Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

155
Halaman | 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Konflik lingkungan, sebuah isu yang sedang marak akhir-akhir ini, terutama sejak berkembangnya industri baik kecil maupun menengah yang ikut memberikan dampak pada kehidupan masyarakat sekitarnya.Konflik lingkungan di Indonesia sering terjadi di berbagai tempat serta melibatkan banyak pihak yang berkepentingan, baik mereka yang berposisi sebagai korban maupun pelaku. Hal ini disebabkan karena sifat konflik lingkungan yang intangibility (tidak mudah dikuatifikasi secara moneter), common property (lingkungan merupakan barang bersama), eksternalitas negatif (dampak lingkungan menimpa orang lain diluar pemrakarsa kegiatan), jangka panjang (dampak yang ditimbulkan lama) (Hadi, 2006). Salah satu konflik lingkungan yang terjadi diakibatkan oleh pembuangan limbah yang mencemari lingkungan sekitarnya, baik yang diakibatkan oleh industri skala kecil maupun besar. Definisi dari limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (Hadi, 2006) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat kimiawi (toxicity, flammability , reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia. Konflik lingkungan khususnya yang disebabkan oleh limbah sangat umum terjadi tidak hanya didaerah industri besar

description

Riset kualitatif mengenai konflik antara petani dan perajin alkohol di desa mojolaban, kabupaten sukoharjo

Transcript of Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Page 1: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Konflik lingkungan, sebuah isu yang sedang marak akhir-akhir ini, terutama

sejak berkembangnya industri baik kecil maupun menengah yang ikut

memberikan dampak pada kehidupan masyarakat sekitarnya.Konflik lingkungan

di Indonesia sering terjadi di berbagai tempat serta melibatkan banyak pihak yang

berkepentingan, baik mereka yang berposisi sebagai korban maupun pelaku. Hal

ini disebabkan karena sifat konflik lingkungan yang intangibility (tidak mudah

dikuatifikasi secara moneter), common property (lingkungan merupakan barang

bersama), eksternalitas negatif (dampak lingkungan menimpa orang lain diluar

pemrakarsa kegiatan), jangka panjang (dampak yang ditimbulkan lama) (Hadi,

2006). Salah satu konflik lingkungan yang terjadi diakibatkan oleh pembuangan

limbah yang mencemari lingkungan sekitarnya, baik yang diakibatkan oleh

industri skala kecil maupun besar.

Definisi dari limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (Hadi, 2006) ialah setiap

bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan

berbahaya dan beracun (B3) karena sifat kimiawi (toxicity, flammability ,

reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara

langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau

membahayakan kesehatan manusia. Konflik lingkungan khususnya yang

disebabkan oleh limbah sangat umum terjadi tidak hanya didaerah industri besar

Page 2: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 2

tetapi juga industri yang skalanya bisa dikatakan industri kecil yaitu Industri yang

melibatkan pegawai sebanyak 5-9 orang(BPS, 1999).

Tidak jarang, limbah industri baik kecil atau besar ini menyebabkan konflik

yang banyak terjadi, dan seringkali menyebabkan warga sekitar menjadi korban

dari pembuangan limbah industri tersebut, seperti yang terjadi di desa Pegaden,

Pekalongan. Dimana sesama warga yang menolak dan warga yang menjadi buruh

di industri pencucian jeans yang berada di daerah tersebut sudah lama “perang

dingin” akibat sungai yang menjadi pemenuh kebutuhan air warga setempat

menjadi tidak layak digunakan. Lalu pada 23 Desember 2011 warga melakukan

pembendungan terhadap saluran limbah hingga industri pencucian jeans tidak bisa

beroperasi, padahal sebelumnya warga telah berkali-kali meminta pelaku industri

untuk tidak membuang limbahnya ke sungai (Hadi, 2006).

Sedangkan contoh lainnya adalah konflik limbah antara PT.Palur Raya pada

tahun 1997, dimana PT .Palur Raya membuang limbah ke sungai Ngringo, yang

melintasi desa Ngringo dengan konsentrasi kimia yang cukup tinggi, hingga

menyebabkan gatal-gatal, bau menyengat, hingga air sungai yang tidak layak

digunakan, bahkan lele pun tidak bisa hidup. Konflik ini terus berlanjut hingga

sekarang menyusul tidak direalisasikannya ganti rugi senilai 7,2 miliar yang telah

dijanjikan sejak 2001 (Hadi, 2006). Konflik ini melibatkan warga Ngringo sebagai

korban dan PT.Palur Raya sebagai pemicu konflik. Konflik lingkungan tidak akan

pernah selesei karena sifat konflik seperti yang telah diuraikan diatas, sehingga

membuat konflik bukan saja sebagai kepentingan pihak yang secara langsung

mendapatkan dampak dari konflik tersebut, melainkan merembet ke berbagai

Page 3: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 3

sektor lain yang merupakan akibat tak langsung dari konflik tersebut (Hadi,

2006).

Berbagai contoh kasus di atas membuat penelitian cukup penting untuk

dilaksanakan di sebuah kawasan yang juga sedang dilanda konflik lingkungan

akibat limbah yang di buang ke saluran irigasi.Kawasan ini adalah pusat industri

alkohol yang terletak di kawasan desa Mojolaban, Sukoharjo yang dimana konflik

lingkungan disini semakin berlarut-larut dan belum memiliki resolusi konflik

yang solutif. Areal persawahan sangat mendominasi daerah Mojolaban, dan petani

merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk Mojolaban, saluran irigasi

sendiri menjadi penunjang utama mata pencaharian petani yang dimana saluran

tersebut melewati daerah sentra industri alkohol dan menjadi “saluran

pembuangan limbah” perajin yang jumlahnya cukup banyak dengan konsentrasi

limbah kimiawi yang cukup tinggi (www.Sukoharjokab.go.id, Profil wilayah

Mojolaban, diakses pada 17 Juli 2012) .

Perkembangan daerah ini sebagai sentra penghasil alkohol pun cukup pesat,

dimana pada tahun 1960an, ada peningkatan kadar alkohol yang semula hanya

27% menjadi 37%, bahkan tahun 1980an, Pemerintah dati II Sukoharjo

memberikan bantuan teknis sebesar 2 juta rupiah berupa peralatan produksi

alkohol modern dan menganggap daerah ini sebagai penghasil PAD bagi

PemkabSukoharjo. Dimana PemkabSukoharjo mengkategorikannya sebagai

industri kecil daerah yang memproduksi alkohol. Hal tersebut tercetus pada

PERDA NO. 15 TAHUN 1987 dan yang terbaru Peraturan menteri perdagangan

nomor 15/M-DAG/3/2006. Pada Akhirnya ditahun 1997, dilakukanlah teken

Page 4: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 4

kontrak antara sentra industri ini dengan pihak PT. Acidatama yang merupakan

perusahaan yang akhirnya memberikan bantuan peralatan yang canggih untuk

tujuan peningkatan kadar hingga 60-90%, sesuai dengan standar

Industri(www.manteb.com, Sejarah Ciu Bekonang, diakses pada 9 September

2012).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Disperindakop KabupatenSukoharjo,

perajin Alkohol sekarang sudah mencapai 210 orang, yang dimana pada tahun

2002 mereka berjumlah hanya 182 orang dan menujukkan tren yang semakin

meningkat (www.Sukoharjokab.go.id, perkembangan perajin alkohol tahun 2000-

2006, diakses pada 9 September 2012). Mereka terikat pada paguyuban perajin

alkohol yang diketuai oleh bapak Sabaryono. Paguyuban ini pada awalnya

didirikan untuk memastikan hasil produksi alkohol yang ada dapat tersalurkan

pada industri yang membutuhkan, salah satunya adalah PT. Acidatama serta

rumah sakit dan instansi yang memerlukannya untuk tujuan khusus mereka, serta

sebagai pengontrol setiap kebijakan lokal, termasuk pembuangan dan prosedur

pengolahan limbah. Tetapi, keberadaan paguyuban ini seakan hanya sebagai

simbol, karena pada kenyataannya para perajin memilih bergerak sendiri tanpa

campur tangan dari paguyuban. Bahkan, sebagian besar perajin memilih untuk

menjualnya dalam bentuk Miras (Ciu Bekonang), dengan berbagai alasan, yang

salah satunya adalahfaktor ekonomi, dimana mereka beralasan menjual ciu keluar

daerah memiliki potensi pasar yang lebih besar (Koperasi Sapta Usaha Mulya,

Bekonang, 8 September 2012).

Page 5: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 5

Tingkat pencemaran yang terjadi didaerah ini sangat tinggi, bahkan ratusan

kali lebih tinggi daripada batas normal, dampak secara kasat mata adalah air yang

hangat, hitam dan berbau, konsentrasi limbah yang sedemikian tinggi, bahkan

puluhan kali lipat dari kadar yang seharusnya, menyebabkan kerusakan lahan,

ketidaksuburan tanaman, serta tidak berkembangnya padi yang

ditanam(Suparmadi,2001). Secara regulasi pun, limbah di wilayah ini berada jauh

diatas nilai baku mutu batas limbah cair yaitu Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup No.KEP-51/MEN LH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair

bagi kegiatan industri yaitu untuk kadar BOD = 150 mg/l, kadar COD = 300 mg/l

dan kadar TSS = 100 mg/l (www.blh.sukoharjokab.go.id, Mojolaban dalam

angka, diakses pada 10 September 2012). Bahkan IPAL yang ada tidak bisa

mengolah limbah dengan baik serta timbulnya limbah berupa lumpur berbahaya

yang merusak wilayah sekitar dan mengurangi kesuburan tanah secara drastis

(Anik, 2004).Hal ini membuat petani yang tergabung dalam paguyuban pengguna

Dam Colo Timur melakukan protes kepada para perajin alkohol ini.

Sebelumnya, konflik hanya berupa teguran serta himbauan para petani

kepada para perajin yang membang limbahnya ke saluran irigasi, tetapi tidak di

indahkan, padahal petani setempat telah mengalami beberapa kali gagal panen,

seperti yang terjadi pada 16 desember 2011 lalu. Kemudian pada 21 desember

2011, puluhan petani melakukan protes dengan mencabuti tanaman padinya dan

membuat kuburan di saluran irigasi areal persawahan mereka, selain itu mereka

membendung saluran irigasi yang digunakan untuk membuang limbah alkohol

dan membuat saluran mampet, hal ini membuat perajin alkohol marah sertahampir

Page 6: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 6

terjadi bentrok fisik (www.wartatv.com, diakses pada 21 September 2011). Aksi

itu merupakan bentuk protes petani terhadap pengusaha Alkohol setempat, karena

limbah ciu yang masuk ke areal persawahan menjadi penyebab matinya tanaman

padi (www.solopos.com, 11 Des 2011, diakses pada 21 September

2012).Kemudian aksi protes yang lebih besar muncul pada tanggal 12 Juli 2012,

dimana petani dari 4 dusun melakukan protes besar-besaran, ratusan petani

tersebut berasal dari DesaMojolabanyang terdiri dari petanidusunTegalmade,

Karangwuni, Pranan serta Polokarto yang hampir membuat perajin marah dan

terjadi kontak fisik, dalam demo tersebut puluhan ibu-ibu menangis, yang

kemudian dilanjutkan dengan orasi di kantor KecamatanMojolaban, bersama

tokoh masyarakat dari desa Tegalmade, Daryanto (www.solopos.com, 12

Desember 2011, diakses pada 21 September 2012).

Sedangkan, salah satu bentuk protes kaum petani pengguna Dam Colo

Timuryang terbaru, yaitu pada 17 Juli 2012 Petani Pemakai Air (GP3A) TOR 12,

12 A Colo Timur dan pada Bulan Maret 2013 lalu mengancam akan melaporkan

kasus pencemaran limbah itu kepada yang berwenang untuk mencabut izin dan

menutup usahanya, karena masih banyak perajin alkohol yang membuang limbah

di saluran irigasi, padahal BLH (Badan Lingkungan Hidup)Sukoharjo telah

membuat IPAL (Instalasi Pengolahan Limbah) dan banyak perajin alkohol yang

tidak menaati MoU yang ditandatangani pada 7 Juli 2012, dimana pada tanggal

tersebut dilakukan mediasi oleh KecamatanMojolaban bekerja sama dengan BLH

(Badan Lingkungan Hidup)Sukoharjo dengan perundingan dari kedua belah pihak

dan merupakan upaya mediasi kesekian kali yang selalu gagal, yang isinya

Page 7: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 7

menyatakan bahwa para perajin tidak akan membuang limbah mereka sebelum

melalui IPAL yang disediakan oleh PemkabSukoharjo(Solopos, 18 Juli 2012).

Dengan keberadaan IPAL masalah limbah belum selesei karena terkesan tidak di

tindak lanjutinya protes warga yang ada, karena IPAL yang penuh terkesan

dibiarkan dan tidak dibersihkan, sehingga IPAL yang seharusnya merupakan

solusi menjadi tidak efektif dan tidak dapat diterapkan dengan baik. Konflik

lingkungan akibat limbah yang berkepanjangan ini membuat peneliti tertarik

untuk melakukan analisis secara kronologis serta memetakannya sesuai dengan

taapan konflik yang ada guna mengetahui masalah serta berbagai pihak yang

sebenarnya terlibat, juga fakta yang mungkin selama ini belum terungkap, karena

pemberitaan yang ada hanyalah melihat konflik secara garis besar tanpa

menyentuh akar pokok konflik tersebut. Pentingnya hal tersebut dipelajari

bertujuan untuk menemukan sebuah solusi yang tepat khususnya untuk kedua

pihak yang sedang berkonflik, yaitu petani pengguna Dam Colo Timur dan perajin

alkohol yang ada di KecamatanMojolaban, Sukoharjo.

Page 8: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 8

B. MASALAH PENELITIAN

Dalam menelaah permasalahan yang sangat berhubungan dengan konflik

ini, peneliti mencoba mendeskripsikan bagaimana konflik serta akibat sosial yang

timbul akibat adanya konflik lingkungan ini. Dengan melihat latar belakang

masalah diatas, peneliti ingin mengangkat rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana peta konflik antara petani pengguna Dam Colo Timur dan

perajin alkohol yang ada di KecamatanMojolaban?

2. Bagaimana evolusi konflik yang terjadi di daerah tersebut serta bentuk

resolusi konflik yang sudah dilakukan serta perlu dilakukan?

C. TUJUAN PENELITIAN

Beberapa tujuan dilaksanakannya penelitian dengan perspektif konflik

lingkungan ini adalah :

1. Mengetahui dinamika konflik yang ada di masyarakat Mojolaban, terkait

dengan kronologi dan peta konflik serta faktor penyebab konflik

lingkungan yang terjadi antara perajin alkohol dan petani yang berafiliasi

dengan warga masyarakat setempat yang berafiliasi dengan petani.

2. Mengetahui apa sajakah dampak konflik tersebut khususnya bagi

masyarakat di daerah Mojolaban

3. Mencari tahu penyebab kegagalan resolusi konflik yang telah dilakukan,

serta melahirkan sebuah langkah solutif yang dapat di terapkan guna

mengatasi konflik tersebut.

Page 9: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 9

D. MANFAAT PENELITIAN

Sedangkan, manfaat kita menelaah kasus ini dari perspektif konflik

lingkungan adalah :

1. Memberikan analisis serta gambaran yang mendalam tentang kondisi

sebenarnya di desa Mojolaban, Sukoharjo khususnya terkait dengan

konflik yang berkepanjangan mengenai limbah.

2. Memberikan referensi secara akademis guna penelitian selanjutnya yang

akan mengungkap dinamika konflik serta resolusi yang aplikatif dalam

mengatasi konflik yang terjadi

3. Memberikan masukan serta gambaran mendalam pada dinas terkait untuk

melakukan penyesuaian kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan

selajutnya, khususnya yang menyangkut industri Alkohol ini dengan

pertimbangan-pertimbangan dari hasil penelitian ini.

E. TINJAUAN LITERATUR

Isu mengenai lingkungan ,adalah isu yang sering menimbulkan konflik, baik

antara pengusaha dengan masyarakat yang ada disekitar daerah tersebut. berbagai

pustaka terkait yang mengulas tentang kasus konflik lingkungan yang terutama

disebabkan karena limbah memperkuat fakta ini. Limbah sendiri merupakan

setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung

bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat kimiawi (toxicity,

flammability,reactivity, dancorrosivity ) serta konsentrasi atau jumlahnya yang

baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan

Page 10: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 10

lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia. Karakteristik limbah cair

industri memiliki nilai BOD/ COD (kebutuhan oksigen dalam menguraikan

senyawa biologi dan kimia) yang sangat tinggi (BAPPEDAL, 1995 Dalam

Hadi,2006).Limbah yang dibuang sembarangan serta merugikan pihak tertentu

yang kemudian menyebabkan sebuah konflik lingkungan banyak terjadi di

Indonesia, salah satu kasusnya adalah PT. Kawasan Industri Medan dengan

masyarakat yang ada di daerah Tangkahan, Labuhan Batu, Medan.

Penelitian di daerah ini dilakukan oleh Asri Arief pada tahun 2009, dimana

limbah dari PT.KIM dibuang ke drainase warga Tangkahan tanpa melalui IPAL,

pembuangan limbah tersebut menyebabkan bau menyengat serta berkurangnya

tingkat kesehatan masyarakat karena semakin kotornya lingkungan bahkan

berkurangnya sumber air bersih karena limbah tersebut juga mengotori sumur

warga sekitar, hal ini di perparah dengan faktor pendukung lain, yaitu tidak

terserapnya tenaga kerja dari daerah sekitar serta kurangnya community

development yang ada, pada konflik ini, PT.KIM dan Warga Tangkahan

melakukan resolusi konflik dengan cara adaptif, yaitu dari PT. KIM sendiri

melakukan pembuatan IPAL serta peningkatan kesejahteraan warga termasuk

pembangunan kawasan sekitar, sedangkan warga juga melakukan langkah

membuka diri dan menghindari konflik lanjutan dengan PT.KIM.

Selain itu, di Tapanuli selatan, terjadi pula konflik antara PT. Agincourt

Resources dengan Warga desa Aek Pening yang menuntut tidak di buangnya

limbah PT. Agincourt resources ke sungai Batang Toru, dimana pada akhirnya

Pemprov Tapanuli Selatan turun tangan dengan jalan melakukan uji kelayakan air

Page 11: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 11

buangan yang dianggap warga mencemari sungai tersebut, tetapi pada akhirnya

setelah dilakukan negosiasi antara warga dengan PT. Agicourt resources yang

difasilitasi oleh Pemprov, terdapat kesepakatan bahwa 40 persen dari keuntungan

saham yang dimiliki Pemprov digunakan untuk membiayai kegiatan CSR

(Corporate Sosial Responsibility) yang semakin di perluas jangkauannya

(www.apakabarsidampuan.com, ganti rugi PT.KIM, diakses pada 24 September

2012).

Penelitian terkait di Bekonang pernah dilakukan dari berbagai perspektif

dengan pokok kajian yang seragam, yaitu perspektif ilmu kimia dan kesehatan,

dengan obyek limbah yang dihasilkan perajin alkohol Bekonang.Alkohol sendiri

merupakan suatu zat yang mudah menguap, dapat dididihkan dan

diembunkan.Alkohol atau alkanol merupakan senyawa karbon yang mengandung

gugus hidroksil (-OH) dan mempunyai rumus CnH2n+1OH (IUPAC) (www.

anneahira.com, alkohol sebagai minuman keras, diakses pada 12 September

2012). Penelitian di daerah ini yang sebelumnya pernah dilakukan,

mengungkapkan bahwa limbah yang dihasilkan oleh perajin alkohol di Bekonang

sangat mempengaruhi produktivitas padi, dimana produksinya menurun drastis,

karena konsentrasi limbah yang lebih dari 0, 4 persen dimana ambang batas aman

limbah hanyalah 0,2 persen. Hal ini menyebabkan produktivitas padi berkurang

cukup signifikan serta tanah menjadi retak-retak (Suparmadi,2001).

Penelitian berikutnya membuktikan tingginya tingkat pencemaran yang

terjadi, secara kimiawi, kadar limbah yang dihasilkan yaitu BOD5 = 55.000 mg/l,

kadar COD = 170.316 mg/l dan kadar TSS = 5.640 mg/l. Hal ini masih berada

Page 12: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 12

jauh diatas nilai baku mutu limbah cair yaitu Keputusan Menteri Negara

Lingkungan Hidup No.KEP-51/MEN LH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah

Cair Bagi Kegiatan Industri yaitu untuk kadar BOD = 150 mg/l, kadar COD = 300

mg/l dan kadar TSS = 100 mg/l (Anik, 2004). Melihat beberapa hasil penelitian

diatas, ada sebuah pertanyaan yang akan menghantui pikiran kita, bagaimana

tanggapan petani dalam menghadapi kerusakan lahan yang diakibatkan oleh

limbah dari perajin alkohol yang tergolong industri kecil yang menggunakan

peralatan sederhana dan perkembangannya dipengaruhi oleh banyak sedikitnya

modal? (Payaman. J Simanjuntak, 1983, dalam Iswanto, 2002). Dari berbagai

literatur yang penulis dapatkan, belum ada penelitian yang mengungkap konflik

secara khusus yang terjadi di daerah setempat, padahal dari berbagai pustaka yang

ada, kita dapat melihat munculnya gejolak-gejolak di masyarakat sekitar

khususnya petani pengguna Dam Colo Timur dan perajin alkohol.

Beberapa gejala yang menunjukkan adanya konflik sudah sangat terlihat,

salah satunya pada 16 desember 2011 lalu terjadi gagal panen didaerah tersebut .

Lalu, pada 21 Desember 2011 puluhan petani melakukan protes dengan

mencabuti tanaman padinya dan membuat kuburan di saluran irigasi areal

persawahan mereka, selain itu mereka membendung saluran irigasi yang

digunakan untuk membuang limbah alkohol dan membuat saluran mampet, hal ini

membuat perajin alkohol marah serta hampir terjadi bentrok

fisik(www.wartatv.com, 21 Desember 2011). Aksi itu merupakan bentuk protes

petani terhadap pengusaha alkohol setempat, karena limbah ciu yang masuk ke

areal persawahan menjadi penyebab matinya tanaman padi (Solopos, 21

Page 13: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 13

Desember 2011).Bahkan, pada 12 Juli 2012, petani dari 4 dusun melakukan aksi

protes, ratusan petani tersebut berasal dari dusun Tegalmade

KecamatanMojolaban serta dari dusun Karangwuni, Pranan, dan Polokarto yang

hampir membuat perajin marah dan terjadi kontak fisik, yang kemudian

dilanjutkan dengan orasi di kantor KecamatanMojolaban, bersama tokoh

masyarakat dari desa Tegalmade , dimana mereka menuntut dilakukannya sebuah

solusi konflik bersama yang dimediasi oleh pihak terkait (Solopos, 12 Desember

2012).

Protes petani pengguna Dam Colo Timur yang cukup menyita perhatian,

terjadi pada 17 Juli 2012, dimana Petani Pemakai Air (GP3A) TOR 12, 12 A Colo

Timur akan melaporkan kasus pencemaran limbah itu kepada yang berwenang

untuk mencabut izin dan menutup usahanya, karena masih banyak perajin alkohol

yang membuang limbah di saluran irigasi, padahal Pemkab Sukoharjo telah

membuat IPAL (Instalasi Pengolahan Limbah) serta perajin alkohol yang tidak

menaati MoU yang ditandatangani pada 7 Juli 2012, yang menyatakan bahwa para

perajin tidak akan membuang limbah mereka sebelum melalui IPAL yang

disediakan oleh PemkabSukoharjo(Solopos, 18 Juli 2012).

Melihat gejolak yang terjadi di wilayah bekonang, agaknya kita juga perlu

melihat konflik yang diakibatkan oleh limbah dalam perspektif konflik

lingkungan, karena dari berbagai penelitian yang dilakukan di daerah setempat

sejauh pengetahuan penulis, belum satupun mengangkat tema ini, padahal dengan

belum berakhirnya konflik tentunya sebuah resolusi sangatlah diperlukan guna

penyelesaian konflik lingkungan ini. Tanpa sebuah studi yang berprespektif

Page 14: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 14

demikian, maka akan sulit bagi kita memahami gejolak masyarakat yang ada di

desa Mojolaban karena tidak ada pemetaan yang jelas mengenai isu serta masalah

apa yang menjadi faktor pendukung dalam dinamika konflik tersebut, menuju

sebuah perdamaian.

F. LANDASAN TEORI

Konflik adalah hubungan antara dua pihak (Individu atau kelompok) yang

memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan serta

berpotensi menimbulkan tindakan yang lebih serius (Fisher, 2000).Selama ini

konflik sering dihubungkan dengan agresi, sedangkankonflik dan agresi

merupakan dua hal yang berbeda.Konflik tidak selalu menghasilkan kerugian,

tetapi juga membawa dampak yang konstruktif bagi pihak-pihak yang terlibat,

sedangkan agresi hanya membawa dampak-dampak yang merugikan bagi

individu(Broadman &Horowitz, dalam Kusnawariningsih, 2007). Dapat

disimpulkan bahwa konflik adalah suatu proses sosial antara dua orang atau lebih

(bisa juga kelompok) dan salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain

dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya karena sasaran yang

tidak sejalan. Sedangkan konflik sendiri dapat di sebabkan oleh berbagai hal,

yaitu adanya perbedaan individu akan sasaran, kepentingan, serta tujuan. Selain

hal tersebut budaya yang berbeda serta perubahan nilai yang cepat dalam suatu

tatanan masyarakat tertentu juga menyebabkan terjadinya konflik karena

ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan diri (Rochmadi, 2012).

Page 15: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 15

Dalam perjalanannya, konflik sendiri memiliki beberapa macam pandangan

yang mempengaruhi bagaimana analisa konflik akan dilakukan. Teori konflik

yang muncul pada abad ke-19 dan abad ke-20merupakanhasil dari lahirnya dual

revolution yaitu demokratisasi dan industrialisasi sehingga kemunculan sosiologi

konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari,

realitas konflik dalam masyarakat Amerika (Susan, 2009). Selain itu teori

sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis

fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai

masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya.

Salah satu pandangan yang cukup terkenal adalah munculnya perbedaan

kekuasaan dan sumber daya alam yang langka dapat membangkitkan pertikaian

(konflik) di masyarakat. Kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda dalam

sistem sosial akan saling mengajar tujuan yang berbeda dan saling bertanding. Hal

ini sesuai dengan pandangan Lock Wood (2009), bahwa kekuatan–kekuatan yang

saling berlomba dalam mengejar kepentingannya akan melahirkan mekanisme

ketidakteraturan sosial (sosialdisorder). Para tokoh dalam sosiologi konflik

memandang suatu masyarakat terikat bersama adalah kekuatan kelompok atau

kelas yang dominan. Para fungsionalis yang merupakan pengikut setia Talcott

Parsons menganggap nilai-nilai bersama (consensus) sebagai suatu ikatan

pemersatu, sedangkan bagi teoritis konflik, konsensus itu merupakan ciptaan dari

kelompok atau kelas dominan untuk memaksakan,nilai-nilai mereka kepada kelas

yang lainnya dan merupakan bagian dari masyarakat tertentu.

Page 16: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 16

Teori konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan

lahan sosiologi dan merupakan teoridalam paradigma fakta sosial.Konflik

mempunyai bermacam-macam pandangan besar seperti teori Marxian dan

Simmel.Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi jalan keluar

terjadinya konflik pada kelas pekerja, yang berkutat pada konflik kelas.Sedangkan

Simmel (Susan, 2009) berpendapat bahwa kekuasaan otoritas atau pengaruh

merupakan sifat kepribadian individu yang bisa menyebabkan terjadinya konflik.

Pandangan Marxian yang berfokus pada sistem produksi kapitalis yaitu

antara kelas borjuis dan proletar mendorong terbentuknya gerakan sosial besar,

yaitu revolusi.Konflik kelas terjadi ketika kaum proletar telah sadar akan

eksploitasi borjuis terhadap mereka. Perubahan sosial yang bersifat radikal sangat

diyakini akan terjadi oleh pengikut Marxian. Konflik antar kelas karena adanya

eksploitasi itu dan suatu perubahan sosial melalui perjuangan kelas, yang

mengedepankan nilai-nilai material, yang sarat konflik dan kepentingan

ekonomi.Pemikiran ini nantinya akanberkembang sebagai aliran Marxis, madzab

Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik lainnya.

Tindakan yang dilakukan oleh individu selalu didominasi oleh sisi

emosional, dan tindakan tradisional adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang

dijunjung tinggi, sebagai sistem nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama.

Stratifikasi tidak hanya dibentuk oleh ekonomi melainkan jugaprestis (status) dan

power (kekuasaan/politik). Konflik muncul terutama dalam wilayah politik yang

dalam kelompok sosial adalah kelompok-kelompok kekuasaan, seperti partai

politik.

Page 17: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 17

Pandangan utama Durkheim adalah fakta sosial, Giddens memiliki

pandangan bahwamakna dari fakta sosial sendiri ganda, dimana fakta-fakta sosial

merupakan hal yang eksternal bagi individu.Pertama-tama tiap orang dilahirkan

dalam masyarakat yang terus berkembang dan yang telah mempunyai suatu

organisasi atau struktur yang pasti serta yang mempengaruhi

kepribadiannya.Kedua fakta-fakta sosial merupakan “hal yang berada di luar”

bagi seseorang dalam arti bahwa setiap individu manapun, hanyalah merupakan

suatu unsur tunggal dari totalitas pola hubungan yang membentuk masyarakat

(Susan, 2009).

Perkembangan ilmu sosial kemudian memperoleh kesempurnaannya

setelah tradisi pemikiran Eropa melahirkan determinisme ekonomi atau

pertentangan kelas dari Marx, teori teori tindakan dan stratifikasi sosial Weber,

dan fakta sosial dari Durkheim.

1. Perkembangan Teori Konflik

Teori konflik sebenarnya adalah teori yang berkebalikan dengan teori

fungsionalisme struktural Talcott Parsons (Susan, 2009).Karena itulah, pandangan

yang dikemukakan oleh para tokohnya sendiri cukup bertentangan dengan

pandangandalam teori fungsionarisme struktural yang dikemukakan Talcott

Parsons.Teori konflik mulai mengemuka pada tahun 1960-an, Johan Galtung

adalah salah seorang pengkaji teori ini, dimana sebenarnya kajian

inimerupakankajianflashbackberbagai gagasan yang dikemukakan sebelumnya

oleh Karl Marx dan Max Weber. Kedua orang ini adalah tokoh dalam sosiologi

konflik yang cukup berpengaruh, namun pandangan teori mereka berbeda satu

Page 18: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 18

sama lain, karena itu teori konflik modern pun terpecah menjadi dua

pandanganutama, yaitu teori konflik berpandangan neo-Marxian dan teori konflik

neo-Weberian. Pandangan neo Marxian lebih terkenal dan berpengaruh pada

perkembangan teori konflik ketimbang versi neo-Weberian.

Kedua tokoh teori konflik ini, Marx dan Weber, adalah counterterhadap

gagasan bahwa masyarakat cenderung patuh kepada nila-nilai masyarakat yang

paten dan berjalan sesuai dengan struktur yang ada, dimana struktur masyarakat

selalu berjalan dengan tujuanagar tercipta keharmonisan kepentingan yang sama

bagi setiap orang. Para tokoh teori konflik selalu memandang perbedaan

kepetingan setiap individu adalah wajar dan terjadi pada setiap organisasi

masyarakat.Dimanakepentingan yang berbeda memiliki satu tujuan tunggal, yaitu

mendapatkan sumber daya yang terbatas yang bertujuan memenuhi berbagai

kebutuhan dan keinginan mereka tanpa campur tangan kelompok yang memiliki

kepentingan yang berbeda. Karena sumber-sumber daya ini selalu terbatas, maka

konflik untuk kepentingan dalam kelompok tersebut selalu terjadi.Marx dan

Weber menerapkan konsep ini dalam teori konflik mereka dengan cara yang

berbeda, sesuai dengan pola pandangan masing-masing.

