etika farmasi

21
PELAYANAN FARMASI KLINIK PADA ERA GENOMIK: SEBUAH TANTANGAN DAN PELUANG Profesi Farmasi di Indonesia Tonggak sejarah munculnya profesi apoteker di Indonesia dimulai dengan didirikannya Perguruan Tinggi Farmasi di Klaten pada tahun 1946, yang kemudian menjadi Fakultas Farmasi UGM, dan di Bandung tahun 1947. Lembaga Pendidikan Tinggi Farmasi yang didirikan pada masa perang kemerdekaan ini mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah kefarmasian pada masa-masa selanjutnya. Hingga saat ini, jumlah pendidikan tinggi farmasi membengkak sangat besar, yaitu mencapai 61 perguruan tinggi farmasi (PTF), dengan perincian : 13 PTF terakreditasi A, 13 PTF terakreditasi B, 21 PTF terakreditasi C, dan sisanya belum terakreditasi (APTFI, 2009). Dengan pesatnya perkembangan ilmu kefarmasian, maka farmasis saat ini menempati ruang lingkup pekerjaan yang makin luas. Beberapa tempat pekerjaan kefarmasian antara lain adalah di apotek, rumah sakit, lembaga pemerintahan, perguruan tinggi, lembaga penelitian, laboratorium pengujian mutu, laboratorium klinis, laboratorium forensik, berbagai jenis industri farmasi meliputi industri obat, kosmetik-kosmeseutikal, jamu, obat herbal, fitofarmaka, nutraseutikal, health food, obat veteriner dan industri vaksin, lembaga informasi obat serta badan asuransi kesehatan. Salah satu cabang ilmu/pelayanan kefarmasian adalah farmasi klinik.

Transcript of etika farmasi

Page 1: etika farmasi

PELAYANAN FARMASI KLINIK PADA ERA GENOMIK: SEBUAH TANTANGAN

DAN PELUANG

Profesi Farmasi di Indonesia

Tonggak sejarah munculnya profesi apoteker di Indonesia dimulai dengan didirikannya

Perguruan Tinggi Farmasi di Klaten pada tahun 1946, yang kemudian menjadi Fakultas Farmasi

UGM, dan di Bandung tahun 1947. Lembaga Pendidikan Tinggi Farmasi yang didirikan pada

masa perang kemerdekaan ini mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah

kefarmasian pada masa-masa selanjutnya. Hingga saat ini, jumlah pendidikan tinggi farmasi

membengkak sangat besar, yaitu mencapai 61 perguruan tinggi farmasi (PTF), dengan

perincian : 13 PTF terakreditasi A, 13 PTF terakreditasi B, 21 PTF terakreditasi C, dan sisanya

belum terakreditasi (APTFI, 2009).

Dengan pesatnya perkembangan ilmu kefarmasian, maka farmasis saat ini menempati ruang

lingkup pekerjaan yang makin luas. Beberapa tempat pekerjaan kefarmasian antara lain adalah di

apotek, rumah sakit, lembaga pemerintahan, perguruan tinggi, lembaga penelitian, laboratorium

pengujian mutu, laboratorium klinis, laboratorium forensik, berbagai jenis industri farmasi

meliputi industri obat, kosmetik-kosmeseutikal, jamu, obat herbal, fitofarmaka, nutraseutikal,

health food, obat veteriner dan industri vaksin, lembaga informasi obat serta badan asuransi

kesehatan. Salah satu cabang ilmu/pelayanan kefarmasian adalah farmasi klinik.

Sejarah munculnya Farmasi Klinik

Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960an di Amerika, dengan penekanan pada

fungsi farmasis yang bekerja langsung bersentuhan dengan pasien. Saat itu farmasi klinik

merupakan suatu disiplin ilmu dan profesi yang relatif baru, di mana munculnya disiplin ini

berawal dari ketidakpuasan atas norma praktek pelayanan kesehatan pada saat itu dan adanya

kebutuhan yang meningkat terhadap tenaga kesehatan profesional yang memiliki pengetahuan

komprehensif mengenai pengobatan. Gerakan munculnya farmasi klinik dimulai dari University

of Michigan dan University of Kentucky pada tahun 1960-an (Miller,1981).

