FARMAKOLOGI OBAT ANESTESI
-
Upload
eko-nur-febrianto -
Category
Documents
-
view
86 -
download
7
description
Transcript of FARMAKOLOGI OBAT ANESTESI
FARMAKOLOGI OBAT ANESTESI
A. General Anestesi
I. Anestesi Inhalasi
Obat anestesia inhalasi adalah obat anestesia yang berupa gas atau cairan mudah
menguap, yang diberikan melalui pernafasan pasien. Campuran gas atau uap obat anestesia
dan oksigen masuk mengikuti udara inspirasi, mengisi seluruh rongga paru, selanjutnya
mengalami difusi dari alveoli ke kapiler sesuai dengan sifat fisik masing-masing gas.
Anestesi inhalasi adalah obat yang paling sering digunakan pada anestesia umum.
Penambahan sekurang-kurangnya 1% anestetik volatil pada oksigen inspirasi dapat
menyebabkan keadaan tidak sadar dan amnesia, yang merupakan hal yang penting dari
anestesia umum. Bila ditambahkan obat intravena seperti opioid atau benzodiazepin, serta
menggunakan teknik yang baik, akan menghasilkan keadaan sedasi/hipnosis dan analgesi
yang lebih dalam. Kemudahan dalam pemberian (dengan inhalasi sebagai contoh) dan efek
yang dapat dimonitor membuat anestesi inhalasi disukai dalam praktek anestesia umum.
Tidak seperti anestetik intravena, kita dapat menilai konsentrasi anestesi inhalasi pada
jaringan dengan melihat nilai konsentrasi tidal akhir pada obat-obat ini. Sebagai tambahan,
penggunaan gas volatil anestesi lebih murah penggunaanya untuk anestesia umum. Hal yang
harus sangat diperhatikan dari anestesi inhalasi adalah sempitnya batas dosis terapi dan
dosis yang mematikan. Sebenarnya hal ini mudah diatasi,dengan memantau konsentrasi
jaringan dan dengan mentitrasi tanda-tanda klinis dari pasien.
Obat anestesi inhalasi biasanya dipakai untuk pemeliharaan pada anestesi umum,
akan tetapi juga dapat dipakai sebagai induksi, terutama pada pasien anak-anak. Gas
anestesi inhalasi yang banyak dipakai adalah isofluran dan dua gas baru lainnya yaitu
sevofluran dan desfluran. sedangkan pada anak-anak, halotan dan sevofluran paling sering
dipakai. Walaupun dari obat-obat ini memiliki efek yang sama (sebagai contoh : penurunan
tekanan darah tergantung dosis), namun setiap gas ini memiliki efek yang unik, yang
menjadi pertimbangan bagi para klinisi untuk memilih obat mana yang akan dipakai.
Perbedaan ini harus disesuaikan dengan kesehatan pasien dan efek yang direncanakan sesuai
dengan prosedur bedah.
1
A.) Eter
Eter merupakan obat anestesi inhalasi yang orisinal dibuat oleh Valerius Cardus pada
tahun 1540, dengan memanaskan etil alkohol dengan asam sulfur dibawah suhu 130 oC. Eter
tidak berwarna , mudah menguap, dan berbau khas. Eter tidak bereaksi dengan soda lime,
mudah terbakar atau meledak, dan dapat terurai oleh cahaya, panas, atau udara.
Secara farmakologi klinis, eter mempengaruhi sejumlah fungsi sistem organ tubuh.
Eter mampu meningkatkan denyut nadi, merangsang simpatis, dan mendepresi vagal.
Aritmia jarang terjadi. Frekuensi napas bertambah pada permulaan anestesi, dan kemudian
melambat. Sekresi saluran napas meningkat. Tekanan intrakranial juga meningkat akibat
dilatasi pembuluh darah otak.
Rangsangan sentral simpatis menimbulkan peningkatan katekolamin plasma, dengan
konsekuensi peningkatan denyut jantung, produksi glikogen bertambah, disertai peningkatan
kadar gula darah. Mual dan muntah dapat merupakan komplikasi saluran cerna akibat
menurunnya otot tonus gastrointestinal. Relaksasi otot sangat baik pada penggunaan eter.
Keuntungan penggunaan eter adalah harganya yang murah dan mudah didapat, tidak
perlu digabung dengan obat anestesi lain, karena memenuhi trias anestesi. Penggunaan alat
dan metode sederhana memungkinkan eter sangat portabel. Batas keamanan eter juga cukup
lebar sehingga mudah digunakan.
Kelemahan eter antara lain sifatnya yang mudah terbakar dan meledak, bau yang
tidak enak dan iritatif, hipersekresi kelenjar ludah, serta menyebabkan hiperglikemia dan
mual muntah.
B.) Halotan
Halotan merupakan anestetik umum inhalasi dengan nama IUPAC 2-bromo-2-kloro-
1,1,1-trifluoroetan. Halotan merupakan satu dari dua agen anestetik inhalasi yang terdaftar
dalam formulasi WHO 2004 untuk anestesi induksi dan pemeliharaan, selain eter.
Perbedaannya adalah, halotan merupakan agen anestetik yang bersifat terfluorinasi.
Halotan memiliki karakter fisik bersih, tidak berwarna, tidak mudah terbakar, dan
tidak iritatif. Titik didih 50,30C. Dekomposisi dapat terjadi setelah pemajanan sinar, dan
untuk menghindari hal ini, halotan perlu ditambahkan timol 0,01%.
2
Untuk induksi anestesi, halotan diberikan dengan konsentrasi 2 – 4% v/v pada
dewasa, dan 1,5–2 % v/v pada anak-anak, dan diberikan bersama oksigen atau campuran
oksigen-nitrous oksida. Induksi dapat dimulai dengan konsentrasi 0,5% v/v dan secara
bertahap dititrasi dengan meningkatkan dosis ke level tertentu. Untuk dosis pemeliharaan
dewasa dan anak-anak adalah 0,5– 2 % v/v. Untuk orang tua, dosis dapat dikurangi.
Penggunaan halotan perlu mempertimbangkan fisiologis hepar, karena halotan secara
bermakna dapat memicu hepatitis fulminan. Halotan juga bersifat mendepresi miokardial
sehingga menyebabkan bradikardi dan hipotensi. Peningkatan sensitivitas terhadap
katekolamin mampu menyebabkan aritmia jantung. Efek samping lainnya adalah PONVS
(Postoperative nausea, vomiting, and Shivering), peningkatan tekanan intrakrnial, penurunan
aliran darah renal dan GFR, hipertermia.
C.) Enfluran
Enfluran merupakan eter terhalogenasi yang telah digunakan sebagai anestesi inhalasi
sejak dikembangkan tahun 1963. enfluran memiliki nama kimia 1-kloro-1,1,2,-trifluoroetil-
difluorometil-eter. Memiliki titik didih pada 56,5oC. Nilai MAC adalah 1,68. Induksi dengan
enfluran terjadi secara cepat dan lancar. Jarang terdapat mual dan muntah. Pemulihan paska
anestesi enfluran juga cepat.
Enfluran berbentuk cair pada suhu kamar, mudah menguap dan berbau enak. Enfluran
merupakan anestesi poten, mendepresi SSP dan menimbulkan efek hipnotik. Pada
konsentrasi inspirasi 3-3,5% dapat timbul perubahan pada EEG, berupa gelombang
epileptiform. Pada anestesi yang dalam dapat menimbulkan penurunan tekanan darah
disebabkan depresi pada miokard. Selain itu, enfluran juga mendepresi napas dengan
menurunkan volume tidal. Pada otot, terjadi efek relaksasi sedang dan efek ini meningkatkan
kinerja obat-obat relaksan otot. Enfluran tidak memiliki efek hepatotoksik atau nefrotoksik.
Namun, beberapa literatur melaporkan adanya efek nefrotoksik dan kegagalan ginjal akut
akibat metabolit yang dihasilkan oleh metabolisme enfluran.
D.) Desfluran
Desfluran (2,2,2-trifluoro-1-fluoroetil-difluorometil eter) merupakan etil metil eter
berfluorinasi yang digunakan sebagai agen pemelihara anestesi umum. Bersama dengan
3
sevofluran, penggunaannya mulai menggantikan isofluran, meskipun harganya lebih mahal.
Desfluran memiliki onset kerja yang sangat singkat dan kelarutan dalam darahnya sangat
rendah.
Kelemahan desfluran adalah potensinya yang kurang kuat, perih, dan harga yang
mahal. Desfluran juga dapat menyebabkan takikardi dan iritasi saluran napas bila digunakan
pada konsentrasi lebih dari 10%. Desfluran menunjukkan reaksi dengan CO2 pada sirkuit
anestesi.
Desfluran sangat stabil dan tahan terhadap degradasi soda lime dan hepar. Eksresi
dari florida organic dan inorganik minimal. Konsentrasi rata-rata setelah pemberian 1.0 MAC
(minimum alveolar concentration)/jam desflurane adalah kurang dari 1 mmol/L. Paparan
lama desflurane berkaitan dengan fungsi ginjal normal.
E.) Isofluran
Isofluran merupakan isomer dari enfluran dengan efek-efek samping yang minimal.
Isofluran memiliki nama kimia 2-kloro-2-(difluorometoksi)-1,1,1- trifluoro-etan, merupakan
eter berhalogenasi yang digunakan untuk anestesi inhalasi. Karakteristik fisik isofluran antara
lain titik didih 48,5 OC, nilai MAC 1,15 vol %.
Mekanisme terkait sifat anestetik masih belum sepenuhnya dipahami, namun diduga
terdapat interaksi isofluran dengan berbagai reseptor pada transmisi sinaptik. Isofluran
mengikat reseptor GABA, reseptor glutamat, dan reseptor glisin, serta menghambat konduksi
kanal kalium. Penghambatan glisin akan membantu menghambat fungsi motorik. Aktivasi
kalsium ATPase akan meningkatkan permeabilitas membran.
Seperti anestesi inhalasi yang lain, isofluran juga mendepresi napas.Volume tidal dan
frekuensi napas dapat menurun menimbulkan dilatasi bronkus, sehingga baik untuk kasus
penyakit paru obstruksi menahun.
Depresi terhadap jantung minimal dibandingkan enfluran dan halotan. Pada beberapa
kasus dapat menyebabkan takikardi. Isofluran memiliki efek relaksasi otot yang baik dan
berpotensiasi dengan obat relaksan otot, namun tidak terlalu merelaksasi otot uterus pada
kasus obstetri.
4
Berbeda dengan enfluran, obat ini tidak menimbulkan perubahan gambaran
epileptiform pada EEG, serta tidak begitu mempengaruhi aliran darah otak. Metabolisme
yang minimal menyebabkan obat ini aman bagi fungsi hepar dan ginjal.
F.) Sevofluran
Sevofluran memiliki nama kimia fluorometil heksafluoroisopropil eter, merupakan
agen anestesi inhalasi berbagu manis, tidak mudah meledak, yang merupakan hasil fluorinasi
metil isopropil eter. Sevofluran memiliki titik didih 58,6 oC dan nilai MAC 2 vol%.
Penggunaan sevofluran dapat diberikan bersama oksigen dan N2O. Onset kerja obat sangat
cepat, dan konsentrasinya dalam darah relatif rendah.
Sevofluran dapat membentuk 2 senyawa hasil degradasi selama anestesi dilakukan,
yaitu senyawa A dan senyawa B, yang pembentukannya akan meningkat terutama bila suhu
terlalu tinggi atau sodalime telah rusak. Senyawa A dapat menyebabkan nekrosis renal pada
tikus, sedangkan pada manusia, derajat kerusakan jaringan ginjal masih sedang dalam
penelitian. Dengan memperhatikan hal ini, sevofluran dianjurkan diberikan dengan minimum
aliran gas 2 liter/menit, karena aliran yang rendah akan memicu peningkatan temperatur
sodalime.