Karl Marx (Susan, 2009)menyatakan bahwa bentuk konflik yang ada

terjadi antara individu dan kelompok,terutama melalui terbentuknya hubungan-

hubungan antar individu dalam kelompok tertentu, seperti kaum pengusaha

dengan pengusaha. Hal ini perlahan-lahan membuat sekat antara pengusaha

dengan pekerja semakin renggang.Karena itulah masyarakat terpecah menjadi

kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan dan mereka yang tidak memiliki

Page 19: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 19

kekuatan, terutama dalam hal modal.Lama-kelamaan hubungan antar pengusaha

menyebabkan ekspolitasi pada kelas pekerja.Tentu saja, karena mereka kelas

pekerja merasa di lecehkan dan di manfaatkan, secara otomatis mereka akan

memberontak, sedangkan kelas yang memiliki kekuatan akan memanfaatkan

pihak pemerintah untuk menghentikan pemberontakan yang dilakukan kelas

pekerja ini.

Inti dari pandangan Marx tersebut adalah, perbedaan ini menyebabkan

adanya kelas sosial yang saling membenci dan curiga.Marxberpandangan bahwa

pertentangan antara kelas dominan yang digambarkan dengan kaum borjuis dan

kelas yang tersubordinasi yang merupaka kelas pekerja memainkan peranan

penting dalam menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat tertentu.Marx

berpendapat, bahwa bentuk masyarakat yang ada sekarang adalah hasil dari

pertentangan kelas. Dalam hal ini Susan (2009), membagi pandangan neo

Marxian modern dalam beberapa poin berikut ini:

a) Kehidupan manusia sebenarnya merupakan arena konflik atau pertentangan

kepentingan diantara kelompok yang menginginkan sumberdaya yang

terbatas.

b) Sumber daya modal dan kekuasaan politikmerupakan kepetingan sentral

yang membuat berbagai kelompok berusaha merebutnya.

c) Pertentangan yang tidak pernah selesai tersebut menyebakan dua tipe

masyarakat, yaitu mereka yang dominan dan mereka yang tersubordinasi

atau tersisihkan karena kalah dalam hal kekuasaan maupun ekonomi.

Page 20: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 20

d) Kehidupan suatu masyarakat ditentukan oleh proses internalisasi nilai dari

kelompok yang merupakan kelompok berkuasa secara ekonomi.

e) Konflik karena perbedaan kepentingan di antara berbagai kelompok

masyarakat melahirkan power yangmenyebabkan perubahan sosial, baik

positif maupun negatif.

f) Konflik kepentingan adalah pola dasar dari kehidupan sosial masyarakat,

sehingga perubahan sosial adalah hal yang sering terjadi.

Berikutnya, dalam buku yang ditulisnya, Novri Susan (2009) menjelaskan

bahwa pandangan konflik Marxian adalah pandangan yang sangat sarat

kepentingan materialis, dan tidak berpandangan secara idealis. Pada pandangan

konflik Marxian, konflik sosial muncul karena adanya upaya untuk memperoleh

materi yang merupakan salah satu hal yang memperngaruhi kehidupan sosial dan

fenomena ini cukup wajar dalam pola-pola kehidupan masyarakat khususnya pada

kehidupan modern saat ini.

Hal sebaliknya diungkapkan olehWeber, dimana konflik terjadi bukan

hanya dipengaruhi oleh materi yang mengakibatkan kepentingan suatu

masyarakat. Weber sebenarnya memiliki kesamaan pandangan bahwa

kepentingan ekonomi sangat mempengaruhi kehidupan sosial, tetapi ia

berpendapat bahwa faktor lain yang lebih dari hal tersebut sangat berpengaruh

dalam memunculkan konflik di masyarakat. Weber memiliki dua pandangan.

Dimana menurutnya, kekuasaan seorang individu ataupun kelompok untuk

memperoleh kekuasaan politik lebih besar daripada semangat untuk mendapatkan

Page 21: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 21

materi belaka. Namun, Weber juga menganggap kepentingan politik ini juga

bertujuan memperoleh keuntungan ekonomi.

Weber berpendapat bahwa pertentangan untuk memperoleh kekuasaan

tidak hanya terjadi pada organisasi-organisasi politik, seperti partai politik,

tetapi juga terjadi dalam setiap kekuatan dan kelompok yang terbentuk dalam

masyarakat seperti organisasi keagamaan bahkan pendidikan.

Jika kita simpulkan perbedaan pandangan antara Weber dan Karl Marx dalam

pandangannya terhadap konflik sosial yang selalu terjadi dalam tatanan

masyarakat, maka secara ringkas, pandangan mereka adalah:

a) Marx memiliki pandangan bahwa masalah utama terdapat dalam upaya

memperoleh modal, dan sarana produksi yang didominasi kelompok

tertentu, dimana konflik dapat diakhiri dengan mengembalikan hak dari

sumber daya tersebut ke masyarakat. Dimana menurutya, pandangan

sosialisme harus ditegakkan dalam upaya mencapai keseimbangan

masyarakat.

b) Weber memiliki pandangan yang cukup berbeda. Dimana sebuah konflik

sosial tidak akan bias dihapuskan, karena merupakan sarana mencapai

keseimbangan kehidupan masyarakat. Setiap konsep pandangan kehidupan

masyarakat, baik kapitalis, sosialis atau pandangan lainnya individu

maupun kelompok akan tetap selalu berjuang untuk mencapai tujuan dan

kepentingannya.Weber berpendapat bahwa konflik adalah sarana untuk

mencapai perubahan sosial yang permanen dan berkelanjutan guna

mencapai sebuah keseimbangan..

Page 22: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 22

Tokoh utama teori konflik selain Karl Marx dan Marx Weber adalah Ralp

Dahrendorf dan Lewis A. Coser.Berbeda dari beberapa ahli sosiologi yang

menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda yaitu teori kaum fungsional

struktural versus teori konflik, Coser mengemukakan komitmennya pada

kemungkinan menyatukan pendekatan tersebut.

Lewis A. Coser (Susan, Novri, 2009) mengakui beberapa susunan

struktural merupakan hasil persetujuan dan konsensus, yang menunjukkan pada

proses lain yaitu konflik sosial. Dalam membahas berbagai situasi konflik, Coser

membedakan konflik yang realistis dari yang tidak realistis. Konflik yang realities

berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam

hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan dan yang

ditunjuk pada objek yang dianggap mengecewakan.Dalam hal lain, Lewis A.

Coser (Susan, 2009) mengemukakan teori konflik dengan membahas tentang,

permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, fungsionalistas konflik

dan kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan

struktur kelompok sosial, sebagai berikut:

a) Bila konflik berkembang dalam hubungan antar kelompok maupun

individu, maka sekat konflik realitis dan nonrealistis lebih sulit untuk

dipisahkan. Karena semakin dekat suatu hubungan, semakin kuat

kedekatan secara batin makin besar juga kecenderungan untuk menekan

ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedangkan pada hubungan-

hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa

permusuhan relatif dapat lebih bebas diungkapkan.

Page 23: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 23

b) Coser mencoba menelaah pandangan George simmel (Susan,2009) yang

menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat meredakan

ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok, karena dengan cara ini

kedua belah pihak dapat saling mengkoreksi diri. Simmel mengamati

masyarakat Yahudi, bahwa peningkatan konflik dalam kelompok dapat

dihubungkan dengan meningkatnya hubungan masyarakat baik keluar dan

kedalam. Karena ketidaksesuaian kadang sangat diperlukan dalam hal

mengitegrasikan kepentingan dan juga perbedaan yang telah ada di

masyarakat tertentu.

c) Berbagai kepentingan dengan kelompok luar dan struktur kelompok

menurut Coser, konflik dengan kelompok luar akan membantu

mengintegrasikan nilai-nilai struktural yang ada dalam masyarakat

tersebut.

Bila kita melihat teori yang diungkapkan oleh Coser diatas, tentu saja kita

akan menemukan ketidaksesuaian dengan mereka yang mengnut mazhab

fungsionalitas, terutama yang dianut oleh Talcott Parsons. Namun, pandangan

Coser dapat dinilai lebih positif daripada pandangan-pandangan yang sebelumnya,

dimana menurutnya konflik dapat membuat sebuah suasana yang positif akibat

integrasi yang terjadi akibat pengertian dari kedua pihak yang berkonflik yang

pada akhirnya menemukan sebuah keseimbangan sosial. Konflik sebagai proses

sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-

batasnya berbentuk dan dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat menyatukan

para anggota kelompok melalui penyatuan kembali identitaskelompok.

Page 24: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 24

Coser juga menyebutkan bahwa konflik juga merupakan sumber

perpecahan yang diakibatkan bagaimana sebuah konflik terjadi, yang juga

diperngaruhi oleh isu tentang konflik, serta cara bagaimana evolusi sebuah

konflik itu ditangani dan yang terpenting bagaimana konflik tersebut berkembang

sesuai dengan arah menuju resolusi yang akan peneliti telaah dalam penelitian

ini.Coser juga menyebutkan adanya perbedaan antara konflik in group dan konflik

out Groupserta antara nilai sebuah kelompok dengan masalah yang berada diluar

sebuah kelompok yang sedang berkonflik.Dimana konflik yang menghasilkan

perubahan struktural lebih mengedepankan keterlibatan lembaga-lembaga yang

berfungsi sebagai katup darurat, dimana katup darurat berfungsi mempertahankan

perpecahan yang terjadi antar kelompok dengan mempertahankan nilai-nilai yang

sebelumnya telah dijunjung bersama.

Menurut Margaret M. Poloma (Susan, 2009) menyebutkan bahwa

Dahrendorf menyatakanpandangan konflik yang dikemukakannya sangat berbeda

dengan yang dikemukakan oleh kedua tokoh utama konflik, yaitu Karl Marx dan

Weber.Marx menggunakan semua lapisan kelas dalam masyarakat tertentu

sabagai obyek analisis, dengan membedakan antara mereka yang memiliki dan

menguasai sarana produksi dan mereka yang tidak memiliki sarana

produksi.Dimana masyarakat dibagi ke dalam kelompok yang punya, dan yang

tidak. Dalam hal ini kekayaan merupakan salah satu indikator utama yang

memiliki hubungan dengan kekuasaan sebagai inti dari teori kelas, Dahrendorf

berpendapatbahwa masyarakat dua kelas yang dinyatakan oleh Marx tidak terjadi

di berbagai tipe masyarakat, namun hanya dapat kita lihat dalam masyarakat

Page 25: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 25

dengan hubungan-hubungan tertentu, sehingga menurutnya Marx gagal dalam

mengidentifikasi aktor-aktor utama konflik dengan pandangan yang menurutnya

cukup sempit itu. Kekayaan, status ekonomi dan status sosial dianggap bukan

sebagai cerminan dari kelas mana ia berasal, namun dapat menjadi hal yang

sangat memperngaruhi berlangsungnya sebuah konflik. Dahrendorf

menyimpulkan sendiri inti pandangannya (Susan, 2009), yaitu semakin rendah

korelasi ekonomi lainnya, maka semakin rendah intensitas pertentangan kelas dan

sebaliknya.Secara singkat, teori fungsionalisme struktural melihat anggota

masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, serta nilai-nilai yang

berlaku dalam masyarakat tertentu, maka teori konflik menganggap kerjasama

antar bagian yang membentuk masyarakat disebabkan adanya tekanan atau

pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa yang akhirnya

melakukan integrasi nilai-nilai tertentu yang menciptakan integrasi masyarakat

tertentu.

Sebenarnya antara teori fungsionalisme struktural dengan teori konflik

tidaklah bersifat saling menolak, mereka adalah saling melengkapi.Sebenarnya,

asal struktural konflik sosial terletak pada relasi-relasi hierakis berupa kuasa atau

wewenang yang berlaku di dalam kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi

sosial. Setiap kesatuan itu menunjukkan pembagian yang sama yakni antara

sejumlah orang yang berada di dalam posisi memegang kuasa dan wewenang

dengan sejumlah besar lain yang berada di posisi bawahannya.

Melihat bebebrapa penjelasan diatas, dapat kita simpulkan beberapa poin yang

dapat menjadi intisari dari pembahasan diatas, yaitu :

Page 26: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 26

a) Kedudukan individu dalam masyarakat tidak dapat di sama ratakan,

dimana setiap individu memiliki peran masing-masing dalam hal ini ada

mereka yang berperan sebagai pihak determiner, atau penyebar pengaruh,

serta ada yang berperan sebagai pengikut, tergantung sejauh mana

kekuasaan yang dimiliki oleh individu tersebut.

b) Perbedaan kedudukan serta wewenang dalam sebuah masyarakat akan

menciptakan sebuah kepentingan yang berbeda pula, dimana hal ini sangat

di pengaruhi oleh siapa pihak yang memiliki hubungan dengan kekuasaan

tersebut, serta pengaruh apa yang dapat ia sebarkan terhadap kelas sosial

diluar kelompoknya.

c) Pihak pemiliki wewenang pada umumnya tetap akan menyebarkan

pengaruh dan kepentingannya pada pihak lain diluar kelompoknya, namun

hal tersebut biasanya tidak disadari, sehingga tidak menimbulkan sebuah

aksi untuk melawan kepentingan tersebut.

d) Konflik dapat dianggap positif serta meningkatkan nilai-nilai integrasi dari

berbagai elemen yang ada, dimana beberapa persyaratan tersebut adalah

bila konflik mencapai kondisi yang seperti berikut ini:

1) Kondisi dalam ranah struktural, seperti:

komunikasi efektif, pengerahan dan penempatan tenaga yang tepat.

kesempatan dan kebebasan berpendapat dan berkelompok.

tersedianya perintis (pendiri), pemimpin, dan ideologi.

Page 27: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 27

2) Kondisi dalam ranah konflik yang bersifat evaluatif, seperti:

Mobilitas sosial positif, sehingga individu-individu atau keluarga-

keluarga mampu mencapai level kehidupan sosial yang lebih tinggi

dan berpengaruh pada kehidupan pribadinya.

Sarana-sarana efektif dalam menangani dan mengatur konflik sosial.

3) Kondisi yang mengarah pada perubahan struktural yang lebih baik dan

positif

2. Faktor Penyebab Konflik

Secara singkat, konflik disebabkan kepentingan yang dimiliki oleh

manusia maupun kelompok, namun kepentingan tersebut bertolak belakang

dengan kepentingan kelompok lainnya.Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan

ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatuinteraksi.perbedaan-perbedaan tersebut

diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,

keyakinan, dan lain sebagainya. Sumberkonflik itu sangat beragam dan kadang

sifatnya tidak rasional. Pada umumnyapenyebab munculnya konflik kepentingan

sebagai:

a) Perbedaan pendapat

Konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing

pihak merasa dirinya benar, serta perbedaan terus-menerus terjadi yang

akhirnya menjurus pada kondisi ketegangan yang semakin membuat jurang

pemisah menajam.

Page 28: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 28

b) Salah paham

Salah pahammerupakanhal yang seringkali menimbulkan konflik.

Dimanasuatu tindakan dimaknai lain oleh individu maupun kelompok lain

yang memiliki perbedaan kepentingan.

c) Ada pihak yang di Rugikan

Adanya pihak yang merasa dibodohi oleh pihak lain, yang mengambil

keuntungan tidak sesuai dengan kesepakatan kedua pihak, sehingga

membuat pihak lain terugikan, hal ini sangat rentan menyebabkan

terjadinya konflik.

d) Perasaan sensitif

Adanya perasaan yang terlalu peka terhadap tindakan orang lain memuat

pemaknaanya terhadap tindakan tertentu gagal dan merasa hal itu salah,

hal ini sangat sering membuat perbedaan pendapat antar aktor dalam

konflik.

e) Perbedaan individu

Kepribadian merupakan pembawaan yang sudah menjai cirri khas

seseorang, namun terkadang perbedaan dalam hal ini mampu merusak

hubungan melalu konflik kepentingan yang terjadi antar aktor.

f) Perbedaan latar belakang kebudayaan

Latar belakang budaya membentuk sifat yang khas darimana ia berasal.

Termasuk dalam hal pemikiran serta pemahaman akan sesuatu, hal ini

sanga rentan membuat seseorang berkonflik, terutama konflik yang

berkaitan dengan SARA.

Page 29: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 29

g) Perubahan-perubahan yang cepat dan mendadak dalam masyarakat

Perubahan cukup wajar terjadi dalam suatu tatanan masyarakat, tetapi jika

perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan

tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.

Itulah beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya konflik berkaitan

dengan pandangan-pandangan teoritis yang menggiring kita pada pembahasan

mengenai analisis konflik.

3.BasisTeori Analisis Konflik

Analisis konflik mutlak diperlukan untuk mengetahui bagaimana sebuah

konflik terjadi, dimana analisis konflik adalah suatu proses praktis untuk mengkaji

dan memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang (Fisher,2000).

Analisis konflik diperlukan agar kita memahami latar belakang sebuah konflik,

mengetahui berbagai pihak yang terlibat secara langsung maupun tak langsung

dalam konflik ini, memahami bagaimana sebuah kelompok memahami kelompok

lain, serta mengidentifikasi faktor dan kecenderungan yang mendasari konflik.

Bentuk analisis konflik sendiri terdiri dari berbagai alat bantu analisis yang

penggunaannya disesuaikan dengan persepsi masyarakat dimana konflik tersebut

terjadi serta proses yang telah dilalui oleh sebuah konflik. Analisis di bagi

menjadi 9 cara, yaitu penahapan konflik, urutan kejadian, pemetaan konflik,

segitiga SPK, analogi bawang Bombay, pohon konflik, analisis kekuatan konflik,

analogi pilar,dan piramida konflik.

Penahapan konflik, adalah sebuah analisis grafis yang menunjukkan

peningkatan dan penurunan intensitas konflik yang di gambar dalam skala waktu

Page 30: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 30

tertentu, dimana penahapan konflik bertujuan untuk mengetahui naik turunnya

sebuah siklus konflik, serta membahas sampai mana sebuah konflik berjalan, hal

ini akan sangat berguna untuk menentukan pola-pola konflik yang akan terjadi di

masa mendatang serta memperkirakan solusi yang baik untuk sebuah konflik.

Kemudian urutan kejadian yang berupa gambaran grafis kejadian-kejadian dalam

suatu konflik dalam jangka waktu tertentu, yang sangat berguna untuk mengetahui

kejadian-kejadian penting bagi masing-masing pihak yang sedang berkonflik.

Selain itu, pemetaan konflik, yaitu sebuah teknik yang secara visual akan

menggambarkan hubungan di antara berbagai pihak yang sedang berkonflik,

analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi pihak yang telibat, hubungan, serta

berbagai isu yang ikut mendukung konflik tersebut, selain itu dengan analisis ini

ini kita dapat mengetahui bagaimana sebuah kekuasaan berperan sebagai tangan

tak terlihat dalam sebuah konflik.

Dalam analisis selanjutnya, yaitu segitiga SPK (Sikap-Perilaku-Konteks),

adalah sebuah analisis yang mencari tahu faktor keterkaitan antar sikap, perilaku

dan konteks, yang bertujuan untuk mengetahui titik awal dari sebuah intervensi

dari sebuah situasi tertentu. Analisis selanjutnya adalah analisis bawang Bombay,

yaitu analisis yang bertujuan untuk mengetahui pandangan-pandangan tentang

konflik dari berbagi pihak yang terlibat dalam konflik ini.

Analisis konflik selanjutnya adalah analisis pohon konflik, yaitu

menggunakan gambar sebuah pohon untuk mengurutkan isu-isu pokok dalam

sebuah konflik, analisis ini bertujuan untuk menghubungkan sebab dan efek satu

sama lain serta membantu berbagai pihak yang berkonflik untuk menemukan int i

Page 31: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 31

masalah dan menemukan sebuah solusi yang tepat. Selanjutnya adalah analisis

pilar, yaitu sebuah grafik dari elemen-elemen atau kekuatan-kekuatan yang

menahan situasi yang tidak stabil, hal ini bertujuan untuk mengurangi dan

mempertimbangkan cara untuk mengatasi faktor-faktor negatif konflik yang tidak

jelas. Yang terakhir adalah piramida konflik, yaitu analisis berupa grafik yang

menunjukkan tingkat-tingkat stakeholder dalam suatu konflik, yang bertujuan

untuk mengidetifikasi ditingkatan manakan permasalahan yang sebenarnya dalam

sebuah konflik, serta mengetahui sekutu antar tingkatan yang mempengaruhi

jalannya sebuah konflik.Itulah beberapa analisis konflik yang dapat peneliti

jelaskan secara singkat.

Dalam penelitian ini, analisis konflik yang di gunakan adalah pemetaan

konflik dan pentahapan konflik, penggunaan dua analisis ini di dasarkan karena

kompleksnya konflik, baik dilihat dari sisi aktor, dinamika, dan isu, dimana untuk

membedahnya kita akan menggunakan pemetaan konflik,namun mengingat

konflik sudah terjadi beberapa waktu dan mengalami masa pasang surut,

intensitas dan aktivitas dari waktu ke waktu, maka pentahapan konflik akan sangat

berperan dalam menganalisisnya. Dengan menggunakan pemetaan konflik, kita

dapat mengetahui berbagai sudut pandang yang berkembang dan situasi yang

berkembang dalam sebuah konflik, Pemetaan konflik adalah sebuah metode yang

menggunakan gambaran grafis dengan tujuan menghubungkan masalah serta

berbagai pihak yang terlibat dalam konflik tersebut (Fisher, 2000). Dalam Konflik

yang terjadi di daerah Mojolaban ini, kita akan melihat berbagai sudut pandang

yang berbeda dari setiap pelaku serta pihak yang terlibat dalam konflik ini, seperti

Page 32: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 32

perajin alkohol yang menganggap bahwa membuang limbah ke saluran irigasi

adalah alternatif yang cukup masuk akal karena memang itulah jalan satu-satunya

untuk membuang limbah, sedangkan petani merasa sangat dirugikan dengan

kegiatan tersebut karena sawah mereka menjadi gagal panen, dan menganggap

bahwa perajin alkohol adalah pihak yang paling bertanggung jawab, belum lagi

berbagai sudut pandang lain dari pihak yang juga terlibat dalam konflik tersebut

secara langsung maupun tak langsung, inilah yang merupakan salah satu

hambatan kita dalam melakukan resolusi konflik yang baik, pemetaan konflik

akan merekonsiliasi setiap pandangan tersebut dan mengahsilkan sebuah

pandangan yang relevan untuk semua pihak dan membantu resolusi konflik yang

telah dilakukan.

Selain itu, dengan pemetaan konflik ini, kita dapat menempatkan diri sesuai

dengan peta konflik yang ada, analisis pemetaan konflik sangat dinamis

bergantung pada bagaimana posisi kita dalam konflik tersebut, dalam konflik

yang terjadi di Mojolaban, tentu saja pendangan mereka terhadap kita akan

berbeda bila kita bukan merupakan bagian mereka, sehingga bila kita

menempatkan diri sebagai pihak yang ikut dalam dinamika konflik tersebut maka

kita akan menemukan sebuah benang merah yang menyatukan padangan-

pandangan mereka (Fisher, 2000). Dengan memahami berbagai pandangan

tersebut kita juga akan menemukan berbagai isu tambahan yang ikut mendukung

terjadinya konflik tersebut, yang dimana selain masalah limbah yang menonjol

dapat dipastikan ada beberapa isu tambahan yang ikut “meramaikan” konflik

limbah tersebut, baik yang bersifat isu pribadi yang secara subjektif maupun

Page 33: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 33

PIHAK

E

PIHAK

C

PIHAK

B

PIHAK

A

objektif, serta isu yang melibatkan masyarakat setempat. Selain itu, pemetaan

konflik dapat membaca dinamika konflik yang ada, serta bagaimana sebuah

tindakan, seperti demo yang dilakukan oleh petani pengguna Dam Colo Timur

terjadi sesuai dengan situasi yang terus berubah, yang membuat pemahaman kita

tentang konflik yang terjadi semakin meningkat serta membawa kearah

penyelesaian, bahkan pemetaan konflik juga menawarkan sebuah analisis yang

cukup sederhana dalam menganalisa permasalahan yang kompleks.

Pemetaan konflik sebagai alat analisis akan digambarkan dalam gambar

berikut (Fisher, 2000) :

PIHAK D

PIHAK F

Gambar 1.1. Ilustrasi Pemetaan Konflik Fisher. Sumber : Sosiologi

Konflik dan Rekonsiliasi.

Page 34: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 34

Keterangan Gambar :

= Menggambarkan Pihak yang terlibat dalam konflik tersebut,

ukuran lingkaran menunjukkan ukuran relative sebuah pihak

adalah kekuasaannya terhadap sebuah isu

= Menggambarkan hubungan yang agak dekat

= Menggambarkan Aliansi

= Menggambarkan hubungan tidak resmi atau sementara

= Menggambarkan arah utama pengaruh atau kegiatan

= Menggambarkan perselisihan atau konflik

= Menggambarkan putusnya suatu hubungan

= Menggambarkan isu-isu,topik atau hal lain selain orang

= Menggambarkan pihak luar yang memiliki pengaruh namun

tidak ikut terlibat secara langsung

Dengan melakukan pemetaan seperti di atas, kita akan mendapatkan sebuah

benang merah konflik yang akan menggambarkan letak kekuasaan serta pihak

yang dominan dalam konflik tersebut, yang selama ini masih samar terlihat,

karena keterlibatan BLHKabupatenSukoharjo serta pihak lain yang saling

mendukung terjadinya konfik tersebut yang selama ini belum terlihat dengan jelas

peran pihak yang mungkin memiliki andil cukup besar dalam konflik ini, yang

akhirnya berbagai hal diatas sangat berguna untuk melakukan analisis resolusi

konflik yang selama ini telah dilakukan.

Page 35: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 35

Sedangkan bagaimana metode ini bekerja pertama-tama kita harus

menentukan apa yang ingin kita petakan, karena hal ini sangat berguna dalam

menentukan bagaimana sebuah pemetaan dibuat, dimana semakin besar peta

konflik dengan kompleksitas yang rumit, akan memakan banyak waktu dan peta

yang semakin bias dengan apa yang ingin kita petakan, sehingga menentukan apa

yang ingin kita petakan sangatlah penting ketika kita ingin melakukan pemetaan

konflik, dimana dalam kasus ini, yang ingin peneliti petakan adalah konflik akibat

limbah alkohol yang terjadi antara perajin alkohol di KecamatanMojolaban,

dengan petani pengguna Dam Colo Timur. Seperti yang kita tahu, sudut pandang

suatu permasalahan adalah poin yang cukup penting, dalam konflik ini

penelitiakan menggunakan dua sudut pandang yaitu dari perajin alkohol serta

petani pengguna Dam Colo Timur yang sedang berkonflik.

Dengan mengetahui sudut pandang mereka kita akan dapat mengetahui

bagaimana serta usaha apa yang dapat dilakukan untuk melakukan rekonsiliasi

konflik yang ada, dimana hal tersebut adalah intisari dari pengelolaan sebuah

konflik. Selain itu, hal yang penting dilakukan adalah menempatkan diri di dalam

peta tersebut, hal ini sangat penting dilakukan agar kita dapat ikut merasakan serta

mengerti persepsi serta hubungan pihak-pihak yang berkonflik dengan pihak lain

yang mungkin juga terlibat, sehingga analisis kita akan semakin kompleks dan

tajam nantinya. Bahkan bila kita kenal dengan pihak yang sekiranya mampu

melakukan rekonsiliasi secara resmi, seperti BLHKabupatenSukoharjo, kita dapat

menawarkan bantuan kepada pihak yang sedang berkonflik untuk sama-sama

mencari jalan tengah dengan posisi kita yang berada di dalam peta konflik.

Page 36: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 36

Pemetaan konflik akan berjalan dinamis, dimana situasi dapat berubah kapan saja,

sehingga peneliti akan membuat sebuah pertanyaan yang dinamis serta kronologis

sesuai dengan situasi yang berpotensi timbulnya tindakan tertantu dari dari pihak

yang sedang berkonflik, pertanyaan seperti apakah dasar mereka melakukannya,

serta bagaimana struktur sebuah konflik berubah mau tidak mau membuat kita

harus menyiapkan analisis baru yang mungkin akan berbeda dari sebelumnya.

Dengan tujuan dan kegunaan yang sangat kompleks dari analisis ini, diharapkan

hasil yang didapat dari penelitian ini dapat membaca secara jelas dan detail

berbagai aspek serta dinamika konflik yang terjadi di daerah tersebut, yang

akhirnya dapat memperjelas masalah apa yang sebenarnya terjadi serta

memunculkan sebuah resolusi konflik yang jelas dan berkelanjutan.

Pisau bedah kedua yang akan di gunakan dalam penelitian ini adalah

pentahapan konflik, dimana dengan analisis ini nantinya konflik akan dibagi

dalam beberapa tahapan berdasarkan intensitas, aktivitas, ketegangan serta

kekerasan yang berbeda-beda, seperti yang kita ketahui bahwa konflik yang

terjadi di Mojolaban membentuk sebuah alur waktu tertentu, dimana pada masa

awal konflik sekitar tahun 2010an, aktor yang terlibat hanya saling tegur, hingga

tahun 2012 terjadi penandatanganan MoU antar kedua aktor yang saling

berkonflik, dan pada Maret 2013 terjadi lagi gejolak di kawasan tersebut. Tentu

saja, melihat hal tersebut kita tidak bisa hanya mengandalkan pemetaan konflik

yang memiliki keterbatasan untuk menganalisa konflik dari waktu ke waktu,

karena bisa saja dari waktu tertentu, aktor serta dinamikanya sudah berubah,

sehingga analisis ini cukup membantu untuk mendukung pemetaan konflik.

Page 37: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 37

Dalam hal manajemen konflik sendiri, kita akan mengikuti konsep yang

mengedepankan bagaimana menciptakan sebuah kondisi yang menguntungkan

kedua belah pihak, dimana manajemen konflik adalah upaya memoderasi konflik

sesuai dengan proses konflik yang ada, namun tanpa menilik permasalahan yang

menjadi akar dalam konflik tersebut, dimana manajemen lebih mengarah pada

bagaimana proses dan behavioral aktor yang terjadi pada saat itu, dengan

menggunakan kronologi serta peta konflik sebagai analisator(Rubenstein, dalam

Susan, 2009)

4. Basis Teori Manajemen Konflik

Dalam manajemen konflik, seperti diungkapkan oleh Fisher (2000), maka,

data yang didapatkan dari lapangan akan diuraikan sesuai dengan tahap dimana

konflik tersebut terjadi, dimana dalam analisis ini tahap konflik adalah:

a) Pra Konflik: Adalah tahapan dimana mulai munculnya ketidaksesuaian

kepentingan antara pihak yang saling berkonflik, hal ini di awali ketika

kedua belah pihak memilih menghindar mengurangi interaksinya.

b) Konfrontasi: Pada tahapan ini konflik menjadi semakin terbuka, biasanya

konflik mulai terlihat dengan munculnya aksi dari salah satu maupun

kedua belah pihak, salah satu bentuknya adalah aksi demo protes yang

ditujukan pada salah satu pihak. Terjadinya kekerasan dalam skala kecil

dan tegangnya hubungan adalah salah satu bagian dari tahapan ini

c) Krisis : Pada tahapan ini konflik memuncak, ketengangan dan kekerasan

terjadi paling hebat hubungan antara beberapa pihak mungkin terputus

Page 38: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 38

dan menghasilkan dinamika baru baik dalam hal aktor maupun

dinamikanya.

d) Akibat : Tahap ini adalah ketika salah satu pihak kalah dan menyerah

pada pihak lain, maupun terjadinya resolusi konflik, berupa negosiasi

maupun mediasi, tingkat ketegangan menurun dengan kemungkinan

tercapainya sebuah penyelesaian

e) Pasca Konflik : Adalah ketika konflik telah berakhir, dan situasi

mengarah ke normal kembali

Dengan analisis ini, kita dapat melihat pola-pola konflik yang terjadi di

Mojolaban, baik dari segi aktor, dinamika maupun isu yang berkembang dari

waktu ke waktu, sehingga akan sangat membantu analisis pemetaan konflik untuk

semakin memperjelas bagaimana konflik terjadi dan resolusi apa yang tepat

dilaksanakan, serta membantu merumuskan strategi.

