Epilepsi

13
1 EPILEPSI TIPE BANGKITAN UMUM TONIK KLONIK I. PENDAHULUAN Kejang adalah masalah neurologik yang relatif sering dijumpai. Diperkirakan bahwa satu dari sepuluh orang akan mengalami kejang suatu saat dalam hidup mereka. Dua puncak usia untuk insiden kejang dekade pertama dan setelah usia enam puluh tahun. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu (fokus kejang) sehingga mengganggu fungsi normal otak. Namun kejang juga terjadi dari jaringan otak normal di bawah kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam basa atau elektrolit. Kejang itu sendiri, apabila berlangsung singkat jarang menimbulkan kerusakan tetapi kejang dapat merupakan manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang membahayakan, misalnya gangguan metabolisme, infeksi intrakranium, gejala putus obat, intoksikasi obat, encephalopati hipertensi. Bergantung pada lokasi neuron-neuron fokus kejang ini, kejang dapat bermanifestasi sebagai kombinasi perubahan tingkat kesadaran dan gangguan dalam fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Istilah kejang bersifat generik dan dapat digunakan penjelasan-penjelasan lain spesifik sesuai karakteristik yang diamati. Kejang dapat terjadi sekali atau berulang. Kejang rekuren, spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi. 1 Epilepsi adalah kumpulan gejala dan tanda klinis, ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermitten. Epilepsi merupakan kelainan neurologik yang sering dijumpai. Diperkirakan 0,4-1% populasi mengidap salah satu jenis epilepsi. 2,3 Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsi diklasifikasikan menjadi dua yaitu bangkitan epilepsi dan sindrom epilepsi. Bangkitan epilepsi terdiri atas bangkitan parsial, bangkitan umum dan bangkitan tak tergolongkan. Salah satu pembagian bangkitan umum yaitu bangkitan umum tonik klonik. 2 Epilepsi tipe bangkitan umum tonik klonik atau Generalized Tonic Clonic Seizure (GTCS) adalah jenis bangkitan yang mengenai seluruh tubuh, didahului oleh peningkatan tonus otot-otot (fase tonik) yang diikuti hentakan simetris bilateral dari ekstremitas (fase klonik). 4

Transcript of Epilepsi

Page 1: Epilepsi

1

EPILEPSI TIPE BANGKITAN UMUM TONIK KLONIK

I. PENDAHULUAN

Kejang adalah masalah neurologik yang relatif sering dijumpai. Diperkirakan

bahwa satu dari sepuluh orang akan mengalami kejang suatu saat dalam hidup mereka.

Dua puncak usia untuk insiden kejang dekade pertama dan setelah usia enam puluh

tahun. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu

populasi neuron yang sangat mudah terpicu (fokus kejang) sehingga mengganggu

fungsi normal otak. Namun kejang juga terjadi dari jaringan otak normal di bawah

kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam basa atau elektrolit.

Kejang itu sendiri, apabila berlangsung singkat jarang menimbulkan kerusakan tetapi

kejang dapat merupakan manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang membahayakan,

misalnya gangguan metabolisme, infeksi intrakranium, gejala putus obat, intoksikasi

obat, encephalopati hipertensi. Bergantung pada lokasi neuron-neuron fokus kejang ini,

kejang dapat bermanifestasi sebagai kombinasi perubahan tingkat kesadaran dan

gangguan dalam fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Istilah kejang bersifat generik

dan dapat digunakan penjelasan-penjelasan lain spesifik sesuai karakteristik yang

diamati. Kejang dapat terjadi sekali atau berulang. Kejang rekuren, spontan, dan tidak

disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi.1

Epilepsi adalah kumpulan gejala dan tanda klinis, ditandai oleh bangkitan

(seizure) berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermitten. Epilepsi merupakan

kelainan neurologik yang sering dijumpai. Diperkirakan 0,4-1% populasi mengidap

salah satu jenis epilepsi.2,3

Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsi

diklasifikasikan menjadi dua yaitu bangkitan epilepsi dan sindrom epilepsi. Bangkitan

epilepsi terdiri atas bangkitan parsial, bangkitan umum dan bangkitan tak tergolongkan.

