Download - FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …

Transcript
Page 1: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …

Vol. 2(4) November 2018, pp.731-744

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 2597-6885 (online)

731

KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG DALAM SELEKSI DAN

PENGANGKATAN HAKIM TINGKAT PERTAMA MENURUT UNDANG-UNDANG

DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945

Azanil Fajri

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111

Faisal A.Rani

Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111

Abstrak - Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan wewenang Mahkamah Agung dalam

seleksi dan pengangkatan hakim serta menjelaskan mekanisme kontrol dan check and balances dalam proses

seleksi dan pengangkatan hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Metode yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu metode

penelitian kepustakaan atau Library Research yang didapatkan dari bahan-bahan hukum primer, bahan hukum

skunder dan bahan hukum tersier. Data yang diperoleh disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis

dengan pendekatan kualitatif untuk mengkaji masalah yang diteliti. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

kewenangan Komisi Yudisial dalam pengangkatan hakim bersama Mahkamah Agung justru dimaksudkan untuk

membangun semakin kokohnya kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman dan sekaligus menjadi mekanisme kontrol

serta pengejawantahan prinsip check and balances untuk membentuk Kekuasaan Kehakiman yang independen.

Pembatalan kewenangan dalam seleksi dan pengangkatan hakim oleh Komisi Yudisial merupakan suatu

kemunduran karena keterlibatan Komisi Yudisial dalam proses seleksi hakim merupakan mekanisme kontrol

untuk menciptakan Kekuasaan Kehakiman yang independen dan imparsial serta meminimalisir penyalahgunaan

wewenang. Diperlukan Amandemen lanjutan atas UUD NRI 1945 untuk menegaskan fungsi- fungsi kontrol

terhadap Kekuasaan Kehakiman yang dimulai dari proses seleksi, pengangkatan hingga pengawasan serta

memberikan kepastian hukum terkait dengan tugas dan wewenang yang ada dalam Kekuasaan Kehakiman serta

untuk menghindari penafsiran yang berbeda atas undang-undang.

Kata Kunci: Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung

Abstract - This study aims to identify and explain the authority of the Supreme Court in the selection and

appointment of judges and explain the mechanism of control and check and balances in the selection and

appointment of judges conducted by the Supreme Court in accordance with applicable laws and regulations.

The method used in this research is normative juridical research method, namely library research method or

Library Research obtained from primary legal materials, secondary law materials and tertiary legal materials.

The data obtained is arranged systematically and then analyzed by qualitative approach. The results of this

study indicate that the authority of the Judicial Commission in the appointment of judges with the Supreme

Court is intended to build the strength of independence of the judicial power and at the same time become the

control mechanism and the embodiment of check and balances principle to form an independent judicial power.

The cancellation of authority in the selection and appointment of judges by the Judicial Commission is a setback

because the involvement of the Judicial Commission in the selection process of judges is a control mechanism to

create an impartial and impartial judicial power as well as to minimize the abuse of authority. A further

amendment is required of the 1945 NRI Constitution to affirm the functions of control over the judicial powers

starting from the selection process, appointment to supervision and providing legal certainty in relation to the

duties and authorities existing within the Judicial Authority and to avoid different interpretations of the law.

Keywords: Judicial Power, Supreme Court

PENDAHULUAN

Amandemen keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

pada tahun 2002, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya

tercantum dalam Penjelasan UUD NRI 1945, dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat

(3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep negara

Page 2: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 732

Azanil Fajri, Faisal A.Rani

hukum itu yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah

hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam

bahasa Inggris untuk menyebut prinsip negara hukum adalah ‘the rule of law, not of man’.

Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per

orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.1

Ketentuan ini berimplikasi pula untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan

arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun warga negaranya. 2

Dalam rangka mengejawantahkan prinsip negara hukum tersebut, Maria menyatakan

bahwa dalam perumusan peraturan perundang-undangan terdapat pokok-pokok pikiran pada

konsiderans Undang-Undang yang memuat unsur-unsur filosofis, yuridis, dan sosiologis yang

menjadi latar belakang pembuatannya.3 Unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi

pertimbangan dalam merumuskan suatu peraturan perundang-undangan.4 Unsur filosofis

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup,

kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia

yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Unsur sosiologis menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk

untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Unsur yuridis

menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau

mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan

diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan

masyarakat.5

Sebelum amandemen UUD NRI 1945 Kekuasaan Kehakiman dimonopoli oleh

Mahkamah Agung sebagai satu-satunya lembaga yang memiliki kekuasaan mutlak dalam

lembaga peradilan di Indonesia. Dalam rangka mengakomodasi perubahan sosial dan

kebutuhan masyarakat akan keadilan serta mengatasi permasalahan hukum atau mengisi

kekosongan hukum maka amandemen ke IV Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan

lembaga baru di bidang Kekuasaan Kehakiman dalam rangka menjawab persoalan-persoalan

sosiologis maupun yuridis terkait lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi

1 Makalah Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia. 2 Dahlan Thaib, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2006, hlm.16. 3 Maria Farida Indrati Soeprapto. Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik Pembentukannya.

Yogyakarta: Kanisius, 2007. hlm. 108. 4 Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan 5 Ibid

Page 3: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 733

Azanil Fajri, Faisal A.Rani

Yudisial.6 Kedudukan Mahkamah Konstitusi di bidang yudikatif adalah sebagai lembaga

negara yang berdiri sendiri, terpisah dari Mahkamah Agung.7 Sedangkan Komisi Yudisial

sebagai lembaga yang menunjang tehadap pelaksanaan tugas Kekuasaan Kehakiman

(supporting institution) untuk menjamin tegaknya hukum yang adil dan berdaulat serta

menjadi lembaga kontrol perilaku hakim demi tercapainya prinsip cheks and balances dalam

sistem peradilan yang ada di negara Republik Indonesia. Didalam UUD NRI 1945 Komisi

Yudisial terdapat dalam pasal 24B UUD NRI 1945 yang mempunyai wewenang

mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka

menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Tahun 2015 lalu, Mahkamah Konstitusi menerima permohonan uji materi pasal 14A

ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum juncto

Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan

Agama juncto Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara. Dan pada akhirnya permohonan pemohon dikabulkan oleh

Mahkamah Konstitusi dengan mengeluarkan putusan nomor 43/PUU-XIII/2015 yang berisi

tentang kewenangan tunggal Mahkamah Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan

tingkat pertama pada Pengadilan Umum, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tata Usaha

Negara.

Amar putusan penghapusan kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi hakim

bersama Mahkamah Agung nomor 43/PUU-XIII/2015 menjadi asas legalitas bagi Mahkamah

Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim, tetapi putusan tersebut menjadi

persoalan baru karena posisi Komisi Yudisial sebagai Auxiliari State Body kehilangan peran

subtansialnya sebagai salah satu lembaga yang memiliki fungsi penyeimbang atau cheks and

balances. Putusan tersebut memberikan peluang untuk kembalinya kewenangan absolut dari

Mahkamah Agung yang secara subtansial menyalahi prinsip negara hukum yang dianut oleh

Indonesia. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan melakukan telaah Yuridis maupun teoritis

mengenai kewenangan Mahkamah Agung dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim di

tingkat Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara serta bagaimana

mekanisme kontrol dan check and balances dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim

yang dilakukan oleh Mahkamah Agung berdasarkan UUD NRI 1945 pasca keluarnya putusan

Mahakamah Konstitusi.

6 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005, hlm.201. 7 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi, Jakarta : Rineka Cipta, 2006, hlm.24.

Page 4: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 734

Azanil Fajri, Faisal A.Rani

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah penelitian

yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan

bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta

peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan ini

dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan (Library Research), yakni dengan mempelajari

buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan. Objek

kajian penelitian hukum normatif meliputi norma atau kaidah dasar, asas-asas hukum,

peraturan perundang-undangan, perbandingan hukum, doktrin serta yurisprudensi.8

Sumber data yang digunakan adalah bahan hukum primer, skunder dan tersier. Bahan

hukum primer yang dimaksud adalah bahan hukum yang berupa ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian ini. Putusan pengadilan yang telah

memiliki kekuatan hukum tetap juga dapat digolongkan sebagai sumber hukum primer.

