FARMAKOKINETIKA

21
MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN COPYRIGHT © ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 1 FARMAKOKINETIK Ardi Panggayuh, S.Kp, M.Kes MODUL 2 150 Menit Semua fungsi tubuh dan proses penyakit dan kebanyakan aksi obat terjadi pada tingkat seluler. Obat adalah zat kimia yang merubah proses dasar dalam sel-sel tubuh. Mereka dapat menstimulasi atau menghambat fungsi normal dan aktivitas seluler; mereka tidak dapat menambah fungsi dan aktivitas seluler. Untuk bekerja pada sel-sel tubuh, maka obat yang diberikan untuk memberikan efek sistemik harus mencapai konsentrasi yang adequat dalam darah dan cairan jaringan lain disekitar sel- sel. Dengan demikian, mereka harus memasuki tubuh dan bersirkulasi pada site of action mereka (sel-sel target). Untuk mencapai tempat kerja suatu obat harus melewati berbagai membran sel tubuh. Setelah mereka bekerja pada sel-sel, mereka harus dieliminasi dari tubuh. Bagaimana obat sistemik mencapai, berinteraksi dengan, dan meninggalkan sel-sel tubuh? Bagaimana seseorang merespon terhadap kerja obat? Jawaban terhadap pertanyaan ini diperoleh dari fisiologi seluler, jalur dan mekanisme transport obat, farmakokinetik, farmakodinamik, dan konsep dan proses dasar lainnya. Konsep dan proses tersebut membentuk fondasi bagi terapi obat yang rasional. Respon yang diinginkan dari suatu obat biasanya berkaitan dengan kadar obat pada tempat kerjanya, sehingga tujuan terapi adalah untuk mempertahankan kadar obat yang cukup pada tempat kerja obat tersebut. Dalam prakteknya sangat sulit untuk mengukur kadar obat pada tempat kerja dan akan lebih mudah mengukur kadar obat dalam plasma darah, dan menghubungkan kadar obat dalam plasma dengan respon yang diperoleh. Jadi dapat dikatakan bahwa tujuan terapi dengan pemberian obat adalah untuk mempertahankan kadar obat yang cukup dalam darah yang akan memberikan hasil pengobatan yang kita inginkan. Jika suatu obat digunakan secara profilaksis, misalnya untuk pengobatan epilepsi, atau pemakaian obat yang responnya sukar diukur (misalnya efek anti inflamasi), maka kadar obat dalam darah merupakan parameter yang dapat digunakan secara efektif untuk memonitor terapi. Setiap individu mempunyai gambaran farmakokinetik obat yang berbeda-beda. Dosis yang sama dari suatu obat bila diberikan pada sekelompok orang bisa menunjukkan gambaran kadar dalam darah yang berbeda-beda dan respon yang berlainan pula dalam intensitasnya. Kenyataannya hubungan konsentrasi obat dalam darah dengan respon yang dihasilkan tidak banyak bervariasi dibanding dengan hubungan dosis dengan respon. KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa dapat memahami farmakokinetik. INDIKATOR 1. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian farmakokinetik. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan absorpsi dan bioavailabilitas obat. 3. Mahasiswa dapat menjelaskan distribusi obat. 4. Mahasiswa dapat menjelaskan biotransformasi obat. 5. Mahasiswa dapat menjelaskan ekskresi obat. 6. Mahasiswa dapat menjelaskan proses yang dialami obat dalam tubuh yang sakit maupun sehat.

description

farmakokinetika kebidanan

Transcript of FARMAKOKINETIKA

Page 1: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 1

FARMAKOKINETIK Ardi Panggayuh, S.Kp, M.Kes

MODUL 2

150 Menit

Semua fungsi tubuh dan proses penyakit dan

kebanyakan aksi obat terjadi pada tingkat seluler.

Obat adalah zat kimia yang merubah proses dasar

dalam sel-sel tubuh. Mereka dapat menstimulasi

atau menghambat fungsi normal dan aktivitas

seluler; mereka tidak dapat menambah fungsi dan

aktivitas seluler. Untuk bekerja pada sel-sel tubuh,

maka obat yang diberikan untuk memberikan efek

sistemik harus mencapai konsentrasi yang adequat

dalam darah dan cairan jaringan lain disekitar sel-

sel. Dengan demikian, mereka harus memasuki

tubuh dan bersirkulasi pada site of action mereka

(sel-sel target). Untuk mencapai tempat kerja suatu

obat harus melewati berbagai membran sel tubuh.

Setelah mereka bekerja pada sel-sel, mereka harus

dieliminasi dari tubuh. Bagaimana obat sistemik

mencapai, berinteraksi dengan, dan meninggalkan

sel-sel tubuh? Bagaimana seseorang merespon

terhadap kerja obat? Jawaban terhadap pertanyaan

ini diperoleh dari fisiologi seluler, jalur dan

mekanisme transport obat, farmakokinetik,

farmakodinamik, dan konsep dan proses dasar lainnya. Konsep dan proses tersebut membentuk

fondasi bagi terapi obat yang rasional.

Respon yang diinginkan dari suatu obat biasanya berkaitan dengan kadar obat pada tempat

kerjanya, sehingga tujuan terapi adalah untuk mempertahankan kadar obat yang cukup pada tempat

kerja obat tersebut. Dalam prakteknya sangat sulit untuk mengukur kadar obat pada tempat kerja

dan akan lebih mudah mengukur kadar obat dalam plasma darah, dan menghubungkan kadar obat

dalam plasma dengan respon yang diperoleh. Jadi dapat dikatakan bahwa tujuan terapi dengan

pemberian obat adalah untuk mempertahankan kadar obat yang cukup dalam darah yang akan

memberikan hasil pengobatan yang kita inginkan.

Jika suatu obat digunakan secara profilaksis, misalnya untuk pengobatan epilepsi, atau pemakaian

obat yang responnya sukar diukur (misalnya efek anti inflamasi), maka kadar obat dalam darah

merupakan parameter yang dapat digunakan secara efektif untuk memonitor terapi.

Setiap individu mempunyai gambaran farmakokinetik obat yang berbeda-beda. Dosis yang sama

dari suatu obat bila diberikan pada sekelompok orang bisa menunjukkan gambaran kadar dalam

darah yang berbeda-beda dan respon yang berlainan pula dalam intensitasnya. Kenyataannya

hubungan konsentrasi obat dalam darah dengan respon yang dihasilkan tidak banyak bervariasi

dibanding dengan hubungan dosis dengan respon.

KEMAMPUAN AKHIR YANG

DIHARAPKAN

Mahasiswa dapat memahami

farmakokinetik.

INDIKATOR

1. Mahasiswa dapat menjelaskan

pengertian farmakokinetik.

2. Mahasiswa dapat menjelaskan

absorpsi dan bioavailabilitas obat.

3. Mahasiswa dapat menjelaskan

distribusi obat.

4. Mahasiswa dapat menjelaskan

biotransformasi obat.

5. Mahasiswa dapat menjelaskan

ekskresi obat.

6. Mahasiswa dapat menjelaskan proses

yang dialami obat dalam tubuh yang

sakit maupun sehat.

Page 2: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 2

Dengan menganggap bahwa respon terhadap obat tergantung pada kadar obat dalam darah, maka

kita kenal 3 macam kadar obat, yaitu: kadar efektif minimum, dimana pada kadar dibawahnya

tidak jelas adanya efek obat, kadar toksik, dimana efek-efek toksik (efek samping yang tidak

diinginkan) mulai timbul dan therapeutic window, kadar obat yang terletak antara kadar efektif

minimum dan kadar toksik.

Tujuan terapi adalah untuk mempertahankan kadar obat dalam batas-batas therapeutic window,

sehingga diperoleh efek yang diinginkan dan dengan efek samping yang minimal. Harus diingat

bahwa therapeutic window juga bervariasi secara individual, misalnya fentoin mempunyai

therapeutic window yang sempit yaitu antara 10 dan 20 mg/liter, sudah efektif untuk mengontrol

dan mencegah timbulnya kejang.

Fisiologi Seluler

Sel (Gambar 2.1.) adalah “pabrik” yang dinamis

dan sibuk. Mereka mengambil bahan-bahan dasar,

menghasilkan berbagai produk yang diperlukan

untuk mempertahankan fungsi tubuh dan seluler,

dan mengirim produk tersebut ke tujuan yang tepat

dalam tubuh. Walaupun sel-sel berbeda dari satu

jaringan ke jaringan lainnya, tetapi mereka

memiliki karakteristik umum yang meliputi

kemampuan untuk:

Menukarkan material dengan lingkungan

mereka

Memperoleh energi dari nutrien

Mensintesis hormon, neurotransmitter, enzim,

protein struktural, dan molekul kompleks

lainnya

Menyalin diri mereka sendiri (reproduksi)

Berkomunikasi dengan yang lainnya melalui berbagai kimia biologik, seperti neurotransmitter

dan hormon

Transport Obat Melalui Membran Sel

Obat, seperti halnya substansi fisiologi seperti hormon dan neurotransmitter, maka obat harus

mencapai dan berinteraksi dengan atau melintasi membran sel dalam rangka untuk menstimulasi

atau menghambat fungsi seluler. Kebanyakan obat diberikan untuk mempengaruhi sel-sel tubuh

yang jauh dari tempat pemberian (misal, efek sistemik). Untuk bergerak melalui tubuh dan

mencapai site of action mereka, metabolisme dan ekskresi (Gambar 2.2.), maka molekul-molekul

obat harus melintasi sejumlah membran sel (Gambar 2.3.).