Page 2: etika farmasi

Pada era itu, praktek kefarmasian di Amerika bersifat stagnan. Pelayanan kesehatan sangat

terpusat pada dokter, di mana kontak apoteker dengan pasien sangat minimal. Konsep farmasi

klinik muncul dari sebuah konferensi tentang informasi obat pada tahun 1965 yang

diselenggarakan di Carnahan House, dan didukung oleh American Society of Hospital Pharmacy

(ASHP). Pada saat itu disajikan proyek percontohan yang disebut “9th floor project” yang

diselenggarakan di University of California. “Perkawinan” antara pemberian informasi obat

dengan pemantauan terapi pasien oleh farmasis di RS mengawali kelahiran suatu konsep baru

dalam pelayanan farmasi yang oleh para anggota delegasi konferensi disebut sebagai farmasi

klinik (DiPiro, 2002). Hal ini membawa implikasi terhadap perubahan kurikulum pendidikan

farmasi di Amerika saat itu, menyesuaikan dengan kebutuhan akan adanya farmasis yang 

memiliki keahlian klinik.

Perubahan visi pada pelayanan farmasi ini mendapat dukungan signifikan ketika Hepler dan

Strand (Hepler dan Strands, 1990) pada tahun 1990 memperkenalkan istilah pharmaceutical

care. Pada dekade berikutnya, kata itu menjadi semacam kata “sakti” yang dipromosikan oleh

organisasi-organisasi farmasi di dunia. Istilah pharmaceutical care, yang di-Indonesia-kan

menjadi “asuhan kefarmasian”, adalah suatu pelayanan yang berpusat pada pasien dan

berorientasi terhadap outcome pasien. Pada model praktek pelayanan semacam ini, farmasis

menjadi salah satu anggota kunci pada tim pelayanan kesehatan, dengan tanggung jawab pada

outcome pengobatan.

Perkembangan peran farmasi yang berorientasi pada pasien semakin diperkuat pada tahun 2000,

ketika organisasi profesi farmasis klinik Amerika American College of Clinical Pharmacy

(ACCP) mempublikasikan sebuah makalah berjudul, “A vision of pharmacy’s future roles,

responsibilities, and manpower needs in the United States.” Untuk 10-15 tahun ke depan,

ACCP menetapkan suatu visi bahwa farmasis akan menjadi penyedia pelayanan kesehatan yang

akuntabel dalam terapi obat yang optimal untuk pencegahan dan penyembuhan penyakit (ACCP,

2008). Untuk mencapai visi tersebut, harus dipastikan adanya farmasis klinik yang terlatih dan

mendapat pendidikan memadai.

Dalam sistem pelayanan kesehatan, farmasis klinik adalah ahli pengobatan dalam terapi. Mereka

bertugas melakukan evaluasi pengobatan dan memberikan rekomendasi pengobatan, baik kepada

Page 3: etika farmasi

pasien maupun tenaga kesehatan lain. Farmasis klinik merupakan sumber utama informasi ilmiah

yang dapat dipercaya tentang obat dan penggunaannya, memberikan informasi terkait dengan

penggunaan obat yang aman, tepat, dan cost-effective.

Konsep farmasi klinik pun kemudian berkembang di berbagai negara di dunia, termasuk

Indonesia, dengan penerapan yang bervariasi pada tiap negara berdasarkan kondisi masing-

masing.

Farmasi Klinik di Eropa

Gerakan farmasi klinik di Eropa mulai menggeliat dengan didirikannya European Society of

Clinical Pharmacy (ESCP) pada tahun 1979 (Leufkens et al, 1997). Sejak itu terjadi perdebatan

yang terus menerus mengenai tujuan, peran dan nilai tambah farmasi klinik terhadap pelayanan

pasien. Pada tahun 1983, ESCP mengkompilasi dokumen pendidikan berisi persyaratan dan

standar untuk keahlian dan ketrampilan seorang farmasis klinik (ESCP, 1983).  Pada tahun itu,

Federation Internationale Pharmaceutique (FIP) mempublikasikan prosiding simposium

bertemakan ‘Roles and Responsibilities of the Pharmacists in Primary Health Care’ di mana

berhasil disimpulkan peran klinis seorang farmasis (Breimer et al, 1983). Sejak itu, World Health

Organisation (WHO) dan berbagai institusi lain mulai mengenal dan memperjuangkan farmasis

sebagai tenaga pelayanan kesehatan yang strategis (Lunde dan Dukes, 1989). Pada tahun 1992,

ESCP mempublikasikan “The Future of Clinical Pharmacy in Europe” yang  merefleksikan

perubahan cepat tentang peran farmasi di dalam sistem pelayanan kesehatan (Bonal et al, 1993).

