FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …
of 14
/14
Embed Size (px)
Transcript of FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 2597-6885
(online)
731
DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945
Azanil Fajri
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111
Faisal A.Rani
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111
Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan wewenang Mahkamah Agung dalam
seleksi dan pengangkatan hakim serta menjelaskan mekanisme kontrol dan check and balances dalam proses
seleksi dan pengangkatan hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu metode
penelitian kepustakaan atau Library Research yang didapatkan dari bahan-bahan hukum primer, bahan hukum
skunder dan bahan hukum tersier. Data yang diperoleh disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis
dengan pendekatan kualitatif untuk mengkaji masalah yang diteliti. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kewenangan Komisi Yudisial dalam pengangkatan hakim bersama Mahkamah Agung justru dimaksudkan untuk
membangun semakin kokohnya kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman dan sekaligus menjadi mekanisme kontrol
serta pengejawantahan prinsip check and balances untuk membentuk Kekuasaan Kehakiman yang independen.
Pembatalan kewenangan dalam seleksi dan pengangkatan hakim oleh Komisi Yudisial merupakan suatu
kemunduran karena keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi hakim merupakan mekanisme kontrol
untuk menciptakan Kekuasaan Kehakiman yang independen dan imparsial serta meminimalisir penyalahgunaan
wewenang. Diperlukan Amandemen lanjutan atas UUD NRI 1945 untuk menegaskan fungsi- fungsi kontrol
terhadap Kekuasaan Kehakiman yang dimulai dari proses seleksi, pengangkatan hingga pengawasan serta
memberikan kepastian hukum terkait dengan tugas dan wewenang yang ada dalam Kekuasaan Kehakiman serta
untuk menghindari penafsiran yang berbeda atas undang-undang.
Kata Kunci: Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung
Abstract - This study aims to identify and explain the authority of the Supreme Court in the selection and
appointment of judges and explain the mechanism of control and check and balances in the selection and
appointment of judges conducted by the Supreme Court in accordance with applicable laws and regulations.
The method used in this research is normative juridical research method, namely library research method or
Library Research obtained from primary legal materials, secondary law materials and tertiary legal materials.
The data obtained is arranged systematically and then analyzed by qualitative approach. The results of this
study indicate that the authority of the Judicial Commission in the appointment of judges with the Supreme
Court is intended to build the strength of independence of the judicial power and at the same time become the
control mechanism and the embodiment of check and balances principle to form an independent judicial power.
The cancellation of authority in the selection and appointment of judges by the Judicial Commission is a setback
because the involvement of the Judicial Commission in the selection process of judges is a control mechanism to
create an impartial and impartial judicial power as well as to minimize the abuse of authority. A further
amendment is required of the 1945 NRI Constitution to affirm the functions of control over the judicial powers
starting from the selection process, appointment to supervision and providing legal certainty in relation to the
duties and authorities existing within the Judicial Authority and to avoid different interpretations of the law.
Keywords: Judicial Power, Supreme Court
PENDAHULUAN
Amandemen keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya
tercantum dalam Penjelasan UUD NRI 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat
(3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep negara
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 732
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
hukum itu yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah
hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam
bahasa Inggris untuk menyebut prinsip negara hukum adalah ‘the rule of law, not of man’.
Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per
orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.1
Ketentuan ini berimplikasi pula untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan
arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun warga negaranya. 2
Dalam rangka mengejawantahkan prinsip negara hukum tersebut, Maria menyatakan
bahwa dalam perumusan peraturan perundang-undangan terdapat pokok-pokok pikiran pada
konsiderans Undang-Undang yang memuat unsur-unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang
menjadi latar belakang pembuatannya.3 Unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi
pertimbangan dalam merumuskan suatu peraturan perundang-undangan.4 Unsur filosofis
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup,
kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Unsur yuridis
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau
mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan
diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.5
Mahkamah Agung sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kekuasaan mutlak dalam
lembaga peradilan di Indonesia. Dalam rangka mengakomodasi perubahan sosial dan
kebutuhan masyarakat akan keadilan serta mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum maka amandemen ke IV Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan
lembaga baru di bidang Kekuasaan Kehakiman dalam rangka menjawab persoalan-persoalan
sosiologis maupun yuridis terkait lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi
1 Makalah Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia. 2 Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2006, hlm.16. 3 Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya.
Yogyakarta: Kanisius, 2007. hlm. 108. 4 Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan 5 Ibid
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 733
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
negara yang berdiri sendiri, terpisah dari Mahkamah Agung.7 Sedangkan Komisi Yudisial
sebagai lembaga yang menunjang tehadap pelaksanaan tugas Kekuasaan Kehakiman
(supporting institution) untuk menjamin tegaknya hukum yang adil dan berdaulat serta
menjadi lembaga kontrol perilaku hakim demi tercapainya prinsip cheks and balances dalam
sistem peradilan yang ada di negara Republik Indonesia. Didalam UUD NRI 1945 Komisi
Yudisial terdapat dalam pasal 24B UUD NRI 1945 yang mempunyai wewenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Tahun 2015 lalu, Mahkamah Konstitusi menerima permohonan uji materi pasal 14A
ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum juncto
Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan
Agama juncto Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Dan pada akhirnya permohonan pemohon dikabulkan oleh
Mahkamah Konstitusi dengan mengeluarkan putusan nomor 43/PUU-XIII/2015 yang berisi
tentang kewenangan tunggal Mahkamah Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan
tingkat pertama pada Pengadilan Umum, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha
Negara.
Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim, tetapi putusan tersebut menjadi
persoalan baru karena posisi Komisi Yudisial sebagai Auxiliari State Body kehilangan peran
subtansialnya sebagai salah satu lembaga yang memiliki fungsi penyeimbang atau cheks and
balances. Putusan tersebut memberikan peluang untuk kembalinya kewenangan absolut dari
Mahkamah Agung yang secara subtansial menyalahi prinsip negara hukum yang dianut oleh
Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan melakukan telaah Yuridis maupun teoritis
mengenai kewenangan Mahkamah Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim di
tingkat Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara serta bagaimana
mekanisme kontrol dan check and balances dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung berdasarkan UUD NRI 1945 pasca keluarnya putusan
Mahakamah Konstitusi.
6 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hlm.201. 7 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi, Jakarta : Rineka Cipta, 2006, hlm.24.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 734
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah penelitian
yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan
bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini
dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan (Library Research), yakni dengan mempelajari
buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan. Objek
kajian penelitian hukum normatif meliputi norma atau kaidah dasar, asas-asas hukum,
peraturan perundang-undangan, perbandingan hukum, doktrin serta yurisprudensi.8
Sumber data yang digunakan adalah bahan hukum primer, skunder dan tersier. Bahan
hukum primer yang dimaksud adalah bahan hukum yang berupa ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini. Putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap juga dapat digolongkan sebagai sumber hukum primer.
