Epistema Climate Change Update

32
CLIMATE CHANGE UPDATE Volume 03/2016 Muhammad Yusuf REDD+, Ancaman atau Peluang: Refleksi Implementasi Sertifikasi Plan Vivo di Wilayah Sistem Hutan Kerakyatan Ratna Nataliani COP 21: Menangkap Kesempatan Menuju Indonesia yang Berkelanjutan Epistema Climate Change Update merupakan publikasi berkala dwi-bahasa Indonesia dan Inggris yang diterbitkan oleh Epistema Institute. Publikasi ini menyajkan secara ringkas dan bernas perkembangan terkini kebijakan dan wacana perubahan iklim di Indonesia. Dewan redaksi: Yance Arizona, Luluk Uliyah, Muki T. Wicaksono, Desi Martika V, Yustina Murdiningrum Tata letak: Andi Sandhi Foto: Berbagai sumber Jalan Jati Padang Raya No. 25, Jakarta Selatan, 12540. Telepon: +62 21 7883 2167 Fax: +62 21 7883 0500 Email: [email protected] Website: epistema.or.id

Transcript of Epistema Climate Change Update

Page 1: Epistema Climate Change Update

CLIMATE CHANGE UPDATEVolume 03/2016

Muhammad Yusuf

REDD+, Ancaman atau Peluang: Refleksi ImplementasiSertifikasi Plan Vivo di Wilayah Sistem Hutan Kerakyatan

Ratna Nataliani

COP 21: Menangkap Kesempatan Menuju Indonesiayang Berkelanjutan

Epistema Climate Change Update merupakan publikasi berkala dwi-bahasaIndonesia dan Inggris yang diterbitkan oleh Epistema Institute. Publikasi inimenyajkan secara ringkas dan bernas perkembangan terkini kebijakan danwacana perubahan iklim di Indonesia.

Dewan redaksi: Yance Arizona, Luluk Uliyah, Muki T. Wicaksono, Desi Martika V,Yustina Murdiningrum

Tata letak: Andi Sandhi

Foto: Berbagai sumber

Jalan Jati Padang Raya No. 25,Jakarta Selatan, 12540.Telepon: +62 21 7883 2167Fax: +62 21 7883 0500Email: [email protected]: epistema.or.id

Page 2: Epistema Climate Change Update
Page 3: Epistema Climate Change Update

Pendahuluan

Sejauh ini, proyek pengaturan sumberdaya alam danperbaikan lingkungan (ekologi) oleh pelbagai institusiglobal di Indonesia menyiratkan bahwa seluruh proyek-proyek perbaikan lingkungan dan ekologis tersebut bukansuatu hal netral, tetapi meniscayakan pengaturan-pengaturan sosial politik dan ekonomi di tingkat komunitas.Di antara mega proyek tersebut adalah mitigasi dan adaptasiperubahan iklim berbasis lahan dan hutan (REDD+).Pemilihan kata “mega” bukanlah hal yang berlebihan atautanpa alasan bila melihat pengerahan dana publik berikutkebijakan pendukung di tingkat global, nasional hingga lokaldalam mendukung proyek REDD+. Laporan tim studi yangdiprakarsai oleh Climate Policy Initiative bekerjasamadengan Badan Kebijakan Fiskal Kementerian KeuanganRepublik Indonesia (2014) menyebutkan, pada tahun 2011,setidaknya sebesar Rp 8,4 triliun (USD 951 juta) dana untukperubahan iklim berasal dari sumber-sumber pendanaanpublik, baik dari dalam negeri (Rp 5,5 triliun) maupunpendanaan yang bersumber dari dana publik internasional(Rp 2,9 triliun). Bahkan direncanakan, Pemerintah KerajaanNorwegia bersama Global Green Growth Institute (GGGI)akan memberi hibah kepada Indonesia sebesar 19 juta dollarAS (setara dengan Rp 250 miliar) untuk mendukunginvestasi hijau di sektor energi terbarukan Indonesia, zonaekonomi khusus, kehutanan dan sektor-sektorpemanfaatan lahan lainnya ( , 27 Novemberkompas.com2015).

Layaknya sebuah gelombang besar yang sulit dihindarimuncul pertanyaan mendasar, bagaimana komunitassekitar hutan (selanjutnya disebut komunitas Sistem HutanKerakyatan/SHK) yang memiliki keterikatan kuat terhadapsumberdaya hutan dan para pendukung SHK meresponproyek-proyek perbaikan lingkungan dan REDD+ tersebut?Sejauh mana proyek-proyek tersebut dimaknai danditempatkan dalam aktivitas komunitas dan pendukungSHK? Akhirnya, sejauhmana kendala dan peluang (jika ada)kebijakan dan praktek perbaikan tata kelola hutan di tingkattapak?

Menjawab pertanyaan di atas, tulisan ini mencobamerefleksikan pengalaman keterlibatan penulis dalammengembangkan model imbal jasa lingkungan (PaymentEnvironmental Services/PES) karbon komunitas melalui

sertifikasi Plan Vivo yang diinisiasi oleh Konsorsiumpendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) bersamalembaga mitra di regional.

Melampaui debat dan diskursus narasi-narasi besarterhadap proyek global REDD+, memandang kehidupanrakyat di sekitar hutan sebagai komunitas yang terisolir darilingkungan luar (global) adalah cara pandang romantis yangmenuntut cara pandang kritis terhadapnya, terlepas adatidaknya REDD+. Di beberapa lokasi pro dan wilayahyekkelola sistem hutan kerakyatan (SHK), selain kayu,pemanfaatan hutan oleh komunitas adalah budidayaperkebunan melalui sistem agroforestri yang pasarnya tidakhanya lokal namun merupakan komoditas ekspor sepertikopi, kakao, kayu manis dan sebagainya. Aktivitasperdagangan komoditi global ini telah terbangun sejak erakolonial yang pada gilirannya menentukan pola-polahubungan lokal dan global. Mengikuti pandangan Chayanov(1966: 258), “melalui kaitan-kaitan ini (hubunganperdagangan, penulis), setiap petani kecil menjadi bagianorganik dari ekonomi dunia, mengalami dampaknyakehidupan ekonomi dunia, menjadi dikendalikan dalampengelolaannya oleh tuntutan-tuntutan ekonomikapitalistis global, dan pada gilirannya, bersama jutaansesama p etani, m em pengaruhi se luruh si st emperekonomian global.”

REDD+, Ancaman atau Peluang: Refleksi Implementasi Sertifikasi Plan Vivodi Wilayah Sistem Hutan Kerakyatan

Muhammad Yusuf1

1 Manajer Pengelolaan Pengetahuan Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK). Penulis dapat dihubungi melalui [email protected] / [email protected]

Seorang Petani H K m Bukit Regis Lampungutan e asyarakatansedang mengukur diameter pohon di dalam plot ukur stok karbon diwilayahusulan sertifikasi Plan Vivo (dok. Watala Lampung)

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016 1

Page 4: Epistema Climate Change Update

Kenapa Plan Vivo?

Di kalangan pemerintah, pemerhati dan praktisi lingkungan,REDD+ merupakan wacana yang mengundang debat yangtak kunjung usai. Astuti (2013) mengutarakan, terbukanyaruang partisipasi oleh pemerintah dalam proyek REDD+telah mendorong aktivis mengadopsi “subjektivitas baru”yang menempatkan mereka sebagai konsultan ataubirokrat, tanpa terburu-buru melihatnya sebagaidepolitisasi gerakan lingkungan. Perdebatan lainnya adalahbagaimana prinsip ekuitas atau kesetaraan harusdidefinisikan, kepada siapa seharusnya manfaat inidibagikan dan bagaimana mekanisme pembagian manfaat( ). Namun, perubahan iklim global dan makinbenefit sharingmerosotnya fungsi layanan ekosistem hutan adalahkenyataan saat ini yang kerap kali justru diabaikan dalamsubstansi perdebatan yang bertolak dari petani hutansebagai pelaku sekaligus korban dari praktik pembangunankehutanan selama ini. Pertanyaannya, siapa yang akanbertanggung jawab atas persoalan ini? Adakah mekanismey a n g m e n j a m i n p e l i b a t a n k o m u n i t a s d a l a mmengkomunikasikan dan mengkampanyekan praktik-praktikpengelolaan hutan pada proyek-proyek global perbaikanhutan dan lingkungan?

Komitmen pemerintah Indonesia terhadap adaptasi danmitigasi perubahan iklim di sektor lahan dan hutan terbilangresponsif bila dilihat dari sisi produk kebijakan. Tanpaterkecuali Konsorsium pendukung Sistem HutanKerakyatan (KpSHK) bersama lembaga mitra sejak 2013telah menginisiasi praktik imbal jasa lingkungan karbonkomunitas melalui sertifikasi Plan Vivo sebagai bentukketerlibatan aktif merespon REDD+. Seperti diketahui,

2

imbal jasa lingkungan karbon atau keberadaan pasar karbonsaat ini umumnya berupa pasar sukarela ( )voluntary marketyang membutuhkan sebuah standar Plan Vivo satu,diantaranya yang diakui di Indonesia. Menurut Lampiran IIPermenhut No. P.36/Menhut – II/2009 tentang Tata CaraPerizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atauPenyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan HutanLindung, terdapat Standar CCB, Standar Carbon Fix, StandarPlan Vivo dan Voluntary Standard . Di antara(lihat Tabel 1)standar (protokol) tersebut, Plan Vivo merupakan standaryang difokuskan bagi komunitas pengelola hutan dipedesaan. Plan Vivo sendiri adalah sebuah yayasan yangdidirikan pada tahun 2008 berkedudukan di Edinburgh,Inggris. Pendirian lembaga ini berawal dari kegiatan riset-aksi yang dilakukan di pedesaan Meksiko pada tahun 1994,dan bertujuan mengembangkan skema pendanaanalternati bagi masyarakat pedesaan yang bergantung darifpengelolaan sumberdaya hutan.

Keterpilihan skema Plan Vivo bukan tanpa melewatidiskusi kritis di jejaring advokasi gerakan SHK. Disadari

skema tersebut masih mengandung "polemik", penuhkendala, dan mengundang debat seputar keadilan ekologisdan keberlanjutan sumber penghidupan rakyat di sekitarhutan. Satu dari perdebatan klasik itu adalah posisi gerakanSHK dalam menuntut komitmen negara-negara Utara(industri) dan korporasi global mengurangi emisi karbondan perbaikan lingkungan akibat praktik industri ekploitasisumberdaya alam baik di wilayah-wilayah tujuan investasimereka termasuk Indonesia.

Dari semua pro-kontra, skema Plan Vivo secara prinsipdipandang masih sejalan dengan sembilan prinsip SHKyakni, pelaku utama adalah rakyat; lembaga pengelolahutan dibentuk, dilaksanakan dan dikontrol oleh rakyat;memiliki wilayah kelola (hutan) dan sistem hukum yangberlaku di komunitas; interaksi antara komunitas danwilayah kelola (hutan) bersifat langsung dan erat;pengetahuan dan teknologi lokal/kerakyatan melandasipengelolaan dan pemanfaatan hutan; skala produksisumberdaya hutan dibatasi prinsip kelestarian dankeberlanjutan; keanekaragaman hayati menjadi dasar dalampola budidaya dan pemanfaatan sumberdaya; danmengedepankan kesetaraan sosial (gender) dalampengelolaan wilayah SHK. Tepatnya pada Mei 2014,

4

beberapa lembaga dan pemangku kepentinganberkomitmen mendirikan konsorsium PES Indonesia.Beber pa lembaga tersebut antara lain: (a LSM pendampingmasyarakat LATIN,) yakni SSS, WARSI, ICS, LTA, WATALA,KAIL, KBCF, Teropong, Transform, SCF, Wallacea; dan

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/20162

Page 5: Epistema Climate Change Update

lembaga donor: KEMITRAAN, Samdhana Institute, FordFoundation, ICCO, dan Organisasi pendukung untuk aspekteknis KpSHK FFI: , , CFI, WRI,Yayasan Perspektif Baru

Wilayah Uji Coba

Terhitung sejak tahun 2013 hingga Nopember 2015,beberapa wilayah yang menjadi proyek percontohanprogram PES Carbon Komunitas KpSHK - ICCO Cooperationtersebar di wilayah Jambi, Bengkulu, Lampung, Jawa Timur,Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat,Kalimantan Timur dan Sulawesi Tenggara. Dari seluruhlokasi proyek percontohan yang sedang berjalan, beberapalokasi telah masuk ke tahap review Project Idea Note (PIN)Plan Vivo yakni: empat hutan adat di Kabupaten Kerinci,Jambi; dua Hutan Kemasyarakatan (HKm) di KabupatenKepahiang, Bengkulu; dua Hutan Kemasyarakatan diKabupaten Lampung Barat, Lampung; satu HutanKemitraan Jember, Jatim; empat LPHD (Lembaga PengelolaHutan Desa) di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng; satuHutan Kemasyarakatan di Kabupaten Sekadau, KalimantanBarat; dan satu LPHD di Kabupaten Hulu Sungai Tengah,Kalimantan Selatan. Sementara di wilayah lain masih dalamtahap penulisan PIN (Tabel ).2

Pengelolaan SHK dan Tantangan PES di TingkatTapak

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, memandangkomunitas dan tata kelola SHK sebagai sesuatu yang terisolirdari intervensi luar adalah pandangan romantis yangmenuntut cara pandang objektif melihat pengelolaan hutandi unit-unit SHK. Pembatasan akses dan pengingkaranpenguasaan faktual dan historis komunitas di pinggir hutan,proyek intervensi perbaikan lingkungan baik daripemerintah, badan pembangunan internasional maupunLSM lingkungan, dinamika demografis (migrasi pendudukantar wilayah) hingga ekspansi bisnis ekstraktif skala besarberbasis lahan secara langsung menuntut komunitasberinteraksi dengan beragam agenda pembangunantersebut.

