SKRIPSI TATA KELOLA KONFLIK (CONFLICT GOVERNANCE) …
Transcript of SKRIPSI TATA KELOLA KONFLIK (CONFLICT GOVERNANCE) …
i
SKRIPSI
TATA KELOLA KONFLIK (CONFLICT GOVERNANCE) ANTAR
KELOMPOK PEMUDA DAN PENYELESAIANNYA
(STUDI KASUS DI JALAN DANGKO KOTA MAKASSAR)
SUKMA RAMADHANI
105640 1090 10
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
ii
HALAMAN PENGAJUAN
TATA KELOLA KONFLIK (CONFLICT GOVERNANCE) ANTAR
KELOMPOK PEMUDA DAN PENYELESAIANNYA
(STUDI KASUS DI JALAN DANGKO KOTA MAKASSAR)
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Pemerintahan
Disusun dan Diajukan Oleh
SUKMA RAMADHANI
Nomor Stambuk: 105640109010
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014
iii
iv
v
ABSTRAK
SUKMA RAMADHANI, Nomor Pokok 105640 1090 10 menyusun
skripsi dengan judul : “Tata Kelola Konflik (Conflict Governance) Antar
Kelompok Pemuda dan Penyelesaiannya (Studi Kasus di Jalan Dangko Kota
Makassar)” di bawah bimbingan Dr. Djaelan Usman.M.Si dan A. Luhur
Prianto.S.IP.M.Si.
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Tata Kelola Konflik
Antar Kelompok Pemuda di Jalan Dangko Kota Makassar dan Faktor-faktor apa
yang mempengaruhi terjadinya konflik antar kelompok pemuda di jalan dangko
kota Makassar. Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan tipe penelitian deskriptif kualitatif dengan dasar penelitian
case study. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, yaitu
pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap objek
yang diteliti dan wawancara dimana peneliti mengadakan tanya jawab langsung
dengan informan sehubungan dengan masalah yang diteliti serta ditunjang oleh
data sekunder.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertikaian antar kelompok yang
dikatikan dengan suku, agama, ras, dan antar kelompok merupakan konflik yang
sangat gampang untuk terulang di tempat yang sama. Dari pembahasan hasil
penelitian, peneliti kemudian menjabarkan Tata Kelola Konflik Pemuda dengan
Indikator: Pendekatan Keamanan, Pendekatan Demokratis, Pendekatan Konsiliasi.
Pertikaian antar kelompok yang dikatikan dengan suku, agama, ras, dan antar
kelompok merupakan konflik yang sangat gampang untuk terulang di tempat yang
sama. Konstalasi konflik di Jalan Dangko sangat membutuhkan Pendekatan
Rekonsiliasi dari seluruh kalangan, baik itu tokoh maupun kelompok pemuda
yang ada di kelurahan Balang Baru khususnya pemuda Jalan Rotas dan Pemuda
Jalan Dangko yang merupakan aktor dari konflik yang terjadi di Jalan Dangko.
Pemerintah kota khususnya kelurahan Balang Baru yang bertugas melindungi dan
mengayomi warga ternyata belum dapat menemukan solusi yang pas dalam
menangani perkelahian antar kelompok. Banyak fakta yang memperlihatkan
mereka yang kemudian direhabilitasi justru keluar kembali sebagai penyakit di
masyarakatnya. Solusi kemudian tidak menyentuh lingkungan pelaku tapi masih
bersifat personal dan cenderung lebih sulit untuk dikontrol pelaksanaanya.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam
yang ilmu-Nya termanifestasi dalam kecerdasan dan kepintaran setiap
manusia dalam hidupnya yang merupakan satu kesatuan dalam kenyataan
ciptaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.
Dan tak lupa pula penulis haturkan shalawat dan taslim kita haturkan
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul terakhir yang
diutus untuk menyempurnakan seluruh faham dan ajaran Islam, sang
pembawa risalah pembebasan dari kultur masyarakat hegemoni dan tirani
menuju masyarakat demokratis yang egaliter dan berkeadaban. Dan
kepada keluarga dan para sahabatnya serta para pengikutnya.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan yang dihadapi
oleh penulis, utamanya karena masih kurangnya pengalaman yang dimiliki
penulis disamping terbatasnya literatur dan informasi lainnya. Sebagai
manusia biasa, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan, baik teknik penulisannya maupun materi ilmiahnya. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
konstruksional demi penyempurnaan dan perbaikannya.
