Esai Bung Hatta

38
BAB I PENDAHULUAN Mohammad Hatta atau biasanya disebut dengan Bung Hatta adalah nama salah seorang dari beribu pahlawan yang pernah memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Sosok Bung Hatta telah menjadi begitu dekat dengan hati rakyat Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang begitu merakyat. Besarnya peran beliau dalam perjuangan negeri ini sehingga beliau disebut sebagai salah seorang “The Founding Father’s of Indonesia”. Berbagai tulisan dan kisah perjuangan Muhammad Hatta telah ditulis dan dibukukan, mulai dari masa kecil, remaja, dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Bung Hatta adalah seorang pahlawan nasional, seorang pejuang dan negarawan sejati yang terus berpikir demi bangsa dan negara yang dicintainya. Beliau adalah salah seorang Proklamator Kemerdekaan RI, dan juga Wakil Presiden yang pertama, Menteri Luar Negeri, serta Perdana Menteri Indonesia yang ke -3. Bung Hatta mempunyai riwayat kehidupan dan kisah perjuangan yang menarik untuk dibahas. Karena itulah tujuan dari penulisan esai biografi Muhammad Hatta ini selain untuk memenuhi tugas juga untuk lebih mengenal riwayat kehidupannya beserta tinta emas yang telah 1

description

All about Bung Hatta,,

Transcript of Esai Bung Hatta

Page 1: Esai Bung Hatta

BAB I

PENDAHULUAN

Mohammad Hatta atau biasanya disebut dengan Bung Hatta adalah nama

salah seorang dari beribu pahlawan yang pernah memperjuangkan kemerdekaan

dan kemajuan Indonesia. Sosok Bung Hatta telah menjadi begitu dekat dengan

hati rakyat Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang begitu merakyat.

Besarnya peran beliau dalam perjuangan negeri ini sehingga beliau disebut

sebagai salah seorang “The Founding Father’s of Indonesia”. Berbagai tulisan dan

kisah perjuangan Muhammad Hatta telah ditulis dan dibukukan, mulai dari masa

kecil, remaja, dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan kemerdekaan

Indonesia.

Bung Hatta adalah seorang pahlawan nasional, seorang pejuang dan

negarawan sejati yang terus berpikir demi bangsa dan negara yang dicintainya.

Beliau adalah salah seorang Proklamator Kemerdekaan RI, dan juga Wakil

Presiden yang pertama, Menteri Luar Negeri, serta Perdana Menteri Indonesia

yang ke -3. Bung Hatta mempunyai riwayat kehidupan dan kisah perjuangan yang

menarik untuk dibahas. Karena itulah tujuan dari penulisan esai biografi

Muhammad Hatta ini selain untuk memenuhi tugas juga untuk lebih mengenal

riwayat kehidupannya beserta tinta emas yang telah ditorehkan beliau, sehingga

kita sebagai bangsa Indonesia dapat mengenangnya dan mengambil pesan atau

amanah dari kisah Bung Hatta ini serta dapat meneladaninya dalam kehidupan

kita.

1

Page 2: Esai Bung Hatta

Gambar 2.1.1 Bung Hatta

BAB II

ISI

2.1 Riwayat Awal Kehidupan

Mohammad Hatta yang

mempunyai nama lengkap Dr.

(H.C.).Drs.H.Mohammad Hatta dan

populer dengan nama Bung Hatta ini

lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 di

Bukittinggi, Sumatera Barat,

Indonesia. Di kota kecil inilah Bung

Hatta dibesarkan di lingkungan

keluarga ibunya. Ayahnya, Haji

Mohammad Djamil, meninggal ketika

Hatta berusia delapan bulan. Dari

ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki

satu-satunya. Nama yang diberikan oleh orangtuanya ketika dilahirkan

adalah Muhammad Athar.

Pada tanggal 18 Nopember 1945, Hatta menikah dengan Rahmi

Rachim di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Dari pernikahannya ini beliau

mempunyai tiga orang putri, yaitu Meutia Farida, Gemala Rabi’ah, dan

Halidah Nuriah. Dua orang putrinya telah menikah. Yang pertama dengan

Dr. Sri-Edi Swasono dan yang kedua dengan Drs. Mohammad Chalil

Baridjambek. Anak perempuannya yang bernama Meutia Farida atau di

kenal dengan nama Meutia Hatta menjabat sebagai Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan dalam Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan

Susilo Bambang Yhudoyono. Hatta sempat menyaksikan kelahiran dua

cucunya, yaitu Sri Juwita Hanum Swasono dan Mohammad Athar

Baridjambek.

2

Page 3: Esai Bung Hatta

Sepanjang hidupnya, Bung Hatta berperilaku senantiasa menampilkan

sikap yang santun terhadap siapa pun. Baik kawan maupun lawan. Terhadap

Bung Karno yang pada masa sebelum kemerdekaan melakukan kerja sama

cukup erat namun kemudian mereka tidak dapat bekerja sama secara politik,

tetapi sebagai sesama manusia, Bung Hatta masih menghormatinya. Ketika

Bung Karno sakit, Bung Hatta menengoknya. Demikian pula sebaliknya.

Kesantunan menjadi sikap dalam hidupnya untuk saling menghargai.

Bila ada pejabat negara yang paling jujur, semua orang Indonesia akan

menyebut nama Bung Hatta. Bukan hanya jujur, tetapi ia juga uncorruptable.

Tak terkorupsikan, demikian menurut Jacob Utama, Pemimpin Umum

harian Kompas. Kejujuran hatinya membuat dia tidak rela untuk

menodainya melakukan tindak korupsi.

Bilamana Bung Hatta melakukan korupsi, barangkali bukan hanya

sepatu merek Bally yang mampu di beli oleh beliau. Ia bisa menggonta ganti

sepatu baru setiap harinya bahkan memiliki saham di pabrik sepatu. Namun,

pada kenyataan ia tidak melakukan semua itu. Ia hanya menyelipkan

potongan iklan sepatu Bally yang tidak terbelinya hingga akhir hayat. Bila

dilihat pada kondisi sekarang, seharusnya masa lalu juga demikian, tentu hal

ini merupakan sebuah tragedi.