Bahan hukum sekunder yaitu dari buku-buku yang menunjang pengetahuan mengenai produk

hukum dalam perundang-undangan tersebut. Bahan hukum tersier adalah bahan tambahan

yang dapat digunakan untuk menjelaskan bahan hukum skunder ataupun primer. Bahan

hukum primer bisa berupa kamus, artikel ataupun litelatur lainnya yang relevan dengan

penelitian yang sedang dilakukan.

Dalam penelitian ini peneliti mencari dan mengumpulkan bahan kepustakaan yang

berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan buku, hasil-hasil penelitian

hukum, skripsi, majalah, artikel, surat kabar, jurnal-jurnal hukum maupun pendapat-pendapat

para ahli hukum yang relevan dengan masalah penelitian yang sedang dilakukan. Data yang

diperoleh dalam penelitian akan dikumpulkan dan diidentifikasi sesuai dengan masalah

penelitian untuk kemudian diolah dan dianalisis. Hasil indentifikasi, pengolahan dan analisis

data yang telah dilakukan kemudian disusun dengan menggunakan pendekatan kualitatif.9

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sejarah perekrutan hakim agung dan relasinya dengan politik dan ketatanegaraan

secara singkat dimulai sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung, pengangkatan hakim agung dilakukan dengan sangat sederhana. Proses

8Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2007, hlm. 33. 9 Lexy J. Moleong,. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. 1993, hlm. 2.

Page 5: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 735

Azanil Fajri, Faisal A.Rani

pengangkatan hakim agung cukup diusulkan oleh ketua Mahkamah Agung kepada presiden

dan presiden mengeluarkan surat keputusannya. Pengusulan Mahkamah Agung didasarkan

pada pemantauan berdasarkan rekam jejak hakim yang bersangkutan, baik dari segi teknis

maupun integritas. Pasca berlakunya UU No 14 Tahun 1985, turut campur politisi dalam

perekrutan hakim agung dimulai. Pernah suatu ketika jumlah hakim agung yang diterima

lebih banyak yang berasal dari jalur nonkarier. Tata cara perekrutannya diusulkan oleh

Mahkamah Agung kepada DPR, kemudian DPR melakukan fit and proper test dan hasilnya

diserahkan kepada presiden.

Pasca Amandemen Undang-Undang 1945, proses perekrutan hakim juga mengalami

perubahan yang cukup signifikan. Perubahan tersebut didasarkan pada kondisi sosial dan

hukum yang berkembang. Sebagaimana teori dan prinsip peraturan perundang-undangan

bahwa untuk menyusun atau merevisi suatu peraturan perundang-undangan harus memiliki

sekurang-kurangnya tiga landasan, yaitu filosofis, sosiologis dan yuridis. Dalam konteks,

landasan yuridis terbagi dua: pertama, landasan yuridis formal, merupakan dasar kewenangan

pembuatan peraturan perundang-undangan. Kedua, landasan yuridis material, yaitu dasar

keberadaan jenis peraturan perundang-undangan. Dimana, substansi atau isinya harus sesuai

dengan wadahnya dan tidak boleh bertentangan dengan substansi peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi serta kepentingan umum.10

Kewenangan Mahkamah Agung dalam seleksi pengangkatan hakim pada dasarnya

tidak disebutkan secara langsung dan tegas dalam Undang-Undang Dasar 1945, tetapi

disebutkan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

tepatnya pada pasal 21 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:

Ayat 1 : Organisasi, administrasi, finansial mahkamah agung dan badan peradilan

yang berada dibawahnya berada dibawah kekuasaaan Mahkamah Agung.

Ayat 2 : Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing lingkungan

peradilan diatur dalam undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan

peradilan masing-masing.

Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku terkait proses seleksi dan pengangkatan

hakim tidak dimonopoli oleh mahkamah agung. Kewenangan seleksi dan pengangkatan

hakim juga berada pada Komisi Yudisial. Kewenangan Mahkamah Agung dan Komisi

10 Rosjidi Ranggawidjaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Mandar Maju, Bandung,

1998, hlm. 44-45

Page 6: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 736

Azanil Fajri, Faisal A.Rani

Yudisial untuk seleksi pengangkatan hakim sebagaimana dalam perundang- undangan berikut

ini:

a. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, pada Pasal 14A ayat (2) dan (3) yang

berbunyi:

Ayat 2 : Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama

oleh mahkamah agung dan komisi yudisial

Ayat 3 : Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh

mahkamah agung dan komisi yudisial.

b. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) yang

berbunyi:

Ayat 2 : Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan agama dilakukan bersama

oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Ayat 3 : Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh

mahkamah agung dan komisi yudisial.

c. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pasal 14A ayat (2) dan ayat

(3) yang berbunyi :

Ayat 2 : Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama

oleh mahkamah agung dan komisi yudisial

Ayat 3 : Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur bersama oleh

mahkamah agung dan komisi yudisial.

Akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak dengan mudah untuk diterapkan oleh

Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengenai seleksi pengangkatan hakim. Pada tahun

2010, Mahkamah Agung telah melakukan seleksi hakim tanpa melibatkan Komisi Yudisial

sehingga untuk melegalkan calon hakim yang terlanjur diterima melalui seleksi pengangkatan

hakim oleh Mahkamah Agung, maka dibuatlah Peraturan bersama Mahkamah Agung dan

Komisi Yudisial Nomor 01/P/MA/IX/2012-01/PB/P.KY/09/2012 tentang Seleksi

Pengangkatan Hakim.11 Peraturan bersama itu menyepakati metode rekrutmen hakim, yakni

11 Meylin Sihaloho, Seleksi Pengangkatan Hakim Dalam Sistem Peradilan Indonesia: Kajian Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015. Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 33, No. 2, September 2015,

hlm 213-214

Page 7: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 737

Azanil Fajri, Faisal A.Rani

rekrutmen dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial mengacu pada hakim

sebagai pejabat negara, dengan penjabaran tata cara seleksi dan pembiayaan serta rangkaian

proses mulai dari pendidikan calon hakim terpadu, sampai pada penentuan akhir untuk

diangkat menjadi hakim.

Ketidakpastian kewenangan dalam proses seleksi hakim dilingkungan Kekuasaan

Kehakiman, terutama dilingkungan Mahakamah Agung dan Komisi Yudisial berakhir dengan

keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang membatalkan

norma bahwa seleksi pengangkatan hakim dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan

Komisi Yudisial. Dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal

14A ayat (2) dan ayat (3) sepanjang kata “bersama” dan frasa “dan Komisi Yudisial” UU

Perubahan Kedua UU Peradilan Umum bertentangan dengan UUD NRI 1945 sehingga tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah mengembalikan bentuk seleksi dan

pengangkatan hakim sebagaimana sebelum terbentuknya Komisi Yudisial yang terdapat

dalam amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Kewenangan sepenuhnya dalam

pelaksanaan seleksi pengangkatan hakim berada pada Mahkamah Agung. Keterlibatan

Komisi Yudisial sebelum keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-

XIII/2015 dalam proses seleksi pengangkatan hakim pada Peradilan Umum, Peradilan

Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara di anggap sebagai kewenangan yang

inkonstitusional, karena bertentangan dengan Pasal 24 ayat (1), Pasal 24B ayat (1), dan Pasal

28D ayat (1) UUD NRI 1945. Selain itu, kewenangan tersebut juga tidak sesuai dengan

prinsip hukum yang berlaku secara universal yakni:12

(1) Prinsip lex certa adalah suatu materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat

diperluas atau ditafsirkan lain selain ditulis dalam peraturan perundang-undangan.

(2) Prinsip lex stricta merupakan suatu ketentuan atau perundang- undangan tidak dapat

diberikan perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan

perundang-undangan.

(3) Prinsip lex superior derogate legi inferiori yakni suatu perundang- undangan yang lebih

rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi.

12 Ibid.,

Page 8: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 738

Azanil Fajri, Faisal A.Rani

Kewenangan Komisi Yudisial juga dianggap menyalahi prinsip Kekuasaan

Kehakiman yang merdeka karena Kekuasaan Kehakiman tidak hanya dalam konteks

pelaksanaan kewenangan hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.

