FARMAKOKINETIKA
-
Upload
chinda-indah -
Category
Documents
-
view
20 -
download
0
description
Transcript of FARMAKOKINETIKA
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 1
FARMAKOKINETIK Ardi Panggayuh, S.Kp, M.Kes
MODUL 2
150 Menit
Semua fungsi tubuh dan proses penyakit dan
kebanyakan aksi obat terjadi pada tingkat seluler.
Obat adalah zat kimia yang merubah proses dasar
dalam sel-sel tubuh. Mereka dapat menstimulasi
atau menghambat fungsi normal dan aktivitas
seluler; mereka tidak dapat menambah fungsi dan
aktivitas seluler. Untuk bekerja pada sel-sel tubuh,
maka obat yang diberikan untuk memberikan efek
sistemik harus mencapai konsentrasi yang adequat
dalam darah dan cairan jaringan lain disekitar sel-
sel. Dengan demikian, mereka harus memasuki
tubuh dan bersirkulasi pada site of action mereka
(sel-sel target). Untuk mencapai tempat kerja suatu
obat harus melewati berbagai membran sel tubuh.
Setelah mereka bekerja pada sel-sel, mereka harus
dieliminasi dari tubuh. Bagaimana obat sistemik
mencapai, berinteraksi dengan, dan meninggalkan
sel-sel tubuh? Bagaimana seseorang merespon
terhadap kerja obat? Jawaban terhadap pertanyaan
ini diperoleh dari fisiologi seluler, jalur dan
mekanisme transport obat, farmakokinetik,
farmakodinamik, dan konsep dan proses dasar lainnya. Konsep dan proses tersebut membentuk
fondasi bagi terapi obat yang rasional.
Respon yang diinginkan dari suatu obat biasanya berkaitan dengan kadar obat pada tempat
kerjanya, sehingga tujuan terapi adalah untuk mempertahankan kadar obat yang cukup pada tempat
kerja obat tersebut. Dalam prakteknya sangat sulit untuk mengukur kadar obat pada tempat kerja
dan akan lebih mudah mengukur kadar obat dalam plasma darah, dan menghubungkan kadar obat
dalam plasma dengan respon yang diperoleh. Jadi dapat dikatakan bahwa tujuan terapi dengan
pemberian obat adalah untuk mempertahankan kadar obat yang cukup dalam darah yang akan
memberikan hasil pengobatan yang kita inginkan.
Jika suatu obat digunakan secara profilaksis, misalnya untuk pengobatan epilepsi, atau pemakaian
obat yang responnya sukar diukur (misalnya efek anti inflamasi), maka kadar obat dalam darah
merupakan parameter yang dapat digunakan secara efektif untuk memonitor terapi.
Setiap individu mempunyai gambaran farmakokinetik obat yang berbeda-beda. Dosis yang sama
dari suatu obat bila diberikan pada sekelompok orang bisa menunjukkan gambaran kadar dalam
darah yang berbeda-beda dan respon yang berlainan pula dalam intensitasnya. Kenyataannya
hubungan konsentrasi obat dalam darah dengan respon yang dihasilkan tidak banyak bervariasi
dibanding dengan hubungan dosis dengan respon.
KEMAMPUAN AKHIR YANG
DIHARAPKAN
Mahasiswa dapat memahami
farmakokinetik.
INDIKATOR
1. Mahasiswa dapat menjelaskan
pengertian farmakokinetik.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan
absorpsi dan bioavailabilitas obat.
3. Mahasiswa dapat menjelaskan
distribusi obat.
4. Mahasiswa dapat menjelaskan
biotransformasi obat.
5. Mahasiswa dapat menjelaskan
ekskresi obat.
6. Mahasiswa dapat menjelaskan proses
yang dialami obat dalam tubuh yang
sakit maupun sehat.
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 2
Dengan menganggap bahwa respon terhadap obat tergantung pada kadar obat dalam darah, maka
kita kenal 3 macam kadar obat, yaitu: kadar efektif minimum, dimana pada kadar dibawahnya
tidak jelas adanya efek obat, kadar toksik, dimana efek-efek toksik (efek samping yang tidak
diinginkan) mulai timbul dan therapeutic window, kadar obat yang terletak antara kadar efektif
minimum dan kadar toksik.
Tujuan terapi adalah untuk mempertahankan kadar obat dalam batas-batas therapeutic window,
sehingga diperoleh efek yang diinginkan dan dengan efek samping yang minimal. Harus diingat
bahwa therapeutic window juga bervariasi secara individual, misalnya fentoin mempunyai
therapeutic window yang sempit yaitu antara 10 dan 20 mg/liter, sudah efektif untuk mengontrol
dan mencegah timbulnya kejang.
Fisiologi Seluler
Sel (Gambar 2.1.) adalah “pabrik” yang dinamis
dan sibuk. Mereka mengambil bahan-bahan dasar,
menghasilkan berbagai produk yang diperlukan
untuk mempertahankan fungsi tubuh dan seluler,
dan mengirim produk tersebut ke tujuan yang tepat
dalam tubuh. Walaupun sel-sel berbeda dari satu
jaringan ke jaringan lainnya, tetapi mereka
memiliki karakteristik umum yang meliputi
kemampuan untuk:
Menukarkan material dengan lingkungan
mereka
Memperoleh energi dari nutrien
Mensintesis hormon, neurotransmitter, enzim,
protein struktural, dan molekul kompleks
lainnya
Menyalin diri mereka sendiri (reproduksi)
Berkomunikasi dengan yang lainnya melalui berbagai kimia biologik, seperti neurotransmitter
dan hormon
Transport Obat Melalui Membran Sel
Obat, seperti halnya substansi fisiologi seperti hormon dan neurotransmitter, maka obat harus
mencapai dan berinteraksi dengan atau melintasi membran sel dalam rangka untuk menstimulasi
atau menghambat fungsi seluler. Kebanyakan obat diberikan untuk mempengaruhi sel-sel tubuh
yang jauh dari tempat pemberian (misal, efek sistemik). Untuk bergerak melalui tubuh dan
mencapai site of action mereka, metabolisme dan ekskresi (Gambar 2.2.), maka molekul-molekul
obat harus melintasi sejumlah membran sel (Gambar 2.3.).
Sebagai contoh, kebanyakan molekul-molekul obat oral harus melintasi membran sel dalam saluran
gastrointestinal, liver, dan kapiler untuk mencapai pembuluh darah, bersirkulasi ke sel target
mereka, meninggalkan pembuluh darah dan melekat pada reseptor pada sel, melakukan aksi
mereka, kembali ke pembuluh darah, bersirkulasi ke liver, mencapai drug-metabolizing enzyme
dalam sel-sel liver, masuk kembali dalam pembuluh darah (biasanya sebagai metabolit), bersirkulasi
Gambar 2.1. Diagram skematik sel dan organela
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 3
ke ginjal, dan diekskresi dalam urine.
Beberapa jalur transport dan mekanisme
yang digunakan untuk menggerakkan
molekul-molekul obat melalui tubuh
dijelaskan dalam fondasi: Jalur dan
Mekanisme Transport Obat.
Jalur dan Mekanisme Transport Obat
Jalur
Terdapat tiga jalur utama dari pergerakan
obat melewati membran-membran sel
(Gambar 3). Jalur yang paling umum adalah
penetrasi langsung dari membran oleh obat
yang dapat larut dalam lipid, dimana mereka
dapat larut dalam lapisan lipid dari membran
sel. Kebanyakan obat sistemik di
formulasikan untuk dapat larut dalam lipid
sehingga mereka dapat bergerak melalui
membran-membran sel, sedangkan tablet
dan kapsul oral harus cukup dapat larut
dalam air agar terlarut dalam cairan aqeuous dari lambung dan usus halus.
Jalur kedua yaitu passage melalui kanal protein yang semuanya melewati membran sel. Hanya
beberapa obat yang dapat menggunakan jalur ini karena kebanyakan molekul-molekul obat cukup
besar untuk melewati kanal yang
kecil. Ion-ion kecil (seperti
sodium dan potassium) meng-
gunakan jalur ini, tetapi per-
gerakan mereka dikendalikan oleh
kanal spesifik dengan mekanisme
gating. Gate adalah lekukan (flap)
dari protein, yang membuka
selama beberapa milidetik untuk
memungkinkan pergerakan ion
melintasi membran sel, dan
kemudian menutup (yaitu, mem-
block lubang kanal) untuk
mencegah tambahan pergerakan
ion. Pada kanal sodium, gate ini
terletak pada sisi luar dari
membran sel; bila gate terbuka,
maka ion-ion sodium (Na++
)
bergerak dari cairan ekstraseluler
kedalam sel. Pada kanal
potassium, gate ini terletak pada
Gambar 2.2. Tempat masuk dan pergerakan molekul-molekul obat
melalui site of action, metabolisme, dan ekskresi.