Resolusi konflik sendiri adalah kondisi setelah konflik dimana pihak-pihak

yang berkonflik melaksanakan perjanjian untuk memecahkan persoalan mengenai

apa yang mereka perebutkan, dan menghentikan perbuatan yang berujung pada

kekerasan antara pihak satu dengan lainnya (Wallensteen, 2002). Salah satu

langkah yang dilakukan dalam resolusi konflik ini adalah identifikasi secara

bertahap permasalahan konflik yang dimulai dengan penelusuran pihak-pihak

yang terlibat, faktor penyebabnya serta hubungan diantara pihak-pihak, hal ini

dilakukan dengan menggunakan peta konflik yang sudah dibuat sebelumnya

sehingga mempermudah proses ini. Hal ini penting dalam menggambarkan

konflik berdasarkan adalah menggambarkan sejarah terjadinya konflik sehingga

Page 39: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 39

berguna untuk merumuskan jalur penyelesaian terhadap konflik. Penyelesaian

konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses negosiasi kesepakatan oleh

kelompok-kelompok yang bersengketa, dengan tujuan menghindari penyelesian

masalah melalui meja hijau atau persidangan yang merambah ke ranah hukum

(Mitchell et al. dalam Fisher, 2000). Selain itu, beberapa jenis model resolusi

konflik adalah resolusi konflik oleh diri sendiri (self) dapat dilakukan dengan dua

cara yaitu denial dan self-help. Sementara penyelesaian konflik bersama orang

lain (with others) dapat dilakukan dengan caranegotiation dan mediation.

Sedangkan penyelesaian konflik dengan orang lain (by others) dapat dilakukan

dengan metode arbitration dan ligitation.

Dengan memanfaatkan beberapa analisis konflik yang ada sebelumnya,

peneliti akan menggunakan analisa resolusi konflik dengan menggunakan alat

analisis memetakan jalan pembuka, yaitu alat analisis resolusi konflik yang

digunakan untuk mengetahui apa tindakan yang akan dilaksanakan selajutnya

dengan mengadaptasi peta konflik yang ada (Fisher, 2000), dimana dengan

menggunakan analisis resolusi ini, jalan yang akan ditempuh dengan model

analisis resolusi ini nantinya adalah resolusi konflik dengan cara mediasi

(Mediation) ,dimana tujuan dari model analisis ini adalah memperjelas adanya

kegiatan yang mungkin berkaitan dengan kemungkinan munculnya lagi isu

konflik ke permukaan, lalu mengidetifikasi kemungkinan kegiatan baru, kerja

sama dan dukungan yang saling menguntungkan antar pelaku konflik. Sedangkan,

mediasi sendiri adalah suatu cara menyelesaikan konflik dengan menggunakan

seorang pengantara (mediator). Dalam hal ini fungsi seorang mediator hampir

Page 40: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 40

sama dengan seorang konsiliator. Seorang mediator juga tidak mempunyai

wewenang untuk memberikan penanganan konflik mengenai keputusan yang

mengikat, dimana keputusannya hanya bersifat memberikan saran pada pihak

yang berkonflik.Pihak-pihak yang bersengketa sendirilah yang harus mengambil

keputusan untuk menghentikan perselisihan (Sugeng, 1999).Dalam studi konflik

dan perdamaian, pengelolaan konflik memilikitujuan untuk mencegah terjadinya

berbagai bentuk kekerasan selamaproses konflik berjalan.Rubenstein menyatakan

bahwa conflictmanagement bertujuan memoderasi mencari sebuah kesepakatan

antar pihak yang dimana akibat-akibat dari konflik tanpa masuk pada dimensi

usaha mencaripemecahan akar masalah (Rubenstein 1996).

Sedangkan, pisau analisis yang juga akan kita gunakan dalam konflik ini

adalah teori pengelolaan konflik. Dimana teori pengelolaankonflik menegaskan

bahwa semua jenis konflik tidak harus selesaidengan pemecahan masalah, namun

merupakan proses pembelajaranmengenai cara mengelola konflik untuk

mengurangi kemungkinan-kemungkinan terjadinya eskalasi kekerasan. Carpenter

dan Kennedy menjelaskan bahwa persoalan sangat mendasar bagi seorang

pengelola bukanlah melenyapkan sebuah konflik dari para aktor yang terlibat,

namun membuat sebuah pertentangan dan perbedaan yang ada dalam konflik agar

mencapai sebuah kesamaan pemahaman yang akhirnya akan membuat sebuah

integrasi antar aktor yang akan membuat konflik menjadi positif (Carpenter &

Kennedy 1988). Melalui wacana di atas, bisadimengerti bahwa pengelolaan

konflik adalah praktik strategi konflik yang setiap pihak, baik pihak berkonflik

maupun pihak mediator, harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi konflik

Page 41: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 41

di lapangan.Praktek strategi konflik dipengaruhi oleh bagaimana suatu

kekuasaandimanfaatkan oleh pihak berkonflik.

Dalam pengelolaan konflik,kekuasaan sering dimanfaatkan untuk meredam

kekerasan yangmungkin muncul selama proses konflik. Hugh Miall (2004)

menyatakan bahwapengelolaan konflik adalah bagian dari seni menciptakan

intervensi yangtepat untuk mencapai kestabilan politik, terutama oleh pihak-

pihak dengan kekuasaan yang besar (powerful aktor) yang

mengoptimalkankekuasaan dan sumber daya yang ada untuk memberi tekanan

padapihak-pihak berkonflik agar mendorong pihak berkonflik untuk stabil(Miall,

dalam Susan, 2009).Dalam riset ini, pengelolaan akan menggunakan model

analisis yang akan menguraikan hal-hal berikut ini (Fisher,2000) :

Hambatan : Yaitu mencari faktor hubungan secara spesifik dan pengaruhnya

terhadap konflik yang ada, dimana salah satunya adalah

hubungan yang terjadi antar pihak yang sedang berkonflik,

apakah sudah baik atau masih ada intervensi yang mempengaruhi

Marjinalisasi : Dengan analisis ini, kita akan melihat apakah ada dari kelompok

tertentu yang tidak memiliki hubungan baik dengan pihak yang

ikut terlibat dalam konflik ini, hal ini akan semakin

mempermudah kita dalam mencari jalan keluar nantinya.

Struktur : Dengan struktur ini, kita harus mencari pihak-pihak yang dirasa

dapat bekerjasama untuk meredam dan menyelesaikan konflik ini

secara kontinu.

Page 42: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 42

Isu-isu : Dengan analisis ini,kita akan menguaraikan isu-isu lain yang

muncul dan belum diatasi.

Dimana setelah kita mampu menguraikan konflik dalam beberapa poin

tersebut, maka proses pengelolaan konflik akan dibedakan lagi menjadi beberapa

tingkatan yang telah dilalui oleh konflik di wilayah ini, dimana menurut Moore

(2003), beberapa strategi pengelolaan konflik dapat dibedakan menjadi bebeapa

poin, yaitu :

a) Avoidance :Pihak-pihak konflik saling menghindari satu dengan lain dan

berharap konflik dapat selesai dengan sendirinya, sehingga tidak diperlukan

manajemen konflik lanjutan untuk mengatasi hal ini.

b) Informal problem solving : Pihak-pihak berkonflik setuju dengan pemecahan

masalah yang diperoleh secara informal melalui perundingan yang dilakukan

secara pribadi, antar pihak yang terlibat pada konflik

c) Negotiation : Negosiasi adalah penyelesaian konflik dengan melakukan

perundingan resmi antar kedua belah pihak yang berkonflik, dimana tata cara

dalam resolusi ini sangatlah procedural dan formal guna mencapai sebuah

kesepakatan konflik.

d) Mediation : Munculnya pihak ketiga yang diterima oleh kedua belah pihak

karena dipandang dapat membantu para pihak yang berkonflik dalam

penyelesaian konflik secara damai.

e) Executive dispute resolution approach : kemunculan pihak lain yang

memberikan suatu bentuk penyelesaian konflik

Page 43: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 43

f) Artibration : suatu proses tanpa paksaan dari pihak berkonflik untuk mencari

pihak ketiga yang mampu meredam upaya konflik lebih lanjut.

g) Juducial approach : terlibatnya lembaga berwenang untuk mencapai sebuah

kepastian hukum.

h) Legislative approach :Intervensi yang dilakukan oleh lembaga wakil rakyat

untuk mencapai sebuah kesepakata yang mewadahi kedua belah pihak yang

sedang berkonflik.

Dalam konflik yang terjadi di Mojolaban ini, beberapa langkah yang pernah

dilakukan untuk meyelesaikan konflik ini, namun hampir semua langkah yang

telah dilakukan oleh berbagai pihak yang berkonflik termasuk warga masyarakat

sendiri,dimana mereka melakukan perudingan mandiri antara perajin alkohol dan

petani setempat.

Di akhir tahun 1960-an, Johan Galtung (1969) menawarkan model konflik

yang mencakup konflik simetris dan konflik asimetris.Dia menyarankan bahwa

konflik dapat dilihat sebagai segitiga vertical contradiction (C) Attitude (A) dan

Behavior (B).Kontradiksi (contradiction), merujuk pada sesuatu yang

tersembunyi dan berada di bawah situasi konflik, termasuk kenyataan ataupun

persepsi tentang ketidaksejajaran tujuan (incompatibility of goals) diantara para

pihak di dalam konflik.

Page 44: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 44

Gambar 1.2. Model resolusi konflik Johan Galtung.Sumber : Pengantar Sosiologi

Konflik dan Isu-isu Kontemporer.

Di dalam konflik yang simetris, kontradiksi diakibatkan oleh para pihak,

kepentingan mereka dan pertentangan kepentingan diantara mereka.Sedangkan

dalam konflik yang asimetris, konflik diakibatkan oleh para pihak, hubungan

mereka dan konflik kepentingan yang terdapat dalam relasi antar mereka. Juga

termasuk sikap dan persepsi para pihak dan salah persepsi diantara satu sama lain.

Semua itu dapat bersifat positif ataupun negatif, Akan tetapi dalam konflik

kekerasan para pihak cenderung untuk mengembangkan berbagai stereotype satu

sama lain dan sikap mereka sangat dipengaruhi oleh berbegai emosi seperti takut,

marah, kebencian, dan kemarahan. Sikap termasuk di dalam nya elemen-elemen

emotif (perasaan), kognitif (kepercayaan) dan konatif (keinginan).Para analis yang

menekankan aspek-aspek subjektif itu menyatakan pandangan ekspresif mengenai

sumber-sumber konflik.Sementara perilaku (behavior) adalah komponen ketiga

yang mencakup kerjasama atau pemaksaan, bahasa tubuh yang menandakan

Page 45: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 45

persatuan (conciliation) atau permusuhan (hositility).Perilaku konflik kekerasan

ditandai dengan ancaman, paksaan, dan penyerangan destruktif.Para analis yang

menekankan aspek-aspek obyektif seperti hubungan struktural, pesaingan

kepentingan material atau perilaku lebih mengungkapkan pandangan instrumental

sumber-sumber konflik.

Galtung menyatakan bahwa tiga komponen itu harus dihadirkan secara

bersama-sama dalam melihat konflik secara menyeluruh. Sebuah struktur konflik

tanpa konflik sikap dan perilaku merupakan konflik laten ataupun struktural.

Galtung melihat konflik sebagai sebuah proses dinamis dimana struktur, sikap dan

perilaku terus menerus merubah dan mempengaruhi satu sama lain. Sebagai

perkembangan dinamis, konflik menjadi bentuk konflik yang manifes ketika

kepentingan berbagai pihak berbenturan atau ketika hubungan diantara mereka

menjadi lebih bersifat ofensif.

Para pihak yang terlibat dalam konflik kemudian membentuk berbagai

struktur untuk mencapai kepentingan mereka.Mereka mengembangkan sikap

permusuhan dan perilaku konfliktual.Dari sinilah kemudian bentuk konflik mulai

berkembang dan intensif. Sebagaimana konflik berlangsung, sangat mungkin juga

terjadi perluasan konflik kepada pihak-pihak lain, lebih mendalam dalam lebih

tersebar, yang memunculkan konflik sekunder diantara pihak yag lerlibat atau di

dalam pihak lain yang ingin memperoleh keuntungan dari konflik itu. Pada

akhirnya pemecahan konflik harus melibatkan serangkaian perubahan dinamis

yang meliputi pencegahan perluasan perilaku konflik (de-escalation of conflict

Page 46: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 46

behavior), perubahan sikap dan transformasi hubungan (relationship) atau

benturan kepentingan yang semua itu merupakan inti dari struktur konflik.

Dalam konflik yang terjadi di wilayah Mojolaban ini, mediasi yang

dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan terhadap kedua belah pihak sangat

diperlukan, mengingat konflik sudah terjadi berkepanjangan serta belum memiliki

sebuah jalan tengah yang diterima oleh kedua belah pihak, sehingga dengan

hadirnya mediator, yang diwakili oleh tokoh/lembaga yang memiliki kekuasaan

terhadap kedua belah pihak selaku fasilitator dan konsultan dalam pengambilan

keputusan nantinya diharapkan dapat menyelesaikan konflik yang ada.

Page 47: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 47

G. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif

untuk memahami fenomena yang sedang terjadi di masyarakat , khususnya sentra

industri ciu bekonang sebagai pihak yang berkonflik, serta isu dan faktor

pendukung lain yang ikut membentuk struktur konflik tersebut, masyarakat sekitar

dan kedua pihak yang berkonflik serta pihak lain diluar peta konflik sehingga

bagaimana sebenarnya peta konflik dapat tersaji secara mendalam dan dapat

menghasilkan resolusi konflik yang sesuai dengan dinamika konflik yang ada

yang sesuai dengan pendekatan kualitatif yang bersifat menjelaskan secara

deskriptif suatu fenomena yang ada sesuai dengan proses yang ada, bukannya

hasil yang tercipta karena riset ini.

pendekatan yang digunakan dalam metode ini adalah pendekatan deskriptif.

Pendekatan deskriptif merupakan penelitian yang menuturkan dan menafsirkan

data yang ada serta menggambarkan sebuah fenomena, dengan pendekatan ini kita

akan banyak menggunakan kata Tanya mengapa dan bagaimana sebagai kunci

untuk membuka hasil penelitian kita. Metode penelitian ini memusatkan diri pada

pemecahan masalah-masalah aktual.Data yang dikumpulkan mula-mula disusun,

dijelaskan, dan kemudian dianalisa.Sebuah deskripsi merupakan representasi

obyektif terhadap fenomena yang ditangkap.Bentuk penelitian ini juga ditujukan

untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah

maupun fenomena buatan manusia (Moeleong, 1999). Dengan pendekatan ini kita

dapat menelaah isu apa dan bagaimana konflik lingkungan yang terjadi di

Page 48: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 48

Mojolaban sejauh mungkin sesuai data yang kita kumpulkan di lapangan,

sehingga konflik yang bersifat dinamis di Mojolaban ini dapat kita jelaskan secara

detail dan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah di desa Mojolaban, KabupatenSukoharjo yang

merupakan sentra perajin alkohol yang secara legal telah di akui oleh pemerintah,

lokasi ini berada di daerah yang memiliki sawah cukup luas serta bertani adalah

profesi masyarakat setempat. Lokasi Desa Mojolaban sendiri, khususnya di

daerah perajin alkohol adalah pusat saluran irigasi yang membagi aliran air ke

beberapa desa yang memanfaatkan saluran tersebut sebagai saluran irigasi

mereka, sehingga tentu saja aspek kepentingan didaerah tersebut sangat sarat

terjadi.Kompleksitas konflik didaerah ini juga cukup rumit dan berliku, sehingga

diharapkan dengan dipilihnya lokasi ini, ke depannya dapat membawa pengaruh

yang baik pada konflik serupa khususnya yang terjadi di KabupatenSukoharjo.

3. Metode pengumpulan data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga metode pengumpulan data

untuk menjelaskan fenomena yang terjadi, alasan peneliti menggunakan metode

ini adalah karena pendekatan yang cukup intens serta mampu mengungkap fakta

tersembunyi dilapangan, yang tentunya akan berpengaruh terhadap validitas data

yang ada, metode pengumpulan data nya adalah Observasi, dan wawancara.

Page 49: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 49

a) Observasi

Menurut Kartono (1980) pengertian observasi diberi batasan sebagai

berikut: “studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-

gejala psikis dengan jalan pengamatan dan pencatatan”. Selanjutnya dikemukakan

tujuan observasi adalah: “mengerti ciri-ciri dan luasnya signifikansi dari inter

relasinya elemen-elemen tingkah laku manusia pada fenomena sosial serba

kompleks dalam pola-pola kulturil tertentu”. Metode ini peneliti gunakan karena

peneliti ingin melihat sebuah fenomena langsung, serta sesuai dengan keadaan

yang sebenarnya di daerah Mojolaban.

Karena bila hanya dengan melihat di studi pustaka saja kita akan kesulitan

dalam memperoleh data yang akurat dan detail tentang kebiasaan-kebiasaan obyek

di lapangan, selain itu dengan metode ini, melihat rumitnya konflik yang

terjadinya di Mojolaban, serta isu pendukung dan pihak yang mungkin secara

samar terlibat dalam konflik. Kita perlu menggunakan metode ini guna

memahami sebuah situasi dari masyarakat yang sedang berkonflik ini, karena

dengan melihat perilaku beberapa pihak sekaligus kita dapat memperoleh

beberapa data yang akan menunjang data yang sebelumnya mungkin sudah kita

dapatkan baik dari wawancara maupun dari studi pustaka yang telah kita lakukan

sebelumnya. Melihat kemungkinan bahwa obyek yang diteliti memiliki rasa tidak

percaya serta tidak memungkinkannya bentuk komunikasi lain, yang dikarenakan

mereka merasa penulis bukan merupakan bagian dari komunitas mereka, teknik

pengamatan ini dapat membantu penulias guna memahami hal-hal yang tidak

mereka ungkapkan sebelumnya.

Page 50: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 50

Dengan berpikir kemungkinan tidak mau terbukanya para petani serta

perajin alkohol serta elemen masyarakat yang ada di desa Mojolaban tersebut,

peneliti memutuskan untuk menggunakan observasi secara partisipan, yaitu kita

ikut terlibat sebagai obyek dalam penelitian yang kita lakukan, sehingga perasaan

canggung untuk mengunkapkan data dapat berkurang seiring semakin akrabnya

peneliti dengan obyek sehingga validitas data dapat meningkat. Dalam penelitian

ini peneliti bermaksud mengamati bagaimana reaksi spontan dari petani ketika

melihat limbah alkohol mengalir ke sawah mereka dari saluran irigasi Dam Colo

Timur yang ada tepat di samping sawah mereka serta bagaimana perubahan

perilaku yang terjadi ketika air irigasi tercemar, yang ingin peneliti amati juga

adalah para perajin alkohol yang membuang limbahnya ke saluran irigasi,

sehingga dapat kita lihat apakah terdapat kesamaan serta tambahan data dari

metode wawancara yang sebelumnya telah dilakukan. Untuk memperkuat data

penelitian ini penelitiakan menggunakan media audio berupa rekaman wawancara

dan foto untuk memperkuat validitas data yang peneliti kumpulkan.Dimana audio

berupa rekaman wawancara dan foto yang menggambarkan kejadian-kejadian

serta analogi fenomena yang terjadi dilapangan.

Dalam pengalaman yang peneliti lakukan, observasi cukup berguna dalam

membuka fenomena-fenomena yang secara tidak langsung diungkapkan oleh

informan. Dimana salah satu contohnya, ketika peneliti melakukan wawancara

terhadap salah satu informan yang menyatakan bahwa saluran irigasi tidak

tercemar dan tidak berbau, serta tidak panas dan memperngaruhi padi yang

berkembang di daerah tersebut, tentu saja peneliti tidak dapat langsung

Page 51: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 51

menyatakan bahwa data tersebut valid, karena itulah peneliti mengandalkan

metode observasi untuk meng cross check antara kondisi sebenarnya dilapangan

dengan pendapat informan yang bersangkutan, karena dari pengalaman peneliti

dilapangan, banyak sekali terdapat perbedaan yang ada antara kenyataan lapangan

dengan apa yang diungkapkan oleh informan. Hal ini cukup banyak terjadi ketika

peneliti baru saja tiba dilapangan, dan baru melakukan pendekatan kepada

informan yang ada.

b) Wawancara

Wawancara adalah pertukaran percakapan dengan tatap muka dimana

seseorang memperoleh informasi dari yang lain, (Denzin, 1970).Pihak yang di

wawancara diharap mau memberikan keterangan serta penjelasan, dan menjawab

semua pertanyaan yang diajukan kepadanya. Kadang kala ia malahan membalas

dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pula. Hubungan antara interviewer

dengan obyek itu disebut sebagai “a face to face non-reciprocal relation” (relasi

muka berhadapan muka yang tidak timbal balik). Maka interview ini dapat

dipandang sebagai metode pengumpulan data dengan tanya jawab sepihak, yang

dilakukan secara sistematis dan berdasarkan tujuan riset (Kartono, 1980).

Wawancara ini peneliti lakukan dengan tujuan mengetahui perbedaan isu

serta efek dan persepsi dari konflik yang terjadi agar dapat terdokumentasi dengan

baik. Wawancara adalah suatu metode yang peneliti anggap sangat tepat untuk

menyesuaikan data yang diperoleh dari proses observasi dengan apa yang

sebenarnya ada dilapangan, dimana dengan melakukan wawancara kita akan

Page 52: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 52

memperoleh deskripsi dari sebuah fenomena,dalam melakukan wawancara

memungkinkan kita untuk menangkap kilasan kehidupan sosial sebagaimana

adanya.Selain itu wawancara juga bersifat eksploratif, yaitu memberikan

gambaran dari apa yang belum tergali dari suatu topik dalam sebuah penelitian,

sehingga kita dapat mengetahui hal-hal yang belum terungkap dari observasi yang

kita lakukan.

Guna menjaga arah pembicaraan, peneliti menggunakan wawancara

berstruktur untuk membatasi arah pembicaraan, yaitu adalah wawancara yang

dilakukan menggunakan interview guide sesuai dengan data yang ingin kita

peroleh, sehingga pertanyaan yang nantinya akan kita ajukan telah sesuai dengan

topik yang kita angkat. Hal ini sangatlah beralasan, karena dari pengalaman yang

didapatkan peneliti, informan rata-rata menolak menghindari untuk membicarakan

konflik yang telah terjadi, sehingga peneliti harus melakukan pendekatan dengan

pertanyaan-pertanyaan pendukung yang berguna untuk mengarahkan informan

pada pertanyaan utama yang telah disiapkan, sehingga interview guide disini

berperan sangat penting, guna mengantisipasi pembicaraan yang mengarah jauh

diluar kebutuhan data. Dari awal penelitian, informan dari pihak perajin seakan

enggan membicarakan konflik yang terjadi di wilayah ini, dengan mengalihkan

topik pembicaraan, semisal mulai membicarakan tentang keluarga, dan hal lain

yang menyimpang dari konflik tersebut. Salah satu taktik yang digunakan peneliti

adalah dengan bertamu kerumahnya berkali-kali, dengan membawa makanan

yang disukai informan, seperti bakpia pathuk, guna mengakrabkan diri dengan

informan. Dengan cara ini, biasanya informan baru mau bicara masalah konflik

Page 53: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 53

setelah peneliti bertamu sebanyak 3 sampai 4 kali ke rumah informan, barulah

setelah itu informan mau bicara masalah tentang konflik yang terjadi.

Sedangkan dalam wawancara ini, teknik pemilihan informan dalam

penelitian ini didasarkan pada teknik sampel, random purposive sampling. Yakni

penarikan sampel informan dengan acak (random), namun disesuaikan dengan

populasi tertentu dari elemen masyarakat, karena agar sampel yang kita dapatkan

sesuai dengan sasaran informan yang ingin kita capai, sehingga sampel yang ada

dapat mewakili sebuah bagian dari masyarakat dengan tepat. Dalam penelitian ini

peneliti menentukan populasi sampel berdasarkan kelompok mata pencaharian

dominan, yaitu perajin alkohol dan petani, serta pengelompokan individu berdasar

populasi darimana informan berasal, seperti perajin, dan petani, lalu non perajin

dan petani, yaitu profesi lain diluar kedua profesi dominan tersebut.

Alasan penarikan sampel dengan menggunakan metode ini, selain yang

telah disebutkan diatas, adalah untuk menghindari keseragaman data, karena dari

pengalaman yang dirasakan oleh peneliti, ketika peneliti mewawancarai seorang

informan, maka informan tersebut cenderung akan mengarahkan kepada informan

yang memiliki karakteristik hampir sama. Seperti yang dialami peneliti ketika

mewawancarai pak Mujimin yang merupakan seorang perajin yang membuang

limbah sembarangan, maka dengan serta merta pak Mujiono mengarahkan pada

pak Sukino yang juga merupakan oknum yang membuang limbah secara

sembarangan, sehingga data akan seragam dan tidak mewakili sebuah populasi.

Hal yang sama juga terjadi ketika peneliti mencari data ke pak Temon, yaitu

seorang petani yang banyak merugi karena peristiwa puso sejak dua tahun lalu,

Page 54: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 54

dimana pak Temon juga akan mengarahkan peneliti pada petani yang senasib,

sehingga guna menghindari hal tersebut, peneliti mengambil sampel secara acak.

Dalam wawancara ini sasaran peneliti adalah tokoh masyarakat setempat,

dinas tekait serta perwakilan dan orang yang dominan dari kedua belah pihak

yang sedang berkonflik, baik dari paguyuban perajin alkohol maupun petani

pengguna Dam Colo Timur, serta warga sekitar lokasi yang di pilih secara acak,

sehingga validitas data akan semakin tinggi, selain itu perbedaan persepsi yang

ada akan membuat sebuah dinamika yang kompleks, yang kemudian akan

semakin menambah tingkat kedinamisan pemetaan data. Dalam melakukan

wawancara, peneliti melihat seberapa besar peran tokoh tersebut dalam konflik

ini, seperti peneliti mewawancari pak Tri sebagai pemilik 75persen dari seluruh

industri kecil yang ada didaerah ini, sekaligus beliau adalah orang yang

berpengaruh dalam pembuatan IPAL, dimana pendapat yang diberikan oleh pak

Tri hampir dimiliki oleh mayoritas perajin alkohol yang ada di wilayah ini.

Begitu pula dari pihak petani, peneliti mewawancarai beberapa tokoh yang

cukup memiliki andil dan peran dalam mengkoordinir petani dalam melakukan

aksi demo untuk melawan perajin alkohol yang membuang limbahnya di saluran

irigasi setempat. MuspikaKecamatan sebagai tokoh kunci dalam konflik ini juga

peneliti wawancarai sebagai basis data yang cukup kuat, khususnya dalam bidang

resolusi konflik yang di koordinasi oleh pihak Kecamatan dan BLH

KabupatenSukoharjo. Dalam wawancara ini nantinya juga akan di rekam

menggunakan tape recorder guna memperkuat data serta menghindari kehilangan

data akibat kesalahan dalam melakukan wawancara nantinya.

Page 55: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 55

c) Pengumpulan data Sekunder

Pengumpulan data sekunder adalah proses untuk melakukan pembandingan

data antara observasi dan interview dengan data yang diperoleh dari sumber-

sumber terpercaya, seperti buku, artikel dan jurnal ilmiah. Pengumpulan data ini

merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu penelitian.

Teori-teori yang mendasari masalah dan bidang yang akan diteliti dapat

ditemukan dengan melakukan studi kepustakaan. Selain itu seorang peneliti dapat

memperoleh informasi tentang penelitian-penelitian sejenis atau yang ada

kaitannya dengan penelitiannya.Dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan

sebelumnya.

Dengan melakukan studi kepustakaan,peneliti dapat memanfaatkan semua

informasi dan pemikiran-pemikiran yang relevan dengan penelitiannya. Hal ini

sangat berguna untuk dilakukan, karena untuk memperkuat pendapat kita, kita

memerlukan hasil-hasil penelitian dari riset sebelumnya untuk mendukung

validitas data yang ada. Selain itu, studi pustaka dari sumber terpercaya dapat

menambah data yang belum diungkapkan oleh informan, semisal informan belum

mengungkapkan data tentang bagaimana dan kapan saja konflik terjadi secara

kronologis, maka data sekunder berfungsi untuk menambah khazanah data yang

ada. Hal ini banyak peneliti temui ketika turun lapangan, karena terkadang

informan lupa pada tanggal-tanggal terjadinya peristiwa penting dalam konflik ini.

Maka, data sekunder cukup penting untuk menambah validitas data.

Page 56: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 56

4. Analisis data

Gambar.1.1. Analisis data.Sumber gambar

:http://www.kolomsosiologi.blogspot.com/2011/01/metode-analsis--data/interaktif/

(diakses pada 23 September 2012)

Model analisis data interaktif akanpeneliti gunakan dalam penelitian

ini.Model interaktif ini terdiri dari tiga hal utama yaitu reduksi data, penyajian

datadan kesimpulan. Proses analisis interaktif ini merupakan proses siklus dan

interaktif. Miles dan Huberman (1992) menyatakan bahwa penyajian data adalah

sekumpulan informasi yang tersusun memberi kemungkinan adanya penarikan

kesimpulan dan pegambilan tindakan.Selain itu kita akan melakukan verifikasi

data, yaitu penarikan arti terhadap data yang telah ditampilkan.Pemberian ini akan

memberikan interpretasi bagi peneliti dalam proses penarikan kesimpulannya.

Miles dan Huberman (1992) menyatakan bahwa dari permulaan pengumpulan

data, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari arti benda-benda, mencatat

keteraturan, pola-pola penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin ada, alur

sebab akibat dan proposisi.Dengan Metode Interaktif ini, serta melihat dinamisnya

Page 57: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 57

konflik yang terjadi di lapangan, peneliti rasa metode analisis data ini cukup tepat

untuk di terapkan.