Melainkan juga untuk melakukan proses seleksi dan perekrutan hakim yang berkualitas

secara independen dan mandiri. Keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan

hakim pada Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara, di anggap

akan merusak sistem Kekuasaan Kehakiman yang dijamin oleh konstitusi. Karenanya segala

campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar Kekuasaan Kehakiman dilarang,

kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI 1945.13Sehingga, proses

seleksi pengangkatan hakim Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha

Negara serta ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung.

Seleksi Hakim Oleh Mahkamah Agung Saat Ini

Perdebatan-perdebatan mengenai kewenangan seleksi hakim yang terjadi di negeri ini

berdampak signifikan terhadap ketersedian hakim yang ada. Karena perdebatan akan

kewenangan tersebut telah membuat rekrutmen hakim menjadi berhenti. Praktis selama tujuh

tahun terakhir tidak pernah dilakukan penjaringan calon hakim akibat ketidakjelasan

kewenangan yang ada. Barulah pada akhirnya putusan Mahkamah Konstitusi memberikan

kejelasan terkait kewengan seleksi hakim. Namun meskipun kewenangan seleksi sudah

berada di bawah Mahkamah Agung, perangkat aturan yang mengatur status hakim sebagai

pejabat Negara belum tersedia sehingga proses seleksi hakim masih juga terbengkalai. Oleh

karena itu pada tahun 2017 guna mengatasi krisis hakim, akhirnya Mahkamah Agung

menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2017 tentang Pengadaan

Hakim, khususnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata

Usaha Negara (PTUN) dengan sistem penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan

diundangkan pada 4 April 2017. Salah satu latar belakang terbitnya PERMA ini adanya

kebutuhan hakim yang sangat mendesak untuk memenuhi formasi hakim di tiga lingkungan

peradilan yakni Peradilan Umum, Peradilan agama, PTUN. Terbitnya PERMA Pengadaan

13Ibid.,

Page 9: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 739

Azanil Fajri, Faisal A.Rani

Hakim ini merupakan solusi sementara sebelum disahkannya RUU Jabatan Hakim yang

didalamnya mengatur proses pengangkatan hakim sebagai pejabat negara.14

PERMA No. 2 Tahun 2017 memuat 9 pasal yang secara garis besar mengatur tujuh

poin. Yakni, kewenangan Mahkamah Agung dalam pengadaan hakim, asas-asas, tahapan

pengadaan hakim, pelaksana, proses seleksi, pengangkatan CPNS/cakim, pengusulan

CPNS/cakim menjadi hakim, dan status cakim yang tidak lulus pendidikan cakim. PERMA

ini sekaligus mencabut berlakunya PERMA No. 6 Tahun 2016 tentang Penyusunan dan

Penetapan Kebutuhan serta Pengadaan Hakim. PERMA No. 2 Tahun 2017 mengatur proses

pengadaan hakim melalui kebutuhan CPNS guna mengatasi kebuntuan krisis hakim yang

sudah 7 tahun tidak melaksanakan rekrutmen calon hakim. Sebab, apabila rekrutmen calon

hakim “dipaksakan”•menggunakan nomenklatur status hakim sebagai pejabat negara tidak

ada ketentuan pelaksanaannya.15

Mekanisme Kontrol dan Cheks and Balances dalam Seleksi Hakim Untuk Mewujudkan

Kekuasaan Kehakiman Yang Independen

Pada konteks Indonesia, ada periode sejarah penegakan hukum yang memperlihatkan

Kekuasaan Kehakiman yang kehilangan independensinya. Indikasi itu dapat dilihat pada

kurun masa Orde Lama di mana Presiden dapat turut atau campurtangan dalam soal- soal

pengadilan. Sedangkan pada masa Orde Baru syarat-syarat seorang hakim untuk dapat

diangkat atau diberhentikan di atur dalam undang-undang tetapi presidenlah yang

menentukan hakim dimaksud. Peradilan di masa lalu memperlihatkan bahwa Kekuasaan

Kehakiman masih mendapatkan intervensi dari eksekutif. Intervensi tersebut menyebabkan

Kekuasaan Kehakiman tidak sepenuhnya independen di hadapan kekuasaan. Intervensi-

intervensi itu dilakukan mulai dari proses rekruitmen, promosi, demosi, mutasi, hingga pada

tahap kontrol organisasi dan administratif, serta politik anggaran.