Sebagai contoh, kebanyakan molekul-molekul obat oral harus melintasi membran sel dalam saluran

gastrointestinal, liver, dan kapiler untuk mencapai pembuluh darah, bersirkulasi ke sel target

mereka, meninggalkan pembuluh darah dan melekat pada reseptor pada sel, melakukan aksi

mereka, kembali ke pembuluh darah, bersirkulasi ke liver, mencapai drug-metabolizing enzyme

dalam sel-sel liver, masuk kembali dalam pembuluh darah (biasanya sebagai metabolit), bersirkulasi

Gambar 2.1. Diagram skematik sel dan organela

Page 3: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 3

ke ginjal, dan diekskresi dalam urine.

Beberapa jalur transport dan mekanisme

yang digunakan untuk menggerakkan

molekul-molekul obat melalui tubuh

dijelaskan dalam fondasi: Jalur dan

Mekanisme Transport Obat.

Jalur dan Mekanisme Transport Obat

Jalur

Terdapat tiga jalur utama dari pergerakan

obat melewati membran-membran sel

(Gambar 3). Jalur yang paling umum adalah

penetrasi langsung dari membran oleh obat

yang dapat larut dalam lipid, dimana mereka

dapat larut dalam lapisan lipid dari membran

sel. Kebanyakan obat sistemik di

formulasikan untuk dapat larut dalam lipid

sehingga mereka dapat bergerak melalui

membran-membran sel, sedangkan tablet

dan kapsul oral harus cukup dapat larut

dalam air agar terlarut dalam cairan aqeuous dari lambung dan usus halus.

Jalur kedua yaitu passage melalui kanal protein yang semuanya melewati membran sel. Hanya

beberapa obat yang dapat menggunakan jalur ini karena kebanyakan molekul-molekul obat cukup

besar untuk melewati kanal yang

kecil. Ion-ion kecil (seperti

sodium dan potassium) meng-

gunakan jalur ini, tetapi per-

gerakan mereka dikendalikan oleh

kanal spesifik dengan mekanisme

gating. Gate adalah lekukan (flap)

dari protein, yang membuka

selama beberapa milidetik untuk

memungkinkan pergerakan ion

melintasi membran sel, dan

kemudian menutup (yaitu, mem-

block lubang kanal) untuk

mencegah tambahan pergerakan

ion. Pada kanal sodium, gate ini

terletak pada sisi luar dari

membran sel; bila gate terbuka,

maka ion-ion sodium (Na++

)

bergerak dari cairan ekstraseluler

kedalam sel. Pada kanal

potassium, gate ini terletak pada

Gambar 2.2. Tempat masuk dan pergerakan molekul-molekul obat

melalui site of action, metabolisme, dan ekskresi.

Gambar 2.3. Jalur transport obat. Molekul-molekul obat menembus membran sel

untuk berpindah kedalam dan keluar sel-sel tubuh dengan cara menembus

langsung lapisan lipid, berdifusi melalui ion channel, atau melekat pada protein

karier.

Page 4: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 4

sisi dalam dari membran sel; bila gate terbuka, maka ion-ion potassium (K+) bergerak dari dalam sel

menuju cairan ekstraseluler.

Stimulus yang membuka dan menutupnya gate mungkin voltage gating atau chemical (juga disebut

sebagai ligand) gating. Dengan voltage gating, maka potensial elektrikal yang melintasi membran

sel menentukan apakah gate terbuka atau tertutup. Dengan chemical gating, maka substansi kimia

(ligand) mengikat pada protein yang membentuk kanal dan merubah bentuk dari protein untuk

membuka atau menutup gate. Chemical gating (misal, neurotrans-mitter seperti acetylcholine)

adalah sangat penting dalam mentrans-misikan signal dari salah satu sel sarf ke sel saraf lainnya dan

dari sel saraf ke sel-sel otot untuk menyebabkan kontraksi otot.

Jalur ketiga melibatkan protein karier (carrier protein) yang mentransport molekul-molekul dari

salah satu sisi membran sel ke sisi lainnya. Semua protein karier bersifat selektif terhadap substansi

yang mereka transport; oleh karena itu, struktur obat menentukan apakah karier akan

mentransportnya. Sistem transport ini adalah cara yang penting untuk menggerakkan molekul-

molekul obat keseluruh tubuh. Sebagai contoh, mereka digunakan untuk membawa obat oral dari

usus ke pembuluh darah, untuk membawa hormon ke site of action mereka dibagian dalam sel-sel

tubuh, dan untuk membawa molekul-molekul obat dari darah kedalam tubulus ginjal.

Mekanisme

Ketika diabsorpsi kedalam tubuh, maka obat akan ditransport ke dan dari sel-sel target melalui

mekanisme seperti difusi pasif, facilitated diffusion, dan transport aktif.

Difusi pasif, merupakan mekanisme yang paling umum, yang melibatkan pergerakan obat dari area

dengan konsentrasi yang lebih tinggi ke area dengan konsentrasi yang lebih rendah. Sebagai contoh,

setelah pemberian obat oral, konsentrasi awal dari obat akan lebih tinggi dalam saluran

gastrointestinal daripada didalam darah. Hal ini meningkatkan pergerakan obat kedalam pembuluh

darah. Ketika obat bersirkulasi, maka konsentrasi dalam darah menjadi lebih tinggi daripada

didalam sel-sel tubuh, sehingga obat bergerak (dari kapiler) kedalam cairan sekitar sel atau kedalam

sel-sel itu sendiri. Difusi pasif berlanjut hingga kondisi equilibrium tercapai antara jumlah obat

dalam jaringan dan jumlah obat dalam darah.

Facilitated diffusion, merupakan proses yang mirip dengan difusi pasif, terkecuali bahwa molekul-

molekul obat dikominiasi dengan substansi karier, seperti enzim atau protein lainnya.

Pada transport aktif, molekul-molekul obat digerakkan dari area dengan konsentrasi yang lebih

rendah ke area dengan konsentrasi yang lebih tinggi. Proses ini memerlukan substansi karier dan

melepaskan energi seluler.

Jalur Transport Obat dan Mekanisme

Jalur

Terdapat tiga jalur utama pergerakan obat melintasi membran sel. Kebanyakan jalur yang umum adalah

penetrasi langsung pada membran oleh obat-obat yang dapat larut dalam lemak, yang dapat terlarut dalam

lapisan lemak dari membran sel. Kebanyakan obat-obat sistemik diformulasikan dalam bentuk dapat larut

dalam lemak sehingga mereka dapat bergerak melalui membran-membran sel, sedangkan rata-rata tablet

Page 5: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 5

Jalur Transport Obat dan Mekanisme dan kapsul oral harus cukup dapat larut dalam air sehingga terlarut dalam cairan aqueous dari lambung

dan usus halus.

Jalur kedua melibatkan lintasan melalui protein channel yang menembus melalui membran sel. Hanya

sedikit obat yang dapat menggunakan jalur ini karena kebanyakan molekul obat cukup besar untuk

melewati channel yang kecil. Ion-ion kecil (misal, sodium dan potassium) menggunakan jalur ini, tetapi

pergerakan mereka dikendalikan oleh channel spesifik dengan mekanisme gating. Gate adalah celah

protein, yang terbuka selama beberapa millidetik yang memungkinkan pergerakan ion melintasi membran

sel, dan kemudian menutup (yaitu, mem-block lubang channel) untuk mencegah penambahan pergerakan

ion. Pada sodium channel, gate terletak pada sisi luar dari membaran sel; bila gate terbuka, ion-ion sodium

(Na+) bergerak cairan ekstraseluler kedalam sel. Pada potassium channel, gate terletak pada sisi dalam

membran sel; bila gate terbuka, ion-ion potassium (K+) bergerak dari sel kedalam cairan ekstraseluler.

Stimulus yang membuka dan menutup gate mungkin voltage gating atau chemical gating (juga disebut

ligand). Dengan voltage gating, maka potensial listrik melintasi membran sel yang akan menentukan

apakah gate terbuka atau tertutup. Dengan chemical gating, maka substansi chemical (ligand) mengikat

pada protein untuk membentuk channel dan merubah bentuk dari protein sehingga membuka atau

menutup gate. Chemical gating (misal, oleh neurotransmitter seperti acetylcholine) adalah sangat penting

dalam mentransmisi signal dari salah satu sel saraf ke sel saraf lainnya dan dari sel saraf ke sel-sel otot

untuk menyebabkan kontraksi otot.