Perubahan tersebut terjadi secara universal di berbagai negara, dan itu terkait dengan

perkembangan teknologi kesehatan, ekonomi kesehatan, informatika, sosial ekonomi, dan

hubungan profesional (Waldo et al, 1991).

Menurut ESCP, farmasi klinik merupakan pelayanan yang diberikan oleh apoteker di RS, apotek,

perawatan di rumah, klinik, dan di manapun, dimana terjadi peresepan dan penggunaan obat.

Adapun tujuan secara menyeluruh aktivitas farmasi klinik adalah meningkatkan penggunaan obat

yang tepat dan rasional, dan hal ini berarti:

Memaksimalkan efek pengobatan yaitu penggunaan obat yang paling efektif untuk setiap

kondisi tertentu pasien.

Page 4: etika farmasi

Meminimalkan risiko terjadinya adverse effect, yaitu dengan cara memantau terapi dan

kepatuhan pasien terhadap terapi.

Meminimalkan biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien atau pemerintah

(ESCP, 2009).

Walaupun demikian, perkembangan pelayanan farmasi klinik tidaklah sama di semua negara

Eropa. Inggris merupakan negara di Eropa yang paling lama menerapkan farmasi klinik.

Sebagian besar penelitian tentang peran penting farmasi klinik dalam pelayanan kesehatan

sebagian besar diperoleh dari pengalaman di Amerika dan Inggris.

Farmasi Klinik di Australia

Di Australia, 90% rumah sakit swasta dan 100% rumah sakit pemerintah memberikan pelayanan

farmasi klinik. Organisasi profesi utama yang mewadahi farmasis yang bekerja di RS di

Australia adalah The Society of Hospital Pharmacists of Australia (SHPA), yang didirikan pada

tahun 1941. Pada tahun 1996, SHPA mempublikasikan Standar Pelayanan Farmasi Klinik yang

menjadi referensi utama pemberian pelayanan farmasi klinik di Australia.

Komponen fundamental dari standar ini adalah pernyataan tentang tujuan farmasi klinik dan

dokumentasi dari aktivitas farmasi klinik terpilih. Standar ini juga digunakan dalam

pengembangan kebijakan pemerintah dalam akreditasi pelayanan farmasi klinik di Australia, dan

juga sebagai standar untuk pendidikan farmasi, baik di tingkat S1 maupun pasca sarjana (DiPiro,

2002)

Page 5: etika farmasi

Macam aktivitas farmasi klinik

Walaupun ada sedikit variasi di berbagai negara, pada prinsipnya aktivitas farmasi klinik

meliputi :

1. Pemantauan pengobatan. Hal ini dilakukan dengan menganalisis terapi, memberikan

advis kepada praktisi kesehatan tentang kebenaran pengobatan, dan memberikan

pelayanan kefarmasian pada pasien secara langsung

2. Seleksi obat. Aktivitas ini dilakukan dengan bekerja sama dengan dokter dan pemegang

kebijakan di bidang obat dalam penyusunan formularium obat atau daftar obat yang

digunakan.

3. Pemberian informasi obat. Farmasis bertanggug-jawab mencari informasi dan melakukan

evaluasi literatur ilmiah secara kritis, dan kemudian mengatur pelayanan informasi obat

untuk praktisi pelayanan kesehatan dan pasien

4. Penyiapan dan peracikan obat. Farmasis bertugas menyiapkan dan meracik obat sesuai

dengan standar dan kebutuhan pasien

5. Penelitian dan studi penggunaan obat. Kegiatan farmasi klinik antara lain meliputi studi

penggunaan obat, farmakoepidemio- logi, farmakovigilansi, dan farmakoekonomi.

6. Therapeutic drug monitoring (TDM). Farmasi klinik bertugas menjalankan pemantauan

kadar obat dalam darah pada pasien dan melihat profil farmakokinetik untuk optimasi

regimen dosis obat.

7. Uji klinik. Farmasis juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi obat, serta

berpartisipasi dalam uji klinik.

8. Pendidikan dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian.

Semua yang dipaparkan di atas adalah gambaran perkembangan profesi farmasi, khususnya

farmasi klinik, yang terjadi di beberapa belahan dunia. Bagaimana dengan Indonesia?