G.) Metoksifluran
Methoxyfluran merupakan obat anestesi yang pada tahun 1960 dan 1970an kontra
indikasi terhadap pasien dengan penyakit ginjal karena biotransformasinya menjadi
nephrotoksik, florida inorganik, dan asam oksalik. Enfluran juga mengalami biotransformasi
menjadi florida inorganik tetapi kadar setelah 2-4 jam anastesi hanya 19 mM pada pasien
dengan penyakit ginjal ringan sampai dengan sedang, secara signifikan nilainya lebih rendah
dari ambang nephrotoksis yaitu 50 mM, sehingga dengan kadar ini florida tidak
menyebabkan gangguan ginjal lebih lanjut. Kadar fluorida dari isofluran adalah 3-5 mM dan
hanya 1 sampai 2 mM setelah halotan, sehingga obat-obat tersebut tidak potensial
nephrotoksik.
5
H.) Nitrous Oksida
Nitrous oksida merupakan gas inhalan yang digunakan sebagai agen pemelihara
anestesi umum. Penggunaan nitrous oksida bersama dengan oksigen atau udara. Efek
anestesi nitrous oksida menurun bila digunakan secara tunggal, sehingga perlu pula
penambahan agen anstetik lainnya dengan dosis rendah. Nitrous oksida memiliki efek
analgetik yang baik. Penggunaan campuran nitrous oksida dengan oksigen 50:50 v/v disebut
entonox, yang digunakan sebagai analgesi daripada anestesi.
N2O diserap dengan cepat dalam tubuh, yaitu 1 liter/menit dalam menit pertama.
Terdapat 3 fase pengambilan N2O berdasarkan saturasi arteri, yaitu pertama, dalam 5 menit
mencapai 50% saturasi; kedua, dalam 30-90 menit mencapai 90% saturasi; dan dalam 5 jam
mencapai saturasi penuh. Dalam 100 mL darah dapat terlarut 47mL N2O, dan hampir
seluruhnya dikeluarkan kembali melalui paru.
N2O nerupakan zat anestesi lemah, menimbulkan efek analgesia dan hipnotik lemah.
Efek kardiovaskular minimal, sehingga perubahan pada frekuensi jantung, irama dan curah
jantung maupun EKG juga minimal. Pernapasan tidak banyak dipengaruhi. Depresi napas
terjadi pada pemakaian N2O tanpa oksigen. Sensitivitas laring dan trakea terhadap manipulasi
menurun.
Pada sistem lain, seperti gastrointestinal, sistem urologi, dan reproduksi tidak banyak
dipengaruhi. Tidak terjadi relaksasi otot atau perubahan terhadap fungsi endokrin dan
metabolik.
I.) Xenon
Meskipun jarang digunakan dan kurang popular, xenon merupakan unsur gas mulia
yang stabil dan dapat digunakan sebagai agen anestesi umum. Terdapat dua mekanisme yang
diduga menyebabkan unsur ini memiliki sifat anestesi. Pertama, adanya penghambatan
pompa kalsium ATP-ase, yang menyebabkan hilangnya kalsium sel, termasuk membran sel
sinaptik. Pendapat kedua mengatakan bahwa xenon memiliki interaksi nonspesifik dengan
lipid membran.
Xenon memiliki nilai MAC 71 vol%, menyebabkan unsur ini lebih poten 50%
dibanding N2O. Penggunaan bersama oksigen akan meminimalisir risiko hipoksia. Tidak
seperti N2O, xenon tidak termasuk gas rumah kaca, sehingga lebih aman untuk lingkungan.
6
II. Anestetik Intravena
Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena, baik
obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik maupun pelumpuh otot. Setelah berada didalam
pembuluh darah vena, obat-obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi
umum, selanjutnya akan menuju target organ masing-masing dan akhirnya diekskresikan sesuai
dengan farmakodinamiknya masing-masing.
Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran
dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan pemakaian harus
cukup lebar dengan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat
memberikan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan
efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal.
A.) Propofol
Propofol adalah zat subsitusi isopropylphenol (2,6 diisopropylphenol) yang
digunakan secara intravena sebagai 1% larutan pada zat aktif yang terlarut, serta
mengandung 10% minyak kedele, 2,25% gliserol dan 1,2% purified egg phosphatide. Obat
ini secara struktur kimia berbeda dari obat sedatif-hipnotik yang digunakan secara intravena
lainnya. Penggunaan propofol 1,5 – 2,5 mg/kgBB (atau setara dengan thiopental 4-5
mg/kgBB atau methohexital 1,5 mg/kgBB) dengan penyuntikan cepat (< 15 detik)
menimbulkan turunnya kesadaran dalam waktu 30 detik. Propofol lebih cepat dan sempurna
mengembalikan kesadaran dibandingkan obat anestesia lain yang disuntikan secara cepat.
Selain cepat mengembalikan kesadaran, propofol memberikan gejala sisa yang minimal pada
SSP. Nyeri pada tempat suntikan lebih sering apabila obat disuntikan pada pembuluh darah
vena yang kecil. Rasa nyeri ini dapat dikurangi dengan pemilihan tempat masuk obat di
daerah vena yang lebih besar dan penggunaan lidokain 1%.
Propofol relatif bersifat selektif dalam mengatur reseptor gamma aminobutyric acid
(GABA) dan tampaknya tidak mengatur ligand-gate ion channel lainnya. Propofol dianggap
memiliki efek sedatif hipnotik melalui interaksinya dengan reseptor GABA. GABA adalah
salah satu neurotransmiter penghambat di SSP. Ketika reseptor GABA diaktivasi, penghantar
klorida transmembran meningkat dan menimbulkan hiperpolarisasi di membran sel post
7
sinaps dan menghambat fungsi neuron post sinaps. Interaksi propofol (termasuk barbiturat
dan etomidate) dengan reseptor komponen spesifik reseptor GABA menurunkan
neurotransmitter penghambat. Ikatan GABA meningkatkan durasi pembukaan GABA yang
teraktifasi melaui chloride channel sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membran sel.
Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh cytochrome
P-450. Namun, metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi juga ekstrahepatik.
Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut
air sementara metabolisme asam glukoronat diekskresikan melalui ginjal. Propofol
membentuk 4-hydroxypropofol oleh sitokrom P450. Propofol yang berkonjugasi dengan
sulfat dan glukoronide menjadi tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang memiliki 1/3
efek hipnotik. Kurang dari 0,3% dosis obat diekskresikan melalui urin. Waktu paruh propofol
adalah 0,5-1,5 jam tapi yang lebih penting sensitive half time dari propofol yang digunakan
melalui infus selama 8 jam adalah kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time
adalah pengaruh minimal dari durasi infus karena metabolisme propofol yang cepat ketika
infus dihentikan sehingga obat kembali dari tempat simpanan jaringan ke sirkulasi. Propofol
mirip seperti aldentanil dan thiofentanil yang memiliki efek singkat di otak setelah pemberian
melalui intravena.
Propofol menjadi pilihan obat induksi terutama karena cepat dan efek mengembalikan
kesadaran yang komplit. Infus intravena propofol dengan atau tanpa obat anestesia lain
menjadi metode yang sering digunakan sebagai sedasi atau sebagai bagian penyeimbang atau
anestesi total iv. Penggunaan propofol melalui infus secara terus menerus sering digunakan
di ruang ICU.
a. Induksi Anestesia
Dosis induksi propofol pada pasien dewasa adalah 1,5-2,5 mg/kgBB intravena dengan
kadar obat 2-6 μg/ml menimbulkan turunnya kesadaran yang bergantung pada usia pasien. Mirip
seperti barbiturat, anak-anak membutuhkan dosis induksi yang lebih besar tiap kilogram berat
badannya yang mungkin disebabkan volum distribusi yang besar dan kecepatan bersihan yang
lebih. Pasien lansia membutuhkan dosis induksi yang lebih kecil (25% - 50%) sebagai akibat
penurunan volume distribusi dan penurunan bersihan plasma. Kesadaran kembali saat kadar
propofol di plasma sebesar 1,0 – 1,5 μg/ml. Kesadaran yang komplit tanpa gejala sisa SSP
8
merupakan karakter dari propofol dan telah menjadi alasan menggantikan thiopental sebagai
induksi anestesi pada banyak situasi klinis.
b. Sedasi Intravena
Sensitive half time dari propofol walau diberikan melalui infus yang terus menerus,
kombinasi efek singkat setara memberikan efek sedasi. Pengembalian kesadaran yang cepat
tanpa gejala sisa serta insidens rasa mual dan muntah yang rendah membuat propofol diterima
sebagai metode sadasi. Dosis sedasinya adalah 25-100μg/kgBB/menit secara intravena dapat
menimbulkan efek analgesik dan amnestik. Pada beberapa pasien, midazolam atau opioid dapat
dikombinasikan dengan propofol melalui infus. Sehingga intensitas nyeri dan rasa tidak nyaman
menurun.
Propofol yang digunakan sebagai sedasi selama ventilasi mekanik di ICU pada beberapa
populasi termasuk pasien post operasi (bedah jantung dan bedah saraf) dan pasien yang
mengalami cedera kepala. Propofol juga memiliki efek antikonvulsan, dan amnestik Setelah
pembedahan jantung, sedasi propofol mengatur respon hemodinamik post operasi dengan
menurunkan insiden dan derajat takikardia dan hipertensi. Asidosis metabolik, lipidemia,
bradikardia, dan kegagalan myokardial yang progresif pada beberapa anak yang mendapat sedasi
propofol selama penanganan gagal napas akut di ICU.
c. Maintenance Anestesia
Dosis tipikal anestesia 100-300 μg/kgBB/menit iv sering dikombinasikan dengan opioid
kerja singkat. Walaupun propofol diterima sebagai anestesi prosedur bedah yang singkat, tetapi
propofol lebih sering digunakan pada operasi yang lama ( < 2 jam) dipertanyakan mengingat
harga dan efek yang sedikit berbeda pada waktu kembalinya kesadaran dibandingkan standar
teknik anestesi inhalasi. Anestesi umum dengan propofol dihubungkan dengan efek yang
minimal pada rasa mual dan muntah post operasi, pengembalian kesadaran.
Dibandingkan thiopental, propofol menurunkan prevalensi wheezing setelah induksi
dengan anestesia dan intubasi trakea pada pasien tanpa riwayat asma dan pasien dengan riwayat
asma. Formula baru propofol yang menggunakan metabisulfit sebagai pengawet. Metabisulfit
menimbulkan bronkokontriksi pada pasien asma. Pada studi di hewan, propofol tanpa
metabisulfit menimbulkan stimulus ke nervus vagus yang menginduksi bronkokonstriksi dan
metabisulfit sendiri dapat meningkatkat kurang responnya saluran pernapasan. Setelah intubasi
trakea, pasien dengan riwayat merokok, resistensi saluran pernapasan meningkat pada pasioen
9
yang mendapat propofol dan metabisulfit serta ethyl enediaminetetraacetic (EDTA). Sehingga
penggunaan bahan pengawet propofol meningkatkan risiko terjadinya bronkokonstriksi. Propofol
yang menginduksi bronkokonstriksi pernah dilaporkan pada psien dengan riwayat alergi dan
penggunaan Diprivan® yang mengandung susu kedele, gliserin, egg lechitin , sodium edetate.
Pada sistem saraf pusat, propofol menurunkan Cerebral Metabolism Rate terhadap
oksigen (CRMO2), aliran darah, serta tekanan intra kranial (TIK). Penggunaan propofol sebagai
sedasi pada pasien dengan lesi yang mendesak ruang intra kranial tidak akan meningkatkan TIK.
Dosis besar propofol mungkin menyebabkan penurunan tekanan darah yang diikuti penurunan
tekanan aliran darah ke otak. Autoregulasi cerebral sebagai respon gangguan tekanan darah dan
aliran darah ke otak yang mengubah PaCO2 tidak dipengaruhi oleh propofol. Akan tetapi, aliran
darah ke otak dipengaruhi oleh PaCO2 pada pasien yang mendapat propofol dan midazolam.
Propofol menyebabkan perubahan gambaran electroencephalograpic (EEG) yang mirip pada
pasien yang mendapat thiopental. Propofol tidak mengubah gambaran EEG pasien kraniotomi.
Mirip seperti midazolam, propofol menyebabkan gangguan ingatan yang mana thipental
memiliki efek yang lebih sedikit serta fentanyl yang tidak memiliki efek gangguan ingatan.
