etika farmasi
-
Upload
riva-noviani -
Category
Documents
-
view
434 -
download
7
Transcript of etika farmasi
PELAYANAN FARMASI KLINIK PADA ERA GENOMIK: SEBUAH TANTANGAN
DAN PELUANG
Profesi Farmasi di Indonesia
Tonggak sejarah munculnya profesi apoteker di Indonesia dimulai dengan didirikannya
Perguruan Tinggi Farmasi di Klaten pada tahun 1946, yang kemudian menjadi Fakultas Farmasi
UGM, dan di Bandung tahun 1947. Lembaga Pendidikan Tinggi Farmasi yang didirikan pada
masa perang kemerdekaan ini mempunyai andil yang besar bagi perkembangan sejarah
kefarmasian pada masa-masa selanjutnya. Hingga saat ini, jumlah pendidikan tinggi farmasi
membengkak sangat besar, yaitu mencapai 61 perguruan tinggi farmasi (PTF), dengan
perincian : 13 PTF terakreditasi A, 13 PTF terakreditasi B, 21 PTF terakreditasi C, dan sisanya
belum terakreditasi (APTFI, 2009).
Dengan pesatnya perkembangan ilmu kefarmasian, maka farmasis saat ini menempati ruang
lingkup pekerjaan yang makin luas. Beberapa tempat pekerjaan kefarmasian antara lain adalah di
apotek, rumah sakit, lembaga pemerintahan, perguruan tinggi, lembaga penelitian, laboratorium
pengujian mutu, laboratorium klinis, laboratorium forensik, berbagai jenis industri farmasi
meliputi industri obat, kosmetik-kosmeseutikal, jamu, obat herbal, fitofarmaka, nutraseutikal,
health food, obat veteriner dan industri vaksin, lembaga informasi obat serta badan asuransi
kesehatan. Salah satu cabang ilmu/pelayanan kefarmasian adalah farmasi klinik.
Sejarah munculnya Farmasi Klinik
Istilah farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960an di Amerika, dengan penekanan pada
fungsi farmasis yang bekerja langsung bersentuhan dengan pasien. Saat itu farmasi klinik
merupakan suatu disiplin ilmu dan profesi yang relatif baru, di mana munculnya disiplin ini
berawal dari ketidakpuasan atas norma praktek pelayanan kesehatan pada saat itu dan adanya
kebutuhan yang meningkat terhadap tenaga kesehatan profesional yang memiliki pengetahuan
komprehensif mengenai pengobatan. Gerakan munculnya farmasi klinik dimulai dari University
of Michigan dan University of Kentucky pada tahun 1960-an (Miller,1981).
Pada era itu, praktek kefarmasian di Amerika bersifat stagnan. Pelayanan kesehatan sangat
terpusat pada dokter, di mana kontak apoteker dengan pasien sangat minimal. Konsep farmasi
klinik muncul dari sebuah konferensi tentang informasi obat pada tahun 1965 yang
diselenggarakan di Carnahan House, dan didukung oleh American Society of Hospital Pharmacy
(ASHP). Pada saat itu disajikan proyek percontohan yang disebut “9th floor project” yang
diselenggarakan di University of California. “Perkawinan” antara pemberian informasi obat
dengan pemantauan terapi pasien oleh farmasis di RS mengawali kelahiran suatu konsep baru
dalam pelayanan farmasi yang oleh para anggota delegasi konferensi disebut sebagai farmasi
klinik (DiPiro, 2002). Hal ini membawa implikasi terhadap perubahan kurikulum pendidikan
farmasi di Amerika saat itu, menyesuaikan dengan kebutuhan akan adanya farmasis yang
memiliki keahlian klinik.
Perubahan visi pada pelayanan farmasi ini mendapat dukungan signifikan ketika Hepler dan
Strand (Hepler dan Strands, 1990) pada tahun 1990 memperkenalkan istilah pharmaceutical
care. Pada dekade berikutnya, kata itu menjadi semacam kata “sakti” yang dipromosikan oleh
organisasi-organisasi farmasi di dunia. Istilah pharmaceutical care, yang di-Indonesia-kan
menjadi “asuhan kefarmasian”, adalah suatu pelayanan yang berpusat pada pasien dan
berorientasi terhadap outcome pasien. Pada model praktek pelayanan semacam ini, farmasis
menjadi salah satu anggota kunci pada tim pelayanan kesehatan, dengan tanggung jawab pada
outcome pengobatan.
