EPISTEMOLOGI

24

Click here to load reader

description

xv c

Transcript of EPISTEMOLOGI

Page 1: EPISTEMOLOGI

1

BAB 8 EPISTEMOLOGI

MAKNA DAN KEBENARAN

Pentingnya Makna

Setiap pernyataan atau pertanyaan mengandung makna. Pernyataan atau

pertanyaan seperti kesedihan, kenikmatan, atau kemarahan. Sebuah pertanyaan,

misalnya “Apakah demokrasi itu tersebut diwartakan atau didefinisikan.

Misalnya, seorang mengucapkan “Akh”. Pernyataan ini dapat bermakna?”, dapat

dinyatakan dalam beragam makna dengan berbagai defenisi yang berbeda.

Makna suatu pernyataan atau pertanyaan hanya dapat dipahami oleh

seorang bila ia dapat menjelaskan dan menetapkan makna yang selalu berlaku

tetap dan sama (tidak berubah-ubah). Misalnya, adakah bunyi jika sebuah pohon

tumbang di hutan kendati tak seorang pun yang mendengarnya? Makna

pertanyaan ini bisa “ya” atau “tidak”. Jawabannya “ya” jika “bunyi” yang

dimaksud adalah sesuatu yang terdengar oleh seseorang. Jawabannya “tidak” jika

“bunyi” yang dimaksud adalah pengertian “bunyi” sebagai struktur getaran

gelombang menurut fisikawan.

Jika seorang memahami makna sebuah pernyataan atau pertanyaan, maka

kemungkinan ada gambaran dalam pikirannya dalam menetapkan makna dari

sebuah pernyataan atau pertanyaan. Jadi, ada korelasi erat antara pernyataan atau

pertanyaan dengan verifikasi (pembenaran) terhadap pernyataan atau pertanyaan

tersebut.

Pemakaian dan Penyebutan. Makna suatu kata biasanya dibubuhi simbol,

misalnya tanda petik. Perhatikan contoh 1 berikut:

a. “Onta” mempunyai 4 huruf

b. Onta mempunyai 4 kaki

Kalimat 1(a) menunjuk pada penyebutan kata “onta”, bukan binatangnya.

Sedangkan kalimat 1(b) menunjuk pada binatangnya, bukan kata “onta”.

Perhatikan contoh 2 berikut:

a. Onta mempunyai 4 huruf

b. “Onta” mempunyai 4 kaki

Page 2: EPISTEMOLOGI

2

Pernyataan 2(a) dan 2(b) keliru, sehingga tidak mengandung makna.

Jadi, ada perbedaan jelas antara pemakaian dan penyebutan sebuah kata. Jika

seorang memakai sebuah kata, maka ia menunjuk pada makna kata tersebut.

Sedangkan jika ia menyebutkan kata tersebut, maka ia menunjuk pada kata itu

sebagai alat untuk memahami makna.

Hal ini juga berlaku pada contoh 3 berikut:

a. Sayang, jangan bersedih

b. “Sayang, jangan bersedih” (Judul Lagu)

Perhatikan contoh 4 berikut:

a. “cold” (dingin) : bahasa Inggris

b. “kalt” (dingin) : bahasa Jerman

Kendati penyebutan kata “cold” dan “kalt” berbeda, keduanya semakna.

Simbol-simbol (kata-kata) yang digunakan berbeda, namun bermakna sama.

Situasi-Tanda. Tanda adalah alat untuk memahami makna. Contoh-contoh yang

tergolong tanda antara lain: kata, bunyi, bendera, kode morse, dan sebagainya.

Semuanya digunakan untuk memperoleh makna.

Ada 2 jenis tanda: tanda rasional (misalnya, awan gelap yang menandakan

hujan) dan tanda buatan (misalnya, bendera yang menandakan identitas

kebangsaan). Tanda buatan disebut pula simbol. Jadi, penggunaan istilah “tanda”

meliputi tanda maupun simbol. Karena itu, pada sebuah situasi yang terdapat

tanda yang mengandung makna bagi seorang disebut “situasi-tanda” atau “situasi-

makna”.

Analisa Situasi Tanda. Ada 3 komponen yang terdapat dalam situasi-makna:

a. tanda itu sendiri;

b. penggabungan tanda-tanda;

c. perubahan suatu unsur tanda menjadi unsur tanda lain.

