“PENGARUH WORK FAMILY CONFLICT DAN JOB AUTONOMY …
Transcript of “PENGARUH WORK FAMILY CONFLICT DAN JOB AUTONOMY …
i
“PENGARUH WORK FAMILY CONFLICT DAN JOB AUTONOMY
TERHADAP ORGANIZATIONAL COMMITMENT” (STUDI KASUS
DI DINAS PEKERJAAN UMUM DAN PENATAAN RUANG
KOTA DENPASAR)
OLEH :
KOMANG ADI SASTRA WIJAYA, SS.MAP
NIP : 198411112008011003
FAKULTAS ILMU SOSIAL POLITIK
PRODI ADMINISTRASI NEGARA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
1
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ..................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ....................................................................................... iv
DAFTAR GRAFIK ...................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 11
1.3. Tujuan Penelitan .............................................................................. 11
1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................... 11
BAB II LANDASAN TEORI ...................................................................... 13
2.1. Tinjauan Pustaka .............................................................................. 13
2.2. Penelitian Terdahulu ....................................................................... 19
2.3 Kerangka Pemikiran ........................................................................ 20
2.4 Hipotesis .......................................................................................... 22
2.5 Definisi Operasional ........................................................................ 24
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................. 29
3.1. Lokasi Penelitian ......................................................................... 29
3.2. Populasi dan Sampel ................................................................... 29
3.3. Jenis Data .................................................................................... 30
3.4. Sumber Data ................................................................................ 31
3.5. Instrumen Penelitian ................................................................... 31
3.6. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 32
3.7. Teknik Analisis Data .................................................................. 32
ii
2
BAB IV DATA DAN PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ............... 41
4.1. Data Hasil Penelitian ................................................................... 41
4.1.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas .................................... 41
4.1.2 Karakteristik Responden ................................................... 43
4.1.3 Deskripsi Variabel Penelitian ............................................ 45
4.2. Model Struktural PLS (Partial Least Square) ............................ 49
4.2.1 Evaluasi Model Pengukuran (Measurement Model/Outer
Model) 49
4.2.2. Evaluasi Model Struktural (Structural Model/Inner Model) 54
4.2.3. Pengujian Hipotesis .......................................................... 55
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 59
5.1. Simpulan...................................................................................... 59
5.2. Saran ............................................................................................ 59
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 61
iii
3
DAFTAR GRAFIK
Grafik Halaman
1.1 Work Family Conflict .............................................................................. 3
1.2 Job Autonomy ........................................................................................... 6
1.3 Organizational Commitment .................................................................... 9
iv
4
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 2.1 Indikator dari Variabel .................................................................. 27
Tabel 4.1 Uji Validitas Metode Bivariate Pearson ...................................... 42
Tabel 4.2 Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian ............................................ 43
Tabel 4.3 Karakteristik Responden Menurut Demografi ............................. 44
Tabel 4.4 Proporsi Jawaban Responden Variabel Work Family Conflict .... 45
Tabel 4.5 Proporsi Jawaban Responden Variabel Job Autonomy ................ 47
Tabel 4.6 Proporsi Jawaban Responden Variabel Organizational
Commitment .................................................................................. 48
Tabel 4.7 Nilai Outer Loading...................................................................... 50
Tabel 4.8 Uji Discriminant Validity ............................................................. 53
Tabel 4.9 Uji Composite Reliability dan Cronbach Alpha ........................... 53
Tabel 4.10 Evaluasi Model Struktural Inner .................................................. 54
Tabel 4.11 Path Analisis dan Pengujian Statistik ........................................... 55
v
5
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran ............................................................. 22
Gambar 4.1 Outer Loading dan Path Koefisien ........................................ 51
Gambar 4.2 Boothstrapping Model........................................................... 52
vi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan salah satu faktor kunci
untuk mendapatkan kinerja terbaik, karena selain menangani masalah
ketrampilan dan keahlian, manajemen SDM juga berkewajiban membangun
perilaku kondusif pegawai untuk mendapatkan kinerja terbaik. Tekanan
kompetitif dalam dunia usaha menuntut organisasi untuk memikirkan
bagaimana cara organisasi baik private ataupun publik beradaptasi dengan
lingkungan yang senantiasa berubah.
Dalam lingkungan perubahan, organisasi publik dewasa ini dituntut
untuk mengintegrasikan nilai-nilai good corporate governance dalam tata
kelola pemerintahan termasuk dalam manajemen pengelolaan SDM.
Pengelolaan SDM dalam sektor pemerintahan saat ini juga mengarah kepada
ukuran kepuasan kerja sebagaimana yang diterapkan di perusahaan swasta.
Penelitian yang dilakukan oleh Gozukara dan Colakoglu (2016) di organisasi
publik atau sektor pemerintahan terhadap kepuasan kerja menemukan bahwa
terdapat hubungan yang positif antara job autonomy terhadap kepuasan kerja,
dimana pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Scandura dan Lankau
(1997) menemukan bahwa variabel organizational commitment merupakan
antecenden dari kepuasan kerja. Maka dari itu terdapat hubungan yang positif
antara job autonomy dengan organizational commitment.
2
Perubahan paradigma pengelolaan SDM di pemerintahan melalui
pelaksanaan good corporate governance menyebabkan perubahan terhadap
budaya kerja karyawan di sektor pemerintahan termasuk hubungan antara
karyawan dengan pekerjaan serta work family conflict hubungan konflik antara
pekerjaan dan keluarga menjadi menarik untuk diteliti. Work family conflict
mampu membuat seseorang merasa tertekan dengan situasi yang dialami.
Bekerja di sektor pemerintahan dengan jam kerja yang padat serta minimnya
otonomi kerja ada akan membuat individu merasakan adanya work family
conflict.
Greenhaus dan Beutell (1985) menyatakan bahwa work family conflict
merupakan sumber stress yang dialami banyak individu baik di organisasi
swasta ataupun organisasi publik. Work family conflict telah didefinisikan
sebagai ”suatu bentuk konflik antar pekerjaan dengan keluarga dimana
tekanan peran dari pekerjaan dan keluarga saling bertentangan satu sama lain”.
Melalui survey yang dilakukan pada Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang Kota Denpasar terhadap tingkat work family conflict,
diperlihatkan dalam grafik, 1.1, dibawah ini:
3
Grafik 1.1
Survey Work Family Conflict
di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar
Sumber: data diolah, 2017
Dari hasil awal tersebut terlihat bahwa sebagian besar Pegawai Negeri
Sipil yang selanjutnya disebut PNS, menyatakan tidak setuju terhadap
pernyataan di dalam kuesioner yang berkenaan dengan indikator Work Family
Conflict adalah berkisar antara rentang 14-19 orang serta jumlah PNS yang
menyatakan setuju terhadap pernyataan yang di berikan berkisar antara 11-14
orang. Beberapa penelitian menyatakan bahwa work family conflict akan dapat
mempengaruhi beberapa hal dalam kehidupan keluarga dan pekerjaan.
Work family conflict dapat didefinisikan sebagai bentuk konflik peran
dimana tuntutan peran dari pekerjaan dan keluarga secara mutual tidak dapat
disejajarkan dalam beberapa hal. Hal ini biasanya terjadi pada saat seseorang
berusaha memenuhi tuntutan perannya dalam pekerjaan dan usaha tersebut
dipengaruhi oleh kemampuan orang yang bersangkutan untuk memenuhi
4
tuntutan keluarganya atau sebaliknya, dimana pemenuhan tuntutan peran
dalam keluarga dipengaruhi oleh kemampuan orang tersebut dalam memenuhi
tuntutan pekerjaannya (Howard, 2004).
Dengan demikian, hasil survey yang di dapatkan di Dinas Pekerjaan
Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar tentang kebenaran adanya Work
Family Conflict di lingkungan kerja yang dialami oleh sebagian kecil PNS
benar adanya, dibuktikan dari hasil kuésionér yang telah di sebarkan.
Penelitian konflik kerja-keluarga telah ditemukan bahwa variabel ini
mempengaruhi sejumlah hasil termasuk tekanan psikologis, kepuasan kerja,
komitmen organisasi, perputaran, dan kepuasan hidup (Frone et al.,1992).
Kecenderungan adanya work family conflict di Dinas Pekerjaan Umum
dan Penataan Ruang Kota Denpasar adalah ketika terjadi suatu hal yang
bersamaan antara kewajiban pekerjaan dengan kewajiban di lingkungan social.
Hal ini menyebabkan sebagian besar PNS yang memiliki tanggung jawab dan
beban pekerjaan lebih sedikit akan tidak merasakan adanya work family
conflict, namun bagi PNS yang memiliki tanggung jawab dan beban pekerjaan
lebih berat tentu akan sangat merasakan adanya work family conflict pada
beberapa kesempatan akibat rendahnya kebebasan yang mereka miliki di
dalam menyelesaikan pekerjaan.
Kebebasan di dalam melakukan pekerjaan atau yang disebut dengan
job autonomy adalah sejauh mana pekerjaan tersebut menawarkan kebebasan
yang besar, membuktikan kebebasan dan pilihan pribadi kepada individu
5
dalam menjadwalkan pekerjaan dan juga menentukan tema untuk mencapai
tugas (Parker et al., 2001)
Job Autonomy pada organisasi swasta dan public cukup berbeda, jika
pada organisasi swasta job autonomy lebih didefinisikan dengan bebasnya
berkreativitas dan menciptakan ide-ide yang baru, namun pada organisasi
public, job autonomy didefinisikan sebagai kebebasan waktu untuk
mengerjakan dan memiliki tanggung jawab atau kewenangan akan pekerjaan
yang dilimpahkan pada individu tersebut karena pada dasarnya Organisasi
Publik telah memiliki job descriptionnya masing-masing yang diatur dalam
Peraturan Pemerintahan seperti halnya standar operasional, tata kerja serta
tupoksi seperti yang dikutip dari (Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps Dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil),
hal ini tentu menyebabkan individu yang bekerja pada organisasi public akan
merasakan kurangnya kebebasan di dalam mengambil keputusan tentang
pekerjaan mereka.
Melalui survey yang dilakukan di Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang Kota Denpasar terhadap tingkat Job Autonomy, diperlihatkan
dalam grafik, 1.2, dibawah ini:
6
Grafik 1.2
Survey Job Autonomy
di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar
Sumber: data diolah, 2017
Berdasarkan Grafik 1.2, sebagian besar PNS yang bekerja di Dinas PU
PR Kota Denpasar tidak memiliki kebebasan untuk membuat keputusan dan
menentukan tentang bagaimana pekerjaan dilakukan sesuai dengan pendapat
sendiri, hal ini dibuktikan dari hasil survey kuisioner yang telah disebarkan
dengan jumlah PNS yang menyatakan setuju akan pernyataan pada kuisioner
lebih sedikit dengan rentang 12-14 orang sedangkan yang menyatakan tidak
setuju dengan rentang 16-18 orang. Terbatasnya otonomi kerja pada sektor
pemerintahan memang jelas terlihat karena peraturan dan tupoksi yang telah
dibentuk.