Beberapa komunitas lokal turut memanfaatkan peluangkebijakan yang menyediakan saluran penguasaan danpengelolaan hutan melalui skema perhutanan sosial (HKmdan HD/Hutan Desa) maupun skema kemitraan PengelolaanHutan Berbasis Masyarakat (PHBM) Perhutani dan TamanNasional (khas Jawa). Dalam hal ini, seluruh modelpenguasaan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat dikawasan hutan negara secara praktis mengenalkan tatakelola lahan ( ) yang baru kepada komunitasland governance

3EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 6: Epistema Climate Change Update

setempat yang diklaim mengadopsi pengelolaan hutansecara ilmiah ( ). Padahal beberapaforestry science

6

masyarakat adat/komunitas lokal masih memilikipengetahuan tersendiri terhadap konsep ruang/wilayahmereka termasuk antara lain, pengelolaan hutan olehkomunitas adat Kerinci yang masih mempraktikkan konseplokal dalam menata ruang, dan pengelolaan HKmAjun Araholeh komunitas Rejang Kapahiang Bengkulu yang masihmengenal kearifan lokal dalam budidaya .Kabau

Tidak dipungkiri, dalam hal ini pengetahuan aslikomunitas telah berinteraksi dengan intervensipengelolaan hutan dari luar yang turut mengenalkanprosedur, pengetahuan teknik-teknik pengelolaan hutandan kelembagaan baru. Pada konteks ini, interaksipengetahuan asli komunitas dengan beragam pengetahuanyang didesakkan dari luar menyisakan pertanyaan ujibersama, apakah interaksi pengetahuan tersebutberdampak kepada arah perubahan yang lebih baik? Danyang terpenting, perlu dikoreksi bersama anggapan bahwapengetahuan asli komunitasdalam mengelola hutan telahlama sirna sejak pemberlakuanUU Kehutanan dan perluasanbisnis kehutanan berbasis kayuskala besar.

Imbal jasa l ingkungansendiri bukan hal baru dib e b e r a p a l o k a s i S H K .Kelompok HKm di Register 45BLampung Barat misal, telahmembangun mekanisme imbalj a s a l i n g k u n g a n a n t a r akelompok HKm yang berada dihulu dengan komunitas desayang berada di hilir. Sejakp e r e n c a n a a n a w a lpembentukan H Km yangdidampingi oleh LSM WatalaL a m p u n g , k e s e p a k a t a ntentang pentingnya keberadaan hutan di wilayah hulu(lokasi HKm) terhadap kehidupan masyarakat di daerah hilirtelah dibangun tidak hanya di tingkat kelompok, namunantar desa.

Imbal jasa lingkungan karbon komunitas sendiri adalahistilah yang relatif baru. Tidak mengherankan jika dalamsosialisasi hingga pelaksanaan sertifikasi Plan Vivo di levelkomunitas memunculkan berbagai tantangan. Bagaimanamenjelaskan transaksi karbon, pembagian manfaat, hinggapengukuran stok karbon di wilayah pro adalahyeksederetan tantangan yang dihadapi lembaga mitrapendamping.

Sejauh ini, pembahasan penurunan emisi karbon masihberkisar pada seberapa besar karbon dapat mendatangkanmanfaat ekonomi, tetapi luput mempertimbangkanbagaimana karbon dapat dijual dengan skema yang tersediasehingga manfaat ekonomi karbon tersebut dapatterwujud. Tidak mengherankan, pembayaran jasaekosistem karbon dari pengguna kepada penyediaumumnya belum terjadi khususnya di Indonesia yakni pasarkarbon ( ) komunitas di tingkat nasional yangcarbon creditbelum terbangun. Terkecuali beberapa uji coba melaluipendekatan proyek. Sementara permintaan pasar karbonglobal saat ini di dorong oleh komitmen negara- negara majuterhadap Protokol Kyoto. Target negara maju inilah yangmenciptakan permintaan pada pasar karbon. Dalam skemaProtokol Kyoto, sesama negara maju bisa salingmemperdagangkan emisinya atau bisa dengan mekanismecarbon offset Clean Development Mechanismmelalui CDM ( ),yaitu hak emisinya berasal dari negara-negara berkembang.

7

Kondisi pasar karbon saat ini cukup lesu. Menurunnyap e r e k o n o m i a n d u n i amengakibatkan aktivitasnegara-negara maju jugamenurun yang kemudianberdampak pada turunnyae m i s i m e r e k a . H a l i n imenyebabkan permintaan( ) untuk karbon jugademandmenurun.

K er u m i t a n la i n y an gdihadapi pada pelaksanaansertifikasi Plan Vivo yaknipengukuran karbon stok ataubaseline di wilayah usulanpro . Telah diutarakanyeksebelumnya, salah satu prinsippenerapan sertifikasi PlanVivo adalah kualitas vegetasi,keanekaragaman hayati ,tutupan lahan dan perbaikan

tata kelola hutan harus dapat diukur dan dipantau secarakuantitatif. Karbon stok merupakan ukuran pokok yangdiakui di pasar karbon; karbon stok ekuivalen jumlahtutupan lahan (pohon) ekuivalen nominal uang.Perhitungan stok karbon mensyaratkan penerapan sainskehutanan yang ketat ,antara lain syarat adanya verifikasi(pengakuan) oleh para validator yang "asing" bagikomunitas bahkan bagi lembaga pendamping sendiri.Dalam menghitung stok karbon, pemilihan metode sangatpenting dalam menentukan stok karbon atau baselineproject serta jenis kegiatan yang akan dilakukan olehkomunitas. Terdapat dua jenis metode utama yang saat inidikenal dalam pelaksanaan sertifikasi Plan Vivo, yakni (1)

4

Alat untuk plot ukur stok karbon di wilayah usulan sertifikasi PlanVivo (dok. Watala Lampung)

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 7: Epistema Climate Change Update

avoid deforestation ecosystem rehabilitation; dan (2) . Padaavoid deforestation, yang dimunculkan adalah skenariopengendalian tingkat deforestasi atau setara denganberapa banyak pohon dan luasan lahan yang dapat dijagauntuk tidak ditebang dalam 10 tahun. Sementara ecosystemrehabilitation lebih fokus pada seberapa banyak pohon danluasan yang dapat ditumbuhkan dalam 10 tahunmendatang. Masing-masing metode tersebut berdiri sendirikarena sangat berimplikasi pada kegiatan pemantauan( ) tahunan. Pada kenyataannya, ataumonitoring inventorypendokumentasian jenis vegetasi saat ini merupakankekayaan pengetahuan yang masih hidup di komunitas. Hallainnya, introduksi skema perhutanan sosial negara (HKmdan HD) mensyaratkan pemantauan reguler per lima tahunsebagai dasar perpanjangan ijin kelola, sehingga bagipendamping dan komunitas yang wilayah proyeknyamerupakan HKm dan HD, kegiatan sertifikasi Plan Vivo bisadigunakan dalam mempersiapkan laporan pemantauanrutin HKm dan HD yang dilakukan oleh instansi terkait yakniDinas Kehutanan.

Agenda Perbaikan

Penjagaan hutan bukanlah hal yang baru bagi komunitas dipinggir dan dalam kawasan hutan. Bahkan komunitas dipinggir dan dalam kawasan hutan merupakan arenadiperkenalkan dan diujicobakannya beragam rezim tatakelola oleh negara, LSM lingkungan dan agensipembangunan internasional. Tanpa terkecuali proyek-proyek REDD+ yang sedang marak saat ini termasuk ujicobaimbal jasa lingkungan karbon komunitas. Apakah proyekimbal jasa lingkungan karbon komunitas ini justrumembawa ke arah penguatan dan pengakuan tata kelolahutan oleh komunitas, masih perlu dicari jawabannya secaraempiris melampaui perdebatan kajian wacana-wacanabesar yang juga saat ini mengemuka di lingkungan aktivispro-demokratisasi dan perbaikan lingkungan. Namun,memilih ikut campur secara praktis bersama komunitasmemunculkan pemaknaan tersendiri yang hanya bisadidapatkan dalam keseharian rutinitasproyek.

Memandang kekayaan hutan komunitas yang diukurmelalui karbon stok sebagai dasar imbal jasa lingkunganatau sebagai peluang "bisnis hijau" baru justrumengaburkan proses keseharian rakyat dalam menjagahutan. Seperti diketahui, seluruh luasan ujicoba karbonkomunitas baik yang diinisiasi oleh KpSHK maupun lembagalainnya baru mencapai kurang lebih 20.000 Ha. Luasantersebut masih relatif kecil dibandingkan satu konsesikorporasi restorasi ekosistem yang mencapai ratusan ribuhektar, dan bahkan dibandingkan unit-unit rehabilitasiekosistem dalam korporasi ektraktif seperti HTI (HutanTanaman Industri). Dari pengalaman bergelut dalam ujicobasertifikasi Plan Vivo, beberapa isu krusial yang perlu menjadi

agenda perbaikan bersama sebagai penutup tulisan ringkasini, yakni:

� Kepastian hak rakyat atas hutan. Selama ini rakyatpinggiran dan di dalam kawasan hutan selalu menjadikorban opini atau bahkan kriminalitas atas perusakanhutan. Padahal di beberapa lokasi, rakyat justru terlibataktif dalam penjagaan hutan, baik dalam skema proyekmaupun karena pengetahuan asli yang masih hidup ditengah-tengah komunitas. Pengakuan negara terhadapwilayah kelola rakyat dalam kawasan hutan merupakanprasyarat bagaimana rakyat dapat merencanakanpengelolaan hutan dan kehidupan mereka sendiri,termasuk hak imbal jasa lingkungan.

� Pasar domestik bukan sekadar pasar. Menyerahkankekayaan karbon stok yang tersimpan dalam hutankomunitas pada mekanisme pasar karbon atau skemaimbal jasa lingkungan secara /sukarela justruvoluntarymenjadikannya tidak ekonomis (kompetitif). Padahal dibalik nilai potensi stok karbon dan luasan yang relatifsangat kecil dibandingkan konsesi korporasi-korporasirestorasi ekosistem, terdapat praktik kehidupan rakyatyang sangat bergantung dari layanan ekosistem hutanseperti air, sumber bahan pangan dan sebagainya. Olehkarenanya, kebijakan negara yang mewajibkan korporasinasional mengurangi emisi, responsif terhadap perbaikanlingkungan serta kewajiban kompensasi (bukan CSR)terhadap rakyat yang hidup di sekitar hutan adalahkeniscayaan dalam perbaikan tata kelola hutan.

� Prosedur yang fleksibel. Salah satu tantangan sertifikasiimbal jasa lingkungan karbon komunitas adalah kerumitanperhitungan potensi stok karbon dalam wilayah proyek.Asumsi terukur dan dapat diverifikasi secara sainskehutanan seringkali justru mengaburkan proses-prosesinteraksi komunitas dengan hutan berdasarkanpengetahuan asli mereka. Oleh karenanya, mengakuiukuran-ukuran subjektif dan teknik-teknik berbasiskomunitas perlu diakui oleh para pihak. Dengan kata lain,pengakuan terhadap wilayah kelola rakyat secara

5

Proses penentuan plot ukur stok karbon di wilayahusulan sertifikasi Plan Vivo (dok. Watala Lampung)

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 8: Epistema Climate Change Update

langsung juga merupakan pengakuan terhadappengetahuan mereka dalam mengelola wilayah merekasendiri.

Daftar Bacaan

Buku

Ampri, Irfa, et al. 2014. The Landscape of Public ClimateFinance in Indonesia. An Indonesian Ministry of Financeand CPI Report, Indonesia.

Arwida, Shintia D. 2014. Mekanisme Pembagian ManfaatREDD+ dalam Konteks Hutan Kemasyarakatan. SeriKajian SHK Volume I/Tahun I/2014, November 2014.KpSHK

Astuti, Rini. 2013. REDD+ sebagai Strategi-StrategiKepengaturan dalam Tata Kelola Hutan di Indonesia:Sebuah Perspektif Foucauldian. Wacana, JurnalTransformasi Sosial, No. 30, Tahun XV, 2013. Yogjakarta:Insist

Bryant, Raymond L. and Sinead Bailey. 1997. Third WorldPolitical Ecology.Routledge, London.

Chayanov, A. 1966. . In DanielThe Theory of Peasant EconomyThorner, Basile Kerblay, and R.E.F. Smith (eds). The

American Economic Association, Illinois.

Hernowo, Basah. 2015. Kontribusi Ekonomi JasaLingkungan/Ekosistem Kehutanan: Status dan ArahKebijakan. Prosiding Workshop Mekanisme PendanaanPerubahan Iklim: Imbal Jasa Lingkungan Berbasis Hutandan Lahan. Jakarta: Ditjen PPI KLHK - KpSHK (akansegeraditerbitkan)

Samyanugraha, Andi. 2015. Pasar Karbon dan PendanaanMitigasi Perubahan Iklim di Indonesia. ProsidingWorkshop Mekanisme Pendanaan Perubahan Iklim:Imbal Jasa Lingkungan Berbasis Hutan dan Lahan.Jakarta: Ditjen PPI KLHK - KpSHK (akan segeraditerbitkan)

Yusuf, Muhammad. 2014. Prawacana: REDD+ dan PerebutanKawasan Hutan. Seri Kajian SHK Volume I/Tahun I/2014,November 2014.KpSHK

Website

“Dorong Ekonomi Hijau Norwegia Hibahkan Rp 250 Miliar keRI”. Diakses dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/11/27/144837426/Dorong.Ekonomi.Hijau.Norwegia.Hibahkan.Rp.250.Miliar.ke.RI

2Istilah jasa lingkungan di Indonesia sendiri belum memiliki pengertian yang tetap dan diatur dalam undang-undang. UNEP (United Nations EnvironmentPrograms) mempergunakan istilah sebagai ganti dari . Beberapa institusi lain mendefinisikan'ecosystem services' 'environmental services' ecosystem servicessebagai the benefits provided by ecosystems that contribute to making human life both possible and worth living. Di Indonesia, produk layanan/jasa ekosistemhutan terdiri dari empat produk utama yaitu jasa pemanfaatan air dan energi air, jasa penyimpanan dan penyerapan karbon, jasa wisata alam-keindahan alam,dan jasa keanekaragaman hayati (Hernowo2015).