Ketiga komponen di atas menyangkut masalah sintaksis, seperti yang ditampilkan

pada contoh 5 berikut:

a. “Sokrates tidak abadi hidupnya” = “Tidak abadi hidup Sokrates”

b. “a (b + c)” = “ab + ac”

Page 3: EPISTEMOLOGI

3

Perhatikan pula contoh 6 berikut:

a. “pembohong” dan “pemutarbalik perkataan”

Contoh 6(a) tidak tergolong situasi-makna, melainkan menyangkut masalah lain

dari situasi-makna, sebab dalam situasi-makna, makna adalah penentu apakah

“pembohong” atau “pemutarbalik perkataan” semakna atau tidak. Jadi,

“pembohong” dapat diucapkan pada situasi tertentu (misalnya situasi ketika

seorang menunjukkan kebencian) dan “pemutarbalik perkataan” dapat diucapkan

pada situasi yang berbeda (misalnya, situasi ketika seorang sedang bercanda).

Ditinjau dari segi sintaksis kedua kata sudah betul, tetapi jika ditinjau dari segi

semantik (arti kata) kedua kata tidak semakna, sebab ada pengertian sampingan

antara penutur kata tersebut dengan kata itu sendiri.

Perhatikan ulangan contoh 4 berikut :

a. “cold” (dingin) : bahasa Inggris

b. “kalt” (dingin) : bahasa Jerman

Pernyataan 4(a) dan 4(b) ditinjau dari segi sintaksis berbeda, namun ditilik dari

segi semantik keduanya semakna.

Makna.

Dalam situasi-tanda, ada salah satu atau dua atau semua dari 3 tipe utama makna

berikut: a. makna pragmatis (menurut kegunaannya); b. makna semantik

(menurut arti kata) dan; c. makna sintaksis (menurut kata atau kalimat).

Perhatikan contoh 8 berikut:

a. “force” (tenaga) : fisika

b. “force” (angkatan) pada kalimat “police force” (angkatan kepolisian)

Pernyataan 8(a) dan 8(b) ditinjau dari segi sintaksis keduanya sama, tetapi ditinjau

dari segi pragmatis dan semantik, keduanya berbeda.

Perhatikan contoh 9 berikut:

a. “polisi”

Pernyataan 9(a) mempunyai makna semantik yang didefinisikan undang-undang,

yaitu memelihara hukum dan ketertiban . Namun mengandung makna pragmatis

yang berbeda menurut seorang buruh yang mogok kerja dengan majikan, jadi

tanda-tanda tidak dipersoalkan dalam makna pragmatis.

Page 4: EPISTEMOLOGI

4

Ada beragam makna pragmatis. Ada yang berciri kejiwaan (misalnya,

gembira atau sedih), kebiasaan atau tata karma, dan lain sebagainya.

Definisi. Ungkapan dari makna sebuah kata disebut “definisi”. Alat yang dipilih

dalam mengungkapkan makna sebuah kata bersifat pilihan (mana-suka), kecuali

atas dasar kepuasan dan kehematan. Misalnya, kata “co” (alat) diberi makna

“contemporary” (dewasa ini). Sekali sebuah alat dipilih untuk diberi makna

tertentu pada sebuah obyek atau pengertian khusus, maka ungkapan yang dipilih

adalah definisi riil istilah tersebut, tergantung pada makna yang diberikan.

Definisi Nominal sebagai Tanda Pengenal. Jika suatu alat dipilih dan ditunjuk

bagi sesuatu, maka terbentuk definisi nominal (tanda pengenal nama diri).

Misalnya, “Harry S. Truman adalah Presiden Amerika Serikat”, adalah definisi

nominal dari Harry S. Truman. Semua definisi mengenai nama diri tergolong

definisi nominal (denotatif) sebagai nama diri belaka, yakni tanda pengenal

seseorang, tetapi tidak menyangkut tentang ciri-ciri spesifik orang tersebut.

Ada yang berpendapat bahwa semua definisi bersifat pemberian nama, jadi

bersifat nominal. Namun jangan lantas mencapuradukkan pemahaman antara alat

dalam memahami makna dengan makna yang dikandungnya. Misalnya kata

“kuda” atau “cheval” (bahasa Prancis). Yang dimaksud “kuda” dalam arti apakah

kuda itu, tergantung kudanya, bukan pemilihan bunyi (kata-kata).

Definisi Riil Menyimpulkan Ciri-Ciri Spesifik. Definisi nominal hanya

menunjukkan dan berfungsi sebagai tanda pengenal yang dilekatkan pada sesuatu

yang menggunakan tanda pengenal itu untuk menunjukkan sesuatu tersebut.