Otonomi kerja menghasilkan peningkatan kinerja karena individu
berpikir dan menganggap diri mereka terampil dan kreatif dalam
menyelesaikan tugasnya (Saragih, 2011). PNS pada dasarnya memang tidak
memiliki kebebasan (otonomi) di dalam membuat keputusan dan menentukan
7
bagimana pekerjaan dilakukan sesuai dengan pendapat sendiri karena segala
hal yang mereka kerjakan sudah diatur di dalam Peraturan Pemerintahan dan
mereka bekerja sesuai dengan standar operasional, namun segala tugas yang
mereka jalankan tetap berada dibawah tanggung jawab mereka sendiri ketika
mengerjakannya, sebagian besar menyatakan setuju akan hal tersebut, pada
pernyataan ini dibuktikan juga oleh kuisioner yang telah disebarkan karena
ketika mereka diberikan tugas maka saat itu pula semua itu ada di bawah
tanggung jawab mereka hingga terselesaikanya tugas tersebut, namun ada
beberapa orang PNS juga menyatakan bahwa hal itu bukan tanggung jawab
mereka karena setelah menyesaikan.
Oleh karena itu, sebuah organisasi harus memberikan manfaat kerja-
keluarga termasuk otonomi yang diberikan kepada pegawai untuk
menjadwalkan pekerjaan dan memutuskan bagaimana hal itu harus dilakukan
sebagai indikasi bahwa organisasi tersebut peduli dengan pekerjaan- Integrasi
keluarga (Ahmad dan Omar, 2010). Perlu ditekankan bahwa pemberian
otonomi pekerjaan kepada karyawan dan persepsi pemenuhan kontrak dapat
berkontribusi pada organisasi dengan tujuan menciptakan dan meningkatkan
komitmen organisasi guna mencapai tujuan oganisasi.
Robbins & Judge (2007) menyatakan bahwa organizational
commitment adalah suatu keadaan dimana seorang pegawai memihak kepada
satu organisasi tertentu dan tujuan-tujuannya serta berniat memelihara
keanggotaan dalam organisasi itu. Allen & Meyer (1990) menyatakan bahwa
komitmen organisasional sebagai sebuah keadaan psikologis yang
8
mengkarakteristikan hubungan karyawan dengan organisasi atau implikasinya
yang mempengaruhi apakah karyawan akan tetap bertahan dalam organisasi
atau tidak, yang teridentifikasi dalam tiga komponen yaitu komitmen afektif,
komitmen kontinuitas, dan komitmen normatif.
Adanya kewajiban pegawai dalam memperhatikan keluarga saat ini
perlu mendapat perhatian serius di organisasi publik. Hal ini terjadi pula di
Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar yang merupakan
salah satu instansi milik pemerintah. Terbatasnya job autonomy pada instansi
pemerintahan menyebabkan para pegawai dihadapkan pada pilihan antara
keluarga atau pekerjaan ketika tuntutan keluarga dan pekerjaan tidak dapat di
sejajarkan, dan hal tersebut nantinya akan memberikan dampak terhadap
organizational commitment para pegawai.
Menurut Steers (1977), faktor-faktor yang mempengaruhi
organizational commitment antara lain adalah karakteristik personal,
karakteristik kerja, karakteristik organisasi, serta sifat dan kualitas pekerjaan.
Karakteristik personal meliputi pendidikan, dorongan berprestasi, nilai-nilai
individu, keluarga, usia, masa kerja, sikap terhadap kerja. Karakteristik kerja
di dalamnya terdapat tantangan kerja, umpan balik, stres kerja, konflik,
identifikasi tugas, kejelasan peran, karir dan tanggung jawab. Sementara
karakteristik organisasi meliputi desentralisasi dan tingkat partisipasi dalam
pengambilan keputusan, serta sifat dan kualitas pekerjaan.
9
Melalui survey yang dilakukan di Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang Kota Denpasar terhadap Organizational Commitment,
diperlihatkan dalam grafik, 1.3, dibawah ini:
Grafik 1.3
Survey Organizational Commitment
di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar
Sumber: data diolah, 2017
Berdasarkan Grafik 1.3, sebagian besar PNS yang bekerja di Dinas PU
PR Kota Denpasar setuju akan komitmen organisasi yang mereka pegang,
terbukti dari jumlah PNS yang setuju berkisar antara 16-23 orang sedangkan
yang tidak setuju berkisar antara 7-14 orang. Komitmen organisasi
didefinisikan sebagai sejauh mana seseorang mengidentifikasi dan melibatkan
diri dalam sebuah organisasi. Menurut Mowday et al. (1982), pegawai yang
memiliki komitmen organisasi tinggi akan lebih termotivasi untuk hadir dalam
organisasi dan berusaha mencapai tujuan organisasi.
10
Komitmen organisasi yg dimiliki di dalam diri setiap individu
berbeda-beda tergantung bagaimana cara individu tersebut melihat pentingnya
berkomitmen di dalam organisasi. Komitmen organisasi yang tinggi
menyebabkan seseorang memiliki rasa cinta dan peduli yang sangat besar
terhadap organisasinya dan memiliki tujuan untuk berkontribusi penuh di
dalam memajukan organisasinya.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan, tingkat komitmen organisasi
di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang kota Denpasar, menunjukkan
bahwa sebagian besar PNS yang bekerja disana memiliki komitmen organisasi
masih kurang optimal. Sebagian besar memiliki pendapat untuk berkontribusi
memajukan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar akan
tetapi sebagian kecil masih terdapat indikator yang kurang menunjukkan
bahwa mereka memiliki komitmen terhadap organisasi akibat dipengaruhi
oleh adanya karakteristik personal, karakteristik kerja, serta sifat dan kualitas
pekerjaan yang menyebabkan terjadinya hal tersebut.
Penelitian ini hanya difokuskan di Dinas PU PR Kota Denpasar untuk
melihat pengaruh Work Family Conflict dan Job Autonomy terhadap
Organizational Commitment. Model penelitian ini menjadi acuan utama dalam
melakukan penelitian yang sama pada instansi Pemerintahan di Kota
Denpasar.
11
1.2 Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada latar belakang masalah diatas, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimanakah pengaruh Work Family Conflict terhadap Organizational
Commitment di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota
Denpasar ?
2. Bagaimanakah pengaruh Job Autonomy terhadap Organizational
Commitment di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota
Denpasar ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh Work Family Conflict terhadap
Organizational Commitment di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan
Ruang Kota Denpasar.
2. Untuk mengetahui pengaruh Job Autonomy terhadap Organizational
Commitment di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota
Denpasar
1.4 Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung teori
yang terkait dengan Pengaruh Work Family Conflict dan Job Autonomy
terhadap Organizational Commitment .
12
2. Manfaat praktis, hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan bagi
praktisi organisasi publik dalam meningkatkan Job Autonomy dengan
menekan tingkat Work Family Conflict guna membantu meningkatkan
Organization Commitment agar mampu mencapai tujuan organisasi.
13
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Work Family Conflict
Howard (2004) mendefinisikan konflik pekerjaan keluarga
sebagai konflik peran yang terjadi pada karyawan, dimana di satu sisi
ia harus melakukan pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus
memperhatikan keluarga secara utuh ataupun lingkungan social
budaya keluarga, sehingga sulit membedakan antara pekerjaan
mengganggu keluarga dan keluarga mengganggu pekerjaan. Konflik
dapat terjadi apabila tidak sejalannya harapan peran keluarga dan
pekerjaan yang mengakibatkan seseorang sulit membagi waktu dan
sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya peran yang
lain (keluarga dan pekerjaan).
Pekerjaan mengganggu keluarga, artinya sebagian besar waktu
dan perhatian dicurahkan untuk melakukan pekerjaan sehingga kurang
mempunyai waktu untuk keluarga. Sebaliknya jika keluarga
mengganggu pekerjaan berarti sebagian besar waktu dan perhatiannya
digunakan untuk menyelesaikan urusan keluarga sehingga
mengganggu pekerjaan. Work Family Conflict akan terjadi ketika
individu memiliki tanggung jawab yang bersamaan antara pekerjaan
dengan keluarga dan mereka tidak mampu mesejajarkannya.
14
Major et al. (2002) menyatakan bahwa konflik pekerjaan-
keluarga (work family conflict) mempunyai hubungan dengan depresi
dan keluhan somatic. Konflik yang berkepanjangan, tidak saja dapat
menurunkan kinerja, tetapi bisa menimbulkan stress. Hal tersebut juga
telah dibuktikan melalui penelitian konflik kerja-keluarga yang
dilakukan oleh Frone (1992) bahwa work family conflict
mempengaruhi sejumlah hasil termasuk tekanan psikologis, kepuasan
kerja, komitmen organisasi, perputaran, dan kepuasan hidup.
Greenhaus dan Beutell (1985) telah mengatakan bahwa Work
Family Conflict merupakan sumber stress yang dialami banyak
individu baik di organisasi swasta ataupun organisasi publik. Work
Family Conflict telah didefinisikan sebagai ”suatu bentuk konflik antar
pekerjaan dengan keluarga dimana tekanan peran dari pekerjaan dan
keluarga yang saling bertentangan satu sama lain”.
Stephen dan Sommer (1996) mengidentifikasikan tiga jenis
work family conflict, yaitu:
1. Time-based conflict merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
menjalankan salah satu tuntutan dapat berasal dari keluarga
maupun dari pekerjaan yang dapat mengurangi waktu untuk
menjalankan tuntutan yang lainnya.
2. Strain-based conflict, terjadi pada saat tekanan salah satu peran
mempengaruhi kinerja peran yang lainnya.
3. Behavior-based conflict, berhubungan dengan ketidaksesuaian
15
antara pola perilaku dengan yang diinginkan oleh kedua bagian
(pekerjaan atau keluarga).
Berdasarkan definisi work family conflict diatas, dapat
disimpulkan bahwa work family conflict adalah terjadinya penekanan
dari dua peran penting dalam diri individu yang menyebabkan sulitnya
membagi waktu dan sulit melaksanakan salah satu peran karena
adanya peran lain yang muncul secara bersamaan sehingga
menyebabkan konflik.