Gambar 2.3. Jalur transport obat. Molekul-molekul obat menembus membran sel
untuk berpindah kedalam dan keluar sel-sel tubuh dengan cara menembus
langsung lapisan lipid, berdifusi melalui ion channel, atau melekat pada protein
karier.
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 4
sisi dalam dari membran sel; bila gate terbuka, maka ion-ion potassium (K+) bergerak dari dalam sel
menuju cairan ekstraseluler.
Stimulus yang membuka dan menutupnya gate mungkin voltage gating atau chemical (juga disebut
sebagai ligand) gating. Dengan voltage gating, maka potensial elektrikal yang melintasi membran
sel menentukan apakah gate terbuka atau tertutup. Dengan chemical gating, maka substansi kimia
(ligand) mengikat pada protein yang membentuk kanal dan merubah bentuk dari protein untuk
membuka atau menutup gate. Chemical gating (misal, neurotrans-mitter seperti acetylcholine)
adalah sangat penting dalam mentrans-misikan signal dari salah satu sel sarf ke sel saraf lainnya dan
dari sel saraf ke sel-sel otot untuk menyebabkan kontraksi otot.
Jalur ketiga melibatkan protein karier (carrier protein) yang mentransport molekul-molekul dari
salah satu sisi membran sel ke sisi lainnya. Semua protein karier bersifat selektif terhadap substansi
yang mereka transport; oleh karena itu, struktur obat menentukan apakah karier akan
mentransportnya. Sistem transport ini adalah cara yang penting untuk menggerakkan molekul-
molekul obat keseluruh tubuh. Sebagai contoh, mereka digunakan untuk membawa obat oral dari
usus ke pembuluh darah, untuk membawa hormon ke site of action mereka dibagian dalam sel-sel
tubuh, dan untuk membawa molekul-molekul obat dari darah kedalam tubulus ginjal.
Mekanisme
Ketika diabsorpsi kedalam tubuh, maka obat akan ditransport ke dan dari sel-sel target melalui
mekanisme seperti difusi pasif, facilitated diffusion, dan transport aktif.
Difusi pasif, merupakan mekanisme yang paling umum, yang melibatkan pergerakan obat dari area
dengan konsentrasi yang lebih tinggi ke area dengan konsentrasi yang lebih rendah. Sebagai contoh,
setelah pemberian obat oral, konsentrasi awal dari obat akan lebih tinggi dalam saluran
gastrointestinal daripada didalam darah. Hal ini meningkatkan pergerakan obat kedalam pembuluh
darah. Ketika obat bersirkulasi, maka konsentrasi dalam darah menjadi lebih tinggi daripada
didalam sel-sel tubuh, sehingga obat bergerak (dari kapiler) kedalam cairan sekitar sel atau kedalam
sel-sel itu sendiri. Difusi pasif berlanjut hingga kondisi equilibrium tercapai antara jumlah obat
dalam jaringan dan jumlah obat dalam darah.
Facilitated diffusion, merupakan proses yang mirip dengan difusi pasif, terkecuali bahwa molekul-
molekul obat dikominiasi dengan substansi karier, seperti enzim atau protein lainnya.
Pada transport aktif, molekul-molekul obat digerakkan dari area dengan konsentrasi yang lebih
rendah ke area dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Proses ini memerlukan substansi karier dan
melepaskan energi seluler.
Jalur Transport Obat dan Mekanisme
Jalur
Terdapat tiga jalur utama pergerakan obat melintasi membran sel. Kebanyakan jalur yang umum adalah
penetrasi langsung pada membran oleh obat-obat yang dapat larut dalam lemak, yang dapat terlarut dalam
lapisan lemak dari membran sel. Kebanyakan obat-obat sistemik diformulasikan dalam bentuk dapat larut
dalam lemak sehingga mereka dapat bergerak melalui membran-membran sel, sedangkan rata-rata tablet
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 5
Jalur Transport Obat dan Mekanisme dan kapsul oral harus cukup dapat larut dalam air sehingga terlarut dalam cairan aqueous dari lambung
dan usus halus.
Jalur kedua melibatkan lintasan melalui protein channel yang menembus melalui membran sel. Hanya
sedikit obat yang dapat menggunakan jalur ini karena kebanyakan molekul obat cukup besar untuk
melewati channel yang kecil. Ion-ion kecil (misal, sodium dan potassium) menggunakan jalur ini, tetapi
pergerakan mereka dikendalikan oleh channel spesifik dengan mekanisme gating. Gate adalah celah
protein, yang terbuka selama beberapa millidetik yang memungkinkan pergerakan ion melintasi membran
sel, dan kemudian menutup (yaitu, mem-block lubang channel) untuk mencegah penambahan pergerakan
ion. Pada sodium channel, gate terletak pada sisi luar dari membaran sel; bila gate terbuka, ion-ion sodium
(Na+) bergerak cairan ekstraseluler kedalam sel. Pada potassium channel, gate terletak pada sisi dalam
membran sel; bila gate terbuka, ion-ion potassium (K+) bergerak dari sel kedalam cairan ekstraseluler.
Stimulus yang membuka dan menutup gate mungkin voltage gating atau chemical gating (juga disebut
ligand). Dengan voltage gating, maka potensial listrik melintasi membran sel yang akan menentukan
apakah gate terbuka atau tertutup. Dengan chemical gating, maka substansi chemical (ligand) mengikat
pada protein untuk membentuk channel dan merubah bentuk dari protein sehingga membuka atau
menutup gate. Chemical gating (misal, oleh neurotransmitter seperti acetylcholine) adalah sangat penting
dalam mentransmisi signal dari salah satu sel saraf ke sel saraf lainnya dan dari sel saraf ke sel-sel otot
untuk menyebabkan kontraksi otot.
Jalur ketiga melibatkan protein karier yang mentransport molekul-molekul dari satu sisi membran sel ke
sisi lain dari membran sel. Semua protein karier bersifat selektif pada substansi yang mereka transport;
struktur obat menentukan karier mana yang akan mentransportnya. Sistem transport ini adalah cara yang
penting bagi pergerakan molekul-molekul obat keseluruh tubuh. Sebagai contoh, mereka digunakan untuk
membawa obat oral dari dari usus ke aliran darah, untuk membawa hormon ke site of action mereka disisi
dalam sel-sel tubuh, dan untuk membawa molekul-molekul obat dari darah kedalam tubulus ginjal.
Mekanisme
Ketika diabsorpsi kedalam tubuh, maka obat akan ditransport ke dan dari sel-sel target oleh mekanisme
seperti difusi pasif, facilitated diffusion, dan transport aktif.
Difusi pasif, adalah mekanisme yang paling umum, melibatkan pergerakan obat dari area dengan
konsentrasi lebih tinggi ke area dengan konsentrasi yang lebih rendah. Sebagai contoh, setelah pemberian
obat oral, maka konsentrasi awal obat adalah lebih tinggi dalam saluran gastrointestinal daripada dalam
darah. Hal ini meningkatkan pergerakan obat kedalam aliran darah. Ketika obat di sirkulasikan, maka
konsentrasi lebih tinggi dalam darah daripada dalam sel-sel tubuh, sehingga obat bergerak (dari kapiler)
kedalam cairan sekitar sel atau kedalam sel-sel itu sendiri. Difusi pasif berlanjut hingga keadaan
equilibrium tercapai antara jumlah obat dalam jaringan dan jumlah obat dalam darah.
Facilitated diffusion adalah proses yang mirip, tetapi molekul-molekul obat bergabung dengan substansi
karier, seperti enzim atau protein lainnya.
Pada transport aktif, molekul-molekul obat bergerak dari area dengan konsentrasi lebih rendah ke area
dengan konsentrasi lebih tinggi. Proses ini memerlukan substansi karier dan melepaskan energi seluler.
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 6
PENGERTIAN FARMAKOKINETIK
Ilmu yang mempelajari cara tubuh menangani obat mulai dari pemberian hingga eliminasi, disebut
farmakokinetik. Farmakokinetik adalah bidang studi yang mempelajari bagaimana tubuh kita
memanipulasi obat. Bidang ilmu ini mencoba memahami prinsip-prinsip dari dosis obat, distribusi
dan durasi kerja obat.
