Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo
-
Upload
muhammad-thoriq-bahri -
Category
Documents
-
view
49 -
download
0
description
Transcript of Enviromental Conflict in Mojolaban, Sukoharjo
Halaman | 1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Konflik lingkungan, sebuah isu yang sedang marak akhir-akhir ini, terutama
sejak berkembangnya industri baik kecil maupun menengah yang ikut
memberikan dampak pada kehidupan masyarakat sekitarnya.Konflik lingkungan
di Indonesia sering terjadi di berbagai tempat serta melibatkan banyak pihak yang
berkepentingan, baik mereka yang berposisi sebagai korban maupun pelaku. Hal
ini disebabkan karena sifat konflik lingkungan yang intangibility (tidak mudah
dikuatifikasi secara moneter), common property (lingkungan merupakan barang
bersama), eksternalitas negatif (dampak lingkungan menimpa orang lain diluar
pemrakarsa kegiatan), jangka panjang (dampak yang ditimbulkan lama) (Hadi,
2006). Salah satu konflik lingkungan yang terjadi diakibatkan oleh pembuangan
limbah yang mencemari lingkungan sekitarnya, baik yang diakibatkan oleh
industri skala kecil maupun besar.
Definisi dari limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (Hadi, 2006) ialah setiap
bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan
berbahaya dan beracun (B3) karena sifat kimiawi (toxicity, flammability ,
reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara
langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau
membahayakan kesehatan manusia. Konflik lingkungan khususnya yang
disebabkan oleh limbah sangat umum terjadi tidak hanya didaerah industri besar
Halaman | 2
tetapi juga industri yang skalanya bisa dikatakan industri kecil yaitu Industri yang
melibatkan pegawai sebanyak 5-9 orang(BPS, 1999).
Tidak jarang, limbah industri baik kecil atau besar ini menyebabkan konflik
yang banyak terjadi, dan seringkali menyebabkan warga sekitar menjadi korban
dari pembuangan limbah industri tersebut, seperti yang terjadi di desa Pegaden,
Pekalongan. Dimana sesama warga yang menolak dan warga yang menjadi buruh
di industri pencucian jeans yang berada di daerah tersebut sudah lama “perang
dingin” akibat sungai yang menjadi pemenuh kebutuhan air warga setempat
menjadi tidak layak digunakan. Lalu pada 23 Desember 2011 warga melakukan
pembendungan terhadap saluran limbah hingga industri pencucian jeans tidak bisa
beroperasi, padahal sebelumnya warga telah berkali-kali meminta pelaku industri
untuk tidak membuang limbahnya ke sungai (Hadi, 2006).
Sedangkan contoh lainnya adalah konflik limbah antara PT.Palur Raya pada
tahun 1997, dimana PT .Palur Raya membuang limbah ke sungai Ngringo, yang
melintasi desa Ngringo dengan konsentrasi kimia yang cukup tinggi, hingga
menyebabkan gatal-gatal, bau menyengat, hingga air sungai yang tidak layak
digunakan, bahkan lele pun tidak bisa hidup. Konflik ini terus berlanjut hingga
sekarang menyusul tidak direalisasikannya ganti rugi senilai 7,2 miliar yang telah
dijanjikan sejak 2001 (Hadi, 2006). Konflik ini melibatkan warga Ngringo sebagai
korban dan PT.Palur Raya sebagai pemicu konflik. Konflik lingkungan tidak akan
pernah selesei karena sifat konflik seperti yang telah diuraikan diatas, sehingga
membuat konflik bukan saja sebagai kepentingan pihak yang secara langsung
mendapatkan dampak dari konflik tersebut, melainkan merembet ke berbagai
Halaman | 3
sektor lain yang merupakan akibat tak langsung dari konflik tersebut (Hadi,
2006).
Berbagai contoh kasus di atas membuat penelitian cukup penting untuk
dilaksanakan di sebuah kawasan yang juga sedang dilanda konflik lingkungan
akibat limbah yang di buang ke saluran irigasi.Kawasan ini adalah pusat industri
alkohol yang terletak di kawasan desa Mojolaban, Sukoharjo yang dimana konflik
lingkungan disini semakin berlarut-larut dan belum memiliki resolusi konflik
yang solutif. Areal persawahan sangat mendominasi daerah Mojolaban, dan petani
merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk Mojolaban, saluran irigasi
sendiri menjadi penunjang utama mata pencaharian petani yang dimana saluran
tersebut melewati daerah sentra industri alkohol dan menjadi “saluran
pembuangan limbah” perajin yang jumlahnya cukup banyak dengan konsentrasi
limbah kimiawi yang cukup tinggi (www.Sukoharjokab.go.id, Profil wilayah
Mojolaban, diakses pada 17 Juli 2012) .
Perkembangan daerah ini sebagai sentra penghasil alkohol pun cukup pesat,
dimana pada tahun 1960an, ada peningkatan kadar alkohol yang semula hanya
27% menjadi 37%, bahkan tahun 1980an, Pemerintah dati II Sukoharjo
memberikan bantuan teknis sebesar 2 juta rupiah berupa peralatan produksi
alkohol modern dan menganggap daerah ini sebagai penghasil PAD bagi
PemkabSukoharjo. Dimana PemkabSukoharjo mengkategorikannya sebagai
industri kecil daerah yang memproduksi alkohol. Hal tersebut tercetus pada
PERDA NO. 15 TAHUN 1987 dan yang terbaru Peraturan menteri perdagangan
nomor 15/M-DAG/3/2006. Pada Akhirnya ditahun 1997, dilakukanlah teken
Halaman | 4
kontrak antara sentra industri ini dengan pihak PT. Acidatama yang merupakan
perusahaan yang akhirnya memberikan bantuan peralatan yang canggih untuk
tujuan peningkatan kadar hingga 60-90%, sesuai dengan standar
Industri(www.manteb.com, Sejarah Ciu Bekonang, diakses pada 9 September
2012).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Disperindakop KabupatenSukoharjo,
perajin Alkohol sekarang sudah mencapai 210 orang, yang dimana pada tahun
2002 mereka berjumlah hanya 182 orang dan menujukkan tren yang semakin
meningkat (www.Sukoharjokab.go.id, perkembangan perajin alkohol tahun 2000-
2006, diakses pada 9 September 2012). Mereka terikat pada paguyuban perajin
alkohol yang diketuai oleh bapak Sabaryono. Paguyuban ini pada awalnya
didirikan untuk memastikan hasil produksi alkohol yang ada dapat tersalurkan
pada industri yang membutuhkan, salah satunya adalah PT. Acidatama serta
rumah sakit dan instansi yang memerlukannya untuk tujuan khusus mereka, serta
sebagai pengontrol setiap kebijakan lokal, termasuk pembuangan dan prosedur
pengolahan limbah. Tetapi, keberadaan paguyuban ini seakan hanya sebagai
simbol, karena pada kenyataannya para perajin memilih bergerak sendiri tanpa
campur tangan dari paguyuban. Bahkan, sebagian besar perajin memilih untuk
menjualnya dalam bentuk Miras (Ciu Bekonang), dengan berbagai alasan, yang
salah satunya adalahfaktor ekonomi, dimana mereka beralasan menjual ciu keluar
daerah memiliki potensi pasar yang lebih besar (Koperasi Sapta Usaha Mulya,
Bekonang, 8 September 2012).
Halaman | 5
Tingkat pencemaran yang terjadi didaerah ini sangat tinggi, bahkan ratusan
kali lebih tinggi daripada batas normal, dampak secara kasat mata adalah air yang
hangat, hitam dan berbau, konsentrasi limbah yang sedemikian tinggi, bahkan
puluhan kali lipat dari kadar yang seharusnya, menyebabkan kerusakan lahan,
ketidaksuburan tanaman, serta tidak berkembangnya padi yang
ditanam(Suparmadi,2001). Secara regulasi pun, limbah di wilayah ini berada jauh
diatas nilai baku mutu batas limbah cair yaitu Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No.KEP-51/MEN LH/10/1995 tentang baku mutu limbah cair
bagi kegiatan industri yaitu untuk kadar BOD = 150 mg/l, kadar COD = 300 mg/l
dan kadar TSS = 100 mg/l (www.blh.sukoharjokab.go.id, Mojolaban dalam
angka, diakses pada 10 September 2012). Bahkan IPAL yang ada tidak bisa
mengolah limbah dengan baik serta timbulnya limbah berupa lumpur berbahaya
yang merusak wilayah sekitar dan mengurangi kesuburan tanah secara drastis
(Anik, 2004).Hal ini membuat petani yang tergabung dalam paguyuban pengguna
Dam Colo Timur melakukan protes kepada para perajin alkohol ini.
Sebelumnya, konflik hanya berupa teguran serta himbauan para petani
kepada para perajin yang membang limbahnya ke saluran irigasi, tetapi tidak di
indahkan, padahal petani setempat telah mengalami beberapa kali gagal panen,
seperti yang terjadi pada 16 desember 2011 lalu. Kemudian pada 21 desember
2011, puluhan petani melakukan protes dengan mencabuti tanaman padinya dan
membuat kuburan di saluran irigasi areal persawahan mereka, selain itu mereka
membendung saluran irigasi yang digunakan untuk membuang limbah alkohol
dan membuat saluran mampet, hal ini membuat perajin alkohol marah sertahampir
Halaman | 6
terjadi bentrok fisik (www.wartatv.com, diakses pada 21 September 2011). Aksi
itu merupakan bentuk protes petani terhadap pengusaha Alkohol setempat, karena
limbah ciu yang masuk ke areal persawahan menjadi penyebab matinya tanaman
padi (www.solopos.com, 11 Des 2011, diakses pada 21 September
2012).Kemudian aksi protes yang lebih besar muncul pada tanggal 12 Juli 2012,
dimana petani dari 4 dusun melakukan protes besar-besaran, ratusan petani
tersebut berasal dari DesaMojolabanyang terdiri dari petanidusunTegalmade,
Karangwuni, Pranan serta Polokarto yang hampir membuat perajin marah dan
terjadi kontak fisik, dalam demo tersebut puluhan ibu-ibu menangis, yang
kemudian dilanjutkan dengan orasi di kantor KecamatanMojolaban, bersama
tokoh masyarakat dari desa Tegalmade, Daryanto (www.solopos.com, 12
Desember 2011, diakses pada 21 September 2012).
Sedangkan, salah satu bentuk protes kaum petani pengguna Dam Colo
Timuryang terbaru, yaitu pada 17 Juli 2012 Petani Pemakai Air (GP3A) TOR 12,
12 A Colo Timur dan pada Bulan Maret 2013 lalu mengancam akan melaporkan
kasus pencemaran limbah itu kepada yang berwenang untuk mencabut izin dan
menutup usahanya, karena masih banyak perajin alkohol yang membuang limbah
di saluran irigasi, padahal BLH (Badan Lingkungan Hidup)Sukoharjo telah
membuat IPAL (Instalasi Pengolahan Limbah) dan banyak perajin alkohol yang
tidak menaati MoU yang ditandatangani pada 7 Juli 2012, dimana pada tanggal
tersebut dilakukan mediasi oleh KecamatanMojolaban bekerja sama dengan BLH
(Badan Lingkungan Hidup)Sukoharjo dengan perundingan dari kedua belah pihak
dan merupakan upaya mediasi kesekian kali yang selalu gagal, yang isinya
Halaman | 7
menyatakan bahwa para perajin tidak akan membuang limbah mereka sebelum
melalui IPAL yang disediakan oleh PemkabSukoharjo(Solopos, 18 Juli 2012).
Dengan keberadaan IPAL masalah limbah belum selesei karena terkesan tidak di
tindak lanjutinya protes warga yang ada, karena IPAL yang penuh terkesan
dibiarkan dan tidak dibersihkan, sehingga IPAL yang seharusnya merupakan
solusi menjadi tidak efektif dan tidak dapat diterapkan dengan baik. Konflik
lingkungan akibat limbah yang berkepanjangan ini membuat peneliti tertarik
untuk melakukan analisis secara kronologis serta memetakannya sesuai dengan
taapan konflik yang ada guna mengetahui masalah serta berbagai pihak yang
sebenarnya terlibat, juga fakta yang mungkin selama ini belum terungkap, karena
pemberitaan yang ada hanyalah melihat konflik secara garis besar tanpa
menyentuh akar pokok konflik tersebut. Pentingnya hal tersebut dipelajari
bertujuan untuk menemukan sebuah solusi yang tepat khususnya untuk kedua
pihak yang sedang berkonflik, yaitu petani pengguna Dam Colo Timur dan perajin
alkohol yang ada di KecamatanMojolaban, Sukoharjo.
Halaman | 8
B. MASALAH PENELITIAN
Dalam menelaah permasalahan yang sangat berhubungan dengan konflik
ini, peneliti mencoba mendeskripsikan bagaimana konflik serta akibat sosial yang
timbul akibat adanya konflik lingkungan ini. Dengan melihat latar belakang
masalah diatas, peneliti ingin mengangkat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana peta konflik antara petani pengguna Dam Colo Timur dan
perajin alkohol yang ada di KecamatanMojolaban?
2. Bagaimana evolusi konflik yang terjadi di daerah tersebut serta bentuk
resolusi konflik yang sudah dilakukan serta perlu dilakukan?
C. TUJUAN PENELITIAN
Beberapa tujuan dilaksanakannya penelitian dengan perspektif konflik
lingkungan ini adalah :
1. Mengetahui dinamika konflik yang ada di masyarakat Mojolaban, terkait
dengan kronologi dan peta konflik serta faktor penyebab konflik
lingkungan yang terjadi antara perajin alkohol dan petani yang berafiliasi
dengan warga masyarakat setempat yang berafiliasi dengan petani.
2. Mengetahui apa sajakah dampak konflik tersebut khususnya bagi
masyarakat di daerah Mojolaban
3. Mencari tahu penyebab kegagalan resolusi konflik yang telah dilakukan,
serta melahirkan sebuah langkah solutif yang dapat di terapkan guna
mengatasi konflik tersebut.
Halaman | 9
D. MANFAAT PENELITIAN
Sedangkan, manfaat kita menelaah kasus ini dari perspektif konflik
lingkungan adalah :
1. Memberikan analisis serta gambaran yang mendalam tentang kondisi
sebenarnya di desa Mojolaban, Sukoharjo khususnya terkait dengan
konflik yang berkepanjangan mengenai limbah.
2. Memberikan referensi secara akademis guna penelitian selanjutnya yang
akan mengungkap dinamika konflik serta resolusi yang aplikatif dalam
mengatasi konflik yang terjadi
3. Memberikan masukan serta gambaran mendalam pada dinas terkait untuk
melakukan penyesuaian kebijakan-kebijakan yang akan diterapkan
selajutnya, khususnya yang menyangkut industri Alkohol ini dengan
pertimbangan-pertimbangan dari hasil penelitian ini.
E. TINJAUAN LITERATUR
Isu mengenai lingkungan ,adalah isu yang sering menimbulkan konflik, baik
antara pengusaha dengan masyarakat yang ada disekitar daerah tersebut. berbagai
pustaka terkait yang mengulas tentang kasus konflik lingkungan yang terutama
disebabkan karena limbah memperkuat fakta ini. Limbah sendiri merupakan
setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung
bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat kimiawi (toxicity,
flammability,reactivity, dancorrosivity ) serta konsentrasi atau jumlahnya yang
baik secara langsung maupun tidak langsung dapat merusak, mencemarkan
Halaman | 10
lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia. Karakteristik limbah cair
industri memiliki nilai BOD/ COD (kebutuhan oksigen dalam menguraikan
senyawa biologi dan kimia) yang sangat tinggi (BAPPEDAL, 1995 Dalam
Hadi,2006).Limbah yang dibuang sembarangan serta merugikan pihak tertentu
yang kemudian menyebabkan sebuah konflik lingkungan banyak terjadi di
Indonesia, salah satu kasusnya adalah PT. Kawasan Industri Medan dengan
masyarakat yang ada di daerah Tangkahan, Labuhan Batu, Medan.
Penelitian di daerah ini dilakukan oleh Asri Arief pada tahun 2009, dimana
limbah dari PT.KIM dibuang ke drainase warga Tangkahan tanpa melalui IPAL,
pembuangan limbah tersebut menyebabkan bau menyengat serta berkurangnya
tingkat kesehatan masyarakat karena semakin kotornya lingkungan bahkan
berkurangnya sumber air bersih karena limbah tersebut juga mengotori sumur
warga sekitar, hal ini di perparah dengan faktor pendukung lain, yaitu tidak
terserapnya tenaga kerja dari daerah sekitar serta kurangnya community
development yang ada, pada konflik ini, PT.KIM dan Warga Tangkahan
melakukan resolusi konflik dengan cara adaptif, yaitu dari PT. KIM sendiri
melakukan pembuatan IPAL serta peningkatan kesejahteraan warga termasuk
pembangunan kawasan sekitar, sedangkan warga juga melakukan langkah
membuka diri dan menghindari konflik lanjutan dengan PT.KIM.
Selain itu, di Tapanuli selatan, terjadi pula konflik antara PT. Agincourt
Resources dengan Warga desa Aek Pening yang menuntut tidak di buangnya
limbah PT. Agincourt resources ke sungai Batang Toru, dimana pada akhirnya
Pemprov Tapanuli Selatan turun tangan dengan jalan melakukan uji kelayakan air
Halaman | 11
buangan yang dianggap warga mencemari sungai tersebut, tetapi pada akhirnya
setelah dilakukan negosiasi antara warga dengan PT. Agicourt resources yang
difasilitasi oleh Pemprov, terdapat kesepakatan bahwa 40 persen dari keuntungan
saham yang dimiliki Pemprov digunakan untuk membiayai kegiatan CSR
(Corporate Sosial Responsibility) yang semakin di perluas jangkauannya
(www.apakabarsidampuan.com, ganti rugi PT.KIM, diakses pada 24 September
2012).
Penelitian terkait di Bekonang pernah dilakukan dari berbagai perspektif
dengan pokok kajian yang seragam, yaitu perspektif ilmu kimia dan kesehatan,
dengan obyek limbah yang dihasilkan perajin alkohol Bekonang.Alkohol sendiri
merupakan suatu zat yang mudah menguap, dapat dididihkan dan
diembunkan.Alkohol atau alkanol merupakan senyawa karbon yang mengandung
gugus hidroksil (-OH) dan mempunyai rumus CnH2n+1OH (IUPAC) (www.
anneahira.com, alkohol sebagai minuman keras, diakses pada 12 September
2012). Penelitian di daerah ini yang sebelumnya pernah dilakukan,
mengungkapkan bahwa limbah yang dihasilkan oleh perajin alkohol di Bekonang
sangat mempengaruhi produktivitas padi, dimana produksinya menurun drastis,
karena konsentrasi limbah yang lebih dari 0, 4 persen dimana ambang batas aman
limbah hanyalah 0,2 persen. Hal ini menyebabkan produktivitas padi berkurang
cukup signifikan serta tanah menjadi retak-retak (Suparmadi,2001).
Penelitian berikutnya membuktikan tingginya tingkat pencemaran yang
terjadi, secara kimiawi, kadar limbah yang dihasilkan yaitu BOD5 = 55.000 mg/l,
kadar COD = 170.316 mg/l dan kadar TSS = 5.640 mg/l. Hal ini masih berada
Halaman | 12
jauh diatas nilai baku mutu limbah cair yaitu Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No.KEP-51/MEN LH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah
Cair Bagi Kegiatan Industri yaitu untuk kadar BOD = 150 mg/l, kadar COD = 300
mg/l dan kadar TSS = 100 mg/l (Anik, 2004). Melihat beberapa hasil penelitian
diatas, ada sebuah pertanyaan yang akan menghantui pikiran kita, bagaimana
tanggapan petani dalam menghadapi kerusakan lahan yang diakibatkan oleh
limbah dari perajin alkohol yang tergolong industri kecil yang menggunakan
peralatan sederhana dan perkembangannya dipengaruhi oleh banyak sedikitnya
modal? (Payaman. J Simanjuntak, 1983, dalam Iswanto, 2002). Dari berbagai
literatur yang penulis dapatkan, belum ada penelitian yang mengungkap konflik
secara khusus yang terjadi di daerah setempat, padahal dari berbagai pustaka yang
ada, kita dapat melihat munculnya gejolak-gejolak di masyarakat sekitar
khususnya petani pengguna Dam Colo Timur dan perajin alkohol.
Beberapa gejala yang menunjukkan adanya konflik sudah sangat terlihat,
salah satunya pada 16 desember 2011 lalu terjadi gagal panen didaerah tersebut .
Lalu, pada 21 Desember 2011 puluhan petani melakukan protes dengan
mencabuti tanaman padinya dan membuat kuburan di saluran irigasi areal
persawahan mereka, selain itu mereka membendung saluran irigasi yang
digunakan untuk membuang limbah alkohol dan membuat saluran mampet, hal ini
membuat perajin alkohol marah serta hampir terjadi bentrok
fisik(www.wartatv.com, 21 Desember 2011). Aksi itu merupakan bentuk protes
petani terhadap pengusaha alkohol setempat, karena limbah ciu yang masuk ke
areal persawahan menjadi penyebab matinya tanaman padi (Solopos, 21
Halaman | 13
Desember 2011).Bahkan, pada 12 Juli 2012, petani dari 4 dusun melakukan aksi
protes, ratusan petani tersebut berasal dari dusun Tegalmade
KecamatanMojolaban serta dari dusun Karangwuni, Pranan, dan Polokarto yang
hampir membuat perajin marah dan terjadi kontak fisik, yang kemudian
dilanjutkan dengan orasi di kantor KecamatanMojolaban, bersama tokoh
masyarakat dari desa Tegalmade , dimana mereka menuntut dilakukannya sebuah
solusi konflik bersama yang dimediasi oleh pihak terkait (Solopos, 12 Desember
2012).
Protes petani pengguna Dam Colo Timur yang cukup menyita perhatian,
terjadi pada 17 Juli 2012, dimana Petani Pemakai Air (GP3A) TOR 12, 12 A Colo
Timur akan melaporkan kasus pencemaran limbah itu kepada yang berwenang
untuk mencabut izin dan menutup usahanya, karena masih banyak perajin alkohol
yang membuang limbah di saluran irigasi, padahal Pemkab Sukoharjo telah
membuat IPAL (Instalasi Pengolahan Limbah) serta perajin alkohol yang tidak
menaati MoU yang ditandatangani pada 7 Juli 2012, yang menyatakan bahwa para
perajin tidak akan membuang limbah mereka sebelum melalui IPAL yang
disediakan oleh PemkabSukoharjo(Solopos, 18 Juli 2012).
Melihat gejolak yang terjadi di wilayah bekonang, agaknya kita juga perlu
melihat konflik yang diakibatkan oleh limbah dalam perspektif konflik
lingkungan, karena dari berbagai penelitian yang dilakukan di daerah setempat
sejauh pengetahuan penulis, belum satupun mengangkat tema ini, padahal dengan
belum berakhirnya konflik tentunya sebuah resolusi sangatlah diperlukan guna
penyelesaian konflik lingkungan ini. Tanpa sebuah studi yang berprespektif
Halaman | 14
demikian, maka akan sulit bagi kita memahami gejolak masyarakat yang ada di
desa Mojolaban karena tidak ada pemetaan yang jelas mengenai isu serta masalah
apa yang menjadi faktor pendukung dalam dinamika konflik tersebut, menuju
sebuah perdamaian.
F. LANDASAN TEORI
Konflik adalah hubungan antara dua pihak (Individu atau kelompok) yang
memiliki atau yang merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan serta
berpotensi menimbulkan tindakan yang lebih serius (Fisher, 2000).Selama ini
konflik sering dihubungkan dengan agresi, sedangkankonflik dan agresi
merupakan dua hal yang berbeda.Konflik tidak selalu menghasilkan kerugian,
tetapi juga membawa dampak yang konstruktif bagi pihak-pihak yang terlibat,
sedangkan agresi hanya membawa dampak-dampak yang merugikan bagi
individu(Broadman &Horowitz, dalam Kusnawariningsih, 2007). Dapat
disimpulkan bahwa konflik adalah suatu proses sosial antara dua orang atau lebih
(bisa juga kelompok) dan salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya karena sasaran yang
tidak sejalan. Sedangkan konflik sendiri dapat di sebabkan oleh berbagai hal,
yaitu adanya perbedaan individu akan sasaran, kepentingan, serta tujuan. Selain
hal tersebut budaya yang berbeda serta perubahan nilai yang cepat dalam suatu
tatanan masyarakat tertentu juga menyebabkan terjadinya konflik karena
ketidakmampuan individu untuk menyesuaikan diri (Rochmadi, 2012).
Halaman | 15
Dalam perjalanannya, konflik sendiri memiliki beberapa macam pandangan
yang mempengaruhi bagaimana analisa konflik akan dilakukan. Teori konflik
yang muncul pada abad ke-19 dan abad ke-20merupakanhasil dari lahirnya dual
revolution yaitu demokratisasi dan industrialisasi sehingga kemunculan sosiologi
konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari,
realitas konflik dalam masyarakat Amerika (Susan, 2009). Selain itu teori
sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis
fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai
masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya.
Salah satu pandangan yang cukup terkenal adalah munculnya perbedaan
kekuasaan dan sumber daya alam yang langka dapat membangkitkan pertikaian
(konflik) di masyarakat. Kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda dalam
sistem sosial akan saling mengajar tujuan yang berbeda dan saling bertanding. Hal
ini sesuai dengan pandangan Lock Wood (2009), bahwa kekuatan–kekuatan yang
saling berlomba dalam mengejar kepentingannya akan melahirkan mekanisme
ketidakteraturan sosial (sosialdisorder). Para tokoh dalam sosiologi konflik
memandang suatu masyarakat terikat bersama adalah kekuatan kelompok atau
kelas yang dominan. Para fungsionalis yang merupakan pengikut setia Talcott
Parsons menganggap nilai-nilai bersama (consensus) sebagai suatu ikatan
pemersatu, sedangkan bagi teoritis konflik, konsensus itu merupakan ciptaan dari
kelompok atau kelas dominan untuk memaksakan,nilai-nilai mereka kepada kelas
yang lainnya dan merupakan bagian dari masyarakat tertentu.
Halaman | 16
Teori konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan
lahan sosiologi dan merupakan teoridalam paradigma fakta sosial.Konflik
mempunyai bermacam-macam pandangan besar seperti teori Marxian dan
Simmel.Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi jalan keluar
terjadinya konflik pada kelas pekerja, yang berkutat pada konflik kelas.Sedangkan
Simmel (Susan, 2009) berpendapat bahwa kekuasaan otoritas atau pengaruh
merupakan sifat kepribadian individu yang bisa menyebabkan terjadinya konflik.
Pandangan Marxian yang berfokus pada sistem produksi kapitalis yaitu
antara kelas borjuis dan proletar mendorong terbentuknya gerakan sosial besar,
yaitu revolusi.Konflik kelas terjadi ketika kaum proletar telah sadar akan
eksploitasi borjuis terhadap mereka. Perubahan sosial yang bersifat radikal sangat
diyakini akan terjadi oleh pengikut Marxian. Konflik antar kelas karena adanya
eksploitasi itu dan suatu perubahan sosial melalui perjuangan kelas, yang
mengedepankan nilai-nilai material, yang sarat konflik dan kepentingan
ekonomi.Pemikiran ini nantinya akanberkembang sebagai aliran Marxis, madzab
Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik lainnya.
Tindakan yang dilakukan oleh individu selalu didominasi oleh sisi
emosional, dan tindakan tradisional adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang
dijunjung tinggi, sebagai sistem nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama.
Stratifikasi tidak hanya dibentuk oleh ekonomi melainkan jugaprestis (status) dan
power (kekuasaan/politik). Konflik muncul terutama dalam wilayah politik yang
dalam kelompok sosial adalah kelompok-kelompok kekuasaan, seperti partai
politik.
Halaman | 17
Pandangan utama Durkheim adalah fakta sosial, Giddens memiliki
pandangan bahwamakna dari fakta sosial sendiri ganda, dimana fakta-fakta sosial
merupakan hal yang eksternal bagi individu.Pertama-tama tiap orang dilahirkan
dalam masyarakat yang terus berkembang dan yang telah mempunyai suatu
organisasi atau struktur yang pasti serta yang mempengaruhi
kepribadiannya.Kedua fakta-fakta sosial merupakan “hal yang berada di luar”
bagi seseorang dalam arti bahwa setiap individu manapun, hanyalah merupakan
suatu unsur tunggal dari totalitas pola hubungan yang membentuk masyarakat
(Susan, 2009).
Perkembangan ilmu sosial kemudian memperoleh kesempurnaannya
setelah tradisi pemikiran Eropa melahirkan determinisme ekonomi atau
pertentangan kelas dari Marx, teori teori tindakan dan stratifikasi sosial Weber,
dan fakta sosial dari Durkheim.
1. Perkembangan Teori Konflik
Teori konflik sebenarnya adalah teori yang berkebalikan dengan teori
fungsionalisme struktural Talcott Parsons (Susan, 2009).Karena itulah, pandangan
yang dikemukakan oleh para tokohnya sendiri cukup bertentangan dengan
pandangandalam teori fungsionarisme struktural yang dikemukakan Talcott
Parsons.Teori konflik mulai mengemuka pada tahun 1960-an, Johan Galtung
adalah salah seorang pengkaji teori ini, dimana sebenarnya kajian
inimerupakankajianflashbackberbagai gagasan yang dikemukakan sebelumnya
oleh Karl Marx dan Max Weber. Kedua orang ini adalah tokoh dalam sosiologi
konflik yang cukup berpengaruh, namun pandangan teori mereka berbeda satu
Halaman | 18
sama lain, karena itu teori konflik modern pun terpecah menjadi dua
pandanganutama, yaitu teori konflik berpandangan neo-Marxian dan teori konflik
neo-Weberian. Pandangan neo Marxian lebih terkenal dan berpengaruh pada
perkembangan teori konflik ketimbang versi neo-Weberian.
Kedua tokoh teori konflik ini, Marx dan Weber, adalah counterterhadap
gagasan bahwa masyarakat cenderung patuh kepada nila-nilai masyarakat yang
paten dan berjalan sesuai dengan struktur yang ada, dimana struktur masyarakat
selalu berjalan dengan tujuanagar tercipta keharmonisan kepentingan yang sama
bagi setiap orang. Para tokoh teori konflik selalu memandang perbedaan
kepetingan setiap individu adalah wajar dan terjadi pada setiap organisasi
masyarakat.Dimanakepentingan yang berbeda memiliki satu tujuan tunggal, yaitu
mendapatkan sumber daya yang terbatas yang bertujuan memenuhi berbagai
kebutuhan dan keinginan mereka tanpa campur tangan kelompok yang memiliki
kepentingan yang berbeda. Karena sumber-sumber daya ini selalu terbatas, maka
konflik untuk kepentingan dalam kelompok tersebut selalu terjadi.Marx dan
Weber menerapkan konsep ini dalam teori konflik mereka dengan cara yang
berbeda, sesuai dengan pola pandangan masing-masing.