2.1.2 Job Autonomy
Teori Job Autonomy oleh Hackman dan Oldham (1975) telah
digunakan oleh banyak organisasi karena menganggapnya sebagai
landasan bagi praktik manajemen yang mendorong peningkatan
motivasi, kinerja kerja yang lebih baik, dan kepuasan karyawan yang
meningkat, tingkat ketidakhadiran yang menurun. Job Autonomy
didefinisikan sebagai sejauh mana pekerjaan tersebut menawarkan
kebebasan yang besar, membuktikan kebebasan dan pilihan pribadi
kepada individu dalam menjadwalkan pekerjaan dan juga menentukan
tema untuk mencapai tugas (Marchese & Ryan, 2001).
Job Autonomy diyakini memainkan peran penting dalam
kesejahteraan karyawan karena karyawan dapat mengatasi stress atau
konflik terkait pekerjaan dengan lebih baik saat mereka memiliki
otonomi yang lebih besar di tempat kerja (Karasek, 1998). Karena job
16
autonomy mendorong karyawan untuk percaya bahwa mereka
memiliki kompetensi dan kemampuan yang dibutuhkan untuk
mencapai tugas mereka, hal itu mengarah pada peningkatan kinerja
kerja yang berujung pada komitmen organisasi (Saragih, 2011).
Oleh karena itu, pegawai membutuhkan otonomi di tempat
kerja untuk kinerja yang efektif (Naqvi et al., 2013). Indidividu yang
memiliki kebebasan dan kontrol sendiri akan cenderung menerapkan
solusi yang efektif dan inovatif jika terjadi suatu masalah karena
mereka memiliki kebebasan untuk memutuskan bagaimana menangani
permasalahan pada situasi terkait. Otonomi mendorong karyawan
untuk merasakan kebanggaan terkait pekerjaannya (Azim et al., 2012).
Organisasi swasta maupun publik pada umumnya memiliki
otonomi masing-masing. Pemimpin cenderung memberikan otonomi
kepada pegawai yang memiliki kemampuan lebih unggul. Job
Autonomy dilaksanakan dengan sejumlah cara, tetapi pada umumnya
seseorang pegawai yang bekerja pada organisasi swasta akan lebih
mendapat kebebasan dalam melaksanakan pekerjaannya karena pada
dasarnya organisasi swasta cenderung mengedepankan kreatifitas,
namun pada organisasi publik job autonomy cenderung lebih terbatas
dan terstruktur sesuai dengan peraturan pemerintah yang telah tertera.
17
2.1.3 Organizational Commitment
Commitment adalah sesuatu yang membuat seseorang
mengutamakan organisasinya, mau berjerih payah, berkorban serta
memiliki tanggung jawab dan memiliki keinginan untuk memajukan
organisasi. Commitment memiliki peranan yang vital didalam
organisasi, sebab dewasa ini seseorang cenderung akan lebih giat
dalam bekerja jika ia memiliki organizational commitment yang tinggi.
Namun sangat disayangkan saat ini banyak organisasi kurang
memahami dan memperhatikan pentingnya organizational
commitment sehingga hal ini sering membuat kinerja pegawai
menurun.
Organizational Commitment merupakan sikap yang
mencerminkan sejauh mana seorang individu atau pegawai mengenal
dan terikat pada organisasinya (Griffin, 2004). Selanjutnya Robbins &
Judge (2007) menyatakan juga bahwa organizational commitment
adalah suatu keadaan dimana seorang pegawai yakin dan menerima
tujuan organisasinya, serta bekeinginan kuat untuk tetap tinggal
bersama organisasi.
Allen and Meyer (1990) membagi komitmen organisasi
menjadi tiga dimensi, yaitu: affective, continuance dan normative.
Affective commitment bersumber dari keterikatan emosional atau
psikologis dengan organisasi. Continuance commitment bersumber
dari pertimbangan seseorang yang sudah banyak menginvestasikan
18
sumber daya, kapasitas pribadi (pengetahuan dan ketrampilan) pada
organisasi, sehingga sangat berisiko/mahal jika keluar dari organisasi.
Adapun normative commitment bersumber dari alasan moralitas, yaitu
individu bertanggung jawab secara moral untuk loyal kepada
organisasi.
Pada intinya, beberapa definisi organizational commitment dari
para ahli di atas mempunyai penekanan yang hampir sama yaitu proses
pada individu dalam mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai,
aturan-aturan, dan tujuan organisasi. Di samping itu, komitmen
organisasi mengandung pengertian bahwa seorang individu memiliki
keterikatan psikologis seorang pegawai pada organisasinya, termasuk
keterlibatan yang sangat dalam pada pekerjaannya, loyalitas dan
kepercayaan pada nilai-nilai yang ada pada organisasi. Pegawai yang
memiliki komitmen organisasi lebih tinggi cenderung memiliki
keinginan untuk memberikan tenaga serta akan lebih bertanggung
jawab dalam mengerjakan sesuatu demi memajukan dan mencapai
tujuan organisasi.
Jadi dapat disimpulkan bahwa organizational commitment
adalah adanya suatu keinginan tentang sejauh mana seorang karyawan
berpihak kepada organisasi dengan menerima seluruh nilai dan tujuan
organisasi serta seberapa besar keinginannya untuk mempertahankan
agar tetap berada dalam organisasi tersebut demi mencapai tujuan
organisasinya.
19
2.2 Penelitian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan
beberapa hasil penelitian terdahulu oleh beberapa peneliti, diantaranya :
Rehman dan Waheed (2012), dengan judul ” Work-Family Conflict
and Organizational Commitment: Study of Faculty Members in Pakistani
Universities”. Dari hasil penelitiannya ditemukan dampak negatif dari konflik
kerja-keluarga terhadap komitmen organisasi.
Naqvi et al, 2013, dengan judul ” Impact of Job Autonomy on
Organizational Commitment and Job Satisfaction: The Moderating Role of
Organizational Culture in Fast Food Sector of Pakistan ”. Dari hasil
penelitiannya, menunjukkan bahwa peningkatan otonomi kerja menghasilkan
peningkatan tingkat kepuasan kerja dan komitmen organisasional dan budaya.
Azim et al, 2012, dengan judul ” Work-Family Psychological
Contract, Job Autonomy and Organizational Commitment”. Dari hasil
penelitiannya, menunjukkan hasil analisis korelasi bahwa otonomi kerja
berkorelasi dengan kontrak psikologis keluarga kerja dan komitmen
organisasional dan kontrak psikologis keluarga-pekerja terkait dengan
komitmen organisasional. Hasilnya juga menunjukkan bahwa kontrak
psikologis pekerja keluarga sebagian memediasi hubungan antara otonomi
kerja dan komitmen organisasional.
Buhali dan Margaretha (2013), dengan judul ”Pengaruh Work-Family
Conflict Terhadap Komitmen Organisasi: Kepuasan Kerja Sebagai Variabel
20
Mediasi”. Dari hasil penelitiannya menemukan bahwa Work Family Conflict
secara negatif mempengaruhi Organizational Commitment.
Divara dan Rahyuda (2016), dengan judul "Pengaruh Work Family
Conflict Terhadap Stres Kerja Dan Komitmen Organisasional Pegawai
Kontrak Dinas Kebudayaan Provinsi Bali”. Dari hasil penelitiannya
menemukan hasil bahwa Work Family Conflict berpengaruh negatif signifikan
terhadap Organizational Commitment.
Sarboland (2012), dengan judul “Assesment of the Relationship
between Emotional Intelligence and Organizational Commitment of
Employees : A Case Study of Tax Affairs Offices, Iran”. Dari hasil
penelitiannya menunjukan hasil job autonomy memberikan pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap organizational commitment, dimana semakin
banyak tanggung jawab diberikan kepada karyawan, mereka diberi tugas
dengan imbalan tinggi, mereka diberi kekuatan pengambilan keputusan dan
diberi sebuah platform untuk membagikan gagasan mereka, kemudian
mereka merasa lebih berdaya dan akan lebih berkomitmen terhadap
organisasi tersebut.
2.3 Kerangka Pemikiran
Mengingat pentingnya sumber daya manusia maka setiap organisasi
swasta atau organisasi publik harus memperhatikan tingkat kemampuan yang
dimiliki oleh para pegawai. Di dalam suatu organisasi diperlukan adanya Job
Autonomy untuk meningkatkan Organizational Commitment para pegawai.
21
Job Autonomy merupakan wewenang yang diberikan oleh atasan kepada
bawahan untuk menyelesaikan, mengatur dan mampu mempertanggung
jawabkan pekerjaan yang diberikan dengan tujuan untuk menciptakan dan
meningkatkan Organizational Commitment yang dimiliki oleh pegawai.
Organizational Commitment adalah rasa peduli, sikap ingin
memajukan dan mencapai tujuan serta rasa rela berkorban demi tercapainya
visi dan misi organisasi. Organizational Commitment yang dimiliki setiap
individu tentu berbeda, untuk meningkatkan rasa perduli terhadap organnisasi
maka setiap organisasi harus mampu memperhatikan permasalahan yang ada.
Adanya kewajiban para pegawai di dalam memperhatikan keluarga tentu
menjadi salah satu hal yang perlu di perhatikan setiap organisasi saat ini.
Work family conflict mampu menjadi permasalahan penting di dalam
diri para pegawai yang akan menyebabkan turunnya suatu komitmen
organisasi seseorang. Work Family Confict merupakan suatu konflik antar
keluarga dengan pekerjaan, dimana individu dihadapkan di dalam dua hal
yang sama-sama penting di dalam waktu yang bersamaan. Work Family
Confict mampu mempengaruhi tingkat Organizational Commitment suatu
individu ketika individu dihadapkan pada pilihan untuk lebih mementingkan
pekerjaan atau keluarga.
Berpijak dari pemikiran di atas, maka dapat digambarkan sebuah
kerangka pemikiran, sebagai berikut:
22
Gambar 2.1
KERANGKA PEMIKIRAN
PENGARUH WORK FAMILY CONFLICT DAN JOB AUTONOMY
TERHADAP ORGANIZATIONAL COMMITMENT
2.4 Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat ditarik rumusan
atau dugaan sementara yang diambil sebagai hipotesis.
Hipotesis ini dilandasi oleh asumsi sebagai berikut:
Work Family Conflict dan Organizational Commitment
1. Rehman dan Waheed (2012), dengan judul ” Work-Family Conflict and
Organizational Commitment: Study of Faculty Members in Pakistani
Universities”. Dari hasil penelitiannya ditemukan dampak negatif dari
konflik kerja-keluarga terhadap komitmen organisasi.
2. Buhali dan Margaretha (2013), dengan judul ” Pengaruh work-family
conflict terhadap komitmen organisasi: kepuasan kerja sebagai variabel
mediasi ”. Dari hasil penelitiannya, konflik work-family secara negatif
Work Family Conflict
Organizational Commitment
Job Autonomy
H1
H2
23
mempengaruhi komitmen organisasi dan kepuasan kerja berpengaruh
positif terhadap komitmen organisasional.