Farmakokinetik, dalam arti sempit, adalah perjalanan obat melalui tubuh. Bagaimana obat yang kita
telan melalui mulut kita dapat mencapai infeksi yang terletak pada kaki kita? Dan bagaimana kita
membersihkan obat dari dalam tubuh kita?
Farmakokinetik berhubungan dengan pergerakan obat melalui tubuh (atau, “what the body does to
the drug”) untuk mencapai site of action, metabolisme, dan ekskresi. Dalam farmakokinetik dipelajari tentang proses-proses khusus yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme (biotransformasi),
dan ekskresi. Secara keseluruhan, proses ini sangat menentukan kadar obat dalam serum, mula
(onset), puncak dan durasi kerja obat, half-life obat, efek terapeutik dan merugikan dari obat, dan
aspek penting lainnya dari terapi obat.
Peneliti mempelajari farmakokinetik dari obat sehingga mereka mengetahui bagaimana kekuatan
obat berdasarkan waktu untuk mencapai sel target.
Terdapat empat proses dari farmakokinetik: (1) absorpsi, (2) distribusi, (3) metabolisme, dan (4)
ekskresi.
ABSORPSI DAN BIOAVAILABILITAS
Absorpsi adalah proses yang terjadi dari waktu obat memasuki tubuh sampai waktu ia memasuki
pembuluh darah untuk bersirkulasi. Mula kerja obat adalah sangat ditentukan oleh kecepatan
absorpsi; intensitas ditentukan oleh tingkat absorpsi. Sejumlah faktor yang mempengaruhi
kecepatan dan tingkat absorpsi obat, meliputi bentuk dosis, rute pemberian, aliran darah ke tempat
pemberian, fungsi gastrointestinal, adanya makanan atau obat lain, dan variabel lainnya. Bentuk
dosis adalah penentu utama dari bioavailability obat (bagian dari dosis yang mencapai sirkulasi
sistemik dan tersedia untuk bekerja pada sel-sel tubuh). Obat intravenous (IV) sebenarnya 100%
bioavailable; obat oral sebenarnya selalu kurang dari 100% bioavailable karena beberapa
diantaranya tidak diabsorpsi dari saluran gastrointestinal dan beberapa diantaranya menuju liver dan
sebagaian dimetabolisme sebelum mencapai sirkulasi sistemik (first-pass effect).
Kebanyakan obat oral harus ditelan, terlarut dalam cairan lambung, dan diteruskan ke usus halus
(memiliki area permukaan yang luas untuk absorpsi nutrien dan obat) sebelum mereka diabsorpsi.
Obat cair (liquid) diabsorpsi lebih cepat daripada teblet atau kapsul karena mereka tidak perlu
dilarutkan. Pergerakan cepat melalui lambung dan usus halus mungkin meningkatkan absorpsi obat
melalui peningkatan kontak dengan membran mukosa absorptif; ia juga mungkin menurunkan
absorpsi karena beberapa obat mungkin bergerak melalui usus halus terlalu cepat untuk diabsorpsi.
Untuk beberapa obat, adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorpsi dan
mungkin menurunkan jumlah obat yang diabsorpsi.
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 7
Obat yang diinjeksikan kedalam subkutan atau jaringan intramuskuler biasanya diabsorpsi lebih
cepat daripada obat oral karena mereka bergerak secara langsung dari tempat injeksi ke pembuluh
darah. Absorpsi cepat dari tempat intramuskuler karena jaringan otot memiliki banyak suplai darah.
Obat yang diinjeksi secara intravena tidak perlu diabsorpsi karena mereka dimasukkan secara
langsung kedalam pembuluh darah.
Tempat absorpsi lainnya adalah kulit, membran mukosa, dan paru-paru. Kebanyakan obat yang
diberikan pada kulit digunakan untuk efek lokal (misal, sunscreen). Absorpsi sistemik adalah
minimal dari kulit yang utuh tetapi harus dipertimbangkan bila kulit mengalami inflamasi atau
kerusakan. Juga, jumlah obat yang diformulasikan dalam pita adhesive (plester) untuk absorpsi
melalui kulit (misal, clonidine, estrogen, fentanyl, nitroglycerin, scopolamine). Beberapa obat yang
diberikan pada membran mukosa juga digunakan untuk efek lokal. Akan tetapi, absorpsi sistemik
akan terjadi dari mukosa rongga mulut, hidung, mata, vagina, dan rektum. Obat diabsorpsi melalui
membran mukosa melewati secara langsung kedalam pembuluh darah. Paru-paru memiliki area
permukaan yang luas untuk absorpsi gas anestetik dan beberapa obat lainnya.
Bioavailabilitas
Obat-obatan yang diberikan kepada pasien dapat melalui berbagai cara; mereka mungkin diberikan
secara injeksi, diabsorpsi dari saluran gastrointestinal setelah diberikan per-oral atau per-rektal,
diberikan secara lokal atau melalui inhalasi.
Istilah bioavailabilitas digunakan untuk menggambarkan bagian dosis obat yang diberikan yang
mencapai sirkulasi. Jika obat diberikan secara intravenous maka bioavailabilitas akan mencapai
100%; jika diberikan secara per-oral maka hanya sebagian yang mungkin mencapai sirkulasi.
Pemberian obat per-oral adalah cara yang paling umum dan paling mudah dan biovailabilitas
melalui rute ini tergantung pada beberapa faktor:
1. Absorpsi. Hal ini tergantung pada sifat fisikal dari obat yang menentukan apakah ia akan lewat
melalui dinding usus, dan tergantung pada formulasi obat yang dibuat oleh pabrik. Absorpsi
mungkin sempurna atau tidak sempurna dan mungkin dipengaruhi oleh kecepatan pengosongan
lambung, adanya dan tidak adanya makanan dalam lambung dan, kadang-kadang, oleh interaksi
dengan obat lain atau penyakit saluran gastrointestinal.
2. First pass effect. Bila obat diabsorpsi dari saluran gastrointestinal maka ia akan melewati vena
porta ke liver sebelum mencapai sirkulasi umum. Hal ini penting karena beberapa obat akan
dimetabolisme (dipecah) karena mereka melewati liver sehingga hanya sebagian dari jumlah
obat yang betul-betul mencapai sirkulasi. Pembersihan obat yang melewati liver ini disebut first
pass effect. Obat yang menunjukkan first pass effect yang sangat besar hampir selalu tidak aktif
jika diberikan per-oral, contoh: lignocaine dan glyceryl trinitrate, diberikan melalui injeksi atau,
diabsorpsi melalui mukosa mulut, dengan cara dikunyah atau dihisap, sehingga menghindari
dimetabolisme oleh liver.
Setelah absorpsi, obat memasuki aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh. Mereka mungkin
terlarut dalam plasma, tetapi beberapa diantaranya sulir larut dan dan sebagian berikatan dengan
protein plasma yang bertindak sebagai karier. Adalah penting untuk dipahami bahwa fraksi obat
yang berikatan dengan protein adalah tidak aktif dan hanya obat dalam bentuk bebas dan tidak
berikatan dengan protein yang memiliki aksi farmakologikal.
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 8
Konsentrasi obat dalam aliran darah adalah indeks yang baik untuk menentukan apakah dosis
yang diberikan telah tepat untuk menghasilkan efek terapeutik yang memuaskan. Oleh karena
itu, perawat dan bidan harus mengetahui faktor-faktor yang menentukan konsentrasi obat dalam
darah.
a. Dosis. Jelaslah bahwa dosis yang lebih besar, akan menghasilkan konsentrasi yang lebih
tinggi.
b. Rute pemberian. Prosedur injeksi intravenous dengan cepat meningkatkan konsentrasi obat
dalam darah, sedangkan pemberian secara per-oral akan menghasilkan peningkatan
konsentrasi obat dalam darah yang lambat dan konsentrasi puncak yang lebih rendah. Injeksi
intramuskuler menghasilkan konsentrasi obat dalam darah dengan kecepatan diantara kedua
prosedur tersebut.
c. Distribusi obat. Hal ini merupakan faktor penting lainnya yang menentukan konsentrasi
obat dalam plasma dan juga aktivitas dan efek terapeutik (Gambar 2.4.). beberapa obat
terkurung pada aliran darah dan hal ini sangat membatasi efek mereka; sebagai contoh,
antibiotik yang tidak memasuki jaringan tidak akan bermanfaat untuk mengobati
kebanyakan infeksi.