Perkembangan peran farmasi yang berorientasi pada pasien semakin diperkuat pada tahun 2000,
ketika organisasi profesi farmasis klinik Amerika American College of Clinical Pharmacy
(ACCP) mempublikasikan sebuah makalah berjudul, “A vision of pharmacy’s future roles,
responsibilities, and manpower needs in the United States.” Untuk 10-15 tahun ke depan,
ACCP menetapkan suatu visi bahwa farmasis akan menjadi penyedia pelayanan kesehatan yang
akuntabel dalam terapi obat yang optimal untuk pencegahan dan penyembuhan penyakit (ACCP,
2008). Untuk mencapai visi tersebut, harus dipastikan adanya farmasis klinik yang terlatih dan
mendapat pendidikan memadai.
Dalam sistem pelayanan kesehatan, farmasis klinik adalah ahli pengobatan dalam terapi. Mereka
bertugas melakukan evaluasi pengobatan dan memberikan rekomendasi pengobatan, baik kepada
pasien maupun tenaga kesehatan lain. Farmasis klinik merupakan sumber utama informasi ilmiah
yang dapat dipercaya tentang obat dan penggunaannya, memberikan informasi terkait dengan
penggunaan obat yang aman, tepat, dan cost-effective.
Konsep farmasi klinik pun kemudian berkembang di berbagai negara di dunia, termasuk
Indonesia, dengan penerapan yang bervariasi pada tiap negara berdasarkan kondisi masing-
masing.
Farmasi Klinik di Eropa
Gerakan farmasi klinik di Eropa mulai menggeliat dengan didirikannya European Society of
Clinical Pharmacy (ESCP) pada tahun 1979 (Leufkens et al, 1997). Sejak itu terjadi perdebatan
yang terus menerus mengenai tujuan, peran dan nilai tambah farmasi klinik terhadap pelayanan
pasien. Pada tahun 1983, ESCP mengkompilasi dokumen pendidikan berisi persyaratan dan
standar untuk keahlian dan ketrampilan seorang farmasis klinik (ESCP, 1983). Pada tahun itu,
Federation Internationale Pharmaceutique (FIP) mempublikasikan prosiding simposium
bertemakan ‘Roles and Responsibilities of the Pharmacists in Primary Health Care’ di mana
berhasil disimpulkan peran klinis seorang farmasis (Breimer et al, 1983). Sejak itu, World Health
Organisation (WHO) dan berbagai institusi lain mulai mengenal dan memperjuangkan farmasis
sebagai tenaga pelayanan kesehatan yang strategis (Lunde dan Dukes, 1989). Pada tahun 1992,
ESCP mempublikasikan “The Future of Clinical Pharmacy in Europe” yang merefleksikan
perubahan cepat tentang peran farmasi di dalam sistem pelayanan kesehatan (Bonal et al, 1993).
Perubahan tersebut terjadi secara universal di berbagai negara, dan itu terkait dengan
perkembangan teknologi kesehatan, ekonomi kesehatan, informatika, sosial ekonomi, dan
hubungan profesional (Waldo et al, 1991).
Menurut ESCP, farmasi klinik merupakan pelayanan yang diberikan oleh apoteker di RS, apotek,
perawatan di rumah, klinik, dan di manapun, dimana terjadi peresepan dan penggunaan obat.
Adapun tujuan secara menyeluruh aktivitas farmasi klinik adalah meningkatkan penggunaan obat
yang tepat dan rasional, dan hal ini berarti:
Memaksimalkan efek pengobatan yaitu penggunaan obat yang paling efektif untuk setiap
kondisi tertentu pasien.
Meminimalkan risiko terjadinya adverse effect, yaitu dengan cara memantau terapi dan
kepatuhan pasien terhadap terapi.
Meminimalkan biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien atau pemerintah
(ESCP, 2009).
Walaupun demikian, perkembangan pelayanan farmasi klinik tidaklah sama di semua negara
Eropa. Inggris merupakan negara di Eropa yang paling lama menerapkan farmasi klinik.