Dalam merampungkan tugas akhir ini tidak lepas dari peran orang-
orang yang oleh penulis dijadikan motivasi untuk segera merealisasikanya,
dengan perasaan ikhlas dan pantang menyerah memperjuangkan cinta
menjadi landasanya. Dengan penuh ikhtiar dan cinta penulis ingin
mempersembahkan skripsi ini untuk Ayahanda SUKIMIN HABBAS,
orang yang sangat berpengaruh dalam usaha saya mempelajari dan
menumbuhkan rasa cinta yang hakiki, dan selalu memberi semangat yang
tak bisa dijelaskan lewat kata-kata agar segera meraih cita-cita. Juga untuk
Ibunda tersayang ANDI MURIATI, tidak akan pernah kutemukan orang
vii
setegar dirinya, selamat berjuang ibunda. Terima kasih sekaligus
permohonan maaf dihaturkan kepada keduanya.
Rasa terimakasih juga diberikan kepada pihak-pihak yang turut
membantu, serta memberi pengaruh kepada penulis selama ini, yaitu :
1. Bapak A. Luhur Prianto,S.IP.M.Si selaku ketua jurusan Ilmu
Pemerintahan.
2. Ibu Dr. Hj Ihyani Malik.S.Sos.M.Si selaku penasehat akademik
terima kasih atas luangan waktu, pikiranya, nasehat dan bimbingan
dalam hal akademik selama mengenyam bangku kuliah.
3. Bapak Dr. Djaelan Usman.M.Si selaku pembimbing I (satu) dan
Bapak A. Luhur Prianto, S.IP, M.Si selaku pembimbing II (dua),
terima kasih atas luangan waktu, pikirannya pada penulis hingga
akhirnya penulis bisa menemukan pengetahuan baru dalam menyusun
skripsi tugas akhir ini.
4. Seluruh staf akademik fakultas ilmu sosial dan ilmu politik terkhusus
jurusan ilmu pemerintahan.
5. Seluruh staf pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
pada umumnya, dan terkhusus staf dosen jurusan Ilmu Pemerintahan.
Terima kasih untuk ilmu yang bermanfaat slama ini. Semoga ALLAH
SWT memberikan rahmat dan hidayah-Nya.
6. Bapak Kepala Kesbang, Kadis Sosial dan segenap jajaran pemerintah
dan masyaraka selaku informan terimakasih atas bantuannya sehingga
penulis bisa melakukan penelitian.
7. Bapak Rektor Drs. Irwan Akib, M.Pd., atas kebijaksanaan dan
bantuan fasilitas yang diberikan.
8. Bapak Dekan DR. Muhlis Madani, M.Si., dan para pembantu Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Muhammadiyah
Makassar, atas segala petunjuk dan dorongan moril yang telah
diberikan kepada penulis.
9. Sahabat, keluarga besar HIMJIP, TUMPANG makasih banyak sudah
menjadi teman yang selalu ada untuk saya dan buat sang kekasih
viii
Abdul Rajab.S.Sos yang selalu memberikan semangat dan menjadi
inspirasi sehingga skripsi ini bisa selesai.
10. Rekan-rekan mahasiswa (i) seperjuangan yang tidak sempat penulis
sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya dalam
penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Hanya Allah swt, yang menentukan segalanya dan semoga kalian
yang telah membantu penulis mendapat pahala yang berlimpah ganda
di sisi_Nya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, tapi
setiap manusia berpotensi melakukan gerak menyempurna. Oleh karena
itu, dengan segenap kerendahan hati, kritik dan saran yang sifatnya
membangun sangat diharapkan untuk referensi hidup di masa yang akan
datang. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini memberikan
kontribusi yang bermanfaat bagi semua pihak. Dan semoga Allah Swt
memberikan pahala yang melimpah atas segala kebaikan kita semua.
Amin.
