farmakologi obat anestesi

download farmakologi obat anestesi

of 29

Transcript of farmakologi obat anestesi

BAB I PENDAHULUAN Farmakologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari interaksi obat dengan unsur pokok tubuh untuk menghasilkan efek terapi. Interaksi obat dengan tubuh dibagi menjadi dua kelompok yaitu farmakokinetik dan farmakodinamik. Farmakokinetik merupakan pengaruh tubuh terhadap obat, sedangkan kerja obat pada tubuh disebut farmakodinamik.1 Stadium anestesi umum meliputi analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran, terhambatnya sensorik dan refleks otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk menimbulkan refleks ini, setiap obat anestesi mempunyai variasi tersensiri bergantung pada jenis obat, dosis yang diberikan dan keadaan secara klinis.2 Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan dapat mengembalikan kesadaran dengan segera setelah pemberian dihentikan serta mempunyai batas keamanan yang cukup besar dan efek samping minimal. Hal ini tidak dapat dicapai bila diberikan secara tunggal. Oleh karena itu perlu anestesi dalam bentuk kombinasi. Umumnya obat anestesi umum diberikan secara intravena dan inhalasi.2 Pada referat ini akan dibahas mengenai farmakologi obat-obat tersebut, sehingga diharapkan obat-obat tersebut dapat diberikan secara tepat.

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prinsip-Prinsip Farmakologi 1. Farmakokinetik Farmakokinetik tersusun atas empat parameter yaitu absorpsi, distribusi,

biotransformasi, dan ekskresi. Absorpsi adalah proses terurainya obat dari susunanya kemudian larut dalam pembuluh darah, hal ini dipengaruhi oleh karakteristik fisik obat dan tempat melekatnya obat tersebut. Terdapat banyak kemungkinan jalur untuk proses absorbsi sistemik: oral, sublingual, rektal, inhalasi, transdermal, subkutan, intramuskular, dan intravena. Setelah proses absorpsi obat akan didistribusikan melalui aliran darah ke seluruh tubuh. Distribusi memegang peranan penting dalam farmakologi klinik karena

mempengaruhi konsentrasi obat pada end-organ. Distribusi obat dipengaruhi oleh perfusi organ, ikatan protein, dan kelarutan dalam lemak. Faktor lainnya, seperti ukuran molekul dan ikatan dengan jaringan seperti pada daerah paru-paru juga mempengaruhi distribusi obat. Setelah obat menyebar dengan rata pada organ yang kaya pembuluh darah, obat akan diuptake oleh organ yang sedikit pembuluh darah. Setelah tercapai kejenuhan konsentrasi, obat akan meninggalkan daerah yang banyak pembuluh darah untuk menjaga ekuilibrium. Proses redistribusi dari daerah yang banyak pembuluh darah ini akan mempengaruhi efek obat-obat anesthesia. Sebagai contoh, kesadaran dari efek yang dihasilkan thiopental bukan hanya karena metabolism dan ekskresi tapi lebih karena redistribusi obat dari otak ke otot. Pada organ yang memiliki sedikit pembuluh darah yang telah mengalami kejenuhan akibat pemberian obat yang berulang, proses redistribusi sulit terjadi dan kesadaran akan lebih dipengaruhi oleh proses eliminasi. Lalu, rapid-acting drugs seperti thiopental dan fentanyl akan menjadi longer acting setelah pemberian berulang atau pemberian sekali dengan dosis besar. Biotransformasi merupakan perubahan zat akibat proses metabolik, hati merupakan organ utama dalam proses biotransformasi. Produk akhir dari biotransformasi biasanya dalam bentuk tidak aktif dan larut dalam air yang akan di ekskresikan oleh ginjal. Ginjal merupakan organ utama dalam proses ekskresi. Obat-obatan yang tidak berikatan dengan protein dapat dengan mudah berpindah dari plasma ke filtrasi glomerulus. Fraksi obat yang

2

tidak terionisasi akan direabsorbsi di tubulus renalis, sedangkan fraksi yang terionisasi akan diekskresikan melalui urin. Perubahan pH urin dapat mengubah ekskresi oleh ginjal. Ginjal juga aktif mensekresi beberapa obat. Renal clearence adalah kecepatan ginjal mengeliminasi obat. Gagal ginjal mengubah farmakokinetik banyak obat seperti ikatan protein, volume distribusi dan kecepatan clearence.3

2.