Sebagian besar penelitian tentang peran penting farmasi klinik dalam pelayanan kesehatan
sebagian besar diperoleh dari pengalaman di Amerika dan Inggris.
Farmasi Klinik di Australia
Di Australia, 90% rumah sakit swasta dan 100% rumah sakit pemerintah memberikan pelayanan
farmasi klinik. Organisasi profesi utama yang mewadahi farmasis yang bekerja di RS di
Australia adalah The Society of Hospital Pharmacists of Australia (SHPA), yang didirikan pada
tahun 1941. Pada tahun 1996, SHPA mempublikasikan Standar Pelayanan Farmasi Klinik yang
menjadi referensi utama pemberian pelayanan farmasi klinik di Australia.
Komponen fundamental dari standar ini adalah pernyataan tentang tujuan farmasi klinik dan
dokumentasi dari aktivitas farmasi klinik terpilih. Standar ini juga digunakan dalam
pengembangan kebijakan pemerintah dalam akreditasi pelayanan farmasi klinik di Australia, dan
juga sebagai standar untuk pendidikan farmasi, baik di tingkat S1 maupun pasca sarjana (DiPiro,
2002)
Macam aktivitas farmasi klinik
Walaupun ada sedikit variasi di berbagai negara, pada prinsipnya aktivitas farmasi klinik
meliputi :
1. Pemantauan pengobatan. Hal ini dilakukan dengan menganalisis terapi, memberikan
advis kepada praktisi kesehatan tentang kebenaran pengobatan, dan memberikan
pelayanan kefarmasian pada pasien secara langsung
2. Seleksi obat. Aktivitas ini dilakukan dengan bekerja sama dengan dokter dan pemegang
kebijakan di bidang obat dalam penyusunan formularium obat atau daftar obat yang
digunakan.
3. Pemberian informasi obat. Farmasis bertanggug-jawab mencari informasi dan melakukan
evaluasi literatur ilmiah secara kritis, dan kemudian mengatur pelayanan informasi obat
untuk praktisi pelayanan kesehatan dan pasien
4. Penyiapan dan peracikan obat. Farmasis bertugas menyiapkan dan meracik obat sesuai
dengan standar dan kebutuhan pasien
5. Penelitian dan studi penggunaan obat. Kegiatan farmasi klinik antara lain meliputi studi
penggunaan obat, farmakoepidemio- logi, farmakovigilansi, dan farmakoekonomi.
6. Therapeutic drug monitoring (TDM). Farmasi klinik bertugas menjalankan pemantauan
kadar obat dalam darah pada pasien dan melihat profil farmakokinetik untuk optimasi
regimen dosis obat.
7. Uji klinik. Farmasis juga terlibat dalam perencanaan dan evaluasi obat, serta
berpartisipasi dalam uji klinik.
8. Pendidikan dan pelatihan, terkait dengan pelayanan kefarmasian.
Semua yang dipaparkan di atas adalah gambaran perkembangan profesi farmasi, khususnya
farmasi klinik, yang terjadi di beberapa belahan dunia. Bagaimana dengan Indonesia?
Farmasi Klinik di Indonesia
Praktek pelayanan farmasi klinik di Indonesia relatif baru berkembang pada tahun 2000-an,
dimulai dengan adanya beberapa sejawat farmasis yang belajar farmasi klinik di berbagai
institusi pendidikan di luar negeri. Belum sepenuhnya penerimaan konsep farmasi klinik oleh
tenaga kesehatan di RS merupakan salah satu faktor lambatnya perkembangan pelayanan farmasi
klinik di Indonesia. Masih dianggap atau merupakan keganjilan jika apoteker yang semula
berfungsi menyiapkan obat di Instalasi Farmasi RS, kemudian ikut masuk ke bangsal perawatan
dan memantau perkembangan pengobatan pasien, apalagi jika turut memberikan rekomendasi
pengobatan, seperti yang lazim terjadi di negara maju. Farmasis sendiri selama ini terkesan
kurang menyakinkan untuk bisa memainkan peran dalam pengobatan. Hal ini kemungkinan
besar disebabkan oleh sejarah pendidikan farmasi yang bersifat monovalen dengan muatan sains
yang masih cukup besar (sebelum tahun 2001), sementara pendidikan ke arah klinik masih
sangat terbatas, sehingga menyebabkan farmasis merasa gamang berbicara tentang penyakit dan
pengobatan.
