-Dîn Muhammad al-Râzî ibn al-‘Allâmah Diyâ‘ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr al-Fakhr al-Râzî al-Musytahar bî al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtîh al-Ghaib (Beirut: Dâr al-Fikr, 1985), Jilid

XX, Cet. III, h. 29. 32

QS. al-Furqân [25]: 43 dan QS. al-Jâtsiyah [45]: 23.

Page 109: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

93

kami menjadi saksi‛. Agar nanti di hari kiamat kamu tidak mengatakan,

‚sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap hal ini.‛

Kata [بلى شهدنا] pada ayat tersebut mendeskripsikan berbobotnya

jawaban tersebut. Sebuah jawaban yang sudah menjadi kesadaran sempurna

bagi seseorang. Muhammad Abduh, mengomentari bagian ini dengan

mengatakan [بلى أنت ربنا والمستحق وحده لعبادتنا], ‚benar, Engkau Tuhan

kami dan satu-satunya yang layak kami sembah‛.33

Sehingga, sebagaimana

disebutkan Ibn Katsîr, seruan tauhid para nabi merupakan suatu hal yang

sangat disadari oleh kefitrahan manusia bahkan oleh orang-orang musyrik

sekalipun.34

Karena itulah mengapa al-Qur’an menyebut fungsi para nabi sebagai

utusan Tuhan dengan mundzirîn (QS. al-Baqarah [2]: 213), yaitu untuk

mengingatkan manusia kembali terhadap kenyatan tauhid yang ada di setiap

jiwa mereka. Sebagaimana mereka sudah mampu menempatkan makna rabb

secara sempurna, maka dalam kehidupan ini mereka harus berusaha untuk

menempatkan makna ilâh sampai pada level sempurna (syahâdah). Dalam hal

ini, misi tauhid adalah tujuan utama setiap pengutusan para nabi, sedangkan

jalan perwujudannya (syarî’ah) pasti akan berbeda karena kehendak mutlak

dari konteks ruang dan waktu yang dihadapi. Dengan demikian, jalan tidaklah

persoalan meskipun berbeda-beda. Justru yang jadi persoalan adalah ketika

tujuannya yang sudah tidak sama.

33

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Juz IX, h. 387. 34

Abû al-Fidâ’ Ismâ‘îl ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, ed. Mustafâ

Sayyid Muhammad, dkk (Jezah: Mu’assasah Qurtubah, t.th), Jilid IX, h. 398.

Page 110: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

94

3. Setiap nabi diutus dengan bahasa kaumnya

Para nabi sejatinya merupakan delegasi-delegasi Tuhan kepada umat

manusia,35

yaitu sebagai pemberi kabar gembira (mubasysyirîn) sekaligus

sebagai pemberi peringatan (mundzirîn) (QS. al-Baqarah [2]: 213). Dalam

kaitannya dengan misi tauhid, kabar gembira adalah bagi mereka yang

menerimanya dan peringatan kepada yang menolaknya. Baik itu ‚kabar

gembira‛ maupun ‚peringatan‛, dua-duanya meniscayakan adanya

komunikasi yang baik dalam penyampaian. Hal ini agar pesan atau informasi

yang ingin disampaikan dapat dipahami dan diterima dengan baik oleh

audiens sebagai tujuan. Oleh al-Qur’an, hal ini dibahasakan dengan al-balâgh

al-mubîn.36

Kenyataan ini sepertinya menjadi kesadaran fundamental dalam al-

Qur’an. Hal ini sebagaimana terlihat ketika al-Qur’an menginformasikan

sikap Tuhan yang sangat memperhitungkan faktor bahasa dalam penentuan

pendelegasian para nabi. Kesamaan bahasa dijadikan sebagai poros utama

dalam pertimbangan siapa dan kepada siapa seorang nabi akan diutus. Hal ini

tidak lain dan tidak bukan kecuali agar pesan yang ingin disampaikan

terkomunikasikan dengan baik. Hal ini sebagaimana ditegaskan Allah Swt

dengan berfirman:

35

Yusuf H. R. Seferta, ‚The Doctrine of Prophethood in The Writings of Muhammad

‘Abduh and Rasyîd Ridâ,‛ Islamic Studies, Vol. 24. No. 2 (Summer 1985), h. 3. 36

Misalnya QS. al-Mâ’idah [5]: 92. [فإن تولتم فاعلموا أنما على رسولنا البالغ المبن].

Page 111: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

95

‚Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.‛37

Gagasan ayat tersebut adalah bahwa setiap nabi—tanpa terkecuali—

diutus kepada kaum yang memiliki bahasa yang sama dengannya. Kenyataan

ini dipahami dari redaksinya yang terdiri dari al-nakirah al-manfiyah,38 salah

satu pola yang menghasilkan makna yang umum.39

Tidak sedikit para

mufassir yang menegaskan ini. Sebut misalnya al-Jîlânî, yang mengomentari

ayat tersebut dengan mengatakan bahwa setiap rasul selalu diutus Tuhan

sesuai dengan bahasa kaum di mana ia diutus.40

Muhammad Tâhir ibn

‘Âsyûr, menegaskan bahwa Tuhan tidak mengutus seorangpun dari utusan-

Nya dengan suatu bahasa selain bahasa kaum dimana dia diutus, bukan

dengan bahasa kaum yang lain.41

Senada dengan itu, al-Syinqitî menyebutkan

bahwa Tuhan selalu mengutus utusan-Nya dengan bahasa kaumnya, karena

37

QS. Ibrâhîm [14]: 4. 38

Sebagaimana kaidah mengatakan [النكرة بعد النف تفد العموم]. Lihat, Mannâ‘ al-Qattân,

Mabâhits fî Ulûm al-Qur’ân, h. 214. 39

Muhammad Abduh menyebut redaksi ini sebagai redaksi nafy yang terbaik. Lihat

Syaikh Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Juz V, cet. I, h. 233. 40

Muhy al-Dîn ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî, Tafsîr al-Jîlânî al-Ghawts al-Rabbânî wa al-Imâm al-Samdânî, Ed. Syaikh Ahmad Farîd al-Mazîdî (Pakistan: al-Makatabah al-Ma’rufiyyah, 2010),

Juz II, h. 409. 41

Muhammad Tâhir ibn ‘Asyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr (Tunisia: al-Dâr al-

Tûnîsiyah li al-Nasyr, 1984), Juz XIII, h. 186.

Page 112: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

96

mereka tidak diutus kecuali kepada kaumnya, bukan kepada kaum yang

lain.42

Prinsip ini begitu ditekankan al-Qur’an adalah semata-mata demi

kepentingan komunikasi untuk menjelaskan [لبن لهم], yang memang diemban

oleh setiap nabi yang didelegasikan. Dalam hal ini, tentu saja bahasa menjadi

faktor yang sangat menentukan. Karenanya, kata lisân pada ayat tersebut

dipahami tidak sedikit ahli tafsir dengan bahasa (lughah).43 Dalam hal ini, al-

Tabâtabâ’î menegaskan bahwa lisân (bahasa) yang dimaksud di sini adalah

bahasa kaum di mana nabi tersebut hidup, berbaur, dan berinteraksi dengan

mereka, bukan berdasarkan asal-usul; nasab atau keturunan. Dalam hal ini

Tabâtabâ’î berkata: [ وم الذن عش والمراد بإرسال الرسول بلسان قومه إرساله بلسان الق

.[فهم وخالطهم وعاشرهم ولس المراد به اإلرسال بلسان القوم الذن هو منهم نسبا

Pandangan tersebut didasarkan oleh Tabâtabâ’î pada kasus pengutusan Nabi

Luth kepada kaumnya. Luth sendiri merupakan seseorang yang berasal dari

Kaldan dan berbahasa Suryani lalu eksodus ke daerah al-mu’tafikât yang

berbahasa Ibrani.44

Meskipun demikian, al-Qur’an secara eksplisit menyebut

mereka sebagai kaum Luth, sebagaimana terlihat dalam ayat [ ولوطا إذ قال

.QS. al-‘Ankabut [29]: 28 ,[لقومه45

42

Muhammad al-Amîn ibn Muhammad al-Mukhtâr al-Jakanî al-Syinqitî, Adwâ‘ al-Bayân fî Îdâh al-Qur‘ân bi al-Qur‘ân, (t.tp: Dâr ‘Âlam al-Fawâ‘id, 1980), Jilid III, cet. II, h. 123.

43 Misalnya, lihat Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf ‘an

Haqâ‘iq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‘wîl, Juz III, cet. I, h. 362.

Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mizân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid XII, cet. I, h. 14. Abu

Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân..., Jilid XIII h. 953. 44

Eksodusnya Luth ini dikisahkn dalam al-Qur’an; QS. al-‘Ankabut [29]: 29. [ إن مهاجر .[إلى رب

45 Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mizân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid XII, cet.

I, h. 14-15.

Page 113: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

97

Dengan demikian, jelaslah bahwa bahasa yang dimaksud pada QS.

Ibrâhîm [14]: 4 di atas bukanlah suatu hal yang sederhana yang dapat diatasi

hanya dengan proses transliterasi, melainkan lebih dari itu, secara utuh juga

melibatkan pemikiran, kognisi, gaya wicara, emosi yang ditunjukkan melalui

isyarat paralinguistik, penanda sosial dalam wicara, etnisitas, kedwibahasaan

dan pemerolehan bahasa kedua, dan sebagainya. Karena itu, para ahli

menemukan bahwa suatu pemahaman penuh tentang komunikasi hanya

terjadi dengan menggabungkan komunikasi verbal dan non-verbal.46

Hal ini

pulalah yang dimaksud al-Qur’an dengan komunikasi yang efektif (al-balâgh

al-mubîn). Sebagaimana yang disebutkan Izutsu, al-Qur’an memiliki

kesadaran yang tinggi terhadap peran bahasa, karena antara masyarakat dan

bahasanya terdapat ikatan yang tidak dapat dipisahkan.47

Pemaknaan seperti di atas, dibuktikan oleh kenyataan banyak ayat al-

Qur’an yang menginformasikan historisitas pendelegasian para nabi,

termasuk Nabi Muhammad sendiri. Secara konsisten, setiap mereka diutus

kepada kaum tertentu. Terkait dengan para nabi sebelum Nabi Muhammad,

misalnya; [لقد أرسلنا نوحا إلى قومه],وإلى ثمود أخاهم ] 49,[وإلى عاد أخاهم هودا] 48

وأتنا موسى الكتاب ] 52,[وإلى مدن أخاهم شعبا] 51,[ولوطا إذ قال لقومه] 50,[صالحا

46

H. Giles dan W. P. Robinson (Ed), Handbook of Language and Social Physicology (Oxford: Oxford University Press, 1993), h. 35.

47 Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-

Qur’an, terj. Agus Fahri Husein, dkk (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2003), h. 205. 48

QS. al-A’râf [7]: 59. 49

QS. Hûd [11]: 50. 50

QS. Hûd [11]: 61. 51

QS. al-A’râf [7]: 80. 52

QS. al-A’râf [7]: 85.

Page 114: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

98

إسرائلواجعلناه هدى لبن وإذ قال عسى بن مرم بن إسرائل إن رسول هللا ] 53,[

dan sebagainya. Sedangkan ayat-ayat terkait dengan Nabi 54,[إلكم

Muhammad, misalnya; [لتنذر قوما ما أنذر آباؤهم],55إن قوم اتخذوا هذا القرآن ]

56,[مهجورا,[هو الذي بعث ف األمن رسوال]

57 [ القرى ومن حولهالتنذر أم ],

58ألنذركم به ومن ]

59,[بلػ dan sebagainya.

Semua ayat di atas secara bersinergi menegaskan signifikansi peran

bahasa dalam terwujudnya al-balâgh al-mubîn, yaitu komunikasi efektif yang

menjadi tanggung jawab setiap nabi yang diutus. Dalam hal ini, yang

ditegaskan adalah bahwa antara bahasa dan masyarakatnya terdapat ikatan

yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini sejalan dengan istilah al-kalâm al-balîgh

yang dikenal dalam disiplin ilmu Balaghah, yang mengatakan bahwa suatu

pesan hanya akan sampai dengan baik (al-wusûl wa al-‘intihâ‘) jika

memenuhi dua syarat, yaitu pertimbangan muqtad al-hâl (kondisi audiens)

yang perwujudannya adalah masyarakat, dan fasâhat al-alfâzh (kondisi

bahasa) yang dalam hal ini perwujudannya adalah bahasa itu sendiri.60

Sepanjang ilustrasi di atas, secara keseluruhan dapat dipahami bahwa

misi utama setiap nabi adalah ketauhidan. Adapun cara utama dalam

melaksanakan hal tersebut adalah dengan mewujudkan komunikasi efektif

(al-balâgh al-mubîn), yang secara global berupa dua hal; kabar gembira dan

53

QS. al-Isrâ’ [17]: 2. 54

QS. al-Saff [61]: 6 55

QS. Yâsîn [36]: 6. 56

QS. Al-Furqân [25]: 30. 57

QS. Al-Jumu’ah [62]: 2. 58

QS. Al-Syu’arâ‘ [42]: 7 dan QS. Al-An’âm [6]: 92. 59

QS. Al-An’âm [6]: 19. 60

Al-Sayyid Ahmad al-Hâsyimî, Jawâhir al-balâghah fî al-ma’ânî wa al-bayân wa al-badî’ (Beirût: al-Maktabah al-‘Asriyyah, 1999), h. 40.

Page 115: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

99

peringatan. Sedangkan komunikasi efektif hanya terjadi dengan

mempertimbangkan korelasi tak terpisahkan antara masyarakat dan

bahasanya. Setiap masyarakat tentu memiliki kondisi sosial dan kehendak

bahasa masing-masing yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Kenyataan inilah yang menuntut para nabi menyampaikan misi tauhid

dengan konsepsi dan tradisi (syarîah) yang cocok dengan masyarakat yang

mereka hadapi. Sehingga, sangat wajar jika tradisi dan konsepsi yang mereka

sampaikan berbeda satu sama lain.

Kewajaran akan perbedaan ini bahkan mendapat garansi langsung

dari Tuhan, dengan menegaskan bahwa kemajemukan ini merupakan

kehendak-Nya sendiri (QS. al-Mâ‘idah [5]: 48). Dalam hal ini, pada dasarnya

Ia dapat saja menciptakan manusia seragam tanpa perbedaan, namun hal itu

tidak Ia lakukan. Tuhan lebih memilih untuk menciptakan kemajemukan.

Dalam hal ini, Tuhan lebih ingin untuk menunjukkan kreatifitas kekuasaan-

Nya dibandingkan hanya sekedar menonjolkan otoritas kekuasaan-Nya.

Karena itu, Tuhan memberi peluang sebesar-besarnya bagi perbedaan ini

dengan mengatakan bahwa kelak di akhirat Ia sendiri yang akan

menjelaskannya. Dengan demikian, setiap upaya penyeragaman dapat

dipandang sebagai upaya melawan kehendak Tuhan itu sendiri.

4. Para Nabi ditaati atas izin Allah swt.

Semenjak awal penciptaan, manusia sudah dipiranti oleh Tuhan

dengan potensi ketauhidan, yaitu menyembah semata-mata hanya kepada

Page 116: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

100

Allah Swt QS. al-A’râf [7]: 172.61

Untuk menjaga konsistensi hal tersebut,

Tuhan kemudian mengirim para nabi untuk menyampaikan pesan atau misi

tauhid kepada manusia. Dalam hal ini, mereka perlu diingatkan dan

disadarkan akan kenyataan yang tertanam jauh dalam lubuk setiap jiwa

mereka tersebut. Dengan demikian, maka para nabi yang diutus sejatinya

sedang membawa titah Tuhan. Sehingga, mentaati para nabi adalah dalam

rangka mentaati titah Tuhan tersebut, bukan para nabi an sich.

Para nabi sebagai utusan Tuhan tentu saja harus dihormati dan

dimuliakan, namun jangan sampai bertindak secara berlebih-lebihan sehingga

berimplikasi kepada persoalan ketauhidan yang justru merupakan misi utama

kehadiran mereka. Maka dalam konteks ini, Allah Swt. menerangkan

kedudukan para nabi yang diutusnya, yaitu lewat firman-Nya:

‚Dan Kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Seandainya mereka ketika menganiaya diri sendiri datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.‛62

Menurut Muhammad Abduh, kata illâ bi idznih pada ayat tersebut

adalah sebagai bentuk kewaspadaan (al-ihtirâs), untuk mengusir anggapan

bahwa para Nabi itu ditaati karena diri mereka sendiri, tanpa ada faktor

61

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Juz IX, h. 387. 62

QS. al-Nisâ’ [4]: 64.

Page 117: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

101

tertentu. Ketaatan secara murni (pure) hanya untuk Allah, Tuhan Pencipta

manusia. Sedangkan taat kepada rasul itu bukan suatu hal yang berdiri

sendiri, tetapi menjadi sebuah kemestian atas perintah dan restu-Nya.63

Hal

yang sama ditegaskan oleh Nâsir Mâkarim al-Syairâzî, bahwa ketaatan

kepada para nabi bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri (bi al-dzât).64

Sedangkan al-Marâghî mengatakan, ayat ini menegaskan ketentuan bahwa

setiap utusan Allah ditaati atas izin-Nya. Dengan demikian, tidak mematuhi

dan tidak suka terhadap keputusan mereka sama dengan melanggar hukum

dan ketentuan Allah itu sendiri. Hal ini merupakan perbuatan dosa

terbesar.‛65

Keterangan di atas menegaskan bahwa para nabi sejatinya murni

sebagai wasîlah (sarana atau jalan) semata, tidak boleh diposisikan mendekat

dan hampir menjamah wilayah ghâyah (tujuan). Dalam hal ini, ghâyah hanya

satu yaitu ketauhidan. Sedangkan wasîlah tidak hanya satu sebagaimana

termanifestasi dari banyaknya para nabi yang diutus. Dengan demikian,

setiap manusia pada dasarnya hanya selalu berinteraksi dengan Tuhan. Jika

ketataannya kepada nabi merupakan ketaatannya kepada Tuhan [ إال لطاع بإذن

maka kedurhakaannya kepada nabi juga merupakan kedurhakaannya ,[هللا

kepada Tuhan. Karena itulah, ayat tersebut meredaksikannya dengan

63

Lihat Syaikh Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Juz V, cet. I, h.

232-233. 64

Nâsir Mâkarim al-Syairâzî, al-Amtsal fî Tafsîr Kitâb Allâh al-Munazzal (Iran:

Madrasah al-Imâm ‘Alî ibn Abî Tâlib, 1421 H), Jilid III, h. 303. 65

Lihat Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz V, cet. I, h. 80.

Page 118: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

102

bahwa mereka minta ampun kepada Allah, bukan kepada ,[فاستؽفروا هللا]

nabi.66

Hal ini penting sekali untuk ditekankan, karena para nabi hanyalah

manusia biasa yang kemudian ditunjuk oleh Tuhan sebagai delegasi-Nya.

Dalam hal ini, mereka hanyalah instrumen, transmiter wahyu, sekaligus

sebagai penyeru manusia kepada Tuhan. Di luar kapasitas itu, para nabi sama

seperti manusia kebanyakan yang juga harus berjuang memurnikan ketaatan

hanya kepada Tuhan.67

Dalam hal ini, penyimpangan memang bisa saja

terjadi. Hal ini sebagaimana terekam dalam beberapa ayat al-Qur’an, seperti

perilaku orang-orang Yahudi (al-Yahûd) yang menuhankan ‘Uzair,68

orang-

66

Tauhid dipahami oleh al-Marâghî sebagai pemurnian ibadah serta pengkhususan

ketuhanan hanya untuk Allah Swt. Lihat, Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz

XVII, cet. I, h. 21. 67

Banyak sekali ayat yang menjelaskan bahwa para nabi hanyalah manusia biasa yang

kemudian diberi wahyu oleh Allah. misalnya, QS. al-Hajj [22]: 52 dan QS. al-Furqan [25]: 52:

‚Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang Rasulpun dan tidak (pula) seorang Nabi,

melainkan apabila ia mempunyai sesuatu keinginan, syaitanpun memasukkan godaan-godaan

terhadap keinginan itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah

menguatkan ayat-ayat- nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.‛

‚Dan Kami tidak mengutus Rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan

makanan dan berjalan di pasar-pasar. dan Kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian

yang lain, maukah kamu bersabar? Dan adalah Tuhanmu Maha melihat.‛ 68

Dalam sejarah Yahudi, ‘Uzair (Ezra) adalah salah seorang tokoh karismatik yang

sangat besar jasanya dalam memperbarui agama dan mengumpulkan naskah-naskah Taurat serta

menuliskannya kembali. Oleh karena jasanya yang besar itu, orang-orang Yahudi menyebutnya

‚Anak Allah‛, meskipun tidak sampai seperti kepercayaan orang-orang Nasrani terhadap Isa.

Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa tidak semua orang Yahudi mengatakan bahwa Uzair

adalah anak Allah. Akan tetapi, karena kalimat tersebut diucapkan oleh orang Yahudi, timbul

kesan hal itu sebagai ucapan semua orang Yahudi. Lihat Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an; Kajian Kosakata, Jilid III, h. 1027. ‘Abîd Ibn ‘Umair menyebutkan bahwa hal ini adalah

pernyataan seorang Yahudi bernama Fanhâs ibn ‘Âzûrâ‘. Sedang Ibn ‘Abbas berdasarkan riwayat

Page 119: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

103

orang Nasrani (al-Nasârâ) yang menuhankan Isa,69 serta pengkultusan

terhadap para tokoh dan pemuka agama (QS. al-Taubah [9]: 30-31).

Pernyataan-pernyataan tersebut oleh al-Qur’an dipandang sebagai

sesuatu hal yang berlebihan (ghuluw) dan melampaui batas (QS. al-Nisâ‘ [4]:

171 dan QS. al-Mâ‘idah [5]: 77), sehingga secara tegas dibantah oleh Allah

bahwa para nabi tidak mungkin menyarankan demikian. Dalam hal ini, Allah

berfirman dalam al-Qur’an:

‚Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya. [80] Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) Dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?".70

Sa’îd ibn Jubair dan ‘Ikrimah menyebutkan pernyataan tersebut merupakan pernyataan

sekelompok Yahudi yang mendatangi nabi. Mereka adalah Salâm ibn Masykam, al-Nu’mân ibn

Awfâ, dan Mâlik ibn al-Saif. Lihat, Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghayb, Jilid XIV, h. 35. 69

Terkait dengan pandangan penuhanan Isa, para ulama tafsir terbelah kepada dua

kelompok. Pertama; kelompok yang menganggap pernyataan itu sebagai keyakinan kolektif umat

Nasrani. Dalam hal ini misalnya, lihat al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Juz II, h. 16, dan Fakhr al-

Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghayb, Jilid VI, h. 195. Kedua; kelompok yang berpandangan bahwa

pernyataan tersebut bukan keyakinan kolektif. Misalnya al-Tabarî, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Jilid VI, h. 350, al-Qurtubî, al- Jâmi‘ li Âhkâm al-Qur’ân, Jilid IV, h. 459, dan

Muhammad Nawâwî al-Bantanî al-Jâwî, Marâh Labîdz (Indonesia: Dâr Ihyâ‘ al-Kutub al-

‘Arabiyyah, t.th), Juz I, h. 336-337. 70

QS. Âli ‘Imrân [3]: 79-80.