Seorang mantan wakil presiden, orang yang menandatangani

proklamasi kemerdekaan, orang yang memimpin delegasi perundingan

dengan Belanda –negara yang pernah menjajahnya—hingga Belanda mau

mengakui kedaulatan Indonesia, ternyata tidak mampu hanya untuk sekadar

membeli sepasang sepatu bermerek terkenal. Bahkan, untuk membayar

rekening air dan listrik, Bung Hatta yang mengandalkan hidupnya dari uang

pensiunan seorang wakil presiden ternyata tidak cukup. Apalagi untuk

membeli keperluan lain, seperti sepatu, yang dianggap oleh dirinya sebagai

pemenuhan kebutuhan pribadi. Ia masih memikirkan kehidupan keluarga,

istri dan tiga orang anaknya.

3

Page 4: Esai Bung Hatta

Sampai akhir hayatnya Bung Hatta dikenal sebagai orang yang tetap

sederhana. Dengan pengalaman dan pergaulannya yang sangat luas, serta

memiliki pemahaman yang mendalam di bidang ekonomi, hukum,

pemerintahan, rasanya tidak akan sulit bagi Bung Hatta untuk berlaku tidak

sederhana. Ia bisa menjadi orang yang kaya secara materi, dan tidak perlu

merasakan kesulitan dalam hidupnya. Tetapi, visi keneragarawannya

mengatakan dia harus menjaga simbol kenegaraan. Bukan untuk dirinya

sendiri.

Maka, ia menikmati hidup dari uang pensiun. Dengan jumlah yang

tidak seberapa, namun mampu melaksanakan gaya hidup yang hemat, uang

pensiun itu “cukup” menghidupinya sekeluarga. Bagi Bung Hatta, tentu saja

sangat mudah menerima tawaran bekerja dari berbagai perusahaan, baik

lokal maupun internasional. Tetapi, bagaimana dengan citra wakil presiden.

Bagaimana mungkin seorangmantan wakil presiden menjadi konsultan

perusahaan A. Apakah hal itu tidak memunculkan bias dalam persaingan

usaha, mengingat hebatnya pengalaman Bung Hatta? Inilah yang Bung

Hatta hindari. Ia ingin menjaga nama baik. Bukan hanya dirinya sendiri,

tetapi nama baik bangsa dan negara.

2.2 Latar Belakang Pendidikan

Dr. Mohammad Hatta lahir dari keluarga

ulama Minangkabau, Sumatera Barat. Ia menempuh pendidikan dasar di

Sekolah Melayu, Bukittinggi, dan pada tahun 1913-1916 melanjutkan

studinya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang. Saat usia 13

tahun, sebenarnya ia telah lulus ujian masuk ke HBS (setingkat SMA)

di Batavia (kini Jakarta), namun ibunya menginginkan Hatta agar tetap di

Padang dahulu, mengingat usianya yang masih muda. Akhirnya Bung Hatta

melanjutkan studi ke MULO (Meer Ultgebreid Lagere Ondewijs) di kota

Padang. Baru pada tahun 1919 ia pergi ke Batavia untuk studi di Sekolah

Tinggi Dagang "Prins Hendrik School". Ia menyelesaikan studinya dengan

4

Page 5: Esai Bung Hatta

hasil sangat baik, dan pada tahun 1921, Bung Hatta pergi

ke Rotterdam, Belanda, untuk belajar ilmu perdagangan/bisnis di Nederland

Handels Hoge School (bahasa inggris: Rotterdam School of Commerce, kini

menjadi Universitas Erasmus). Di Belanda, ia kemudian tinggal selama 11

tahun.

Pada tangal 27 November 1956, Bung Hatta memperoleh gelar

kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam Ilmu Hukum dari

Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. Pidato pengukuhannya berjudul

"Lampau dan Datang".

2.3 Organisasi dan Kisah Perjuangannya

2.3.1 Bermula dari kota Padang dan Batavia

Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada

pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan

pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa.

dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen

Bond (JSB). Di kota ini Hatta mulai menimbun pengetahuan perihal

perkembangan masyarakat dan politik, salah satunya lewat membaca

berbagai koran, bukan saja koran terbitan Padang tetapi juga Batavia.

Lewat itulah Hatta mengenal pemikiran Tjokroaminoto dalam surat

kabar Utusan Hindia, dan Agus Salim dalam Neratja.

Sebagai bendahara Jong Sumatranen Bond, ia menyadari

pentingnya arti keuangan bagi hidupnya perkumpulan. Tetapi

sumber keuangan baik dari iuran anggota maupun dari sumbangan

luar hanya mungkin lancar kalau para anggotanya mempunyai rasa

tanggung jawab dan disiplin. Rasa tanggung jawab dan disiplin

selanjutnya menjadi ciri khas sifat-sifat Mohammad Hatta.

Kesadaran politik Hatta makin berkembang karena

kebiasaannya menghadiri ceramah-ceramah atau pertemuan-

pertemuan politik. Salah seorang tokoh politik yang menjadi idola

5

Page 6: Esai Bung Hatta

Hatta ketika itu ialah Abdul Moeis. “Aku kagum melihat cara Abdul

Moeis berpidato, aku asyik mendengarkan suaranya yang merdu

setengah parau, terpesona oleh ayun katanya. Sampai saat itu aku

belum pernah mendengarkan pidato yang begitu hebat menarik

perhatian dan membakar semangat,” aku Hatta dalam Memoir-nya.

Itulah Abdul Moeis: pengarang roman Salah Asuhan; aktivis

partai Sarekat Islam; anggota Volksraad; dan pegiat

dalam majalah Hindia Sarekat, koran Kaoem Moeda, Neratja, Hindia

Baroe, serta Utusan Melayu dan Peroebahan.