3 Paul Butar-Butar 2015, South Pole Carbon. Bahan presentasi pada acara Serial Workshop Program Penurunan Emisi Berbasis Masyarakat yang dilaksanakanoleh Konsorsium PES Indonesia pada Maret 2015 di Jakarta

4Bandingkan dengan prinsip (praktis) skema Plan Vivo yakni, (1) wajib melibatkan dan memberikan manfaat secara langsung kepada komunitasprojectpengelola hutan; (2) dapat memberikan manfaat terhadap layanan ekosistem dan menjaga/meningkatkan keanekaragaman hayati; (3) dikelolaproject projectsecara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, melibat para pihak serta memenuhi aturan hukum yang berlaku; (4) d sain dan implementasi rencanaepengelolaan lahan melibatkan dan dimiliki sepenuhnya oleh komunitas berdasarkan prioritas kebutuhan setempat; (5) dapat meningkatkan manfaatprojectlayanan ekosistem dan dapat dimonitoring secara kuantitatif; (6) pengelolaan risiko termuat dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek; (7) dapatprojectmemberikan manfaat terhadap penghidupan sosial ekonomi komunitas; dan (8) pembagian manfaat dan transaksi imbal jasa lingkungan melalui kerjasamaPES berdasarkan . (The Plan Vivo Standard for Community Payments for Ecosystem Services Programmes 2013,performance-based incentiveshttp://www.planvivo.org/our-approach/)

5Mengisi PIN atau (Kertas usulan proyek) adalah salah satu persyaratan awal dalam proses sertifikasi Plan Vivo. PIN berisikan pokok yakniProject Idea Noteinformasi mengenai lokasi usulan yang akan diregistrasi penerima manfaat, jenis intervensi yang akan dilakukan apakah penjagaan hutan (menjaga stockkarbon) atau rehabilitasi (menambah stok karbon). ementara PDD berisikan informasi yang lebih detail khususnya perhitungan stok karbon hasil pengukuranSdan tambahannya.

6Putusan MK No. 35 Tahun 2012 yang menganulir sebagian dari UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan terobosan di mana negara mengakuikeberadaan hutan Hak/Adat yang bukan kawasan hutan negara. Meski pada praktiknya, pengakuan dan pengukuhan hutan adat masih menemui kendalaprosedur yang lebih bersifat politis.

7 Carbon offset adalah alat/sarana untuk mengkompensasi emisi yang dikeluarkan oleh perusahaan ataupun pribadi. Dengan membayar orang lain (ditempatlain) untuk melakukan usaha penyerapan karbon atau menghindari emisi karbon, pembeli karbon bermaksud mengganti emisi karbon yang telahoffsetmereka lakukan.

6 EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 9: Epistema Climate Change Update

Baru-baru ini, sebuah konferensi tingkat tinggi baru sajadilaksanakan di salah satu kota paling atraktif di dunia.Konferensi itu disebut-sebut sebagai Konferensi Abad ini,dengan memperhatikan isu yang diangkat dalampertemuan tersebut, utusan delegasi menghabiskan waktudua minggu penuh untuk menyetujui capaian bersama dimasa depan yang kemudian disebut Perjanjian Paris (ParisAgreement).

Indonesia sebagai peserta di dalam pertemuan jugamembawa misi ke meja perundingan yang keberlanjutanmisinya diharapkan bersesuaian dengan turunan topikpenting dalam perjanjian bersama. Tulisan ini disusun untukmemberikan pemahaman bagi pembaca mengenai posisiIndonesia dan dampak dari partisipasi Negara Indonesia didalam COP21. Bagian akhir tulisan akan berfokus pada aksi-aksi yang perlu dilaksanakan sebagai tindak lanjut strategisuntuk menangkap kesempatan dari COP21 menujuIndonesia yang berkelanjutan berdasarkan pandangan ahliperubahan iklim.

Misi Bersama

COP ( ) atau Konferensi Para PihakConference of the Partiessekali lagi diselenggarakan untuk menyatukan pemimpindunia dalam rangka menempatkan perhatian mereka padaisu perubahan iklim Di bawah UNFCCC (. UN FrameworkConvention on Climate Change) Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB), 195 negara delegasi hadir pada pertemuan di Parisuntuk misi kemanusiaan yang sama untuk melawanperubahan iklim dengan mengurangi emisi Gas Rumah Kacayang mengacu pada hasil konferensi sebelumnya.

Protokol Kyoto pada COP3 di tahun 1997 mengaturtarget pengurangan emisi untuk negara maju, tetapiAmerika Serikat mencabut dukungan dan hal inimenggagalkan sisa capaian yang ingin diperoleh dalamperjanjian tersebut. Begitu juga kegagalan pada COP15 diKopenhagen pada tahun 2009 yang berakhir dengan sebuahdraf perjanjian yang disusun pada menit-menit terakhir olehAmerika Serikat dan negara-negara BASIC (Brazil, AfrikaSelatan, India, dan Cina) di balik layar pertemuan karenaterjadi kebuntuan. Pun mengingat kembali hasil COP13 duatahun lalu dalam Roadmap Bali yang komitmennya takberbuah hasil.

Bermulai dari tanggal 30 November sampai dengan 11Desember 2015, sekitar 40.000 diplomat, pakar ahli,ilmuwan, aktivis, begitu juga para pemimpin pemerintahannegara-negara di dunia terlibat di dalam KonferensiPerubahan Iklim, COP21 di Le Bourget, Paris Utara.

COP21 dilaksanakan untuk melibatkan sejumlah pesertayang merupakan delegasi negara-negara, ditambah sebuahblok ekonomi (Uni-Eropa) untuk bersepakat dan menyetujuimengenai rencana masa depan yang berkelanjutan denganmeluncurkan tindakan dan investasi ke arah kehidupan yanglebih rendah karbon. Rencana tindakan ini akanmenghasilkan sebuah perjanjian bernama Perjanjian Parisuntuk Perubahan Iklim.

Sudut Pandang Indonesia

Delegasi Indonesia yang dipimpin langsung oleh PresidenJoko Widodo menghadiri pertemuan yang disebutkonferensi perubahan iklim abad ini. Pada kesempatantersebut, Joko Widodo menyampaikan bahwa Indonesia

COP 21: Menangkap Kesempatan

Menuju Indonesia yang Berkelanjutan

Ratna Nataliani1

1 K Penulisonsultan bidang energi dan lingkungan yang bekerja pada proyek bangunan dan perkotaan yang berkelanjutan di Indonesia. juga

bersertifikat Greenship Professional dari Green Building Council Indonesia, dan memiliki perhatian pada isu energi secara umum.

([email protected])

7EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 10: Epistema Climate Change Update

berkomitmen untuk mendukung pengurangan emisi karbonsebanyak 29% dengan target pada tahun 2020 untukmengontrol kenaikan suhu global di bawah 2 C.0

Sebagaimana yang dijelaskan dalam dokumen kontribusinasional atau yang disingkat INDC (Intended NationallyDetermined Contribution) Indonesia, bahwa Indonesiamerupakan negara demokrasi baru, namun belum stabil, dannegara terpadat keempat di dunia. Meskipun pertumbuhanekonomi multi-dekade terjadi terus menerus, kurang lebih 11%dari populasi Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan.Untuk menyelesaikan persoalan kemiskinan, pemerintahIndonesia mempromosikan pembangunan ekonomi yangdiproyeksikan rata-rata minimal 5% per tahun dalam rangkamengurangi angka kemiskinan hingga di bawah 4% hinggatahun 2025.

Sasaran pembangunan strategis Indonesia yang dikenalsebagi Nawacita (atau Sembilan Agenda Prioritas),memetakan jalur transisi ke arah realisasi perubahan jangkapanjang, yang menyejajarkan visi Indonesia secara kedaulatanpolitik, kemandirian ekonomi bangsa dengan identitasbudaya yang mengakar. Prioritas ini konsisten dengankomitmen nasional terhadap ketahanan perubahan iklim, dimana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim terpadu dalamprioritas Perencanaan Pembangunan Nasional JangkaMenengah.

Intended Nationally Determined Contributions (INDC)Indonesia menggarisbawahi bahwa transisi negara ke arahmasa depan yang rendah karbon digambarkan denganpeningkatan aksi dan lingkungan yang kondusif selamaperiode 2015-2019 yang akan meletakkan dasar untuk tujuanyang lebih ambisius setelah tahun 2020, berkontribusiterhadap usaha bersama mencegah peningkatan suhu global2 C. Untuk tahun 2020 dan setelahnya, visi Indonesia akan

0

merealisasikan ketahanan iklim nusantara sebagai hasil dariprogram-program adaptasi dan mitigasi yang komprehensif,serta strategi pengurangan risiko bencana.

Berdasarkan dokumen yang disediakanCountry Briefoleh sekretariat UNFCCC untuk COP21 dapat dilihatsebagaimana grafik di bawah ini bahwa emisi CO meningkat2

baik menurut bahan bakar (grafik 1) maupun sektor (grafik2) seiring waktu di Indonesia.

Grafik 1. Emisi Berdasarkan Jenis Bahan Bakar diCO2

Indonesia

Grafik 2. Emisi Berdasarkan Sektor Penting diCO Indonesia2

Grafik di atas menggambarkan kenaikan secara stabilyang dapat menjadi ancaman jika langkah perubahanmendasar tidak segera dilakukan. Apabila penguranganemisi karbon di setiap negara menunjukkan suatu stagnasi,suhu global pada tahun 2030 diprediksi meningkat sebesar3 C. Seperti yang dijelaskan oleh komisi dalam pertemuan

0

COP21, “Hal itu dapat berarti kenaikan (suhu) antara 2.7 C0

dan 3.5 C di akhir abad (ini)”.0

Dalam rangka mencegah peningkatan suhu global,Indonesia akan memasukkan sejumlah strategi jangkapendek, jangka menengah, dan jangka panjang untukmengurangi emisi karbon sebagaimana yang telahdilakukan oleh negara-negara lainnya. Tindakan realisasipengurangan karbon tentu saja tidak murah, mengingatjuga tantangan terbesar Indonesia adalah pada sektorhutan, energi, industri, dan pertanahan.

Kepala Proyek Perkotaan Kampus Valley, KotaBordeaux, Prancis, Julien Birgi yang juga menaruh perhatianpada pembangunan kota berkelanjutan di Jawa Tengah,memiliki opini atas isu perubahan iklim tersebut. Iamengatakan, “Memerhatikan kondisi kepulauan Indonesiasebanyak lebih dari 17.000 pulau kecil, ini (Indonesia)mungkin cenderung menjadi korban perubahan iklim,terutama melalui peningkatan permukaan air laut. Disamping itu, Indonesia mungkin dapat dilihat sebagai salahsatu 'siswa nakal di kelas' dengan berhutang pada kasuskebakaran hutan, dan pemanfaatan energi berbasis batubara yang berkembang sangat cepat. Sehingga sebagainegara berkembang, pertaruhan sangat tinggi bagi delegasiIndonesia yang menegosiasikan transfer teknologi, danpendanaan untuk mengembangkan cara (pembangunan)yang lebih bersih bagi lingkungan dengan mendorongskema pendanaan untuk realisasi teknis program.”(komunikasi pribadi, 5 Desember 2015)

Sayangnya, pertanyaan sulit dihadapi oleh Indonesiasaat COP21 mengenai salah satu isu utama perubahan iklim,yakni kebakaran hutan. Foto di menggambarkanbawahkondisi lahan yang terbakar di Nyaru Menteng,Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang memicu keluhandari sejumlah negara tetangga, terutama Malaysia danSingapura. Isu lainnya mengenai rencana membangunproyek pembangkit listrik tenaga batu bara. Isu-isu ini jelasbertentangan dengan target nasional untuk mengurangi

8 EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 11: Epistema Climate Change Update

secara mandiri emisi karbon sebanyak 26% pada 2030, atau41% dengan dukungan internasional

Namun, pemerintah Indonesia masih dapat menunjukanbahwa secara bertahap melawan perubahan iklim, sebagaicontoh dengan komitmennya pada pengurangan emisi gasrumah kaca, dan sejumlah aksi-aksi yang akan dijalankan.Jokowi mengatakan “Masalah sebenarnya akandisampaikan; semua hal yang telah kami mulai termasuk soalrestorasi gambut, mengkaji ulang izin-izin lama, danmoratorium pada periodetertentu.”

L'Accord de Paris (Perjanjian Paris)

Kurang lebih selama dua minggu delegasi yang hadirmenghabiskan waktu untuk diskusi dan negosiasi panjang,dan akhirnya setelah tambahan waktu satu hari dari jadwalawal, pemimpin-pemimpin pada pertemuan PBB untukkeberlanjutan masa depan dunia di Paris mengadopsi hasilpakta perubahan iklim dalam pertemuan tersebut.

“Saya sekarang mengundang (peserta) COP untukmengadopsi keputusan yang berjudul Perjanjian Paris yangdirangkum ke dalam dokumen,” tutur Presiden sektor IklimPBB di COP, Menteri Luar Negeri Prancis, Laurent Fabius. Diamelanjutkan, “Melihat keluar ruangan, saya melihat reaksipositif, dan saya tidak melihat bantahan atas diadopsinyaPerjanjian Paris. Perjanjian Paris dapat diterapkan.” Fabiusberpendapat bahwa naskah final dari Perjanjian Parisdikeluarkan untuk menyeimbangkan kesempatan yang adilbagi setiap pihakyang ambisius, dan realistis.

Di bawah ini adalah beberapa butir penting dariPerjanjian Paris ( ).L'Accord de Paris

1. Mitigasi Membatasi kenaikan suhu global pada angka:1 5 C,

0

Perjanjian Paris menyatakan komitmen untuk tetapmenjaga kenaikan suhu global hingga 1,5 di atas level pra-0Cindustri. Hal ini melebihi yang diantisipasi oleh para pesertadengan membandingkan level suhu 2 C yang disetujui oleh

0

hampir 200 negara di pertemuan Kopenhagen enam tahun

yang lalu. Hasil tersebut adalah sebuah loncatan bagikebanyakan negara kepulauan kecil seperti Filipina danTuvalu yang secara penuh mendukung ide tersebut.Sementara negara-negara seperti Cina, India, dan Uni EmiratArab masih meyakinkan bahwa kenaikan suhu 3 C akan

0

tetap layak.