Salah satu pembagian bangkitan umum yaitu bangkitan umum tonik klonik.2

Epilepsi tipe bangkitan umum tonik klonik atau Generalized Tonic Clonic Seizure

(GTCS) adalah jenis bangkitan yang mengenai seluruh tubuh, didahului oleh

peningkatan tonus otot-otot (fase tonik) yang diikuti hentakan simetris bilateral dari

ekstremitas (fase klonik).4

Page 2: Epilepsi

2

II. INSIDENS & EPIDEMIOLOGI

Di Amerika Serikat insidens epilepsi yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit

otak akut (recurrent unprovoked seizures) sekitar 24-53 orang per 100.000 setiap

tahunnya. Kurang lebih 20-25% kasus diklasifikasikan sebagai bangkitan umum.

Epilepsi bangkitan umum jarang ditemukan pada bayi dan neonatus. Pada pasien usia

lanjut, bangkitan umum tipe tonik klonik biasanya disebabkan oleh bangkitan umum

sekunder yang berasal dari lesi di otak.5

Kurang lebih satu individu yang terkena epilepsi berusia sebelum 15 tahun.

Prevalensi pada orang dengan usia lebih tua nampaknya berkembang, kemungkinan

merupakan hasil dari pergeseran demografi dan peningkatan prevalensi dari penyakit

serbrovaskuler. Prevalensi lebih meningkat pada orang-orang dengan sosial ekonomi

rendah.6

III. ETIOLOGI

GTCS dapat terjadi sebagai bangkitan yang idiopatik atau merupakan bagian

manifestasi klinik dari sindrom-sindrom epilepsi baik pada dewasa maupun kanak-

kanak. Misalnya, benign neonatal convulsions, benign myoclonic epilepsy of infancy,

childhood absence epilepsy, juvenile absence epilepsy, juvenile myoclonic epilepsy,

GTCS yang terjadi saat bangun tidur, temporal lobe epilepsy syndrome, frontal lobe

epilepsy syndrome, West syndrome, dan lain-lain. Dengan perkembangan ilmu, telah

dapat ditentukan lokus-lokus genetik yang pasti dari berbagai tipe atau sindrom epilepsi.

GTCS sering juga terjadi sebagai bagian dari epilepsi fokal simptomatik. Hal-hal

yang dapat menyebabkan timbulnya GTCS antara lain defek kongenital dan trauma saat

lahir, febris (terutama pada anak), infeksi akut ataupun kronis termasuk AIDS, trauma

kepala, lesi desak ruang seperti tumor atau hematoma, penyalahgunaan narkoba dan

alkohol, strok, dan penyakit degeneratif seperti penyakit Alzheimer. Penyakit-penyakit

metabolik yang juga berhubungan dengan kejadian GTCS adalah gangguan elektrolit,

uremia, hipoglikemia, dan disfungsi hepar yang berat.

Bangkitan kejang umum tidak umum ditemukan pada bayi dan jarang pada

neonatus. Pada pasien usia lanjut, GTCS biasanya disebabkan generalisasi sekunder

yang berasal dari lesi fokal otak.4

Page 3: Epilepsi

3

Faktor presipitasi, ialah faktor yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu:

1. Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan,

air panas.

2. Faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya

golongan fenotiazin, klorpropamid, hipoglikemia, kelelahan fisik.