Farmakodinamik Farmakodinamik adalah ilmu yang mempelajari therapeutic dan efek toksik obat terhadap system organ (bagaimana efek obat terhadap tubuh). Efek ini menentukan efikasi obat, potensi dan ratio terapeutik. Farnakodinamik juga mempelajari tentang mekanisme aksi, interaksi obat, dan hubungan struktur dan aktivitas. Memahami kurva dose-response dan reseptor obat dapat membentuk rangka kerja untuk menjelaskan pembagian parameter farmkodinamik.3

Kurva Dose-Response Kurva Dose-response menggambarkan hubungan antara dosis obat dan efek farmakologi. Dosis obat atau konsentrasi kelarutan obat memotong absis (X) dan berbentuk garis atau skala logaritma. Efek farmakologi memotong ordinat (Y) pada dosis absolute atau efek maksimal. Letak kurva dose-response yang mendekati absis merupakan indikasi dari potensi obat. Efek maximal obat berhubungan dengan efikasi. Pelandaian kurva dose-response menggambarkan karakteristik ikatan pada reseptor.3

3

Median effective dose (ED50) adalah dosis yang memberikan efek 50% dari keseluruhan. Tetapi ED50 bukan merupakan dosis yang menghasilkan setengah dari efek keseluruhan. Median lethal dose (LD50) adalah dosis yang menyebabkan kematian pada pemberian 50% dari dosis keseluruhan. Index terapeutik adalah rasio antara median lethal dose dengan median effective dose (LD50:ED50).3

4

Reseptor obat Reseptor obat merupakan makromolekul biasanya adalah protein pada membrane sel yang berinteraksi dengan obat untuk menghasilkan reaksi intraseluler tertentu. Mekanisme aksi pada beberapa obat bergantung pada interaksi obat dan reseptor. Subtansi endogenous seperti hormon atau subtansi eksogenous seperti obat yang mempengaruhi sel secara langsung dengan berikatan pada reseptor disebut agonis. Antagonis juga berikatan pada reseptor tetapi bukan merupakan efek secara langsung. Efek farmakologi dari obat-obatan antagonis menduduki reseptor sehingga obat agonis tidak bisa berikatan dengan reseptor. Zat antagonis kompetitif yang berikatan dengan reseptor dapat digantikan dengan zat agonis dengan konsentrasi tinggi. Zat antagonis non kompetitif memiliki ikatan yang kuat dengan reseptor sehingga tidak bisa digantikan oleh obat agonis konsentrasi tinggi. Kompetisi dua obat pada reseptor yang sama merupakan salah satu interaksi obat.3 B. Obat-Obat Anestesi 1. Obat-Obat Anestesi Intravena

Benzodiazepin Mekanisme kerja Benzodiazepin membentuk ikatan dengan reseptor spesifik pada sistem syaraf pusat, terutama pada cortex cerebral sehingga dapat menghambat neurotransmiter dan memudahkan ikatan dengan reseptor GABA.3,4 Flumazenil (imidazobenzodiazepin) merupakan antagonis spesifik reseptor benzodiazepin dapat melawan semua efek yang ditimbulkan oleh benzodiazepin.3 Farmakokinetik Absorpsi Benzodiazepin biasanya diberikan secara oral, intramuskular dan intravena untuk menghasilkan sedasi atau induksi pada anateshi umum. Diazepam dan lorazepam diabsorbsi dengan baik pada saluran pencernaan, mencapai plasma dalam waktu satu hingga dua jam,

5

berurutan. Pemberian secara intranasal (0,2-0,3 mg/kg), buccal (0,07 mg/kg), dan sublingual (0,1 mg/kg) midazolam menghasilkan efek sedasi yang efektif pada preoperasi.3 Injeksi diazepam intramuskular sangat nyeri dan tidak tertahankan. Midazolam dan lorazepam diabsorpsi sangat baik setelah injeksi intramuskular, dapat mencapai plasma dalam waktu 30 hingga 90 menit. Induksi midazolam pada anesthesia umum diberikan secara intravena.3 Distribusi Diazepam larut dalam lemak dan dapat menembus sawar otak dengan cepat. Midazolam bersifat larut dalam air pada pH yang rendah dan kelarutannya meningkat dalam lemak. Lorazepam tidak terlalu larut dalam lemak sehingga onset aksi dan uptake otak menjadi lebih lambat. Redistribusi benzodiazepine sangat cepat (3-10 menit) dan golongan barbiturat sangat mempengaruhi waktu kesadaran. Ketiga benzodiazepine ini sangat kuat berikatan dengan protein (90-98%).3 Biotransformasi Benzodiazepine mengalami biotransformasi di hepar menjadi produk yang larut dalam air. Metabolit diazepam fase I adalah zat aktif dan dieliminasi selama 30 hari. Sedangkan waktu eliminasi lorazepam lebih cepat (15 jam) karena walaupun diekstraksi hepar, tetapi tidak terlalu larut dalam lemak. Namun, durasi lorazepam sering menjadi lama karena affinitas reseptor yang tinggi. Midazolam mempunyai waktu eliminasi terpendek yaitu 2 jam.3 Ekskresi Benzodiazepin terutama diekskresi melalui urin. Sirkulasi enterohepatik menghasikan konsentrasi puncak diazepam dalam plasma setelah 6-12 jam pemberian. Gagal ginjal menyebabkan memanjangnya waktu sedasikarena faktor akumulasi metabolit yang terkonjugasi (-hydroxymidazolam).3