Page 120: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

104

Terkait ayat ini, Sa’id ibn Jubair meriwayatkan dari Ibn ‘Abbas

bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abû Râfi’ al-Qurazî, pemuka Yahudi,

dan al-Ribbîs, pemuka Nasrani Najran, yang bertanya kepada Nabi apakah ia

ingin disembah. Ayat ini sendiri turun sebagai jawaban atas pertanyaan

tersebut.71

Dengan jawaban ini, al-Qur’an tidak hanya ingin menjawab

pertanyaan yang mereka ajukan kepada Nabi Muhammad, tetapi pada saat

yang sama juga melakukan kritik simpatik terhadap teologi mereka.

Fakhr al-Dîn al-Râzî, mengulas makna rabbâniyyîn pada ayat tersebut

dengan mengutip pandangan Sîbawaih, bahwa kata rabbâniy pada ayat

tersebut merupakan nisbah (penghubungan) kepada al-rabb (Tuhan) yang

maknanya adalah seseorang yang memiliki ilmu mendalam tentang Allah

serta berjibaku dalam ketaatan kepada-Nya. Penambahan alif dan nûn pada

kata tersebut menunjukkan kesempurnaan hal tersebut, sama seperti

ungkapan sya’rânî untuk menunjukkan orang yang memiliki rambut lebat,

lihyânî untuk menunjukkan orang yang memiliki jenggot panjang, dan

seterusnya.72

Paralel dengan pernyataan di atas, Muhammad Abduh memahami

kata rabbâniyyîn sebagai sebuah perintah supaya seseorang terhubung

langsung dengan Tuhan, tanpa perantara apapun, termasuk para nabi itu

sendiri. Hal ini bisa dilakukan dengan terus mengajarkan al-kitâb dan

mempelajarinya. Dalam hal ini, berikut pernyataan Abduh:

71

Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân..., Jilid VIII h. 524-525. 72

Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghayb, Jilid VIII, h. 122-123.

Page 121: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

105

كنتم تعلمون الكتاب وبما كتنم تدرسون( أي ولكن )ولكن كونوا ربانن بماأمرهم النب الذي أوت الكتاب والحكم بأن كونوا منسوبن إلى الرب مباشرة من ؼر توسطه هو وال التوسل بشخصه وإنما هدهم إلى الوسلة الحققة الموصلة إلى ذلك

ه كون اإلنسان ربانا وه تعلم الكتاب ودراسته. فبعلم الكتاب وتعلمه والعمل بمرضا عند هللا تعالى. فالكتاب هو واسطة القرب من هللا تعالى، والرسول هو الواسطة المبلؽة للكتاب كما قال تعالى )إن علك إال البالغ(. فال مكن ألحد أن تقرب إلى هللا

بشخص الرسول بل بما جاء به الرسول.‚ [ الكتاب وبما كتنم تدرسونولكن كونوا ربانن بما كنتم تعلمون ], maksudnya ialah

tetapi justru seorang Nabi yang telah diberi al-kitâb dan al-hukm itu memerintahkan mereka supaya terhubung langsung kepada Allah tanpa perantaraan dirinya. Nabi hanya menunjukkan kepada mereka sarana sejati yang akan menyampaikan mereka kepada hal tersebut, yaitu mengajar dan belajar al-kitâb. al-kitâb merupakan sarana mendekatkan diri kepada Allah, rasul hanya sebatas penyampai al-kitâb, seperti firman Allah [ إن علك إال Karena itu, tidak mungkin seseorang akan mendekatkan diri kepada .[البالغAllah melalui diri Nabi, tetapi adalah melalui apa yang dibawa seorang Nabi.‛73

Apa yang disebutkan Abduh di atas sejalan dengan QS. al-Rûm [30]:

30, yang memerintahkan agar manusia selalu menghadapkan dirinya kepada

al-dîn yang merupakan fitrah manusia [...فأقم وجهك للدن حنفا، فطرت هللا]. Kata al-

dîn mendeskripsikan relasi eksklusif antara dua pihak,74

yang dalam hal ini

adalah Tuhan dan hamba. Dengan demikian, dîn merupakan wilayah privat

di mana di sana hanya ada seseorang dengan Tuhan. Kenyataan ini

menegaskan bagaimana posisi para nabi dalam agama, bahwa mereka

hanyalah sarana dan bukan tujuan sehingga harus selalu ada dan kekal.

Sebagai sarana, kenabian bisa saja berbilang. Hal ini dibuktikan

dengan kenyataan berbilangnya para nabi yang diutus sebagai kehendak

historis sejarah. Banyaknya para nabi berarti banyaknya tradisi dan konsepsi

73

Syaikh Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Juz III, cet. I, h 348. 74

Lihat, M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994), cet. VI, h. 209. Bandingkan dengan Quraish

Shihab, Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera

Hati, 2006), h. 21. Lihat juga, Lihat Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia..., h. 77-78.

Page 122: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

106

(syarî’ah). Karena itu, ketidakseragaman syarî’ah tidak perlu dipersoalkan.

Yang terpenting adalah sarana yang dipakai dapat menyampaikan kepada

tujuan. Dalam hal ini, seseorang tidak dapat mengklaim bahwa legalitas

kebenaran hanya ada dalam satu tradisi dan konsepsi tertentu saja. Tindakan

eksklusif seperti ini dikecam oleh al-Qur’an, seperti yang termuat dalam QS.

al-Baqarah [2]: 111-112. Sikap eksklusif dapat dipahami sebagai indikator

ketika seseorang masih belum sampai kepada wilayah tujuan (ghâyah),

namun masih sibuk berkutat di wilayah jalan (wasîlah).

B. Ekuisme Kenabian dalam al-Qur’an

1. Keidentikan di antara para nabi

Tidak hanya sekedar menginformasikan bahwa Tuhan

mendelegasikan para nabi kepada manusia, al-Qur’an juga menerangkan

keidentikan-keidentikan di antara mereka. Secara global, keidentikan

tersebut dapat rumuskan kepada dua aspek; misi dan ambilinial

(hubungan kekerabatan). Misi adalah aspek yang mendeskripsikan

perjuangan keagamaan para nabi,75

sedangkan ambilinial adalah aspek

yang menjelaskan hubungan kekeluargaan yang terjalin di antara

mereka.76

Hal ini menjadi penting untuk dibahas sebagai langkah

75

Misi dapat diartikan sebagai tugas yang dirasakan seseorang sebagai suatu kewajiban

untuk melakukannya demi agama, ideologi, dan patritisme. Lihat, Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 961.

76 Ambilinial berarti kelompok kekerabatan yang berorientasi pada nenek moyang

bersama, ditelusuri berdasarkan garis ayah atau pun ibu. Lihat, Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, h. 51.

Page 123: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

107

antisipastif bagi terjadinya sikap diversifikatif (tafrîq) dalam merespon

variatifnya kenabian karena dorongan emosional keagamaan.77

Perpaduan serta sinergisitas kedua aspek ini merekonstruksi

sebuah pengertian sebagaimana tersimpul dalam kandung hadis yang

dituturkan oleh Nabi Saw. yaitu:

هاتهم شتاى ودنهم واحد. ت أما وة لعالا اء إخ ب ن واأل ‚Para nabi adalah bersaudara meskipun ibu-ibu mereka berbeda, dan

agama mereka satu (sama).‛78

a. Aspek misi

Setiap delegasi tentunya pasti membawa misi tertentu dari pihak

yang mendelegasikannya. Misi sendiri pada dasarnya adalah titah yang

diembankan kepada setiap delegasi untuk kemudian mereka laksanakan.

Tugas utama setiap delegasi adalah merealisasikan misi atau titah

tersebut. Berhasil atau tidaknya seorang delegasi, diukur dari sejauhmana

ia dapat mewujudkan apa yang menjadi misi tersebut. Dalam hal ini, pola

kerja atau mekanisme proses dalam perwujudan misi bersifat dinamis dan

fleksibel. Sedangkan yang statis atau tetap hanya satu, misi itu sendiri.

Terkait dengan konteks kenabian, Tuhan hanya memiliki satu

titah yang kemudian menjadi misi setiap nabi yang didelegasikannya

kepada manusia. Titah tersebut adalah misi ketauhidan (QS. al-Anbiyâ‘

[21]: 25 dan QS. al-Nahl [16]: 36). Misi inilah yang secara konsisten

diserukan dan diteruskan oleh para nabi kepada para penerusnya.

77

Al-Qur’an melarang sikap membeda-bedakan para nabi. Hal ini sebagaimana terdapat

pada QS. al-Baqarah [2]: 136, 285, dan QS. Âli ‘Imrân [3]: 84. 78

Muhammad ibn Ismâ’îl al-Ju’fy al-Bukhârî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, ed.

Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirut: Dâr ibn Katsîr, 1987), Juz 3, cet. III, h. 1270.

Page 124: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

108

Kenyataan ini, misalnya terlihat dari sikap Ya’qub kepada anak-anaknya

sebagaimana terekam dalam ayat al-Qur’an berikut ini;

‚Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya".79

‚Dan aku pengikut agama bapak-bapakku Yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya'qub. Tiadalah patut bagi Kami (para Nabi) mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada Kami dan kepada manusia (seluruhnya); tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri (Nya).80

Masing-masing ayat tersebut menginformasikan bahwa misi

tauhid tidak hanya berlangsung secara terbatas dari Ya’qub kepada anak-

anaknya, melainkan sudah ditransmisikan semenjak lama dari nenek

moyang mereka, yaitu Isma’il, Ishaq, dan Ibrahim. Penisbahan Tuhan

kepada mereka, seperti yang dijelaskan Rasyîd Ridâ, adalah karena

79

QS. al-Baqarah [2]: 133. 80

QS. Yûsuf [12]: 38.

Page 125: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

109

merekalah yang melakukan dan memperjuangkan misi tauhid tersebut.81

Adapun penggunakan kata وصى (QS. al-Baqarah [2]: 132) dan kondisi

menjelang kematian Ya’qub (QS. al-Baqarah [2]: 133) dapat dipahami

sebagai indikator yang menunjukkan kesungguhan mereka dalam

mengemban misi tersebut.

Ibrahim, Isma’il, Ishaq, maupun Ya’qub, mereka merupakan para

nabi. Meskipun diutus pada konteks ruang dan waktu yang berbeda,

namun mereka disatukan oleh ketauhidan sebagai misi utama. Dalam hal

ini dipahami suatu hal bahwa mereka lebih dilihat dari aspek misi dari

pada perbedaan-perbedaan yang mengitari masing-masing. Perbedaan

latar historis berupa konteks ruang dan waktu tertentu, tentu saja

meniscayakan terciptanya sejumlah perbedaan-perbedaan di antara

mereka, baik dalam bentuk yang sederhana maupun pada tingkat ekstrim

sekalipun. Namun, itu tidaklah menjadi persoalan ketika misi masih tetap

sama, yaitu ketauhidan.

Terkait dengan tema ketauhidan, secara eksplisit istilah tawhîd

tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Di antaranya, al-Qur’an hanya

menggunakan bentuk-bentuk lain dari akar kata yang masih sama, seperti

ungkapan [هللا أحد]82

83,[إله واحد] ,,[وحده]

84 dan sebagainya. Terhadap hal ini,

misalnya al-Râzî memahami kata ahad dengan nafy al-musyârakah wa al-

81

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Juz I, h. 477. 82

QS. al-Ikhlâs [114]: 1. 83

QS. al-Baqarah [2]: 163, QS. al-Nisâ‘ [4]: 171, QS. al-Mâ‘idah [5]: 73, QS. al-An’âm

[6]: 19, QS. Ibrâhîm [14]: 52, dan QS. al-Nahl [16]: 22. 84

QS. al-A’râf [7]: 70, QS. al-Isrâ‘ [17]: 46, QS. al-Zumar [39]: 45, QS. Ghâfir [40]: 12,

84, dan QS. al-Mumtahanah [60]: 4.

Page 126: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

110

mumâtsalah, yaitu ketidakadaan partner secara eksistensial maupun

otoritas.85

Ibn Sînâ, sebagaimana dikutip Ibn ‘Asyûr, memahami ahad

dengan wâhid min jamî’ al-wujûh, yaitu satu-satunya dari segala aspek.

Adapun Ibn ‘Asyûr sendiri, secara etimologi, menyamakan pengertian

ahad dengan wâhid. Meskipun demikian, pada kesempatan selanjutnya ia

mencoba mendistingsikan antara keduanya, dengan mengatakan bahwa

ahad maksudnya adalah munfarid bi al-ulûhiyyah, yaitu satu-satunya

yang bersifat ketuhanan, dan wâhid berarti wâhid la muta’addid fa man

dûnahû laisa bi ilâh, yaitu satu tanpa berbilang.86

Mengacu kepada ilustrasi makna di atas, secara sederhana tauhîd

dapat dipahami sebagai proses atau upaya untuk mengesakan Tuhan, baik

secara eksistensial maupun secara otoritas. Hamka, dalam hal ini

mengatakan bahwa ‚Yang Tuhan itu ialah Mutlak kuasa-Nya, tiada

terbagi, tiada separuh seorang, tiada gandingan, tiada bandingan dan tiada

tandingan. Dan tidak pula ada tuhan yang nganggur.‛87

Para filosuf sudah

mencapai pemaknaan seperti ini ketika mencita-citakan penemuan apa

yang mereka istilahkan dengan ‚materi tunggal yang tak terbagi‛ (al-

jauhar al-fard al-ladzî lâ yatajazza’). Namun, dalam perspektif

materialistis hal ini tidak dapat mereka temukan.88

85

Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghayb, Juz VII, h. 211. 86

Muhammad Tâhir ibn ‘Asyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz XXX, h. 613-614. 87

Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: pembimbing Masa, 1970), Juz XXX, h. 65. 88

Jamâl al-Bannâ, al-Ta’addudiyyah fî Mujtama’ Islâmî (Kairo: Dâr al-Fikr al-Islâmî,

t.t), h. 6.

Page 127: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

111

Dengan demikian, terlihatlah bahwa misi para nabi sesungguhnya

tidak lain adalah penegasan terhadap fitrah yang sebelumnya sudah

tertanam dalam lubuk jiwa setiap manusia semenjak masih berada di alam

ruh, ketika manusia masih jauh berada dalam blueprint (cetak biru) ilahi

atau yang bisa disebut juga archetypal word (QS. al-A’râf [7]: 172).89

Karena kelak mereka akan ditanya kembali tentang hal ini, karena itu

pula lah Tuhan kemudian mendelegasikan para nabi kepada setiap umat

manusia untuk meneguhkan mereka kembali terhadap kenyataan tersebut

(QS. Yûnus [10]: 47/QS. al-Ra’d [13]: 7). Setelah peneguhan ini, maka

Tuhan akan memberikan penilaian tentang berhasil atau gagalnya

seseorang dalam menjaga konsistensi fitrah tersebut (QS. al-Nisâ‘ [4]:

165/QS. al-Isrâ‘ [17]: 15).

Tidak hanya manusia yang akan ditanya tentang ketauhidannya,

para nabi pun yang memang sengaja didelegasikan Tuhan untuk

meneguhkan ketauhidan manusia, juga akan ditanya tentang tugas

tersebut. Di antara ayat yang menjelaskan bahwa kelak manusia akan

ditanya tentang ketauhidan adalah seperti; [ أن تقولوا وم القامة إنا كنا عن هذا

ووم نحشرهم جمعا ثم نقول للذن أشركوا أن ] ,(QS. al-A’râf [7]: 172) [ؼافلن

ووم نحشرهم جمعا ثم نقول ] ,(QS. al-An’âm [6]: 22) [شركاؤكم الذن كنتم تزعمون

مكانكم أنتم وشركاؤكم للذن أشركوا ] (QS. Yûnus [10]: 28), dan sebagainya.

Sedangkan di antara ayat yang menjelaskan bahwa kelak para nabi akan

ditanya tentang tugas mereka, yaitu terkait dengan ketauhidan adalah

89

Tim Ahli, Tafsir Al-Qur’an Tematik: Kenabian (Nubuwwah) dalam Al-Qur’an, h. 16.

Page 128: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

112

seperti; [ لرحمن ألهة عبدونوسئل من أرسلنا من قبلك من رسلنا أجعلنا من دون ا ] (QS. al-

Zukhruf [43]: 45), [ وإذ قال هللا عسى ابن مرم أأنت قلت للناس اتخذون وأم إلهن من

-QS. al) [دون هللا، قال سبحانك...ما قلت لهم إال ما أمرتن به أن اعبدوا هللا رب وربكم

Mâ‘idah [5]: 116-117), dan sebagainya.

Berdasarkan fakta di atas, bukanlah suatu hal yang

mencengangkan ketika al-Qur’an menarasikan bahwa setiap nabi yang

diutus selalu mengawali tugas mereka dengan mengajak manusia kepada

tauhid. Dalam al-Qur’an, Allah menjelaskan bahwa para nabi yang

disebutkan dalam al-Qur’an, seperti Nuh, Hud, Saleh, Syu’aib, dan

sebagainya, semuanya mengajak kaumnya untuk mentauhidkan Allah [ ا

90.[قوم اعبدوا هللا ما لكم من إله ؼره Tidak ada hal fundmental yang dapat

disimpulkan dari kenyataan ini selain mengatakan bahwa tauhid memang

merupakan misi utama para nabi diutus. Karena itu juga, mengapa Tuhan

menyebut syirik (kebalikan tauhid) sebagai dosa yang tidak akan Ia

ampuni (QS. al-Nisâ‘ [4]: 48, 116).

Mengantisipasi pandangan bias dalam memahami realitas

keragaman tardisi dan konsepsi agama, sebagai implikasi logis dari

akumulasi kenabian-kenabian sebelumnya, maka Abduh memandang

perlu untuk kembali menegaskan ketauhidan sebagai misi utama para

nabi. Sedangkan perbedaan tradisi dan konsepsi ajaran atau yang lazim

dikenal sebagai syariat, hal ini terjadi lebih sebagai konsekuansi logis dari

perbedaan konteks ruang dan waktu yang mereka hadapi. Sehingga, tidak

90

Fakhr al-Dîn Muhammad al-Râzî ibn al-‘Allâmah Diyâ‘ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr al-Fakhr al-Râzî..., Juz VII, h. 228.

Page 129: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

113

ada yang harus dipersoalkan dalam hal ini. Dengan demikian, diharapkan

tidak muncul lagi sikap diversifikatif (tafrîq) dari pemeluk agama tertentu

terhadap kenyataan ini. Dalam hal ini, Abduh mengatakan bahwa setiap

nabi yang diutus kepada umat tertentu sepakat dalam menyerukan tiga

hal (Abduh menyebutnya dengan ushûl al-dîn al-tsalâtsah); iman kepada

Allah, hari akhir, serta berbuat baik. Mereka hanya berbeda dalam

perincian-perincian yang dipicu oleh perbedaan umat yang mereka

hadapi.91

Pada dasarnya, ketiga hal tersebut merupakan kehendak dari

fitrah atau ketauhidan itu sendiri.

Ketika tiga hal tersebut, yaitu iman kepada Allah, hari akhir, serta

berbuat baik, terakumulasi pada jiwa seseorang, maka pada saat itulah ia

dipandang berhasil dalam menjaga konsistensi kefitrahannya, tanpa

disyaratkan harus dengan format tradisi dan konsepsi tunggal agama

tertentu. Terhadap kenyataan ini, Tuhan menggaransikan keselamatan

terhadap mereka yang berhasil (QS. al-Baqarah [2]: 62/QS. al-Mâ‘idah

[5]: 69). Sebagaimana dikatakan al-Râzî, karena itulah Tuhan selalu

menyebut setiap nabi dan para pengikutnya sebagai muslimîn, yaitu

orang-orang yang berserah diri.92

b. Aspek ambilinial

Tidak hanya dalam misi, para nabi ternyata juga memiliki

kedekatan emosioal yang lebih dari itu, yaitu hubungan kekeluargaan

91

Syaikh Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Qur’ân al-Hakîm, Juz I, h. 216 92

Fakhr al-Dîn Muhammad al-Râzî ibn al-‘Allâmah Diyâ‘ al-Dîn ‘Umar, Tafsîr al-Fakhr al-Râzî..., Juz VII, h. 228.

Page 130: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

114

yang sangat erat. Secara gamblang, hal ini misalnya dapat dipahami dari

transmisi ketauhidan yang berlangsung dari Ibrahim, Isma’il, Ishaq,

Ya’qub, Yusuf, dan seterusnya, sebagaimana disebutkan pada

pembahasan sebelumnya. Selain sebagai para nabi, mereka juga

merupakan keluarga. Hal ini, secara global, dapat diuraikan dengan dua

ranji keturunan; pertama, Isma’il ibn Ibrahim, dan kedua, Yusuf ibn

Ya’qub, Ya’qub ibn Ishaq, Ishaq ibn Ibrahim.

Jika ditarik agak lebih jauh, al-Qur’an ternyata memiliki informasi

yang cukup kaya dan jelas terkait dengan asal-usul para nabi yang pernah

diutus. Tidak hanya itu, asal-usul tersebut menunjukkan bahwa para nabi

ternyata merupakan keluarga besar. Mereka saling memiliki kedekatan

garis keturunan antara satu dengan yang lainnya. Hal ini tentu saja

bukanlah suatu hal yang biasa tanpa makna, namun menunjukkan

soliditas dan solidaritas yang tinggi antara seorang nabi dengan yang

lainnya. Suatu hal yang dapat dijadikan pelajaran oleh para pengikut

mereka masing-masing agar tidak mempertentangkan mereka satu sama

lain.

Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan, informasi tersebut

dapat diketahui dari sejumlah ayat berikut ini.

NO Q.S AYAT KANDUNG

AN AYAT

KETERANGA

N

1. Âli ‘Imrân

[3]: 33

Adam, Nuh,

Keluarga

Ibrahim, dan

Keluarga

Adam dan

keturunan,

Nuh dan

Page 131: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

115

‘Imran keturunan,

Keturunan

penumpang

kapal Nuh,

Ibrahim dan

keturunan;

Ya’qub,

Keluarga

‘Imran, dan

Isma’il, dan

O orang-

orang yang

diberi

petunjuk dan

terpilih.