Bahan hukum sekunder yaitu dari buku-buku yang menunjang pengetahuan mengenai produk
hukum dalam perundang-undangan tersebut. Bahan hukum tersier adalah bahan tambahan
yang dapat digunakan untuk menjelaskan bahan hukum skunder ataupun primer. Bahan
hukum primer bisa berupa kamus, artikel ataupun litelatur lainnya yang relevan dengan
penelitian yang sedang dilakukan.
Dalam penelitian ini peneliti mencari dan mengumpulkan bahan kepustakaan yang
berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan buku, hasil-hasil penelitian
hukum, skripsi, majalah, artikel, surat kabar, jurnal-jurnal hukum maupun pendapat-pendapat
para ahli hukum yang relevan dengan masalah penelitian yang sedang dilakukan. Data yang
diperoleh dalam penelitian akan dikumpulkan dan diidentifikasi sesuai dengan masalah
penelitian untuk kemudian diolah dan dianalisis. Hasil indentifikasi, pengolahan dan analisis
data yang telah dilakukan kemudian disusun dengan menggunakan pendekatan kualitatif.9
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sejarah perekrutan hakim agung dan relasinya dengan politik dan ketatanegaraan
secara singkat dimulai sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, pengangkatan hakim agung dilakukan dengan sangat sederhana. Proses
8Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007, hlm. 33. 9 Lexy J. Moleong,. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. 1993, hlm. 2.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 735
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
pengangkatan hakim agung cukup diusulkan oleh ketua Mahkamah Agung kepada presiden
dan presiden mengeluarkan surat keputusannya. Pengusulan Mahkamah Agung didasarkan
pada pemantauan berdasarkan rekam jejak hakim yang bersangkutan, baik dari segi teknis
maupun integritas. Pasca berlakunya UU No 14 Tahun 1985, turut campur politisi dalam
perekrutan hakim agung dimulai. Pernah suatu ketika jumlah hakim agung yang diterima
lebih banyak yang berasal dari jalur nonkarier. Tata cara perekrutannya diusulkan oleh
Mahkamah Agung kepada DPR, kemudian DPR melakukan fit and proper test dan hasilnya
diserahkan kepada presiden.
hukum yang berkembang. Sebagaimana teori dan prinsip peraturan perundang-undangan
bahwa untuk menyusun atau merevisi suatu peraturan perundang-undangan harus memiliki
sekurang-kurangnya tiga landasan, yaitu filosofis, sosiologis dan yuridis. Dalam konteks,
landasan yuridis terbagi dua: pertama, landasan yuridis formal, merupakan dasar kewenangan
pembuatan peraturan perundang-undangan. Kedua, landasan yuridis material, yaitu dasar
keberadaan jenis peraturan perundang-undangan. Dimana, substansi atau isinya harus sesuai
dengan wadahnya dan tidak boleh bertentangan dengan substansi peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi serta kepentingan umum.10
Kewenangan Mahkamah Agung dalam seleksi pengangkatan hakim pada dasarnya
tidak disebutkan secara langsung dan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945, tetapi
disebutkan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
tepatnya pada pasal 21 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
Ayat 1 : Organisasi, administrasi, finansial mahkamah agung dan badan peradilan
yang berada dibawahnya berada dibawah kekuasaaan Mahkamah Agung.
Ayat 2 : Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan
peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan
peradilan masing-masing.
hakim tidak dimonopoli oleh mahkamah agung. Kewenangan seleksi dan pengangkatan
hakim juga berada pada Komisi Yudisial. Kewenangan Mahkamah Agung dan Komisi
10 Rosjidi Ranggawidjaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
1998, hlm. 44-45
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 736
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
ini:
a. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, pada Pasal 14A ayat (2) dan (3) yang
berbunyi:
Ayat 2 : Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama
oleh mahkamah agung dan komisi yudisial
Ayat 3 : Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh
mahkamah agung dan komisi yudisial.
b. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) yang
berbunyi:
Ayat 2 : Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan bersama
oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Ayat 3 : Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh
mahkamah agung dan komisi yudisial.
c. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 14A ayat (2) dan ayat
(3) yang berbunyi :
Ayat 2 : Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama
oleh mahkamah agung dan komisi yudisial
Ayat 3 : Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh
mahkamah agung dan komisi yudisial.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak dengan mudah untuk diterapkan oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengenai seleksi pengangkatan hakim. Pada tahun
2010, Mahkamah Agung telah melakukan seleksi hakim tanpa melibatkan Komisi Yudisial
sehingga untuk melegalkan calon hakim yang terlanjur diterima melalui seleksi pengangkatan
hakim oleh Mahkamah Agung, maka dibuatlah Peraturan bersama Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial Nomor 01/P/MA/IX/2012-01/PB/P.KY/09/2012 tentang Seleksi
Pengangkatan Hakim.11 Peraturan bersama itu menyepakati metode rekrutmen hakim, yakni
11 Meylin Sihaloho, Seleksi Pengangkatan Hakim Dalam Sistem Peradilan Indonesia: Kajian Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015. Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015,
hlm 213-214
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 737
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
rekrutmen dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengacu pada hakim
sebagai pejabat negara, dengan penjabaran tata cara seleksi dan pembiayaan serta rangkaian
proses mulai dari pendidikan calon hakim terpadu, sampai pada penentuan akhir untuk
diangkat menjadi hakim.
Kehakiman, terutama dilingkungan Mahakamah Agung dan Komisi Yudisial berakhir dengan
keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang membatalkan
norma bahwa seleksi pengangkatan hakim dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial. Dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal
14A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” UU
Perubahan Kedua UU Peradilan Umum bertentangan dengan UUD NRI 1945 sehingga tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
pengangkatan hakim sebagaimana sebelum terbentuknya Komisi Yudisial yang terdapat
dalam amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan sepenuhnya dalam
pelaksanaan seleksi pengangkatan hakim berada pada Mahkamah Agung. Keterlibatan
Komisi Yudisial sebelum keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-
XIII/2015 dalam proses seleksi pengangkatan hakim pada Peradilan Umum, Peradilan
Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara di anggap sebagai kewenangan yang
inkonstitusional, karena bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal
28D ayat (1) UUD NRI 1945. Selain itu, kewenangan tersebut juga tidak sesuai dengan
prinsip hukum yang berlaku secara universal yakni:12
(1) Prinsip lex certa adalah suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat
diperluas atau ditafsirkan lain selain ditulis dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Prinsip lex stricta merupakan suatu ketentuan atau perundang- undangan tidak dapat
diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan
perundang-undangan.
(3) Prinsip lex superior derogate legi inferiori yakni suatu perundang- undangan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 738
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
Kehakiman yang merdeka karena Kekuasaan Kehakiman tidak hanya dalam konteks
pelaksanaan kewenangan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Melainkan juga untuk melakukan proses seleksi dan perekrutan hakim yang berkualitas
secara independen dan mandiri. Keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan
hakim pada Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara, di anggap
akan merusak sistem Kekuasaan Kehakiman yang dijamin oleh konstitusi. Karenanya segala
campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar Kekuasaan Kehakiman dilarang,
kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.13Sehingga, proses
seleksi pengangkatan hakim Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha
Negara serta ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung.