Sedangkan obat yang lainnya akan berdifusi keluar dari sirkulasi kedalam ruang jaringan
dan beberapa diantaranya masuk kedalam sel-sel dan menyebar keseluruh total air tubuh
(total body water). Tetapi, juga terdapat obat yang secara nyata terkonsentrasi dalam sel-sel.
Rata-rata distribusi volume air dalam kompartemen tubuh orang dewasa adalah:
Plasma 3 liter
Ruang ekstraseluler 15 liter
Total body water 36 liter
Dapat dilihat, bahwa semakin luas obat berdifusi, maka obat yang diberikan akan
menghasilkan konsentrasi yang semakin rendah.
d. Kecepatan eliminasi. Semakin cepat tubuh memecah atau mengekskresi obat, maka
semakin cepat konsentrasi obat dalam darah mengalami penurunan.
Gambar 2.4. Distribusi Obat.
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 9
Obat-obatan pada umumnya di eliminasi dalam satu atau dua cara (Gambar 2.5.):
1) Mereka mungkin dipecah atau dikombinasi dengan beberapa zat kimia lainnya sehingga
mereka tidak cukup memiliki efek farmakologikal secara aktif. Hal ini biasanya terjadi
didalam liver dan dilakukan oleh substansi yang disebut enzim. Enzim memiliki sifat
meningkatkan reaksi kimia tertentu, dan beberapa dari enzim tersebut berkaitan dengan
inaktivasi obat-obatan. Oleh karena itu, jika sel-sel liver mengalami kerusakan akibat
penyakit atau sirkulasi ke liver mengalami penurunan akibat gagal jantung, maka proses
inaktivasi mungkin berjalan lebih lambat dari normal. Aktivitas enzim-enzim liver dapat
ditingkatkan atau diturunkan oleh obat-obatan dan hal ini memiliki implikasi yang
penting dalam memberikan pengobatan pada pasien.
Juga terdapat faktor genetik yang menentukan perbedaan kecepatan pemecahan beberapa
obat oleh tubuh. Suxamethonium yang normalnya mengakibatkan paralisis sementara
pada otot volunter sebagai akibat pemecahan oleh enzim, tetapi pada keluarga tertentu
enzim-enzim ini mengalami kondisi ketidaknormalan atau defisiensi sehingga
subaxmethonium menyebabkan paralisis yang lebih lama.
Pada obat-obatan tipe tertentu, jika diberikan dengan cepat, maka proses pemecahan
menjadi lebih efektif. Oleh karena itu, lebih besar dosis yang diperlukan untuk
menghasilkan efek yang sama dan hal ini diketahui sebagai toleransi obat.
2) Obat atau produk pemecahan mereka mungkin di ekskresi melalui ginjal dan, jika ginjal
mengalami kerusakan akibat penyakit, maka ekskresi akan lambat dan terjadi akumulasi.
Pada orang dengan usia 80 tahun, fungsi ginjal mengalami penurunan kira-kira separuh
dari orang dewasa muda, sehingga beberapa obat memerlukan penurunan dosis pada
orang tua. Jarang obat di ekskresi melalui paru-paru dan rute ini penting pada kasus
pemberian anesthesi volatile.
Kecepatan eliminasi adalah faktor utama dalam memutuskan durasi kerja dari obat dan
dikaitkan sebagai plasma half-life (t½) dari obat.
Gambar 2.5. Eliminasi Obat.
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 10
DISTRIBUSI OBAT
Distribusi berhubungan dengan transport molekul-molekul obat dalam tubuh. Ketika obat
diinjeksikan atau diabsorpsi kedalam pembuluh darah, ia dibawa oleh darah dan cairan jaringan ke
tempat kerja farmakologik, metabolisme, dan ekskresi. Kebanyakan molekul-molekul obat masuk
dan meninggalkan pembuluh darah pada tingkat kapiler, melalui celah antara sel-sel yang
membentuk dinding kapiler. Distribusi sebagian besar tergantung pada adequasi dari sirkulasi darah.
Obat didistribusikan secara cepat ke organ yang menerima suplai darah yang besar, seperti jantung,
liver, dan ginjal. Distribusi ke organ internal lainnya, otot, lemak, dan kulit biasanya lebih lambat.
Faktor yang penting dalam distribusi obat adalah protein binding (Gambar 2.6.). Kebanyakan obat
membentuk kompleks dengan protein plasma, terutama albumin, yang berkerja sebagai karier.
Molekul-molekul obat yang mengikat pada protein plasma secara farmakologikal adalah tidak aktif karena ukuran besar dari kompleks protein-obat mencegah mereka meninggalkan pembuluh darah
melalui pori-pori kecil dalam dinding kapiler dan mencapai site of action mereka, metabolisme dan
ekskresi. Hanya bagian yang bebas atau tidak berikatan yang bekerja sebagai obat pada sel-sel
tubuh. Sebagai obat bebas yang bekerja pada sel, maka penurunan kadar obat dalam plasma
menyebabkan beberapa obat yang terikat akan dilepaskan.
Protein binding memungkinkan bagian dari dosis obat disimpan dan dilepaskan jika diperlukan.
Beberapa obat juga disimpan dalam otot, lemak, atau jaringan tubuh lainnya dan dilepaskan secara
bertahap bila kadar obat dalam plasma turun.
Mekanisme penyimpanan ini mempertahankan
rendahnya kadar obat dalam darah dan
mengurangi resiko toksisitas. Obat yang
berikatan kuat pada protein plasma atau banyak
disimpan dalam jaringan lain memiliki durasi
kerja yang panjang.
Distribusi obat kedalam sistem saraf pusat (CNS)
adalah terbatas karena adanya blood-brain
barrier, yang terdiri dari kapiler-kapiler dengan
dinding yang rapat, membatasi pergerakan
molekul-molekul obat kedalam jaringan otak.
Barrier ini biasanya bekerja sebagai membran
permeable yang selektif untuk melindungi CNS.
Akan tetapi, ia juga dapat membuat terapi obat
pada penyakit CNS menjadi lebih sulit karena
obat harus lewat melalui sel-sel dari dinding
kapiler daripada diantara sel-sel. Sebagai akibatnya, hanya obat yang dapat larut lipid atau memiliki
sistem transport dapat menembus blood-brain barrier dan mencapai konsentrasi terapeutik dalam
jaringan otak.
Distribusi obat selama kehamilan dan laktasi juga unik. Selama kehamilan, kebanyakan obat
melintasi plasenta dan mungkin mempengaruhi fetus. Selama laktasi, beberapa obat masuk kedalam
air susu dan mungkin mempengaruhi perawatan bayi.
Gambar 2.6. Protein plasma, terutama albumin (A), bekerja
sebagai karier untuk molekul-molekul obat (D). Ikatan obat
(A-D) tinggal dalam aliran darah dan secara farmakologik tidak
aktif. Obat bebas (D) dapat meninggalkan aliran darah dan
bekerja pada sel-sel tubuh.
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 11
METABOLISME OBAT
Metabolisme adalah metode dimana obat di inaktivasi atau mengalami biotransformasi oleh tubuh.
Yang paling sering, obat yang aktif dirubah menjadi satu atau lebih metabolit tidak aktif, yang
kemudian di ekskresi. Beberapa obat aktif menghasilkan metabolit yang juga aktif dan terus
memperkuat efek mereka pada sel-sel tubuh hingga mereka dimetabolisme lebih lanjut atau di
ekskresi. Obat lain (disebut prodrug) pada awalnya tidak aktif dan tidak memperkuat efek
farmakologik hingga mereka di metabolisme.
Kebanyakan obat adalah dapat larut dalam lipid, suatu karakteristik yang membantu mereka
bergerak melintasi membran sel. Akan tetapi, ginjal, yang merupakan organ ekskretor utama, hanya
dapat mengekskresi substansi yang dapat larut dalam air. Oleh karena itu, salah satu fungsi dari
metabolisme adalah merubah obat yang dapat larut lemak menjadi metabolit yang dapat larut dalam air. Hepatic drug metabolism atau clereance adalah mekanisme utama untuk mengakiri kerja obat
dan mengeliminasi molekul-molekul obat dari tubuh.