6

Efek pada sistem organ Kardiovaskular Benzodiazepine menurunkan kardiovaskular secara minimal meskipun dalam dosis induksi. Tekanan darah, cardiac output dan tahanan pembuluh darah perifer biasanya turun perlahan, meskipun denyut jantung terkadang meningkat. Midazolam cenderung menurunkan tekanan darah dan tahanan pembuluh darah perifer bahkan lebih dari diazepam.3,4 Variabilitas perubahan denyut jantung sewaktu sedasi menggunakan midazolam dapat mengurangi reaksi vagal (drug-induced vagolysis).3 Sistem Pernafasan Benzodiazepin dapat menyebabkan apnue meskipun lebih jarang dibanding induksi menggunakan barbiturat, dosis diazepam dan midazolam intravena yang kecil sekalipun dapat menghasilkan respiratory arrest. Karena itu titrasi midazolam harus diperhatikan dengan baik untuk mencegah overdosis dan apnue dan harus dimonitor ventilasinya dengan baik serta peralatan resusitasi harus selalu tersedia.3 Otak Benzodiazepin dapat menurunkan kebutuhan konsumsi oksigen, aliran darah otak dan tekanan intrakranial3,4 tetapi tidak sehebat barbiturat. Dosis oral sedatif sering menghasilkan antegrade amnesia yang dapat digunakan sebagai premedikasi. Sifat relaksasi otot hanya terbatas pada level spinal cord tidak pada neuromuscular junction. Efek anti anxietas, amnesia, dan sedatif dapat terlihat mulai dari stupor (pada dosis ringan) hingga hilang kesadaran (pada dosis induksi). Jika dibandingkan dengan thiopental, induksi menggunakan benzodiazepin lebih lambat menghasilkan ketidaksadaran dan proses recovery yang memanjang.3 Interaksi Obat Simetidin dapat menurunkan metabolisme diazepam. Eritromisin menghambat

metabolisme midazolam dan menyebabkan dua hingga tiga kali lipat prolongasi dan intensifikasi efek tersebut. Heparin dapat melepaskan ikatan diazepam dengan protein dan meningkatkan

7

jumlah free drug (meningkat 200% setelah pemberian 1000 unit heparin).Kombinasi opioid dan diazepam menurunkan tekanan darah arteri dan tahanan vaskuler perifer terutama pada pasien iskemik atau penyakit katup jantung. Benzodiazepin menurunkan 30% konsentrasi minimum alveolar zat anestesi volatile.3 Opioid Mekanisme kerja Opioid berikatan dengan reseptor spesifik yang berlokasi di seluruh sistem saraf pusat dan jaringan-jaringan lain. Walaupun opioid memberikan sedasi derajat tertentu, tapi paling efektif dalam menghasilkan analgesia. Walaupun agonis maupun antagonis opioid berikatan terhadap reseptor opioid, hanya agonis yang mampu mengaktivasi reseptor.3

Farmakokinetik Absorpsi Absorpsi cepat dan komplit setelah injeksi morfin dan meperidine intramuskular, dengan kadar plasma puncak biasa dicapai setelah 20-60 menit. Absorpsi fentanil sitrat transmukosa oral (lolipop fentanil) adalah metode yang efektif untuk menghasilkan analgesia dan sedasi dan memberikan analgesia dan sedasi onset cepat (10 menit) pada anak (15-20 g/kg) dan dewasa (200-800 g).3 Berat molekular yang rendah dan kelarutan dalam lemak yang tinggi dari fentanil juga memungkinkan absorpsi transdermal (patch fentanil). Penempatan reservoar obat di dermis atas menunda absorpsi sistemik untuk beberapa jam pertama. Konsentrasi fentanil serum mencapai plateau dalam waktu 14 hingga 24 jam dan tetap konstan selama hingga 72 jam. Absorpsi berkelanjutan dari reservoar dermal menyebabkan perlambatan turunya kadar fentanil setelah penyingkiran patch. Insidensi nausea yang tinggi dan kadar dalam darah yang bervariasi telah membatasi penerimaan patch fentanil untuk pengurang rasa nyeri post post operasi.3

Distribusi Waktu paruh distribusi semua opioid adalah cukup cepat (5-20 menit). Namun morfin yang memiliki kelarutan dalam lemak yang rendah secara lambat melewati sawar darah-otak

8

sehingga onset kerjanya lambat dan durasi kerjanya memanjang. Ini berkebalikan dengan fentanil dan sufentanil yang memiliki kelarutan dalam lemak yang tinggi, yang memungkinkan onset kerja cepat dan durasi kerja singkat. Opioid larut-lemak dalam jumlah signifikan dapat disimpan oleh paru (first-pass uptake) dan kemudian berdifusi kembali ke dalam sirkulasi sistemik. Jumlah uptake paru tergantung pada akumulasi sebelumnya dari obat lain, riwayat penggunaan tembakau, dan pemberian anestetik inhalasi secara bersama-sama.3