Sebagai informasi, sejak tahun 2001, pendidikan farmasi di Indonesia, khususnya di UGM, telah
mengakomodasi ilmu-ilmu yang diperlukan dalam pelayanan farmasi klinik, seperti
patofisiologi, farmakoterapi, dll. dengan adanya minat studi Farmasi Klinik dan Komunitas.
Bersamaan dengan itu, mulai tahun 2001, berhembus angin segar dalam pelayanan kefarmasian
di Indonesia. Saat itu terjadi restrukturisasi pada organisasi Departemen Kesehatan di mana
dibentuk Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, dengan Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik di bawahnya, yang mengakomodasi pekerjaan kefarmasian
sebagai salah satu pelayanan kesehatan utama, tidak sekedar sebagai penunjang. Menangkap
peluang itu, Fakultas Farmasi UGM termasuk menjadi salah satu pioner dalam pendidikan
Farmasi Klinik dengan dibukanya Program Magister Farmasi Klinik. Di sisi lain, beberapa
sejawat farmasis rumah sakit di Indonesia mulai melakukan kegiatan pelayanan farmasi klinik,
walaupun masih terbatas. Namun demikian, bukan berarti perkembangan farmasi klinik serta
merta meningkat pesat, bahkan perkembangannya masih jauh dari harapan. Kasus Prita di sebuah
RS di Tangerang yang cukup menghebohkan beberapa saat lalu merupakan salah satu cermin
bahwa pelayanan kesehatan di Indonesia masih harus ditingkatkan, dan farmasis klinik mestinya
bisa mengambil peran mencegah kejadian serupa. Kiranya ke depan, perlu dilakukan upaya-
upaya strategis untuk membuktikan kepada pemegang kebijakan dan masyarakat luas bahwa
adanya pelayanan farmasi langsung kepada pasien akan benar-benar meningkatkan outcome
terapi bagi pasien, seperti yang diharapkan ketika gerakan farmasi klinik ini dimulai.
Manfaat farmasi klinik dalam optimasi hasil terapi
Banyak penelitian telah membuktikan peran farmasi klinik terhadap berbagai outcome terapi
pada pasien, baik dari sisi humanistik (kualitas hidup, kepuasan), sisi klinik (kontrol yang lebih
baik pada penyakit kronis), dan sisi ekonomis (pengurangan biaya kesehatan). Hasil review
publikasi antara tahun 1984-1995 oleh Inditz et al (1999) menyimpulkan bahwa pelayanan
farmasi klinik efektif untuk mengurangi biaya pelayanan kesehatan, dan efektif dalam
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Hal ini terutama diperoleh dengan melakukan
pemantauan resep dan pelaporan efek samping obat.
Bond et al (1999) juga melaporkan bahwa pelayanan farmasi klinik dapat menurunkan angka
kematian di RS secara signifikan. Terdapat perbedaan sampai 195 kematian/tahun/RS antara RS
yang menjalankan aktivitas farmasi klinik dengan yang tidak. Sebuah studi lain yang dilakukan
di Massachusetts General Hospital di Boston menjumpai bahwa partisipasi farmasis dalam visite
(kunjungan) ke bangsal perawatan intensive care unit (ICU) dapat mengurangi sampai 66%
kejadian efek samping obat yang bisa dicegah, yang disebabkan karena kesalahan dalam perintah
pengobatan (Leape et al, 1999).
Dalam hal outcome klinis, misalnya pada terapi antikoagulan, pengaturan penggunaan
antikoagulan yang berlebihan dengan cara melakukan pemantauan melalui telepon oleh farmasis
klinik telah berhasil meningkatkan outcome klinis pasien dibandingkan dengan cara pelayanan
farmasi secara tradisional (Witt dan Humphries, 2003).
