Esai Ujian Akhir Nasional Sebagai Tolak Ukur Keberhasilan Pendidikan Ditumpuk

9
Ujian Akhir Nasional sebagai Tolak Ukur Keberhasilan Pendidikan Oleh Ria Evita Galuh, 25 (XII IPA 4) Sejumlah kecurangan dan kelemahan dalam pelaksanaan ujian akhir nasional membuat banyak pihak mempertanyakan kemanfaatan dan objektifitasnya dalam mengukur keberhasilan pendidikan di sekolah. Setujukah Anda dengan gagasan bahwa ujian akhir nasional tidak bisa dijadikan ukuran keberhasilan pendidikan ? Saya setuju, bahwa ujian akhir nasional tidak bisa dijadikan ukuran keberhasilan pendidikan. Ada beberapa faktor yang menjadi pendukung pernyataan tersebut. Faktor tersebut tentu saja tidak lepas dari berbagai kelemahan pelaksanaan ujian akhir nasional yang dewasa ini banyak ditemukan permasalahan yang berupa kecurangan-kecurangan dalam ujian akhir nasional. Faktor pertama, dalam setiap ujian akhir nasional mata pelajaran yang diujikan untuk Sekolah Dasar hanya tiga mata pelajaran yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, dan Ipa. Untuk SMP hanya ditambah satu mata pelajaran yaitu Bahasa Inggris. Dan untuk SMA hanya 6 mata pelajaran yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Ingggris, dan 3 mata pelajaran jurusan. Padahal dalam kenyataannya, peserta didik di sekolah tidak hanya mendapatkan materi tersebut. Kita ambil contoh mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan

description

sip

Transcript of Esai Ujian Akhir Nasional Sebagai Tolak Ukur Keberhasilan Pendidikan Ditumpuk

Ujian Akhir Nasional sebagai Tolak Ukur Keberhasilan PendidikanOleh Ria Evita Galuh, 25 (XII IPA 4)