Pada siste kardiovaskular, propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik daripada
thiopental. Penurunan tekanan darah ini juga dipengaruhi perubahan volume kardiak dan
resistensi pembuluh darah. Relaksasi otot polos pembuluh darah disebabkan hambatan aktivitaas
simpatis vasokontriksi. Suatu efek negatif inotropik yang disebabkan penurunan avaibilitas
kalsium intrasel akibat penghambatan influks trans sarcolemmal kalsium. Stimulasi langsung
laringoskop dan intubasi trakea membalikan efek propofol terhadap tekanan darah. Propofol juga
menghambat respon hipertensi selama pemasangan laringeal mask airway. Pengaruh propofol
terhadap desflurane mediated sympathetic nervous system activation masih belum jelas.
Ditemukan bradikardia dan asistol setelah pemberian propofol telah pada pasien dewasa
sehat sebagai propilaksis antikolinergik. Risiko bradycardia-related death selama anestesia
propofol sebesar 1,4 / 100.000. Bentuk bradikardi yang parah dan fatal pada anak di ICU
ditemukan pada pemberian sedasi propofol yang lama. Anestesi propofol dibandingkan anestesi
lain meningkatkan refleks okulokardiak pada pembedahan strabismus anak selama pemberian
antikolonergik.
Pada system pernafasan, terdapat risiko apnea sebesar 25-35% pada pasien yang
mendapat propofol. Pemberian agen opioid sebagai premedikasi meningkatkan risiko ini.
10
Stimulasi nyeri pada saat pembedahan juga meningkatkan risiko apnea. Infus propofol
menurunkan volume tidal dan frekuensi pernapasan. Respon pernapasan menurun terhadap
keadaan peningkatan karbon diokasida dan hipoksemia. Propofol menyebabkan bronkokontriksi
dan menurunkan risiko terjadinya wheezing pada pasien asma. Konsetrasi sedasi propofol
menyebabkan penurunan respon hiperkapnia akibat efek terhadap kemoreseptor sentral.
Pada Hepar dan ginjal, propofol tidak menggangu fungsi hepar dan ginjal yang dinilai
dari enzim transamin hati dan konsentrasi kreatinin. Infus propofol yang lama menimbulkan luka
pada sel hepar akibat asidosis laktat, bradidisritmia, dan rhabdomyolisis. Infus propifol yang
lama menyebabkan urin yang berwarna kehijauan akibat adanya rantai phenol. Namun
perubahan warna urin ini tidak mengganggu fungsi ginjal. Namun ekskresi asam urat meningkat
pada pasien yang mendapat propofol yang ditandai dengan urin yang keruh, terdapat kristal asam
urat, pH dan suhu urin yang rendah.
B. Etomidate
Etomidate merupakan agen anestetik intravena kerja cepat yang digunakan sebagai
induksi dan sedasi dalam prosedur operasi singkat, seperti reduksi dislokasi sendi dan
kardioversi. Etomidate merupakan derivat imidazol yang mengalami karboksilasi, dengan
potensi anestesi dan amnesi. Pada dosis tipikal, etomidate bekerja dalam rentang 5 – 10 menit
dan memiliki waktu paruh 2-5 menit dan akan habis setelah 75 menit. Etomidate mengikat kuat
protein plasma dan dimetabolisme oleh enzim esterase plasma dan hepatik.
Dosis anestetik induksi rata-rata untuk dewasa adalah 0,3 mg/Kg intravena, dengan dosis
tipikal antara 20-40 mg. Dosis inisial adalah 0,2 – 0,6 mg/Kg dengan masa kerja 30-60 menit.
Dosis pemeliharaan adalah 5-20 μg/Kg/menit intravena. Seperti halnya anestesi umum lainnya,
etomidate menyebabkan hilangnya kesadaran. Untuk prosedur kardioversi, dosis yang digunakan
adalah 10 mg dan pemberian ini dapat diulang.
C. Barbiturat
Barbiturat selama beberapa saat telah digunakan secara ekstensif sebagai hipnotik dan
sedatif. Namun sekarang, kecuali untuk beberapa penggunaan yang spesifik, barbiturat telah
banyak digantikan dengan benzodiazepine yang lebih aman, pengecualian fenobarbital, yang
memiliki anti konvulsi yang masih banyak digunakan. Secara kimia, barbiturat merupakan
11
derivat asam barbiturat. Asam barbiturat (2,4,4-trioksoheksahidropirimidin) merupakan hasil
reaksi kondensasi antara ureum dengan asam malonat.10
Efek utama barbiturat ialah depresi SSP. Semua tingkat depresi dapat dicapai, mulai dari
sedasi, hipnosis, koma sampai dengan kematian. Efek antiansietas barbiturat berhubungan
dengan tingkat sedasi yang dihasilkan. Efek hipnotik barbiturat dapat dicapai dalam waktu 20-60
menit dengan dosis hipnotik. Tidurnya menyerupai tidur fisiologis, tidak disertai mimpi yang
mengganggu. Efek anastesi umumnya diperlihatkan oleh golongan tiobarbital dan beberapa
oksibarbital untuk anastesi umum. Untuk efek antikonvulsi umumnya diberikan oleh berbiturat
yang mengandung substitusi 5-fenil misalnya fenobarbital.
Barbiturat berkerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat tidak sama kuatnya.
Dosis nonanastesi terutama menekan respon pasca sinap. Penghambatan hanya terjadi pada
sinaps GABA-nergik. Walaupun demikian efek yang terjadi mungkin tidak semuanya melalui
GABA sebagai mediator. Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang berbeda pada eksitasi
dan inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas berbiturat membantu kerja GABA sebagian
menyerupai kerja benzodiazepine, namun pada dosis yang lebih tinggi dapat bersifat sebagai
agonis GABA-nergik, sehingga pada dosis tinggi barbiturat dapat menimbulkan depresi SSP
yang berat.
Pada susunan saraf perifer, barbiturat secara selektif menekan transmisi ganglion otonom
dan mereduksi eksitasi nikotinik oleh esterkolin. Efek ini terlihat dengan turunya tekanan darah
setelah pemberian oksibarbital IV dan pada intoksikasi berat.10
Pada pernafasan, barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan besarnya
dosis. Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak berpengaruh terhadap pernafasan,
sedangkan dosis hipnotik menyebabkan pengurangan frekuensi nafas. Pernafasan dapat
terganggu karena : (1) pengaruh langsung barbiturat terhadap pusat nafas; (2) hiperefleksi
N.vagus, yang bisa menyebabkan batuk, bersin, cegukan, dan laringospasme pada anastesi IV.
Pada intoksikasi barbiturat, kepekaan sel pengatur nafas pada medulla oblongata terhadap CO2
berkurang sehingga ventilasi paru berkurang. Keadaan ini menyebabkan pengeluaran CO2 dan
pemasukan O2 berkurang, sehingga terjadilah hipoksia.
Pada sistem kardiovaskular, barbiturat dosis hipnotik tidak memberikan efek yang nyata.
Frekuensi nadi dan tekanan darah sedikit menurun akibat sedasi yang ditimbulkan oleh
berbiturat. Pemberian barbiturat dosis terapi secara IV dengan cepat dapat menyebabkan tekanan
12
darah turun secara mendadak. Efek kardiovaskular pada intoksikasi barbiturat sebagian besar
disebabkan oleh hipoksia sekunder akibat depresi nafas. Selain itu pada dosis tinggi dapat
menyebabkan depresi pusat vasomotor diikuti vasodilatasi perifer sehingga terjadi hipotensi.
Pada saluran cerna, Oksibarbiturat cenderung menurunkan tonus otot usus dan
kontraksinya. Pusat kerjanya sebagian diperifer dan sebagian dipusat bergantung pada dosis.
Dosis hipnotik tidak memperpanjang waktu pengosongan lambung dan gejala muntah, diare
dapat dihilangkan oleh dosis sedasi barbiturat.
Pada hepar, barbiturat menaikan kadar enzim, protein dan lemak pada
retikuloendoplasmik hati. Induksi enzim ini menaikan kecepatan metabolism beberapa obat dan
zat endogen termasuk hormone stroid, garam empedu, vitamin K dan D.
Pada ginjal, barbiturat tidak berefek buruk pada ginjal yang sehat. Oliguri dan anuria
dapat terjadi pada keracunan akut barbiturat terutama akibat hipotensi yang nyata.
Barbiturat secara oral diabsorpsi cepat dan sempurna dari lambung dan usus halus
kedalam darah. Secara IV barbiturat digunakan untuk mengatasi status epilepsi dan menginduksi
serta mempertahankan anastesi umum. Barbiturat didistribusi secara luas dan dapat melewati
plasenta, ikatan dengan protein plasma sesuai dengan kelarutan dalam lemak; tiopental yang
terbesar.
Barbiturat yang mudah larut dalam lemak, misalnya tiopental dan metoheksital, setelah
pemberian secara IV, akan ditimbun di jaringan lemak dan otot. Hal ini akan menyebabkan
kadarnya dalam plasma dan otak turun dengan cepat. Barbiturat yang kurang lipofilik, misalnya
aprobarbital dan fenobarbital, dimetabolisme hampir sempurna didalam hati sebelum diekskresi
di ginjal. Pada kebanyakan kasus, perubahan pada fungsi ginjal tidak mempengaruhi eliminasi
obat. Fenobarbital diekskresi ke dalam urine dalam bentuk tidak berubah sampai jumlah tertentu
(20-30 %) pada manusia.
Penggunaan barbiturat sebagai hipnotik sedatif telah menurun secara nyata karena efek
terhadap SSP kurang spesifik yang telah banyak digantikan oleh golongan benzodiazepine.
Penggunaan pada anastesi masih banyak obat golongan barbiturat yang digunakan, umumnya
tiopental dan fenobarbital.
Tiopental :
• Di gunakan untuk induksi pada anestesi umum.
• Operasi yang singkat (reposisi fraktur, insisi, jahit luka).
13
• Sedasi pada analgesik regional
• Mengatasi kejang-kejang pada eklamsia, epilepsi, dan tetanus
Fenobarbital :
• Untuk menghilangkan ansietas
• Sebagai antikonvulsi (pada epilepsi)
• Untuk sedatif dan hipnotik
Barbiturat tidak boleh diberikan pada penderita alergi barbiturat, penyakit hati atau ginjal,
hipoksia, penyakit Parkinson. Barbiturat juga tidak boleh diberikan pada penderita psikoneurotik
tertentu, karena dapat menambah kebingungan di malam hari yang terjadi pada penderita usia
lanjut.
Efek samping penggunaan barbiturat, antara lain:
• Hangover, yaitu residu depresi SSP setelah efek hipnotik berakhir. Dapat terjadi beberapa
hari setelah pemberian obat dihentikan. Efek residu mungkin berupa vertigo, mual, atau
diare. Kadang kadang timbul kelainan emosional dan fobia.
• Eksitasi paradoksal, Pada beberapa individu, pemakaian ulang barbiturat (terutama
fenoberbital dan N-desmetil barbiturat) lebih menimbulkan eksitasi dari pada depresi.
idiosinkrasi ini relatif umum terjadi diantara penderita usia lanjut dan lemah.
• Rasa nyeri, Barbiturat sesekali menimbulkan mialgia, neuralgia, artalgia, terutama pada
penderita psikoneurotik yang menderita insomnia. Bila diberikan dalam keadaan nyeri,
dapat menyebabkan gelisah, eksitasi, dan bahkan delirium.
• Alergi, Reaksi alergi terutama terjadi pada individu alergik. Segala bentuk hipersensitivitas
dapat timbul, terutama dermatosis. Jarang terjadi dermatosis eksfoliativa yang berakhir
fatal pada penggunaan fenobarbital, kadang-kadang disertai demam, delirium dan
kerusakan degeneratif hati.
• Reaksi obat, Kombinasi barbiturat dengan depresan SSP lain misal etanol akan
meningkatkan efek depresinya; Antihistamin, isoniasid, metilfenidat, dan penghambat
MAO juga dapat menaikkan efek depresi barbiturat.