Bagaimana di Indonesia? Karena setiap negara memiliki situasi berbeda dalam hal pelayanan
farmasi klinik, perlu dilakukan juga pengamatan serupa terhadap dampak pelayanan farmasi
terhadap peningkatan hasil terapi maupun kualitas hidup pasien. Adalah kenyataan yang tak
dapat dipungkiri bahwa masih banyak terjadi masalah terkait dengan penggunaan obat (drug-
related problem, DRP) di berbagai tempat pelayanan kesehatan.
Di sebuah RS di Kalimantan Timur misalnya, dijumpai 88,6% pasien diabetes mellitus
mengalami DRP, dengan masalah terbanyak adalah adanya indikasi penyakit yang tidak diterapi
secara memadai (Utami, 2009). Dari 52 pasien hemodialisis di sebuah RS di Jawa Timur, 90,4%
mengalami DRP, dengan jenis terbanyak adalah pasien tidak menerima obat (Irawaty, 2009).
Kejadian serupa masih banyak dijumpai, misalnya DRP pada penatalaksanaan stroke (Rahajeng,
2006), penggunaan antibiotika profilaksis (Blegur, 2007), penatalaksanaan nyeri kanker
(Guswita, 2007), dengan berbagai jenis DRP lainnya.
Karena itu, pelayanan farmasi klinik sebenarnya dapat mengurangi kejadian DRP tersebut, dan
lebih jauh dapat meningkatkan hasil terapi pasien. Intervensi farmasis dalam hal pemberian
konseling pada pasien diabetes mellitus berhasil meningkatkan hasil terapi dan kualitas hidup
pasien (Ikawati et al, 2008; Hermawan, 2009). Demikian pula pada pasien hipertensi di sebuah
RS di Jawa Tengah, konseling farmasis dapat meningkatkan pencapaian target tekanan darah
yang diinginkan (Kusumaningjati, 2008).
Hadirin yang berbahagia,
Perkembangan dunia kesehatan di era genomik
Pada dua dekade terakhir kita menyaksikan kemajuan pemahaman baru tentang proses dasar
fisiologis maupun patologis pada manusia sampai ke tingkat molekuler. Penelitian di bidang ini
mendapatkan momentum dalam beberapa tahun terakhir, didorong dengan selesainya proyek
genom manusia (human genome project) pada tahun 2001 (Oak Ridge National Laboratory,
2009) dan International HapMap Project (Anonim, 20091). Kemajuan teknologi telah
memungkinkan identifikasi protein-protein regulator dan sistem signaling kompleks yang
berperan penting dalam proses fisiologis normal maupun dalam kondisi patologis pada semua
sistem organ utama. Elusidasi sekuens genom manusia dan kemajuan lain telah memberikan
kesempatan untuk penemuan terobosan yang mengarahkan kepada pandangan fundamental
terhadap fungsi sistem biologis, dan menciptakan kesempatan unik untuk mentranslasikan ilmu
dasar menuju pengobatan secara klinis.
Kita juga menyaksikan kemajuan pemahaman ilmiah mengenai hubungan antara gen manusia
dengan respon terhadap pengobatan, yang kemudian dikenal dengan istilah
farmakogenetik/genomik. Istilah farmakogenetik pertama kali dikenalkan oleh Vogel pada tahun
1959 (Shin et al, 2009), dan digunakan untuk menggambarkan hasil observasi klinis mengenai
perbedaan yang diwariskan dalam hal respon terhadap obat (Evan et al, 2003). Farmakogenomik
merupakan aplikasi farmakogenetik, dan pada prakteknya istilah ini dapat saling dipertukarkan
penggunaannya. Telah diketahui bahwa proteinlah yang beraksi sebagai enzim pemetabolisme
obat, transporter, dan reseptor yang terdapat di seluruh tubuh, yang memperantarai respons tubuh
terhadap obat. Variasi gen yang mengkode protein-protein ini seringkali hanya melibatkan
perbedaan basa tunggal saja, yang disebut Single Nucleotide Polymorphisms (SNPs). Adanya
SNP ini menyebabkan perbedaan respon tehadap obat antar-individu, dan menjelaskan mengapa
obat tidak selalu efektif untuk semua pasien dan memiliki efek samping terhadap sekelompok
orang tetapi tidak untuk kelompok orang lainnya (Clemerson et al, 2008).