Makassar,06 Mei 2014
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman Pengajuan Skripsi .................................................................................. i
Halaman Pengesahan ............................................................................................ ii
Penerimaan Tim ………………………………………………………………...iii
Abstrak .................................................................................................................. iv
Kata Pengantar ..................................................................................................... .v
Daftas Isi .............................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian ...................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Tata Kelola Konflik ...................................................................... 11
B. Konsep Konflik Antara Kelompok ........................................................... 23
C. Kerangka Pikir ........................................................................................... 27
D. Definisi Fokus Penelitian ........................................................................... 29
BAB III METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 31
B. Jenis dan Tipe Penelitian ........................................................................... 31
C. Sumber Data .............................................................................................. 32
D. Fokus Penelitian dan Informan Penelitian ................................................. 32
E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 33
F. Teknik Analisis Data ................................................................................. 34
x
G. Keabsahan Data ......................................................................................... 35
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Objektif Lokasi Penelitian ........................................................... 37
B. Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya konflik antar Kelompok
Pemuda di Jalan Dangko Kota Makassar .................................................. 41
1. Ketersinggungan antar kelompok ........................................................ 42
2. Dendam antar kelompok ...................................................................... 45
3. Perselisihan antar kelompok ................................................................ 48
C. Tata Kelola Konflik antar kelompok pemuda di Jalan Dangko Kota
Makassar ................................................................................................... 51
1. Pendekatan Keamanan ........................................................................ 53
2. Pendekatan Demokratis ...................................................................... 57
3. Pendekatan Rekonsiliasi ..................................................................... 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 66
B. Saran .......................................................................................................... 69
Daftar Pustaka.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Zaman kala masyarakat senantiasa tidaklah stagnan pada kondisi
keseharian yang dimiliki, menjadikannya sebuah fenomena pantas untuk dikaji.
Dinamika yang berkembang tersebut seringkali tidak terlepas dari peranan
struktur makro yang mengatur sebuah masyarakat tertentu. Pemerintah dan
aparatur penyokongnya merupakan salah satu faktor makro tersebut yang wajib
ditekankan sebagai salah satu faktor penyokong bergeraknya arus dinamika
tersebut. Sejak terbukanya sejarah mengenai pemerintahan satu persatu teori
mengenai fungsi dan peran pemerintah berjejal, dinamikanya berlangsung
dengan mobilitas yang cepat. Masalah yang mendera juga satu per satu datang
pasca kedatangan sistem pemerintahan. Sontak sistem tersebut mendapatkan
tekanan sebagai institusi berwenang menyelesaikan setiap persoalan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial yang menjelaskan tentang keanekaragaman suku,
agaman, ras, dan budaya Indonesia dengan jumlah pendududk lebih dari 230
juta jiwa, pada satu sisi merupakan suatu kekayaan bangsa yang secara langsug
ataupun tidak langsung dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya
menciptakan kesejahteraan masyarakat. Disamping itu, transisi Demokrasi
dalam tatanan Dunia yang makin terbuka mengakibatkan makin cepatnya
dinamika sosial, termasuk faktor intervensi asing. Kondisi tersebut
2
menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang rawan konflik,
terutaman konflik yang bersifat horisontal. Konflik tersebut, terbukti telah
mengakibatkan hilangnya rasa aman, timbulnya rasa takut masyarakat,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma,
psikologis seperti dendam, benci, dan antipati, sehingga menghambat
terwujudnya kesejahteraan umum.
Salah satu wacana mengemuka mengenai kota Makassar ialah
mengenai beberapa peristiwa yang menarik pandangan nasional hingga
internasional adalah kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar
kelompok yang kerap terjadi. Mencoba berasumsi penulis memposisikan
masyarakat Indonesia kini beranggapan bahwa kekerasan di kota Makassar
telah menjadi hal yang lazim terjadi. Ada anekdot sehari-hari yang mengatakan
bahwa kekerasan massa yang kerap terjadi di kota ini telah tergambar dari
nama kota Makassar itu sendiri.