• Intoksikasi barbiturat dapat terjadi karena percobaan bunuh diri, kelalaian, kecelakaan pada
anak-anak atau penyalahgunaan obat. Dosis letal barbiturat sangat bervariasi. Keracunan
berat umumnya terjadi bila lebih dari 10 kali dosis hipnotik dimakan sekaligus. Dosis fatal
fenobarbital adalah 6-10 g, sedangkan amobarbital, sekobarbital, dan pentobarbital adalah
14
2-3 g. kadar plasma letal terendah yang dikemukakan adalah 60 mcg/ml bagi fenobarbital,
dan 10 mcg/ml bagi barbiturat dengan efek singkat.
D. Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah obat yang memiliki lima efek farmakologi sekaligus, yaitu
anxiolisis, sedasi, anti konvulsi, relaksasi otot melalui medula spinalis, dan amnesia retrograde.
Benzodiazepine banyak digunakan dalam praktik klinik. Keunggulan benzodiazepine dari
barbiturate yaitu rendahnya tingkat toleransi obat, potensi penyalahgunaan yang rendah, margin
dosis aman yang lebar, rendahnya toleransi obat dan tidak menginduksi enzim mikrosom di hati.
Benzodiazepin telah banyak digunakan sebagai pengganti barbiturat sebagai premedikasi dan
menimbulkan sedasi pada pasien dalam monitorng anestesi. Dalam masa perioperatif, midazolam
telah menggantikan penggunaan diazepam. Selain itu, benzodiazepine memiliki antagonis
khusus yaitu flumazenil.
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi adalah Diazepam
(valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed), diazepam dan lorazepam tidak larut
dalam air dan kandungannya berupa propylene glycol. Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi
lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak menyebakan nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu
berhubungan bioaviabilitasnya
yang rendah, midazolam merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan
dengan PH 3,5.
Efek farmakologi benzodiazepine merupakan akibat aksi gamma-aminobutyric acid
(GABA) sebagai neurotransmitter penghambat di otak. Benzodiazepine tidak mengaktifkan
reseptor GABA melainkan meningkatkan kepekaan reseptor GABA terhadap neurotransmitter
penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel
dan mendorong post sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. Hal ini menghasilkan efek
anxiolisis, sedasi, amnesia retrograde, potensiasi alkohol, antikonvulsi dan relaksasi otot skeletal.
Efek sedatif timbul dari aktivasi reseptor GABAA sub unit alpha-1 yang merupakan 60%
dari resptor GABA di otak (korteks serebral, korteks serebelum, thalamus). Sementara efek
ansiolotik timbul dari aktifasi GABA sub unit aplha-2 (Hipokampus dan amigdala).
Perbedaan onset dan durasi kerja diantara benzodiazepine menunjukkan perbedaan
potensi (afinitas terhadap reseptor), kelarutan lemak (kemampuan menembus sawar darah otak
15
dan redistribusi jaringan perifer) dan farmakokinetik (penyerapan, distribusi, metabolisme dan
ekskresi). Hampir semua benzodiazepine larut lemak dan terikat kuat dengan protein plasma.
Sehingga keadaan hipoalbumin pada cirrhosis hepatis dan chronic renal disease akan
meningkatkan efek obat ini.
Benzodiazepin menurunkan degradasi adenosin dengan menghambat tranportasi
nuklesida. Adonosin penting dalam regulasi fungsi jantung (penurunan kebutuhan oksigen
jantung melalui penurunan detak jantung dan meningkatkan oksigenasi melalui vasodilatasi
arteri korener) dan semua fungsi fisiologi proteksi jantung.
Kelelahan dan mengantuk adalah efek samping yang biasa pada penggunaan lama
benzodiazepine. Sedasi akan menggangu aktivitas setidaknya selama 2 minggu. Penggunaan
yang lama benzodiazepine tidak akan mengganggu tekanan darah, denyut jantung, ritme jantung
dan ventilasi. Namun penggunaannya sebaiknya hati-hati pada pasien dengan penyakit paru
kronis.
Penggunaan benzodiazepine akan mengurangi kebutuhan akan obat anestesi inhalasi
ataupun injeksi. Walaupun penggunaan midazolam akan meningkatkan efek depresi napas opioid
dan mengurangi efek analgesiknya. Selain itu, efek antagonis benzodiazepine, flumazenil, juga
meningkatkan efek analgesik opioid.
Contoh Preparat Benzodiazepin
a. Midazolam
Midazolam merupakan benzodiazepine yang larut air dengan struktur cincin
imidazole yang stabil dalam larutan dan metabolisme yang cepat. Obat ini telah
menggantikan diazepam selama operasi dan memiliki potensi 2-3 kali lebih kuat. Selain itu
affinitas terhadap reseptor GABA 2 kali lebih kuat dibanding diazepam. Efek amnesia pada
obat ini lebih kuat diabanding efek sedasi sehingga pasien dapat terbangun namun tidak
akan ingat kejadian dan pembicaraan yang terjadi selama beberapa jam.
Larutan midazolam dibuat asam dengan pH < 4 agar cincin tidak terbuka dan tetap
larut dalam air. Ketika masuk ke dalam tubuh, akan terjadi perubahan pH sehingga cincin
akan menutup dan obat akan menjadi larut dalam lemak. Larutan midazolam dapat dicampur
dengan ringer laktat atau garam asam dari obat lain.
16
Midazolam diserap cepat dari saluran cerna dan dengan cepat melalui sawar darah otak.
Namun waktu equilibriumnya lebih lambat dibanding propofol dan thiopental. Hanya 50%
dari obat yang diserap yang akan masuk ke sirkulasi sistemik karena metabolisme porta
hepatik yang tinggi. Sebagian besar midazolam yang masuk plasma akan berikatan dengan
protein. Waktu durasi yang pendek dikarenakan kelarutan lemak yang tinggi mempercepat
distribusi dari otak ke jaringan yang tidak aktif begitu juga dengan klirens hepar yang cepat.
Waktu paruh midazolam adalah antara 1-4 jam, lebih pendek daripada waktu paruh
diazepam. Waktu paruh ini dapat meningkat pada pasien tua dan gangguan fungsi hati. Pada
pasien dengan obesitas, klirens midazolam akan lebih lambat karena obat banyak berikatan
dengan sel lemak. Akibat eliminasi yang cepat dari midazolam, maka efek pada CNS akan
lebih pendek dibanding diazepam.
Midazolam dimetabolisme dengan cepat oleh hepar dan enzim cytochrome P-450 usus
halus menjadi metabolit yang aktif dan tidak aktif. Metabolit utama yaitu 1-
hidroksimidazolam yang memiliki separuh efek obat induk. Metabolit ini dengan cepat
dikonjugasi dengan asam glukoronat menjadi 1-hidroksimidazolam glukoronat yang
dieskresikan melalui ginjal. Metabolit lainnya yaitu 4-hidroksimidazolam tidak terdapat
dalam plasma pada pemberian IV.
Midazolam menurunkan kebutuhan metabolik oksigen otak dan aliran darah ke otak
seperti barbiturat dan propofol. Namun terdapat batasan besarnya penurunan kebutuhan
metabolik oksigen otak dengan penambahan dosis midazolam. Midazolam juga memiliki
efek yang kuat sebagai antikonvulsan untuk menangani status epilepticus.
Penurunan pernapasan dengan midazolam sebesar 0,15 mg/kg IV setara dengan diazepam
0,3 mg/kg IV. Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronis memiliki resiko lebih besar
terjadinya depresi pernapasan walaupun pada orang normal depresi pernapasan tidak terjadi
sama sekali. Pemberian dosis besar (>0,15 mg/kg) dalam waktu cepat akan menyebabkan
apneu sementara terutama bila diberikan bersamaan dengan opioid. Benzodiazepine juga
menekan refleks menelan dan penuruna aktivitas saluran napas bagian atas.
Midazolam 0,2 mg/kg IV sebagai induksi anestesi akan menurunkan tekanan darah dan
meningkatkan denyut jantung lebih besar daripada diazepam 0,5 mg/kg IV dan setara
dengan thiopental 3-4 mg/kg IV. Penurunan tekanan darah disebabkan oleh penurunan
17
resistensi perifer dan bukan karena gangguan cardiac output. Efek midazolam pada tekanan
darah secara langsung berhubungan dengan konsentrasi plasma benzodiazepine.
Midazolam sering digunakan sebagai premedikasi pada pasien pediatrik sebagai sedasi
dan induksi anestesia. Midazolam juga memiliki efek antikonvulsan sehingga dapat
digunakan untuk mengatasi kejang grand mal.
Sebagai premedikasi midazolam 0,25 mg/kg diberikan secara oral berupa sirup (2 mg/ml)
kepada anak-anak untuk memberiksan efek sedasi dan anxiolisis dengan efek pernapasan
yang sangat minimal. Pemberian 0,5 mg/kg IV 10 menit sebelum operasi dipercaya akan
memberikan keadaan amnesia retrograd yang cukup.
Midazolam dosis 1-2,5 mg IV (onset 30-60 detik, waktu puncak 3-5 menit, durasi 15-80
menit) efektif sebagai sedasi selama regional anestesi. Dibanding dengan diazepam,
midazolam memiliki onset yang lebih cepat, amnesia yang lebih baik dan sedasi post operasi
yang lebih rendah namun waktu pulih sempurna tetap sama. Efek samping yang ditakutkan
dari midazolam adalah adanya depresi napas apalagi bila diberikan bersama obat penekan
CNS lainnya.
Induksi anestesi dapat diberikan midazolam 0,1-0,2 mg/kg IV selama 30-60 detik.
Walaupun thiopental memberikan waktu induksi lebih cepat 50-100% dibanding midazolam.
Dosis yang digunakan akan semakin kecil apabila sebelumnya diberikan obat penekan CNS
lain seperti golongan opioid. Pasien tua juga membutuhkan lebih sedikit dosis dibanding
pasien muda.
Midazolam dapat diberikan sebagai tambahan opioid, propofol dan anestesi inhalasi
selama rumatan anestesi. Pemberian midazolam dapat menurunkan dosis anestesi inhalasi
yang dibutuhkan. Sadar dari post operasi dengan induksi midazolam akan lebih lama 1-2,5
kali dibanding penggunaan thiopental sebagai induksi.
Pemberian jangka panjang midazolam secara intravena (dosis awal 0,5-4 mg IV dan
dosis rumatan 1-7 mg/jam IV) akan mengakibatkan klirens midazolam dari sirkulasi
sistemik lebih bergantung pada metabolisme hepatik. Efek farmakologis dari metabolit akan
terakumulasi dan berlangsung lebih lama setelah pemberian intravena dihentikan sehingga
waktu bangun pasien menjadi lebih lama. Penggunaan opioid dapat mengurangi dosis
midazolam yang dibutuhkan sehingga waktu pulih lebih cepat. Waktu pulih akan lebih lama
pada pasien tua, obese dan gangguan fungsi hati berat.
18
Gerakan pita suara paradoks adalah penyebab nonorganik obstruksi saluran napas
atas dan stridor sebagai manifestasi post operasi. Midazolam 0,5-1 mg IV mungkin efektif
untuk mengatasinya.
b. Diazepam
Diazepam adalah benzodiazepine yang sangat larut lemak dan memiliki durasi kerja
yang lebih panjang dibanding midazolam. Diazepam dilarutkan dengan pelarut organik
(propilen glikol, sodium benzoate) karena tidak larut dalam air. Larutannya pekat dengan pH
6,6-6,9.Injeksi secara IV atau IM akan menyebabkan nyeri.
Diazepam cepat diserap melalui saluran cerna dan mencapai puncaknya dalam 1 jam
(15-30 menit pada anak-anak). Kelarutan lemaknya yang tinggi menyebabkan Vd diazepam
besar dan cepat mencapai otak dan jaringan terutama lemak. Diazepam juga dapat melewati
plasenta dan terdapat dalam sirkulasi fetus.
Ikatan protein benzodiazepine berhubungan dengan tingginya kelarutan lemak.
Diazepam dengan kelarutan lemak yang tinggi memiliki ikatan dengan protein plasma yang
kuat. Sehingga pada pasien dengan konsentrasi protein plasma yang rendah, seperti pada
cirrhosis hepatis, akan meningkatkan efek samping dari diazepam.