Jalur ketiga melibatkan protein karier yang mentransport molekul-molekul dari satu sisi membran sel ke

sisi lain dari membran sel. Semua protein karier bersifat selektif pada substansi yang mereka transport;

struktur obat menentukan karier mana yang akan mentransportnya. Sistem transport ini adalah cara yang

penting bagi pergerakan molekul-molekul obat keseluruh tubuh. Sebagai contoh, mereka digunakan untuk

membawa obat oral dari dari usus ke aliran darah, untuk membawa hormon ke site of action mereka disisi

dalam sel-sel tubuh, dan untuk membawa molekul-molekul obat dari darah kedalam tubulus ginjal.

Mekanisme

Ketika diabsorpsi kedalam tubuh, maka obat akan ditransport ke dan dari sel-sel target oleh mekanisme

seperti difusi pasif, facilitated diffusion, dan transport aktif.

Difusi pasif, adalah mekanisme yang paling umum, melibatkan pergerakan obat dari area dengan

konsentrasi lebih tinggi ke area dengan konsentrasi yang lebih rendah. Sebagai contoh, setelah pemberian

obat oral, maka konsentrasi awal obat adalah lebih tinggi dalam saluran gastrointestinal daripada dalam

darah. Hal ini meningkatkan pergerakan obat kedalam aliran darah. Ketika obat di sirkulasikan, maka

konsentrasi lebih tinggi dalam darah daripada dalam sel-sel tubuh, sehingga obat bergerak (dari kapiler)

kedalam cairan sekitar sel atau kedalam sel-sel itu sendiri. Difusi pasif berlanjut hingga keadaan

equilibrium tercapai antara jumlah obat dalam jaringan dan jumlah obat dalam darah.

Facilitated diffusion adalah proses yang mirip, tetapi molekul-molekul obat bergabung dengan substansi

karier, seperti enzim atau protein lainnya.

Pada transport aktif, molekul-molekul obat bergerak dari area dengan konsentrasi lebih rendah ke area

dengan konsentrasi lebih tinggi. Proses ini memerlukan substansi karier dan melepaskan energi seluler.

Page 6: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 6

PENGERTIAN FARMAKOKINETIK

Ilmu yang mempelajari cara tubuh menangani obat mulai dari pemberian hingga eliminasi, disebut

farmakokinetik. Farmakokinetik adalah bidang studi yang mempelajari bagaimana tubuh kita

memanipulasi obat. Bidang ilmu ini mencoba memahami prinsip-prinsip dari dosis obat, distribusi

dan durasi kerja obat.

Farmakokinetik, dalam arti sempit, adalah perjalanan obat melalui tubuh. Bagaimana obat yang kita

telan melalui mulut kita dapat mencapai infeksi yang terletak pada kaki kita? Dan bagaimana kita

membersihkan obat dari dalam tubuh kita?

Farmakokinetik berhubungan dengan pergerakan obat melalui tubuh (atau, “what the body does to

the drug”) untuk mencapai site of action, metabolisme, dan ekskresi. Dalam farmakokinetik dipelajari tentang proses-proses khusus yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme (biotransformasi),

dan ekskresi. Secara keseluruhan, proses ini sangat menentukan kadar obat dalam serum, mula

(onset), puncak dan durasi kerja obat, half-life obat, efek terapeutik dan merugikan dari obat, dan

aspek penting lainnya dari terapi obat.

Peneliti mempelajari farmakokinetik dari obat sehingga mereka mengetahui bagaimana kekuatan

obat berdasarkan waktu untuk mencapai sel target.

Terdapat empat proses dari farmakokinetik: (1) absorpsi, (2) distribusi, (3) metabolisme, dan (4)

ekskresi.

ABSORPSI DAN BIOAVAILABILITAS

Absorpsi adalah proses yang terjadi dari waktu obat memasuki tubuh sampai waktu ia memasuki

pembuluh darah untuk bersirkulasi. Mula kerja obat adalah sangat ditentukan oleh kecepatan

absorpsi; intensitas ditentukan oleh tingkat absorpsi. Sejumlah faktor yang mempengaruhi

kecepatan dan tingkat absorpsi obat, meliputi bentuk dosis, rute pemberian, aliran darah ke tempat

pemberian, fungsi gastrointestinal, adanya makanan atau obat lain, dan variabel lainnya. Bentuk

dosis adalah penentu utama dari bioavailability obat (bagian dari dosis yang mencapai sirkulasi

sistemik dan tersedia untuk bekerja pada sel-sel tubuh). Obat intravenous (IV) sebenarnya 100%

bioavailable; obat oral sebenarnya selalu kurang dari 100% bioavailable karena beberapa

diantaranya tidak diabsorpsi dari saluran gastrointestinal dan beberapa diantaranya menuju liver dan

sebagaian dimetabolisme sebelum mencapai sirkulasi sistemik (first-pass effect).

Kebanyakan obat oral harus ditelan, terlarut dalam cairan lambung, dan diteruskan ke usus halus

(memiliki area permukaan yang luas untuk absorpsi nutrien dan obat) sebelum mereka diabsorpsi.

Obat cair (liquid) diabsorpsi lebih cepat daripada teblet atau kapsul karena mereka tidak perlu

dilarutkan. Pergerakan cepat melalui lambung dan usus halus mungkin meningkatkan absorpsi obat

melalui peningkatan kontak dengan membran mukosa absorptif; ia juga mungkin menurunkan

absorpsi karena beberapa obat mungkin bergerak melalui usus halus terlalu cepat untuk diabsorpsi.

Untuk beberapa obat, adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorpsi dan

mungkin menurunkan jumlah obat yang diabsorpsi.

Page 7: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 7

Obat yang diinjeksikan kedalam subkutan atau jaringan intramuskuler biasanya diabsorpsi lebih

cepat daripada obat oral karena mereka bergerak secara langsung dari tempat injeksi ke pembuluh

darah. Absorpsi cepat dari tempat intramuskuler karena jaringan otot memiliki banyak suplai darah.

Obat yang diinjeksi secara intravena tidak perlu diabsorpsi karena mereka dimasukkan secara

langsung kedalam pembuluh darah.

Tempat absorpsi lainnya adalah kulit, membran mukosa, dan paru-paru. Kebanyakan obat yang

diberikan pada kulit digunakan untuk efek lokal (misal, sunscreen). Absorpsi sistemik adalah

minimal dari kulit yang utuh tetapi harus dipertimbangkan bila kulit mengalami inflamasi atau

kerusakan. Juga, jumlah obat yang diformulasikan dalam pita adhesive (plester) untuk absorpsi

melalui kulit (misal, clonidine, estrogen, fentanyl, nitroglycerin, scopolamine). Beberapa obat yang

diberikan pada membran mukosa juga digunakan untuk efek lokal. Akan tetapi, absorpsi sistemik

akan terjadi dari mukosa rongga mulut, hidung, mata, vagina, dan rektum. Obat diabsorpsi melalui

membran mukosa melewati secara langsung kedalam pembuluh darah. Paru-paru memiliki area

permukaan yang luas untuk absorpsi gas anestetik dan beberapa obat lainnya.

Bioavailabilitas

Obat-obatan yang diberikan kepada pasien dapat melalui berbagai cara; mereka mungkin diberikan

secara injeksi, diabsorpsi dari saluran gastrointestinal setelah diberikan per-oral atau per-rektal,

diberikan secara lokal atau melalui inhalasi.

Istilah bioavailabilitas digunakan untuk menggambarkan bagian dosis obat yang diberikan yang

mencapai sirkulasi. Jika obat diberikan secara intravenous maka bioavailabilitas akan mencapai

100%; jika diberikan secara per-oral maka hanya sebagian yang mungkin mencapai sirkulasi.

Pemberian obat per-oral adalah cara yang paling umum dan paling mudah dan biovailabilitas

melalui rute ini tergantung pada beberapa faktor:

1. Absorpsi. Hal ini tergantung pada sifat fisikal dari obat yang menentukan apakah ia akan lewat

melalui dinding usus, dan tergantung pada formulasi obat yang dibuat oleh pabrik. Absorpsi

mungkin sempurna atau tidak sempurna dan mungkin dipengaruhi oleh kecepatan pengosongan

lambung, adanya dan tidak adanya makanan dalam lambung dan, kadang-kadang, oleh interaksi

dengan obat lain atau penyakit saluran gastrointestinal.

2. First pass effect. Bila obat diabsorpsi dari saluran gastrointestinal maka ia akan melewati vena

porta ke liver sebelum mencapai sirkulasi umum. Hal ini penting karena beberapa obat akan

dimetabolisme (dipecah) karena mereka melewati liver sehingga hanya sebagian dari jumlah

obat yang betul-betul mencapai sirkulasi. Pembersihan obat yang melewati liver ini disebut first

pass effect. Obat yang menunjukkan first pass effect yang sangat besar hampir selalu tidak aktif

jika diberikan per-oral, contoh: lignocaine dan glyceryl trinitrate, diberikan melalui injeksi atau,

diabsorpsi melalui mukosa mulut, dengan cara dikunyah atau dihisap, sehingga menghindari

dimetabolisme oleh liver.