3. Faktor mental: stres, gangguan emosi.

IV. PATOFISIOLOGI

Secara fisiologis, sinyal listrik pada sel-sel neuron mempunyai 2 bentuk: potensial aksi

dalam satu neuron dan transmisi informasi antar neuron melalui sinaps kimiawi. Membran

neuron bersifat semipermeabel terhadap arus listrik yang lewat. Permeabilitasnya

menghalangi perubahan cepat yang secara dramatis dapat mengganggu voltase yang

melewatinya. Ion Na mempunyai konsentrasi yang tinggi di ruang ekstraseluler, sedangkan

ion K berkonsentrasi tinggi di intraseluler. Influks ion positif (Na, Ca) meningkatkan

potensial membran yang menyebabkan depolarisasi, sementara influks ion Cl dan efluks ion

K menyebabkan hiperpolarisasi. Saat membran sel mengalami depolarisasi sampai mencapai

ambang, saluran ion Na terbuka, menyebabkan masuknya ion ke intraseluler, yang

menghasilkan potensial aksi. Efluks K dari sel menyebabkan repolarisasi. Pompa Na-K

mengganti ion-ion yang berpindah ini dengan menggunakan ATP. Propagasi potensial aksi

sepanjang akson mentransmisikan informasi sepanjang sistim saraf. Bila akson terminal

presinaps terstimulasi oleh potensial aksi, akan terjadi influks ion Ca yang mencetuskan

pelepasan neurotransmitter yang lalu terikat pada reseptor postsinaptik. Proses ini akan

menghasilkan potensial postsinaptik eksitatoris dan inhibitoris (EPSP dan IPSP) di mana

penjumlahan dan sinkronisasinya menghasilkan aktivitas listrik yang direkam oleh EEG.

Glutamat dan aspartat adalah neurotransmitter eksitatorik utama, sementara gamma-

aminobutyric acid (GABA) merupakan neurotransmitter inhibitorik utama dalam otak.

Impuls listrik dilanjutkan oleh neuron-neuron berikutnya. Serat-serat proyeksi, baik aferen

maupun eferen membawa impuls dari dan ke korteks, baik dalam hubungan dengan struktur-

struktur di bawahnya ataupun dengan hemisfer kontralateral.

Normalnya, terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan eksitasi dan

inhibisi aktivitas listrik. Sistim tertentu di otak membatasi perluasan aktivitas listrik ini.

Page 4: Epilepsi

4

Bangkitan dihasilkan oleh letupan sinkron dan menetap dari suatu populasi neuron di otak.

Fungsi neuron-neuron kortikal terganggu dalam pembangkitan dan penyebaran aktivitas

listrik abnormal. Bangkitan dapat timbul karena imbalans antara eksitasi dan inhibisi serta

adanya sinkroni dari pelepasan neuronal. Baik pengaruh eksitatorik maupun inhibitorik dapat

terganggu, menyebabkan predisposisi terjadinya sinkroni berlebihan dalam populasi neuronal.

Eksitasi yang berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat waktu kejang, merekrut

sistim neuronal yang berhubungan secara sinaptik, sehingga terjadi pelepasan yang

berlebihan. Sementara itu, bertambahnya sinkronisasi adalah ciri khas pelepasan epileptik.

Tunas anjang-anjang aksonal (sprouting of axonal arbors) dari neuron eksitatoris dan

pembentukan hubungan sinaptik eksitatoris yang berulang-ulang serta feedback positif dan

bertambahnya hubungan sinaptik ini menyokong pelepasan sinkronisasi.

Reseptor glutamat sangat penting dalam eksitasi. Perubahan pada sinaps

glutaminergik merupakan dasar epileptogenesis, terutama perubahan pada komposisi sub unit

reseptor dengan akibat perubahan pada sifat fungsional reseptor glutamat, berupa potensiasi

jangka panjang pada sinaps glutamat maupun bertambahnya masuknya ion Ca. Selain itu,

transport glutamat/mekanisme uptake termasuk dalam penunjang utama ikut sertanya dalam

epileptogenesis; glutamat yang berada terus-menerus di celah sinaps adalah dasar potensial

bertambahnya eksitabilitas.