Karl Marx (Susan, 2009)menyatakan bahwa bentuk konflik yang ada
terjadi antara individu dan kelompok,terutama melalui terbentuknya hubungan-
hubungan antar individu dalam kelompok tertentu, seperti kaum pengusaha
dengan pengusaha. Hal ini perlahan-lahan membuat sekat antara pengusaha
dengan pekerja semakin renggang.Karena itulah masyarakat terpecah menjadi
kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan dan mereka yang tidak memiliki
Halaman | 19
kekuatan, terutama dalam hal modal.Lama-kelamaan hubungan antar pengusaha
menyebabkan ekspolitasi pada kelas pekerja.Tentu saja, karena mereka kelas
pekerja merasa di lecehkan dan di manfaatkan, secara otomatis mereka akan
memberontak, sedangkan kelas yang memiliki kekuatan akan memanfaatkan
pihak pemerintah untuk menghentikan pemberontakan yang dilakukan kelas
pekerja ini.
Inti dari pandangan Marx tersebut adalah, perbedaan ini menyebabkan
adanya kelas sosial yang saling membenci dan curiga.Marxberpandangan bahwa
pertentangan antara kelas dominan yang digambarkan dengan kaum borjuis dan
kelas yang tersubordinasi yang merupaka kelas pekerja memainkan peranan
penting dalam menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat tertentu.Marx
berpendapat, bahwa bentuk masyarakat yang ada sekarang adalah hasil dari
pertentangan kelas. Dalam hal ini Susan (2009), membagi pandangan neo
Marxian modern dalam beberapa poin berikut ini:
a) Kehidupan manusia sebenarnya merupakan arena konflik atau pertentangan
kepentingan diantara kelompok yang menginginkan sumberdaya yang
terbatas.
b) Sumber daya modal dan kekuasaan politikmerupakan kepetingan sentral
yang membuat berbagai kelompok berusaha merebutnya.
c) Pertentangan yang tidak pernah selesai tersebut menyebakan dua tipe
masyarakat, yaitu mereka yang dominan dan mereka yang tersubordinasi
atau tersisihkan karena kalah dalam hal kekuasaan maupun ekonomi.
Halaman | 20
d) Kehidupan suatu masyarakat ditentukan oleh proses internalisasi nilai dari
kelompok yang merupakan kelompok berkuasa secara ekonomi.
e) Konflik karena perbedaan kepentingan di antara berbagai kelompok
masyarakat melahirkan power yangmenyebabkan perubahan sosial, baik
positif maupun negatif.
f) Konflik kepentingan adalah pola dasar dari kehidupan sosial masyarakat,
sehingga perubahan sosial adalah hal yang sering terjadi.
Berikutnya, dalam buku yang ditulisnya, Novri Susan (2009) menjelaskan
bahwa pandangan konflik Marxian adalah pandangan yang sangat sarat
kepentingan materialis, dan tidak berpandangan secara idealis. Pada pandangan
konflik Marxian, konflik sosial muncul karena adanya upaya untuk memperoleh
materi yang merupakan salah satu hal yang memperngaruhi kehidupan sosial dan
fenomena ini cukup wajar dalam pola-pola kehidupan masyarakat khususnya pada
kehidupan modern saat ini.
Hal sebaliknya diungkapkan olehWeber, dimana konflik terjadi bukan
hanya dipengaruhi oleh materi yang mengakibatkan kepentingan suatu
masyarakat. Weber sebenarnya memiliki kesamaan pandangan bahwa
kepentingan ekonomi sangat mempengaruhi kehidupan sosial, tetapi ia
berpendapat bahwa faktor lain yang lebih dari hal tersebut sangat berpengaruh
dalam memunculkan konflik di masyarakat. Weber memiliki dua pandangan.
Dimana menurutnya, kekuasaan seorang individu ataupun kelompok untuk
memperoleh kekuasaan politik lebih besar daripada semangat untuk mendapatkan
Halaman | 21
materi belaka. Namun, Weber juga menganggap kepentingan politik ini juga
bertujuan memperoleh keuntungan ekonomi.
Weber berpendapat bahwa pertentangan untuk memperoleh kekuasaan
tidak hanya terjadi pada organisasi-organisasi politik, seperti partai politik,
tetapi juga terjadi dalam setiap kekuatan dan kelompok yang terbentuk dalam
masyarakat seperti organisasi keagamaan bahkan pendidikan.
Jika kita simpulkan perbedaan pandangan antara Weber dan Karl Marx dalam
pandangannya terhadap konflik sosial yang selalu terjadi dalam tatanan
masyarakat, maka secara ringkas, pandangan mereka adalah:
a) Marx memiliki pandangan bahwa masalah utama terdapat dalam upaya
memperoleh modal, dan sarana produksi yang didominasi kelompok
tertentu, dimana konflik dapat diakhiri dengan mengembalikan hak dari
sumber daya tersebut ke masyarakat. Dimana menurutya, pandangan
sosialisme harus ditegakkan dalam upaya mencapai keseimbangan
masyarakat.
b) Weber memiliki pandangan yang cukup berbeda. Dimana sebuah konflik
sosial tidak akan bias dihapuskan, karena merupakan sarana mencapai
keseimbangan kehidupan masyarakat. Setiap konsep pandangan kehidupan
masyarakat, baik kapitalis, sosialis atau pandangan lainnya individu
maupun kelompok akan tetap selalu berjuang untuk mencapai tujuan dan
kepentingannya.Weber berpendapat bahwa konflik adalah sarana untuk
mencapai perubahan sosial yang permanen dan berkelanjutan guna
mencapai sebuah keseimbangan..
Halaman | 22
Tokoh utama teori konflik selain Karl Marx dan Marx Weber adalah Ralp
Dahrendorf dan Lewis A. Coser.Berbeda dari beberapa ahli sosiologi yang
menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda yaitu teori kaum fungsional
struktural versus teori konflik, Coser mengemukakan komitmennya pada
kemungkinan menyatukan pendekatan tersebut.
Lewis A. Coser (Susan, Novri, 2009) mengakui beberapa susunan
struktural merupakan hasil persetujuan dan konsensus, yang menunjukkan pada
proses lain yaitu konflik sosial. Dalam membahas berbagai situasi konflik, Coser
membedakan konflik yang realistis dari yang tidak realistis. Konflik yang realities
berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam
hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan dan yang
ditunjuk pada objek yang dianggap mengecewakan.Dalam hal lain, Lewis A.
Coser (Susan, 2009) mengemukakan teori konflik dengan membahas tentang,
permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, fungsionalistas konflik
dan kondisi-kondisi yang memengaruhi konflik dengan kelompok luar dan
struktur kelompok sosial, sebagai berikut:
a) Bila konflik berkembang dalam hubungan antar kelompok maupun
individu, maka sekat konflik realitis dan nonrealistis lebih sulit untuk
dipisahkan. Karena semakin dekat suatu hubungan, semakin kuat
kedekatan secara batin makin besar juga kecenderungan untuk menekan
ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedangkan pada hubungan-
hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa
permusuhan relatif dapat lebih bebas diungkapkan.
Halaman | 23
b) Coser mencoba menelaah pandangan George simmel (Susan,2009) yang
menunjukkan bahwa konflik mungkin positif sebab dapat meredakan
ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok, karena dengan cara ini
kedua belah pihak dapat saling mengkoreksi diri. Simmel mengamati
masyarakat Yahudi, bahwa peningkatan konflik dalam kelompok dapat
dihubungkan dengan meningkatnya hubungan masyarakat baik keluar dan
kedalam. Karena ketidaksesuaian kadang sangat diperlukan dalam hal
mengitegrasikan kepentingan dan juga perbedaan yang telah ada di
masyarakat tertentu.
c) Berbagai kepentingan dengan kelompok luar dan struktur kelompok
menurut Coser, konflik dengan kelompok luar akan membantu
mengintegrasikan nilai-nilai struktural yang ada dalam masyarakat
tersebut.
Bila kita melihat teori yang diungkapkan oleh Coser diatas, tentu saja kita
akan menemukan ketidaksesuaian dengan mereka yang mengnut mazhab
fungsionalitas, terutama yang dianut oleh Talcott Parsons. Namun, pandangan
Coser dapat dinilai lebih positif daripada pandangan-pandangan yang sebelumnya,
dimana menurutnya konflik dapat membuat sebuah suasana yang positif akibat
integrasi yang terjadi akibat pengertian dari kedua pihak yang berkonflik yang
pada akhirnya menemukan sebuah keseimbangan sosial. Konflik sebagai proses
sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-
batasnya berbentuk dan dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat menyatukan
para anggota kelompok melalui penyatuan kembali identitaskelompok.
Halaman | 24
Coser juga menyebutkan bahwa konflik juga merupakan sumber
perpecahan yang diakibatkan bagaimana sebuah konflik terjadi, yang juga
diperngaruhi oleh isu tentang konflik, serta cara bagaimana evolusi sebuah
konflik itu ditangani dan yang terpenting bagaimana konflik tersebut berkembang
sesuai dengan arah menuju resolusi yang akan peneliti telaah dalam penelitian
ini.Coser juga menyebutkan adanya perbedaan antara konflik in group dan konflik
out Groupserta antara nilai sebuah kelompok dengan masalah yang berada diluar
sebuah kelompok yang sedang berkonflik.Dimana konflik yang menghasilkan
perubahan struktural lebih mengedepankan keterlibatan lembaga-lembaga yang
berfungsi sebagai katup darurat, dimana katup darurat berfungsi mempertahankan
perpecahan yang terjadi antar kelompok dengan mempertahankan nilai-nilai yang
sebelumnya telah dijunjung bersama.
Menurut Margaret M. Poloma (Susan, 2009) menyebutkan bahwa
Dahrendorf menyatakanpandangan konflik yang dikemukakannya sangat berbeda
dengan yang dikemukakan oleh kedua tokoh utama konflik, yaitu Karl Marx dan
Weber.Marx menggunakan semua lapisan kelas dalam masyarakat tertentu
sabagai obyek analisis, dengan membedakan antara mereka yang memiliki dan
menguasai sarana produksi dan mereka yang tidak memiliki sarana
produksi.Dimana masyarakat dibagi ke dalam kelompok yang punya, dan yang
tidak. Dalam hal ini kekayaan merupakan salah satu indikator utama yang
memiliki hubungan dengan kekuasaan sebagai inti dari teori kelas, Dahrendorf
berpendapatbahwa masyarakat dua kelas yang dinyatakan oleh Marx tidak terjadi
di berbagai tipe masyarakat, namun hanya dapat kita lihat dalam masyarakat
Halaman | 25
dengan hubungan-hubungan tertentu, sehingga menurutnya Marx gagal dalam
mengidentifikasi aktor-aktor utama konflik dengan pandangan yang menurutnya
cukup sempit itu. Kekayaan, status ekonomi dan status sosial dianggap bukan
sebagai cerminan dari kelas mana ia berasal, namun dapat menjadi hal yang
sangat memperngaruhi berlangsungnya sebuah konflik. Dahrendorf
menyimpulkan sendiri inti pandangannya (Susan, 2009), yaitu semakin rendah
korelasi ekonomi lainnya, maka semakin rendah intensitas pertentangan kelas dan
sebaliknya.Secara singkat, teori fungsionalisme struktural melihat anggota
masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, serta nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat tertentu, maka teori konflik menganggap kerjasama
antar bagian yang membentuk masyarakat disebabkan adanya tekanan atau
pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa yang akhirnya
melakukan integrasi nilai-nilai tertentu yang menciptakan integrasi masyarakat
tertentu.
Sebenarnya antara teori fungsionalisme struktural dengan teori konflik
tidaklah bersifat saling menolak, mereka adalah saling melengkapi.Sebenarnya,
asal struktural konflik sosial terletak pada relasi-relasi hierakis berupa kuasa atau
wewenang yang berlaku di dalam kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi
sosial. Setiap kesatuan itu menunjukkan pembagian yang sama yakni antara
sejumlah orang yang berada di dalam posisi memegang kuasa dan wewenang
dengan sejumlah besar lain yang berada di posisi bawahannya.
Melihat bebebrapa penjelasan diatas, dapat kita simpulkan beberapa poin yang
dapat menjadi intisari dari pembahasan diatas, yaitu :
Halaman | 26
a) Kedudukan individu dalam masyarakat tidak dapat di sama ratakan,
dimana setiap individu memiliki peran masing-masing dalam hal ini ada
mereka yang berperan sebagai pihak determiner, atau penyebar pengaruh,
serta ada yang berperan sebagai pengikut, tergantung sejauh mana
kekuasaan yang dimiliki oleh individu tersebut.
b) Perbedaan kedudukan serta wewenang dalam sebuah masyarakat akan
menciptakan sebuah kepentingan yang berbeda pula, dimana hal ini sangat
di pengaruhi oleh siapa pihak yang memiliki hubungan dengan kekuasaan
tersebut, serta pengaruh apa yang dapat ia sebarkan terhadap kelas sosial
diluar kelompoknya.
c) Pihak pemiliki wewenang pada umumnya tetap akan menyebarkan
pengaruh dan kepentingannya pada pihak lain diluar kelompoknya, namun
hal tersebut biasanya tidak disadari, sehingga tidak menimbulkan sebuah
aksi untuk melawan kepentingan tersebut.
d) Konflik dapat dianggap positif serta meningkatkan nilai-nilai integrasi dari
berbagai elemen yang ada, dimana beberapa persyaratan tersebut adalah
bila konflik mencapai kondisi yang seperti berikut ini:
1) Kondisi dalam ranah struktural, seperti:
komunikasi efektif, pengerahan dan penempatan tenaga yang tepat.
kesempatan dan kebebasan berpendapat dan berkelompok.
tersedianya perintis (pendiri), pemimpin, dan ideologi.
Halaman | 27
2) Kondisi dalam ranah konflik yang bersifat evaluatif, seperti:
Mobilitas sosial positif, sehingga individu-individu atau keluarga-
keluarga mampu mencapai level kehidupan sosial yang lebih tinggi
dan berpengaruh pada kehidupan pribadinya.
Sarana-sarana efektif dalam menangani dan mengatur konflik sosial.
3) Kondisi yang mengarah pada perubahan struktural yang lebih baik dan
positif
2. Faktor Penyebab Konflik
Secara singkat, konflik disebabkan kepentingan yang dimiliki oleh
manusia maupun kelompok, namun kepentingan tersebut bertolak belakang
dengan kepentingan kelompok lainnya.Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan
ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatuinteraksi.perbedaan-perbedaan tersebut
diantaranya adalah menyangkut ciri fisik,kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,
keyakinan, dan lain sebagainya. Sumberkonflik itu sangat beragam dan kadang
sifatnya tidak rasional. Pada umumnyapenyebab munculnya konflik kepentingan
sebagai:
a) Perbedaan pendapat
Konflik yang terjadi karena pebedaan pendapat dimana masing-masing
pihak merasa dirinya benar, serta perbedaan terus-menerus terjadi yang
akhirnya menjurus pada kondisi ketegangan yang semakin membuat jurang
pemisah menajam.
Halaman | 28
b) Salah paham
Salah pahammerupakanhal yang seringkali menimbulkan konflik.
Dimanasuatu tindakan dimaknai lain oleh individu maupun kelompok lain
yang memiliki perbedaan kepentingan.
c) Ada pihak yang di Rugikan
Adanya pihak yang merasa dibodohi oleh pihak lain, yang mengambil
keuntungan tidak sesuai dengan kesepakatan kedua pihak, sehingga
membuat pihak lain terugikan, hal ini sangat rentan menyebabkan
terjadinya konflik.
d) Perasaan sensitif
Adanya perasaan yang terlalu peka terhadap tindakan orang lain memuat
pemaknaanya terhadap tindakan tertentu gagal dan merasa hal itu salah,
hal ini sangat sering membuat perbedaan pendapat antar aktor dalam
konflik.
e) Perbedaan individu
Kepribadian merupakan pembawaan yang sudah menjai cirri khas
seseorang, namun terkadang perbedaan dalam hal ini mampu merusak
hubungan melalu konflik kepentingan yang terjadi antar aktor.
f) Perbedaan latar belakang kebudayaan
Latar belakang budaya membentuk sifat yang khas darimana ia berasal.
Termasuk dalam hal pemikiran serta pemahaman akan sesuatu, hal ini
sanga rentan membuat seseorang berkonflik, terutama konflik yang
berkaitan dengan SARA.
Halaman | 29
g) Perubahan-perubahan yang cepat dan mendadak dalam masyarakat
Perubahan cukup wajar terjadi dalam suatu tatanan masyarakat, tetapi jika
perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan
tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial.
Itulah beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya konflik berkaitan
dengan pandangan-pandangan teoritis yang menggiring kita pada pembahasan
mengenai analisis konflik.
3.BasisTeori Analisis Konflik
Analisis konflik mutlak diperlukan untuk mengetahui bagaimana sebuah
konflik terjadi, dimana analisis konflik adalah suatu proses praktis untuk mengkaji
dan memahami kenyataan konflik dari berbagai sudut pandang (Fisher,2000).
Analisis konflik diperlukan agar kita memahami latar belakang sebuah konflik,
mengetahui berbagai pihak yang terlibat secara langsung maupun tak langsung
dalam konflik ini, memahami bagaimana sebuah kelompok memahami kelompok
lain, serta mengidentifikasi faktor dan kecenderungan yang mendasari konflik.
Bentuk analisis konflik sendiri terdiri dari berbagai alat bantu analisis yang
penggunaannya disesuaikan dengan persepsi masyarakat dimana konflik tersebut
terjadi serta proses yang telah dilalui oleh sebuah konflik. Analisis di bagi
menjadi 9 cara, yaitu penahapan konflik, urutan kejadian, pemetaan konflik,
segitiga SPK, analogi bawang Bombay, pohon konflik, analisis kekuatan konflik,
analogi pilar,dan piramida konflik.
Penahapan konflik, adalah sebuah analisis grafis yang menunjukkan
peningkatan dan penurunan intensitas konflik yang di gambar dalam skala waktu
Halaman | 30
tertentu, dimana penahapan konflik bertujuan untuk mengetahui naik turunnya
sebuah siklus konflik, serta membahas sampai mana sebuah konflik berjalan, hal
ini akan sangat berguna untuk menentukan pola-pola konflik yang akan terjadi di
masa mendatang serta memperkirakan solusi yang baik untuk sebuah konflik.
Kemudian urutan kejadian yang berupa gambaran grafis kejadian-kejadian dalam
suatu konflik dalam jangka waktu tertentu, yang sangat berguna untuk mengetahui
kejadian-kejadian penting bagi masing-masing pihak yang sedang berkonflik.
Selain itu, pemetaan konflik, yaitu sebuah teknik yang secara visual akan
menggambarkan hubungan di antara berbagai pihak yang sedang berkonflik,
analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi pihak yang telibat, hubungan, serta
berbagai isu yang ikut mendukung konflik tersebut, selain itu dengan analisis ini
ini kita dapat mengetahui bagaimana sebuah kekuasaan berperan sebagai tangan
tak terlihat dalam sebuah konflik.
Dalam analisis selanjutnya, yaitu segitiga SPK (Sikap-Perilaku-Konteks),
adalah sebuah analisis yang mencari tahu faktor keterkaitan antar sikap, perilaku
dan konteks, yang bertujuan untuk mengetahui titik awal dari sebuah intervensi
dari sebuah situasi tertentu. Analisis selanjutnya adalah analisis bawang Bombay,
yaitu analisis yang bertujuan untuk mengetahui pandangan-pandangan tentang
konflik dari berbagi pihak yang terlibat dalam konflik ini.
Analisis konflik selanjutnya adalah analisis pohon konflik, yaitu
menggunakan gambar sebuah pohon untuk mengurutkan isu-isu pokok dalam
sebuah konflik, analisis ini bertujuan untuk menghubungkan sebab dan efek satu
sama lain serta membantu berbagai pihak yang berkonflik untuk menemukan int i
Halaman | 31
masalah dan menemukan sebuah solusi yang tepat. Selanjutnya adalah analisis
pilar, yaitu sebuah grafik dari elemen-elemen atau kekuatan-kekuatan yang
menahan situasi yang tidak stabil, hal ini bertujuan untuk mengurangi dan
mempertimbangkan cara untuk mengatasi faktor-faktor negatif konflik yang tidak
jelas. Yang terakhir adalah piramida konflik, yaitu analisis berupa grafik yang
menunjukkan tingkat-tingkat stakeholder dalam suatu konflik, yang bertujuan
untuk mengidetifikasi ditingkatan manakan permasalahan yang sebenarnya dalam
sebuah konflik, serta mengetahui sekutu antar tingkatan yang mempengaruhi
jalannya sebuah konflik.Itulah beberapa analisis konflik yang dapat peneliti
jelaskan secara singkat.
Dalam penelitian ini, analisis konflik yang di gunakan adalah pemetaan
konflik dan pentahapan konflik, penggunaan dua analisis ini di dasarkan karena
kompleksnya konflik, baik dilihat dari sisi aktor, dinamika, dan isu, dimana untuk
membedahnya kita akan menggunakan pemetaan konflik,namun mengingat
konflik sudah terjadi beberapa waktu dan mengalami masa pasang surut,
intensitas dan aktivitas dari waktu ke waktu, maka pentahapan konflik akan sangat
berperan dalam menganalisisnya. Dengan menggunakan pemetaan konflik, kita
dapat mengetahui berbagai sudut pandang yang berkembang dan situasi yang
berkembang dalam sebuah konflik, Pemetaan konflik adalah sebuah metode yang
menggunakan gambaran grafis dengan tujuan menghubungkan masalah serta
berbagai pihak yang terlibat dalam konflik tersebut (Fisher, 2000). Dalam Konflik
yang terjadi di daerah Mojolaban ini, kita akan melihat berbagai sudut pandang
yang berbeda dari setiap pelaku serta pihak yang terlibat dalam konflik ini, seperti
Halaman | 32
perajin alkohol yang menganggap bahwa membuang limbah ke saluran irigasi
adalah alternatif yang cukup masuk akal karena memang itulah jalan satu-satunya
untuk membuang limbah, sedangkan petani merasa sangat dirugikan dengan
kegiatan tersebut karena sawah mereka menjadi gagal panen, dan menganggap
bahwa perajin alkohol adalah pihak yang paling bertanggung jawab, belum lagi
berbagai sudut pandang lain dari pihak yang juga terlibat dalam konflik tersebut
secara langsung maupun tak langsung, inilah yang merupakan salah satu
hambatan kita dalam melakukan resolusi konflik yang baik, pemetaan konflik
akan merekonsiliasi setiap pandangan tersebut dan mengahsilkan sebuah
pandangan yang relevan untuk semua pihak dan membantu resolusi konflik yang
telah dilakukan.
Selain itu, dengan pemetaan konflik ini, kita dapat menempatkan diri sesuai
dengan peta konflik yang ada, analisis pemetaan konflik sangat dinamis
bergantung pada bagaimana posisi kita dalam konflik tersebut, dalam konflik
yang terjadi di Mojolaban, tentu saja pendangan mereka terhadap kita akan
berbeda bila kita bukan merupakan bagian mereka, sehingga bila kita
menempatkan diri sebagai pihak yang ikut dalam dinamika konflik tersebut maka
kita akan menemukan sebuah benang merah yang menyatukan padangan-
pandangan mereka (Fisher, 2000). Dengan memahami berbagai pandangan
tersebut kita juga akan menemukan berbagai isu tambahan yang ikut mendukung
terjadinya konflik tersebut, yang dimana selain masalah limbah yang menonjol
dapat dipastikan ada beberapa isu tambahan yang ikut “meramaikan” konflik
limbah tersebut, baik yang bersifat isu pribadi yang secara subjektif maupun
Halaman | 33
PIHAK
E
PIHAK
C
PIHAK
B
PIHAK
A
objektif, serta isu yang melibatkan masyarakat setempat. Selain itu, pemetaan
konflik dapat membaca dinamika konflik yang ada, serta bagaimana sebuah
tindakan, seperti demo yang dilakukan oleh petani pengguna Dam Colo Timur
terjadi sesuai dengan situasi yang terus berubah, yang membuat pemahaman kita
tentang konflik yang terjadi semakin meningkat serta membawa kearah
penyelesaian, bahkan pemetaan konflik juga menawarkan sebuah analisis yang
cukup sederhana dalam menganalisa permasalahan yang kompleks.
Pemetaan konflik sebagai alat analisis akan digambarkan dalam gambar
berikut (Fisher, 2000) :
PIHAK D
PIHAK F
Gambar 1.1. Ilustrasi Pemetaan Konflik Fisher. Sumber : Sosiologi
Konflik dan Rekonsiliasi.
Halaman | 34
Keterangan Gambar :
= Menggambarkan Pihak yang terlibat dalam konflik tersebut,
ukuran lingkaran menunjukkan ukuran relative sebuah pihak
adalah kekuasaannya terhadap sebuah isu
= Menggambarkan hubungan yang agak dekat
= Menggambarkan Aliansi
= Menggambarkan hubungan tidak resmi atau sementara
= Menggambarkan arah utama pengaruh atau kegiatan
= Menggambarkan perselisihan atau konflik
= Menggambarkan putusnya suatu hubungan
= Menggambarkan isu-isu,topik atau hal lain selain orang
= Menggambarkan pihak luar yang memiliki pengaruh namun
tidak ikut terlibat secara langsung
Dengan melakukan pemetaan seperti di atas, kita akan mendapatkan sebuah
benang merah konflik yang akan menggambarkan letak kekuasaan serta pihak
yang dominan dalam konflik tersebut, yang selama ini masih samar terlihat,
karena keterlibatan BLHKabupatenSukoharjo serta pihak lain yang saling
mendukung terjadinya konfik tersebut yang selama ini belum terlihat dengan jelas
peran pihak yang mungkin memiliki andil cukup besar dalam konflik ini, yang
akhirnya berbagai hal diatas sangat berguna untuk melakukan analisis resolusi
konflik yang selama ini telah dilakukan.
Halaman | 35
Sedangkan bagaimana metode ini bekerja pertama-tama kita harus
menentukan apa yang ingin kita petakan, karena hal ini sangat berguna dalam
menentukan bagaimana sebuah pemetaan dibuat, dimana semakin besar peta
konflik dengan kompleksitas yang rumit, akan memakan banyak waktu dan peta
yang semakin bias dengan apa yang ingin kita petakan, sehingga menentukan apa
yang ingin kita petakan sangatlah penting ketika kita ingin melakukan pemetaan
konflik, dimana dalam kasus ini, yang ingin peneliti petakan adalah konflik akibat
limbah alkohol yang terjadi antara perajin alkohol di KecamatanMojolaban,
dengan petani pengguna Dam Colo Timur. Seperti yang kita tahu, sudut pandang
suatu permasalahan adalah poin yang cukup penting, dalam konflik ini
penelitiakan menggunakan dua sudut pandang yaitu dari perajin alkohol serta
petani pengguna Dam Colo Timur yang sedang berkonflik.
Dengan mengetahui sudut pandang mereka kita akan dapat mengetahui
bagaimana serta usaha apa yang dapat dilakukan untuk melakukan rekonsiliasi
konflik yang ada, dimana hal tersebut adalah intisari dari pengelolaan sebuah
konflik. Selain itu, hal yang penting dilakukan adalah menempatkan diri di dalam
peta tersebut, hal ini sangat penting dilakukan agar kita dapat ikut merasakan serta
mengerti persepsi serta hubungan pihak-pihak yang berkonflik dengan pihak lain
yang mungkin juga terlibat, sehingga analisis kita akan semakin kompleks dan
tajam nantinya. Bahkan bila kita kenal dengan pihak yang sekiranya mampu
melakukan rekonsiliasi secara resmi, seperti BLHKabupatenSukoharjo, kita dapat
menawarkan bantuan kepada pihak yang sedang berkonflik untuk sama-sama
mencari jalan tengah dengan posisi kita yang berada di dalam peta konflik.
Halaman | 36
Pemetaan konflik akan berjalan dinamis, dimana situasi dapat berubah kapan saja,
sehingga peneliti akan membuat sebuah pertanyaan yang dinamis serta kronologis
sesuai dengan situasi yang berpotensi timbulnya tindakan tertantu dari dari pihak
yang sedang berkonflik, pertanyaan seperti apakah dasar mereka melakukannya,
serta bagaimana struktur sebuah konflik berubah mau tidak mau membuat kita
harus menyiapkan analisis baru yang mungkin akan berbeda dari sebelumnya.
Dengan tujuan dan kegunaan yang sangat kompleks dari analisis ini, diharapkan
hasil yang didapat dari penelitian ini dapat membaca secara jelas dan detail
berbagai aspek serta dinamika konflik yang terjadi di daerah tersebut, yang
akhirnya dapat memperjelas masalah apa yang sebenarnya terjadi serta
memunculkan sebuah resolusi konflik yang jelas dan berkelanjutan.
Pisau bedah kedua yang akan di gunakan dalam penelitian ini adalah
pentahapan konflik, dimana dengan analisis ini nantinya konflik akan dibagi
dalam beberapa tahapan berdasarkan intensitas, aktivitas, ketegangan serta
kekerasan yang berbeda-beda, seperti yang kita ketahui bahwa konflik yang
terjadi di Mojolaban membentuk sebuah alur waktu tertentu, dimana pada masa
awal konflik sekitar tahun 2010an, aktor yang terlibat hanya saling tegur, hingga
tahun 2012 terjadi penandatanganan MoU antar kedua aktor yang saling
berkonflik, dan pada Maret 2013 terjadi lagi gejolak di kawasan tersebut. Tentu
saja, melihat hal tersebut kita tidak bisa hanya mengandalkan pemetaan konflik
yang memiliki keterbatasan untuk menganalisa konflik dari waktu ke waktu,
karena bisa saja dari waktu tertentu, aktor serta dinamikanya sudah berubah,
sehingga analisis ini cukup membantu untuk mendukung pemetaan konflik.
Halaman | 37
Dalam hal manajemen konflik sendiri, kita akan mengikuti konsep yang
mengedepankan bagaimana menciptakan sebuah kondisi yang menguntungkan
kedua belah pihak, dimana manajemen konflik adalah upaya memoderasi konflik
sesuai dengan proses konflik yang ada, namun tanpa menilik permasalahan yang
menjadi akar dalam konflik tersebut, dimana manajemen lebih mengarah pada
bagaimana proses dan behavioral aktor yang terjadi pada saat itu, dengan
menggunakan kronologi serta peta konflik sebagai analisator(Rubenstein, dalam
Susan, 2009)
4. Basis Teori Manajemen Konflik
Dalam manajemen konflik, seperti diungkapkan oleh Fisher (2000), maka,
data yang didapatkan dari lapangan akan diuraikan sesuai dengan tahap dimana
konflik tersebut terjadi, dimana dalam analisis ini tahap konflik adalah:
a) Pra Konflik: Adalah tahapan dimana mulai munculnya ketidaksesuaian
kepentingan antara pihak yang saling berkonflik, hal ini di awali ketika
kedua belah pihak memilih menghindar mengurangi interaksinya.
b) Konfrontasi: Pada tahapan ini konflik menjadi semakin terbuka, biasanya
konflik mulai terlihat dengan munculnya aksi dari salah satu maupun
kedua belah pihak, salah satu bentuknya adalah aksi demo protes yang
ditujukan pada salah satu pihak. Terjadinya kekerasan dalam skala kecil
dan tegangnya hubungan adalah salah satu bagian dari tahapan ini
c) Krisis : Pada tahapan ini konflik memuncak, ketengangan dan kekerasan
terjadi paling hebat hubungan antara beberapa pihak mungkin terputus
Halaman | 38
dan menghasilkan dinamika baru baik dalam hal aktor maupun
dinamikanya.
d) Akibat : Tahap ini adalah ketika salah satu pihak kalah dan menyerah
pada pihak lain, maupun terjadinya resolusi konflik, berupa negosiasi
maupun mediasi, tingkat ketegangan menurun dengan kemungkinan
tercapainya sebuah penyelesaian
e) Pasca Konflik : Adalah ketika konflik telah berakhir, dan situasi
mengarah ke normal kembali
Dengan analisis ini, kita dapat melihat pola-pola konflik yang terjadi di
Mojolaban, baik dari segi aktor, dinamika maupun isu yang berkembang dari
waktu ke waktu, sehingga akan sangat membantu analisis pemetaan konflik untuk
semakin memperjelas bagaimana konflik terjadi dan resolusi apa yang tepat
dilaksanakan, serta membantu merumuskan strategi.