Setelah absorpsi, obat memasuki aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh. Mereka mungkin

terlarut dalam plasma, tetapi beberapa diantaranya sulir larut dan dan sebagian berikatan dengan

protein plasma yang bertindak sebagai karier. Adalah penting untuk dipahami bahwa fraksi obat

yang berikatan dengan protein adalah tidak aktif dan hanya obat dalam bentuk bebas dan tidak

berikatan dengan protein yang memiliki aksi farmakologikal.

Page 8: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 8

Konsentrasi obat dalam aliran darah adalah indeks yang baik untuk menentukan apakah dosis

yang diberikan telah tepat untuk menghasilkan efek terapeutik yang memuaskan. Oleh karena

itu, perawat dan bidan harus mengetahui faktor-faktor yang menentukan konsentrasi obat dalam

darah.

a. Dosis. Jelaslah bahwa dosis yang lebih besar, akan menghasilkan konsentrasi yang lebih

tinggi.

b. Rute pemberian. Prosedur injeksi intravenous dengan cepat meningkatkan konsentrasi obat

dalam darah, sedangkan pemberian secara per-oral akan menghasilkan peningkatan

konsentrasi obat dalam darah yang lambat dan konsentrasi puncak yang lebih rendah. Injeksi

intramuskuler menghasilkan konsentrasi obat dalam darah dengan kecepatan diantara kedua

prosedur tersebut.

c. Distribusi obat. Hal ini merupakan faktor penting lainnya yang menentukan konsentrasi

obat dalam plasma dan juga aktivitas dan efek terapeutik (Gambar 2.4.). beberapa obat

terkurung pada aliran darah dan hal ini sangat membatasi efek mereka; sebagai contoh,

antibiotik yang tidak memasuki jaringan tidak akan bermanfaat untuk mengobati

kebanyakan infeksi.

Sedangkan obat yang lainnya akan berdifusi keluar dari sirkulasi kedalam ruang jaringan

dan beberapa diantaranya masuk kedalam sel-sel dan menyebar keseluruh total air tubuh

(total body water). Tetapi, juga terdapat obat yang secara nyata terkonsentrasi dalam sel-sel.

Rata-rata distribusi volume air dalam kompartemen tubuh orang dewasa adalah:

Plasma 3 liter

Ruang ekstraseluler 15 liter

Total body water 36 liter

Dapat dilihat, bahwa semakin luas obat berdifusi, maka obat yang diberikan akan

menghasilkan konsentrasi yang semakin rendah.

d. Kecepatan eliminasi. Semakin cepat tubuh memecah atau mengekskresi obat, maka

semakin cepat konsentrasi obat dalam darah mengalami penurunan.

Gambar 2.4. Distribusi Obat.

Page 9: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 9

Obat-obatan pada umumnya di eliminasi dalam satu atau dua cara (Gambar 2.5.):

1) Mereka mungkin dipecah atau dikombinasi dengan beberapa zat kimia lainnya sehingga

mereka tidak cukup memiliki efek farmakologikal secara aktif. Hal ini biasanya terjadi

didalam liver dan dilakukan oleh substansi yang disebut enzim. Enzim memiliki sifat

meningkatkan reaksi kimia tertentu, dan beberapa dari enzim tersebut berkaitan dengan

inaktivasi obat-obatan. Oleh karena itu, jika sel-sel liver mengalami kerusakan akibat

penyakit atau sirkulasi ke liver mengalami penurunan akibat gagal jantung, maka proses

inaktivasi mungkin berjalan lebih lambat dari normal. Aktivitas enzim-enzim liver dapat

ditingkatkan atau diturunkan oleh obat-obatan dan hal ini memiliki implikasi yang

penting dalam memberikan pengobatan pada pasien.

Juga terdapat faktor genetik yang menentukan perbedaan kecepatan pemecahan beberapa

obat oleh tubuh. Suxamethonium yang normalnya mengakibatkan paralisis sementara

pada otot volunter sebagai akibat pemecahan oleh enzim, tetapi pada keluarga tertentu

enzim-enzim ini mengalami kondisi ketidaknormalan atau defisiensi sehingga

subaxmethonium menyebabkan paralisis yang lebih lama.

Pada obat-obatan tipe tertentu, jika diberikan dengan cepat, maka proses pemecahan

menjadi lebih efektif. Oleh karena itu, lebih besar dosis yang diperlukan untuk

menghasilkan efek yang sama dan hal ini diketahui sebagai toleransi obat.

2) Obat atau produk pemecahan mereka mungkin di ekskresi melalui ginjal dan, jika ginjal

mengalami kerusakan akibat penyakit, maka ekskresi akan lambat dan terjadi akumulasi.

Pada orang dengan usia 80 tahun, fungsi ginjal mengalami penurunan kira-kira separuh

dari orang dewasa muda, sehingga beberapa obat memerlukan penurunan dosis pada

orang tua. Jarang obat di ekskresi melalui paru-paru dan rute ini penting pada kasus

pemberian anesthesi volatile.

Kecepatan eliminasi adalah faktor utama dalam memutuskan durasi kerja dari obat dan

dikaitkan sebagai plasma half-life (t½) dari obat.

Gambar 2.5. Eliminasi Obat.

Page 10: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 10

DISTRIBUSI OBAT

Distribusi berhubungan dengan transport molekul-molekul obat dalam tubuh. Ketika obat

diinjeksikan atau diabsorpsi kedalam pembuluh darah, ia dibawa oleh darah dan cairan jaringan ke

tempat kerja farmakologik, metabolisme, dan ekskresi. Kebanyakan molekul-molekul obat masuk

dan meninggalkan pembuluh darah pada tingkat kapiler, melalui celah antara sel-sel yang

membentuk dinding kapiler. Distribusi sebagian besar tergantung pada adequasi dari sirkulasi darah.

Obat didistribusikan secara cepat ke organ yang menerima suplai darah yang besar, seperti jantung,

liver, dan ginjal. Distribusi ke organ internal lainnya, otot, lemak, dan kulit biasanya lebih lambat.

Faktor yang penting dalam distribusi obat adalah protein binding (Gambar 2.6.). Kebanyakan obat

membentuk kompleks dengan protein plasma, terutama albumin, yang berkerja sebagai karier.

Molekul-molekul obat yang mengikat pada protein plasma secara farmakologikal adalah tidak aktif karena ukuran besar dari kompleks protein-obat mencegah mereka meninggalkan pembuluh darah

melalui pori-pori kecil dalam dinding kapiler dan mencapai site of action mereka, metabolisme dan

ekskresi. Hanya bagian yang bebas atau tidak berikatan yang bekerja sebagai obat pada sel-sel

tubuh. Sebagai obat bebas yang bekerja pada sel, maka penurunan kadar obat dalam plasma

menyebabkan beberapa obat yang terikat akan dilepaskan.

Protein binding memungkinkan bagian dari dosis obat disimpan dan dilepaskan jika diperlukan.

Beberapa obat juga disimpan dalam otot, lemak, atau jaringan tubuh lainnya dan dilepaskan secara

bertahap bila kadar obat dalam plasma turun.

Mekanisme penyimpanan ini mempertahankan

rendahnya kadar obat dalam darah dan

mengurangi resiko toksisitas. Obat yang

berikatan kuat pada protein plasma atau banyak

disimpan dalam jaringan lain memiliki durasi

kerja yang panjang.

Distribusi obat kedalam sistem saraf pusat (CNS)

adalah terbatas karena adanya blood-brain

barrier, yang terdiri dari kapiler-kapiler dengan

dinding yang rapat, membatasi pergerakan

molekul-molekul obat kedalam jaringan otak.

Barrier ini biasanya bekerja sebagai membran

permeable yang selektif untuk melindungi CNS.

Akan tetapi, ia juga dapat membuat terapi obat

pada penyakit CNS menjadi lebih sulit karena

obat harus lewat melalui sel-sel dari dinding

kapiler daripada diantara sel-sel. Sebagai akibatnya, hanya obat yang dapat larut lipid atau memiliki

sistem transport dapat menembus blood-brain barrier dan mencapai konsentrasi terapeutik dalam

jaringan otak.

Distribusi obat selama kehamilan dan laktasi juga unik. Selama kehamilan, kebanyakan obat

melintasi plasenta dan mungkin mempengaruhi fetus. Selama laktasi, beberapa obat masuk kedalam

air susu dan mungkin mempengaruhi perawatan bayi.

Gambar 2.6. Protein plasma, terutama albumin (A), bekerja

sebagai karier untuk molekul-molekul obat (D). Ikatan obat

(A-D) tinggal dalam aliran darah dan secara farmakologik tidak

aktif. Obat bebas (D) dapat meninggalkan aliran darah dan

bekerja pada sel-sel tubuh.