Sejumlah kecurangan dan kelemahan dalam pelaksanaan ujian akhir nasional membuat banyak pihak mempertanyakan kemanfaatan dan objektifitasnya dalam mengukur keberhasilan pendidikan di sekolah. Setujukah Anda dengan gagasan bahwa ujian akhir nasional tidak bisa dijadikan ukuran keberhasilan pendidikan ?Saya setuju, bahwa ujian akhir nasional tidak bisa dijadikan ukuran keberhasilan pendidikan. Ada beberapa faktor yang menjadi pendukung pernyataan tersebut. Faktor tersebut tentu saja tidak lepas dari berbagai kelemahan pelaksanaan ujian akhir nasional yang dewasa ini banyak ditemukan permasalahan yang berupa kecurangan-kecurangan dalam ujian akhir nasional.Faktor pertama, dalam setiap ujian akhir nasional mata pelajaran yang diujikan untuk Sekolah Dasar hanya tiga mata pelajaran yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, dan Ipa. Untuk SMP hanya ditambah satu mata pelajaran yaitu Bahasa Inggris. Dan untuk SMA hanya 6 mata pelajaran yaitu Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Ingggris, dan 3 mata pelajaran jurusan. Padahal dalam kenyataannya, peserta didik di sekolah tidak hanya mendapatkan materi tersebut. Kita ambil contoh mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dan Pendidikan Agama Islam (PAI), dll. Sebenarnya untuk apa peserta didik harus diajarkan mata pelajajaran yang lain jika faktanya penentu kelulusan hanya tergantung mata pelajaran yang di UAN-kan saja.Faktor kedua, pengaruh ujian akhir nasional sebagai penentu kelulusan peserta didik masih terlalu besar. Padahal sebenarnya belajar tidak dapat dilihat dari hasil mata pelajaran yang di UAN-kan tersebut. Bagaimana jika pada pelaksanaan ujian akhir nasional peserta didik sedang mengalami masalah, seperti masalah keluarga atau bahkan sedang sakit, tentu saja peserta didik tidak akan dapat mengerjakan soal-soal ujian akhir nasional dengan baik seperti biasanya. Sehingga kemungkinan besar nilainya akan jelek dan sampai tidak lulus. Padahal peserta didik tersebut adalah siswa yang cukup kompeten dalam semua mata pelajaran. Sebagai contoh, ada peserta didik yang pernah mewakili sekolah dalam lomba kompetensi mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, atau Bahasa Inggris namun tidak lulus ujian akhir nasional dan pada saat tersebut ternyata peserta didik tersebut malah sudah diterima masuk Perguruan Tinggi Negeri jalur PMDK (undangan) fakultas kedokteran. Apakah bisa dikategorikan siswa tersebut lemah atau gagal jika nilai ujian akhir nasionalnya kebetulan jelek? Sebut saja 60% kelulusan peserta didik didapat dari hasil ujian akhir nasional. Sedangkan 40% kelulusan peserta didik didapat dari hasil ujian sekolah. Ujian akhir nasional masih belum bisa mewakili keberhasilan pendidikan jika sistemnya tetap sebagai penentu kelulusan. Hal ini kerap kali menjadi bahan perbincangan. Apalagi mulai tahun 2013 adanya peningkatan 20 paket soal ujian nasional dan tingkat kesulitan soal akan ditambah tiap tahun. Kecemasan tentu saja datang kepada para pelajar, karena keputusan ini tidak datang secara bertahap tetapi dua keputusan sekaligus membuat para siswa jauh lebih merasa was-was dan parahnya mereka juga bisa tertekan.Bagaimana bisa, usaha peserta didik belajar selama tiga tahun ditentukan oleh ujian akhir nasional yang tentunya hanya terdiri dari beberapa mata pelajaran saja. Jika dalam pelaksanaannya peserta didik dinyatakan gagal, tentu usahanya selama tiga tahun belajar akan terkesan sia-sia. Banyak muncul anggapan bahwa peserta didik yang memperoleh hasil memuaskan pada ujian akhir nasional, belum tentu merupakan peserta didik yang cerdas. Dalam kata lain, peserta didik memang pintar dalam mata pelajaran yang diujikan, namun belum tentu peserta didik tersebut pintar atau kompeten dalam mata pelajaran lainnya.Faktor ketiga, penyelenggara ujian akhir nasional tidak tahu bagaimana keseharian peserta didik. Secara umum, guru adalah pihak yang bisa dibilang paling tahu dan paling mengerti mengenai hasil belajar peserta didik dan berbagai potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Banyak diantara peserta didik yang berprestasi yang akhirnya tidak lulus hanya karena gagal dalam ujian akhir nasional. Hal ini ada kaitannya dengan minimnya kepercayaan yang diberikan kepada guru untuk mengawasi muridnya dalam ujian akhir nasional. Mulai dengan adanya tim pengawas independen ( TPI ) yang umumnya berlaku subjektif terhadap peserta didik. Kebanyakan mereka tidak tahu atau mungkin tidak mau tahu apakah peserta didik yang mereka awasi jujur atau tidak. Seringkali terjadi kesalahpahaman antara peserta didik dan pengawas. Ada peserta didik yang tidak berbuat curang namun ditegur oleh pengawas karena bertingkah mencurigakan. Ada pula peserta didik yang berbuat curang namun pengawas tidak tahu dan akhirnya tidak ditegur. Bukankah hal tersebut akan menurunkan mental peserta didik yang sedang ujian?Faktor keempat, banyak kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaan ujian akhir nasional yang belum bisa ditangani dengan baik. Ada banyak pula modus kecurangan yang dilakukan, baik oleh peserta didik, pengawas, hingga oknum tak bertanggung jawab yang memanfaatkan kesempatan untuk tujuan tertentu. Walaupun tidak semua tempat pelaksanaan ujian nasional terdapat kecurangan. Kecurangan dalam pelaksanaan ujian akhir nasional tentu saja akan mempengaruhi hasil kelulusan peserta didik. Mungkin hal ini merupakan salah satu alasan yang membuat peserta didik dengan tingkat pengetahuan yang rendah dapat memperoleh nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik yang berprestasi. Sehingga ujian akhir nasional sering kali tidak dapat menjadi ukuran keberhasilan pendidikan.Melihat kenyataan itu, banyak kalangan sependapat bahwa anak-anak didik (baik yang lulus maupun yang tidak), pada dasarnya telah menjadi