Perubahan struktur elektrik neuron (misalnya pemangkasan dendritik atau perubahan

sifat membran) merubah hubungan antara depolarisasi distal (misalnya dari input sinaptik)

dan output aksi potensial. Akan tetapi, kebanyakan penyelidikan mekanisme intrinsik

dipusatkan pada perubahan saluran voltase, terutama saluran ion natrium, kalium, dan

kalsium. Mutasi atau hilangnya saluran itu menyebabkan pelepasan transmitter, penambahan

transmisi di akson, influks ion Ca yang bertambah berhubungan dengan depolarisasi neuronal,

dan bertambahnya kemampuan melepaskan letupan berulang-ulang.

Kadar ion K esktraseluler yang berlebihan mendepolarisasi neuron. Sel-sel glial dapat

membersihkan neurotransmitter dari ruangan ekstraseluler, menjadi buffer ion K dan

memperbaiki konsentrasi K esktraseluler yang meningkat waktu terjadi kejang. Gliosis dapat

meempengaruhi kapasitas buffer ion K glia dan arena itu ikut serta dalam pembentukan

kejang.

Page 5: Epilepsi

5

Trauma, neurotoksin dan hipoksia secara selektif dapat menyebabkan kematian sub-

populasi sel-sel tertentu, sehingga akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas

untuk berhubungan dengan neuron deaffrensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung

mudah terangsang (hipereksitabel) karena rusaknya interneuron penghambat.

Mekanisme berhentinya kejang masih sedikit dimengerti. Diperkirakan kejang

berhenti sebagai akibat proses inhibisi aktif, dengan mekanisme seperti blok depolarisasi,

perubahan lingkungan ekstraseluler seperti penurunan K ekstraseluler atau eliminasi ion Ca

intraseluler. Agen-agen endogen seperti norepinefrin atau adenosine mempunyai aksi

antikonvulsan mungkin berperan dalam berhentinya kejang.

Bangkitan parsial disebabkan oleh pelepasan muatan dalam fokus atau regio tertentu

dari otak, yang dapat berkembang menjadi bangkitan umum. Bangkitan parsial berusaha

dijelaskan dengan model kindling. Kindling adalah pemberian berulang stimulus elektris atau

agen-agen epileptogenik yang awalnya nonkonvulsif ke struktur otak mana saja yang

menghasilkan berkembangnya bangkitan EEG dan bangkitan klinis, kadang-kadang

berkembang menjadi general. Terdapat 3 mekanisme, yaitu aktivasi reseptor NMDA,

hilangnya neuron yang biasanya mengaktivasi sel-sel inhibitoris, dan reorganisasi sinaptik

output sel-sel eksitatorik.

V. KLASIFIKASI

Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi diklasifikasikan

menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan sindrom epilepsi. Klasifikasi

berdasarkan tipe bangkitan epilepsi terdiri atas bangkitan parsial dan umum.

Salah satu jenis bangkitan umum yaitu tonik klonik/ Grand Mal. Pada fase ini secara

tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian

diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan

tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa

menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan,

penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya

akan tertidur setelahnya.8

Pada Generalized Tonic Clonic Seizure (GTCS) terdapat dua jenis yaitu :

Page 6: Epilepsi

6

a. GTCS primer : Serangan mulai bilateral, simetris, tanpa gambaran fokal

sejak awal mula serangan.

b. GTCS sekunder : Serangan mulai setempat, fokal, yang berkembang menjadi

umum. Beberapa bangkitan parsial menjadi general dengan

sangat cepat sehingga tidak tampak secara klinis atau bahkan

pada perekaman EEG.4

VI. DIAGNOSIS

a. Manifestasi Klinis

a.1. Gejala Prodromal5

Pasien dengan GTCS mungkin mengalami gejala prodromal yang terjadi

selama beberapa jam atau hari sebelum suatu bangkitan. Gejala-gejala yang umum

adalah perubahan mood, gangguan tidur, rasa ringan pada kepala, kecemasan,

iritabilitas, kesulitan berkonsentrasi, dan, perasaan riang. Gejala-gejala lain yang

lebih jarang dilaporkan adalah nyeri abdomen, wajah pucat, atau nyeri kepala.

