Epilepsi
-
Upload
andini-afliani-putri -
Category
Documents
-
view
189 -
download
3
Transcript of Epilepsi
1
EPILEPSI TIPE BANGKITAN UMUM TONIK KLONIK
I. PENDAHULUAN
Kejang adalah masalah neurologik yang relatif sering dijumpai. Diperkirakan
bahwa satu dari sepuluh orang akan mengalami kejang suatu saat dalam hidup mereka.
Dua puncak usia untuk insiden kejang dekade pertama dan setelah usia enam puluh
tahun. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu
populasi neuron yang sangat mudah terpicu (fokus kejang) sehingga mengganggu
fungsi normal otak. Namun kejang juga terjadi dari jaringan otak normal di bawah
kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam basa atau elektrolit.
Kejang itu sendiri, apabila berlangsung singkat jarang menimbulkan kerusakan tetapi
kejang dapat merupakan manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang membahayakan,
misalnya gangguan metabolisme, infeksi intrakranium, gejala putus obat, intoksikasi
obat, encephalopati hipertensi. Bergantung pada lokasi neuron-neuron fokus kejang ini,
kejang dapat bermanifestasi sebagai kombinasi perubahan tingkat kesadaran dan
gangguan dalam fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Istilah kejang bersifat generik
dan dapat digunakan penjelasan-penjelasan lain spesifik sesuai karakteristik yang
diamati. Kejang dapat terjadi sekali atau berulang. Kejang rekuren, spontan, dan tidak
disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsi.1
Epilepsi adalah kumpulan gejala dan tanda klinis, ditandai oleh bangkitan
(seizure) berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermitten. Epilepsi merupakan
kelainan neurologik yang sering dijumpai. Diperkirakan 0,4-1% populasi mengidap
salah satu jenis epilepsi.2,3
Berdasarkan International League Against Epilepsy (ILAE), epilepsi
diklasifikasikan menjadi dua yaitu bangkitan epilepsi dan sindrom epilepsi. Bangkitan
epilepsi terdiri atas bangkitan parsial, bangkitan umum dan bangkitan tak tergolongkan.
Salah satu pembagian bangkitan umum yaitu bangkitan umum tonik klonik.2
Epilepsi tipe bangkitan umum tonik klonik atau Generalized Tonic Clonic Seizure
(GTCS) adalah jenis bangkitan yang mengenai seluruh tubuh, didahului oleh
peningkatan tonus otot-otot (fase tonik) yang diikuti hentakan simetris bilateral dari
ekstremitas (fase klonik).4
2
II. INSIDENS & EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat insidens epilepsi yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit
otak akut (recurrent unprovoked seizures) sekitar 24-53 orang per 100.000 setiap
tahunnya. Kurang lebih 20-25% kasus diklasifikasikan sebagai bangkitan umum.
Epilepsi bangkitan umum jarang ditemukan pada bayi dan neonatus. Pada pasien usia
lanjut, bangkitan umum tipe tonik klonik biasanya disebabkan oleh bangkitan umum
sekunder yang berasal dari lesi di otak.5
Kurang lebih satu individu yang terkena epilepsi berusia sebelum 15 tahun.
Prevalensi pada orang dengan usia lebih tua nampaknya berkembang, kemungkinan
merupakan hasil dari pergeseran demografi dan peningkatan prevalensi dari penyakit
serbrovaskuler. Prevalensi lebih meningkat pada orang-orang dengan sosial ekonomi
rendah.6
III. ETIOLOGI
GTCS dapat terjadi sebagai bangkitan yang idiopatik atau merupakan bagian
manifestasi klinik dari sindrom-sindrom epilepsi baik pada dewasa maupun kanak-
kanak. Misalnya, benign neonatal convulsions, benign myoclonic epilepsy of infancy,
childhood absence epilepsy, juvenile absence epilepsy, juvenile myoclonic epilepsy,
GTCS yang terjadi saat bangun tidur, temporal lobe epilepsy syndrome, frontal lobe
epilepsy syndrome, West syndrome, dan lain-lain. Dengan perkembangan ilmu, telah
dapat ditentukan lokus-lokus genetik yang pasti dari berbagai tipe atau sindrom epilepsi.