Sebaliknya, definisi riil menyimpulkan hakekat sesuatu yang didefinisikan yang

disebut makna konotatif, yakni ciri-ciri spesifik sesuatu.

Mazhab-Mazhab Pemikiran tentang Makna

-(a) Perkataan

Makna Denotatif Dapat Diketahui melalui Asosiasi. Cara untuk mengetahui

makna semantic (arti) kata-kata berhubungan dengan makna konotatif (ciri-ciri

Page 5: EPISTEMOLOGI

5

spesipik sesuatu), sebab makna denotatif hanya menyangkut asosiasi kejiwaan.

Misalnya, seseorang mendengar bunyi yang diasosiasikan dengan sesuatu tertentu

dan apapun kemampuan kejiwaan yang bersangkut paut dengannya, secara

berangsur asosiasi tersebut bersifat tetap (tidak berubah-ubah). Misalnya, seorang

mengatakan itu “meja” dan menunjuk obyeknya. Setelah kata “meja” diulang-

ulang, maka orang lain (misalnya, seorang anak) meniru mengucapkan kata

“meja” jika obyeknya diperlihatkan. Namun, masalah kejiwaan menjadi lebih

rumit jika menyangkut definisi kata abstrak, misalnya “warna” atau “segitiga”.

Ada yang mengatakan kedua obyek ini tidak memiliki makna denotatif, hanya

makna konotatif. Namun, ditinjau secara relatif sebenarnya mudah menetapkan

makna nominal. Makna nominal (denotatif) sebuah kata adalah obyek yang

disebutnya, yakni sebuah kata yang dipakai sebagai nama.

Lalu bagaimana mengetahui makna konotatif “meja”? Jawaban atas

pertanyaan ini dapat diketahui dengan mengetahui hakekat (esensi) atau makna

sebuah meja yang sebenarnya. Hakekat “meja” yang sebenarnya dijelaskan pada

uraian mazhab-mazhab pemikiran tentang makna di bawah ini.

Makna sebagai Sesuatu Yang Dipandang Materi. Santayana menyatakan bahwa

hakekat (esensi) atau makna sesuatu (obyek) memiliki eksistensi sendiri yang

hanya dapat dipahami oleh akal dan makna (hahekat) obyek tersebut sudah ada

sebelumnya dalam akal. Tetapi makna obyek itu hanya dapat dipahami oleh

akal dengan syarat jika obyeknya diperlihatkan dalam wujud materi fisik.

Misalnya, makna “meja” sudah ada sebelumnya dalam akal dan hanya dapat

dipahami oleh akal jika wujud fisik meja diperlihatkan. Mazhab pemikiran ini

disebut mazhab realisme, yang pertama kali dirumuskan oleh Plato. Jadi, makna

semantik (konotatif) “meja” terkandung dalam makna meja dan hanya dapat

diketahui oleh akal melalui melalui pengenalan makna hakekat (esensi), tanpa

memandang bagian-bagian yang membentuk meja, seperti bahannya, ukurannya,

bentuknya, atau fungsinya, dan sebagainya. Jadi, makna “meja” bukan ditentukan

oleh kayunya, warnanya, bentuknya, ukurannya atau fungsinya, melainkan karena

esensi (makna) meja sudah ada sebelumnya di dalam akal manusia meskipun

esensi meja tidak pernah sebelumnya tidak diperlihatkan, diperdengarkan,

Page 6: EPISTEMOLOGI

6

dirasakan, dan sebagainya, tetapi memang esensi sesuatu memang sudah ada

sebelumnya dalam akal.

Makna sebagai Operasi. Bridgman, seorang fisikawan menolak mazhab

realisme. Ia menolak bahwa makna sudah ada sebelumnya dalam akal.

Menurutnya, makna sebuah kata hanya dapat dipahami setelah orang

melaksanakan tindakan-tindakan tertentu yang berasoasi dengan makna

bersangkutan. Mazhab ini disebut mazhab operasionisme. Misalnya, makna

“panjang” tidak dapat dipahami kecuali jika orang mengadakan serangkaian

tindakan tertentu, misalnya panjang meja diukur. Jadi, makna “panjang”

dipahami dengan alat meletakkan pengukur yang dilakukan dengan cara tertentu

secara berulang-ulang dari satu ujung ke ujung lain sebuah meja. Mazhab ini

mengatakan bahwa suatu kata tidak dapat didefinisikan jika tanpa tindakan

tergolong sebagai kata yang tidak bermakna.