Seleksi Hakim Oleh Mahkamah Agung Saat Ini
Perdebatan-perdebatan mengenai kewenangan seleksi hakim yang terjadi di negeri ini
berdampak signifikan terhadap ketersedian hakim yang ada. Karena perdebatan akan
kewenangan tersebut telah membuat rekrutmen hakim menjadi berhenti. Praktis selama tujuh
tahun terakhir tidak pernah dilakukan penjaringan calon hakim akibat ketidakjelasan
kewenangan yang ada. Barulah pada akhirnya putusan Mahkamah Konstitusi memberikan
kejelasan terkait kewengan seleksi hakim. Namun meskipun kewenangan seleksi sudah
berada di bawah Mahkamah Agung, perangkat aturan yang mengatur status hakim sebagai
pejabat Negara belum tersedia sehingga proses seleksi hakim masih juga terbengkalai. Oleh
karena itu pada tahun 2017 guna mengatasi krisis hakim, akhirnya Mahkamah Agung
menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2017 tentang Pengadaan
Hakim, khususnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN) dengan sistem penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan
diundangkan pada 4 April 2017. Salah satu latar belakang terbitnya PERMA ini adanya
kebutuhan hakim yang sangat mendesak untuk memenuhi formasi hakim di tiga lingkungan
peradilan yakni Peradilan Umum, Peradilan agama, PTUN. Terbitnya PERMA Pengadaan
13Ibid.,
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 739
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
Hakim ini merupakan solusi sementara sebelum disahkannya RUU Jabatan Hakim yang
didalamnya mengatur proses pengangkatan hakim sebagai pejabat negara.14
PERMA No. 2 Tahun 2017 memuat 9 pasal yang secara garis besar mengatur tujuh
poin. Yakni, kewenangan Mahkamah Agung dalam pengadaan hakim, asas-asas, tahapan
pengadaan hakim, pelaksana, proses seleksi, pengangkatan CPNS/cakim, pengusulan
CPNS/cakim menjadi hakim, dan status cakim yang tidak lulus pendidikan cakim. PERMA
ini sekaligus mencabut berlakunya PERMA No. 6 Tahun 2016 tentang Penyusunan dan
Penetapan Kebutuhan serta Pengadaan Hakim. PERMA No. 2 Tahun 2017 mengatur proses
pengadaan hakim melalui kebutuhan CPNS guna mengatasi kebuntuan krisis hakim yang
sudah 7 tahun tidak melaksanakan rekrutmen calon hakim. Sebab, apabila rekrutmen calon
hakim “dipaksakan”•menggunakan nomenklatur status hakim sebagai pejabat negara tidak
ada ketentuan pelaksanaannya.15
Mekanisme Kontrol dan Cheks and Balances dalam Seleksi Hakim Untuk Mewujudkan
Kekuasaan Kehakiman Yang Independen
Pada konteks Indonesia, ada periode sejarah penegakan hukum yang memperlihatkan
Kekuasaan Kehakiman yang kehilangan independensinya. Indikasi itu dapat dilihat pada
kurun masa Orde Lama di mana Presiden dapat turut atau campurtangan dalam soal- soal
pengadilan. Sedangkan pada masa Orde Baru syarat-syarat seorang hakim untuk dapat
diangkat atau diberhentikan di atur dalam undang-undang tetapi presidenlah yang
menentukan hakim dimaksud. Peradilan di masa lalu memperlihatkan bahwa Kekuasaan
Kehakiman masih mendapatkan intervensi dari eksekutif. Intervensi tersebut menyebabkan
Kekuasaan Kehakiman tidak sepenuhnya independen di hadapan kekuasaan. Intervensi-
intervensi itu dilakukan mulai dari proses rekruitmen, promosi, demosi, mutasi, hingga pada
tahap kontrol organisasi dan administratif, serta politik anggaran.
Independensi Kekuasaan Kehakiman merupakan suatu yang sangat fundamental.
Sehingga pada era reformasi persoalan independensi ini dirumuskan secara spesifik dalam
konstitusi maupun perundangan yang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman. Komisi
Yudisial menjadi salah satu lembaga baru yang dibentuk pasca amandemen UUD NRI 1945
yang dimaksudkan untuk menangani urusan yang terkait dengan pengangkatan hakim agung
14 Sudarsono, PERMA Pengadaan Hakim, Solusi Atasi Krisis Hakim, Lihat; http://pn-
pariaman.go.id/New/berita/berita-terkini/215-perma-pengadaan-hakim-solusi-atasi-krisis-hakim, diakses pada
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
Yudisial merupakan usaha menegakkan prinsip cheks and balances guna menciptakan
independensi serta Kekuasaan Kehakiman yang benar-benar merdeka sebagaimana amat
undang-undang. Banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh hakim pada masa lalu telah
mencoreng wajah Kekuasaan Kehakiman yang independen sehingga dibutuhkan mekanisme
pengawasan.
Dalam konteks sistem dan format kekuasaan pasca amandemen, Komisi Yudisial
menjadi instrumen penting untuk memastikan dan menjamin efektifitas penerapan prinsip dan
sistem saling imbang dan saling kontrol di dalam Kekuasaan Kehakiman itu sendiri serta
format kekuasaan pada umumnya. Dengan kata lain, Komisi Yudisial pasca amandemen
menjadi mekanisme kontrol yang disediakan konstitusi untuk menjamin independensi
Kekuasaan Kehakiman. Pembentukan Komisi Yudisial merupakan konsekuensi logis yang
muncul dari penyatuan atap lembaga peradilan pada Mahkamah Agung. karena penyatuan
atap berpotensi menimbulkan monopoli Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena itu, dalam
konteks menciptakan mekanisme kontrol dalam Kekuasaan Kehakiman, keberadaan Komisi
Yudisial tidak hanya perlu secara faktual tetapi mempunyai peranan yang sangat strategis
untuk membangun sistem cheks and balances di dalam lembaga Kekuasaan Kehakiman.
Dengan kewenangan pengawasan yang diamanatkan undang-undang kepada Komisi
Yudisial, diharapkan dapat menjadi mekanisme kontrol untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan dan keluhuran serta perilaku hakim serta dapat meningkatkan citra Kekuasaan
Kehakiman, mewujudkan kualitas dan rasa keadilan serta melaksanakan Kekuasaan
Kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.
Kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka mengusulkan pengangkatan hakim agung
bukanlah suatu tindakan intervensi melainkan sebagai bagian untuk memperkuat
independensi dan imparsialitas dalam penegakkan hukum dan keadilan. Demikian pula
dengan kewenangan dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim pada pengadilan tingkat
pertama harus dipandang sebagai bagian untuk menciptakan dan memperkut independensi
hakim demi tercapainya Kekuasaan Kehakiman yang merdeka. Komisi Yudisial dalam hal ini
menjadi mekanisme kontrol dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim pada pengadilan
tingkat pertama dan hal ini tentu sesuai dengan semangat amandemen UUD NRI 1945. Tetapi
pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang
mengembalikan wewenang seleksi hakim tingkat pertama kepada Mahakamah Agung secara
otomatis telah menghilangkan menkanisme kontrol dalam Kekuasaan Kehakiman terutama
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 741
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
yang terkait dengan proses seleksi dan pengangkatan hakim. Sehingga tidak ada lagi
mekanisme kontrol yang tersedia dan dijamin Undang-undang dalam proses seleksi hakim
tingkat pertama. Putusan Mahkamah Konstitusi terebut telah mengamputasi kewenangan
Komisi Yudisial dalam proses seleksi hakim tingkat pertama setelah sebelumnya Mahkamah
Konstitusi juga memutus kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi perilaku hakim
konstitusi.