Kebanyakan obat dimetabolisme oleh enzim dalam liver (disebut cytochrome P450 [CYP] atau
microsomal enzyme system); sel darah merah, plasma, ginjal, paru-paru, dan mukosa gastrointestinal
juga mengandung drug-metabolizing enzyme. Sistem cytochrome P450 mengandung 12 kelompok
atau family, sembilan diantaranya merupakan substansi metabolising endogenous dan tiga
diantaranya adalah metabolising obat. Tiga kelompok yang memetabolisme obat diberi nama CYP1,
CYP2, dan CYP3. Dari beberapa obat yang dimetabolisme oleh hepar, maka enzim kelompok
CYP3 diduga mematabolisme kira-kira 50% obat, kelompok CYP2 kira-kira 45%, dan kelompok
CYP1 kira-kira 5%. Setiap anggota dari kelompok, memetabolisme obat yang spesifik, selanjutnya
dikategorikan sebagai berikut: enzim CYP2D6, CYP2C9, atau CYP3A4 yang memetabolisme
beberapa obat.
Enzim-enzim ini terletak didalam hepatosit, suatu protein kompleks dengan binding site untuk
molekul-molekul obat (dan substansi endogenous). Mereka mengkatalisis reaksi kimia oksidasi,
reduksi, hidrolisis, dan konjugasi dengan substansi endogenous, seperti asam glucuronic atau
sulfate. Pada pemberian kronis, beberapa obat menstimulasi sel-sel liver untuk memproduksi jumlah
yang lebih besar dari drug-metabolizing enzym (proses yang disebut enzyme induction).
Enzyme induction mempercepat metabolisme obat karena jumlah enzim yang besar (dan lebih
banyak binding site) memungkinkan sejumlah besar obat dimetabolisme selama waktu pemberian.
Sebagai akibatnya, perlu dosis yang lebih besar dari obat yang dimetabolisme dengan cepat untuk
mempertahankan efek terapeutik. Metabolisme yang cepat mungkin juga meningkatkan produksi
metabolit toksik pada beberapa obat (misal, acetaminophen). Obat yang merangsang produksi
enzim mungkin juga meningkatkan kecepatan metabolisme hormon steroidal endogenous (misal,
cortisol, estrogen, testosteron, dan vitamin D). Akan tetapi, enzyme induction tidak terjadi selama 1
sampai 3 minggu setelah inducing agent dimulai sebab protein enzim baru harus disintesis.
Rifampin, suatu obat antituberkulosis, adalah inducer kuat dari enzim CYP1A dan CYP3A.
Metabolisme juga dapat diturunkan atau diperlambat dalam proses yang disebut enzyme inhibition,
yang lebih sering terjadi pada pemberian yang berulang-ulang dari dua atau lebih obat yang
berkompetisi dengan metabolizing enzyme yang sama. Dalam kasus ini, dosis yang lebih kecil dari
obat yang dimetabolisme lebih lambat mungkin diperlukan untuk menghindari reaksi yang
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 12
merugikan dan toksisitas akibat akumulasi obat. Terjadi inhibisi enzim dalam beberapa jam atau
hari setelah diberikan inhibiting agent. Cimetidine, suatu supressor asam lambung, menghambat
beberapa enzim CYP (misal, 1A2, 2C, dan 3A) dan dapat sangat menurunkan metabolisme obat.
Kecepatan metabolisme obat juga menurun pada bayi (sistem enzim hepatik mereka masih
immatur), pada seseorang dengan gangguan aliran darah ke liver atau penyakit hepar atau
kardiovaskuler yang berat, dan pada seseorang yang mengalami malnutrisi atau pada diet rendah
protein.
Bila obat diberikan secara oral, mereka akan diabsorpsi dari saluran gastrointestinal dan dibawa ke
liver melalui sirkulasi portal. Beberapa obat secara luas dimetabolisme dalam liver, seperti
propranolo (Inderal), hanya bagian dosis obat oral yang mencapai sirkulasi sistemik yang
didistribusikan ke site of action. Hal ini disebut first-pass effect atau metabolisme presistemik.
EKSKRESI OBAT
Ekskresi berhubungan dengan eliminasi obat dari tubuh. Ekskresi yang efektif memerlukan fungsi
yang adequat dari sistem sirkulasi dan organ-organ ekskretor (ginjal, usus besar, paru-paru, dan
kulit). Kebanyakan obat di ekskresi oleh ginjal dan di eliminasi dalam bentuk tidak berubah atau
sebagai metabolit dalam urine.
Beberapa obat atau metabolit di ekskresi dalam empedu, dan kemudian di eliminasi dalam feces;
yang lainnya di ekskresi dalam empedu, diabsorpsi dari usus halus, kembali ke liver (disebut
sirkulasi enterohepatik), dimetabolisme, dan akhirnya di ekskresi dalam urine.
Beberapa obat oral tidak diabsorpsi dan di ekskresi dalam feces. Paru-paru merupakan organ utama
untuk pembuangan substansi volatile, seperti gas anestetik. Kulit memiliki fungsi ekskretori yang
minimal. Faktor-faktor yang mengganggu ekskresi, terutama penyakit ginjal berat, berperan
terhadap akumulasi sejumlah obat dan mungkin menyebabkan efek merugikan yang berat jika dosis
tidak dikurangi.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ABSORPSI, DISTRIBUSI, METABOLISME DAN
EKSKRESI OBAT
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat.
Usia, ukuran tubuh, dan kondisi kesehatan adalah beberapa faktor penting yang mempengaruhi
farmakokinetik dari obat.
Setiap orang tidak identik. Obat mungkin diabsopsi dengan lebih cepat pada satu orang tetapi lebih
lambat pada orang lain. Obat mungkin tidak bersirkulasi dengan baik pada beberapa orang, atau ia
disimpan dalam jaringan tertentu, sebagai contoh, lemak, sehingga tidak didapatkan hingga
beberapa saat kemudian. Kemampuan pasien untuk melakukan detoksifikasi terhadap obat dan
mengeluarkan dari sistem adalah tergantung pada kondisi hepar dan ginjal.
Oleh karena itu, bidan perlu memahami dasar-dasar farmakokinetik sehingga mereka dapat lebih
mampu dalam memberikan, memonitor, dan memberikan penyuluhan tentang pengobatan.
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 13
TABEL 2.1. Efek dari Kondisi Patologik terhadap Farmakokinetik Obat
Kondisi Patologik Farmakokinetik Penyakit kardiovaskuler yang
mengganggu kemampuan pompa
jantung, menurunkan cardiac output,
atau mengganggu aliran darah ke
jaringan tubuh (misal, miokard
infark akut, gagal jantung, hipotensi,
dan shock)
Absorpsi dari obat oral, subcutaneous, intramuskular, dan topical
adalah tidak pasti karena penurunan aliran darah ke pemberian
obat.
Distribusi terganggu karena penurunan aliran darah pada jaringan
tubuh dan tempat kerja obat.
Metabolisme dan ekskresi terganggu karena penurunan aliran
darah ke liver dan ginjal.
Penyakit sistem saraf pusat (CNS)
yang mengganggu pernapasan atau
sirkulasi (misal, trauma atau cedera
otak, iskemia otak akibat aliran
darah serebral tidak adequat, obat
yang menekan atau menstimulasi
fungsi otak)
Gangguan CNS mungkin merubah farmakokinetik secara tidak
langsung akibat hipo- atau hiperventilasi dan
ketidakseimbangan asam-basa. Juga, iritasi serebral mungkin
terjadi pada cedera kepala dan berperan terhadap stimulasi
sistem saraf simpatetik dan peningkatan cardiac output.
Peningkatan aliran darah mungkin mempercepat semua proses
farmakokinetik. Dengan absorpsi dan distribusi yang lebih
cepat, maka kerja obat mungkin lebih cepat, tetapi metabolisme
dan ekskresi yang lebih cepat mungkin memperpendek durasi
kerja obat.
Penyakit gastrointestinal (GI) yang
mengganggu fungsi atau aliran darah
GI (misal, trauma atau pembedahan
pada saluran gastrointestinal, infeksi
abdominal, ileus paralytic,
pankreatitis)
Gejala dari gangguan fungsi GI pada umumnya terjadi dengan
penyakit GI maupun non-GI. Sebagai akibatnya, beberapa
pasien tidak dapat menggunakan obat oral. Orang yang dapat
menggunakan obat oral mungkin mengalami gangguan absorpsi
karena:
Vomiting atau diare.
Pemberian obat bersamaan dengan obat yang
meningkatkan pH cairan lambung (misal, antasida,
histamine-2 blockers, proton pump inhibitors).