Pada usia 17 tahun, Hatta lulus dari sekolah tingkat menengah

(MULO). Lantas ia bertolak ke Batavia untuk melanjutkan studi

di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Di sini, Hatta mulai

aktif menulis. Karangannya dimuat dalam majalah Jong Sumatera,

“Namaku Hindania!” begitulah judulnya. Berkisah perihal janda

cantik dan kaya yang terbujuk kawin lagi. Setelah ditinggal mati

suaminya, Brahmana dari Hindustan, datanglah musafir

dari Barat bernama Wolandia, yang kemudian meminangnya. “Tapi

Wolandia terlalu miskin sehingga lebih mencintai hartaku daripada

diriku dan menyia-nyiakan anak-anakku,” rutuk Hatta lewat

Hindania.

Pemuda Hatta makin tajam pemikirannya karena diasah dengan

beragam bacaan, pengalaman sebagai Bendahara JSB Pusat,

perbincangan dengan tokoh-tokoh pergerakan asal

Minangkabau yang mukim di Batavia, serta diskusi dengan

temannya sesama anggota JSB: Bahder Djohan. Saban Sabtu, ia dan

Bahder Djohan punya kebiasaan keliling kota. Selama berkeliling

kota, mereka bertukar pikiran tentang berbagai hal mengenai tanah

air. Pokok soal yang kerap pula mereka perbincangkan ialah perihal

memajukan bahasa Melayu. Untuk itu, menurut Bahder Djohan perlu

diadakan suatu majalah. Majalah dalam rencana Bahder Djohan

6

Page 7: Esai Bung Hatta

itupun sudah ia beri nama Malaya. Antara mereka berdua sempat ada

pembagian pekerjaan. Bahder Djohan akan mengutamakan

perhatiannya pada persiapan redaksi majalah, sedangkan Hatta pada

soal organisasi dan pembiayaan penerbitan. Namun, “Karena

berbagai hal cita-cita kami itu tak dapat diteruskan,” kenang Hatta

lagi dalam Memoir-nya.

Selama menjabat Bendahara JSB Pusat, Hatta menjalin

kerjasama dengan percetakan surat kabar Neratja. Hubungan itu terus

berlanjut meski Hatta berada di Rotterdam, ia dipercaya sebagai

koresponden. Suatu ketika pada medio tahun 1922, terjadi peristiwa

yang mengemparkan Eropa, Turki yang di pandang

sebagai kerajaan yang sedang runtuh (the sick man of Europe)

memukul mundur tentara Yunani yang dijagokan oleh Inggris.

Rentetan peristiwa itu Hatta pantau lalu ia tulis menjadi serial tulisan

untuk Neratja di Batavia. Serial tulisan Hatta itu menyedot perhatian

khalayak pembaca, bahkan banyak surat kabar di tanah air yang

mengutip tulisan-tulisan Hatta.

2.3.2 Masa Studi di Negeri Belanda

Pada tahun 1921 Hatta tiba di Negeri Belanda untuk belajar

pada Handels Hoge School di Rotterdam. Lalu, ia segera mendaftar

sebagai anggota Indische Vereniging. Saat itu, telah tersedia iklim

pergerakan di Indische Vereeniging. Sebelumnya, Indische

Vereeniging yang berdiri pada 1908 tak lebih dari ajang pertemuan

pelajar asal tanah air. Atmosfer pergerakan mulai mewarnai Indische

Vereeniging semenjak tibanya tiga tokoh Indische Partij (Suwardi

Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo) di

Belanda pada 1913 sebagai eksterniran akibat kritik mereka lewat

tulisan di koran De Expres. Kondisi itu tercipta, tak lepas karena

Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) menginisiasi

penerbitan majalah Hindia Poetra oleh Indische Vereeniging mulai

7

Page 8: Esai Bung Hatta

1916. Hindia Poetra bersemboyan “Ma’moerlah Tanah Hindia!

Kekallah Anak-Rakjatnya!” berisi informasi bagi para pelajar asal

tanah air perihal kondisi di Nusantara, tak ketinggalan pula tersisip

kritik terhadap sikap kolonial Belanda.

Di Indische Vereeniging, pergerakan putra Minangkabau ini tak

lagi tersekat oleh ikatan kedaerahan. Sebab Indische Vereeniging

berisi aktivis dari beragam latar belakang asal daerah. Lagipula,

nama Indische –meski masih bermasalah– sudah mencerminkan

kesatuan wilayah, yakni gugusan kepulauan di Nusantara yang

secara politis diikat oleh sistem kolonialisme belanda. Dari sanalah

mereka semua berasal.

Hatta mengawali karir pergerakannya di Indische Vereeniging

pada 1922, lagi-lagi, sebagai Bendahara. Penunjukkan itu

berlangsung pada 19 Februari 1922, ketika terjadi pergantian

pengurus Indische Vereeniging. Ketua lama dr. Soetomo diganti oleh

Hermen Kartawisastra. Momentum suksesi kala itu punya arti

penting bagi mereka di masa mendatang, sebab ketika itulah mereka

memutuskan untuk mengganti nama Indische Vereeniging menjadi

Indonesische Vereeniging dan kelanjutannya mengganti nama

Nederland Indie menjadi Indonesia. Sebuah pilihan nama bangsa

yang sarat bermuatan politik. Dalam forum itu pula, salah seorang

anggota Indonesische Vereeniging mengatakan bahwa dari sekarang

kita mulai membangun Indonesia dan meniadakan Hindia atau

Nederland Indie.

Hatta lulus dalam ujian handels economie (ekonomi

perdagangan) pada tahun 1923. Semula dia bermaksud menempuh

ujian doctoral di bidang ilmu ekonomi pada akhir tahun 1925.

Karena itu pada tahun 1924 dia non-aktif dalam PI. Tetapi waktu itu

dibuka jurusan baru, yaitu hukum negara dan hukum administratif.

8

Page 9: Esai Bung Hatta

Hatta pun memasuki jurusan itu terdorong oleh minatnya yang besar

di bidang politik.