Hingga saat ini di AS terdapat kurang lebih 50 macam obat yang telah memasukkan informasi
farmakogenetik pada pelabelannya. Obat-obat ini antara lain antijamur (voriconazol), obat
kardio-vaskuler dan hematologi (warfarin), antikonvulsan (karbamazepin), antikanker
(azatioprin, irinotecan, trastuzumab, dan cetuximab), dan antipsikotik (atomoxetin) (Frueh et
al, 2008). Informasi farmakogenetik diharapkan dapat digunakan untuk
pengembangan/penemuan obat dan dalam pelayanan klinis pasien.
Dalam lingkup pelayanan klinis, informasi farmakogenetik dapat digunakan untuk memprediksi
penetapan dosis obat. Jika hasil tes farmakogenetik menunjukkan adanya polimorfisme genetik
yang menyebabkan penurunan aktivitas enzim pemetabolisme, maka ketersediaan obat dalam
darah dapat meningkat sehingga dosis perlu diturunkan untuk mencegah kemungkinan terjadinya
efek toksik. Dan sebaliknya jika aktivitas enzim meningkat. Namun tentu perlu diketahui juga
bahwa faktor genetik bukanlah satu-satunya penentu respon pasien terhadap obat. Perlu
dipertimbangkan pula faktor lain yang berpengaruh terhadap efek obat.
Memang, praktek klinik yang menggunakan informasi farmakogenetik masih jauh dari
pelaksanaan, bahkan di negara maju sekalipun. Namun demikian, terkadang kemajuan teknologi
kesehatan dapat terjadi jauh lebih cepat dari yang diperkirakan, maka bukan tidak mungkin
aplikasi serupa sudah ada di depan mata. Atau, kalaupun belum dapat diaplikasikan, pengetahuan
ini sangat penting untuk dapat menjelaskan berbagai fenomena dalam masalah pengobatan. Hal
ini diyakini akan memberikan nilai tambah bagi farmasis dalam dunia klinik. Dalam hal aplikasi
farmakogenetik, farmasis, akan memegang peran penting di masa depan. Aplikasi penemuan
farmakogenetik membutuhkan pengetahuan dan pemahaman mengenai farmakodinamik dan
farmakokinetik obat. Karena farmasis memahami farmakokinetik dan farmakodinamik, maka
mestinya ia akan memegang peran yang signifikan dalam aplikasi farmakogenetik. Bahkan para
ahli menyarankan bahwa farmasis sebaiknya memiliki akses untuk mendapatkan informasi
genetik pasien untuk bisa memberikan pelayanan kefarmasian secara individual sebelum mereka
menyiapkan resep (Haga dan Burke, 2008).
Namun demikian, sebelum semua itu menjadi realita, ada satu langkah yang mestinya sudah bisa
dilakukan oleh farmasis klinik dalam rangka meningkatkan pelayanan kefarmasian yaitu dengan
lebih memfokuskan kepada ilmu-ilmu khas kefarmasian.
Peluang farmasis di era genomik
Pada era genomik yang mengedepankan faktor genetik sebagai salah satu kontributor terhadap
respon pasien terhadap obat, maka dapat dikatakan bahwa terapi dan hasilnya bersifat individual.
Dengan analogi yang sama, respon terapi pada satu etnis mungkin akan berbeda dengan etnis
lain, termasuk kejadian efek samping obat atau adverse drug reactions. Karena itu pada era
genomik di mana terapi mengarah kepada individualisasi terapi, ada beberapa hal yang perlu
dikembangkan dan ditekankan pelaksanaannya oleh farmasis (farmasis klinik), antara lain:
1. Therapeutic drug monitoring (TDM)
Istilah ini merupakan istilah khusus untuk pemantauan kadar obat dalam darah. TDM perlu
dilakukan terutama untuk obat-obat dengan kisar terapi sempit, di mana peningkatan kadar
sedikit saja dalam darah dapat memberikan peningkatan efek terapi yang signifikan, termasuk
efek toksiknya. Beberapa obat yang memiliki kisar terapi sempit dan idealnya menjalani TDM
antara lain golongan antiepilepsi (fenitoin, karbamazepin, asam valproat), antibiotika
golongan aminoglikosida (gentamicin, vancomicin, kanamicin), litium, dan obat-obat anti
retroviral (obat HIV) (Birkett et al, 1997).