GTCS sering juga terjadi sebagai bagian dari epilepsi fokal simptomatik. Hal-hal
yang dapat menyebabkan timbulnya GTCS antara lain defek kongenital dan trauma saat
lahir, febris (terutama pada anak), infeksi akut ataupun kronis termasuk AIDS, trauma
kepala, lesi desak ruang seperti tumor atau hematoma, penyalahgunaan narkoba dan
alkohol, strok, dan penyakit degeneratif seperti penyakit Alzheimer. Penyakit-penyakit
metabolik yang juga berhubungan dengan kejadian GTCS adalah gangguan elektrolit,
uremia, hipoglikemia, dan disfungsi hepar yang berat.
Bangkitan kejang umum tidak umum ditemukan pada bayi dan jarang pada
neonatus. Pada pasien usia lanjut, GTCS biasanya disebabkan generalisasi sekunder
yang berasal dari lesi fokal otak.4
3
Faktor presipitasi, ialah faktor yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu:
1. Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan,
air panas.
2. Faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obat tertentu misalnya
golongan fenotiazin, klorpropamid, hipoglikemia, kelelahan fisik.
3. Faktor mental: stres, gangguan emosi.
IV. PATOFISIOLOGI
Secara fisiologis, sinyal listrik pada sel-sel neuron mempunyai 2 bentuk: potensial aksi
dalam satu neuron dan transmisi informasi antar neuron melalui sinaps kimiawi. Membran
neuron bersifat semipermeabel terhadap arus listrik yang lewat. Permeabilitasnya
menghalangi perubahan cepat yang secara dramatis dapat mengganggu voltase yang
melewatinya. Ion Na mempunyai konsentrasi yang tinggi di ruang ekstraseluler, sedangkan
ion K berkonsentrasi tinggi di intraseluler. Influks ion positif (Na, Ca) meningkatkan
potensial membran yang menyebabkan depolarisasi, sementara influks ion Cl dan efluks ion
K menyebabkan hiperpolarisasi. Saat membran sel mengalami depolarisasi sampai mencapai
ambang, saluran ion Na terbuka, menyebabkan masuknya ion ke intraseluler, yang
menghasilkan potensial aksi. Efluks K dari sel menyebabkan repolarisasi. Pompa Na-K
mengganti ion-ion yang berpindah ini dengan menggunakan ATP. Propagasi potensial aksi
sepanjang akson mentransmisikan informasi sepanjang sistim saraf. Bila akson terminal
presinaps terstimulasi oleh potensial aksi, akan terjadi influks ion Ca yang mencetuskan
pelepasan neurotransmitter yang lalu terikat pada reseptor postsinaptik. Proses ini akan
menghasilkan potensial postsinaptik eksitatoris dan inhibitoris (EPSP dan IPSP) di mana
penjumlahan dan sinkronisasinya menghasilkan aktivitas listrik yang direkam oleh EEG.
Glutamat dan aspartat adalah neurotransmitter eksitatorik utama, sementara gamma-
aminobutyric acid (GABA) merupakan neurotransmitter inhibitorik utama dalam otak.
Impuls listrik dilanjutkan oleh neuron-neuron berikutnya. Serat-serat proyeksi, baik aferen
maupun eferen membawa impuls dari dan ke korteks, baik dalam hubungan dengan struktur-
struktur di bawahnya ataupun dengan hemisfer kontralateral.
Normalnya, terdapat keseimbangan antara faktor yang menyebabkan eksitasi dan
inhibisi aktivitas listrik. Sistim tertentu di otak membatasi perluasan aktivitas listrik ini.
4
Bangkitan dihasilkan oleh letupan sinkron dan menetap dari suatu populasi neuron di otak.
Fungsi neuron-neuron kortikal terganggu dalam pembangkitan dan penyebaran aktivitas
listrik abnormal. Bangkitan dapat timbul karena imbalans antara eksitasi dan inhibisi serta
adanya sinkroni dari pelepasan neuronal. Baik pengaruh eksitatorik maupun inhibitorik dapat
terganggu, menyebabkan predisposisi terjadinya sinkroni berlebihan dalam populasi neuronal.
Eksitasi yang berlebihan mengakibatkan letupan neuronal yang cepat waktu kejang, merekrut
sistim neuronal yang berhubungan secara sinaptik, sehingga terjadi pelepasan yang
berlebihan. Sementara itu, bertambahnya sinkronisasi adalah ciri khas pelepasan epileptik.