3. Divara dan Rahyuda (2016), dengan judul "Pengaruh Work Family
Conflict Terhadap Stres Kerja Dan Komitmen Organisasional Pegawai
Kontrak Dinas Kebudayaan Provinsi Bali”. Dari hasil penelitiannya
menemukan hasil bahwa Work Family Conflict berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap Organizational Commitment.
H1: Work Family Conflict berpengaruh secara negatif dan signifikan
terhadap Organizational Commitment
Job Autonomy dan Organizational Commitment
1. Azim et al, 2012, dengan judul ” Work-Family Psychological Contract,
Job Autonomy and Organizational Commitment”. Dari hasil penelitiannya,
menunjukkan hasil analisis korelasi bahwa otonomi kerja berkorelasi
dengan kontrak psikologis keluarga kerja dan komitmen organisasional dan
kontrak psikologis keluarga-pekerja terkait dengan komitmen
organisasional. Hasilnya juga menunjukkan bahwa kontrak psikologis
pekerja keluarga sebagian memediasi hubungan antara job autonomy dan
organizational commitment.
2. Naqvi et al, 2013, dengan judul ” Impact of Job Autonomy on
Organizational Commitment and Job Satisfaction: The Moderating Role of
Organizational Culture in Fast Food Sector of Pakistan ”. Dari hasil
penelitiannya, menunjukkan bahwa peningkatan job autonomy
24
menghasilkan peningkatan tingkat organizational commitment, job
satisfaction dan culture.
3. Sarboland (2012), dengan judul “Assesment of the Relationship between
Emotional Intelligence and Organizational Commitment of Employees : A
Case Study of Tax Affairs Offices, Iran”. Dari hasil penelitiannya
menunjukan hasil job autonomy memberikan pengaruh yang positif dan
signifikan terhadap organizational oommitment, dimana semakin banyak
tanggung jawab diberikan kepada karyawan, mereka diberi tugas dengan
imbalan tinggi, mereka diberi kekuatan pengambilan keputusan dan diberi
sebuah platform untuk membagikan gagasan mereka, kemudian mereka
merasa lebih berdaya dan akan lebih berkomitmen terhadap organisasi
tersebut.
H2: Job Autonomy berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap
Organizational Commitment.
2.5 Definisi Operasional
2.5.1 Definisi Operasional Variabel Penelitian
Uttami (2012) menyebutkan definisi operasional merupakan
informasi yang diperoleh mengenai cara pengukuran suatu konstruk.
Definisi operasional bertujuan untuk mempermudah responden
didalam mengartikan indikator-indikator yang terdapat didalam setiap
variabel pada penelitian. Definisi operasional variabel didalam
penelitian dapat dijelaskan sebagaimana berikut dibawah ini:
25
1. Work Family Conflict :
Work family conflict adalah konflik peran yang terjadi pada
karyawan, dimana di satu sisi ia harus melakukan pekerjaan di
kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga secara utuh
ataupun lingkungan social budaya keluarga, sehingga sulit
membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga
mengganggu pekerjaan (Frone et al., 1992)
Variabel Work Family Conflict dapat diukur melalui
indikator-indikator sebagaimana dibawah ini:
1. (X1.1) Pekerjaan mengurangi partisipasi bersama keluarga
2. (X1.2) Pekerjaan menjauhkan keluarga
3. (X1.3) Tuntutan pekerjaan menyulitkan terjaganya hubungan
dengan keluarga
4. (X1.4) Pemecahan masalah pekerjaan efektif digunakan dalam
permasalahan keluarga
5. (X1.5) Perilaku efektif di tempat kerja menjadi kontraproduktif
di rumah
2. Job Autonomy
Job Autonomy didefinisikan sebagai sejauh mana pekerjaan
tersebut menawarkan kebebasan yang besar, membuktikan
kebebasan dan pilihan pribadi kepada individu dalam
menjadwalkan pekerjaan dan juga menentukan tema untuk
mencapai tugas (Marchese & Ryan, 2001).
26
Variabel Job Autonomy dapat diukur melalui indikator-
indikator sebagaimana dibawah ini:
1. (X2.1) Tingkat wewenang
2. (X2.2) Kebebasan dalam pengambilan keputusan
3. (X2.3) Kebebasan mengkoordinir pekerjaan
3. Organizational Commitment
Organizational Commitment adalah suatu keadaan dimana
seorang pegawai yakin dan menerima tujuan organisasinya, serta
bekeinginan kuat untuk tetap tinggal bersama organisasi (Robbins
& Judge, 2007)
Variabel Organizational Commitment dapat diukur melalui
indikator – indikator sebagaimana dibawah ini:
1. (Y.1.1) Keyakinan dengan organisasi
2. (Y.1.2) Keinginan menjaga hubungan organisasi
3. (Y.1.3) Kontribusi dalam organisasi
4. (Y.1.4) Biaya yang harus dikeluarkan jika meninggalkan
organisasi
5. (Y.1.5) Kewajiban moral terhadap organisasi
6. (Y.1.6) Setia pada satu organisasi
27
Tabel 2.1 Indikator dari Variabel
Jenis
Variabel
Nama
Variabel Dimensi Indikator Simbol Sumber
Eksogen
Work Family
Conflict
(X1)
Waktu
Pekerjaan
mengurangi
partisipasi
bersama
keluarga
Pekerjaan
menjauhkan
keluarga
X1.1
X1.2
Stephens &
Sommer
(1996)
Tekanan Tuntutan
pekerjaan
menyulitkan
terjaganya
hubungan
dengan
keluarga
X1.3
Perilaku Pemecahan
masalah
pekerjaan
efektif
digunakan
dalam
permasalahan
keluarga
X1.4
Perilaku efektif
di tempat kerja
menjadi
kontraproduktif
di rumah
X1.5
Eksogen Job Autonomy
Tingkat
wewenang
X2.1 Quinn &
Sephard
(1974)
(X2) Kebebasan
dalam
pengambilan
keputusan
X2.2
28
Kebebasan
mengkoordinir
pekerjaan
X2.3
Endogen Organizational
Commitment
Afektif Keyakinan
dengan
organisasi
Y1.1 Meyer &
Allen (1991)
Keinginan
menjaga
hubungan
organisasi
Y1.2
(Y1) Kontribusi
dalam
organisasi
Y1.3
Kontinuitas Biaya yang
harus
dikeluarkan
jika
meninggalkan
organisasi
Y1.4
Normatif Kewajiban
moral terhadap
organisasi
Setia pada satu
organisasi
Y1.5
Y1.6
29
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi Penelitian
Perubahan budaya kerja membuat sistem pemerintahan lebih tertib dan
tertata saat ini. Saat ini Pemerintah daerah mengadopsi sistem good cooperate
governance atau reformasi birokrasi dengan mengintegrasikan nilai-nilai
koorporasi ke dalam sistem pemerintahan demi tercapainya tujuan organisasi,
hal ini menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut karena adanya pergantian
budaya lama menjadi budaya kerja yang baru.
Penelitian ini dilakukan di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan
Ruang Kota Denpasar yang beralamat di Jalan Gatot Subroto VI J no 20, Dauh
Puri Kaja, Denpasar Utara, dimana objek penelitian ini adalah tentang work
family conflict, job autonomy dan organizational commitment.
3.2 Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek
yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang di tetapkan oleh
peneliti untuk di pelajari dan kemudian di tarik kesimpulannya (Sugiyono,
2012). Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai Dinas Pekerjaan
Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar yang berjumlah 160 orang.
30
2. Sampel
Purposive random sampling merupakan teknik pengambilan sampel
dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan yang dibuat oleh
peneliti. Jadi peneliti mengambil sampel secara acak tapi ditentukan
sendiri oleh peneliti (Sugiyono, 2012). Jika jumlah anggota populasi
berada antara 101 sampai dengan 500, maka sampel dapat diambil 30-40%
(Arifin, 2011). Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dalam penelitian ini
akan dipakai sampel sebesar 40% dari jumlah pegawai yang bekerja di
Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar yang
berjumlah 160 orang sehingga jumlah sampel yang diteliti adalah 64
orang.
3.3 Jenis Data
1. Data Kuantitatif
Data kuantitatif adalah data yang berupa angka-angka seperti jumlah
karyawan, jam kerja, dan skor jawaban kuisioner yang telah
dikuantifikasikan dengan pembobotan jawaban responden yang terdiri dari
indikator work family conflict, job autonomy dan organizational
commitment.
2. Data Kualitatif
Data kualitatif adalah data yang berbetuk kata-kata, melainkan berupa
penjelasan atau keterangan yang mampu memberikan gambaran terhadap
31
permasalahan yang dibahas di dalam penelitian ini, seperti sejarah Dinas
Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar.
3.4 Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh oleh peneliti melalui pengumpulan
data yang dilakukan secara langsung ke lapangan melalui kuisioner dan
wawancara.
2. Data sekunder, adalah data yang dimiliki oleh organisasi, dimana data
tersebut diberikan secara tertulis kepada penulis.
3.5 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah kuesioner.
Kuesioner (angket) merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis
kepada responden untuk dijawabnya (Sugiyono, 2012). Setiap pernyataan
yang menunjukkan indikator tentang empat variabel penelitian diukur
dengan menggunakan Skala Likert 5 (lima) poin berikut.
Sangat Setuju : 5
Setuju : 4
Netral : 3
Tidak Setuju : 2
Sangat Tidak Setuju : 1
32
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan salah satu hal penting dalam
penelitian yang berguna untuk mengumpulkan data. Adapun teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan
dengan membaca buku-buku, literatur, jurnal-jurnal referensi yang
berkaitan dengan variable serta penelitian terdahulu yang berkaitan dengan
penelitian ini.
2. Kuisioner, yaitu daftar pertanyaan tertulis yang telah disusun sebelumnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang terdapat pada kuisioner berhubungan dengan
objek yang diteliti yaitu yang pertama untuk menilai tingkat work family
conflict, menilai job autonomy, dan yang terakhir untuk menilai
organizational commitment. Penelitian terhadap variable yang di
identifikasikan tersebut dilakukan dengan menggunakan skala Likert,
dimana alternatif jawaban yang disediakan terdiri dari 5 pilihan, yaitu SS
= sangat setuju (5 poin), S = setuju (4 poin), RR = ragu-ragu (3 poin), TS
= tidak setuju (2 poin), STS = sangat tidak setuju (1 poin).
3.7 Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis data dengan menggunakan
software Smart PLS versi 3.0.m3 yang dijalankan dengan media komputer.