2. Al-Nisâ‘

[4]: 54

Keluarga

Ibrahim

3. Maryam

[19]: 58

Keturunan

Adam,

keturunan

penumpang

kapal Nuh,

keturunan

Ibrahim,

keturunan

Israil

(Ya’qub),

serta

keturunan

orang-orang

yang diberi

petunjuk

dan terpilih.

4. Al-An’âm

[6]: 83-89

Keluarga

Ibrahim

Page 132: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

116

5. Al-Hadîd

[57]: 26

Nuh dan

keturunannya,

Ibrahim dan

keturunannya

Ilustrasi di atas menyimpulkan bahwa tradisi kenabian

berlangsung pada beberapa keluarga, yaitu Adam dan keturunan, Nuh dan

keturunan, keturunan Penumpang kapal Nuh, Ibrahim dan keturunan;

Ya’qub, Keluarga ‘Imran, dan Isma’il, dan orang-orang yang diberi

petunjuk dan terpilih. Sepintas terlihat bahwa informasi ini menunjukkan

Page 133: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

117

informasi pergerakan pertumbuhan dan perkembangan kenabian dari

masa-masa awal kesejarahannya.

Beberapa catatan atas ilustrasi di atas; pertama, Adam dan

keturunannya. Bahwa para nabi terdiri dari keturunan Adam merupakan

suatu hal yang pasti dan tidak dipertikaikan. Namun terkait dengan

kenabian Adam sendiri, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Di

antara yang memandang Adam sebagai nabi pertama, misalnya adalah al-

Marâghî dan al-Tabâtabâ’î. Jika al-Marâghî menegaskan hal tersebut

secara mutlak,93

namun al-Tabâtabâ’î memberi catatan bahwa Adam

adalah nabi pertama,94

namun belum memiliki syariat. Adapun nabi

pertama yang memiliki kitab dan syariat adalah Nuh. 95

Dengan demikian,

masih terdapat corak pendapat dalam pandangan yang menetapkan

kenabian Adam.

Berbeda dengan hal di atas, terdapat pandangan lain yang

mengatakan bahwa Adam bukanlah seorang nabi, sehingga Adam hanya

dapat dikatakan sebagai manusia pertama. Dalam hal ini, misalnya

Qatâdah, mufassir dari kalangan tabiin, ketika mengomentari QS. al-

Baqarah [2]: 213 menyebutkan bahwa nabi pertama adalah Nuh.96

Selain

itu, hal ini juga berdasarkan potongan sebuah hadis yang berbunyi [ ا نوح

رسلأنت نب هللا وأول من أ ], ‚wahai Nuh, engkau adalah nabi Allah dan yang

93

Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz III, cet. I, h. 1138-139. 94

Hal ini berdasarkan sebuah hadis yang memuat pertanyaan-pertanyaan Abû Dzar al-

Ghîfârî kepada Nabi saw. seputar kenabian. Lihat, Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mizân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid II, cet. I, h. 147.

95 Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mizân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid V, cet. I,

h. 142. 96

Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi’ al-Bayân..., Jilid III h. 621.

Page 134: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

118

pertama diutus (rasul).‛97

Dengan demikian, pandangan ini menegaskan

bahwa Adam bukanlah seorang nabi, tetapi nenek moyang manusia.

Terlepas dari perbedaan di atas, al-Qur’an memang tidak pernah

secara eksplisit menegaskan kenabian Adam. Di dalam al-Qur’an, Adam

hanya diungkapkan sebagai salah seorang manusia yang dipilih Tuhan.

QS. Âli ‘Imrân [3]: 33, menyebutkan [ إن هللا اصطفى آدم ونوحا وآل إبراهم وآل

terlalu اصطفى Jika dilihat dari perspektif al-Qur’an, kata .[عمران على العالمن

umum, sebab kata tersebut juga digunakan kepada selain nabi.98

Namun,

penulis melihat terdapat satu ayat yang dapat dijadikan pijakan bagi

penegasan kenabian Adam. Ayat tersebut adalah QS. al-Syûrâ [42]: 51,

yang berbunyi; [ وما كان لبشر أن كلمه هللا إال وحا أو من وراء حجاب أو رسل رسوال

99.[فوح بإذنه ما شاء، إنه على حكم Adam adalah manusia dan al-Qur’an

banyak sekali merekam komunikasi Adam dengan Tuhan. Dengan

demikian, komunikasi tersebut tentunya pasti terjadi sebagaimana

kandungan ayat tersebut.

Berdasarkan kenyataan ini, penulis lebih cenderung mengatakan

Adam sebagai nabi namun tidak memiliki syariat, seperti yang menjadi

pandangan al-Tabâtabâ’î di atas. Adam sebagai nabi hanya dalam konteks

cara komunikasi, bukan dalam makna teknis. Karena itu, pandangan yang

mengatakan bahwa Nuh adalah nabi pertama yang diutus, sebagaimana

97

Abû Hâtim Muhammad ibn Hibbân al-Tamîmî, Sahîh ibn Hibbân (Beirût: Mu‘asaat

al-Risâlah, 1993), Juz XIV, h. 380. 98

Misalnya QS. Âli ‘Imrân [3]: 42, [إن هللا اصطفىك وطهرك واصطفىك على نساء العالمن]. 99

‚Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia

kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan

(malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki.

Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.‛

Page 135: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

119

berdasarkan hadis dan riwayat Qatâdah di atas, pada dasarnya sejalan dan

tidak bertentangan dengan pandangan al-Tabâtabâ’î mengenai kenabian

Adam.

Kedua, Nuh dan keturunannya. Keterangan tentang kenabian

Nuh sepertinya sudah cukup terang, sebagaimana terdapat pada uraian

seputar kenabian Adam sebelumnya. Ketiga, keturunan Penumpang kapal

Nuh. Besarnya banjir yang terjadi pada masa Nuh, ada yang memprediksi

banjir tersebut terjadi secara massif, menyentuh seluruh permukaan bumi.

Karena itu, manusia yang tersisa pada saat itu hanya yang ada dalam

perahu Nuh, yaitu Nuh dan beberapa orang penumpang lainnya. Karena

itu, sangat wajar jika al-Qur’an kemudian menginformasikan bahwa para

nabi kemudian ada dari keturunan mereka. Berdasarkan informasi QS. al-

Isrâ‘ [17]: 2-3, keturunan mereka yang dimaksud adalah Banî Isrâ‘îl yang

kelak menjadi umat Musa.100

Keempat, Ibrahim dan keturunannya; Ya’qub, Keluarga ‘Imran,

dan Isma’il. Dibandingkan yang lain, Ibrahim merupakan yang paling

banyak memiliki keturunan yang menjadi nabi. Hal ini karena suatu

ketika ia memang pernah meminta hal demikian (QS. al-Baqarah [2]:

124). Karena itu, tiga agama besar (Yahudi, Kristen, dan Islam) yang

biasa dikategorikan sebagai agama langit terkadang juga disebut sebagai

100

‚Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu

petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku.

(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya Dia

adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.‛

Page 136: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

120

agama abrahamic, yaitu agama keturunan Ibrahim.101

Kelima, Orang-

orang yang diberi petunjuk dan terpilih. Tidak banyak dijumpai

penjelasan dari para ahli tafsir terkait dengan ini. Di antaranya, misalnya

adalah al-Râzî102

dan al-Zamakhsyarî,103

keduanya memahami bahwa

yang dimaksud potongan ayat ini adalah para nabi yang disebutkan

sebelumnya.

Uraian aspek ambilinial para nabi ini setidaknya memberikan

sebuah pemaknaan tentang soliditas dan solidaritas antara mereka. Di

antara mereka ada yang diutus pada satu konteks ruang dan waktu

(misalnya Musa dan Harun), ada yang pada waktu yang sama namun

berbeda wilayah (Musa-Syu’aib, Ibrahim-Luth), dan ada pula pada

wilayah yang sama namun sudah pada waktu yang berbeda (Ibrahim,

Isma’il, dan Muhammad). Semua ini berlangsung secara natural

mengikuti kehendak perjalanan sejarah berupa konteks ruang dan waktu

yang dihadapi. Dengan demikian, perbedaan-perbedaan yang ada tidak

perlu dilihat oleh para pengikut mereka sebagai suatu hal yang

kontradiktif atau tidak bisa berjalan secara bersamaan.

C. Egaliterianisme Para Nabi

Merupakan sebuah fakta bahwa tidak hanya satu orang nabi yang

diutus Tuhan sepanjang sejarah manusia. Secara gamblang, QS. al-Baqarah

101

Elza Peldi Taher (Ed), Merayakan Kebebasan Beragama (Jakarta: ICRP, 2009), h. 15. 102

Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghayb, Juz XXI, h. 235. 103

al-Zamakhsyarî, al-Kasysyâf, Juz IV, h. 31.

Page 137: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

121

[2]: 213 yang di dalamnya terdapat kata al-nabiyyîn merupakan pijakan

normatif bagi kenyataan tersebut. Tidak hanya itu, ayat tersebut juga

menginformasikan bahwa secara egaliter mereka memainkan peran

(mubasysyirîn wa mundzirîn) dan fungsi yang sama (li yahkuma bain al-nâs fî

mâ ikhtalafû fîh) serta dibekali dengan hal yang sama (wa anzala ma’ahum

al-kitâba bi al-haq). Bahkan, sebagaimana ditegaskan oleh Ubay ibn Ka’ab,

Ibn Zayd, dan al-Tabarî, bahwa kemunculan setiap tradisi kenabian juga

dilatarbelakangi oleh faktor yang sama, yaitu perselisihan sosial (ikhtilâf) di

tengah masyarakat.104

Terkait dengan jumlah para nabi yang diutus, terdapat beberapa

riwayat informatif. Beberapa literatur menyebutkan bahwa jumlah mereka

secara keseluruhan terdiri dari 124.000 orang nabi dan 315 orang rasul.105

Ada juga yang memprediksi jumlahnya lebih dari itu.106

Hal ini wajar, karena

al-Qur’an sendiri memang masih membuka peluang untuk jumlah yang lebih

banyak ketika mengatakan bahwa di antara para nabi itu ada yang dikisahkan

dan ada yang tidak (QS. al-Nisâ‘ [4]: 164). Sikap al-Qur’an ini dapat

dipahami sebagai indikator bahwa kepastian jumlah para nabi bukanlah suatu

hal yang substansial. Sedangkan yang paling substansial dan fundamental

adalah misi tauhid yang mereka perjuangkan.

Dalam tradisi keislaman, dikenal 25 nama yang dipandang sebagai

nabi sekaligus rasul. Mereka adalah Âdam, Idrîs, Nûh, Hûd, Sâlih, Ibrâhîm,

104

Ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, Jilid III, h. 624. 105

Hasan al-Saffar, al-Ta’addudiyyât wa al-Hurriyyât fî al-Islâm (Beirût: Dâr al-Bayân

al-‘Arabî, 1990), h. 14. 106

Muhammad Syatâ al-Dimyâtî, I’ânat al-Tâlibîn (), Juz 1, h. 13.

Page 138: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

122

Lût, Ismâ’îl, Ishâq, Ya’qûb, Yûsuf, Ayyûb, Syu’aib, Mûsâ, Hârûn, Dzu al-

Kifli, Dâûd, Sulaimân, Ilyâs, Ilyâsâ’, Yunûs, Zakariyâ, Yahya, ‘Isâ, dan

Muhammad Saw. Nama-nama ini begitu sering disebut-sebut oleh al-Qur’an,

seraya menekankan keharusan mengimani kebenaran mereka serta melarang

sikap ‚membeda-bedakan‛ antara mereka.107

Penekanan al-Qur’an terkait hal

ini adalah karena adanya egaliterianisme yang melekat antara sesama nabi.

Penekanan al-Qur’an atas keharusan keberimanan terhadap kenabian-

kenabian sebelumnya serta tidak membeda-bedakannya adalah juga bentuk

sikap antisipatif al-Qur’an agar tidak lahirnya sikap eksklusif dari pengikut

nabi tertentu terhadap pengikut para nabi yang lain. Biasanya hal ini muncul

dari rasa yang diklaim sebagai emosional dan antusiasme keberagamaan.

Meskipun demikian, al-Qur’an, sebagaimana ditegaskan al-Qurtubî108

dan al-

Tabâtabâ’î,109

menyebut hal ini sebagai kedengakian (baghyan) (QS. al-

Baqarah [2]: 213).

Sikap eksklusif ini pernah terjadi dan dilakukan oleh sementara

Yahudi dan Nasrani. Masing-masing saling meremehkan dan merasa unggul

sendiri. Tindakan seperti ini dinilai tidak patut oleh al-Qur’an karena

keduanya sama-sama sudah memiliki kitab. Hal ini hanya dilakukan oleh

orang-orang yang tidak berpengetahuan (QS. al-Baqarah [2]: 113). Setiap

Kitab adalah sumber risalah atau syariat dari kenabian tertentu. Masing-

masing memiliki kedudukan yang sama antara satu sama lain. Karena itu,

107

QS. al-Baqarah [2]: 136,285, QS. Âli ‘Imrân [3]: 84. 108

Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân…, Juz III, h. 407.

109 , Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mizân fî Tafsîr al-Qur‘ân, h. 156..

Page 139: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

123

ayat yang menyebutkan bahwa Tuhan memuliakan seorang nabi antara satu

dengan yang lainnya, tidak tepat jika dipahami dalam koteks syariat.110

Begitu pula dengan hadis yang membicarakan seputar kelebihan Nabi

Muhammad dari nabi-nabi yang lain.111

Secara elok, dalam satu kesempatan, sinergisitas kenabian itu

dipostulasikan oleh Nabi Muhammad Saw sebagai ubin-ubin yang secara

bersama membentuk sebuah rumah yang indah dan begitu bagus. Hanya saja,

keindahan tersebut belum lengkap disebabkan adanya satu ubin yang masih

belum terpasang. Nabi mengatakan, beliau lah ubin tersebut. Maka,

pengutusan beliau Saw adalah peristiwa ketika ubin itu sudah terpasang pada

tempatnya. Sehingga, lengkap dan sempurna lah keindahan rumah tersebut.

Hal ini sebagaimana sabda Nabi Saw;

حدثنا قتبة بن سعد حدثنا إسماعل بن جعفر عن عبد هللا بن دنار عن أب رة ه -صالح عن أب هر عن هللاا -رض ه وسلام -أنا رسول هللاا عل قال: إنا -صلاى هللاا

ضع لبنة من مثل مله، إالا مو سنه وأج تا فأح ل كمثل رجل بنى ب اء من قب ب ن ومثل األ قولون: هالا وضعت هذه اللابنة؟ قال: جبون له, و ع طوفون به، و اس ة, فجعل النا زاو

ن. فأنا ب اللابنة. وأنا خاتم النا‚Dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, ‘perumpamaanku

dengan para nabi sebelumnya adalah ibarat seseorang yang sudah membangun sebuah rumah dengan begitu bagus dan indah, hanya saja terdapat satu bagian yang ubinnya belum terpasang. Maka, ketika orang-orang mulai berkeliling melihat-lihat, mereka sangat kagum. Hanya saja mereka menyayangkan mengapa ubin yang satu ini tidak terpasang.’ Lalu

110

Ayat tersebut berbunyi [تلك اللرسل فضلنا بعضهم على بعض], ‚Para rasul itu kami lebihkan

sebagian mereka dari sebagian yang lain‛. QS. al-Baqarah [2]: 253. 111

Hadis tersebut berbunyi [ ط : أع اء بست ب ل ت على األن فض ب، وأحلات ل ع ت بالر كلم، ونصر ت جوامع ال و ب النا سل ت إلى ال خل ق كافاة، وختم ب جدا، وأر ض طهورا ومس األر ؽنائم، وجعلت ل ن ال ]. Lihat, Nukhbah min Kibâr

al-Ulamâ‘, ‚al-Syubhah al-Hâdiyah wa al-‘Isyrûn; Inkâr Khusûsiyat Muhammad Sallâ Allâh

‘alaihî wa Sallam fî ‘Umûm Risâlatih,‛ Mausû’ah Bayân al-Islâm, al-Radd ‘alâ al-Iftirâ‘ât wa al-Syubhât (Mesir: Dâr Nahdah, 2012), Juz V, h. 160 dan 167. Lihat juga, Abû al-Husain Muslim

ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Sahîh Muslim (Beirût: Dâr Ihyâ‘ al-Turâts al-‘Arabî, tt),

Juz I, h. 371.

Page 140: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

124

Nabi berkata, ‘akulah ubin tersebut, karena aku adalah penutup para nabi.‛112

Pada kesempatan lain, Nabi Saw. pernah melarang membanding-

bandingkan di antara para nabi. Dalam hal ini, misalnya, Nabi melarang

untuk melebih-lebihkan dirinya dari Musa, sebagaimana dalam hadis berikut

ini:

سعد عن ابن شهاب عن أب سلمة حدثنا حى بن قزعة حدثنا إبراهم بن تبا رجالن، رجل من : وعبد الرحمن األعرج عن أب هررة رض هللا عنه قال اس

دا على ال عالمن طفى محما لم والاذي اص هود فقال ال مس لمن ورجل من ال فقال . ال مس هودي والاذي ه ال د ذلك، فلطم وج لم عن طفى موسى على ال عالمن، قال فؽضب ال مس اص

ره بره بما كان من أم صلى هللا عله وسلم فأخ هودي إلى رسول هللاا ، فذهب ال هودي ال لم فقال رسول هللاا ر ال مس رون على موسى، فإنا " صلى هللا عله وسلم وأم ال تخ

فق، فإذا موسى باطش بجانب ل من امة، فأكون ف أوا ق م ال و عقون ص اس النال، أو ري أكان موسى فمن صعق فأفاق قب ش، فال أد . ال عر نى هللاا تث ن اس كان مما

‚dua orang saling mencaci, yang satunya Muslim sedangkan yang satunya lagi Yahudi. Yang Muslim berkata, ‚Demi Yang telah memilih Muhammad dari sekalian alam.‛ Lalu yang Yahudi membalas, ‚Demi Yang telah memilih Musa atas sekalian alam.‛ Maka seketika itu yang Muslim mengangkat tangannya lalu memukul wajah si Yahudi. Lalu si Yahudi pergi menemui Nabi dan menyampaikan apa yang terjadi di antara mereka berdua. Nabi berkata, ‚Jangan kamu lebih-lebihkan aku dari Musa, sebab semua manusia jatuh pingsan lalu aku orang yang pertama kali tersadar. Namun tiba-tiba Musa sudah berdiri di sebelah ‘Arsy. Maka aku tidak tahu apakah ia tadinya juga pingsan lalu tersadar sebelum aku atau justru dia adalah orang yang dikecualikan oleh Allah (tidak ikut pingsan).‛113

Sepanjang ilustrasi di atas, jelaslah bahwa egalitarianisme merupakan

suatu hal yang mendasar pada para nabi dan melekat pada kenabian mereka.

Sehingga, dalam hal ini tradisi dan konsepsi dari kenabian tertentu berada

pada tingkat eksistensi dan legalitas yang sama untuk dianut manusia.

112

Muhammad ibn Ismâ’îl al-Ju’fy al-Bukhârî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, ed.

Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirut: Dâr ibn Katsîr, 1987), Juz 3, cet. III, h. 1300. 113

Muhammad ibn Ismâ’îl al-Ju’fy al-Bukhârî, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, Juz 2,

cet. III, h. 849.

Page 141: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

125

BAB IV

PANDANGAN AL-QUR’AN TENTANG KENABIAN-KENABIAN

A. Ayat-ayat Argumentasi Universalitas Kenabian Nabi Muhammad Saw

Dalam tradisi Islam, al-Qur’an merupakan sumber ajaran tertinggi dan

utama.1 Hal ini karena selain al-Qur’an, terdapat sumber-sumber lain namun

secara hierarkis menempati posisi di bawah al-Qur’an. Sumber-sumber

tersebut, di antaranya adalah hadis Nabi Saw, Konsensus ulama (ijmȃ’),

analogi (qiyȃs), dan sebagainya.2 Ilustrasi ini artinya adalah bahwa al-Qur’an

paling otoritatif jika dibandingkan dengan sumber-sumber yang lain. Dengan

demikian, pendapat atau keyakinan tertentu yang berbasis argumentasi

berupa ayat al-Qur’an akan mendapatkan otoritas dan legitimasinya

tersendiri.

Pembahasan ini, selanjutnya akan memaparkan sejumlah ayat al-

Qur’an yang sering dijadikan basis argumentasi oleh pihak-pihak yang

berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah nabi yang secara eksklusif

diutus kepada seluruh manusia secara universal dan ajarannya merupakan

satu-satunya aktivitas kepatuhan kepada Tuhan yang legal serta yang masih

memiliki pintu keselamatan. Sejumlah ayat yang biasanya dijadikan pijakan

dalam menopang keyakinan akan universalitas kenabian Muhammad Saw

adalah sebagai berikut:

1 A. Atahillah, Rasyȋd Ridȃ: Konsep Teologi Rasional dalam Tafsir al-Manȃr (Jakarta:

Penerbit Erlangga, 2006), h. 44 2 A. Atahillah, Rasyȋd Ridȃ: Konsep Teologi, h. 44-45.

Page 142: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

126

Pertama, bahwa Nabi Muhammad Saw diutus kepada alam semesta.

Dalam hal ini, diyakini bahwa kenabian Muhammad Saw bukanlah

diperuntukkan hanya untuk suatu komunitas masyarakat tertentu saja,

bahkan bukan pula untuk umat manusia semata, melain sebagai rahmat untuk

alam semesta.3 Keyakinan ini diinterpretasikan dari QS. al-Anbiyâ‘ [21]: 107.

Adapun redaksi lengkap ayat tersebut adalah sebagai berikut:

‚Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.‛4

Ibn ‘Âsyûr memahami kata rahmah bermakna keluesan syari’at

(tasyrî‘ ‘âm) Nabi Muhammad yang merupakan ciri khasnya secara eksklusif

dibandingkan dengan nabi-nabi sebelumnya kerahmatannya hanya bersifat

sangat terbatas.5 Ibn ‘Âsyûr juga menjelaskan bahwa hal ini sengaja

dirancang Tuhan agar syariat Islam sebagai syariat terakhir dan berlaku

sampai akhir zaman dapat mengakomodir dinamika perkembangan zaman

tersebut. Karena itu, syariat Islam sejatinya berlaku kepada manusia secara

keseluruhan (mulâzimah li jamî‘ al-nâs), bukan hanya umat tertentu saja.6

Selain Ibn ‘Âsyûr, Mustafȃ al-Marâghî juga memahami ayat tersebut

sebagai penegasan syariat Nabi Muhammad Saw yang cocok dengan keadaan

3 Fauz Noor, Berpikir seperti Nabi: Perjalanan Menuju Kepasrahan (Yogyakarta: LkiS,

2009), h. 220. 4 (QS. al-Anbiyâ‘ [21]: 107).