Pemberian obat bersamaan dengan makanan atau tube
feeding solutions yang menurunkan absorpsi obat.
Menghancurkan tablet atau membuka kapsul untuk
diberikan melalaui GI tube.
Penyakit inflammatori usus besar
(misal, Crohn’s disease, colitis
ulcerative)
Absorpsi dari obat oral adalah berubah-ubah. Ia mungkin
ditingkatkan karena hipermotilitas GI yang dengan cepat
mengirim molekul obat ke tempat absorpsi dalam usus halus
dan obat cenderung diabsorpsi lebih cepat dari jaringan yang
radang. Ia mungkin diturunkan karena hipermotilitas dan diare
yang mungkin menggerakkan obat melalui saluran GI terlalu
cepat sehingga absorpsi tidak adequat.
Penyakit endokrin yang
mengganggu fungsi atau merubah
keseimbangan hormonal
Penyakit kardiovaskuler
yang disebabkan diabetes
Gangguan sirkulasi mungkin menurunkan semua proses
farmakokinetik, seperti yang dijelaskan diatas.
Penyakit thyroid Efek utama adalah pada metaboliems. Hipothyroidisme
memperlambat metabolisme, sehingga memperpanjang kerja
obat dan memperlambat eliminasi dari tubuh, hiperthyroidisme
mempercepat metabolisme, sehingga menghasilkan durasi kerja
obat yang lebih pendek dan mempercepat kecepatan eliminasi.
Bila penyakit thyroid diobati dan fungsi thyroid kembali
normal, maka kecepatan metabolisme obat juga kembali
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 14
TABEL 2.1. Efek dari Kondisi Patologik terhadap Farmakokinetik Obat
Kondisi Patologik Farmakokinetik normal. Dengan demikian, dosis obat secara luas
dimetabolisme sehingga perlu penyesuaian pada tingkat fungsi
thyroid.
Penyakit adrenal akibat
penyakit atau respon
stres yang berkaitan
dengan penyakit
Peningkatan fungsi adrenal (yaitu, peningkatan jumlah
catecholamine dan cortisol yang bersirkulasi) mempengaruhi
kerja obat dengan meningkatkan cardiac output, redistribusi
cardiac output (lebih banyak aliran darah ke jantung dan otak,
lebih sedikit ke ginjal, liver, dan saluran gastrointestinal),
menyebabkan retensi cairan, dan meningkatkan volume darah.
Stres juga merubah kadar protein plasma, yang dapat
mempengaruhi bagian bebas (unbound portion) dari dosis obat.
Penurunan fungsi adrenal menyebabkan hipotensi dan shock,
yang dapat mengganggu semua proses farmakokinetik.
Penyakit hepatik yang mengganggu
fungsi dan aliran darah hepatik
(misal, hepatitis, sirosis)
Kebanyakan obat di eliminasi dari tubuh oleh metabolisme
hepatik, ekskresi ginjal atau keduanya. Metabolisme hepatik
tergantung pada aliran darah hepatik, aktivitas enzim hepatik,
dan plasma protein binding. Peningkatan aliran darah hepatik
meningkatkan pengiriman molekul-molekul obat ke hepatocyte,
dimana terjadi metabolisme, dan dengan demikian
mempercepat metabolisme obat. Penurunan aliran darah
hepatik memperlambat metabolisme. Penyakit liver berat atau
sirosis mungkin mengganggu semua proses farmakokinetik.
Absorpsi dari obat oral mungkin menurun pada sirosis karena
edema dalam saluran gastrointestinal.
Distribusi mungkin terganggu oleh perubahan dalam protein
plasma. Liver yang terganggu mungkin tidak mampu
mensintesis sejumlah protein plasma yang adequat, terutama
albumin, juga, liver yang terganggu berperan terhadap
metabolisme yang tidak adequat dan akumulasi substansi
(misal, bilirubin serum) yang dapat memindahkan obat dari
protein-binding site. Dengan penurunan protein binding, maka
konsentrasi obat aktif dalam serum ditingkatkan dan obat
didistribusikan ke site of action dan eliminasi menjadi lebih
cepat. Dengan demikian, mula kerja obat mungkin lebih cepat,
puncak kadar obat dalam darah mungkin lebih tinggi dan
menyebabkan efek merugikan, dan durasi kerja mungkin lebih
pendek karena obat di metabolisme dan di ekskresi lebih cepat.
Pada sirosis, obat oral didistribusikan secara langsung kedalam
sirkulasi sistemik daripada melalui sirkulasi portal dan liver.
Jalur pintas (shunt) dari darah yang mengelilingi liver ini
dimaksudkan bahwa obat oral yang normalnya secara luas di
metabolisme selama first pass melalui liver (misal, propanolol)
harus diberikan dalam dosis yang lebih rendah untuk mencegah
kadar obat yang tinggi dalam darah dan toksisitas.
Metabolisme mungkin terganggu pada penyakit hepatik maupun
non-hepatik yang menurunkan aliran darah hepatik. Sebagai
tambahan, liver yang terganggun tidak mampu mensintesis
drug-metabolizing enzyme dalam jumlah cukup.
Ekskresi mungkin ditingkatkan bila protein binding terganggu
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 15
TABEL 2.1. Efek dari Kondisi Patologik terhadap Farmakokinetik Obat
Kondisi Patologik Farmakokinetik karena jumlah besar dari obat bebas yang bersirkulasi dalam
aliran darah dan dikirim lebih cepat ke tempat metabolisme dan
ekskresi. Akibatnya, half-life dan durasi kerja dari obat lebih
pendek. Ekskresi diturunkan bila liver tidak mampu
memetabolisme obat yang larut dalam lemak menjadi metabolit
yang larut dalam air sehingga dapat di ekskresi oleh ginjal.
Gangguan ginjal – gagal ginjal akut
(GGA) dan gagal ginjal kronik
(GGK)
GGA dan GGK dapat mengganggu semua proses farmakokinetik.
Absorpsi dari obat oral mungkin diturunkan secara tidak langsung
oleh perubahan yang sering terjadi pada gagal ginjal (misal,
pengosongan lambung yang lambat, perubahan pH lambung,
gejala GI sepert vomiting dan diare). Juga, dengan adanya
edema umum, edema saluran GI mungkin mengganggu
absorpsi. Pada GGK, pH lambung mungkin ditingkatkan oleh
pemberian alkalinizing agents per-oral (misal, sodium
bocarbonate, citrate) dan menggunakan antasida untuk efek
phosphate-binding. Hal ini mungkin menurunkan absorpsi obat
oral yang memerlukan lingkungan asam selama disolusi dan
absorpsi dan meningkatkan absorpsi obat yang diabsorpsi dari
lingkungan yang lebih alkaline.
Distribusi dari beberapa obat mungkin terganggu oleh perubahan
dalam volume cairan ekstraseluler (ECF), plasma protein
binding, dan tissue binding. Obat yang larut air didistribusikan
keseluruh ECF, meliputi cairan edema, yang biasanya
ditingkatkan pada gangguan ginjal karena kemampuan ginjal
untuk mengeliminasi air dan sodium terganggu. Ikatan obat
dengan albumin, terutama protein plasma pengikat obat untuk
obat asam, biasanya diturunkan dengan gangguan ginjal.
Protein binding mungkin diturunkan karena sedikit albumin
atau penurunan kapasitas binding dari albumin pada obat.
Alasan penurunan albumin meliputi kondisi hipermetabolik
(misal, stres, trauma, sepsis) yang menyebabkan pemecahan
protein melebihi sintesis protein, kondisi nephrotik dimana
albumin hilang dalam urine, dan penyakit liver yang
menurunkan sintesis albumin hepatik. Alasan penurunan
kapasitas binding meliputi perubahan struktural pada molekul
albumin atau toksin uremik yang bersaing dengan obat pada
binding site. Bila sedikit obat berikatan dengan albumin, maka
kadar obat dalam bentuk bebas atau obat aktif dalam serum
lebih tinggi sehingga dapat mengakibatkan toksisitas obat.