Page 11: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 11

METABOLISME OBAT

Metabolisme adalah metode dimana obat di inaktivasi atau mengalami biotransformasi oleh tubuh.

Yang paling sering, obat yang aktif dirubah menjadi satu atau lebih metabolit tidak aktif, yang

kemudian di ekskresi. Beberapa obat aktif menghasilkan metabolit yang juga aktif dan terus

memperkuat efek mereka pada sel-sel tubuh hingga mereka dimetabolisme lebih lanjut atau di

ekskresi. Obat lain (disebut prodrug) pada awalnya tidak aktif dan tidak memperkuat efek

farmakologik hingga mereka di metabolisme.

Kebanyakan obat adalah dapat larut dalam lipid, suatu karakteristik yang membantu mereka

bergerak melintasi membran sel. Akan tetapi, ginjal, yang merupakan organ ekskretor utama, hanya

dapat mengekskresi substansi yang dapat larut dalam air. Oleh karena itu, salah satu fungsi dari

metabolisme adalah merubah obat yang dapat larut lemak menjadi metabolit yang dapat larut dalam air. Hepatic drug metabolism atau clereance adalah mekanisme utama untuk mengakiri kerja obat

dan mengeliminasi molekul-molekul obat dari tubuh.

Kebanyakan obat dimetabolisme oleh enzim dalam liver (disebut cytochrome P450 [CYP] atau

microsomal enzyme system); sel darah merah, plasma, ginjal, paru-paru, dan mukosa gastrointestinal

juga mengandung drug-metabolizing enzyme. Sistem cytochrome P450 mengandung 12 kelompok

atau family, sembilan diantaranya merupakan substansi metabolising endogenous dan tiga

diantaranya adalah metabolising obat. Tiga kelompok yang memetabolisme obat diberi nama CYP1,

CYP2, dan CYP3. Dari beberapa obat yang dimetabolisme oleh hepar, maka enzim kelompok

CYP3 diduga mematabolisme kira-kira 50% obat, kelompok CYP2 kira-kira 45%, dan kelompok

CYP1 kira-kira 5%. Setiap anggota dari kelompok, memetabolisme obat yang spesifik, selanjutnya

dikategorikan sebagai berikut: enzim CYP2D6, CYP2C9, atau CYP3A4 yang memetabolisme

beberapa obat.

Enzim-enzim ini terletak didalam hepatosit, suatu protein kompleks dengan binding site untuk

molekul-molekul obat (dan substansi endogenous). Mereka mengkatalisis reaksi kimia oksidasi,

reduksi, hidrolisis, dan konjugasi dengan substansi endogenous, seperti asam glucuronic atau

sulfate. Pada pemberian kronis, beberapa obat menstimulasi sel-sel liver untuk memproduksi jumlah

yang lebih besar dari drug-metabolizing enzym (proses yang disebut enzyme induction).

Enzyme induction mempercepat metabolisme obat karena jumlah enzim yang besar (dan lebih

banyak binding site) memungkinkan sejumlah besar obat dimetabolisme selama waktu pemberian.

Sebagai akibatnya, perlu dosis yang lebih besar dari obat yang dimetabolisme dengan cepat untuk

mempertahankan efek terapeutik. Metabolisme yang cepat mungkin juga meningkatkan produksi

metabolit toksik pada beberapa obat (misal, acetaminophen). Obat yang merangsang produksi

enzim mungkin juga meningkatkan kecepatan metabolisme hormon steroidal endogenous (misal,

cortisol, estrogen, testosteron, dan vitamin D). Akan tetapi, enzyme induction tidak terjadi selama 1

sampai 3 minggu setelah inducing agent dimulai sebab protein enzim baru harus disintesis.

Rifampin, suatu obat antituberkulosis, adalah inducer kuat dari enzim CYP1A dan CYP3A.

Metabolisme juga dapat diturunkan atau diperlambat dalam proses yang disebut enzyme inhibition,

yang lebih sering terjadi pada pemberian yang berulang-ulang dari dua atau lebih obat yang

berkompetisi dengan metabolizing enzyme yang sama. Dalam kasus ini, dosis yang lebih kecil dari

obat yang dimetabolisme lebih lambat mungkin diperlukan untuk menghindari reaksi yang

Page 12: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 12

merugikan dan toksisitas akibat akumulasi obat. Terjadi inhibisi enzim dalam beberapa jam atau

hari setelah diberikan inhibiting agent. Cimetidine, suatu supressor asam lambung, menghambat

beberapa enzim CYP (misal, 1A2, 2C, dan 3A) dan dapat sangat menurunkan metabolisme obat.

Kecepatan metabolisme obat juga menurun pada bayi (sistem enzim hepatik mereka masih

immatur), pada seseorang dengan gangguan aliran darah ke liver atau penyakit hepar atau

kardiovaskuler yang berat, dan pada seseorang yang mengalami malnutrisi atau pada diet rendah

protein.

Bila obat diberikan secara oral, mereka akan diabsorpsi dari saluran gastrointestinal dan dibawa ke

liver melalui sirkulasi portal. Beberapa obat secara luas dimetabolisme dalam liver, seperti

propranolo (Inderal), hanya bagian dosis obat oral yang mencapai sirkulasi sistemik yang

didistribusikan ke site of action. Hal ini disebut first-pass effect atau metabolisme presistemik.

EKSKRESI OBAT

Ekskresi berhubungan dengan eliminasi obat dari tubuh. Ekskresi yang efektif memerlukan fungsi

yang adequat dari sistem sirkulasi dan organ-organ ekskretor (ginjal, usus besar, paru-paru, dan

kulit). Kebanyakan obat di ekskresi oleh ginjal dan di eliminasi dalam bentuk tidak berubah atau

sebagai metabolit dalam urine.

Beberapa obat atau metabolit di ekskresi dalam empedu, dan kemudian di eliminasi dalam feces;

yang lainnya di ekskresi dalam empedu, diabsorpsi dari usus halus, kembali ke liver (disebut

sirkulasi enterohepatik), dimetabolisme, dan akhirnya di ekskresi dalam urine.

Beberapa obat oral tidak diabsorpsi dan di ekskresi dalam feces. Paru-paru merupakan organ utama

untuk pembuangan substansi volatile, seperti gas anestetik. Kulit memiliki fungsi ekskretori yang

minimal. Faktor-faktor yang mengganggu ekskresi, terutama penyakit ginjal berat, berperan

terhadap akumulasi sejumlah obat dan mungkin menyebabkan efek merugikan yang berat jika dosis

tidak dikurangi.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ABSORPSI, DISTRIBUSI, METABOLISME DAN

EKSKRESI OBAT

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat.

Usia, ukuran tubuh, dan kondisi kesehatan adalah beberapa faktor penting yang mempengaruhi

farmakokinetik dari obat.

Setiap orang tidak identik. Obat mungkin diabsopsi dengan lebih cepat pada satu orang tetapi lebih

lambat pada orang lain. Obat mungkin tidak bersirkulasi dengan baik pada beberapa orang, atau ia

disimpan dalam jaringan tertentu, sebagai contoh, lemak, sehingga tidak didapatkan hingga

beberapa saat kemudian. Kemampuan pasien untuk melakukan detoksifikasi terhadap obat dan

mengeluarkan dari sistem adalah tergantung pada kondisi hepar dan ginjal.

Oleh karena itu, bidan perlu memahami dasar-dasar farmakokinetik sehingga mereka dapat lebih

mampu dalam memberikan, memonitor, dan memberikan penyuluhan tentang pengobatan.

Page 13: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 13

TABEL 2.1. Efek dari Kondisi Patologik terhadap Farmakokinetik Obat

Kondisi Patologik Farmakokinetik Penyakit kardiovaskuler yang

mengganggu kemampuan pompa

jantung, menurunkan cardiac output,

atau mengganggu aliran darah ke

jaringan tubuh (misal, miokard

infark akut, gagal jantung, hipotensi,

dan shock)

Absorpsi dari obat oral, subcutaneous, intramuskular, dan topical

adalah tidak pasti karena penurunan aliran darah ke pemberian

obat.

Distribusi terganggu karena penurunan aliran darah pada jaringan

tubuh dan tempat kerja obat.

Metabolisme dan ekskresi terganggu karena penurunan aliran

darah ke liver dan ginjal.

Penyakit sistem saraf pusat (CNS)

yang mengganggu pernapasan atau

sirkulasi (misal, trauma atau cedera

otak, iskemia otak akibat aliran

darah serebral tidak adequat, obat

yang menekan atau menstimulasi

fungsi otak)

Gangguan CNS mungkin merubah farmakokinetik secara tidak

langsung akibat hipo- atau hiperventilasi dan

ketidakseimbangan asam-basa. Juga, iritasi serebral mungkin

terjadi pada cedera kepala dan berperan terhadap stimulasi

sistem saraf simpatetik dan peningkatan cardiac output.