TDM juga sangat membantu pada terapi yang kompleks dan melibatkan interaksi berbagai obat
dalam tubuh pasien. Sangat mungkin satu orang pasien menerima obat hingga 10-15 macam,
yang satu dengan lainnya mungkin berinteraksi secara siginifikan. Suatu obat dapat menurunkan
atau meningkatkan ketersediaan hayati obat lain dalam tubuh, baik dengan mekanisme
farmakokinetika maupun farmakodinamika, sehingga TDM akan sangat berguna untuk
memastikan regimen dosis obat.
Lebih lanjut, mengkombinasikan TDM dengan informasi farmakogenetik tentu akan
menguntungkan pasien untuk mendapatkan regimen dosis yang tepat dan aman. Contoh obat
dengan kisar terapi sempit dan polimorfisme genetik yang relevan disajikan pada tabel.
Tabel. Obat dengan kisar terapi sempit dan polimorfisme genetik yang relevan (Bukaveckas,
2004)
Nama obat Polimorfisme genetik
Siklosporin CYP3A5 dan MDR1
Asam valproat CYP2C9 dan CYP2A6
Fenitoin CYP2C9
Karbamazepin CYP3A
Warfarin CYP2C9
Digoksin MDR1
Kuinidin CYP2D6
Teofilin CYP1A2
Kajian cost-effectiveness tentang TDM sudah banyak dilaporkan, bahwa TDM terbukti cost-
effeetive untuk penggunaan antibiotika golongan aminoglikosida, obat antiepilepsi, dan
imunosupresan (Touw et al, 2007). Namun pelaksanaan TDM masih menjadi kendala di
Indonesia karena berbagai alasan. Pemahaman tentang pentingnya TDM dan individualisasi dosis
nampaknya masih beragam antar pelaku pelayanan kesehatan.
Sudah saatnya TDM diatur melalui kebijakan kesehatan nasional, sehingga dapat segera
terealisasi, seperti yang sudah dilaksanakan di negara-negara maju. Kombinasi TDM dengan test
farmakogenetik nampaknya masih jauh dari realita, namun pengetahuan dan persiapan farmasis
menuju era individualisasi terapi perlu terus dikembangkan.
2. Farmakovigilans (pharmacovigilance)
Khusus untuk keamanan obat, perlu dilakukan upaya-upaya identifikasi dan pencegahan ADR
dengan cara lain, misalnya dengan farmakovigilans.
Farmakovigilans merupakan cabang ilmu farmakologi yang terkait dengan deteksi, penilaian,
pemahaman, dan pencegahan efek yang tidak diinginkan (adverse effects), terutama efek
samping jangka pendek maupun panjang obat, produk biologis, herba, maupun obat tradisional,
dengan tujuan mengidentifikasi informasi baru tentang bahaya karena obat, dan mencegah
bahaya itu pada pasien (WHO, 2002).
Polimorfisme genetik, sekali lagi, merupakan salah satu sumber variasi respon obat di dalam
tubuh. Dalam kaitannya dengan ADR, perhatian lebih banyak ditujukan terhadap faktor
farmakokinetik, khususnya metabolisme obat (Pirmohamed dan Park, 2001). Namun demikian,
variasi genetik pada target aksi obat (faktor farmakodinamik) mungkin pula berperan. Oleh
sebab itu, sangat penting kita memiliki informasi kejadian ADR pada populasi khusus orang
Indonesia. Pada umumnya kita selalu merujuk buku-buku teks untuk melihat signifikansi
kejadian ADR, namun lupa bahwa informasi tersebut kebanyakan bersumber dari ras Kaukasia.
Untuk itu perlu kiranya disusun database ADR atau efek samping khusus populasi Indonesia,
mengingat Indonesia sangat kaya akan keragaman etnis, sehingga memungkinkan adanya variasi
genetik dan hasil pengobatan.