Hal ini cukup efektif saat peneliti terapkan dilapangan, karena dengan

melakukan pencatatan dan arti dan pengamatan dilapangan, mencatat keteraturan

serta pola-pola penjelasan dari wawancara yang ada dilapangan serta, alur sebab

akibat dan proposisi sangat membantu peneliti menganalisis fenomena-fenomena

yang sebelumnya tidak terungkap baik di media serta sangat membantu peneliti

dalam memperdalam fenomena yang terjadi dilapangan, karena dengan beberapa

kali pergi kelapangan guna melakukan interpretasi data guna memverifikasi serta

menambah kedalaman data, kita akan memperoleh kesimpulan yang benar-benar

mewakili semua sampel yang ada dilapangan. Selain itu dengan sistematika dan

pola-pola penjelasan yang sistematis sesuai dengan data dilapangan, kita dapat

menjelaskan dengan runtut dan sesuai dengan fenomena yang terjadi baik dari

segi waktu maupun dari segi peristiwa yang terjadi.

Page 58: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 58

BAB II

DESKRIPSI WILAYAH DESA MOJOLABAN,

KABUPATENSUKOHARJO

A. PROFIL WILAYAH

1. Letak Wilayah Desa Mojolaban, KabupatenSukoharjo

Luas wilayah KecamatanMojolabantercatat+3.554 Ha atau sekitar 7,62%

dari luas KabupatenSukoharjo (46,666 Ha). Desa Palur merupakan desa yang

terluas yaitu+409 Ha (11,51%) sedangkan yang terkecil Desa Triyagan +168 Ha

(4,73%). Luas yang ada terdiri dari 2.234 Ha (62,86%) lahan sawah dan 1.320 Ha

Gambar 2.1. Peta Letak Wilayah Sukoharjo. Sumber:

www.Sukoharjokab.go.id.Diakses pada 28 Februari 2013.

Page 59: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 59

(37,14%) bukan lahan sawah.KecamatanMojolaban terletak di dataran tinggi,

dengan tinggi 104 m dpl(dari permukaan laut). Jarak dari Barat ke Timur +8,0

Km, jarak dari Utara ke Selatan +6,0 Km. Jarak dari Ibukota Kecamatan ke

Ibukota KabupatenSukoharjo+11 Km.

Batas - batas Kecamatan, Sebelah Utara dan timur Kecamatan Jaten

Kabupaten Karanganyar dan Sebelah Barat Kota Surakarta.KecamatanMojolaban

terbagi dalam 15 Desa, termasuk desa Mojolaban sendiri yang menjadi wilayah

penelitian, wilayah Kecamatantersebut terdiri dari 53 dusun, 159 RW, 532 RT.

Menurut klasifikasinya semua Desa termasuk Desa Swakarya. Pelaksanaan

pemerintahan Kecamatan Mojolabanterdiri dari 7 orang aparat Kecamatan dan

153 orang aparat desa.Wilayah Penelitian sendiri merupakan desa Mojolaban

yang didominasi oleh persawahan yang di airi oleh saluran irigasi Dam Colo

Timur yang merupakan sarana irigasi utama daerah ini. Fokus penelitian berada di

Dusun Sentul dan Tegalmade yang merupakan dua wilayah yang dipisahkan oleh

keberadaan Dam Colo Timur ini, sehingga dam seakan juga beperan sebagai

pemisah kedua wilayah ini. Dimana dusun Sentul didominasi oleh perajin alkohol,

yang sekaligus juga sebagai pusat paguyuban alkohol di desa Mojolaban, yang

didaerah ini terdapat 201 perajin, baik industri maupun perajin kecil. Sedangkan

dusun Tegalmade adalah daerah yang didominasi oleh persawahan yang dimiliki

oleh petani setempat, sekaligus menjadi pusat paguyuban petani setempat.

Page 60: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 60

Gambar 2.2.Papan Tanda memasuki pusat produksi alkohol.Sumber : Dokumentasi

peneliti

2. Perekonomian Masyarakat Setempat

Desa Mojolaban memiliki komposisi sebesar 39.891 pria, dan 40.162

wanita, dengan jumlah total masyarakat 80.053 jiwa (BPS KabupatenSukoharjo,

2011). Masyarakat Desa Mojolabanterbagi menjadi dua mata pencaharian yang

cukup dominan, yaitu Petani dan Perajin alkohol, petani sendiri mendominasi

hampir 40% dari wilayah ini. Dimana petani di daerah ini rata-rata berperan

sebagai pemilik lahan yang kemudian memperkerjakan buruh tani dari daerah

lain, seperti Bekonang dan daerah Karanganyar. Sedangkan perajin alkohol juga

cukup dominan didaerah ini, yaitu sebesar 30%.Berdasarkan data yang diperoleh

dari Disperindakop KabupatenSukoharjo, perajin alkohol sekarang sudah

mencapai 210 orang, yang dimana pada tahun 2002 mereka berjumlah hanya 182

orang dan menujukkan tren yang semakin meningkat.Perajindibagi dalam tiga

kelas, yaitu industri (memiliki karyawan lebih dari 10 orang), menengah

(memiliki karyawan 5 sampai 10 orang) dan kecil (memiliki karyawan 1 atau 2

Page 61: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 61

orang). Perajinyang sudah berbentuk industri dan berbadan hukum (CV) hanya

12 orang dari 210 perajin, sehingga yang mendominasi wilayah ini adalah perajin

dengan skala kecil(www.Sukoharjokab.go.id, perkembangan perajin alkohol

tahun 2000-2006, diakses pada 9 september 2012), mereka terikat pada

paguyuban perajin alkohol yang diketuai oleh bapak Sabaryono.

Merekayang tidak menjadi Petani dan Perajin alkohol, rata-rata bekerja

sebagai pembuat batu bata tradisional, mereka mendominasi wilayah di sekitar

RT.15 yang berada di sebelah utara desa Mojolaban ini, prosentase mereka sekitar

20%. Sedangkan, Guru, PNS , dan pekerjaan formal lain hanya mendominasi

sekitar 7% dari jumlah keseluruhan masyarakat di desa Mojolaban ini. Aktivitas

perdagangan, baik yang berupa pedagang kecil maupun besar hanya berjumlah

3%. Merekamemanfaatkan jalan raya Solo-Sukoharjo yang melewati daerah

tersebut untuk berjualan, tren tersebut semakin meningkat karena semakin

menjamurnya toko yang berada di sepanjang jalan raya tersebut, baik toko kecil

maupun besar (Sukoharjo dalam angka, 2011).

3. Ragam dan Karakteristik Masyarakat Setempat

Masyarakat di daerah ini cukup terkenal dengan julukan “juragan ciu”

dimata penduduk daerah lain.Hal ini karena daerah ini didominasi oleh perajin

alkohol yang menyalahgunakan hasil produksinya menjadi ciu bekonang, yaitu

minuman keras yang terbuat dari sari tebu yang melalui proses destilasi.

Masyarakat sendiri didominasi oleh agama islam yang cukup kuat nuasanya,

dimana setiap malam kamis setelah berakhirnya musim “nggodok”, yaitu proses

Page 62: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 62

pembuatan alkohol, mereka mengadakan pengajian untuk mensyukuri kekuatan

yang diberikan oleh Tuhan untuk memproduksinya. Dalam segi organisasi, didesa

Mojolaban yang lebih mendominasi adalah paguyuban perajin alkohol yang

diketua oleh bapak Sabaryono. Paguyuban ini secara struktural cukup baik,

bahkan sudah memiliki KUD (Koperasi Unit Desa) untuk menunjang produksi

alkohol yang dilakukan, sehingga diharapkan dapat terdistribusi dengan baik.

Petani sendiri juga memiliki paguyuban, namun secara struktural kurang

organisatif. Ketikapeneliti ingin mewawancarai ketua dari paguyuban, petani

saling menunjuk dan tidak memberikan kepastian siapa yang memimpin

paguyuban petani didesa Mojolaban ini.

Secara keseluruhan, setelah konflik dianggap selesei oleh perajin alkohol,

masyarakat didesa ini cukup menyatu yang dibuktikan dengan adanya kegiatan

kumpul bersama baik untuk arisan maupun adanya kegiatan kumpul disore hari

untuk saling bercengkerama. Walaupundari pihak petani terkadang masih sering

mengeluhkan dengan cara menyindir mereka yang masih suka membuang

limbahnya secara sembunyi-sembunyi di malam hari. Alkohol yang di salah

gunakan sebagai minuman keras, atau “Ciu” menurut masyarakat setempat,

merupakan sebuah produk yang lahir dari pemberontakan wong cilik terhadap

kemapanan dan modernisasi yang menindas gerak laju mereka. Tempat-tempat

hiburan yang dulunya cukup mudah dinikmati kini mulai tergerus oleh ancaman

global melalui media yang banyak bermunculan, baik Online maupun offline.

Panggung hiburan sudah mulai digantikan dengan bangunan-bangunan yang

diperuntukkan untuk pusat-pusat bisnis.

Page 63: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 63

Ada semacam fenomena budaya di Solo yang menjadikan Ciu sebagai

pemicu kemabukan agar bisa lebih menikmati sebuah hiburan rakyat.Sebut saja

dangdut. Setiap ada pertunjukan dangdut, baik itu di THR (Taman Hiburan

Rakyat) maupun di event-event yang cakupannya kecil seperti hajatan, bisa

dipastikan ciu hadir di tengah-tengah massa. Selain sebagai pemicu untuk

mencapai kondisi mabuk, ciu hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni

industri hiburan modern.Kita merasa lebih kerenketika minum kopi bergambar

putri duyung di gerai sebuah Mall.Kita merasa lebih eksis ketika kita mampu

mendengarkan lagu favorit kita melalui I-pod. Kita merasa lebih trendi dan

gaulbila kita pergi jalan-jalan ke mall daripada ke pasar rakyat seperti di Sekaten.

Industri budaya pop itu memanipulasi kita, mengendalikan kita, dan

mengkungkung kita dalam tuntutan-tuntutan untuk memenuhi hasrat

konsumerisme kita. Bagi kaum marjinal, anak jalanan, preman dan anak-anak

muda yang merasa terpinggirkan oleh kehadiran budaya pop ala Amerika, Ciu +

Dangdut + Goyang menjadi pertahanan dan perlawanan terakhir terhadap serbuan

budaya global.Orang-orang itu mempunyai jiwa yang bebas dan bisa menjadi diri

mereka sendiri.Mereka mempunyai selera dan cita rasa yang khas, terlepas dari

penyeragaman cita rasa dan selera yang dilakukan industri hiburan global. Mereka

tidak membenci hiburan-hiburan mahal dengan semangat primordial dan gaya

perlawanan lokal. Mereka hanya butuh hiburan yang terjangkau di tengah-tengah

himpitan kesulitan ekonomi.Mereka tetap eksis dengan

pilihannya(Wawancaradengan pemuda setempat, Mojolaban, 25 Januari 2013).

Page 64: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 64

Secara pendidikan, Lulusan SLTA Sangat mendominasi wilayah ini,

angkanya pun mencapai 70% dari total penduduk di desa Mojolaban(Sukoharjo

dalam angka, 2011).Namun, masyarakat desa setempat memilih menyekolahkan

lagi anak-anak mereka hingga ke jenjang S-1 agar dapat melanjutkan usaha orang

tua mereka dengan cara yang lebih baik, beberapa sampel dari perajin dan petani

serta masyarakat sekitar memiliki alasan yang hampir sama, yaitu bila mereka

berasal dari perajin, maka anak disekolahkan agar dapat meningkatkan kualitas

produksi dan distribusi dari alkohol tersebut. Sedangkan, mereka yang berprofesi

sebagai petani, akan menyekolahkan anak mereka dengan tujuan agar mampu

mengolah sawah bapaknya dengan lebih baik, dan menghasilkan keuntungan yang

melimpah untuk keluarga. Sedangkan, alasan yang hampir sama juga

diungkapkan masyarakat, yaitu agar dapat melanjutkan profesi bapaknya secara

turun-temurun, sehingga tradisi sebuah pekerjaan dalam keluarga tidak hilang,

semisal bapaknya PNS maka anaknya juga akan didorong untuk mengikuti tes

CPNS ketika sudah lulus.

4. Sejarah Keberadaan Industri Alkohol di Bekonang

Sejarah keberadaan industri alkohol dimulai pada abad ke-17, di jaman

pertengahan kerajaan mulai mengembangkan berbagai budidaya seperti gula tebu

dan beras. Dari dua komoditi itu kemudian dibuatlah anggur yang terbuat dari

beras yang difermentasi, tetes tebu dan kelapa. Pada Awalnya, daerah ini

memproduksi minuman yang di sebut dengan Ciu, minuman ini diproduksi sejak

akhir abad ke-17 sampai abad ke-19 dan merupakan minuman populer di Eropa,

Page 65: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 65

terutama Swedia. Minuman ini juga umum dikenal sebagai the Batavia Arrack

van Oosten.Pada waktu pemerintahan raja-raja (Kraton Surakarta dan Yogyakarta)

sebelum Indonesia merdeka, terdapat tradisi pada acara-acara pesta panen raya

atau penyambutan tamu-tamu kerajaan dengan mengadakan pesta dan tarian

tradisional seperti Tayub, Sinden Ledek dan sebagainya. Acara-acara ini marak

setelah Belanda masuk campur tangan demi menjatuhkan kekuasaan Kraton

secara pelan-pelan tentunya. Pada acara acara tersebut, walaupun berlangsung

pada siang hari, pasti ada acara minum minuman keras “Ciu Bekonang” untuk

mabuk-mabukan, baik di kalangan punggawa kerajaan maupun rakyat di sekitar

kerajaan

Pada masa itu walaupun usaha yang dilakukannya secara sembunyi-

sembunyi, namun telah menghasilkan sesuatu yang disebut “ciu” dengan kadar

alkohol yang masih rendah. Ciu atau yang terkenal dengan sebutan “Ciu

Bekonang” pada awal-awal produksinya memang dikonsumsi untuk minuman

keras dan mabuk-mabukan.Menjelang Indonesia Merdeka pada tahun 1945,

pengrajin industri rumah tangga “Ciu Bekonang” hanya berkisar 20 orang saja

dan hasil produksinya kurang lebih per hari hanya 10 liter saja. Peralatan

Produksinyapun masih sangat sederhana.Penjualan dilakukan secara sembunyi-

sembunyi dan pada orang-orang tertentu yang suka mabuk-mabukan.Antara tahun

1961 sampai tahun 1964, industri yang sebelumnya hanya memproduksi minuman

keras, mulai memproduksi alkohol untuk keperluan industri maupun sterilisasi.

Kemajuan dalam hal peningkatan kadar alkohol dari 27% menjadi 37% dengan

peralatan yang juga masih sangat sederhana. Hasil alkohol yang masih berkadar

Page 66: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 66

37% ditampung dan ditingkatkan kadar alkoholnya. Dari Jumlah pekerja juga

sudah ada peningkatan. Hasilnyapun sudah dipasarkan mencapai hampir

keseluruh wilayah karesidenan Surakarta, Surabaya, Kediri, dan daerah lain yang

banyak didominasi oleh industry farmasi (Catatan Blusukan Solo, 2012).

Pada tahun 1980-an, Pemdatingkat II Sukoharjo (Dinas Perindustrian)

mengucurkan bantuan sebesar Rp.2.000.000 rupiah guna meningkatkan produksi

alkohol. Hasilnya, kadar alkohol sudah dapat ditingkatkan kadarnya menjadi 60%.

Pada tahun 1997 ada naskah kesepakatan dengan industri alkohol besar di

Karanganyar (Jateng) yaitu PT. Indo Acidatama Chemical Industri .Hasilnya,

pada tahun 2000, dengan peralatan yang lebih modern lagi, kadar alkohol

didaerah setempat berhasil ditingkatkan menjadi 70% bahkan 90%, sehingga

mampu memenuhi kebutuhan industri, yang menurut salah seorang informan,

adalah industri farmasi, pengkalengan ikan dan industri baja yang banyak terdapat

diwilayah semarang dan Surabaya yang sekarang banyak mengambil hasil

produksi setempat.

5. Proses Produksi Alkohol dan Limbah yang dihasilkan

a) Proses Produksi Alkohol

Proses produksi alkohol sendiri masih sangat sederhana dan menggunakan

peralatan yang rata-rata dirangkai sendiri oleh para perajin, bahan baku alkohol

yang berasal dari tetes tebu didatangkan dari wilayah malang, dan madiun, serta

beberapa pabrik gula yang berada di daerah karesidenan Surakarta, seperti

Tasikmadu dan Colomadu. Bahan baku sendiri merupakan sisa produksi gula,

Page 67: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 67

yang merupakan limbah hasil pengkristalan yang berbentuk kental dan manis.

Umumnya, untuk memperoleh bahan baku ini para perajin mendapatkan setoran

tetap dari distributor yang bergerak di bawah pengawasan paguyuban, yang

diketuai oleh pak Sabaryono.

Bahan baku diantar seminggu tiga kali untuk memenuhi kebutuhan perajin

yang ada. Proses dari produksi alkohol sendiri, pertama-tama tetes tebu di

tampatkan pada sebuah wadah yang digunakan untuk menampung tetes, yang

terhubung dengan tong besar untuk menampung tetes sesuai dengan kapasitas

produksinya. Kemudian, kayu yang merupakan bahan bakar utama dari

pembuatan alkohol ini ditumpuk sedemikian rupa dan ditaruh dibagian bawah

tong tersebut. Tong yang menjadi wadah tetes didesain dengan

menghubungkannya pada selang besi yang ada dibagian atas, yang lalu selang

tersebut terhubung dengan tong lain yang ada di seberangnya. Setelah api dirasa

cukup panas, maka tetes tebu akan dialirkan sedikit demi sedikit dari wadahnya ke

tong destilasi, setelah dirasa tong sudah penuh, api dijaga hingga sekitar delapan

jam untuk menyuling tetes tebu menjadi alkohol yang akan tertampung pada tong

kedua yang ada diseberang tong pertama.

Page 68: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 68

Gambar 2.3.Alat destilasi alkohol sederhana. Sumber: Dokumentasi peneliti.

Setelah menunggu selama delapan jam maka tong kedua telah terisi hasil

destilasi dari tetes tebu tersebut, biasanya untuk mencapai kadar 30 persen, dari

100 liter tetes tebu, hanya 60 liter yang menjadi alkohol, sisanya berupa badek

atau limbah alkohol yang mengendap di tong pertama proses tersebut. Pada saat

pertama kali didestilasi, alkohol yang merupakan hasilnya akan terasa panas, dan

perlu didinginkan dengan air, caranya dengan menyiramkannya pada sekitar tong

kedua yang berisi alkohol hasil destilasi tersebut. Setelah dingin, maka jadilah

alkohol dengan kadar 30 persen, alkohol inilah yang oleh masyarakat sekitar

dinamakan “ciu bekonang”, dimana kadarnya masih rendah dan belum memenuhi

kadar untuk industri, yang menuntut kadar hingga 90 persen, ketika tidak ada

order, mereka biasanya menjual hasil sulingan pertama ini dalam bentuk ciu,

dengan harga 7000 rupiah perliternya. Kemudian, untuk mencapai standar

industri, proses yang sama dilakukan kembali hingga dua atau tiga kali, hingga

kadar 90 persen tercapai, pada proses ini, setiap 100 liter tetes tebu, maka yang

Page 69: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 69

dapat menjadi alkohol hanyalah 30 liter untuk kadar 80 persen, dan 15 liter untuk

kadar mencapai 96 persen, sehingga dari 100 liter tetes tebu, yang 80 liternya

adalah limbah yang memiliki kadar tinggi dan berbahaya bagi lingkungan.

b) Limbah yang dihasilkan

Limbah yang dihasilkan dari proses ini sangat merugikan petani yang

melakukan kegiatan didaerah Dam Colo Timur, yang merupakan saluran irigasi

utama bagi masyarakat setempat. Mulai bau yang menyengat, hingga warna yang

menghitam dapat kita lihat di sepanjang dam ini. Dari data yang diperoleh,

limbah yang dihasilkan cukup banyak dan berbahaya, jumlah limbah cair setiap

produksi yang dihasilkan rata-rata 44,2 liter/hari dan jumlah lumpur yang

dihasilkan ratarata 4,25 liter /hari. Kualitas limbah cair di Unit Pengolahan Air

Limbah yang ada di Desa Bekonang KecamatanMojolabanKabupatenSukoharjo

mempunyai kadar BOD5 = 55.000 mg/l, kadar COD = 170.316 mg/l dan kadar

TSS = 5.640 mg/l (Anik,2004). Dengan kadar yang sedemikian tinggi, menurut

penelitian Anik Kusrini, dapat menyebabkan beberapa dampak buruk bagi

pertanian, yaitu :

a) Rusaknya tanaman pada, karena kandungan kimia yang dihasilkan dapat

mempengaruhi unsur hara tanah, sehingga pada menjadi layu.

b) Membuat padi mekar lebih cepat, karena kadungan kimia yang tinggi, padi

mekar lebih cepat, padahal tubuh padi masih berukuran kecil, sehingga

tidak ada kemampuan untuk menanggun berat tubuh yang dimiliki oleh

pada tersebut.

Page 70: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 70

c) Membuat tanah sangat gembur, karena kadungan kimia dan air yang

cukup tinggi, maka unsur hara menjadi larut dan hanya menyisakan tanah

yang sangat basah yang nantinya membuat padi tidak dapat ditanam

dengan baik.

Itulah beberapa dampak dari limbah yang dihasilkan dari produksi alkohol

yang dilakukan oleh masyarakat perajin alkohol dan pengaruhnya terhadap lahan

pertanian yang dimiliki oleh petani desa setempat.

Page 71: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 71

B. KONTEKS KONFLIK

1. Peta Geografis daerah setempat, wilayah pihak yang terlibat

konflik.

Secara geografis, daerah Mojolaban dikelilingi oleh sawah yang memiliki

luas lebih dari pemukiman, dimana daerah yang berkonflik, yaitu dusun Sentul

dan dusun Tegalmade, sebagai wilayah utama yang terlibat konflik ini, dipisahkan

oleh Dam Colo Timur. Dam tersebut selain berfungsi sebagai saluran irigasi, juga

sebagai tembok pemisah antara wilayah perajin alkohol dan wilayah petani yang

berada diseberangnya, berikut peneliti gambarkan peta satelit wilayah tersebut :

Dalam peta wilayah geografis diatas, kita dapat mengetahui bagaimana

Dam Colo Timur memisahkan kedua wilayah, yang juga sangat berpengaruh pada

interaksi warga sekitar, dimana mereka yang ada di dusun Sentul, saat terjadinya

Gambar 2.4. Peta Satelit Wilayah Konflik. Sumber : maps. Google.com

Page 72: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 72

konflik tidak mau bepergian, bahkan menolong masyarakat yang berada di daerah

Tegalmade, seperti penuturan berikut ini :

“Pas wonten tabrakan motor teng mriki (tegalmade) sing korban e anake

perajin, tak ben ke wae mas, ora tak tulungi, kulo ngenteni petani liyane

sing terus nyeluk uwong saka Sentul mriku, bar kuwi kulo lan petani

liyane nggeh nyawah maneh” (Ketika ada kecelakaan motor disini yang

korbannya anak perajin, peneliti biarkan saja, tidak peneliti tolong,

peneliti menunggu petani lainnya yang kemudian memanggil orang dari

desa sentul, lalu peneliti dan petani lain ke sawah lagi) (Pak Temon, Desa

Tegalmade, Mojolaban, 5 Februari 2013)

Dari pernyataan tersebut kita dapat mengetahui bahwa Dam Colo Timur

yang memisahkan kedua dusun tersebut menjadi sebuah tembok, dimana ketika

seseorang melewati Dam Colo Timur yang merupakan saluran irigasi setempat,

dan orang tersebut berasal dari dusun Sentul, maka akan terjadi perbedaan

perilaku dari masyarakat setempat, yang terjadi disekitaran bulan Juli 2012 lalu,

ketika konflik tersebut memuncak. Dengan melihat peta tersebut, terjadi

perbedaan kelas sosial yang cukup signifikan, dimana mereka yang tinggal di

Dusun Sentul, memiliki kehidupan yang lebih mapan daripada mereka yang

tinggal di Tegalmade. Karena perbedaan ini pula beberapa perajin juga

menyatakan bahwa faktor ekonomi adalah salah satu penyebab konflik tersebut.

Isu ini berkembang dikalangan perajin alkohol yang banyak terdapat di daerah ini.

Beberapa informan dari kalangan perajin menyatakan bahwa salah satu penyebab

konflik adalah karena perbedaan status ekonomi antara petani dan perajin, dimana

perajin memiliki kehidupan yang layak karena aktivitas produksi alkohol ini,

seperti yang dinyatakan oleh salah satu informan :

Page 73: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 73

“itu sebenarnya karena iri saja mas, kan kita lebih sejahtera begitu mas

daripada petani disini, rumah kita lebih bagus, hidup kita lebih layak mas,

sedangkan petani ga bisa mencapai taraf kehidupan yang sama dengan kita

mas, jadi ya mereka itu demo untuk menghentikan aktivitas produksi kita, liat

aja mas, liat disebelah Dam Colo Timur mas, ada perbedaan yang mencolok

sekali kan mas”(Pak Maaruf, Mojolaban, 27 Januari 2013)

Bahkan, seorang perajin yang juga memiliki lahan pertanian, dan memperkerjakan

buruh tani setempat, juga menyatakan hal yang sama dengan perajin yang

diwawancarai sebelumnya.

“Ya dari para petani yang kerja si sawah saya, saya juga kadang mendengar

masalah ekonomi juga ikut andil mas dalam konflik ini, karena mereka

merasa ga sama mas dengan perajin yang ada di daerah ini”(Pak Tri,

Mojolaban, 21 Februari 2013)

2. Sudut Pandang Aktor yang Terlibat

Dari wawancara yang dilakukan pada beberapa informan, salah satu hal

yang sangat menarik adalah perbedaan sudut pandang yang ada dari beberapa

aktor yang terlibat dalam memahami konflik tersebut, dimana menurut para

perajin, konflik telah selesai, sedangkan petani dan warga masih mengintervensi

pihak perajin dan menganggap bahwa konflik tersebut belum selesai, karena

masih banyak oknum perajin yang masih membuang limbahnya secara

sembarangan. Dari pihak perajin sendiri, garis besar yang dapat kita simpulkan

adalah bahwa dinamika konflik yang terjadi didaerah ini menurut perajin dimulai

pada tahun 2010, dimana ketika itu petani mulai melakukan peringatan melalui

paguyuban petani kepada paguyuban perajin alkohol, namun menurut para

perajin, konflik terjadi karena adanya rasa iri dari petani melihat perajin alkohol

memiliki ekonomi yang cukup makmur, sangat berbeda dengan kondisi mereka.

Page 74: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 74

Hal ini didasarkan karena sejak berdirinya industri ini, pada jaman Kraton

Surakarta, dan telah diwariskan turun-temurun tidak pernah terjadi padi puso

karena limbah alkohol, dan puso karena limbah alkohol baru terjadi dua tahun

terakhir ini (2010-2013) sehingga menurut perajin pernyataan petani tersebut

tidak wajar dan disebabkan karena iri semata.

Selain itu, anggapan bahwa limbah merusak lahan pertanian juga tidak

benar menurut perajin, karena menurut pihak perajin malah akan menyuburkan

sawah, karena ada kandungan pupuk yang ada pada limbah. Bahkan, para perajin

membuat peryataan bersama bahwa limbah bisa digunakan sebagai pupuk yang

difasilitasi oleh pak Sabariyono sebagai ketua paguyuban, sebagai buktinya

perajin menyatakan beberapa wilayah di sekitar Sukoharjo seperti Karanganyar

dan Wonogiri selalu meminta limbah alkohol di salurkan pada sawah mereka

sebagai pupuk alami dan murah. Karena itu, petani menyatakan selain masalah

ekonomi, penyebab lainnya adalah terjadinya kesalahpahaman serta oknum

perajin yang membuang limbah langsung ke saluran irigasi juga menjadi

penyebab utama, para petani bersikeras bahwa limbah dapat merusak, namun

perajin merasa tidak merusak karena sudah bertahun-tahun membuang limbah

namun tidak ber efek apapun pada padi. Beberapa perajin berpendapat, karena

semakin banyaknya limbah dan berkurangnya sawah, maka membuat tanah sangat

gembur, sedangkan pada masa dahulu, perajin tak sebanyak sekarang, dan sawah

masih luas sehingga air limbah terdistribusi dengan rata. namun bila limbah

dibuang dengan tempo tertentu, yaitu dengan menunggu limbah dingin, semisal

seminggu sekali, maka akan berpengaruh baik terhadap perkembangan padi,

Page 75: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 75

biasanya sebelum dibuang limbah ditaruh di IPAL lama yang sebenarnya sudah

overload, kemudian seminggu kemudian baru dibuang ke saluran irigasi.Selain

itu, petani dari daerah Karanganyar malah meminta perajin mengirim limbahnya

ke sawah mereka, bahkan perajin merasa limbah yang dibuang telah netral dan

aman padahal kenyataannya limbah hitam dan berbau menyengat.

Hal yang berbeda diungkapkan oleh pihak petani, yaitu petani merasa

bahwa limbah benar-benar merusak lahan pertanian mereka, karena seperti yang

diamati oleh peneliti ketika melakukan wawancara di pinggir sawah milik petani,

untuk beberapa informan, dimana limbah benar-benar menyebarkan bau busuk

dan warna yang hitam pekat. Ketika peneliti melakukan pengamatan, petani yang

baru saja menanami sawahnya, memperlihatkan bagaimana proses mblonyohnya

atau matinya bibit padi akibat limbah yang bersifat panas dan merusak tersebut.

Pak Temon sebagai salah seorang informan memperlihatkan secara jelas

bagaimana limbah alkohol merusak sawah petani, dan hanya itulah penyebabnya,

dimana petani hanya meminta perajin menghentikan pembuangan limbah secara

sembarangan di saluran irigasi setempat. Sampai ketika peneliti melakukan

penelitian ini, petani masih memendam rasa kesal yang disebabkan oknum perajin

yang hingga sekarang masih membuang limbahnya sembarangan, dan mengarah

pada konflik laten dari kedua belah pihak. Dari pemaparan diatas, dapat kita lihat

perbedaan pandangan yang cukup signifikan dari kedua pihak utama yang terlibat

dalam konflik ini.

Page 76: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 76

Gambar 2.5. Kondisi Saluran Irigasi Setempat. Sumber: Dokumentasi peneliti

Gambar. 2.6. Kondisi air yang pekat. Sumber : Dokumentasi Peneliti

Petani juga mendapatkan dukungan penuh dari warga sekitar yang merasa

terganggu dengan limbah alkohol, hal ini dirasakan oleh sebagian besar warga

yang tinggal di wilayah tersebut. Selain karena bau busuk yang disebarkannya,

limbah juga membuat tanah yang biasanya digunakan warga untuk membuat batu

bata menjadi sangat gembur dan tidak bisa di olah menjadi bata. Selain itu, sumur

warga juga terpengaruh karena rembesan dari limbah ini, air sebagian warga pun

Page 77: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 77

berubah menjadi agak kecokelatan dan tidak bisa dikonsumsi sebagai air minum,

dimana akhirnya warga melakukan pembelian air bersih untuk kebutuhan

konsumsi, seperti air galon. Karena hal inilah lalu warga dan petani bersatu untuk

mencegah dan mengontrol pihak perajin yang masih membuang limbahnya secara

sembarangan.Warga sendiri bersepakat untuk menutup paksa dan melaporkan

pada pihak terkait dan Kecamatan untuk menutup usaha perajin yang ketahuan

membuang limbah secara sembarangan di daerah setempat.

Gambar 2.7.Kondisi Sumur Warga yang Keruh. Sumber: Dokumentasi

Peneliti

Demikianlah konteks konflik yang terjadi di desa Mojolaban,

KabupatenSukoharjo. Di bab selanjutnya kita akan membahas bagaimana konflik

tersebut terjadi secara lebih detail dengan melibatkan peta dan tahapan konflik,

serta sesuai dengan pemaparan yang sistematis dan mudah dipahami.