Perpanjangan rencana studinya itu memungkinkan Hatta terpilih

menjadi Ketua PI pada tanggal 17 Januari 1926. Pada kesempatan

itu, ia mengucapkan pidato inaugurasi yang berjudul "Economische

Wereldbouw en Machtstegenstellingen"--Struktur Ekonomi Dunia

dan Pertentangan kekuasaan. Dia mencoba menganalisis struktur

ekonomi dunia dan berdasarkan itu, menunjuk landasan

kebijaksanaan non-kooperatif.

Sejak tahun 1926 sampai 1930, berturut-turut Hatta dipilih

menjadi Ketua PI. Di bawah kepemimpinannya, PI berkembang dari

perkumpulan mahasiswa biasa menjadi organisasi politik yang

mempengaruhi jalannya politik rakyat di Indonesia. Sehingga

akhirnya diakui oleh Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan

Indonesia (PPPI), PI sebagai pos depan dari pergerakan nasional

yang berada di Eropa.

PI melakukan propaganda aktif di luar negeri Belanda. Hampir

setiap kongres intemasional di Eropa dimasukinya, dan menerima

perkumpulan ini. Selama itu, hampir selalu Hatta sendiri yang

memimpin delegasi.

Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama

"Indonesia", Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi

Intemasional untuk Perdamaian di Bierville, Prancis. Tanpa banyak

oposisi, "Indonesia" secara resmi diakui oleh kongres. Nama

"Indonesia" untuk menyebutkan wilayah Hindia Belanda ketika itu

telah benar-benar dikenal kalangan organisasi-organisasi

internasional.

Hatta dan pergerakan nasional Indonesia mendapat pengalaman

penting di Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial,

9

Page 10: Esai Bung Hatta

suatu kongres internasional yang diadakan di Brussels tanggal 10-15

Februari 1927. Di kongres ini Hatta berkenalan dengan pemimpin-

pemimpin pergerakan buruh seperti G. Ledebour dan Edo Fimmen,

serta tokoh-tokoh yang kemudian menjadi negarawan-negarawan di

Asia dan Afrika seperti Jawaharlal Nehru (India), Hafiz Ramadhan

Bey (Mesir), dan Senghor (Afrika). Persahabatan pribadinya dengan

Nehru mulai dirintis sejak saat itu.

Pada tahun 1927 itu pula, Hatta dan Nehru diundang untuk

memberikan ceramah bagi "Liga Wanita Internasional untuk

Perdamaian dan Kebebasan" di Gland, Swiss. Judul ceramah Hatta L

'Indonesie et son Probleme de I' Independence (Indonesia dan

Persoalan Kemerdekaan).

Aktivitasnya dalam organisasi ini menyebabkan Hatta ditangkap

pemerintah Belanda, bersama dengan Nazir St. Pamontjak, Ali

Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojoadiningrat, Hatta dipenjara

selama lima setengah bulan. Pada tanggal 22 Maret 1928, mahkamah

pengadilan di Den Haag membebaskan keempatnya dari segala

tuduhan. Dalam sidang yang bersejarah itu, Hatta mengemukakan

pidato pembelaan yang mengagumkan, yang kemudian diterbitkan

sebagai brosur dengan nama "Indonesia Vrij" (Indonesia Free), dan

kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai buku

dengan judul Indonesia Merdeka.

Antara tahun 1930-1931, Hatta memusatkan diri kepada

studinya serta penulisan karangan untuk majalah Daulat Ra‘jat dan

kadang-kadang De Socialist. Ia merencanakan untuk mengakhiri

studinya pada pertengahan tahun 1932.

2.3.3 Kembali ke Tanah Air

Pada bulan Juli 1932, Hatta berhasil menyelesaikan studinya di

Negeri Belanda dan sebulan kemudian ia tiba di Jakarta. Antara akhir

10

Page 11: Esai Bung Hatta

tahun 1932 dan 1933, kesibukan utama Hatta adalah menulis

berbagai artikel politik dan ekonomi untuk Daulat Ra’jat. `

Keterlibatan Bung Hatta dalam organisasi dan partai poltik

bukan hanya di luar negeri tapi sekembalinya dari Belanda beliau

juga aktif di PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan

Soekarno tahun 1927. Dalam organisasi PNI, Bung Hatta menitik

beratkan kegiatannya dibidang pendidikan. Beliau melihat bahwa

melalui pendidikanlah rakyat akan mampu mencapai kemerdekaan.

Karena PNI dinilai sebagai partai yang radikal dan membahayakan

bagi kedudukan Belanda, maka banyak tekanan dan upaya untuk

mengurangi pengaruhnya pada rakyat. Hal ini dilihat dari

propaganda dan profokasi PNI tehadap penduduk untuk mengusakan

kemerdekaan. Hingga akhirnya Bunga Karno di tangkap dan demi

keamanan organisasi ini membubarkan diri. Tak lama setetah PNI

(Partai Nasional Indonesia) bubar, berdirilah organisasi pengganti

yang dinamanakan Partindo (Partai Indonesia). Mereka memiliki

sifat organisasi yang radikal dan nyata-nyata menentang Belanda.