John Schellnhuber, ilmuwan dan penas hat untuki

Jerman dan Vatikan, menyatakan bahwa bahaya seriusditandai dengan 1,5 C sebagai titik balik iklim dunia. Perlu

0

diingat bahwa hari ini kenaikan suhu dunia telah mencapai0,85 C sejak masa pra-industri, dan data terakhir belum

0

menunjukan kemungkinan turunnya emisi global yangdapat mengakibatkan pemanasan global. Ilmuwan lain jugamempertimbangkan bahwa ketika peningkatan menyentuhangka 2 C, hal itu dapat berarti bahwa bencana perubahan

0

iklim akan segera terjadi.

Pada kondisi setelah tahun 2050, seperti disebutkandalam perjanjian, bahwa emisi yang dihasilkan oleh manusiaharus dikurangi ke tingkat yang dapat diserap oleh hutandan laut. Bagaimanapun, adanya instrumen penting untukmenghasilkan sistem kontrol yang terpercaya adalahsebuah pengukuran yang memadai untuk mencapai target,sebagaimanatelah dicatat oleh aktivis lingkungan di Paris.

2. Trans :paransi Peninjauan perkembangan setiap limatahun

Terdapat 188 negara yang telah memasukan rencananyauntuk melanjutkan komitmen yang telah dibuat dalammengurangi dan membatasi emisi pasca tahun 2020, danhingga tahun 2030. Rencana ini tentu tidak cukup untukmenjamin bahwa dampak bencana dari peningkatan pesuhuglobal tidak akan terjadi.

Hal tersebut kemudian menjadi alasan dibuatnya suatumekanisme peninjauan ulang per lima tahun terhadapperjanjian-perjanjian, dalam rangka mencapai ambisi yangdisepakati. Tinjauan pertama akan diselenggarkan padatahun 2018, namun berdasarkan perjanjian, peninjauanglobal pertama akan dilakukan di tahun 2023 sebagaimanadinyatakan dalam Ayat 14 di bawah ini.

9

Metode tebang dan bakar dalam membuka lahan di Palangkaraya,Kalimantan Tengah

(S : Jakarta Post)umber

Pasal 21. Perjanjian ini, dalam rangka meningkatkan implementasi Konvensi,

termasuk tujuannya, ingin memperkuat respon global terhadapancaman perubahan iklim, dalam konteks pembangunan

berkelanjutan dan usaha untuk mengentaskan kemiskinan,termasuk dengan:

(a) Menahan angka peningkatan rata-rata suhu dunia di bawah 20C diatas level pra-industri dan mengejar usaha untuk membatasi

peningkatan suhu pada angka 1,50C di atas level pra-industri,mengakui bahwa hal ini secara signifikan akan mengurangi risikodan dampak perubahan iklim;

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 12: Epistema Climate Change Update

3. Adapta :si Memperkuat Kemampuan Negara-Negara

Target mitigasi membutuhkan upaya adaptasi negara-darinegara untuk mencapai tujuandalam mengambil tindakanyang diharapkan. Pemberitaan pada isu adaptasi yangdiajukan oleh semua negara akan memperinci prioritas-prioritas adaptasi, dukungan kebutuhan, dan perencanaan.Berdasarkan hal tersebut, dukungan untuk aksi adaptasidiharapkan meningkatkan negara-untuk dukungan untuknegara berkembang akan dinilai dalam memastikan bahwahal itu telah memadai.

Komitmen ini didasarkan pada pandangan bahwaadaptasi adalah dalam berkolaborasitahapan utama danberkontribusi respons global jangka panjanguntukterhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, beberapa upayateknis telah termasuk transfer teknologi dandimasukanpengembangan kapasitas.

10

2. Konferensi para pihak yang terlibat di dalam Perjanjian Parisakan melakukan peninjauan di tahun 2023, dan setiap lima tahunsesudahnya, kecuali dinyatakan oleh Konferensi para pihak yangberfungsi sebagai pertemuan para pihak untuk Perjanjian Paris.

3. Hasil dari peninjauan global akan diinformasikan kepada parapihak dalam memperbarui dan meningkatkan pada cara yangditentukan secara nasional, aksi dan dukungan mereka sesuaidengan ketentuan yang relevan dalam Perjanjian Paris, sertadalam meningkatkan kerjasama internasional untuk aksi iklim.

Dari kiri ke kanan, Christiana Figueres, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Sekretaris Jenderal PBB – Ban Ki-moon, Menteri LuarNegeri Prancis –Laurent Fabius, Presiden COP21 dan Presiden Prancis – Francois Hollande merespons selama sesi sidang plenofinal pada Konfrensi Perubahan Iklim Dunia 2015 (COP21) di Le Bourget, dekat Paris. Photo:Reuters/Stephane Mahe

Pasal 51. Para pihak yang terlibat harus mengambil tindakan untuk

melestarikan dan meningkatkan upaya, mengurangi danmenampung Gas Rumah Kaca sebagaimana yang tercantum pada

Pasal 4, Paragraf 1(d) dari Konvensi, termasuk hutan.

2. Para pihak didorong untuk mengambil tindakan implementasi dandukungan termasuk melalui pembayaran berbasis hasil, kerangkakerja yang berlaku sebagaimana terkait dalam petunjuk dan

keputusan yang telah disepakati di bawah Konvensi untuk:pendekatan kebijakan dan insentif positif untuk aktivitas yangberhubungan dengan pengurangan emisi dari deforestasi dandegradasi hutan, dan peran konservasi, pengelolaan hutanberkelanjutan, serta peningkatan karbon hutan.

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 13: Epistema Climate Change Update

4. ngatasiKerugian dan Kerusakan Me Korban:

Negara-negara kepulauan adalah pihak yang paling rentanterhadap untukperubahan iklim. Pada bagian barumengakui “Kerugian dan Kerusakan” ( )Loss and Damagetelah dibawa dalam meja diskusi sejumlahyang terdiri darimekanisme untuk mengidentifikasi kerugian finansial dankerentanan sebagai akibat dari cuacanegara-negaraekstrim.

Amerika Serikat mengkhawatirkan mekanismebahwa“Kerugian dan Kerusakan” akan membawa pada klaimkompensasi kerusakan yang sering dialami oleh negara-negara rentan bencana. Namun, berita baiknya adalahmekanisme tersebut akhirnya memasukkan klausultambahan yang menenangkan Amerika Serikat denganmenyatakan bahwa tidak ada kewajiban atau kompensasiyang terjadi dalam mekanisme.

5.Dukungan Skema Pendanaan untuk Pembangunan:

Sebagai bagian dari upaya dunia, negara maju menyetujuiuntuk melanjutkan dukungan kepada negara-negara yanglebih miskin untuk membantu mereka dalam membangunmasa depan yang lebih tangguh dan memelihara ekonomihijau ( ) dengan memerhatikan prioritas dangreen economykebutuhan negara penerima dalam perhitungan. Sebagaicatatan, skema finansial ini telah dipindah ke dalam tekskeputusan tanpa ikatan hukum.

Beberapa kontribusi kesukarelaan juga disertakan dalamperjanjian. Hal ini mendorong negara berkembang dengankemunculan ekonomi baru, seperti Cina, untuk mengambilbagian dalam investasi perubahan iklim di negara lainnya,meskipun tidak diwajibkan.sifatnya

Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi(OEC D/Or ga ni za ti o n fo r Eco nomi c Co - op era ti o nDevelopment) melaporkan bahwa perkembangan skemakeuangan iklim menunjukan negara-negara maju telahsukses menggalang dana sebesar $62 miliar di tahun 2014,sebagai komitmen untuk mencapai target yang telahdibangun di Kopenhagen untuk meningkatkan bantuanhingga $100 miliar per tahun pada periode 2020. Targetmobilisasi kolektif ini diperpanjang hingga tahun 2025telahmelalui Perjanjian Paris.

Dampak Orientasi Perubahanpada PeraturanIklim Indonesia

Penting untuk mengingat lima butir penting dalamPerjanjian Paris yang telah diulas sebelumnya, yakni:Mitigasi, Transparansi, Adaptasi, Kerugian dan Kerusakan,serta Bantuan Dukungan, yang saling berkaitan. KomitmenIndonesia di dalam dokumen INDC Perjanjian Parisdandapat orientasi peraturansecara kuat mengabsahkanperubahan iklim di Indonesia.

Keunggulan dari Perjanjian Paris adalah membuat semuanegara sepakat peningkatan suhu duniapada pembatasanpada angka 1.5 C. penolakan0 yang awalnya memunculkandari negara-negara seperti Amerika Serikat, Cina, atau Indiayang memiliki level emisi karbon tinggi. Namun, setelahtambahan waktu satu hari untuk mendiskusikan targettersebut, dengan penghitungan ulang, dan pendekatan

11

Pasal 7

1. Para pihak membangun sasaran global pada adaptasi danpeningkatan kapasitas adaptif, memperkuat risiliensi dan

mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim, denganpandangan untuk kontribusi pembangunan berkelanjutan danmemastikan respons adaptasi yang memadai dalam konteks targetsuhu yang disebutkan dalam Pasal 2.

2. Para pihak mengakui bahwa adaptasi adalah tantangan global yang

dihadapi oleh semua pihak dalam level lokal, sub-nasional,nasional, regional, dan dimensi internasional, dan hal itu menjadikomponen kunci, dan membuat kontribusi respons global jangkapanjang terhadap perubahan iklim untuk melindungi penduduk,mata pencaharian, ekosistem, mengambil perhitungan penting dankebutuhan mendesak pada Para Pihak dari negara berkembang

yang rentan terhadap kerugian dampak dari perubahan iklim.3. Para Pihak dari negara berkembang yang rentan terhadap kerugian

dampak dari perubahan iklim.Upaya adaptasi Para Pihak darinegara berkembang harus diakui sesuai dengan modalitas yangditerapkan oleh para pihak Konferensi dalam Perjanjian Paris padasesi pertama.

4. Para pihak mengakui kebutuhan sekarang untuk adaptasi adalahhal yang signifikan, dan level yang lebih besar pada mitigasi dapatmengurangi kebutuhan untuk upaya adaptasi tambahan,dankebutuhan adaptasi yang lebih besar dapat melibatkan besarnyabiaya adaptasi. hutan berkelanjutan, serta peningkatan karbon

hutan.

Pasal 8

1. Pihak-pihak mengakui pentingnya pencegahan, meminimalisir danmenangani kerugian dan kerusakan yang terkait dengan dampak

perubahan iklim, termasuk peristiwa cuaca ekstrim, dan peristiwabencana yang berlangsung-langsung menjadi semakin tinggi(dampaknya), dan peran pembangunan berkelanjutan dalammengurangi risiko kerugian dan kerusakan.

54. Keputusan lebih lanjut tersebut berdasarkan Pasal 9, paragraf 3dalam perjanjian, bahwa negara-negara maju bermaksud untukmelanjutkan target mobilisasi kolektif hingga 2025 dalam konteksaksi mitigasi dan transparansi pada tahap implementasi; sebelum2025 para pihak yang terlibat dalam Konferensi Perjanjian Paris

akan menetapkan target kolektif baru dari dasar 100 miliar USDper tahun dengan perhitungan kebutuhan dan prioritas negaraberkembang.

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 14: Epistema Climate Change Update

antarpihak, akhirnya semua pihak menyepakati hasiltersebut.

Sebenarnya 1.5 C adalah angka yangpembatasan0

mendukung ,Indonesia sebagai negara kepulauan yangpotensi peningkatan permukaan laut dapat sajamenenggelamkan kepulauan yang ada. Berdasarkanpenjelasan Direktur Pusat Penelitian Perubahan IklimUniversitas Indonesia (RCCCUI/ Research Centre of ClimateChange University of Indonesia), Jatna Supriatna, Ph.D,bahwa Indonesia sebenarnya memiliki kemampuanmengurangi emisi karbon hingga angka 30-40% pada tahun2020 (komunikasi pribadi, 11 Januari 2016). Namun, konversilahan tetap menjadi masalah kritis di Indonesia.

Diperkirakan 60% dari total emisi karbon Indonesiadisebabkan oleh konversi lahan. lahan tersebutKonversitermasuk konversi kawasan hutan, pembalakan liar,kebakaran hutan, gambutpengeringan kawasan yangmeningkatkan dengan cepat level emisi Indonesia. Isutersebut sangat berkaitan dengan otoritas tata kelola lahan.Hal ini menunjukkan pentingnya pemerintah pusatbagi danpemerintah daerah untuk memiliki kesamaan visi sebagaisebagai pemangku kepentingan utama dalam pengelolaanlahan.

Satu faktor penting dalam konversi lahan adalahpertumbuhan nasional melalui pembangunan secara fisik.Pembangunan telah dipercepat di Indonesia selamabeberapa dekade yang membuat peningkatan konsumsiinienergi dan secara bertahap meningkatkan emisi karbon.Berdasarkan Global Footprint Network, jejak karbonIndonesia menyentu angka 1,4 di tahun 2010 yang berartihaktivitas 1,4 bagian bumi.konsumsi nasional setara denganOleh karena itu, percepatan pembangunan dari PresidenJokowi yang bersemangat mendukung pembangunaninfrastruktur juga perlu diperhitungkan.

Grafik di bawah ini menggambarkan Indonesia telahhampir dua kali menghasilkan emisi karbon dari periode1990 hingga 2020, Emisi karbon dioksida (CO )2 Indonesiabahkan lebih buruk di tahun 2005 yang secara dramatisme tiga kali 15tahun.ningkat hampir besarnya dalam

Semua emisi dikurangi dan elemen yangperlu semuamenyerap emisi tersebut harus dipulihkan. Hal itu diprediksipada periode 2020—2025, emisi karbon dari bahan bakarfosil konversiakan melebihi dari emisi yang dihasilkan darilahan sebagaimana yang di pada grafik di bawahilustrasikanini (J. Supriatna, komunikasi pribadi, 11 Januari 2016). Dalammengantisipasi hal tersebut, sejumlah tindakan harusdidesak dan dipercepat , sebagai contohsesegera mungkin ,melalui implementasi energi terbarukan dan semuapembangunan berkelanjutan . Mengenaisecara umumpermasalahan tersebut, sumberdaya pentingsejumlahdibutuhkan, seperti pen anmanusia, teknologi, dan dana .Indonesia seharusnya lebih mendorong untuk lebihmemperoleh dukunganatau melalui COP21fasilitasi .