Biotransformasi Biotransformasi sebagian besar opioid tergantung pada hati. Karena rasio ekstraksi hepatik yang tinggi, klirens opioid tergantung pada aliran darah hepatik. Morfin mengalami konjugasi dengan asam glukoronid untuk membentuk morfin 3-glukoronid dan morfin 6glukoronid. Meperidine mengalami N-demetilasi menjadi normeperidine, suatu metabolit aktif yang berkaitan dengan aktivitas seizure. Produk akhir fentanil, sufentanil, dan alfentanil bersifat inaktif.3

Ekskresi Produks akhir biotransformasi morfin dan meperidine dieliminasi oleh ginjal, dengan kurang dari 10% mengalami ekskresi bilier. Karena 5-10% morfin diekskresikan tanpa berubah dalam urin, gagal ginjal memperpanjang durasi kerjanya. Akumulasi metabolit morfin (morfine 3-glukoronid dan morfin 6-glukoronid) pada pasien dengan gagal ginjal telah dikaitkan dengan narkosis dan depresi ventilasi yang berlangsung beberapa hari. Morfin 6-glukoronid adalah agonis morfin yang lebih poten dan bekerja lebih lama dibanding morfin. Metabolit sufentanil diekskresikan dalam urin dan empedu. 3

Efek pada sistem organ Kardiovaskular Secara umum, opioid tidak menganggu fungsi kardiovaskular secara serius. Meperidine cenderung meningkatkan denyut jantung sedangkan morfin, fentanil, sufentanil, remifentanil, dan alfentanil dosis tinggi berkaitan dengan vagus-mediated bradycardia. Opioid tidak menurunkan kontraktilitas jantung kecuali meperidin.4 Namun, tekanan darah arteri seringkali turun karena

9

bradikardia, venodilatasi, dan penurunan refleks simpatis, yang terkadang memerlukan dukungan vasopressor (seperti efedrin). Selain itu, meperidine dan morfin membangkitkan pelepasan histamin pada sebagian individu yang dapat mengarah pada penurunan resistensi vaskular sistemik dan tekanan darah arteri yang nyata. Efek pelepasan histamin dapat diminimasilir pada pasien yang rentan dengan infus morfin secara lambat, volume intravaskular yang adekuat, atau persiapan dengan anatagonis H1 dan H2. 3 Hipertensi intraoperatif selama anestesia opioid, terutama morfin dan meperidine, tidak jarang terjadi. Ini sering disebabkan oleh kedalaman anestesia yang kurang dan dapat dikontrol dengan penambahan vasodilator atau agen anestetik volatil. Kombinasi opioid dengan obat anestetik lain (seperti NO, benzodiazepin, barbiturat, agen volatil) dapat menghasilkan depresi miokardium yang signifikan.3

Sistem Pernafasan Opioid mendepresi pernapasan, terutama kecepatan pernapasan, PaCO2 istirahat meningkat. Efek-efek ini dimediasi melalui pusat pernapasan di batang otak. Batas ambang apneik PaCO2 tertinggi di mana pasien tetap apneik meningkat, dan dorongan hipoksik menurun. Morfin dan meperidine dapat menyebabkan bronkospasme terinduksi-histamin pada pasien yang rentan. Opioid (terutama fentanil, sufentanil, dan alfentanil) dapat menginduksi rigiditas dinding dada yang cukup berat untuk mencegah ventilasi adekuat. Kontraksi yang dimediasi secara sentral ini paling sering dijumpai setelah bolus obat yang besar dan secara efektif ditangani dengan agen-agen penyekat neuromuskular. Opioid dapat secara efektif menumpulkan respon bronkokonstriktif terhadap stimulasi jalan napas seperti yang terjadi pada intubasi.3 Opioid dapat mensupresi batuk.4

Otak Secara umum, opioid mengurangi konsumsi oksigen, aliran darah otak, dan tekanan intrakranial, namun dengan efek yang kurang dibanding barbiturat ataupun benzodiazepin. Efekefek ini memungkinkan normokarbia dipertahankan oleh ventilasi buatan, namun terdapat beberapa laporan mengenai peningkatan kecepatan aliran darah otak yang ringan dan biasanya transien dan tekanan intrakranial setelah pemberian bolus opioid pada pasien dengan tumor

10

otak atau trauma kepala. Peningkatan kecil apapun pada tekanan intrakranial yang mungkin disebabkan opioid harus dibandingkan dengan potensi peningkatan tekanan intrakranial yang besar saat intubasi pada pasien yang tidak teranestesi secara adekuat. Efek sebagian besar opioid pada EEG adalah minimal. Fentanil dosis tinggi jarang menyebabkan aktivitas seizure, namun beberapa kasus yang terjadi dapat merupakan rigiditas otot berat terinduksi-opioid. Aktivasi EEG diperkirakan disebabkan oleh meperidine.3 Dependensi fisik merupakan masalah signifikan yang berhubungan dengan pemberian opioid berulang. Tidak seperti barbiturat ataupun benzodiazepin, dosis opioid yang relatif besar diperlukan untuk mempertahankan pasien tidak sadar. Namun tanpa terpengaruh dosis, opioid tidak selalu menyebabkan amnesia. Opioid intravena telah menjadi pilihan utama untuk kontrol nyeri. Penggunaan opioid pada ruang subdural dan epidural yang relatif baru telah menyebabkan revolusi dalam manajemen nyeri.3