Tunas anjang-anjang aksonal (sprouting of axonal arbors) dari neuron eksitatoris dan
pembentukan hubungan sinaptik eksitatoris yang berulang-ulang serta feedback positif dan
bertambahnya hubungan sinaptik ini menyokong pelepasan sinkronisasi.
Reseptor glutamat sangat penting dalam eksitasi. Perubahan pada sinaps
glutaminergik merupakan dasar epileptogenesis, terutama perubahan pada komposisi sub unit
reseptor dengan akibat perubahan pada sifat fungsional reseptor glutamat, berupa potensiasi
jangka panjang pada sinaps glutamat maupun bertambahnya masuknya ion Ca. Selain itu,
transport glutamat/mekanisme uptake termasuk dalam penunjang utama ikut sertanya dalam
epileptogenesis; glutamat yang berada terus-menerus di celah sinaps adalah dasar potensial
bertambahnya eksitabilitas.
Perubahan struktur elektrik neuron (misalnya pemangkasan dendritik atau perubahan
sifat membran) merubah hubungan antara depolarisasi distal (misalnya dari input sinaptik)
dan output aksi potensial. Akan tetapi, kebanyakan penyelidikan mekanisme intrinsik
dipusatkan pada perubahan saluran voltase, terutama saluran ion natrium, kalium, dan
kalsium. Mutasi atau hilangnya saluran itu menyebabkan pelepasan transmitter, penambahan
transmisi di akson, influks ion Ca yang bertambah berhubungan dengan depolarisasi neuronal,
dan bertambahnya kemampuan melepaskan letupan berulang-ulang.
Kadar ion K esktraseluler yang berlebihan mendepolarisasi neuron. Sel-sel glial dapat
membersihkan neurotransmitter dari ruangan ekstraseluler, menjadi buffer ion K dan
memperbaiki konsentrasi K esktraseluler yang meningkat waktu terjadi kejang. Gliosis dapat
meempengaruhi kapasitas buffer ion K glia dan arena itu ikut serta dalam pembentukan
kejang.
5
Trauma, neurotoksin dan hipoksia secara selektif dapat menyebabkan kematian sub-
populasi sel-sel tertentu, sehingga akson-akson dari neuron yang hidup mengadakan tunas
untuk berhubungan dengan neuron deaffrensiasi parsial. Sirkuit yang sembuh cenderung
mudah terangsang (hipereksitabel) karena rusaknya interneuron penghambat.
Mekanisme berhentinya kejang masih sedikit dimengerti. Diperkirakan kejang
berhenti sebagai akibat proses inhibisi aktif, dengan mekanisme seperti blok depolarisasi,
perubahan lingkungan ekstraseluler seperti penurunan K ekstraseluler atau eliminasi ion Ca
intraseluler. Agen-agen endogen seperti norepinefrin atau adenosine mempunyai aksi
antikonvulsan mungkin berperan dalam berhentinya kejang.
Bangkitan parsial disebabkan oleh pelepasan muatan dalam fokus atau regio tertentu
dari otak, yang dapat berkembang menjadi bangkitan umum. Bangkitan parsial berusaha
dijelaskan dengan model kindling. Kindling adalah pemberian berulang stimulus elektris atau
agen-agen epileptogenik yang awalnya nonkonvulsif ke struktur otak mana saja yang
menghasilkan berkembangnya bangkitan EEG dan bangkitan klinis, kadang-kadang
berkembang menjadi general. Terdapat 3 mekanisme, yaitu aktivasi reseptor NMDA,
hilangnya neuron yang biasanya mengaktivasi sel-sel inhibitoris, dan reorganisasi sinaptik
output sel-sel eksitatorik.
V. KLASIFIKASI
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981, epilepsi diklasifikasikan
menjadi 2 yakni berdasarkan bangkitan epilepsi dan berdasarkan sindrom epilepsi. Klasifikasi
berdasarkan tipe bangkitan epilepsi terdiri atas bangkitan parsial dan umum.