Resolusi konflik sendiri adalah kondisi setelah konflik dimana pihak-pihak
yang berkonflik melaksanakan perjanjian untuk memecahkan persoalan mengenai
apa yang mereka perebutkan, dan menghentikan perbuatan yang berujung pada
kekerasan antara pihak satu dengan lainnya (Wallensteen, 2002). Salah satu
langkah yang dilakukan dalam resolusi konflik ini adalah identifikasi secara
bertahap permasalahan konflik yang dimulai dengan penelusuran pihak-pihak
yang terlibat, faktor penyebabnya serta hubungan diantara pihak-pihak, hal ini
dilakukan dengan menggunakan peta konflik yang sudah dibuat sebelumnya
sehingga mempermudah proses ini. Hal ini penting dalam menggambarkan
konflik berdasarkan adalah menggambarkan sejarah terjadinya konflik sehingga
Halaman | 39
berguna untuk merumuskan jalur penyelesaian terhadap konflik. Penyelesaian
konflik bertujuan untuk memfasilitasi proses negosiasi kesepakatan oleh
kelompok-kelompok yang bersengketa, dengan tujuan menghindari penyelesian
masalah melalui meja hijau atau persidangan yang merambah ke ranah hukum
(Mitchell et al. dalam Fisher, 2000). Selain itu, beberapa jenis model resolusi
konflik adalah resolusi konflik oleh diri sendiri (self) dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu denial dan self-help. Sementara penyelesaian konflik bersama orang
lain (with others) dapat dilakukan dengan caranegotiation dan mediation.
Sedangkan penyelesaian konflik dengan orang lain (by others) dapat dilakukan
dengan metode arbitration dan ligitation.
Dengan memanfaatkan beberapa analisis konflik yang ada sebelumnya,
peneliti akan menggunakan analisa resolusi konflik dengan menggunakan alat
analisis memetakan jalan pembuka, yaitu alat analisis resolusi konflik yang
digunakan untuk mengetahui apa tindakan yang akan dilaksanakan selajutnya
dengan mengadaptasi peta konflik yang ada (Fisher, 2000), dimana dengan
menggunakan analisis resolusi ini, jalan yang akan ditempuh dengan model
analisis resolusi ini nantinya adalah resolusi konflik dengan cara mediasi
(Mediation) ,dimana tujuan dari model analisis ini adalah memperjelas adanya
kegiatan yang mungkin berkaitan dengan kemungkinan munculnya lagi isu
konflik ke permukaan, lalu mengidetifikasi kemungkinan kegiatan baru, kerja
sama dan dukungan yang saling menguntungkan antar pelaku konflik. Sedangkan,
mediasi sendiri adalah suatu cara menyelesaikan konflik dengan menggunakan
seorang pengantara (mediator). Dalam hal ini fungsi seorang mediator hampir
Halaman | 40
sama dengan seorang konsiliator. Seorang mediator juga tidak mempunyai
wewenang untuk memberikan penanganan konflik mengenai keputusan yang
mengikat, dimana keputusannya hanya bersifat memberikan saran pada pihak
yang berkonflik.Pihak-pihak yang bersengketa sendirilah yang harus mengambil
keputusan untuk menghentikan perselisihan (Sugeng, 1999).Dalam studi konflik
dan perdamaian, pengelolaan konflik memilikitujuan untuk mencegah terjadinya
berbagai bentuk kekerasan selamaproses konflik berjalan.Rubenstein menyatakan
bahwa conflictmanagement bertujuan memoderasi mencari sebuah kesepakatan
antar pihak yang dimana akibat-akibat dari konflik tanpa masuk pada dimensi
usaha mencaripemecahan akar masalah (Rubenstein 1996).
Sedangkan, pisau analisis yang juga akan kita gunakan dalam konflik ini
adalah teori pengelolaan konflik. Dimana teori pengelolaankonflik menegaskan
bahwa semua jenis konflik tidak harus selesaidengan pemecahan masalah, namun
merupakan proses pembelajaranmengenai cara mengelola konflik untuk
mengurangi kemungkinan-kemungkinan terjadinya eskalasi kekerasan. Carpenter
dan Kennedy menjelaskan bahwa persoalan sangat mendasar bagi seorang
pengelola bukanlah melenyapkan sebuah konflik dari para aktor yang terlibat,
namun membuat sebuah pertentangan dan perbedaan yang ada dalam konflik agar
mencapai sebuah kesamaan pemahaman yang akhirnya akan membuat sebuah
integrasi antar aktor yang akan membuat konflik menjadi positif (Carpenter &
Kennedy 1988). Melalui wacana di atas, bisadimengerti bahwa pengelolaan
konflik adalah praktik strategi konflik yang setiap pihak, baik pihak berkonflik
maupun pihak mediator, harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi konflik
Halaman | 41
di lapangan.Praktek strategi konflik dipengaruhi oleh bagaimana suatu
kekuasaandimanfaatkan oleh pihak berkonflik.
Dalam pengelolaan konflik,kekuasaan sering dimanfaatkan untuk meredam
kekerasan yangmungkin muncul selama proses konflik. Hugh Miall (2004)
menyatakan bahwapengelolaan konflik adalah bagian dari seni menciptakan
intervensi yangtepat untuk mencapai kestabilan politik, terutama oleh pihak-
pihak dengan kekuasaan yang besar (powerful aktor) yang
mengoptimalkankekuasaan dan sumber daya yang ada untuk memberi tekanan
padapihak-pihak berkonflik agar mendorong pihak berkonflik untuk stabil(Miall,
dalam Susan, 2009).Dalam riset ini, pengelolaan akan menggunakan model
analisis yang akan menguraikan hal-hal berikut ini (Fisher,2000) :
Hambatan : Yaitu mencari faktor hubungan secara spesifik dan pengaruhnya
terhadap konflik yang ada, dimana salah satunya adalah
hubungan yang terjadi antar pihak yang sedang berkonflik,
apakah sudah baik atau masih ada intervensi yang mempengaruhi
Marjinalisasi : Dengan analisis ini, kita akan melihat apakah ada dari kelompok
tertentu yang tidak memiliki hubungan baik dengan pihak yang
ikut terlibat dalam konflik ini, hal ini akan semakin
mempermudah kita dalam mencari jalan keluar nantinya.
Struktur : Dengan struktur ini, kita harus mencari pihak-pihak yang dirasa
dapat bekerjasama untuk meredam dan menyelesaikan konflik ini
secara kontinu.
Halaman | 42
Isu-isu : Dengan analisis ini,kita akan menguaraikan isu-isu lain yang
muncul dan belum diatasi.
Dimana setelah kita mampu menguraikan konflik dalam beberapa poin
tersebut, maka proses pengelolaan konflik akan dibedakan lagi menjadi beberapa
tingkatan yang telah dilalui oleh konflik di wilayah ini, dimana menurut Moore
(2003), beberapa strategi pengelolaan konflik dapat dibedakan menjadi bebeapa
poin, yaitu :
a) Avoidance :Pihak-pihak konflik saling menghindari satu dengan lain dan
berharap konflik dapat selesai dengan sendirinya, sehingga tidak diperlukan
manajemen konflik lanjutan untuk mengatasi hal ini.
b) Informal problem solving : Pihak-pihak berkonflik setuju dengan pemecahan
masalah yang diperoleh secara informal melalui perundingan yang dilakukan
secara pribadi, antar pihak yang terlibat pada konflik
c) Negotiation : Negosiasi adalah penyelesaian konflik dengan melakukan
perundingan resmi antar kedua belah pihak yang berkonflik, dimana tata cara
dalam resolusi ini sangatlah procedural dan formal guna mencapai sebuah
kesepakatan konflik.
d) Mediation : Munculnya pihak ketiga yang diterima oleh kedua belah pihak
karena dipandang dapat membantu para pihak yang berkonflik dalam
penyelesaian konflik secara damai.
e) Executive dispute resolution approach : kemunculan pihak lain yang
memberikan suatu bentuk penyelesaian konflik
Halaman | 43
f) Artibration : suatu proses tanpa paksaan dari pihak berkonflik untuk mencari
pihak ketiga yang mampu meredam upaya konflik lebih lanjut.
g) Juducial approach : terlibatnya lembaga berwenang untuk mencapai sebuah
kepastian hukum.
h) Legislative approach :Intervensi yang dilakukan oleh lembaga wakil rakyat
untuk mencapai sebuah kesepakata yang mewadahi kedua belah pihak yang
sedang berkonflik.
Dalam konflik yang terjadi di Mojolaban ini, beberapa langkah yang pernah
dilakukan untuk meyelesaikan konflik ini, namun hampir semua langkah yang
telah dilakukan oleh berbagai pihak yang berkonflik termasuk warga masyarakat
sendiri,dimana mereka melakukan perudingan mandiri antara perajin alkohol dan
petani setempat.
Di akhir tahun 1960-an, Johan Galtung (1969) menawarkan model konflik
yang mencakup konflik simetris dan konflik asimetris.Dia menyarankan bahwa
konflik dapat dilihat sebagai segitiga vertical contradiction (C) Attitude (A) dan
Behavior (B).Kontradiksi (contradiction), merujuk pada sesuatu yang
tersembunyi dan berada di bawah situasi konflik, termasuk kenyataan ataupun
persepsi tentang ketidaksejajaran tujuan (incompatibility of goals) diantara para
pihak di dalam konflik.
Halaman | 44
Gambar 1.2. Model resolusi konflik Johan Galtung.Sumber : Pengantar Sosiologi
Konflik dan Isu-isu Kontemporer.
Di dalam konflik yang simetris, kontradiksi diakibatkan oleh para pihak,
kepentingan mereka dan pertentangan kepentingan diantara mereka.Sedangkan
dalam konflik yang asimetris, konflik diakibatkan oleh para pihak, hubungan
mereka dan konflik kepentingan yang terdapat dalam relasi antar mereka. Juga
termasuk sikap dan persepsi para pihak dan salah persepsi diantara satu sama lain.
Semua itu dapat bersifat positif ataupun negatif, Akan tetapi dalam konflik
kekerasan para pihak cenderung untuk mengembangkan berbagai stereotype satu
sama lain dan sikap mereka sangat dipengaruhi oleh berbegai emosi seperti takut,
marah, kebencian, dan kemarahan. Sikap termasuk di dalam nya elemen-elemen
emotif (perasaan), kognitif (kepercayaan) dan konatif (keinginan).Para analis yang
menekankan aspek-aspek subjektif itu menyatakan pandangan ekspresif mengenai
sumber-sumber konflik.Sementara perilaku (behavior) adalah komponen ketiga
yang mencakup kerjasama atau pemaksaan, bahasa tubuh yang menandakan
Halaman | 45
persatuan (conciliation) atau permusuhan (hositility).Perilaku konflik kekerasan
ditandai dengan ancaman, paksaan, dan penyerangan destruktif.Para analis yang
menekankan aspek-aspek obyektif seperti hubungan struktural, pesaingan
kepentingan material atau perilaku lebih mengungkapkan pandangan instrumental
sumber-sumber konflik.
Galtung menyatakan bahwa tiga komponen itu harus dihadirkan secara
bersama-sama dalam melihat konflik secara menyeluruh. Sebuah struktur konflik
tanpa konflik sikap dan perilaku merupakan konflik laten ataupun struktural.
Galtung melihat konflik sebagai sebuah proses dinamis dimana struktur, sikap dan
perilaku terus menerus merubah dan mempengaruhi satu sama lain. Sebagai
perkembangan dinamis, konflik menjadi bentuk konflik yang manifes ketika
kepentingan berbagai pihak berbenturan atau ketika hubungan diantara mereka
menjadi lebih bersifat ofensif.
Para pihak yang terlibat dalam konflik kemudian membentuk berbagai
struktur untuk mencapai kepentingan mereka.Mereka mengembangkan sikap
permusuhan dan perilaku konfliktual.Dari sinilah kemudian bentuk konflik mulai
berkembang dan intensif. Sebagaimana konflik berlangsung, sangat mungkin juga
terjadi perluasan konflik kepada pihak-pihak lain, lebih mendalam dalam lebih
tersebar, yang memunculkan konflik sekunder diantara pihak yag lerlibat atau di
dalam pihak lain yang ingin memperoleh keuntungan dari konflik itu. Pada
akhirnya pemecahan konflik harus melibatkan serangkaian perubahan dinamis
yang meliputi pencegahan perluasan perilaku konflik (de-escalation of conflict
Halaman | 46
behavior), perubahan sikap dan transformasi hubungan (relationship) atau
benturan kepentingan yang semua itu merupakan inti dari struktur konflik.
Dalam konflik yang terjadi di wilayah Mojolaban ini, mediasi yang
dilakukan oleh pihak yang memiliki kekuasaan terhadap kedua belah pihak sangat
diperlukan, mengingat konflik sudah terjadi berkepanjangan serta belum memiliki
sebuah jalan tengah yang diterima oleh kedua belah pihak, sehingga dengan
hadirnya mediator, yang diwakili oleh tokoh/lembaga yang memiliki kekuasaan
terhadap kedua belah pihak selaku fasilitator dan konsultan dalam pengambilan
keputusan nantinya diharapkan dapat menyelesaikan konflik yang ada.
Halaman | 47
G. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif
untuk memahami fenomena yang sedang terjadi di masyarakat , khususnya sentra
industri ciu bekonang sebagai pihak yang berkonflik, serta isu dan faktor
pendukung lain yang ikut membentuk struktur konflik tersebut, masyarakat sekitar
dan kedua pihak yang berkonflik serta pihak lain diluar peta konflik sehingga
bagaimana sebenarnya peta konflik dapat tersaji secara mendalam dan dapat
menghasilkan resolusi konflik yang sesuai dengan dinamika konflik yang ada
yang sesuai dengan pendekatan kualitatif yang bersifat menjelaskan secara
deskriptif suatu fenomena yang ada sesuai dengan proses yang ada, bukannya
hasil yang tercipta karena riset ini.
pendekatan yang digunakan dalam metode ini adalah pendekatan deskriptif.
Pendekatan deskriptif merupakan penelitian yang menuturkan dan menafsirkan
data yang ada serta menggambarkan sebuah fenomena, dengan pendekatan ini kita
akan banyak menggunakan kata Tanya mengapa dan bagaimana sebagai kunci
untuk membuka hasil penelitian kita. Metode penelitian ini memusatkan diri pada
pemecahan masalah-masalah aktual.Data yang dikumpulkan mula-mula disusun,
dijelaskan, dan kemudian dianalisa.Sebuah deskripsi merupakan representasi
obyektif terhadap fenomena yang ditangkap.Bentuk penelitian ini juga ditujukan
untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik fenomena alamiah
maupun fenomena buatan manusia (Moeleong, 1999). Dengan pendekatan ini kita
dapat menelaah isu apa dan bagaimana konflik lingkungan yang terjadi di
Halaman | 48
Mojolaban sejauh mungkin sesuai data yang kita kumpulkan di lapangan,
sehingga konflik yang bersifat dinamis di Mojolaban ini dapat kita jelaskan secara
detail dan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah di desa Mojolaban, KabupatenSukoharjo yang
merupakan sentra perajin alkohol yang secara legal telah di akui oleh pemerintah,
lokasi ini berada di daerah yang memiliki sawah cukup luas serta bertani adalah
profesi masyarakat setempat. Lokasi Desa Mojolaban sendiri, khususnya di
daerah perajin alkohol adalah pusat saluran irigasi yang membagi aliran air ke
beberapa desa yang memanfaatkan saluran tersebut sebagai saluran irigasi
mereka, sehingga tentu saja aspek kepentingan didaerah tersebut sangat sarat
terjadi.Kompleksitas konflik didaerah ini juga cukup rumit dan berliku, sehingga
diharapkan dengan dipilihnya lokasi ini, ke depannya dapat membawa pengaruh
yang baik pada konflik serupa khususnya yang terjadi di KabupatenSukoharjo.
3. Metode pengumpulan data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tiga metode pengumpulan data
untuk menjelaskan fenomena yang terjadi, alasan peneliti menggunakan metode
ini adalah karena pendekatan yang cukup intens serta mampu mengungkap fakta
tersembunyi dilapangan, yang tentunya akan berpengaruh terhadap validitas data
yang ada, metode pengumpulan data nya adalah Observasi, dan wawancara.
Halaman | 49
a) Observasi
Menurut Kartono (1980) pengertian observasi diberi batasan sebagai
berikut: “studi yang disengaja dan sistematis tentang fenomena sosial dan gejala-
gejala psikis dengan jalan pengamatan dan pencatatan”. Selanjutnya dikemukakan
tujuan observasi adalah: “mengerti ciri-ciri dan luasnya signifikansi dari inter
relasinya elemen-elemen tingkah laku manusia pada fenomena sosial serba
kompleks dalam pola-pola kulturil tertentu”. Metode ini peneliti gunakan karena
peneliti ingin melihat sebuah fenomena langsung, serta sesuai dengan keadaan
yang sebenarnya di daerah Mojolaban.
Karena bila hanya dengan melihat di studi pustaka saja kita akan kesulitan
dalam memperoleh data yang akurat dan detail tentang kebiasaan-kebiasaan obyek
di lapangan, selain itu dengan metode ini, melihat rumitnya konflik yang
terjadinya di Mojolaban, serta isu pendukung dan pihak yang mungkin secara
samar terlibat dalam konflik. Kita perlu menggunakan metode ini guna
memahami sebuah situasi dari masyarakat yang sedang berkonflik ini, karena
dengan melihat perilaku beberapa pihak sekaligus kita dapat memperoleh
beberapa data yang akan menunjang data yang sebelumnya mungkin sudah kita
dapatkan baik dari wawancara maupun dari studi pustaka yang telah kita lakukan
sebelumnya. Melihat kemungkinan bahwa obyek yang diteliti memiliki rasa tidak
percaya serta tidak memungkinkannya bentuk komunikasi lain, yang dikarenakan
mereka merasa penulis bukan merupakan bagian dari komunitas mereka, teknik
pengamatan ini dapat membantu penulias guna memahami hal-hal yang tidak
mereka ungkapkan sebelumnya.
Halaman | 50
Dengan berpikir kemungkinan tidak mau terbukanya para petani serta
perajin alkohol serta elemen masyarakat yang ada di desa Mojolaban tersebut,
peneliti memutuskan untuk menggunakan observasi secara partisipan, yaitu kita
ikut terlibat sebagai obyek dalam penelitian yang kita lakukan, sehingga perasaan
canggung untuk mengunkapkan data dapat berkurang seiring semakin akrabnya
peneliti dengan obyek sehingga validitas data dapat meningkat. Dalam penelitian
ini peneliti bermaksud mengamati bagaimana reaksi spontan dari petani ketika
melihat limbah alkohol mengalir ke sawah mereka dari saluran irigasi Dam Colo
Timur yang ada tepat di samping sawah mereka serta bagaimana perubahan
perilaku yang terjadi ketika air irigasi tercemar, yang ingin peneliti amati juga
adalah para perajin alkohol yang membuang limbahnya ke saluran irigasi,
sehingga dapat kita lihat apakah terdapat kesamaan serta tambahan data dari
metode wawancara yang sebelumnya telah dilakukan. Untuk memperkuat data
penelitian ini penelitiakan menggunakan media audio berupa rekaman wawancara
dan foto untuk memperkuat validitas data yang peneliti kumpulkan.Dimana audio
berupa rekaman wawancara dan foto yang menggambarkan kejadian-kejadian
serta analogi fenomena yang terjadi dilapangan.
Dalam pengalaman yang peneliti lakukan, observasi cukup berguna dalam
membuka fenomena-fenomena yang secara tidak langsung diungkapkan oleh
informan. Dimana salah satu contohnya, ketika peneliti melakukan wawancara
terhadap salah satu informan yang menyatakan bahwa saluran irigasi tidak
tercemar dan tidak berbau, serta tidak panas dan memperngaruhi padi yang
berkembang di daerah tersebut, tentu saja peneliti tidak dapat langsung
Halaman | 51
menyatakan bahwa data tersebut valid, karena itulah peneliti mengandalkan
metode observasi untuk meng cross check antara kondisi sebenarnya dilapangan
dengan pendapat informan yang bersangkutan, karena dari pengalaman peneliti
dilapangan, banyak sekali terdapat perbedaan yang ada antara kenyataan lapangan
dengan apa yang diungkapkan oleh informan. Hal ini cukup banyak terjadi ketika
peneliti baru saja tiba dilapangan, dan baru melakukan pendekatan kepada
informan yang ada.
b) Wawancara
Wawancara adalah pertukaran percakapan dengan tatap muka dimana
seseorang memperoleh informasi dari yang lain, (Denzin, 1970).Pihak yang di
wawancara diharap mau memberikan keterangan serta penjelasan, dan menjawab
semua pertanyaan yang diajukan kepadanya. Kadang kala ia malahan membalas
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pula. Hubungan antara interviewer
dengan obyek itu disebut sebagai “a face to face non-reciprocal relation” (relasi
muka berhadapan muka yang tidak timbal balik). Maka interview ini dapat
dipandang sebagai metode pengumpulan data dengan tanya jawab sepihak, yang
dilakukan secara sistematis dan berdasarkan tujuan riset (Kartono, 1980).
Wawancara ini peneliti lakukan dengan tujuan mengetahui perbedaan isu
serta efek dan persepsi dari konflik yang terjadi agar dapat terdokumentasi dengan
baik. Wawancara adalah suatu metode yang peneliti anggap sangat tepat untuk
menyesuaikan data yang diperoleh dari proses observasi dengan apa yang
sebenarnya ada dilapangan, dimana dengan melakukan wawancara kita akan
Halaman | 52
memperoleh deskripsi dari sebuah fenomena,dalam melakukan wawancara
memungkinkan kita untuk menangkap kilasan kehidupan sosial sebagaimana
adanya.Selain itu wawancara juga bersifat eksploratif, yaitu memberikan
gambaran dari apa yang belum tergali dari suatu topik dalam sebuah penelitian,
sehingga kita dapat mengetahui hal-hal yang belum terungkap dari observasi yang
kita lakukan.
Guna menjaga arah pembicaraan, peneliti menggunakan wawancara
berstruktur untuk membatasi arah pembicaraan, yaitu adalah wawancara yang
dilakukan menggunakan interview guide sesuai dengan data yang ingin kita
peroleh, sehingga pertanyaan yang nantinya akan kita ajukan telah sesuai dengan
topik yang kita angkat. Hal ini sangatlah beralasan, karena dari pengalaman yang
didapatkan peneliti, informan rata-rata menolak menghindari untuk membicarakan
konflik yang telah terjadi, sehingga peneliti harus melakukan pendekatan dengan
pertanyaan-pertanyaan pendukung yang berguna untuk mengarahkan informan
pada pertanyaan utama yang telah disiapkan, sehingga interview guide disini
berperan sangat penting, guna mengantisipasi pembicaraan yang mengarah jauh
diluar kebutuhan data. Dari awal penelitian, informan dari pihak perajin seakan
enggan membicarakan konflik yang terjadi di wilayah ini, dengan mengalihkan
topik pembicaraan, semisal mulai membicarakan tentang keluarga, dan hal lain
yang menyimpang dari konflik tersebut. Salah satu taktik yang digunakan peneliti
adalah dengan bertamu kerumahnya berkali-kali, dengan membawa makanan
yang disukai informan, seperti bakpia pathuk, guna mengakrabkan diri dengan
informan. Dengan cara ini, biasanya informan baru mau bicara masalah konflik
Halaman | 53
setelah peneliti bertamu sebanyak 3 sampai 4 kali ke rumah informan, barulah
setelah itu informan mau bicara masalah tentang konflik yang terjadi.
Sedangkan dalam wawancara ini, teknik pemilihan informan dalam
penelitian ini didasarkan pada teknik sampel, random purposive sampling. Yakni
penarikan sampel informan dengan acak (random), namun disesuaikan dengan
populasi tertentu dari elemen masyarakat, karena agar sampel yang kita dapatkan
sesuai dengan sasaran informan yang ingin kita capai, sehingga sampel yang ada
dapat mewakili sebuah bagian dari masyarakat dengan tepat. Dalam penelitian ini
peneliti menentukan populasi sampel berdasarkan kelompok mata pencaharian
dominan, yaitu perajin alkohol dan petani, serta pengelompokan individu berdasar
populasi darimana informan berasal, seperti perajin, dan petani, lalu non perajin
dan petani, yaitu profesi lain diluar kedua profesi dominan tersebut.
Alasan penarikan sampel dengan menggunakan metode ini, selain yang
telah disebutkan diatas, adalah untuk menghindari keseragaman data, karena dari
pengalaman yang dirasakan oleh peneliti, ketika peneliti mewawancarai seorang
informan, maka informan tersebut cenderung akan mengarahkan kepada informan
yang memiliki karakteristik hampir sama. Seperti yang dialami peneliti ketika
mewawancarai pak Mujimin yang merupakan seorang perajin yang membuang
limbah sembarangan, maka dengan serta merta pak Mujiono mengarahkan pada
pak Sukino yang juga merupakan oknum yang membuang limbah secara
sembarangan, sehingga data akan seragam dan tidak mewakili sebuah populasi.
Hal yang sama juga terjadi ketika peneliti mencari data ke pak Temon, yaitu
seorang petani yang banyak merugi karena peristiwa puso sejak dua tahun lalu,
Halaman | 54
dimana pak Temon juga akan mengarahkan peneliti pada petani yang senasib,
sehingga guna menghindari hal tersebut, peneliti mengambil sampel secara acak.
Dalam wawancara ini sasaran peneliti adalah tokoh masyarakat setempat,
dinas tekait serta perwakilan dan orang yang dominan dari kedua belah pihak
yang sedang berkonflik, baik dari paguyuban perajin alkohol maupun petani
pengguna Dam Colo Timur, serta warga sekitar lokasi yang di pilih secara acak,
sehingga validitas data akan semakin tinggi, selain itu perbedaan persepsi yang
ada akan membuat sebuah dinamika yang kompleks, yang kemudian akan
semakin menambah tingkat kedinamisan pemetaan data. Dalam melakukan
wawancara, peneliti melihat seberapa besar peran tokoh tersebut dalam konflik
ini, seperti peneliti mewawancari pak Tri sebagai pemilik 75persen dari seluruh
industri kecil yang ada didaerah ini, sekaligus beliau adalah orang yang
berpengaruh dalam pembuatan IPAL, dimana pendapat yang diberikan oleh pak
Tri hampir dimiliki oleh mayoritas perajin alkohol yang ada di wilayah ini.
Begitu pula dari pihak petani, peneliti mewawancarai beberapa tokoh yang
cukup memiliki andil dan peran dalam mengkoordinir petani dalam melakukan
aksi demo untuk melawan perajin alkohol yang membuang limbahnya di saluran
irigasi setempat. MuspikaKecamatan sebagai tokoh kunci dalam konflik ini juga
peneliti wawancarai sebagai basis data yang cukup kuat, khususnya dalam bidang
resolusi konflik yang di koordinasi oleh pihak Kecamatan dan BLH
KabupatenSukoharjo. Dalam wawancara ini nantinya juga akan di rekam
menggunakan tape recorder guna memperkuat data serta menghindari kehilangan
data akibat kesalahan dalam melakukan wawancara nantinya.
Halaman | 55
c) Pengumpulan data Sekunder
Pengumpulan data sekunder adalah proses untuk melakukan pembandingan
data antara observasi dan interview dengan data yang diperoleh dari sumber-
sumber terpercaya, seperti buku, artikel dan jurnal ilmiah. Pengumpulan data ini
merupakan suatu kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu penelitian.
Teori-teori yang mendasari masalah dan bidang yang akan diteliti dapat
ditemukan dengan melakukan studi kepustakaan. Selain itu seorang peneliti dapat
memperoleh informasi tentang penelitian-penelitian sejenis atau yang ada
kaitannya dengan penelitiannya.Dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya.
Dengan melakukan studi kepustakaan,peneliti dapat memanfaatkan semua
informasi dan pemikiran-pemikiran yang relevan dengan penelitiannya. Hal ini
sangat berguna untuk dilakukan, karena untuk memperkuat pendapat kita, kita
memerlukan hasil-hasil penelitian dari riset sebelumnya untuk mendukung
validitas data yang ada. Selain itu, studi pustaka dari sumber terpercaya dapat
menambah data yang belum diungkapkan oleh informan, semisal informan belum
mengungkapkan data tentang bagaimana dan kapan saja konflik terjadi secara
kronologis, maka data sekunder berfungsi untuk menambah khazanah data yang
ada. Hal ini banyak peneliti temui ketika turun lapangan, karena terkadang
informan lupa pada tanggal-tanggal terjadinya peristiwa penting dalam konflik ini.
Maka, data sekunder cukup penting untuk menambah validitas data.
Halaman | 56
4. Analisis data
Gambar.1.1. Analisis data.Sumber gambar
:http://www.kolomsosiologi.blogspot.com/2011/01/metode-analsis--data/interaktif/
(diakses pada 23 September 2012)
Model analisis data interaktif akanpeneliti gunakan dalam penelitian
ini.Model interaktif ini terdiri dari tiga hal utama yaitu reduksi data, penyajian
datadan kesimpulan. Proses analisis interaktif ini merupakan proses siklus dan
interaktif. Miles dan Huberman (1992) menyatakan bahwa penyajian data adalah
sekumpulan informasi yang tersusun memberi kemungkinan adanya penarikan
kesimpulan dan pegambilan tindakan.Selain itu kita akan melakukan verifikasi
data, yaitu penarikan arti terhadap data yang telah ditampilkan.Pemberian ini akan
memberikan interpretasi bagi peneliti dalam proses penarikan kesimpulannya.
Miles dan Huberman (1992) menyatakan bahwa dari permulaan pengumpulan
data, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari arti benda-benda, mencatat
keteraturan, pola-pola penjelasan, konfigurasi-konfigurasi yang mungkin ada, alur
sebab akibat dan proposisi.Dengan Metode Interaktif ini, serta melihat dinamisnya
Halaman | 57
konflik yang terjadi di lapangan, peneliti rasa metode analisis data ini cukup tepat
untuk di terapkan.
Hal ini cukup efektif saat peneliti terapkan dilapangan, karena dengan
melakukan pencatatan dan arti dan pengamatan dilapangan, mencatat keteraturan
serta pola-pola penjelasan dari wawancara yang ada dilapangan serta, alur sebab
akibat dan proposisi sangat membantu peneliti menganalisis fenomena-fenomena
yang sebelumnya tidak terungkap baik di media serta sangat membantu peneliti
dalam memperdalam fenomena yang terjadi dilapangan, karena dengan beberapa
kali pergi kelapangan guna melakukan interpretasi data guna memverifikasi serta
menambah kedalaman data, kita akan memperoleh kesimpulan yang benar-benar
mewakili semua sampel yang ada dilapangan. Selain itu dengan sistematika dan
pola-pola penjelasan yang sistematis sesuai dengan data dilapangan, kita dapat
menjelaskan dengan runtut dan sesuai dengan fenomena yang terjadi baik dari
segi waktu maupun dari segi peristiwa yang terjadi.