Gastrointestinal Opioid memperlambat waktu pengosongan lambung dengan mengurangi peristaltis. Kolik bilier dapat disebabkandari kontraksi terinduksi-opioid dari sphincter Odii. Spasme bilier, yang dapat menyerupai batu duktus bilier biasa pada kolangiografi, secara efektif dibalikkan dengan antagonis opioid sejati, naloxone. Pada pasien yang menerima terapi opioid jangka panjang biasanya menjadi toleran terhadap sebagian besar efek samping, kecuali konstipasi karena pengurangan motilitas gastrointestinal.3

Endokrin Respon stres terhadap stimulasi pembedahan diukur berdasarkan seksresi hormon-hormon spesifik, antara lain adalah katekolamin, ADH, dan kortisol. Opioid menghambat pelepasan hormon-hormon ini secara lebih komplit dibanding anestesia volatil, terutamauntuk opioid yang paling poten seperti fentanil, sufentanil, alfentanil dan reminfentanil. Secara khusus, para pasien dengan penyakit jantung iskemik dapat diuntungkan dari penurunan respon stres.3

11

Interaksi obat Kombinasi opioid terutama meperidine dan monoamine inhibitors oxidase dapat menyebabkan penghentian respirasi, hipertensi atau hipotensi, koma, dan hiperpireksia. Penyebabnya tidak diketahui.Barbiturat, benzodiazepin, dan depresan sistem saraf pusat lain dapat memiliki efek kardiovaskular, respiratorik, dan sedatif sinergistik bersama opioid.3

Droperidol Mekanisme kerja Droperidol mengantagonisir aktivasi reseptor dopamin. Sebagai contoh, di sistem saraf pusat, nukleus kaudatus dan zona pemicu kemoreseptor medular terpengaruh droperidol. Droperidol juga mengganggu transmisi yang dimediasi oleh serotonin, norepinefrin, dan GABA. Kerja sentral ini menyebabkan adanya sifat penenang dan antiemetik dari droperidol. Kerja perifer antara lain adalah blokade -adrenergik.3

Farmakokinetik Absorpsi Droperidol merupakan premedikasi yang biasa diberikan secara intravena, walaupunterkadang diberikan secara intramuskular sebagai bagian regimen.3

Distribusi Droperidol memiliki fase distribusi yang cepat (t1/2 = 10 menit), tapi efek sedatif ditunda oleh berat molekul yang relatif tinggi dan ikatan yang ekstensif dengan protein, yang menghambat penetrasi sawar darah-otak. Perpanjangan durasi kerja (3-24 jam) dapat dijelaskan oleh adanya ikatan reseptor yang kuat.3

Biotransformasi Droperidol secara ekstensif dimetabolisir di hati.3

Ekskresi Produk akhir biotransformasi terutama diekskresikan dalam urin.3

12

Efek pada sistem organ Kardiovaskular Efek penyekatan -adrenergik ringan droperidol mengurangi tekanan darah arteri melalui vasodilatasi perifer. Pasien hipovolemik dapat mengalami penurunan tekanan darah yang berlebihan. Selain itu mempunyai efek antiaritmik. Dalam faktanya, droperidol telah dihubungkan dengan perpanjangan interval QT dan torsades de pointes. Sebelum pemberian droperidol, suatu elektrokardiogram 12-ujung harus direkam. Jika QT terukur lebih dari 440 ms untuk pria atau lebih dari 450 ms untuk wanita, droperidol tidak seharusnya diberikan. Jika interval QT normal dan droperidol diberikan, elektrokardiogram harus dimonitor selama 2-3 jam.Pasien dengan feokromositoma tidak boleh menerima droperidol karena dapat menginduksi pelepasan katekolamin dari medula adrenal, yang berujung pada hipertensi berat.3

Sistem pernapasan Droperidol, diberikan secara tunggal dan dalam dosis biasa, tidak secara signifikan menurunkan pernapasan dan menstimulir dorongan ventilasi hipoksik.3