Page 6: etika farmasi

Farmasi Klinik di Indonesia

Praktek pelayanan farmasi klinik di Indonesia relatif baru berkembang pada tahun 2000-an,

dimulai dengan adanya beberapa sejawat farmasis yang belajar farmasi klinik di berbagai

institusi pendidikan di luar negeri. Belum sepenuhnya penerimaan konsep farmasi klinik oleh

tenaga kesehatan di RS merupakan salah satu faktor lambatnya perkembangan pelayanan farmasi

klinik di Indonesia. Masih dianggap atau merupakan keganjilan jika apoteker yang semula

berfungsi menyiapkan obat di Instalasi Farmasi RS, kemudian ikut masuk ke bangsal perawatan

dan memantau perkembangan pengobatan pasien, apalagi jika turut memberikan rekomendasi

pengobatan, seperti yang lazim terjadi di negara maju. Farmasis sendiri selama ini terkesan

kurang menyakinkan untuk bisa memainkan peran dalam pengobatan. Hal ini kemungkinan

besar disebabkan oleh sejarah pendidikan farmasi yang bersifat monovalen dengan muatan sains

yang masih cukup besar (sebelum tahun 2001), sementara pendidikan ke arah klinik masih

sangat terbatas, sehingga menyebabkan farmasis merasa gamang berbicara tentang penyakit dan

pengobatan.

Sebagai informasi, sejak tahun 2001, pendidikan farmasi di Indonesia, khususnya di UGM, telah

mengakomodasi ilmu-ilmu yang diperlukan dalam pelayanan farmasi klinik, seperti

patofisiologi, farmakoterapi, dll. dengan adanya minat studi Farmasi Klinik dan Komunitas.

Bersamaan dengan itu, mulai tahun 2001, berhembus angin segar dalam pelayanan kefarmasian

di Indonesia. Saat itu terjadi restrukturisasi pada organisasi Departemen Kesehatan di mana

dibentuk Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, dengan Direktorat Bina

Farmasi Komunitas dan Klinik di bawahnya, yang mengakomodasi pekerjaan kefarmasian

sebagai salah satu pelayanan kesehatan utama, tidak sekedar sebagai penunjang. Menangkap

peluang itu, Fakultas Farmasi UGM termasuk menjadi salah satu pioner dalam pendidikan

Farmasi Klinik dengan dibukanya Program Magister Farmasi Klinik. Di sisi lain, beberapa

sejawat farmasis rumah sakit di Indonesia mulai melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinik,

walaupun masih terbatas. Namun demikian, bukan berarti perkembangan farmasi klinik serta

merta meningkat pesat, bahkan perkembangannya masih jauh dari harapan. Kasus Prita di sebuah

RS di Tangerang yang cukup menghebohkan beberapa saat lalu merupakan salah satu cermin

bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih harus ditingkatkan, dan farmasis klinik mestinya

Page 7: etika farmasi

bisa mengambil peran mencegah kejadian serupa.  Kiranya ke depan, perlu dilakukan upaya-

upaya strategis untuk membuktikan kepada pemegang kebijakan dan masyarakat luas bahwa

adanya pelayanan farmasi langsung kepada pasien akan benar-benar meningkatkan outcome

terapi bagi pasien, seperti yang diharapkan ketika gerakan farmasi klinik ini dimulai. 

Manfaat farmasi klinik dalam optimasi hasil terapi 

Banyak penelitian telah membuktikan peran farmasi klinik terhadap berbagai outcome terapi

pada pasien, baik dari sisi humanistik (kualitas hidup, kepuasan), sisi klinik (kontrol yang lebih

baik pada penyakit kronis), dan sisi ekonomis (pengurangan biaya kesehatan). Hasil review

publikasi antara tahun 1984-1995 oleh Inditz et al (1999) menyimpulkan bahwa pelayanan

farmasi klinik efektif untuk mengurangi biaya pelayanan kesehatan, dan efektif dalam

meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini terutama diperoleh dengan melakukan

pemantauan resep dan pelaporan efek samping obat.

Bond et al (1999) juga melaporkan bahwa pelayanan farmasi klinik dapat menurunkan angka

kematian di RS secara signifikan. Terdapat perbedaan sampai 195 kematian/tahun/RS antara RS

yang menjalankan aktivitas farmasi klinik dengan yang tidak. Sebuah studi lain yang dilakukan

di Massachusetts General Hospital di Boston menjumpai bahwa partisipasi farmasis dalam visite

(kunjungan) ke bangsal perawatan intensive care unit (ICU) dapat mengurangi sampai 66%

kejadian efek samping obat yang bisa dicegah, yang disebabkan karena kesalahan dalam perintah

pengobatan (Leape et al, 1999).