Menurut Hardiman (2008, sebuah masyarakat yang tidak
mempersoalkan kekerasan sudah kehilangan keberadabannya). Karena itu,
pertanyaan mengenai mengapa perkelahian antar kelompok itu terjadi sangat
penting untuk dilontarkan dan dijawab. Ingat kembali katalog kekerasan massa
di kota Makassar: kerusuhan April 1996 di kampus Universitas Muslim
Indonesia yang menewaskan mahasiswa, kerusuhan dengan target etnis China
dalam kurun waktu 1997-1998 , Bentrokan berkali-kali antara aparat keamanan
dan mahasiswa yang tak sedikit menimbulkan korban dalam kurun waktu
2007-hingga tahun 2010. Dalam pertarungan politik kecemasan akan
3
kekerasan massa tak juga dapat terhindarkan. Ingat saja kasus pengrusakan
show room milik mantan wakil Presiden Jusuf Kalla dalam momentum Pilgub
Sulawesi Selatan. Hingga maraknya penghakiman massa maupun perkelahian
antar kelompok warga membuat kota ini kemudian termasyhur dengan konflik
fisik yang melibatkan banyak individu yang tergabung dalam beberapa
kelompok atau yang biasa disebut dengan kekerasan massa dan masih banyak
fenomena-fenomena sosial lainya.
Berjarak dari peristiwa di atas, beberapa analis yang ahli dalam bidang
ini maupun masyarakat pemerhati persoalan sosial mengatakan bahwa individu
terseret oleh desakan kebersamaan mereka sehingga tak bisa lagi kecuali
melakukan seperti yang dilakukan orang yang lain. Seperti kesadaran in group
yang diungkapkan oleh sosiolog sekelas Soerjono Soekanto maupun Selo
Soemardjan Individu yang terlibat dalam kekerasan massa secara massif
dipindahkan dari ruang kontak sehari-hari ke dalam suatu ruang peleburan
kolektif yang mengisap ciri-ciri personalnya sebagai seorang individu. Penulis
menyebutnya “ruang kolektif’ karena ruang ini diproduksi oleh kebersamaan
dan menjadi tempat bergeraknya tindakan-tindakan kolektif walaupun dalam
beberapa analisis ada juga yang menyebutnya sebagai ruang massa. Yang
ganjil dalam perilaku massa adalah ciri psikologis yang ditimbulkan, para
pelaku mengalami penumpulan rasa salah atas tindakan kekerasan mereka.
Akal sehat disingkirkan dan digantikan dengan moralitas lemah yang menjauhi
konteks budaya dimana moralitas tersebut dibangun.
4
Ada kecenderungan yang kemudian terjadi, bahwa konflik antar
kelompok dalam beberapa penelitian ternyata tidak terlepas dari heterogennya
sebuah masyarakat. Masyarakat perkotaan seperti di kota Makassar pun
memiliki kecenderungan tingkat kekerasan massa yang tinggi ketimbang
dengan daerah lain yang belum begitu terjejal arus modernisasi.
Kehidupan perkotaan yang lebih dekat dengan kebijakan pemerintah
pusat kemudian akan sangat mudah terciptanya arus balik dari masyarakat di
dalamnya. Tanggapan dari masyarakat akan lebih cepat timbul belum lagi
ketika kita meminjam teori Johan Galtung mengenai korelasi antara kekerasan
itu sendiri dengan kekerasan struktural, dalam teorinya dikatakan bahwa
kekerasan yang selama ini terjadi di masyarakat khususnya masyarakat kota tak
terlepas dari wujud kekerasan rezim penguasa setempat terhadap rakyatnya,
Kemarahan rakyat pun terlontar dalam bentuk beragam, dimulai dengan aksi
protes hingga bentuk-bentuk destruktif berupa pengrusakan yang dilakukan
oleh massa.
Beberapa pengamat kekerasan massa hingga budayawan menganggap
bahwa siklus kekerasan yang terjadi di makassar tidak terlepas dari mental
masyarakat Makassar itu sendiri yang dibangun dari konsep siri’dan pacce.