Diazepam mengalami oksidasi N-demethylation oleh enzim mikrosom hati menjadi
desmethyldiazepam dan oxazepam serta sebagian kecil temazepam. Desmethyldiazepam
memiliki potensi yang lebih rendah serta dimetabolisme lebih lambat dibanding oxazepam
sehingga menimbulkan keadaan mengantuk pada pasien 6-8 jam setelah pemberian.
Metabolit ini mengalami resirkulasi enterohepatik sehingga memperpanjang sedasi.
Desmethyldiazepam diekskresikan melalui urin setelah dioksidasi dan dikonjugasikan
dengan asam glukoronat.
Waktu paruh diazepam orang sehat antara 21-37 jam dan akan semakin panjang pada
pasien tua, obese dan gangguan fungsi hepar serta digunakan bersama obat penghambat
enzim sitokrom P-450. Dibandingkan lorazepam, diazepam memiliki waktu paruh yang lebih
panjang namun durasi kerjanya lebih pendek karena ikatan dengan reseptor GABAA lebih
cepat terpisah.
19
Waktu paruh desmethyldiazepam adalah 48-96 jam. Pada penggunaan lama diazepam
dapat terjadi akumulasi metabolit di dalam jaringan dan dibutuhkan waktu lebih dari
seminggu untuk mengeliminasi metabolit dari plasma.
Diazepam hampir tidak menimbulkan efek depresi napas. Namun, pada penggunaan
bersama dengan obat penekan CNS lain atau pada pasien dengan penyakit paru obstruktif
akan meningkatkan resiko terjadinya depresi napas.
Diazepam pada dosis 0,5-1 mg/kg IV yang diberikan sebagai induksi anestesi tidak
menyebabkan masalah pada tekanan darah, cardiac output dan resistensi perifer. Begitu juga
dengan pemberian anestesi volatile N2O setelah induksi dengan diazepam tidak menyebabkan
perubahan pada kerja jantung. Namun pemberian diazepam 0,125-0,5 mg/kg IV yang diikuti
dengan injeksi fentanyl 50 µg/kg IV akan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler dan
penurunan tekanan darah sistemik.
Pada otot skeletal, diazepam menurunkan tonus otot. Efek ini didapat dengan
menurunkan impuls dari saraf gamma di spinal. Keracunan diazepam didapatkan bila
konsentrasi plasmanya > 1000ng/ml.
Penggunaan diazepam sebagai sedasi pada anestesi telah digantikan oleh midazolam.
Sehingga diazepam lebih banyak digunakan untuk mengatasi kejang. Efek anti kejang
didapatkan dengan menghambat neuritransmitter GABA. Dibanding barbiturat yang
mencegah kejang dengan depresi non selektif CNS, diazepam secara selektif menghambat
aktivitas di sistem limbik, terutama di hippokampus.
c. Lorazepam
Lorazepam memiliki struktur yang sama dengan oxazepam, hanya berbeda pada
adanya klorida ekstra pada posisi orto 5-phenyl moiety. Lorazepam lebih kuat dalam sedasi
dan amnesia dibanding midazolam dan diazepam sedangkan efek sampingnya sama.
Lorazepam dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hati menjadi bentuk inaktif
yang diekskresikan di ginjal. Waktu paruhnya lebih lama yaitu 10-20 jam dengan ekskresi
urin > 80% dari dosis yang diberikan. Karena metabolismenya tidak dipengaruhi oleh enzim
mikrosom di hati, maka metabolismenya tidak dipengaruhi oleh umur, fungsi hepar dan obat
penghambat enzim P-450 seperti simetidin. Namun onset kerja lorazepam lebih lambat
dibanding midazolam dan diazepam karena kelarutan lemaknya lebih rendah.
20
Lorazepam diserap baik bila diberikan secara oral dan IM dan mencapai konsentrasi
puncak dalam 2-4 jam dan terus bertahan efeknya selama 24-48 jam. Sebagai premedikasi,
digunakan dosis oral 50µg/kg (maks 4 mg) yang akan menimbulkan sedasi yang cukup dan
amnesia selama ± 6 jam. Penambahan dosis akan meningkatkan sedasi tanpa penambahan
efek amnesia. Lorazepam tidak bermanfaat pada operasi singkat karena durasi kerja yang
lama.
Onset kerja lambat lorazepam merupakan kekurangan lorazepam bila digunakan
sebagai induksi anestesi, sedasi selama regional anestesi dan sebagai anti kejang. Lorazepam
akan bermanfaat bila digunakan sebagai sedasi pada pasien yang diintubasi.
d. Oxazepam
Oxazepam merupakan metabolit aktif dari diazepam. Durasi kerjanya lebih pendek
dibanding diazepam karena di sirkulasi akan dikonjugasi dengan asam glukoronat menjadi
metabolit inaktif. Waktu paruhnya 5-15 jam dan tidak dipengaruhi oleh fungsi hepar atau
pemberian simetidin. Absorbsi oral oxazepam sangat lambat sehingga tidak bermanfaat pada
pengobatan insomnia dengan kesulitan tidur. Namun bermanfaat pada insomnia memiliki
periode tidur yang pendek atau sering terbangun di malam hari.
e. Alprazolam
Alprazolam memiliki efek mengurangi kecemasan pada pasien dengan kecemasan
atau serangan panik. Alprazolam merupakan alternatif untuk premedikasi pengganti
midazolam.
E. Ketamin
Ketamin adalah suatu “rapid acting non barbiturat general anesthethic” termasuk
golongan fenyl cyclohexylamine dengan rumus kimia 2-(0-chlorophenil) 2 (methylamino)
cyclohexanone hydrochloride. Pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carsen pada
tahun 1965. Ketamin mempuyai efek analgesi yang kuat sekali akan tetapi efek hipnotiknya
kurang (tidur ringan) yang disertai penerimaan keadaan lingkungan yang salah (anestesi
disosiasi).
21
Ketamin merupakan zat anestesi dengan aksi satu arah yang berarti efek analgesinya
akan hilang bila obat itu telah didetoksikasi/dieksresi, dengan demikian pemakaian lama
harus dihindarkan. Anestetik ini adalah suatu derivat dari pencyclidin suatu obat anti
psikosa. Induksi ketamin pada prinsipnya sama dengan tiopental. Namun penampakan
pasien pada saat tidak sadar berbeda dengan bila menggunakan barbiturat. Pasien tidak
tampak “tidur”. Mata mungkin tetap terbuka tetapi tidak menjawab bila diajak bicara dan
tidak ada respon terhadap rangsangan nyeri. Tonus otot rahang biasanya baik setelah
pemberian ketamin. Demikian juga reflek batuk. Untuk prosedur yang singkat ketamin dapat
diberikan secara iv/im setiap beberapa menit untuk mencegah rasa sakit.
Ketamin bersifat non-kompetitif phenycyclidine di reseptor N-Methyl D Aspartat
(NMDA). Ketamin juga memiliki efek pada resetor lain termasuk reseptor opioid, reseptor
muskarinik, reseptor monoaminergik, kanal kalsium tipe L dan natrium sensitif voltase.
Tidak seperti propofol dan etomidate, katamin memiliki efek lemah pada reseptor GABA.
Mediasi inflamasi juga dihasilkan lokal melalui penekanan pada ujung saraf yang dapat
mengaktifasi netrofil dan mempengaruhi aliran darah. Ketamin mensupresi produksi netrofil
sebagai mediator radang dan peningkatan aliran darah. Hambatan langsung sekresi sitokin
inilah yang menimbulkan efek analgesia.
Reseptor NMDA (famili glutamate reseptor) adalah ligand gated ion channel yang
unik dimana pengaktifannya memerlukan neurotransmiter eksitatori, glutamat dengan glisin
sebagai coagonis obligatnya. Ketamin menghambat aktifasi reseptor NMDA oleh glutamat,
menurunkan pelepasan glutamat dari post sinaps, efek potensiasi dari neurotransmiter
penghambat, gama aminobutyric acid. Interaksi dengan phencyclidine menyebabkan efek
stereoselektif dimana isomer S(+) memiliki afinitas terbesar.
Ketamin dilaporkan memiliki interaksi dengan reseptor opioid mu, delta, dan kappa.
Namun, studi lain menyatakan ketamin memiliki efek antagonis pada reseptor mu namun
memiliki efek agonis pada reseptor kappa. Ketamin juga berinteraksi dengan reseptor sigma,
walaupun reseptor ini masih belum jelas apakah merupakan reseptor opioid dan ikatannya
masih lemah.
Aksi antinosiseptif ketamin dihubungkan efeknya terhadap penurunan jalur
penghambat nyeri monoaminergik. Anestesia ketamin sebagian berantagonis dengan obat
antikolinergik. Sebagai kenyataannya, ketamin memiliki efek dengan gejala antikolinergik
22
(delirium emergensi, bronkodilatasi, aksi simpatomimetik) sehingga efek antagonis terhadap
reseptor muskarinik lebih tampak nyata daripada efek agonisnya.
Ketamin dimetabolisme secara ekstensif oleh enzim microsomal hati. Bagian
terpenting dari metabolisme ini adalah demetilasi ketamin oleh sitokrom p-450 sehingga
terbentuk norketamin. Pada hewan, norketamin lebih kuat 1/5 – 1/3 daripada ketamin.
Metabolit aktif ini lah yang juga menambah efek panjang ketamin, terutama pada dosis yang
diulang atau administrasi lewat infus. Norketamin sering terhidroxilasi kemudian
berkonjugasi sehingga lebih larut dalam air dan metabolisme dengan glukoronidase
diekskresikan di ginjal. Penggunaan infus ketamin <4% memungkinkan ketamin
diekskresikan di urin sebagai bentuk yang tak diubah. Ekskresi lewat feses ditemukan <5%.
Penggunaan yang sering menstimulasi enzim yang memetabolismenya sehingga sering
terjadi toleransi terhadap efek analgesia ketamin. Selain terjadi peningkatan toleransi
ketamin terjadi pula efek ketergantungan ketamin.
Intensitas analgesia pada dosis subanestesia yakni 0,2 – 0,5 mg/kgBB secara
intravena. Konsentrasi plasma ketamin memiliki efek analgesia lebih rendah dari pada
pemakaian secara oral daripada intramuskular yang dinilai dari konsentrasi norketamin
akibat metabolisme awal di hati yang terjadi pada pemakaian secara oral. Efek analgesia ini
lebih nyata pada nyeri somatik dibandingkan nyeri viseral. Efek ketamin ini disebabkan
aktifitasnya pada talamus dan sistem limbik yang bertanggung jawab terhadap interpretasi
nyeri. Dosis yang lebih rendah dapat juga digunakan sebagai tambahan analgesia opioid.
Induksi ketamin didapatkan dari pemakaian ketamin 1-2 mg/kgBB secara intravena
dan 4-8 mg/kgBB pada pemakaian secara intramuskular. Suntikan ketamin tidak
menimbulkan nyeri dan iritasi pada vena. Dosis yang lebih besar meningkatkan metabolisme
katamin. Kesadaran hilang 30-60 detik setelah pemakaian secara intravena dan 2-4 menit
pemakaian secara intramuskular. Penurunan kesadaran sebading atau berbeda sedikit
terhadap penurunan refleks faring dan laring. Pengembalian kesadaran terjadi 10-20 menit
seletal dosis induksi ketamin, namun orientasi kembali sepenuh nya setelah 60-90 menit.
Amnesia terjadi pada menit ke 60- 90 setelah pemulihan kesadaran namun ketamin tidak
menimbulkan amnesia retrograde.
Induksi anestesia pada pasien hipovolemik memberikan efek positif terhadap
stimulasi kardiovaskular. Namun, seperti semua obat anestesia, bisa saja menyebabkan
23
depresi myokardiak, terutama jika penyimpanan katekolamin endogen berkurang dan respon
saraf simpatis berubah.