Dalam hal outcome klinis, misalnya pada terapi antikoagulan, pengaturan penggunaan

antikoagulan yang berlebihan dengan cara melakukan pemantauan melalui telepon oleh farmasis

klinik telah berhasil meningkatkan outcome klinis pasien dibandingkan dengan cara pelayanan

farmasi secara tradisional (Witt dan Humphries, 2003).

Bagaimana di Indonesia? Karena setiap negara memiliki situasi berbeda dalam hal pelayanan

farmasi klinik, perlu dilakukan juga pengamatan serupa terhadap dampak pelayanan farmasi

terhadap peningkatan hasil terapi maupun kualitas hidup pasien. Adalah kenyataan yang tak

dapat dipungkiri bahwa masih banyak terjadi masalah terkait dengan penggunaan obat (drug-

related problem, DRP) di berbagai tempat pelayanan kesehatan.

Page 8: etika farmasi

Di sebuah RS di Kalimantan Timur misalnya, dijumpai 88,6% pasien diabetes mellitus

mengalami DRP, dengan masalah terbanyak adalah adanya indikasi penyakit yang tidak diterapi

secara memadai (Utami, 2009). Dari 52 pasien hemodialisis di sebuah RS di Jawa Timur, 90,4%

mengalami DRP, dengan jenis terbanyak adalah pasien tidak menerima obat (Irawaty, 2009). 

Kejadian serupa masih banyak dijumpai, misalnya DRP pada penatalaksanaan stroke (Rahajeng,

2006), penggunaan antibiotika profilaksis (Blegur, 2007), penatalaksanaan nyeri kanker

(Guswita, 2007), dengan berbagai jenis DRP lainnya.

Karena itu, pelayanan farmasi klinik sebenarnya dapat mengurangi kejadian DRP tersebut, dan

lebih jauh dapat meningkatkan hasil terapi pasien. Intervensi farmasis dalam hal pemberian

konseling pada pasien diabetes mellitus berhasil meningkatkan hasil terapi dan kualitas hidup

pasien (Ikawati et al, 2008; Hermawan, 2009). Demikian pula pada pasien hipertensi di sebuah

RS di Jawa Tengah, konseling farmasis dapat meningkatkan pencapaian target tekanan darah

yang diinginkan (Kusumaningjati, 2008).

Hadirin yang berbahagia,

Perkembangan dunia kesehatan di era genomik

Pada dua dekade terakhir kita menyaksikan kemajuan pemahaman baru tentang proses dasar

fisiologis maupun patologis pada manusia sampai ke tingkat molekuler. Penelitian di bidang ini

mendapatkan momentum dalam beberapa tahun terakhir, didorong dengan selesainya proyek

genom manusia (human genome project) pada tahun 2001 (Oak Ridge National Laboratory,

2009) dan International HapMap Project (Anonim, 20091). Kemajuan teknologi telah

memungkinkan identifikasi protein-protein regulator dan sistem signaling kompleks yang

berperan penting dalam proses fisiologis normal maupun dalam kondisi patologis pada semua

sistem organ utama. Elusidasi sekuens genom manusia dan kemajuan lain telah memberikan

kesempatan untuk penemuan terobosan yang mengarahkan kepada pandangan fundamental

terhadap fungsi sistem biologis, dan menciptakan kesempatan unik untuk mentranslasikan ilmu

dasar menuju pengobatan secara klinis.

Kita juga menyaksikan kemajuan pemahaman ilmiah mengenai hubungan antara gen manusia

dengan respon terhadap pengobatan, yang kemudian dikenal dengan istilah

Page 9: etika farmasi

farmakogenetik/genomik. Istilah farmakogenetik pertama kali dikenalkan oleh Vogel pada tahun

1959 (Shin et al, 2009), dan digunakan untuk menggambarkan hasil observasi klinis mengenai

perbedaan yang diwariskan dalam hal respon terhadap obat (Evan et al, 2003). Farmakogenomik

merupakan aplikasi farmakogenetik, dan pada prakteknya istilah ini dapat saling dipertukarkan

penggunaannya. Telah diketahui bahwa proteinlah yang beraksi sebagai enzim pemetabolisme

obat, transporter, dan reseptor yang terdapat di seluruh tubuh, yang memperantarai respons tubuh

terhadap obat. Variasi gen yang mengkode protein-protein ini seringkali hanya melibatkan

perbedaan basa tunggal saja, yang disebut Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs). Adanya

SNP ini menyebabkan perbedaan respon tehadap obat antar-individu, dan menjelaskan mengapa

obat tidak selalu efektif untuk semua pasien dan memiliki efek samping terhadap sekelompok

orang tetapi tidak untuk kelompok orang lainnya (Clemerson et al, 2008).