Otak Droperidol mengurangi aliran darah otak dan tekanan intrakranial melalui induksi vasokonstriksi serebral. Namuntidak mengurangi konsumsi oksigen otak tidak seperti barbiturat, benzodiazepin, dan etomidate. EEG tidak berubah nyata. Droperidol adalah antiemetik yang poten, namunwaktu bangun yang lambat membatasi penggunaan intraoperatifnya dalam dosis rendah (0.05 mg/kg, hingga maksimum 2.5 mg).Droperidol harus dihindari pada pasien dengan penyakit parkinson, restless leg syndrome, atau mungkin pasien apapun dengan kelainan gerakan neurologis.3 Droperidol kurang disukai sebagai premedikasi, walaupun pasien tampak tenang dan tersedasi seringkali masih cemas dan takut. Penambahan opioid mengurangi insidensi disforia. Droperidol merupakan obat penenang, dan tidak menghasilkan analgesia, amnesia, atau ketidaksadaran pada dosis biasa. Kombinasi fentanil dan droperidol (Innovar) menghasilkan suatu keadaan yang dicirikan oleh analgesia, imobilitas, dan amnesia yang beragam (secara klasik disebut sebagai neuroleptanalgesia). Penambahan NO atau agen hipnotik mengarahkan pada

13

ketidaksadaran dan anestesia umum (neuroleptanalgesia) yang serupa dengan keadaan disosiatif yang disebabkan ketamin.3

Interaksi obat Secara teoretis, droperidol dapat mengantagonisir kerja -adrenergik klonidin dan mempresipitasi rebound hypertension.Droperidol mengurangi efek kardiovaskular ketamin.3

Barbiturat Mekanisme aksi Barbiturat dapat menurunkan reticular activating system polysinaptik kompleks neuron dan pusat pengaturan terdapat di batang otak yang mengontrol beberapa fungsi vital, termasuk kesadaran. Pada dosis klinik, barbiturat lebih mempengaruhi fungsi sinapsis saraf daripada axon dengan menekan transmisi ekstitatory neurotransmiter (acetylcholine) dan meningkatkan

transmisi inhibitor neurotransmiters (-aminobutyric acid [GABA]). Pada presinaps dipengaruhi oleh mekanisme spesifik sedangkan postsinaps bersifat stereoselektif.3 Farmakokinetik Absorpsi Pada anestesiologi klinik, barbiturat sering digunakan untuk induksi anestesia umum pada dewasa dan anak-anak melalui jalur intravena. Sedangkan thiopental atau methohexital melalui rectal pada induksi anak dan pentobarbital atau secobarbital melalui otot pada premedikasi.3 Distribusi Durasi aksi obat-obatan yang larut dalam lemak dipengaruhi oleh redistribusi, bukan karena metabolisme dan eliminasi. Meskipun thiopental berikatan sangat kuat dengan protein (80%), tetapi sangat larut lemak dan merupakan fraksi tidak terionisasi (60%) sehingga dapat di upatake oleh otak dalam waktu 30 detik. Jika terjadi shock hypovolemic atau serum albumin rendah (penyakit hati) atau fraksi yang tidak terionisasi meningkat (asidosis) maka dosis yang tinggi harus diberikan agar uptake pada otak dan jantung tercapai. Untuk mencapai 10 %14

kensentrasi minimal pada proses redistribusi subsekuen pada daerah perifer kelompok otot dan otak dibutuhkan waktu 20-30 menit. Dosis induksi thiopental bergantung pada usia dan berat badan. Dosis induksi yang rendah pada pasien tua menghasilkan level konsentrasi plasma yang tinggi karena proses redistribusi yang lambat, tetapi memiliki waktu paruh beberapa menit dan eliminasi thiopental 3 hingga 12 jam. Pemberian barbiturate yang berulang dapat menyebabkan akumulasi pada daerah perifer sehingga redistribusi tidak dapat terjadi dan durasi aksi menjadi lebih bergantung pada eliminasi.3 Biotransformasi Barbiturat mengalami biotransformasi pada hepar menjadi metabolit yag larut dalam air. Meskipun redistribusi memegang peranan penting dalam kesadaran pasien dari dosis tunggal barbiturat yang larut lemak, proses penyembuhan fungsi psikomotor lebih cepat pada penggunaan methohexital karena proses metabolism yang meningkat.3 Ekskresi Ikatan protein yang kuat menurunkan filtrasi glomerular barbiturate, sedangkan kelarutan dalam lipid meningkatkan reabsorpsi renal tubular. Kecuali pada ikatan protein yang lemah dan zat yang sedikit larut dalam lemak seperti phenobarbital, ekskresi renal terbatas pada kelarutan air dan hasil dari metabolit hepar. Methohexital diekskresikan lewat feces.3 Efek pada sistem organ Kardiovaskular Dosis induksi barbiturate yang diberikan secara intravena dapat menurunkan tekanan darah (vasodilatasi perifer) dan takikardi (efek vagolitik sentral).4 Sistem Pernapasan Barbiturat menekan pusat pernafasan sehingga menyebabkan hiperkapnia dan hipoksia. Sedasi menggunakan barbiturat menyebabkan obstruksi saluran pernafasan, apnue sewaktu induksi. Sewaktu mulai sadar, volume tidal dan kecepatan pernafasan menurun. Barbiturat tidak