Namun, ada beberapa kritikan terhadap mazhab operasionisme yakni:

- Ruang abslout (alam semesta) menurut fisikawan Isaac Newton dan atom-

atom misalnya tidak dapat diukur dan diamati secara langsung sebab atom-

atom bergerak sangat cepat.

- Pengukuran dan definisi “kecerdasan” berubah-ubah dan mengalami

perkembangan.

- Operasionisme hanya terbatas pada sejumlah kata yang mengandung

makna, sebab ada beberapa kata yang sulit didefinisikan dengan

mengandalkan serangkaian tindakan tertentu, misalnya melalui

pengukuran.

Makna sebagai Konsekwensi. melaksanakan eksperimen Para filsuf Amerika

seperti Pierce, James dan Dewey menyatakan bahwa makna berdasarkan makna

pragmatisme (konsekwensi dari kegunaan praktis dari sesuatu). Makna

pragmatisme berkait dengan definisi operasional. Mazhab pragmatisme

menyatakan bahwa makna suatu kata terletak pada konsekwensinya. Mazhab ini

menyatakan bahwa tidak ada makna yang mendahului kata “meja” (benda

konkrit), melainkan” makna kata “meja baru ada setelah dibuktikan (diverifikasi)

Page 7: EPISTEMOLOGI

7

dengan menurut standar ilmiah yang konsekwensinya berguna membantu

penyelesaian masalah yang dihadapi seseorang. Pierce mengatakan bahwa kata

“jiwa” (abstrak) jika didefinisikan dengan cara tertentu tidak mengandung makna

sebab definisi tersebut tidak memungkinkan orang mengenal jiwa dalam

pengalaman.

James mengatakan bahwa kata “Tuhan” tidak dapat dilakukan secara

eksperimen, namun kata “Tuhan” mengandung makna jika dihubungkan dengan

kemenangan terakhir nilai-nilai ideal ketika orang memperhitungkan hari depan.

Jadi, hidup manusia dituntun oleh makna yang kita lekatkan pada sesuatu. Dengan

kata lain, James berpendapat bahwa makna sebuah kata ialah konsekwensinya

yang berguna secara praktis bagi kehidupan manusia sehari-hari. Namun Dewey

menolak pendapat ini dengan alasan bahwa sebelum kita dapat mengetahui

konsekwensi praktis sebuah kata bagi hidup kita, kita harus menetapkan terlebih

dahulu maknanya. Namun, apa yang dimaksud James sudah jelas: sebuah kata

hanya bermakna jika makna kata tersebut dapat menuntun tindakan seseorang,

yakni “makna” adalah konsekwensi fungsi praktisnya yang berhubungan dengan

perilaku dan pemecahan masalah kehidupan praktis sehari-hari”. Jika suatu

pernyataan tidak ada pengaruhnya terhadap perilaku, pernyataan tersebut tidak

mengandung makna sejauh menyangkut menyangkut dengan diri manusia”.

Makna sebagai Pengalaman. Locke dan Hume menyatakan bahwa semua

pengetahuan diawali dengan pengalaman. Mazhab ini disebut mazhab

empirisme. Jadi, makna sebuah kata diperoleh melalui pengalaman sehingga

diperoleh makna. Makna “meja” diketahui melalui pengalaman yang

berhubungan dengan “meja” di masa lalu, kini dan mendatang. Namun mazhab

empirisme dikritik sebab mazhab ini tidak dapat menjelaskan bagaimana

pengalaman-pengalaman yang diperoleh memusat pada sebuah obyek tunggal

(misalnya meja). Akal hanya mengelolah konsep pengalaman (Inderawi), hal itu

dilakukan dengan menyusun konsep tersebut atau mebagi-baginya. akal sebagai

tempat penampungan.

Page 8: EPISTEMOLOGI

8

Makna, Pengalaman Yang Dibentuk oleh Akal. Mazhan operasionisme dan

pragmatisme gagal memperhitungkan fungsi akal dalam situasi-makna. Suatu

makna barangkali dalam batas-batas tertentu dipaksakan masuk ke dalam

pengalaman oleh akal. Kesalahan ini dianut oleh mazhab operasionisme dan

pragmatisme serta mazhab realisme.