Peningkatan aliran darah mungkin mempercepat semua proses

farmakokinetik. Dengan absorpsi dan distribusi yang lebih

cepat, maka kerja obat mungkin lebih cepat, tetapi metabolisme

dan ekskresi yang lebih cepat mungkin memperpendek durasi

kerja obat.

Penyakit gastrointestinal (GI) yang

mengganggu fungsi atau aliran darah

GI (misal, trauma atau pembedahan

pada saluran gastrointestinal, infeksi

abdominal, ileus paralytic,

pankreatitis)

Gejala dari gangguan fungsi GI pada umumnya terjadi dengan

penyakit GI maupun non-GI. Sebagai akibatnya, beberapa

pasien tidak dapat menggunakan obat oral. Orang yang dapat

menggunakan obat oral mungkin mengalami gangguan absorpsi

karena:

Vomiting atau diare.

Pemberian obat bersamaan dengan obat yang

meningkatkan pH cairan lambung (misal, antasida,

histamine-2 blockers, proton pump inhibitors).

Pemberian obat bersamaan dengan makanan atau tube

feeding solutions yang menurunkan absorpsi obat.

Menghancurkan tablet atau membuka kapsul untuk

diberikan melalaui GI tube.

Penyakit inflammatori usus besar

(misal, Crohn’s disease, colitis

ulcerative)

Absorpsi dari obat oral adalah berubah-ubah. Ia mungkin

ditingkatkan karena hipermotilitas GI yang dengan cepat

mengirim molekul obat ke tempat absorpsi dalam usus halus

dan obat cenderung diabsorpsi lebih cepat dari jaringan yang

radang. Ia mungkin diturunkan karena hipermotilitas dan diare

yang mungkin menggerakkan obat melalui saluran GI terlalu

cepat sehingga absorpsi tidak adequat.

Penyakit endokrin yang

mengganggu fungsi atau merubah

keseimbangan hormonal

Penyakit kardiovaskuler

yang disebabkan diabetes

Gangguan sirkulasi mungkin menurunkan semua proses

farmakokinetik, seperti yang dijelaskan diatas.

Penyakit thyroid Efek utama adalah pada metaboliems. Hipothyroidisme

memperlambat metabolisme, sehingga memperpanjang kerja

obat dan memperlambat eliminasi dari tubuh, hiperthyroidisme

mempercepat metabolisme, sehingga menghasilkan durasi kerja

obat yang lebih pendek dan mempercepat kecepatan eliminasi.

Bila penyakit thyroid diobati dan fungsi thyroid kembali

normal, maka kecepatan metabolisme obat juga kembali

Page 14: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 14

TABEL 2.1. Efek dari Kondisi Patologik terhadap Farmakokinetik Obat

Kondisi Patologik Farmakokinetik normal. Dengan demikian, dosis obat secara luas

dimetabolisme sehingga perlu penyesuaian pada tingkat fungsi

thyroid.

Penyakit adrenal akibat

penyakit atau respon

stres yang berkaitan

dengan penyakit

Peningkatan fungsi adrenal (yaitu, peningkatan jumlah

catecholamine dan cortisol yang bersirkulasi) mempengaruhi

kerja obat dengan meningkatkan cardiac output, redistribusi

cardiac output (lebih banyak aliran darah ke jantung dan otak,

lebih sedikit ke ginjal, liver, dan saluran gastrointestinal),

menyebabkan retensi cairan, dan meningkatkan volume darah.

Stres juga merubah kadar protein plasma, yang dapat

mempengaruhi bagian bebas (unbound portion) dari dosis obat.

Penurunan fungsi adrenal menyebabkan hipotensi dan shock,

yang dapat mengganggu semua proses farmakokinetik.

Penyakit hepatik yang mengganggu

fungsi dan aliran darah hepatik

(misal, hepatitis, sirosis)

Kebanyakan obat di eliminasi dari tubuh oleh metabolisme

hepatik, ekskresi ginjal atau keduanya. Metabolisme hepatik

tergantung pada aliran darah hepatik, aktivitas enzim hepatik,

dan plasma protein binding. Peningkatan aliran darah hepatik

meningkatkan pengiriman molekul-molekul obat ke hepatocyte,

dimana terjadi metabolisme, dan dengan demikian

mempercepat metabolisme obat. Penurunan aliran darah

hepatik memperlambat metabolisme. Penyakit liver berat atau

sirosis mungkin mengganggu semua proses farmakokinetik.

Absorpsi dari obat oral mungkin menurun pada sirosis karena

edema dalam saluran gastrointestinal.

Distribusi mungkin terganggu oleh perubahan dalam protein

plasma. Liver yang terganggu mungkin tidak mampu

mensintesis sejumlah protein plasma yang adequat, terutama

albumin, juga, liver yang terganggu berperan terhadap

metabolisme yang tidak adequat dan akumulasi substansi

(misal, bilirubin serum) yang dapat memindahkan obat dari

protein-binding site. Dengan penurunan protein binding, maka

konsentrasi obat aktif dalam serum ditingkatkan dan obat

didistribusikan ke site of action dan eliminasi menjadi lebih

cepat. Dengan demikian, mula kerja obat mungkin lebih cepat,

puncak kadar obat dalam darah mungkin lebih tinggi dan

menyebabkan efek merugikan, dan durasi kerja mungkin lebih

pendek karena obat di metabolisme dan di ekskresi lebih cepat.

Pada sirosis, obat oral didistribusikan secara langsung kedalam

sirkulasi sistemik daripada melalui sirkulasi portal dan liver.

Jalur pintas (shunt) dari darah yang mengelilingi liver ini

dimaksudkan bahwa obat oral yang normalnya secara luas di

metabolisme selama first pass melalui liver (misal, propanolol)

harus diberikan dalam dosis yang lebih rendah untuk mencegah

kadar obat yang tinggi dalam darah dan toksisitas.

Metabolisme mungkin terganggu pada penyakit hepatik maupun

non-hepatik yang menurunkan aliran darah hepatik. Sebagai

tambahan, liver yang terganggun tidak mampu mensintesis

drug-metabolizing enzyme dalam jumlah cukup.

Ekskresi mungkin ditingkatkan bila protein binding terganggu

Page 15: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 15

TABEL 2.1. Efek dari Kondisi Patologik terhadap Farmakokinetik Obat

Kondisi Patologik Farmakokinetik karena jumlah besar dari obat bebas yang bersirkulasi dalam

aliran darah dan dikirim lebih cepat ke tempat metabolisme dan

ekskresi. Akibatnya, half-life dan durasi kerja dari obat lebih

pendek. Ekskresi diturunkan bila liver tidak mampu

memetabolisme obat yang larut dalam lemak menjadi metabolit

yang larut dalam air sehingga dapat di ekskresi oleh ginjal.

Gangguan ginjal – gagal ginjal akut

(GGA) dan gagal ginjal kronik

(GGK)

GGA dan GGK dapat mengganggu semua proses farmakokinetik.

Absorpsi dari obat oral mungkin diturunkan secara tidak langsung

oleh perubahan yang sering terjadi pada gagal ginjal (misal,

pengosongan lambung yang lambat, perubahan pH lambung,

gejala GI sepert vomiting dan diare). Juga, dengan adanya

edema umum, edema saluran GI mungkin mengganggu

absorpsi. Pada GGK, pH lambung mungkin ditingkatkan oleh

pemberian alkalinizing agents per-oral (misal, sodium

bocarbonate, citrate) dan menggunakan antasida untuk efek

phosphate-binding. Hal ini mungkin menurunkan absorpsi obat

oral yang memerlukan lingkungan asam selama disolusi dan

absorpsi dan meningkatkan absorpsi obat yang diabsorpsi dari

lingkungan yang lebih alkaline.

Distribusi dari beberapa obat mungkin terganggu oleh perubahan

dalam volume cairan ekstraseluler (ECF), plasma protein

binding, dan tissue binding. Obat yang larut air didistribusikan

keseluruh ECF, meliputi cairan edema, yang biasanya

ditingkatkan pada gangguan ginjal karena kemampuan ginjal

untuk mengeliminasi air dan sodium terganggu. Ikatan obat

dengan albumin, terutama protein plasma pengikat obat untuk

obat asam, biasanya diturunkan dengan gangguan ginjal.

Protein binding mungkin diturunkan karena sedikit albumin

atau penurunan kapasitas binding dari albumin pada obat.

Alasan penurunan albumin meliputi kondisi hipermetabolik

(misal, stres, trauma, sepsis) yang menyebabkan pemecahan

protein melebihi sintesis protein, kondisi nephrotik dimana

albumin hilang dalam urine, dan penyakit liver yang

menurunkan sintesis albumin hepatik. Alasan penurunan

kapasitas binding meliputi perubahan struktural pada molekul

albumin atau toksin uremik yang bersaing dengan obat pada

binding site. Bila sedikit obat berikatan dengan albumin, maka

kadar obat dalam bentuk bebas atau obat aktif dalam serum

lebih tinggi sehingga dapat mengakibatkan toksisitas obat.