Penggunaan ketamin pada pasien PJK meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung
yang berhubungan dengan efek simpatomimetik ketamin. Hilangnya refleks kardioprotektif
yang hilang sering dihubungkan dengan racemik ketamin terutama pada pasien yang
memiliki riwayat PJK. Penggunaan diazepam 0,5mg/kgBB intravena dan ketamin 0,5
mg/kgBB diikuti infus ketamin 15-30 μg/kgBB/menit sering digunakan pada pasien yang
memiliki riwayat PJK. Kombinasi propofol dan ketamin menimbukan efek hemodinamik
yaang lebih stabil daripada kombinasi propofol dan fentanil ketika menghindari efek
emergensi yang disertai penggunaan ketamin dengan dosis yang lebih.
Keuntungan ketamin pada resistensi saluran napas disebabkan bronkodilatasi yang
disebabkan obat sangat berguna pada induksi cepat pasien asma. Ketamin harus diperhatikan
penggunaannya atau dihindari pada pasien hipertensi pulmonal atau sistemik dan pada
pasien dengan peningkatan TIK. Nistagmus sering terjadi pada pemakaian ketamin.
B. Obat Anestesi Lokal
Anestetik lokal adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal
pada jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Anestetik lokal bekerja pada tiap bagian susunan
saraf.
Anestetik lokal bekerja merintangi secara bolak-balik penerusan impuls-impuls saraf ke
Susunan Saraf Pusat (SSP) dan dengan demikian menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri,
gatal-gatal, rasa panas atau rasa dingin. Anestetik lokal mencegah pembentukan dan konduksi
impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di mukosa. Disamping itu, anestesia lokal mengganggu
fungsi semua organ dimana terjadi konduksi/transmisi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi
lokal mempunyai efek yang penting terhadap SSP, ganglia otonom, cabang-cabang
neuromuskular dan semua jaringan otot.
Persyaratan obat yang boleh digunakan sebagai anestesi lokal:
• Tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen
• Batas keamanan harus lebar
24
• Efektif dengan pemberian secara injeksi atau penggunaan setempat pada membrane
mukosa
• Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu yang yang
cukup lama
• Dapat larut air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga stabil terhadap pemanasan.
Anestesi lokal sering kali digunakan secara parenteral (injeksi) pada pembedahan kecil
dimana anestesi umum tidak perlu atau tidak diinginkan. Jenis anestesi lokal dalam bentuk
parenteral yang paling banyak digunakan adalah:
Anestesi permukaan.
Sebagai suntikan banyak digunakan sebagai penghilang rasa oleh dokter gigi untuk
mencabut geraham atau oleh dokter keluarga untuk pembedahan kecil seperti menjahit luka di
kulit. Sediaan ini aman dan pada kadar yang tepat tidak akan mengganggu proses penyembuhan
luka.
Anestesi Infiltrasi.
Tujuannya untuk menimbulkan anestesi ujung saraf melalui injeksi pada atau sekitar
jaringan yang akan dianestesi sehingga mengakibatkan hilangnya rasa di kulit dan jaringan yang
terletak lebih dalam, misalnya daerah kecil di kulit atau gusi (pada pencabutan gigi).
Anestesi Blok
Cara ini dapat digunakan pada tindakan pembedahan maupun untuk tujuan diagnostik
dan terapi.
Anestesi Spinal
Obat disuntikkan di tulang punggung dan diperoleh pembiusan dari kaki sampai tulang
dada hanya dalam beberapa menit. Anestesi spinal ini bermanfaat untuk operasi perut bagian
bawah, perineum atau tungkai bawah.
Anestesi Epidural
Anestesi epidural (blokade subarakhnoid atau intratekal) disuntikkan di ruang epidural
yakni ruang antara kedua selaput keras dari sumsum belakang.
Anestesi Kaudal
Anestesi kaudal adalah bentuk anestesi epidural yang disuntikkan melalui tempat yang
berbeda yaitu ke dalam kanalis sakralis melalui hiatus skralis. Efek sampingnya adalah akibat
dari efek depresi terhadap SSP dan efek kardiodepresifnya (menekan fungsi jantung) dengan
25
gejala penghambatan penapasan dan sirkulasi darah. Anestesi lokal dapat pula mengakibatkan
reaksi hipersensitasi.
Secara umum anestetik lokal mempunyai rumus dasar yang terdiri dari 3 bagian: gugus
amin hidrofil yang berhubungan dengan gugus residu aromatik lipofil melalui suatu gugus
antara. Gugus amin selalu berupa amin tersier atau amin sekunder. Gugus antara dan gugus
aromatic dihubungkan dengan ikatan amid atau ikatan ester. Maka secara kimia anestetik lokal
digolongkan atas senyawa ester dan senyawa amida.
1) Dibukain
Devirat kuinon ini, merupakan anestetik lokal yang paling kuat, paling toksik dan
mempunyai masa kerja panjang. Dibandingkan dengan prokain, dibukain kira-kira 15 kali lebih
kuat dan toksik dengan masa kerja 3 kali lebih panjang. Dibukain HCl digunakan untuk
anesthesia suntikan pada kadar 0,05-0,1%; untuk anesthesia topical telinga 0,5-2%; dan untuk
kulit berupa salep 0.5-1%. Dosis total dibukain pada anesthesia spinal ialah 7,5-10mg.
2) Lidokain
Lidokain (Xilokain) adalah anestetik lokal yang kuat yang digunakan secara luas dengan
pemberian topical dan suntikan. Anestesi terjadi lebih cepat, lebih kuat, lebih lama dan lebih
ekstensif daripada yang ditimbulkan oleh prokain. Lidokain merupakan aminoetilamid. Pada
larutan 0,5% toksisitasnya sama, tetapi pada larutan 2% lebih toksik daripada prokain. Larutan
lidokain 0,5% digunakan untuk anesthesia infiltrasi, sedangkan larutan 1,0-2% untuk anesthesia
blok dan topical. Anesthesia ini efektif bila digunakan tanpa vasokonstriktor, tetapi kecepatan
absorbs dan toksisitasnya bertambah dan masa kerjanya lebih pendek. Lidokain merupakan obat
terpilih bagi mereka yang hipersensitif terhadap prokain dan juga epinefrin. Lidokain dapat
26
menimbulkan kantuk sediaan berupa larutan 0,5%-5% dengan atau tanpa epinefrin. (1:50.000
sampai 1: 200.000).
Lidokain mudah diserap dari tempat suntikan, dan dapat melewati sawar darah otak.
Kadarnya dalam plasma fetus dapat mencapai 60% kadar dalam darah ibu. Di dalam hati,
lidokain mengalami deakilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (Mixed- Function Oxidases )
membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid. Kedua metabolit monoetilglisin xilidid
maupun glisin xilidid ternyata masih memiliki efek anestetik lokal. Pada manusia 75% dari
xilidid akan disekresi bersama urin dalam
membentuk metabolit akhir, 4 hidroksi-2-6 dimetil-anilin.
Efek samping lidokain biasanya berkaitan dengan efeknya terhadap SSP, misalnya
mengantuk, pusing, parestesia, gangguan mental, koma, dan seizures. Mungkin sekali metabolit
lidokain yaitu monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid ikut berperan dalam timbulnya efek
samping ini.
Lidokain dosis berlebihan dapat menyebabkan kematian akibat fibrilasi ventrikel, atau
oleh henti jantung Lidokain sering digunakan secara suntikan untuk anesthesia infiltrasi,
blockade saraf, anesthesia epidural ataupun anesthesia selaput lender. Pada anesthesia infitrasi
biasanya digunakan larutan 0,25% - 0,50% dengan atau tanpa adrenalin. Tanpa adrenalin dosis
total tidak boleh melebihi 200mg dalam waktu 24 jam, dan dengan adrenalin tidak boleh
melebihi 500 mg untuk jangka waktu yang sama. Dalam bidang kedokteran gigi, biasanya
digunakan larutan 1 – 2 % dengan adrenalin; untuk anesthesia infiltrasi dengan mula kerja 5
menit dan masa kerja kira-kira satu jam dibutuhkan dosis 0,5 – 1,0 ml. untuk blockade saraf
digunakan 1 – 2 ml.
Lidokain dapat pula digunakan untuk anesthesia permukaan. Untuk anesthesia rongga
mulut, kerongkongan dan saluran cerna bagian atas digunakan larutan 1-4% dengan dosis
maksimal 1 gram sehari dibagi dalam beberapa dosis. Pruritus di daerah anogenital atau rasa
sakit yang menyertai wasir dapat dihilangkan dengan supositoria atau bentuk salep dan krem 5
%. Untuk anesthesia sebelum dilakukan tindakan sistoskopi atau kateterisasi uretra digunakan
lidokain gel 2 % dan selum dilakukan bronkoskopi atau pemasangan pipa endotrakeal biasanya
digunakan semprotan dengan kadar 2-4%. Lidokain juga dapat menurunkan iritabilitas jantung,
karena itu juga digunakan sebagai aritmia.
27
3) Mepivakain HCl
Devirat amida dari xylidide ini cukup populer sejak diperkenalkan untuk tujuan klinis
pada akhir 1950-an. Anestetik lokal golongan amida ini sifat farmakologiknya mirip lidokain.
Mepivekain digunakan untuk anesthesia infiltrasi, blockade saraf regional dan anesthesia spinal.
sediaan untuk suntikan merupakan larutan 1,0; 1,5 dan 2%.
Kecepatan timbulnya efek, durasi aksi, potensi, dan toksisitasnya mirip dengan lidokain.
Mepivakain tidak mempunyai sifat alergenik terhadap agen anestesi lokal tipe ester. Agen ini
dipasarkan sebagai garam hidroklorida dan dapat digunakan untuk anestesi infiltrasi atau
regional namun kurang efektif bila digunakan untuk anestesi topikal. Mepivakain dapat
menimbulkan vasokonstriksi lebih ringan daripada lignokain tetapi biasanya mepivacain
digunakan dalam bentuk larutan dengan penambahan adrenalin 1: 80.000. maksimal 5 mg/kg
berat tubuh. Satu buah cartridge biasanya sudah cukup untuk anestesi infiltrasi atau regional.
Mepivakain kadang-kadang dipasarkan dalam bentuk larutan 3 % tanpa penambahan
vasokonstriktor, untuk medapat kedalaman dan durasi anestesi pada pasien tertentu di mana
pemakaian vasokonstriktor merupakan kontradiksi. Larutan seperti ini dapat menimbulkan
anestesi pulpa yang berlangsung antara 20-40 menit dan anestesi jaringan lunak berdurasi 2-4
jam.
Obat ini jangan digunakan pada pasien yang alergi terhadap anestesi lokal tipe amida,
atau pasien yang menderita penyakit hati yang parah. Mepivakain lebih toksik terhadap neonatus,
dan karenanya tidak digunakan untuk anestesia obstetrik. Mungkin ini ada hubungannya dengan
pH darah neonates yang lebih rendah, yang menyebabkan ion obat tersebut terperangkap, dan
memperlambat metabolismenya. Pada orang dewasa, indeks terapinya lebih tinggi daripada
lidokain.
Mula kerjanya hampir sama dengan lidokain, tetapi lama kerjanya lebih panjang sekitar
20%. Mepivakain tidak efektif sebagai anestetik topikal. Toksisitas mepivacain serata dengan
lignokain (lidokain) namun bila mepivacain dalam darah sudah mencapai tingkat tertentu, akan
terjadi eksitasi system saraf sentral bukan depresi, dan eksitasi ini dapat berakhir berupa konvulsi
dan depresi respirasi.
4) Prilokain
Walaupun merupakan devirat toluidin, agen anestesi lokal tipe amida ini pada dasarnya
mempunyai formula kimiawi dan farmakologi yang mirip dengan lignokain dan mepivakain.
28
Anestetik lokal golongan amida ini efek farmakologiknya mirip lidokain, tetapi mula kerja dan
masa kerjanya lebih lama daripada lidokain. Prilokain juga menimbulkan kantuk seperti lidokain.
Sifat toksik yang unik ialah prilokain dapat menimbulkan methemoglobinemia. Walaupun
methemoglobinemia ini mudah diatasi dengan pemberian biru-metilen intravena dengan dosis 1-
2 mg/kgBB larutan 1 % dalam waktu 5 menit; namun efek terapeutiknya hanya berlangsung
sebentar, sebab biru metilen sudah mengalami bersihan, sebelum semua methemoglobin sempat
diubah menjadi Hb.