Mayoritas pasien mengalami gangguan kesadaran tanpa gejala-gejala

pendahuluan.

a.2. Fase Tonik

Fase tonik biasanya terdiri atas fase fleksi yang hebat, diikuti fase ekstensi yang

lebih lama, disertai gangguan kesadaran. Fleksi biasanya dimulai dari wajah (mata

terbuka, bola mata terputar ke atas, mulut terbuka kaku), leher (semifleksi kaku), dan

badan (dada tertekuk ke pelvis). Fase fleksi menyebar ke seluruh ekstremitas,

meliputi lengan lebih tampak daripada tungkai, dan otot-otot proksimal lebih tampak

daripada otot-otot distal. Lengan terangkat, mengalami aduksi, dan berotasi eksternal.

Tungkai dan panggul terfiksir, mengalami aduksi, dan berotasi secara eksternal.

Fase ekstensi mulai dengan perototan aksial dengan ekstensi punggung dan leher.

Mulut tertutup rapat (lidah mungkin tergigit). Otot-otot thoraks dan perut

berkontraksi, seringkali dengan mengeluarkan ‘tonic cry’ saat udara dikeluarkan dari

korda vokalis. Lengan kemudian diturunkan dan diadduksi. Pergelangan tangan

dapat tetap fleksi, adduksi, dan berotasi eksternal. Selama periode transisi dari tonik

menjadi klonik, kontraksi menjadi makin berkurang. Rigiditas tonik digantikan oleh

Page 7: Epilepsi

7

tremor halus, yang amplitudonya makin meningkat dan frekuensinya menurun dari 8

menjadi 4 Hz. Tremor ini disebabkan penurunan tonus secara intermitten yang

dimulai dari ekstremitas dan menyebar ke proksimal. Durasi fase ini 10-30 detik.

Fase ini dapat disertai oleh apnea, secara sekunder karena spasme laring. Tanda-

tanda otonom sering didapatkan selama fase ini, meliputi peningkatan denyut nadi

dan tekanan darah, berkeringat hebat, dan hipersekresi trakeobronkial. Walaupun

tekanan kandung kemih meningkat, miksi tidak terjadi karena kontraksi otot spinkter.

a.3. Fase Klonik

Selama fase klonik, relaksasi otot menginterupsi kontraksi tonik. Kembalinya

tonus otot (fase atonia) berganti-gantian dengan spasme yang kasar dari fleksor dan

berulang secara ritmik menyebabkan penampakan seperti hentakan ritmis, yang

makin lama tampak makin jauh satu sama lain sampai kejang berhenti. Tiap

hentakan dapat disertai oleh ‘cry’. Durasi fase ini antara 30-50 detik. Miksi dapat

terjadi pada akhir fase klonik saat otot spinkter berelaksasi. Pasien tetap mengalami

apneu selama fase ini. Kejang ini, yang meliputi fase tonik dan klonik berlangsung

selama 1-2 menit.

b. Pemeriksaan Penunjang

Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui

anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis.

Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung

maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.

b.1. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena

pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.

Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan

(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan

merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma

kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,

malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.

Page 8: Epilepsi

8

Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:

- Pola / bentuk serangan

- Lama serangan

- Gejala sebelum, selama dan paska serangan

- Frekwensi serangan

- Faktor pencetus

- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang

- Usia saat serangan terjadinya pertama

- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan

- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya

- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

b.2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,

seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan

neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya

serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada

anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,

organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal

gangguan pertumbuhan otak unilateral.

b.3. Pemeriksaan penunjang5

b.3.1. Elektro ensefalografi (EEG)

Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan

pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis

epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi

struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan

abnormal.

Page 9: Epilepsi

9

1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer

otak.

2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding

seharusnya misal gelombang delta.

3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya

gelombang tajam, spike, spike wave, preispike, dan gelombang lambat yang

timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG

yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia,

epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang spike wave 3 siklus per detik (3

spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam /

lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).

Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang

mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber

serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis

dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis

yang ada. Prosedur ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum

diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.

Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada

persiapan operasi.

b.3.2. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat

struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka

MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat

untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.

VII. DIAGNOSIS BANDING

Tipe bangkitan umum tonik-klonik perlu dibedakan dengan sinkop dan

pseudoseizure pada pasien dari segala usia. Pada anak-anak, Tipe bangkitan umum

tonik-klonik perlu dibedakan dengan breath-holding spell dan sindrom QT

memanjang.

Page 10: Epilepsi

10

Tipe bangkitan umum tonik-klonik primer yang merupakan bagian dari

epilepsi general atau idiopatik perlu dibedakan dengan kejang parsial yang menjadi

Tipe bangkitan umum tonik-klonik sekunder sebagai bagian dari epilepsi fokal

simptomatik. Dicurigai Tipe bangkitan umum tonik-klonik primer bila (a) tidak

terdapat bukti gangguan struktural otak, (b) terdapat riwayat kejang dalam keluarga,

(c) terdapat penyerta kejang mioklonik atau absans, (d) kejadian kejang biasanya

segera setelah bangun tidur, (e) hentakan mioklonik bilateral saat onset kejang, dan

(f) terdapat generalized spike-wave atau polispike wave pada rekaman EEG

interiktal. Dicurigai Tipe bangkitan umum tonik-klonik sekunder bila terdapat (a)

aura, (b) tanda gangguan struktural otak (dari pemeriksaan fisik atau radiologis), (c)

onset dengan gejala atau tanda kejang parsial sederhana, kejang parsial kompleks

atau keduanya, dan (d) gelombang tajam atau lambat fokal pada rekaman EEG

interiktal.

Beberapa keadaan atau penyakit yang juga perlu dibedakan dengan Tipe

bangkitan umum tonik-klonik adalah kejang parsial kompleks, gangguan

keseimbangan, kejang demam, distonia, dan hiperventilasi. 5

VIII. PENATALAKSANAAN

Prinsip-prinsip terapi farmakologis:5,7

Obat anti epilepsi diberikan bila:

1. Diagnosis yang akurat dan karakteristik, serta penyebab, jenis bangkitan atau

sindroma epilepsi telah ditegakkan melalui anamnesis yang cermat, pemeriksaan

fisik, pemeriksaan EEG dan pemeriksaan penunjang lainnya.

2. Pasien dan keluarga menerima penjelasan tentang pengobatan dan efek samping obat

yang mungkin timbul.

3. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai jenis

bangkitan atau jenis sindroma epilepsi. Dosis obat dapat dinaikkan bertahap sampai

mencapai hasil optimal, dan bila perlu dapat diteruskan dnegan politerapi. Bila kadar

OAE kedua telah mencapai kadar terapi, dosis OAE pertama diturunkan bertahap.

4. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberikan terapi bila :

Page 11: Epilepsi

11

1. Dijumpai focus epilepsi yang jelas pada EEG

2. Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi

dengan bangkitan

3. Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya

kerusakan otak.

4. Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung

5. Riwayat bangkitan simptomatik

6. Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke,

infeksi SSP

7. Bangkitan pertama berupa status epileptikus

8. Efek samping dan interaksi OAE perlu diperhatikan. (Perdossi, 2007)

9. Terapi Farmakologis GTCS Primer dan Sekunder

First-Line Antiepileptic Drugs6

Generic Name Trade Name Principal

Uses

Typical Dosage and Dosing Intervals

Half-Life

Phenytoin (diphenyl- hydantoin

Dilantin Tonic-clonic (grand mal) Focal-onset

300–400 mg/d (3–6 mg/kg, adult; 4–8 mg/kg, child) qdbid

24 h (wide variation, dose-dependent)