Sebagai tambahan, lebih banyak obat yang tidak berikatan yang

didistribusikan kedalam jaringan dan tempat metabolisme dan

ekskresi maka mempercepat eliminasi sehingga menurunkan

half-life obat dan efek terapeutik. Untuk obat dasar (misal,

clindamycin, propafenone), alpha1-acid glycoprotein (AAG)

adalah protein binding utama. Jumlah AAG meningkat pada

beberapa pasien, meliputi pasien dengan transplantasi ginjal

dan pasien yang menjalani hemodialisis. Jika pasien ini

diberikan obat dasar (basic drug), maka sebagian besar adalah

berikatan dan sebagian kecil adalah dalam bentuk bebas yang

Page 16: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 16

TABEL 2.1. Efek dari Kondisi Patologik terhadap Farmakokinetik Obat

Kondisi Patologik Farmakokinetik dapat memberikan efek farmakologik. Pada akhirnya, beberapa

kondisi yang sering terjadi pada gangguan ginjal (misal,

asidosis metabolik, alkalosis respiratorik, dan lainnya) mungkin

mengganggu distribusi beberapa obat ke jaringan. Sebagai

contoh, digoxin dapat dipindahkan dari tissue-binding site oleh

produk metabolik sehingga tidak dapat di ekskresi secara

adequat oleh ginjal yang terganggu.

Metabolisme dapat ditingkatkan, diturunkan, atau tidak

terpengaruh oleh gangguan ginjal. Salah satu faktor adalah

perubahan dari metabolisme obat dalam liver. Pada uremia,

reaksi reduksi dan hidrolisis mungkin lebih lambat, tetapi

oksidasi oleh enzim cytochrome P450 dan konjugasi dengan

glucuronide atau sulphate biasanya berjalan pada kecepatan

normal. Faktor lainnya adalah ketidakmampuan dari ginjal

yang terganggu untuk mengeliminasi obat dan metabolit aktif

secara farmakologikal, yang mungkin berperan terhadap

akumulasi dan raksi obat yang merugikan dengan terapi obat

jangka panjang. Metabolit mungkin memiliki aktivitas

farmakologik yang mirip pada atau berbeda dari obat aslinya.

Faktor ketiga mungkin mengganggu metabolisme obat oleh

ginjal. Walaupun peran ginjal dalam mengekskresi obat dan

metabolit obat belum diketahui dengan baik, tetapi peran

mereka dalam metabolisme obat telah mendapat sedikit

perhatian. Ginjal sendiri mengandung beberapa metabolizing

enzym yang sama ditemukan dalam liver, meliputi enzim ginjal

cytochrome P450, yang memetabolisme berbagai zat kimia dan

obat.

Ekskresi dari beberapa obat dan metabolit diturunkan oleh

gangguan ginjal. Ginjal normalnya mengekskresi baik obatnya

maupun metabolit yang diproduksi oleh liver dan jaringan

lainnya. Proses ekskresi ginjal meliputi filtrasi glomerular,

sekresi tubular, dan reabsorpsi tubular, yang semuanya

mungkin dipengaruhi oleh gangguan ginjal. Jika ginjal tidak

mampu mengekskresi obat dan metabolit, yang beberapa

diantaranya mungkin aktif secara farmakologik, maka

substansi-substansi tersebut mungkin terakumulasi dan

menyebabkan efek merugikan atau toksik.

Gangguan pernapasan Gangguan pernapasan mungkin secara tidak langsung

mempengaruhi metabolisme obat. Sebagai contoh, hipoksemia

berperan terhadap penurunan produksi enzim dalam liver,

penurunan efisiensi dari enzim yang diproduksi, dan penurunan

oksigen yang tersedia untuk biotransformasi. Ventilasi

mekanikal berperan terhadap penurunan aliran darah ke liver.

Gangguan pada fungsi

kardiovaskuler dan aliran darah

hepatik akibat sepsis

Sepsis mungkin mempengaruhi semua proses farmakokinetik.

Sepsis dini ditandai oleh hiperdinamik sirkulasi, dengan

peningkatan cardiac output dan shunting darah ke organ-organ

vital. Sebagai akibatnya, absorpsi, distribusi, metabolisme, dan

ekskresi mungkin dipercepat. Sepsis lambat ditandai oleh

hipodinamik sirkulasi, dengan penurunan cardiac output dan

Page 17: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 17

TABEL 2.1. Efek dari Kondisi Patologik terhadap Farmakokinetik Obat

Kondisi Patologik Farmakokinetik penurunan aliran darah ke organ-organ utama. Dengan

demikian, absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi

mungkin terganggu.

Gangguan fungsi kardiovaskuler dan

aliran darah akibat shock

Shock mungkin menghambat semua proses farmakokinetik.

Absorpsi terganggu oleh penurunan aliran darah pada tempat

pemberian obat. Distribusi terganggu oleh penurunan aliran

darah pada semua jaringan tubuh. Metabolisme terganggu oleh

penurunan aliran darah ke liver. Ekskresi terganggu oleh

penurunan aliran darah ke ginjal.

KADAR OBAT DALAM SERUM

Kadar obat dalam serum (Gambar 2.7.) adalah ukuran laboratorium dari jumlah obat dalam darah

pada waktu tertentu. Ia menggambarkan dosis, absorpsi, bioavailabilitas, half-life, dan kecepatan

metabolisme dan ekskresi. Minimum effective concentration (MEC) harus diperoleh sebelum

menggunakan aksi farmakologiknya pada sel-sel tubuh; hal ini sebagian besar ditentukan oleh dosis

obat dan bagaimana obat diabsorpsi kedalam pembuluh darah. Toxic concentration adalah kadar

yang berlebihan yang dapat terjadi toksisitas. Toxic concentration mungkin berakar dari dosis besar

tunggal, dosis kecil yang berulang-ulang, atau metabolisme yang lambat yang memungkinkan obat

terakumulasi dalam tubuh. Antara konsentrasi rendah dan tinggi ini disebut rentang terapeutik, yang

merupakan tujuan dari terapi obat. Hal ini berarti, cukup obat yang bermanfaat, tetapi tidak cukup

obat untuk menghasilkan toksik.

Pada kebanyakan obat, kadar obat dalam serum menunjukkan mula (onset), puncak, dan durasi dari

kerja obat. Bila diberikan obat dosis tunggal, maka mula kerja obat akan terjadi bila kadar obat

mencapai MEC. Kadar obat terus meningkat melebihi dari obat yang diabsorpsi, hingga ia mencapai

konsentrasi tertinggi dan didapatkan puncak kerja obat. Kemudian, kadar obat menurun karena obat

di eliminasi (yaitu, dimetabolis-me dan di ekskresi) dari tubuh. Walaupun masih terdapat sejumlah

molekul-molekul obat dalam tubuh, tetapi kerja obat berhenti bila kadar obat turun dibawah MEC.

Durasi kerja obat adalah lama waktu dimana kadar obat dalam serum terdapat pada atau diatas

MEC. Bila obat dosis multiple diberikan (misal, untuk penyakit kronik), maka tujuan pengobatan

biasanya diberikan untuk mempertahankan kadar obat dalam serum cukup dalam rentang terapeutik

dan dihindarkan rentang toksik.

Dalam praktek klinikal, pengukuran kadar obat dalam serum adalah digunakan untuk beberapa

alasan:

Bila obat dengan indeks terapeutik rendah atau sempit diberikan, maka obat ini memiliki batas

keamanan sempit dan berakhir pada dosis toksik (misal, digoxin, antibiotik aminoglycoside,

lithium, theophylline).

Untuk mendokumentasikan kadar obat dalam serum yang berkaitan dengan dosis obat, efek

terapeutik, atau kemungkinan efek yang merugikan.

Untuk memonitor respon yang tidak diinginkan terhadap dosis obat. Hal ini dapat berupa

berkurangnya efek terapeutik atau peningkatan efek yang merugikan.

Bila diduga terjadi overdosis obat.

Page 18: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 18

Paruh Hidup (Half-Life) Serum

Half-life serum, juga disebut elimination

half-life, adalah waktu yang diperlukan

untuk penurunan konsentrasi obat dalam

serum sebesar 50%. Ia ditentukan teru-

tama oleh kecepatan metabolisme dan

ekskresi obat. Obat dengan half-life yang

pendek memerlukan lebih sering pem-

berian daripada obat dengan half-life

yang panjang.

Bila obat diberikan pada dosis stabil,

maka diperlukan empat atau lima kali

half-life untuk mencapai konsentrasi

steady-state dan berkembang equilibrium

antara konsentrasi obat dalam jaringan

dan serum. Karena efek terapeutik mak-

simal belum terjadi hingga equilibrium

terjadi, maka jumlah obat yang diberikan

harus sebanding (equal) dengan jumlah

obat yang di eliminasi dari tubuh. Bila

dosis obat dirubah, maka penambahan

empat sampai lima kali half-life

diperlukan untuk menentukan equi-

librium; bila obat dihentikan, ia akan di

eliminasi secara bertahap lebih dari

beberapa half-life.