Hingga saat ini di AS terdapat kurang lebih 50 macam obat yang telah memasukkan informasi

farmakogenetik pada pelabelannya. Obat-obat ini antara lain antijamur (voriconazol), obat

kardio-vaskuler dan hematologi (warfarin), antikonvulsan (karbamazepin), antikanker

(azatioprin, irinotecan, trastuzumab, dan cetuximab), dan antipsikotik (atomoxetin) (Frueh et

al, 2008). Informasi farmakogenetik diharapkan dapat digunakan untuk

pengembangan/penemuan obat dan dalam pelayanan klinis pasien.

Dalam lingkup pelayanan klinis, informasi farmakogenetik dapat digunakan untuk memprediksi

penetapan dosis obat. Jika hasil tes farmakogenetik menunjukkan adanya polimorfisme genetik

yang menyebabkan penurunan aktivitas enzim pemetabolisme, maka ketersediaan obat dalam

darah dapat meningkat sehingga dosis perlu diturunkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya

efek toksik. Dan sebaliknya jika aktivitas enzim meningkat. Namun tentu perlu diketahui juga

bahwa faktor genetik bukanlah satu-satunya penentu respon pasien terhadap obat. Perlu

dipertimbangkan pula faktor lain yang berpengaruh terhadap efek obat.

Memang, praktek klinik yang menggunakan informasi farmakogenetik masih jauh dari

pelaksanaan, bahkan di negara maju sekalipun. Namun demikian, terkadang kemajuan teknologi

kesehatan dapat terjadi jauh lebih cepat dari yang diperkirakan, maka bukan tidak mungkin

aplikasi serupa sudah ada di depan mata. Atau, kalaupun belum dapat diaplikasikan, pengetahuan

ini sangat penting untuk dapat menjelaskan berbagai fenomena dalam masalah pengobatan. Hal

Page 10: etika farmasi

ini diyakini akan memberikan nilai tambah bagi farmasis dalam dunia klinik. Dalam hal aplikasi

farmakogenetik, farmasis, akan memegang peran penting di masa depan. Aplikasi penemuan

farmakogenetik membutuhkan pengetahuan dan pemahaman mengenai farmakodinamik dan

farmakokinetik obat. Karena farmasis memahami farmakokinetik dan farmakodinamik, maka

mestinya ia akan memegang peran yang signifikan dalam aplikasi farmakogenetik. Bahkan para

ahli menyarankan bahwa farmasis sebaiknya memiliki akses untuk mendapatkan informasi

genetik pasien untuk bisa memberikan pelayanan kefarmasian secara individual sebelum mereka

menyiapkan resep (Haga dan Burke, 2008).

Namun demikian, sebelum semua itu menjadi realita, ada satu langkah yang mestinya sudah bisa

dilakukan oleh farmasis klinik dalam rangka meningkatkan pelayanan kefarmasian yaitu dengan

lebih memfokuskan kepada ilmu-ilmu khas kefarmasian.

Peluang farmasis di era genomik

Pada era genomik yang mengedepankan faktor genetik sebagai salah satu kontributor terhadap

respon pasien terhadap obat, maka dapat dikatakan bahwa terapi dan hasilnya bersifat individual.

Dengan analogi yang sama, respon terapi pada satu etnis mungkin akan berbeda dengan etnis

lain, termasuk kejadian efek samping obat atau adverse drug reactions. Karena itu pada era

genomik di mana terapi mengarah kepada individualisasi terapi, ada beberapa hal yang perlu

dikembangkan dan ditekankan pelaksanaannya oleh farmasis (farmasis klinik), antara lain:

1. Therapeutic drug monitoring (TDM)

Istilah ini merupakan istilah khusus untuk pemantauan kadar obat dalam darah. TDM perlu

dilakukan terutama untuk obat-obat dengan kisar terapi sempit, di mana peningkatan kadar

sedikit saja dalam darah dapat memberikan peningkatan efek terapi yang signifikan, termasuk

efek toksiknya. Beberapa obat yang memiliki kisar terapi sempit dan idealnya menjalani TDM

antara lain golongan antiepilepsi (fenitoin, karbamazepin, asam valproat), antibiotika

golongan aminoglikosida (gentamicin, vancomicin, kanamicin), litium, dan obat-obat anti

retroviral (obat HIV) (Birkett et al, 1997).