5 Muhammad al-Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tûnis: al-Dâr al-

Tûnîsiyah li al-Nasyr, 1984), Juz XVII, h. 168. 6 Muhammad al-Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz XVII, h. 168.

Page 143: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

127

seluruh manusia.7 Dengan penegasan ini, tentu saja al-Marâghî juga ingin

mengaskan hal yang sama bahwa kenabian Nabi Muhammad bersifat

universal dan mengikat seluruh manusia.

Kedua, bahwa Nabi Muhammad Saw diutus dengan membawa agama

yang benar untuk kemudian melenyapkan semua agama lain yang ada. Hal ini

dipahami dari QS. al-Taubah [9]: 33.8 Secara redaksional, ayat ini sering

dipahami sebagai argumentasi bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh

manusia dengan segala perbedaan dan latar belakangnya. Ayat tersebut

adalah sebagai berikut:

‚Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.‛9

Al-Tabarî berkata, li yuzhirahȗ ‘alȃ al-dȋn kullihȋ maksudnya adalah li

yu’liya al-islâm ‘alâ al-milal kullihâ, yaitu untuk mengunggulkan Islam atas

agama-agama yang lain. Terkait dengan bentuk ‚keunggulan‛ tersebut, al-

Tabarî menyebut salah satu penafsiran bahwa keunggulan tersebut adalah

kesempurnaan atau kelengkapan syariat Islam dari agama-agama yang lain.10

7 Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî (Misr: Syarikah Maktabah Mustafâ al-

Bâbî al-Halabî wa Awlâdihî, 1946), cet. I, Juz XVII, h. 78. 8 Ayat lain yang mirip dengan ayat ini adalah QS. al-Saff [61]: 9 dan QS. al-Fath [48]:

28. 9 QS. al-Taubah [9]: 33 dan QS. al-Saff [61]: 9.

10 Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta‘wîl

Ây al-Qur‘ân, ( Kairo: Dâr Hijr, 2001), Juz XI, h. 422-423.

Page 144: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

128

Sementara itu, Ibn Katsîr dengan ayat ini menegaskan tentang kemenangan

Islam dri agama-agama lain, yaitu dengan mencantumkan riwayat-riwayat

yang memuat berita gembira tentang hal tersebut.11

Keunggulan Islam dalam ayat ini dipahami secara lebih unik oleh

Mutawallî Sya’râwî. Dalam hal ini, Sya’râwî lebih menyorotinya dari aspek

kualitas syariat Islam yang dibawa Nabi Muhammad. Dalam hal ini, Sya’râwî

berkomentar:

)لظهره على الدن كله( أي: جعله غالبا بالبرهان والحجة والحق والدلل على كل ما عداه. ولذلك قول الحق سبحانه وتعالى: )لظهره على الدن كله ولو كره المشركون( فقد ظهر هذا الدن وغلب ف مواجهة قضاا عددة ظهرت ف مجتمعات

ن وحاربونه، وهو ظهور غر إمان المشركن والكافرن الذن كرهون هذا الد ولكنه ظهور إقراري، أي رغما عنهم.

Ungkapan )لظهره على الدن كله(, maksudnya adalah: Allah mengunggulkannya dari yang lain berdasarkan bukti, pijakan, kebenaran, serta dasar yang kuat. Karena itu, firman Allah: الدن كله ولو كره )لظهره على maksudnya adalah agama ini mencuat di tengah sosial orang-orang ;المشركون(musyrik dan kafir yang pada dasarnya mereka membenci dan memeranginya, dan terbukti berhasil menyelesaikan berbagai persoalan sosial mereka. Kemunculan Islam di sana bukan atas dasar keimanan mereka, tetapi justru atas dasar terbukti kebenarannya, sehingga celakalah mereka.12

Statmen tersebut disampaikan Sya’râwî setelah sebelumnya

berbicara panjang lebar terkait dengan banyaknya agama-agama lain yang

terinspirasi bahkan mengadopsi syariat Islam. Sya’râwî kemudian

menyebutkan misal seperti kebijakan Vatikan yang mengharamkan talak dan

mendiskreditkan Islam yang membolehkan talak. Namun, ketika persoalan

sosial marak terjadi mereka akhirnya kembali membolehkannya. Dalam hal

ini, Sya’râwî menegaskan bahwa mereka membolehkannya bukan karena

11

Abû al-Fidâ‘ Ismâ’îl Ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azîm, Jilid VII, h.

180-183. 12

Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî (t.tp: tp, tt), Jilid VIII, h. 5057.

Page 145: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

129

Islam membolehkan (syariat Islam), tetapi karena tuntutan persoalan sosial

mereka yang memang tidak dapat diselesaikan kecuali dengan membolehkan

talak.13

Contoh kasus lain juga disebutkan Sya’râwî, seperti kasus radâ’ah

(penyusuan) dan khamar (minuman keras).14

Ketiga, bahwa Nabi Muhammad Saw diutus kepada seluruh manusia

tanpa terkecuali, sekompleks apapun dinamika konteks dan latar belakang

yang mengitarinya. Semuanya mesti berafiliasi dan bernaung di bawah panji

kenabian Nabi Muhammad Saw. Hal ini dipahami dari beberapa ayat berikut

ini:

...

‚Dan Kami mengutusmu menjadi rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.‛15

...

‚Katakanlah: ‚Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua...,‛16

‚Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.‛17

13

Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, Jilid VIII, h. 5056. 14

Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, Jilid VIII, h. 5056-5057. 15

QS. al-Nisâ‘ [4]: 79. 16

QS. al-A’râf [7]: 158. 17

QS.al-Saba‘ [34]: 28.

Page 146: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

130

Dalam tradisi ulûm al-Qur‘ân disebutkan beberapa indikator yang

merefleksikan keumuman makna. Di antaranya adalah, seperti yang

disebutkan Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Ik, bentuk tunggal (mufrad) yang ber-

alif-lâm al-istighrâqiyyah [المفرد المعرف بأل الت تفد االستغراق], yaitu kata tunggal

namun ber ‚alif-lam‛ yang bermakna pencangkupan massif, serta lafazh jamî’

adalah bentuk [الناس] Berdasarkan prinsip ini, maka kata al-nâs 18.[جمع]

tunggal yang ber ‚alif-lam istighrâqiyyah‛, [ س جمعاالنا ] adalah kolaborasi

bentuk tunggal yang ber ‚alif-lam istighrâqiyyah dengan lafazh jamî’ (dua

indikator makna umum), dan [كافة للناس] adalah kolaborasi bentuk tunggal

yang ber ‚alif-lam istighrâqiyyah dengan lafazh kâffah (keseluruhan).

Semuanya merefleksikan keumuman makna, yaitu dengan pengertian ‚kata

yang memuat seluruh bagian dari kandungan lafazh sesuai dengan pengertian

kebahasaan tanpa pengecualian oleh kata lain.‛19

Atas kenyataan di atas, al-Tabarî, memaknai al-nâs pada ayat

tersebut dengan al-khalq (makhluk), yaitu sama-sama berkonotasi umum.20

Sedangkan al-Tabâtabâ’î, redaksi [قل اأها الناس إن رسول هللا إلكم جمعا]

dipahaminya sebagai perintah Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw untuk

menginformasikan bahwa kenabiannya adalah untuk seluruh manusia dan

bukan hanya terbatas untuk kaum tertentu saja. Menurut al-Tabâtabâ’î , hal

18

Syaikh Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Ik, Usûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû (Beirut: Dâr al-

Nafâ’is, 1982), cet. II, hlm. 381-383. 19

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati, 2013), h. 179.

20 Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî..., Juz VII, h. 245.

Page 147: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

131

itu karena sifatnya yang sempurna untuk mengantarkan manusia kepada

kehidupan sejahtera, sehingga cocok di segala konteks ruang dan waktu. 21

Adapun Sya’râwî,memahami kata al-nâs jamîan pada QS. al-A’râf [7]:

158 tersebut dengan [ سل إلهمكل من طلق علهم ناس فالرسول مر ], yaitu semua yang

termasuk manusia maka Muhammad diutus kepada mereka. Karena itu, [ بلغ

nabi menyampaikan aturan Allah ,[قومه وكافة األقوام منهج هللا ف حركة حاتهم

terhadap aktivitas kehidupan mereka tidak hanya kepada kaumnya tetapi

kepada kaum-kaum secara keseluruhan.22

Dalam hal ini, Sya’râwî

menegaskan kenabian Muhammad bersifat universal.23

Dengan redaksi yang berbeda, hal yang sama ditekankan oleh Ibn

Katsîr. Kata al-nâs pada ayat tersebut dipahami oleh Ibn Katsîr dengan al-

ahmâr wa al-aswad wa al-‘arabî wa al-‘ajam,24 yaitu manusia berkulit putih,

hitam, Arab atau Ajam (asing). Sedangkan kata jamî’an dipahami sebagai

penegasan (jamî’ikum). Berpijak atas pemaknaan ini, Ibn Katsîr kemudian

menegaskan bahwa Muhammad adalah penutup para nabi sehingga diutus

kepada seluruh manusia (ilâ al-nâs kâffah). Penegasan ini dipertegas oleh Ibn

Katsîr dengan sejumlah riwayat yang menginformasikan hal ini sebagai

keistimewaan Muhammad atas nabi-nabi sebelumnya.25

21

Redaksi asli komentar al-Tabâtabâ’î berbunyi [ أش ث١ ص هللا ػ١ ع أ ٠ؼ تثت ااط

-Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al .[ج١ؼا غ١ش أ تختص تم د لMîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid VIII, h.289.

22 Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, Jilid VII, h.4386.

23 Teks asli: [سعاح تؼ اضا اىا]. Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî, Tafsîr al-

Sya’râwî, Jilid VII, h. 4385. 24

Pemaknaan yang sama dengan al-Marâghî, [ سعي هللا إ١ى وافح ل ج١غ اثشش ػش ػج إ

.Lihat,Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Juz IX, h. 84 .[ال إ ل خاصح25

Abû al-Fidâ‘ Ismâ’îl Ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azîm, Jilid VI, h.

417.

Page 148: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

132

Berbeda dengan yang lainnya, al-Qurtubî tidak banyak memberikan

komentar terhadap QS. al-A’râf [7]: 158 ini, bahkan juga tidak membahas

pemaknaan terhadap kata al-nâs dan kata jamî’an. Dalam hal ini, al-Qurtubî

hanya berkomentar bahwa ayat ini merupakan perintah Allah kepada

Muhammad untuk menyebutkan apa yang sebelumnya sudah dikabarkan juga

oleh Musa dan Isa. Yang dimaksud oleh al-Qurtubî adalah juga tentang

kenabian Muhammad yang bersifat universal.26

Bahwa kenabian Muhammad bersifat universal kepada seluruh

manusia, juga menjadi pandangan mufassir moderat semisal Rasyîd Ridâ.

Dalam komentarnya terhadap QS. al-A’raf [7]: 158, Ridâ menyebutkan

bahwa ayat ini ditujukan kepada manusia secara umum; baik ‘Arab maupun

‘Ajam, bahwa Muhammad ibn ‘Abd Allâh, seorang nabi berbangsa Arab

keturunan Bani Hasyim, adalah utusan Allah kepada mereka semua, bukan

terbatas hanya kepada kaumnya saja, yaitu bangsa Arab, sebagaimana

anggapan kelompok ‘Îsâwiyyah dari kalangan Yahudi. Ridâ menegaskan,

orang yang meyakini kebenaran kenabian Muhammad namun hanya terbatas

untuk bangsa Arab saja, berarti ia telah menabrak dan mendustakan begitu

banyak teks-teks agama yang menegaskan hal tersebut.27

Unik dari yang lainnya, ketika menegaskan universalitas kenabian

Muhammad, al-Tabarî, pada saat yang sama juga menegaskan keterbatasan

26

Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân...,Jilid IX, h. 357.

27 Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr,Juz IX, h. 300.

Page 149: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

133

(komunalistik) kenabian-kenabian sebelumnya. Ketika menafsirkan QS. al-

A’raf [7]: 158, al-Tabarî berkomentar:

قل ا محمد للناس كلهم، ال إلى بعضكم دون بعض، كما كان من قبل من الرسل رسل إلى بعض الناس دون بعض، فمن كان منهم أرسل كذلك، فإن رسالت

م دون بعض، ولكنها إلى جمعكم.لست إلى بعضك‚Wahai Muhammad, katakan kepada setiap manusia, bukan hanya

kepada sebagian mereka saja, sebagaimana dulu sebelumku para rasul hanya diutus kepada sebagian manusia dan bukan kepada sebagian yang lain. Jika mereka diutus demikian, maka risalahku (kenabian) bukan hanya kepada sebagian kamu saja, tetapi kepada semuanya.28

Dengan demikian, berdasarkan ilustrasi di atas terlihat bahwa ayat-

ayat yang memiliki redaksi terdiri dari kata al-nȃs di atas dijadikan sebagai

basis interpretasi bagi keyakinan bawa kenabian Nabi Muhammad Saw

bersifat universal atau diutus kepada seluruh manusia.

Keempat, bahwa Nabi Muhammad Saw tidak hanya diutus kepada

bangsa manusia tetapi juga untuk bangsa Jin. Hal ini tentu saja semakin

memperkuat bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh manusia tanpa

terkecuali. Setidaknya, pandangan ini didasarkan pada QS. al-Jin [72]: 1, QS.

al-Ahqâf [46]: 29-32, dan QS. Al-An’ȃm [6]: 130 berikut ini:

‚Katakanlah (hai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan Al Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya Kami telah mendengarkan Al Quran yang menakjubkan.‛29

28

Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî..., Juz X, h. 498. 29

QS. al-Jin [72]: 1.

Page 150: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

134

‚Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, Maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.‛30

‚Hai golongan jin dan manusia, Apakah belum datang kepadamu

Rasul-rasul dari golongan kamu sendiri, yang menyampaikan kepadamu

ayat-ayatKu dan memberi peringatan kepadamu terhadap pertemuanmu

dengan hari ini? mereka berkata: "Kami menjadi saksi atas diri Kami

sendiri", kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi

atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir.‛31

Hal ini banyak ditegaskan para mufassir. Di antara komentar

terhadap QS. al-Jin [72]: 1, misalnya al-Râzî32

dan al-Marâghî,33

mengatakan

bahwa ayat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Muhammad tidak hanya

diutus kepada golongan manusia, tetapi juga kepada bangsa jin. Hal yang

senada ditegaskan Rasyîd Ridâ, bahwa Muhammad diutus kepada dua

30

QS. al-Ahqâf [46]: 29-32. 31

QS. Al-An’ȃm [6]: 130. 32

Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XXX, h. 153. 33

Lihat,Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Juz XXIX, h. 95. Lihat juga,

Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Juz XXIV, h. 35.

Page 151: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

135

golongan (tsaqalain), yaitu jin dan manusia.34

Salah satu riwayat dari Ibn

Mas’ûd, seperti yang dikutip al-Qurtubî, menyebutkan bahwa Nabi

Muhammad suatu ketika diperintah agar membacakan al-Qur’an kepada Jin,

bahkan riwayat Ikrimah mengatakan dua belas ribu kalangan jin Jazîrah al-

Mûsal tersebut beriman kepada Nabi.35

Kenyataan ini, baik yang terdapat pada QS. al-Jin [72]: 1 maupun

pada QS. al-Ahqâf [46]: 29-32, dipahami oleh sementara mufassir sebagai

argumentasi bagi pandangan universalitas kenabian Muhammad. Interaksi

dua bangsa yang berbeda tersebut, yaitu antara manusia dan jin, dipahami

sebagai indikasi massifnya dakwah Nabi Muhammad, melintasi dua

golongan berbeda (tsaqalain).36 Bahkan, Muqâtil, dalam hal ini menegaskan

bahwa Allah belum pernah sebelumnya mengutus seorang nabi kepada dua

golongan jin dan manusia sekaligus.37

B. Catatan-catatan terhadap Keyakinan tentang Universalitas Kenabian Nabi

Muhammad Saw

1. Ayat-ayat yang multi tafsir

Pada pembahasan sebelumnya telah dipaparkan sejumlah ayat

yang sering dijadikan pijakan argumentasi dalam merekonstruksi sebuah

kesimpulan yang kemudian menjadi keyakinan bahwa Nabi Muhammad

34

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr,Juz IX, h. 300. 35

Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân...,Jilid XXI, h. 276.

36 Misalnya, lihat Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian

(Nubuwwah) dalam Al-Qur’an, h. 5-7 37

Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XXX, h. 153.

Page 152: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

136

diutus secara universal kepada seluruh manusia serta kenabiannya

mendelegitimasi seluruh tradisi kepatuhan yang terafiliasi kepada

kenabian-kenabian sebelum Islam.

Namun, jika ditelususri lebih jauh kepada kitab-kitab tafsir,

ditemukan bahwa sejatinya hampir ayat-ayat tersebut secara keseluruhan

multi tafsir. Sedangkan penafsiran yang berkaitan dengan tema

universalitas kenabian Muhammad Saw yang disosialisasikan oleh pihak-

pihak yang mengusungnya hanyalah salah satu bentuk darinya. Kenyataan

tidak tunggalnya penafsiran ini tentu saja membuka peluang bagi

pemahman opsi lain secara sejajar. Pada waktu bersamaan, kenyataan ini

tentu saja menegaskan bahwa keyakinan tentang universalitas kenabian

Nabi Muhammad bukanlah suatu hal yang absolut dan aksioma.

Misalnya, kata rahmah pada QS. al-Anbiyâ‘ [21]: 107, ada

sebagian mufassir yang tidak memahaminya dengan syariat tetapi pribadi

Nabi Muhammad itu sendiri. Di antara mufassir yang memahami rahmah

dengan pribadi Nabi adalah al-Tabarî38

dan al-Qurtubî.39

Pemaknaan ini

tidak berkorelasi dengan tema universalitas kenabian Muhammad. Karena

itu, justru polemik yang muncul dalam hal ini adalah apakah kata al-

‘âlamîn mencakup orang beriman dengan orang kafir, atau khusus hanya

orang beriman saja.

38

Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta‘wîl Ây al-Qur‘ân, Juz XVI, h. 439-431.

39 Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-

Qurân li mâ Tadammanahû min al-Sunnah wa Ây al-Qur‘ân (Beirût: Mu‘assat al-Risâlah, 2006),

cet. I, Jilid XIV, h. 302.

Page 153: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

137

Dalam pemaknaan di atas, al-Tabarî lebih cenderung kepada

pendapat Ibn ‘Abbâs yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad

merupakan rahmat bagi seluruh manusia; kafir maupun beriman. Dengan

perincian, rahmat bagi orang beriman berupa surga, sedangkan bagi orang

kafir berupa penghindaran dari bencana-bencana seperti yang menimpa

umat sebelumnya.40

Riwayat dari Ibn ‘Abbâs tersebut juga disebutkan

oleh al-Qurtubî dalam tafsirnya, di samping juga memuat pandangan Ibn

Zayd yang memaknai al-‘âlamîn hanya dengan orang-orang beriman

saja.41

Ilustrasi ini juga membuktikan bahwa kata al-ȃlamȋn pada ayat ini

ternyata tidak selamanya dipahami oleh para ulama dalam maknanya

yang sangat luas, yaitu meliputi segala hal selain Tuhan itu sendiri.

Konteks secara otomatis berperan dalam membentuk makna kata-kata

yang secara tekstual terlihat bermakna luas dan umum.

Lemahnya pandangan tersebut juga dapat dibuktikan dengan

mengelaborasi makna dasar dari kata rahmah itu sendiri. Sebagaimana

disebutkan Ibn Fâris dalam Mu’jam Maqâyîs al-Lughah,42 serta

ditegaskan oleh al-Raghîb al-Asfahânî dalam al-Mufradât fî Gharîb al-

Qur‘ân,43

bahwa rahmah bermakna dasar al-riqqah (kasih sayang), al-‘atfu

(kesantunan, dan al-ra‘fah (kepedulian). Dari makna-makna rahmah yang

ada, dapat dipahami bahwa karakteristik rahmah adalah sesuatu yang

40 Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta‘wîl

Ây al-Qur‘ân, Juz XVI, h. 439-431. 41

Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân...,Jilid XIV, h. 302-302.

42 Aẖmad ibn al-Hasan ibn Fâris ibn Zakariyâ, Mu’jam Maqâyîs al-Lughah (Beirût: Dâr

al-Fikr, 1979),Juz II, h. 498. 43

al-Râghib al-Asfahânî, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân..., Juz II, h. 260.

Page 154: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

138

abstrak (tidak konkrit) serta bersifat inklusif. Keabstarakan serta

inklusifitas makna rahmah inilah yang membuatnya mampu menjangkau,

tidak hanya hal-hal yang sama dengannya tapi juga hal-hal yang berbeda.

Sehingga, rahmah pada intinya dapat menerima semuanya. Hal ini

sebagaimana tergambar dalam firman Allah, ‚dan rahmat-Ku meliputi

segala sesuatu‛.44

Dengan demikian, delegitimasi syariat-syariat kenabian

sebelum kenabian Muhammad sebagai konsekuensi dan implikasi logis

dari pandangan universalitas kenabian Muhammad, seperti yang

didengungkan pengusungnya, adalah suatu hal yang tidak perlu terjadi.

Karena rahmah adalah sesuatu yang bersifat massif dan luas, menjangkau

persamaan dan perbedaan, sehingga meliputi segala sesuatu.45

Begitu juga dengan QS. al-Taubah [9]: 33, QS. al-Saff [61]: 9, dan

QS. al-Fath [48]: 28. Teks yang berbunyi, li yuzhirahȗ ‘alȃ al-dȋn kullihȋ

pada masing-masing ayat tersebut juga mendapatkan multi tafsir dari

para mufassir. Di antaranya, ada yang tidak memahaminya dengan

kesempurnaan syariat, tetapi seperti disebutkan oleh al-Qurtubî dalam

tafsirnya, ada pandangan lain yang mengatakan bahwa keunggulan Islam

yang dimaksud adalah keunggulan yang terjadi di Jazirah Arab,

sebagaimana sudah terjadi.46

Hal ini terealisasi dengan keberhasilan Nabi

Muhammad mengembangkan Islam di negeri asalnya tersebut.

44

Teks ayat tersebut adalah [سحت عؼت و ش١ئ]. Lihat, QS. al-A’râf [7]: 156. 45

Hal ini juga dapat dipahami sebagai gejala psikologis manusia yang cenderung

melakukan sabotase terhadap rahmat Tuhan yang luas. Lihat, QS. al-Isrâ‘ [17]: 100. 46

Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân...,Jilid X, h. 179-180.

Page 155: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

139

Kalau ingin dipaksakan juga, terdapat penafsiran lain yang

memahaminya dengan Islam sebagai satu-satunya agama. Tetapi para

mufassir sepakat bahwa hal ini terjadi nanti yaitu nanti ketika Isa turun.47

Dengan demikian, berdasarkan fakta ini maka pandangan yang

menghendaki Islam sebagai agama tunggal yang legal perlu dikoreksi atau

ditinjau ulang. Sikap seperti ini menjadi tidak lebih dari sekedar

eksklusivitas yang tidak berhasil memaknai pluralitas.