Page 78: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 78

C. KESIMPULAN BAB 2

Dengan Melihat profil wilayah yang sudah dijabarkan, kita dapat

menyimpulkan bahwa kehidupan masyarakat didaerah ini cukup intens dalam hal

berinteraksi antar sesamanya. Secara sejarah, daerah ini sebenarnya telah menjadi

penghasil alkohol, bahkan sejak jaman kerajaan kesultanan Surakarta, sehingga

perajin alkohol sendiri sudah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

masyarakatnya, bahkan minuman keras yang dinamakan ciu bekonang sudah

diproduksi sejak jaman belanda. Namun, keberadaan Dam Colo Timur sendiri,

yang memisahkan dua wilayah, yaitu wilayah perajin alkohol dan petani membuat

adanya perbedaan yang cukup mencolok dari daerah ini, yaitu di wilayah dusun

sentul, rumah-rumah dengan kualitas baik cukup banyak, serta masyarakat hidup

berkecukupan dari usaha perajin alkohol ini.

Namun, di dusun tegalmade, yang berada disisi lain dari Dam Colo Timur ini,

hanya di dominasi sawah dan rumah dengan kualitas standar dan kehidupan yang

cenderung kurang, perbedaan ini juga mempengaruhi organisasi yang ada, semisal

paguyuban yang sudah sangat terstruktur dengan KUDnya yang cukup mumpuni,

sedangkan petani yang belum jelas secara struktur paguyubannya, walaupun

wilayah pertanian didaerah ini sangat luas. Hal ini membuat mudahnya terjadi

gesekan-gesekan antar mereka, salah satunya masalah limbah yang sempat

meledak beberapa waktu lalu. Dengan menggunakan metode triangulasi data

antara perajin, petani dan warga setempat serta dari dinas terkait yang memiliki

peran sangat besar dalam hal mediasi konflik ini, data yang dihasilkan dapat

memiliki validitas yang tinggi serta dapat dipertanggungjawabkan. Dimana

Page 79: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 79

pengambilan data pada informan berhenti ketika sudah terdapat sebuah

kesimpulan dari sebuah pertanyaan yang ditanyakan pada beberapa informan dari

populasi masyarakat yang berbeda.

Konflik yang terjadi didaerah ini cukup kompleks dan berkepanjangan,

berbagai unsur yang mendukung, mulai dari geografis, hingga adanya dinamika

yang cukup menarik dari kesepakatan yang telah beberapa kali di tandatangani

oleh perwakilan dari kedua belah yang berkonflik.

Demikianlah kesimpulan BAB 2 pada penelitian ini.

Page 80: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 80

BAB III

ISU DAN PIHAK YANG TERLIBAT DALAM KONFLIK INI

Konflik didaerah Mojolaban sebenarnya belum usai, namun lebih ke arah

konflik laten yang sekarang mencuat dikalangan petani setempat, menurut para

perajin, konflik telah usai yang ditandai dengan membaiknya hubungan antar

kedua belah pihak. Seperti pada acara Kecamatan, dan desa, serta hajatan warga,

mereka sudah mulai membaur sesamanya, sehingga dari salah satu pihak, yaitu

perajin konflik dianggap sudah selesai. Pada bab 2 ini, akan dipaparkan detail

permasalahan serta aktor utamanya, sehingga mampu mendukung pemetaan

konflik yang menggunakan beberapa indikator untuk mencapai peta yang detail

dan mampu menggambarkan konflik secara lebih tajam dan mengena. Pada awal

analisis ini, peneliti akan melihat dari beberapa sisi yang akan menjadi bahan

pembahasan analisis konflik ini, yaitu:

a) isu-isu yang menjadi perhatian utama dalam konflik ini,

b) Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini

Dengan menggunakan beberapa pokok bahasan tersebut, diharapkan data

yang diperoleh dari lapangan dapat di uraikan secara detail, sehingga nantinya

akan mempermudah dalam analisis pemetaan dan pentahapan konflik, serta dapat

memetakan secara tepat tindakan apa yang sudah dan harus dilakukan kedepannya

nanti. Selain itu, dengan pemetaan dan pentahapan ini kita dapat mengetahui

kondisi konflik terkini, yang ditunjang dengan isu-isu yang muncul karena konflik

utama yang disebabakan oleh limbah tersebut, karena dari beberapa penelusuran

Page 81: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 81

dilapangan, peneliti mendapati beberapa fakta yang berbeda dengan penuturan

media saat ini. Dengan kesimpulan yang nantinya akan dihasilkan, kita dapat

mengetahui uraian serta tindakan resolusi seperti apa yang dapat diterapkan untuk

mengatasi konflik tersebut.

A. ISU KONFLIK

Dalam konflik yang terjadi antara perajin alkohol dan petani daerah

Mojolaban, isu utama yang menjadi pokok bahasan utama yaitu konflik yang

disebabkan oleh limbah yang dibuang oleh oknum perajin alkohol, lalu merusak

lahan pertanian. Isu utama yang disebabakan oleh oknum perajin yang membuang

limbahnya secara sembarangan di kawasan Dam Colo Timur, bahkan Peningkatan

jumlah perajin yang cukup drastis menyebabkan limbah yang dihasilkan cukup

banyak dan berbahaya. Dengan kadar yang sedemikian tinggi, limbah tersebut

telah menyebabkan banyak kerusakan air di kawasan setempat. Penjelasan detail

dari isu yang terjadi adalah sebagai berikut :

1. Pencemaran air akibat limbah

Di daerah ini, kita dapat melihat pola pembuangan limbah yang tidak sesuai

dengan aturan yang ada, yaitu limbah harus dibuang di IPAL yang tersedia, lalu di

saring, kemudian baru dibuang disaluran irigasi. Namun, perajin alkohol yang ada

didaerah ini lebih memilih membuang limbahnya langsung ke saluran irigasi

setempat sehingga membuat air di saluran irigasi yang berasal dari waduk Mulur,

rusak dan tidak layak digunakan sebagai sarana irigasi petani setempat.Bahkan,

kandungan kimiawi air di saluran irigasi cukup tinggi, dengan jumlah limbah cair

Page 82: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 82

setiap produksi yang dihasilkan rata-rata 44,2 liter/hari dan jumlah lumpur yang

dihasilkan rata-rata 4,25 liter /hari. Kualitas limbah cair di unit pengolahan air

limbah yang ada di Desa Bekonang Kecamatan Mojolaban KabupatenSukoharjo

mempunyai kadar BOD5 = 55.000 mg/l, kadar COD = 170.316 mg/l dan kadar

TSS = 5.640 mg/l (Kusrini, 2004). Pola pembuangan yang salah ini telah

menyebabkan padi puso sebanyak empat kali, yang diikuti dengan aksi protes

yang diikuti oleh petani dari empat dusun, yaitu Karangwuni, Tegalmade, Pranan

dan Polokarto. Hal ini lebih disebabkan karena IPAL baru yang seharusnya sudah

dapat beroperasi belum rampung dalam penggarapan proyeknya, bahkan terkesan

dibiarkan dan ditinggalkan begitu saja.Para perajin alkohol memilih untuk

menggunakan jasa pembuangan limbah yang banyak tersedia di daerah setempat

untuk membuang limbah, dengan membayar 8000 rupiah perdrumnya.

Dampak yang paling umum terjadi didaerah ini, dan dirasakan oleh hampir

semua masyarakat, baik petani maupun warga setempat, adalah tercemarnya

sumur warga yang biasa digunakan untuk kegiatan sehari-hari, seperti minum,

mencuci dan mandi. Air di daerah ini terlihat sangat keruh dan berbau limbah

alkohol, sehingga sangat tidak layak untuk dikonsumsi. Hal ini mulai terjadi pada

awal Februari 2013 lalu, sebelumnya limbah tidak mencemari sumur setempat,

namun hanya menyebarkan bau busuk. Karena limbah mengendap di tanah, lalu

merembes dan mencemari air tanah, membuat air tanah tidak layak konsumsi,

hingga warga setempat harus membeli air galon untuk kebutuhan konsumsi.

Seperti penuturan salah satu informan berikut ini :

Page 83: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 83

“Sekarang sumur saya juga tercemar mas, rusak semua mas, sekarang air

sumur Cuma saya gunakan untuk mandi dan mencuci mas paling, kalau

minum ga berani mas, karena bau dan warnanya pekat sekali mas, saya

biasa beli galon mas buat minum mas” (Pak Sukino, Mojolaban, 9

Februari 2013)

limbah mencemari sumur warga dan menyebabkan rasa kesal dikalangan warga

masyarakat setempat, yang membuat warga setempat beraliansi dengan petani

sekitar.

Salah satu hal yang paling dapat dirasakan dikawasan ini adalah bau busuk

yang sangat menyengat, peneliti sendiri merasakan bau yang menyengat ini ketika

mengumpulkan data. Bau menyengat ini jugalah yang menyebabkan warga

setempat melakukan aliansi dengan petani setempat, dimana menurut salah satu

warga setempat yang berprofesi sebagai pedagang kelontong, bau tersebut sangat

menggangu aktivitasnya, begitu pula pendapat salah satu warga lain yang juga

merasa terganggu ketika melakukan aktivitas sehari-hari karena bau menyengat

yang dirasakan mereka. Hal yang paling terlihat adalah ketika ada pembeli yang

membeli di warung milik pak Dede yang terletak di dekat selokan yang

mengandung limbah tersebut, dimana pembeli biasanya enggan berlama-lama di

warung beliau akibat bau yang busuk tersebut. Seperti pernyataan beliau :

“Wah, sekarang kalau di warung saya pembelinya tidak lama mas,

biasanya mereka pilih-pilih barang dan mengobrol dengan saya, namun

karena bau ini biasanya mereka langsung beli dan pulang begitu mas,

pokoknya bener-bener bikin ga nyaman mas baunya itu” (Pak Dede, 26

Februari 2013)

Itulah yang terjadi akibat menyebarnya bau busuk yang disebabkan oleh limbah

alkohol yang dibuang oleh oknum perajin secara sembarangan di kawasan irigasi

setempat.

Page 84: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 84

2. Kerusakan lahan dan tanah setempat akibat air limbah

Kerusakan yang berkaitan dengan lahan pertanian dapat dengan jelas kita

saksikan di tempat ini, mulai dari limbah yang berwarna hitam pekat, hingga bau

yang menyengat dapat kita rasakan secara langsung di tempat ini. Dimana

menurut beberapa petani, dampak limbah terhadap sawah mereka adalah layunya

padi yang sudah ditanam, yang disebabakan panasnya limbah yang mengandung

kadar alkohol yang cukup tinggi. Selain itu, tingkat kegemburan lahan yang

meningkat drastis membuat tidak bisa ditanaminya lahan pertanian di area ini.

Bahkan, seorang informan, menuturkan bahwa ketika sore hari mereka selesai

menanam, maka pada pagi harinya tanaman mereka layu, sehingga malam hari

adalah waktu yang biasa digunakan oknum perajin alkohol nakal untuk

membuang limbahnya ke saluran irigasi setempat. Seperti pernyataan salah satu

informan :

“Ya kalau saya biasanya membuang limbah ke saluran irigasi di malam

hari mas, ketika sepi, biasanya setelah produksi, limbah saya taruh di

drum-drum, yang kemudian di malam hari saya buang semuanya ke

saluran irigasi setempat, sebenarnya sih tidak boleh mas, tapi mau gimana

lagi, itu cara yang paling praktis mas sekaligus bisa menghemat biaya

produksi saya mas” (Mujimin, 18 Februari 2013)

Menurut beberapa informan yang berasal dari kalangan petani, puso yang

terjadi di wilayah ini sudah terjadi selama dua tahun, yaitu mulai tahun 2010,

hingga sekarang. Salah satu informan bahkan menuturkan, bahwa sekali gagal

panen, kerugian yang diderita mencapai 15 juta rupiah, bahkan salah satu teman

sesama petani ada yang hingga menjual rumahnya untuk menutupi hutang

Page 85: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 85

pembelian bibit yang belum dibayar karena terus menerus merugi. Seperti

pernyataan pak Temon salah satu petani setempat dibawah ini :

“Saya sendiri pernah merugi hingga 15 juta rupiah sekali gagal panen mas

untuk beli bibitnya, bisa dibayangkan sendiri mas kerugian saya, malahan

tentangga desa saya ada yang sampai jual rumah mas untuk menutupi

hutangnya” ( Pak Temon, 8 Februari 2013)

Demikianlah pernyataan salah satu petani yang memperoleh dampak kerugian

langsung dari aktivitas pembuangan limbah secara illegal tersebut, bahkan akibat

puso yang sudah terjadi beberapa kali, membuat petani beralih pada pekerjaan

yang dianggap lebih menjanjikan dan memiliki penghasilan yang lebih pasti,

seperti pernyataan dibawah ini.

“Ini saja sawah yang saya garap sudah puso sebanyak 3 kali mas, gatau itu

yang punya lahan pasti pusing mas, saya juga pusing nih mas, karena

penghasilan saya jadi ga tentu mas, jadi terkadang saya nyambi jadi buruh

bangunan mas, yang penting bisa makan mas, sudah Alhamdulillah

mas”(Pak Kentut, Mojolaban, 15 Febaruari 2013)

Dengan melihat pernyataan diatas, kita dapat melihat bahwa limbah dengan

konsentrasi kimiawi yang puluhan kali lipat dari batas aman yang ditetapkan oleh

pemerintah, membuat kerusakan yang cukup signifikan. Bahkan, secara tidak

langsung, oknum perajin nakal tersebut telah memumpuk konflik laten di

kalangan warga dan petani setempat.

Page 86: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 86

Gambar 3.1.Kondisi sawah yang rusak akibat limbah.Sumber : Dokumentasi Peneliti

Gambar 3.2.Saluran air dalam sawah yang kotor dan menghitam. Sumber:

Dokumentasi peneliti

Limbah yang memiliki konsentrasi cukup tinggi ini juga memiliki banyak

sekali dampak terhadap tanah produktif yang memiliki fungsi menunjang mata

pencaharian warga yang berprofesi sebagai pembuat batubata yang banyak

beroperasi di daerah setempat. Tanah liat menjadi gembur, dan kehilangan sifat

liatnya, warga setempat mengalami kesulitan dalam membuat batu bata karena

Page 87: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 87

tanah tidak lagi bisa di bentuk menjadi batu bata, dan terkadang hancur bila

dibakar. Seperti pernyataan pak Darmo, seorang pembuat batu bata di daerah

setempat :

“Wah, produksi saya menurun mas, dulu sehari bisa mengirim tiga sampai

lima truk, ke Wonogiri dan Sukoharjo kota, tapi sekarang paling 2 truk

sudah mentok mas itu, karena sejak limbah mengalir ke saluran irigasi,

tanah yang saya ambil dari sekitaran sawah setempat jadi gembur mas, ga

bisa jadi bata dengan kualitas bagus, biasanya bakar 7 sampai 8 jam,

sekarang harus 12 sampai 15 jam mas biar akas (kering)” (Pak Darmo,

Gang Bakung, Sentul, Mojolaban, Sukoharjo, 19 Februari 2013)

Itulah salah satu dampak lain yang ditimbulkan oleh limbah yang dibuang ke

saluran irigasi setempat.

Demikianlah dua isu utama yang akan menjadi pokok bahasan dalam

konflik yang terjadi antara petani dan perajin alkohol di desa Mojolaban ini.

Dengan berfokus pada kedua isu tersebut, diharapkan nantinya pembahasan akan

lebih mendalam dan tidak meluas pada isu tambahan lain yang terkadang merusak

fokus pembahasan itu sendiri.

Page 88: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 88

B. PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM KONFLIK

1. Pihak Utama dan terlibat langsung

Pihak Utama yang terlibat konflik ini adalah petani di desa Tegalmade,

dan perajin alkohol di dusun Sentul, Mojolaban, Sukoharjo.Dimana kedua pihak

ini diwakili oleh paguyuban masing-masing yang berperan sebagai koordinator

kedua belah pihak yang terlibat konflik.

a) Pihak Perajin Alkohol

Paguyuban yang terorganisasi dengan baik ada di pihak perajin alkohol,

yang diketuai oleh pak Sabaryono, sehingga koordinasi antara perajin satu dengan

lainnya dapat terjalin dengan baik dan sesuai dengan perkembangan yang ada,

seperti pernyataan berikut ini :

“Biasanya mas, kalau ada apa-apa, pak Sabar menginformasikan kepada

semua perajin alkohol, caranya dengan mengumpulkan perajin

dirumahnya melalui undangan tertulis, dan kita musyawarah disitu, seperti

masalah konflik sama petani sendiri kalau mas tanya sama perajin alkohol

pasti tau, karena memang biasanya di diskusikan bersama dengan warga

sini, termasuk dulu pembuatan IPAL, sehingga tansparan, pembuatan

plang penanda larangan buang limbah juga kita buat bersama mas, dengan

dipimpin pak Sabar, selain itu kami perajin alkohol sewaktu terjadi konflik

bisa menyatu mas buat berunding mencapai keputusan terbaik dengan

petani” (Pak Tri, Desa Mojolaban, 21 Februari 2013)

Selain itu, pernyataan salah satu informan berikut ini juga memberikan

kejelasan baiknya proses koordinasi dikalangan perajin, yang bahkan terjadi pada

salah seorang perajin yang baru saja tiba di kawasan tersebut.

“Saya waktu konflik itu baru saja pulang dari nyupir mas, jadi gatau

permasaalahannya gimana, tapi karena paguyuban yang kasih informasi,

sehingga saya tahu masalah utamanya apa gitu mas “(Pak Maarif, Desa

Mojolaban, 25 Januari 2013)

Page 89: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 89

Melihat dua pernyataan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa pihak

utama yang terlibat, yaitu perajin alkohol cukup terkoordinasi dengan baik,

sehingga segala keputusan dan resolusi konflik dapat diketahui oleh semua

kalangan perajin, yang sekaligus memperkuat solidaritas antar perajin yang ada,

hal ini sangat berpengaruh terhadap suasana internal di tubuh perajin alkohol yang

telah menganggap bahwa konflik telah selesai dan tidak ada masalah lagi.

b) Pihak Petani desa Tegalmade

Pihak utama lainnya yang terlibat konflik ini adalah petani dari desa

Tegalmade, Mojolaban. Petani dari desa Tegalmade inilah yang menggerakkan

petani dari desa lain untuk ikut berpartisipasi dalam demo yang dilakukan oleh

paguyuban petani desa Tegalmade, yang dibantu oleh petani dari desa lain dengan

alasan kekecewaan bersama dan solidaritas. Seperti pernyataan berikut ini :

“Saya sebenarnya tidak ada keinginan untuk berdemo, namun hanya

berniat menegur, namun karena teman-teman mengajak untuk melakukan

demonstrasi ke Kecamatan, akhirnya saya ikut membendung saluran

irigasi setempat, serta ikut rapat di gubug sawah yang kemudian kami

semua merencanakan demo yang menuntut perajin alkohol menghentikan

aksi membuang limbah mereka langsung kesaluran irigasi, tapi kalau

masnya tadi Tanya siapa ketua paguyuban petani, ya tidak ada mas, kami

hanya kumpul-kumpul saja, biasanya kalau ada masalah kami hanya

mewakilkan saja, memang kalau secara struktur tidak ada mas, Cuma

kumpulan kalau makan siang saja” (Pak Harjosuwito, Polokarto,

Mojolaban, Sukoharjo, 2 Februari 2013)

Itulah kedua pihak utama yang saling terlibat konflik ini, dimana

perseteruan pokok terjadi antara masyarakat perajin alkohol dan petani setempat

khususnya mereka yang tinggal di desa Tegalmade karena merupakan wilayah

utama yang terkena dampak dari limbah yang dihasilkan oleh perajin alkohol

setempat.

Page 90: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 90

c) Masyarakat desa mojolaban selain petani dan perajin

Masyarakat setempat, yang merupakan warga desa Mojolaban, selain

mereka yang berprofesi sebagai perajin alkohol dan petani setempat, cukup

memiliki peran dalam menjaga keseimbangan hubungan yang terjadi antara petani

desa Tegalmade, dan perajin alkohol di dusun Sentul. Masyarakat yang rata-rata

berprofesi sebagai pedagang, pegawai swasta, dan PNS ini cukup terkoordinasi

dengan baik dalam hal meredam konflik yang terjadi didaerah ini. Karena sebagai

pihak yang ikut terlibat dalam konflik ini, masyarakat setempat selalu menjaga

keharmonisan kedua belah pihak, seperti dengan mengundangnya dalam acara

hajatan, bahkan ikut menegur perajin yang membuang limbah sembarangan,

terutama bila ketahuan membuangnya dipinggir jalan. Bahkan, warga setempat

bersepakat bahwa bila ada yang membuang limbah ke saluran irigasi, maka proses

produksi alkohol harus ditutup total. Seperti yang infroman nyatakan :

“Begini mas, kalau sampai ada perajin yang masih membuang limbah

sembarangan, ya terpaksa mas, kami akan tutup mas tempat usahanya,

bahkan perajinnya harus mulai dari awal lagi, karena warga sini sudah

tidak mengkehendakinya untuk berproduksi lagi (Pak Anto, Mojolaban, 22

Febaruari 2013)

Walaupun masyarakat setempat sudah ikut beperan sebagai kontrol sosial

dari perajin, namun masih saja ditemui perajin yang masih nekat membuang

limbah langsung ke saluran irigasi.

“Itu mas, ada perajin yang namanya sama seperti saya mas, Sukino, tapi

kelakuan jelas beda mas, dia itu masih sering sekali mas buang limbah

disaluran irigasi, parah mas, dulu sempat ditegur sama warga sini, tapi

masih aja sering, biasanya malam hari mas, kasihan yang petaninya

mas”(Pak Sukino, Mojolaban, 23 Februari 2013)

Page 91: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 91

Demikianlah peran warga setempat sebagai pihak yang utama dalam

konflik yang berfungsi untuk menjaga keharmonisan hubungan antara kedua

pihak utama yang sedang berkonflik tersebut.

2. Sudut Pandang dan kepentingan pihak yang terlibat

Dalam penelitian ini, kita dapat mengetahui bahwa dari aktor yang

terlibat, yaitu perajin alkohol dan petani setempat, khususnya petani dusun tegal

made, terdapat perbedaan sudut pandang dan kepentingan yang cukup terlihat.

Seperti beberapa pendapat dibawah ini yang menegaskan hal tersebut.

a) Pihak Perajin Alkohol

Perbedaan kepentingan dan sudut pandang selalu menjadi hambatan

sulitnya sebuah resolusi dari pihak yang berkonflik untuk dicetuskan, hal in juga

berlaku di konflik yang terjadi di Kecamatan Mojolaban ini.Pihak perajin alkohol

merasa bahwa konflik telah selesai dan tidak ada lagi pertentangan yang terjadi di

antara petani dan perajin sejak beberapa kesepakatan yang sebelumnya telah di

tandatangani.Lagi-lagi, faktor ekonomi turut disalahkan dalam konflik ini.

Sebagian besar perajin alkohol merasa bahwa limbah tidak mencemari lingkungan

karena ketika mereka membuang limbah ke desa lain seperti Tasikmadu dan

Wonogiri, sawah malah menjadi semakin baik dan subur, dimana perajin

menganggap bahwa ketimpangan ekonomi salah satu penyebab konflik ini.

Seperti pernyataan salah seorang perajin berikut ini :

Page 92: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 92

“Itu gara-gara mereka iri aja kok, limbah sebenarnya ga ngaruh ke petani,

kalau memang ngaruh, mestinya sejak orang tua saya dulu sudah diprotes,

Konflik juga sudah selesai kok mas, sudah tidak ada marah-marahan lagi,

kita disini hidup rukun kok, ga ada masalah lagi, lihat aja, kalau pas

pengajian setelah nggodok, petani terkadang juga ikut” (Pak Maarif,

Mojolaban, 25 Januari 2013)

Salah satu informan lain juga mengatakan hal yang sama, yaitu perajin

merasa lebih makmur dan berkecukupan daripada petani, yang beliau lebih

melihat ke aspek geografis karena membandingkan dua dusun bersebelahan yang

dibatasi oleh Dam Colo Timur tersebut, seperti pernyataan dibawah ini :

“Mungkin, karena iri mas,kita lebih makmur begitu mas, jadi emang

timpang, coba masnya liat di Tegalmade, dan disini, pasti beda,

Sudah...sudah, itu sudah selesai, karena kemarin setelah pembuatan IPAL

sudah nggak ada lagi yang namanya protes petani didaerah ini”(Pak

Mujimin, dusun Sentul, Mojolaban, 18 Februari 2013)

Informan lain juga menganggap bahwa limbah mereka tidak menganggu

sawah, dan masih menganggap faktor ekonomi adalah penyebab utama, bahkan

beliau menyatakan bahwa konflik hanya disebabkan kesalahpahaman saja, seperti

penuturan berikut ini :

“Halah itu Cuma karena salah paham kok mas, dari petani Tegalmade

yang kerja disawah saya, itu karena ekonomi yang kurang merata aja,

media itu berlebihan mas, ga seperti itu kok konfliknya, cukup sederhana,

kami ketemu, runding di Kecamatan, trus dibikinkan IPAL, kemudian

selesei mas, yang dikatain media itu ga ada yang benar” ( Pak Tri,

Mojolaban, 21 Februari 2013)

Selain disebabkan oleh perbedaan secara ekonomi yang dialami oleh

kedua belah pihak yang berkonflik, perajin juga menegaskan bahwa faktor

efisiensi dan tingkat keekonomisan usaha juga menjadi salah satu aspek yang

sangat mereka perhatikan. Hal ini terkait dengan keuntungan yang mereka

dapatkan ketika melakukan proses produksi seperti yang telah dijelaskan di bab

Page 93: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 93

sebelumnya, yaitu 100 liter tetes tebu yang jadi alkohol kurang dari 25 persen,

yaitu sekitar 20 liter, dan hanya 10 liter yang dapat diproses menjadi alkohol

berkadar 90 persen, sehingga perhitungan biaya, termasuk biaya pembuangan

limbah juga diperhatikan. Sebagian perajin adalah industri kecil yang tidak

berpikir dampak secara lingkungan dalam memperlakukan limbahnya, dan hanya

berfikir mengenai keuntungan semata. Seperti yang dinyatakan oleh salah seorang

informan berikut ini :

“Wah, saya biasa buang limbah di saluran irigasi mas, karena tau sendiri

kondisi kita mas, pesanan tidak selalu ada, alternatifnya ya kita bikin jadi

ciu itu mas, kalau ciu kan tetes tebu yang terpakai lebih banyak, apalagi

saya tidak usah membayar orang yang biasanya ambil limbah keliling itu

mas, semakin banyak mas keuntungannya, biasanya malam mas saya

buang ke saluran belakang rumah”(Pak Mujimin, 18 Februari 2013)

Kepentingan dan sudut pandang yang berbeda itulah yang membuat perajin selalu

merasa tidak bersalah ketika membuang limbah mereka di kawasan irigasi

setempat.

b) Pihak Petani

Pihak petani sebagai pihak yang menerima akibat dari limbah yang

dibuang sembarangan tersebut, memiliki penjelasan yang cukup logis dan masuk

akal, dimana mereka dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana limbah

mencemari lahan pertanian mereka, seperti pernyataan salah satu responden

berikut ini :

“Itu karena limbah yang dibuang berlebihan mas, jadi misalnya harus

masuk IPAL yang lama, nah yang lama itu ga berfungsi, jadi karena ga

berfungsi, perajin buang langsung ke sawah, padahal limbahnya masih

kental dan panas, kan ga kuat mas kalau akar padi kena limbah itu. Kalau

masalah konflik, buat saya ya belum selesei mas, karena sayamasih merasa

Page 94: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 94

dirugikan, liat saja ini (menunjuk saluran irigasi), masih merah kan mas,

mungkin sebagian besar manut sama pak Sabaryono, tapi oknum yang

nekat itu lho mas, bikin mangkel”( Pak Kentut, Mojolaban, 5 Februari

2013)

Sementara itu, salah seorang petani lain menyatakan tentang proses bagaimana

limbah dari perajin merusak lahan pertanian mereka, yaitu harus dilakukan

pengendapan sebelumnya untuk mengurangi kadar kimiawinya sehigga tidak

berbahaya bagi lahan pertanian, seperti pernyataan informan berikut ini.

“Nah, memang ngga merusak mas, kalau di endapkan dulu, paling ga

seminggu, fungsi IPAL lama kan gitu mas, jadi seminggu setelah dibuang

kesana, baru kita buka salurannya,jadinya limbah udah dingin, malah bisa

jadi pupuk mas, malahan temen saya yang di Tasikmadu tiap Minggu

ambil limbah kesini buat pupuk. Kalau konflik, sebenarnya udah selesai,

tapi ada beberapa perajin yang masih nekat, kita mau negur juga takutnya

bikin masalah baru mas nanti, jadi kita ingatkan pelan-pelan saja, saya rugi

mas kalau begini terus” (Pak Temon, Mojolaban, 5 Februari 2013)

Kerusakan sawah yang terjadi banyak disebabkan oleh oknum perajin

yang biasanya beraksi pada malam hari untuk membuang limbahnya langsung ke

saluran irigasi.Seperti pada pernyataan salah satu responden berikut ini.

“Itu gara-gara ada oknum yang suka membuang limbah mas, terutama di

malam hari, dulu pas IPAL masih berfungsi, biasanya di endapkan dulu,

baru dibuang, tapi biasanya langsung dibuang tanpa diendapkan, makanya

bikin sawah peneliti rusak semua, masa baru tanam sehari langsung layu,

itu ga bener kan mas, apalagi kalau malam hari, banyak yang buang kesini

mas, apalagi yang namanya SKN itu mas(mennyebut nama pelaku), kalau

malam malah pakai mobil pikap buang kesini mas. Dulu sih sempet damai,

mungkin menurut mereka sudah selesai, tapi karena masih banyak oknum

yang buang sembarangan, peneliti masih sedikit anyel mas, udah ada IPAL

baru mbok ya dibuang disana”(Pak Harjosuwito, Mojolaban, 2 Februari

2013)

Dari sudut pandang kedua pihak yang sedang berkonflik, kita dapat

melihat perbedaan yang cukup timpang, dimana sudut pandang pihak perajin lebih

condong menganggap bahwa konflik telah selesai, serta menganggap bahwa

Page 95: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 95

selain persoalan limbah yang disebabkan oleh penuhnya IPAL lama, persoalan

ekonomi menjadi salah satu penyebab utama dari konflik ini, dimana ekonomi

yang tidak merata menjadi salah satu penyebab utama konflik ini. Selain itu,

menurut perajin sendiri konflik telah selesai, karena dari pihak petani sudah tidak

ada lagi gerakan protes, serta pembuatan IPAL baru dianggap telah menyelesaikan

masalah karena sudah ada sarana pengolahan limbah yang dapat mengolah limbah

menjadi pupuk dalam waktu yang singkat,tidak seperti IPAL lama yang

membutuhkan waktu seminggu untuk melakukan proses pengendapannya.