Page 11: etika farmasi

TDM juga sangat membantu pada terapi yang kompleks dan melibatkan interaksi berbagai obat

dalam tubuh pasien. Sangat mungkin satu orang pasien menerima obat hingga 10-15 macam,

yang satu dengan lainnya mungkin berinteraksi secara siginifikan. Suatu  obat dapat menurunkan

atau meningkatkan ketersediaan hayati obat lain dalam tubuh, baik dengan mekanisme

farmakokinetika maupun farmakodinamika, sehingga TDM akan sangat berguna untuk

memastikan regimen dosis obat.

Lebih lanjut, mengkombinasikan TDM dengan informasi farmakogenetik tentu akan

menguntungkan pasien untuk mendapatkan regimen dosis yang tepat dan aman. Contoh obat

dengan kisar terapi sempit dan polimorfisme genetik yang relevan disajikan pada tabel.

Tabel. Obat dengan kisar terapi sempit dan polimorfisme genetik yang relevan  (Bukaveckas,

2004)

Nama obat Polimorfisme genetik

Siklosporin CYP3A5 dan MDR1

Asam valproat CYP2C9 dan CYP2A6

Fenitoin CYP2C9

Karbamazepin CYP3A

Warfarin CYP2C9

Digoksin MDR1

Kuinidin CYP2D6

Teofilin CYP1A2

 Kajian cost-effectiveness tentang TDM sudah banyak dilaporkan, bahwa TDM terbukti cost-

effeetive untuk penggunaan antibiotika golongan aminoglikosida, obat antiepilepsi, dan

imunosupresan (Touw et al, 2007). Namun pelaksanaan TDM masih menjadi kendala di

Indonesia karena berbagai alasan. Pemahaman tentang pentingnya TDM dan individualisasi dosis

nampaknya masih beragam antar pelaku pelayanan kesehatan.

Sudah saatnya TDM diatur melalui kebijakan kesehatan nasional, sehingga dapat segera

terealisasi, seperti yang sudah dilaksanakan di negara-negara maju. Kombinasi TDM dengan test

Page 12: etika farmasi

farmakogenetik nampaknya masih jauh dari realita, namun pengetahuan dan persiapan farmasis

menuju era individualisasi terapi perlu terus dikembangkan.

2. Farmakovigilans (pharmacovigilance)

Khusus untuk keamanan obat, perlu dilakukan upaya-upaya identifikasi dan pencegahan ADR

dengan cara lain, misalnya dengan farmakovigilans.

Farmakovigilans merupakan cabang ilmu farmakologi yang terkait dengan deteksi, penilaian,

pemahaman, dan pencegahan efek yang tidak diinginkan (adverse effects), terutama efek

samping jangka pendek maupun panjang obat, produk biologis, herba, maupun obat tradisional,

dengan tujuan mengidentifikasi informasi baru tentang bahaya karena obat, dan mencegah

bahaya itu pada pasien (WHO, 2002).

Polimorfisme genetik, sekali lagi, merupakan salah satu sumber variasi respon obat di dalam

tubuh. Dalam kaitannya dengan ADR, perhatian lebih banyak ditujukan terhadap faktor

farmakokinetik, khususnya metabolisme obat (Pirmohamed dan Park, 2001). Namun demikian,

variasi genetik pada target aksi obat (faktor farmakodinamik) mungkin pula berperan. Oleh

sebab itu, sangat penting kita memiliki informasi kejadian ADR pada populasi khusus orang

Indonesia. Pada umumnya kita selalu merujuk buku-buku teks untuk melihat signifikansi

kejadian ADR, namun lupa bahwa informasi tersebut kebanyakan bersumber dari ras Kaukasia.

Untuk itu perlu kiranya disusun database ADR atau efek samping khusus populasi Indonesia,

mengingat Indonesia sangat kaya akan keragaman etnis, sehingga memungkinkan adanya variasi

genetik dan hasil pengobatan.