Terlepas materi hukum yang dianggap inkonstitusional terkait dengan kewenangan
Komisi Yudisial dalam pengangkatan hakim, tetapi secara sosiologis mekanisme kontrol
dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial adalah
sesuatu yang penting dan masih sangat dibutuhkan. Karena kekuasan yang terpusat pada satu
lembaga dan tidak diawasi sangat mungkin disalahguakan. Dan kembalinya wewenang
seleksi hakim kepada Mahkamah Agung secara otomatis telah mengembalikan wewenang
Mahkamah Agung seperti masa lalu dan tanpa pengawasan oleh lembaga lain. Hal ini berarti
amandemen UUD NRI 1945 yang bertujuan memperkuat Kekuasaan Kehakiman dan
menciptakan hakim yang independen mulai sejak proses seleksi kehilangan semangat dan
subtansinya karena saat ini kewenangan tersebut malah dikembalikan dan terpusat pada satu
lembaga saja. Dengan kata lain, pasca keluarnya putusan Mahkamah Agung nomor 43/PUU-
XIII/2015, maka mekanisme kontrol secara ekternal dalam proses seleksi hakim menjadi
tidak ada.
Pelaksanaan seleksi pengangkatan hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial merupakan pengejawantahan prinsip check and balances, untuk
menghasilkan pilihan yang tepat, yang lebih objektif dengan memenuhi kriteria-kriteria dan
syarat-syarat yang objektif pada pilihan hakim yang berintegritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, profesional, dan pengalaman dibidang hukum sehingga mencapai dari tujuan
yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan wewenang Komisi Yudisial dalam
proses pengangkatan dan seleksi hakim pengadilan tingkat pertama merupakan suatu
kemunduran kostitusi. Dan secara hukum hal tersebut menyalahi prinsip cheks and balances.
Kekuasaan Kehakiman memang harus bebas dari intervensi, tetapi intevensi yang dimaksud
adalah intervensi yang tidak seharusnya atau intervensi yang akan melemahkan Kekuasaan
Kehakiman itu sendiri. Sedangkan intervensi untuk menguatkan Kekuasaan Kehakiman tetap
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 742
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
Yudisial dalam proses seleksi hakim juga merupakan mekanisme kontrol untuk menciptakan
Kekuasaan Kehakiman yang independen dan imparsial serta meminimalisir penyalahgunaan
wewenang. Pembatalan wewenang Komisi Yudisial telah menghilangkan mekanisme kontrol
daam proses seleksi dan pengangkatan hakim tingkat pertama dan hal ini berarti bahwa
amandemen UUD NRI 1945 yang bertujauan menciptakan Kekuasaan Kehakiman yang
independen dan imparsial kehilangan makna subtansialnya. Karena pembatalan kewenangan
tersebut mengembalikan kewenangan seleksi hakim sebagaimana sebelum amandemen UUD
NRI 1945.
Konstitusi - Komisi Yudisial sehingga diperlukan revisi terhadap Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman, termasuk Undang-Undang Mahkamah Agung, dan Undang-Undang Komisi
Yudisial. Diperlukan Amandemen lanjutan atas UUD NRI 1945 untuk menegaskan fungsi-
fungsi kontrol yang pada pokoknya mengarah pada penguatan Komisi Yudisial sebagai
lembaga pengawas eksternal terhadap Kekuasaan Kehakiman yang selain mengawasi Hakim
Agung dan hakim- hakim di lingkungan Mahkamah Agung juga mengawasi Hakim
Konstitusi yang dimulai dari proses seleksi hingga pengangkatannya. Selain itu, posisi
Komisi Yudisial seharusnya tidak berada dalam payung kekuasaan kehakiman karena Komisi
Yudisal bersifat extra yudisial dan bukan lembaga peradilan sehingga tidak tepat jika dalam
peraturan perundang-undangan ditempatkan dalam payung lembaga peradilan.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 743
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
A. Rani, Faisal. Fungsi Dan Kedudukan Mahkamah Agung Sebagai Penyelenggara
Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Sesuai Dengan Paham Negara Hukum.
Darussalam: Syiah Kuala University Press. 2009.
Asshiddiqie, Jimly. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta:
Konpress. 2005.
Atmasasmita, Romli, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bandung: Armico, 2008.
Basuki, Ahmad, Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebagai
Upaya Dalam Mewujudkan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Jurnal Perspektif
Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Volume XVIII No.1 Tahun 2013.
Busroh, AbuBakar, Azas-Azas Hukum Tata Negara, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1991.
Daulay, Ikhsan Rosyada Parluhutan, Mahkamah Konstitusi,Jakarta : Rineka Cipta, 2006.
Fuady, Munir, Teori Negara Hukum Modern, Bandung: RefikaAditama, 2009.
Gaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
2006.
Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2005.
Isnaeni Ramdhan, Mochamad, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: PT.
Alumni. 2006.
Perubahan UUD NRI 1945, Jakarta:Konpress, 2012.
Kansil, C.S.T, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 2003.
Kansil, C.S.T. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta : PT Rineka Cipta. 2000.
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2006.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Ilmu Hukum:Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
2008.
Moleong, Lexy J. Metode penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. 1993.
Munir, Ernawati. Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Hubungan Lembaga Negara
Pasca Amandemen UUD NRI 1945. Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Badan Pembinaan Hukum Nasioanal Tahun 2005
Qomar, Nurul, Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi, Jakarta : Sinar
Grafika, 2013.
Maju. 1998
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 744
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
2009.
Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Sinar Grafika. 2012
Sihaloho, Meylin. Seleksi Pengangkatan Hakim Dalam Sistem Peradilan Indonesia: Kajian
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015. Jurnal Wawasan Hukum,
Vol. 33, No. 2, September 2015
Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik
Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Grafindo Persada, 2007.
Thaib, Dahlan, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta : Raja GrafindoPersada, 2006.
Thohari,A. Ahsin, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: Raja Grasindo, 2004.
Tutik, Titik Triwulan, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011.
W. Levy, Leonard, Judicial Review: Sejarah Kelahiran, Wewenang, dan Fungsinya Dalam
Negara Demokrasi. Jakarta: Penerbit Nuansa. 2005.
Wiwoho, J. Lembaga-Lembaga Negara Pasca Amandemen Keempat UUD NRI 1945.
Surakarta: UNS Press. 2006.