Masalah mendesak saat ini adalah tidak ada skema yangjelas tentang penggalangan dana. Hal ini penting untukmenindaklanjuti dana perwalian yang akan mendanaikebutuhan untuk mendukung pada negara-negara kecil danberkembang dalam pengembangan kapasitas, transferteknologi, dan dukungan finasial baik secara langsungmaupun tidak langsung.

Selama COP21, negara-negara kecil dan berkembangmemperdebatkan bahwa mereka tidak mampu mengatasisendiri dengan bencana yang disebabkan oleh perubahaniklim. Oleh karena itu, sejumlah sumber dana harusdipersiapkan untuk membantu mitigasi dan adaptasiperubahan iklim. Hal ini adalah saat inisiatif pengumpulandana $100 miliar hingga tahun 2025 dimulai.

Direktur RCCCUI meyakini bahwa diskusi lebih lanjutpada skema keuangan harus dilakukan saat pertemuanteknis selanjutnya untuk mempersiapkan pertemuan COPmendatang. Namun, ia tetap optimis bahwa negaraberkembang akan memiliki setidaknya $100 miliar dalamperiode 10 tahun sebagaimana yang dijanjikan, berdasarkanpengalaman mereka dalam menggalang dana danmemerhatikan peningkatan kepedulian dunia isupadalingkungan. Selain itu, sumber keuangan dari militer danpersenjataan yang sangat besar, dengan demikian tidakEmisi dan IndonesiaCO , CH , N O, HFCs, PFCs, SF62 4 2

( : UNFCCC)Sumber

Ilustrasi Sumber Emisi Karbon di Indonesia

12 EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 15: Epistema Climate Change Update

menjadi alasan bahwa dana perwalian tidak dapat diangkatuntuk memenangkan ‘perang’ melawan perubahan iklimuntuk kemanusiaandan perdamaian dunia.

Bagaimana danmenangkap kesempatankeuntungan: Rencana Strategi di Masa Depan

Indonesia mampu mengambilharus kesempatan untukmengembangkan Negara dalam hal berkelanjutan dankomitmennya, serta .komitmen dari negara-negara lainnyaUntuk menjawab kesempatan yang di daritawarkanPerjanjian Paris, begitu juga tantangan dari konversi lahan,dan percepatan pembangunan di Indonesia, setidaknyaterdapat tiga tindakan aksi strategis yang perlu diambil,berdasarkan pendapat Direktur RCCCUI, Jatna Supriatna,Ph.D.

1. KomisiPenguatan

Sebuah komisi bernama Dewan Nasional PerubahanIklim (DNPI) berjalan saat pemerintahan Presiden SusiloBambang Yudhoyono yang fokus terhadap isuperubahan iklim. Sayangnya, DNPI tidak berfungsiseperti yang diharapkan karena koordinasi tidak efektif,yang berakar padaegoisme sektoral.

Pengalaman adalah guru yang terbaik. ApabilaIndonesia ingin mendorong regulasi dan memulai aksiterhadap perubahan iklim, harus ada suatu lembagasuperbody mengelola isu perubahan iklim diuntukI n d o n e s i a y a n g b e r t a n g g u n g j a w a b u n t u kmengimplementasikan sejumlah aksi strategis. DNPIdi kan lembaga pemikir (persiap untuk menjadi thinktank), serta komisi penegakan yang bekerja padapelaksanaan operasional. Komisi penegakan ini harusjuga memiliki otoritas untuk memerintahkan dan bukanhanya mengkoordinasikan sebagaimana yang telahDNPI lakukan.

Berbagai program perlu dilakukan, seperti investasilingkungan dan pajak lingkungan untuk meningkatkanpembiayaan dalam percepatan pembangunanberkelanjutan. Program tersebut dapat dijalankan dandikembangkan melalui komisi ini, yang dapat jugadi implementasikan dalam kerjasama denganKementerian Keuangan. Ide yang ditawarkan adalahuntuk memiliki lembaga khusus yang bekerja danmenjadi fokus pada resolusi perubahan iklim sebanyakyang dibutuhkan oleh negara, tanpa halangan birokrasipemerintahan yang kaku.

2. Lembaga Pengawasan ( )Watchdog

Di Indonesia, Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional (Bappenas) memiliki tanggungjawab untukpenataan perencanaan terhadap target dan strategiperubahan iklim. Pada sektor audit keuangan, terdapatBadan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan BadanPengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Auditor-auditor tersebut tidak bertanggungjawabuntuk meninjau perkembangan pengurangan emisi gasrumah kaca, yang seharusnya diambilalih oleh gugustugas khusus atau Organisasi Non-Pemerintah/LembagaSwadaya Masyarakat yang ditugaskan sebagai lembagapengawas untuk tetap memantau upaya yang dilakukanoleh pemerintah. Karena tanpa otoritas tersebut,dikhawatirkan komisi yang ada akan terjebak.

Dengan adanya lembaga pengawas tersebut berartisejumlah isu pengawasan dapat bekerja di Indonesia.Dalam pengawasan alokasi dana, terdapat lembagaFITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran)dan dalam pengawasan lingkungan terdapat WALHI(Wahana Lingkungan Hidup Indonesia). Idenya adalahuntuk mendorong kinerja pemerintah guna memenuhikebutuhan nasional dan prioritas dari perspektifmasyarakat Indonesia, dan bukan karena desakaneksternal.

3. Peraturan yang Efektif dan Penegakan Hukum

Dua masalah utama adalah: konversi lahan danpembangunan berkelanjutan. Kedua masalah tersebutadalah kelemahan Indonesia selama COP21, dalam halkebakaran hutan dan pengadaan pembangkit listriktenaga batubara. Peraturan yang kuat pada isu tersebutakan menyebabkan perubahan yang signifikan padadampak perubahan iklim di Indonesia. Konversi lahantelah meningkat sebagai pengalihan lahan yangdidelegasikan ke tingkat provinsi. Hal ini juga berartipemantauan lebih mudah dilakukan, bahkan oleh LSMdan universitas. Namun, masih ada pekerjaan rumahyang harus dilakukan untuk meningkatkan pengelolaanpemerintah pusat guna pengawasan yang lebih efektifdan penegakan hukum di alih fungsi lahan. Kebakaranhutan merupakan masalah yang sempurna sekarang ini.

Penegakan hukum perlu untuk ditegak an baik padakpelaku dan pada mereka yang tidak menegakkan hukum.Sebuah contoh yang tepat dari lemahnya penegakanhukum adalah keputusan pengadilan yang tidak adilpada kasus kebakaran hutan yang baru-baru ini terjadi diPalembang. Masalah penting lainnya adalah termasukdampak insidentil dari lemahnya penegakan yang jugaharus diperhitungkan. Mengatasi dampak kesehatandari masalah kebakaran hutan membutuhkan tim ahli,teknologi, dan pendanaan.

13EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 16: Epistema Climate Change Update

B e b e r a p a p e r a t u r a n t e l a h m e n d u k u n gpembangunan berkelanjutan di Indonesia, namun hal itutampaknya tidak cukup. Diversifikasi energi ke energiterbarukan dan konservasi energi melalui pendekatanlingkungan ( ) merupakan cara untukgreen approachesmendorong pembangunan berkelanjutan. Padakenyataannya hal itu masih sangat lambat dilakukan.Memang, kondisi ini akan memakan waktu, tetapi pasaruntuk pembangunan berkelanjutan berada dalam posisiyang rentan karena tidak tegas diatur oleh pemerintah.

Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan perlulebih pasti dan rinci. Sementara itu, peraturan yang adasering terlalu umum dan tidak cocok dengan kondisipasar. Selain itu, permasalahan sosial menyebabkanpada lambatnya perkembangan pembangunanberkelanjutan. Salah satu contoh adalah di Bali, terdapatgunung yang akan dimanfaatkan untuk eksplorasi energipanas bumi namun dianggap pula sebagai gunung sakraloleh masyarakat setempat; oleh karena itu tidakdiperbolehkan melakukan eksplorasi tersebut.

Pasar merupakan elemen yang penting dalammengembangkan pembangunan berkelanjutan.Peraturan yang jelas dan tegas dapat mendorong pasarun tu k m eny esua i kan de nga n st an d ar yangberkelanjutan. Skema yang efektif perlu dilaksanakanuntuk mengawasi pelaksanaan teknis pada semuasektor pembangunan berkelanjutan. Idenya adalahuntuk menghasilkan keseimbangan antara konsumsienergi nasional dan produksi energi (berkualitas) danefisiensi.

Kesimpulan

Perjanjian Paris adalah pemicu strategis bagi Indonesiauntuk membuat loncatan guna menjadi bangsa yangberkelanjutan. Terdapat peluang yang perlu dimanfaatkansebanyak yang dibutuhkan untuk memudahkan aksi nyatadalam menghadapi kebutuhan masyarakat. Indonesia harusbekerja melawan masalah konversi lahan, kekuranganenergi bersih, buruknya kondisi kesehatan, dampakpeningkatan permukaan laut di pulau-pulau kecil, dan isu-isuterkait iklim lainnya yang merupakan prioritas di matamasyarakat. Indonesia harus mulai mengembangkan darititik kebutuhan internal, dan bukan desakan dari negara-negara lain.

Pemerintah juga harus secara signifikan lebih efektifdalam menyusun peraturan dan koordinasi sebagai aksiyang paling penting dan strategis dari segala solusi yangada. Hal ini adalah kunci. Selanjutnya, pemerintah harusmemiliki performa kompetitif, bahkan jika dibandingkandengan sektor swasta. Tujuannya adalah memiliki kualitasproduk yang lebih baik dalam bentuk apapun bagimasyarakat, bukan hanya pada level perencanaan,

melainkan juga dalam level pelaksanaan teknis.

Referensi

Boettcher, Daniel: “COP21 climate change summit reachesdeal in Paris”: [http://www.bbc.com/news/science-environment-35084374], December 13, 2015

Briggs, Helen: “Global climate deal: In Summary”: [http://www.bbc.com/news/science-environment-35073297],December 12, 2015

EBF : “Indonesia faces tough questions on fires, dirty energyat COP21”: [http://www.thejakartapost.com/news/2015/12/01/indonesia-faces-tough-questions-fires-dirty-energy-cop21.html], December 1, 2015

Gosden, Emily: “Paris climate change agreement 'a majorleap for mankind'”: [http://www.telegraph.co.uk/news/earth/paris-climate-change-conference/12047909/Paris-c l i m a t e-c h ang e- agr ee m ent - a - m aj or - l eap -f or -mankind.html], December 13, 2015

Le Hir, Pierre: “COP21 : les points clés de l'accord universelsur le climat”: [http://www.lemonde.fr/cop21/article/2015/12/12/cop21-les-points-cles-du-premier-accord-universel-sur-le-climat_4830606_4527432.html#],December 13, 2015

Lubis, Uni Z.: “LIVE BLOG Konferensi Perubahan IklimCOP21”: [http://www.rappler.com/indonesia/114469-blog-konferensi-perubahan-iklim-cop-21], December 13,2015

Republic of Indonesia. 2015. Intended NationallyDetermined Contribution (INDC)

Ritter, Karl: “Key points of the landmark Paris climateagreement”: [http://www.thejakartapost.com/news/2 015/12 /13 /key-points - landm ark-p ar is -c l i mate-agreement.html], December 13, 2015

UNFCCC News Room: “Finale COP21”: [http://newsroom.unfccc.int/unfccc-newsroom/finale-cop21/], December27, 2015

United Nations Cimate Change Secretariat. September 2015.UNFCCC 2014: Indonesia.Country Brief

United Nations Framework Convention on Climate Change(UNFCCC). December 2015. Adoption of The ParisAgreement, COP21.

Vaughan, Adam: “Paris climate deal: key points at a glance”:[http://www.theguardian.com/environment/2015/dec/12/paris-climate-deal-key-points], December 12, 2015.

Watters, Haydn: “5 key points in Paris Agreement on climatechange”: [http://www.cbc.ca/new s/world/paris-agreement-key-climate-points-1.3362500], December 12,2015.

14 EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 17: Epistema Climate Change Update

CLIMATE CHANGE UPDATEVolume 03/2016

Muhammad Yusuf

REDD+, Threat or Opportunity: Reflecting on theImplementation of the Plan Vivo Certification in CommunityForestry System Management Areas

Ratna Nataliani

COP21: Seizing Opportunities toward a Sustainable Indonesias

Epistema Climate Change Update is a periodical bilingual publication publishedby Epistema Institute. This publication provides a brief explanation on recentpolicy developments and discourses on climate change in Indonesia.

Editorial boards: Yance Arizona, Luluk Uliyah, Muki T. Wicaksono, Desi Martika V,Yustina Murdiningrum.

Translator: Bridget Keenan

layout: Andi Sandhi

Photos: Various Sources

Jalan Jati Padang Raya No. 25,Jakarta Selatan, 12540.Phone: +62 21 7883 2167Fax: +62 21 7883 0500Email: [email protected]: epistema.or.id

Page 18: Epistema Climate Change Update
Page 19: Epistema Climate Change Update

Introduction

The projects initiated to date by various global institutions inIndones ia on managing natural resources andenvironmental improvement (ecology) signify that theseecological and environmental improvement projects are noneutral matter, but rather necessitate social political andeconomic regulations at the community level. Land andforest based mitigation and adaptation to climate change(REDD+) are integral to these mega projects. The choice ofthe word "mega" is not an overstatement or without reasonin looking at the deployment of public funds subsequent tosupporting policies at the global, national and local levels insupport of REDD+ projects. The study team's reportinitiated by the Climate Policy Initiative in collaboration withthe Fiscal Policy Agency at the Indonesian Ministry ofFinance (2014) states that in 2011, at least Rp. 8.4 trillion(USD 951 million) of climate change funds was derived frompublic funding sources both domestically (Rp. 5.5 trillion)and internationally (Rp. 2.9 trillion). It is even planned thatthe Government of Norway together with the Global GreenGrowth Institute (GGGI) will provide USD 19 million(equivalent to approximately Rp. 250 billion) of grants toIndonesia to support green investments in the Indonesianrenewable energy sector, in special economic zones,forestry and other land use sectors (kompas.com,November 27,2015).