15

menekan refleks pernafasan secara lengkap, dan bronkospasme pada pasien asma atau laringospasme pada pasien dengan anestesi ringan.3 Otak Barbiturat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak, turunnya aliran darah ke otak dan tekanan intrakranial. Penurunan tekanan intrakranial dapat melebihi penurunan tekanan darah sehingga tubuh mengkompensasi dengan peningkatan cerebral perfusion pressure (cpp). (cpp merupakan tekanan artery cerebral dikurangi tekanan vena cerebral atau tekanan intracranial). Penurunan tekanan darah ini tidak terlalu berbahaya karena di iringi dengan penurunan konsumsi oksigen (50% dari normal). Efek barbiturat ini dapat melindungi otak dari episode fokal iskemia seperti cerebral embolism tetapi mungkin tidak pada global iskemia seperti cardiac arrest.3 Ginjal Barbiturat menurunkan aliran darah ginjal dan rata-rata filtrasi glomerulus sehingga tekanan darah menurun.4 Hepar Barbiturat menyebabkan aliran darah hepar menurun.4 Imunologi Anafilaksis dan reaksi anafilaksis jarang terjadi. Gugus sulfur pada thiobarbiturat menyebabkan pelepasan histamine mast cell pada percobaan. Sedangkan oxybarbiturates tidak. Karena itu, beberapa ahli anestesi lebih memilih methohexital daripada thiopental atau thiamylal pada pasien penderita asma dan alergi atopik.3 Interaksi obat Media kontras, sulfonamide dan obat lainnya yang berikatan dengan protein yang sama seperti thiopental akan meningkatkan jumlah obat bebas yang tersedia dan menghasilkan efek yang kuat pada organ.3

16

Ketamin Mekanisme kerja Ketamin menghambat refleks polisinaptik pada korda spinalis dan menginhibisi efek neurotransmiter eksitatorik pada area-area tertentu otak. Ketamin secara fungsional mendisosiasi daerah talamus (yang mengarahkan impuls sensorik dari RAS ke korteks serebri) dari korteks limbik (yang terlibat dengan kesadaran sensasi).4 Walaupun sebagian neuron otak dihambat, neuron lain dieksitasi secara tonik. Secara klinis, keadaan anestesia disosiatif ini menyebabkan pasien tampak sadar (seperti pembukaan mata, gerakan menelan, kontraktur otot) namun tidak mampu memproses atau merespon terhadap input sensorik. Ketamin telah didemonstrasikan sebagai antagonis reseptor N-metil-D-aspartat (suatu subtipe reseptor glutamat). Eksistensi reseptor ketamin spesifik dan interaksi dengan reseptor opioid telah dipostulasikan.3

Farmakokinetik Absorpsi Ketamin diberikan secara intravena atau intramuskular. Kadar puncak plasma biasa dicapai dalam 10-15 menit setelah injeksi intramuskular.3

Distribusi Ketamin lebih larut dalam lemak dan kurang terikat protein dibanding thiopental, ia mengalami ionisasi yang sama pada pH fisiologis. Karakteristik ini, bersama dengan peningkatan aluran darah serebral dan curah jantung terinduksi-ketamin, berujung pada ambilan otak yang cepat dan redistribusi yang mengikutinya (waktu paruh distribusi adalah 10-15 menit).3

Biotransformasi Produk akhir biotransformasi diekskresikan oleh ginjal.3

Efek pada sistem organ Kardiovaskular Sangat berkebalikan dengan agen anestetik lain, ketamin meningkatkan tekanan darah arteri, denyut jantung, dan curah jantung. Efek-efek kardiovaskular tidak langsung ini disebabkan

17

oleh stimulasi sentral sistem saraf simpatik dan inhibisi pengambilan kembali norepinefrin. Karena itu, ketamin harus dihindari pada pasien dengan penyakit arteri koroner, hipertensi tidak terkontrol, gagal jantung kongestif, dan aneurisma arteri. Pada sisi lain, efek stimulatorik tidak langsung ketamin sering menguntungkan bagi pasien dengan shok hipovolemik akut.3

Respiratorik Pada dosis normal pengaruh ketamin terhadap ventilasi adalah minimal.4 Pemberian bolus intravena cepat atau persiapan dengan opioid terkadang berujung pada apneu. Ketamin merupakan bronkodilator poten, yang membuatnya menjadi agen induksi yang baik bagi pasien asma. Walaupun refleks jalan napas atas sebagian besar tetap utuh, pasien yang mengalami peningkatan risiko untuk terjadinya pneumonia aspirasi harus diintubasi. Peningkatan salivasi yang terkait dengan ketamin dapat dikurangi oleh premedikasi dengan agen antikolinergik.3 Otak Ketamin meningkatkan konsumsi oksigen otak, aliran darah otak, dan tekanan intrakranial.3,4 Efek-efek ini menyingkirkan penggunaannya pada pasien dengan lesi intrakranial yang menyita ruang. Dari agen-agen non volatil, ketamin mungkin merupakan pilihan obat yang menghasilkan complete anesthetic(analgesia, amnesia dan hilang kesadaran).3

Interaksi obat Agen-agen penyekat neuromuskular nondepolarisasi dipotensiasi oleh ketamin.