Untuk memaknai [لظهره على الدن كله] secara lebih kontekstual dan

proporsional, perlu ditinjau dari perspektif lain sebagai pertimbangan, dan

tidak hanya terpaku pada kebahasaan atau riwayat-riwayat. Perspektif

lain tersebut adalah asbâb al-nuzûl (latar historis turun ayat). Latar

historis ayat ini turun, sebagaimana disebutkan al-Tabarî, adalah ingin

meyakinkan Nabi Muhammad dan para sahabat yang keberatan menerima

Perjanjian Hudaibiyah. Allah ingin menghibur mereka dengan

mengatakan bahwa Ia akan menundukkan Mekkah dan negeri-negeri

lainnya untuk mereka sebagai balasan atas kesedihan dan kesusahan yang

menimpa mereka, yaitu dengan cara mengeluarkan mereka terlebih

dahulu untuk kemudian masuk kembali dan bisa tawaf di Ka’bah.48

Berdasarkan kenyataan ini, maka interpretasi yang lebih

proporsional adalah keunggulan Islam di Jazirah Arab, salah satu corak

47

Misalnya, dalam hal ini al-Tabarî secara lebih tegas mengatakan [ ١ثط ت ا وا حت ال

ت ش٠، ف١مت اذجاي، فح١ز تثط األد٠ا وا غ١ش د٠ هللا از تؼث ت ٠ى د٠ عا، ره وا وزه، حت ٠ضي ػ١غ ا

Lihat, al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi’ al-Bayân .[حذا ص هللا ػ١ ع، ٠ظش اإلعال ػ األد٠ا وا‘an Ta‘wîl Ây al-Qur‘ân, Juz XXI, h. 320.

48 Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî: Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta‘wîl

Ây al-Qur‘ân, Juz XII, h. 320-321.

Page 156: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

140

interpretasi yang disebutkan al-Qurtubî di atas.49

Dengan demikian, ayat

ini masih dapat dimaknai secara kontekstual, terutama di tengah realitas

pluralitas agama hari ini.

Terkait dengan kata al-nȃs, sebagaimana terdapat pada QS. al-

Nisâ‘ [4]: 79, QS. al-A’raf [7]: 158, dan QS.al-Saba‘ [34]: 28, yang secara

tekstual berdasarkan kaidah bahasa memang merupakan sebuah kata yang

bermakna umum.50

Namun, meskipun tidak dapat dipungkiri peran kaidah

bahasa dalam memahami al-Qur’an namun keliru jika memahami ayat-

ayat al-Qur’an hanya secara tekstual saja. Hal ini karena al-Qur’an

memiliki konteks turun dan pada awalnya al-Qur’an bukanlah sesuatu

yang skriptual tapi merupakan sesuatu yang aktual dan kontekstual pada

masa turunnya. Dengan demikian, hegemoni interpretasi tekstual

merupakan suatu hal yang tidak perlu dikukuhkan secara absolut.

Di antara contoh kata al-nȃs yang secara tekstual merupakan kata

bermakna umum namun dipahami dengan makna khusus terdapat pada

QS. al-Nisâ‘ [4]: 45. Dalam hal ini, para mufassir memahami kata al-nȃs

bermakna tunggal (khusus) yaitu Nabi Muhammad Saw sendiri.51

Maka,

secara logis, kata-kata al-nȃs pada tema pendelegasian Nabi Muhammad

dalam al-Qur’an juga tidak terlepas dari konteks ini.

49

Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân...,Jilid X, h. 179-180.

50 Seperti yang disebutkan Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Ik, bentuk tunggal (mufrad) yang

ber-alif-lâm al-istighrâqiyyah [المفرد المعرف بأل الت تفد االستغراق], yaitu kata tunggal namun ber

‚alif-lam‛ yang bermakna pencangkupan massif. Syaikh Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Ik, Usûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû (Beirut: Dâr al-Nafâ’is, 1982), cet. II, hlm. 381-383.

51 Dalam hal ini, al-Rȃzȋ mengatakan, kebiasaan orang Arab dalam bertutur adalah

menggunakan Istilah yang berkonotasi komunal, padahal yang dimaksud hanya personal tertentu.

Lihat, Fakhr al-Dîn al-Râzî, Mafâtih al-Ghayb, Jilid XIV, h. 35.

Page 157: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

141

Dalam tradisi usȗl al-fiqh, kata ‘ȃm terdiri dari tiga macam; kata

yang tetap pada keumuman maknanya, kata yang umum tapi bermakna

khusus, dan kata yang umum tapi maknanya dikhususkan oleh dalil lain.52

Berdasarkan teori ini, maka dapat dipahami bahwa lafazh umum yang

terdapat dalam al-Qur’an memiliki makna yang beragam dan

berdinamika. Sedangkan kata al-nȃs pada QS. al-Nisâ‘ [4]: 45 [ أم حسدون

.di atas termasuk pada kategori yang kedua [الناس53

Kata-kata umum yang terdapat pada ayat-ayat yang dijadikan

sebagai argumentasi universalitas kenabian Nabi Muhammad di atas

dapat dipahami dalam kerangka teori al-‘ȃm al-murȃdu bihȋ al-khusȗs ini.

Hal ini dipahami dari konteks sosio-historis yang dihadapi Nabi

Muhammad sendiri. Selain itu, dalam wilayah yang historis ini sulit

rasanya untuk menerima adanya sesuatu yang benar-benar universal,

karena tabi’at sejarah adalah berubah-ubah sesuai dengan konteks ruang

dan waktu dimana sesuatu yang historis tidak akan pernah mampu

melepaskan diri darinya. Keadaan inilah yang menegaskan keterbatasan

pengertian tersebut.

Karena itu, tidak heran jika al-Qur’an memakai istilah qaum

ketika menarasikan pendelegasian setiap kenabian. Hal ini seperti

ditegaskan QS. Ibrȃhȋm [14]: 4 [وما أرسلنا من رسول إال بلسان قومه لبن لهم],

52

Mannȃ’ Khalȋl al-Qattȃn, Mabȃhits fȋ ‘Ulȗm al-Qur‘ȃn (Kairo: Maktabah Wahbah,

2000), h. 215-216. 53

Contoh lain misalnya [الذن قالهم الناس إن الناس] pada QS. Ȃli ‘Imrȃn [3]: 173. Kata al-nȃs pertama maksudnya adalah Na’ȋm ibn Mas’ȗd dan kata al-nȃs kedua adalah Abu Sufyan. Mannȃ’

Khalȋl al-Qattȃn, Mabȃhits fȋ ‘Ulȗm al-Qur‘ȃn, h. 216.

Page 158: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

142

bahwa setiap nabi diutus kepada kaum tertentu dengan bahasa mereka

sendiri. Kata qaum di sini tidak bermakna pembatasan tapi penegasan

terhadap situasi dan kondisi aktual dan kontekstual yang dihadapi setiap

nabi sebagai lahan dakwahnya. Sehingga, memahami kata-kata umum

seperti al-nȃs, al-ȃlamȋn, dan sebagainya secara terbatas yaitu dengan

manusia yang berada di lingkungan aktual seorang nabi, terlihat lebih

logis daripada memahaminya dengan seluruh manusia dan alam semesta.

Karena hal itu, tidak mungkin terjadi karena tidak mungkin dilakukan

oleh seorang nabi sebagai manusia biasa.

Berdasarkan ilustrasi di atas, maka kata-kata umum yang terdapat

pada ayat-ayat yang dijadikan sebagai argumentasi universalitas kenabian

Nabi Muhammad tersebut secara lebih tegas dapat dipahami dalam

kerangka teori ketiga, yaitu al-ȃm al-makhsȗs, yaitu lafazh umum yang

maknanya dijelaskan atau dikhususkan oleh dalil lain. Dalam hal ini,

sangat banyak ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan pentakhsȋs lafazh-

lafazh umum tersebut. Misalnya, [ ه لذكر لك ولقومك وسوف ت سألون وإن ] QS. al-

Zukhruf [43]: 43, [خذوا هذا القرآن مهجورا ا رب إن قوم ات سول -QS. al [وقال الر

Furqân [25]: 30, [ ا أنذر آباؤهم فهم غافلون هو الذي ] ,QS. Yȃsȋn [36]: 6 [لتنذر قوما م

علمهم الكتاب والحكمة وإن كانوا من هم و زك اته و هم آ تلو عل نهم ن رسوال م بعث ف األ م

بن QS. al-An’ȃm [أم القرى ومن حولها] ,QS. al-Jumu’ah [62]: 2 [قبل لف ضلل م

[6]: 92 dan QS. al-Syȗrȃ [42]: 7, [ تنذر قوما ما أنذر آباؤهمل ] QS. Yâsîn [36]: 6,

dan sebagainya. Semua ayat ini menegaskan sosio-historis sebagai

konteks actual dan kontekstual yang dihadapi Nabi Saw.

Page 159: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

143

Ilustrasi di atas juga ditopang oleh sebuah hadis yang

menceritakan bahwa suatu ketika Nabi bersama Khalid ibn al-Walid

berada di rumah istri Nabi, Maimunah, yang merupakan saudara

perempuan dari ibunya. Pada saat itu, Hufaidah bintu al-Hȃrits, saudara

perempuan Maimunah dari Nejad menyuguhkan makanan semacam

biawak panggang. Setelah mengetahuinya, maka Nabi Saw enggan

memakannya. Melihat sikap Nabi Saw tersebut, Khalid kemudian

bertanya, apakah makanan tersebut haram dimakan. Pada saat menjawab

pertanyaan Khalid tersebut, Nabi Saw berkata, [ ال، ولكنه لم كن بأرض قوم

tidak, hanya saja ia tidak ada di daerah kaumku, karena itu‚ ,[فأجدن أعافه

saya enggan memakannya‛.54

Karena itu, maka hadis Nabi Saw yang menginformasikan tentang

keutamaan Nabi Muhammad Saw dibandingkan dengan para nabi

sebelumnya, dimana dalam hadis tersebut disebutkan bahwa salah satu

keutamaan tersebut adalah bahwa Nabi Muhammad diutus kepada

seluruh manusia sedangkan nabi-nabi sebelumnya hanya diutus secara

komunalistik terbatas, dapat dipahami dalam perspektif pemaknaan di

atas. Redaksi hadis tersebut adalah sebagai berikut:

ار هو أبو الحكم قال ثنا س م قال حد ثنا هش د بن سنان قال حد ثنا محم حد

ه عل صلى هللا قال قال رسول هللا ثنا جابر بن عبد هللا زد الفقر قال حد ثنا حد

عب مسرة شهر وسلم أعط اء قبل نصرت بالر عطهن أحد من األنب ت خمسا لم

صل لة فل ت أدركته الص ما رجل من أم وجعلت ل األرض مسجدا وطهورا وأ

54

Syaikh M. Nashiruddin al-Albani, Mukhtasar Shahih Muslim: (Ringkasan) Hadits Kitab Shahih Muslim (t.tp: Shahih, 2006), h. 623.

Page 160: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

144

اس كافة وأحلت ل الغنائم وكان الن ة وبعثت إلى الن بعث إلى قومه خاص ب

فاعة .وأعطت الش

Aku telah diberi lima keistimewaan yang tidak diberikan kepada

seorang pun dari para nabi sebelumku. Pertama, Aku diberi pertolongan

dengan rasa takut yang ditanamkan dalam musuh dalam jangka sebulan

(sebelum berperang). Kedua, bumi dijadikan masjid dan suci bagiku.

Siapa pun ketika masuk waktu shalat dapat menjalankannya di mana saja.

Ketiga, ghanimah (harta rampasan perang) dihalalkan untukku.

Sedangkan ghanimah tidak pernah dihalalkan untuk seorang nabi pun

sebelumku. Keempat, Aku diberikan syafa'at. Kelima seorang nabi hanya

diutus terbatas untuk kaumnya, sedangkan aku diutus untuk semua umat

manusia.55

Redaksi [ ة وبعثت إلى الناس كافة بعث إلى قومه خاص ب pada [وكان الن

hadis tersebut tidak berarti bahwa Nabi Muhammad diutus kepada

seluruh manusia, karena secara logis itu tidak mungkin terjadi. Tetapi

maksudnya adalah bahwa kondisi dan situasi sosial-kultural(qaum)

sebagai konteks aktual-kontekstual yang dihadapi Nabi Muhammad

sudah sangat berbeda dengan konteks sosio-historis yang dihadapi nabi-

nabi sebelumnya. Pada masa Nabi Muhammad penyebaran dan akulturasi

manusia sudah sangat global dan massif, khususnya Hijaz pada masa itu.

Sedangkan pada masa nabi-nabi sebelumnya, sejarah manusia baru mulai

bergerak dan berkembang dari titik awal sejarah yang demikian sederhana

dan bersahaja. Pada perkembangannya, mereka tersebar dan hidup

berkelompok-kelompok secara terpisah antara satu sama lain.56

55

HR. Bukhari no. 438. Lihat Abȗ ‘Abd Allȃh Muhammad ibn Ismȃ’ȋl al-Bukhȃrȋ, al-Jȃmi’ al-Sahȋh (Kairo: al-Maktabah al-Salafiyah, 1400 H) Cet. I, Juz I, h. 158.

56 Muhammad Mutawallî al-Sya’râwî, Tafsîr al-Sya’râwî, Jilid XX, h.12328.

Page 161: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

145

Riwayat tentang keistimewaan Nabi Muhammad di atas

mendapatkan catatan tersendiri dari al-Râzî. Menurutnya, riwayat

tersebut tidak cukup kuat untuk dijadikan argumentasi bagi keyakinan

terhadap universalitas kenabian Nabi Muhammad dan sekaligus

menetapkan terbatasnya kenabian-kenabian sebelumnya. Hal ini karena

hematnya, bisa saja keistimewaan yang dimaksud adalah terkumpulnya

lima hal tersebut secara utuh pada Nabi, sehingga tidak tertutup

kemungkinan secara terpisah salah satunya dimiliki oleh nabi-nabi yang

lain.57

Terhadap pernyataan tersebut, al-Râzî kemudian memberi

argumentasi beberapa orang nabi yang dalam pandangannya diutus secara

universal. Misalnya, Adam yang diutus kepada seluruh anak-anaknya,

yang artinya adalah kepada seluruh manusia. Begitu juga dengan Nuh,

ketika keluar dari perahu diutus kepada orang-orang bersamanya,

sedangkan manusia yang tersisa pada saat itu hanya mereka saja.58

Demikianlah, ambiguitas demi ambiguitas akan semakin bermunculan

ketika bersikukuh dengan keyakinan tersebut.

Apa yang menjadi pandangan al-Râzî di atas, paralel dengan

konsep nabi-nabi ulû al-‘azm dalam perspektif al-Tabâtabâ’î. Menurut al-

Tabâtabâ’î , ulû al-‘azm adalah para nabi yang diutus kepada lebih dari

satu komunitas (umat), atau dengan kata lain mereka pernah berdakwah

57

Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XV, h. 29. 58

Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XV, h. 29.

Page 162: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

146

kepada kaum-kaum yang lain (tidak berbahasa sama).59

Dalam hal ini, al-

Tabâtabâ’î menyebut empat nama; Ibrahim berdakwah ke Hijaz (Arab),

Musa berdakwah kepada Fir’aun dan kaumnya, Nabi Muhammad

berdakwah kepada Yahudi dan Kristen, dan Nuh yang berdakwah secara

massif.60

Dengan demikian, berdasarkan kenyataan ini, setidak-tidaknya

ada lima orang nabi yang pernah diutus secara universal, dan Nabi

Muhammad adalah salah seorang di antaranya.

Terakhir terkait dengan QS. al-Jin [72]: 1 maupun pada QS. al-

Ahqâf [46]: 29-32, yang dipahami oleh sementara mufassir sebagai

argumentasi bagi pandangan universalitas kenabian Muhammad. Interaksi

dua bangsa yang berbeda tersebut, yaitu antara manusia dan jin, dipahami

sebagai indikasi massifnya dakwah Nabi Muhammad, melintasi dua

golongan berbeda (tsaqalain).61 Bahkan, Muqâtil, dalam hal ini

menegaskan bahwa Allah belum pernah sebelumnya mengutus seorang

nabi kepada dua golongan jin dan manusia sekaligus.62

Terhadap hal tersebut, ada beberapa catatan yang dapat diberikan.

Pertama, kata [أوح إل] dan [صرفنا إلك نفرا] menunjukkan bahwa peristiwa

itu terjadi bukan tanpa sepengetahuan Nabi, sehingga dapat dipahami

bahwa Nabi Muhammad tidak ada diperintahkan secara khusus untuk

59

Redaksi asli komentar al-Tabâtabâ’î berbunyi [ أا أسع أص٠ذ أح أ اؼض

Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain .[اشع. ف اذ١ ػ أ واا ٠ذػ ألاا غ١ش أ غا

al-Tabâtabâ’î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid XII, h. 15. 60

Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid XII, h. 15.

61 Misalnya, lihat Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian

(Nubuwwah) dalam Al-Qur’an, h. 5-7 62

Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XXX, h. 153.

Page 163: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

147

membacakan al-Qur’an kepada mereka. Justru, dalam hal ini merekalah

yang mendatangi Nabi.63

Kedua, kata [الجن] pada ayat tersebut tidak

dapat dimaknai bermakna umum, sebagaimana ditunjukkan oleh kata [نفر]

yang mengiringinya.64

Ketiga, narasi interaksi antara dua golongan

berbeda tersebut tidak seharusnya dibawa kepada pengertian tentang

massifnya kenabian Muhammad karena melintasi dua golongan yang

berbeda; jin dan manusia, tetapi secara sederhana tidak boleh dilepaskan

dari konteks geografis yang melingkupinya. Dengan demikian, kata [الجن]

pada ayat tersebut tidak dipahami sebagai genus, tetapi lebih kepada

kenyataan Jin tersebut sebagai bagian dari cakupan geografis sebagai

konteks ayat tersebut.65

2. Parsialitas kesimpulan

Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi umat Islam.66

Ia

menjadi inspirator dan pemandu utama gerakan dan dinamika umat Islam

semenjak kurang lebih empat belas abad yang lalu.67

Umat Islam selalu

63

Hal ini di antaranya, sebagaimana ditegaskan Ibn ‘Abbâs. Lihat, Abû ‘Abd Allâh

Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân...,Jilid XXI, h. 272-277.

Lihat juga, Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XXX, h. 152. 64

Kata فش menunjukkan jumlah antara tiga sampai sepuluh. Ahmad Mustafâ al-Marâghî,

Tafîr al-Marâghî, Juz XXIX, h. 93. Dinamika penafsiran terhadap kata فش di antaranya dapat

dijumpai dalam, Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Juz XI, h. 274, 276. 65

Sebagaimana manusia, bangsa jin juga hidup berkelompok-kelompok yang secara

geografis tersebar di berbagai belahan bumi. Berdasarkan fakta ini terjadi diskursus seputar

bahasa bangsa jin, apakah punya bahasa tersendiri atau mengikuti konteks geografisnya.

Dinamika kehidupan jin ini di antaranya terdapat terdeskripsi dalam Tafsir al-Qurtubî. Lihat,

Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân...,Jilid

XXI, h. 272-277. 66

Gerhard H. Bowering, ‚The Qur‘ân as the Voice of God,‛ Proceeding of the American Philosophical Society, Volume 147 Nomor 4, Dec 2003, h. 348.

67 Hasan Hanafî, al-Yamîn wa al-Yasâr fî al-Fikr al-Dînî (Kairo: Madlûbî, 1989), h. 7.

Page 164: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

148

berupaya untuk mendialogkan al-Qur’an sebagai teks dengan problem

kehidupan sosial dan kemanusiaan yang tidak terbatas. Hal ini berangkat

dari sebuah keyakinan teologis bahwa al-Qur’an baik kata maupun

maknanya merupakan kalam Allah Swt. Al-Qur’an turun sebagai respon

transenden terhadap fenomena dan problem kemanusiaan.68

Karena itu,

umat Muslim selalu menjadikan ‚teks suci‛ ini sebagai parameter inti

dalam menimbang setiap sisi realitas. Kenyataan inilah yang mendorong

Nasr Hâmid Abû Zayd menyebut peradaban Islam sebagai peradaban

teks.69

Interaksi al-Qur’an sebagai teks dengan realitas sebagai konteks

berlangsung secara dialektis, yaitu deduktif maupun induktif.70

Dengan

kata lain, interaksi tersebut beralur dari teks menuju realitas atau dari

realitas kepada teks.71

Interaksi atau keterhubungan teks dengan realitas

tersebut terealisasi dalam upaya penafsiran.72

Sedangkan ‘menafsirkan’

berarti melakukan gerakan ganda: pertama dari teks menuju realitas (min

al-nass ilâ al-wâqi’), tahap ini yang diterapkan adalah prinsip-prinsip

68

Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), h. 5.

69 Nasr Hâmid Abû Zayd, Mafhûm al-Nâss (Kairo: al-Hai‘ah al-Misriyyah al’Âmmah li

al-Kutub, 1990), h. 27. 70

Deduktif dimaksudkan untuk mendeskripsikan implementasi pesan al-Qur’an pada

tataran praksis-implementatif. Sebaliknya, induktif adalah mendeskripsikan kasus pada tataran

praksis-implementatif yang kemudian dikembalikan pada teks al-Qur’an. Induktif biasanya

termanifetasi dalam tafsir tematik (mawdû’î), karena berangkat dari realitas kepada teks. Lihat,

Uun Yusufa, ‚Kerangka Paradigmatis Metode Tafsir Tematik Akademik: Kasus Disertasi UIN

Yogyakarta dan Jakarta,‛ Journal of Qur’ân and Hadi@ts Studies, Vol. 4, No. 2, (2015), h. 212. 71

Hal ini diistilahkan oleh Abdul Mustaqim dengan ‚paradigma fungsional‛ sebagai

padanan dari ‚paradigma struktural. Lihat, Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010), h. 67.

72 Lilik Ummi Kaltsum, Metode Tafsir Tematik M. Baqir al-Shadr: Mendialogkan

Realitas dengan Teks (Surabaya: Penerbit PMN Surabaya kerjasama IAIN Press Sunan Ampel,

2010), h. 26.

Page 165: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

149

kebahasaan termasuk juga sejarah teks, dan kedua dari realitas menuju

teks (min al-wâqi’ ilâ al-nass), tahap kedua ini prinsip yang digunakan

adalah sensitivitas semangat zaman. Penafsiran sosiologis (ijtimâ’î)

seperti ini akan dapat mentransformasi penafsiran dari sekedar

mendukung dogma agama menuju gerakan perubahan dan dari tradisi

menuju modernisasi.73

Dogma atau keyakinan mainstream Muslim tentang universalitas

kenabian Muhammad Saw., jika diletakkan pada konstelasi paradigma

hubungan teks dengan realitas,—sebagaimana yang dibicarakan

sebelumnya—persoalan ini bisa dipetakan dalam pola gerakan ganda.