Immanuel Kant merumuskan paduan antara mazhab operasionisme dan

pragmatisme, yakni gabungan antara pengalaman dan pemahaman. Jadi,

makna adalah hasil pengalaman yang ditangani secara tepat oleh akal, bukan

hasil pengalaman belaka atau pemahaman akal semata-mata.

Mazhab-Mazhab Pemikiran tentang Makna

-(a) Pernyataan

Makna sebuah pernyataan hanya dapat dipahami jika pernyataan tersebut

tidak saling berkotradiksi (bertentangan). Perhatikan contoh kalimat yang

mengandung kontradiksi, “Langit tiada berawan, sementara itu hujan turun

dengan lebatnya”. Pernyataan”hujan turun” dikatakan salah bila sebenarnya hujan

tidak turun, tetapi pernyataan tersebut mengandung kontrakdiksi dalam dirinya

sendiri. Namun tidak mustahil penyataan “hujan turun” tersebut menjadi benar

jika ditunjuk peristiwa terjadi diwaktu dan tempat yang lain. seperti langit

mendung diikuti hujan turun.

Makna sebagai Situasi Keseluruhan. Makna pernyataan terpulang pada makna

kata-kata yang menyusun pernyataan tersebut yang ditunjang oleh hasil kegiatan

akal. Jadi, makna suatu pernyataan sudah tetap, tidak berubah sehingga dapat

dipahami. Misalnya, “Ledakan terjadi bertepatan dengan terjadinya benturan”.

Maka maka pernyataan ini tetap (jika ledakan, benturan, dan waktu, sekali

ditentukan), tidak berubah dan dapat dipahami oleh siapa pun juga. Ini disebut

“mazhab mutlak tentang makna” yang mendefinisikan makna menurut faktor-

faktor kejiwaan yang timbul dalam diri seseorang.

Operasionisme. Mazhab ini menyatakan bahwa suatu pernyataan hanya bermakna

jika pernyataan tersebut menggambarkan pengalaman yang sungguh-sungguh atau

Page 9: EPISTEMOLOGI

9

mungkin terjadi yang membenarkan atau menyalahkan pernyataan tersebut.

Contoh pernyataan “ adakah yang menyerupai saya di planit yupiter Jadi, setiap

pernyataan dipandang mengandug makna ialah pernyataan yang melukiskan

pengalaman yang sebenarnya atau mungkin terjadi, yang membenarkan atau

menyalahkan pernyataan tersebut. Dengan kata lain, pernyataan harus dianggap

sebagai hipotesa yang meramalkan pengalaman-pengalaman indera atau tindakan-

tindakan yang mungkin terjadi atau dilakukan yang merupakan makna pernyataan

tersebut. Mazhab ini disebut “pernyataan tentang makna yang dapat diverifikasi

(dibuktikan)”.

Kualifikasi menurut Penganut Pragmatisme. Mazhab pragmatisme

menitikberatkan pada konsekwensi praktis terhadap perilaku. Menurut mazhab

ini, “suatu pernyataan mengandung makna sesuatu, yang menyebabkan seseorang

melakukan sesuatu”. Jika suatu pernyataan tidak ada pengaruhnya terhadap

perilaku, pernyataan tersebut tidak mengandung makna sejauh menyangkut

menyangkut dengan diri manusia”. Jadi, makna tidak statis, melainkan dinamis

yang memberikan reaksi terhadap dirinya sendiri. Jadi, mahasiswa yang

mempelajari pernyataan “tenaga adalah massa dikali percepatan” hanya bermakan

jika ia bekerja lebih lanjut melaksanakan eksperimen untuk membuktikan

pernyataan tersebut.

Pemberitahuan dan Makna. Masalah makna pada intinya terdapat dalam

pemberitahuan informasi. Dalam setiap peristiwa, pengetahuan yang disampaikan

misalnya lewat percakapan, nonton, dan berbagai hal. Tetapi penting diingat

dengan seksama bahwa mengetahui makna sebuah pernyataan tidak sama artinya

dengan mengetahui apakah pernyataan itu benar. Jadi, jangan menganggap bahwa

apa yang mengandung makna selalu benar, sebab jika kita bersikap demikian, kita

bakal membuat kekeliruan besar. Jadi, sesungguhnya benar itu tidak sama dengan

dapat dipahami.