Anestetik ini digunakan untuk berbagai macam anestesia disuntikan dengan sediaan
berkadar 1,0; 2,0 dan 3,0%. Prilokain umumnya dipasarkan dalam bentuk garam hidroklorida
dengan nama dagang Citanest dan dapat digunakan untuk mendapat anestesi infiltrasi dan
regional. Namun prilokain biasanya tidak dapat digunakan untuk mendapat efek anestesi
topikal.Prilokain biasanya menimbulkan aksi yang lebih cepat daripada lidokain namun anastesi
yang ditimbulkannya tidaklah terlalu dalam. Prilokain juga kurang mempunyai efek vasodilator
bila dibanding dengan lidokain dan biasanya termetabolisme dengan lebih cepat.
Obat ini kurang toksik dibandingkan dengan lignokain tetapi dosis total yang
dipergunakan sebaiknya tidak lebih dari 400 mg.Salah satu produk pemecahan prilokain adalah
ortotoluidin yang dapat menimbulkan metahaemoglobin. Metahaemoglobin yang cukup besar
hanya dapat terjadi bila dosis obat yang dipergunakan lebih dari 400 mg. metahaemoglobin 1 %
terjadi pada penggunaan dosis 400 mg, dan biasanya diperlukan tingkatan metahaemoglobin
lebih dari 20 % agar terjadi simtom seperti sianosis bibir dan membrane mukosa atau kadang-
kadang depresi respirasi. Karena pemakainan satu cartridge saja sudah cukup untuk mendapat
efek anestesi infiltrasi atau regional yang diinginkan, dan karena setiap cartridge hanya
mengandung 80 mg prilokain hidroklorida, maka resiko terjadinya metahaemoglobin pada
penggunaan prilokain untuk praktek klinis tentunya sangat kecil.
Walaupun demikian, agen ini jangan digunakan untuk bayi, penderita
metaharmoglobinemia, penderita penyakit hati, hipoksia, anemia, penyakit ginjal atau gagal
jantung, atau penderita kelainan lain di mana masalah oksigenasi berdampak fatal, seperti pada
wanita hamil. Prilokain juga jangan dipergunakan pada pasien yangmempunyai riwayat alergi
terhadap agen anetesi tipe amida atau alergi paraben.Penambahan felypressin (octapressin)
dengan konsistensi 0,03 i.u/ml (=1:200.000) sebagai agen vasokonstriktor akan dapat
meningkatakan baik kedalam
29
maupun durasi anestesi. Larutan nestesi yang mengandung felypressin akan sangat bermanfaat
bagi pasien yang menderita penyakit kardio-vaskular.
5) Bupivakain (Markain)
Struktur mirip dengan lidokain, kecuali gugus yang mengandung amin dan butyl
piperidin. Merupakan anestetik lokal yang mempunyai masa kerja yang panjang, dengan efek
blockade terhadap sensorik lebih besar daripada motorik. Karena efek ini bupivakain lebih
popular digunakan untuk memperpanjang analgesia selama persalinan dan masa
pascapembedahan. Suatu penelitian menunjukan bahwa bupivakain dapat mengurangi dosis
penggunaan morfin dalam mengontrol nyeri pada
pascapembedahan Caesar. Pada dosis efektif yang sebanding, bupivakain lebih kardiotoksik
daripada lidokain.
Lidokain dan bupivakain, keduanya menghambat saluran Na+ jantung (cardiac Na+
channels) selama sistolik. Namun bupivakain terdisosiasi jauh lebih lambat daripada lidokain
selama diastolic, sehingga ada fraksi yang cukup besar tetap terhambat pada akhir diastolik.
Manifestasi klinik berupa aritma ventrikuler yang berat dan depresi miokard. Keadaan ini dapat
terjadi pada pemberian bupivakain dosis besar. Toksisitas jantung yang disebabkan oleh
bupivakain sulit diatasi dan bertambah berat dengan adanya asidosis, hiperkarbia, dan
hipoksemia. Ropivakain juga merupakan anestetik lokal yang mempunyai masa kerja panjang,
dengan toksisitas terhadap jantung lebih rendah daripada bupivakain pada dosis efektif yang
sebanding, namun sedikit kurang kuat dalam menimbulkan anestesia dibandingkan
bupivakain.Larutan bupivakain hidroklorida tersedia dalam konsentrasi 0,25% untuk anestesia
infiltrasi dan 0,5% untuk suntikan paravertebral. Tanpa epinefrin, dosis maksimum untuk
anesthesia infiltrasi adalah sekitar 2 mg/KgBB.
C. Analgetik
Obat analgetik adalah obat yang mempunyai efek menghilangkan atau mengurangi nyeri
tanpa disertai hilangnya kesadaran atau fungsi sensorik lainnya. Obat analgesik bekerja dengan
meningkatkan ambang nyeri, mempengaruhi emosi (sehingga mempengaruhi persepsi nyeri),
menimbulkan sedasi atau sopor (sehingga nilai ambang nyeri naik) atau mengubah persepsi
modalitas nyeri. Pada dasarnya obat analgesik dapat digolongkan ke dalam analgesik golongan
30
narkotik dan analgesik golongan non-narkotik. Narkotik adalah bahan atau zat yang punya efek
mirip Morfin yang menimbulkan efek narkosis (keadaan seperti tidur). Analgesik opiat adalah
obat yang mempunyai efek analgesik kuat tetapi tidak menimbulkan efek narkosis dan adiksi
sebagaimana Morfin, maka nama analgesik narkotik kurang tepat.
Definisi nyeri menurut The International Association for the Study of Pain adalah
pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang disertai oleh kerusakan
jaringan secara potensial dan aktual. Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya
(noksius, protofatik) atau yang tidak berbahaya (non-noksius, epikritik) misalnya sentuhan
ringan, kehangatan, tekanan ringan.
D. Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
Morfin. Opioid sering digunakan dalam anestesi untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan
dan nyeri pasca pembedahan. Bahkan terkadang digunakan untuk anestesi narkotik total pada
pembedahan jantung. Opium adalah getah candu. Opiat adalah obat yang dibuat dari opium.
Analgesik opioid digolongkan dalam 3 kelompok, di antaranya adalah agonis opiat, antagonis
opiat dan kombinasi.
1) Morfin
Morfin adalah bentuk pertama agonis opioid dan pembanding bagi opioid lainnya. Pada
manusia, morfin menghasilkan analgesi, euforia, sedasi, dan mengurangi kemampuan untuk
berkonsentrasi, nausea, rasa hangat pada tubuh, rasa berat pada ekstremitas, mulut kering, dan
pruritus, terutama di wilayah kulit sekitar hidung. Morfin tidak menghilangkan penyebab nyeri,
tetapi meningkatkan ambang nyeri dan mengubah persepsi berbahaya yang dialami tidak sebagai
nyeri. Efek analgesia akan optimal apabila morfin diberikan sebelum stimulus nyeri timbul.
Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian IM, dengan onset antara 15 -30 menit
dan efek tertinggi antara 45-90 menit serta durasinya sekitar 4 jam. Morfin tidak diserap secara
baik melalui pemberian oral. Morfin biasa diberikan secara IV selama masa operasi. Efek puncak
setelah pemberian morfin IV lebih lambat dibandingkan dengan opioid lain seperti fentanyl,
yaitu sekitar 15-30 menit.
Pemberian cepat IV tidak memiliki pengaruh farmakologis karena lambatnya obat
menembus sawar darah otak. Konsentrasi CSF puncak morfin antara 15-30 menit setelah
31
pemberian IV dan menurun lebih lambat dibandingkan konsentrasi plasma. Analgesia cukup
mungkin membutuhkan rumatan konsentrasi plasma morfin paling tidak 0,05µg/ml.
Morfin dimetabolisme melalui dua jalur, yaitu hepatik dan ekstra hepatik. Morfin
dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hepatik sedangkan jalur ekstra hepatik lebih banyak
terjadi di ginjal. Metabolisme ginjal memegang peranan utama dalam metabolisme morfin. Hal
ini menjelaskan mengapa tidak terjadi penurunan klirens morfin plasma pada pasien sirosis
hepatis atau pada fase anhepatik pasien transplantasi hati. Hal ini dimungkinkan karena
terjadinya peningkatan metabolisme morfin di ginjal pada pasien dengan gangguan hati.
Sebaliknya pada pasien gagal ginjal, ekskresi morfin glukoronat akan terganggu dan
menyebabkan akumulasi metabolit morfin dan depresi napas yang tak terduga pada dosis opioid
kecil. Ikatan morfin glukoronat juga dapat dirusak oleh monoamin oksidase inhibitor yang akan
menyebabkan efek morfin yang berlebihan bila kedua obat diberikan bersamaan.
Efek samping morfin juga terdapat pada agonis opioid lain, walaupun insiden dan
besarnya tidak sama. Efek samping morfin dijelaskan berdasarkan sistem dan gejala yang
ditimbulkannya.
2) Meperidin (phetydin)
Meperidine adalah agonis opioid sintetik pada reseptor mu dan kappa yang diturunkan
dari fenilpiperidine. Ada beberapa analog dari meperidine termasuk fentanyl, sufentanyl,
alfentanyl dan remifentanyl. Secara struktur, meperidine mirip dengan atropin dan memiliki efek
anti spasmodik yang ringan. Namun, secara farmakalogi efek meperidine sama dengan morfin.
Potensi meperidine sekitar sepersepuluh dari morfin, dimana dosis 80-100 mg IM
meperidine sama dengan 10 mg morfin. Durasi kerja meperidine sekitar 2-4 jam, lebih pendek
daripada morfin. Pada dosis analgesik yang sama, meperidine memiliki efek samping yang sama
dengan morfin. Meperidin diserap lebih baik melalui saluran cerna dibandingkan morfin,
walaupun hanya setengahnya yang efektif dibandingkan dengan pemberian IM.
Metabolisme di hati memegang peranan besar, 90% obat akan mengalami demetilasi
menjadi normeperidine dan dihidrolisis menjadi asam meperidinic. Ekskresi melalui urin
tergantung pada pH, pada pH yang asam meperidine akan lebih banyak diekskresikan secara
utuh.
Normeperidine memiliki waktu paruh 15 jam (35 jam pada gagal ginjal) dan dapat
dideteksi pada urin hingga 3 hari setelah pemberian. Metabolit ini memiliki efek analgesia
32
separuh daripada meperidine namun menimbulkan stimulasi pada CNS. Toksisitas
normeperidine berupa myoklonus dan kejang timbul pada pasien dengan pemberian lama obat
dan pada pasien gagal ginjal.
Meperidine digunakan sebagai analgesik selama proses persalinan dan post operasi.
Meperidine akan bekerja secara baik apabila diberikan secara intra tekal. Konsentrasi analgesik
palsma meperidine sangat bervariasi diantara pasien. Konsetrasi plasma meperidine sekitar 0,7
µg/mL akan memberikan analgesia yang cukup pada post operasi. Dosis total yang diberikan
antara 12-36 mg/jam.
Meperidine juga efektif mencegah menggigil akibat penggunaan oksigen yang
berlebihan. Efek ini karena stimulasi reseptor kappa dan agonis reseptor alpha2 yang membantu
efek anti menggigil. Keuntungan lain meperidine adalah pemberian oral. Namun meperidine
tidak memiliki efek anti diare dan antitussif seperti morfin. Sehingga penggunaan meperidine
pada bronkoskopi kurang baik. Meperidine tidak boleh diberikan dalam dosis besar karena efek
inotropic negatif pada jantung dan pelepasan histamin.
Efek samping yang timbul antara lain hipotensi ortostatic akibat kompensasi reflek saraf
simpatik. Meperidin lebih sering meningkatkan denyut jantung daripada bradikardi. Delirium
dan kejang juga terjadi akibat akumulasi normeperidine di dalam CNS. Serotonin sindrom
(hipertensi tidak stabil, takikardi, diaforesis, hipertermi, confusion, delirium dan hiperreflek)
dapat terjadi bila meperidine diberikan pada pasien yang mendapat obat-obatan antidepressant
(MAO inhibitor, fluoxetine).