korban dari kebijakan tersebut. Pendidikan sebagai sebuah proses memang perlu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Namun, perubahan demi perubahan yang tidak dirancang dengan landasan pedalogi, paradigma kebijakan pendidikan dan yuridis yang sesuai dengan tujuan yang disepakati oleh bangsa ini dalam UUD, pada akhirnya hanya akan menjadikan murid dan guru sebagai kelinci percobaan semata. Dalam konteks kontroversi UN tampak jelas bagaimana pemerintah telah memosisikan murid yang tidak lulus UN sebagai korban UN. Sebab, bukan saja secara pedalogis UN dapat menghambat proses berfikir kreatif anak dan menghilangkan hak anak untuk memperoleh penilaian secara holistik, tetapi juga secara yuridis bertentangan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Diyakini, gagasan UN mencuat dari endapan keprihatinan atas kondisi bangsa dan korelasinya dengan pendidikan kita yang buruk. Namun, ketika nilai dikatrol diindentifikasi sebagai penyebab utama rendahnya mutu pendidikan adalah keliru. Penalaran non causa pro causa (bukan sebab dikira sebab) seperti itu akan menuntun solusi yang kurang jitu. Bila mengutip perkataan salah seorang pakar pendidikan, Winarno Surakhman, Ketika pendidikan nasional yang falsafahnya memanusiakan, membudayakan dan menindonesiakan anak bangsa malah menghasilkan sebaliknya, di situ terjadi kriminalisasi pendidikan. Beliau hanya mengingatkan bahwa tanpa falsafah tersebut, pendidikan hanya akan menjadi peristiwa tanpa makna dan pendidikan semacam itu, meminjam kata Antarina SF Amir, hanya akan menghasilkan generasi yang hilang.UN saat ini seolah menjadi semacam teror dan momok terhadap dunia pendidikan Indonesia . Dari mulai pemberian jawaban soal UN oleh beberapa oknum guru kepada murid secara diam-diam, pembocoran soal UN oleh sekolah atau oknum pejabat pendidikan di daerah kepada siswa sebelum ujian dilaksanakan sampai kepada stres massal anak-anak didik menghadapi UN di berbagai tempat, seolah merupakan dukungan dan pembenaran atas pendapat tersebut. Bagaimana ini semua dapat terjadi? Apakah hal ini bukan disebabkan karena ada udang di balik batu, yaitu hal-hal lain daripada sekedar berbagai alasan yang sementara ini dicoba dikemukakan agar UN tetap berlangsung dari tahun ke tahun? Dan akibatnya adalah terjadinya semacam pembodohan massal dan budaya korupsi yang semakin merebak di mana-mana, yang justru dimulai dari usia sekolah. Ini sangat mungkin terjadi. Bayangkan, demi mengejar prestise dan pengakuan bahwa mutu seorang siswa, suatu sekolah atau daerah adalah baik, maka semua pihak mulai mengambil berbagai jalan pintas. Siswa ngebet ingin lulus UN, guru ngebet ingin meningkatkan citra sekolahnya, dan pejabat daerah pun ngebet ingin memperoleh pujian bahwa kualitas sekolah di daerahnya adalah bagus. Lalu dimulailah perlombaan korupsi dan manipulasi nilai (antara lain dengan SMS dan blangko ujian kosong) ini dengan cara-cara yang sangat sistematis dan sudah berlangsung bertahun-tahun. Tapi tidak sedikit pula yang terjebak oleh beredarnya sms kunci jawaban palsu.Alih-alih peserta didik diajar untuk jujur dan konsisten sejak awal, yang terjadi adalah, dengan adanya UN, para pelajar justru secara sistematis sudah mulai diajar untuk korupsi dan manipulasi. Semua ini mereka lakukan bukan karena lahirnya mereka memang tidak jujur, tetapi lebih karena keadaan terpaksa. Maka pantaslah bila dikatakan bahwa pendidikan seperti itu akan menjadi peristiwa tanpa makna dan perlahan tapi pasti hanya akan menghasilkan hilangnya kepribadian anak bangsa dan bukan hal yang mustahil bahwa bangsa ini hanya akan dipenuhi oleh generasi yang hilang. Saya kira, sudah terlihat jelas bahwa UN bukan merupakan solusi yang tepat bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional kita. UN merupakan puncak gunung es yang menyembunyikan persoalan hakiki pendidikan Indonesia di bawah permukaan. Kita semua patut khawatir kegagalan pendidikan yang sudah berlangsung sepanjang puluhan tahun akan berlangsung lebih lama lagi dan mengakibatkan lebih banyak lagi hilangnya kepribadian anak bangsa.Dari beberapa faktor diatas, yaitu mulai dari masalah jumlah mata pelajaran yang diujikan, pengaruh ujian akhir nasional yang terlalu besar terhadap kelulusan, tidak adanya kepercayaan yang diberikan kepada para guru, hingga berbagai kecurangan yang masih belum teratasi. Dapat kita ambil kesimpulan bahwa ujian akhir nasional memang tidak bisa dijadikan ukuran keberhasilan pendidikan.Menurut saya, seharusnya evaluasi mutu pendidikan sepenuhnya dipercayakan kepada para guru sehingga negara berkewajiban melatih dan mendidik guru-guru agar bisa melaksanakan evaluasi yang berkualitas. Setiap akhir semester siswa menerima laporan pendidikan berdasarkan evaluasi yang sifatnya personal dengan tidak membandingkan atau melabel para siswa dengan peringkat juara seperti yang telah menjadi tradisi pendidikan kita. Selain itu membantu setiap peserta didik agar dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan menyediakan guru yang profesional, yang seluruh waktunya dicurahkan untuk menjadi pendidik, menyediakan fasilitas sekolah yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan penuh kegembiraan dengan fasilitas olahraga dan ruang bermain yang memadai dan ruang kerja guru, menyediakan media pembelajaran yang kaya, yang memungkinkan peserta didik dapat secara terus-menerus belajar melalui membaca buku wajib, buku rujukan, dan buku bacaan, (termasuk novel), serta kelengkapan laboratorium dan perpustakaan yang memungkinkan peserta didik belajar sampai tingkatan menikmati belajar, evaluasi yang terus-menerus, komprehensif dan obyektif. Melalui model pembelajaran yang seperti inilah, yaitu peserta didik setiap saat dinilai tingkah lakunya, kesungguhan belajarnya, hasil belajarnya, dan kemampuan intelektualnya.