PLS (Partial Least Square) adalah teknik analisis persamaan struktural (SEM)
berbasis varian yang secara simultan dapat melakukan pengujian model
33
pengukuran sekaligus pengujian model struktural. Model pengukuran
digunakan untuk uji validitas dan reabilitas, sedangkan model struktural
digunakan untuk uji kausalitas (pengujian hipotesis dengan model prediksi).
Partial Least Squares (PLS) adalah teknik statistika multivarian yang
melakukan perbandingan antara variabel dependen berganda dan variabel
independen berganda. PLS merupakan salah satu metode statistika SEM
berbasis varian yang didesain untuk menyelesaikan regresi berganda ketika
terjadi permasalahan spesifik pada data (Jogiyanto dan Abdillah, 2009).
Menurut Sholihin & Ratmono (2013), PLS dapat bekerja secara efisien
dengan ukuran sampel yang kecil dan model yang kompleks. Lebih lanjut,
Ghozali (2006) menjelaskan bahwa PLS adalah metode analisis yang bersifat
soft modeling karena tidak mengasumsikan data harus dengan pengukuran
skala tertentu, yang berarti jumlah sampel dapat kecil (dibawah 100 sampel)
dan PLS dapat menganalisis model pengukuran reflektif dan formatif serta
variable laten dengan satu indikator tanpa menimbulkan masalah identifikasi.
Perbedaan mendasar PLS yang merupakan SEM berbasis varian
dengan LISREL atau AMOS yang berbasis kovarian adalah tujuan
penggunaannya. Dibandingkan dengan covariance based SEM (yang diwakili
oleh software AMOS, LISREL dan EQS) component based PLS mampu
menghindarkan dua masalah besar yang dihadapi oleh covariance based SEM
yaitu inadmissible solution dan factor indeterminacy (Tenenhaus et al., 2005).
Terdapat beberapa alasan yang menjadi penyebab digunakan PLS
dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini alasan-alasan tersebut yaitu:
34
pertama, PLS (Partial Least Square) merupakan metode analisis data yang
didasarkan asumsi sampel tidak harus besar, yaitu jumlah sampel kurang dari
100 bisa dilakukan analisis, dan residual distribution. Kedua, PLS (Partial
Least Square) dapat digunakan untuk menganalisis teori yang masih dikatakan
lemah, karena PLS (Partial Least Square) dapat digunakan untuk prediksi.
Ketiga, PLS (Partial Least Square) memungkinkan algoritma dengan
menggunakan analisis series ordinary least square (OLS) sehingga diperoleh
efisiensi perhitungan olgaritma (Ghozali, 2006). Keempat, pada pendekatan
PLS, diasumsikan bahwa semua ukuran variance dapat digunakan untuk
menjelaskan. Metode analisis data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua
yaitu:
2.6.1 Analisis Statistik Deskriptif
Analisis deskriptif, yaitu analisis empiris secara deskripsi
tentang informasi yang diperoleh untuk memberikan
gambaran/menguraikan tentang suatu kejadian (siapa/apa, kapan,
dimana, bagaimana, berapa banyak) yang dikumpulkan dalam
penelitian (Supranto, 2002). Data tersebut berasal dari jawaban yang
diberikan oleh responden atas item-item yang terdapat dalam
kuesioner. Selanjutnya peneliti akan mengolah data-data yang ada
dengan cara dikelompokkan dan ditabulasikan kemudian diberi
penjelasan.
35
2.6.2 Analisis Statistik Inferensial
Statistik inferensial, (statistic induktif atau statistic
probabilitas), adalah teknik statistik yang digunakan untuk
menganalisis data sampel dan hasilnya diberlakukan untuk populasi
(Sugiyono, 2009). Sesuai dengan hipotesis yang telah dirumuskan,
maka dalam penelitian ini analisis data statistik inferensial diukur
dengan menggunakan software SmartPLS (Partial Least Square)
mulai dari pengukuran model (outer model), struktur model (inner
model) dan pengujian hipotesis.
PLS (Partial Least Square) menggunakan metode principle
component analiysis dalam model pengukuran, yaitu blok ekstraksi
varian untuk melihat hubungan indikator dengan konstruk latennya
dengan menghitung total varian yang terdiri atas varian umum
(common variance), varian spesifik (specific variance) dan varian
error (error variance). Sehingga total varian menjadi tinggi. Metode
ini merupakan salah satu dari metode dalam Confirmatory Factor
Analysis (CFA). Menurut Hair et al., (2006) metode ini tepat
digunakan untuk reduksi data, yaitu menentukan jumlah faktor
minimum yang dibutuhkan untuk menghitung porsi maksimum total
varian yang direpresentasi dalam seperangkat variabel asalnya.
Metode ini digunakan dengan asumsi peneliti mengetahui bahwa
jumlah varian unik dan varian error dalam total varian adalah sedikit.
Metoda ini lebih unggul karena dapat mengatasi masalah
36
indeterminacy, yaitu skor faktor yang berbeda dihitung dari model
faktor tunggal yang dihasilkan dan admissible data, yaitu ambiguitas
data karena adanya varian unik dan varian error.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas
variabel eksogen (Independen) dan variabel endogen (Dependen) serta
beberapa indikator (variabel manifest). Di dalam analisis statistik
inferensial, hasil analisis akan terbagi menjadi 4 bagian antar lain :
2.6.2.1 Pengukuran Model (Outer Model)
Outer model sering juga disebut (outer relation atau
measurement model) yang mendefinisikan bagaimana setiap
blok indikator berhubungan dengan variabel latennya. Blok
dengan indikator refleksif dapat ditulis persamaannya sebagai
berikut:
x = x + x…………………………………………….. (3.1)
y = y + y ……………………………………………..(3.2)
Dimana x dan y adalah indikator variabel untuk variabel
laten eksogen dan endogen dan , sedangkan x dan y
merupakan matrix loading yang menggambarkan koefisien
regresi sederhana yang menghubungkan variabel laten dengan
indikatornya. Residual yang diukur dengan dengan x dan y
dapat diinterpretasikan sebagai kesalahan pengukuran.
Model pengukuran (outer model) digunakan untuk
menilai validitas dan realibilitas model. Uji validitas dilakukan
37
untuk mengetahui kemampuan instrumen penelitian mengukur
apa yang seharusnya diukur (Sholihin & Ratmono, 2013).
Sedangkan uji reliablitas digunakan untuk mengukur
konsistensi alat ukur dalam mengukur suatu konsep atau dapat
juga digunakan untuk mengukur konsistensi responden dalam
menjawab item pernyataan dalam kuesioner atau instrument
penelitian.
Convergent validity dari measurement model dapat
dilihat dari korelasi antara skor indikator dengan skor
variabelnya. Indikator dianggap valid jika memiliki nilai AVE
diatas 0,5 atau memperlihatkan seluruh outer loading dimensi
variabel memiliki nilai loading > 0,5 sehingga dapat
disimpulkan bahwa pengukuran tersebut memenuhi kriteria
validitas konvergen (Chin, 1995). Rumus AVE (average
varians extracted) dapat dirumuskan sebagai:
AVE = n
i
n
i 1
Keterangan:
AVE adalah rata-rata persentase skor varian yang diektrasi dari
seperangkat variabel laten dan diestimasi melalui loading
standarlize indikatornya dalam proses iterasi algoritma dalam
PLS.
melambangkan standardize loading factor dan i adalah
jumlah indikator.
38
2.6.2.2 Evaluasi Model Struktural (Inner Model)
Model struktural (inner model) merupakan model yang
digunakan untuk memprediksi hubungan kausalitas antar
variabel laten. Melalui proses bootstrapping, parameter uji T-
statistic diperoleh untuk memprediksi adanya hubungan
kausalitas. Model struktural (inner model) dievaluasi dengan
melihat persentase varian yang dijelaskan oleh nilai untuk
variabel dependen dengan menggunakan ukuran Stone-Geisser
Q-square test (Stone, 1974 & Geisser, 1975) dan juga melihat
besarnya koefisien jalur strukturalnya. Model persamaannya
dapat ditulis seperti dibawah ini.
η = B0 + Bη + Γξ + ζ ……………………………………(3.3)
Dimana menggambarkan η vector endogen (dependen) variabel
laten, adalah vector ξ variabel exogen (independent), dan ζ
adalah vector variabel residual. Oleh karena PLS didesain
untuk model recursive, maka hubungan antar variabel laten,
setiap η variabel laten dependen, atau sering disebut causal
system dari variabel laten dapat dispesifikasikan sebagai
berikut
…………………….……….……..(3.4)
Dimana ξ dan η adalah koefisien jalur yang menghubungkan
predictor endogen dan variabel laten eksogen dan sepanjang
range indeks dan , dan adalah inner residual variabel. Jika
39
hasil menghasilkan nilai lebih besar dari 0,2 maka dapat
diinterpretasikan bahwa prediktor laten memiliki pengaruh
besar pada level struktural.
2.6.2.3 Predictive Relevance
R-square model PLS dapat dievaluasi dengan melihat
Q-square predictive relevance untuk model variabel. Q-square
mengukur seberapa baik nilai observasi yang dihasilkan oleh
model dan juga estimasi parameternya. Nilai Q-square lebih
besar dari 0 (nol) memperlihatkan bahwa model mempunyai
nilai predictive relvance, sedangkan nilai Q-square kurang dari
0 (nol) memperlihatkan bahwa model kurang memiliki
predictive relevance. Namun, jika hasil perhitungan
memperlihatkan nilai Q-square lebih dari 0 (nol), maka model
layak dikatakan memiliki nilai prediktif yang relevan, dengan
rumus sebagai berikut :
=1-(1- ) (1- )……(1- )…………...………….(3.5)
2.6.2.4 Pengujian Hipotesis
Menurut Hartono (2008) menjelaskan bahwa ukuran
signifikansi keterdukungan hipotesis dapat digunakan
perbandingan nilai T-table dan T-statistic. Jika T-statistic lebih
tinggi dibandingkan nilai T-table, berarti hipotesis terdukung
atau diterima. Analisis PLS (Partial Least Square) yang
40
digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan program Smart PLS versi 3.0.m3 yang
dijalankan dengan media komputer.
41
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
Pengujian validitas digunakan untuk mengukur valid tidaknya suatu
kuesioner penelitian. Suatu kuesioner dikatakan valid jika pernyataan-
pernyataan dalam kuesioner mampu mengungkapkan sesuatu yang akan
diukur sesungguhnya oleh kuesioner tersebut. Pengujian realibilitas
bertujuan untuk mengetahui keandalan alat ukur atau dengan kata lain alat
ukur tersebut konsisten jika digunakan untuk mengukur objek yang sama
lebih dari dua kali. Instrument yang reliabel adalah instrument yang
digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama akan
menghasilkan data yang sama, Sugiyono (2010). Dengan kata lain,
pengukuran yang memiliki reliabilitas tinggi, adalah yang mampu
memberikan hasil ukur yang terpercaya. Ghozali (2006) menyatakan bahwa
suatu variabel dinyatakan reliable jika memberikan nilai Cronbach Alpha
lebih besar dari 0.60.