Page 10: EPISTEMOLOGI

10

Kebenaran

Mengetahui apa yang dimaksud dalam sebuah pernyataan tidak sama

dengan mengetahui apakah pernyataan tersebut benar atau tidak. Untuk sampai

pada definisi kebenaran, marilah kita ambil contoh pernyataan “Di luar hawanya

dingin”. Kalimat ini dapat dianalisa sebagai berikut :

- suatu perangkat tanda;

- susunan tanda-tanda yang teratur sesuatu aturan sintaksis;

- makna yang dikandungnya atau dimaksudkannya.

Proposisi, Kandungan Makna Suatu Pernyataan. Pernyataan pada contoh di atas

tergolong murni sintaksis sebagai “kalimat berita”. Sedangkan makna yang

dimaksud oleh pernyataan disebut “proposisi”. Dengan demikian perkataan

“benar” hanya dapat diterapkan pada proposisi.

“Kebenaran:, Sebuah Perkataan yang Bersifat Semantik”. “Pernyataan”

tergolong istilah yang bersifat sintaksis. Sedangkan proposisi adalah suatu istilah

yang bersifat semantick dan demikian pula kata “benar” mengacu pada makna

simbol-simbol dan bukan pada simbolnya. Misalnya, jika “p” benar jika dan

hanya jika p itulah halnya; dalam hal ini menurut kebiasaan, simbol “p”

menunjukkan pernyataan, sedangkan symbol “p” mengacu kepada preposisi.

Maka, membicarakan masalah kebenaran dibutuhkan suatu bahasa yang berbeda

dengan bahasa yang bersifat sintaksis.

“Kebenaran” menunjukkan bahwa makna sebuah pernyataan – artinya,

proposisinya - sungguh-sungguh mengandung kebenaran dalam bentuk perkataan

yang bersifat semantik. Jika preposisi keliru, maka pernyataan tersebut salah dan

preposisi tidak boleh saling kontradiksi. Hal ini selaras dengan mazhab idealisme

yang dikemukakan oleh F.H. Bradley, yang menyatakan bahwa kebenaran

adalah kesesuain antara pernyataan dengan kenyataan. Karena kebenaran

adalah makna yang merupakan halnya, dan karena kenyataan itu juga merupakan

halnya, maka kedua-duanya dipandang sama sepenuhnya.

Page 11: EPISTEMOLOGI

11

Ukuran-ukuran Kebenaran. “Bagaimana cara mengukur bahwa preposisi itu

benar?” Pertanyaan ini menghendaki adanya pembedaan antara definisi kebenaran

– masalah tentang makna – dengan ukuran kebenaran. Apa yang dibutuhkan ialah

bahwa suatu yang dapat dipakai untuk membuktikan bahwa definisi itu terpenuhi

karena tidak mudah menerapkan definisi secara langsung. Misalnya, “Di luar

hawanya dingin” hanya terbukti jika seseorang kebenaran tersebut dengan

mengamati kondisi di luar gedung dan membawa alat pengukut suhu. Tetapi

bagaimana dengan orang yang membaca pernyataan ini yang mungkin dibacanya

dua tahun kemudian dan berada 500 mil dari tempat tersebut? Tentu masalahnya

pelik dan sukar.

Ukuran kebenaran sesungguhnya tergantung pada apakah yang sebenarnya

yang diberikan kepada kita oleh metode-metode untuk memperoleh pengetahuan.

Pengetahuan yang diperoleh dari ide-ide kita saling dihubungkan secara tepat dan

kebenaran merupakan keadaan-saling berhubungan (koherensi) di antara ide-ide

tersebut atau keadaan saling berhubungan di antara preposisi-preposisi. Jika

preposisi-preposisi tersebut memberitahukan kenyataan kepada kita, maka

preposisi-preposisi tersebut seharusnya kita menyelesaikan masalah-masalah kita,

atau meramalkan pengalaman-pengalaman, sebagaimana yang diajarkan mazhab

pragmatisme.

Mazhab skeptisme menganggap tidak ada ukuran kebenaran. Sedangkan

dogmatism mengatakan bahwa ukuran kebenaran adalah ukuran yang dapat

dipercaya secara mutlak. Mazhab idealism dan realism mengambil jalan tengah.

Ukuran kebenaran diperoleh melalui kesaksian yang dap-at dipercaya mengenai

kemungkinam benar salahnya proposisi.