Kombinasi teofilin dan ketamin merupakan predisposisi terjadinya seizure. Diazepam mengurangi efek kardiostimulatorik ketamin dan memperpanjang waktu paruh eliminasinya. Propranolol, phenoxybenzamine, dan antagonis simpatik lain mempunyai efek depresan miokardium langsung dari ketamin. Ketamin menghasilkan depresi miokardium ketika diberikan pada pasien yang dianestesi dengan halotan atauanestetik volatil lain. Litium dapat memperpanjang durasi kerja ketamin.3

18

Propofol Mekanisme kerja Mekanisme propofol menginduksi keadaan anestesia umum mungkin melibatkan fasilitasi inhibisi neurotransmisi yang dimediasi oleh GABA.3,4

Farmakokinetik Absorpsi Propofol hanya diberikan secara intravena untuk induksi anestesia umum dan untuk sedasi moderat hingga dalam.3

Distribusi Kelarutan propofol yang tinggi dalam lemak menghasilkan onset kerja yang nyaris secepat thiopental. Bangun/sadar dari dosis bolus tunggal juga cepat karena waktu paruh distribusi awal yang sangat singkat (2-8 menit). Pemulihan dari propofol lebih cepat dan hangover yang kurang dibanding pemulihan dari agen induksi lain4. Sehingga propofol merupakan agen yang baik untuk anestesia pasien yang tidak dirawat inap. Dosis induksi yang lebih rendah juga direkomendasikan pada pasien tua. Wanita mungkin memerlukan dosis propofol yang lebih tinggi dibanding pria dan tampaknya bangun lebih cepat.3

Biotransformasi Klirens propofol melebihi aliran darah hepatik, yang mengimplikasikan adanya metabolisme ekstrahepatik. Laju klirens yang sangat tinggi (10 kali thiopental) mungkin ikut menyebabkan kecepatan pemulihan yang relatif tinggi setelah pemberian infus kontinu. Konjugasi dalam hati menghasilkan metabolit inaktif yang dieliminasi oleh klirens ginjal. Farmakokinetik propofol tidak tampak terpengaruh oleh sirosis moderat.3

Ekskresi Walaupun metabolit propofol terutama diekskresikan dalam urin, gagal ginjal kronis tidak mempengaruhi klirens obat asli.3

19

Efek pada sistem organ Kardiovaskular Efek kardiovaskular utama propofol adalah penurunan tekanan darah arteri karena penurunan resistensi vaskular sistemik (inhibisi aktivitas vasokonstriktor simpatis), kontraktilitas jantung, dan preload.3,4 Hipotensi lebih sering terjadi dibanding dengan thiopental,3,4 namun biasanya dapat dilawan dengan stimulasi yang menyertai laringoskopi dan intubasi. Faktor-faktor yang membangkitkan hipotensi antara lain adalah dosis yang besar, injeksi cepat, dan usia tua. Propofol secara nyata mengganggu respon barorefleks arteri normal terhadap hipotensi, terutama dalam kondisi-kondisi normokarbia atau hipokarbia. Jarang terjadi, suatu penurunan preload yang nyata dapat berujung pada refleks bradikardia termediasi vagus. Perubahan kecepatan denyut jantung dan curah jantung biasa bersifat transien dan tidak signifikan pada pasien sehat namun dapat cukup berat hingga berujung pada asistole, terutama pada pasien dengan usia ekstrim, yang menjalani pengobatan kronotropik negatif, atau mejalani prosedur bedah yang berkaitan dengan refleks okulokardiak. Pasien dengan gangguan fungsi ventrikular dapat mengalami penurunan curah jantung yang signifikan karena penurunan pengisian ventrikular dan kontraktilitas. Walaupun konsumsi oksigen miokardium dan aliran darah koroner berkurang dalam derajat yang setara, produksi laktat sinus koroner meningkat pada sebagian pasien. Ini mengindikasikan ketidaksesuaian antara permintaan dan penawaran oksigen regional.3

Sistem pernapasan Propofol adalah penekan respirasi yang jelas yang biasanya menyebabkan apneu setelah dosis induksi. Bahkan ketika digunakan untuk sedasi sadar dalam dosis subanestetik, infus propofol menghambat dorongan ventilasi hipoksik dan menekan respon normal terhadap hiperkarbia. Depresi refleks jalan napas atas terinduksi-propofol melebihi depresi yang disebabkan thiopental dan dapat terbukti bermanfaat selama intubasi atau penempatan makser laringeal tanpa adanya paralisis. Walaupun propofol dapat menyebabkan pelepasan histamin, induksi dengan propofol disertai oleh insidensi mengi yang lebih rendah pada pasien asma dan non asma dibanding dengan barbiturat atau etomidate dan tidak dikontraindikasikan pada pasien asma.3

20

Otak Propofol mengurangi aliran darah otak dan tekanan intrakranial.3,4 Pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, propofol dapat menyebabkan reduksi CPP yang kritis (