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan untuk meyakinkan bahwa data
yang dipergunakan sebagai pendukung penelitian adalah valid dan reliable.
Uji validitas dan reliabilitas terhadap data penelitian dilakukan melalui
program SPSS versi 20. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai uji
reliabilitas pada Tabel 4.1 menunjukkan seluruh indikator adalah reliable,
42
yaitu dengan nilai Cronbcah Alpha based on standardized items di atas 0,6.
Uji validitas juga menunjukan seluruh item kuisioner pada masing-masing
indikator valid karena seluruh korelasi item pertanyaan dengan total skor
indikator menunjukan signifikansi pada level 0,05 atau nilai r-tabel lebih
besar daripada 0,30 (Ghozali, 2006)
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan untuk masing-masing variabel
beserta indikator-indikator yang dimilikinya.
Hasil uji validitas disajikan pada Tabel 4.1, dibawah ini:
Tabel 4.1
Hasil Uji Validitas Metode Bivariate Pearson
Variabel Indikator Pearson
Correlation Keterangan
Work Family X1.1 0,862** Valid
Conflict X1.2 0,761** Valid
(X1) X1.3 0,909** Valid
X1.4 0,880** Valid
X1.5 0,840** Valid
Job Autonomy X2.1 0,850** Valid
(X2) X2.2 0,826** Valid
X2.3 0,822** Valid
Organizaational Y1.1 0,850** Valid
Commitment Y1.2 0,766** Valid
(Y1) Y1.3 0,801** Valid
Y1.4 0,763** Valid
Y1.5 0,835** Valid
Y1.6 0,794** Valid
Sumber: Lampiran 3.
Work family conflict diukur dengan lima indikator, job autonomy
diukur dengan tiga indikator dan organizational commitment diukur dengan
enam indikator. Berdasarkan Tabel 4.1, korelasi antara masing-masing skor
butir pertanyaan terhadap total skor masing-masing pertanyaan work family
conflict, job autonomy, dan organizational commitment menunjukkan hasil
43
yang signifikan karena nilai korelasi setiap item menunjukan nilai lebih
besar dari 0,30, sehingga dapat dijelaskan bahwa masing-masing butir
pertanyaan adalah valid.
Hasil uji reliabilitas disajikan pada Tabel 4.2, menunjukkan nilai
masing-masing variabel sesuai dengan syarat ≥ 0,60, dapat dijelaskan
instrumen untuk masing – masing variabel adalah reliabel.
Tabel 4.2
Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Penelitian
Variabel Nilai cronbach
Alpha Keterangan
Work Family Conflict 0,902 Reliable
Job Autonomy 0,777 Reliable
Organizational
Commitment
0,888 Reliable
Sumber: Lampiran 3.
4.1.2 Karakteristik Responden
Melalui Tabel 4.3, karakteristik responden yang dilihat dari aspek
demografi yaitu jenis kelamin, usia, pendidikan, serta jabatan tempat
responden ditempatkan menunjukkan beberapa informasi yang menarik.
Berdasarkan jenis kelamin, persentase responden laki – laki sebesar 42%
dan untuk responden wanita sebesar 58% dari seluruh jumlah sampel.
Sebagian besar responden merupakan staff yang meliputi 67% dari
total jumlah responden, kepala seksi sebesar 17%, kepala bidang atau kepala
sub bagian sebesar 13% serta seorang kepala dinas dan seorang sekretaris
dinas.
44
Tabel 4.3
Karakteristik Responden Menurut Demografi
No Variabel Jumlah (N=64)
Orang Persen
1 Jenis Kelamin
• Laki-laki 27 42
• Perempuan 37 58
Jumlah 64 100
2 Usia
• 31 – 40 8 12.5
• 41 – 50 45 70.3
• 51 – 60 11 17.2
Jumlah 64 100
3 Pendidikan
• SMA 9 14
• Diploma 4 6.3
• Sarjana 40 62.5
• Pascasarjana 11 17.2
Jumlah 64 100
4 Jabatan
Kepala Dinas 1 1.5
Sekretaris Dinas 1 1.5
Kepala Bidang/Sub Bagian 8 13
Kepala Seksi 11 17
Staff 43 67
Jumlah 64 100
Sumber: data diolah, 2017.
Responden sebagian besar berusia 41 – 50 tahun sebanyak
45 orang dengan persentase 70.3% dari keseluruhan jumlah responden,
sedangkan responden lainnya berusia 51 - 60 tahun mencakup 17.2%, dan
responden yang berusia 31 – 40 tahun mencakup 12.5%. Untuk pendidikan
sebagian besar memiliki tingkat pendidikan S1 mancakup 62.5%, S2
mencakup 17.2%, SMA mencakup 14% dan diploma mencakup 6.3%.
45
4.1.3 Deskripsi Variabel Penelitian
Dalam deskripsi variabel penelitian akan membahas jawaban
responden terhadap indikator. Pembahasan meliputi analisis proporsi dalam
bentuk persentase jawaban responden terhadap indikator yang ada. Melalui
Tabel 4.4, proporsi jawaban responden terhadap indikator dari work family
conflict, apabila dibagi kedalam dua kutub antara setuju ataupun tidak
setuju, maka berdasarkan proporsi terdapat sekitar 38% responden yang
menyatakan setuju sedangkan sisanya sebesar 62% menyatakan netral dan
tidak setuju dalam menanggapi pertanyaan yang diberikan berkaitan dengan
indikator work family conflict. Dapat dijelaskan bahwa di Dinas Pekerjaan
Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar memang benar terdapat
permasalahan terkait work family conflict, namun dengan jumlah yang kecil,
hal ini sebagian besar disebabkan oleh kurangnya waktu para pegawai untuk
dapat memperhatikan keluarga karena banyaknya beban pekerjaan yang
dimiliki di tempat kerja.
Tabel 4.4
Proporsi Jawaban Responden
Terhadap Indikator dari Variabel Work Family Conflict
Item pertanyaan Proporsi Jawaban N = 64
Work Family Conflict
Sangat
Tidak
Setuju
(%)
Tidak
Setuju
(%)
Netral
(%)
Setuju
(%)
Sangat
Setuju
(%)
Jumlah
(%)
1. Waktu yang harus
saya curahkan untuk
pekerjaan saya
membuat saya tidak
berpartisipasi sama
dalam tanggung
jawab dan aktivitas
rumah tangga (X1.1)
3.1 17.2 34.4 42.2 3.1 100
46
2. Pekerjaan menjauh-
kan saya dari
keluarga lebih dari
yang saya inginkan
(X1.2)
7.8 20.3 34.4 35.9 1.6 100
3. Tuntutan pekerjaan
saya menyulitkan
saya untuk menjaga
hubungan dengan
pasangan dan anak
saya seperti yang
saya inginkan (X1.3)
7.8 21.9 28.1 34.4 7.8 100
4. Pendekatan
pemecahan masalah
yang saya gunakan
dalam pekerjaan saya
efektif dalam
menyelesaikan
masalah dirumah
(X1.4)
10.9 15.6 40.6 25.0 7.8 100
5. Perilaku yang efektif
dan perlu bagi saya di
tempat kerja akan
menjadi
kontraproduktif di
rumah (X1.5)
6.3 18.8 42.2 32.8 - 100
Sumber: Lampiran 4.
Proporsi jawaban responden terhadap indikator dari job autonomy
dapat dilihat melalui tabel 4.5, terdapat lebih dari 25% responden yang
menyatakan setuju sedangkan sisanya berkisar 75% menyatakan netral dan
tidak setuju dalam menanggapi pertanyaan yang diberikan berkaitan dengan
indikator job autonomy. Dapat dijelaskan bahwa bekerja pada instansi
pemerintahan memiliki kebebasan yang sangat terbatas di dalam melakukan
pekerjaan, hal ini disebabkan oleh tugas dan tanggung jawab yang harus di
kerjakan telah diatur dalam peraturan pemerintahan dan masing-masing
pegawai negeri sipil memiliki tugas, pokok dan fungsi yang berbeda.
47
Tabel 4.5
Proporsi Jawaban Responden
Terhadap Indikator dari Variabel Job Autonomy
Item Pertanyaan Proporsi Jawaban N = 64
Job Autonomy
Sangat
Tidak
Setuju
(%)
Tidak
Setuju
(%)
Netral
(%)
Setuju
(%)
Sangat
Setuju
(%)
Jumlah
(%)
1. Saya memiliki
cukup wewenang
untuk melakukan
yang terbaik
(X2.1)
- 53.1 21.9 18.8 6.3 100
2. Pekerjaan saya
memungkinkan
saya membuat
banyak keputusan
sendiri (X2.2)
- 25.0 43.8 23.4 7.8 100
3. Saya memiliki
cukup kebebasan
tentang
bagaimana saya
melakukan
pekerjaan (X2.3)
- 39.1 39.1 15.6 6.3 100
Sumber: Lampiran 4.
Proporsi jawaban responden terhadap indikator dari organizational
commitment dapat dilihat melalui tabel 4.5, terdapat proporsi angka yang
cukup besar yaitu sekitar 39% yang menjawab tidak setuju terkait
pertanyaan-pertanyaan seputar organizational commitment, untuk jawaban
setuju dan sangat setuju sekitar 28 % dan netral sejumlah 33%. Dapat
dijelaskan bahwa separuh lebih pegawai kurang memiliki komitmen
terhadap organisasinya yang di indikasikan melalui sangat rendahnya
kemauan pegawai di dalam memberikan kontribusi untuk organisasinya.
48
Tabel 4.6
Proporsi Jawaban Responden
Terhadap Indikator dari Variabel Organizational Commitment
Item pertanyaan Proporsi Jawaban N = 64
Organizational
Commitment
Sangat
Tidak
Setuju
(%)
Tidak
Setuju
(%)
Netral
(%)
Setuju
(%)
Sangat
Setuju
(%)
Jumlah
(%)
1. Saya memiliki
keyakinan kuat
akan tujuan dan
nilai organisasi
(Y1.1)
- 39.1 34.4 17.2 9.4 100
2. Saya mempunyai
keinginan yang
dalam untuk
menjaga hubungan
dengan organisasi
(Y1.2)
- 35.9 32.8 25.0 6.3 100
3. Saya
mengungkapkan
kemauan untuk
memberikan
kontribusi besar
kepada organisasi
(Y1.3)
- 45.3 28.1 20.3 6.3 100
4. Saya merasa akan
mengeluarkan
biaya tinggi jika
meninggalkan
organisasi (Y1.4)
- 39.1 34.4 20.3 6.3 100
5. Saya merasa
memiliki
kewajiban moral
terhadap
organisasi (Y1.5)
- 45.3 31.3 17.2 6.3 100
6. Saya diajarkan
untuk percaya
pada nilai tetap
setia kepada satu
organisasi (Y1.6)
- 29.7 37.5 23.4 9.4 100
Sumber: Lampiran 4.