Sebagai tambahan, lebih banyak obat yang tidak berikatan yang
didistribusikan kedalam jaringan dan tempat metabolisme dan
ekskresi maka mempercepat eliminasi sehingga menurunkan
half-life obat dan efek terapeutik. Untuk obat dasar (misal,
clindamycin, propafenone), alpha1-acid glycoprotein (AAG)
adalah protein binding utama. Jumlah AAG meningkat pada
beberapa pasien, meliputi pasien dengan transplantasi ginjal
dan pasien yang menjalani hemodialisis. Jika pasien ini
diberikan obat dasar (basic drug), maka sebagian besar adalah
berikatan dan sebagian kecil adalah dalam bentuk bebas yang
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 16
TABEL 2.1. Efek dari Kondisi Patologik terhadap Farmakokinetik Obat
Kondisi Patologik Farmakokinetik dapat memberikan efek farmakologik. Pada akhirnya, beberapa
kondisi yang sering terjadi pada gangguan ginjal (misal,
asidosis metabolik, alkalosis respiratorik, dan lainnya) mungkin
mengganggu distribusi beberapa obat ke jaringan. Sebagai
contoh, digoxin dapat dipindahkan dari tissue-binding site oleh
produk metabolik sehingga tidak dapat di ekskresi secara
adequat oleh ginjal yang terganggu.
Metabolisme dapat ditingkatkan, diturunkan, atau tidak
terpengaruh oleh gangguan ginjal. Salah satu faktor adalah
perubahan dari metabolisme obat dalam liver. Pada uremia,
reaksi reduksi dan hidrolisis mungkin lebih lambat, tetapi
oksidasi oleh enzim cytochrome P450 dan konjugasi dengan
glucuronide atau sulphate biasanya berjalan pada kecepatan
normal. Faktor lainnya adalah ketidakmampuan dari ginjal
yang terganggu untuk mengeliminasi obat dan metabolit aktif
secara farmakologikal, yang mungkin berperan terhadap
akumulasi dan raksi obat yang merugikan dengan terapi obat
jangka panjang. Metabolit mungkin memiliki aktivitas
farmakologik yang mirip pada atau berbeda dari obat aslinya.
Faktor ketiga mungkin mengganggu metabolisme obat oleh
ginjal. Walaupun peran ginjal dalam mengekskresi obat dan
metabolit obat belum diketahui dengan baik, tetapi peran
mereka dalam metabolisme obat telah mendapat sedikit
perhatian. Ginjal sendiri mengandung beberapa metabolizing
enzym yang sama ditemukan dalam liver, meliputi enzim ginjal
cytochrome P450, yang memetabolisme berbagai zat kimia dan
obat.
Ekskresi dari beberapa obat dan metabolit diturunkan oleh
gangguan ginjal. Ginjal normalnya mengekskresi baik obatnya
maupun metabolit yang diproduksi oleh liver dan jaringan
lainnya. Proses ekskresi ginjal meliputi filtrasi glomerular,
sekresi tubular, dan reabsorpsi tubular, yang semuanya
mungkin dipengaruhi oleh gangguan ginjal. Jika ginjal tidak
mampu mengekskresi obat dan metabolit, yang beberapa
diantaranya mungkin aktif secara farmakologik, maka
substansi-substansi tersebut mungkin terakumulasi dan
menyebabkan efek merugikan atau toksik.
Gangguan pernapasan Gangguan pernapasan mungkin secara tidak langsung
mempengaruhi metabolisme obat. Sebagai contoh, hipoksemia
berperan terhadap penurunan produksi enzim dalam liver,
penurunan efisiensi dari enzim yang diproduksi, dan penurunan
oksigen yang tersedia untuk biotransformasi. Ventilasi
mekanikal berperan terhadap penurunan aliran darah ke liver.
Gangguan pada fungsi
kardiovaskuler dan aliran darah
hepatik akibat sepsis
Sepsis mungkin mempengaruhi semua proses farmakokinetik.
Sepsis dini ditandai oleh hiperdinamik sirkulasi, dengan
peningkatan cardiac output dan shunting darah ke organ-organ
vital. Sebagai akibatnya, absorpsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi mungkin dipercepat. Sepsis lambat ditandai oleh
hipodinamik sirkulasi, dengan penurunan cardiac output dan
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 17
TABEL 2.1. Efek dari Kondisi Patologik terhadap Farmakokinetik Obat
Kondisi Patologik Farmakokinetik penurunan aliran darah ke organ-organ utama. Dengan
demikian, absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi
mungkin terganggu.
Gangguan fungsi kardiovaskuler dan
aliran darah akibat shock
Shock mungkin menghambat semua proses farmakokinetik.
Absorpsi terganggu oleh penurunan aliran darah pada tempat
pemberian obat. Distribusi terganggu oleh penurunan aliran
darah pada semua jaringan tubuh. Metabolisme terganggu oleh
penurunan aliran darah ke liver. Ekskresi terganggu oleh
penurunan aliran darah ke ginjal.
KADAR OBAT DALAM SERUM
Kadar obat dalam serum (Gambar 2.7.) adalah ukuran laboratorium dari jumlah obat dalam darah
pada waktu tertentu. Ia menggambarkan dosis, absorpsi, bioavailabilitas, half-life, dan kecepatan
metabolisme dan ekskresi. Minimum effective concentration (MEC) harus diperoleh sebelum
menggunakan aksi farmakologiknya pada sel-sel tubuh; hal ini sebagian besar ditentukan oleh dosis
obat dan bagaimana obat diabsorpsi kedalam pembuluh darah. Toxic concentration adalah kadar
yang berlebihan yang dapat terjadi toksisitas. Toxic concentration mungkin berakar dari dosis besar
tunggal, dosis kecil yang berulang-ulang, atau metabolisme yang lambat yang memungkinkan obat
terakumulasi dalam tubuh. Antara konsentrasi rendah dan tinggi ini disebut rentang terapeutik, yang
merupakan tujuan dari terapi obat. Hal ini berarti, cukup obat yang bermanfaat, tetapi tidak cukup
obat untuk menghasilkan toksik.
Pada kebanyakan obat, kadar obat dalam serum menunjukkan mula (onset), puncak, dan durasi dari
kerja obat. Bila diberikan obat dosis tunggal, maka mula kerja obat akan terjadi bila kadar obat
mencapai MEC. Kadar obat terus meningkat melebihi dari obat yang diabsorpsi, hingga ia mencapai
konsentrasi tertinggi dan didapatkan puncak kerja obat. Kemudian, kadar obat menurun karena obat
di eliminasi (yaitu, dimetabolis-me dan di ekskresi) dari tubuh. Walaupun masih terdapat sejumlah
molekul-molekul obat dalam tubuh, tetapi kerja obat berhenti bila kadar obat turun dibawah MEC.
Durasi kerja obat adalah lama waktu dimana kadar obat dalam serum terdapat pada atau diatas
MEC. Bila obat dosis multiple diberikan (misal, untuk penyakit kronik), maka tujuan pengobatan
biasanya diberikan untuk mempertahankan kadar obat dalam serum cukup dalam rentang terapeutik
dan dihindarkan rentang toksik.
Dalam praktek klinikal, pengukuran kadar obat dalam serum adalah digunakan untuk beberapa
alasan:
Bila obat dengan indeks terapeutik rendah atau sempit diberikan, maka obat ini memiliki batas
keamanan sempit dan berakhir pada dosis toksik (misal, digoxin, antibiotik aminoglycoside,
lithium, theophylline).
Untuk mendokumentasikan kadar obat dalam serum yang berkaitan dengan dosis obat, efek
terapeutik, atau kemungkinan efek yang merugikan.
Untuk memonitor respon yang tidak diinginkan terhadap dosis obat. Hal ini dapat berupa
berkurangnya efek terapeutik atau peningkatan efek yang merugikan.
Bila diduga terjadi overdosis obat.
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 18
Paruh Hidup (Half-Life) Serum
Half-life serum, juga disebut elimination
half-life, adalah waktu yang diperlukan
untuk penurunan konsentrasi obat dalam
serum sebesar 50%. Ia ditentukan teru-
tama oleh kecepatan metabolisme dan
ekskresi obat. Obat dengan half-life yang
pendek memerlukan lebih sering pem-
berian daripada obat dengan half-life
yang panjang.
Bila obat diberikan pada dosis stabil,
maka diperlukan empat atau lima kali
half-life untuk mencapai konsentrasi
steady-state dan berkembang equilibrium
antara konsentrasi obat dalam jaringan
dan serum. Karena efek terapeutik mak-
simal belum terjadi hingga equilibrium
terjadi, maka jumlah obat yang diberikan
harus sebanding (equal) dengan jumlah
obat yang di eliminasi dari tubuh. Bila
dosis obat dirubah, maka penambahan
empat sampai lima kali half-life
diperlukan untuk menentukan equi-
librium; bila obat dihentikan, ia akan di
eliminasi secara bertahap lebih dari
beberapa half-life.