Efek depresi napas dan tranport melewati plasenta meperidine lebih berat dibandingkan
morfin. Namun efek konstipasi dan retensi urin lebih rendah dibanding morfin. Meperidine lebih
memiliki efek seperti atropin dibandingkan morfin. Midriasis, mulut kering, peningkatan denyut
jantung lebih banyak terjadi pada meperidine. Efek otonom karena ketergantungan meperidine
lebih rendah dibandingkan morfin. Namun waktu toleransinya lebih pendek dibandingkan
morfin.
3) Fentanil
Fentanil adalah sebuah analgesik opioid yang potent. Nama kimiawinya adalah N-
Phenyl-N-(1-2-phenylethyl-4-piperidyl) propanamide. Pertama kali disintesa di Belgia pada
akhir tahun 1950. Fentanil memiliki besar potensi analgesik 80 kali lebih baik daripada Morfin,
33
dikenalkan pada praktek kedokteran pada tahun 1960-an sebagai anestesi intravena dengan nama
merek dagang Sublimaze. Kemudian dikenalkan juga analog dari Fentanil yaitu alfentanil
(Alfenta) dan Sufentanil (Sufenta) di mana Sufentanil memiliki potensi lebih baik daripada
Fentanil yakni sebesar 5 sampai 10 kali, dan Sufentanil ini biasanya digunakan di dalam operasi
jantung.
Fentanil dalam dosis ekuianalgesik menimbulkan depresi napas sama kuat dengan Morfin
dan mencapai puncaknya dalam 1 jam setelah suntikan IM. Kedua obat ini menurunkan
kepekaan pusat nafas terhadap CO2 dan mempengaruhi pusat napas yang mengatur irama napas
dalam pons. Berbeda dengan Morfin, Fentanil terutama menurunkan tidal volume, sehingga efek
depresi nafas oleh Fentanil tidak disadari. Depresi napas oleh Fentanil dapat dilawan oleh
Nalokson dan antagonis opioid lain.
Pemberian Fentanil secara sistemik menimbulkan anestesi kornea, dengan akibatnya
menghilangnya reflek kornea. Berbeda dengan Morfin, Fentanil tidak mempengaruhi diameter
pupil dan refleks pupil. Seperti Morfin dan Metadon, Fentanil meningkatkan kepekaan alat
keseimbangan yang merupakan dasar timbulnya mual, muntah dan pusing pada mereka yang
berobat jalan. Seperti Morfin dan Metadon, Fentanil tidak berefek antikonvulsi. Fentanil
menyebabkan penglepasan ADH.
Pada sistem kardiovaskular, pemberian dosis terapi Fentanil pada pasien yang berbaring
tidak mempengaruhi kardiovaskular, tidak menghambat kontraksi miokard dan tidak mengubah
gambaran EKG. Penderita berobat jalan mungkin menderita sinkop disertai penurunan tekanan
darah, tetapi gejala ini cepat hilang jika penderita berbaring. Sinkop timbul pada penyuntikan
cepat Fentanil IV karena terjadi vasodilatasi perifer dan penglepasan Histamine. Seperti Morfin,
Fentanil dapat menaikkan kadar CO2 darah akibat depresi napas; kadar CO2 yang tinggi ini
menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak sehingga timbul kenaikan tekanan cairan
serebrospinal.
Fentanil dapat menghilangkan bronkhospasme oleh Histamin dan Metakolin, namun
pemberian dosis terapi Fentanil tidak banyak mempengaruhi otot bronchus normal. Dalam dosis
besar justru dapat menimbulkan bronkokonstriksi. Setelah pemberian Fentanil dosis terapi,
peristaltik ureter berkurang. Hal ini disebabkan berkurangnya produksi urine akibat
dilepaskannya ADH dan berkurangnya laju filtrasi glomerulus.
Beberapa indikasi penggunaan Fentanil, yaitu :
34
• Nyeri hebat karena luka bakar.
• Pasien-pasien yang alergi dengan Morfin.
• Nyeri hebat karena fraktur tulang.
• Nyeri non-traumatik seperti batu pada ginjal.
• Pasien-pasien yang menderita kanker.
Beberapa kontra indikasi penggunaan Fentanil, yaitu:
• Adanya gangguan atau depresi pernafasan.
• Hipotensi yang tidak terkoreksi.
• Alergi terhadap zat-zat narkotik.
• Pasien-pasien dengan curiga klinis cedera kepala, dada, atau cedera perut.
Anestesi atau sedasi Dosis: 1-3 μg/kg/dose (maksimal : 50 μg) IV or IM Bisa diulang
(dengan dosis yang sama) Kebanyakan pasien memerlukan 3-5 dosis Fentanil (3-5 μg/kg). Untuk
Dewasa, dosis fentanil Transdermal (Duragesic®), memperhatikan: jumlah yang diperbolehkan :
25, 50, 75, 100 μg/hour, onset untuk berefek penuh hanya setelah 24 jam, dan mengganti koyo
Fentanil setiap 3 hari sekali. Untuk tablet Transmucosal (Actiq®), memperhatikan: jumlah yang
diperbolehkan : 200, 400, 800, 1200, 1600 μg, Dosis maksimal 4 tablet sehari.
Fentanil bisa menyebabkan depresi pernafasan, sediakan selalu peralatan resusitasi. Bisa
menyebabkan mual dan atau muntah. Dosis tinggi bisa menyebabkan kekakuan otot yang
menimbulkan kesulitan ventilasi. Dosis Fentanil 100 μg ekuivalen dengan 10 mg Morfin.
4) Tramadol
Tramadol merupakan analgesik yang bekerja secara sentral dengan berikatan pada
reseptor mu dan berikatan lemah pada reseptor kappa dan delta. Potensi analgesik tramadol 5-10
kali lebih lemah daripada morfin.
Tramadol dengan dosis 3 mg/kg dapat diberikan secara oral, IM atau IV untuk mengatasi
nyeri sedang hingga berat. Keuntungan pemberian tramadol adalah tidak adanya depresi napas,
dan tidak menyebabkan ketergantungan pada obat serta memiliki toksisitas organ yang rendah.
Selain itu, efek perlambatan pengosongan lambung juga lebih rendah dibanding opioid lain dan
efek sedasi yang minimal.
Kerugian penggunaan tramadol antara lain interaksinya dengan antikoagulan koumadin
dan kemungkinan terjadinya kejang pada pasien epilepsi. Tramadol juga mendorong timbulnya
mual dan muntah pada pemberian perioperatif.
35
E. Relaksan otot
Obat relaksan otot adalah obat yang digunakan untuk melemaskan otot rangka atau untuk
melumpuhkan otot. Biasanya digunakan sebelum operasi untuk mempermudah suatu operasi
atau memasukan suatu alat ke dalam tubuh. Obat relaksan otot yang beredar di Indonesia terbagi
dalam dua kelompok obat yaitu obat pelumpuh otot dan obat pelemas otot yang bekerja sentral.
Relaksasi otot skeletal dapat terjadi dengan anestesi inhalasi yang dalam, blok syaraf
regional atau dengan obat yang memblok pertemuan neuromuskular. Golongan obat yang disebut
terakhir ini sering disebut sebagai obat pelumpuh otot, dimana obat ini dapat menimbulkan
paralisis dari otot skeletal tanpa menyebabkan amnesia, tidak sadar dan juga tidak menimbulkan
analgesi.
Berdasarkan mekanisme kerja obat pelumpuh otot pada pertemuan neuromuskular, obat
ini dapat digolongkan dalam dua golongan. Golongan obat yang menimbulkan depolarisasi,
secara fisik menyerupai asetilkolin (ACh) sehingga akan terikat pada reseptor ACh dan
menimbulkan potensial aksi dari otot skeletal karena terbukanya kanal natrium. Namun tidak
seperti ACh obat ini tidak langsung dimetabolisme oleh asetilkolin esterase, sehingga
konsentrasinya di celah sinap akan menetap lebih lama yang akan menghasilkan pemanjangan
depolarisasi dari lempeng pertemuan otot skeletal. Adanya potensial aksi pada lempeng
pertemuan otot skeletal ini akan menyebabkan potensial aksi pada membran otot, yang akan
membuka kanal sodium dalam waktu tertentu. Setelah tertutup kembali kanal ini tidak dapat
terbuka kembali sebelum terjadi repolarisasi dari lempeng motorik, yang disini tidak juga akan
terjadi sebelum obat yang menyebabkan depolarisasi meninggalkan reseptor yang didudukinya.
Sementara itu setelah kanal sodium di peri junctional tertutup, otot akan kembali pada posisi
relaksasi dan akan berlanjut sampai obat golongan ini dihidrolisis oleh enzim pseudo
cholinesterase yang terdapat di plasma dan di hati. Umumnya proses ini berlangsung dalam
waktu yang singkat sehingga tidak dibutuhkan obatspesifik untuk melawan efek relaksasi dari
obat golongan depolarisasi ini.
Obat golongan non-depolarisasi juga terikat pada reseptor ACh namun tidak
menyebabkan terbukanya kanal natrium sehingga tidak terjadi kontraksi otot skeletal, karena
tidak timbul potensial aksi pada lempeng akhir motorik. Obat golongan ini akan menetap pada
reseptor ACh (kecuali Atracurium dan Mivacurium) sampai terjadi redistribusi, metabolisme
ataupun eliminasi obat ini dari dalam tubuh, dapat juga dengan pemberian obat yang bersifat
36
melawan daya kerja obat ini. Caramelawannya dengan menekan fungsi asetilkolinesterase
sehingga meningkatkan konsentrasi ACh, untuk dapat berkompetisi dalam menduduki reseptor
ACh dan menghilangkan efek blok yang ditimbulkan oleh obat golongan non-depolarisasi.
Jumlah obat bebas dalam sirkulasi adalah faktor yang sangat berpengaruh dalam
menentukan jumlah obat yang dapat mencapai target organ. Begitu obat diberikan, secara
intravena, maka konsentrasinya dalam sirkulasi ditentukan oleh jumlah dan dosis obat yang
diberikan, kecepatan pemberian dan kecepatan sirkulasi. Faktor lain yang juga berpengaruh
adalah banyaknya obat yang diikat oleh protein plasma, dimana semakin banyak yang terikat
oleh protein plasma semakin sedikit obat yang akan berdifusi keluar dari sirkulasi menuju tempat
kerjanya di pertemuan neuromuskular.
Penurunan konsentrasi obat dalam sirkulasi terbagi dalam dua fase. Setelah pemberian
konsentrasi menurun secara cepat karena proses distibusi ke berbagai jaringan, diikuti oleh fase
lambat yang terjadi karena pengeluaran obat melalui ginjal dan empedu. Karena obat pelumpuh
otot sangat mudah terionisasi dalam sirkulasi yang mana akan menjadikannya sulit untuk
melewati membran sel, hal ini membuatnya mempunyai nilai volume distribusi yang kecil. VD
pada awal pemberian adalah 80-140 ml/kg, sedangkan pada keadaan stabil (VD ss) adalah 200-
450 ml/kg. Ini menunjukkan bahwa obat pelumpuh otot tidak tersebar secara luas dalam tubuh.
Sebagai perbandingan dapat dilihat obat yang sangat larut dalam lemak (sehingga mudah
menembus membran sel) seperti thiopenthal yang mempunyai VD ss mencapai 2 liter / kg.
Pengeluaran obat pelumpuh otot dari sirkulasi terjadi melalui tiga proses. Yang pertama
adalah biotransformasi. Succinylcholine dan atracurium adalah contoh obat yang dimetabolisme
secara langsung di plasma oleh pseudocholineesterase, pancuronium dan vecuronium
dimetabolisme di hati, sedangkan +-tubocurarine dan gallamine dikeluarkan dalam bentuk utuh.
Ekskresi melalui ginjal dan empedu adalah proses berikutnya untuk mengeluaran obat-obat
tersebut dari sirkulasi dan kemudian keluar dari dalam tubuh.
37
Tabel 1. Obat pelumpuh otot golongan depolarisasi dan non depolarisasi.
38