Halaman | 58
BAB II
DESKRIPSI WILAYAH DESA MOJOLABAN,
KABUPATENSUKOHARJO
A. PROFIL WILAYAH
1. Letak Wilayah Desa Mojolaban, KabupatenSukoharjo
Luas wilayah KecamatanMojolabantercatat+3.554 Ha atau sekitar 7,62%
dari luas KabupatenSukoharjo (46,666 Ha). Desa Palur merupakan desa yang
terluas yaitu+409 Ha (11,51%) sedangkan yang terkecil Desa Triyagan +168 Ha
(4,73%). Luas yang ada terdiri dari 2.234 Ha (62,86%) lahan sawah dan 1.320 Ha
Gambar 2.1. Peta Letak Wilayah Sukoharjo. Sumber:
www.Sukoharjokab.go.id.Diakses pada 28 Februari 2013.
Halaman | 59
(37,14%) bukan lahan sawah.KecamatanMojolaban terletak di dataran tinggi,
dengan tinggi 104 m dpl(dari permukaan laut). Jarak dari Barat ke Timur +8,0
Km, jarak dari Utara ke Selatan +6,0 Km. Jarak dari Ibukota Kecamatan ke
Ibukota KabupatenSukoharjo+11 Km.
Batas - batas Kecamatan, Sebelah Utara dan timur Kecamatan Jaten
Kabupaten Karanganyar dan Sebelah Barat Kota Surakarta.KecamatanMojolaban
terbagi dalam 15 Desa, termasuk desa Mojolaban sendiri yang menjadi wilayah
penelitian, wilayah Kecamatantersebut terdiri dari 53 dusun, 159 RW, 532 RT.
Menurut klasifikasinya semua Desa termasuk Desa Swakarya. Pelaksanaan
pemerintahan Kecamatan Mojolabanterdiri dari 7 orang aparat Kecamatan dan
153 orang aparat desa.Wilayah Penelitian sendiri merupakan desa Mojolaban
yang didominasi oleh persawahan yang di airi oleh saluran irigasi Dam Colo
Timur yang merupakan sarana irigasi utama daerah ini. Fokus penelitian berada di
Dusun Sentul dan Tegalmade yang merupakan dua wilayah yang dipisahkan oleh
keberadaan Dam Colo Timur ini, sehingga dam seakan juga beperan sebagai
pemisah kedua wilayah ini. Dimana dusun Sentul didominasi oleh perajin alkohol,
yang sekaligus juga sebagai pusat paguyuban alkohol di desa Mojolaban, yang
didaerah ini terdapat 201 perajin, baik industri maupun perajin kecil. Sedangkan
dusun Tegalmade adalah daerah yang didominasi oleh persawahan yang dimiliki
oleh petani setempat, sekaligus menjadi pusat paguyuban petani setempat.
Halaman | 60
Gambar 2.2.Papan Tanda memasuki pusat produksi alkohol.Sumber : Dokumentasi
peneliti
2. Perekonomian Masyarakat Setempat
Desa Mojolaban memiliki komposisi sebesar 39.891 pria, dan 40.162
wanita, dengan jumlah total masyarakat 80.053 jiwa (BPS KabupatenSukoharjo,
2011). Masyarakat Desa Mojolabanterbagi menjadi dua mata pencaharian yang
cukup dominan, yaitu Petani dan Perajin alkohol, petani sendiri mendominasi
hampir 40% dari wilayah ini. Dimana petani di daerah ini rata-rata berperan
sebagai pemilik lahan yang kemudian memperkerjakan buruh tani dari daerah
lain, seperti Bekonang dan daerah Karanganyar. Sedangkan perajin alkohol juga
cukup dominan didaerah ini, yaitu sebesar 30%.Berdasarkan data yang diperoleh
dari Disperindakop KabupatenSukoharjo, perajin alkohol sekarang sudah
mencapai 210 orang, yang dimana pada tahun 2002 mereka berjumlah hanya 182
orang dan menujukkan tren yang semakin meningkat.Perajindibagi dalam tiga
kelas, yaitu industri (memiliki karyawan lebih dari 10 orang), menengah
(memiliki karyawan 5 sampai 10 orang) dan kecil (memiliki karyawan 1 atau 2
Halaman | 61
orang). Perajinyang sudah berbentuk industri dan berbadan hukum (CV) hanya
12 orang dari 210 perajin, sehingga yang mendominasi wilayah ini adalah perajin
dengan skala kecil(www.Sukoharjokab.go.id, perkembangan perajin alkohol
tahun 2000-2006, diakses pada 9 september 2012), mereka terikat pada
paguyuban perajin alkohol yang diketuai oleh bapak Sabaryono.
Merekayang tidak menjadi Petani dan Perajin alkohol, rata-rata bekerja
sebagai pembuat batu bata tradisional, mereka mendominasi wilayah di sekitar
RT.15 yang berada di sebelah utara desa Mojolaban ini, prosentase mereka sekitar
20%. Sedangkan, Guru, PNS , dan pekerjaan formal lain hanya mendominasi
sekitar 7% dari jumlah keseluruhan masyarakat di desa Mojolaban ini. Aktivitas
perdagangan, baik yang berupa pedagang kecil maupun besar hanya berjumlah
3%. Merekamemanfaatkan jalan raya Solo-Sukoharjo yang melewati daerah
tersebut untuk berjualan, tren tersebut semakin meningkat karena semakin
menjamurnya toko yang berada di sepanjang jalan raya tersebut, baik toko kecil
maupun besar (Sukoharjo dalam angka, 2011).
3. Ragam dan Karakteristik Masyarakat Setempat
Masyarakat di daerah ini cukup terkenal dengan julukan “juragan ciu”
dimata penduduk daerah lain.Hal ini karena daerah ini didominasi oleh perajin
alkohol yang menyalahgunakan hasil produksinya menjadi ciu bekonang, yaitu
minuman keras yang terbuat dari sari tebu yang melalui proses destilasi.
Masyarakat sendiri didominasi oleh agama islam yang cukup kuat nuasanya,
dimana setiap malam kamis setelah berakhirnya musim “nggodok”, yaitu proses
Halaman | 62
pembuatan alkohol, mereka mengadakan pengajian untuk mensyukuri kekuatan
yang diberikan oleh Tuhan untuk memproduksinya. Dalam segi organisasi, didesa
Mojolaban yang lebih mendominasi adalah paguyuban perajin alkohol yang
diketua oleh bapak Sabaryono. Paguyuban ini secara struktural cukup baik,
bahkan sudah memiliki KUD (Koperasi Unit Desa) untuk menunjang produksi
alkohol yang dilakukan, sehingga diharapkan dapat terdistribusi dengan baik.
Petani sendiri juga memiliki paguyuban, namun secara struktural kurang
organisatif. Ketikapeneliti ingin mewawancarai ketua dari paguyuban, petani
saling menunjuk dan tidak memberikan kepastian siapa yang memimpin
paguyuban petani didesa Mojolaban ini.
Secara keseluruhan, setelah konflik dianggap selesei oleh perajin alkohol,
masyarakat didesa ini cukup menyatu yang dibuktikan dengan adanya kegiatan
kumpul bersama baik untuk arisan maupun adanya kegiatan kumpul disore hari
untuk saling bercengkerama. Walaupundari pihak petani terkadang masih sering
mengeluhkan dengan cara menyindir mereka yang masih suka membuang
limbahnya secara sembunyi-sembunyi di malam hari. Alkohol yang di salah
gunakan sebagai minuman keras, atau “Ciu” menurut masyarakat setempat,
merupakan sebuah produk yang lahir dari pemberontakan wong cilik terhadap
kemapanan dan modernisasi yang menindas gerak laju mereka. Tempat-tempat
hiburan yang dulunya cukup mudah dinikmati kini mulai tergerus oleh ancaman
global melalui media yang banyak bermunculan, baik Online maupun offline.
Panggung hiburan sudah mulai digantikan dengan bangunan-bangunan yang
diperuntukkan untuk pusat-pusat bisnis.
Halaman | 63
Ada semacam fenomena budaya di Solo yang menjadikan Ciu sebagai
pemicu kemabukan agar bisa lebih menikmati sebuah hiburan rakyat.Sebut saja
dangdut. Setiap ada pertunjukan dangdut, baik itu di THR (Taman Hiburan
Rakyat) maupun di event-event yang cakupannya kecil seperti hajatan, bisa
dipastikan ciu hadir di tengah-tengah massa. Selain sebagai pemicu untuk
mencapai kondisi mabuk, ciu hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni
industri hiburan modern.Kita merasa lebih kerenketika minum kopi bergambar
putri duyung di gerai sebuah Mall.Kita merasa lebih eksis ketika kita mampu
mendengarkan lagu favorit kita melalui I-pod. Kita merasa lebih trendi dan
gaulbila kita pergi jalan-jalan ke mall daripada ke pasar rakyat seperti di Sekaten.
Industri budaya pop itu memanipulasi kita, mengendalikan kita, dan
mengkungkung kita dalam tuntutan-tuntutan untuk memenuhi hasrat
konsumerisme kita. Bagi kaum marjinal, anak jalanan, preman dan anak-anak
muda yang merasa terpinggirkan oleh kehadiran budaya pop ala Amerika, Ciu +
Dangdut + Goyang menjadi pertahanan dan perlawanan terakhir terhadap serbuan
budaya global.Orang-orang itu mempunyai jiwa yang bebas dan bisa menjadi diri
mereka sendiri.Mereka mempunyai selera dan cita rasa yang khas, terlepas dari
penyeragaman cita rasa dan selera yang dilakukan industri hiburan global. Mereka
tidak membenci hiburan-hiburan mahal dengan semangat primordial dan gaya
perlawanan lokal. Mereka hanya butuh hiburan yang terjangkau di tengah-tengah
himpitan kesulitan ekonomi.Mereka tetap eksis dengan
pilihannya(Wawancaradengan pemuda setempat, Mojolaban, 25 Januari 2013).
Halaman | 64
Secara pendidikan, Lulusan SLTA Sangat mendominasi wilayah ini,
angkanya pun mencapai 70% dari total penduduk di desa Mojolaban(Sukoharjo
dalam angka, 2011).Namun, masyarakat desa setempat memilih menyekolahkan
lagi anak-anak mereka hingga ke jenjang S-1 agar dapat melanjutkan usaha orang
tua mereka dengan cara yang lebih baik, beberapa sampel dari perajin dan petani
serta masyarakat sekitar memiliki alasan yang hampir sama, yaitu bila mereka
berasal dari perajin, maka anak disekolahkan agar dapat meningkatkan kualitas
produksi dan distribusi dari alkohol tersebut. Sedangkan, mereka yang berprofesi
sebagai petani, akan menyekolahkan anak mereka dengan tujuan agar mampu
mengolah sawah bapaknya dengan lebih baik, dan menghasilkan keuntungan yang
melimpah untuk keluarga. Sedangkan, alasan yang hampir sama juga
diungkapkan masyarakat, yaitu agar dapat melanjutkan profesi bapaknya secara
turun-temurun, sehingga tradisi sebuah pekerjaan dalam keluarga tidak hilang,
semisal bapaknya PNS maka anaknya juga akan didorong untuk mengikuti tes
CPNS ketika sudah lulus.
4. Sejarah Keberadaan Industri Alkohol di Bekonang
Sejarah keberadaan industri alkohol dimulai pada abad ke-17, di jaman
pertengahan kerajaan mulai mengembangkan berbagai budidaya seperti gula tebu
dan beras. Dari dua komoditi itu kemudian dibuatlah anggur yang terbuat dari
beras yang difermentasi, tetes tebu dan kelapa. Pada Awalnya, daerah ini
memproduksi minuman yang di sebut dengan Ciu, minuman ini diproduksi sejak
akhir abad ke-17 sampai abad ke-19 dan merupakan minuman populer di Eropa,
Halaman | 65
terutama Swedia. Minuman ini juga umum dikenal sebagai the Batavia Arrack
van Oosten.Pada waktu pemerintahan raja-raja (Kraton Surakarta dan Yogyakarta)
sebelum Indonesia merdeka, terdapat tradisi pada acara-acara pesta panen raya
atau penyambutan tamu-tamu kerajaan dengan mengadakan pesta dan tarian
tradisional seperti Tayub, Sinden Ledek dan sebagainya. Acara-acara ini marak
setelah Belanda masuk campur tangan demi menjatuhkan kekuasaan Kraton
secara pelan-pelan tentunya. Pada acara acara tersebut, walaupun berlangsung
pada siang hari, pasti ada acara minum minuman keras “Ciu Bekonang” untuk
mabuk-mabukan, baik di kalangan punggawa kerajaan maupun rakyat di sekitar
kerajaan
Pada masa itu walaupun usaha yang dilakukannya secara sembunyi-
sembunyi, namun telah menghasilkan sesuatu yang disebut “ciu” dengan kadar
alkohol yang masih rendah. Ciu atau yang terkenal dengan sebutan “Ciu
Bekonang” pada awal-awal produksinya memang dikonsumsi untuk minuman
keras dan mabuk-mabukan.Menjelang Indonesia Merdeka pada tahun 1945,
pengrajin industri rumah tangga “Ciu Bekonang” hanya berkisar 20 orang saja
dan hasil produksinya kurang lebih per hari hanya 10 liter saja. Peralatan
Produksinyapun masih sangat sederhana.Penjualan dilakukan secara sembunyi-
sembunyi dan pada orang-orang tertentu yang suka mabuk-mabukan.Antara tahun
1961 sampai tahun 1964, industri yang sebelumnya hanya memproduksi minuman
keras, mulai memproduksi alkohol untuk keperluan industri maupun sterilisasi.
Kemajuan dalam hal peningkatan kadar alkohol dari 27% menjadi 37% dengan
peralatan yang juga masih sangat sederhana. Hasil alkohol yang masih berkadar
Halaman | 66
37% ditampung dan ditingkatkan kadar alkoholnya. Dari Jumlah pekerja juga
sudah ada peningkatan. Hasilnyapun sudah dipasarkan mencapai hampir
keseluruh wilayah karesidenan Surakarta, Surabaya, Kediri, dan daerah lain yang
banyak didominasi oleh industry farmasi (Catatan Blusukan Solo, 2012).
Pada tahun 1980-an, Pemdatingkat II Sukoharjo (Dinas Perindustrian)
mengucurkan bantuan sebesar Rp.2.000.000 rupiah guna meningkatkan produksi
alkohol. Hasilnya, kadar alkohol sudah dapat ditingkatkan kadarnya menjadi 60%.
Pada tahun 1997 ada naskah kesepakatan dengan industri alkohol besar di
Karanganyar (Jateng) yaitu PT. Indo Acidatama Chemical Industri .Hasilnya,
pada tahun 2000, dengan peralatan yang lebih modern lagi, kadar alkohol
didaerah setempat berhasil ditingkatkan menjadi 70% bahkan 90%, sehingga
mampu memenuhi kebutuhan industri, yang menurut salah seorang informan,
adalah industri farmasi, pengkalengan ikan dan industri baja yang banyak terdapat
diwilayah semarang dan Surabaya yang sekarang banyak mengambil hasil
produksi setempat.
5. Proses Produksi Alkohol dan Limbah yang dihasilkan
a) Proses Produksi Alkohol
Proses produksi alkohol sendiri masih sangat sederhana dan menggunakan
peralatan yang rata-rata dirangkai sendiri oleh para perajin, bahan baku alkohol
yang berasal dari tetes tebu didatangkan dari wilayah malang, dan madiun, serta
beberapa pabrik gula yang berada di daerah karesidenan Surakarta, seperti
Tasikmadu dan Colomadu. Bahan baku sendiri merupakan sisa produksi gula,
Halaman | 67
yang merupakan limbah hasil pengkristalan yang berbentuk kental dan manis.
Umumnya, untuk memperoleh bahan baku ini para perajin mendapatkan setoran
tetap dari distributor yang bergerak di bawah pengawasan paguyuban, yang
diketuai oleh pak Sabaryono.
Bahan baku diantar seminggu tiga kali untuk memenuhi kebutuhan perajin
yang ada. Proses dari produksi alkohol sendiri, pertama-tama tetes tebu di
tampatkan pada sebuah wadah yang digunakan untuk menampung tetes, yang
terhubung dengan tong besar untuk menampung tetes sesuai dengan kapasitas
produksinya. Kemudian, kayu yang merupakan bahan bakar utama dari
pembuatan alkohol ini ditumpuk sedemikian rupa dan ditaruh dibagian bawah
tong tersebut. Tong yang menjadi wadah tetes didesain dengan
menghubungkannya pada selang besi yang ada dibagian atas, yang lalu selang
tersebut terhubung dengan tong lain yang ada di seberangnya. Setelah api dirasa
cukup panas, maka tetes tebu akan dialirkan sedikit demi sedikit dari wadahnya ke
tong destilasi, setelah dirasa tong sudah penuh, api dijaga hingga sekitar delapan
jam untuk menyuling tetes tebu menjadi alkohol yang akan tertampung pada tong
kedua yang ada diseberang tong pertama.
Halaman | 68
Gambar 2.3.Alat destilasi alkohol sederhana. Sumber: Dokumentasi peneliti.
Setelah menunggu selama delapan jam maka tong kedua telah terisi hasil
destilasi dari tetes tebu tersebut, biasanya untuk mencapai kadar 30 persen, dari
100 liter tetes tebu, hanya 60 liter yang menjadi alkohol, sisanya berupa badek
atau limbah alkohol yang mengendap di tong pertama proses tersebut. Pada saat
pertama kali didestilasi, alkohol yang merupakan hasilnya akan terasa panas, dan
perlu didinginkan dengan air, caranya dengan menyiramkannya pada sekitar tong
kedua yang berisi alkohol hasil destilasi tersebut. Setelah dingin, maka jadilah
alkohol dengan kadar 30 persen, alkohol inilah yang oleh masyarakat sekitar
dinamakan “ciu bekonang”, dimana kadarnya masih rendah dan belum memenuhi
kadar untuk industri, yang menuntut kadar hingga 90 persen, ketika tidak ada
order, mereka biasanya menjual hasil sulingan pertama ini dalam bentuk ciu,
dengan harga 7000 rupiah perliternya. Kemudian, untuk mencapai standar
industri, proses yang sama dilakukan kembali hingga dua atau tiga kali, hingga
kadar 90 persen tercapai, pada proses ini, setiap 100 liter tetes tebu, maka yang
Halaman | 69
dapat menjadi alkohol hanyalah 30 liter untuk kadar 80 persen, dan 15 liter untuk
kadar mencapai 96 persen, sehingga dari 100 liter tetes tebu, yang 80 liternya
adalah limbah yang memiliki kadar tinggi dan berbahaya bagi lingkungan.
b) Limbah yang dihasilkan
Limbah yang dihasilkan dari proses ini sangat merugikan petani yang
melakukan kegiatan didaerah Dam Colo Timur, yang merupakan saluran irigasi
utama bagi masyarakat setempat. Mulai bau yang menyengat, hingga warna yang
menghitam dapat kita lihat di sepanjang dam ini. Dari data yang diperoleh,
limbah yang dihasilkan cukup banyak dan berbahaya, jumlah limbah cair setiap
produksi yang dihasilkan rata-rata 44,2 liter/hari dan jumlah lumpur yang
dihasilkan ratarata 4,25 liter /hari. Kualitas limbah cair di Unit Pengolahan Air
Limbah yang ada di Desa Bekonang KecamatanMojolabanKabupatenSukoharjo
mempunyai kadar BOD5 = 55.000 mg/l, kadar COD = 170.316 mg/l dan kadar
TSS = 5.640 mg/l (Anik,2004). Dengan kadar yang sedemikian tinggi, menurut
penelitian Anik Kusrini, dapat menyebabkan beberapa dampak buruk bagi
pertanian, yaitu :
a) Rusaknya tanaman pada, karena kandungan kimia yang dihasilkan dapat
mempengaruhi unsur hara tanah, sehingga pada menjadi layu.
b) Membuat padi mekar lebih cepat, karena kadungan kimia yang tinggi, padi
mekar lebih cepat, padahal tubuh padi masih berukuran kecil, sehingga
tidak ada kemampuan untuk menanggun berat tubuh yang dimiliki oleh
pada tersebut.
Halaman | 70
c) Membuat tanah sangat gembur, karena kadungan kimia dan air yang
cukup tinggi, maka unsur hara menjadi larut dan hanya menyisakan tanah
yang sangat basah yang nantinya membuat padi tidak dapat ditanam
dengan baik.
Itulah beberapa dampak dari limbah yang dihasilkan dari produksi alkohol
yang dilakukan oleh masyarakat perajin alkohol dan pengaruhnya terhadap lahan
pertanian yang dimiliki oleh petani desa setempat.
Halaman | 71
B. KONTEKS KONFLIK
1. Peta Geografis daerah setempat, wilayah pihak yang terlibat
konflik.
Secara geografis, daerah Mojolaban dikelilingi oleh sawah yang memiliki
luas lebih dari pemukiman, dimana daerah yang berkonflik, yaitu dusun Sentul
dan dusun Tegalmade, sebagai wilayah utama yang terlibat konflik ini, dipisahkan
oleh Dam Colo Timur. Dam tersebut selain berfungsi sebagai saluran irigasi, juga
sebagai tembok pemisah antara wilayah perajin alkohol dan wilayah petani yang
berada diseberangnya, berikut peneliti gambarkan peta satelit wilayah tersebut :
Dalam peta wilayah geografis diatas, kita dapat mengetahui bagaimana
Dam Colo Timur memisahkan kedua wilayah, yang juga sangat berpengaruh pada
interaksi warga sekitar, dimana mereka yang ada di dusun Sentul, saat terjadinya
Gambar 2.4. Peta Satelit Wilayah Konflik. Sumber : maps. Google.com
Halaman | 72
konflik tidak mau bepergian, bahkan menolong masyarakat yang berada di daerah
Tegalmade, seperti penuturan berikut ini :
“Pas wonten tabrakan motor teng mriki (tegalmade) sing korban e anake
perajin, tak ben ke wae mas, ora tak tulungi, kulo ngenteni petani liyane
sing terus nyeluk uwong saka Sentul mriku, bar kuwi kulo lan petani
liyane nggeh nyawah maneh” (Ketika ada kecelakaan motor disini yang
korbannya anak perajin, peneliti biarkan saja, tidak peneliti tolong,
peneliti menunggu petani lainnya yang kemudian memanggil orang dari
desa sentul, lalu peneliti dan petani lain ke sawah lagi) (Pak Temon, Desa
Tegalmade, Mojolaban, 5 Februari 2013)
Dari pernyataan tersebut kita dapat mengetahui bahwa Dam Colo Timur
yang memisahkan kedua dusun tersebut menjadi sebuah tembok, dimana ketika
seseorang melewati Dam Colo Timur yang merupakan saluran irigasi setempat,
dan orang tersebut berasal dari dusun Sentul, maka akan terjadi perbedaan
perilaku dari masyarakat setempat, yang terjadi disekitaran bulan Juli 2012 lalu,
ketika konflik tersebut memuncak. Dengan melihat peta tersebut, terjadi
perbedaan kelas sosial yang cukup signifikan, dimana mereka yang tinggal di
Dusun Sentul, memiliki kehidupan yang lebih mapan daripada mereka yang
tinggal di Tegalmade. Karena perbedaan ini pula beberapa perajin juga
menyatakan bahwa faktor ekonomi adalah salah satu penyebab konflik tersebut.
Isu ini berkembang dikalangan perajin alkohol yang banyak terdapat di daerah ini.
Beberapa informan dari kalangan perajin menyatakan bahwa salah satu penyebab
konflik adalah karena perbedaan status ekonomi antara petani dan perajin, dimana
perajin memiliki kehidupan yang layak karena aktivitas produksi alkohol ini,
seperti yang dinyatakan oleh salah satu informan :
Halaman | 73
“itu sebenarnya karena iri saja mas, kan kita lebih sejahtera begitu mas
daripada petani disini, rumah kita lebih bagus, hidup kita lebih layak mas,
sedangkan petani ga bisa mencapai taraf kehidupan yang sama dengan kita
mas, jadi ya mereka itu demo untuk menghentikan aktivitas produksi kita, liat
aja mas, liat disebelah Dam Colo Timur mas, ada perbedaan yang mencolok
sekali kan mas”(Pak Maaruf, Mojolaban, 27 Januari 2013)
Bahkan, seorang perajin yang juga memiliki lahan pertanian, dan memperkerjakan
buruh tani setempat, juga menyatakan hal yang sama dengan perajin yang
diwawancarai sebelumnya.
“Ya dari para petani yang kerja si sawah saya, saya juga kadang mendengar
masalah ekonomi juga ikut andil mas dalam konflik ini, karena mereka
merasa ga sama mas dengan perajin yang ada di daerah ini”(Pak Tri,
Mojolaban, 21 Februari 2013)
2. Sudut Pandang Aktor yang Terlibat
Dari wawancara yang dilakukan pada beberapa informan, salah satu hal
yang sangat menarik adalah perbedaan sudut pandang yang ada dari beberapa
aktor yang terlibat dalam memahami konflik tersebut, dimana menurut para
perajin, konflik telah selesai, sedangkan petani dan warga masih mengintervensi
pihak perajin dan menganggap bahwa konflik tersebut belum selesai, karena
masih banyak oknum perajin yang masih membuang limbahnya secara
sembarangan. Dari pihak perajin sendiri, garis besar yang dapat kita simpulkan
adalah bahwa dinamika konflik yang terjadi didaerah ini menurut perajin dimulai
pada tahun 2010, dimana ketika itu petani mulai melakukan peringatan melalui
paguyuban petani kepada paguyuban perajin alkohol, namun menurut para
perajin, konflik terjadi karena adanya rasa iri dari petani melihat perajin alkohol
memiliki ekonomi yang cukup makmur, sangat berbeda dengan kondisi mereka.
Halaman | 74
Hal ini didasarkan karena sejak berdirinya industri ini, pada jaman Kraton
Surakarta, dan telah diwariskan turun-temurun tidak pernah terjadi padi puso
karena limbah alkohol, dan puso karena limbah alkohol baru terjadi dua tahun
terakhir ini (2010-2013) sehingga menurut perajin pernyataan petani tersebut
tidak wajar dan disebabkan karena iri semata.
Selain itu, anggapan bahwa limbah merusak lahan pertanian juga tidak
benar menurut perajin, karena menurut pihak perajin malah akan menyuburkan
sawah, karena ada kandungan pupuk yang ada pada limbah. Bahkan, para perajin
membuat peryataan bersama bahwa limbah bisa digunakan sebagai pupuk yang
difasilitasi oleh pak Sabariyono sebagai ketua paguyuban, sebagai buktinya
perajin menyatakan beberapa wilayah di sekitar Sukoharjo seperti Karanganyar
dan Wonogiri selalu meminta limbah alkohol di salurkan pada sawah mereka
sebagai pupuk alami dan murah. Karena itu, petani menyatakan selain masalah
ekonomi, penyebab lainnya adalah terjadinya kesalahpahaman serta oknum
perajin yang membuang limbah langsung ke saluran irigasi juga menjadi
penyebab utama, para petani bersikeras bahwa limbah dapat merusak, namun
perajin merasa tidak merusak karena sudah bertahun-tahun membuang limbah
namun tidak ber efek apapun pada padi. Beberapa perajin berpendapat, karena
semakin banyaknya limbah dan berkurangnya sawah, maka membuat tanah sangat
gembur, sedangkan pada masa dahulu, perajin tak sebanyak sekarang, dan sawah
masih luas sehingga air limbah terdistribusi dengan rata. namun bila limbah
dibuang dengan tempo tertentu, yaitu dengan menunggu limbah dingin, semisal
seminggu sekali, maka akan berpengaruh baik terhadap perkembangan padi,
Halaman | 75
biasanya sebelum dibuang limbah ditaruh di IPAL lama yang sebenarnya sudah
overload, kemudian seminggu kemudian baru dibuang ke saluran irigasi.Selain
itu, petani dari daerah Karanganyar malah meminta perajin mengirim limbahnya
ke sawah mereka, bahkan perajin merasa limbah yang dibuang telah netral dan
aman padahal kenyataannya limbah hitam dan berbau menyengat.
Hal yang berbeda diungkapkan oleh pihak petani, yaitu petani merasa
bahwa limbah benar-benar merusak lahan pertanian mereka, karena seperti yang
diamati oleh peneliti ketika melakukan wawancara di pinggir sawah milik petani,
untuk beberapa informan, dimana limbah benar-benar menyebarkan bau busuk
dan warna yang hitam pekat. Ketika peneliti melakukan pengamatan, petani yang
baru saja menanami sawahnya, memperlihatkan bagaimana proses mblonyohnya
atau matinya bibit padi akibat limbah yang bersifat panas dan merusak tersebut.
Pak Temon sebagai salah seorang informan memperlihatkan secara jelas
bagaimana limbah alkohol merusak sawah petani, dan hanya itulah penyebabnya,
dimana petani hanya meminta perajin menghentikan pembuangan limbah secara
sembarangan di saluran irigasi setempat. Sampai ketika peneliti melakukan
penelitian ini, petani masih memendam rasa kesal yang disebabkan oknum perajin
yang hingga sekarang masih membuang limbahnya sembarangan, dan mengarah
pada konflik laten dari kedua belah pihak. Dari pemaparan diatas, dapat kita lihat
perbedaan pandangan yang cukup signifikan dari kedua pihak utama yang terlibat
dalam konflik ini.
Halaman | 76
Gambar 2.5. Kondisi Saluran Irigasi Setempat. Sumber: Dokumentasi peneliti
Gambar. 2.6. Kondisi air yang pekat. Sumber : Dokumentasi Peneliti
Petani juga mendapatkan dukungan penuh dari warga sekitar yang merasa
terganggu dengan limbah alkohol, hal ini dirasakan oleh sebagian besar warga
yang tinggal di wilayah tersebut. Selain karena bau busuk yang disebarkannya,
limbah juga membuat tanah yang biasanya digunakan warga untuk membuat batu
bata menjadi sangat gembur dan tidak bisa di olah menjadi bata. Selain itu, sumur
warga juga terpengaruh karena rembesan dari limbah ini, air sebagian warga pun
Halaman | 77
berubah menjadi agak kecokelatan dan tidak bisa dikonsumsi sebagai air minum,
dimana akhirnya warga melakukan pembelian air bersih untuk kebutuhan
konsumsi, seperti air galon. Karena hal inilah lalu warga dan petani bersatu untuk
mencegah dan mengontrol pihak perajin yang masih membuang limbahnya secara
sembarangan.Warga sendiri bersepakat untuk menutup paksa dan melaporkan
pada pihak terkait dan Kecamatan untuk menutup usaha perajin yang ketahuan
membuang limbah secara sembarangan di daerah setempat.
Gambar 2.7.Kondisi Sumur Warga yang Keruh. Sumber: Dokumentasi
Peneliti
Demikianlah konteks konflik yang terjadi di desa Mojolaban,
KabupatenSukoharjo. Di bab selanjutnya kita akan membahas bagaimana konflik
tersebut terjadi secara lebih detail dengan melibatkan peta dan tahapan konflik,
serta sesuai dengan pemaparan yang sistematis dan mudah dipahami.