Budaya ini kemudian oleh sebagian orang dijadikan sebagai pembenar
maraknya tindak kekerasan di kota ini. Pada tahun 2010 dari semua jenis
konflik kekerasan yang melibatkan massa, di Negeri ini terjadi sebanyak 1136
kasus kekerasan yang sempat terdata. Sulawesi Selatan ternyata berada di
peringkat kedua setelah Jawa Barat yang hanya berselisih satu kasus. 124
5
jumlah kasus yang terjadi di Sulawesi Selatan pada tahun 2010 itu, ternyata
diramaikan jumlahnya oleh kasus tawuran yang begitu banyak melebihi konflik
kekerasan agama, politik, pengeroyokan hingga penghakiman massa.
Seiring dengan berjalannya waktu pada tanggal 28 Oktober 2012 kota
Makassar kembali di hebohkan media nasional atas terjadinya konflik antar
kelompok pemuda di jalan Dangko, berikut laporanya: Dua kelompok warga di
Makassar, Sulawesi Selatan, terlibat tawuran, Minggu (28/10) dini hari.
Personel Brimob Polda Sulsel harus melepaskan tembakan gas air mata untuk
membubarkan tawuran kelompok warga Jalan Cenderawasih dengan warga
Jalan Dangko. Bentrokan yang terjadi pukul 03.00 Wita ini diduga dipicu
dendam lama antara kelompok pemuda Rotas dengan pemuda dari Dangko
yang sebelumnya juga terlibat bentrok. Kedua kelompok saling serang
menggunakan busur, kelewang dan petasan. Tawuran ini baru berhenti sekitar
pukul 05.30 Wita” (detik.com:27 juli 2013:20.00).
Konflik ini ditengarai oleh para pemuda yang tergabung dari dua
kelompok di jalan Dangko. Akhir dari peristiwa ini telah mengundang
perbincangan dari beberapa kalangan tentang masa depan generesi muda yang
saat ini tengah diselimuti pertikaian antar sesamanya. Ternyata dari data
tersebut, 85% dari semua kasus kekerasan di Sulawesi Selatan terjadi di kota
Makassar sebagai Ibukota provinsi. Dari semua narasi tersebut, penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang Tata kelola konflik (conflict
governance)dan faktor-faktor apa yang menyebabkan maraknya kekerasan itu
menghiasi keseharian masyarakat di kota ini. Benarkah bahwa ritus kekerasan
6
tersebut merupakan produk kebudayaan masyarakat Makassar ataukah bentuk
agresi sebagaimana yang diutarakan oleh Erich Fromm akibat kekerasan
struktural pemerintah sebagaimana yang disampaikan oleh Johan Galtung.
Pemerintah kota Makassar sebagai institusi kuasa yang berada di kota
ini seharusnya menyadari persoalan krusial ini, tugas pemerintah yang
seharusnya memberikan jaminan keamanan bagi setiap warga negara
seyogyanya diperankan dengan maksimal. Berbicara tentang tata kelola konflik
dimana lembaga tata kelola konflik memiliki tujuan utama mengubah konflik
tidak produktif yang muncul dalam bentuk kekerasan menjadi bentuk konflik
produktif yang muncul dalam bentuk dialog dan negosiasi damai. Lembaga ini
tidak bertugas menemukan pemecahan masalah karena hal ini akan di capai
oleh para pihak berkonflik melalui proses negosiasi, Carpenter & Kennedy
(dalam Susan, 2009).
Fokus pada penelitian ini akhirnya mengambil salah satu bentuk
kekerasan massa yang cukup meresahkan masyarakat yaitu Konflik antar
kelompok pemuda di jalan Dangko. Tak jarang dengan menggunakan senjata
tajam yang berujung pada timbulnya korban jiwa. Perkelahian antar kelompok
pemuda pun mengalir dengan berbagai motif dari pelakunya, Sebagian besar
dari pelakunya konflik yang terjadi dijalan Dangko didominasi oleh kaum
remaja. Konflik ini merupakan salah satu konflik yang cukup krusial sehingga
menurut peneliti bisa menjadi sampel untuk mewakili dari seluruh konlik yang
terjadi di kota Makassar.