2

Like a massive wave that is difficult to avoid,fundamental questions have emerged on how do forestcommunities (hereinafter referred to as community basedforest system management/SHK communities) that have astrong connection to forest resources and SHK supportersrespond to these environmental improvement projects andREDD+? To what extent are these projects understood andintegrated into the activities of SHK communities andsupporters? Finally, to what extent are the constraints andopportunities (if any) of forest governance improvementpolicies and practices at the project site level?

In answering these questions above, this article tries toreflect on the experience of the author's involvement indeveloping the community carbon Payment forEnvironmental Services/PES model through the Plan Vivocertification, which was initiated by the Konsorsium

pendukung Sistem Hutan Kerakyatan - KpSHK (Consortiumfor Supporting Community Based Forest SystemManagement) together with regional partner institutes.

Beyond the debate and narrative discourse on globalREDD+ projects, seeing the lives of people in and aroundforests as communities that are isolated from the outsideenvironment (global) consists of a romantic worldview thatmust be viewed critically, regardless of REDD+. In someproject locations and SHK areas, other than timber,communities utilize forests by cultivating crops throughagro forestry systems that do not only supply local marketsbut export commodities such as coffee, cocoa, cinnamonand so on. Global commodity trading activities have beendeveloped since the colonial era, which in turn hasdetermined the patterns of local and global relations.Following the view of Chayanov (1966: 258), "through theserelations (trade relations, writers) every small hold farmerbecomes an organic part of the world economy,encountering the impacts of the world economy and beingcontrolled by the management of it through globalcapitalistic economic demands, which in turn, along withmillions of fellow farmers, affects the entire globaleconomic system. “

REDD+, Threat or Opportunity: Reflecting on the Implementation of the PlanVivo Certification in Community Forestry System Management Areas

Muhammad Yusuf1

1 K Mana er Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK)nowledge Management g at (Consortium for Supporting Community BasedForest System Management) The author can be contacted by at:. email [email protected] / [email protected]

A Community Forestry farmer is measuringBukit Regis Lampungthe of a tree in the carbon stock measuring plot in a PlandiameterVivo certification proposed area cumentation:(do Watala Lampung)

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016 1

Page 20: Epistema Climate Change Update

Why Plan Vivo?

In government as well as environmental observer andpractitioner circles, REDD+ discourse has incited a neverending debate. Astuti (2013) explained that governmentsopening up space for participation in REDD+ projects hasencouraged activists to adopt a "new subjectivity" that haspositioned them as consultants or bureaucrats who in norush saw this as the depoliticization of the environmentalmovement. Another debate is how should the principle ofequity be defined, who should the benefits be shared withand what are the benefit sharing mechanisms? However,global climate change and the growing decline in thefunction of forest ecosystem services is now a reality that isoften ignored in current debate, which leaves forest farmersas perpetrators and victims of forestry developmentpractices over the years. The question is who is going to beresponsible for these problems? Are there mechanisms toensure the involvement of communities in communicatingand campaigning forest management practices in globalprojects on improving forests and the environment?

The commitment of the Indonesian government toclimate change adaptation and mitigation in the land andforest sector is fairly responsive when viewed in terms ofpolicy products. Since 2013, KpSHK together with partnerorganizations has initiated community carbon payment forenvironmental service practices through Plan Vivocertification as a form of active involvement in response toREDD+ . As it is known, carbon payments forA 2

environmental services or the presence of carbon marketstoday are generally in the form of voluntary markets thatrequire a standard; Plan Vivo is one such standard that isrecognized in Indonesia. According to Annex II of theMinistry of Forestry Regulation No. P.36 / Menhut - II / 2009on Licensing Procedures for Carbon Sequestration and/orStorage in Production Forests and Protected Forests, thereare CCB Standards, Carbon Fix Standards, Plan VivoStandards and Voluntary Standards (see Table 1). Plan Vivo isone of these standards (protocol) that is focused oncommunities managing forests in rural areas. Plan Vivo itselfis a foundation that was established in 2008 based inEdinburgh in England and was established out of a research-action activity conducted in rural Mexico in 1994 that aimedto develop alternative funding schemes for ruralcommunities that depend on forest resource management.

The preference for the Plan Vivo scheme did nottranspire without critical discussions within SHK movementadvocacy networks. It was realized that this scheme stillconsists of "polemics", is full of obstacles, and incitesdebate on ecological justice and sustainability of thelivelihoods of the people in the forests. One of the classic

debates is the position of the SHK movement in demandingcommitment from Northern countries (industries) andglobal corporations to reduce carbon emissions and supportenvironmental improvements as a result of good practicesin industrial exploitation of natural resources in theirtargeted investment areas, including Indonesia.

In looking at all the pros and cons, in principle, the PlanVivo scheme is still deemed to be in line with the nineprinciples of SHK, that is, the main actors are the people;forest management institutions are established,implemented and controlled by the people; there aremanaged areas (forests) and a legal system is in force in thecommunities; interaction between communities and themanaged areas (forest) is direct and close; forestmanagement and utilization is founded on local knowledgeand technology; the scale of forest resource production islimited by principles of sustainability; biodiversity is the basisof cultivation patterns and resource use; and social equity isprioritized (gender) in managing SHK regions. In May 2014,

4

a number of agencies and stakeholders were committed toestablishing an Indonesian PES consortium, which included:NGOs (community facilitators) namely LATIN, SSS, WARSI,ICS, LTA, WATALA, KAIL, KBCF, Teropong, Transform, SCF,Wallacea; donor agencies: KEMITRAAN, SamdhanaInstitute, the Ford Foundation, ICCO and other supportingorganizations for technical aspects: KpSHK, FFI, CFI, WRI,Yayasan Perspektif Baru (New Perspectives Foundation).

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/20162

Page 21: Epistema Climate Change Update

Trial Regions

KpSHK – ICCO Cooperation Community Carbon PES pilotprojects were initiated in 2013 up until November 2015 inseveral regions in Jambi, Bengkulu, Lampung, East Java,Central Kalimantan, South Kalimantan, West Kalimantan,East Kalimantan and Southeast Sulawesi. Of all of the pilotprojects that are running, some of them have entered intothe Plan Vivo Project Idea Note (PIN) review stage namely:four customary forests in Kerinci district in Jambi; twocommunity forestry areas (HKm) in Kepahiang district inBengkulu; two community forestry areas in West Lampungin Lampung; one partnership forest in Jember, East Java;four LPHD (village forest management institutes) in PulangPisau district in Central Kalimantan; one community forest inSekadau district in West Kalimantan; and one LPHD in HuluSungai Tengah district in South Kalimantan. The otherregions are still at the stage of writing the PIN (Table 2).

SHK Management and PES Challenges at the SiteLevel

As previously noted, seeing communities and SHKgovernance as something that is isolated from outsideintervention is a romantic view that demands an objectiveperspective in looking at forest management in the SHKunits. Access restrictions and denial of factual tenure of

historical communities on the periphery of forests;environmental improvement project interventions fromgovernments, international development agencies andenvironmental groups; demographic dynamics (migrationbetween regions) through to expansion of land-based large-scale extractive businesses unequivocally demandscommunities to interact with a variety of developmentagendas.

Some local communities take part in utilizing policyopportunities that provide channels for forest managementand tenure through social forestry schemes (HKM andvillage forests/HD) and Perhutani and national parkcommunity based forest management (CBFM) partnershipschemes (typically Javanese). In regard to this, allcommunity forest management and tenure models in thestate forest areas are practically introducing new landgovernance to local communities that claim to adoptforestry science despite the fact that some indigenous/local

6

communities still have their own knowledge pertaining totheir concept of space/territories, which includes amongothers, forest management by the Kerinci indigenouscommunities that still practice the local concept Ajun Arahin managing space and community forestry management inRejang Kapahiang Bengkulu communities that still adheresto local knowledge in cultivating .Kabau

3EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 22: Epistema Climate Change Update

The knowledge of indigenous communities has certainlyintermingled with external forest managementintervention, which has helped introduce procedures,technical knowledge on forest management and newinstitutions. In this context, the interaction of indigenouscommunity knowledge and various knowledge imposedfrom the outside, opens up questions on the shared trials asto whether such interaction of knowledge affects thedirection of change for the better? Most importantly, thenotion that indigenous community knowledge in managingforests long vanished since the enactment of the ForestryLaw and the expansion of large-scale timber-based forestrybusinesses needs to be rectified together.

The payment for environmental services itself is not anew thing in some SHK locations. The community forestrygroups in Register 45B in West Lampung, for example, havedeveloped a PES mechanism for the community forestrygroups located in upstream areas with the villagec o m m u n i t i e s l o c a t e ddownstream. Since the initialplanning stage to establishcommunity forestry, which wasfacilitated by the NGO WatalaL a m p u n g , a g r e e m e n tdeveloped not only at thegroup level, but betweenvillages on the importance ofthe forests in the upstreamregions (t he c om muni tyforestry locations) on the livesof downstream communities.

The community carbonpayment for environmentalservices is a relatively newterm. It is not surprising thenthat an array of challenges haveemerged in the socializationsthrough to the implementationof the Plan Vivo certification at the community level. Partnerinstitutes face a series of challenges like how to explaincarbon transactions, benefit sharing through to measuringcarbon stock in the project regions.

Thus far, discussions on carbon emission reduction stilltend to revolve around how much economic benefit can begenerated by carbon but fail to consider how the carbon willbe sold in the schemes so that these carbon economicbenefits can be achieved. Not surprisingly, payments forcarbon ecosystem services from users to providersgenerally have not taken off yet, especially in Indonesia, inother words carbon credit communities at the national levelhave not been developed with the exception of a few trialsthrough projects. Meanwhile, the global carbon creditdemand is currently driven by the commitment of

developed countries to the Kyoto Protocol. It is these targetdeveloped countries that create the demand for carboncredit. In the Kyoto Protocol scheme, fellow developedcountries can mutually trade in emissions or carbon offsetmechanisms through the CDM (Clean DevelopmentMechanism), namely the right to emissions derived fromdeveloping countries. Current carbon credit conditions are

7

quite sluggish. The downturn in the global economy hasresulted in a decline in the activities of developed countries,which has subsequently led to the decline in their emissions.Inturn, thishas created decreased demand for carbon.

Another issue encountered in the implementation of thePlan Vivo certification was the carbon stock measurementsor baselines in the proposed project areas. As mentionedearlier, one of the principles in implementing the Plan Vivocertification is that the quality of vegetation, biodiversity,land cover and forest governance improvements must bemeasured and monitored quantitatively. Carbon stock is the

main measurement that isrecognized in carbon credit;carbon stock equivalent to theamount of land cover (trees) isequivalent to the nominalvalue of money. Calculation ofcarbon stocks requires a strictap p l i c a t i on of f o re st r yscience, including the requiredverification (recognition) ofvalidators who are "foreign"to the communities and eventhe f ac i l i t at i ng p art nerinstitutes themselves. Incalculating carbon stocks,selection of the method is veryimportant in determining thecarbon stock or projectbaseline as well as the typesof activities that will be

carried out by the communities. There are two main types ofmethods currently known in the implementation of the PlanVivo certification, namely (1) avoid deforestation; and (2)ecosystem rehabilitation. What emerges in the avoiddeforestation method is a scenario controlling the rate ofdeforestation or the equivalent through how many treesand how much land area that can be maintained and not cutdown in 10 years. Meanwhile, the ecosystem rehabilitationmethod is more focused on how many trees and how muchland area can be grown in the next 10 years. Each of thesemethods stands alone as the implications are very strong inthe annual monitoring. In fact, inventories ordocumentation on the vegetation species is now a wealth ofknowledge that remains alive in the communities. Anothermatter is the introduction of state social forestry schemes

4

Tools for carbon stock measuring plot in a Plan Vivo certificationproposed area cumentation:(do Watala Lampung)

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 23: Epistema Climate Change Update

(community forestry and village forests) that requiresregular monitoring every five years as the basis formanagement license extensions. Thus, facilitators andcommunities whose project areas are community forestryand village forests, the Plan Vivo certification activities canbe used in developing the regular community forestry andvillage forest monitoring reports made by relevant agenciesnamely the Department of Forestry.

Improvements Agenda

Forest preservation is not new to communities living withinand on the periphery of forest areas. These communities areeven an arena for introducing and trialing an array ofgovernance regimes from the state, environmental NGOsand international development agencies. REDD+ projectswithout exception are currently booming, including thecommunity carbon PES pilots. Are these community carbonPES projects actually moving towards communitiesstrengthening and recognizing forest governance? Theanswer to this still needs to be sought empirically to gobeyond the debate over major discourses which havecurrently surfaced in pro-democracy activist andenvironmental improvement circles. However, choosing tointervene in practice with communities raises implications,which can only be obtained in the daily routine of theprojects.

Looking at the wealth of community forests, which isgauged through carbon stocks as basic payment forenvironmental services or as an opportunity for new "greenbusiness" actually obscures the everyday processes ofpeople in taking care of forests. As it is known, the entirearea of the community carbon trials, including thoseinitiated by KpSHK and other new institutions has reachedapproximately 20,000 ha. This area is still relatively smallcompared to corporate ecosystem restoration concessionsof hundreds of thousands of hectares, and even comparedto the ecosystem rehabilitation units in extractivecorporations like HTI ( industrialHutan Tanaman Industri /plantation forests). In closing this brief article, in theexperience of working in the Plan Vivo certification trials,some crucial issues need to become a shared agenda forimprovement as follows:

� Certainty of people's rights to forests. Until now, peoplewithin and on the periphery of forest areas have alwaysbeen victims of opinions and even crime and forestdestruction, even though people in numerous locationsare actually actively involved in the preservation offorests, in project schemes and also due to indigenous

knowledge that still lives on in the midst of communities.The state's recognition of community managed regionswithin forest areas is a prerequisite so that peoplecan planforest management and their own lives, including theright topayments for environmental services.