Halaman | 78
C. KESIMPULAN BAB 2
Dengan Melihat profil wilayah yang sudah dijabarkan, kita dapat
menyimpulkan bahwa kehidupan masyarakat didaerah ini cukup intens dalam hal
berinteraksi antar sesamanya. Secara sejarah, daerah ini sebenarnya telah menjadi
penghasil alkohol, bahkan sejak jaman kerajaan kesultanan Surakarta, sehingga
perajin alkohol sendiri sudah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakatnya, bahkan minuman keras yang dinamakan ciu bekonang sudah
diproduksi sejak jaman belanda. Namun, keberadaan Dam Colo Timur sendiri,
yang memisahkan dua wilayah, yaitu wilayah perajin alkohol dan petani membuat
adanya perbedaan yang cukup mencolok dari daerah ini, yaitu di wilayah dusun
sentul, rumah-rumah dengan kualitas baik cukup banyak, serta masyarakat hidup
berkecukupan dari usaha perajin alkohol ini.
Namun, di dusun tegalmade, yang berada disisi lain dari Dam Colo Timur ini,
hanya di dominasi sawah dan rumah dengan kualitas standar dan kehidupan yang
cenderung kurang, perbedaan ini juga mempengaruhi organisasi yang ada, semisal
paguyuban yang sudah sangat terstruktur dengan KUDnya yang cukup mumpuni,
sedangkan petani yang belum jelas secara struktur paguyubannya, walaupun
wilayah pertanian didaerah ini sangat luas. Hal ini membuat mudahnya terjadi
gesekan-gesekan antar mereka, salah satunya masalah limbah yang sempat
meledak beberapa waktu lalu. Dengan menggunakan metode triangulasi data
antara perajin, petani dan warga setempat serta dari dinas terkait yang memiliki
peran sangat besar dalam hal mediasi konflik ini, data yang dihasilkan dapat
memiliki validitas yang tinggi serta dapat dipertanggungjawabkan. Dimana
Halaman | 79
pengambilan data pada informan berhenti ketika sudah terdapat sebuah
kesimpulan dari sebuah pertanyaan yang ditanyakan pada beberapa informan dari
populasi masyarakat yang berbeda.
Konflik yang terjadi didaerah ini cukup kompleks dan berkepanjangan,
berbagai unsur yang mendukung, mulai dari geografis, hingga adanya dinamika
yang cukup menarik dari kesepakatan yang telah beberapa kali di tandatangani
oleh perwakilan dari kedua belah yang berkonflik.
Demikianlah kesimpulan BAB 2 pada penelitian ini.
Halaman | 80
BAB III
ISU DAN PIHAK YANG TERLIBAT DALAM KONFLIK INI
Konflik didaerah Mojolaban sebenarnya belum usai, namun lebih ke arah
konflik laten yang sekarang mencuat dikalangan petani setempat, menurut para
perajin, konflik telah usai yang ditandai dengan membaiknya hubungan antar
kedua belah pihak. Seperti pada acara Kecamatan, dan desa, serta hajatan warga,
mereka sudah mulai membaur sesamanya, sehingga dari salah satu pihak, yaitu
perajin konflik dianggap sudah selesai. Pada bab 2 ini, akan dipaparkan detail
permasalahan serta aktor utamanya, sehingga mampu mendukung pemetaan
konflik yang menggunakan beberapa indikator untuk mencapai peta yang detail
dan mampu menggambarkan konflik secara lebih tajam dan mengena. Pada awal
analisis ini, peneliti akan melihat dari beberapa sisi yang akan menjadi bahan
pembahasan analisis konflik ini, yaitu:
a) isu-isu yang menjadi perhatian utama dalam konflik ini,
b) Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini
Dengan menggunakan beberapa pokok bahasan tersebut, diharapkan data
yang diperoleh dari lapangan dapat di uraikan secara detail, sehingga nantinya
akan mempermudah dalam analisis pemetaan dan pentahapan konflik, serta dapat
memetakan secara tepat tindakan apa yang sudah dan harus dilakukan kedepannya
nanti. Selain itu, dengan pemetaan dan pentahapan ini kita dapat mengetahui
kondisi konflik terkini, yang ditunjang dengan isu-isu yang muncul karena konflik
utama yang disebabakan oleh limbah tersebut, karena dari beberapa penelusuran
Halaman | 81
dilapangan, peneliti mendapati beberapa fakta yang berbeda dengan penuturan
media saat ini. Dengan kesimpulan yang nantinya akan dihasilkan, kita dapat
mengetahui uraian serta tindakan resolusi seperti apa yang dapat diterapkan untuk
mengatasi konflik tersebut.
A. ISU KONFLIK
Dalam konflik yang terjadi antara perajin alkohol dan petani daerah
Mojolaban, isu utama yang menjadi pokok bahasan utama yaitu konflik yang
disebabkan oleh limbah yang dibuang oleh oknum perajin alkohol, lalu merusak
lahan pertanian. Isu utama yang disebabakan oleh oknum perajin yang membuang
limbahnya secara sembarangan di kawasan Dam Colo Timur, bahkan Peningkatan
jumlah perajin yang cukup drastis menyebabkan limbah yang dihasilkan cukup
banyak dan berbahaya. Dengan kadar yang sedemikian tinggi, limbah tersebut
telah menyebabkan banyak kerusakan air di kawasan setempat. Penjelasan detail
dari isu yang terjadi adalah sebagai berikut :
1. Pencemaran air akibat limbah
Di daerah ini, kita dapat melihat pola pembuangan limbah yang tidak sesuai
dengan aturan yang ada, yaitu limbah harus dibuang di IPAL yang tersedia, lalu di
saring, kemudian baru dibuang disaluran irigasi. Namun, perajin alkohol yang ada
didaerah ini lebih memilih membuang limbahnya langsung ke saluran irigasi
setempat sehingga membuat air di saluran irigasi yang berasal dari waduk Mulur,
rusak dan tidak layak digunakan sebagai sarana irigasi petani setempat.Bahkan,
kandungan kimiawi air di saluran irigasi cukup tinggi, dengan jumlah limbah cair
Halaman | 82
setiap produksi yang dihasilkan rata-rata 44,2 liter/hari dan jumlah lumpur yang
dihasilkan rata-rata 4,25 liter /hari. Kualitas limbah cair di unit pengolahan air
limbah yang ada di Desa Bekonang Kecamatan Mojolaban KabupatenSukoharjo
mempunyai kadar BOD5 = 55.000 mg/l, kadar COD = 170.316 mg/l dan kadar
TSS = 5.640 mg/l (Kusrini, 2004). Pola pembuangan yang salah ini telah
menyebabkan padi puso sebanyak empat kali, yang diikuti dengan aksi protes
yang diikuti oleh petani dari empat dusun, yaitu Karangwuni, Tegalmade, Pranan
dan Polokarto. Hal ini lebih disebabkan karena IPAL baru yang seharusnya sudah
dapat beroperasi belum rampung dalam penggarapan proyeknya, bahkan terkesan
dibiarkan dan ditinggalkan begitu saja.Para perajin alkohol memilih untuk
menggunakan jasa pembuangan limbah yang banyak tersedia di daerah setempat
untuk membuang limbah, dengan membayar 8000 rupiah perdrumnya.
Dampak yang paling umum terjadi didaerah ini, dan dirasakan oleh hampir
semua masyarakat, baik petani maupun warga setempat, adalah tercemarnya
sumur warga yang biasa digunakan untuk kegiatan sehari-hari, seperti minum,
mencuci dan mandi. Air di daerah ini terlihat sangat keruh dan berbau limbah
alkohol, sehingga sangat tidak layak untuk dikonsumsi. Hal ini mulai terjadi pada
awal Februari 2013 lalu, sebelumnya limbah tidak mencemari sumur setempat,
namun hanya menyebarkan bau busuk. Karena limbah mengendap di tanah, lalu
merembes dan mencemari air tanah, membuat air tanah tidak layak konsumsi,
hingga warga setempat harus membeli air galon untuk kebutuhan konsumsi.
Seperti penuturan salah satu informan berikut ini :
Halaman | 83
“Sekarang sumur saya juga tercemar mas, rusak semua mas, sekarang air
sumur Cuma saya gunakan untuk mandi dan mencuci mas paling, kalau
minum ga berani mas, karena bau dan warnanya pekat sekali mas, saya
biasa beli galon mas buat minum mas” (Pak Sukino, Mojolaban, 9
Februari 2013)
limbah mencemari sumur warga dan menyebabkan rasa kesal dikalangan warga
masyarakat setempat, yang membuat warga setempat beraliansi dengan petani
sekitar.
Salah satu hal yang paling dapat dirasakan dikawasan ini adalah bau busuk
yang sangat menyengat, peneliti sendiri merasakan bau yang menyengat ini ketika
mengumpulkan data. Bau menyengat ini jugalah yang menyebabkan warga
setempat melakukan aliansi dengan petani setempat, dimana menurut salah satu
warga setempat yang berprofesi sebagai pedagang kelontong, bau tersebut sangat
menggangu aktivitasnya, begitu pula pendapat salah satu warga lain yang juga
merasa terganggu ketika melakukan aktivitas sehari-hari karena bau menyengat
yang dirasakan mereka. Hal yang paling terlihat adalah ketika ada pembeli yang
membeli di warung milik pak Dede yang terletak di dekat selokan yang
mengandung limbah tersebut, dimana pembeli biasanya enggan berlama-lama di
warung beliau akibat bau yang busuk tersebut. Seperti pernyataan beliau :
“Wah, sekarang kalau di warung saya pembelinya tidak lama mas,
biasanya mereka pilih-pilih barang dan mengobrol dengan saya, namun
karena bau ini biasanya mereka langsung beli dan pulang begitu mas,
pokoknya bener-bener bikin ga nyaman mas baunya itu” (Pak Dede, 26
Februari 2013)
Itulah yang terjadi akibat menyebarnya bau busuk yang disebabkan oleh limbah
alkohol yang dibuang oleh oknum perajin secara sembarangan di kawasan irigasi
setempat.
Halaman | 84
2. Kerusakan lahan dan tanah setempat akibat air limbah
Kerusakan yang berkaitan dengan lahan pertanian dapat dengan jelas kita
saksikan di tempat ini, mulai dari limbah yang berwarna hitam pekat, hingga bau
yang menyengat dapat kita rasakan secara langsung di tempat ini. Dimana
menurut beberapa petani, dampak limbah terhadap sawah mereka adalah layunya
padi yang sudah ditanam, yang disebabakan panasnya limbah yang mengandung
kadar alkohol yang cukup tinggi. Selain itu, tingkat kegemburan lahan yang
meningkat drastis membuat tidak bisa ditanaminya lahan pertanian di area ini.
Bahkan, seorang informan, menuturkan bahwa ketika sore hari mereka selesai
menanam, maka pada pagi harinya tanaman mereka layu, sehingga malam hari
adalah waktu yang biasa digunakan oknum perajin alkohol nakal untuk
membuang limbahnya ke saluran irigasi setempat. Seperti pernyataan salah satu
informan :
“Ya kalau saya biasanya membuang limbah ke saluran irigasi di malam
hari mas, ketika sepi, biasanya setelah produksi, limbah saya taruh di
drum-drum, yang kemudian di malam hari saya buang semuanya ke
saluran irigasi setempat, sebenarnya sih tidak boleh mas, tapi mau gimana
lagi, itu cara yang paling praktis mas sekaligus bisa menghemat biaya
produksi saya mas” (Mujimin, 18 Februari 2013)
Menurut beberapa informan yang berasal dari kalangan petani, puso yang
terjadi di wilayah ini sudah terjadi selama dua tahun, yaitu mulai tahun 2010,
hingga sekarang. Salah satu informan bahkan menuturkan, bahwa sekali gagal
panen, kerugian yang diderita mencapai 15 juta rupiah, bahkan salah satu teman
sesama petani ada yang hingga menjual rumahnya untuk menutupi hutang
Halaman | 85
pembelian bibit yang belum dibayar karena terus menerus merugi. Seperti
pernyataan pak Temon salah satu petani setempat dibawah ini :
“Saya sendiri pernah merugi hingga 15 juta rupiah sekali gagal panen mas
untuk beli bibitnya, bisa dibayangkan sendiri mas kerugian saya, malahan
tentangga desa saya ada yang sampai jual rumah mas untuk menutupi
hutangnya” ( Pak Temon, 8 Februari 2013)
Demikianlah pernyataan salah satu petani yang memperoleh dampak kerugian
langsung dari aktivitas pembuangan limbah secara illegal tersebut, bahkan akibat
puso yang sudah terjadi beberapa kali, membuat petani beralih pada pekerjaan
yang dianggap lebih menjanjikan dan memiliki penghasilan yang lebih pasti,
seperti pernyataan dibawah ini.
“Ini saja sawah yang saya garap sudah puso sebanyak 3 kali mas, gatau itu
yang punya lahan pasti pusing mas, saya juga pusing nih mas, karena
penghasilan saya jadi ga tentu mas, jadi terkadang saya nyambi jadi buruh
bangunan mas, yang penting bisa makan mas, sudah Alhamdulillah
mas”(Pak Kentut, Mojolaban, 15 Febaruari 2013)
Dengan melihat pernyataan diatas, kita dapat melihat bahwa limbah dengan
konsentrasi kimiawi yang puluhan kali lipat dari batas aman yang ditetapkan oleh
pemerintah, membuat kerusakan yang cukup signifikan. Bahkan, secara tidak
langsung, oknum perajin nakal tersebut telah memumpuk konflik laten di
kalangan warga dan petani setempat.
Halaman | 86
Gambar 3.1.Kondisi sawah yang rusak akibat limbah.Sumber : Dokumentasi Peneliti
Gambar 3.2.Saluran air dalam sawah yang kotor dan menghitam. Sumber:
Dokumentasi peneliti
Limbah yang memiliki konsentrasi cukup tinggi ini juga memiliki banyak
sekali dampak terhadap tanah produktif yang memiliki fungsi menunjang mata
pencaharian warga yang berprofesi sebagai pembuat batubata yang banyak
beroperasi di daerah setempat. Tanah liat menjadi gembur, dan kehilangan sifat
liatnya, warga setempat mengalami kesulitan dalam membuat batu bata karena
Halaman | 87
tanah tidak lagi bisa di bentuk menjadi batu bata, dan terkadang hancur bila
dibakar. Seperti pernyataan pak Darmo, seorang pembuat batu bata di daerah
setempat :
“Wah, produksi saya menurun mas, dulu sehari bisa mengirim tiga sampai
lima truk, ke Wonogiri dan Sukoharjo kota, tapi sekarang paling 2 truk
sudah mentok mas itu, karena sejak limbah mengalir ke saluran irigasi,
tanah yang saya ambil dari sekitaran sawah setempat jadi gembur mas, ga
bisa jadi bata dengan kualitas bagus, biasanya bakar 7 sampai 8 jam,
sekarang harus 12 sampai 15 jam mas biar akas (kering)” (Pak Darmo,
Gang Bakung, Sentul, Mojolaban, Sukoharjo, 19 Februari 2013)
Itulah salah satu dampak lain yang ditimbulkan oleh limbah yang dibuang ke
saluran irigasi setempat.
Demikianlah dua isu utama yang akan menjadi pokok bahasan dalam
konflik yang terjadi antara petani dan perajin alkohol di desa Mojolaban ini.
Dengan berfokus pada kedua isu tersebut, diharapkan nantinya pembahasan akan
lebih mendalam dan tidak meluas pada isu tambahan lain yang terkadang merusak
fokus pembahasan itu sendiri.
Halaman | 88
B. PIHAK-PIHAK YANG TERLIBAT DALAM KONFLIK
1. Pihak Utama dan terlibat langsung
Pihak Utama yang terlibat konflik ini adalah petani di desa Tegalmade,
dan perajin alkohol di dusun Sentul, Mojolaban, Sukoharjo.Dimana kedua pihak
ini diwakili oleh paguyuban masing-masing yang berperan sebagai koordinator
kedua belah pihak yang terlibat konflik.
a) Pihak Perajin Alkohol
Paguyuban yang terorganisasi dengan baik ada di pihak perajin alkohol,
yang diketuai oleh pak Sabaryono, sehingga koordinasi antara perajin satu dengan
lainnya dapat terjalin dengan baik dan sesuai dengan perkembangan yang ada,
seperti pernyataan berikut ini :
“Biasanya mas, kalau ada apa-apa, pak Sabar menginformasikan kepada
semua perajin alkohol, caranya dengan mengumpulkan perajin
dirumahnya melalui undangan tertulis, dan kita musyawarah disitu, seperti
masalah konflik sama petani sendiri kalau mas tanya sama perajin alkohol
pasti tau, karena memang biasanya di diskusikan bersama dengan warga
sini, termasuk dulu pembuatan IPAL, sehingga tansparan, pembuatan
plang penanda larangan buang limbah juga kita buat bersama mas, dengan
dipimpin pak Sabar, selain itu kami perajin alkohol sewaktu terjadi konflik
bisa menyatu mas buat berunding mencapai keputusan terbaik dengan
petani” (Pak Tri, Desa Mojolaban, 21 Februari 2013)
Selain itu, pernyataan salah satu informan berikut ini juga memberikan
kejelasan baiknya proses koordinasi dikalangan perajin, yang bahkan terjadi pada
salah seorang perajin yang baru saja tiba di kawasan tersebut.
“Saya waktu konflik itu baru saja pulang dari nyupir mas, jadi gatau
permasaalahannya gimana, tapi karena paguyuban yang kasih informasi,
sehingga saya tahu masalah utamanya apa gitu mas “(Pak Maarif, Desa
Mojolaban, 25 Januari 2013)
Halaman | 89
Melihat dua pernyataan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa pihak
utama yang terlibat, yaitu perajin alkohol cukup terkoordinasi dengan baik,
sehingga segala keputusan dan resolusi konflik dapat diketahui oleh semua
kalangan perajin, yang sekaligus memperkuat solidaritas antar perajin yang ada,
hal ini sangat berpengaruh terhadap suasana internal di tubuh perajin alkohol yang
telah menganggap bahwa konflik telah selesai dan tidak ada masalah lagi.
b) Pihak Petani desa Tegalmade
Pihak utama lainnya yang terlibat konflik ini adalah petani dari desa
Tegalmade, Mojolaban. Petani dari desa Tegalmade inilah yang menggerakkan
petani dari desa lain untuk ikut berpartisipasi dalam demo yang dilakukan oleh
paguyuban petani desa Tegalmade, yang dibantu oleh petani dari desa lain dengan
alasan kekecewaan bersama dan solidaritas. Seperti pernyataan berikut ini :
“Saya sebenarnya tidak ada keinginan untuk berdemo, namun hanya
berniat menegur, namun karena teman-teman mengajak untuk melakukan
demonstrasi ke Kecamatan, akhirnya saya ikut membendung saluran
irigasi setempat, serta ikut rapat di gubug sawah yang kemudian kami
semua merencanakan demo yang menuntut perajin alkohol menghentikan
aksi membuang limbah mereka langsung kesaluran irigasi, tapi kalau
masnya tadi Tanya siapa ketua paguyuban petani, ya tidak ada mas, kami
hanya kumpul-kumpul saja, biasanya kalau ada masalah kami hanya
mewakilkan saja, memang kalau secara struktur tidak ada mas, Cuma
kumpulan kalau makan siang saja” (Pak Harjosuwito, Polokarto,
Mojolaban, Sukoharjo, 2 Februari 2013)
Itulah kedua pihak utama yang saling terlibat konflik ini, dimana
perseteruan pokok terjadi antara masyarakat perajin alkohol dan petani setempat
khususnya mereka yang tinggal di desa Tegalmade karena merupakan wilayah
utama yang terkena dampak dari limbah yang dihasilkan oleh perajin alkohol
setempat.
Halaman | 90
c) Masyarakat desa mojolaban selain petani dan perajin
Masyarakat setempat, yang merupakan warga desa Mojolaban, selain
mereka yang berprofesi sebagai perajin alkohol dan petani setempat, cukup
memiliki peran dalam menjaga keseimbangan hubungan yang terjadi antara petani
desa Tegalmade, dan perajin alkohol di dusun Sentul. Masyarakat yang rata-rata
berprofesi sebagai pedagang, pegawai swasta, dan PNS ini cukup terkoordinasi
dengan baik dalam hal meredam konflik yang terjadi didaerah ini. Karena sebagai
pihak yang ikut terlibat dalam konflik ini, masyarakat setempat selalu menjaga
keharmonisan kedua belah pihak, seperti dengan mengundangnya dalam acara
hajatan, bahkan ikut menegur perajin yang membuang limbah sembarangan,
terutama bila ketahuan membuangnya dipinggir jalan. Bahkan, warga setempat
bersepakat bahwa bila ada yang membuang limbah ke saluran irigasi, maka proses
produksi alkohol harus ditutup total. Seperti yang infroman nyatakan :
“Begini mas, kalau sampai ada perajin yang masih membuang limbah
sembarangan, ya terpaksa mas, kami akan tutup mas tempat usahanya,
bahkan perajinnya harus mulai dari awal lagi, karena warga sini sudah
tidak mengkehendakinya untuk berproduksi lagi (Pak Anto, Mojolaban, 22
Febaruari 2013)
Walaupun masyarakat setempat sudah ikut beperan sebagai kontrol sosial
dari perajin, namun masih saja ditemui perajin yang masih nekat membuang
limbah langsung ke saluran irigasi.
“Itu mas, ada perajin yang namanya sama seperti saya mas, Sukino, tapi
kelakuan jelas beda mas, dia itu masih sering sekali mas buang limbah
disaluran irigasi, parah mas, dulu sempat ditegur sama warga sini, tapi
masih aja sering, biasanya malam hari mas, kasihan yang petaninya
mas”(Pak Sukino, Mojolaban, 23 Februari 2013)
Halaman | 91
Demikianlah peran warga setempat sebagai pihak yang utama dalam
konflik yang berfungsi untuk menjaga keharmonisan hubungan antara kedua
pihak utama yang sedang berkonflik tersebut.
2. Sudut Pandang dan kepentingan pihak yang terlibat
Dalam penelitian ini, kita dapat mengetahui bahwa dari aktor yang
terlibat, yaitu perajin alkohol dan petani setempat, khususnya petani dusun tegal
made, terdapat perbedaan sudut pandang dan kepentingan yang cukup terlihat.
Seperti beberapa pendapat dibawah ini yang menegaskan hal tersebut.
a) Pihak Perajin Alkohol
Perbedaan kepentingan dan sudut pandang selalu menjadi hambatan
sulitnya sebuah resolusi dari pihak yang berkonflik untuk dicetuskan, hal in juga
berlaku di konflik yang terjadi di Kecamatan Mojolaban ini.Pihak perajin alkohol
merasa bahwa konflik telah selesai dan tidak ada lagi pertentangan yang terjadi di
antara petani dan perajin sejak beberapa kesepakatan yang sebelumnya telah di
tandatangani.Lagi-lagi, faktor ekonomi turut disalahkan dalam konflik ini.
Sebagian besar perajin alkohol merasa bahwa limbah tidak mencemari lingkungan
karena ketika mereka membuang limbah ke desa lain seperti Tasikmadu dan
Wonogiri, sawah malah menjadi semakin baik dan subur, dimana perajin
menganggap bahwa ketimpangan ekonomi salah satu penyebab konflik ini.
Seperti pernyataan salah seorang perajin berikut ini :
Halaman | 92
“Itu gara-gara mereka iri aja kok, limbah sebenarnya ga ngaruh ke petani,
kalau memang ngaruh, mestinya sejak orang tua saya dulu sudah diprotes,
Konflik juga sudah selesai kok mas, sudah tidak ada marah-marahan lagi,
kita disini hidup rukun kok, ga ada masalah lagi, lihat aja, kalau pas
pengajian setelah nggodok, petani terkadang juga ikut” (Pak Maarif,
Mojolaban, 25 Januari 2013)
Salah satu informan lain juga mengatakan hal yang sama, yaitu perajin
merasa lebih makmur dan berkecukupan daripada petani, yang beliau lebih
melihat ke aspek geografis karena membandingkan dua dusun bersebelahan yang
dibatasi oleh Dam Colo Timur tersebut, seperti pernyataan dibawah ini :
“Mungkin, karena iri mas,kita lebih makmur begitu mas, jadi emang
timpang, coba masnya liat di Tegalmade, dan disini, pasti beda,
Sudah...sudah, itu sudah selesai, karena kemarin setelah pembuatan IPAL
sudah nggak ada lagi yang namanya protes petani didaerah ini”(Pak
Mujimin, dusun Sentul, Mojolaban, 18 Februari 2013)
Informan lain juga menganggap bahwa limbah mereka tidak menganggu
sawah, dan masih menganggap faktor ekonomi adalah penyebab utama, bahkan
beliau menyatakan bahwa konflik hanya disebabkan kesalahpahaman saja, seperti
penuturan berikut ini :
“Halah itu Cuma karena salah paham kok mas, dari petani Tegalmade
yang kerja disawah saya, itu karena ekonomi yang kurang merata aja,
media itu berlebihan mas, ga seperti itu kok konfliknya, cukup sederhana,
kami ketemu, runding di Kecamatan, trus dibikinkan IPAL, kemudian
selesei mas, yang dikatain media itu ga ada yang benar” ( Pak Tri,
Mojolaban, 21 Februari 2013)
Selain disebabkan oleh perbedaan secara ekonomi yang dialami oleh
kedua belah pihak yang berkonflik, perajin juga menegaskan bahwa faktor
efisiensi dan tingkat keekonomisan usaha juga menjadi salah satu aspek yang
sangat mereka perhatikan. Hal ini terkait dengan keuntungan yang mereka
dapatkan ketika melakukan proses produksi seperti yang telah dijelaskan di bab
Halaman | 93
sebelumnya, yaitu 100 liter tetes tebu yang jadi alkohol kurang dari 25 persen,
yaitu sekitar 20 liter, dan hanya 10 liter yang dapat diproses menjadi alkohol
berkadar 90 persen, sehingga perhitungan biaya, termasuk biaya pembuangan
limbah juga diperhatikan. Sebagian perajin adalah industri kecil yang tidak
berpikir dampak secara lingkungan dalam memperlakukan limbahnya, dan hanya
berfikir mengenai keuntungan semata. Seperti yang dinyatakan oleh salah seorang
informan berikut ini :
“Wah, saya biasa buang limbah di saluran irigasi mas, karena tau sendiri
kondisi kita mas, pesanan tidak selalu ada, alternatifnya ya kita bikin jadi
ciu itu mas, kalau ciu kan tetes tebu yang terpakai lebih banyak, apalagi
saya tidak usah membayar orang yang biasanya ambil limbah keliling itu
mas, semakin banyak mas keuntungannya, biasanya malam mas saya
buang ke saluran belakang rumah”(Pak Mujimin, 18 Februari 2013)
Kepentingan dan sudut pandang yang berbeda itulah yang membuat perajin selalu
merasa tidak bersalah ketika membuang limbah mereka di kawasan irigasi
setempat.
b) Pihak Petani
Pihak petani sebagai pihak yang menerima akibat dari limbah yang
dibuang sembarangan tersebut, memiliki penjelasan yang cukup logis dan masuk
akal, dimana mereka dapat menjelaskan mengapa dan bagaimana limbah
mencemari lahan pertanian mereka, seperti pernyataan salah satu responden
berikut ini :
“Itu karena limbah yang dibuang berlebihan mas, jadi misalnya harus
masuk IPAL yang lama, nah yang lama itu ga berfungsi, jadi karena ga
berfungsi, perajin buang langsung ke sawah, padahal limbahnya masih
kental dan panas, kan ga kuat mas kalau akar padi kena limbah itu. Kalau
masalah konflik, buat saya ya belum selesei mas, karena sayamasih merasa
Halaman | 94
dirugikan, liat saja ini (menunjuk saluran irigasi), masih merah kan mas,
mungkin sebagian besar manut sama pak Sabaryono, tapi oknum yang
nekat itu lho mas, bikin mangkel”( Pak Kentut, Mojolaban, 5 Februari
2013)
Sementara itu, salah seorang petani lain menyatakan tentang proses bagaimana
limbah dari perajin merusak lahan pertanian mereka, yaitu harus dilakukan
pengendapan sebelumnya untuk mengurangi kadar kimiawinya sehigga tidak
berbahaya bagi lahan pertanian, seperti pernyataan informan berikut ini.
“Nah, memang ngga merusak mas, kalau di endapkan dulu, paling ga
seminggu, fungsi IPAL lama kan gitu mas, jadi seminggu setelah dibuang
kesana, baru kita buka salurannya,jadinya limbah udah dingin, malah bisa
jadi pupuk mas, malahan temen saya yang di Tasikmadu tiap Minggu
ambil limbah kesini buat pupuk. Kalau konflik, sebenarnya udah selesai,
tapi ada beberapa perajin yang masih nekat, kita mau negur juga takutnya
bikin masalah baru mas nanti, jadi kita ingatkan pelan-pelan saja, saya rugi
mas kalau begini terus” (Pak Temon, Mojolaban, 5 Februari 2013)
Kerusakan sawah yang terjadi banyak disebabkan oleh oknum perajin
yang biasanya beraksi pada malam hari untuk membuang limbahnya langsung ke
saluran irigasi.Seperti pada pernyataan salah satu responden berikut ini.
“Itu gara-gara ada oknum yang suka membuang limbah mas, terutama di
malam hari, dulu pas IPAL masih berfungsi, biasanya di endapkan dulu,
baru dibuang, tapi biasanya langsung dibuang tanpa diendapkan, makanya
bikin sawah peneliti rusak semua, masa baru tanam sehari langsung layu,
itu ga bener kan mas, apalagi kalau malam hari, banyak yang buang kesini
mas, apalagi yang namanya SKN itu mas(mennyebut nama pelaku), kalau
malam malah pakai mobil pikap buang kesini mas. Dulu sih sempet damai,
mungkin menurut mereka sudah selesai, tapi karena masih banyak oknum
yang buang sembarangan, peneliti masih sedikit anyel mas, udah ada IPAL
baru mbok ya dibuang disana”(Pak Harjosuwito, Mojolaban, 2 Februari
2013)
Dari sudut pandang kedua pihak yang sedang berkonflik, kita dapat
melihat perbedaan yang cukup timpang, dimana sudut pandang pihak perajin lebih
condong menganggap bahwa konflik telah selesai, serta menganggap bahwa
Halaman | 95
selain persoalan limbah yang disebabkan oleh penuhnya IPAL lama, persoalan
ekonomi menjadi salah satu penyebab utama dari konflik ini, dimana ekonomi
yang tidak merata menjadi salah satu penyebab utama konflik ini. Selain itu,
menurut perajin sendiri konflik telah selesai, karena dari pihak petani sudah tidak
ada lagi gerakan protes, serta pembuatan IPAL baru dianggap telah menyelesaikan
masalah karena sudah ada sarana pengolahan limbah yang dapat mengolah limbah
menjadi pupuk dalam waktu yang singkat,tidak seperti IPAL lama yang
membutuhkan waktu seminggu untuk melakukan proses pengendapannya.
Sedangkan, pendapat berbeda dilontarkan oleh pihak petani, dimana
sebenarnya penyebab persoalan utama adalah IPAL yang sudah penuh dan tidak
bisa lagi menampung limbah dari perajin alkohol, sehingga limbah langsung
mengalir ke lahan pertanian dan menyebabkan padi yang baru di tanam layu dan
tidak bisa berkembang, bahkan menyebabkan perkembangan yang terlalu cepat,
sehingga sebelum menghasilkan bulir padi, padi tersebut sudah mati, tanpa motif
lain selain hal tersebut. Pembuatan IPAL yang baru pun masih menyisakan
masalah bagi para petani, karena masih ada saja oknum dari perajin yang
membuang limbah mereka ke saluran irigasi, terutama di malam hari, sehingga
dari pihak petani belum terdapat penyelesaian konflik yang berarti, karena
keberadaan oknum yang masih membuang limbahnya sembarangan tersebut,
selain itu mandeknya pembuatan IPAL baru yang digadang-gadang akan menjadi
jalan keluar dari konflik yang berkepanjangan ini juga membuat semakin
rumitnya permasalahan yang terjadi, dan memungkinkan timbulnya isu
Halaman | 96
baru.Inilah perbedaan sudut pandang konflik dari kedua pihak yang telibat
konflik.