Salah satu jenis bangkitan umum yaitu tonik klonik/ Grand Mal. Pada fase ini secara
tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti sejenak kemudian
diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang tonik-klonik (gerakan
tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan, penderita tidak sadar, bisa
menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai mengompol. Pasca serangan,
penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan tubuhnya terasa lemas dan biasanya
akan tertidur setelahnya.8
Pada Generalized Tonic Clonic Seizure (GTCS) terdapat dua jenis yaitu :
6
a. GTCS primer : Serangan mulai bilateral, simetris, tanpa gambaran fokal
sejak awal mula serangan.
b. GTCS sekunder : Serangan mulai setempat, fokal, yang berkembang menjadi
umum. Beberapa bangkitan parsial menjadi general dengan
sangat cepat sehingga tidak tampak secara klinis atau bahkan
pada perekaman EEG.4
VI. DIAGNOSIS
a. Manifestasi Klinis
a.1. Gejala Prodromal5
Pasien dengan GTCS mungkin mengalami gejala prodromal yang terjadi
selama beberapa jam atau hari sebelum suatu bangkitan. Gejala-gejala yang umum
adalah perubahan mood, gangguan tidur, rasa ringan pada kepala, kecemasan,
iritabilitas, kesulitan berkonsentrasi, dan, perasaan riang. Gejala-gejala lain yang
lebih jarang dilaporkan adalah nyeri abdomen, wajah pucat, atau nyeri kepala.
Mayoritas pasien mengalami gangguan kesadaran tanpa gejala-gejala
pendahuluan.
a.2. Fase Tonik
Fase tonik biasanya terdiri atas fase fleksi yang hebat, diikuti fase ekstensi yang
lebih lama, disertai gangguan kesadaran. Fleksi biasanya dimulai dari wajah (mata
terbuka, bola mata terputar ke atas, mulut terbuka kaku), leher (semifleksi kaku), dan
badan (dada tertekuk ke pelvis). Fase fleksi menyebar ke seluruh ekstremitas,
meliputi lengan lebih tampak daripada tungkai, dan otot-otot proksimal lebih tampak
daripada otot-otot distal. Lengan terangkat, mengalami aduksi, dan berotasi eksternal.
Tungkai dan panggul terfiksir, mengalami aduksi, dan berotasi secara eksternal.
Fase ekstensi mulai dengan perototan aksial dengan ekstensi punggung dan leher.
Mulut tertutup rapat (lidah mungkin tergigit). Otot-otot thoraks dan perut
berkontraksi, seringkali dengan mengeluarkan ‘tonic cry’ saat udara dikeluarkan dari
korda vokalis. Lengan kemudian diturunkan dan diadduksi. Pergelangan tangan
dapat tetap fleksi, adduksi, dan berotasi eksternal. Selama periode transisi dari tonik
menjadi klonik, kontraksi menjadi makin berkurang. Rigiditas tonik digantikan oleh
7
tremor halus, yang amplitudonya makin meningkat dan frekuensinya menurun dari 8
menjadi 4 Hz. Tremor ini disebabkan penurunan tonus secara intermitten yang
dimulai dari ekstremitas dan menyebar ke proksimal. Durasi fase ini 10-30 detik.
Fase ini dapat disertai oleh apnea, secara sekunder karena spasme laring. Tanda-
tanda otonom sering didapatkan selama fase ini, meliputi peningkatan denyut nadi
dan tekanan darah, berkeringat hebat, dan hipersekresi trakeobronkial. Walaupun
tekanan kandung kemih meningkat, miksi tidak terjadi karena kontraksi otot spinkter.
a.3. Fase Klonik
Selama fase klonik, relaksasi otot menginterupsi kontraksi tonik. Kembalinya
tonus otot (fase atonia) berganti-gantian dengan spasme yang kasar dari fleksor dan
berulang secara ritmik menyebabkan penampakan seperti hentakan ritmis, yang
makin lama tampak makin jauh satu sama lain sampai kejang berhenti. Tiap
hentakan dapat disertai oleh ‘cry’. Durasi fase ini antara 30-50 detik. Miksi dapat
terjadi pada akhir fase klonik saat otot spinkter berelaksasi. Pasien tetap mengalami
apneu selama fase ini. Kejang ini, yang meliputi fase tonik dan klonik berlangsung
selama 1-2 menit.
b. Pemeriksaan Penunjang
Untuk dapat mendiagnosis seseorang menderita epilepsi dapat dilakukan melalui
anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasilpemeriksaan EEG dan radiologis.
Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung
maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
b.1. Anamnesis
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena
pemeriksa hampir tidak pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan
(meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan
merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga memunculkan informasi tentang trauma
kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik,
malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
8
Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekwensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
b.2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi,
seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya
serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada
anak-anak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal
gangguan pertumbuhan otak unilateral.
b.3. Pemeriksaan penunjang5
b.3.1. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis
epilepsi. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi
struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan
abnormal.
9
1. Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer
otak.
2. Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat disbanding
seharusnya misal gelombang delta.
3. Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya
gelombang tajam, spike, spike wave, preispike, dan gelombang lambat yang
timbul secara paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG
yang khas, misalnya spasme infantile mempunyai gambaran EEG hipsaritmia,
epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang spike wave 3 siklus per detik (3
spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam /
lambat dan paku majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).
Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang
mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis
dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis
yang ada. Prosedur ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum
diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.
Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada
persiapan operasi.
b.3.2. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat
untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
VII. DIAGNOSIS BANDING
Tipe bangkitan umum tonik-klonik perlu dibedakan dengan sinkop dan
pseudoseizure pada pasien dari segala usia. Pada anak-anak, Tipe bangkitan umum
tonik-klonik perlu dibedakan dengan breath-holding spell dan sindrom QT
memanjang.
10
Tipe bangkitan umum tonik-klonik primer yang merupakan bagian dari
epilepsi general atau idiopatik perlu dibedakan dengan kejang parsial yang menjadi
Tipe bangkitan umum tonik-klonik sekunder sebagai bagian dari epilepsi fokal
simptomatik. Dicurigai Tipe bangkitan umum tonik-klonik primer bila (a) tidak
terdapat bukti gangguan struktural otak, (b) terdapat riwayat kejang dalam keluarga,
(c) terdapat penyerta kejang mioklonik atau absans, (d) kejadian kejang biasanya
segera setelah bangun tidur, (e) hentakan mioklonik bilateral saat onset kejang, dan
(f) terdapat generalized spike-wave atau polispike wave pada rekaman EEG
interiktal. Dicurigai Tipe bangkitan umum tonik-klonik sekunder bila terdapat (a)
aura, (b) tanda gangguan struktural otak (dari pemeriksaan fisik atau radiologis), (c)
onset dengan gejala atau tanda kejang parsial sederhana, kejang parsial kompleks
atau keduanya, dan (d) gelombang tajam atau lambat fokal pada rekaman EEG
interiktal.
Beberapa keadaan atau penyakit yang juga perlu dibedakan dengan Tipe
bangkitan umum tonik-klonik adalah kejang parsial kompleks, gangguan
keseimbangan, kejang demam, distonia, dan hiperventilasi. 5
VIII. PENATALAKSANAAN
Prinsip-prinsip terapi farmakologis:5,7
Obat anti epilepsi diberikan bila:
1. Diagnosis yang akurat dan karakteristik, serta penyebab, jenis bangkitan atau
sindroma epilepsi telah ditegakkan melalui anamnesis yang cermat, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan EEG dan pemeriksaan penunjang lainnya.
2. Pasien dan keluarga menerima penjelasan tentang pengobatan dan efek samping obat
yang mungkin timbul.
3. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai jenis
bangkitan atau jenis sindroma epilepsi. Dosis obat dapat dinaikkan bertahap sampai
mencapai hasil optimal, dan bila perlu dapat diteruskan dnegan politerapi. Bila kadar
OAE kedua telah mencapai kadar terapi, dosis OAE pertama diturunkan bertahap.
4. Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk diberikan terapi bila :
11
1. Dijumpai focus epilepsi yang jelas pada EEG
2. Pada pemeriksaan CT scan atau MRI otak dijumpai lesi yang berkorelasi
dengan bangkitan
3. Pada pemeriksaan neurologis dijumpai kelainan yang mengarah pada adanya
kerusakan otak.