49
4.2 Analisis Inferensial
Analisis inferensial dalam penelitian ini dilakukan menggunakan
model structural equation modelling (SEM) dengan meggunakan program
SmartPLS 3.0. Langkah-langkah yang ditempuh dalam proses analisis
meliptui: 1) evaluasi model pengukuran (measurement model atau outer
model), tujuannya adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara
indikator-indikator yang membentuk variabel latennya, dan 2) evaluasi
model struktural (structural model atau inner model), tujuannya adalah
untuk mengetahui hubungan variabel-variabel yang membentuk model
penelitian.
4.2.1 Evaluasi Model Pengukuran (Measurement Model/Outer Model)
Sehubungan dengan indikator-indikator yang membentuk variabel
laten dalam penelitian ini bersifat refleksif, maka evaluasi model
pengukuran (measurement model/outer model), untuk mengukur validitas
dan reliabilitas indikator-indikator tersebut adalah a) convergent validity, b)
discriminant validity, dan c) composite reliability dan cronbach alpha.
a. Convergent Validity
Convergent validity merupakan suatu kriteria dalam pengukuran
validitas indikator yang bersifat refleksif. Evaluasi ini dilakukan melalui
pemeriksaan terhadap koefisien outer loading masing-masing indikator
terhadap variabel latennya. Suatu indikator dikatakan valid, jika
koefisien outer loading diantara 0,60 – 0,70 namun untuk analisis yang
teorinya tidak jelas maka outer loading 0,50 direkomendasikan (Lathan
50
dan Ghozali, 2012), serta signifikan pada tingkat alpha 0.05 atau t-
statistik 1,96.
Tabel 4.7
Nilai Outer Loading Hasil Estimasi Model
KONSTRUK
Original
Sample
(O)
Sample
Mean
(M)
Standard
Deviation
(STDEV)
T Statistics
(|O/STDEV|)
P
Values
X1.1 <- Work Family
conflict 0.843 0.840 0.038 22.007 0.000
X1.2 <- Work Family
conflict 0.748 0.747 0.049 15.148 0.000
X1.3 <- Work Family
conflict 0.883 0.881 0.027 32.999 0.000
X1.4 <- Work Family
conflict 0.873 0.869 0.028 31.013 0.000
X1.5 <- Work Family
conflict 0.865 0.864 0.034 25.461 0.000
X2.1 <- Job Autonomy 0.856 0.856 0.029 29.476 0.000
X2.2 <- Job Autonomy 0.840 0.839 0.036 23.627 0.000
X2.3 <- Job Autonomy 0.853 0.849 0.038 22.339 0.000
Y1.1 <- Organizational
Commitment 0.884 0.884 0.022 40.856 0.000
Y1.2 <- Organizational
Commitment 0.778 0.775 0.058 13.341 0.000
Y1.3 <- Organizational
Commitment 0.859 0.855 0.039 22.122 0.000
Y1.4 <- Organizational
Commitment 0.802 0.800 0.046 17.606 0.000
Y1.5 <- Organizational
Commitment 0.823 0.818 0.042 19.562 0.000
Y1.6 <- Organizational
Commitment 0.775 0.769 0.056 13.778 0.000
Sumber: Lampiran 5.
Pada Tabel 4.7 oleh karena seluruh indikator yang merefleksikan
masing-masing konstruk memiliki nilai outer loading> 0,60 dan signifikan
pada level 0,05 maka seluruh indikator adalah valid.
51
Gambar 4.1
Outer Loading dan Path Koefisien
Sumber: Lampiran 5
Sedangkan hasil perhitungan mengenai hasil uji signifikansinya
(broothstrapping) dapat dilihat pada gambar 4.2 berikut ini.
52
Gambar 4.2
Boothstrapping Model
Sumber: Lampiran 5
b. Discriminant Validity
Pengukuran validitas indikator-indikator yang membentuk variabel
laten, dapat pula dilakukan melalui discriminant validity. Diskriminan
validitas dapat dilakukan dengan membandingkan koefesien Akar AVE
(√AVE atau Square root Average Variance Extracted) setiap variabel
dengan nilai korelasi antar variabel dalam model. Suatu variabel dikatakan
valid, jika akar AVE (√AVE atau Square root Average Variance
Extracted) lebih besar dari nilai korelasi antar variabel dalam model
penelitian (Lathan dan Ghozali, 2012), dan AVE lebih besar dari 0,50.
53
Tabel 4.8
Uji Discriminant Validity
KONSTRUK
Original
Sample
(O)
Sample
Mean
(M)
Standard
Deviation
(STDEV)
T Statistics
(|O/STDEV|)
P
Values
Job Autonomy 0.722 0.719 0.035 20.806 0.000
Organizational
Commitment 0.674 0.672 0.038 17.702 0.000
Work Family
Conflict 0.712 0.709 0.034 20.703 0.000
Sumber: Lampiran 5
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa nilai AVE yang dilihat dari nilai
original sampel seluruh konstruk > 0,50, sehingga dari kriteria nilai AVE
memenuhi syarat valid berdasarkan kriteria discriminant validity.
c. Composite Reliability dan Cronbach Alpha
Suatu pengukuran dapat dikatakan reliabel, apabila composite
reliability dan cronbach alpha memiliki nilai lebih besar dari 0,70.
Composite reliability dan Cronbach alpha adalah merupakan suatu
pengukuran reliabilitas antar blok indikator dalam model penelitian.
Tabel 4.9
Uji Composite Reliability dan Cronbach Alpha
Cronbach's
Alpha
Composite
Reliability
Job Autonomy 0.807 0.886
Organizational Commitment 0.903 0.925
Work Family Conflict 0.898 0.925
Sumber: Lampiran 5
Tabel 4.9 menunjukkan bahwa nilai composite reliability dan
Cronbach Alpha seluruh konstruk telah menunjukkan nilai lebih besar dari
54
0.70 sehingga memenuhi syarat reliabel berdasarkan kriteria composite
reliability.
4.2.2. Evaluasi Model Struktural (Structural Model/Inner Model)
a. Evaluasi Model Struktural Melalui R-Square (R2)
R-Square (R2) dapat menunjukkan kuat lemahnya pengaruh yang
ditimbulkan oleh variabel dependen terhadap variabel independen. R-
Square(R2) juga dapat menunjukkan kuat lemahnya suatu model
penelitian. Menurut Chin, (1995) nilai R-Square (R2) sebesar 0,67
tergolong model kuat, R-Square (R2) sebesar 0,33 model moderat, dan
R-Square (R2) sebesar 0,19 tergolong model yang lemah.
Tabel 4.10
Evaluasi Model Struktural Inner
R
Square
Organizational Commitment 0.794
Sumber: Lampiran 5
Tabel 4.10 menunjukkan bahwa nilai R2 dari variabel
independen yaitu organizational commitment sebesar 0,794 berdasarkan
kriteria Chin, (1995) maka model tersebut termasuk kriteria model kuat,
maknanya adalah variasi work family conflict dan job autonomy mampu
menjelaskan organizational commitment sebesar 79,4 persen dan sisanya
20,6 persen dijelaskan oleh variasi dari variabel lain.
55
4.2.3. Pengujian Hipotesis
Path Analisis dan Pengujian Hipotesis, yang diharapkan adalah Ho
ditolak atau nilai sig < 0,05 (atau nilai t statistic > 1,96 bila ujinya dengan
level of signifikan 0,05).
Tabel 4.11
Path Analisis dan Pengujian Statistik
Original
Sample
(O)
Sample
Mean
(M)
Standard
Deviation
(STDEV)
T Statistics
(|O/STDEV|)
P
Values
Work Family
conflict ->
Organizational
Commitment
-0.277 -0.272 0.115 2.399 0.017
Job Autonomy ->
Organizational
Commitment
0.636 0.641 0.104 6.124 0.000
Sumber: Lampiran 5
1) Pengaruh Work Family Conflict Terhadap Organizational
Commitment
(1) Perumusan hipotesis
H0: Work Family Conflict tidak berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap Organizational Commitment di Dinas Pekerjaan Umum
dan Penataan Ruang Kota Denpasar
H1: Work Family Conflict berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap Organizational Commitment di Dinas Pekerjaan Umum
dan Penataan Ruang Kota Denpasar
(2) Taraf nyata
Menentukan besarnya taraf nyata () = 5%
56
(3) Daerah kritis
H0 diterima jika : tingkat signifikansi p-value> 0,05 (5%)
H0 ditolak jika : tingkat signifikansi p-value ≤ 0,05 (5%)
(4) Statistik Uji
Nilai signifikansi p-value diperoleh dari hasil Path Coefficients
dengan alat bantu program SmartPLS 3.1.3. Tabel 5.1 menunjukkan
bahwa nilai signifikansi p-value sebesar 0,017 dengan koefisien
sebesar -0,277
(5) Kesimpulan
Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa nilai signifikansi p-value
sebesar 0,017 < 0,05, maka H0 ditolak. Ini berarti bahwa work family
conflict berpengaruh negatif dan signifikan terhadap organizational
commitment di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota
Denpasar, nilai original sampel dari work family conflict sebesar -
0,277 ini berarti dengan kata lain apabila work family conflict
pegawai di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota
Denpasar meningkat maka dapat menurunkan organizational
commitment di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota
Denpasar sebesar 0,277 sehingga hipotesis pertama dalam penlitian
ini diterima
57
2) Pengaruh Job Autonomy terhadap Organizational Commitment
(1) Perumusan hipotesis
H0: Job Autonomy tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Organizational Commitment di Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang Kota Denpasar
H2: Job Autonomy berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Organizational Commitment di Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang Kota Denpasar
(2) Taraf nyata
Menentukan besarnya taraf nyata () = 5%
(3) Daerah kritis
H0 diterima jika : tingkat signifikansi p-value> 0,05 (5%)
H0 ditolak jika : tingkat signifikansi p-value ≤ 0,05 (5%)
(4) Statistik Uji
Nilai signifikansi p-value diperoleh dari hasil Path Coefficients
dengan alat bantu program SmartPLS 3.1.3. Tabel 5.1 menunjukkan
bahwa nilai signifikansi p-value sebesar 0,000 dengan koefisien
sebesar 0,636
(5) Kesimpulan
Berdasarkan Tabel 5.1 diketahui bahwa nilai signifikansi p-value
sebesar 0,000 < 0,05, maka H0 ditolak. Ini berarti bahwa job
autonomy berpengaruh positif dan signifikan terhadap organizational
commitment di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota
58
Denpasar, nilai original sampel dari job autonomy sebesar 0,636 ini
berarti dengan kata lain apabila job autonomy pegawai di Dinas
Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar meningkat
maka dapat meningkatkan organizational commitment di Dinas
Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar sebesar 0,636,
sehingga hipotesis kedua dalam penlitian ini diterima
59
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Faktor work family conflict berpengaruh negatif terhadap organizational
commitment pada pegawai di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan
Ruang Kota Denpasar, sehingga hipotesis yang menyatakan work family
conflict berpengaruh terhadap organizational commitment pegawai di
Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar diterima
karena signifikan.