3. Hubungan antar pihak yang terjadi dalam konflik tersebut
a) Hubungan Aliansi
Dalam konflik ini kita akan melihat beberapa hubungan antar aktor yang
berbentuk aliansi atau hubungan berupa kerjasama dalam hal mendukung konflik
ini. Dari data yang diperoleh dilapangan, hubungan aliasi yang dapat kita lihat
adalah :
1) Aliansi petani setempat
Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa petani dari beberapa desa yaitu
Karangwuni, Pranan, Polokarto, dan Tegalmade sebagai pihak utama, sama-sama
saling mendukung ketika terjadinya demo yang melibatkan petani di kantor
KecamatanMojolaban beberapa waktu lalu. Alasan kuat yang menjadikan mereka
beraliansi karena mereka sama-sama dirugiukan dengan limbah yang dibuang
sembarangan tersebut, terlebih petani tegalmade yang berada cukup dkat dan
terkena dampak langsung dari pembuangan limbah tersebut.Bahkan, dengan
kuatnya aliansi antar mereka membuat semua kegiatan aksi dari konflik yang
bertujuan memprotes perajin alkohol ini sejalan dan seragam. Beberapa
pernyataan yang membuktikan hal tersebut adalah :
“Kami waktu itu rapat mas, di gubug sawah, kita juga ngajak teman-teman
petani dari Polokarto, Karangwuni, dan Pranan yang sama-sama nyawah
di Tegalmade sini, kan sama-sama ngerasa rugi to mas, sampai peneliti
sendiri rugi 15 juta mas karena nanem kok gak jadi-jadi gitu mas, akhirnya
kita merencanakan untuk nggruduk ke kantor KecamatanMojolaban mas
Halaman | 97
biar suara kami didengar sama MuspikaKecamatan, sehingga bisa selesai
ini mas permsalahannya”(Pak Temon, Tegalmade, Mojolaban, Sukoharjo,
5 Februari 2013).
Pernyataan ini diperkuat dengan informan lain yang menyatakan bahwa
petani desa Tegalmade adalah pihak yang memberikan pengaruh dan pembangun
aliansi dengan petani desa lainnya.
“Kami waktu itu, di teriakin mas sama temen-temen dari tegalmade, mau
ngajak makan bersama katanya, tapi setelah kami ke gubug sawah, malah
ngomongnya masalah limbah itu mas, terus pada mau rencana demo ke
Kecamatan, peneliti mau aja mas, kan sama-sama petani yang dirugikan
mas, walaupun sawah saya agak jauh, tapi kena juga dampaknya, tanah
jadi gembur sekali mas, tidak bisa ditanamin”(Pak Harjosuwito, Polokarto,
Mojolaban, Sukoharjo, 2 Februari 2013)
2) Aliansi antara petani desa Mojolaban dan masyarakat setempat
Aliansi yang cukup kuat juga terjadi antara petani desa Mojolaban dengan
masyarakat setempat, dimana mapenelitirakat setempat bahkan mengaku bersatu
dengan petani untuk memerangi pembuangan limbah sembarangan ke saluran
irigasi, karena selain merugikan petani yang memang cukup dekat dengan warga
sekitar, hal tersebut cukup membuat bau tidak sedap, dan rusaknya tanah liat yang
biasa diambil warga setempat sebagai bahan baku pembuatan batu bata. Seperti
beberapa pernyataan berikut ini:
“Ya, kalau kita sih emang agak tidak suka mas dengan oknum perajin
alkohol yang nekat membuang limbah ke saluran irigasi mas, ya karena
baunya ga enak, bikin batu bata peneliti tidak bisa jadi mas, karena tanah
jadi gembur dan tidak bisa liat seperti biasanya, sehingga bikin proses
lebih lama karena keringnya juga lama mas, yang kasihan tuh petani itu
mas, sampai ada yang nunggak bayar sewa sawah mas ke pak lurah,
karena limbahnya itu mas, wong sudah ada IPAL kok masih buang
sembarangan” ( Pak Darmo, Gang Bakung, Sentul, Mojolaban, Sukoharjo,
19 Februari 2013)
Halaman | 98
Bahkan,salah seorang warga lain juga mengeluhkan bau yang sangat
menyengat dari limbah yang biasanya dibuang pada malam hari di lingkungan
setempat.
“Wah, kacau mas, apalagi yang namanya Sukino itu mas, kalau buang ga
tanggung-tanggung, berdrum-drum, apalagi kalau malam, kita mau tidur
baunya ga enak sekali mas, jadi mengganggu sekali, sampai harus pakai
masker mas, yang kasihan ya petani itu to mas, susah-susah nanamnya,
tapi gampang banget rusaknya, ya itu senjatanya, limbah ciu., itu mas, kita
warga disini juga sampai bikin spanduk mas, di sebelah kanan masjid itu”
(Pak Anto, 18 Februari 2013)
3) Aliansi Paguyuban Perajin Alkohol dengan Perajin alkohol
Paguyuban perajinalkohol memiliki aliansi yang cukup dekat dengan
perajin alkohol, dimana aliansi ini lebih bersifat hubungan organisatif, yang
mengarah pada musyawarah untuk mencapai keputusan guna membendung
konflik yang ada, selain itu setiap tindakan dari perajin yang akan disampaikan
serta melibatkan pihak petani secara komunal, akan melalui paguyuban untuk
menyempaikannya dengan cara yang baik, dimana paguyuban ini diketuai oleh
pak Sabaryono.Hal tersebut tercermin dalam beberapa pernyataan dibawah ini.
“Wah, kalau masalah itu kita hubungannya sama paguyuban mas,
khususnya pak sabar mas, kalau sudah masalah konflik seperti itu, dulu
kalau pas konflik itu paguyuban yang organisir kita mas, mereka kasih
tanda dan keputusan yang harus diikuti oleh perajin disini mas, kalau ga
ikut keputusan itu ada sanksinya juga mas nanti”(Pak Maarif, Mojolaban,
28 Januari 2013)
Itulah perbedaan antara proses koordinasi petani dan perajin yang sangat
timpang, dimana perajin benar-benar bisa mengkoordinir komunitas mereka
menjadi sebuah kekuatan yang baik dan berkelanjutan.
Halaman | 99
a) Hubungan yang terancam
Perajin alkohol memiliki hubungan yang terancam dengan warga sekitar
Mojolaban, terutama dalam hal mengingatkan dan menegur secara halus, serta
dalam mengharmoniskan hubungan antara perajin alkohol dan petani, salah
satunya dengan mengundang perajin alkohol dan petani ke dalam sebuah acara
hajatan yang akan membuat perajin dan warga sekitar harmonis.
“Kami sering menegur perajin yang ketahuan membuang limbah ke
irigasi, terutama malam hari mas, karena kesepakatan disini bila hingga
ketahuan petani, bisa-bisa usaha alkoholnya ditutup selamanya mas,
sehingga daripada seperti itu kami tegur saja sembari mengingatkan
mas”(Pak Dede, Mojolaban, 27 Februari 2013)
Hubungan yang baik juga ditunjukkan oleh salah seorang perajin, yang
menyatakan bahwa hubungan warga dan perajin cukup baik dan saling
mendukung guna penyelesaian konflik ini.
“Iya mas, kami sering menghadiri acara resepsi nikahan yang biasa
diadakan warga sekitar mas, memang mereka sering menegur, tapi kami
rasa kan kita juga hidup bermasyarakat, walau ga begitu kenal, tapi kami
ya manut mas, biar ga ada demo-demo lagi mas, walaupun saya kadang
masih ngeyel” (Mujimin, 17 Februari 2013)
b) Hubungan antar pihak yang terputus
Hubungan antar pihak yang terputus tentu saja dialami oleh aktor utama
dalam konflik ini, yaitu perajin alkohol dan petani setempat, bahkan higga saat ini
dari pihak petani sendiri masih belum mau benar-benar menuntaskan
permasalahan yang ada, dimana hal ini disebabkan karena oknum perajin yang
masih membuang limbahnya secara sembarangan. Seperti pernyataan berikut ini:
Halaman | 100
“Pas wonten tabrakan motor teng mriki (Tegalmade) sing korban e anake
perajin, tak ben ke wae mas, ora tak tulungi, kulo ngenteni petani liyane
sing terus nyeluk uwong saka Sentul mriku, bar kuwi kulo lan petani
liyane nggeh nyawah maneh” (Ketika ada kecelakaan motor disini yang
korbannya anak perajin, peneliti biarkan saja, tidak saya tolong, saya
menunggu petani lainnya yang kemudian memanggil orang dari desa
sentul, lalu saya dan petani lain ke sawah lagi) (Pak Temon, Desa
Tegalmade, Mojolaban, 5 Februari 2013)
c) Perubahan Hubungan Yang Terjadi Antar Aktor
Perubahan hubungan antar aktor utama yang terlibat cukup terlihat jelas
disini, yaitu antara petani dan perajin alkohol, salah satunya dengan petani yang
tidak menolong salah seorang korban kecelakaan motor yang merupakan anak
perajin setempat. Seperti pernyataan dibawah ini :
“Ketika ada kecelakaan motor disini yang korbannya anak perajin, saya
biarkan saja, tidak saya tolong, saya menunggu petani lainnya yang
kemudian memanggil orang dari desa sentul, lalu saya dan petani lain ke
sawah lagi”(Pak Temon, Desa Tegalmade, Mojolaban, 5 Februari 2013)
Itulah salah satu pernyataan yang menggambarkan hubungan antar aktor
utama, yaitu petani dan perajin alkohol setempat, dimana hubungan mereka retak
karena masalah konflik limbah tersebut, hingga kedua belah pihak tidak mau lagi
saling menyapa dan saling memberikan pertolongan karena perbedaan kubu yang
ada. Sedangkan, dari pihak perajin sendiri juga menyatakan bahwa :
“Nggih mas, waktu itu saya lewat di jalan Tegalmade itu saja saya salami
tidak di jawab mas, malah ngrasani mas, sepertinya ngrasani perajin mas
karena saya juga dengar sayup-sayup mas, jadi dari peraji sendiri
mendingan kalau ingin ke jalan besar mending cari jalan muter mas
daripada lewat Tegalmade” (Pak Mujimin, Mojolaban, 5 Februari 2013)
Demikianlah perubahan yang terjadi dalam hubungan antar aktor utama yang
terlibat konflik di Desa Mojolaban, Sukoharjo.
Halaman | 101
BAB IV
PERIODE KONFLIK TAHUN 2010-2011
Pada tahun 2010, benih-benih konflik sudah mulai terlihat, namun belum
begitu tampak dikarenakan pada periode ini, pendekatan secara kekeluargaan
masih dikedepankan oleh masyarakat setempat.Tahapan pra konflik terjadi pada
tahun 2010, dimana di tahun itu, sekelompok petani melakukan silaturahmi dan
protes secara kekeluargaan kepada perajin alkohol yang nekat membuang limbah
mereka ke saluran irigasi setempat.Semua pihak informan memaparkan hasil yang
sama, yaitu konflik mulai terbuka pada tahun 2010. Dimana pada saat itu petani
melakukan kunjungan ke rumah pak Sukino, serta beberapa perajin lain yang ada
didaerah tersebut, seperti penuturan salah satu informan :
“Ya waktu itu kami habis magrib mas, sehabis sholat di masjid, kami
bertamu mas, pertama ke rumah pak Sukino mas, kami muter mas waktu
itu, ke beberapa rumah, kami waktu itu menuturkan bahwa kami merasa
terganggu dengan limbah yang dibuang secara sembarangan ke saluran
irigasi, waktu itu belum terlalu parah mas, cuma agak bikin tanaman
kering aja mas, karena IPAL lama waktu itu masih bisa difungsikan walau
tidak maksimal mas”(Pak Kentut, Mojolaban, 19 Februari 2013)
Sewaktu dilakukannya hal tersebut, perajin berjanji tidak akan membuang
limbahnya sembarangan lagi ke saluran irigasi, dimana hal ini ditanggapi secara
positif oleh para petani, dan usaha ini cukup efektif untuk mencegah perajin
membuang limbahnya ke saluran irigasi setempat. Namun, hal ini hanya bertahan
selama beberapa Minggu, dan akhirnya perajin membuang lagi limbahnya ke
Dam Colo Timur yang mempengaruhi sawah di empat desa sekitarnya, seperti
penuturan salah satu informan ini :
Halaman | 102
“Sempat sih mas, waktu itu perajin sempat tidak membuang limbahnya di
kawasan irigasi, tapi Cuma bertahan beberapa Minggu mas, jadi waktu itu
saya sedang nyawah kan mas, tiba-tiba ada aliran air bewarna hitam pekat
yang berjalan ke sawah saya, ya itu, mas mereka buang lagi di saluran
irigasi mas, lak percuma kan mas waktu itu kita bilang baik-baik sama
mereka mas, ga ada perubahan juga mas” (Pak Temon, Mojolaban, 18
Februari 2013)
Dimana petani pada saat itu tidak lagi melakukan protes karena air dari
limbah milik perajin belum mempengaruhi pertanian mereka, sewaktu itu mereka
masih bisa bertani dengan baik, dan tingkat konsentrasinya belum sebanyak ketika
mereka memprotes secara kekeluargaan pada perajin. Karena beberapa perajin
masih menaati kesepakatan yang dilakukan oleh kedua belah pihak. Namun,
semakin lama, limbah yang dihasilkan semakin pekat dan berbau, dikarenakan
sebagian besar perajin telah melanggar kesepakan tersebut, dimana sebagian besar
perajin kembali ke kebiasaan lama mereka untuk membuang limbahnya ke saluran
irigasi setempat, karena melihat teman-teman mereka yang lain melakukan hal
yang sama.Dari penuturan beberapa informan yang berasal dari berbagai
kalangan, kita dapat menyimpulkan bahwa secara kronologis, dinamika konflik
yang terjadi didaerah dimulai pada tahun 2010, yang menurut petani disebabkan
karena IPAL yang lama sudah tidak berfungsi, dan petani mulai menegur perajin
alkohol yang ketahuan membuang limbahnya secara sembarangan di saluran
irigasi, namun tidak digubris karena terjadi berulang-ulang.
Pada tahapan ini, konflik masih berupa teguran-teguran yan dilakukan
oleh pihak petani, serta belum mengarah ke kofrontasi, sehingga secara hubungan
yang terjalin, masih baik-baik saja dan belum terdapat masalah serius.Berdasarkan
Halaman | 103
data tersebut, kita dapat melihat peta konflik yang sesuai dengan gambar dibawah
ini :
Karena padi yang ditanam oleh petani mulai mengering dan rusak, pada
akhirnya petani menyadari bahwa limbah berdampak sangat buruk terhadap
perkembangan padi mereka. Hal ini membuat petani akhirnya melakukan aksi
lanjutan pada bulan April 2010, dimana petani yangberasal dari Tegalmade, yaitu
desa yang paling parah terkena dampak dari pembuangan limbah secara
sembarangan ini, mendatangi perajin yang terpergok sedang membuang
Hubungan yang kuat
Pihak yang terlibat
Hubungan yang terancam
Petani
Mojolaban
Perajin
Alkohol desa
Mojolaban
Warga desa
Mojolaban
(diluar petani
dan perajin)
Gambar 4.1. Peta Konflik Periode Awal, bulan April-Desember 2010. Sumber :
Dokumentasi Peneliti
Halaman | 104
limbahnya secara sembarangan, dan sewaktu itu petani masih menegurnya secara
baik-baik dan mengedepankan unsur kekeluargaan. Pada periode ini, kerusakan
yang dihasilkan oleh pembuangan limbah ini cukup kentara dan mulai terlihat
dengan jelas. Karena tidak adanya perubahan dari perilaku perajin, petani yang
tergabung dalam paguyuban petani Mojolaban akhirnya melakukan aduan secara
besar-besaran, dengan melibatkan puluhan petani ke rumah pak Sabaryono. Hal
ini terjadi pada bulan Desember 2010, karena banyak sekali padi dari petani
tersebut yang rusak karena limbah yang dibuang sembarangan, bahkan beberapa
hektar sawah puso, salah satunya sawah milik pak Temon yang membuat beliau
mengalami kerugian sebesar 15 juta rupiah, seperti yang diungkapkan oleh salah
satu informan:
“Sewaktu itu, airnya semakin pekat mas, bau lagi mas, kalau kena kaki
terasa panas mas, berarti kan itu kadar limbahnya sudah tinggi sekali
pasti mas,makanya kita kemudian ngobrol sama beberapa petani habis
nyawah, bagaimana langkah selanjutnya, apalagi sawah saya waktu itu
ikutan puso mas, setiap hari ke sawah, padi saya jadi tambah kecil dan
rusak mas, seperti kepanasan mas, istilahnya “mblonyoh” mas, layu
semua, terus kita akhirnya ramai-ramai sama petani lain pergi kerumah
pak Sabar langsung mas untuk protes masalah ini mas”(Pak Temon, 18
Februari 2013)
Akhirnya petani melakukan protes langsung ke rumah pak Sabar, yang
kemudian di tindak lanjuti dengan memberikan penyuluhan dan sosialisasi tentang
bahaya membuang limbah di saluran irigasi di acara pengajian yang dilakukan
pada hari kamis malam, dengan di saksikan oleh beberapa perwakilan petani dari
dusun Tegalmade yang mengalami kerusakan lahan pertanian. Paska sosialisasi,
jumlah limbah yang dibuangsempat berkurang, walau hanya bertahan beberapa
bulan seperti yang terjadi bulan-bulan sebelumnya. Petani sempat puas dengan
Halaman | 105
apa yang dilakukan pak Sabar dengan menegur langsung perajin yang membuang
limbahnya secara sembarangan, seperti pernyataan salah satu informan berikut ini:
“Waktu itu saya ikut datang mas waktu pengajian, saya ikutan
menyaksikan bagaimana pak sabaryono mengarahkan petani untuk tidak
membuang limbah, dan itu cukup efektif mas, selama sekitar sebulan dua
bulan kita bisa bertani tanpa limbah pekat dan bau menyengat lagi mas,
tapi ternyata kemudian sama aja mas, tetep aja limbah dibuang
sembarangan mas, tapi bedanya ini buangnya malam hari mas, banyak mas
yang dibuang, sampai beberapa drum sekali buang”(Harjosuwito,
Mojolaban, 28 Januari 2013)
Melihat kenyataan bahwa perajin tetap membuang limbah ke saluran
irigasi dalam kurun waktu dua bulan setelah sosialisasi, petani akhirnya
kehilangan kesabaran menghadapi perajin yang semena-mena dalam membuang
limbahnya ke saluran irigasi setempat.
Pada Februari 2011, petani kembali mendatangi pak Sabaryono, karena
efek dari limbah ini sudah semakin meluas, dan merusak tidak hanya mereka yang
bertani di dusun Tegalmade, namun limbah sudah mengalir hingga Karangwuni,
Pranan, hingga Polokarto yang sebenarnya cukup jauh dari dusun Sentul sendiri.
Karena tidak mendapat tanggapan dari pihak perajin alkohol, petani mulai
melakukan peringatan melalui paguyuban petani kepada paguyuban perajin
alkohol, namun menurut perajin, konflik terjadi karena adanya rasa iri dari petani
melihat perajin alkohol memiliki ekonomi yang cukup makmur, sangat berbeda
dengan kondisi mereka. Hal ini didasarkan karena sejak berdirinya industri ini,
pada jaman Keraton Surakarta, dan telah diwariskan turun-temurun tidak pernah
terjadi padi puso karena limbah alkohol, dan puso karena limbah alkohol baru
terjadi dua tahun terakhir ini, sehingga menurut perajin pernyataan petani tersebut
Halaman | 106
tidak wajar dan disebabkan karena faktor ekonomi yang timpang. Selain itu,
petani dari daerah Karanganyar malah meminta perajin mengirim limbahnya ke
sawah mereka, bahkan beliau merasa limbah yang dibuang telah netral dan aman
padahal kenyataannya limbah hitam dan berbau menyengat.
Akhirnya, pada bulan itu petani dari empat dusun melakukan koordinasi,
dan melapor kembali kepada pak Sabar, namun ketika itu cara yang digunakan
sudah dalam bentuk protes, tanpa menunjukkan rasa kekeluargaan seperti protes-
protes sebelumnya. Petani menuntut adanya kejelasan peraturan yang harus di
terapkan, dimana waktu itu belum ada sanksi yang tegas bagi perajin yang masih
membuang limbahnya di kawasan irigasi setempat. Usaha ini membuahkan
hasil,yang lalumemunculkan kesepakatan baru yang menuntut adanya denda bagi
perajin yang melanggar, sekaligus pemasangan plang-plang guna memperingatkan
perajin yang masih membuang limbahnya ke saluran irigasi. Namun, pada
akhirnya kebijakan denda yang sempat diberlakukan pun tidak berjalan, karena
tidak adanya monitoring yang baik dari semua pihak, baik dari paguyuban perajin
maupun dari petani setempat. Karena, biasanya para perajin membuang limbahnya
dimalam hari, sehingga cukup sulit untuk diawasi. Seperti penuturan salah
seorang informan ini :
“Saya biasanya buang limbah malam hari mas, jam-jam 11 kalau tidak
malah jam 3 pagi mas, biar ga ketahuan sama petani mas, kan nanti
dimarahi kalau saya buangnya asal-asalan, kalau saya sekali buang ya 3
sampai 4 drum mas, tergantung produksi saya waktu buang mas, tapi ya
mau gimana mas, mau dilempar ke IPAL mahal mas, 8000 perdrum itu aja
belum tentu ada mobilnya mas, la terus kalau pas libur mau ditaruh mana
limbahnya mas?”(Pak Mujimin, Mojolaban, 21 Februari 2013)
Halaman | 107
Dalam beberapa bulan, petani setempat sempat mengalami beberapa kali
puso, namun mereka sudah kehilangan akal untuk menghadapi perajin yang
memang nakal dan tidak mau mengindahkan saran yang sebelumnya telah
disepakati bersama, sebagian besar petani memilih untuk tidak menanam dan
memilih pekerjaan alternatif lain, seperti buruh bangunan dan membantu
saudaranya yang ada di pasar, seperti seperti pernyataan salah seorang informan :
“Saya waktu itu sempat puso mas, tapi mau bagaimana lagi mas, wong
kita sudah mentok mas waktu itu, capek mas mikir sawah kita ini,
beberapa bulan gabisa panen, tanem sekarang besok sudah layu mas, parah
pokoknya, saya waktu itu bantu-bantu jadi tukang batu di perumahan mas
buat biaya hidup sehari-hari, tapi ya akhirnya kami mikir mas, semua
harus disudahi mas, terus kita koordinasi untuk demo yang bulan
Desember itu mas”(Pak Harjosuwito, Mojolaban, 28 januari 2013)
Itulah yang terjadi pada petani di bulan Februari menuju bulan Desember
2011, dimana setelah itu petani mulai kehilangan kesabaran dan akhirnya
melakukan koordinasi untuk mendemo perajin alkohol secara langsung, dimana
mereka yang berasal dari Tegalmade kemudian mengajak petani dari dusun
Pranan, Karangwuni, dan Polokarto untuk saling mendukung. Kemudian pada 23
Desember 2011, dilakukan lah demo dengan skala cukup besar menuju dusun
sentul, yang dimulai dari gubug sawah ke arah perajin, yang lalu petani
melakukan orasi dengan cara berjalan sambil meneriakkan yel dan tuntutan
mereka terhadap perajin di dusun sentul.
Halaman | 108
Gambar 4.2.Mobilisasi Massa pada Demo Petani, 23 Desember 2013.Sumber :www.
solopos.com, petani menuntut perajin berhenti membuang limbah sembarangan,
edisi 24 Desember 2011
Gambar. 4.3. Longmarch pada demo petani desa mojolaban, 23 Desember 2011.
Sumber: www. solopos.com, petani menuntut perajin berhenti membuang limbah
sembarangan, edisi 24 Desember 2011
Halaman | 109
Melihat naiknya intensitas konflik diatas menuju arah yang lebih tinggi,
akhirnya kita mendapatkan peta konflik yang sesuai dengan kejadian diatas,
gambaran peta tersebut dapat kita lihat seperti berikut :
Namun demo yang dilakukan pada Desember 2011 ternyata tidak
diindahkan oleh perajin,sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa upaya resolusi
konflik pada periode 2010-2011 gagal dalam meredam konflik yang terjadi.
Bahkan, peta konflik secara periode pun menjadi semakin rumit dan kompleks,
dengan terlibatnya pihak yang sebelumnya tidak ikut andil dalam konflik ini.
Gambar 4.4.Peta Konflik Periode Konfrontasi, Desember 2011.Sumber :
Dokumentasi Peneliti.
Hubungan yang kuat
Hubungan yang agak dekat
Hubungan yang terancam
Hubungan yang terputus
Arah pengaruh
Perajin
Alkohol
Petani
Tegalmade
Warga desa
Mojolaban
Pranan Karang-
wuni Polo-
karto
Halaman | 110
Dari beberapa penjelasan secara kronologis diatas, kita dapat melihat
bahwa upaya manajemen konflik ini pun gagal dilaksanakan untuk meredam
konflik yang ada, dimana dalam beberapa perundingan yang dilakukan antara
kedua pihak aktor yang berkonflik mengalami jalan buntu.Pada periode konflik
2010-2011 ini, kegagagalan yang terjadi lebih disebabkan karena tidak adanya
pihak yang me-mediasi konflik yang terjadi, sedangkan secara struktur kita sudah
dapat mengalisa tidak adanya hubungan yang baik antara kedua belah pihak, serta
adanya hambatan dalam hal relasi juga membuat sulitnya menyatukan kedua
belah pihak dalam sebuah kesepakatan bersama. Dimana konflik baru mencapai
level Informal problem solving, yaitu penyelesaian konflik secara mandiri oleh
mereka yang terlibat konflik secara langsung, sehingga tingkat keberhasilan
konflik pun masih cukup rendah untuk diselesaikan dengan cara ini menilik
kompleksitas permasalahan yang terjadi antara kedua belah pihak yang sedang
berkonflik.
Namun, sekali lagi upaya ini gagal dilaksanakan karena tidak adanya
kerjasama secara kuat antar pihak yang berkonflik, walaupun pihak ketiga dari
unsur Muspika Kecamatan sudah turun tangan dalam menyelesaikan konflik ini.
Halaman | 111
BAB V
PERIODE KONFLIK TAHUN 2012-2013
Dalam waktu beberapa bulan, tidak ada lagi perajin yang membuang
limbah keDam Colo Timur. Namun, tiba-tiba pada awal bulan Juli petani menutup
saluran irigasi dengan tanah. Lagi-lagi, karena adanya oknum perajin yang
membuang limbah sembarangan, pada Kamis, 12 Juli 2012 petani dari empat
dusun, yaitu Karangwuni, Tegalmade, Pranan, dan Polokarto melakukan long
march ke arah dusun Sentul yang merupakan sentra produksi alkohol dengan
membentangkan spanduk anti “badek” yang merupakan sebutan untuk limbah
alkohol.
Seperti yang telah diperkirakan sebelumnya, terjadi demo besar-besaran
oleh petani dari empat desa di Kecamatan Mojolaban hingga hampir terjadi baku
hantam. Dimana demo di awali dengan menutup saluran irigasi yang menjadi
sarana pembuangan limbah utama bagi para perajin alkohol, namun karena musim
kemarau, petani akhirnya membuka kembali saluran irigasi yang sebelumnya
ditutup dengan tanah, lalu petani melaporkan pada pak lurah, yang kemudian pak
lurah menemui paguyuban perajin alkohol untuk meminta penjelasan. Akhirnya
mereka ditemui oleh Muspika Kecamatan setempat yang lalu menanggapi usulan
dan saran dari pendemo. Pada bulan Agustus 2012, media massa mulai
mempublikasikan konflik tersebut, maka MuspikaKecamatan sebagai pihak yang
memiliki wewenang di wilayah ini, memanggil kedua belah pihak dengan
undangan tertulis untuk berunding, yang disaksikan oleh perwakilan dari kedua
Halaman | 112
kubu tersebut. Perundingan yang terjadi antara kedua kubu dengan Muspika
sebagai penengah akhirnya menghasilkan beberapa keputusan, yaitu :
a) Pembatasan jumlah perajin sesuai dengan kapasitas IPAL, dengan
metode pendataan tungku destilasi, hasil pendataan itulah yang
akan menjadi patokan jumlah perajin maksimum, dimana bila ada
perajin yang berniat menambah tungku destilasi, harus melalui
sistem jual beli, dengan cara, bila seorang perajin memiliki tiga
tungku destilasi, kemudian perajin tersebut ingin mengembangkan
usahanya, dengan cara menambah jumlah menjadi empat tungku,
maka perajin tersebut harus membeli tungku dari perajin lain yang
memiliki tungku lebih banyak, dan tungku perajin yang sudah
dibeli harus dimatikan selamanya.
b) Pembuatan IPAL baru yang pendanaan serta tendernya diatur oleh
badan lingkungan hidup Kabupaten Sukoharjo, yang akhirnya
konstruksinya dimenangkan kontraktor asal Singapura dengan
sistem pengolahan yang dibuat oleh Australia, dimana hasil dari
pengolahan air limbah akan diolah menjadi pupuk cair yang bisa
dibeli oleh petani dengan harga murah
Halaman | 113
c) Penetapan biaya pengangkutan limbah ke IPAL yang baru, sebesar
8000 rupiah per drum limbah, serta penetapan biaya iuran kepada
perajin alkohol sebesar 600 ribu rupiah per tungku yang dimiliki
untuk membeli tanah yang digunakan untuk pembuatan IPAL yang
baru
Dari pihak penengah sendiri, yaitu pak Budi selaku Camat Mojolaban
yang baru saja menjabat mulai tahun 2011 lalu, beliau tidak begitu mengetahui
secara persis permasalahan yang terjadi. Namun, beberapa waktu lalu beliau
sempat pergi ke tempat perajin untuk mensosialisasikan larangan membuang
limbah sembarangan apalagi di saluran irigasi, karena ketika turun ke lapangan,
yaitu ke daerah Mojolaban serta Polokarto yang merupakan dusun perajin alkohol,
beliau hanya memberikan saran untuk tidak membuang limbah ke saluran irigasi,
bahkan diakui beliau bila masih banyak oknum yang masih membuang limbahnya
ke saluran irigasi. Kondisi yang terjadi tersebut dapat dipetakan sesuai dengan
gambar berikut ini :
Halaman | 114
Keterangan Gambar :
: Hubungan antar pihak yang kuat
: Arah Pengaruh
: Hubungan yang terputus
: Menandakan aliansi kerjasama antar pihak
: Menandakan Konflik Utama
Petani
Tegalmade
Perajin Alkohol
Pranan Karang
wuni
Polokar
to
Masyarakat Desa
Mojolaban Mediator Konflik
(Muspika Kecamatan)
Gambar 5.1. Peta Periode Krisis 2012. Sumber : Dokumentasi Peneliti
Halaman | 115
Kalau menurut cerita camat sebelumnya, yaitu bapak Sumaryoto, yang
sekarang belum bisa ditemui karena ada suatu keperluan.Persoalan ini bermula
karena perajin membuang limbahnya langsung ke saluran irigasi, tanpa melalui
IPAL yang memang sudah penuh dan kurang perawatan dari dinas setempat serta
berakibat pada rusaknya beberapa hektar lahan produktif khususnya di desa
Tegalmade. Pak Sumaryoto sempat melakukan diskusi dengan perajin dan petani,
yang dilaksanakan pada bulan Juli 2012 lalu, yaitu teknisnya dengan memberikan
undangan kepada pak Sabaryono, yang bertindak sebagai ketua paguyuban serta
kepada kumpulan petani yang sedang berkumpul, ketika hari perundingan
memang situasi sempat memanas karena kedua belah pihak membawa banyak
massa, bahkan dari pihak petani sampai berhenti nyawah untuk melihat
perundingan tersebut. Namun, akhirnya masalah selesei dengan ditandatanganinya
MoU (Memorandum of Understanding)pada 17 Juli 2012 dari kedua belah pihak
seperti yang telah dijelaskan diatas.