PROSES YANG DIALAMI OBAT DALAM TUBUH YANG SAKIT MAUPUN SEHAT
Saat kita sakit, umumnya kita mengonsumsi obat. Obat yang kita minum tersebut dapat
menyingkirkan penyebab penyakit, menghilangkan gejala penyakit, atau menghilangkan akibat
lanjutan dari suatu penyakit. Apa pun jenis obat yang kita minum, bagaimanakah nasibnya di dalam
tubuh kita?
Untuk dapat memberikan efek yang diinginkan, obat harus dapat mencapai tempatnya bekerja.
Misalnya kita meminum antibiotik untuk pengobatan infeksi ginjal/kandung kemih. Agar antibiotik
dapat bekerja untuk membunuh bakteri, obat tersebut harus mencapai ginjal (tempat antibiotik
bekerja) terlebih dahulu. Setelah mencapai ginjal, antibiotik dapat membunuh bakteri sehingga
memberikan kesembuhan yang diharapkan.
Setelah obat bekerja di dalam tubuh dan menghasilkan efek, obat akan dikeluarkan dari dalam
Gambar 2.7. Kadar obat dalam serum dengan dosis obat oral tunggal
dan multiple. Obat mulai bekerja bila cukup obat diabsorpsi untuk
mencapai konsentrasi efektif minimum (KEM), berlanjut sepanjang kadar
serum diatas KEM, dan semakin berkurang ketika molekul-molekul obat
dimetabolisme dan diekskresi (jika tidak ada lagi penambahan dosis
yang diberikan), dan berhenti bila kadar serum turun dibawah KEM.
Tujuan terapi obat adalah untuk mempertahankan kadar obat dalam
serum dalam rentang terapeutik (therapheutic windows).
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 19
tubuh. Ada banyak tahapan yang perlu dilalui obat mulai dari pemberian, kemudian menghasilkan
efek, dan terakhir dikeluarkan dari dalam tubuh.
Obat yang berada di dalam tubuh akan dianggap sebagai benda asing oleh tubuh karena secara
normal senyawa obat tidak terdapat di dalam tubuh. Tubuh memiliki mekanisme alamiah untuk
mendetoksifikasi (menurunkan sifat toksik suatu zat) benda asing yang masuk ke tubuh. Oleh
karena itu, senyawa obat akan didetoksifikasi oleh tubuh sehingga obat tidak terlalu toksik/beracun
bagi tubuh. Proses detoksifikasi obat oleh tubuh merupakan tahapan metabolisme obat. Sebagian
besar obat akan didetoksifikasi di hati oleh enzim-enzim mikrosomal hati. Hasilnya merupakan
suatu senyawa yang sifat toksik/beracunnya lebih rendah dibandingkan dengan senyawa awal
sehingga tidak terlalu beracun bagi tubuh.
Tahap terakhir yang dialami oleh obat adalah tahap ekskresi. Pada tahap ini obat akan dikeluarkan
dari dalam tubuh dengan berbagai cara, antara lain melalui ginjal (air seni), saluran cerna (faeces),
kulit (keringat), pernapasan (udara), mata (air mata), atau kelenjar payudara (air susu). Sebagian
besar obat dikeluarkan melalui ginjal. Jika ginjal kita mengalami gangguan, kadar obat dalam tubuh
akan meningkat akibat terhambatnya proses pengeluaran obat melalui ginjal. Oleh karena itu, pada
penderita gangguan ginjal, perlu dilakukan penyesuaian dosis obat - terutama untuk obat yang
dalam kadar rendah dapat menimbulkan keracunan dan obat yang toksik bagi ginjal (nefrotoksik) -
agar kadar obat dalam tubuh tidak terlalu tinggi karena dikhawatirkan akan menimbulkan keracunan
bahkan kematian bagi penderita.
EVALUASI DIRI
1. Proses farmakokinetik, meliputi:
1. Absorpsi 3. Metabolisme
2. Distribusi 4. Ekskresi
2. Distribusi obat dipengaruhi oleh:
1. Aliran darah 3. Efek pengikatan dengan protein
2. Afinitas terhadap jaringan 4. Kecepatan eliminasi
3. Faktor utama dalam menentukan durasi kerja obat, adalah
A. Afinitas terhadap jaringan C. Konsentrasi obat
B. Distribusi obat D. Kecepatan eliminasi
4. Rute eliminasi obat, adalah:
1. Saliva 3. Keringat
2. ASI 4. Urine
5. Untuk mempercepat eliminasi akibat overdosis aspirin, dapat diberikan:
A. Natrium bikarbonat C. Hidrogen peroksida
B. Kalium permanganat D. Natrium klorida
6. Efek obat yang dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai
konsentrasi efektif minimum, disebut:
A. Efek fisiologis primer C. Mula kerja
B. Lama kerja D. Konsentrasi efektif minimum
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 20
PENUGASAN
1. Tujuan Tugas :
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan farmakokinetik dari golongan obat uterotonika,
koagulantia, antipiretik.
2. Uraian Tugas :
a. Obyek garapan :
Obat-obatan yang berhubungan dengan kebidanan.
b. Yang harus dikerjakan dan batasan-batasan :
Menguraikan farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) dari obat
uterotonika, koagulantia, antipiretik. Hasilnya dipresentasikan dikelas pada pertemuan
berikutnya. c. Metode / cara pengerjaan tugas :
Mendiskripsikan farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) dari obat
uterotonika, koagulantia, antipiretik. Dikerjakan secara diskusi kelompok.
d. Deskripsi luaran tugas yang dihasilkan :
Hasil studi tersaji dalam bentuk paper, dengan ukuran kertas kuarto, diketik dengan huruf
Times New Roman, ukuran huruf 12 pt, 1 spasi. Dilengkapi CD presentasi dengan format
powerpoint.
3. Kriteria penilaian :
PENULISAN PAPER
GRADE SKOR INDIKATOR KINERJA Sangat kurang <20 Paper memuat uraian farmakokinetik (absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi) dari obat-obatan yang tidak
berhubungan dengan praktek kebidanan.
Kurang 21-40 Paper memuat uraian farmakokinetik (absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi) dari obat-obatan yang tidak
berhubungan dengan praktek kebidanan (uterotonika saja).
Cukup 41-60 Paper memuat uraian farmakokinetik (absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi) dari obat-obatan yang tidak
berhubungan dengan praktek kebidanan (uterotonika dan
koagulantia saja).
Baik 61-80 Paper memuat uraian farmakokinetik (absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi) dari obat-obatan yang tidak
berhubungan dengan praktek kebidanan (uterotonika, koagulantia
dan antipiretik).
Sangat baik >81 Paper memuat uraian farmakokinetik (absorpsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi) dari obat-obatan yang tidak
berhubungan dengan praktek kebidanan (uterotonika, koagulantia
dan antipiretik yang sering dipakai di BPS).
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN
COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 21
DAFTAR PUSTAKA
Barone, J. A., & Hermes-DeSantis, E. R. (2000). Adverse drug reactions and drug-induced diseases.
In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook of therapeutics: Drug and disease
management (7th ed., pp. 21–34). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Brater, D. C. (2000). Principles of clinical pharmacology. In H. D. Humes (Ed.), Kelley’s textbook
of internal medicine (4th ed., pp. 311–319). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Drug facts and comparisons. (Updated monthly). St. Louis: Facts and Comparisons.
Ensom, M. H. H. (2000). Gender-based differences and menstrual cycle-related changes in specific
diseases: Implications for pharmacotherapy. Pharmacotherapy, 20(5), 523–539.
Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2000). Textbook of medical physiology (10th ed.). Philadelphia: W. B.
Saunders.
Klein-Schwartz, W., & Oderda, G. M. (2000). Clinical toxicology. In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook of therapeutics: Drug and disease management (7th ed., pp. 51–
68). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Matthews, H. W., & Johnson, J. (2000). Racial, ethnic, and gender differences in response to drugs.
In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook of therapeutics: Drug and disease
management (7th ed., pp. 93–103). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.
Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M. P., & Lance, L. L. (2003). Lexi-Comp’s drug
information handbook (11th ed.). Hudson, OH: American Pharmaceutical Association.
Tatro, D. S. (2000). Drug interactions. In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook of
therapeutics: Drug and disease management (7th ed., pp. 35–49). Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.