7
Berbagai penelitian sosial menganalisa perilaku keterlibatan remaja
dalam perkelahian antar kelompok. Namun perkelahian ini juga tak bisa
dilepas oleh mereka yang telah melewati masa remaja. Maraknya perkelahian
antar kelompok yang melibatkan masyarakat miskin atau mereka yang
berkemampuan ekonomi menengah ke bawah, menjadi salah satu indikasi
bahwa perkelahian antar kelompok sebagai salah satu bentuk kekerasan massa
diakibatkan oleh adanya kesenjangan yang akibat pembangunan tidak
berimbang di sebuah kota besar.
Banyak kasus kekerasan yang terjadi, sehingga timbul pertanyaan
dalam diri penulis tentang bagaimana tata kelola konflik di jalan Dangko.
Untuk itu diperlukan korelasi antara apa yang menjadi faktor terjadinya konflik
antar kelompok yang kerap terjadi di jalan Dangko dan bagaimana tata kelola
konflik yang dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulanginya.
Ketertarikan penulis membahas persoalan ini, dengan harapan tidak ada
lagi sikap menduga-duga dari masyarakat pada umumnya mengenai apakah
pemerintah kota mengambil sikap dan berperan menanggulangi kasus yang
terjadi. Lemahnya peran institusi pemerintah dalam mengambil langkah dalam
beberapa penyelesaian kasus perkelahian terus berulang terlontar ketika
kecelakaan sosial ini kembali muncul dipermukaaan. Perkelahian antar
kelompok setiap saat bisa saja terjadi dengan berbagai potensi yang diredam
untuk beberapa saat saja. Ketika keran penyebab perkelahian itu terbuka,
sontak massa pun kembali mengambil posisi dalam menyelesaikan persoalan
yang sudah tidak bisa lagi diselesaikan dengan bahasa verbal.
8
Adanya disparitas antara penyelesaian kasus kekerasan dengan faktor
penyebabnya cenderung membuat perkelahian tersebut hanya selesai pada
permukaan dan tidak menyentuh akar persoalan. Perkelahian antar kelompok
yang terjadi di jalan Dangko merupakan salah satu kasus yang cukup krusial
dimana konflik tersebut sudah mengundang beberapa tokoh masyarakat untuk
turur andil dalam penanggulangannya. Begitu pula dengan aparat Kepolisian
dan Pemerintah Kota Makassar sampai saat ini aparat kepolisian masih
melakukan penyelidikan intens terkait konflik tersebut, ada beberapa nama-
nama yang diduga merupakan akar pemicu dari Konflik yang terjadi di jalan
Dangko.
Beberapa akar penyebab perkelahian itu sudah diketahui dan banyak
referensi yang bisa dijadikan acuan dalam menelaah akar konflik seperti ini
yang kerap terjadi sebagai suatu produk sosial masyarakat kota. Berbagai
upaya penanggulangan akan diteliti oleh penulis sebagai salah satu bentuk
upaya pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Penelitian ini membuka
persoalan yang sudah dibahas sebelumnya dengan memfokuskan penelitian
tentang konflik antar kelompok pemuda di jalan Dangko dengan judul: “Tata
Kelola Konflik (Conflict Governance) Antar Kelompok Pemuda dan
Penyelesaianya (Studi Kasus Di Jalan Dangko Kota Makassar)”
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian pada latar belakang diatas, maka dikemukakan
rumusan masalah sebagai berikut:
9
1. Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab konflik antar kelompok
pemuda di jalan Dangko kota Makassar ?
2. Bagaimana tata kelola konflik antar kelompok pemuda di jalan Dangko
kota Makassar ?
C. Tujuan Penelitian
1. Menggali akar permasalahan guna untuk membantu pemerintah dalam
mengantisipasi Faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik antar
kelompok pemuda di jalan Dangko kota Makassar.
2. Mengakarnya pandangan masyarakat yang hanya bisa menerka
penyebab timbulnya konflik, oleh karena itu penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui latar belakang konflik antar kelompok pemuda yang
terjadi di jalan Dangko kota Makassar dan bagaiman resolusi konflik
yang efektif dilakukan pemerintah untuk menutup keran konflik
tersebut.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis, memberikan informasi mengenai tata kelola konflik
dalam menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk perkelahian antar
kelompok. Selain itu juga memberikan sedikit gambaran mengenai
penyebab kekerasan massa yang kerap terjadi di masyarakat. Hasil dari
penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan
khasanah ilmu pemerintahan terutama kajian tentang strategi peran
pemerintah dalam menangani kasus tertentu.