Maka, sebagai camat yang baru, beliau memiliki tugas untuk memastikan
suksesnya pembangunan IPAL baru ini, dimana setelah dilakukan perudingan
tersebut, beliau langsung berkoordinasi dan mendatangkan ahli dari Kemeneg
Lingkungan Hidup yang mau melakukan cek lapangan untuk proyek pembuatan
IPAL, untuk mengetahui tingkat ke-idealan, serta cek lapangan sekaligus
pendataan terhadap produksi limbah perharinya guna menentukan kapasitas dan
bentuk yang tepat. Setelah hasil keluar, beliau lalu menyampaikannya pada BLH
KabupatenSukoharjo, kemudian BLH (Badan Lingkungan Hidup) yang
menindaklanjuti hasil tersebut. Dari pihak BLH sendiri kemudian melakukan
Halaman | 116
kajian, bekerjasama dengan perangkat Kecamatan setempat, mengusahakan
tempat terbaik dan strategis, hingga dilakukan sistem tender yang dimenangkan
kontraktor asal Singapura dan System Engineer dari Australia, tender tersebut juga
dibantu dari Jakarta termasuk pendanaannya. Namun, kemudian pihak Muspika
mengubungi Pak Tri dan Pak Sukino, dan beberapa warga lain untuk
mensosialisasikan pembuatan IPAL sekaligus pembelian tanah milik mereka,
yang ditanggung oleh perajin, sehingga pemerintah hanya membiayai secara
teknisnya, namun tanahnya tidak, maka perajin diharuskan iuran sebesar 600 ribu
per tungku untuk menutup biaya pembelian tanah tersebut.
Pengelolaan IPAL yang sedang dalam proses pembangunan pun menurut
beliau sangat menguntungkan perajin, karena ketika mereka membuang limbah
kesana, maka akan di konversi ke pupuk cair yang dikalengkan dan
pengelolaannya akan dibicarakan lebih lanjut oleh paguyuban. Dengan
konsekuensi perajin harus membeli tanah yang sedang dalam proses
pembangunan IPAL sebesar 600.000 perperajin disesuaikan dengan besarnya
industri yang dimiliki, serta biaya angkut limbah sebesar 8000 per drumnya.
Menurut perajin, konflik telah dianggap selesai, karena kedua belah pihak sudah
lama tidak bertemu di meja perundingan, dan telah diselesaikan di tingkat
kelurahan dan Kecamatan dengan mediator pak lurah dan MuspikaKecamatan
oleh perwakilan masing-masing pihak beberapa waktu lalu. Kesepakatan baru dari
kedua pihak adalah mendata jumlah tungku/alat produksi yang ada, dan
menetapkan jumlah tersebut untuk seterusnya, sehingga perajin tidak boleh
menambah kapasitas produksinya dengan menambah tungku, dan cara
Halaman | 117
alternatifnya adalah membeli tungku perajin lain, sehingga jumlah limbah dan
produksinya tetap.
Dengan berjalannya kesepakatan diatas, interaksi masyarakat didesa Mojolaban
sudah mulai berangsur normal, bahkan dari pihak perajin pun menganggap
konflik telah usai. Gambaran pemetaan pada periode paska kesepakatan:
: Hubungan antar pihak yang kuat
: Arah Pengaruh
: Menandakan aliansi kerjasama antar pihak
: Menandakan Konflik Utama
: Hubungan agak dekat
: Hubungan sementara yang belum terjadi sebelumnya
Petani
Tegal
made
Perajin
Alkohol
Warga Desa
Mojolaban
Pra
nan
Karan
gwuni
Polok
arto
Moderator Konflik
(Muspika
Kecamatan)
BLH KABUPATEN
SUKOHARJO
Gambar 5.2. Peta Periode Akibat 2012. Sumber : Dokumentasi Peneliti.
Halaman | 118
Namun,pada bulan Maret 2013 terjadi kembali demo besar-besaran yang
kemudian membuat kedua belah pihak yang berkonflik kembali berunding,lagi-
lagi karena tidak berjalannya kesepakatan yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak.Pada Maret 2013 lalu, terjadilah demo besar-besaran yang menuntut perajin
alkohol untuk tidak membuang limbahnya ke saluran irigasi setempat. Perajin
mulai melakukan pembuangan limbah secara sembarangan yang lalu merusak
sawah milik petani setempat, dan menyebabkan puso untuk kesekian kalinya.
Demo ini tidak hanya melibatkan masyarakat dari desa Karangwuni, Pranan,
Polokarto, dan Tegalmade, namun melibatkan juga warga setempat yang sama-
sama dirugikan oleh oknum perajin yang membuang limbahnya sembarangan dan
menyebabkan air sumur keruh, berbau dan sekaligus mematikan usaha batu bata
yang sangat bergantung pada tanah liat yang menjadi sangat gembur karena
limbah perajin.
Sebenarnya, pihak perajin sudah berniat membuang limbahnya ke IPAL
yang baru saja dibuat, bahkan sebagian besar perajin telah mempersiapkan
angkutan berupa tanki yang bisa digunakan kapan saja untuk membuang limbah
ke IPAL, seperti yang dinyatakan oleh pak Priyo ini :
“ Nggih, kami ini sebagai perajin ya punya tanggung jawab mas, salah
satunya ijin yang harus diperpanjang setiap lima tahun sekali, dengan
membayar lima juta rupiah ke pemerintah daerah, lalu kemudian dari ijin
tersebut juga ada poin yang mengarahkan kita untuk tidak merusak
lingkungan mas, malah setiap Minggu orang dari BLH (Badan
Lingkungan Hidup) mengecek kesini mas sekarang sejak demo yang
kemarin itu (17 Maret 2013), dan sekarang perajin sudah mempersiapkan
tanki mobil yang siap membawa limbah kapanpun ke IPAL yang baru itu,
kami sempat membuang kesana beberapa kali mas, tapi ternyata bocor lagi
ke saluran irigasi, padahal saya sudah bayar lunas mas biayanya, judeg
mas jadi perajin, katanya sudah jadi tapi ternyata 50 persen saja menurut
Halaman | 119
saya belum ada itu mas, gatau tu yang di atas bagaimana menganggarkan
uangnya, akhirnya limbah kita buang ke bengawan solo mas tiap malam
biar ga merugikan petani, kami takut mas nanti jadi perkara lagi dan bisa-
bisa digebukin kalau ketahuan”(Pak Priyo, Mojolaban, 20 Maret 2013)
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya dari pihak perajin sudah terdapat
sebuah upaya kooperatif yang bertujuan mencari resolusi dari konflik yang ada,
salah satunya dengan pengadaan tangki pembuangan limbah tersebut.Bahkan,
seorang informan mengaku telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk
membuat IPAL yang bisa dikatakan sebagai salah satu sarana resolusi konflik.
Selain itu, adanya agen yang menyalurkan limbah ke daerah-daerah yang
membutuhkan juga direspon positif oleh perajin alkohol yang tidak ingin
membuang limbahnya ke saluran irigasi setempat, seperti salah satu pernyataan
informan berikut ini :
“Itu gara-gara IPALnya belum jadi mas, ya karena belum jadi itu saya jadi
ngeluarin uang lebih banyak untuk membuang limbah ke Bengawan Solo,
kalau enggak ke daerah Wonogiri sana mas, ada agennya mas sekarang,
katanya kalau dijual lagi mahal mas limbah kita itu, pengerjaannya nggak
jelas kok mas, orang Kecamatan bilang kalau masih dalam tahap awal, tapi
kok ga dilanjutkan, padahal saya sudah bayar mahal mas buat IPAL itu”
(Pak Maarif, Mojolaban, 22 Maret 2013)
Demikianlah pernyataan beberapa perajin yang diwawancarai oleh
peneliti,dimana dari pernyataan tersebut, didukung oleh beberapa informan lain
dapat dilihat bahwa penyebab yang paling krusial adalah belum jadinya IPAL
baru yang pengerjaanya tidak jelas hingga sekarang, sehingga membuat perajin
sebagai pihak yang paling membutuhkan IPAL tersebut tersendat dan tidak bisa
secara efektif membuang limbahnya. Hal ini sangat mengecewakan perajin karena
dalam dokumen perpanjangan usaha mereka, ada poin keputusan bahwa IPAL
adalah prioritas utama penyelesaian masalah limbah di wilayah ini, dan lembaga
Halaman | 120
pemerintah terkait sudah mewajibkan perajin membayar uang sejumlah 800ribu
per tungkunya.
Bahkan, yang paling mengecewakan pihak perajin, pihak BLH (Badan
Lingkungan Hidup)KabupatenSukoharjo terkesan angkat tangan mengenai
masalah ini, karena bila dari paguyuban menghubungi pemerintah Kabupaten,
selalu alasan sibuk lah yang di keluarkan Kabupaten bila sudah ditanyai masalah
IPAL oleh pihak perajin sebagai pihak yang paling dirugikan. Berikut foto contoh
surat ijin usaha yang dimiliki oleh salah seorang perajin :
Gambar 5.3.Surat ijin usaha alkohol yang menandakan legalitas usaha.
Sumber: Dokumentasi peneliti
bahkan terjadi sebuah indikasi masalah baru yang dinyatakan oleh
berbagai pihak, baik dari kalangan perajin, petani, serta warga setempat, seperti
pernyataan berikut ini :
Halaman | 121
“Sebenarnya perajin itu sudah mau membuang limbahnya ke IPAL yang
baru itu mas, tapi ternyata IPALnya belum jadi mas, dan ga ada
kelanjutannya sampai sekarang mas, malahan proyeknya terkesan mandek
mas, padahal dari pihak Kecamatan sendiri pas pertemuan tahun lalu itu
sudah bilang mau selesaikan pembangunan IPAL ini mas, gatau uangnya
kemana padahal habisnya hampir satu miliar mas, biasanya perajin
sekarang membuang limbahnya ke bengawan solo, di bawa malam-malam
pakai pakai truk tanki mas”(Pak Saman, 29 Maret 2013)
Pernyataan ini mengindikasikan adanya sebuah pandangan baru
dikalangan masyarakat setempat yang menganggap buruknya pengelolaan dalam
pembuatan IPAL yang baru, dan adanya upaya perajin untuk melakukan aksi
sendiri guna mengurangi dampak dari konflik ini, bahkan seorang perajin juga
mengeluhkan buruknya pengelolaan pembangunan IPAL yang dinyatakan dengan
tidak berlanjutnya proyek IPAL tersebut, seperti penyataan berikut ini :
“Wah, itu ruwet mas masalahnya, sebenarnya intinya satu mas, kenapa
kok IPALnya belum jadi-jadi itu mas, padahal sudah satu tahun mas
jalannya, tapi ga pernah dibangun lagi mas, gatau tu uangnya kemana mas,
padahal kalau ditotal-total 800 juta murni buat bikin IPAL tanpa tanah
harusnya cukup mas” (Pak Salib, 28 Maret 2013)
Buruknya pengelolaan proyek IPAL juga cukup menganggu warga sekitar
yang menjadikan sumur sebagai sumber utama kebutuhan air sehari-hari, yang
sebelumnya sempat tercemar sumurnya dengan limbah dari perajin alkohol,
dengan pembangunan IPAL baru warga berharap masalah konflik dan lingkungan
yang selama ini terjadi dapat ditanggulangi. Seperti pernyataan salah satu
informan berikut ini :
“Parah mas, sumur saya kena semua mas, dulu airnya kotor sekali mas pas
perajin membuang limbah kental dan hitam mas, malahan bau ciu itu mas,
tapi sementara ini sudah adem ayem, tapi tidak tahu juga nanti gimana
mas, IPALnya aja belum jadi tu mas, padahal pembangunanya sudah dari
tahun lalu” (Pak Atmosuwito, 30 Maret 2013)
Halaman | 122
Dengan melihat beberapa pernyataan diatas, kita dapat menyimpulkan
bahwa indikasi isu korupsi dana pembangunan IPAL cukup mencuat dikalangan
perajin, petani bahkan warga sekitar yang mengetahui mengenai rencana
pembuatan IPAL tersebut. Semua pihak bersepakat bahwa satu-satunya solusi
adalah IPAL yang dapat menjadi peredam konflik limbah yang telah berlangsung
bertahun-tahun. Isu korupsi ini cukup santer terdengar dikalangan informan yang
peneliti wawancarai, karena mereka menduga pihak Kecamatan sebagai pihak
penengah ikut bermain dalam penyelewengan dana pembangunan IPAL yang
seharusnya sudah selesei akhir tahun 2012 lalu, dan seharusnya sekarang sudah
berfungsi dengan baik, serta menghasilkan pupuk kaleng yang akan dijual pada
kalangan petani dengan harga murah. Namun, dari pihak Kecamatan memiliki
pendapat lain :
“ Kalau untuk pembangunannya, pihak Kecamatan tidak mengurusi mas,
tapi yang membangun itu koordinasi antara BLH(Badan Lingkungan
Hidup) dan kementrian lingkungan hidup, mulai dari kontraktor hingga
material mereka yang urusin mas, kita Cuma mantau saja, sehingga aliran
dananya gimana, kita gatau mas, karena tidak diberi laporannya” (Pak Bob
Sudino, Kepala Pol PP Mojolaban, 1 April 2013)
Walaupun isu korupsi uang pembangunan IPAL cukup santer berkembang
dikalangan masyarakat, namun pihak Kecamatan mengaku tidak tahu-menahu
masalah aliran dana pembuatan IPAL, karena di handel langsung oleh pihak
Kabupaten dan dinas terkait. Namun memang warga didaerah ini sering laporan
kesini, tetapi pihak Kecamatan sudah menjelaskannya terhadap warga yang
mempertanyakan hal tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa proses
pembangunan IPAL tidak tersosialisasikan dengan baik.
Halaman | 123
Karena membuang limbah dengan tanki mengurangi keuntungan perajin,
masih banyak oknum perajin yang membuang limbahnya langsung ke saluran
irigasi. Dengan jumlah perajin yang semakin banyak, dan oknum yang membuang
limbah sembarangan semakin berlipat, maka air irigasi menjadi sangat hitam dan
pekat, hal ini didukung dengan cuaca yang cukup panas ketika peneliti melakukan
penelitian, sehingga limbah menjadi kental dan tak larut dengan air. Fenomena ini
menyebabkan kerusakan yang sangat serius, dimana padi tiba-tiba berkembang
tanpa bulir yang membuat petani puso kesekian kalinya, namun kali ini lebih
parah, karena mencapai puluhan hektar luasnya, kentalnya limbah yang tidak
terurai oleh air ini juga merembes ke sumur warga Tegalmade, yang dimana
sumur di daerah tersebut menjadi hitam dan rusak, serta tak layak konsumsi,
dikarenakan desa Tegalmade terdapat di persimpangan irigasi yang membawa
limbah cukup banyak setiap harinya.
Gambar 5.4.Kondisi Saluran irigasi ketika menjelang sore hari.Sumber :
Dokumentasi peneliti
Halaman | 124
Gambar 5.5.Perbandingan air tanpa limbah dan yang telah tercemar limbah.
Sumber: Dokumentasi peneliti
Melihat hal tersebut, maka pada awal Minggu, sekitar tanggal 11 maret
2013, pak Saman selaku pihak yang memiliki pengaruh cukup besar bagi petani
dan warga Tegalmade, mulai berkoordinasi dengan dinas terkait, seperti polisi,
badan lingkungan hidup Sukoharjo, serta Kecamatan dan kelurahan setempat dan
meminta ijin untuk melakukan demo dengan sanksi cukup ekstrim bagi perajin
nakal. Pak Saman dan perwakilan warga meminta ijin untuk melakukan
pembetonan saluran irigasi yang bertujuan mengentikan aliran limbah yang
mengalir keluar dusun Sentul, dengan harapan limbah tidak tersebar ke area
persawahan dan desa Tegalmade. Pihak terkait pun mengijinkan aksi yang
merupakan kolaborasi antara petani setempat dan warga desa Tegalmade ini, yang
kemudian dengan kas dari paguyuban petani serta iuran warga Tegalmade, pak
Saman serta perwakilan warga membeli material berupa semen dan pasir.
Halaman | 125
Pak Saman mulai beserta petani desa Tegalmade berkoordinasi dengan
dinas terkait, seperti polisi, badan lingkungan hidup Sukoharjo, serta Kecamatan
dan kelurahan setempat ia berdiskusi dengan pihak tersebut untuk melakukan
demo pada perajin alkohol yang masih nekat membuang limbah ke saluran irigasi.
Pak Saman dan beberapa warga meminta ijin untuk melakukan pengecoran
saluran irigasi yang bertujuan mengentikan aliran limbah yang mengalir keluar
dusun Sentul, dengan harapan limbah tidak tersebar ke area persawahan dan desa
Tegalmade. Pihak terkait pun mengijinkan aksi yang merupakan kolaborasi antara
petani setempat dan warga desa Tegalmade ini, yang kemudian dengan kas dari
paguyuban petani serta iuran warga Tegalmade, pak Saman serta perwakilan
warga membeli material berupa semen dan pasir.
Gambar 5.6.Penutupan saluran limbah milik perajin dengan cor beton.Sumber :
Dokumentasi peneliti
Halaman | 126
Mulai hari kamis tanggal 14 Maret 2013, petani dan warga Tegalmade,
melakukan pengecoran di 4 titik yang terdiri dari pintu air dan saluran utama dari
dusun Sentul ke desa Tegalmade, dan membuat limbah tidak bisa mengalir
dengan baik. Karena pembendungan ini, bendungan menjadi penuh dan pihak
perajin yang tidak ikut membuang limbah sembarangan sempat lapor kepada
Kecamatan, namun pihak Kecamatan sudah memberikan ijin kepada para petani
dan warga Tegalmade untuk melakukan demonstrasi pada hari Minggu nanti.
“Sudah mas, sudah ijin mereka, kemarin beberapa masyarakat kesini untuk
minta ijin demo dan sudah saya berikan mas ijinnya, kan demo juga salah
satu cara mengaspirasikan pendapat kan mas” (Pak Bob Sudino, Kepala
Satpol PP Mojolaban, 1 April 2013)
Gambar 5.7.Cor beton untuk menutup saluran limbah yang menuju ke sawah.
Sumber: Dokumentasi peneliti
Halaman | 127
Akhirnya, pada hari sabtu 16 Maret 2013, para petani dan warga dusun
Tegalmade melakukan koordinasi di acara arisan dusun Tegalmade untuk
melakukan demo kepada para perajin pada hari Minggu esok, 17 Maret 2013.
Pada pagi hari di hari Minggu, 17 Maret 2013, Petani dan Warga yang
sudah berkumpul di desa Tegalmade langsung berjalan menuju dusun Sentul
dengan membawa spanduk bertuliskan “ petani menangis, lingkungan menjerit,
karena badex (limbah alkohol)”.
Gambar 5.8.Demo Limbah pada 17 Maret
2013Sumberhttp://images.joglosemar.co/2013/03/180313-MUR-DEMO-CIU.jpg,
diakses pada 2 April 2013.
Dengan membawa spanduk tersebut, petani dan warga Tegalmade berjalan
menuju dusun sentul dengan meneriakkan yel-yel anti badek yang dipimpin oleh
pak Saman sebagai “koordinator” demontrans. Mereka berkeliling dari satu gang
Halaman | 128
ke gang lainnya dengan tujuan mendapatkan perhatian oknum perajin yang masih
membuang limbahnya sembarangan.
Gambar. 5.9. Demo pada 17 Maret 2013
.Sumber:http://www.solopos.com/2013/03/17/demo-petani-3-388609, diakses pada 2
April 2013.
Demo yang dilakukan pada 17 Maret 2013 ini akhirnya berakhir di
Kecamatan Mojolaban dengan jalan moderasi yang dilakukan oleh Muspika
setempat, dengan disaksikan oleh perwakilan petani, perajin dan warga setempat,
yang kemudian dengan moderasi oleh pak Bob, disepakati beberapa poin
kesepakatan, yaitu :
Halaman | 129
a) Semua pengrajin alkohol tidak boleh membuang limbah badek ke saluran
irigasi,
b) IPAL lama harus di bongkar karena sudah tidak berfungsi, karena ketika
limbah masuk maka ketika keluar masih dalam bentuk limbah kental
c) Penertiban perajin mengenai perijinan yang dimilikinya, karena banyak
sekali perajin liar yang menjamur akhir-akhir ini, oleh KPPT dan
SATPOL PP KabupatenSukoharjo yang dibantu oleh BLH (Badan
Lingkungan Hidup)Sukoharjo untuk membantu mengecek baku mutu
limbah yang menentukan kadar kimiawi limbah tersebut
d) Satgas Kecamatan Mojolaban untuk mengecek dan memberikan masukan
pada BLH (Badan Lingkungan Hidup)Sukoharjo, sekaligus menangkap
bagi perajin alkohol yang melanggar dan diserahkan pada Polisi.
Demikianlah kesepakatan yang dilakukan oleh pihak perajin dan
perwakilan petani serta warga desa Tegalmade yang disebabkan oleh demo pada
17 Maret 2013 lalu. Namun hingga peneliti melakukan penelitian pada 1 April
2013 lalu, kesepakatan ini belum ditandatangani oleh kedua belah pihak, karena
belum ada konfirmasi dari kedua belah pihak untuk mengirimkan perwakilannya.
Sedangkan, pemetaan konflik dari priode ini, dapat kita lihat pada gambar berikut
ini :
Halaman | 130
Menunjukkan Konflik yang
lebih kecil
Menunjukkan arah pengaruh Hubungan yang kuat
Aliansi Antar
Aktor
Menunjukkan Pihak yang
terlibat
Menunjukkan Konflik Utama
Gambar 5.10.Pemetaan Kondisi terakhir paska terjadinya akibat konflik 2013.Sumber :
Dokumentasi Peneliti
Warga
Desa
Mojolaban
Perajin Alkohol
- Perajin kecil
- Perajin
Menengah
- Perajin Industri
Petani
Tegalmade
Petani Polokarto Petani Karangwuni Petani Pranan
Halaman | 131
Setelah perdamaian yang dilakukan sekian lama, maka konflik mencapai
sebuah babak baru yang cukup mempengaruhi Perundingan kesepakatan konflik
.Dimana menurut analisis Fisher, tahapan ini sudah mencapai puncak dari
ketidaksinambungan antara hambatan konflik, walaupun secara struktur,
kompleksitas yang mencapai kepada perdamaian sudah sangat dipenuhi, bahkan
penyelesaian yang melibatkan pemerintah telah dilakukan.Namun, tampaknya
dari segi marjinalisasi, sebuah lubang menganga terbentuk pada hubungan antar
pihak yang berkonflik, bahkan mulai melibatkan warga sekitar sebagai pihak yang
sebelumnya tidak terseret pada konflik yang ada.Judicial approachyang dilakukan
oleh pihak-pihak dan wakil rakyat dengan pendekatan regulasi, termasuk
SATPOL PP serta POLISI dan Jajaran KPPT sudah dilakukan, secara teori
seharusnya konflik sudah dapat diredam.Resolusi konflik yang dilakukan oleh
beberapa pihak untuk meredam konflik lagi-lagi gagal. Dimana, upaya kedua
yang pernah dilakukan untuk meredam konflik ini adalah perundingan antara
perwakilan petani dan perajin yang di mediasi oleh pihak Kecamatan setempat,
sebenarnya langkah besar yang dilakukan ini cukup berhasil, karena mampu
meredam konflik antara perajin alkohol dan petani desa Mojolaban.
Selain itu langkah ini juga cukup mampu mengidentifikasi berbagai
persoalan yang menghadang dalam setiap upaya yang sebelumnya dilakukan.
Secara struktur, kita dapat melihat peran pihak ketiga yang menambah dinamika
konflik yang ada, sehingga secara struktur kita dapat melihat ada sebuah
kelengkapan dalam memahami hambatan-hambatan konflik yang ada, dimana
salah satunya adalah relasi yang terputus antara kedua belah pihak yang sedang
Halaman | 132
berkonflik, serta isu yang sudah semakin tampak jelas. Tahapan ini sudah
mencapaiMediation, yang penyelesaian konflik dengan cara melibatkan pihak
ketiga sebagai penengah, yang sangat membantu kedua belah pihak untuk
memahami faktor-faktor diatas. Kemudian berkembang lagi menjadi tahapan
konflik yang menuju Executive dispute resolution approach, dengan masuknya
dinas lingkungan hidup wilayah Sukoharjo.
Demikianlah langkah yang pernah dilakukan oleh kedua belah pihak untuk
menyelesaikan konflik ini, namun konflik tampaknya belum sepenuhnya selesai,
karena dari pihak perajin masih membuang limbah disaluran irigasai secara diam-
diam seperti yang dilakukan salah satu infroman peneliti, yaitu pak Mujimin, serta
adanya konflik laten baru antara warga setempat, bekerjasama dengan petani
untuk mencegah hal tersebut, bahkan warga mengancam akan menutup usaha
perajin yang membuang limbahnya sembarangan selamanya.Fakta yang sangat
menarik, walaupun kesepakatan sudah dibuat, namun kesepakatan dari kedua
belah pihak dalam menaatinya masih sangat sulit untuk dilakukan.
Hingga saat peneliti melakukan observasi pada 1 April 2013 lalu, petani
dan warga belum melakukan pembongkaran bendungan di irigasi, dengan alasan
untuk menjaga kesepakatan tetap berjalan, dari perajin. Dampak dari penutupan
ini, daerah dusun Sentul mengalami banjir kecil di sekitar jalan-jalan desa, dan
meluapnya saluran irigasi yang berisi limbah alkohol. Seperti pernyataan salah
satu informan ini :
Halaman | 133
“Ini tidak akan saya buka mas, sampai tanda tangan kesepakatannya
selesai mas,dan perajin sudah membuang limbahnya diluar saluran irigasi,
dari empat titik itu, biasanya jalan sentul bakalan banjir mas, tapi biar aja
dirasai ulah mereka sendiri mas sementara ini”(Pak Saman, Koordinator
petani dan warga, Mojolaban, 1 April 2013)
Cor semen yang belum dibongkar dan benar-benar menyebabkan banjir
dan bau menyengat di kawasan perajin di daerah dusun Sentul ini.
Sementara, kondisi terakhir di daerah setempat hingga saat peneliti
melakukan observasi pada akhir batas penelitian, tanggal 3 April 2013 lalu, petani
dan warga belum melakukan pembongkaran bendungan di irigasi, dengan alasan
untuk menjaga kesepakatan tetap berjalan, dari perajin. Dampak dari penutupan
ini, daerah dusun Sentul mengalami banjir kecil di sekitar jalan-jalan desa, dan
meluapnya saluran irigasi yang berisi limbah alkohol. Seperti pernyataan salah
satu informan ini :
“Ini tidak akan saya buka mas, sampai tanda tangan kesepakatannya
selesai mas,dan perajin sudah membuang limbahnya diluar saluran irigasi,
dari empat titik itu, biasanya jalan sentul bakalan banjir mas, tapi biar aja
dirasai ulah mereka sendiri mas sementara ini”(Pak Saman, Koordinator
petani dan warga, Mojolaban, 1 April 2013)
Hingga pada5 April 2013, peneliti masih menemukan cor semen yang
belum dibongkar dan benar-benar menyebabkan banjir dan bau menyengat di
kawasan perajin di daerah dusun Sentul ini.
Halaman | 134
Gambar 5.10 .Banjir di sepanjang jalan desa yang diakibatkan limbah yang meluap
dari saluran irigasi.Sumber : Dokumentasi peneliti.
Demikianlah konflik yang terjadi di desa Mojolaban ini, dimana secara
realitas, konflik masih terjadi secara massif, bahkan beberapa tempat di desa
Mojolaban terjadi banjir karena belum dibukanya beton penutup saluran yang
dibuat petani beberapa waktu lalu.
Halaman | 135
Sedangkan, bila kita menilik dari permasalahan konflik secara krionologis
sesuai dengan peta dan pentahapan diatas, Penggambaran pentahapan konflik
yang terjadidapat kita lihat dibawah ini :
KRISIS KRISIS
KONFRONTASI AKIBAT
PRA KONFLIK
2011 Januari-April-
Desember2010
12 Juli-Agust
2012 Feb- Des
2011
Maret 2013
Gambar 5.11.Grafis Pentahapan Konflik berdasarkan Kronologi.Sumber :
Dokumentasi Peneliti
Halaman | 136
BAB VI
ANALISIS KEGAGALAN RESOLUSI KONFLIK
Tidak bisa dipungkiri, bahwa konflik lingkungan yang terjadi di
KabupatenSukoharjo adalah konflik yang cukup berkepanjangan, serta telah
melalui berbagai tahapan resolusi yang secara teori seharusnya telah
menyelesaikan konflik yang terjadi di daerah ini.Namun, kegagalan yang ada
justru menarik peneliti untuk menelaahnya lebih dalam guna menguraikan benang
kusut yang ada dalam konflik tersebut. Pertama-tama, peneliti akan menjabarkan
bagaimana peran serta pihak yang memiliki wewenang untuk mrngatasi konflik
ini, namun mengalami kegagalan, kemudian peneliti akan mulai menganalisa
sebab kegagalan konflik yang ada, sehingga dapat ditemukan penyelesaian yang
berkelanjutan antara kedua belah pihak yang sedang berkonflik.
A. PIHAK YANG TERLIBAT DALAM MEDIASI
Dari pihak mediator sendiri yang notabene berperan sebagai pihak yang
bertugas mempertrmukan dan membuat kesepakatan antra kedua belah pihak,
dimana pihak yang paling berperan adalah sebagai berikut:
1. MuspikaKecamatan Mojolaban
MuspikaKecamatanMojolaban sangat berperan dalam merekonsiliasi konflik
ini, dimana mereka berperan sebagai orang yang mempertemukan dua pihak
utama ke meja perundingan di kantor Kecamatan beberapa saat setelah terjadinya
konflik tersebut, dan MuspikaKecamatan berkoordinasi dengan tokoh setempat
Halaman | 137
untuk merundingkan masalah ini dengan aktor utama yang terlibat dalam konflik
ini, perundingan dilakukan semasa camat dijabat oleh pak Sumantoyo. Seperti
dinyatakan beberapa informan berikut ini :
“Iya mas, waktu itu setelah terjadinya demo, MuspikaKecamatan
memberikan undangan kepada pak Sabar yang kemudian dirapatkan secara
musyawarah dirumah beliau dengan mengundang sebagian besar perajin
alkohol, jadi kita bisa tau secara detail gitu mas masalah dan perundingan
penyelesaiannya, akhirnya kami berunding mas di Kecamatan, ramai-
ramai sama yang lain kesana, tapi kemudian selesai kok mas
masalahnya”(Pak Priyo, Desa Mojolaban, 21 Februari 2013
Bahkan guna mensukseskan upaya resolusi konflik yang menuntut
tersosialisasinya kegiatan resolusi ini, pihak MuspikaKecamatan juga mendatangi
petani langsung ke tempat mereka berkumpul.