Carbamazepine Tegretol Carbatrol

Tonic-clonic Focal-onset

600–1800 mg/d (15– 35 mg/kg, child) bidqid

10–17 h

Valproic acid Depakene Depakote

Tonic-clonic Absence Atypical absence Myoclonic Focal-onset

750–2000 mg/d (20– 60 mg/kg) bid-qid

15 h

Lamotrigine Lamictal Focal-onset

Tonic-clonic Atypical absence Myoclonic Lennox- Gastaut syndrome

150–500 mg/d bid

25 h 14 h (with enzymeinducers) 59 h (with valproic acid)

Ethosuximide Zarontin Absence (petit mal)

750–1250 mg/d (20–

60 h, adult 30 h, child

Page 12: Epilepsi

12

40 mg/kg) qd-bid

Pengobatan psikososial:

Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebagian

besar akan terbebas dari kejang. Pasien harus patuh dalam menjalani

pengobatannya sehingga dapat bebas dari kejang dan dapat belajar, bekerja, dan

bermasyarakat secara normal.7

IX. PROGNOSIS

Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2

tahun dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien

tidak mengalami kejang lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30%

pasien tidak akan mengalami remisi meskipun minum obat dengan teratur.

Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat

pada kejang tonik-klonik dan kejang partial kompleks. Demikian pula usia mudah lebih

muda lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi.7

X. KESIMPULAN

Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemilihan obat antiepilepsi selain tipe

kejang adalah faktor sosio-ekonomi pasien karena pengobatan epilepsi adalah

pengobatan jangka panjang dan diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk terjaminnya

keberlangsungan pengobatan. Untuk itu diperlukan diskusi antara dokter dan pasien

dalam memilih obat anti epilepsi, dan dokter harus memotivasi pasien untuk berobat

teratur dan tidak putus obat. Terapi lain yang dapat diberikan selain obat antiepilepsi

adalah diet ketogenik, stimulasi vagal dan pembedahan.

Page 13: Epilepsi

13

DAFTAR PUSTAKA

1. Sisodiya SM. Epilepsy : epidemiology, clinical assessment, investigation and natural

history. Dalam: Medicine International 2000. United Kingdom; 2000; 36-45.

2. Sunaryo U. Epilepsi. Dalam : Pedoman tatalaksana epilepsi kelompok studi epilepsi

PERDOSSI. Surabaya; 2007; 1-27.

3. Riyanto B. Obat-obat anti epilepsi baru. Dalam : Cermin dunia kedokteran no.110.

Jakarta; 1996; 49-55.

4. Annonomious. Kejang umum tonik klonik, generalized clonic seizure, GTCS [online] ,

[cited on 2011, May 24]. Available from http://www.ilmubedah.info

5. Ko DY, Srivastava SS, Arrastia RD, Talavera F, Cavazos JE, Benbadis SR et al.

Generalized tonic-clonic seizures [online] , [cited on 2011, May 24]. Available from

http://www.emedicine.com

6. Kaspe DL, et al. Seizures and epilepsy. In: Harison’s manual of medicine. McGraw-

Hill Medical Publishing Division; 2005; 875-82.

7. Mansjoer A, Suprohaita, et al. Epilepsi. Dalam: Kapita selekta kedokteran edisi

ketiga jilid kedua. Media aesculapius. Jakarta; 2000; 27-33.

8. Guyton, et al. States of Brain Activity—Sleep, Brain Waves, Epilepsy, Psychoses. In:

Textbook of Medical Physiology eleven edition. Elsevier Saunders; 2006; 743-5.

9. Lombardo MC. Gangguan Kejang. Dalam : Patofisiologi volume 2 edisi 6. EGC.

Jakarta; 2005; 1157-66.

10. Octaviana F. Epilepsi. Dalam : Medicinus Vol.21. Jakarta; 2008; 121-124.