PROSES YANG DIALAMI OBAT DALAM TUBUH YANG SAKIT MAUPUN SEHAT

Saat kita sakit, umumnya kita mengonsumsi obat. Obat yang kita minum tersebut dapat

menyingkirkan penyebab penyakit, menghilangkan gejala penyakit, atau menghilangkan akibat

lanjutan dari suatu penyakit. Apa pun jenis obat yang kita minum, bagaimanakah nasibnya di dalam

tubuh kita?

Untuk dapat memberikan efek yang diinginkan, obat harus dapat mencapai tempatnya bekerja.

Misalnya kita meminum antibiotik untuk pengobatan infeksi ginjal/kandung kemih. Agar antibiotik

dapat bekerja untuk membunuh bakteri, obat tersebut harus mencapai ginjal (tempat antibiotik

bekerja) terlebih dahulu. Setelah mencapai ginjal, antibiotik dapat membunuh bakteri sehingga

memberikan kesembuhan yang diharapkan.

Setelah obat bekerja di dalam tubuh dan menghasilkan efek, obat akan dikeluarkan dari dalam

Gambar 2.7. Kadar obat dalam serum dengan dosis obat oral tunggal

dan multiple. Obat mulai bekerja bila cukup obat diabsorpsi untuk

mencapai konsentrasi efektif minimum (KEM), berlanjut sepanjang kadar

serum diatas KEM, dan semakin berkurang ketika molekul-molekul obat

dimetabolisme dan diekskresi (jika tidak ada lagi penambahan dosis

yang diberikan), dan berhenti bila kadar serum turun dibawah KEM.

Tujuan terapi obat adalah untuk mempertahankan kadar obat dalam

serum dalam rentang terapeutik (therapheutic windows).

Page 19: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 19

tubuh. Ada banyak tahapan yang perlu dilalui obat mulai dari pemberian, kemudian menghasilkan

efek, dan terakhir dikeluarkan dari dalam tubuh.

Obat yang berada di dalam tubuh akan dianggap sebagai benda asing oleh tubuh karena secara

normal senyawa obat tidak terdapat di dalam tubuh. Tubuh memiliki mekanisme alamiah untuk

mendetoksifikasi (menurunkan sifat toksik suatu zat) benda asing yang masuk ke tubuh. Oleh

karena itu, senyawa obat akan didetoksifikasi oleh tubuh sehingga obat tidak terlalu toksik/beracun

bagi tubuh. Proses detoksifikasi obat oleh tubuh merupakan tahapan metabolisme obat. Sebagian

besar obat akan didetoksifikasi di hati oleh enzim-enzim mikrosomal hati. Hasilnya merupakan

suatu senyawa yang sifat toksik/beracunnya lebih rendah dibandingkan dengan senyawa awal

sehingga tidak terlalu beracun bagi tubuh.

Tahap terakhir yang dialami oleh obat adalah tahap ekskresi. Pada tahap ini obat akan dikeluarkan

dari dalam tubuh dengan berbagai cara, antara lain melalui ginjal (air seni), saluran cerna (faeces),

kulit (keringat), pernapasan (udara), mata (air mata), atau kelenjar payudara (air susu). Sebagian

besar obat dikeluarkan melalui ginjal. Jika ginjal kita mengalami gangguan, kadar obat dalam tubuh

akan meningkat akibat terhambatnya proses pengeluaran obat melalui ginjal. Oleh karena itu, pada

penderita gangguan ginjal, perlu dilakukan penyesuaian dosis obat - terutama untuk obat yang

dalam kadar rendah dapat menimbulkan keracunan dan obat yang toksik bagi ginjal (nefrotoksik) -

agar kadar obat dalam tubuh tidak terlalu tinggi karena dikhawatirkan akan menimbulkan keracunan

bahkan kematian bagi penderita.

EVALUASI DIRI

1. Proses farmakokinetik, meliputi:

1. Absorpsi 3. Metabolisme

2. Distribusi 4. Ekskresi

2. Distribusi obat dipengaruhi oleh:

1. Aliran darah 3. Efek pengikatan dengan protein

2. Afinitas terhadap jaringan 4. Kecepatan eliminasi

3. Faktor utama dalam menentukan durasi kerja obat, adalah

A. Afinitas terhadap jaringan C. Konsentrasi obat

B. Distribusi obat D. Kecepatan eliminasi

4. Rute eliminasi obat, adalah:

1. Saliva 3. Keringat

2. ASI 4. Urine

5. Untuk mempercepat eliminasi akibat overdosis aspirin, dapat diberikan:

A. Natrium bikarbonat C. Hidrogen peroksida

B. Kalium permanganat D. Natrium klorida

6. Efek obat yang dimulai pada waktu obat memasuki plasma dan berakhir sampai mencapai

konsentrasi efektif minimum, disebut:

A. Efek fisiologis primer C. Mula kerja

B. Lama kerja D. Konsentrasi efektif minimum

Page 20: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 20

PENUGASAN

1. Tujuan Tugas :

Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan farmakokinetik dari golongan obat uterotonika,

koagulantia, antipiretik.

2. Uraian Tugas :

a. Obyek garapan :

Obat-obatan yang berhubungan dengan kebidanan.

b. Yang harus dikerjakan dan batasan-batasan :

Menguraikan farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) dari obat

uterotonika, koagulantia, antipiretik. Hasilnya dipresentasikan dikelas pada pertemuan

berikutnya. c. Metode / cara pengerjaan tugas :

Mendiskripsikan farmakokinetik (absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi) dari obat

uterotonika, koagulantia, antipiretik. Dikerjakan secara diskusi kelompok.

d. Deskripsi luaran tugas yang dihasilkan :

Hasil studi tersaji dalam bentuk paper, dengan ukuran kertas kuarto, diketik dengan huruf

Times New Roman, ukuran huruf 12 pt, 1 spasi. Dilengkapi CD presentasi dengan format

powerpoint.

3. Kriteria penilaian :

PENULISAN PAPER

GRADE SKOR INDIKATOR KINERJA Sangat kurang <20 Paper memuat uraian farmakokinetik (absorpsi, distribusi,

metabolisme, dan ekskresi) dari obat-obatan yang tidak

berhubungan dengan praktek kebidanan.

Kurang 21-40 Paper memuat uraian farmakokinetik (absorpsi, distribusi,

metabolisme, dan ekskresi) dari obat-obatan yang tidak

berhubungan dengan praktek kebidanan (uterotonika saja).

Cukup 41-60 Paper memuat uraian farmakokinetik (absorpsi, distribusi,

metabolisme, dan ekskresi) dari obat-obatan yang tidak

berhubungan dengan praktek kebidanan (uterotonika dan

koagulantia saja).

Baik 61-80 Paper memuat uraian farmakokinetik (absorpsi, distribusi,

metabolisme, dan ekskresi) dari obat-obatan yang tidak

berhubungan dengan praktek kebidanan (uterotonika, koagulantia

dan antipiretik).

Sangat baik >81 Paper memuat uraian farmakokinetik (absorpsi, distribusi,

metabolisme, dan ekskresi) dari obat-obatan yang tidak

berhubungan dengan praktek kebidanan (uterotonika, koagulantia

dan antipiretik yang sering dipakai di BPS).

Page 21: FARMAKOKINETIKA

MODUL PEMBELAJARAN : FARMAKOLOGI KEBIDANAN

COPYRIGHT©ARDI PANGGAYUH, S.Kp, M.Kes 21

DAFTAR PUSTAKA

Barone, J. A., & Hermes-DeSantis, E. R. (2000). Adverse drug reactions and drug-induced diseases.

In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook of therapeutics: Drug and disease

management (7th ed., pp. 21–34). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Brater, D. C. (2000). Principles of clinical pharmacology. In H. D. Humes (Ed.), Kelley’s textbook

of internal medicine (4th ed., pp. 311–319). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Drug facts and comparisons. (Updated monthly). St. Louis: Facts and Comparisons.

Ensom, M. H. H. (2000). Gender-based differences and menstrual cycle-related changes in specific

diseases: Implications for pharmacotherapy. Pharmacotherapy, 20(5), 523–539.

Guyton, A. C., & Hall, J. E. (2000). Textbook of medical physiology (10th ed.). Philadelphia: W. B.

Saunders.

Klein-Schwartz, W., & Oderda, G. M. (2000). Clinical toxicology. In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook of therapeutics: Drug and disease management (7th ed., pp. 51–

68). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Matthews, H. W., & Johnson, J. (2000). Racial, ethnic, and gender differences in response to drugs.

In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook of therapeutics: Drug and disease

management (7th ed., pp. 93–103). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M. P., & Lance, L. L. (2003). Lexi-Comp’s drug

information handbook (11th ed.). Hudson, OH: American Pharmaceutical Association.

Tatro, D. S. (2000). Drug interactions. In E. T. Herfindal & D. R. Gourley (Eds.), Textbook of

therapeutics: Drug and disease management (7th ed., pp. 35–49). Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins.