Etika Farmasi Islam(12)

27
KATA PENGANTAR Puji syukur Kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas anugerah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah tentang Pancasila Sebagai Ideologi Negara. Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan Makalah ini selain untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Dosen pengajar, juga untuk lebih memperluas pengetahuan para mahasiswa khususnya bagi penulis. Penulis telah berusaha untuk dapat menyusun Makalah ini dengan baik, namun penulis pun menyadari bahwa kami memiliki akan adanya keterbatasan kami sebagai manusia biasa. Oleh karena itu jika didapati adanya kesalahan-kesalahan baik dari segi teknik penulisan, maupun dari isi, maka kami memohon maaf dan kritik serta saran dari dosen pengajar bahkan semua pembaca sangat diharapkan oleh kami untuk dapat menyempurnakan makalah ini terlebih juga dalam pengetahuan kita bersama. Harapan ini dapat bermanfaat bagi kita sekalian. Penulis

description

agama tentang etika farmasi islam

Transcript of Etika Farmasi Islam(12)

Page 1: Etika Farmasi Islam(12)

KATA PENGANTAR

           Puji syukur Kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas anugerah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah tentang Pancasila Sebagai Ideologi Negara.

Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan Makalah ini selain untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Dosen pengajar, juga untuk lebih memperluas pengetahuan para mahasiswa khususnya bagi penulis.

Penulis telah berusaha untuk dapat menyusun Makalah ini dengan baik, namun penulis pun menyadari bahwa kami memiliki akan adanya keterbatasan kami sebagai manusia biasa. Oleh karena itu jika didapati adanya kesalahan-kesalahan baik dari segi teknik penulisan, maupun dari isi, maka kami memohon maaf dan kritik serta saran dari dosen pengajar bahkan semua pembaca  sangat diharapkan oleh kami untuk dapat menyempurnakan makalah ini terlebih juga dalam pengetahuan kita bersama. Harapan  ini dapat bermanfaat bagi kita sekalian.

Penulis

Page 2: Etika Farmasi Islam(12)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR-------------------------------------------------------------------------------- i

DAFTAR ISI------------------------------------------------------------------------------------------ ii

BAB I---------------------------------------------------------------------------------------------------1

PENDAHULUAN------------------------------------------------------------------------------------1

1.1. Latar Belakang----------------------------------------------------------------------------1

1.2. Tujuan--------------------------------------------------------------------------------------3

1.3. Rumusan Masalah------------------------------------------------------------------------3

BAB II--------------------------------------------------------------------------------------------------4

PEMBAHASAN--------------------------------------------------------------------------------------4

2.1 Landasan Pengobatan dalam Al-Quran dan Hadits----------------------------------4

2.2 Obat dalam Al-Quran dan Hadits-------------------------------------------------------6

2.3 Produk Farmasi dalam Pandangan Islam----------------------------------------------8

2.4 Riset dan Teknologi Farmasi----------------------------------------------------------10

2.5 Pelayanan Kefarmasian----------------------------------------------------------------11

2.6 Sertifikat Halal Produk Farmasi-------------------------------------------------------12

BAB III-----------------------------------------------------------------------------------------------16

PENUTUP--------------------------------------------------------------------------------------------16

3.1 Simpulan---------------------------------------------------------------------------------16

DAFTAR PUSTAKA------------------------------------------------------------------------------17

Page 3: Etika Farmasi Islam(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi bagian yang penting bagi umat

Islam sebagai pengembangan Al-Qur’an yang memerlukan pengkajian dan

pembuktian ilmiah. Dengan mengkaji secara mendalam dan membuktikan secara

ilmiah maka kita akan menemukan misteri yang luar biasa dari Al-Qur’an.

Seseorang yang mendalami, meneliti dan mengembangkan Al-Qur’an dengan

sarana ilmu pengetahuan dan teknologi akan mengakui kebesaran Allah SWT.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta silih

bergantinya siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal,

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam

keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi

seraya berkata: ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-

sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Q.S. Ali

Imran: 190-191).

Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia didalamnya memuat banyak

hal dalam kehidupan ini, mulai dari urusan yang kecil hingga dalam pengaturan

suatu negara termasuk didalamnya adalah mengenai ilmu pengobatan dan

kefarmasian. Menurut Al Biruni, farmasi merupakan suatu seni untuk mengenali

jenis, bentuk dan sifat-sifat fisika dari suatu bahan, serta seni mengetahui

bagaimana mengolahnya untuk dijadikan sebagai obat sesuai dengan resep dokter.

Kedokteran Islam yang didalamnya termasuk farmasi Islam merupakan ilmu

kedokteran dan farmasi yang berdasarkan Islam dan didalam praktiknya tidak

bertentangan dengan koridor ajaran Islam. Farmasi Islam diharapkan dapat

mengedepankan kemampuan untuk menggali dan menjaga lingkungan,

kemampuan untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi farmasi secara

Page 4: Etika Farmasi Islam(12)

optimal, serta memiliki kepekaan terhadap berbagai proses perubahan yang terjadi

didalamnya.

Karakter perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi farmasi di

negara-negara Islam memiliki karakter yang menarik untuk dipelajari karena

keunikan ajaran Islam sebagai agama yang sempurna mengatur setiap sisi

kehidupan manusia. Teks-teks Al-Qur’an dan Hadist memiliki batasan yang tegas

untuk beberapa bahan yang diharamkan penggunaannya. Seorang farmasis

muslim akan berusaha menyelaraskan keyakinan beragamanya dengan prinsip-

prinsip ilmiah farmasi. Hasilnya adalah satu bidang kajian farmasi Islam, yaitu

bidang keilmuan dan pelayanan farmasi yang kajiannya berada dalam koridor

agama Islam.

Bumi dan isinya adalah sumber dari bahan-bahan berkhasiat yang dapat

menjadi obat (Q.S. Al-A’raf: 10). Allah SWT telah mengkaruniakan kepada kita

kekayaan alam untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kebaikan umat di muka

bumi ini. Akan tetapi Allah tetap memberikan batasan-batasan dalam

pemanfaatannya. Salah satunya adalah adanya batasan halal dan haram untuk

makanan yang dikonsumsi. Hal ini berlaku juga untuk obat-obatan.

Tingkat kehalalah dan keharaman dalam dunia farmasi belum terpetakan

dengan jelas. Hal ini sangat disayangkan karena Indonesia adalah negara dengan

mayoritas penduduknya beragama Islam. Oleh karena itu, konsumen obat yang

beragama Islam memerlukan suatu perlindungan kehalalan obat yang mereka

konsumsi. Dalam hal ini maka keilmuan farmasi memegang peranan penting.

Maka obat yang akan dimakan untuk pengobatan harus benar-benar yang baik dan

bermanfaat untuk dikonsumsi dalam pengobatan dan dijamin oleh seorang

apoteker/ahli farmasis sebagai penjaga jalur distribusi obat.

Page 5: Etika Farmasi Islam(12)

1.2. Tujuan

a) Mengetahui landasan pengobatan dalam Al-Quran dan Hadits

b) Mengetahui obat menurut Al-Quran dan Hadits

c) Mengetahui cara pelayanan kefarmasian

1.3. Rumusan Masalah

a) Apa landasan pengobatan dalam kehidupan manusia menurut Al-Quran dan

Hadits ?

b) Apa saja yang termasuk obat yang baik menurut Al-Quran dan Hadits ?

c) Bagaimana pandangan islam tentang produk farmasi ?

d) Bagaimana pandangan islam tentang riset dan teknologi dalam bidang

farmasi ?

e) Bagaimana cara pelayanan kefarmasian yang baik ?

f) Perlukah suatu produk farmasi mendapatkan sertifikat kehalalan ?

Page 6: Etika Farmasi Islam(12)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Landasan Pengobatan dalam Al-Quran dan Hadits

Kesehatan merupakan nikmat yang harus disyukuri sebagai anugerah

kehidupan. Namun kondisi lingkungan, kesalahan pola hidup ataupun serangan

wabah dari lingkungan sekitar membuat manusia dapat mengalami sakit. Manusia

diberikan akal dan potensi alam sekitar untuk mengatasi penyakitnya. Oleh karena

itu, Islam mewajibkan umatnya untuk berusahan/berikhtiar dan mengobati

penyakitnya bukan sekedar pasrah dan tidak berusaha mengatasinya.

Islam mengajarkan dalam mencapai kesembuhan diperlukan usaha

seoptimal .mungkin dengan menegaskan bahwa untuk setiap penyakit telah

disediakan obatnya. Diriwayatkan dari Usamah, ia berkata: “Seorang Badui

berkata: Ya Rasulullah! Tidakkah kita berobat? Rasulullah SAW menjawab: Ya,

wahai hamba-hamba Allah, berobatlah. Sesungguhnya Allah tidak membuat

penyakit tanpa membuat kesembuhan baginya kecuali satu penyakit. Mereka

bertanya: Apakah satu penyakit itu Ya Rasulullah? Rasulullah menjawab: Tua”

(H.R. Usamah).

Ketentuan halal dan haram merupakan salah satu hak Allah yang harus

ditaati oleh manusia. Sebagai landasan dalam penentuan halal dan haram umat

Islam berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Sumber utama yang harus

dijadikan patokan pertama adalah Al-Qur’an, kemudian sumber kedua adalah

hadist. Apabila tidak ada dalil yang menjelaskan secara rinci dan tegas dalam Al-

Qur’an dan Hadist maka diperbolehkan ijtihad.

Bagaimana status darurat dalam pengobatan? Rasulullah saw.

Memerintahkan umatnya untuk berobat dengan menggunakan obat yang halal dan

melarang menggunakan obat yang haram. “Diriwayatkan dari Abu Ad Darda’, ia

berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala tidak membuat

penyakit (melainkan) dengan obatnya, dan Allah ta’ala membuat obat untuk

Page 7: Etika Farmasi Islam(12)

setiap penyakit. Karena itu hendaklah kamu berobat dan jangan berobat dengan

yang haram” (H.R. Abu Ad Darda’).

Dalam Al-Qur’an juga diperintahkan untuk memakan makanan yang Halal

dan Thoyyib (baik). Beberapa rambu-rambu yang membatasi adalah makanan

yang diharamkan yaitu bangkai, babi, darah, khamr, hewan yang mati tidak wajar

dan binatang yang disembelih tanpa nama Allah. Meskipun penggunaan produk

halal hukumnya wajib bagi setiap muslim, namun para ulama memperbolehkan

obat yang haram dalam keadaan darurat. Imam Nawawi menjelaskan bahwa para

ulama fiqih pendukung madzhab Syafi’i menegaskan standar darurat ialah

timbulnya kekhawatiran akan kematian jika tidak dilakukan. Demikian pula Imam

Suyuthi mendefinisikannya sebagai kondisi yang jika tidak dilakukan akan mati

atau dekat kematian.

Kenyataan dalam dunia farmasi saat ini terdapat beberapa sediaan farmasi

yang dipertanyakan halal dan haramnya, di antaranya:

1. Sediaan topikal berbahan najis seperti sediaan losio, krim, atau plester. Para

ulama sepakat bahwa benda yang haram hukumnya adalah najis ketika

digunakan.

2. Penggunaan bahan dari babi dalam kefarmasian. Sesuai dengan nash Al-

Qur’an, pada tahun 1994 komisi Fatwa MUI telah menfatwakan bahwa babi

dan komponen-komponennya haram untuk dikonsumsi baik sebagai pangan

maupun obat dan kosmetika. Bahan obat dan kosmetik yang berpotensi

haram karena umumnya dibuat dari bagian organ babi adalah: kolagen

sebagai pelembab dan bahan dasar gelatin yang biasa digunakan dalam

pembuatan cangkang kapsul, gelatin, cerebroside; serta beberapa golongan

hormon seperti insulin, heparin dan enzim tripsin yang biasa digunakan

dalam pembuatan vaksin polio sebagai enzim proteolitik berasal dari

pancreas babi. Salah satu tantangan bagi kalangan ilmuwan muslim adalah

masalah kemiripan hormon insulin manusia dengan insulin babi sehingga

dari sudut pandang medis lebih menguntungkan daripada menggunakan

hormon insulin sapi yang tidak mirip insulin manusia.

Page 8: Etika Farmasi Islam(12)

3. Penggunaan alkohol dalam kefarmasian. Sebagian ulama mengqiyaskan

alkohol dengan khamr dan sama sekali menolak penggunaan alkohol dalam

berbagai produk baik obat, kosmetik, maupun antiseptik. Tetapi dengan

logika bahwa alkohol tidak selalu dihasilkan dari produksi khamr dan tidak

memabukkan, maka Dewan Fatwa MUI menfatwakan bahwa alkohol boleh

ada dalam produk akhir dengan kadar tidak lebih dari 1%. Penggunaan

alkohol dalam beberapa produk farmasi tidak dapat terhindarkan sehingga

perlu kearifan untuk membedakan antara alkohol dan khamr. Bahkan dalam

setiap sari buah alami yang diekstrak secara sederhana tanpa proses

fermentasi tetap terkandung alkohol dalam jumlah rendah. Kandungan

alkohol secara alami ada dalam mayoritas produk pangan misalnya roti yang

dibuat dengan bantuan yeast (gist/ragi) biasanya mengandung alkohol antara

0,3-0,4%. Asam cuka yang biasa digunakan dimasyarakat juga mengandung

alkohol kurang dari 1%.

4. Bahan memabukkan lainnya seperti morfin, opium dan obat psikotropika.

5. Penggunaan plasenta dan cairan amniotik dalam kefarmasian. Plasenta

sebagai kosmetik mengagumkan dalam meningkatkan pembaharuan sel

(regenerasi sel). Amniotik liquid terbatas pada penggunaan pelembab, lotion

rambut dan perawatan kulit kepala serta sampo.

2.2 Obat dalam Al-Quran dan Hadits

Agama Islam adalah agama yang kaffah atau sempurna dan lengkap. Semua

permasalahan hidup termasuk mengenai pengobatan terhadap penyakit yang

diderita oleh manusia. Ajaran Islam mendorong kita untuk tetap mengobati

penyakit yang kita derita dengan cara yang Islami, tentunya dengan obat dan

terapi yang ditawarkan oleh Al-Qur’an dan Nabi saw.

Sesungguhnya apa yang diciptakan oleh Allah swt. mempunyai hikmah

yang amat besar dan apa yang dilarang atau diharamkan sesungguhnya demi

manusia itu sendiri.

Page 9: Etika Farmasi Islam(12)

“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit beserta obatnya dan Dia telah

menjadikan setiap penyakit ada abatnya, maka berobatlah kalian dan jangan

berobat dengan barang yang haram” (H.R. Abu Dawud).

“Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan kesembuhan dengan sesuatu yang ia

haramkan atasmu” (H.R. Bukhari).

Islam tidak mengajarkan kita untuk melakukan pengobatan yang

mengandung nilai kemusyrikan dan penggunaan bahan-bahan yang diharamkan.

Semua tuntunan tersebut telah disampaikan oleh Rasulullah saw ribuan tahun

yang lalu ketika ilmu pengetahuan pengobatan belum berkembang pesat. Nash Al-

Qur’an dan hadist dapat menjadi panduan untuk mencari solusi dalam

permasalahan kehidupan di dunia, terutama mengenai dunia pengobatan.

Berikut contoh pengobatan yang dicontohkan Al-Qur’an dan Nabi saw.:

1. Kurma

“Rasulullah saw berbuka puasa dengan beberapa biji buah kurma sebelum salat.

Sekiranya tidak terdapat kurma, maka Rasulullah saw akan berbuka dengan

beberapa biji anggur. Sekiranya tiada anggur, maka Baginda meminum beberapa

teguk air” (H.R. Ahmad).

2. Habbatus saudah

Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah kamu menggunakan habatussaudah karena

sesungguhnya padanya terdapat penyembuhan bagi segala penyakit kecuali mati”

(H.R. Abi Salamah dari Abu Hurairah).

3. Madu

Allah berfirman: “Dari perut lebah ini keluar minuman (madu) yang bermacam-

macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran

Allah) bagi orang-orang yang berfikir” (Q.S. An Nahl: 69).

Page 10: Etika Farmasi Islam(12)

4. Zaitun

Rasulullah bersabda: “Makanlah minyak zaitun dan lumurlah minyaknya karena

ia berasal dari pohon yang penuh berkah” (H.R. At Tirmizi dan Ibnu Majah).

2.3 Produk Farmasi dalam Pandangan Islam

Masalah halal dan haram dari obat dan kosmetik merupakan bagian

pokok dari tinjauan kritis produk farmasi bagi seorang muslim, karena hal ini

menyangkut keamanan dari segi ruhaniah bagi seorang yang mengkonsumsinya

seperti mempengaruhi terkabulnya doa di sisi Allah swt.

“Perbaikilah makananmu, maka Allah akan mengabulkan doa-doamu”

(H.R. Ath-Thabrani).

1. Obat

Titik kritis untuk obat yang diisolasi dari hewan adalah ketika hewan

bisa berasal dari sapi, babi atau hewan lain yang diharamkan. Selain itu cara

penyembelihan hewanpun harus benar-benar dipertimbangkan. Sementara untuk

produk metabolit mikroba titik kritis kehalalan medium serta enzim pertumbuhan

yang digunakan untuk pertumbuhan bakteri. Bahan untuk ekstraksi metabolit aktif

pun harus dipertimbangkan apakah menggunakan alkohol murni atau produk

sampingan dari industri khamr.

Beberapa zat aktif obat yang harus dicermati adalah kelompok hormon,

enzim, dan vitamin. Produk hasil bioteknologi ini bisa berasal dari produk

mikrobil yang haram, media penyegaran dan perbanyakan dari bahan yang haram,

atau bahan penolong yang haram. Pada tingkat teknologi yang lebih tinggi harus

dipertimbangkan juga apakah mikroba rekombinan gennya berasal dari hewan

yang haram atau tidak.

Bahan pembantu atau eksipien titik kritis perhatikan pada penggunaan

laktosa, etanol, adeps lanae serta magnesium stearat. Sebagian bahan baku laktosa

ditemukan sebagai produk samping pembuatan keju dan susu yang ditambahkan

enzim dari babi. Etanol perhatikan batas kadar 1% dan sumber produksinya

Page 11: Etika Farmasi Islam(12)

apakah bersinggungan dengan kamr atau tidak. Adeps lanae sebagia bahan untuk

meningkatkan viskositas juga beresiko diisolasi dari hewan yang diharamkan.

2. Obat Bahan Alam

Bahan dasar obat bahan alam tidak sepenuhnya berasal dari bahan

tumbuh-tumbuhan. Kenyataannya produk-produk hewan pun juga masuk dalam

ramuan obat bahan alam. Ramuan tradisional itu juga mengenal bahan-bahan

hewani, seperti kuda laut, bagian organ dari ayam, bagian organ ular (empedu,

darah, lemak, serta otaknya), buaya, kalajengking, laba-laba, dan ekstrak berbagai

bagian dari jenis binatang. Jadi, perlu kehati-hatian dalam memilihnya sebab

penggunaan hewan ini harus dilihat dari segi jenis hewannya halal atau tidak.

Pembuatan obat dari bahan alam yang halal dari hewan hendaklah dari

hewan yang halal dikonsumsi. Bagi produsen yang menggunakan hewan sebagai

bahan pembuatan obat, dapat menanyakan hukum hewan yang digunakannya

apakah halal atau haram.

3. Kosmetik

Produk kosmetik memang tidak dimakan dan masuk ke dalam tubuh.

Oleh karena itu, penggunaan kosmetik biasanya dikaitkan dengan masalah suci

dan najis. Unsur kosmetik haruslah terdiri dari zat yang halal, tidak najis atau

menjijikkan daa tidak membahayakan tubuh pemakainya serta jangan sampai

kosmetik menjadi sarana tabarruj yakni berdandan yang berlebihan dan bukan

pada tempatnya.

Sediaan kosmetik ini terdapat peluang digunakannya bahan aktif atau

bahan pembantu dari bahan yang haram atau diragukan/subhat. Status kehalalan

ini kritis terutama pada produk dengan bahan hasil isolasi dari hewan (kolagen,

dll), menggunakan alkohol, menggunakan bagian dari manusia seperti plasenta

dan cairan amniotik.

Page 12: Etika Farmasi Islam(12)

2.4 Riset dan Teknologi Farmasi

Farmasi merupakan suatu bidang ilmu yang semakin berkembang.

Dengan perkembangan teknologi kefarmasian tentu mengakibatkan berbagai

konsekuensi termasuk permasalahan yang terjadi semakin lebih kompleks, mulai

dari kontrofersi dalam penggunaan hewan percobaan dalam riset kefarmasian,

teknologi transgenik, kloning, hingga mengenai dampak linngkungan hidup akibat

banyak bertumbuhnya industri farmasi yang dari tahun ke tahun terus mengalami

peningkatan.

Islam sebagai agama yang sempurna dalam ajarannya telah mengajarkan

kepada umatnya untuk tetap menyeimbangkan antara perkembangan teknologi

dengan nilai-nilai ilahiyah, sehingga kerusakan dimuka bumi dapat terhindarkan.

Contoh reiset dan teknologi yang perlu diperhatikan:

1. Penelitian-penelitian menggunakan hewan percobaan

Konsep yang dipegang oleh fikih adalah mempertimbangkan

kepentingan umat manusia yang terdiri atas 5 hal yang meliputi agama, jiwa,

keluarga, akal fikiran, serta harta benda. Tindakan-tindakan tertentu yang

dimotivasi oleh keterpaksaan atau darurat dalam rangka melindungi salah satu

dari lima kepentingan itu dibenarkan. Aspek kedaruratan ini juga berlaku dalam

pemanfaatan hewan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, kesehatan dan

penelitian kefarmasian yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. Meskipun

demikian dalam pandangan Islam, kita wajib berbuat baik dalam memperlakuakan

hewan dengan tujuan yang jelas. Tantangan ahli farmasi adalah menguji khasiat

obat dengan in vitro tanpa hewan uji karena saat ini tidak semua uji dapat

dilakukan secara in vitro seperti uji toksisitas.

2. Pemanfaatan teknologi transgenik

Perkembangan dalam rekayasa genetik perlu diperhatikan mengenai

proses pembuatannya (prokursor, raw material, media pertumbuhan) agar produk

yang dihasilkan aman dan halal.

Page 13: Etika Farmasi Islam(12)

3. Kontroversi teknologi kloning

Proses kloning dalam penciptaan manusia jelas bertentangan dengan

ajaran Al-Qur’an. Allah berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan

manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (Q.S. At Tin: 4).

4. Penanganan lingkungan hidup

Setiap orang yang mengeksploitasi dan menggunakan alam adalah demi

kepentingan ibadah, melestarikan alam juga ibadah. Penanganan limbah harus

sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Dalam memanfaatkan alam harus

memperhatikan estetika dan keindahan. Pengembangan teknologi dan industri

perlu diimbangi dengan perilaku memelihara lingkungan sekitar secara arif

misalnya, dengan memanfaatkan SDA sesuai dengan kebutuhan, penyiapan

analisis pengembangan mengenai dampak lingkungan (AMDAL), penanganan

limbah industri yang sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, serta bentuk

perilaku ramah lingkungan lainnya.

2.5 Pelayanan Kefarmasian

Perubahan paradigma pelayanan farmasi dari drug oriented menjadi

patient oriented sehingga menjadikan profesi farmasi menjadi peluang sekaligus

tantangan. Farmasis berperan dalam membantu pengobatan mandiri pasien untuk

memilihkan obat yang baik dan halal. Fungsi utama dari dari pelaksanaan asuhan

kefarmasian (Pharmaceutical care) antara lain untuk mengidentifikasi baik yang

aktual maupun potensial masalah yang berhubungan dengan obat, menyelesaikan

masalah yang berhubungan dengan obat, serta mencegah terjadinya masalah yang

berhubungan dengan obat.

Dalam etika farmasi, para farmasis memiliki kewajiban untuk

melindungi pasien dari kerugian akibat kesalahan pemakaian obat yang

merugikan. Diawal Farmasi memeriksa kebutuhan pasien, ditengah memeriksa

kembali semua informasi dan memilih solusi bagi DRP (Drug Related Problem),

diakhir menilai hasil intervensi (evaluasi) sehingga didapat hasil yang optimal

sehingga pada akhirnya diharapkan kualitas hidup pasien meningkat serta hasilnya

Page 14: Etika Farmasi Islam(12)

memuaskan. Dengan mengutamakan keselamatan dan melindungi pasien dari

penggunaan obat yang membahayakan diri pasien, berarti farmasis turut

memelihara kehidupan pasien tersebut sesuai dengan anjuran ajaran Islam.

2.6 Sertifikat Halal Produk Farmasi

Mencari yang halal merupakan suatu kewajiban setiap muslim sehingga

kita wajib selektif dalam memilih makanan dan minuman termasuk obat-obatan

dan kosmetika.

“Menuntut yang halal itu wajib atas setiap muslim” (H.R. Ibnu

Mas’ud).

“Setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka nerakalah tempat

yang pantas baginya” (H.R. At-Tirmidzi).

Masyarakat sulit menentukan suatu produk itu halal atau haram namun

dengan adanya label sertifikat halal pada produk yang diberikan oleh LPPOM

MUI dan nomor registrasi yang diberikan BPOM berarti produk tersebut telah

dianggap halal dan aman (thoyyib). Perusahaan yang produknya telah mendapat

Sertifikat Halal dari MUI, harus mengangkat Auditor Halal Internal sebagai

bagian dari Sistem Jaminan Halal di perusahaannya.

Sertifikat halal merupakan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang

menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syariat Islam. Tujuan

pelaksanaan sertifikat halal pada produk pangan, produk farmasi seperti obat-

obatan dan kosmetik adalah untuk memberikan kepastian kehalalan suatu produk

sehingga dapat menentramkan batin konsumen.

Permasalahan regulasi halal di Indonesia adalah produsen memasang

label halal sendiri dan UU No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, dalam Bab Label

dan Iklan Pangan Pasal 30 ayat 1 mampu memaksa produsen untuk mensertifikasi

produknya.

“Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah

Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan

label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan”.

Page 15: Etika Farmasi Islam(12)

Namun penjelasan lanjutan dari UU ini mengandung keanehan yang

mementahkan konsep ‘pemaksaan’ tadi yaitu pada pasal 30 ayat 2 (e) yang

berbunyi:

“…Namun, pencantumannya pada label pangan baru merupakan

kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi pangan dan atau memasukkan

pangan ke wilayah Indonesia untuk diperdagangkan menyatakan bahwa pangan

yang bersangkutan adalah halal bagi umat Islam …”

Akibat penjelasan di atas pelabelan halal hukumnya tidak wajib, maka

sertifikat halalpun menjadi tidak wajib pula. Oleh karena itu, peran pemerintah

perlu menganalisis kembali UU No.7 tersebut terutama pasal 2 (e) agar

memberikan jaminan dan kepastian mengenai kehalalan bagi konsumen.

Sampai saat ini di Indonesia belum ada peraturan perundang-undangan

yang mengatur kehalalan obat dan kosmetik. Padahal sangat banyak titik kritis

halal haram dari obat dan kosmetik. Hal ini belum menjadi perhatian penting bagi

praktisi kesehatan maupun konsumen dengan berlindung pada alasan status

kedaruratan. Oleh karena itu, perlunya membangun kesadaran semua pihak

tentang pentingnya regulasi halal untuk obat dan kosmetik serta selektif memilih

produk yang halal dan toyib.

Tantangan lain dalam mencanangkan regulasi halal obat dan kosmetik

selain rendahnya kesadaran praktisi kesehatan terhadap obat dan kosmetik halal di

Indonesia adalah minimalnya bahan baku lokal sehingga pengawasan oleh

LPPOM MUI lebih sulit karena ketergantungan industri farmasi pada bahan baku

impor. Selain itu regulasi dan pola pengawasan produk halal masing-masing

Negara berbeda karena parameter penentuan kehalalan dan lembaga serta ijtihad

para ulama fiqih lokal bisa berbeda.

Keberadaan benda haram dalam suatu produk tidak dapat langsung

terdeteksi secara visual bahkan penelitian laboratorium pun tidak selalu bisa

mendeteksi keberadaan unsur alkohol maupun babi pada produk akhir. Oleh

karena itu, hal terpenting adalah secara etis adanya jaminan pihak ketiga yang

independen atas kehalalan produk pangan, obat, maupun kosmetika dalam bentuk

sertifikat halal. Sehingga produsen terawasi sejak proses pengadaan barang,

Page 16: Etika Farmasi Islam(12)

produksi hingga pengemasan. Hasil dari pengawasan dikeluarkan dalam bentuk

dokumen yang selanjutnya menjadi landasan sertifikasi kehalalan. Selanjutnya

dibutuhkan studi lebih lanjut untuk menciptakan metode yang lebih akurat, cepat

dan ekonomis.

Farmasis/apoteker memiliki tanggung jawab yang besar berkaitan

dengan penjaminan mutu produk farmasi yang dihasilkan baik obat, makanan

maupun kosmetik. Hal itu disebabkan farmasis merupakan suatu profesi yang

konsen, komitmen dan kompeten dalam bidang pengobatan. Untuk dapat

mewujudkannya, dibutuhkan tenaga farmasis muslim yang benar-benar mengerti

dibidangnya dan memiliki sikap sesuai profesi yang disandangnya.

Sebagai farmasis muslim kita juga dituntut untuk memiliki kepekaan

pada kebutuhan umat Islam. Bagi seorang muslim, mengkonsumsi makanan serta

produk farmasi lainnya termasuk obat yang berstatus halal dan thoyib, sudah

menjadi bagian keyakinan agama yang harus dijalankan. Ironisnya seringkali

konsumen tidak memiliki kebebasan untuk memilih produk yang halal akibat

minimnya informasi yang sampai. Penjaminan hak konsumen muslim dalam

mengkonsumsi produk menjadi tanggung jawab semua pihak baik pemerintah,

farmasi dan masyarakat pada umumnya.