Sedangkan, pendapat berbeda dilontarkan oleh pihak petani, dimana

sebenarnya penyebab persoalan utama adalah IPAL yang sudah penuh dan tidak

bisa lagi menampung limbah dari perajin alkohol, sehingga limbah langsung

mengalir ke lahan pertanian dan menyebabkan padi yang baru di tanam layu dan

tidak bisa berkembang, bahkan menyebabkan perkembangan yang terlalu cepat,

sehingga sebelum menghasilkan bulir padi, padi tersebut sudah mati, tanpa motif

lain selain hal tersebut. Pembuatan IPAL yang baru pun masih menyisakan

masalah bagi para petani, karena masih ada saja oknum dari perajin yang

membuang limbah mereka ke saluran irigasi, terutama di malam hari, sehingga

dari pihak petani belum terdapat penyelesaian konflik yang berarti, karena

keberadaan oknum yang masih membuang limbahnya sembarangan tersebut,

selain itu mandeknya pembuatan IPAL baru yang digadang-gadang akan menjadi

jalan keluar dari konflik yang berkepanjangan ini juga membuat semakin

rumitnya permasalahan yang terjadi, dan memungkinkan timbulnya isu

Page 96: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 96

baru.Inilah perbedaan sudut pandang konflik dari kedua pihak yang telibat

konflik.

3. Hubungan antar pihak yang terjadi dalam konflik tersebut

a) Hubungan Aliansi

Dalam konflik ini kita akan melihat beberapa hubungan antar aktor yang

berbentuk aliansi atau hubungan berupa kerjasama dalam hal mendukung konflik

ini. Dari data yang diperoleh dilapangan, hubungan aliasi yang dapat kita lihat

adalah :

1) Aliansi petani setempat

Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa petani dari beberapa desa yaitu

Karangwuni, Pranan, Polokarto, dan Tegalmade sebagai pihak utama, sama-sama

saling mendukung ketika terjadinya demo yang melibatkan petani di kantor

KecamatanMojolaban beberapa waktu lalu. Alasan kuat yang menjadikan mereka

beraliansi karena mereka sama-sama dirugiukan dengan limbah yang dibuang

sembarangan tersebut, terlebih petani tegalmade yang berada cukup dkat dan

terkena dampak langsung dari pembuangan limbah tersebut.Bahkan, dengan

kuatnya aliansi antar mereka membuat semua kegiatan aksi dari konflik yang

bertujuan memprotes perajin alkohol ini sejalan dan seragam. Beberapa

pernyataan yang membuktikan hal tersebut adalah :

“Kami waktu itu rapat mas, di gubug sawah, kita juga ngajak teman-teman

petani dari Polokarto, Karangwuni, dan Pranan yang sama-sama nyawah

di Tegalmade sini, kan sama-sama ngerasa rugi to mas, sampai peneliti

sendiri rugi 15 juta mas karena nanem kok gak jadi-jadi gitu mas, akhirnya

kita merencanakan untuk nggruduk ke kantor KecamatanMojolaban mas

Page 97: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 97

biar suara kami didengar sama MuspikaKecamatan, sehingga bisa selesai

ini mas permsalahannya”(Pak Temon, Tegalmade, Mojolaban, Sukoharjo,

5 Februari 2013).

Pernyataan ini diperkuat dengan informan lain yang menyatakan bahwa

petani desa Tegalmade adalah pihak yang memberikan pengaruh dan pembangun

aliansi dengan petani desa lainnya.

“Kami waktu itu, di teriakin mas sama temen-temen dari tegalmade, mau

ngajak makan bersama katanya, tapi setelah kami ke gubug sawah, malah

ngomongnya masalah limbah itu mas, terus pada mau rencana demo ke

Kecamatan, peneliti mau aja mas, kan sama-sama petani yang dirugikan

mas, walaupun sawah saya agak jauh, tapi kena juga dampaknya, tanah

jadi gembur sekali mas, tidak bisa ditanamin”(Pak Harjosuwito, Polokarto,

Mojolaban, Sukoharjo, 2 Februari 2013)

2) Aliansi antara petani desa Mojolaban dan masyarakat setempat

Aliansi yang cukup kuat juga terjadi antara petani desa Mojolaban dengan

masyarakat setempat, dimana mapenelitirakat setempat bahkan mengaku bersatu

dengan petani untuk memerangi pembuangan limbah sembarangan ke saluran

irigasi, karena selain merugikan petani yang memang cukup dekat dengan warga

sekitar, hal tersebut cukup membuat bau tidak sedap, dan rusaknya tanah liat yang

biasa diambil warga setempat sebagai bahan baku pembuatan batu bata. Seperti

beberapa pernyataan berikut ini:

“Ya, kalau kita sih emang agak tidak suka mas dengan oknum perajin

alkohol yang nekat membuang limbah ke saluran irigasi mas, ya karena

baunya ga enak, bikin batu bata peneliti tidak bisa jadi mas, karena tanah

jadi gembur dan tidak bisa liat seperti biasanya, sehingga bikin proses

lebih lama karena keringnya juga lama mas, yang kasihan tuh petani itu

mas, sampai ada yang nunggak bayar sewa sawah mas ke pak lurah,

karena limbahnya itu mas, wong sudah ada IPAL kok masih buang

sembarangan” ( Pak Darmo, Gang Bakung, Sentul, Mojolaban, Sukoharjo,

19 Februari 2013)

Page 98: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 98

Bahkan,salah seorang warga lain juga mengeluhkan bau yang sangat

menyengat dari limbah yang biasanya dibuang pada malam hari di lingkungan

setempat.

“Wah, kacau mas, apalagi yang namanya Sukino itu mas, kalau buang ga

tanggung-tanggung, berdrum-drum, apalagi kalau malam, kita mau tidur

baunya ga enak sekali mas, jadi mengganggu sekali, sampai harus pakai

masker mas, yang kasihan ya petani itu to mas, susah-susah nanamnya,

tapi gampang banget rusaknya, ya itu senjatanya, limbah ciu., itu mas, kita

warga disini juga sampai bikin spanduk mas, di sebelah kanan masjid itu”

(Pak Anto, 18 Februari 2013)

3) Aliansi Paguyuban Perajin Alkohol dengan Perajin alkohol

Paguyuban perajinalkohol memiliki aliansi yang cukup dekat dengan

perajin alkohol, dimana aliansi ini lebih bersifat hubungan organisatif, yang

mengarah pada musyawarah untuk mencapai keputusan guna membendung

konflik yang ada, selain itu setiap tindakan dari perajin yang akan disampaikan

serta melibatkan pihak petani secara komunal, akan melalui paguyuban untuk

menyempaikannya dengan cara yang baik, dimana paguyuban ini diketuai oleh

pak Sabaryono.Hal tersebut tercermin dalam beberapa pernyataan dibawah ini.

“Wah, kalau masalah itu kita hubungannya sama paguyuban mas,

khususnya pak sabar mas, kalau sudah masalah konflik seperti itu, dulu

kalau pas konflik itu paguyuban yang organisir kita mas, mereka kasih

tanda dan keputusan yang harus diikuti oleh perajin disini mas, kalau ga

ikut keputusan itu ada sanksinya juga mas nanti”(Pak Maarif, Mojolaban,

28 Januari 2013)

Itulah perbedaan antara proses koordinasi petani dan perajin yang sangat

timpang, dimana perajin benar-benar bisa mengkoordinir komunitas mereka

menjadi sebuah kekuatan yang baik dan berkelanjutan.

Page 99: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 99

a) Hubungan yang terancam

Perajin alkohol memiliki hubungan yang terancam dengan warga sekitar

Mojolaban, terutama dalam hal mengingatkan dan menegur secara halus, serta

dalam mengharmoniskan hubungan antara perajin alkohol dan petani, salah

satunya dengan mengundang perajin alkohol dan petani ke dalam sebuah acara

hajatan yang akan membuat perajin dan warga sekitar harmonis.

“Kami sering menegur perajin yang ketahuan membuang limbah ke

irigasi, terutama malam hari mas, karena kesepakatan disini bila hingga

ketahuan petani, bisa-bisa usaha alkoholnya ditutup selamanya mas,

sehingga daripada seperti itu kami tegur saja sembari mengingatkan

mas”(Pak Dede, Mojolaban, 27 Februari 2013)

Hubungan yang baik juga ditunjukkan oleh salah seorang perajin, yang

menyatakan bahwa hubungan warga dan perajin cukup baik dan saling

mendukung guna penyelesaian konflik ini.

“Iya mas, kami sering menghadiri acara resepsi nikahan yang biasa

diadakan warga sekitar mas, memang mereka sering menegur, tapi kami

rasa kan kita juga hidup bermasyarakat, walau ga begitu kenal, tapi kami

ya manut mas, biar ga ada demo-demo lagi mas, walaupun saya kadang

masih ngeyel” (Mujimin, 17 Februari 2013)

b) Hubungan antar pihak yang terputus

Hubungan antar pihak yang terputus tentu saja dialami oleh aktor utama

dalam konflik ini, yaitu perajin alkohol dan petani setempat, bahkan higga saat ini

dari pihak petani sendiri masih belum mau benar-benar menuntaskan

permasalahan yang ada, dimana hal ini disebabkan karena oknum perajin yang

masih membuang limbahnya secara sembarangan. Seperti pernyataan berikut ini:

Page 100: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 100

“Pas wonten tabrakan motor teng mriki (Tegalmade) sing korban e anake

perajin, tak ben ke wae mas, ora tak tulungi, kulo ngenteni petani liyane

sing terus nyeluk uwong saka Sentul mriku, bar kuwi kulo lan petani

liyane nggeh nyawah maneh” (Ketika ada kecelakaan motor disini yang

korbannya anak perajin, peneliti biarkan saja, tidak saya tolong, saya

menunggu petani lainnya yang kemudian memanggil orang dari desa

sentul, lalu saya dan petani lain ke sawah lagi) (Pak Temon, Desa

Tegalmade, Mojolaban, 5 Februari 2013)

c) Perubahan Hubungan Yang Terjadi Antar Aktor

Perubahan hubungan antar aktor utama yang terlibat cukup terlihat jelas

disini, yaitu antara petani dan perajin alkohol, salah satunya dengan petani yang

tidak menolong salah seorang korban kecelakaan motor yang merupakan anak

perajin setempat. Seperti pernyataan dibawah ini :

“Ketika ada kecelakaan motor disini yang korbannya anak perajin, saya

biarkan saja, tidak saya tolong, saya menunggu petani lainnya yang

kemudian memanggil orang dari desa sentul, lalu saya dan petani lain ke

sawah lagi”(Pak Temon, Desa Tegalmade, Mojolaban, 5 Februari 2013)

Itulah salah satu pernyataan yang menggambarkan hubungan antar aktor

utama, yaitu petani dan perajin alkohol setempat, dimana hubungan mereka retak

karena masalah konflik limbah tersebut, hingga kedua belah pihak tidak mau lagi

saling menyapa dan saling memberikan pertolongan karena perbedaan kubu yang

ada. Sedangkan, dari pihak perajin sendiri juga menyatakan bahwa :

“Nggih mas, waktu itu saya lewat di jalan Tegalmade itu saja saya salami

tidak di jawab mas, malah ngrasani mas, sepertinya ngrasani perajin mas

karena saya juga dengar sayup-sayup mas, jadi dari peraji sendiri

mendingan kalau ingin ke jalan besar mending cari jalan muter mas

daripada lewat Tegalmade” (Pak Mujimin, Mojolaban, 5 Februari 2013)

Demikianlah perubahan yang terjadi dalam hubungan antar aktor utama yang

terlibat konflik di Desa Mojolaban, Sukoharjo.

Page 101: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 101

BAB IV

PERIODE KONFLIK TAHUN 2010-2011

Pada tahun 2010, benih-benih konflik sudah mulai terlihat, namun belum

begitu tampak dikarenakan pada periode ini, pendekatan secara kekeluargaan

masih dikedepankan oleh masyarakat setempat.Tahapan pra konflik terjadi pada

tahun 2010, dimana di tahun itu, sekelompok petani melakukan silaturahmi dan

protes secara kekeluargaan kepada perajin alkohol yang nekat membuang limbah

mereka ke saluran irigasi setempat.Semua pihak informan memaparkan hasil yang

sama, yaitu konflik mulai terbuka pada tahun 2010. Dimana pada saat itu petani

melakukan kunjungan ke rumah pak Sukino, serta beberapa perajin lain yang ada

didaerah tersebut, seperti penuturan salah satu informan :

“Ya waktu itu kami habis magrib mas, sehabis sholat di masjid, kami

bertamu mas, pertama ke rumah pak Sukino mas, kami muter mas waktu

itu, ke beberapa rumah, kami waktu itu menuturkan bahwa kami merasa

terganggu dengan limbah yang dibuang secara sembarangan ke saluran

irigasi, waktu itu belum terlalu parah mas, cuma agak bikin tanaman

kering aja mas, karena IPAL lama waktu itu masih bisa difungsikan walau

tidak maksimal mas”(Pak Kentut, Mojolaban, 19 Februari 2013)

Sewaktu dilakukannya hal tersebut, perajin berjanji tidak akan membuang

limbahnya sembarangan lagi ke saluran irigasi, dimana hal ini ditanggapi secara

positif oleh para petani, dan usaha ini cukup efektif untuk mencegah perajin

membuang limbahnya ke saluran irigasi setempat. Namun, hal ini hanya bertahan

selama beberapa Minggu, dan akhirnya perajin membuang lagi limbahnya ke

Dam Colo Timur yang mempengaruhi sawah di empat desa sekitarnya, seperti

penuturan salah satu informan ini :

Page 102: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 102

“Sempat sih mas, waktu itu perajin sempat tidak membuang limbahnya di

kawasan irigasi, tapi Cuma bertahan beberapa Minggu mas, jadi waktu itu

saya sedang nyawah kan mas, tiba-tiba ada aliran air bewarna hitam pekat

yang berjalan ke sawah saya, ya itu, mas mereka buang lagi di saluran

irigasi mas, lak percuma kan mas waktu itu kita bilang baik-baik sama

mereka mas, ga ada perubahan juga mas” (Pak Temon, Mojolaban, 18

Februari 2013)

Dimana petani pada saat itu tidak lagi melakukan protes karena air dari

limbah milik perajin belum mempengaruhi pertanian mereka, sewaktu itu mereka

masih bisa bertani dengan baik, dan tingkat konsentrasinya belum sebanyak ketika

mereka memprotes secara kekeluargaan pada perajin. Karena beberapa perajin

masih menaati kesepakatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Namun,

semakin lama, limbah yang dihasilkan semakin pekat dan berbau, dikarenakan

sebagian besar perajin telah melanggar kesepakan tersebut, dimana sebagian besar

perajin kembali ke kebiasaan lama mereka untuk membuang limbahnya ke saluran

irigasi setempat, karena melihat teman-teman mereka yang lain melakukan hal

yang sama.Dari penuturan beberapa informan yang berasal dari berbagai

kalangan, kita dapat menyimpulkan bahwa secara kronologis, dinamika konflik

yang terjadi didaerah dimulai pada tahun 2010, yang menurut petani disebabkan

karena IPAL yang lama sudah tidak berfungsi, dan petani mulai menegur perajin

alkohol yang ketahuan membuang limbahnya secara sembarangan di saluran

irigasi, namun tidak digubris karena terjadi berulang-ulang.

Pada tahapan ini, konflik masih berupa teguran-teguran yan dilakukan

oleh pihak petani, serta belum mengarah ke kofrontasi, sehingga secara hubungan

yang terjalin, masih baik-baik saja dan belum terdapat masalah serius.Berdasarkan

Page 103: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 103

data tersebut, kita dapat melihat peta konflik yang sesuai dengan gambar dibawah

ini :

Karena padi yang ditanam oleh petani mulai mengering dan rusak, pada

akhirnya petani menyadari bahwa limbah berdampak sangat buruk terhadap

perkembangan padi mereka. Hal ini membuat petani akhirnya melakukan aksi

lanjutan pada bulan April 2010, dimana petani yangberasal dari Tegalmade, yaitu

desa yang paling parah terkena dampak dari pembuangan limbah secara

sembarangan ini, mendatangi perajin yang terpergok sedang membuang

Hubungan yang kuat

Pihak yang terlibat

Hubungan yang terancam

Petani

Mojolaban

Perajin

Alkohol desa

Mojolaban

Warga desa

Mojolaban

(diluar petani

dan perajin)

Gambar 4.1. Peta Konflik Periode Awal, bulan April-Desember 2010. Sumber :

Dokumentasi Peneliti

Page 104: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 104

limbahnya secara sembarangan, dan sewaktu itu petani masih menegurnya secara

baik-baik dan mengedepankan unsur kekeluargaan. Pada periode ini, kerusakan

yang dihasilkan oleh pembuangan limbah ini cukup kentara dan mulai terlihat

dengan jelas. Karena tidak adanya perubahan dari perilaku perajin, petani yang

tergabung dalam paguyuban petani Mojolaban akhirnya melakukan aduan secara

besar-besaran, dengan melibatkan puluhan petani ke rumah pak Sabaryono. Hal

ini terjadi pada bulan Desember 2010, karena banyak sekali padi dari petani

tersebut yang rusak karena limbah yang dibuang sembarangan, bahkan beberapa

hektar sawah puso, salah satunya sawah milik pak Temon yang membuat beliau

mengalami kerugian sebesar 15 juta rupiah, seperti yang diungkapkan oleh salah

satu informan:

“Sewaktu itu, airnya semakin pekat mas, bau lagi mas, kalau kena kaki

terasa panas mas, berarti kan itu kadar limbahnya sudah tinggi sekali

pasti mas,makanya kita kemudian ngobrol sama beberapa petani habis

nyawah, bagaimana langkah selanjutnya, apalagi sawah saya waktu itu

ikutan puso mas, setiap hari ke sawah, padi saya jadi tambah kecil dan

rusak mas, seperti kepanasan mas, istilahnya “mblonyoh” mas, layu

semua, terus kita akhirnya ramai-ramai sama petani lain pergi kerumah

pak Sabar langsung mas untuk protes masalah ini mas”(Pak Temon, 18

Februari 2013)

Akhirnya petani melakukan protes langsung ke rumah pak Sabar, yang

kemudian di tindak lanjuti dengan memberikan penyuluhan dan sosialisasi tentang

bahaya membuang limbah di saluran irigasi di acara pengajian yang dilakukan

pada hari kamis malam, dengan di saksikan oleh beberapa perwakilan petani dari

dusun Tegalmade yang mengalami kerusakan lahan pertanian. Paska sosialisasi,

jumlah limbah yang dibuangsempat berkurang, walau hanya bertahan beberapa

bulan seperti yang terjadi bulan-bulan sebelumnya. Petani sempat puas dengan

Page 105: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 105

apa yang dilakukan pak Sabar dengan menegur langsung perajin yang membuang

limbahnya secara sembarangan, seperti pernyataan salah satu informan berikut ini:

“Waktu itu saya ikut datang mas waktu pengajian, saya ikutan

menyaksikan bagaimana pak sabaryono mengarahkan petani untuk tidak

membuang limbah, dan itu cukup efektif mas, selama sekitar sebulan dua

bulan kita bisa bertani tanpa limbah pekat dan bau menyengat lagi mas,

tapi ternyata kemudian sama aja mas, tetep aja limbah dibuang

sembarangan mas, tapi bedanya ini buangnya malam hari mas, banyak mas

yang dibuang, sampai beberapa drum sekali buang”(Harjosuwito,

Mojolaban, 28 Januari 2013)

Melihat kenyataan bahwa perajin tetap membuang limbah ke saluran

irigasi dalam kurun waktu dua bulan setelah sosialisasi, petani akhirnya

kehilangan kesabaran menghadapi perajin yang semena-mena dalam membuang

limbahnya ke saluran irigasi setempat.

Pada Februari 2011, petani kembali mendatangi pak Sabaryono, karena

efek dari limbah ini sudah semakin meluas, dan merusak tidak hanya mereka yang

bertani di dusun Tegalmade, namun limbah sudah mengalir hingga Karangwuni,

Pranan, hingga Polokarto yang sebenarnya cukup jauh dari dusun Sentul sendiri.

Karena tidak mendapat tanggapan dari pihak perajin alkohol, petani mulai

melakukan peringatan melalui paguyuban petani kepada paguyuban perajin

alkohol, namun menurut perajin, konflik terjadi karena adanya rasa iri dari petani

melihat perajin alkohol memiliki ekonomi yang cukup makmur, sangat berbeda

dengan kondisi mereka. Hal ini didasarkan karena sejak berdirinya industri ini,

pada jaman Keraton Surakarta, dan telah diwariskan turun-temurun tidak pernah

terjadi padi puso karena limbah alkohol, dan puso karena limbah alkohol baru

terjadi dua tahun terakhir ini, sehingga menurut perajin pernyataan petani tersebut

Page 106: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 106

tidak wajar dan disebabkan karena faktor ekonomi yang timpang. Selain itu,

petani dari daerah Karanganyar malah meminta perajin mengirim limbahnya ke

sawah mereka, bahkan beliau merasa limbah yang dibuang telah netral dan aman

padahal kenyataannya limbah hitam dan berbau menyengat.

Akhirnya, pada bulan itu petani dari empat dusun melakukan koordinasi,

dan melapor kembali kepada pak Sabar, namun ketika itu cara yang digunakan

sudah dalam bentuk protes, tanpa menunjukkan rasa kekeluargaan seperti protes-

protes sebelumnya. Petani menuntut adanya kejelasan peraturan yang harus di

terapkan, dimana waktu itu belum ada sanksi yang tegas bagi perajin yang masih

membuang limbahnya di kawasan irigasi setempat. Usaha ini membuahkan

hasil,yang lalumemunculkan kesepakatan baru yang menuntut adanya denda bagi

perajin yang melanggar, sekaligus pemasangan plang-plang guna memperingatkan

perajin yang masih membuang limbahnya ke saluran irigasi. Namun, pada

akhirnya kebijakan denda yang sempat diberlakukan pun tidak berjalan, karena

tidak adanya monitoring yang baik dari semua pihak, baik dari paguyuban perajin

maupun dari petani setempat. Karena, biasanya para perajin membuang limbahnya

dimalam hari, sehingga cukup sulit untuk diawasi. Seperti penuturan salah

seorang informan ini :

“Saya biasanya buang limbah malam hari mas, jam-jam 11 kalau tidak

malah jam 3 pagi mas, biar ga ketahuan sama petani mas, kan nanti

dimarahi kalau saya buangnya asal-asalan, kalau saya sekali buang ya 3

sampai 4 drum mas, tergantung produksi saya waktu buang mas, tapi ya

mau gimana mas, mau dilempar ke IPAL mahal mas, 8000 perdrum itu aja

belum tentu ada mobilnya mas, la terus kalau pas libur mau ditaruh mana

limbahnya mas?”(Pak Mujimin, Mojolaban, 21 Februari 2013)

Page 107: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 107

Dalam beberapa bulan, petani setempat sempat mengalami beberapa kali

puso, namun mereka sudah kehilangan akal untuk menghadapi perajin yang

memang nakal dan tidak mau mengindahkan saran yang sebelumnya telah

disepakati bersama, sebagian besar petani memilih untuk tidak menanam dan

memilih pekerjaan alternatif lain, seperti buruh bangunan dan membantu

saudaranya yang ada di pasar, seperti seperti pernyataan salah seorang informan :

“Saya waktu itu sempat puso mas, tapi mau bagaimana lagi mas, wong

kita sudah mentok mas waktu itu, capek mas mikir sawah kita ini,

beberapa bulan gabisa panen, tanem sekarang besok sudah layu mas, parah

pokoknya, saya waktu itu bantu-bantu jadi tukang batu di perumahan mas

buat biaya hidup sehari-hari, tapi ya akhirnya kami mikir mas, semua

harus disudahi mas, terus kita koordinasi untuk demo yang bulan

Desember itu mas”(Pak Harjosuwito, Mojolaban, 28 januari 2013)

Itulah yang terjadi pada petani di bulan Februari menuju bulan Desember

2011, dimana setelah itu petani mulai kehilangan kesabaran dan akhirnya

melakukan koordinasi untuk mendemo perajin alkohol secara langsung, dimana

mereka yang berasal dari Tegalmade kemudian mengajak petani dari dusun

Pranan, Karangwuni, dan Polokarto untuk saling mendukung. Kemudian pada 23

Desember 2011, dilakukan lah demo dengan skala cukup besar menuju dusun

sentul, yang dimulai dari gubug sawah ke arah perajin, yang lalu petani

melakukan orasi dengan cara berjalan sambil meneriakkan yel dan tuntutan

mereka terhadap perajin di dusun sentul.

Page 108: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 108

Gambar 4.2.Mobilisasi Massa pada Demo Petani, 23 Desember 2013.Sumber :www.

solopos.com, petani menuntut perajin berhenti membuang limbah sembarangan,

edisi 24 Desember 2011

Gambar. 4.3. Longmarch pada demo petani desa mojolaban, 23 Desember 2011.

Sumber: www. solopos.com, petani menuntut perajin berhenti membuang limbah

sembarangan, edisi 24 Desember 2011

Page 109: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 109

Melihat naiknya intensitas konflik diatas menuju arah yang lebih tinggi,

akhirnya kita mendapatkan peta konflik yang sesuai dengan kejadian diatas,

gambaran peta tersebut dapat kita lihat seperti berikut :

Namun demo yang dilakukan pada Desember 2011 ternyata tidak

diindahkan oleh perajin,sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa upaya resolusi

konflik pada periode 2010-2011 gagal dalam meredam konflik yang terjadi.

Bahkan, peta konflik secara periode pun menjadi semakin rumit dan kompleks,

dengan terlibatnya pihak yang sebelumnya tidak ikut andil dalam konflik ini.

Gambar 4.4.Peta Konflik Periode Konfrontasi, Desember 2011.Sumber :

Dokumentasi Peneliti.

Hubungan yang kuat

Hubungan yang agak dekat

Hubungan yang terancam

Hubungan yang terputus

Arah pengaruh

Perajin

Alkohol

Petani

Tegalmade

Warga desa

Mojolaban

Pranan Karang-

wuni Polo-

karto

Page 110: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 110

Dari beberapa penjelasan secara kronologis diatas, kita dapat melihat

bahwa upaya manajemen konflik ini pun gagal dilaksanakan untuk meredam

konflik yang ada, dimana dalam beberapa perundingan yang dilakukan antara

kedua pihak aktor yang berkonflik mengalami jalan buntu.Pada periode konflik

2010-2011 ini, kegagagalan yang terjadi lebih disebabkan karena tidak adanya

pihak yang me-mediasi konflik yang terjadi, sedangkan secara struktur kita sudah

dapat mengalisa tidak adanya hubungan yang baik antara kedua belah pihak, serta

adanya hambatan dalam hal relasi juga membuat sulitnya menyatukan kedua

belah pihak dalam sebuah kesepakatan bersama. Dimana konflik baru mencapai

level Informal problem solving, yaitu penyelesaian konflik secara mandiri oleh

mereka yang terlibat konflik secara langsung, sehingga tingkat keberhasilan

konflik pun masih cukup rendah untuk diselesaikan dengan cara ini menilik

kompleksitas permasalahan yang terjadi antara kedua belah pihak yang sedang

berkonflik.

Namun, sekali lagi upaya ini gagal dilaksanakan karena tidak adanya

kerjasama secara kuat antar pihak yang berkonflik, walaupun pihak ketiga dari

unsur Muspika Kecamatan sudah turun tangan dalam menyelesaikan konflik ini.

Page 111: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 111

BAB V

PERIODE KONFLIK TAHUN 2012-2013

Dalam waktu beberapa bulan, tidak ada lagi perajin yang membuang

limbah keDam Colo Timur. Namun, tiba-tiba pada awal bulan Juli petani menutup

saluran irigasi dengan tanah. Lagi-lagi, karena adanya oknum perajin yang

membuang limbah sembarangan, pada Kamis, 12 Juli 2012 petani dari empat

dusun, yaitu Karangwuni, Tegalmade, Pranan, dan Polokarto melakukan long

march ke arah dusun Sentul yang merupakan sentra produksi alkohol dengan

membentangkan spanduk anti “badek” yang merupakan sebutan untuk limbah

alkohol.

Seperti yang telah diperkirakan sebelumnya, terjadi demo besar-besaran

oleh petani dari empat desa di Kecamatan Mojolaban hingga hampir terjadi baku

hantam. Dimana demo di awali dengan menutup saluran irigasi yang menjadi

sarana pembuangan limbah utama bagi para perajin alkohol, namun karena musim

kemarau, petani akhirnya membuka kembali saluran irigasi yang sebelumnya

ditutup dengan tanah, lalu petani melaporkan pada pak lurah, yang kemudian pak

lurah menemui paguyuban perajin alkohol untuk meminta penjelasan. Akhirnya

mereka ditemui oleh Muspika Kecamatan setempat yang lalu menanggapi usulan

dan saran dari pendemo. Pada bulan Agustus 2012, media massa mulai

mempublikasikan konflik tersebut, maka MuspikaKecamatan sebagai pihak yang

memiliki wewenang di wilayah ini, memanggil kedua belah pihak dengan

undangan tertulis untuk berunding, yang disaksikan oleh perwakilan dari kedua

Page 112: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 112

kubu tersebut. Perundingan yang terjadi antara kedua kubu dengan Muspika

sebagai penengah akhirnya menghasilkan beberapa keputusan, yaitu :

a) Pembatasan jumlah perajin sesuai dengan kapasitas IPAL, dengan

metode pendataan tungku destilasi, hasil pendataan itulah yang

akan menjadi patokan jumlah perajin maksimum, dimana bila ada

perajin yang berniat menambah tungku destilasi, harus melalui

sistem jual beli, dengan cara, bila seorang perajin memiliki tiga

tungku destilasi, kemudian perajin tersebut ingin mengembangkan

usahanya, dengan cara menambah jumlah menjadi empat tungku,

maka perajin tersebut harus membeli tungku dari perajin lain yang

memiliki tungku lebih banyak, dan tungku perajin yang sudah

dibeli harus dimatikan selamanya.

b) Pembuatan IPAL baru yang pendanaan serta tendernya diatur oleh

badan lingkungan hidup Kabupaten Sukoharjo, yang akhirnya

konstruksinya dimenangkan kontraktor asal Singapura dengan

sistem pengolahan yang dibuat oleh Australia, dimana hasil dari

pengolahan air limbah akan diolah menjadi pupuk cair yang bisa

dibeli oleh petani dengan harga murah

Page 113: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 113

c) Penetapan biaya pengangkutan limbah ke IPAL yang baru, sebesar

8000 rupiah per drum limbah, serta penetapan biaya iuran kepada

perajin alkohol sebesar 600 ribu rupiah per tungku yang dimiliki

untuk membeli tanah yang digunakan untuk pembuatan IPAL yang

baru

Dari pihak penengah sendiri, yaitu pak Budi selaku Camat Mojolaban

yang baru saja menjabat mulai tahun 2011 lalu, beliau tidak begitu mengetahui

secara persis permasalahan yang terjadi. Namun, beberapa waktu lalu beliau

sempat pergi ke tempat perajin untuk mensosialisasikan larangan membuang

limbah sembarangan apalagi di saluran irigasi, karena ketika turun ke lapangan,

yaitu ke daerah Mojolaban serta Polokarto yang merupakan dusun perajin alkohol,

beliau hanya memberikan saran untuk tidak membuang limbah ke saluran irigasi,

bahkan diakui beliau bila masih banyak oknum yang masih membuang limbahnya

ke saluran irigasi. Kondisi yang terjadi tersebut dapat dipetakan sesuai dengan

gambar berikut ini :

Page 114: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 114

Keterangan Gambar :

: Hubungan antar pihak yang kuat

: Arah Pengaruh

: Hubungan yang terputus

: Menandakan aliansi kerjasama antar pihak

: Menandakan Konflik Utama

Petani

Tegalmade

Perajin Alkohol

Pranan Karang

wuni

Polokar

to

Masyarakat Desa

Mojolaban Mediator Konflik

(Muspika Kecamatan)

Gambar 5.1. Peta Periode Krisis 2012. Sumber : Dokumentasi Peneliti

Page 115: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 115

Kalau menurut cerita camat sebelumnya, yaitu bapak Sumaryoto, yang

sekarang belum bisa ditemui karena ada suatu keperluan.Persoalan ini bermula

karena perajin membuang limbahnya langsung ke saluran irigasi, tanpa melalui

IPAL yang memang sudah penuh dan kurang perawatan dari dinas setempat serta

berakibat pada rusaknya beberapa hektar lahan produktif khususnya di desa

Tegalmade. Pak Sumaryoto sempat melakukan diskusi dengan perajin dan petani,

yang dilaksanakan pada bulan Juli 2012 lalu, yaitu teknisnya dengan memberikan

undangan kepada pak Sabaryono, yang bertindak sebagai ketua paguyuban serta

kepada kumpulan petani yang sedang berkumpul, ketika hari perundingan

memang situasi sempat memanas karena kedua belah pihak membawa banyak

massa, bahkan dari pihak petani sampai berhenti nyawah untuk melihat

perundingan tersebut. Namun, akhirnya masalah selesei dengan ditandatanganinya

MoU (Memorandum of Understanding)pada 17 Juli 2012 dari kedua belah pihak

seperti yang telah dijelaskan diatas.