Satu contoh menarik adalah penggunaan metamizol (antalgin) sebagai analgetik. Antalgin

mudah dijumpai di berbagai tempat pelayanan kesehatan di Indonesia, meskipun sudah dilarang

penggunaannya di Amerika (1977), Swedia (1974), dan di beberapa negara lain termasuk

Jepang, Australia, dan beberapa negara Eropa (Anonim, 20092), karena menyebabkan ADR fatal

yaitu agranulositosis dan diskrasia darah (Bottiger dan Westerholm, 1973). Sementara itu di

Mexico, India, Brazil, Rusia, dan di negara dunia ketiga lain, termasuk Indonesia, obat ini masih

tersedia secara luas dan termasuk analgesik populer. Adanya kontroversi tentang angka

prevalensi kejadian agranulositosis di berbagai negara, memunculkan dugaan kuat adanya faktor 

Page 13: etika farmasi

genetik sebagai penyebab perbedaan tersebut. Karena itu perlu dilakukan kajian apakah memang

terdapat perbedaan kerentanan antar berbagai ras terhadap adverse effect antalgin yang

disebabkan faktor genetik, atau memang sistem pelaporan efek samping di Indonesia yang belum

berjalan dengan baik sehingga belum bisa menjadi dasar penarikan suatu obat dari pasar oleh

badan otoritas.

Karena itu selama pemantauan terapi, identifikasi dan pelaporan kejadian ADR menjadi penting,

dan farmasis dapat mengambil peran kunci ketika menerapkan praktek farmasi klinik.

3. Pelayanan Informasi Obat dan Konseling pada Pasien

Aktivitas ini mestinya merupakan aktivitas awal seorang farmasis sebagai tenaga yang

berkompeten di bidang obat. Saya ingin menekankan bahwa pada era genomik, penjelasan

bagaimana aksi obat dan bagaimana proses patologis terjadi, sudah mencapai ke tingkat

molekuler, terutama pada tingkat protein.  Karena itu, pengetahuan tentang mekanisme

molekuler penyakit dan obat-obat baru yang makin selektif terhadap target aksi spesifik di

tingkat molekuler perlu dikuasai, dengan selalu meng-update pengetahuan terkini. Hal ini akan

memberikan nilai tambah bagi farmasis ketika harus memberikan pelayanan informasi obat,

terutama pada sejawat tenaga kesehatan lain.

Di sisi lain, pengetahuan teknis farmasetis yang merupakan kompetensi khas farmasis harus pula

dikuasai untuk bisa memberikan saran dan rekomendasi pada sejawat dalam hal penyiapan obat

pasien. Tak boleh dilupakan adalah ilmu-ilmu dasar kefarmasian dalam penggunaan obat yang

sangat diperlukan untuk pencerahan kepada pasien, yang semuanya ini bertujuan meningkatkan

hasil terapi. Konseling tentang pengobatan kepada pasien perlu terus ditingkatkan untuk

memastikan bahwa pasien dapat menggunakan obatnya dengan cara yang benar sehingga dapat

dicapai hasil terapi yang optimal.

Di akhir pidato ini saya ingin menggaris bawahi bahwa profesi farmasis klinik terus berkembang

dan menjadi kebutuhan, dan itu memerlukan kesiapan dan komitmen farmasis untuk terus

meningkatkan kompetensi dan mengikuti semua perkembangan di bidang ilmu kesehatan hingga

tingkat advanced. Hal ini akan meningkatkan percaya diri dan kepercayaan dari sejawat tenaga

Page 14: etika farmasi

kesehatan, sehingga bisa memposisikan diri sebagai mitra penting dalam memberikan pelayanan

kesehatan yang terbaik pada pasien, dengan semangat empati dan peduli.

Upaya-upaya untuk membuktikan peran farmasis klinik dalam meningkatkan outcome terapi

bagi pasien harus terus dilakukan, sehingga akan semakin membuka peluang diterimanya profesi

farmasis di dalam tim pelayanan kesehatan yang langsung berhubungan dengan pasien.

Saya juga menghimbau kepada pemegang kebijakan di Departemen Kesehatan untuk lebih

mengakomodasi peran farmasis dalam pelayanan kesehatan sebagai anggota tim pelayanan

kesehatan yang lebih memiliki akses terhadap pemantauan pasien. Pelaksanaan farmasi klinik di

berbagai negara dapat menjadi acuan, tentunya dengan tetap mendasarkan pada sistem pelayanan

kesehatan yang berlaku di Indonesia.