Hal ini tak di senangi oleh Bung Hatta. Karena tak sependapat

dengan Partindo beliau mendirikan PNI Pendidikan (Partai Nasional

Indonesia Pendidikan) atau disebut juga PNI Baru. Organisasi ini

didirikan di Yogyakarta bulan Agustus 1932, dan Bung Hatta

diangkat sebagai pemimpin. Organisasi ini memperhatikan “

kemajuan pendidikan bagi rakyat Indonesia, menyiapkan dan

menganjurkan rakyat dalam bidang kebathinan dan

mengorganisasikannya sehingga bisa dijadakan suatu aksi rakyat

dengan landasan demokrasi untuk kemerdekaan “. Organisasi ini

berkembang dengan pesat, bayangkan pada kongres I di Bandung

1932 anggotanya baru 2000 orang dan setahun kemudian telah

memiliki 65 cabang di Indonesia. Organisasi ini mendapat pengikut

dari penduduk desa yang ingin mendapat dan mengenyam

pendidikan. Di PNI Pendidikan Bung Hatta bekerjasama dengan

11

Page 12: Esai Bung Hatta

Syahrir yang merupakan teman akrabnya sejak di Belanda. Hal ini

makin memajukan organisasi ini di dunia pendidikan Indonesia

waktu itu. Kemajuan, kegiatan dan aksi dari PNI Pendidikan dilihat

Belanda sebagai ancaman baru tehadap kedudukan mereka sebagai

penjajah di Indonesia dan mereka pun mengeluarkan beberapa

ketetapan ditahun 1933 diantaranya: a. Polisi diperintahkan bertindak

keras terhadap rapat-rapat PNI Pendidikan. b. 27 Juni 1933, pegawai

negeri dilarang menjadi anggota PNI Pendidikan. c. 1 Agustus 1933,

diadakan pelarangan rapat-rapat PNI Pendidikan di seluruh

Indonesia. Akhirnya ditahun 1934 Partai Nasional Indonesia

Pendidikan dinyatakan Pemerintahan Kolonial Belanda di bubarkan

dan dilarang keras bersama beberapa organisasi lain yang dianggap

membahayakan seperti : Partindo dan PSII. Ide-ide PNI Pendidikan

yang dituangkan dalam surat kabar ikut di hancurkan dan surat kabar

yang menerbitkan ikut di bredel. Namun secara keorganisasian,

Hatta sebagai pemimpin tak mau menyatakan organisasinya telah

bubar. Ia tetap aktif dan berjuang untuk kemajuan pendidikan

Indonesia. Soekarno yang aktif di Partindo dibuang ke Flores diikuti

dengan pengasingan Hatta dan Syahrir. Reaksi Hatta yang keras

terhadap sikap Soekarno, sehubungan dengan penahanannya oleh

Pemerintah Kolonial Belanda, yang berakhir dengan pembuangan

Soekarno ke Ende, Flores, terlihat pada tulisan-tulisannya di Daulat

Ra’jat, yang berjudul "Soekarno Ditahan" (10 Agustus 1933),

"Tragedi Soekarno" (30 Nopember 1933), dan "Sikap Pemimpin"

(10 Desember 1933).

Pada bulan Pebruari 1934, setelah Soekarno dibuang ke Ende,

Pemerintah Kolonial Belanda mengalihkan perhatiannya kepada

Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pimpinan Partai

Pendidikan Nasional Indonesia ditahan dan kemudian dibuang ke

Boven Digoel (Papua). Seluruhnya berjumlah tujuh orang. Dari

kantor Jakarta adalah Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Bondan. 12

Page 13: Esai Bung Hatta

Dari kantor Bandung: Maskun Sumadiredja, Burhanuddin, Soeka,

dan Murwoto. Sebelum ke Digoel, mereka dipenjara selama hampir

setahun di penjara Glodok dan Cipinang, Jakarta. Di penjara Glodok,

Hatta menulis buku berjudul “Krisis Ekonomi dan Kapitalisme”. Hal

ini dilakukan oleh Belanda dengan harapan terciptanya ketenangan

di daerah jajahan.

Walau para pemimpin di asingkan namun para pengikut mereka

tetap konsisten melanjutkan perjuangan partai. PNI Pendidikan tetap

memberikan kursus-kursus, pelatihan-pelatuhan baik melalui tulisan

maupun dengan kunjungan kerumah-rumah penduduk.

2.3.4 Masa Pembuangan

Pada bulan Januari 1935, Hatta dan kawan-kawannya tiba di

Tanah Merah, Boven Digoel (Papua). Kepala pemerintahan di sana,

Kapten van Langen, menawarkan dua pilihan: bekerja untuk

pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan

nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau menjadi buangan

dengan menerima bahan makanan in natural, dengan tiada harapan

akan dipulangkan ke daerah asal. Hatta menjawab, bila dia mau

bekerja untuk pemerintah kolonial waktu dia masih di Jakarta, pasti

telah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlulah

dia ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari.

Dalam pembuangan, Hatta secara teratur menulis artikel-artikel

untuk surat kabar Pemandangan. Honorariumnya cukup untuk biaya

hidup di Tanah Merah dan dia dapat pula membantu kawan-

kawannya. Rumahnya di Digoel dipenuhi oleh buku-bukunya yang

khusus dibawa dari Jakarta sebanyak 16 peti. Dengan demikian,

Hatta mempunyai cukup banyak bahan untuk memberikan pelajaran

kepada kawan-kawannya di pembuangan mengenai ilmu ekonomi,

sejarah, dan filsafat. Kumpulan bahan-bahan pelajaran itu di

kemudian hari dibukukan dengan judul-judul antara lain, "Pengantar 13

Page 14: Esai Bung Hatta

ke Jalan llmu dan Pengetahuan" dan "Alam Pikiran Yunani." (empat

jilid).

Pada bulan Desember 1935, Kapten Wiarda, pengganti van

Langen, memberitahukan bahwa tempat pembuangan Hatta dan

Sjahrir dipindah ke Bandaneira. Pada Januari 1936 keduanya

berangkat ke Bandaneira. Mereka bertemu Dr. Tjipto

Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri. Di Bandaneira, Hatta

dan Sjahrir dapat bergaul bebas dengan penduduk setempat dan

memberi pelajaran kepada anak-anak setempat dalam bidang sejarah,

tatabuku, politik, dan lain-Iain.

2.3.5 Kembali Ke Jawa: Masa Pendudukan Jepang

Pada tanggal 3 Pebruari 1942, Hatta dan Sjahrir dibawa ke

Sukabumi. Pada tanggal 9 Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda

menyerah kepada Jepang, dan pada tanggal 22 Maret 1942 Hatta dan

Sjahrir dibawa ke Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang, Hatta diminta untuk bekerja

sama sebagai penasehat. Hatta mengatakan tentang cita-cita bangsa

Indonesia untuk merdeka, dan dia bertanya, apakah Jepang akan

menjajah Indonesia? Kepala pemerintahan harian sementara, Mayor

Jenderal Harada. menjawab bahwa Jepang tidak akan menjajah.