Independensi Kekuasaan Kehakiman merupakan suatu yang sangat fundamental.

Sehingga pada era reformasi persoalan independensi ini dirumuskan secara spesifik dalam

konstitusi maupun perundangan yang berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman. Komisi

Yudisial menjadi salah satu lembaga baru yang dibentuk pasca amandemen UUD NRI 1945

yang dimaksudkan untuk menangani urusan yang terkait dengan pengangkatan hakim agung

14 Sudarsono, PERMA Pengadaan Hakim, Solusi Atasi Krisis Hakim, Lihat; http://pn-

pariaman.go.id/New/berita/berita-terkini/215-perma-pengadaan-hakim-solusi-atasi-krisis-hakim, diakses pada

bulan November 2017 15 Ibid.,

Page 10: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 740

Azanil Fajri, Faisal A.Rani

serta menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim. Pembentukan Komisi

Yudisial merupakan usaha menegakkan prinsip cheks and balances guna menciptakan

independensi serta Kekuasaan Kehakiman yang benar-benar merdeka sebagaimana amat

undang-undang. Banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh hakim pada masa lalu telah

mencoreng wajah Kekuasaan Kehakiman yang independen sehingga dibutuhkan mekanisme

pengawasan.

Dalam konteks sistem dan format kekuasaan pasca amandemen, Komisi Yudisial

menjadi instrumen penting untuk memastikan dan menjamin efektifitas penerapan prinsip dan

sistem saling imbang dan saling kontrol di dalam Kekuasaan Kehakiman itu sendiri serta

format kekuasaan pada umumnya. Dengan kata lain, Komisi Yudisial pasca amandemen

menjadi mekanisme kontrol yang disediakan konstitusi untuk menjamin independensi

Kekuasaan Kehakiman. Pembentukan Komisi Yudisial merupakan konsekuensi logis yang

muncul dari penyatuan atap lembaga peradilan pada Mahkamah Agung. karena penyatuan

atap berpotensi menimbulkan monopoli Kekuasaan Kehakiman. Oleh karena itu, dalam

konteks menciptakan mekanisme kontrol dalam Kekuasaan Kehakiman, keberadaan Komisi

Yudisial tidak hanya perlu secara faktual tetapi mempunyai peranan yang sangat strategis

untuk membangun sistem cheks and balances di dalam lembaga Kekuasaan Kehakiman.

Dengan kewenangan pengawasan yang diamanatkan undang-undang kepada Komisi

Yudisial, diharapkan dapat menjadi mekanisme kontrol untuk menjaga dan menegakkan

kehormatan dan keluhuran serta perilaku hakim serta dapat meningkatkan citra Kekuasaan

Kehakiman, mewujudkan kualitas dan rasa keadilan serta melaksanakan Kekuasaan

Kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.

Kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka mengusulkan pengangkatan hakim agung

bukanlah suatu tindakan intervensi melainkan sebagai bagian untuk memperkuat

independensi dan imparsialitas dalam penegakkan hukum dan keadilan. Demikian pula

dengan kewenangan dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim pada pengadilan tingkat

pertama harus dipandang sebagai bagian untuk menciptakan dan memperkut independensi

hakim demi tercapainya Kekuasaan Kehakiman yang merdeka. Komisi Yudisial dalam hal ini

menjadi mekanisme kontrol dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim pada pengadilan

tingkat pertama dan hal ini tentu sesuai dengan semangat amandemen UUD NRI 1945. Tetapi

pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang

mengembalikan wewenang seleksi hakim tingkat pertama kepada Mahakamah Agung secara

otomatis telah menghilangkan menkanisme kontrol dalam Kekuasaan Kehakiman terutama

Page 11: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 741

Azanil Fajri, Faisal A.Rani

yang terkait dengan proses seleksi dan pengangkatan hakim. Sehingga tidak ada lagi

mekanisme kontrol yang tersedia dan dijamin Undang-undang dalam proses seleksi hakim

tingkat pertama. Putusan Mahkamah Konstitusi terebut telah mengamputasi kewenangan

Komisi Yudisial dalam proses seleksi hakim tingkat pertama setelah sebelumnya Mahkamah

Konstitusi juga memutus kewenangan Komisi Yudisial dalam mengawasi perilaku hakim

konstitusi.