Satu contoh menarik adalah penggunaan metamizol (antalgin) sebagai analgetik. Antalgin
mudah dijumpai di berbagai tempat pelayanan kesehatan di Indonesia, meskipun sudah dilarang
penggunaannya di Amerika (1977), Swedia (1974), dan di beberapa negara lain termasuk
Jepang, Australia, dan beberapa negara Eropa (Anonim, 20092), karena menyebabkan ADR fatal
yaitu agranulositosis dan diskrasia darah (Bottiger dan Westerholm, 1973). Sementara itu di
Mexico, India, Brazil, Rusia, dan di negara dunia ketiga lain, termasuk Indonesia, obat ini masih
tersedia secara luas dan termasuk analgesik populer. Adanya kontroversi tentang angka
prevalensi kejadian agranulositosis di berbagai negara, memunculkan dugaan kuat adanya faktor
genetik sebagai penyebab perbedaan tersebut. Karena itu perlu dilakukan kajian apakah memang
terdapat perbedaan kerentanan antar berbagai ras terhadap adverse effect antalgin yang
disebabkan faktor genetik, atau memang sistem pelaporan efek samping di Indonesia yang belum
berjalan dengan baik sehingga belum bisa menjadi dasar penarikan suatu obat dari pasar oleh
badan otoritas.
Karena itu selama pemantauan terapi, identifikasi dan pelaporan kejadian ADR menjadi penting,
dan farmasis dapat mengambil peran kunci ketika menerapkan praktek farmasi klinik.
3. Pelayanan Informasi Obat dan Konseling pada Pasien
Aktivitas ini mestinya merupakan aktivitas awal seorang farmasis sebagai tenaga yang
berkompeten di bidang obat. Saya ingin menekankan bahwa pada era genomik, penjelasan
bagaimana aksi obat dan bagaimana proses patologis terjadi, sudah mencapai ke tingkat
molekuler, terutama pada tingkat protein. Karena itu, pengetahuan tentang mekanisme
molekuler penyakit dan obat-obat baru yang makin selektif terhadap target aksi spesifik di
tingkat molekuler perlu dikuasai, dengan selalu meng-update pengetahuan terkini. Hal ini akan
memberikan nilai tambah bagi farmasis ketika harus memberikan pelayanan informasi obat,
terutama pada sejawat tenaga kesehatan lain.
Di sisi lain, pengetahuan teknis farmasetis yang merupakan kompetensi khas farmasis harus pula
dikuasai untuk bisa memberikan saran dan rekomendasi pada sejawat dalam hal penyiapan obat
pasien. Tak boleh dilupakan adalah ilmu-ilmu dasar kefarmasian dalam penggunaan obat yang
sangat diperlukan untuk pencerahan kepada pasien, yang semuanya ini bertujuan meningkatkan
hasil terapi. Konseling tentang pengobatan kepada pasien perlu terus ditingkatkan untuk
memastikan bahwa pasien dapat menggunakan obatnya dengan cara yang benar sehingga dapat
dicapai hasil terapi yang optimal.
Di akhir pidato ini saya ingin menggaris bawahi bahwa profesi farmasis klinik terus berkembang
dan menjadi kebutuhan, dan itu memerlukan kesiapan dan komitmen farmasis untuk terus
meningkatkan kompetensi dan mengikuti semua perkembangan di bidang ilmu kesehatan hingga
tingkat advanced. Hal ini akan meningkatkan percaya diri dan kepercayaan dari sejawat tenaga
kesehatan, sehingga bisa memposisikan diri sebagai mitra penting dalam memberikan pelayanan
kesehatan yang terbaik pada pasien, dengan semangat empati dan peduli.
Upaya-upaya untuk membuktikan peran farmasis klinik dalam meningkatkan outcome terapi
bagi pasien harus terus dilakukan, sehingga akan semakin membuka peluang diterimanya profesi
farmasis di dalam tim pelayanan kesehatan yang langsung berhubungan dengan pasien.
Saya juga menghimbau kepada pemegang kebijakan di Departemen Kesehatan untuk lebih
mengakomodasi peran farmasis dalam pelayanan kesehatan sebagai anggota tim pelayanan
kesehatan yang lebih memiliki akses terhadap pemantauan pasien. Pelaksanaan farmasi klinik di
berbagai negara dapat menjadi acuan, tentunya dengan tetap mendasarkan pada sistem pelayanan
kesehatan yang berlaku di Indonesia.