Namun Hatta mengetahui, bahwa Kemerdekaan Indonesia dalam

pemahaman Jepang berbeda dengan pengertiannya sendiri.

Pengakuan Indonesia Merdeka oleh Jepang perlu bagi Hatta sebagai

senjata terhadap Sekutu kelak. Bila Jepang yang fasis itu mau

mengakui, apakah sekutu yang demokratis tidak akan mau? Karena

itulah maka Jepang selalu didesaknya untuk memberi pengakuan

tersebut, yang baru diperoleh pada bulan September 1944.

Selama masa pendudukan Jepang, Hatta tidak banyak bicara.

Namun pidato yang diucapkan di Lapangan Ikada (sekarang

14

Page 15: Esai Bung Hatta

Lapangan Merdeka) pada tanggaI 8 Desember 1942 menggemparkan

banyak kalangan. Ia mengatakan, “Indonesia terlepas dari penjajahan

imperialisme Belanda. Dan oleh karena itu ia tak ingin menjadi

jajahan kembali. Tua dan muda merasakan ini setajam-tajamnya.

Bagi pemuda Indonesia, ia Iebih suka melihat Indonesia tenggelam

ke dalam lautan daripada mempunyainya sebagai jajahan orang

kembali."

2.3.6 Proklamasi

Pada awal Agustus 1945, Panitia Penyidik Usaha-Usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia diganti dengan Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia, dengan Soekamo sebagai Ketua dan

Mohammad Hatta sebagai Wakil Ketua. Anggotanya terdiri dari

wakil-wakil daerah di seluruh Indonesia, sembilan dari Pulau Jawa

dan dua belas orang dari luar Pulau Jawa.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 malam, Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia mempersiapkan proklamasi dalam rapat di

rumah Admiral Maeda (JI Imam Bonjol, sekarang), yang berakhir

pada pukul 03.00 pagi keesokan harinya. Panitia kecil yang terdiri

dari 5 orang, yaitu Soekamo, Hatta, Soebardjo, Soekarni, dan Sayuti

Malik memisahkan diri ke suatu ruangan untuk menyusun teks

proklamasi kemerdekaan. Soekarno meminta Hatta menyusun teks

proklamasi yang ringkas. Hatta menyarankan agar Soekarno yang

menuliskan kata-kata yang didiktekannya. Setelah pekerjaan itu

selesai. mereka membawanya ke ruang tengah, tempat para anggota

lainnya menanti.

Soekarni mengusulkan agar naskah proklamasi tersebut

ditandatangi oleh dua orang saja, Soekarno dan Mohammad Hatta.

Semua yang hadir menyambut dengan bertepuk tangan riuh.

Tangal 17 Agustus 1945, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan

15

Page 16: Esai Bung Hatta

oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia,

tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan Pengangsaan Timur 56 Jakarta.

Tanggal 18 Agustus 1945, Ir Soekarno diangkat sebagai

Presiden Republik Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat

menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia. Soekardjo Wijopranoto

mengemukakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden harus

merupakan satu dwitunggal.

Periode Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya dari usaha

Pemerintah Belanda yang ingin menjajah kembali. Pemerintah

Republik Indonesia pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dua kali

perundingan dengan Belanda menghasilkan Perjanjian Linggarjati

dan Perjanjian Reville, tetapi selalu berakhir dengan kegagalan

akibat kecurangan pihak Belanda.

Untuk mencari dukungan luar negeri, pada Juli I947, Bung

Hatta pergi ke India menemui Jawaharlal Nehru dan Mahatma

Gandhi. dengan menyamar sebagai kopilot bernama Abdullah (Pilot

pesawat adalah Biju Patnaik yang kemudian menjadi Menteri Baja

India di masa Pemerintah Perdana Menteri Morarji Desai). Nehru

berjanji, India dapat membantu Indonesia dengan protes dan resolusi

kepada PBB agar Belanda dihukum.

Kesukaran dan ancaman yang dihadapi silih berganti.

September 1948 PKI melakukan pemberontakan. 19 Desember 1948,

Belanda kembali melancarkan agresi kedua. Presiden dan Wapres

ditawan dan diasingkan ke Bangka. Namun perjuangan Rakyat

Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan terus berkobar di

mana-mana. Panglima Besar Soediman melanjutkan memimpin

perjuangan bersenjata.

16

Page 17: Esai Bung Hatta

Pada tanggal 27 Desember 1949 di Den Haag, Bung Hatta yang

mengetuai Delegasi Indonesia dalam Konperensi Meja Bundar untuk

menerima pengakuan kedaulatan Indonesia dari Ratu Juliana.

Bung Hatta juga menjadi Perdana Menteri waktu Negara

Republik Indonesia Serikat berdiri. Selanjutnya setelah RIS menjadi

Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bung Hatta kembali menjadi

Wakil Presiden.

2.3.7 Periode Tahun 1950-1956

Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif

memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga pendidikan

tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai karangan dan buku-buku

ilmiah di bidang ekonomi dan koperasi. Dia juga aktif membimbing

gerakan koperasi untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi

ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta mengucapkan pidato

radio untuk menyambut Hari Koperasi di Indonesia. Karena besamya

aktivitas Bung Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17

Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia pada

Kongres Koperasi Indonesia di Bandung. Pikiran-pikiran Bung Hatta

mengenai koperasi antara lain dituangkan dalam bukunya yang

berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (1971).