Maka, sebagai camat yang baru, beliau memiliki tugas untuk memastikan

suksesnya pembangunan IPAL baru ini, dimana setelah dilakukan perudingan

tersebut, beliau langsung berkoordinasi dan mendatangkan ahli dari Kemeneg

Lingkungan Hidup yang mau melakukan cek lapangan untuk proyek pembuatan

IPAL, untuk mengetahui tingkat ke-idealan, serta cek lapangan sekaligus

pendataan terhadap produksi limbah perharinya guna menentukan kapasitas dan

bentuk yang tepat. Setelah hasil keluar, beliau lalu menyampaikannya pada BLH

KabupatenSukoharjo, kemudian BLH (Badan Lingkungan Hidup) yang

menindaklanjuti hasil tersebut. Dari pihak BLH sendiri kemudian melakukan

Page 116: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 116

kajian, bekerjasama dengan perangkat Kecamatan setempat, mengusahakan

tempat terbaik dan strategis, hingga dilakukan sistem tender yang dimenangkan

kontraktor asal Singapura dan System Engineer dari Australia, tender tersebut juga

dibantu dari Jakarta termasuk pendanaannya. Namun, kemudian pihak Muspika

mengubungi Pak Tri dan Pak Sukino, dan beberapa warga lain untuk

mensosialisasikan pembuatan IPAL sekaligus pembelian tanah milik mereka,

yang ditanggung oleh perajin, sehingga pemerintah hanya membiayai secara

teknisnya, namun tanahnya tidak, maka perajin diharuskan iuran sebesar 600 ribu

per tungku untuk menutup biaya pembelian tanah tersebut.

Pengelolaan IPAL yang sedang dalam proses pembangunan pun menurut

beliau sangat menguntungkan perajin, karena ketika mereka membuang limbah

kesana, maka akan di konversi ke pupuk cair yang dikalengkan dan

pengelolaannya akan dibicarakan lebih lanjut oleh paguyuban. Dengan

konsekuensi perajin harus membeli tanah yang sedang dalam proses

pembangunan IPAL sebesar 600.000 perperajin disesuaikan dengan besarnya

industri yang dimiliki, serta biaya angkut limbah sebesar 8000 per drumnya.

Menurut perajin, konflik telah dianggap selesai, karena kedua belah pihak sudah

lama tidak bertemu di meja perundingan, dan telah diselesaikan di tingkat

kelurahan dan Kecamatan dengan mediator pak lurah dan MuspikaKecamatan

oleh perwakilan masing-masing pihak beberapa waktu lalu. Kesepakatan baru dari

kedua pihak adalah mendata jumlah tungku/alat produksi yang ada, dan

menetapkan jumlah tersebut untuk seterusnya, sehingga perajin tidak boleh

menambah kapasitas produksinya dengan menambah tungku, dan cara

Page 117: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 117

alternatifnya adalah membeli tungku perajin lain, sehingga jumlah limbah dan

produksinya tetap.

Dengan berjalannya kesepakatan diatas, interaksi masyarakat didesa Mojolaban

sudah mulai berangsur normal, bahkan dari pihak perajin pun menganggap

konflik telah usai. Gambaran pemetaan pada periode paska kesepakatan:

: Hubungan antar pihak yang kuat

: Arah Pengaruh

: Menandakan aliansi kerjasama antar pihak

: Menandakan Konflik Utama

: Hubungan agak dekat

: Hubungan sementara yang belum terjadi sebelumnya

Petani

Tegal

made

Perajin

Alkohol

Warga Desa

Mojolaban

Pra

nan

Karan

gwuni

Polok

arto

Moderator Konflik

(Muspika

Kecamatan)

BLH KABUPATEN

SUKOHARJO

Gambar 5.2. Peta Periode Akibat 2012. Sumber : Dokumentasi Peneliti.

Page 118: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 118

Namun,pada bulan Maret 2013 terjadi kembali demo besar-besaran yang

kemudian membuat kedua belah pihak yang berkonflik kembali berunding,lagi-

lagi karena tidak berjalannya kesepakatan yang telah disepakati oleh kedua belah

pihak.Pada Maret 2013 lalu, terjadilah demo besar-besaran yang menuntut perajin

alkohol untuk tidak membuang limbahnya ke saluran irigasi setempat. Perajin

mulai melakukan pembuangan limbah secara sembarangan yang lalu merusak

sawah milik petani setempat, dan menyebabkan puso untuk kesekian kalinya.

Demo ini tidak hanya melibatkan masyarakat dari desa Karangwuni, Pranan,

Polokarto, dan Tegalmade, namun melibatkan juga warga setempat yang sama-

sama dirugikan oleh oknum perajin yang membuang limbahnya sembarangan dan

menyebabkan air sumur keruh, berbau dan sekaligus mematikan usaha batu bata

yang sangat bergantung pada tanah liat yang menjadi sangat gembur karena

limbah perajin.

Sebenarnya, pihak perajin sudah berniat membuang limbahnya ke IPAL

yang baru saja dibuat, bahkan sebagian besar perajin telah mempersiapkan

angkutan berupa tanki yang bisa digunakan kapan saja untuk membuang limbah

ke IPAL, seperti yang dinyatakan oleh pak Priyo ini :

“ Nggih, kami ini sebagai perajin ya punya tanggung jawab mas, salah

satunya ijin yang harus diperpanjang setiap lima tahun sekali, dengan

membayar lima juta rupiah ke pemerintah daerah, lalu kemudian dari ijin

tersebut juga ada poin yang mengarahkan kita untuk tidak merusak

lingkungan mas, malah setiap Minggu orang dari BLH (Badan

Lingkungan Hidup) mengecek kesini mas sekarang sejak demo yang

kemarin itu (17 Maret 2013), dan sekarang perajin sudah mempersiapkan

tanki mobil yang siap membawa limbah kapanpun ke IPAL yang baru itu,

kami sempat membuang kesana beberapa kali mas, tapi ternyata bocor lagi

ke saluran irigasi, padahal saya sudah bayar lunas mas biayanya, judeg

mas jadi perajin, katanya sudah jadi tapi ternyata 50 persen saja menurut

Page 119: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 119

saya belum ada itu mas, gatau tu yang di atas bagaimana menganggarkan

uangnya, akhirnya limbah kita buang ke bengawan solo mas tiap malam

biar ga merugikan petani, kami takut mas nanti jadi perkara lagi dan bisa-

bisa digebukin kalau ketahuan”(Pak Priyo, Mojolaban, 20 Maret 2013)

Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya dari pihak perajin sudah terdapat

sebuah upaya kooperatif yang bertujuan mencari resolusi dari konflik yang ada,

salah satunya dengan pengadaan tangki pembuangan limbah tersebut.Bahkan,

seorang informan mengaku telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk

membuat IPAL yang bisa dikatakan sebagai salah satu sarana resolusi konflik.

Selain itu, adanya agen yang menyalurkan limbah ke daerah-daerah yang

membutuhkan juga direspon positif oleh perajin alkohol yang tidak ingin

membuang limbahnya ke saluran irigasi setempat, seperti salah satu pernyataan

informan berikut ini :

“Itu gara-gara IPALnya belum jadi mas, ya karena belum jadi itu saya jadi

ngeluarin uang lebih banyak untuk membuang limbah ke Bengawan Solo,

kalau enggak ke daerah Wonogiri sana mas, ada agennya mas sekarang,

katanya kalau dijual lagi mahal mas limbah kita itu, pengerjaannya nggak

jelas kok mas, orang Kecamatan bilang kalau masih dalam tahap awal, tapi

kok ga dilanjutkan, padahal saya sudah bayar mahal mas buat IPAL itu”

(Pak Maarif, Mojolaban, 22 Maret 2013)

Demikianlah pernyataan beberapa perajin yang diwawancarai oleh

peneliti,dimana dari pernyataan tersebut, didukung oleh beberapa informan lain

dapat dilihat bahwa penyebab yang paling krusial adalah belum jadinya IPAL

baru yang pengerjaanya tidak jelas hingga sekarang, sehingga membuat perajin

sebagai pihak yang paling membutuhkan IPAL tersebut tersendat dan tidak bisa

secara efektif membuang limbahnya. Hal ini sangat mengecewakan perajin karena

dalam dokumen perpanjangan usaha mereka, ada poin keputusan bahwa IPAL

adalah prioritas utama penyelesaian masalah limbah di wilayah ini, dan lembaga

Page 120: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 120

pemerintah terkait sudah mewajibkan perajin membayar uang sejumlah 800ribu

per tungkunya.

Bahkan, yang paling mengecewakan pihak perajin, pihak BLH (Badan

Lingkungan Hidup)KabupatenSukoharjo terkesan angkat tangan mengenai

masalah ini, karena bila dari paguyuban menghubungi pemerintah Kabupaten,

selalu alasan sibuk lah yang di keluarkan Kabupaten bila sudah ditanyai masalah

IPAL oleh pihak perajin sebagai pihak yang paling dirugikan. Berikut foto contoh

surat ijin usaha yang dimiliki oleh salah seorang perajin :

Gambar 5.3.Surat ijin usaha alkohol yang menandakan legalitas usaha.

Sumber: Dokumentasi peneliti

bahkan terjadi sebuah indikasi masalah baru yang dinyatakan oleh

berbagai pihak, baik dari kalangan perajin, petani, serta warga setempat, seperti

pernyataan berikut ini :

Page 121: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 121

“Sebenarnya perajin itu sudah mau membuang limbahnya ke IPAL yang

baru itu mas, tapi ternyata IPALnya belum jadi mas, dan ga ada

kelanjutannya sampai sekarang mas, malahan proyeknya terkesan mandek

mas, padahal dari pihak Kecamatan sendiri pas pertemuan tahun lalu itu

sudah bilang mau selesaikan pembangunan IPAL ini mas, gatau uangnya

kemana padahal habisnya hampir satu miliar mas, biasanya perajin

sekarang membuang limbahnya ke bengawan solo, di bawa malam-malam

pakai pakai truk tanki mas”(Pak Saman, 29 Maret 2013)

Pernyataan ini mengindikasikan adanya sebuah pandangan baru

dikalangan masyarakat setempat yang menganggap buruknya pengelolaan dalam

pembuatan IPAL yang baru, dan adanya upaya perajin untuk melakukan aksi

sendiri guna mengurangi dampak dari konflik ini, bahkan seorang perajin juga

mengeluhkan buruknya pengelolaan pembangunan IPAL yang dinyatakan dengan

tidak berlanjutnya proyek IPAL tersebut, seperti penyataan berikut ini :

“Wah, itu ruwet mas masalahnya, sebenarnya intinya satu mas, kenapa

kok IPALnya belum jadi-jadi itu mas, padahal sudah satu tahun mas

jalannya, tapi ga pernah dibangun lagi mas, gatau tu uangnya kemana mas,

padahal kalau ditotal-total 800 juta murni buat bikin IPAL tanpa tanah

harusnya cukup mas” (Pak Salib, 28 Maret 2013)

Buruknya pengelolaan proyek IPAL juga cukup menganggu warga sekitar

yang menjadikan sumur sebagai sumber utama kebutuhan air sehari-hari, yang

sebelumnya sempat tercemar sumurnya dengan limbah dari perajin alkohol,

dengan pembangunan IPAL baru warga berharap masalah konflik dan lingkungan

yang selama ini terjadi dapat ditanggulangi. Seperti pernyataan salah satu

informan berikut ini :

“Parah mas, sumur saya kena semua mas, dulu airnya kotor sekali mas pas

perajin membuang limbah kental dan hitam mas, malahan bau ciu itu mas,

tapi sementara ini sudah adem ayem, tapi tidak tahu juga nanti gimana

mas, IPALnya aja belum jadi tu mas, padahal pembangunanya sudah dari

tahun lalu” (Pak Atmosuwito, 30 Maret 2013)

Page 122: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 122

Dengan melihat beberapa pernyataan diatas, kita dapat menyimpulkan

bahwa indikasi isu korupsi dana pembangunan IPAL cukup mencuat dikalangan

perajin, petani bahkan warga sekitar yang mengetahui mengenai rencana

pembuatan IPAL tersebut. Semua pihak bersepakat bahwa satu-satunya solusi

adalah IPAL yang dapat menjadi peredam konflik limbah yang telah berlangsung

bertahun-tahun. Isu korupsi ini cukup santer terdengar dikalangan informan yang

peneliti wawancarai, karena mereka menduga pihak Kecamatan sebagai pihak

penengah ikut bermain dalam penyelewengan dana pembangunan IPAL yang

seharusnya sudah selesei akhir tahun 2012 lalu, dan seharusnya sekarang sudah

berfungsi dengan baik, serta menghasilkan pupuk kaleng yang akan dijual pada

kalangan petani dengan harga murah. Namun, dari pihak Kecamatan memiliki

pendapat lain :

“ Kalau untuk pembangunannya, pihak Kecamatan tidak mengurusi mas,

tapi yang membangun itu koordinasi antara BLH(Badan Lingkungan

Hidup) dan kementrian lingkungan hidup, mulai dari kontraktor hingga

material mereka yang urusin mas, kita Cuma mantau saja, sehingga aliran

dananya gimana, kita gatau mas, karena tidak diberi laporannya” (Pak Bob

Sudino, Kepala Pol PP Mojolaban, 1 April 2013)

Walaupun isu korupsi uang pembangunan IPAL cukup santer berkembang

dikalangan masyarakat, namun pihak Kecamatan mengaku tidak tahu-menahu

masalah aliran dana pembuatan IPAL, karena di handel langsung oleh pihak

Kabupaten dan dinas terkait. Namun memang warga didaerah ini sering laporan

kesini, tetapi pihak Kecamatan sudah menjelaskannya terhadap warga yang

mempertanyakan hal tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa proses

pembangunan IPAL tidak tersosialisasikan dengan baik.

Page 123: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 123

Karena membuang limbah dengan tanki mengurangi keuntungan perajin,

masih banyak oknum perajin yang membuang limbahnya langsung ke saluran

irigasi. Dengan jumlah perajin yang semakin banyak, dan oknum yang membuang

limbah sembarangan semakin berlipat, maka air irigasi menjadi sangat hitam dan

pekat, hal ini didukung dengan cuaca yang cukup panas ketika peneliti melakukan

penelitian, sehingga limbah menjadi kental dan tak larut dengan air. Fenomena ini

menyebabkan kerusakan yang sangat serius, dimana padi tiba-tiba berkembang

tanpa bulir yang membuat petani puso kesekian kalinya, namun kali ini lebih

parah, karena mencapai puluhan hektar luasnya, kentalnya limbah yang tidak

terurai oleh air ini juga merembes ke sumur warga Tegalmade, yang dimana

sumur di daerah tersebut menjadi hitam dan rusak, serta tak layak konsumsi,

dikarenakan desa Tegalmade terdapat di persimpangan irigasi yang membawa

limbah cukup banyak setiap harinya.

Gambar 5.4.Kondisi Saluran irigasi ketika menjelang sore hari.Sumber :

Dokumentasi peneliti

Page 124: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 124

Gambar 5.5.Perbandingan air tanpa limbah dan yang telah tercemar limbah.

Sumber: Dokumentasi peneliti

Melihat hal tersebut, maka pada awal Minggu, sekitar tanggal 11 maret

2013, pak Saman selaku pihak yang memiliki pengaruh cukup besar bagi petani

dan warga Tegalmade, mulai berkoordinasi dengan dinas terkait, seperti polisi,

badan lingkungan hidup Sukoharjo, serta Kecamatan dan kelurahan setempat dan

meminta ijin untuk melakukan demo dengan sanksi cukup ekstrim bagi perajin

nakal. Pak Saman dan perwakilan warga meminta ijin untuk melakukan

pembetonan saluran irigasi yang bertujuan mengentikan aliran limbah yang

mengalir keluar dusun Sentul, dengan harapan limbah tidak tersebar ke area

persawahan dan desa Tegalmade. Pihak terkait pun mengijinkan aksi yang

merupakan kolaborasi antara petani setempat dan warga desa Tegalmade ini, yang

kemudian dengan kas dari paguyuban petani serta iuran warga Tegalmade, pak

Saman serta perwakilan warga membeli material berupa semen dan pasir.

Page 125: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 125

Pak Saman mulai beserta petani desa Tegalmade berkoordinasi dengan

dinas terkait, seperti polisi, badan lingkungan hidup Sukoharjo, serta Kecamatan

dan kelurahan setempat ia berdiskusi dengan pihak tersebut untuk melakukan

demo pada perajin alkohol yang masih nekat membuang limbah ke saluran irigasi.

Pak Saman dan beberapa warga meminta ijin untuk melakukan pengecoran

saluran irigasi yang bertujuan mengentikan aliran limbah yang mengalir keluar

dusun Sentul, dengan harapan limbah tidak tersebar ke area persawahan dan desa

Tegalmade. Pihak terkait pun mengijinkan aksi yang merupakan kolaborasi antara

petani setempat dan warga desa Tegalmade ini, yang kemudian dengan kas dari

paguyuban petani serta iuran warga Tegalmade, pak Saman serta perwakilan

warga membeli material berupa semen dan pasir.

Gambar 5.6.Penutupan saluran limbah milik perajin dengan cor beton.Sumber :

Dokumentasi peneliti

Page 126: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 126

Mulai hari kamis tanggal 14 Maret 2013, petani dan warga Tegalmade,

melakukan pengecoran di 4 titik yang terdiri dari pintu air dan saluran utama dari

dusun Sentul ke desa Tegalmade, dan membuat limbah tidak bisa mengalir

dengan baik. Karena pembendungan ini, bendungan menjadi penuh dan pihak

perajin yang tidak ikut membuang limbah sembarangan sempat lapor kepada

Kecamatan, namun pihak Kecamatan sudah memberikan ijin kepada para petani

dan warga Tegalmade untuk melakukan demonstrasi pada hari Minggu nanti.

“Sudah mas, sudah ijin mereka, kemarin beberapa masyarakat kesini untuk

minta ijin demo dan sudah saya berikan mas ijinnya, kan demo juga salah

satu cara mengaspirasikan pendapat kan mas” (Pak Bob Sudino, Kepala

Satpol PP Mojolaban, 1 April 2013)

Gambar 5.7.Cor beton untuk menutup saluran limbah yang menuju ke sawah.

Sumber: Dokumentasi peneliti

Page 127: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 127

Akhirnya, pada hari sabtu 16 Maret 2013, para petani dan warga dusun

Tegalmade melakukan koordinasi di acara arisan dusun Tegalmade untuk

melakukan demo kepada para perajin pada hari Minggu esok, 17 Maret 2013.

Pada pagi hari di hari Minggu, 17 Maret 2013, Petani dan Warga yang

sudah berkumpul di desa Tegalmade langsung berjalan menuju dusun Sentul

dengan membawa spanduk bertuliskan “ petani menangis, lingkungan menjerit,

karena badex (limbah alkohol)”.

Gambar 5.8.Demo Limbah pada 17 Maret

2013Sumberhttp://images.joglosemar.co/2013/03/180313-MUR-DEMO-CIU.jpg,

diakses pada 2 April 2013.

Dengan membawa spanduk tersebut, petani dan warga Tegalmade berjalan

menuju dusun sentul dengan meneriakkan yel-yel anti badek yang dipimpin oleh

pak Saman sebagai “koordinator” demontrans. Mereka berkeliling dari satu gang

Page 128: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 128

ke gang lainnya dengan tujuan mendapatkan perhatian oknum perajin yang masih

membuang limbahnya sembarangan.

Gambar. 5.9. Demo pada 17 Maret 2013

.Sumber:http://www.solopos.com/2013/03/17/demo-petani-3-388609, diakses pada 2

April 2013.

Demo yang dilakukan pada 17 Maret 2013 ini akhirnya berakhir di

Kecamatan Mojolaban dengan jalan moderasi yang dilakukan oleh Muspika

setempat, dengan disaksikan oleh perwakilan petani, perajin dan warga setempat,

yang kemudian dengan moderasi oleh pak Bob, disepakati beberapa poin

kesepakatan, yaitu :

Page 129: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 129

a) Semua pengrajin alkohol tidak boleh membuang limbah badek ke saluran

irigasi,

b) IPAL lama harus di bongkar karena sudah tidak berfungsi, karena ketika

limbah masuk maka ketika keluar masih dalam bentuk limbah kental

c) Penertiban perajin mengenai perijinan yang dimilikinya, karena banyak

sekali perajin liar yang menjamur akhir-akhir ini, oleh KPPT dan

SATPOL PP KabupatenSukoharjo yang dibantu oleh BLH (Badan

Lingkungan Hidup)Sukoharjo untuk membantu mengecek baku mutu

limbah yang menentukan kadar kimiawi limbah tersebut

d) Satgas Kecamatan Mojolaban untuk mengecek dan memberikan masukan

pada BLH (Badan Lingkungan Hidup)Sukoharjo, sekaligus menangkap

bagi perajin alkohol yang melanggar dan diserahkan pada Polisi.

Demikianlah kesepakatan yang dilakukan oleh pihak perajin dan

perwakilan petani serta warga desa Tegalmade yang disebabkan oleh demo pada

17 Maret 2013 lalu. Namun hingga peneliti melakukan penelitian pada 1 April

2013 lalu, kesepakatan ini belum ditandatangani oleh kedua belah pihak, karena

belum ada konfirmasi dari kedua belah pihak untuk mengirimkan perwakilannya.

Sedangkan, pemetaan konflik dari priode ini, dapat kita lihat pada gambar berikut

ini :

Page 130: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 130

Menunjukkan Konflik yang

lebih kecil

Menunjukkan arah pengaruh Hubungan yang kuat

Aliansi Antar

Aktor

Menunjukkan Pihak yang

terlibat

Menunjukkan Konflik Utama

Gambar 5.10.Pemetaan Kondisi terakhir paska terjadinya akibat konflik 2013.Sumber :

Dokumentasi Peneliti

Warga

Desa

Mojolaban

Perajin Alkohol

- Perajin kecil

- Perajin

Menengah

- Perajin Industri

Petani

Tegalmade

Petani Polokarto Petani Karangwuni Petani Pranan

Page 131: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 131

Setelah perdamaian yang dilakukan sekian lama, maka konflik mencapai

sebuah babak baru yang cukup mempengaruhi Perundingan kesepakatan konflik

.Dimana menurut analisis Fisher, tahapan ini sudah mencapai puncak dari

ketidaksinambungan antara hambatan konflik, walaupun secara struktur,

kompleksitas yang mencapai kepada perdamaian sudah sangat dipenuhi, bahkan

penyelesaian yang melibatkan pemerintah telah dilakukan.Namun, tampaknya

dari segi marjinalisasi, sebuah lubang menganga terbentuk pada hubungan antar

pihak yang berkonflik, bahkan mulai melibatkan warga sekitar sebagai pihak yang

sebelumnya tidak terseret pada konflik yang ada.Judicial approachyang dilakukan

oleh pihak-pihak dan wakil rakyat dengan pendekatan regulasi, termasuk

SATPOL PP serta POLISI dan Jajaran KPPT sudah dilakukan, secara teori

seharusnya konflik sudah dapat diredam.Resolusi konflik yang dilakukan oleh

beberapa pihak untuk meredam konflik lagi-lagi gagal. Dimana, upaya kedua

yang pernah dilakukan untuk meredam konflik ini adalah perundingan antara

perwakilan petani dan perajin yang di mediasi oleh pihak Kecamatan setempat,

sebenarnya langkah besar yang dilakukan ini cukup berhasil, karena mampu

meredam konflik antara perajin alkohol dan petani desa Mojolaban.

Selain itu langkah ini juga cukup mampu mengidentifikasi berbagai

persoalan yang menghadang dalam setiap upaya yang sebelumnya dilakukan.

Secara struktur, kita dapat melihat peran pihak ketiga yang menambah dinamika

konflik yang ada, sehingga secara struktur kita dapat melihat ada sebuah

kelengkapan dalam memahami hambatan-hambatan konflik yang ada, dimana

salah satunya adalah relasi yang terputus antara kedua belah pihak yang sedang

Page 132: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 132

berkonflik, serta isu yang sudah semakin tampak jelas. Tahapan ini sudah

mencapaiMediation, yang penyelesaian konflik dengan cara melibatkan pihak

ketiga sebagai penengah, yang sangat membantu kedua belah pihak untuk

memahami faktor-faktor diatas. Kemudian berkembang lagi menjadi tahapan

konflik yang menuju Executive dispute resolution approach, dengan masuknya

dinas lingkungan hidup wilayah Sukoharjo.

Demikianlah langkah yang pernah dilakukan oleh kedua belah pihak untuk

menyelesaikan konflik ini, namun konflik tampaknya belum sepenuhnya selesai,

karena dari pihak perajin masih membuang limbah disaluran irigasai secara diam-

diam seperti yang dilakukan salah satu infroman peneliti, yaitu pak Mujimin, serta

adanya konflik laten baru antara warga setempat, bekerjasama dengan petani

untuk mencegah hal tersebut, bahkan warga mengancam akan menutup usaha

perajin yang membuang limbahnya sembarangan selamanya.Fakta yang sangat

menarik, walaupun kesepakatan sudah dibuat, namun kesepakatan dari kedua

belah pihak dalam menaatinya masih sangat sulit untuk dilakukan.

Hingga saat peneliti melakukan observasi pada 1 April 2013 lalu, petani

dan warga belum melakukan pembongkaran bendungan di irigasi, dengan alasan

untuk menjaga kesepakatan tetap berjalan, dari perajin. Dampak dari penutupan

ini, daerah dusun Sentul mengalami banjir kecil di sekitar jalan-jalan desa, dan

meluapnya saluran irigasi yang berisi limbah alkohol. Seperti pernyataan salah

satu informan ini :

Page 133: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 133

“Ini tidak akan saya buka mas, sampai tanda tangan kesepakatannya

selesai mas,dan perajin sudah membuang limbahnya diluar saluran irigasi,

dari empat titik itu, biasanya jalan sentul bakalan banjir mas, tapi biar aja

dirasai ulah mereka sendiri mas sementara ini”(Pak Saman, Koordinator

petani dan warga, Mojolaban, 1 April 2013)

Cor semen yang belum dibongkar dan benar-benar menyebabkan banjir

dan bau menyengat di kawasan perajin di daerah dusun Sentul ini.

Sementara, kondisi terakhir di daerah setempat hingga saat peneliti

melakukan observasi pada akhir batas penelitian, tanggal 3 April 2013 lalu, petani

dan warga belum melakukan pembongkaran bendungan di irigasi, dengan alasan

untuk menjaga kesepakatan tetap berjalan, dari perajin. Dampak dari penutupan

ini, daerah dusun Sentul mengalami banjir kecil di sekitar jalan-jalan desa, dan

meluapnya saluran irigasi yang berisi limbah alkohol. Seperti pernyataan salah

satu informan ini :

“Ini tidak akan saya buka mas, sampai tanda tangan kesepakatannya

selesai mas,dan perajin sudah membuang limbahnya diluar saluran irigasi,

dari empat titik itu, biasanya jalan sentul bakalan banjir mas, tapi biar aja

dirasai ulah mereka sendiri mas sementara ini”(Pak Saman, Koordinator

petani dan warga, Mojolaban, 1 April 2013)

Hingga pada5 April 2013, peneliti masih menemukan cor semen yang

belum dibongkar dan benar-benar menyebabkan banjir dan bau menyengat di

kawasan perajin di daerah dusun Sentul ini.

Page 134: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 134

Gambar 5.10 .Banjir di sepanjang jalan desa yang diakibatkan limbah yang meluap

dari saluran irigasi.Sumber : Dokumentasi peneliti.

Demikianlah konflik yang terjadi di desa Mojolaban ini, dimana secara

realitas, konflik masih terjadi secara massif, bahkan beberapa tempat di desa

Mojolaban terjadi banjir karena belum dibukanya beton penutup saluran yang

dibuat petani beberapa waktu lalu.

Page 135: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 135

Sedangkan, bila kita menilik dari permasalahan konflik secara krionologis

sesuai dengan peta dan pentahapan diatas, Penggambaran pentahapan konflik

yang terjadidapat kita lihat dibawah ini :

KRISIS KRISIS

KONFRONTASI AKIBAT

PRA KONFLIK

2011 Januari-April-

Desember2010

12 Juli-Agust

2012 Feb- Des

2011

Maret 2013

Gambar 5.11.Grafis Pentahapan Konflik berdasarkan Kronologi.Sumber :

Dokumentasi Peneliti

Page 136: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 136

BAB VI

ANALISIS KEGAGALAN RESOLUSI KONFLIK

Tidak bisa dipungkiri, bahwa konflik lingkungan yang terjadi di

KabupatenSukoharjo adalah konflik yang cukup berkepanjangan, serta telah

melalui berbagai tahapan resolusi yang secara teori seharusnya telah

menyelesaikan konflik yang terjadi di daerah ini.Namun, kegagalan yang ada

justru menarik peneliti untuk menelaahnya lebih dalam guna menguraikan benang

kusut yang ada dalam konflik tersebut. Pertama-tama, peneliti akan menjabarkan

bagaimana peran serta pihak yang memiliki wewenang untuk mrngatasi konflik

ini, namun mengalami kegagalan, kemudian peneliti akan mulai menganalisa

sebab kegagalan konflik yang ada, sehingga dapat ditemukan penyelesaian yang

berkelanjutan antara kedua belah pihak yang sedang berkonflik.

A. PIHAK YANG TERLIBAT DALAM MEDIASI

Dari pihak mediator sendiri yang notabene berperan sebagai pihak yang

bertugas mempertrmukan dan membuat kesepakatan antra kedua belah pihak,

dimana pihak yang paling berperan adalah sebagai berikut:

1. MuspikaKecamatan Mojolaban

MuspikaKecamatanMojolaban sangat berperan dalam merekonsiliasi konflik

ini, dimana mereka berperan sebagai orang yang mempertemukan dua pihak

utama ke meja perundingan di kantor Kecamatan beberapa saat setelah terjadinya

konflik tersebut, dan MuspikaKecamatan berkoordinasi dengan tokoh setempat

Page 137: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 137

untuk merundingkan masalah ini dengan aktor utama yang terlibat dalam konflik

ini, perundingan dilakukan semasa camat dijabat oleh pak Sumantoyo. Seperti

dinyatakan beberapa informan berikut ini :

“Iya mas, waktu itu setelah terjadinya demo, MuspikaKecamatan

memberikan undangan kepada pak Sabar yang kemudian dirapatkan secara

musyawarah dirumah beliau dengan mengundang sebagian besar perajin

alkohol, jadi kita bisa tau secara detail gitu mas masalah dan perundingan

penyelesaiannya, akhirnya kami berunding mas di Kecamatan, ramai-

ramai sama yang lain kesana, tapi kemudian selesai kok mas

masalahnya”(Pak Priyo, Desa Mojolaban, 21 Februari 2013

Bahkan guna mensukseskan upaya resolusi konflik yang menuntut

tersosialisasinya kegiatan resolusi ini, pihak MuspikaKecamatan juga mendatangi

petani langsung ke tempat mereka berkumpul.