4. Terdapat riwayat epilepsi pada saudara sekandung
5. Riwayat bangkitan simptomatik
6. Riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran, stroke,
infeksi SSP
7. Bangkitan pertama berupa status epileptikus
8. Efek samping dan interaksi OAE perlu diperhatikan. (Perdossi, 2007)
9. Terapi Farmakologis GTCS Primer dan Sekunder
First-Line Antiepileptic Drugs6
Generic Name Trade Name Principal
Uses
Typical Dosage and Dosing Intervals
Half-Life
Phenytoin (diphenyl- hydantoin
Dilantin Tonic-clonic (grand mal) Focal-onset
300–400 mg/d (3–6 mg/kg, adult; 4–8 mg/kg, child) qdbid
24 h (wide variation, dose-dependent)
Carbamazepine Tegretol Carbatrol
Tonic-clonic Focal-onset
600–1800 mg/d (15– 35 mg/kg, child) bidqid
10–17 h
Valproic acid Depakene Depakote
Tonic-clonic Absence Atypical absence Myoclonic Focal-onset
750–2000 mg/d (20– 60 mg/kg) bid-qid
15 h
Lamotrigine Lamictal Focal-onset
Tonic-clonic Atypical absence Myoclonic Lennox- Gastaut syndrome
150–500 mg/d bid
25 h 14 h (with enzymeinducers) 59 h (with valproic acid)
Ethosuximide Zarontin Absence (petit mal)
750–1250 mg/d (20–
60 h, adult 30 h, child
12
40 mg/kg) qd-bid
Pengobatan psikososial:
Pasien diberikan penerangan bahwa dengan pengobatan yang optimal sebagian
besar akan terbebas dari kejang. Pasien harus patuh dalam menjalani
pengobatannya sehingga dapat bebas dari kejang dan dapat belajar, bekerja, dan
bermasyarakat secara normal.7
IX. PROGNOSIS
Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2
tahun dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien
tidak mengalami kejang lagi, dikatakan telah mengalami remisi. Diperkirakan 30%
pasien tidak akan mengalami remisi meskipun minum obat dengan teratur.
Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat
pada kejang tonik-klonik dan kejang partial kompleks. Demikian pula usia mudah lebih
muda lebih mudah mengalami relaps sesudah remisi.7
X. KESIMPULAN
Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemilihan obat antiepilepsi selain tipe
kejang adalah faktor sosio-ekonomi pasien karena pengobatan epilepsi adalah
pengobatan jangka panjang dan diperlukan biaya yang tidak sedikit untuk terjaminnya
keberlangsungan pengobatan. Untuk itu diperlukan diskusi antara dokter dan pasien
dalam memilih obat anti epilepsi, dan dokter harus memotivasi pasien untuk berobat
teratur dan tidak putus obat. Terapi lain yang dapat diberikan selain obat antiepilepsi
adalah diet ketogenik, stimulasi vagal dan pembedahan.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. Sisodiya SM. Epilepsy : epidemiology, clinical assessment, investigation and natural
history. Dalam: Medicine International 2000. United Kingdom; 2000; 36-45.
2. Sunaryo U. Epilepsi. Dalam : Pedoman tatalaksana epilepsi kelompok studi epilepsi
PERDOSSI. Surabaya; 2007; 1-27.
3. Riyanto B. Obat-obat anti epilepsi baru. Dalam : Cermin dunia kedokteran no.110.
Jakarta; 1996; 49-55.
4. Annonomious. Kejang umum tonik klonik, generalized clonic seizure, GTCS [online] ,
[cited on 2011, May 24]. Available from http://www.ilmubedah.info
5. Ko DY, Srivastava SS, Arrastia RD, Talavera F, Cavazos JE, Benbadis SR et al.
Generalized tonic-clonic seizures [online] , [cited on 2011, May 24]. Available from
http://www.emedicine.com
6. Kaspe DL, et al. Seizures and epilepsy. In: Harison’s manual of medicine. McGraw-
Hill Medical Publishing Division; 2005; 875-82.
7. Mansjoer A, Suprohaita, et al. Epilepsi. Dalam: Kapita selekta kedokteran edisi
ketiga jilid kedua. Media aesculapius. Jakarta; 2000; 27-33.
8. Guyton, et al. States of Brain Activity—Sleep, Brain Waves, Epilepsy, Psychoses. In:
Textbook of Medical Physiology eleven edition. Elsevier Saunders; 2006; 743-5.
9. Lombardo MC. Gangguan Kejang. Dalam : Patofisiologi volume 2 edisi 6. EGC.
Jakarta; 2005; 1157-66.
10. Octaviana F. Epilepsi. Dalam : Medicinus Vol.21. Jakarta; 2008; 121-124.