Pada tahun 1955, Bung Hatta mengumumkan bahwa apabila

parlemen dan konsituante pilihan rakyat sudah terbentuk, ia akan

mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Niatnya untuk

mengundurkan diri itu diberitahukannya melalui sepucuk surat

kepada ketua Perlemen, Mr. Sartono. Tembusan surat dikirimkan

kepada Presiden Soekarno. Setelah Konstituante dibuka secara resmi

oleh Presiden, Wakil Presiden Hatta mengemukakan kepada Ketua

Parlemen bahwa pada tanggal l Desember 1956 ia akan meletakkan

jabatannya sebagai Wakil Presiden RI. Presiden Soekarno berusaha

mencegahnya, tetapi Bung Hatta tetap pada pendiriannya.17

Page 18: Esai Bung Hatta

Alasan Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan Wakil

Presiden RI pada 1 Desember 1956 adalah karena ia merasa tidak

cocok lagi Bung Karno yang menjadi presiden. Ia menganggap Bung

Karno sudah mulai meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin

segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia tidak bisa menerima

perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilh sistem

demokrasi yang mensyaratkan persamaan hak dan kewajiban bagi

semua warga negara dan dihormatinya supremasi hukum. 

Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu dengan alasan

rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi dengan benar.

Jelas, bagi Bung Hatta ini adalah sebuah contradictio in terminis. Di

satu sisi ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk

di atas demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap

Bung Karno, sahabatnya sejak masa perjuangan kemerdekaan, telah

dilakukan. Tetapi, Bung Karno todak berubah sikap. Hatta pun tidak

menyesuaikan sikap dengan Bung Karno. Karena merasa tidak

mungkin lagi menjalin kerja sama, akhirnya Bung Hatta memilih

mengundurkan diri dan memberi kesempatan kepada Bung Karno

untuk membuktikan konsepsinya. Publik kemudian tahu, konsepsi

Bung Karno ternyata mampu dimanfaatkan dengan baik oleh PKI

dan Bung Karno jatuh dari kursi presiden secara menyakitkan. 

Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh gelar

kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa dalam ilmu

hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta. Pada kesempatan

itu, Bung Hatta mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul

“Lampau dan Datang”.

Sesudah Bung Hatta meletakkan jabatannya sebagai Wakil

Presiden RI, beberapa gelar akademis juga diperolehnya dari

berbagai perguruan tinggi. Universitas Padjadjaran di Bandung

mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik

18

Page 19: Esai Bung Hatta

perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang

memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi.

Universitas Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di

bidang ilmu hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul

“Menuju Negara Hukum”.

Pada tahun 1960 Bung Hatta menulis "Demokrasi Kita" dalam

majalah Pandji Masyarakat. Sebuah tulisan yang terkenal karena

menonjolkan pandangan dan pikiran Bung Hatta mengenai

perkembangan demokrasi di Indonesia waktu itu.

Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Bung Hatta lebih merupakan

negarawan sesepuh bagi bangsanya daripada seorang politikus.

Pada tanggal 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto

menyampaikan kepada Bung Hatta anugerah negara berupa Tanda

Kehormatan tertinggi "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada

suatu upacara kenegaraan di Istana Negara. 

2.4 Riwayat Akhir Kehidupan

Bung Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Dr

Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77 tahun dan dikebumikan di

Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir pada tanggal 15 Maret 1980 di

kota Jakarta. Hatta memiliki gelar pahlawan yaitu , Proklamator

Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia. Beliau

bersama Bung Karno telah berani membubuhkan tanda tangannya pada

naskah proklamasi yang mengantarkan kita menjadi bangsa merdeka dan

berdaulat, sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia.

2.5 Pesan yang dapat diambil

Sebagai tulisan mengenai sejarah ketokohan Muhammad Hatta di

organisasi dan partai politik yang pernah beliau geluti di sertai riwayat

kehidupan dan latar belakang pendidikannya, kita haruslah dapat mengambil

pelajaran dari hal ini. Karena sejarah tak berarti apa-apa bila kita tak mampu

19

Page 20: Esai Bung Hatta

mengambil manfaat dan nilai-nilai positif didalamnya. Dari kehidupan Hatta

kita bisa melihat bahwa : Munculnya seorang tokoh penting dan memiliki

jiwa patriot yang tangguh dan memikirkan kehidupan orang banyak serta

memajukan bangsa dan negara “bukan hanya muncul dalam satu malam”

atau bukanlah tokoh kambuhan yang muncul begitu saja, dan bukanlah

sosok yang mengambil kesempatan untuk tampil sebagai pahlawan dan

sosok pemerhati masyarakat. Tapi tokoh yang dapat kita jadikan contoh dan

panutan dalam organisasi, partai, dan kehidupan berbangsa dan bernegara

yang sesunguhnya adalah seorang sosok yang lahir dan tumbuh dalam

lingkungan masyarakat, ia terlatih untuk mampu memahami keinginan dan

cita-cita masyarakat, serta bertindak dengan menggunakan ilmu dan iman.

Seiring dengan meruaknya wacana demokrasi, terutama di era reformasi kita

bisa melihat bahwa di Indonesia berkembang berbagai partai baru yang

jumlahnya telah puluhan. Dalam kenyataannya memunculkan nama-nama

baru sebagai tokoh, elit partai, elit politik yang berpengaruh di berbagai

partai tersebut. Ada juga tokoh politik yang merupakan wajah-wajah lama

yang konsisten di partainya atau beralih membentuk partai baru. Apakah

mereka sudah pantas dikatakan sebagai tokoh, elite politik / elite partai?.