1. Mazhab Koherensi. Dianut mazhab idealism seperti F.H. Bradley (1846-

1924). Mazhab ini mengatakan bahwa suatu preposisi cenderung benar jika

proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dan saling menerangkan

secara sistimatic, kebenaran adalah konsistensi dan kecocokan, dengan

proposisi-proposisi lain yang benar atau makna yang dikandungnya saling

berhubungan dengan pengalaman kita. Misalnya, untuk mengetahui seorang

berbohong dalam banyak hal maka jalan untuk menunjukkan bahwa apa yang

Page 12: EPISTEMOLOGI

12

dikatakannya tidak cocok dengan hal-hal lain yang telah dikatakannya atau

dikerjakannya. Derajat keadaan saling berhubungan merupakan ukuran bagi

derajat kebenaran, sedangkan saling berhubungan dengan semua kenyataan

merupakan kebenaran yang mutlak.

a.Epistemologi idealisme dan Paham Koherensi. Penganut idealisme juga

melakukanb pendekatan masalah tersebut melalui epistemologinya. Apa yang

kita kerjakan tidak hanya menunjukkan ukuran kebenaran sebagai suatu

keadaan saling berhubungan, melainkan juga jawaban terhadap pertanyaan,

“Apakah yang kita ketahui?”. Kebenaran tentu merupakan sifat yang dimiliki

oleh ide kita. Kebenaran itu tergantung pada orang yang yang

menentukan kebenaran pengetahuannya tanpa memandang keadaan real

peristiwa-peristiwa. Apapun yang kita ketahui selalu berupa ide-ide dan tidak

berupa sesuatu sebagaimana yang terdapat dalam dirinya sendiri yang bersifat

lahiriah, yang hipotesa. Karena pemikiranlah yang menemukan ketertiban,

tatanan dan sistem dalam kenyataan yang kita hadapi dan karena pemikiran

membuahkan ide-ide, kebenaran terletak dalam keadaan saling berhubungan

di antara ide-ide tersebut.

b.Hukum-hukum Keadaan Saling Berhubungan. Apa yang dimaksud

mazhab idealisme mengenai keadaan saling berhubungan? Bradley

mengemukakan 2 ciri pokok : keharusan bahwa semua fakta terangkum dan

ide-ide harus teratur secara selaras dan tidak mengandung kontradiksi.

c.Preposisi-preposisi dalam Keadaan Saling Berhubungan, namun Sesat.

Peramalan meliputi penjabaran yang tidak dilukiskan dalam sistem tertentu,

misalnya cerita fiktif namun saling berhubungan maka keadaan saling

berhubungan itu kadang-kadang tidak merupakan ukuran yang sangat

berharga tentang kebenaran, kecuali jika peristiwa yang dilukiskan dapat

diamati sehingga peramalan itu telah dibuktikan (diverifikasi).

2. Mazhab Korespondensi. Mazhab ini menyatakan bahwa kebenaran atau

keadaan benar adalah persesuaian (agreement) antara pernyataan

(Statement) mengenai fakta dengan fakta aktual, atau antara putusan

(judgement) dengan situasi seputar (enviromental situation) yang diberi

Page 13: EPISTEMOLOGI

13

interpretasi. Hal ini berbeda dengan mazhab koherensi yang menyatakan

bahwa jika sebuah preposisi saling berhubungan dengan preposisi-preposisi

lain, maka apa yang dinyatakannya merupakan fakta. Pelopor teori ini adalah

Plato, Aristoteles, Moore, Russel, Ramsey (1872-1970),dan K.Roders.

a. Makna sesua (Correspond). Bagaimana makna sesuai dengan fakta?

Paham korespondensi yang dianut oleh mazhab realisme berpijak pada

kemandirian fakta atau hekekat yang tidak ideal dari fakta-fakta. Jadi, sukar

membayangkan apakah yang sesuai dengan fakta-fakta. Karena itu, tak ada

satu pun ide yang bersifat kejiwaan yang serupa atau sesuai dengan fakta yang

tidak bersifat kejiwaan. Kesulitan ini dihadapi oleh penganut mazhab realism.

b. Kesesuaian di antara esensi-esensi. K. Rogers, penganut realisme kritis di

Amerika menyatakan bahwa perlu ada pembedaan dua segi pada makna.

Pertama, segi kejiwaan yang di dalamnya makna termasuk dalam lingkungan

pengalaman kejiwaan dan merupakan makna yang kita berikan. Kedua, makna

yang termasuk dalam lingkungan obyeknya, yaitu hekekat obyek. Menurut

Rogers, keadaan-keadaan terletak dalam kesesuaian antara esensi atau makna

yang kita berikan dengan esensi atau makna yang terdapat dalam obyeknya.