Pada perspektif gerakan pertama (dari teks menuju realitas), dogma

tersebut diketahui sebagai interpretasi dan implementasi dari sejumlah

ayat al-Qur’an oleh para mufassir. Ayat-ayat tersebut misalnya, ‚Dan

Kami tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam‛ (QS.

al-Anbiyâ‘ [21]: 107), ‚Dan Kami tidak mengutusmu kecuali kepada

seluruh manusia...‛ (QS. Sabâ‘ [34]: 28), ‚Katakanlah: ‚Hai manusia,

sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, Allah yang

mempunyai kerajaan langit dan bumi...‛ (QS. al-A’râf [7]: 158), dan lain

sebagainya. Dogma tersebut juga sering dikoherensikan dengan sejumlah

ayat yang dimaknai sebagai landasan superioritas Islam, seperti

‚Sesungguhnya agama yang diridhoi di sisi Allah hanyalah Islam...‛ (QS.

Âli ‘Imrân [3]: 19), ‚Orang yang mencari agama selain Islam, maka

73

Lilik Ummi Kaltsum, Metode Tafsir Tematik M. Baqir al-Shadr: Mendialogkan Realitas dengan Teks, h. 67-68.

Page 166: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

150

sekali-kali agama itu tidak akan diterima darinya, dan di akhirat kelak dia

akan termasuk orang-orang yang merugi‛ (QS. Âli ‘Imrân [3]: 85), dan

sebagainya.74

Pada sisi lain, dijumpai pula beberapa ayat yang memuat

informasi tentang pengutusan nabi-nabi sebelumnya. Di antara ayat-ayat

tersebut misalnya, ‚Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada

kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah...,‛75

‚Dan

(kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya)...,‛76

‚Dan kepada

Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh...,‛77 ‚Dan kepada kaum ‘Ad

(kami utus) saudara mereka, Hud...,‛78

‚Dan (kami telah mengutus)

kepada penduduk Madyan saudara mereka, Syu’aib...,‛79

‚Dan Kami

berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu

petunjuk bagi Bani Israil...,‛80

‚Dan (ingatlah) ketika Isa Ibnu Maryam

berkata: ‚Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah

kepadamu...,‛81

dan sebagainya. Ayat-ayat yang memuat informasi

historis ini, pada sisi lain dipahami sebagai dasar keterbatasan kenabian-

kenabian tersebut (komunalistik). Mereka fokus pada kata-kata seperti al-

Nâs, Kâffah li al-Nâs, serta ‘Âlamîn, yang kontras dangan kata-kata

seperti Qaumihî, Tsamûd, ‘Âd, Madyan, dan Banî Isrâ‘îl.

74

Lihat, Akram Diyâ‘ al-‘Umarî, al-Risâlah wa al-Rasûl (t.t: t.p, 1990), cet. 1, h. 38. 75

QS. al-A’râf [7]: 59. 76

QS. al-A’râf [7]: 80. 77

QS. Hûd [11]: 61. 78

QS. Hûd [11]: 50. 79

QS. al-A’râf [7]: 85. 80

QS. al-Isrâ’ [17]: 2. 81

QS. al-Saff [61]: 6

Page 167: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

151

Namun, pada perspektif gerakan kedua (dari realitas menuju teks),

dijumpai sebuah kenyataan terdapatnya ayat-ayat lain yang memuat

informasi sekaligus dasar atas keterbatasan (komunalistik) kenabian

Muhammad Saw. Ayat-ayat tersebut, misalnya; ‚wa litunzira umm al-

qurâ wa man haulahâ‛ (dan agar kamu memberi peringatan kepada

penduduk Mekkah dan sekitarnya),82

‚wa mâ arsalnâ min rasûl illâ bi

lisâni qaumihî‛ (dan tidak Kami utus seorang rasulpun kecuali dengan

bahasa kaumnya),83

‚inna qaumî ittakhadzû hâdza al-qur’ân mahjûrâ‛

(sesungguhnya kaumku menjadikan al-Qu’an ini sesuatu yang tidak

diacuhkan),84

‚huwa alladzî ba’atsa fî al-ummiyyîna rasûlâ‛ (Dialah yang

telah mengutus seorang rasul kepada orang-orang ummî (Arab),85

dan lain

sebagainya.

Jika dikembangkan lebih jauh, kenyataan lain juga ditemukan,

bahwa al-Qur’an pada beberapa kesempatan juga memuat informasi

kenabian sebelumnya yang bersifat massif dan universal. Misalnya,

pertama; kenabian Nuh, yang berdasarkan massifnya banjir yang terjadi

pada saat itu dijadikan sebagai indikasi massifnya kenabiannya (QS. al-

Qamar [54]: 12 dan QS. Hȗd [11]: 44).86

Kedua; penggunaan kata al-nȃs

oleh al-Qur’an dalam konteks Nabi Sulaiman. Hal ini sebagaimana

82

QS. al-An‘âm [6]: 92 dan QS. al-Syûrâ [42]: 7. 83

QS. Ibrâhîm [14]: 4. 84

QS. al-Furqân [25]: 30. 85

QS. al-Furqân [62]: 2. 86

Keterangan lebih lanjut, lihat, Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian (Nubuwwah) dalam Al-Qur’an,h. 5-7. Lihat juga, Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XV, h. 29, dan Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid XII, h. 15.

Page 168: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

152

terdapat pada QS. al-Naml [27]: 16 [ ها الناس علمنا ا أ مان داوود وقال وورث سل

ر و ء إن هذا لهو الفضل المبن منطق الط أوتنا من كل ش ].87

Sebagaimana disinggung

sebelumnya, kata al-nâs [الناس] adalah termasuk bentuk tunggal (mufrad)

yang ber ‚alif-lam istighrâqiyyah‛ ,88

sehingga merefleksikan pencakupan

makna secara massif atau umum.89

Ketiga; kata-kata al-jinn [الجن], al-ins

yang digunakan al-Qur’an juga [النمل] dan al-naml ,[الطر] al-tair ,[اإلنس]

dalam konteks Sulaiman. Dalam hal ini, al-Qur’an sebagaimana terdapat

pada QS. al-Naml [27]: 167-18,90

menginformasikan tentang terjadinya

kontak atau interaksi antara Sulaiman dengan semua pihak tersebut.

Mengacu kepada konstruks nalar interpretasi yang dipakai untuk

memahami QS. al-Jin [72]: 1 dan QS. al-Ahqâf [46]: 29-32,91

maka

kenabian Sulaiman dalam hal ini adalah juga kenabian universal.

87

‚Dan Sulaiman telah mewarisi Daud, dan Dia berkata: "Hai manusia, Kami telah

diberi pengertian tentang suara burung dan Kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) ini

benar-benar suatu kurnia yang nyata.‛ (QS. al-Naml [27]: 16). 88

Salah satu kaidah keumuman makna adalah [افشد اؼشف تأي ات تف١ذ االعتغشاق]. Lihat,

Syaikh Khâlid ‘Abd al-Rahmân al-‘Ik, Usûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû, h. 381-383. 89

Keumuman makna maksudnya adalah kata yang memuat seluruh bagian dari

kandungan lafazh sesuai dengan pengertian kebahasaan tanpa pengecualian oleh kata lain. Lihat,

M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an,h. 179.

90 [ ٠صػ اط١ش ف ظ اإل ج ا جد ا حشش غ١ ح ٠ا أ٠ا ا لات اد ا ا ػ حت إرا أت

ال ٠شؼش جد ا ع١ ى ال ٠حط غاوى Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya‚ .[ادخا

dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan). Hingga apabila

mereka sampai di lembah semut berkatalah seekor semut: Hai semut-semut, masuklah ke dalam

sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak

menyadari.‛ (QS. al-Naml [27]: 17-18). 91

Kontak antar jin dengan Nabi Muhammad dipahami sebagai argumentasi massifnya

kenabian Muhammad, meliputi dua golongan (tsaqalain);bangsa jin dan bangsa manusia. Di

antara yang menegaskan hal ini, misalnya, al-Râzî; lihat, Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XXX, h. 153, al-Marâghî; lihat, Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Juz XXIX, h. 95. Lihat juga, Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Juz XXIV, h. 35,

Rasyîd Ridâ; lihat, Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr,Juz IX, h. 300, al-Qurtubî; lihat,

Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân...,Jilid

XXI, h. 276, dan sebagainya.

Page 169: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

153

3. Kelaziman bahasa kitab suci

Pada perspektif lain, lafazh-lafazh umum terkait dengan

pendelegasian suatu kenabian ini dapat dikatakan merupakan suatu

kebiasaan dalam bahasa kitab suci. Pernyataan-pernyataan yang dapat

diinterpretasikan sebagai argumentasi dari universalitas suatu kenabian

terdapat hampir dalam setiap kitab suci agama.

Dalam al-Qur’an, terkait dengan kenabian Nabi Muhammad,

terdapat redaksi-redaksi seperti; ‚Dan Kami tidak mengutusmu kecuali

sebagai rahmat bagi semesta alam‛ (QS. al-Anbiyâ‘ [21]: 107), ‚Dan

Kami tidak mengutusmu kecuali kepada seluruh manusia...‛ (QS. Sabâ‘

[34]: 28), ‚Katakanlah: ‚Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan

Allah kepadamu semua, Allah yang mempunyai kerajaan langit dan

bumi...‛ (QS. al-A’râf [7]: 158), dan lain sebagainya. Dogma tersebut juga

sering dikoherensikan dengan sejumlah ayat yang dimaknai sebagai

landasan superioritas Islam, seperti ‚Sesungguhnya agama yang diridhoi

di sisi Allah hanyalah Islam...‛ (QS. Âli ‘Imrân [3]: 19), ‚Orang yang

mencari agama selain Islam, maka sekali-kali agama itu tidak akan

diterima darinya, dan di akhirat kelak dia akan termasuk orang-orang

yang merugi‛ (QS. Âli ‘Imrân [3]: 85), dan sebagainya.92

Hal yang sama juga terdapat dalam kitab suci agama lain.

Misalnya, sebagaimana dikutip Moqsith, dalam kitab Ulangan Perjanjian

Lama disebutkan, ‚Sebab engkaulah umat yang kudus bagi Tuhan,

92

Lihat, Akram Diyâ‘ al-‘Umarî, al-Risâlah wa al-Rasûl (t.t: t.p, 1990), cet. 1, h. 38.

Page 170: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

154

Allahmu. Engkau yang dipilih oleh Tuhan, Allah dari segala bangsa di

atas muka bumi untuk menjadi umat kesangannya.‛ Pada kitab Kejadian

19: 3-6, disebutkan pula, ‚…jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh

mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu

akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri di antara segala bangsa, sebab

Akulah yang empunya seluruh bumi. Kamu akan menjadi bagi-Ku

kerajaan imam dan bangsa yang kudus‛.93

Begitu juga dalam Perjanjian Baru, dalam Yohanes 14: 6, Yesus

berkata, ‚Akulah jalan dan keberkahan hidup. Tidak ada seorngpun yang

datang kepada Bapa kalau tidak melalui aku.‛ Dalam Kisah Para Rasul 4:

12, disebutkan, ‚Dalam keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga

selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain

yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.‛

Kemudian dalam Matius: 12: 30, ‚Siapa yang tidak bersama aku berarti

menentangku, dan siapa tidak berkumpul denganku, maka tersesat.‛94

Tentu saja setiap pemeluk agama meyakini sepenuhnya ajaran

Kitab suci agamanya. Semuanya bertekad untuk selalu memproyeksikan

pesan dan ajaran yang dikandungnya. Menghadapi realitas ini, maka sikap

eksklusif yang muncul dan tumbuh dari pembacaan setiap pemeluk agama

akan berpotensi sebagai ancaman bagi keberlangsungan hidup dan

93

Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an (Depok: KataKita, 2009), h. 54-55.

94 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama, h. 55-56.

Page 171: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

155

toleransi di tengah pluralitas agama. Hal ini, tentu saja kontraproduktif

dengan cita-cita luhur setiap agama itu sendiri.

Dengan kenyataan bahwa bahasa universal selalu ada dalam

berbagai kitab suci ini, maka selayaknya setiap pemeluk agama

memahaminya sebatas sebagai bahasa setip kitab suci yang memang

layak menjadi petunjuk bagi seluruh manusia seiring dengan perjalanan

dan perkembangan sejarah.

4. Menggeser nalar interpretasi: dari limitatif kepada naratif-historis

Pada pembahasan sebelumnya,disebutkan bahwa nalar interpretasi

yang dipakai oleh para mufassir ketika memaknai ayat-ayat terkait

dengan pendelegasian para nabi adalah nalar limitatif (pembatasan),95

sehingga kata-kata seperti al-Nâs, Kâffah li al-Nâs, serta ‘Âlamîn,

dipandang kontras dangan kata-kata seperti Qaumihî, Tsamûd, ‘Âd,

Madyan, dan Banî Isrâ‘îl. Implikasinya adalah kata-kata tersebut perlu

ditegaskan keluasan maupun keterbatasan cakupan maknanya. Hal ini

juga memaksa mereka untuk menegaskan cakupan makna seperti

ummiyȗn, wa man balagh, umm al-qurȃ wa man haulahȃ, dan bahkan kata

al-jȋn tidak luput dari corak pemaknaan nalar tersebut.

Dengan nalar interpretasi limitatif tersebut, mereka berupa sekuat

tenaga untuk membela keyakinan tentang universalitas kenabian

Muhammad Saw yang terlanjur mereka bangun dari ayat-ayat tertentu.

95

Patut diduga, ini adalah implikasi dari pergeseran agama dari keyakinan personal

menjadi kekuatan komunal yang menutut formalitas-formalitas dalam satu bentuk institusi sosial.

Page 172: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

156

Hal ini terlihat dari upaya mereka untuk ‚meluas-luaskan‛ cakupan

makna ayat-ayat tertentu yang menunjukkan hal sebaliknya dari apa yang

mereka yakini, yaitu keterbatasan kenabian Nabi Muhammad.

Misalnya, redaksi ayat yang berbunyi [أم القرى ومن حولها], yang

secara normatif terdapat pada dua tempat; QS. al-An’ȃm [6]: 92 dan QS.

al-Syȗrȃ [42]: 7. Dalam hal ini, kata [أ امش], para mufassir sepakat

memahaminya dengan [أ ىح], ‚penduduk Mekkah‛. Di antara yang

berpandangan seperti ini misalnya al-Jîlânî96

, Rasyȋd Ridȃ,97

al-Rȃzȋ,98

al-

Tabarî,99

al-Tabâtabâ’î,100

dan al-Marâghî,101

al-Qurtubȋ,102

dan

sebagainya. Namun, mereka kemudian memahami kata [ حا ]

dengan pengertian yang tidak dalam arti biasa (‘urf). Kata [ حا ]

yang berdasarkan pemaknaan [أ ىح] sebelumnya, yang seharusnya hanya

bermakna ‚penduduk Mekkah dan sekitarnya‛, ditafsirkan dengan

pengertian yang sangat luas dan universal, mencakup bumi dengan segala

belahannya. Misalnya, al-Jîlânî, membahasakannya dengan [ ألطاس ج١غ

,‛semua penjuru bumi‚ [األسض 103

Rasyȋd Ridȃ dengan [أ األسض وافح]

‚semua penduduk bumi‛,104

al-Tabarî dengan [شرقا وغربا] ‚timur dan

96

Muhy al-Dîn ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî, Tafsîr al-Jîlânî, Jilid II, h. 35. 97

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr,Juz VII, h. 621. 98

Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XIII, h. 86, 99

Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî… Jilid IX, h. 402-404 100

Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid VII, h. 315.

101 Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Jilid VII, h. 190.

102 Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-

Qurân...,Jilid VIII, h. 457. 103

Muhy al-Dîn ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî, Tafsîr al-Jîlânî, Jilid II, h. 35. 104

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr,Juz VII, h. 621.

Page 173: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

157

barat‛,105

al-Rȃzȋ dengan [عائش اثذا امش] ‚semua negeri dan kota-

kota‛,106

al-Marâghî dengan [بلد العالم جمعا] ‚negera-negara dunia secara

keseluruhan‛,107

al-Qurtubȋ dengan [ج١غ ا٢فاق] ‚semua penjuru‛ ,108

dan

sebagainya. Berbeda halnya dengan Tabâtabâ’î yang dalam hal ini

memahaminya dalam pengertian biasa (’urf), yaitu negeri Tȃ‘if.109

Berbagai argumentasi disampaikan oleh para mufassir terkait

dengan pemaknaan yang ‚tidak lazim‛ tersebut. Setidaknya, argumentasi

tersebut beredar pada beberapa pertimbangan. Pertama, karena manusia

yang ada di seluruh belahan bumi, baik yang dekat maupun yang jauh dari

Mekkah, semuanya shalat menghadap ke sana.110

Kenyataan ini dapat

dipahami sebagai bukti bahwa mereka memang sedang berada di sekitar

Mekkah.111

Kedua, Mekkah merupakan sumbu atau pusat bumi, karena

itulah mengapa Ka’bah menjadi kiblat.112

Ketiga, karena adanya Ka’bah

sebagai bangunan pertama manusia. Keempat, karena Mekkah adalah

bagian bumi yang pertama di huni. Kelima, ibadah haji (usȗl al-‘ibȃdȃt)

atau perdagangan (usȗl al-ma’ȋsyah), sehingga Mekkah disebut sebagai

105

Abû Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Tafsîr al-Tabarî… Jilid IX, h. 402. 106

Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XIII, h. 86, 107

Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Jilid VII, h. 190. 108

Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad Abî Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân...,Jilid VIII, h. 457.

109 Meskipun demikian, dalam hal ini al-Tabâtabâ’î menegaskan bahwa penafsiran ini

sama sekali tidak menafikan pengutusan Nabi Muhammad secara universal, sebagaimana

ditegaskan oleh ayat-ayat yang lain. Penafsiran tersebut dikutif oleh al-Tabâtabâ’î dari Tafsȋr al-‘Iyȃsȋ,yang mana ayat tersebut dipadankannya dengan ayat [ػش١شته األلشت١]. Lihat, Al-‘Allâmah

al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid VII, h. 315. 110

Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Jilid VII, h. 190. 111

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr,Juz VIII, h. 528. 112

Muhy al-Dîn ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî, Tafsîr al-Jîlânî, Jilid II, h. 35.

Page 174: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

158

umm al-qurȃ karena dalam hal ini semua manusia dating ke sana bagaikan

berkumpulnya anak-anak kepada ibu mereka,113 dan sebagainya.

Dengan demikian, melihat kepada pertimbangan-pertimbangan

yang dijadikan sebagai argumentasi atas tafsiran-tafsiran ‚tidak lazim‛

tersebut, dapat dipahami bahwa penafsiran-penafsiran tersebut bukan atas

pertimbangan tekstualitas redaksi ayat tersebut. Karena itu, semua hal

tersebut dapat dipandang sebagai sebuah sikap apologetik terhadap

pemahaman tentang universlitas kenabian Muhammad yang dibasiskan

pada ayat-ayat lain yang dipahami sebagai basis pandangan tersebut.

Sehingga, secara sederhana dapat dikatakan bahwa penafsiran-penafsiran

tersebut merupakan bentuk dari refleksi pandangan tersebut. Asumsi ini

semakin dikuatkan oleh kenyataan bahwa mereka selalu menghadirkan

ayat-ayat yang menunjukkan pengutusan Muhammad secara universal

ketika membahas ayat-ayat yang mengesankan keterbatasan kenabian

Muhammad ini.114

Hal demikian juga terlihat ketika menafsirkan ayat-ayat yang

secara gamblang mengafirmasi keberadaan umat-umat lain secara

simpatik. Misalnya, dalam QS. al-Baqarah [2]: 62, Allah berfirman:

113

Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid XIII, h. 86. 114

Misalnya sikap al-Rȃzȋ; lihat, Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî...,Jilid

XIII, h. 86. Sikap al-Marâghî; lihat, Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafîr al-Marâghî, Jilid VII, h.

190, , sikap al-Tabâtabâ’î; lihat, Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid VII, h. 315, sikap Ridâ; lihat, Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr,Juz VII, h. 621.

Page 175: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

159

‚Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-

orang Nasrani dan orang-orang Sabiin, siapa saja diantara mereka yang

benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh,

mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada

kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.‛

Terkait dengan ayat ini, Ibn Katsîr berkomentar bahwa agama

Yahudi hanya berlaku sampai masa diutusnya Isa, kemudian agama

Nasrani berlaku pula sampai diutusnya Muhammad. Karena Muhammad

adalah nabi terakhir, maka tinggallah Islam satu-satunya agama hingga

kiamat datang. Dengan ilustrasi tersebut, Ibn Katsîr sampa pada

kesimpulan bahwa orang-orang yang beriman hanyalah pengikut

Muhammad saja.115

Ibn Abbas, salah satu tokoh tafsir di kalangan sahabat

tidak mempermasalahkan ayat tersebut secara konten sebagaimana yang

dilakukan Ibn Katsîr, hanya saja Ibn Abbas berpandangan bahwa QS. al-

Baqarah [2]: 62 ini sudah diabrogasi (mansûkh) oleh QS. Âli ‘Imrân [3]:

85.116

115

Yahudi berlaku sampai diutusnya Isa dan Kristen sampai diutusnya Muhammad. Ibn

Katsîr mengatakan, ‚tatkala Muhammad saw. diutus Allah sebagai penutup rantai kenabian dan

rasul kepada manusia (banî Âdam) secara keseluruhan, maka mereka wajib membenarkan dan

mentaatinya. Mereka inilah (yang mengikuti Muhammad) yang dimaksud dengan orang beriman

yang sejati.‛ Ibn Katsîr al-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-Azîm, jilid I, h. 430-432. 116

Abû Ja’fâr Muhammad ibn Jarîr al-Tabarî, Jâmi‘ al-Bayân ‘An Ta’wîl Ây al-Qur‘ân, jilid 2, cet. 2, h. 154-156. Adapaun ayat yang dimaksud adalah:

Page 176: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

160

Dari ilustrasi di atas terlihat bahwa jika pada ayat-ayat yang

mengindikasikan keterbatasan kenabian Muhammad mereka cenderung

‚meluas-luaskan‛ makna, maka mereka melakukan pula hal sebaliknya,

yaitu ‚menyempit-nyempitkan‛ makna setiap ayat al-Qur’an yang secara

inklusif mengapresiasi umat lain selain umat Islam.