Islam menghendaki kehati-hatian kita dalam membuat serta

mengkonsumsi segala sesuatu termasuk obat. Tujuan kehati-hatian tidak untuk

memberatkan manusia dengan berbagai aturan yang telah ditetapkan, namun ingin

menghantarkan manusia dalam kemuliaan dan kebahagiaan hakiki, di dunia

maupun diakhirat. Bahkan beberapa aturan dalam Islam telah terbukti secara etis

meningkatkan kualitas hakiki kehidupan manusia.

Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang

haram itu pun jelas. Sedang diantara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat

(meragukan) yng tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Siapa-siapa yang

menghindari perkara-perkara syubhat berarti ia membebaskan diri demi agama

dan kehormatannya. Dan siapa-siapa yang terjerumus kepada yang haram

bagaikan seorang pengembala yang bergembala diperbatasan tempat yang

dilarang dan ia hamper melanggar. Ketahuilah bahwa setiap milik itu ada

Page 17: Etika Farmasi Islam(12)

batasannya, dan ketahuilah bahwa batasan Allah ialah perkara-perkara yang

diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu terdapat segumpal daging

yang jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh, tetapi jika rusak maka rusaklah

keadaan seluruh tubuh. Ketahuilah, dia itu adalah hati” (H.R. Muslim).

Seseorang yang sakit dapat menggunakan obat yang haram jika saat itu

tidak terdapat alternatif lain. Penggunaan obat yang haram dalam keadaan darurat

tidak boleh berlebihan, tetapi seperlunya saja. Sementara yang berhak menilai

keadaan darurat seseorang adalah tenaga ahli yang memiliki kompetensi dan

mengetahui persis kondisi pasien, pribadi bersangkutan yang merasakan

penderitaan sakitnya dan pemerintah berwenang untuk kondisi darurat yang

menangkut kepentingan umum.

Kondisi darurat adalah respon reaktif yang bisa menjadi landasan

penentuan hukum ketika manusia berada dalam kondisi terdesak. Sayangnya

status darurat ini sering menjadi tempat berlindung para praktisi kesehatan ketika

berhadapan dengan pasien. Secara filosofis kondisi kedaruratan obat tidak harus

terjadi manakala ilmuwan muslim di dunia pengobatan memiliki cara pandang

tentang pentingnya mengusahakan produk farmasi yang halal. Karena pada

dasarnya masih banyak alternatif bahan obat yang halal yang belum diusahakan

pengadaannya. Segala yang berasal dari haram semuanya dinilai haram. Tujuan

atau niat tidak menghalalkan cara atau proses. Namun perlu “cerdas dan arif”

dalam menilai status kedaruratan suatu kondisi, dimana dinilai oleh yang memiliki

wewenang dan keilmuan terkait itu. Jadi, diperlukan peran semua pihak untuk

mengusahakan pengadaan serta penggunaan produk yang halal dan toyib (baik).

Page 18: Etika Farmasi Islam(12)

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

a) Islam mengajarkan dalam mencapai kesembuhan diperlukan usaha

seoptimal .mungkin dengan menegaskan bahwa untuk setiap penyakit telah

disediakan obatnya sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Usamah r.a

b) Contoh pengobatan yang dicontohkan dalam Al-Quran dan Nabi SAW

adalah Kurma, Habbatus saudah, Madu dan Zaitun.

c) Dalam etika farmasi, para farmasis memiliki kewajiban untuk melindungi

pasien dari kerugian akibat kesalahan pemakaian obat yang merugikan.

Page 19: Etika Farmasi Islam(12)

DAFTAR PUSTAKA

An-Nawawi, 2007, Terjemah Hadits Arba’in: An-Nawawiyah, Cetakan V, Penerjemah: Tim Sholahuddin, Jakarta: Sholahuddin Press.

Departemen Agama RI, 2005, Al Quran dan Terjemahannya, PT. Syamil Cipta Media, Indonesia.

Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 1996, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 7 tahun 1996 Tentang Pangan, DirJen Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan.

Wasito, H. dan D. Herawati, 2008, Etika Farmasi dalam Islam, Yogyakarta:

Graha Ilmu.