Terlepas materi hukum yang dianggap inkonstitusional terkait dengan kewenangan

Komisi Yudisial dalam pengangkatan hakim, tetapi secara sosiologis mekanisme kontrol

dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial adalah

sesuatu yang penting dan masih sangat dibutuhkan. Karena kekuasan yang terpusat pada satu

lembaga dan tidak diawasi sangat mungkin disalahguakan. Dan kembalinya wewenang

seleksi hakim kepada Mahkamah Agung secara otomatis telah mengembalikan wewenang

Mahkamah Agung seperti masa lalu dan tanpa pengawasan oleh lembaga lain. Hal ini berarti

amandemen UUD NRI 1945 yang bertujuan memperkuat Kekuasaan Kehakiman dan

menciptakan hakim yang independen mulai sejak proses seleksi kehilangan semangat dan

subtansinya karena saat ini kewenangan tersebut malah dikembalikan dan terpusat pada satu

lembaga saja. Dengan kata lain, pasca keluarnya putusan Mahkamah Agung nomor 43/PUU-

XIII/2015, maka mekanisme kontrol secara ekternal dalam proses seleksi hakim menjadi

tidak ada.

KESIMPULAN

Pelaksanaan seleksi pengangkatan hakim yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan

Komisi Yudisial merupakan pengejawantahan prinsip check and balances, untuk

menghasilkan pilihan yang tepat, yang lebih objektif dengan memenuhi kriteria-kriteria dan

syarat-syarat yang objektif pada pilihan hakim yang berintegritas dan kepribadian yang tidak

tercela, adil, profesional, dan pengalaman dibidang hukum sehingga mencapai dari tujuan

yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan wewenang Komisi Yudisial dalam

proses pengangkatan dan seleksi hakim pengadilan tingkat pertama merupakan suatu

kemunduran kostitusi. Dan secara hukum hal tersebut menyalahi prinsip cheks and balances.

Kekuasaan Kehakiman memang harus bebas dari intervensi, tetapi intevensi yang dimaksud

adalah intervensi yang tidak seharusnya atau intervensi yang akan melemahkan Kekuasaan

Kehakiman itu sendiri. Sedangkan intervensi untuk menguatkan Kekuasaan Kehakiman tetap

Page 12: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 742

Azanil Fajri, Faisal A.Rani

diperlukan. Intervensi Komisi Yudisial dalam proses seleksi hakim merupakan salah satu

intervensi yang dibutuhkan untuk mendapatkan hakim yang independen. Intervensi Komisi

Yudisial dalam proses seleksi hakim juga merupakan mekanisme kontrol untuk menciptakan

Kekuasaan Kehakiman yang independen dan imparsial serta meminimalisir penyalahgunaan

wewenang. Pembatalan wewenang Komisi Yudisial telah menghilangkan mekanisme kontrol

daam proses seleksi dan pengangkatan hakim tingkat pertama dan hal ini berarti bahwa

amandemen UUD NRI 1945 yang bertujauan menciptakan Kekuasaan Kehakiman yang

independen dan imparsial kehilangan makna subtansialnya. Karena pembatalan kewenangan

tersebut mengembalikan kewenangan seleksi hakim sebagaimana sebelum amandemen UUD

NRI 1945.