Padahal, pada prinsipnya, ayat-ayat seputar pendelegasian para

nabi tersebut tidak lebih dari sekedar narasi al-Qur’an terkait dengan

pentingnya peran bahasa dalam mengkomunikasikan pesan tauhid yang

menjadi misi utama pendelegasian para nabi. Dalam hal ini, ada dua hal

yang perlu ditekankan, yaitu pesan tauhid dan peran bahasa dalam

menciptakan komunikasi efektif (al-balȃgh al-mubȋn). Diutusnya para

nabi sepanjang sejarah serta secara terpisah dalam konteks ruang dan

waktu, menunjukkan begitu penting dan signifikannya dua hal tersebut.117

Karena misi tauhid merupakan motivasi mendasar dari pengutusan para

nabi, sedangkan perbedaan tradisi dan konsepsi (syariat) adalah tuntutan

historis, maka perbedaan ini tidak seharusnya menjadi kebingungan

‚psikologis-teologis‛118

bagi seseorang sehingga membuatnya

berparadigma abrogatif yang termanifestasi dalam bentuknya berupa

nalar limitatif.

‚Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama

itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.‛ QS. Âli ‘Imrân [3]: 85. 117

Kesadaran tinggi al-Qur’an terhadap peran bahasa dalam komunikasi pesan tauhid ini

sebagaimana ditegaskan pada QS. Ibrȃhȋm [14]: 4. 118

Komaruddin Hidayat dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 127.

Page 177: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

161

Dengan demikian, maka QS. Ibrȃhȋm [14]: 4 sebagai prinsip dalam

pendelegasian adalah poros atau para meter inti yang harus dijadikan

dalam memaknai ayat-ayat seputar pendelegasian para nabi tersebut

secara keseluruhan, baik Nabi Muhammad sendiri maupun para nabi

sebelumnya. Bukan sebaliknya, justru memahami QS. Ibrȃhȋm [14]: 4

dengan gagasan universalitas kenabian Muhammad yang dibangun tidak

secara holistik, tetapi hanya dari ayat-ayat tertentu saja dari ayat-ayat al-

Qur’an. Dalam hal ini, banyak di antara mufassir yang mengecualikan

Nabi Muhammad dari pesan universal QS. Ibrȃhȋm [14]: 4 tersebut.119

Tidak diketahui secara pasti penyebab mereka mengecualikan

Nabi Muhammad dari gagasan universal QS. Ibrâhîm [4]: 4 tersebut,

selain karena memahami universalitas kenabian Muhammad berdasarkan

ayat-ayat seperti yang disebutkan sebelumnya, lalu mengekspresikannya

ke dalam ayat-ayat yang terkesan membatasi kenabian Muhammad

tersebut. Ini dipicu oleh pemaknaan kitab suci didominasi oleh paradigma

teosentris atau teo-ontologis (teosentris-ontologis),120

yang

119

Di antara yang mengatakan bahwa QS. Ibrâhîm [4]: 4 mengecualikan Nabi

Muhammad adalah, Ibn Jarîr al-Tabarî; al-Tabarî berkomentar [ ا أسعا إ أح األ ٠ا حذ

,Kami tidak mengutus kepada suatu umat dari umat-umat sebelum kamu‚ ,[لثه لث له...

wahai Muhammad, begitu pula sebelum kaummu...‛. Lihat, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr al-

Tabarî, Jâmi’ al-Bayân..., Juz XIII, cet. I, h. 592, al-Qurtubî berkometar [أ لثه ٠ا حذ]; lihat, Abû

‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr al-Qurtubî, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân..., Juz

XII, cet. I, h. 105. Lihat juga, Ahmad Mustafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, Juz XIII, cet. I, h.

126, dan Muhammad al-Amîn ibn ‘Abd Allâh al-‘Uramî al-‘Alawî al-Hararî al-Syâfi’î, Tafsîr Hadâ‘iq al-Rûh wa al-Raihân fî Rawâbî ‘Ulûm al-Qur‘ân,Jilid 14, cet. I, h. 327.

120 Hamid Dabashi, Islamic Liberation Theology (London: Routledge, 2008), h. 254;

Hendar Riyadi, Tafsir Emansipatoris (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 21-25. Istilah lain,

paradigma Teosentris-Eskatologis. Lihat, Aksin Wijaya, ‚Hermeneeutika al-Qur’an: Memburu

Pesan Manusiawi al-Qur’an.‛ Ulumuna, Volume XV Nomor 2 Desember 2011, h. 209.

Page 178: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

162

mekanismenya adalah diawali dari teks, memusat kepada teks,

menjadikan teks segala-galanya, baru kemudian ke realitas.121

Jika di amati, bentuk-bentuk penafsiran dengan kesimpulan di atas

merupakan penafsiran yang tidak memperhatikan historical context dari

ayat tersebut. Ketika menafsirkan QS. Ibrâhîm [14]: 4, mereka tidak

pernah membahasnya dengan perspektif asbâb al-nuzûl. Kemungkinan

karena menganggapnya tidak ada. Namun beberapa literatur tafsir

menyebutkan bahwa QS. Ibrâhîm [14]: 4 ini turun berkaitan dengan

keingkaran orang-orang Arab Mekah untuk menerima dakwah

Muhammad. Mereka menolak karena tidak percaya bahwa al-Qur’an

berasal dari Allah. Dalam keyakinan mereka, kitab suci itu diturunkan

Tuhan terbatas pada bahasa tertentu, seperti Taurat dan Injil yang

masing-masing terdiri dari bahasa Suryani dan Ibrani. Mereka meyakini

bahasa Suryani merupakan bahasa malaikat dan arwah-arwah. Maka QS.

Ibrâhîm [14]: 4 ini turun untuk meluruskan keyakinan tersebut.122

Hal yang sama diungkapkan oleh ‘Izzah Darwazah, bahwa ayat ini

berkenaan dengan sikap orang Arab Mekah yang menolak al-Qur’an yang

berbahasa Arab. Semua kitab suci sebelumnya tidak ada yang berbahasa

Arab, seperti Taurat dan Injil. Karena itu, mereka tidak meyakini bahwa

al-Qur’an adalah kitab suci yang berasal dari Allah.123

Muhammad Tâhir

121

Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris (Jakarta: P3M, 2004), h. 95-96. 122

Muhammad Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz XIII, h. 185. 123

Muhammad ‘Izzah Darwazah, al-Tafsîr al-Hadîts..., Juz V, cet. II, h. 216. Suatu hal

yang kontras dengan al-Dahhâk yang justru mengklaim bahwa semua kitab suci diturunkan oleh

Allah berbahasa Arab, untuk mempertahankan keyakinan bahwa Muhammad diutus secara

Page 179: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

163

ibn ‘Âsyûr menyebutkan bahwa keyakinan ini terbentuk dari pengamatan

mereka terhadap orang-orang Arab yang beragama Yahudi dan Nasrani,

seperti Arab Yaman. Mereka menerjemahkan Taurat dan Injil dari bahasa

aslinya kepada bahasa Arab.124

Merespon gejala kebingungan ‚psikologis-teologis‛ yang mungkin

dirasakan oleh sementara orang tertentu, ada baiknya diredakan dengan

menjelaskan struktur entitas agama serta pemilhahannya. Dalam konteks

ini, elaborasi Rasyȋd Ridȃ seputar agama dan kaitannya dengan kenabian-

kenabian cukup memadai untuk menjawab hal tersebut. Dalam hal ini,

Ridȃ berkomentar:

اذ٠ ف اغح اجضاء، اطاػح اخعع أ عثة اجضاء. ٠طك ػ

ح اششع. لاا أ ا جع اتىا١ف ات ٠ذ٠ تا اؼثاد هلل ف١ى تؼ ا

٠ىف هللا ت اؼثاد ٠غ ششػا تاػتثاس ظؼ ت١ا. ٠غ د٠ا تاػتثاس اخعع

غاػح اشاسع ت. ٠غ ح تاػتثاس جح اتىا١ف. اإلعال صذس أع

٠أت تؼ خعغ اعتغ تؼ أد، ٠ماي أعت اش١ئ إ فال إرا أد٠ت إ١

دخ ف اغ تافتح اىغش تؼ اصح اغالح اتحش٠ه تؼ

اخاص اش١ئ، ل تؼا )ظشب هللا ثال سجال ف١ ششواء تشاوغ

سجال عا شج( أ خاصا ال ٠شاسو ف١ ٠شاوغ. تغ١ح د٠ احك

ا آخشا ف ازوش ال إعالا ٠اعة و ؼ ؼا اىح ف اغح أظش

ع١ا ف زا اما، ٠ؤ٠ذ ا٠٢ح ا٢ت١ح ل تؼا ) أحغ د٠ا أع

ج هلل حغ اتثغ ح اتشا١ ح١فا(. لذ صف اتشا١ تاإلعال ف ػذج

عس صف غ١ش اث١١ تزه. ٠ؼ تزه أ احصش ف ل )إ اذ٠ ػذ

( ٠تاي ج١غ ا ات جاء تا األث١اء أل سحا اى از هللا اإلعال

اتفمت ف١ ػ اختالف تؼط اتىا١ف صس األػاي ف١ا ت واا ٠ص.

تزه و تؼ أ اغ احم١م ف حى امشآ وا خاصا شائة اششن

universal. Riwayat al-Dahhâk ini disebutkan dalam beberapa litertur tafsir. Namun para mufassir

tidak ada yang menyepakatinya. Lihat, Sayyid Muhammad Husain al-Tabâtabâ’î, al-Mizân fî Tafsîr al-Qur‘ân, Jilid XII, cet. I, h. 14, dan Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar al-Zamakhsyarî,

al-Kasysyâf..., Juz III, cet. I, h. 363. 124

Muhammad Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, Juz XIII, h. 186.

Page 180: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

164

ح وا، ف أ صا جذ تاشح، خصا ف أػا غ اإل٠ا، أ

ىا، زا اشاد تم ػض ج ) ٠ثتغ غ١ش األعال د٠ا ف ٠مث

.)125

Secara etimologi, dȋn berarti jazȃ‘ (balasan). Sedangan tȃ’ah

(patuh) dan khudȗ’ (tunduk) adalah penyebab adanya balasan tersebut.

Segala pembebanan yang dilakoni para hamba dalam menundukkan diri

kepada Allah disebut dengan millah dan syariat. Mereka berkata, semua

yang dibebankan Allah kepada hamba-Nya disebut dengan syariat

(syar’an) berdasarkan penetapan dan penjelasannya; disebut agama (dȋn)

karena ketundukan dan kepatuhan kepada syȃri’ terlaksana dengan

melakukannya; dan disebut millah dengan melihat pembebanan-

pembebanan tersebut secara keseluruhan. Islȃm adalah asal kata dari

aslama yang bermakna khada’a (tunduk) dan istaslama (menyerahkan

diri) sebagaimana juga bermakna addȃ (menunaikan), misalnya; aslamtu

al-syai’ ilȃ fulȃn idzȃ addaituhȗ/‛saya mnyerahkan sesuatu kepadanya

ketika saya menyampaikannya‛. Islȃm juga berarti masuk kedalam

kedamaian (silm). Baik berbaris fathah (salm) atau kasrah (silm) dapat

berarti rekonsiliasi (sulh), keselamatan (salȃmah), dan gerakan

pembebasan dari sesuatu (al-tahrȋk al-khȃlis min al-syai‘). Hal ini

sebagaimana firman Allah (Allah membuat perumpamaan seorang budak

laki-laki yang dimiliki oleh orang-orang yang bersekutu namun berselisih

dan seorang budak yang menjadi milik penuh seorang laki-laki),

maksudnya adalah murni dimilikinya tanpa ikut campur pihak yang

bertikai dengannya. Penamaan agama kebenaran (dȋn al-haq) dengan

islȃm cocok dengan semua makna etimologis di atas, terutama yang

disebutkan terakhir ini. Hal ini terkonfirmasi dengan ayat (dan siapakah

yang terbaik agamanya selain yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada

Allah sedngkan dia berbuat baik dan mengikuti agama Ibrahim yang

hanif). Nabi Ibrahim dan para nabi lainnya dalam beberapa surat disebut

islȃm. Dari sini diketahui bahwa maksud firman Allah (sesungguhnya

agama yang diridhai di sisi Allah adalah islam) mencakup semua agama

(milal) yang dibawa para nabi, karena islȃm merupakan substansi

universal (al-rȗh al-kullȋ) sebagai titik temu bagi segala distingsi

pembebanan-pembebanan serta bentuk-bentuk aktifitas keberagamaan,

dengan hal itulah mereka selalu diingatkan. Dari sini diketahui bahwa

muslim sejati menurut ketetapan al-Qur’an adalah orang yang terbebas

dari segala bentuk kemusyrikan, amal-amal yang disertai keimanan dan

terbebas dari kemusyrikan, dari agama (millah) apapun itu, serta pada

konteks ruang dan waktu apapun ia berada, ini pulalah yang diaksud

firman Allah (siapa yang mencari agama selain islȃm, maka tidak akan

diterima darinya...).

125

Muhammad Rasyîd Ridâ, Tafsîr al-Manâr,Juz III, h. 257.

Page 181: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

165

Karena inklusivitas tersebut, tidak heran mengapa al-Qur’an

bersikap; pertama, menjamin kemajemukan (QS. al-Mȃ‘idah [5]: 48),

kedua, melarang membedakan para nabi (QS. al-Baqarah [2]: 285), ketiga,

menjamin keberlakuan hukum Taurat dan Injil (QS. al-Mȃ‘idah [5]: 44-

47), keempat, Nabi Muhammad tidak bertanggung jawab terhadap

mereka dalam persoalan hukum (QS. al-Mȃ‘idah [5]: 42-43), kelima, Nabi

Muhammad hanya mengoreksi dan mengkritik terkait dengan ketauhidan

dan akhlak (QS. al-Nisȃ‘ [4]: 71 dan QS. al-Mȃ‘idah [5]: 77), keenam,

hanya menawarkan common platform di tengah perbedaan dan bukan

peleburan atau konversi (QS. Ȃli ‘Imrȃn [3]: 64 dan QS. al-Baqarah [2]:

111, 112, 135), ketujuh, keselamatan untuk siapa saja yang beragama

secara benar, tanpa harus dengan kenabian tertentu saja (QS. al-Baqarah

[2]: 62 dan QS. al-Mȃ‘idah [5]: 59), kedelapan, tindakan atau pandangan

delegitimatif terhadap syariat kenabian sebelumnya adalah termasuk

perbuatan paling zalim karena sama halnya dengan memerangi agama

Allah (QS, al-Baqarah [2]: 113, 114), dan sebagainya.

Page 182: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

166

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Seluruh kenabian―tanpa bermaksud mengabaikan karakteristik

masing-masing―, antara satu sama lain bersifat ekuivalen; baik dalam

konteks delegasi maupun legitimasi. Hal ini disimpulkan atas beberapa hal;

pertama, ayat-ayat yang dijadikan sebagai basis interpretasi yang

menghierarkiskan kenabian Nabi Muhammad bersifat multi tafsir. Kedua,

kesimpulan yang parsial, ketiga, narasi universal merupakan kelaziman

bahasa kitab suci, dan keempat, nalar limitatif sebagai nalar interpretasi

mesti digeser kepada nalar naratif-historis.

Selain itu, paradigma kenabian al-Qur’an terdiri dari bebera hal,

seperti; pertama, tradisi kenabian berlangsung belakangan dari sejarah

manusia, kedua, ketauhidan adalah misi setiap kenabian, ketiga, setiap nabi

diutus dengan bahasa kaumnya, dan keempat, para nabi ditaati atas izin Allah

(bukan suatu yang absolut dalam wacana agama). Selain itu, terdapat dalil-

dalil yang menegaskan ekuisme dan egalitarianisme antara para nabi. Seluruh

fakta ini menegaskan kesetaraan seluruh kenabian yang pernah diutus oleh

Tuhan sepanjang sejarah.

Adapun fakta tentang kelestarian dan kepunahan ajaran kenabian-

kenabian tertentu merupakan murni proses seleksi alam dan perjalanan

sejarah yang sepenuhnya bersifat historis dan natural, bukan karena kenabian

Page 183: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

167

yang satu melegitimasi kenabian-kenabian sebelumnya. Hal ini karena

masing-masing kenabian muncul dan diutus dalam konteks ruang dan waktu

yang berbeda, bukan dalam konteks ruang dan waktu yang bersamaan.

Dengan demikian, maka teori klasifikasi normatif kenabian Islam

yang memposisikan kenabian Muhammad lebih superior dari dan

mendelegitmasi syariat kenabian-kenabian sebelumnya adalah suatu gagasan

yang parsial karena tidak dibangun berbasiskan pandangan al-Qur’an secara

holistik. Selain itu, ayat-ayat terkait dengan pendelegasian para nabi tidak

seharusnya memakai nalar interpretasi limitatif (pembatasan) sehingga kata-

kata seperti al-Nâs, Kâffah li al-Nâs, serta ‘Âlamîn, tidak seharusnya pula

dikontraskan dengan kata-kata seperti Qaumihî, Tsamûd, ‘Âd, Madyan, dan

Banî Isrâ‘îl. Pada prinsipnya, ayat-ayat tersebut tidak lebih dari sekedar

narasi al-Qur’an terkait dengan pentingnya peran bahasa dalam

mengkomunikasikan pesan tauhid yang menjadi misi utama pendelegasian

para nabi. Dalam hal ini, ada dua hal yang perlu ditekankan, yaitu pesan

tauhid dan peran bahasa dalam menciptakan komunikasi efektif (al-balâgh al-

mubȋn).

Diutusnya para nabi sepanjang sejarah serta secara terpisah dalam

konteks ruang dan waktu, menunjukkan begitu penting dan signifikannya dua

hal tersebut. Karena misi tauhid merupakan motivasi mendasar dari

pengutusan para nabi, sedangkan perbedaan tradisi dan konsepsi (syariat)

adalah tuntutan historis, maka perbedaan ini tidak seharusnya menjadi

kebingungan ‚psikologis-teologis‛ bagi seseorang sehingga membuatnya

Page 184: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

168

berparadigma abrogatif dalam memahami ayat-ayat tersebut yang

termanifestasi dalam bentuknya berupa nalar interpretasi limitatif.

Dengan demikian, maka QS. Ibrȃhȋm [14]: 4 sebagai prinsip dalam

pendelegasian adalah poros atau para meter inti yang harus dijadikan dalam

memaknai ayat-ayat seputar pendelegasian para nabi tersebut secara

keseluruhan, baik Nabi Muhammad sendiri maupun para nabi sebelumnya.

Bukan sebaliknya, justru memaknai QS. Ibrȃhȋm [14]: 4 dengan gagasan

universalitas kenabian Muhammad yang dibangun tidak secara holistik,

tetapi hanya dari ayat-ayat tertentu saja dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan

perspektif ini, menghasilkan kesimpulan bahwa kenabian Muhammad

ekuivalen dengan kenabian-kenabian sebelumnya, baik dalam konteks

pendelegasian maupun keberlakuan syariatnya.

Dogma universalitas kenabian Muhammad berasal dari kesimpulan

parsial, mengabaikan historisitas teks, dan dihegemoni oleh penafsiran teo-

sentris. Dogma ini sangat tidak cocok untuk dikembangkan dalam kehidupan

hari ini yang semakin pluralistik di mana perbedaan-perbedaan tidak lagi

berjarak sama sekali. Semuanya sudah terlibat dan hidup dalam satu

lingkungan yang begitu kecil. Karena itu, paham-paham inklusif perlu

diwacanakan serta dimasyarakatkan di lingkungan manusia beragama.

B. SARAN

Dogma universalitas kenabian Muhammad merupakan keyakinan

mainstream umat Islam. Sebagai dogma, keyakinan ini sangat signifikan

Page 185: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

169

dalam membentuk pandangan umat Islam terhadap umat-umat lain. Karena

itu, hal ini merupakan suatu hal yang perlu disampaikan kepada masyarakat

agar toleransi beragama dalam arti sesungguhnya dapat terwujud. Selama ini

toleransi beragama hanya dimaknai sekedar menghormati, tanpa berusaha

melihat adanya kebenaran dalam komunitas umat lain.

Lebih dari itu, meskipun umat manusia sudah lama beragama tapi

masih banyak yang belum memahami apa itu agama. padahal berbagai

persitiwa dan keputusan sudah banyak diambil atas nama agama. secara

mainstream, agama selama ini dipahami sebagai lembaga institutif yang

distingtif dan ideologis. Hal ini adalah suatu hal yang berpotensi mengancam

kerukunan antar umat beragama.

Page 186: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

170

DAFTAR PUSTAKA

‘Adîmah, Muhammad ‘Abd al-Khâliq, Dirâsât li Uslûb al-Qur’ân al-Karîm (Kairo: Dâr al-Hadîts, t.th).

‘Itr, Nûr al-Dîn, Ulûm al-Qur‘ân al-Karîm (Damaskus: Matba’ah al-Sabl, 1996).

Affandy, Sa’dullah, Abrogasi Agama-agama Pra-Islam (Magelang: PKBM

‚Ngudi Ilmu‛, 2014).

Ahmad, Mahdî Rizq Allâh, al-Sîrah al-Nabawiyyah fî Dû‘i al-Masâdir al-Asliyyah; Dirâsah Tahlîliyyah (Riyâd: Markaz al-Malik Faisâl lî al-

Buhûts wa al-Dirâsât al-Islâmiyyah, 1992).

Ahmad, Mirza Ghulam, Haqîqat al-Wahy (t.tp: t.p, 1907).

Ahmed, Vian, dkk (Ed), Research Methodology in the Built Environment: A Selection of Case Studies (New York: Routledge, 2016).

al- Farmâwî, Abd al-Hay, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al- Maudû’î (Kairo: al-Hadârah

al-‘Arabiyyah, 1997.

al-‘Arab, A. Hamid ‘Izz et.al, Mabâhits fî al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah (Kairo:

Kulliyat al-Dirâsah al-Islâmiyyah, 1990).

al-‘Askarȋ, Abȗ Hilȃl, al-Furȗq al-Lughawiyyah (Kairo: Dȃr al-‘Ilm wa al-

Tsaqȃfah, 1997).

al-‘Ik, Syaikh Khâlid ‘Abd al-Rahmân, Usûl al-Tafsîr wa Qawâ‘iduhû (Beirut:

Dâr al-Nafâ’is, 1982).

al-‘Umarî, Akram Diyâ‘, al-Risâlah wa al-Rasûl (t.t: t.p, 1990).

al-Asfahânî, Abû al-Qâsim al-Husain ibn Muhammad al-Râghib, al-Muradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘âlamiyyah, 2008).

al-Bannâ, Jamâl, al-Ta’addudiyyah fî Mujtama’ Islâmî (Kairo: Dâr al-Fikr al-

Islâmî, t.t).

al-Bukhârî, Muhammad ibn Ismâ’îl al-Ju’fy, al-Jâmi’ al-Sahîh al-Mukhtasar, ed.