731
DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945
Azanil Fajri
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111
Faisal A.Rani
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111
Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan wewenang Mahkamah Agung dalam
seleksi dan pengangkatan hakim serta menjelaskan mekanisme kontrol dan check and balances dalam proses
seleksi dan pengangkatan hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu metode
penelitian kepustakaan atau Library Research yang didapatkan dari bahan-bahan hukum primer, bahan hukum
skunder dan bahan hukum tersier. Data yang diperoleh disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis
dengan pendekatan kualitatif untuk mengkaji masalah yang diteliti. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kewenangan Komisi Yudisial dalam pengangkatan hakim bersama Mahkamah Agung justru dimaksudkan untuk
membangun semakin kokohnya kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman dan sekaligus menjadi mekanisme kontrol
serta pengejawantahan prinsip check and balances untuk membentuk Kekuasaan Kehakiman yang independen.
Pembatalan kewenangan dalam seleksi dan pengangkatan hakim oleh Komisi Yudisial merupakan suatu
kemunduran karena keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi hakim merupakan mekanisme kontrol
untuk menciptakan Kekuasaan Kehakiman yang independen dan imparsial serta meminimalisir penyalahgunaan
wewenang. Diperlukan Amandemen lanjutan atas UUD NRI 1945 untuk menegaskan fungsi- fungsi kontrol
terhadap Kekuasaan Kehakiman yang dimulai dari proses seleksi, pengangkatan hingga pengawasan serta
memberikan kepastian hukum terkait dengan tugas dan wewenang yang ada dalam Kekuasaan Kehakiman serta
untuk menghindari penafsiran yang berbeda atas undang-undang.
Kata Kunci: Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung
Abstract - This study aims to identify and explain the authority of the Supreme Court in the selection and
appointment of judges and explain the mechanism of control and check and balances in the selection and
appointment of judges conducted by the Supreme Court in accordance with applicable laws and regulations.
The method used in this research is normative juridical research method, namely library research method or
Library Research obtained from primary legal materials, secondary law materials and tertiary legal materials.
The data obtained is arranged systematically and then analyzed by qualitative approach. The results of this
study indicate that the authority of the Judicial Commission in the appointment of judges with the Supreme
Court is intended to build the strength of independence of the judicial power and at the same time become the
control mechanism and the embodiment of check and balances principle to form an independent judicial power.
The cancellation of authority in the selection and appointment of judges by the Judicial Commission is a setback
because the involvement of the Judicial Commission in the selection process of judges is a control mechanism to
create an impartial and impartial judicial power as well as to minimize the abuse of authority. A further
amendment is required of the 1945 NRI Constitution to affirm the functions of control over the judicial powers
starting from the selection process, appointment to supervision and providing legal certainty in relation to the
duties and authorities existing within the Judicial Authority and to avoid different interpretations of the law.
Keywords: Judicial Power, Supreme Court
PENDAHULUAN
Amandemen keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya
tercantum dalam Penjelasan UUD NRI 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat
(3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep negara
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 732
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
hukum itu yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah
hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam
bahasa Inggris untuk menyebut prinsip negara hukum adalah ‘the rule of law, not of man’.
Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per
orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.1
Ketentuan ini berimplikasi pula untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan
arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun warga negaranya. 2
Dalam rangka mengejawantahkan prinsip negara hukum tersebut, Maria menyatakan
bahwa dalam perumusan peraturan perundang-undangan terdapat pokok-pokok pikiran pada
konsiderans Undang-Undang yang memuat unsur-unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang
menjadi latar belakang pembuatannya.3 Unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi
pertimbangan dalam merumuskan suatu peraturan perundang-undangan.4 Unsur filosofis
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup,
kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Unsur yuridis
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau
mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan
diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.5
Mahkamah Agung sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kekuasaan mutlak dalam
lembaga peradilan di Indonesia. Dalam rangka mengakomodasi perubahan sosial dan
kebutuhan masyarakat akan keadilan serta mengatasi permasalahan hukum atau mengisi
kekosongan hukum maka amandemen ke IV Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan
lembaga baru di bidang Kekuasaan Kehakiman dalam rangka menjawab persoalan-persoalan
sosiologis maupun yuridis terkait lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi
1 Makalah Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia. 2 Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2006, hlm.16. 3 Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya.
Yogyakarta: Kanisius, 2007. hlm. 108. 4 Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan 5 Ibid
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 733
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
negara yang berdiri sendiri, terpisah dari Mahkamah Agung.7 Sedangkan Komisi Yudisial
sebagai lembaga yang menunjang tehadap pelaksanaan tugas Kekuasaan Kehakiman
(supporting institution) untuk menjamin tegaknya hukum yang adil dan berdaulat serta
menjadi lembaga kontrol perilaku hakim demi tercapainya prinsip cheks and balances dalam
sistem peradilan yang ada di negara Republik Indonesia. Didalam UUD NRI 1945 Komisi
Yudisial terdapat dalam pasal 24B UUD NRI 1945 yang mempunyai wewenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Tahun 2015 lalu, Mahkamah Konstitusi menerima permohonan uji materi pasal 14A
ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum juncto
Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan
Agama juncto Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Dan pada akhirnya permohonan pemohon dikabulkan oleh
Mahkamah Konstitusi dengan mengeluarkan putusan nomor 43/PUU-XIII/2015 yang berisi
tentang kewenangan tunggal Mahkamah Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan
tingkat pertama pada Pengadilan Umum, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha
Negara.
Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim, tetapi putusan tersebut menjadi
persoalan baru karena posisi Komisi Yudisial sebagai Auxiliari State Body kehilangan peran
subtansialnya sebagai salah satu lembaga yang memiliki fungsi penyeimbang atau cheks and
balances. Putusan tersebut memberikan peluang untuk kembalinya kewenangan absolut dari
Mahkamah Agung yang secara subtansial menyalahi prinsip negara hukum yang dianut oleh
Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan melakukan telaah Yuridis maupun teoritis
mengenai kewenangan Mahkamah Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim di
tingkat Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara serta bagaimana
mekanisme kontrol dan check and balances dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim
yang dilakukan oleh Mahkamah Agung berdasarkan UUD NRI 1945 pasca keluarnya putusan
Mahakamah Konstitusi.
6 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hlm.201. 7 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi, Jakarta : Rineka Cipta, 2006, hlm.24.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 734
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah penelitian
yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan
bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini
dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan (Library Research), yakni dengan mempelajari
buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan. Objek
kajian penelitian hukum normatif meliputi norma atau kaidah dasar, asas-asas hukum,
peraturan perundang-undangan, perbandingan hukum, doktrin serta yurisprudensi.8
Sumber data yang digunakan adalah bahan hukum primer, skunder dan tersier. Bahan
hukum primer yang dimaksud adalah bahan hukum yang berupa ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini. Putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap juga dapat digolongkan sebagai sumber hukum primer.
Bahan hukum sekunder yaitu dari buku-buku yang menunjang pengetahuan mengenai produk
hukum dalam perundang-undangan tersebut. Bahan hukum tersier adalah bahan tambahan
yang dapat digunakan untuk menjelaskan bahan hukum skunder ataupun primer. Bahan
hukum primer bisa berupa kamus, artikel ataupun litelatur lainnya yang relevan dengan
penelitian yang sedang dilakukan.