� The domestic market is not just a market. Surrenderingthe wealth of stored carbon stocks in community foreststo the carbon credit mechanism or payment forenvironmental services schemes in a voluntary manner isactually not economical (competitively). Behind thepotential value of carbon stocks and land areas that areactually relatively very small compared to the ecosystemrestoration corporation concessions, there are the dailypractices of the people that are highly dependent onforest ecosystem services such as water, food sources,and so on. Therefore, state policy that mandates nationalcorporations to reduce emissions and to be responsive toenvironmental improvement management as well ascompensation liabilities (not CSR) to the people who livein the surrounding forests is crucial in improving forestgovernance.

� Flexible procedures. One of the challenges of communitycarbon PES certification is the complexity of calculatingpotential carbon stocks in the project areas. Measurableassumptions that can be verified with forestry scienceoften obscure community processes of interaction withforests based on their local knowledge. Therefore,recognition of subjective community-based measures andtechniques need to be acknowledged by stakeholders. Inother words, recognition of the areas directly managed bythe people is also recognition of their knowledge inmanaging their own territories.

5

Appointment process in the carbon stock measuring plot ina Plan Vivo certification proposed area(do Watala Lampung)cumentation:

EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 24: Epistema Climate Change Update

References

Books

Ampri, Irfa, et al. 2014. The Landscape of Public ClimateFinance in Indonesia. An Indonesian Ministry of Financeand CPI Report, Indonesia.

Arwida, Shintia D. 2014. Mekanisme Pembagian ManfaatREDD+ dalam Konteks Hutan Kemasyarakatan. SeriKajian SHK Volume I/Tahun I/2014, November 2014.KpSHK.

Astuti, Rini. 2013. REDD+ sebagai Strategi-StrategiKepengaturan dalam Tata Kelola Hutan di Indonesia:Sebuah Perspektif Foucauldian. Wacana, JurnalTransformasi Sosial, No. 30, Tahun XV, 2013. Yogyakarta:Insist

Bryant, Raymond L. and Sinead Bailey. 1997. Third WorldPolitical Ecology.Routledge, London.

Chayanov, A. 1966. . In DanielThe Theory of Peasant EconomyThorner, Basile Kerblay, and R.E.F. Smith (eds). TheAmerican Economic Association, Illinois.

Hernowo, Basah. 2015. Kontribusi Ekonomi JasaLingkungan/Ekosistem Kehutanan: Status dan ArahKebijakan. Prosiding Workshop Mekanisme PendanaanPerubahan Iklim: Imbal Jasa Lingkungan Berbasis Hutandan Lahan. Jakarta: Ditjen PPI KLHK - KpSHK (soon to bepublished).

Samyanugraha, Andi. 2015. Pasar Karbon dan PendanaanMitigasi Perubahan Iklim di Indonesia. ProsidingWorkshop Mekanisme Pendanaan Perubahan Iklim:Imbal Jasa Lingkungan Berbasis Hutan dan Lahan.Jakarta: Ditjen PPI KLHK - KpSHK (soon to be published).

Yusuf, Muhammad. 2014. Prawacana: REDD+ dan PerebutanKawasan Hutan. Seri Kajian SHK Volume I/Tahun I/2014,November 2014.KpSHK.

Website

“Dorong Ekonomi Hijau Norwegia Hibahkan Rp 250 Miliar keRI”. http://bisniskeuangan.kompas.com/Accessed atread/2015/11/27/144837426/Dorong.Ekonomi.Hijau.Norwegia.Hibahkan.Rp.250.Miliar.ke.RI

1K Mana er Konsorsium pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK)nowledge Management g at (Consortium for Supporting Community Based ForestSystem Management) The author can be contacted by at:. email [email protected] / [email protected]

2 The term 'environmental services' does not have a fixed meaning in Indonesia nor is it regulated by law. UNEP (United Nations Environment Programs) use theterm 'ecosystem services' instead of 'environmental services'. Several other institutions define ecosystem services as the benefits provided by ecosystemsthat contribute to making human life both possible and worth living. In Indonesia, forest ecosystem service products/services consist of four main products,namely the use of water and water energy services; carbon sequestration and storage services, nature- natural beauty eco-tourism services and biodiversityservices. (Hernowo 2015).

3aul Butar-Butar 2015, South Pole Carbon.P Presentation material from the Community-Based Emission Reduction Program Workshop Series held by the

Indonesian PES Consortium in March 2015 in Jakarta.4

C principles (practices) of the Plan Vivo scheme namely, (1) projects must involve and provide direct benefits to forest managementompared to thecommunities; (2) projects can be beneficial to ecosystem services and maintain/increase biodiversity; (3) projects are managed in a transparent manner andare accountable, involve stakeholders and comply with applicable legislation; (4) the design and implementation of land management plans involves and iswholly owned by communities based on the priorities of local needs; (5) projects can raise ecosystem service benefits and can be monitored quantitatively ; (6)risk management is incorporated into the planning and implementation of projects; (7) projects can be beneficial to the socioeconomic livelihoods ofcommunities; and (8) distribution of benefits and payments for environmental service transactions through PES cooperation is based on performance-basedincentives. " (The Plan Vivo Standards for Community Payments for Ecosystem Services Programmes 2013,http://www.planvivo.org/our-approach/).

5C ing PIN or Project Idea Note is one of the initial requirements of the Plan Vivo certification process. PIN contains basic information theomplet a The onpropos location beneficiaries register the type of intervention (maintaininged , where will be ed; and whether that will be conducted is maintaining forestscarbon stocks) or rehabilitation (add carbon stocks). hile PDD contains more detailed information, carbon stock calculationing Meanw the in particular s as aresult of ing and additional carbon stockmeasur .

6Constitutional Court Ruling No. 35 of 2012 which annulled part of Law 41 of 1999 on Forestry has been a breakthrough, where the state now recognizes theexistence of titled/customary forests that are not state forest areas. However in practice, recognition and gazettement of customary forests still come upagainst procedural obstacles that are more political in nature.

7 arbon offset is a tool/means to compensate the emissions released by compan or . By paying other (elsewhere) to conductC ting for ies elsewhere peoplecarbon sequestration business or carbon emissions, carbon offset buyer replace the carbon emissions they havees prevent it is intended that the s generated.

6 EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 25: Epistema Climate Change Update

Recently, a high level conference was held in one of themost attractive cities in the world. The conference wasreferred to as the conference of the century, in light of theissues that arouse. A handful of delegates spent two wholeweeks to agree on collective future goals, which is nowknown asthe Paris Agreement.

As a participant of the conference, Indonesia alsobrought its missions to the table, which are expected to besustained in line with the derivative key points in the jointagreement. This article is intended to better inform readerson Indonesia's position and the impact of its participation atthe COP21. In closing, this article will focus on what actionsneed to be executed as strategic follow-up in order to seizeopportunities leading towards a sustainable Indonesia,according toa climate change expert.

The Common Mission

The Conference of the Parties (COP) once again was held tounite world leaders and deliberate on their concerns onclimate change issues. Under the UN FrameworkConvention on Climate Change (UNFCCC), delegates from195 countries convened in Paris for a common mission forhumanity, that is, to combat climate change by cutting backgreenhouse gas emissions, in following up previousconferences held in the past.

The Kyoto Protocol of COP3 in 1997 set emissionreduction targets for many developed countries, but the

United States pulled out and the rest failed to achieve theirtargets. In addition to the failure of COP15, the CopenhagenSummit back in 2009 ended up with a last minute agreementdrafted by the United States and the BASIC countries (Brazil,South Africa, India, and China) in a back room as theirconference negotiations ended in deadlock. In the BaliRoadmap of the COP13 two years ago, none of thecommitment from these countries' cameto fruition.

From November 30 until December 11 in 2015, aroundth th

40,000 diplomats, experts, scientists, activists as well ashundreds of nation's government leaders converged for theClimate Change Conference, COP21 in the Le Bourget area, inNorthern Paris.

The COP21 was conducted for official delegates of theparticipant nations plus one economic block (EuropeanUnion) to come together, to compromise and address theplan for a sustainable future by unleashing actions andinvestments towards low carbon living. This action plan willproduce a common agreement known as the ParisAgreement for Climate Change.

Indonesia’s Point of View

Indonesian delegates, directly led by President Joko Widodowere attending the so-called climate change conference ofthe century. At this occasion, Joko Widodo stated thatIndonesia is committed to supporting the reduction of itscarbon emissions by as much as 29% by 2020 in the name ofthe common goal, to limit the global temperature rise to lessthan 2 C.

0

As stated in the Intended Nationally DeterminedContribution (INDC) of Indonesia, Indonesia is a nascent yet

COP21: Seizing Opportunities

toward a Sustainable Indonesias

Ratna Nataliani1

1 An energy and environmental consultant who works on sustainable building and urban projects in Indonesia. She is certified as a Greenship

Professional from Green Building Council Indonesia and she also concern energy issues in general. ([email protected])the is ed with

7EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 26: Epistema Climate Change Update

stable democracy and the fourth most populous country inthe world. Despite continuous, multi-decade economicgrowth, approximately 11% of Indonesia's population is livingbelow the poverty line. To lift people out of poverty, theGovernment of Indonesia (GOI) is promoting economicdevelopment projected to average at least 5% per year in orderto reduce the poverty rate to below 4% by 2025.

Indonesia's strategic development goals, known asNawacita (or Nine Agenda Priorities), charts the transitionalpath towards realizing meaningful and long-term changes,aligning Indonesia's vision as a politically sovereign andeconomically self-reliant nation with deep roots in its culturalidentity. These priorities are consistent with the nationalcommitment to climate change resilience, where climatechange adaptation and mitigation are integrated as cross-cutting priorities of the National Medium-Term DevelopmentPlan.

Indonesia's Intended Nationally Determined Contribution(INDC) outlines the country's transition to a low carbon futureby describing the enhanced actions and the necessaryenabling environment during the 2015-2019 period that will laythe foundation for more ambitious goals beyond 2020,contributing to the concerted effort to prevent a 2 C increase

0

in global temperatures. For 2020 and beyond, Indonesiaenvisions achieving archipelago climate resilience as a result ofcomprehensive adaptation and mitigation programs anddisaster risk reduction strategies.

The Country Brief document provided by the UNFCCCsecretariat for the COP21 shows that CO2 emissions haveincreased by fuel type and by sector in(see Graph 1)Indonesia as seen in the graph below .(seeGraph 2)

Graph 1. CO emissions by type of fuel in Indonesia2

Gra 2.ph CO emissions by sector in Indonesia2

The graphs above depict a stable increment whichindicates an imminent threat if revolutionary steps are notundertaken. If carbon emission reduction in each countryshows stagnancy, then global temperatures are predictedto increase by 3 C by 2030. The COP21 committee stated,

0

“This could signify rises between 2.7 C and 3.5 C by the end0 0

of the century.”

In order to prevent rising global temperatures, JokoWidodo stated at the COP21 that Indonesia will submit short-term, medium-term, and long-term strategic plans to helpreduce carbon emissions, as are other countries. Realizingthis carbon emission reductions however will obviously becostly, given that Indonesia's main challenges are in theforest, energy, industry, and land sectors.

The h the Campus Valley urban project, inead ofBordeaux, France, Julien Birgi, who also concernis ed withsustainable urban development in Central Java, has his ownopinion. He said, “Given that the Indonesian archipelagocomprises of more than 17,000 small islands, it may be alikely victim of global warming, primarily through rising seawater. On the other hand, Indonesia may be considered asone of the 'bad students in the class' owing to its forest firesand coal-based energy which is rapidly developing. As adeveloping country, the stakes are very high for theIndonesian delegation that may try to negotiate transfers oftechnologies and funding to develop a cleaner way byendorsing the financing of schemes for any technicalrealization.” (personal communication,December 5, 2015)

Unfortunately, Indonesia faced some tough questionsduring the COP21 on its predominant climate change issue,namely forest fires. The photo above depicts the conditionof land after recent forest fires in Nyaru Menteng,Palangkaraya, Central Borneo which triggered complaintsfrom some neighbouring countries, namely Malaysia andSingapore. Another issue was in regard to the plan to buildcoal-fired power plants. These issues clearly contradict thenational target to independently reduce carbon emissions

The slash and burn method of land clearing in Palangkaraya,Central Borneo (Source: Jakarta Post)

8 EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 27: Epistema Climate Change Update

by as much as 26% by 2030, or by 41% with internationalsupport.

The Indonesian government, however, can still showthat it has strived to fight climate change, for instance, in itscommitment to greenhouse gas emission reduction and theactions that it has undertaken. Jokowi said, “The realproblems will be conveyed; all of the things that we haveinitiated including turf restoration, reviewing obsoletepermits, and moratoriums at certain times.”

L'Accord de Paris

The delegates were in discussion and held overnightnegotiations for almost two weeks and finally, after anadditional day was added to the original schedule, theleaders at UN meeting on a sustainable future in Parisadopted the climate change pact.

“I now invite the COP to adopt the decision entitled theParis Agreement outlined in the document,” said thePresident of the UN climate COP, French Foreign Minister,Laurent Fabius. He continued, “Looking out to the room, I

see that the reaction is positive, I see no objections. The ParisAgreement is adopted.” Fabius considered that this finalParis Agreement draft was a product of a balancedcompromise, fair for each party that was ambitious yetrealistic.

Hereunder are the key points of L'Accord de Paris, or theParis Agreement.

1. Mitigation: Limiting the global temperature rise to 1.5 C0

The agreement states the commitment to keep the globaltemperature rise within 1.5 C above pre-industrial levels.0

This is beyond what most participants anticipated comparedto the 20C that was agreed upon by nearly 200 countries inCopenhagen six years ago. It is a big leap that most countriesconsisting of small islands, such as the Philip ines and Tuvaluptotally support. However, countries like China, India, and theUAE were still convinced that even 3 C would be adequate.

0

9EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 28: Epistema Climate Change Update

John Schellnhuber, a scientist and advisor for Germanyand the Vatican, stated that a real danger is marked by a 1.5 C

0

tipping point in the world's climate. Bear in mind that thecurrent increment has reached 0.85 C since pre-industrial

0

times and recent data does not show any possibility of areduction in global emissions that lead to global warming.Other scientists believe that once the temperature rise hits2 C a potentially catastrophic climatechange could result.