Mustafâ Dîb al-Baghâ (Beirut: Dâr ibn Katsîr, 1987).

al-Dimashqî, Abû al-Fidâ‘ Ismâ’îl Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur‘ân al-‘Azîm (Kairo:

Mu‘assasat Qurtubah, 2000).

al-Dzahabȋ, Muhammad Husain, al-Tafsȋr wa al-Mufassirun, vol. I. Kairo: Dâr al-

Hadȋts, 2005.

Page 187: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

171

_______, ‘Ilmu al-Tafsȋr. T.tp.: Dâr al-Ma’ȃrif, t.t.

Al-Hafidz, Ahsin Wijaya, Kamus Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Amzah, 2006).

al-Hâsyimî, Al-Sayyid Ahmad, Jawâhir al-balâghah fî al-ma’ânî wa al-bayân wa al-badî’ (Beirût: al-Maktabah al-‘Asriyyah, 1999).

al-Hilali, Sâlim bin ‘Ied. Kisah Shahih Para Nabi. Penerjemah M. Abdul Ghaffar

E. M. Jakarta: Pustaka Imam asy-Syafi‘i, 2009.

Ali, Maulana Muhammad, The Religion of Islam (New Delhi: National

Publication and Printing House, 1890).

al-Jâbirî, Muhammad ‘Âbid, Takwîn al’Aql al-‘Arabî (Beirût: Markaz Dirâsât al-

Wahdah al-‘Arabiyyah, 2012).

al-Jâwî, Muhammad Nawâwî al-Bantanî, Marâh Labîdz (Indonesia: Dâr Ihyâ‘ al-

Kutub al-‘Arabiyyah, t.th).

al-Jîlânî, Muhy al-Dîn ‘Abd al-Qâdir, Tafsîr al-Jîlânî al-Ghawts al-Rabbânî wa al-Imâm al-Samdânî, Ed. Syaikh Ahmad Farîd al-Mazîdî (Pakistan: al-

Makatabah al-Ma’rufiyyah, 2010).

al-Marâghî, Ahmad Mustafâ, Tafsîr al-Marâghî (Mesir: Maktabah Mustafâ al-

Bâbî al-Halabî wa Awlâdih, 1946).

al-Munjid, Muhammad Nûr al-Dîn, al-Isytirâk al-Lafzy fî al-Qurân al-Karîm Bain al-Nazriyyah wa al-Tatbîq (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1998).

al-Musayyar, Muhammad Sayyid Ahmad, Argumen Puncak tentang Wahyu, Mukjizat, dan Universalitas, terj. Kamran As’at Irsyadi dan Hadiri

Abdurrazaq (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006).

al-Naisâbûrî, Abû al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî, Sahîh Muslim (Beirût: Dâr Ihyâ‘ al-Turâts al-‘Arabî, tt).

al-Qattân, Mannâ‘, Mabâhits fî Ulûm al-Qur’ân (Kairo: Maktabah Wahbah,

2000).

al-Qurtubî, Abû ‘Abd Allâh Muhammad ibn Ahmad ibn Abû Bakr, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân; wa al-Mubayyin li Mâ Tadammanahu min al-Sunnah wa Âyi al-Furqân, Ed. Dr. ‘Abd Allah ibn ‘Abd al-Muhsîn al-Turkî, dkk

-Azîm, ed. Mustafâ Sayyid Muhammad, dkk (Beirût, Mu’assasah al-

Risâlah, 2006).

al-Râfi’î, Mustafâ Sâdiq, Târîkh Âdâb al-‘Arab (al-Mansûrah: Maktabah al-

Aymân, 1997).

Page 188: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

172

al-Râzî, Fakhr al-Dîn, Tafsîr Fakhr al-Dîn al-Râzî al-Musytahar bî al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtîh al-Ghaib (Beirût: Dâr al-Fikr, 1985).

al-Saffar, Hasan, al-Ta’addudiyyât wa al-Hurriyyât fî al-Islâm (Beirût: Dâr al-

Bayân al-‘Arabî, 1990).

al-Sahrastânî, Abû al-Fath Muhammad ibn ’Abd al-karîm, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992).

al-Suyûti, Al-Hâfiz Jalâl al-Dîn, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. t.kt: Wazârat al-

Syu’ûn al-Islâmiyyah wa al-Auqâf wa al-Da’wah wa al-Irsyâd al-

Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’ûdiyyah, t.th.

_______, Al-Rahmân, al-Ta’zîm wa al-Minnah fî anna Abaway Rasûl Allâh fî al-Jannah (t.tp: Dâr Jawâmi’ al-Kalim, t.th).

al-Sya’râwî, Muhammad Mutawallî, Tafsîr al-Sya’râwî (t.tp: tp, tt).

al-Syâfi’î, Muhammad al-Amîn ibn ‘Abd Allâh al-‘Uramî al-‘Alawî al-Hararî,

Tafsîr Hadâ‘iq al-Rûh wa al-Raihân fî Rawâbî ‘Ulûm al-Qur‘ân (Beirut:

Dâr Tauq al-Najâh, 2001).

al-Syairâzî, Nâsir Mâkarim, al-Amtsal fî Tafsîr Kitâb Allâh al-Munazzal (Iran:

Madrasah al-Imâm ‘Alî ibn Abî Tâlib, 1421 H)/.

al-Syinqitî, Muhammad al-Amîn ibn Muhammad al-Mukhtâr al-Jakanî, Adwâ‘ al-Bayân fî Îdâh al-Qur‘ân bi al-Qur‘ân, (t.tp: Dâr ‘Âlam al-Fawâ‘id,

1980).

al-Tabarî, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarîr, Tafsîr al-Tabarî; Jâmi’ al-Bayân ‘An Ta’wîl Ây al-Qur‘ân, Ed. Mahmûd Muhammad Syâkir (Kairo:

Maktabah Ibn Taymiyah, t. th).

al-Tabâtabâ’î, Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husain, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur‘ân (Beirût: Mu‘assasat al-A’lamî li al-Matbû’ât, 1997).

al-Taftazânî, Sa’d al-Dîn, Syarh al-Maqâsid, ‘Abd al-Rahmân ‘Umairah (ed.)

(Beirut: ‘âlam al-Kutub, 1989).

al-Tamîmî, Abû Hâtim Muhammad ibn Hibbân, Sahîh ibn Hibbân (Beirût:

Mu‘asaat al-Risâlah, 1993).

al-Tamîmî, Muhammad ibn Khalîfah ibn ‘Alî, Huqûq al-Nabî ‘alâ Ummatihî fî Daw‘ al-Kitâb wa al-Sunnah (Riyad: Adwâ‘ al-Salaf, 1997).

Page 189: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

173

al-Turabi, Hasan, Fiqih Demokratis; Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis, terj. Abdul Haris dan Zaimul Am (Bandung:

Penerbit Arasy, 2003).

al-Zamakhsyarî, Abû al-Qâsim Mahmûd ibn ‘Umar, al-Kasysyâf ‘an Haqâ‘iq Ghawâmid al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta‘wîl (Riyâd:

Maktabah al-‘Abîkân, 1998).

al-Zuhaylî, Wahbah, Usûl al-Fiqh al-Islâmî (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1986).

Anîs, Ibrâhîm, al-Mu’jam al-Wasît (Beirut: Dâr al-Fikr, t. th).

Âsyûr, Muhammad al-Tâhir ibn ‘, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr (Tûnis: al-Dâr

al-Tûnîsiyah li al-Nasyr, 1984).

Auliffe, Jane Dammen Mc (ed), The Cambridge Companion to the Qur’an (New

York, Cambridge University Press, 2006).

Azad, Abul Kalam, Tarjumân al-Qur‘ân, Ed. Dr. Zakir Husayn (New Delhi:

Sahitya Academy, 1964).

Badawi, Abdurrahman, Min Târîkh al-Ilhâd fî al-Islâm (Kairo: Maktabah al-

Nahdah al-Misriyyah, 1945).

Bowering, Gerhard H., ‚The Qur‘ân as the Voice of God,‛ Proceeding of the American Philosophical Society, Volume 147 Nomor 4, Dec 2003.

Brugmen, J., An introduction to History of Modern Arabic Literature inEgypt (Leiden, Ej Brill, 1984).

Burhani, Ahmad Najib, Islam Dinamis; Menggungat Peran Agama Membongkar Doktrin yang Memmbatu (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001).

Chittick, William C., The Sufi Path of Knowledge, Pengetahuan Spiritual Ibn al’Arabi, terj. Achmad Nidjam (jakarta:Qalam, 2001).

Dabashi, Hamid, Islamic Liberation Theology (London: Routledge, 2008).

Darrâz, Muhammad ‘Abd Allah, al-Dîn; Buhûts Mumahhadah li Dirâsat Târîkh al-Adyân (Kuwait: Dâr al-Qalam, 1974).

Darwazah, Muhammad ‘Izzah, Sîrat al-rasûl Sallâ Allâh ‘alaih wa Sallam: Suwar Muqtabasah min al-Qur‘ân al-Karîm (Beirût: Manshûrât al-Maktabah

al-‘Âsriyyah, t.t).

Daya, Burhanuddin, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan di Belanda (Jakarta: INIS, 1992).

Page 190: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

174

Edwards, Paul (Ed), The Encyclopedia of Philosophy (USA: Macmillan

Reference, t.t), Volume VII.

Esposito, Jhon L., The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World (New

York: Oxford University Press, 1995), vol. VI.

Faiz, Fahruddin, Hermeneutika Al-Qur’an: Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: Penerbit eLSAQ Press, 2005).

Ghazali, Abd. Moqsith, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an (Depok: KataKita, 2009).

Hajam, Falsafah Nubuwwah Ibn ‘Arabi (Jakarta: Gaung Persada Press Group,

2014).

Hanafî, Hasan, al-Yamîn wa al-Yasâr fî al-Fikr al-Dînî (Kairo: Madlûbî, 1989).

_______, Dirâsah Islâmiyyah (Kairo: Maktabah Anjilu al-Misriyyah, t.th).

Harb, ‘Alî. Kritik Nalar Al-Qur’an. Penerjemah M. Faisol Fatawi. Yogyakarta:

LkiS, 2003.

Haris, Munawir, ‚Metodologi Penemuan Hukum Islam,‛ Ulumuna: Jurnal Studi Islam, Vol. 16, No. 1 (Juni, 2012).

Hidayat, Komaruddin dan Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan; Perspektif Filsafat Perenial (Jakarta: Paramadina, 1995).

Hidayat, Komaruddin, Wahyu di Langit Wahyu di Bumi: Doktrin dan Peardaban Islam di Panggung Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2003).

Hishâm, Ibn, al-Sîrah al-Nabawiyyah (Lebanon: al-maktabah al-‘Asriyyah,

2003).

Hitti, Philip K., History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi

Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010).

Ichwan, Moch. Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an: Teori Hermeneutika Nasr Abû Zayd. Jakarta: Teraju, 2003.

Ishâq, Ibn, al-Sîrah al-Nabawiyyah (Kairo: Dâr al-Hadîts, 1992).

Ismail, Nawari, Perubahan Sosial Budaya Komunitas: Agama DAM (Yogyakarta: Deepublish, 2016).

Izutsu, Toshihiko, Relasi Tuhan dan Manusia; Pendekatan Semantik terhadap Al-Qur’an, terj. Agus Fahri Husein, dkk (Yogyakarta: PT Tiara Wacana,

2003).

Page 191: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

175

Izzan, Ahmad. Ulumul Qur’an: Telaah Tekstualitas dan Kontekstualitas al-Qur’an . Bandung: Tafakur, 2013.

Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta:

Paradigma, 2010).

Kaltsum, Lilik Ummi, Metode Tafsir Tematik M. Baqir al-Shadr: Mendialogkan Realitas dengan Teks (Surabaya: Penerbit PMN Surabaya kerjasama

IAIN Press Sunan Ampel, 2010).

Kamaruddin, Wan Zailan, ‚Konsep Nabi dan Rasul Perspektif al-Qur’an‛. Jurnal Ushuluddin, Universitas Malaya, Bil. 5, Desember (1996).

Katsîr, Ibn, al-Sîrah al-Nabawiyyah (Beirût: Dâr al-Fikr, 1978).

Kementrian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik; Kenabian (Nubuwwah) dalam Al-Qur’an (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf AlQur’an, 2012).

Khallâf, ‘Abd al-Wahhâb, ‘Ilm Usûl al-Fiqh (Qâhirah: Dâr al-Qalam, 1978).

Khan, Maulana Wahiduddin, Muahammad nabi untuk Semua, terj. Irwanti

(Jakarta: Pustaka Alvabet, 1998).

Kung, Hans, dkk, Jalan Dialog Hans Kung dan Perspektif Muslim, terj. Mega

Hidayati, dkk (Yogyakarta: ICRS SPs UGM, 2010).

Kurniawan, A. Fajar, Teologi Nubuwwah Ahmadiyah (Jakarta: RM Books,

2006).

Lee, Robert D. dalam Mohammed Arkoun, Rethinking Islam. Penerjemah

Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq. Yogyakarta: LPMI, 1996.

Lings, Martin, Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (Jakarta: Serambi, 2002).

Lubis, Syarif Ahmad, Jemaat Ahmadiyah: Sebuah Pengantar (Parung: JAI, 1994).

Madjid, Nurcholish, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan (Bandung: Penerbit

Mizan, 2008).

Madzkûr, Ibrâhîm, Filsafat Islam: Metode dan Penerapannya, terj. Yudian

Wahyudi (Jakarta: CV. Rajawali, 1988).

Manzûr, Abû al-Fadl Jamâl al-Dîn Muhammad ibn Mukram Ibn, Lisân al-‘Arab (Beirut: Dâr al-Sadr, 1968).

Page 192: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

176

Mattson, Ingrid. Ulumul Quran Zaman Kita: Pengantar Untuk Memahami Konteks, Kisah, dan Sejarah al-Qur’an. Penerjemah R. Cecep Lukman

Yasin. Jakarta: Zaman, 2013.

Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2013).

Muhammad, Husein, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan (Bandung: Penerbit Mizan, 2011).

Muhammad, Maulana, Gerakan Ahmadiyah, terj. Tbg. Muhammad Syarif E.

Koesnadi (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmiyyah, 2002).

Mujib, Ibnu dan Yance Z. Rumahuru, Paradigma Transformatif Masyarakat Dialog; Membangun Fondasi Dialog Agama-agama Berbasis Teologi Humanis (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).

Muslim, Mustafâ, Mabâhits fî al-Tafsîr al- Maudû’î (Beirût: al-Dâr al-

Syâmiyyah, 2000).

Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: LKiS, 2010).

Nasr, Seyyed Hossein dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London dan New York: Rouledge, 1996).

Nasution, Harun, Islam Rasional; Gagasan dan Pemikiran (Bandung: Mizan,

1995).

Nata, Abuddin, Peta Keragaman pemikiran di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo,

2001).

Noer, Kautsar Azhari, ‚Agama Langit versus Agama Bumi; Sebuah Telaah atas

Klasifikasi Agama-agama,‛ Titik-Temu; Jurnal Dialog Peradaban, vol.

3, no. 2 (Januari-Juni 2011).

Nukhbah min Kibâr al-Ulamâ‘, ‚al-Syubhah al-Hâdiyah wa al-‘Isyrûn; Inkâr

Khusûsiyat Muhammad Sallâ Allâh ‘alaihî wa Sallam fî ‘Umûm

Risâlatih,‛ Mausû’ah Bayân al-Islâm, al-Radd ‘alâ al-Iftirâ‘ât wa al-Syubhât (Mesir: Dâr Nahdah, 2012), Juz V.

Osman, Mohamed Fathi, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan,terj. Irfan

Abubakar (Jakarta: Democracy Project, 2012).

Porwadaminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka,

1994).

Page 193: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

177

Rahardjo, M. Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci (Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002).

Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982).

_______, Kontroversi Kenabian dalam Islam (Antara Filsafat dan Ortodoksi (Bandung: Mizan, 2003).

Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Agama; Sebuah Pengantar (Bandung: Mizan,

2003).

Ridâ, Sayyid Muhammad Rasyîd, Tafsîr al-Qur‘ân al-Hakîm (Kairo: Dâr al-

Manâr, 1947).

Riyadi, Hendar, Tafsir Emansipatoris (Bandung: Pustaka Setia, 2005).

Robinson, H. Giles dan W. P. (Ed), Handbook of Language and Social Physicology (Oxford: Oxford University Press, 1993).

Rusmana, Dadan, Metode Penelitian Al-Qur’an dan Tafsir (Bandung: Pustaka

Setia, 2014).

Sayuthi, M., Metodologi Peelitian Agama; Pendekatan teori dan Praktik

(Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002).

Seferta, Yusuf H. R., ‚The Doctrine of Prophethood in The Writings of

Muhammad ‘Abduh and Rasyîd Ridâ,‛ Islamic Studies, Vol. 24. No. 2

(Summer 1985).

Shihab, M. Quraish (Ed), Ensiklopedia Al-Qur’an; Kajian Kosakata (Jakarta:

Lentera Hati, 2007).

_______, Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur’an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006).

_______, Kaidah Tafsir; Syarat, Ketentuan, dan Aturan Yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati,

2013).

_______, Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994).

Sirry, Mun’im, Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis (Bandung: Mizan Pustaka, 2015).

Smith, Wilfred C., Memburu Makna Agama, terj. Landung Simatupang

(Bandung: Penerbit Mizan, 2004).

Page 194: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

178

Sobary, Mohamad, Singgasana dan Kutu Busuk (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2004).

Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta,

2008).

Syari’at,i Ali, The Visage of Islam, terj. Abdulaziz Abdulhussein Sachedina

(Tehran: Committee for Intenational Propagation of the Islamic

Revolution in collaboration with Soroush Publications, 1981).

Taher, Elza Peldi (Ed), Merayakan Kebebasan Beragama (Jakarta: ICRP, 2009).

Taufiq, Imam, Al-Qur’an Bukan Kitab Teror: Membangun Perdamaian Berbasis Al-Qur’an (Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2016).

Thoha, Anis Malik, ‚Konsep Wahyu dan Nabi dalam Islam‛, dalam Workshop on Islamic Epistemology and Education Reform, di UIN SUSKA

Pekanbaru, tanggal 27 Maret 2010.

Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008).

Tim Pustaka Agung Harapan, Kamus Ilmiah Populer: Pegangan Untuk Pelajar dan Umum (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, t.th).

Verdiansyah, Very, Islam Emansipatoris (Jakarta: P3M, 2004).

Watt, William Montgomery, Muhammad, Prophet and Statman (Oxford: Oxford

University Press, 1961).

Whitehead, A. N., Evolusi Agama-agama; Menurut Filsafat Proses, terj. Alois

Agus Nugroho (Bandung: Mizan, 2007).

Wijaya, Aksin, ‚Hermeneeutika al-Qur’an: Memburu Pesan Manusiawi al-

Qur’an.‛ Ulumuna, Volume XV Nomor 2 Desember 2011.

_______, Sejarah Kenabian Dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzah Darwazah (Bandung: Mizan ,2016).

Yusufa, Uun, ‚Kerangka Paradigmatis Metode Tafsir Tematik Akademik: Kasus

Disertasi UIN Yogyakarta dan Jakarta,‛ Journal of Qur’ân and Hadi@ts Studies, Vol. 4, No. 2, (2015).

Zayd, Ahmad Abû, al-Sîrah al-Nabawiyyah; Dirâsah li Tashîh al-‘Akhta‘ al-Wâridah fî al-Mausû’ah al-Islâmiyyah al-Sâdirah ‘an Dâr Brîl Leiden (Beirût: Dâr al-Taqrîb bain al-Madzâhîb al-Islâmiyyah, 2004).

_______, Mafhûm al-Nass: Dirâsah fî ‘Ulûm al-Qur’an (Kairo: Hai’ah al-

Misriyyah al-‘âmmah, 1993).

Page 195: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

179

BIOGRAFI PENULIS

Nama : Abuzar Alghifari

Tempat/ tanggal lahir : Pulau Jambu, 22 Desember 1987

Alamat Asal : RT/RW 02/01 Dusun III Nusa Jaya, Desa Pulau

Jambu

Kec. Kampar, Kab. Kampar, Prov. Riau.

No. Hp : 081371419984

E-mail : [email protected]

Pendidikan Formal

- S2 PPS Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, SMT-IV (Sekarang)

- S1 UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Fakultas Ushuluddun, Jurusan Tafsir

Hadis Kelas Internasional (2008-2013)

- MA. Pondok Pesantren Islamic Centre al-Hidayah Kampar (2007)

- MTs. Pondok Pesantren Islamic Centre al-Hidayah Kampar (2004)

- SDN No. 011 Desa Pulau Jambu (2000)

- TK Beringin Mekar (1994)

Pendidikan Non Formal

- Madrasah Diniyyah Awwaliiyah (MDA) (1999)

- Taman Pendidikan Al-Qur’an ‚Jami’atul Huda (2000)

Pengalam Organisasi dan Prestasi

- Supervisor Wihdah Abu Bakar di Ma’had al-Jami’ah UIN SUSKA Riau

- Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Tafsir Hadis Kelas Internasional UIN

SUSKA

- Sekretaris Umum Ikatan Pelajar Qori-Qori`ah Hafizh Hafizhah (IPQOH)

Kecamatan Kampar Kab. Kampar Prov. Riau.

- Ketua Remaja Masjid se-Desa Pulau jambu

- Sekretaris Umun Osis Pondok Pesantren Islamic Centre al-Hidayah

Kampar

- Seksi Muzakarah OSIS Pondok Pesantren Islamic Centre al-Hidayah

Kampar

- Penerima beasiswa S1 Program Beasiswa DIPA Kelas Internasional

Seminar dan Short Course

- Mengikuti Seminar Internasional: Spirituality And Social Harmony In

Religious Deiversity yang diadakan UIN Syahid Fakultas Ushuluddin

- Short Course di Pusat Studi al-Qur’an (PSQ) Program Pendidikan kader

Mufassir (PKM) di Ciputat selama 6 bulan (Agustus 2015 s/d Januari

2016)

Page 196: KONSEP UNIVERSALITAS KENABIAN-KENABIAN ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34725...Shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad Saw, tak lupa pula penulis bingkiskan, sosok

180

Karya Tulis

- Mahmud Muhammad Thaha dan Pandangannya tentang Nasakh di Dalam

Al-Qur’an (Kajian Deskriptif-Analitis)

- Pesan Tauhid dari Kosmos (Kontemplasi Ulul Albab)

- ‚Balimau Kasai‛ (Dialektika Agama dan Budaya)

- ‚Bukan Salah Bunda Mengandung‛ (Islam Mengentaskan Kemiskinan)

- Konsep Universalitas Kenabian Muhammad SAW Perspektif Al-Qur’an

(Sebuah kajian Tematik)