Dalam penelitian ini peneliti mencari dan mengumpulkan bahan kepustakaan yang
berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan buku, hasil-hasil penelitian
hukum, skripsi, majalah, artikel, surat kabar, jurnal-jurnal hukum maupun pendapat-pendapat
para ahli hukum yang relevan dengan masalah penelitian yang sedang dilakukan. Data yang
diperoleh dalam penelitian akan dikumpulkan dan diidentifikasi sesuai dengan masalah
penelitian untuk kemudian diolah dan dianalisis. Hasil indentifikasi, pengolahan dan analisis
data yang telah dilakukan kemudian disusun dengan menggunakan pendekatan kualitatif.9
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sejarah perekrutan hakim agung dan relasinya dengan politik dan ketatanegaraan
secara singkat dimulai sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung, pengangkatan hakim agung dilakukan dengan sangat sederhana. Proses
8Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007, hlm. 33. 9 Lexy J. Moleong,. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. 1993, hlm. 2.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 735
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
pengangkatan hakim agung cukup diusulkan oleh ketua Mahkamah Agung kepada presiden
dan presiden mengeluarkan surat keputusannya. Pengusulan Mahkamah Agung didasarkan
pada pemantauan berdasarkan rekam jejak hakim yang bersangkutan, baik dari segi teknis
maupun integritas. Pasca berlakunya UU No 14 Tahun 1985, turut campur politisi dalam
perekrutan hakim agung dimulai. Pernah suatu ketika jumlah hakim agung yang diterima
lebih banyak yang berasal dari jalur nonkarier. Tata cara perekrutannya diusulkan oleh
Mahkamah Agung kepada DPR, kemudian DPR melakukan fit and proper test dan hasilnya
diserahkan kepada presiden.
hukum yang berkembang. Sebagaimana teori dan prinsip peraturan perundang-undangan
bahwa untuk menyusun atau merevisi suatu peraturan perundang-undangan harus memiliki
sekurang-kurangnya tiga landasan, yaitu filosofis, sosiologis dan yuridis. Dalam konteks,
landasan yuridis terbagi dua: pertama, landasan yuridis formal, merupakan dasar kewenangan
pembuatan peraturan perundang-undangan. Kedua, landasan yuridis material, yaitu dasar
keberadaan jenis peraturan perundang-undangan. Dimana, substansi atau isinya harus sesuai
dengan wadahnya dan tidak boleh bertentangan dengan substansi peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi serta kepentingan umum.10
Kewenangan Mahkamah Agung dalam seleksi pengangkatan hakim pada dasarnya
tidak disebutkan secara langsung dan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945, tetapi
disebutkan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
tepatnya pada pasal 21 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
Ayat 1 : Organisasi, administrasi, finansial mahkamah agung dan badan peradilan
yang berada dibawahnya berada dibawah kekuasaaan Mahkamah Agung.
Ayat 2 : Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan
peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan
peradilan masing-masing.
hakim tidak dimonopoli oleh mahkamah agung. Kewenangan seleksi dan pengangkatan
hakim juga berada pada Komisi Yudisial. Kewenangan Mahkamah Agung dan Komisi
10 Rosjidi Ranggawidjaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
1998, hlm. 44-45
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 736
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
ini:
a. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, pada Pasal 14A ayat (2) dan (3) yang
berbunyi:
Ayat 2 : Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama
oleh mahkamah agung dan komisi yudisial
Ayat 3 : Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh
mahkamah agung dan komisi yudisial.
b. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) yang
berbunyi:
Ayat 2 : Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan bersama
oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Ayat 3 : Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh
mahkamah agung dan komisi yudisial.
c. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 14A ayat (2) dan ayat
(3) yang berbunyi :
Ayat 2 : Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama
oleh mahkamah agung dan komisi yudisial
Ayat 3 : Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh
mahkamah agung dan komisi yudisial.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak dengan mudah untuk diterapkan oleh
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengenai seleksi pengangkatan hakim. Pada tahun
2010, Mahkamah Agung telah melakukan seleksi hakim tanpa melibatkan Komisi Yudisial
sehingga untuk melegalkan calon hakim yang terlanjur diterima melalui seleksi pengangkatan
hakim oleh Mahkamah Agung, maka dibuatlah Peraturan bersama Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial Nomor 01/P/MA/IX/2012-01/PB/P.KY/09/2012 tentang Seleksi
Pengangkatan Hakim.11 Peraturan bersama itu menyepakati metode rekrutmen hakim, yakni
11 Meylin Sihaloho, Seleksi Pengangkatan Hakim Dalam Sistem Peradilan Indonesia: Kajian Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015. Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015,
hlm 213-214
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 737
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
rekrutmen dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengacu pada hakim
sebagai pejabat negara, dengan penjabaran tata cara seleksi dan pembiayaan serta rangkaian
proses mulai dari pendidikan calon hakim terpadu, sampai pada penentuan akhir untuk
diangkat menjadi hakim.
Kehakiman, terutama dilingkungan Mahakamah Agung dan Komisi Yudisial berakhir dengan
keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang membatalkan
norma bahwa seleksi pengangkatan hakim dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial. Dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal
14A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” UU
Perubahan Kedua UU Peradilan Umum bertentangan dengan UUD NRI 1945 sehingga tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
pengangkatan hakim sebagaimana sebelum terbentuknya Komisi Yudisial yang terdapat
dalam amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan sepenuhnya dalam
pelaksanaan seleksi pengangkatan hakim berada pada Mahkamah Agung. Keterlibatan
Komisi Yudisial sebelum keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-
XIII/2015 dalam proses seleksi pengangkatan hakim pada Peradilan Umum, Peradilan
Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara di anggap sebagai kewenangan yang
inkonstitusional, karena bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal
28D ayat (1) UUD NRI 1945. Selain itu, kewenangan tersebut juga tidak sesuai dengan
prinsip hukum yang berlaku secara universal yakni:12
(1) Prinsip lex certa adalah suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat
diperluas atau ditafsirkan lain selain ditulis dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Prinsip lex stricta merupakan suatu ketentuan atau perundang- undangan tidak dapat
diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan
perundang-undangan.
(3) Prinsip lex superior derogate legi inferiori yakni suatu perundang- undangan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 738
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
Kehakiman yang merdeka karena Kekuasaan Kehakiman tidak hanya dalam konteks
pelaksanaan kewenangan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Melainkan juga untuk melakukan proses seleksi dan perekrutan hakim yang berkualitas
secara independen dan mandiri. Keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan
hakim pada Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara, di anggap
akan merusak sistem Kekuasaan Kehakiman yang dijamin oleh konstitusi. Karenanya segala
campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar Kekuasaan Kehakiman dilarang,
kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.13Sehingga, proses
seleksi pengangkatan hakim Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha
Negara serta ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung.