0

The agreement states that after 2050, the emissionsgenerated by humans should be reduced to such a level thatis able to be absorbed by forests and oceans. However, anappropriate instrument togenerate reliable control systemsis an important measure in achieving this target, as noted bygreen groups in Paris.

2. Transpar ncy: A five yearly stocktakee

188 countries have submitted their plans in following-uptheir commitment to reduce and curb emissions from 2020up until 2030. Of course these plans are not enough toensure that catastrop ic impacts due to global temperaturehrise will not occur.

In response, a review mechanism has been developed,which will reassess the pledges of these nations every fiveyears in order to stay on track as ambitiously agreed. Thefirst stocktake will take place in 2018, but as agreed the firstglobal stocktakewill be conducted in 2023 as stated below inArticle 14.

3. Adaptation: Strengthening Countries' Ability

The mitigation target requires adaptation efforts fromcountries in undertaking actions in order to achieve theexpected goals. Communication on adaptation submittedby all countries will detail their adaptation priorities, supportneeds, and plans. Based on this, support for adaptationactions is expected to increase and the support todeveloping countries will be assessed to ensure that it isadequate.

This commitment is based on the view that adaptation isone of the main steps in collaborating and contributing tothe long-term global response to climate change. Therefore,several technical actions have been incorporated includingtechnology transfer and capacitybuilding.

4. Loss and damage: Addressing the victims

Countries comprising of small islands are the mostvulnerable to climate change. A new section to recognizethe “loss and damage” was brought up at the table, whichconsists of a certain mechanism to identify the financiallosses and vulnerable countries as a result of adverseweather impacts.

The US was worried that the “loss and damage”mechanism would lead to compensation claims in regard todamage endured by disaster prone countries. However, thegood news is that this mechanism was finally included withan additional clause that placated the US by stating that noliability or compensation will be incurred in themechanism.

5.Support: Financing cheme for evelopments d

As a part of global efforts, developed countries wereendorsed to continue their support to poorer countries toassist them in building a resilient future and foster greeneconomies, by taking the priorities and needs of the receivercountries into account. In note, this financial scheme hasbeen d placed intothe non-legally binding decision text.is

Some voluntary basis contributions are also mentionedin the agreement. This encourages developing countrieswith emerging economies, like China, to take part in climatechange investments in other countries although it is notmandatory.

The Organization f Economic Co operationor -Development (OECD) reported on climate financialprogress, showing that developed countries successfully

10 EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 29: Epistema Climate Change Update

raised funds of $62 billion in 2014, as a commitment to reachthe goal that was established in Copenhagen to raise $100billion per year by 2020. This collective mobilization goal wasextended until 2025 in theParis Agreement.

Impacts on Indonesia's Climate ChangeRegulatory Orientation

It is important to keep in mind that the five key points of theParis Agreement mentioned previously, namely, mitigation,transparency, adaptation, loss and damage, and supportcorrelate with each other. Indonesia's commitment to it'sthe INDC and the Paris Agreement could strongly endorsetheorientation of Indonesia's climatechange regulations.

The implausibility of the Paris Agreement that intendedall nations to agreeon limiting the global temperature rise to1.5 C initially ignited repudiation from countries like the US,0

China, and India that have high carbon emission levels.However, after an additional day of discussions on thistarget, recalculations and lobbying, everyone agreed to it.

Actually, the 1.5 C limit is supported by Indonesia as an0

archipelago, where potential rising sea levels wouldextensively erode its islands. According to the Chairman ofthe University of Indonesia Research Centre of ClimateChange (RCCCUI), Jatna Supriatna, Ph.D., Indonesia iscapable of reducing its carbon emissions by up to 30-40% by2020 . However,(personal communication, January 11, 2016)unfortunately land conversion remains to be a criticalproblem in Indonesia is.

Approximately 60% of Indonesia's total carbonemissions are due to land conversion. Land conversionincludes forest conversion, illegal logging, forest fires, dryturfs, which have rocketed emission levels in Indonesia. Thisissue is highly correlated to land management authorities,such as, the conversion of land into palm plantations thatoccurs at the district level. This shows how crucial it is forcentral government and local governments to have thesame vision as themain stakeholders in land management.

A key factor in land conversion is national growththrough . Development hasphysical developmentaccelerated in Indonesia in recent decades, which has led tohigher energy consumption and respectively increasedcarbon emissions. According to the Global Footprint

Network, Indonesia's carbon footprint reached 1.4 in 2010,which means that national activities consumed energyequivalent to 1.4 arths. Therefore, the acceleration ofEdevelopment from President Jokowi who ardently supportsinfrastructure development also needs to be taken intoaccount.

The graph below demonstrates that Indonesia almostdoubled its carbon emissions from 1990 to 2010. The CO2

emissions were considerably worse in 2005, where theydramatically jumped to almost three times in magnitude in

15years.

All emissions need to be reduced and any elements thatabsorb emissions must be recovered. It is predicted that in2020-2025, carbon emissions from fossil fuels will exceed theemissions created by land conversion as illustrated in thegraph hereunder (J. Supriatna, personal communication,January 11, 2016). In anticipation of this, actions must been ed and accelerated as soon as possible, for example,forcimplementing renewable energy and sustainableanydevelopment in general. In regard to this issue, importantre andsources are needed, such as humans, technology,funding. Indonesia should be encouraged more to obtainsupport and facilitation through the COP21.

Indonesia’s Emission of CO , CH , N O, HFCs, PFCs, and SF62 4 2

(Source: UNFCCC)

11EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 30: Epistema Climate Change Update

The immediate problem is that no clear scheme on thisfundraising has been defined yet. It is important that this isfollowed-up as the trust fund will finance the need tosupport small and developing countries in capacity building,technology transfer, as well as other direct and indirectfinancial support initiatives.

During the COP21, small and developing countriesargued that they would not be able to cope by themselveswith the disasters caused by climate change. Therefore, acertain fund source should be arranged in order to helpclimate change mitigation and adaptation. This was wheretheinitiativeof gathering $100 billion by 2025began.

The Chairman of RCCCUI believes that furtherdiscussions on a financing scheme should be initiated atfuture technical meetings to prepare for the upcoming COP.However, he is optimistic that developing nations will haveat least $100 billion in 10 years as committed, based on hisexperience of raising trust funds and given the raisingawareness of the world on environmental issues. Inaddition, military and weaponry financial sources aremassive, thus there is no reason why trust funds cannot beraised to win the war against climate change for humanityand world peace.

How to seize opportunities and benefits: FutureStrategic Plans

Indonesia must be able to embrace the opportunity todevelop itself in terms of sustainability though its owncommitment, and the commitment of hundreds of othercountries. In order to address the opportunities offered inthe Paris Agreement, as well as the challenges pertaining toland conversion and development acceleration in Indonesia,according to the chairman of RCCCUI, there are at leastthreestrategic actions that need to be implemented.

1. Enforcement Committee

The (DNPI) or theDewan Nasional Perubahan IklimClimate Change National Committee existed during thegovernance of President Susilo Bambang Yudhoyono.Unfortunately, the DNPI did not function as anticipateddue to ineffective coordination that was rooted insectoral egoism.

Experience is the best teacher. If Indonesia wants toenforce regulations and initiate action on climatechange, there needs to be a kind of super agency formanaging climate change issues in Indonesia that wouldalso be responsible for implementing strategic actions.The DNPI was intended to be a think tank as well as anenforcement committee that works on the operationalexecution. This enforcement committee should also

have the authority to command and not only coordinateas the DNPI did. Programs, for instance, supportinggreen investment and green tax to enhance financing forsustainable development acceleration could be in place.Such programs could be operated and developed by thiscommittee, which could be implemented in cooperationwith the Ministry of Finance. The idea is to have a specialagency to work and focus on climate change resolutionsas is needed by the nation, without the hindrance of stiffgovernmental bureaucracy.

2. A Watchdog

In Indonesia, the Badan Perencanaan PembangunanNasional (BAPPENAS) or National Development PlanningAgency is responsible for the planning forstructuringclimate change targets and strategies. In terms ofauditing, there is the (BPK) orBadan Pemeriksa KeuanganFinancial Inspector Agency and the Badan PengawasanKeuangan dan Pembangunan (BPKP) or Financial andDevelopment Supervisor Agency.

These auditors are not responsible for assessing theprogress in reduction of green house gas emissions,which should be in the hands of a special task force orNon-Governmental Organization (NGO) that is enforcedas a watchdog to keep an eye on efforts initiated by thegovernment. Without this authority, it is feared that thecommittee will get stuck.

The presence of a watchdog means that things wouldwork out in Indonesia. In terms of a watchdog budget,there is Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran( , the Indonesian Forum for Budget Transparency)FITRAand in terms of the environment there is WahanaLingkungan Hidup Indonesia ( , Indonesian ForumWALHIfor the Environment). The idea is to prompt theperformance of the government to meet national needsand priorities from the perspective of the Indonesianpeople, .and not dueto external insistence

3. EffectiveRegulations and Law Enforcement

The two main issues are land conversion and sustainabledevelopment. These two issues were Indonesia'sweakness during the COP21, in terms of forest fires andcoal-based power plant procurement. Robust legislationon these issues will lead to significant change regardingclimate changeimpacts in Indonesia.

Land conversion has improved somewhat asauthority for land conversion has now been delegated tothe provincial level. This also means that monitoring iseasier, even for NGOs and universities. However, there is

12 EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 31: Epistema Climate Change Update

still homework to be done on improving centralgovernment management for more effective oversightand law enforcement in land conversion. Forest fires aretheperfect issuefor this now.

Law enforcement needs to be applied to bothperpetrators and those who do not enforce the law. Agood example of poor law enforcement was the unfairtrial on the forest fires that recently occurred inPalembang. Another important issue includes theincidental impacts of poor enforcement that must alsobe taken into account. Addressing the healthimplications of the forest fires requires specialists,technology, and funding.

Some legislation has supported sustainabledevelopment in Indonesia, but it is clearly inadequate.Energy diversification to renewable energy energyandconservation through green approaches are ways tostimulate sustainable development. In reality, actuallyaccomplishing this is very slow. Indeed it takes time, butthe in amarket for sustainable development isvulnerable position as it is not firmly regulated by thegovernment.

The implementation of sustainable developmentneeds to be more defined and detailed. Meanwhile,legislation is often too general and inappropriate to themarket. Furthermore, social issues contribute to theslow development of sustainable development. Anexample of this is in Bali, where the mountain that was tobe used for geothermal operations is considered to be aholy mountain by local communities; therefore nobodyis allowed to conduct such operations.

The market is an important element in developingsustainable development. Clear and resolute legislationcan regulate the market to conform to sustainablestandards. An effective scheme needs to bei m p lem en ted f or ov ers eei ng t he te chn i ca limplementation of all sustainable development sectors.The idea is to generate a balance between nationalenergy consumption and energy production (goodquality) and efficiency..

Conclusion

The Paris Agreement is a strategic stimulus for Indonesia totake a giant leap to become a sustainable nation. There areopportunities that need to be utilized as much as needed tofacilitate real actions to address the needs of the people.Indonesia is up against land conversion problems, lack ofclean energy, poor health conditions, rising sea levels insmall island , and other climate-related issues that are alls

priorities in the eyes of society. Indonesia has to start todevelop from a point of internal necessity and not on theinsistence of other nations.

The government has to significantly improve itseffectiveness in legislation and coordination as the mosturgent and strategic moves of all solutions. This is the key.The government must also demonstrate competitiveperformance, even compared to the private sector. Theintention is to increasingly improve the quality of allproducts for the people only the planning level, but, not atalso the technical levelat .

Bibliography

Boettcher, Daniel: “COP21 climate change summit reachesdeal in Paris”: [http://www.bbc.com/news/science-environment-35084374], December 13, 2015.

Briggs, Helen: “Global climate deal: In Summary”: [http://www.bbc.com/news/science-environment-35073297],December 12, 2015.

EBF : “Indonesia faces tough questions on fires, dirty energyat COP21”: [http://www.thejakartapost.com/news/2015/12/01/indonesia-faces-tough-questions-fires-dirty-energy-cop21.html], December 1, 2015.

Gosden, Emily: “Paris climate change agreement 'a majorleap for mankind'”: [http://www.telegraph.co.uk/news/earth/paris-climate-change-conference/12047909/Paris-c l i m a t e-c h ang e- agr ee m ent - a - m aj or - l eap -f or -mankind.html], December 13, 2015.

Le Hir, Pierre: “COP21 : les points clés de l'accord universelsur le climat”: [http://www.lemonde.fr/cop21/article/2015/12/12/cop21-les-points-cles-du-premier-accord-universel-sur-le-climat_4830606_4527432.html#],December 13, 2015.

Lubis, Uni Z.: “LIVE BLOG Konferensi Perubahan IklimCOP21”: [http://www.rappler.com/indonesia/114469-blog-konferensi-perubahan-iklim-cop-21], December 13,2015.

Republic of Indonesia. 2015. Intended NationallyDetermined Contribution (INDC).

Ritter, Karl: “Key points of the landmark Paris climateagreement”: [http://www.thejakartapost.com/news/2 015/12 /13 /key-points - landm ark-p ar is -c l i mate-agreement.html], December 13, 2015.

UNFCCC News Room: “Finale COP21”: [http://newsroom.unfccc.int/unfccc-newsroom/finale-cop21/], December27, 2015.

13EPISTEMA CLIMATE CHANGE UPDATE VOL. 3/2016

Page 32: Epistema Climate Change Update

United Nations Cimate Change Secretariat. September 2015.UNFCCC 2014: Indonesia.Country Brief

United Nations Framework Convention on Climate Change(UNFCCC). December 2015. Adoption of The ParisAgreement, COP21.

Vaughan, Adam: “Paris climate deal: key points at a glance”:[http://www.theguardian.com/environment/2015/dec/12/paris-climate-deal-key-points], December 12, 2015.

Watters, Haydn: “5 key points in Paris Agreement on climatechange”: [http://www.cbc.ca/new s/world/paris-agreement-key-climate-points-1.3362500], December 12,2015.