Sebagai salah satu sosok tokoh ideal, dengan mencontoh ketokohan Bung

Hatta (yang bukan hanya berjiwa kepemimpinan tetapi juga seorang

pemimpin yang sangat sederhana dan mengedepankan pendidikan) kita

harus mampu melihat berapa persen diantara tokoh-tokoh, orang-orang

penting, elite politik / elite partai di Indonesia sekarang yang telah

memperhatikan kehidupan masyarakat, berapa persen diantara mereka yang

sudah melakukan usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat Indonesia

baik di bidang ekonomi, pendidikan, politik dan lain-lain. Dalam

kenyataannya, kebanyakan kita melihat tokoh politik, elite politik dan tokoh-

tokoh partai di Indonesia dewasa ini kurang memperhatikan kehidupan dan

kemajuan masyarakat. Mereka hanya mengambil simpati masyarakat disaat-

saat mereka membutuhkan suara dan partisipasi penduduk, seperti saat-saat

akan diadakannnya pemilihan umum (nasional), saat diadakannya pemilihan

20

Page 21: Esai Bung Hatta

kepala daerah (Pilkada), setelah kegiatan itu berlangsung mereka mulai

meninggalkan dan melupakan masyarakat. Namun ada beberapa partai dan

tokoh yang sering terlihat dalam berbagai kegiatan social dan

memperhatikan masyarakat. Apakah kita masih menganggap bahwa seorang

penjahat, pemaling (koruptor) yang lolos dari sergapan hukum sebagai tokoh

panutan kita di organisasi, partai politik, pemerintahan, atau kehidupan

sehari-hari?. Jadi pantaslah kita belajar dari ketokohan Muhammad Hatta

dalam kehidupan yang selalu bertindak demi kesejahteraan dan kemajuan

rakyat Indonesia.

21

Page 22: Esai Bung Hatta

BAB III

KESIMPULAN

Mohammad Hatta yang mempunyai nama lengkap Dr.(H.C.).Drs. H.

Mohammad Hatta dan di kenal dengan nama Bung Hatta, lahir di Bukittinggi,

Sumatera Barat, pada tanggal 12 Agustus 1902, dan di beri nama Muhammad

Athar oleh orang tuanya ketika dilahirkan. Bung Hatta adalah nama salah seorang

dari beribu pahlawan yang pernah memperjuangkan kemerdekaan dan kemajuan

Indonesia. Sosok Bung Hatta telah menjadi begitu dekat dengan hati rakyat

Indonesia karena perjuangan dan sifatnya yang begitu merakyat. Besarnya peran

beliau dalam perjuangan negeri ini sehingga beliau disebut sebagai salah seorang

“The Founding Father’s of Indonesia”. Berbagai tulisan dan kisah perjuangan

Muhammad Hatta telah ditulis dan dibukukan, mulai dari masa kecil, remaja,

dewasa dan perjuangan beliau untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia.

Sepanjang hidupnya, Bung Hatta senantiasa berperilaku menampilkan

sikap yang santun terhadap siapa pun. Baik kawan maupun lawan. Bung Hatta

bukan hanya saja terkenal kejujurannya tetapi ia juga uncorruptable. Kejujuran

hatinya membuat dia tidak rela untuk melakukan tindak korupsi. Selain itu Bung

Hatta sangat sederhana sekali dalam kehidupannya dan selalu menjaga nama baik

bangsa dan negaranya.

Dr. Mohammad Hatta merupakan pejuang, negarawan, dan juga Wakil

Presiden Indonesia yang pertama, Perdana Menteri Indonesia ke-3, serta Menteri

Luar Negeri pada masa pemerintahan Soekarno. Hatta menempuh pendidikannya

mulai dari kota Padang hingga Belanda. Di masa-masa ia menempuh pendidikan

itulah, kesadarannya politiknya makin berkembang. Keterlibatan Bung Hatta

dalam organisasi dan partai politik bukan hanya di luar negeri tetapi juga di dalam

negeri. Usai studi dari Belanda dan kembali ke Jakarta, beliau turut aktif dalam

PNI. PNI yang pada saat itu dibubarkan oleh Belanda, kemudian di dirikan

kembali oleh PNI Pendidikan. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta bulan

Agustus 1932, dan Bung Hatta diangkat sebagai pemimpin. Organisasi ini

22

Page 23: Esai Bung Hatta

memperhatikan “kemajuan pendidikan bagi rakyat Indonesia, menyiapkan dan

menganjurkan rakyat dalam bidang kebathinan dan mengorganisasikannya

sehingga bisa dijadikan suatu aksi rakyat dengan landasan demokrasi untuk

kemerdekaan”.

Pada tanggal 18 Agustus 1945 usai memproklamasikan kemerdekaan

bersama Bung Karno, Bung Hatta di angkat menjadi Wakil Presiden Republik

Indonesia. Selama jadi Wapres beliau tetap aktif memberikan ceramah di lembaga

pendidikan tinggi, menulis buku dan karangan ilmiah di bidang ekonomi dan

koperasi, aktif membimbing gerakan koperasi. Tahun 1956, Bung Hatta

meletakkan jabatannya sebagai Wapres RI karena berselisih dengan Presiden

Soekarno.

Mohammad Hatta tidak hanya memperoleh gelar dalam bidang politik saja

tetapi ia juga memperoleh gelar dalam bidang akademis, antara lain Doctor

Honoris Causa dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di Yoyakarta,

Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung Hatta sebagai guru besar

dalam ilmu politik perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang

memberikan gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang Ekonomi. Universitas

Indonesia memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu hukum. Pidato

pengukuhan Bung Hatta berjudul “Menuju Negara Hukum”.

Dari kisah sejarah ketokohan Mohammad Hatta ini kita haruslah mengambil

manfaat dan nilai-nilai positif di dalamnya. Munculnya seorang tokoh penting dan

memiliki jiwa patriot yang tangguh dan memikirkan kehidupan orang banyak

serta memajukan bangsa dan negara “bukan hanya muncul dalam satu malam”

atau bukanlah tokoh kambuhan yang muncul begitu saja, dan bukanlah sosok

yang mengambil kesempatan untuk tampil sebagai pahlawan dan sosok pemerhati

masyarakat. Tapi tokoh yang dapat kita jadikan contoh dan panutan dalam

organisasi, partai, dan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesunguhnya

adalah seorang sosok yang lahir dan tumbuh dalam lingkungan masyarakat, ia

terlatih untuk mampu memahami keinginan dan cita-cita masyarakat, serta

bertindak dengan menggunakan ilmu dan iman.23

Page 24: Esai Bung Hatta

24