Seleksi Hakim Oleh Mahkamah Agung Saat Ini
Perdebatan-perdebatan mengenai kewenangan seleksi hakim yang terjadi di negeri ini
berdampak signifikan terhadap ketersedian hakim yang ada. Karena perdebatan akan
kewenangan tersebut telah membuat rekrutmen hakim menjadi berhenti. Praktis selama tujuh
tahun terakhir tidak pernah dilakukan penjaringan calon hakim akibat ketidakjelasan
kewenangan yang ada. Barulah pada akhirnya putusan Mahkamah Konstitusi memberikan
kejelasan terkait kewengan seleksi hakim. Namun meskipun kewenangan seleksi sudah
berada di bawah Mahkamah Agung, perangkat aturan yang mengatur status hakim sebagai
pejabat Negara belum tersedia sehingga proses seleksi hakim masih juga terbengkalai. Oleh
karena itu pada tahun 2017 guna mengatasi krisis hakim, akhirnya Mahkamah Agung
menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2017 tentang Pengadaan
Hakim, khususnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata
Usaha Negara (PTUN) dengan sistem penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan
diundangkan pada 4 April 2017. Salah satu latar belakang terbitnya PERMA ini adanya
kebutuhan hakim yang sangat mendesak untuk memenuhi formasi hakim di tiga lingkungan
peradilan yakni Peradilan Umum, Peradilan agama, PTUN. Terbitnya PERMA Pengadaan
13Ibid.,
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 739
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
Hakim ini merupakan solusi sementara sebelum disahkannya RUU Jabatan Hakim yang
didalamnya mengatur proses pengangkatan hakim sebagai pejabat negara.14
PERMA No. 2 Tahun 2017 memuat 9 pasal yang secara garis besar mengatur tujuh
poin. Yakni, kewenangan Mahkamah Agung dalam pengadaan hakim, asas-asas, tahapan
pengadaan hakim, pelaksana, proses seleksi, pengangkatan CPNS/cakim, pengusulan
CPNS/cakim menjadi hakim, dan status cakim yang tidak lulus pendidikan cakim. PERMA
ini sekaligus mencabut berlakunya PERMA No. 6 Tahun 2016 tentang Penyusunan dan
Penetapan Kebutuhan serta Pengadaan Hakim. PERMA No. 2 Tahun 2017 mengatur proses
pengadaan hakim melalui kebutuhan CPNS guna mengatasi kebuntuan krisis hakim yang
sudah 7 tahun tidak melaksanakan rekrutmen calon hakim. Sebab, apabila rekrutmen calon
hakim “dipaksakan”•menggunakan nomenklatur status hakim sebagai pejabat negara tidak
ada ketentuan pelaksanaannya.15
Mekanisme Kontrol dan Cheks and Balances dalam Seleksi Hakim Untuk Mewujudkan
Kekuasaan Kehakiman Yang Independen
Pada konteks Indonesia, ada periode sejarah penegakan hukum yang memperlihatkan
Kekuasaan Kehakiman yang kehilangan independensinya. Indikasi itu dapat dilihat pada
kurun masa Orde Lama di mana Presiden dapat turut atau campurtangan dalam soal- soal
pengadilan. Sedangkan pada masa Orde Baru syarat-syarat seorang hakim untuk dapat
diangkat atau diberhentikan di atur dalam undang-undang tetapi presidenlah yang
menentukan hakim dimaksud. Peradilan di masa lalu memperlihatkan bahwa Kekuasaan
Kehakiman masih mendapatkan intervensi dari eksekutif. Intervensi tersebut menyebabkan
Kekuasaan Kehakiman tidak sepenuhnya independen di hadapan kekuasaan. Intervensi-
intervensi itu dilakukan mulai dari proses rekruitmen, promosi, demosi, mutasi, hingga pada
tahap kontrol organisasi dan administratif, serta politik anggaran.
Independensi Kekuasaan Kehakiman merupakan suatu yang sangat fundamental.
Sehingga pada era reformasi persoalan independensi ini dirumuskan secara spesifik dalam
konstitusi maupun perundangan yang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman. Komisi
Yudisial menjadi salah satu lembaga baru yang dibentuk pasca amandemen UUD NRI 1945
yang dimaksudkan untuk menangani urusan yang terkait dengan pengangkatan hakim agung
14 Sudarsono, PERMA Pengadaan Hakim, Solusi Atasi Krisis Hakim, Lihat; http://pn-
pariaman.go.id/New/berita/berita-terkini/215-perma-pengadaan-hakim-solusi-atasi-krisis-hakim, diakses pada
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
Yudisial merupakan usaha menegakkan prinsip cheks and balances guna menciptakan
independensi serta Kekuasaan Kehakiman yang benar-benar merdeka sebagaimana amat
undang-undang. Banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh hakim pada masa lalu telah
mencoreng wajah Kekuasaan Kehakiman yang independen sehingga dibutuhkan mekanisme
pengawasan.
Dalam konteks sistem dan format kekuasaan pasca amandemen, Komisi Yudisial
menjadi instrumen penting untuk memastikan dan menjamin efektifitas penerapan prinsip dan
sistem saling imbang dan saling kontrol di dalam Kekuasaan Kehakiman itu sendiri serta
format kekuasaan pada umumnya. Dengan kata lain, Komisi Yudisial pasca amandemen
menjadi mekanisme kontrol yang disediakan konstitusi untuk menjamin independensi
Kekuasaan Kehakiman. Pembentukan Komisi Yudisial merupakan konsekuensi logis yang
muncul dari penyatuan atap lembaga peradilan pada Mahkamah Agung. karena penyatuan
atap berpotensi menimbulkan monopoli Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena itu, dalam
konteks menciptakan mekanisme kontrol dalam Kekuasaan Kehakiman, keberadaan Komisi
Yudisial tidak hanya perlu secara faktual tetapi mempunyai peranan yang sangat strategis
untuk membangun sistem cheks and balances di dalam lembaga Kekuasaan Kehakiman.
Dengan kewenangan pengawasan yang diamanatkan undang-undang kepada Komisi
Yudisial, diharapkan dapat menjadi mekanisme kontrol untuk menjaga dan menegakkan
kehormatan dan keluhuran serta perilaku hakim serta dapat meningkatkan citra Kekuasaan
Kehakiman, mewujudkan kualitas dan rasa keadilan serta melaksanakan Kekuasaan
Kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.
Kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka mengusulkan pengangkatan hakim agung
bukanlah suatu tindakan intervensi melainkan sebagai bagian untuk memperkuat
independensi dan imparsialitas dalam penegakkan hukum dan keadilan. Demikian pula
dengan kewenangan dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim pada pengadilan tingkat
pertama harus dipandang sebagai bagian untuk menciptakan dan memperkut independensi
hakim demi tercapainya Kekuasaan Kehakiman yang merdeka. Komisi Yudisial dalam hal ini
menjadi mekanisme kontrol dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim pada pengadilan
tingkat pertama dan hal ini tentu sesuai dengan semangat amandemen UUD NRI 1945. Tetapi
pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang
mengembalikan wewenang seleksi hakim tingkat pertama kepada Mahakamah Agung secara
otomatis telah menghilangkan menkanisme kontrol dalam Kekuasaan Kehakiman terutama
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 741
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
yang terkait dengan proses seleksi dan pengangkatan hakim. Sehingga tidak ada lagi
mekanisme kontrol yang tersedia dan dijamin Undang-undang dalam proses seleksi hakim
tingkat pertama. Putusan Mahkamah Konstitusi terebut telah mengamputasi kewenangan
Komisi Yudisial dalam proses seleksi hakim tingkat pertama setelah sebelumnya Mahkamah
Konstitusi juga memutus kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi perilaku hakim
konstitusi.