“ Ya waktu itu kami sedang makan bersama di gubung sawah, kemudian

datang orang dari Kecamatan ngasih seperti undangan begitu mas, terus

kitabaca ramai-ramai, akhirnya kita kirim perwakilan buat perundingan itu

mas , kemudian kita sama teman-teman juga datang buat melihat jalannya

perundingan itu mas, walau sudah dianggap selesei, selama kami masih

dirugikan, masih ada rasa mangkel mas” (Pak Temon, Mojolaban, 5

Februari 2013).

Muspika sendiri bertindak sebagai moderator yang cukup memberikan

pengaruh terhadap konflik ini, dimana sebagian besar keputusan serta kesepakatan

konflik dihasilkan dari adanya Muspika ini.

Page 138: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 138

2. Badan Lingkungan Hidup KabupatenSukoharjo

Tidak bisa dipungkiri, bahwa BLH (Badan Lingkungan Hidup) memiliki andil

yang cukup besar dalam mengkoordinasikan, serta melakukan kajian termasuk

pembuatan proyek IPAL ini, bahkan terjadinya dukungan dari pemerintah dalam

hal dana sebesar 600 juta tidak lepas dari peran BLH ini, seperti yang dinyatakan

oleh camat Mojolaban :

“Itu pas selesei perudingan, salah satu keputusannya kan akan membuat

IPAL baru mas, nah itu BLH yang atur semuanya mas, kita dari

Kecamatan Cuma memberikan saran dan proposal aja mas, tentang

pengembangan dan pemberdayaan desa, trus mulai riset hingga

pembangunan memang yang lebih banyak berperan secara teknis BLH

(Badan Lingkungan Hidup) mas”(Pak Budi, Mojolaban, 25 Februari 2013)

Melihat hal tersebut, kita dapat melihat bahwa BLH (Badan Lingkungan

Hidup) merupakan tokoh eksternal yang memiliki peran cukup besar dalam hal

teknis pembuatan IPAL sebagai salah satu resolusi konflik.

MuspikaKecamatan sebagai salah satu pihak yang paling berpengaruh di

wilayah ini memiliki aliansi dengan kedua belah pihak yang sedang berkonflik,

dimana beliau berperan sebagai penengah dan penyampai suara secara silang antar

pihak utama dalam konflik ini. Hal ini terlihat dari pernyataan

MuspikaKecamatan dan kedua tokoh utama dalam konflik ini:

“ Ya, dahulu saya sering mas mengnjungi daerah petani dan perajin mas,

tujuannya jalin hubungan baik sama mereka mas, sekaligus menjaga

suasana agar lebih kondusif mas, selain itu peneliti juga memantau

pembangunan dari IPAL yang baru itu mas, yang dikerjakan kontraktor

asal Singapura dam Australia mas, biar hasilnya bagus dan bisa jadi

pemecahan masalah konfliknya ini mas, saya juga berkoordinasi dengan

BLH (Badan Lingkungan Hidup)Sukoharjo mas untuk melaporkan setiap

progressnya” (Pak Budi, Mojolaban, Sukoharjo, 25 Februari 2013)

Page 139: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 139

Salah seorang perajin yang ikut dalam konflik ini juga menyatakan hal yang

sama, yaitu adanya undangan dari pihak MuspikaKecamatan yang bertujuanuntuk

meredam konflik yang ada.

“Iya mas, pas setelah demo selesei, kita dikirimin pemberitahuan sama

MuspikaKecamatan untuk berunding masalah ini mas, kemudian kita

datang sama beberapa perwakilan mas buat berunding terus diputusin

bikin IPAL itu mas”(Pak Mujimin, Mojolaban, 20 Februari 2013)

Bahkan, pihak Muspika sebagai penengah konflik juga memberikan

pemeritahuan langsung kepada petani yang menjadi korban dari perajin alkohol

dengan mendatanginya di tempat biasa mereka berkumpul.

“Kami waktu sedang di gubug sawah ada orang dari Kecamatan datang

mas, terus ngasih kayak surat gitu, akhirnya kita kirim perwakilan ke

Kecamatan mas buat perudingan yan diadain sama MuspikaKecamatan

mas waktu itu”(Pak Temon, Mojolaban, 5 Februari 2013)

Camat Mojolaban, Pak Budi sendiri mengaku sebelumnya beliau belum

pernah melakukan hubungan dengan BLH (Badan Lingkungan Hidup)Kabupaten,

karena memang tidak ada kepentingan yang dingin disampaikan, namun karena

konflik yang terjadi sekarang ini, akhirnya pihak Kecamatan dan BLH (Badan

Lingkungan Hidup) saling berkoordinasi untuk mencapai keharmonisan warga,

dan pembuatan IPAL yang mejadi salah satu resolusi dalam konflik ini. Bahkan,

dalam segi teknis pembuatan, higga penentuan lahan Kecamatan dan BLH (

Badan Lingkungan Hidup) turut terlibat aktif, bahkan kedua perwakilan dari

instansi itulah yang aktif mensosialisasikan IPAL kepada masyarakat setempat.

Seperti pernyataan beliau :

Page 140: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 140

“ Kami dari KecamatanMojolaban ngrasa tanggung jawab mas atas

konflik ini, amanah yang di berikan oleh pak Sumartoyo kan membangun

IPAL ini supaya konflik selesai, ya sudah lalu kami berkoordinasi dengan

BLH (Badan Lingkungan Hidup)Sukoharjo, bahkan yang melakukan

survey lapangan dan tender pembuatan juga perwakilan dari BLH juga

mas, jadi memang untuk menyelesaikan konflik ini kita berkolaborasi

mas”(Pak Budi, Mojolaban, 25 Februari 2013).

B. ANALISIS RESOLUSI KONFLIK

Dalam menentukan langkah yang perlu dilakukan, peneliti akan

menggunakan peta konflik yang telah dibuat, sekaligus pentahapan konflik yang

ada untuk menetukan langkah apa yang selanjutnya perlu dilakukan. Dengan

menggunakan pentahapan konflik, kita bisa mengidentifikasi kegiatan yang telah

dilakukan, serta hubungan-hubungan yang mungkin mempengaruhi penyelesaian

konflik dari pihak yang terlibat konflik ini. Dengan analisis jalan pembuka

(Fisher,2000), peneliti akan menggunakan elemen berikut ini untuk mencari jalan

pembuka dari konflik ini, elemen tersebut adalah :

Hambatan : Yaitu mencari faktor hubungan secara spesifik dan pengaruhnya

terhadap konflik yang ada, dimana salah satunya adalah hubungan

yang terjadi antar pihak yang sedang berkonflik, apakah sudah baik

atau masih ada intervensi yang mempengaruhi

Marjinalisasi :Dengan analisis ini, kita akan melihat apakah ada dari kelompok

tertentu yang tidak memiliki hubungan baik dengan pihak yang ikut

terlibat dalam konflik ini, hal ini akan semakin mempermudah kita

dalam mencari jalan keluar nantinya.

Page 141: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 141

Struktur : Dengan struktur ini, kita harus mencari pihak-pihak yang dirasa

dapat bekerjasama untuk meredam dan menyelesaikan konflik ini

secara kontinu.

Isu-isu : Dengan analisis ini,kita akan menguaraikan isu-isu lain yang

muncul dan belum diatasi.

Dengan menggunakan berbagai langkah diatas, kita akan mulai

mengidentifikasi setiap elemen analisisnya dan memberikan solusi sesuai dengan

poin yang ada, dengan tujuan mencapai sebuah analisa pemetaan jalan pembuka

(Fisher,2000) yang baik dan berkelanjutan , yaitu :

1. Hambatan : hubungan antara perajin alkohol, serta petani yang sudah

mulai membaik namun masih menyisakan kebencian dalam hati

petani, serta warga sekitar dapat menyusahkan sebuah resolesi konflik

masuk untuk mengakomodasi keduanya. Hal ini lebih disebabakan

oleh oknum perajin alkohol yang masih nekat membuang limbahnya

kesaluran irigasi setempat.

Strategi : Melakukan interaksi secara berkala melalui forum-forum

resmi, seperti acara hajatan, maupun pertemuan lain yang bersifat

informal, dengan tujuan mempererat solidaritas dan persaudaraan

yang akan berimplikasi pada membaiknya hubungan. Pertemuan

rutin ini dapat diakomodasi oleh Kecamatan sebagai pihak yang

memiliki kekuasaan didaerah ini.

Page 142: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 142

2. Marjinalisasi : Pada konflik di Mojolaban, marjinalisasi terjadi

dikalangan perajin alkohol, dimana warga setempat lebih dekat dengan

petani daripada dengan perajin alkohol, karena memang biasanya

perajin alkohol hanya berinteraksi secara intens dengan teman sesame

perajin.

Strategi : dengan membuat acara yang bersifat kolaboratif, serta

melibatkan semua kalangan masyarakat, yang dapat di

akomodasioleh pihak Kecamatan maupun paguyuban untuk

menghidarkan terjadinya marjinalisasi antara kedua belah pihak

dengan pihak lainnya, diharapkan dengan adanya hal tersebut

oknum yang membuang limbah akan ikut mentaati kesepakatan

yang sebelumnya telah dibuat

3. Struktur : dengan melihat peran Kecamatan dan BLH yang cukup

signifikan, hamper semua permasalahan konflik dapat diselesaikan

oleh kedua instansi ini, namun kurangnya koordinasi dan sosialiasi

menjadi salah satu penyebab tidak berlanjutnya proses perdamaian

Strategi : dengan melakukan kolaborasi, bahkan membentuk tim

pencegah konflik yang berasal dari semua elemen, baik warga,

perajin, maupun petani, akan sangat menguntungkan dalam hal

struktur, karena semua pihak merasa dilibatkan secara intens

dalam penyelesaian konflik ini.

Page 143: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 143

4. Isu : isu lain yang terjadi mungkin ada di kalangan perajin, yaitu isu

ekonomi, hal ini disebabkan karena kurangnya kerjasama dan interaksi

dari kedua elemen masyarakat yang terpisah oleh dam tersebuut,

sehingga isu ini dengan muda mencuat

Strategi : dengan melakukan acara yang melibatkan semua kalangan

masyarakat, serta memanfaatkan momen dimana masyarakat

berkumpul untuk mensosialisasikan penyelesaian dan proses yang

dilakukan oleh pemerintah setempat

Melihat konflik yang terjadi diwilayah ini, uraian diatas mengambarkan

seberapa akutnya masalah yang menjadi penyebab konflik didaerah ini.Bahkan

berbagai fase penyelesaian konflik telah dilalui dengan hasil nol besar, sehingga

salah satu rekomendasi saya dalam pengelolaan konflik ini adalah menggunakan

metode Segitiga resolusi konflik yang dikembangkan oleh pemikiran Johan

Galtung.Galtung merupakan salah seorang penemu teori resolusi konflik

ini.Pemahamannya yang luas mengenai akar-akar kekerasan struktural dan

cultural sebagaiaman telah sedikit disinggung di atas, sangat baik dan berguna

bagi siapa saja yang ingin menggambarkan dan mengembangkan resolusi konflik

secara relational, simetris dan sosiologis.

Page 144: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 144

Gambar 6.1. Segitiga Konflik John Galtung. Sumber : Pengantar Sosiologi Konflik

dan Isu-Isu Kontemporer.

Sedangkan, analisis yang lebih mendetail memenurut teori Segitiga

Konflik Galtung, dalam fenomena yang terjadi di Mojolaban, kita dapat

menggunakan pendekatan perilaku (behavior) persatuan (conciliation) atau

permusuhan (hositility), dimana ketiga komponen ini haruslah disatukan untuk

mencapai sebuah resolusi konflik yang dapat terus berlajut sesuai dengan keaddan

yang ada dilapangan. Pendekatan perilaku disini dapat kita sesuaikan dengan

pemetaan serta tahapan konflik yang sebelumnya telah dilalui oleh kedua belah

pihak, pendekatan perilaku dapat kita analisis dan pelajari dari kegagalan resolusi

yang sebelumnya telah dilakukan, dimana secara perilaku kita dapat

menyimpulkan bahwa perajin alkohol belum mampu membuang limbahnya ke

IPAL yang seharusnya sudah jadi, sehingga memperngaruhi perilaku mereka

untuk membuang limbah langsung ke saluran irigasi setempat, sedangkan dari

pihak petani sendiri hal tersebut menganggu aktivitas mereka dalam menghasilkan

beras.

Page 145: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 145

Perilaku ini perlu kita pahami bersama terutama dalam hal mencari

resolusi konflik terbaik, sebagai masalah utama yang dihadapi oleh semua pihak,

dimana dari data yang tela dikumpulkan kita dapat mengidentifikasi bahwa

masalah utama adalah belum jadinya IPAL yang baru, yang membuat semua

pihak terkena limbah dari industrialkohol ini, pihak mediator perlu menekankan

hal ini sebagai sebuah masalah utama yang menjadi perhatian bersama untuk

menyatukan persepsi, karena sebelumnya pihak mediator hanya berunding tanpa

memberikan kejelasan isu dikarenakan tidak adanya data pendukung, sehingga

kejelasan isu dapat terkuak dengan adanya penelitian ini yang nantinya dapat

disampaikan kepada kedua belah pihak yang berkonflik.

Secara struktur, yang telah diikuti oleh pihak ketiga termasuk pihak

pemerintah yang memiliki pendekatan yudisial, seperti KPPT yang bertugas

mentertibkan oknum perajin tanpa izin, serta SATPOL PP yang bertugas

menyatukan kedua belah yang berkonflik perlu dihadirkan guna mencapai sebuah

upaya perdamaian, yang mengarah ke persatuan. Hostility atau permusuhan juga

dapat disatukan dengan upaya-upaya mediasi kedua belah pihak, dimana hal

tersebut dimaksudkan untuk mencapai sebuah segitiga konflik utuh yang akan

sangat membantu proses perdamaian, dimana isu utama yang membuat

masyarakat berlaku demikian perlu disampaikan, yaitu tidak jadinya

pembangunan IPAL baru yang telah berlangsung selama satu tahun ini. Dengan

penyatuan aspek-aspek struktural segitiga tersebut, diharapkan mampu

meningkatkan kemungkinan perdamaian dari pihak yang berkonflik.

Page 146: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 146

Penyatuan dari segitiga diatas akan mampu menciptakan segitiga baru dalam

hal peace building, peace making, dan peace keeping. Dimana peace building

sangat ditunjang dengan kerjasama mediator, terhadap pihak yang

berkonflik.Peace building dapat dilakukan oleh mediator, yang dalam hal ini

adalah MuspikaKecamatan dengan melakukan acara-acara bersama yang

melibatkan kedua belah pihak yang sedang berkonflik, serta membuat kegiatan

seperti arisan desa dan kerjasama karang taruna setempat untuk menciptakan

acara tertentu, yang mengarah pada pencapaian resolusi yang baik antara kedua

belah pihak yang dipandu oleh Muspika dan BLH (Badan Lingkungan Hidup)

setempat.

Sedangkan proses peace making yang melibatkan pihak-pihak tersebut

dapat dilakukan dengan membuat kesepakatan yang memiliki dasar hokum kuat,

yang secara yudisial diketahui oleh pemerintah KabupatenSukoharjo serta eselon

yang lebih tinggi, perjanjian harus benar-benar disusun secara rigid dan detail

sesuai dengan keadaan lapangan, sehingga setiap pelanggaran yang ada, dasar

untuk menindaknya jelas, karena dari pantauan lapangan sendiri, perjanjian hanya

dibuat di secarik kertas dan tandatangan kedua belah pihak, serta hanya berupa

beberapa butir yang sangat general, sehingga tidak memiliki kekuatan yang cukup

untuk membangun sistem baru dalam peace making ini.Sedangkan, peace

keeping, dapat dilakukan dengan usaha yang melibatkan Muspika, SATPOL PP,

KPPT, serta pihak berwajib untuk melakukan pengontrolan dalam hal distribusi

limbah serta penertiban area setempat, sehingga warga dan petani bisa tenang

dalam melakukan kegiatannya, serta tidak perlu melakukan demo untuk

Page 147: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 147

menghentikannya, karena sudah ada pihak yang memiliki otoritas dalam hal

tersebut.

Demikianlah beberapa saran dalam hal penyelesaian konflik dengan

analisis pemetaan jalan pembuka dengan elemen diatas.Diharapkan dengan

adanya elemen diatas, dapat menjaga keharmonisan yang mulai terbangun di

kawasan tersebut.

Page 148: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 148

BAB VII

KESIMPULAN

Dalam penelitian ini, kita dapat menyimpulkan beberapa hal, yaitu

permasalahan utama dalam konflik ini adalah jumlah limbah yang begitu banyak,

membuat IPAL lama penuh, dan banyak dari perajin ini langsung membuang

limbahnya ke saluran irigasi tanpa melalui IPAL, sehingga membuat tanaman

padi rusak dan tanah menjadi sangat gembur.Sedangkan permasalahan kedua

adalah IPAL baru yang mandek dalam pembangunannya.Hal ini menyebabkan

petani melakukan protes kepada beberapa perajin alkohol setempat.Perbedaan

pandangan ada pada pihak perajin, yaitu para perajin menyatakan bahwa para

petani iri dengan keberhasilan perajin yang lebih makmur daripada petani,

sehingga membuat petani iri dan ingin menjatuhkan usaha para perajin ini,

didasarkan pernyataan tersebut maka perajin tetap dengan santai membuang

limbah mereka ke saluran irigasi, karena merasa sejak ratusan tahun usaha ini ada,

tidak pernah ada kasus padi puso karena masalah limbah, dimana limbah malah

menjadi semacam pupuk yang baik untuk perkembangan padi, pada

perkembangan selanjutnya, keputusan perajin membuang limbah ke irigasi juga

didukung molornya proyek IPAL baru yang rencana akhir tahun lalu sudah

beroperasi.

Kemudian, petani pergi ke tempat pak Sabaryono yang merupakan ketua

paguyuban perajin, lalu ditindak lajuti dengan memasang plang-plang serta

mensosialisasikan nya kepada perajin yang ada di daerah setempat. Menjelang

bulan Juli 2012, karena banyak perajin yang masih nekat, petani menutup saluran

Page 149: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 149

irigasi yang digunakan para perajin untuk membuang limbah mereka. Sempat

terjadi keributan antara petani dan perajin karena perajin tidak bisa membuang

limbah dan harus menyimpannya di drum atau mengirimnya ke daerah lain.

Kemudian, pada tanggal 12 Juli 2012, para petani yang sebelumnya sudah

melakukan rapat koordinasi di gubug sawah setempat, melakukan aksi demo ke

KecamatanMojolaban, yang akhirnya ditemui oleh MuspikaKecamatan, yang

serta merta mengirim undangan tertulis kepada paguyuban perajin alkohol, yang

kemudian dilakukan perundingan antara kedua belah pihak di kantor Kecamatan

dengan mediasi dari MuspikaKecamatan dan pak lurah.Pada akhirnya, setelah

dilakukan mediasi, tercapilah beberapa keputusan penting, yaitu :

a) Pembatasan jumlah perajin, dan jumlah tungku yang ada didaerah

Mojolaban, dimana tungku destilasi akan di data sedemikian rupa, dan

jumlah maksimal tungku hasil pendataan itulah yang akan menjadi

patokan jumlah perajin maksimum, dimana bila ada perajin yang berniat

menambah tungku destilasi, harus melalui sistem jual beli, dengan

teknisnya, bila seorang perajin memiliki dua tungku, kemudian perajin

tersebut ingin menambah jumlahnya menjadi tiga tungku, maka perajin

tersebut harus membeli tungku dari perajin lain yang memiliki tungku

lebih banyak, dan tungku perajin yang sudah dibeli harus dimatikan

selamanya.

b) Pembuatan IPAL baru yang pendanaan serta tendernya diatur oleh badan

lingkungan hidup KabupatenSukoharjo, yang akhirnya konstruksinya

dimenangkan kontraktor asal Singapura dengan sistem pengolahan yang

Page 150: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 150

dibuat oleh Australia, dimana hasil dari pengolahan air limbah akan diolah

menjadi pupuk cair yang bisa dibeli oleh petani dengan harga murah

c) Penetapan biaya pengangkutan limbah ke IPAL yang baru, sebesar 8000

rupiah per drum limbah, serta penetapan biaya iuran kepada perajin

alkohol sebesar 600 ribu rupiah per tungku yang dimiliki untuk membeli

tanah yang digunakan untuk pembuatan IPAL yang baru

Dengan berjalannya kesepakatan diatas, interaksi masyarakat didesa

Mojolaban sudah mulai berangsur membaik, dari pihak perajin pun menganggap

konflik telah usai. Namun, dari penuturan informan dari pihak petani, masih ada

konflik laten yang sewaktu-waktu bisa meledak, karena masih banyak perajin

yang nekat membuang limbah langsung ke saluran irigasi, yang biasanya

dilakukan ketika malam hari untuk menghemat ongkos produksi.

Dalam peta konflik yang di hasilkan dalam penelitian ini, petani

berkolaborasi dengan dukungan dari warga yang juga menolak hal yang sama

karena limbah juga menghasilkan bau tidak sedap dan mengganggu mata

pencaharian pembuat batu bata yang merupakan mata pencaharian mayoritas di

daerah ini, sehingga petani dan aliansinya yang berasal dari dusun Polokarto,

Karangwuni, dan Pranan, dengan kordinator dari paguyuban petani Tegalmade

yang terkena dampak limbah secara langsung karena letaknya yang sangat dekat

dengan wilayah perajin, merencanakan sebuah demo besar-besaran untuk menolak

limbah tersebut.

Page 151: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 151

Dengan adanya demo yang berawal dari ditutupnya saluran irigasi pada

Juli 2012 lalu, yang sempat membuat perajin marah dan hampir membuat kontak

fisik, maka MuspikaKecamatan sebagai pihak yang menjadi penengah,

memanggil perwakilan dari kedua belah pihak. Hingga kemudian dicapailah

kesepakatan untuk membuat IPAL baru, yang membuat Kecamatan berkoordinasi

dengan BLH Sukoharjo, guna perencanaan hingga konstruksi dan sistem

kerjanya.Dengan keberadaan IPAL dan pembatasan jumlah tungku, maka konflik

sudah menurun intensitasnya, bahkan perajin menilai sudah selesei.Hal ini juga

membuat BLH sebagai pihak eksternal yang berpengaruh namun tidak terlibat

konflik secara langsung.Sebenarnya, masalah komunikasi yang kurang adalah

masalah utama, dimana hal tersebut dapat diselesaikan dengan cara

mengintensifkan kolaborasi antar elemen masyarakat.

Pemetaan konflik antara perajin alkohol dan petani pengguna Dam Colo

Timur ini cukup dinamis, baik dari segi aktor maupun isu yang berkembang di

masyarakat daerah ini. Secara geografis saja, sebuah tembok tak terlihat telah

memisahkan kedua belah kubu yang sedang berkonflik, dimana kubu perajin yang

berada di dusun Sentul memiliki penghidupan yang lebih layak secara materi,

sedangkan petani yang dipisahkan oleh Dam Colo Timur memiliki penghidupan

yang cenderung kurang. Perbedaan secara geogafis ini saja telah membuat sebuah

isu baru yang muncul dikalangan perajin, yaitu isu ekonomi, yang dimana

sebagian besar perajin berpendapat bahwa petani iri dengan keberhasilan yang

dicapai oleh perajin, dan perajin merasa bahwa akar masalah hanyalah salah

paham saja, walaupu ada pula yang mengakui limbah yang tidak melalui IPAL

Page 152: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 152

lama yang sudah rusak adalah penyebabnya. Namun, hal yang berbeda

diaungkapkan petani, dimana petani hanya meminta perajin untuk tidak

membuang secara langsung limbahnya ke saluran irigasi, karena bila dibuang

secara langsung tanpa diendapkan, akan membuat tanaman rusak karena limbah

panas dan bersifat asam, sedangkan ketika IPAL lama masih berfungsi, limbah

biasa di endapkan selama satu minggu agar dingin dan dapat dimanfaatkan

sebagai pupuk.

Dalam peta konflik yang ada, petani sendiri mendapatkan dukungan dari

warga yang juga menolak hal yang sama karena limbah juga menghasilkan bau

tidak sedap dan mengnggu mata pencaharian pembuat batu bata yang merupakan

mata pencaharian mayoritas di daerah ini, sehingga petani dan aliansinya yang

berasal dari dusun Polokarto, Karangwuni, dan Pranan, dengan korrdinator dari

paguyuban petani Tegalmade yang terkena dampak limbah secara langsung

karena letaknya yang sangat dekat dengan wilayah perajin, merencanakan sebuah

demo besar-besaran untuk menolak limbah tersebut. Dengan adanya demo yang

berawal dari ditutupnya saluran irigasi yang sempat membuat perajin marah

tersebut, maka Muspika Kecamatan sebagai pihak yang menjadi penengah,

memanggil perwakilan dari kedua belah pihak. Hingga kemudian dicapailah

kesepakatan untuk membuat IPAL baru, yang membuat Kecamatan berkoordinasi

dengan BLH Sukoharjo, guna perencanaan hingga konstruksi dan system

kerjanya.Dengan keberadaan IPAL dan pembatasan jumlah tungku, maka konflik

sudah menurun intensitasnya, bahkan perajin menilai sudah selesai.Hal ini juga

membuat BLH sebagai pihak sekunder yang berpengaruh namun tidak terlibat

Page 153: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 153

konflik secara langsung. Secara Pentahapan konflik, Sebenarnya, masalah dalam

konflik ini cukup sederhana, yaitu IPAL lama yang ada didaerah tersebut sudah

penuh dan kotor, sehingga tidak bisa mengendapkan limbah, hal ini membuat

limbah langsung terdorong kesawah dan langsung merusak padi yang di tanam,.

Secara kronologis, petani awalnya hanya mendatangi seseorang yang bernama pak

Sukino, beliau dan seorang temannya lah yang bertamu secara baik-baik kerumah

pak sukino yang di kenal sebagai orang yang nekat membuang limbahnya di

saluran irigasi utama tersebut.

Namun, ketika diingatkan, besoknya kejadian tersebut terulang, karena sudah

tidak sabar kemudian petani melaporkannya pada ketua paguyuban, yaitu pak

Sabaryono yang lalu membuat plang-plang yang ada didaerah tersebut, yang

berisikan larangan membuang limbah ke saluran irigasi, namu bukannya

berkurang, malah limbah semakin banyak dan pekat, dan biasanya mereka

membuangnya di malam hari. Akhirnya, petani melakukan musyawarah di gubug

sawah, yang dihadiri petani yang selesei bekerja pada sore hari, hanya beberapa

orang termasuk beliau, mereka merencanakan aksi besar-besaran, yang pada

keesokan harinya diumukan dari mulut ke mulut antar petani.

Bisa kita lihat, bahwa tahapan yang ada pun sudah lengkap, dalam artian

mulai dari prakonflik hingga pasca konflik telah dilalui kedua belah pihak, namun

masih menyisakan rasa ketidakpuasan dari salah satu pihak, yaitu kolaborasi

antara petani dan warga sekitar. Sebenarnya, masalah utama dapat diselesaikan

dengan cara mengintensifkan kolaborasi antar elemen masyarakat, karena masalah

sebenarnya disebabkan ketiga pihak yang telibat, yaitu warga, perajin, serta petani

Page 154: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 154

kurang intens dalam berinteraksi dan menyuarakan pendapatnya, dimana dengan

kolaborasi antara pihak yang berkonflik dengan dinas yang bertanggungjawab

pada konflik ini, akan dihasilkan sebuah resolusi konflik yang baik dan

berkelanjutan.

Akhirnya, konflik laten yang ditakutkan terjadi, pada 17 maret 2013, ratusan

petani dan warga desa Tegalmade melakukan demo kembali kepada perajin yang

masih suka nekat membuang limbahnya langsung menuju saluran irigasi,hingga

menimbulkan dampak lebih besar, yaitu rusaknya padi dan tercemarnya air sumur

setempat, namun sudah tercapai tahap penyelesaian, meskipun belum

menunjukkan tanda-tanda menurunnya konflik tersebut dengan kesepakatan yang

dilakukan di Kecamatan setempat pada hari Jumat, 22 maret 2013.

Sementara masalah di daerah setempat belum selesai karena penandatanganan

kesepakatan ini belum terjadi. Masalah sebenarnya disebabkan ketiga pihak yang

telibat, yaitu warga, perajin, serta petani kurang intens dalam berinteraksi dan

menyuarakan pendapatnya, dimana dengan kolaborasi antara pihak yang

berkonflik dengan dinas yang bertanggungjawab pada konflik ini, akan dihasilkan

sebuah resolusi konflik yang baik dan berkelanjutan.Sedangkan, saran saya dalam

resolusi ini, menurut segitiga Galtung, peace building sangat ditunjang dengan

kerjasama mediator, terhadap pihak yang berkonflik.

Peace building merupakan bentuk kerjasama antara mediator dengan pihak-

pihak yang berkonflik, secara teknis dapat dilakukan dengan melakukan acara-

acara bersama yang melibatkan kedua belah pihak yang sedang berkonflik, serta

membuat kegiatan seperti arisan desa dan kerjasama karang taruna setempat untuk

Page 155: Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo

Halaman | 155

membantu mempererat persaudaraan antar pihak yang berkonflik, yang mengarah

pada pencapaian resolusi yang baik antara kedua belah pihak yang dipandu oleh

Muspika dan BLH setempat. Sedangkan proses peace making dapat dilakukan

dengan membuat kesepakatan yang memiliki dasar hukum kuat, diketahui oleh

pemerintah KabupatenSukoharjo serta pejabat yang lebih tinggi, perjanjian harus

benar-benar disusun secara detail per pasal sesuai dengan keadaan lapangan,

sehingga setiap pelanggaran yang ada, dasar untuk menindaknya jelas, karena dari

pantauan lapangan sendiri, perjanjian hanya dibuat di secarik kertas dan

tandatangan kedua belah pihak, serta hanya berupa beberapa butir yang sangat

general, sehingga tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun system

baru dalam peace making ini.

Peace keeping dapat dilakukan dengan usaha yang melibatkan Muspika,

SATPOL PP, KPPT, serta pihak berwajib untuk melakukan pengontrolan dalam

hal distribusi limbah serta penertiban area setempat, sehingga warga dan petani

bisa tenang dalam melakukan kegiatannya, serta tidak perlu melakukan demo

untuk menghentikannya, karena sudah ada pihak yang memiliki otoritas dalam hal

tersebut.

Demikian penelitian mengenai konflik limbah antara perajin alkohol dan

petani pengguna Dam Colo Timur, yang berfokus pada masalah limbah.Di

harapkan dengan adanya penelitian ini, pihak terkait dapat lebih berkolaborasi

dalam hal sosialisasi dan intergratif dengan masyarakat daerah Mojolaban, dengan

tujuan menghilangkan benih-benih konflik yang mungkin terjadi di masa

mendatang.