“ Ya waktu itu kami sedang makan bersama di gubung sawah, kemudian
datang orang dari Kecamatan ngasih seperti undangan begitu mas, terus
kitabaca ramai-ramai, akhirnya kita kirim perwakilan buat perundingan itu
mas , kemudian kita sama teman-teman juga datang buat melihat jalannya
perundingan itu mas, walau sudah dianggap selesei, selama kami masih
dirugikan, masih ada rasa mangkel mas” (Pak Temon, Mojolaban, 5
Februari 2013).
Muspika sendiri bertindak sebagai moderator yang cukup memberikan
pengaruh terhadap konflik ini, dimana sebagian besar keputusan serta kesepakatan
konflik dihasilkan dari adanya Muspika ini.
Halaman | 138
2. Badan Lingkungan Hidup KabupatenSukoharjo
Tidak bisa dipungkiri, bahwa BLH (Badan Lingkungan Hidup) memiliki andil
yang cukup besar dalam mengkoordinasikan, serta melakukan kajian termasuk
pembuatan proyek IPAL ini, bahkan terjadinya dukungan dari pemerintah dalam
hal dana sebesar 600 juta tidak lepas dari peran BLH ini, seperti yang dinyatakan
oleh camat Mojolaban :
“Itu pas selesei perudingan, salah satu keputusannya kan akan membuat
IPAL baru mas, nah itu BLH yang atur semuanya mas, kita dari
Kecamatan Cuma memberikan saran dan proposal aja mas, tentang
pengembangan dan pemberdayaan desa, trus mulai riset hingga
pembangunan memang yang lebih banyak berperan secara teknis BLH
(Badan Lingkungan Hidup) mas”(Pak Budi, Mojolaban, 25 Februari 2013)
Melihat hal tersebut, kita dapat melihat bahwa BLH (Badan Lingkungan
Hidup) merupakan tokoh eksternal yang memiliki peran cukup besar dalam hal
teknis pembuatan IPAL sebagai salah satu resolusi konflik.
MuspikaKecamatan sebagai salah satu pihak yang paling berpengaruh di
wilayah ini memiliki aliansi dengan kedua belah pihak yang sedang berkonflik,
dimana beliau berperan sebagai penengah dan penyampai suara secara silang antar
pihak utama dalam konflik ini. Hal ini terlihat dari pernyataan
MuspikaKecamatan dan kedua tokoh utama dalam konflik ini:
“ Ya, dahulu saya sering mas mengnjungi daerah petani dan perajin mas,
tujuannya jalin hubungan baik sama mereka mas, sekaligus menjaga
suasana agar lebih kondusif mas, selain itu peneliti juga memantau
pembangunan dari IPAL yang baru itu mas, yang dikerjakan kontraktor
asal Singapura dam Australia mas, biar hasilnya bagus dan bisa jadi
pemecahan masalah konfliknya ini mas, saya juga berkoordinasi dengan
BLH (Badan Lingkungan Hidup)Sukoharjo mas untuk melaporkan setiap
progressnya” (Pak Budi, Mojolaban, Sukoharjo, 25 Februari 2013)
Halaman | 139
Salah seorang perajin yang ikut dalam konflik ini juga menyatakan hal yang
sama, yaitu adanya undangan dari pihak MuspikaKecamatan yang bertujuanuntuk
meredam konflik yang ada.
“Iya mas, pas setelah demo selesei, kita dikirimin pemberitahuan sama
MuspikaKecamatan untuk berunding masalah ini mas, kemudian kita
datang sama beberapa perwakilan mas buat berunding terus diputusin
bikin IPAL itu mas”(Pak Mujimin, Mojolaban, 20 Februari 2013)
Bahkan, pihak Muspika sebagai penengah konflik juga memberikan
pemeritahuan langsung kepada petani yang menjadi korban dari perajin alkohol
dengan mendatanginya di tempat biasa mereka berkumpul.
“Kami waktu sedang di gubug sawah ada orang dari Kecamatan datang
mas, terus ngasih kayak surat gitu, akhirnya kita kirim perwakilan ke
Kecamatan mas buat perudingan yan diadain sama MuspikaKecamatan
mas waktu itu”(Pak Temon, Mojolaban, 5 Februari 2013)
Camat Mojolaban, Pak Budi sendiri mengaku sebelumnya beliau belum
pernah melakukan hubungan dengan BLH (Badan Lingkungan Hidup)Kabupaten,
karena memang tidak ada kepentingan yang dingin disampaikan, namun karena
konflik yang terjadi sekarang ini, akhirnya pihak Kecamatan dan BLH (Badan
Lingkungan Hidup) saling berkoordinasi untuk mencapai keharmonisan warga,
dan pembuatan IPAL yang mejadi salah satu resolusi dalam konflik ini. Bahkan,
dalam segi teknis pembuatan, higga penentuan lahan Kecamatan dan BLH (
Badan Lingkungan Hidup) turut terlibat aktif, bahkan kedua perwakilan dari
instansi itulah yang aktif mensosialisasikan IPAL kepada masyarakat setempat.
Seperti pernyataan beliau :
Halaman | 140
“ Kami dari KecamatanMojolaban ngrasa tanggung jawab mas atas
konflik ini, amanah yang di berikan oleh pak Sumartoyo kan membangun
IPAL ini supaya konflik selesai, ya sudah lalu kami berkoordinasi dengan
BLH (Badan Lingkungan Hidup)Sukoharjo, bahkan yang melakukan
survey lapangan dan tender pembuatan juga perwakilan dari BLH juga
mas, jadi memang untuk menyelesaikan konflik ini kita berkolaborasi
mas”(Pak Budi, Mojolaban, 25 Februari 2013).
B. ANALISIS RESOLUSI KONFLIK
Dalam menentukan langkah yang perlu dilakukan, peneliti akan
menggunakan peta konflik yang telah dibuat, sekaligus pentahapan konflik yang
ada untuk menetukan langkah apa yang selanjutnya perlu dilakukan. Dengan
menggunakan pentahapan konflik, kita bisa mengidentifikasi kegiatan yang telah
dilakukan, serta hubungan-hubungan yang mungkin mempengaruhi penyelesaian
konflik dari pihak yang terlibat konflik ini. Dengan analisis jalan pembuka
(Fisher,2000), peneliti akan menggunakan elemen berikut ini untuk mencari jalan
pembuka dari konflik ini, elemen tersebut adalah :
Hambatan : Yaitu mencari faktor hubungan secara spesifik dan pengaruhnya
terhadap konflik yang ada, dimana salah satunya adalah hubungan
yang terjadi antar pihak yang sedang berkonflik, apakah sudah baik
atau masih ada intervensi yang mempengaruhi
Marjinalisasi :Dengan analisis ini, kita akan melihat apakah ada dari kelompok
tertentu yang tidak memiliki hubungan baik dengan pihak yang ikut
terlibat dalam konflik ini, hal ini akan semakin mempermudah kita
dalam mencari jalan keluar nantinya.
Halaman | 141
Struktur : Dengan struktur ini, kita harus mencari pihak-pihak yang dirasa
dapat bekerjasama untuk meredam dan menyelesaikan konflik ini
secara kontinu.
Isu-isu : Dengan analisis ini,kita akan menguaraikan isu-isu lain yang
muncul dan belum diatasi.
Dengan menggunakan berbagai langkah diatas, kita akan mulai
mengidentifikasi setiap elemen analisisnya dan memberikan solusi sesuai dengan
poin yang ada, dengan tujuan mencapai sebuah analisa pemetaan jalan pembuka
(Fisher,2000) yang baik dan berkelanjutan , yaitu :
1. Hambatan : hubungan antara perajin alkohol, serta petani yang sudah
mulai membaik namun masih menyisakan kebencian dalam hati
petani, serta warga sekitar dapat menyusahkan sebuah resolesi konflik
masuk untuk mengakomodasi keduanya. Hal ini lebih disebabakan
oleh oknum perajin alkohol yang masih nekat membuang limbahnya
kesaluran irigasi setempat.
Strategi : Melakukan interaksi secara berkala melalui forum-forum
resmi, seperti acara hajatan, maupun pertemuan lain yang bersifat
informal, dengan tujuan mempererat solidaritas dan persaudaraan
yang akan berimplikasi pada membaiknya hubungan. Pertemuan
rutin ini dapat diakomodasi oleh Kecamatan sebagai pihak yang
memiliki kekuasaan didaerah ini.
Halaman | 142
2. Marjinalisasi : Pada konflik di Mojolaban, marjinalisasi terjadi
dikalangan perajin alkohol, dimana warga setempat lebih dekat dengan
petani daripada dengan perajin alkohol, karena memang biasanya
perajin alkohol hanya berinteraksi secara intens dengan teman sesame
perajin.
Strategi : dengan membuat acara yang bersifat kolaboratif, serta
melibatkan semua kalangan masyarakat, yang dapat di
akomodasioleh pihak Kecamatan maupun paguyuban untuk
menghidarkan terjadinya marjinalisasi antara kedua belah pihak
dengan pihak lainnya, diharapkan dengan adanya hal tersebut
oknum yang membuang limbah akan ikut mentaati kesepakatan
yang sebelumnya telah dibuat
3. Struktur : dengan melihat peran Kecamatan dan BLH yang cukup
signifikan, hamper semua permasalahan konflik dapat diselesaikan
oleh kedua instansi ini, namun kurangnya koordinasi dan sosialiasi
menjadi salah satu penyebab tidak berlanjutnya proses perdamaian
Strategi : dengan melakukan kolaborasi, bahkan membentuk tim
pencegah konflik yang berasal dari semua elemen, baik warga,
perajin, maupun petani, akan sangat menguntungkan dalam hal
struktur, karena semua pihak merasa dilibatkan secara intens
dalam penyelesaian konflik ini.
Halaman | 143
4. Isu : isu lain yang terjadi mungkin ada di kalangan perajin, yaitu isu
ekonomi, hal ini disebabkan karena kurangnya kerjasama dan interaksi
dari kedua elemen masyarakat yang terpisah oleh dam tersebuut,
sehingga isu ini dengan muda mencuat
Strategi : dengan melakukan acara yang melibatkan semua kalangan
masyarakat, serta memanfaatkan momen dimana masyarakat
berkumpul untuk mensosialisasikan penyelesaian dan proses yang
dilakukan oleh pemerintah setempat
Melihat konflik yang terjadi diwilayah ini, uraian diatas mengambarkan
seberapa akutnya masalah yang menjadi penyebab konflik didaerah ini.Bahkan
berbagai fase penyelesaian konflik telah dilalui dengan hasil nol besar, sehingga
salah satu rekomendasi saya dalam pengelolaan konflik ini adalah menggunakan
metode Segitiga resolusi konflik yang dikembangkan oleh pemikiran Johan
Galtung.Galtung merupakan salah seorang penemu teori resolusi konflik
ini.Pemahamannya yang luas mengenai akar-akar kekerasan struktural dan
cultural sebagaiaman telah sedikit disinggung di atas, sangat baik dan berguna
bagi siapa saja yang ingin menggambarkan dan mengembangkan resolusi konflik
secara relational, simetris dan sosiologis.
Halaman | 144
Gambar 6.1. Segitiga Konflik John Galtung. Sumber : Pengantar Sosiologi Konflik
dan Isu-Isu Kontemporer.
Sedangkan, analisis yang lebih mendetail memenurut teori Segitiga
Konflik Galtung, dalam fenomena yang terjadi di Mojolaban, kita dapat
menggunakan pendekatan perilaku (behavior) persatuan (conciliation) atau
permusuhan (hositility), dimana ketiga komponen ini haruslah disatukan untuk
mencapai sebuah resolusi konflik yang dapat terus berlajut sesuai dengan keaddan
yang ada dilapangan. Pendekatan perilaku disini dapat kita sesuaikan dengan
pemetaan serta tahapan konflik yang sebelumnya telah dilalui oleh kedua belah
pihak, pendekatan perilaku dapat kita analisis dan pelajari dari kegagalan resolusi
yang sebelumnya telah dilakukan, dimana secara perilaku kita dapat
menyimpulkan bahwa perajin alkohol belum mampu membuang limbahnya ke
IPAL yang seharusnya sudah jadi, sehingga memperngaruhi perilaku mereka
untuk membuang limbah langsung ke saluran irigasi setempat, sedangkan dari
pihak petani sendiri hal tersebut menganggu aktivitas mereka dalam menghasilkan
beras.
Halaman | 145
Perilaku ini perlu kita pahami bersama terutama dalam hal mencari
resolusi konflik terbaik, sebagai masalah utama yang dihadapi oleh semua pihak,
dimana dari data yang tela dikumpulkan kita dapat mengidentifikasi bahwa
masalah utama adalah belum jadinya IPAL yang baru, yang membuat semua
pihak terkena limbah dari industrialkohol ini, pihak mediator perlu menekankan
hal ini sebagai sebuah masalah utama yang menjadi perhatian bersama untuk
menyatukan persepsi, karena sebelumnya pihak mediator hanya berunding tanpa
memberikan kejelasan isu dikarenakan tidak adanya data pendukung, sehingga
kejelasan isu dapat terkuak dengan adanya penelitian ini yang nantinya dapat
disampaikan kepada kedua belah pihak yang berkonflik.
Secara struktur, yang telah diikuti oleh pihak ketiga termasuk pihak
pemerintah yang memiliki pendekatan yudisial, seperti KPPT yang bertugas
mentertibkan oknum perajin tanpa izin, serta SATPOL PP yang bertugas
menyatukan kedua belah yang berkonflik perlu dihadirkan guna mencapai sebuah
upaya perdamaian, yang mengarah ke persatuan. Hostility atau permusuhan juga
dapat disatukan dengan upaya-upaya mediasi kedua belah pihak, dimana hal
tersebut dimaksudkan untuk mencapai sebuah segitiga konflik utuh yang akan
sangat membantu proses perdamaian, dimana isu utama yang membuat
masyarakat berlaku demikian perlu disampaikan, yaitu tidak jadinya
pembangunan IPAL baru yang telah berlangsung selama satu tahun ini. Dengan
penyatuan aspek-aspek struktural segitiga tersebut, diharapkan mampu
meningkatkan kemungkinan perdamaian dari pihak yang berkonflik.
Halaman | 146
Penyatuan dari segitiga diatas akan mampu menciptakan segitiga baru dalam
hal peace building, peace making, dan peace keeping. Dimana peace building
sangat ditunjang dengan kerjasama mediator, terhadap pihak yang
berkonflik.Peace building dapat dilakukan oleh mediator, yang dalam hal ini
adalah MuspikaKecamatan dengan melakukan acara-acara bersama yang
melibatkan kedua belah pihak yang sedang berkonflik, serta membuat kegiatan
seperti arisan desa dan kerjasama karang taruna setempat untuk menciptakan
acara tertentu, yang mengarah pada pencapaian resolusi yang baik antara kedua
belah pihak yang dipandu oleh Muspika dan BLH (Badan Lingkungan Hidup)
setempat.
Sedangkan proses peace making yang melibatkan pihak-pihak tersebut
dapat dilakukan dengan membuat kesepakatan yang memiliki dasar hokum kuat,
yang secara yudisial diketahui oleh pemerintah KabupatenSukoharjo serta eselon
yang lebih tinggi, perjanjian harus benar-benar disusun secara rigid dan detail
sesuai dengan keadaan lapangan, sehingga setiap pelanggaran yang ada, dasar
untuk menindaknya jelas, karena dari pantauan lapangan sendiri, perjanjian hanya
dibuat di secarik kertas dan tandatangan kedua belah pihak, serta hanya berupa
beberapa butir yang sangat general, sehingga tidak memiliki kekuatan yang cukup
untuk membangun sistem baru dalam peace making ini.Sedangkan, peace
keeping, dapat dilakukan dengan usaha yang melibatkan Muspika, SATPOL PP,
KPPT, serta pihak berwajib untuk melakukan pengontrolan dalam hal distribusi
limbah serta penertiban area setempat, sehingga warga dan petani bisa tenang
dalam melakukan kegiatannya, serta tidak perlu melakukan demo untuk
Halaman | 147
menghentikannya, karena sudah ada pihak yang memiliki otoritas dalam hal
tersebut.
Demikianlah beberapa saran dalam hal penyelesaian konflik dengan
analisis pemetaan jalan pembuka dengan elemen diatas.Diharapkan dengan
adanya elemen diatas, dapat menjaga keharmonisan yang mulai terbangun di
kawasan tersebut.
Halaman | 148
BAB VII
KESIMPULAN
Dalam penelitian ini, kita dapat menyimpulkan beberapa hal, yaitu
permasalahan utama dalam konflik ini adalah jumlah limbah yang begitu banyak,
membuat IPAL lama penuh, dan banyak dari perajin ini langsung membuang
limbahnya ke saluran irigasi tanpa melalui IPAL, sehingga membuat tanaman
padi rusak dan tanah menjadi sangat gembur.Sedangkan permasalahan kedua
adalah IPAL baru yang mandek dalam pembangunannya.Hal ini menyebabkan
petani melakukan protes kepada beberapa perajin alkohol setempat.Perbedaan
pandangan ada pada pihak perajin, yaitu para perajin menyatakan bahwa para
petani iri dengan keberhasilan perajin yang lebih makmur daripada petani,
sehingga membuat petani iri dan ingin menjatuhkan usaha para perajin ini,
didasarkan pernyataan tersebut maka perajin tetap dengan santai membuang
limbah mereka ke saluran irigasi, karena merasa sejak ratusan tahun usaha ini ada,
tidak pernah ada kasus padi puso karena masalah limbah, dimana limbah malah
menjadi semacam pupuk yang baik untuk perkembangan padi, pada
perkembangan selanjutnya, keputusan perajin membuang limbah ke irigasi juga
didukung molornya proyek IPAL baru yang rencana akhir tahun lalu sudah
beroperasi.
Kemudian, petani pergi ke tempat pak Sabaryono yang merupakan ketua
paguyuban perajin, lalu ditindak lajuti dengan memasang plang-plang serta
mensosialisasikan nya kepada perajin yang ada di daerah setempat. Menjelang
bulan Juli 2012, karena banyak perajin yang masih nekat, petani menutup saluran
Halaman | 149
irigasi yang digunakan para perajin untuk membuang limbah mereka. Sempat
terjadi keributan antara petani dan perajin karena perajin tidak bisa membuang
limbah dan harus menyimpannya di drum atau mengirimnya ke daerah lain.
Kemudian, pada tanggal 12 Juli 2012, para petani yang sebelumnya sudah
melakukan rapat koordinasi di gubug sawah setempat, melakukan aksi demo ke
KecamatanMojolaban, yang akhirnya ditemui oleh MuspikaKecamatan, yang
serta merta mengirim undangan tertulis kepada paguyuban perajin alkohol, yang
kemudian dilakukan perundingan antara kedua belah pihak di kantor Kecamatan
dengan mediasi dari MuspikaKecamatan dan pak lurah.Pada akhirnya, setelah
dilakukan mediasi, tercapilah beberapa keputusan penting, yaitu :
a) Pembatasan jumlah perajin, dan jumlah tungku yang ada didaerah
Mojolaban, dimana tungku destilasi akan di data sedemikian rupa, dan
jumlah maksimal tungku hasil pendataan itulah yang akan menjadi
patokan jumlah perajin maksimum, dimana bila ada perajin yang berniat
menambah tungku destilasi, harus melalui sistem jual beli, dengan
teknisnya, bila seorang perajin memiliki dua tungku, kemudian perajin
tersebut ingin menambah jumlahnya menjadi tiga tungku, maka perajin
tersebut harus membeli tungku dari perajin lain yang memiliki tungku
lebih banyak, dan tungku perajin yang sudah dibeli harus dimatikan
selamanya.
b) Pembuatan IPAL baru yang pendanaan serta tendernya diatur oleh badan
lingkungan hidup KabupatenSukoharjo, yang akhirnya konstruksinya
dimenangkan kontraktor asal Singapura dengan sistem pengolahan yang
Halaman | 150
dibuat oleh Australia, dimana hasil dari pengolahan air limbah akan diolah
menjadi pupuk cair yang bisa dibeli oleh petani dengan harga murah
c) Penetapan biaya pengangkutan limbah ke IPAL yang baru, sebesar 8000
rupiah per drum limbah, serta penetapan biaya iuran kepada perajin
alkohol sebesar 600 ribu rupiah per tungku yang dimiliki untuk membeli
tanah yang digunakan untuk pembuatan IPAL yang baru
Dengan berjalannya kesepakatan diatas, interaksi masyarakat didesa
Mojolaban sudah mulai berangsur membaik, dari pihak perajin pun menganggap
konflik telah usai. Namun, dari penuturan informan dari pihak petani, masih ada
konflik laten yang sewaktu-waktu bisa meledak, karena masih banyak perajin
yang nekat membuang limbah langsung ke saluran irigasi, yang biasanya
dilakukan ketika malam hari untuk menghemat ongkos produksi.
Dalam peta konflik yang di hasilkan dalam penelitian ini, petani
berkolaborasi dengan dukungan dari warga yang juga menolak hal yang sama
karena limbah juga menghasilkan bau tidak sedap dan mengganggu mata
pencaharian pembuat batu bata yang merupakan mata pencaharian mayoritas di
daerah ini, sehingga petani dan aliansinya yang berasal dari dusun Polokarto,
Karangwuni, dan Pranan, dengan kordinator dari paguyuban petani Tegalmade
yang terkena dampak limbah secara langsung karena letaknya yang sangat dekat
dengan wilayah perajin, merencanakan sebuah demo besar-besaran untuk menolak
limbah tersebut.
Halaman | 151
Dengan adanya demo yang berawal dari ditutupnya saluran irigasi pada
Juli 2012 lalu, yang sempat membuat perajin marah dan hampir membuat kontak
fisik, maka MuspikaKecamatan sebagai pihak yang menjadi penengah,
memanggil perwakilan dari kedua belah pihak. Hingga kemudian dicapailah
kesepakatan untuk membuat IPAL baru, yang membuat Kecamatan berkoordinasi
dengan BLH Sukoharjo, guna perencanaan hingga konstruksi dan sistem
kerjanya.Dengan keberadaan IPAL dan pembatasan jumlah tungku, maka konflik
sudah menurun intensitasnya, bahkan perajin menilai sudah selesei.Hal ini juga
membuat BLH sebagai pihak eksternal yang berpengaruh namun tidak terlibat
konflik secara langsung.Sebenarnya, masalah komunikasi yang kurang adalah
masalah utama, dimana hal tersebut dapat diselesaikan dengan cara
mengintensifkan kolaborasi antar elemen masyarakat.
Pemetaan konflik antara perajin alkohol dan petani pengguna Dam Colo
Timur ini cukup dinamis, baik dari segi aktor maupun isu yang berkembang di
masyarakat daerah ini. Secara geografis saja, sebuah tembok tak terlihat telah
memisahkan kedua belah kubu yang sedang berkonflik, dimana kubu perajin yang
berada di dusun Sentul memiliki penghidupan yang lebih layak secara materi,
sedangkan petani yang dipisahkan oleh Dam Colo Timur memiliki penghidupan
yang cenderung kurang. Perbedaan secara geogafis ini saja telah membuat sebuah
isu baru yang muncul dikalangan perajin, yaitu isu ekonomi, yang dimana
sebagian besar perajin berpendapat bahwa petani iri dengan keberhasilan yang
dicapai oleh perajin, dan perajin merasa bahwa akar masalah hanyalah salah
paham saja, walaupu ada pula yang mengakui limbah yang tidak melalui IPAL
Halaman | 152
lama yang sudah rusak adalah penyebabnya. Namun, hal yang berbeda
diaungkapkan petani, dimana petani hanya meminta perajin untuk tidak
membuang secara langsung limbahnya ke saluran irigasi, karena bila dibuang
secara langsung tanpa diendapkan, akan membuat tanaman rusak karena limbah
panas dan bersifat asam, sedangkan ketika IPAL lama masih berfungsi, limbah
biasa di endapkan selama satu minggu agar dingin dan dapat dimanfaatkan
sebagai pupuk.
Dalam peta konflik yang ada, petani sendiri mendapatkan dukungan dari
warga yang juga menolak hal yang sama karena limbah juga menghasilkan bau
tidak sedap dan mengnggu mata pencaharian pembuat batu bata yang merupakan
mata pencaharian mayoritas di daerah ini, sehingga petani dan aliansinya yang
berasal dari dusun Polokarto, Karangwuni, dan Pranan, dengan korrdinator dari
paguyuban petani Tegalmade yang terkena dampak limbah secara langsung
karena letaknya yang sangat dekat dengan wilayah perajin, merencanakan sebuah
demo besar-besaran untuk menolak limbah tersebut. Dengan adanya demo yang
berawal dari ditutupnya saluran irigasi yang sempat membuat perajin marah
tersebut, maka Muspika Kecamatan sebagai pihak yang menjadi penengah,
memanggil perwakilan dari kedua belah pihak. Hingga kemudian dicapailah
kesepakatan untuk membuat IPAL baru, yang membuat Kecamatan berkoordinasi
dengan BLH Sukoharjo, guna perencanaan hingga konstruksi dan system
kerjanya.Dengan keberadaan IPAL dan pembatasan jumlah tungku, maka konflik
sudah menurun intensitasnya, bahkan perajin menilai sudah selesai.Hal ini juga
membuat BLH sebagai pihak sekunder yang berpengaruh namun tidak terlibat
Halaman | 153
konflik secara langsung. Secara Pentahapan konflik, Sebenarnya, masalah dalam
konflik ini cukup sederhana, yaitu IPAL lama yang ada didaerah tersebut sudah
penuh dan kotor, sehingga tidak bisa mengendapkan limbah, hal ini membuat
limbah langsung terdorong kesawah dan langsung merusak padi yang di tanam,.
Secara kronologis, petani awalnya hanya mendatangi seseorang yang bernama pak
Sukino, beliau dan seorang temannya lah yang bertamu secara baik-baik kerumah
pak sukino yang di kenal sebagai orang yang nekat membuang limbahnya di
saluran irigasi utama tersebut.
Namun, ketika diingatkan, besoknya kejadian tersebut terulang, karena sudah
tidak sabar kemudian petani melaporkannya pada ketua paguyuban, yaitu pak
Sabaryono yang lalu membuat plang-plang yang ada didaerah tersebut, yang
berisikan larangan membuang limbah ke saluran irigasi, namu bukannya
berkurang, malah limbah semakin banyak dan pekat, dan biasanya mereka
membuangnya di malam hari. Akhirnya, petani melakukan musyawarah di gubug
sawah, yang dihadiri petani yang selesei bekerja pada sore hari, hanya beberapa
orang termasuk beliau, mereka merencanakan aksi besar-besaran, yang pada
keesokan harinya diumukan dari mulut ke mulut antar petani.
Bisa kita lihat, bahwa tahapan yang ada pun sudah lengkap, dalam artian
mulai dari prakonflik hingga pasca konflik telah dilalui kedua belah pihak, namun
masih menyisakan rasa ketidakpuasan dari salah satu pihak, yaitu kolaborasi
antara petani dan warga sekitar. Sebenarnya, masalah utama dapat diselesaikan
dengan cara mengintensifkan kolaborasi antar elemen masyarakat, karena masalah
sebenarnya disebabkan ketiga pihak yang telibat, yaitu warga, perajin, serta petani
Halaman | 154
kurang intens dalam berinteraksi dan menyuarakan pendapatnya, dimana dengan
kolaborasi antara pihak yang berkonflik dengan dinas yang bertanggungjawab
pada konflik ini, akan dihasilkan sebuah resolusi konflik yang baik dan
berkelanjutan.
Akhirnya, konflik laten yang ditakutkan terjadi, pada 17 maret 2013, ratusan
petani dan warga desa Tegalmade melakukan demo kembali kepada perajin yang
masih suka nekat membuang limbahnya langsung menuju saluran irigasi,hingga
menimbulkan dampak lebih besar, yaitu rusaknya padi dan tercemarnya air sumur
setempat, namun sudah tercapai tahap penyelesaian, meskipun belum
menunjukkan tanda-tanda menurunnya konflik tersebut dengan kesepakatan yang
dilakukan di Kecamatan setempat pada hari Jumat, 22 maret 2013.
Sementara masalah di daerah setempat belum selesai karena penandatanganan
kesepakatan ini belum terjadi. Masalah sebenarnya disebabkan ketiga pihak yang
telibat, yaitu warga, perajin, serta petani kurang intens dalam berinteraksi dan
menyuarakan pendapatnya, dimana dengan kolaborasi antara pihak yang
berkonflik dengan dinas yang bertanggungjawab pada konflik ini, akan dihasilkan
sebuah resolusi konflik yang baik dan berkelanjutan.Sedangkan, saran saya dalam
resolusi ini, menurut segitiga Galtung, peace building sangat ditunjang dengan
kerjasama mediator, terhadap pihak yang berkonflik.
Peace building merupakan bentuk kerjasama antara mediator dengan pihak-
pihak yang berkonflik, secara teknis dapat dilakukan dengan melakukan acara-
acara bersama yang melibatkan kedua belah pihak yang sedang berkonflik, serta
membuat kegiatan seperti arisan desa dan kerjasama karang taruna setempat untuk
Halaman | 155
membantu mempererat persaudaraan antar pihak yang berkonflik, yang mengarah
pada pencapaian resolusi yang baik antara kedua belah pihak yang dipandu oleh
Muspika dan BLH setempat. Sedangkan proses peace making dapat dilakukan
dengan membuat kesepakatan yang memiliki dasar hukum kuat, diketahui oleh
pemerintah KabupatenSukoharjo serta pejabat yang lebih tinggi, perjanjian harus
benar-benar disusun secara detail per pasal sesuai dengan keadaan lapangan,
sehingga setiap pelanggaran yang ada, dasar untuk menindaknya jelas, karena dari
pantauan lapangan sendiri, perjanjian hanya dibuat di secarik kertas dan
tandatangan kedua belah pihak, serta hanya berupa beberapa butir yang sangat
general, sehingga tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun system
baru dalam peace making ini.
Peace keeping dapat dilakukan dengan usaha yang melibatkan Muspika,
SATPOL PP, KPPT, serta pihak berwajib untuk melakukan pengontrolan dalam
hal distribusi limbah serta penertiban area setempat, sehingga warga dan petani
bisa tenang dalam melakukan kegiatannya, serta tidak perlu melakukan demo
untuk menghentikannya, karena sudah ada pihak yang memiliki otoritas dalam hal
tersebut.
Demikian penelitian mengenai konflik limbah antara perajin alkohol dan
petani pengguna Dam Colo Timur, yang berfokus pada masalah limbah.Di
harapkan dengan adanya penelitian ini, pihak terkait dapat lebih berkolaborasi
dalam hal sosialisasi dan intergratif dengan masyarakat daerah Mojolaban, dengan
tujuan menghilangkan benih-benih konflik yang mungkin terjadi di masa
mendatang.