Maka yang bersesuaiabn bukanlah makna dengan obyeknyam melainkan

esensi sebagai makna dengan esensi yang terdapat dalam obyek.

c. Simbol sebagai Perantara. Simbol harus berlaku sebagai perantara antara

apa yang ditunjukkan dalam keadaan sesungguhnya dengan esensi atau makna

yang terdapat dalam pikiran seorang pendengar atau penutur.

d. Kesesuaian di antara Bentuk-Bentuk Kata. Menurut Bertrand Russel,

filsuf Inggris, kesesuaianb itu terdapat di antara dua bentuk kata. Pertama,

yang kebenarannya dipertimbangkan. Kedua, ditimbulkan oleh lingkungan

tempat terdapatnya orang yang memakai kata.

Suatu kata dikatakan benar, jika seorang yang mengetahui makna kata

tersebut berada dalam situasi sedemikian rupa sehingga menyebabkan ia

mengucapkan kata-kata yang sama dalam keadaan itu. Ini berarti orang dapat

menganalisa situasi sebagai berikut:

1. suatu bentuk kata telah ditentukan;

Page 14: EPISTEMOLOGI

14

2. suatu obyejk terlibat;

3. ada suatu perangkat keadaan;

4. ada reaksi dalam bentuk kata-kata dari subyek tersebut.

e. Kebenaran sebagai Pembenaran (Verifikasi). John Dewey menyatakan

bahwa makna yang dikandung suatu preposisi terletak pada

konsekwensinya terhadap perilaku seseorang. Suatu proposisi

mengandung makna, jika proposisi itu membuat perubahan atau

menyediakan suatu perangkat untuk melakukan sesuatu dimana perilaku

makhluk hidup selalu ditujukan untuk menyelesaikan masalah hidup.

Misalnya, “Jalannya keluarnya ke kiri dalam hutan ini”. Menurut Dewey,

proposisi ini benar jika kita sudah melakukan verifikasi (pembuktian)

dengan berjalan ke kiri dan memang sungguh-sungguh kita keluar dari

hutan. Jadi, kebenaran adalah pembenaran (verifikasi) dan hal ini

ditinjukkkan bila penyelidikan yang menimbulkan perumusan hipotesa

tersebut diselesiakan dengan berhasil.

Perlu dibedakan antara mengetahui suatu proposisi benar dengan keadaan

suatu proposisi benar. Jika seseorang menyatakan “jalan ke kiri membawa kita

keluar dari hutan” sebetulanya ia tidak mengetahui apakah yang ia ucapkan itu

benar, kecuali jika ia mengikutinya. Tetapi apakah sudah dijamin apakah ia

mengikuti atau tidak, jalan itu membawa ia keluar dari hutan atau tidak

membawa ia keluar dari hutan.

Sedangkan pernyataan “Jalan ke kiri boleh jadi membawa ia keluar dari

hutan”. Jika mengikutinya dan jeluar dari hutan, maka “jalan tersebut betul-

betul membawanya keluar dari hutan”. Proposisi ini benar dengan jalan

menunjukkan kepada masa lampau dan tidak menunjuk kepada sesuatu yang

akan dilaksanakan pada masa mendatang.

Selanjutnya, “boleh jadi jalan itu akan membawa keluar hutan” tidak

menjadi masalah karena tindakan-tindakan yang ia lakukan kemudian. Yaitu,

meskipun ia mengikuti jalan tersebut dan ternyata malah malah jalan itu makin

membuat ia sesat di dalam hutan. Jadi, menurut Dewey, definisi tentang

kebenaran bertentangan dengan pengertian-pengertian kita tentang

Page 15: EPISTEMOLOGI

15

pernyataan-pernyataan yang mengandung probabilitas. Selanjutnya Dewey

menyatakan bahwa propoisi memang mengadakan peramalan, dan hasilnya

dapat mengatakan kepada kita banyak hal mengenai benar-salahnya. Tetapi

kecuali jika proposisi itu ditinjau dari sudut logika sama nilanya dengan

ramalan-ramalan, maka tidak satu pun ramalan yang dieproleh atas dasar itu

melakukan verifikasi terhadap porposisi. Jadi, semua proposisi empiris

merupakan ramalanb belaka – tidak mengandung lebih daripada kemungkinan

untuk benar.