Oleh karena itu diperlukan kesepahaman antara Mahakamh Agung - Mahkamah

Konstitusi - Komisi Yudisial sehingga diperlukan revisi terhadap Undang-Undang Kekuasaan

Kehakiman, termasuk Undang-Undang Mahkamah Agung, dan Undang-Undang Komisi

Yudisial. Diperlukan Amandemen lanjutan atas UUD NRI 1945 untuk menegaskan fungsi-

fungsi kontrol yang pada pokoknya mengarah pada penguatan Komisi Yudisial sebagai

lembaga pengawas eksternal terhadap Kekuasaan Kehakiman yang selain mengawasi Hakim

Agung dan hakim- hakim di lingkungan Mahkamah Agung juga mengawasi Hakim

Konstitusi yang dimulai dari proses seleksi hingga pengangkatannya. Selain itu, posisi

Komisi Yudisial seharusnya tidak berada dalam payung kekuasaan kehakiman karena Komisi

Yudisal bersifat extra yudisial dan bukan lembaga peradilan sehingga tidak tepat jika dalam

peraturan perundang-undangan ditempatkan dalam payung lembaga peradilan.

Page 13: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 743

Azanil Fajri, Faisal A.Rani

DAFTAR PUSTAKA

A. Rani, Faisal. Fungsi Dan Kedudukan Mahkamah Agung Sebagai Penyelenggara

Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka Sesuai Dengan Paham Negara Hukum.

Darussalam: Syiah Kuala University Press. 2009.

Asshiddiqie, Jimly. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Jakarta:

Konpress. 2005.

Asshiddiqie, Jimly. Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, Jakarta: Konpress. 2005

Atmasasmita, Romli, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bandung: Armico, 2008.

Basuki, Ahmad, Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Sebagai

Upaya Dalam Mewujudkan Akuntabilitas Peradilan Pidana, Jurnal Perspektif

Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Volume XVIII No.1 Tahun 2013.

Busroh, AbuBakar, Azas-Azas Hukum Tata Negara, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1991.

Daulay, Ikhsan Rosyada Parluhutan, Mahkamah Konstitusi,Jakarta : Rineka Cipta, 2006.

Fuady, Munir, Teori Negara Hukum Modern, Bandung: RefikaAditama, 2009.

Gaffar, Afan. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

2006.

Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2005.

Isnaeni Ramdhan, Mochamad, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung: PT.

Alumni. 2006.

Janedri, M.Gaffar, Demokrasi Konstitusional, Praktik Ketatanegaraan Indonesia setelah

Perubahan UUD NRI 1945, Jakarta:Konpress, 2012.

Kansil, C.S.T, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 2003.

Kansil, C.S.T. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta : PT Rineka Cipta. 2000.

Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2006.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Ilmu Hukum:Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

2008.

Moleong, Lexy J. Metode penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya. 1993.

Munir, Ernawati. Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Hubungan Lembaga Negara

Pasca Amandemen UUD NRI 1945. Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia

Badan Pembinaan Hukum Nasioanal Tahun 2005

Qomar, Nurul, Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi, Jakarta : Sinar

Grafika, 2013.

Ranggawidjaya, Rosjidi. Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Bandung: Mandar

Maju. 1998

Page 14: FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 25 97 …

JIM Bidang Hukum Kenegaraan : Vol. 2, No.4 November 2018 744

Azanil Fajri, Faisal A.Rani

Riawan,Tjandra, Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Universitas Atmajaya, 2008.

Saleh,K. Wantjik, PerkembanganPerundang-Undangan di Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta,

2009.

Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Sinar Grafika. 2012

Sihaloho, Meylin. Seleksi Pengangkatan Hakim Dalam Sistem Peradilan Indonesia: Kajian

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015. Jurnal Wawasan Hukum,

Vol. 33, No. 2, September 2015

Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan Proses dan Teknik

Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Sukanto, Soerjono, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2007.

Thaib, Dahlan, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta : Raja GrafindoPersada, 2006.

Thohari,A. Ahsin, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta: Raja Grasindo, 2004.

Tutik, Titik Triwulan, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011.

W. Levy, Leonard, Judicial Review: Sejarah Kelahiran, Wewenang, dan Fungsinya Dalam

Negara Demokrasi. Jakarta: Penerbit Nuansa. 2005.

Wiwoho, J. Lembaga-Lembaga Negara Pasca Amandemen Keempat UUD NRI 1945.

Surakarta: UNS Press. 2006.

Zoelva, Hamdan Pemakzulan Presiden di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika. 2011