2. Faktor job autonomy berpengaruh positif terhadap organizational
commitment pegawai di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang
Kota Denpasar, sehingga hipotesis yang menyatakan faktor job
autonomy berpengaruh terhadap organizational commitment pegawai di
Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar diterima
karena signifikan.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka ada beberapa saran yang di
berikan untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan oleh Dinas Pekerjaan
Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar.
60
1. Job autonomy di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota
Denpasar hendaknya lebih ditingkatkan lagi guna menurunkan indikasi
terjadinya work family conflict. Meningkatkan job autonomy bukan
hanya memberikan kebebasan pada pegawai untuk melakukan segala
pekerjaan sesuai keinginannya. Meningkatkan job autonomy bisa
melalui dengan memberikan wewenang dan tanggung jawab sesuai
porsinya masing-masing di dalam mengerjakan tugas dan hal tersebut
tentunya masih di berada dalam batasan dan tupoksi pada peraturan
pemerintahan. Selanjutnya, atasan harus lebih tegas dalam memberikan
job description kepada bawahan agar tidak terjadi pelimpahan pekerjaan
yang akan menyebabkan pegawai lainnya merasa terbebani dengan hal
tersebut. Dengan meningkatkan job autonomy sesuai batasan di
harapkan dapat membantu menekan tingkat work family conflict yang
terjadi dan hal tersebut akan mampu meningkatkan organizational
commitment para pegawai di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan
Ruang Kota Denpasar.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi
penelitian selanjutnya untuk melakukan penelitian dengan sekup yang
lebih luas untuk mengetahui sejauh mana work family conflict dan job
autonomy berpengaruh terhadap organizational commitment pegawai di
Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar.
61
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, A., & Omar, Z. 2010. Perceived Workplace Culture as an Antecedent of
Job Stress: The Mediating Role of Work-Family Conflict. Journal of
Social Sciences, 6 (3): 369-375.
Allen, N.J. & Meyer, J.P. 1990. The Measurement and Antecedents of Affective,
Continuance and Normative Commitment to the organization. Journal of
Occupational Psychology, 63, 1-18.
Arifin, Zainal. 2011. Penelitian Pendidikan: Metode dan Paradigma Baru.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Azim, A.M.M., Ahmad, A., Omar, Z., & Silong, A.D. 2012. Work-Family
Psychological Contract, Job Autonomy and Organizational Commitment.
American Journal of Applied Sciences, 9 (5): 740-747.
Buhali, G.A., & Margaretha, M. 2013. Pengaruh Work-Family Conflict Terhadap
Komitmen Organisasi: Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Mediasi. Jurnal
Manajemen, Vol. 13, No. 1
Chin, W.C. dan Todd, P.A. 1995. On the Use, Usefulness and Ease of Use of
Structural Equation Modelling in MIS Research: A Note of Caution. MIS
Quarterly, Vol. 19 No. 2, pp. 237-46.
Divara Krisna, I.G.A.G. & Rahyuda, A.G. 2016. Pengaruh Work Family Conflict
Terhadap Stres Kerja dan Komitmen Organizational Pegawai Kontrak
Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. E-Jurnal Manajemen Unud, Vol. 5, No.
11.
Frone, M.L., Russell, M., & Cooper, M.L. 1992. Antecedents and Outcomes of
Work-Family Conflict: Testing a Model of the Work-Family Interface.
Journal of Applied Psychology, Vol. 77, No. 1, 65-78
Geisser, J.R., 1975 : The Predictive Sample Reuse Method with Application,
Journal of The Amarican Statistical Association, 70.320-328.
Ghozali, Imam dan Hengky Latan. 2012. Partial Least Square “Konsep, Teknik
dan Aplikasi” SmartPLS 2.0 M3. Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS.
Cetakan Keempat. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.ozali (2006).
62
Gozukara, J. & Colakoglu, N. 2016. The Mediating Effect of Work Family
Conflict on the Relationship between Job Autonomy and Job Satisfaction.
Journal of Social and Behavioral Sciences, 229, 253 – 266.
Greenhaus, J.H. & Beutell, N.J. 1985. Sources of Conflict Between Work and
Family Roles. The Academy of Management Review, Vol. 10, No. 1, pp.
76-88
Griffin, R.W. 2004. Management, 7th edition. Massachusett: Hougton Mifflin
Company.
Hackman, J.R., & Oldham, G.R. 1975. Development of the Job Diagnostic
Survey. Journal of Applied Psychology, Vol. 60, No. 2, 159-170.
Hair, J. F., Black, W. C., Babin, B. J., Anderson, R. E. 2006. Multivariate Data
Analysis 6th Ed. New Jersey: Pearson Education.
Hair, J. F., Black, W. C., Babin, B. J., Anderson, R. E. 2010. Multivariate Data
Analysis: A Global Perspective (7th ed.). New Jersey: Pearson Education,
Inc.
Hariyanto, Bambang. 2003. Sistem Operasi Lanjut. Edisi Pertama. Bandung :
Informatika.
Hartono. 2008. SPSS 16,0 Analisis Data Statistika dan Penelitian, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Howard, W.G., Boles. J.S., & Donofrio. H.H.2004. Inter-domain work-family
conflict, family-work conflict, and police work satisfaction. Journalog
Managerial Issues, 13, 376-390
Jogiyanto dan Abdillah. 2009. Konsep dan Aplikasi PLS Untuk Penelitian
Empiris. Edisi Pertama, BPFE-Yogyakarta
Karasek, R., Brisson, C., Kawakami, N., Houtman, I., & Bongers, P. 1998. The
Job Content Questionnaire (JCQ): An Instrument for Internationally
Comparative Assessments of Psychosocial Job Characteristic. Journal of
Occupational Health Psychology, Vol. 3, No. 4, 322-355.
Major, V.S., Klein, K.J., & Ehrhart, M.G. 2002. Work Time, Work Interference
With Family, and Psychological Distress. Journal of Applied Psychology,
Vol. 87, No. 3, 427–436
Marchese & Ryan, 2001. Capitalizing on the Benefits of Utilizing Part-Time
Employees Through Job Autonomy. Journal of Business and Psychology,
Vol. 15, No. 4
63
Meyer, J.P. & Allen N.J. 1991. A Three-Component Model Conceptualization of
Organizational Commitment. Human Resource Management Review, Vol.
1, No.1, 61-89
Mowday, R.T., Steers, R.M., & Porter, L.W. 1982. The Measurement of
Organizational Commitment: A Progress Report
Naqvi, S.M.M.R., Ishtiaq, M., Kanwal, N., & Ali, M. 2013. Impact of Job
Autonomy on Organizational Commitment and Job Satisfaction: The
Moderating Role of Organizational Culture in Fast Food Sector of
Pakistan. International Journal of Business and Management, Vol. 8, No.
17
Parker, S.K., Axtell, C.M., and Turner, N. 2001. Designing a Safer Workplace:
Importance of Job Autonomy, Communication Quality, and Supportive
Supervisors. Journal of Occupational Health Psychology, Vol. 6, No.3,
211-228
Peraturan Pemerintah, Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps Dan
Kode Etik Pegawai Negeri Sipil
Quinn, R.P., & Shepard, L.J. 1974. Descriptivestatistics, With Comparison Data
From the 1969-70 Survey of Working Conditions
Rehman, R.R. & Waheed, A. 2012. Work-Family Conflict and Organizational
Commitment: Study of Faculty Members in Pakistani Universities.
Pakistan Journal of Social and Clinical Psychology, Vol. 10, No. 1, 23-26
Robbin, Stepen, & Judge, T.A. 2007. "Perilaku Organisasi". Edisi 12 Jakarta:
Salemba 4.
Santoso, Singgih. 2012. Panduan Lengkap SPSS Versi 20. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Saragih, S. 2011. The Effects of Job Autonomy on Work Outcomes: Self Efficacy
as an Intervening Variable. International Research Journal of Business
Studies, Vol. 4, No. 3, 203-215
Sarboland, K. 2012. Assessment of the Relationship between Emotional
Intelligence and Organizational Commitment of Employees: A Case Study
of Tax Affairs Offices, Iran. Journal of Basic and Applied Scientific
Research, 2(5), 5164-5168.
Scandura, T.A. & Lankau, M.J. 1997. Relationships of gender, family
responsibility and flexible work hours to organizational commitment and
job satisfaction. Journal of Behavior, Vol. 18, 337-391
64
Sholihin, M., & Ratmono, D. 2013. Analisis SEM-PLS Warp PLS 3.0. Penerbit
ANDI, Yogyakarta.
Steers, R.M. 1977. Antecedents and outcomes of organizational commitment.
Administrative Science Quarterly, 22, 46-56
Stephen, G.K., & Sommer, S.M. 1996. The Measurement of Work to Family
Conflict. Educational and Psychological Measurement, 56: 475
Stone, M. 1974. Cross Validatory Choise and Assesment of Statistical
Predictions. Jounal of The Royal Statistical Society, Series B, 36(2).111-
133
Sugiyono, 2009, Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D). Bandung: Alfabeta.
Sugiyono, 2012, Metode Penelitian Bisnis, Penerbit Alfabeta, Bandung
Supranto, M.A. 2002. Metode Peramalan Kuantitatif untuk Perencanaan Ekonomi
dan Bisnis, Jakarta : Rineka Cipta
Tenenhaus, M., & Esposito Vinzi, V. 2005. PLS regression, PLS path modeling
and generalized procrustean analysis: a combined approach for PLS
regression, PLS path modeling and generalized multiblock analysis.
Journal of Chemometrics, 19, 145–153.
Utami, 2007, Kewirausahaan, Salemba Empat, Jakarta