Terlepas materi hukum yang dianggap inkonstitusional terkait dengan kewenangan
Komisi Yudisial dalam pengangkatan hakim, tetapi secara sosiologis mekanisme kontrol
dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial adalah
sesuatu yang penting dan masih sangat dibutuhkan. Karena kekuasan yang terpusat pada satu
lembaga dan tidak diawasi sangat mungkin disalahguakan. Dan kembalinya wewenang
seleksi hakim kepada Mahkamah Agung secara otomatis telah mengembalikan wewenang
Mahkamah Agung seperti masa lalu dan tanpa pengawasan oleh lembaga lain. Hal ini berarti
amandemen UUD NRI 1945 yang bertujuan memperkuat Kekuasaan Kehakiman dan
menciptakan hakim yang independen mulai sejak proses seleksi kehilangan semangat dan
subtansinya karena saat ini kewenangan tersebut malah dikembalikan dan terpusat pada satu
lembaga saja. Dengan kata lain, pasca keluarnya putusan Mahkamah Agung nomor 43/PUU-
XIII/2015, maka mekanisme kontrol secara ekternal dalam proses seleksi hakim menjadi
tidak ada.
Pelaksanaan seleksi pengangkatan hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial merupakan pengejawantahan prinsip check and balances, untuk
menghasilkan pilihan yang tepat, yang lebih objektif dengan memenuhi kriteria-kriteria dan
syarat-syarat yang objektif pada pilihan hakim yang berintegritas dan kepribadian yang tidak
tercela, adil, profesional, dan pengalaman dibidang hukum sehingga mencapai dari tujuan
yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan wewenang Komisi Yudisial dalam
proses pengangkatan dan seleksi hakim pengadilan tingkat pertama merupakan suatu
kemunduran kostitusi. Dan secara hukum hal tersebut menyalahi prinsip cheks and balances.
Kekuasaan Kehakiman memang harus bebas dari intervensi, tetapi intevensi yang dimaksud
adalah intervensi yang tidak seharusnya atau intervensi yang akan melemahkan Kekuasaan
Kehakiman itu sendiri. Sedangkan intervensi untuk menguatkan Kekuasaan Kehakiman tetap
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 742
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
Yudisial dalam proses seleksi hakim juga merupakan mekanisme kontrol untuk menciptakan
Kekuasaan Kehakiman yang independen dan imparsial serta meminimalisir penyalahgunaan
wewenang. Pembatalan wewenang Komisi Yudisial telah menghilangkan mekanisme kontrol
daam proses seleksi dan pengangkatan hakim tingkat pertama dan hal ini berarti bahwa
amandemen UUD NRI 1945 yang bertujauan menciptakan Kekuasaan Kehakiman yang
independen dan imparsial kehilangan makna subtansialnya. Karena pembatalan kewenangan
tersebut mengembalikan kewenangan seleksi hakim sebagaimana sebelum amandemen UUD
NRI 1945.
Konstitusi - Komisi Yudisial sehingga diperlukan revisi terhadap Undang-Undang Kekuasaan
Kehakiman, termasuk Undang-Undang Mahkamah Agung, dan Undang-Undang Komisi
Yudisial. Diperlukan Amandemen lanjutan atas UUD NRI 1945 untuk menegaskan fungsi-
fungsi kontrol yang pada pokoknya mengarah pada penguatan Komisi Yudisial sebagai
lembaga pengawas eksternal terhadap Kekuasaan Kehakiman yang selain mengawasi Hakim
Agung dan hakim- hakim di lingkungan Mahkamah Agung juga mengawasi Hakim
Konstitusi yang dimulai dari proses seleksi hingga pengangkatannya. Selain itu, posisi
Komisi Yudisial seharusnya tidak berada dalam payung kekuasaan kehakiman karena Komisi
Yudisal bersifat extra yudisial dan bukan lembaga peradilan sehingga tidak tepat jika dalam
peraturan perundang-undangan ditempatkan dalam payung lembaga peradilan.
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 743
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
A. Rani, Faisal. Fungsi Dan Kedudukan Mahkamah Agung Sebagai Penyelenggara
Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Sesuai Dengan Paham Negara Hukum.
Darussalam: Syiah Kuala University Press. 2009.
Asshiddiqie, Jimly. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta:
Konpress. 2005.
Atmasasmita, Romli, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bandung: Armico, 2008.
Basuki, Ahmad, Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebagai
Upaya Dalam Mewujudkan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Jurnal Perspektif
Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Volume XVIII No.1 Tahun 2013.
Busroh, AbuBakar, Azas-Azas Hukum Tata Negara, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1991.
Daulay, Ikhsan Rosyada Parluhutan, Mahkamah Konstitusi,Jakarta : Rineka Cipta, 2006.
Fuady, Munir, Teori Negara Hukum Modern, Bandung: RefikaAditama, 2009.
Gaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
2006.
Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2005.
Isnaeni Ramdhan, Mochamad, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: PT.
Alumni. 2006.
Perubahan UUD NRI 1945, Jakarta:Konpress, 2012.
Kansil, C.S.T, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 2003.
Kansil, C.S.T. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta : PT Rineka Cipta. 2000.
Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2006.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Ilmu Hukum:Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.
2008.
Moleong, Lexy J. Metode penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. 1993.
Munir, Ernawati. Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Hubungan Lembaga Negara
Pasca Amandemen UUD NRI 1945. Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia
Badan Pembinaan Hukum Nasioanal Tahun 2005
Qomar, Nurul, Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi, Jakarta : Sinar
Grafika, 2013.
Maju. 1998
JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 744
Azanil Fajri, Faisal A.Rani
2009.
Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Sinar Grafika. 2012
Sihaloho, Meylin. Seleksi Pengangkatan Hakim Dalam Sistem Peradilan Indonesia: Kajian
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015. Jurnal Wawasan Hukum,
Vol. 33, No. 2, September 2015
Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik
Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
Grafindo Persada, 2007.
Thaib, Dahlan, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta : Raja GrafindoPersada, 2006.
Thohari,A. Ahsin, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: Raja Grasindo, 2004.
Tutik, Titik Triwulan, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011.
W. Levy, Leonard, Judicial Review: Sejarah Kelahiran, Wewenang, dan Fungsinya Dalam
Negara Demokrasi. Jakarta: Penerbit Nuansa. 2005.
Wiwoho, J. Lembaga-Lembaga Negara Pasca Amandemen Keempat UUD NRI 1945.
Surakarta: UNS Press. 2006.