10
2. Manfaat praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi informasi
bagi masyarakat tentang peran pemerintah kota Makassar dalam
menanggulangi kekerasan massa dalam bentuk konflik antar kelompok
yang kerap mengganggu. Terkhusus bagi pemerintah khususnya
Pemerintah kota Makassar, hasil dari penelitian ini dapat dijadikan
bahan masukan dalam perumusan kebijakan dalam rangka
penanggulangan konflik antar kelompok.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Tata Kelola Konflik
Istilah tata kelola konflik (conflict governance) belum cukup popular,
ilmu social Indonesia lebih mengenal istilah management konflik ( conflict
management ) kedua istilah tersebut tidak terlalu menyolok perbedaannya
walaupun conflict governance di anggap lebih mendasarkan diri pada konsep
ideal demokrasi. Menurut Carpenter, lembaga tata kelola conflict memiliki
tujuan utama mengubah conflict tidak produktif yang muncul dalam bentuk
kekerasan menjadi bentuk konflik produktif yang muncul dalam bentuk dialog
dan negosiasi damai. Lembaga ini tidak bertugas menemukan pemecahan
masalah karena hal ini akan di capai oleh para pihak berkonflik melalui proses
negosiasi, Carpenter & Kennedy (dalam Susan, 1998-2009) menawarkan 3
dimensi “ fungsional dimensi “ dari lembaga tata kelola konflik demokratis,
yaitu mekanisme keamanan, resolusi konflik dan rekonsiliasi:
1. Dimensi pertama pendekatan keamanan, merupakan upaya mengurung
kekerasan terutama sekali pada saat terjadi mobilisasi massa yang
membawa tanda-tanda kekerasan. Aparat keamanan dalam hal ini
adalah lembaga kepolisian menjadi penanggung jawab utama.
Lembaga kepolisian harus memiliki kulitas dalam (1) memobilisasi
kepolisian kepusat-pusat mobilisasi massa, (2) menilai dinamika
konflik dalam masyarakat sehingga penanganan dini bisa segera
12
diciptakan untuk mencegah terjadinya eskalasi kekerasan, serta (3)
melakukan persuasi terhadap massa yang telah siap menciptakan aksi
kekerasan.
2. Dimensi kedua dari tata kelola konflik, pendekatan demokratis adalah
mekanisme resolusi konflik yang memiliki dua dimensi. Yaitu dimensi
judicial settlement dan negosiasi untuk win-win solution. Mekanisme
ini difasilitasi oleh lembaga-lembaga demokrasi formal seperti KPU
untuk kasus pemilu/pilkada dan lembaga peradilan.
3. Dimensi Ketiga adalah pendekatan rekonsiliasi disetiap level
kepemimpinan grass root. Mekanisme ini mendorong proses sosial
perdamaian berkaitan dengan pembentukan kerukunan lintas kelompok
massa pendukung mekanisme ini dilaksanakan melalui lembaga lintas
kelompok, partai-partai politik, dan lembaga formal Negara seperti
kepolisian dan KPU.
Secara ideal demokrasi seharusnya menampilkan tata kelola konflik
yang memiliki kelembagaan tiga dimensi pengelolaan yang beroprasi secara
dinamis. Walaupun pada setiap konteks konflik selalu memiliki desain
kelembagaan tata kelola konfik yang berbeda. Kenyataan ini kemudian
difasilitasi oleh desentralisme kekuasaan dan otonomi daerah yang memberi
kemungkinan besar kelembagaan tata kelola konflik bisa dibangun ditingkat
daerah.
Robbin dalam Ritzer dan Goodman (2010: 431) mengatakan konflik
dalam organisasi disebut sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan
13
bahwa di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di
sisi lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk
meminimalisasikan konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara
lain:
1. Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini
menyatakan bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif,
merugikan, dan harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah
violence, destruction, dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu
hasil disfungsional akibat komunikasi yang buruk, kurang
kepercayaan, keterbukaan di antara orang – orang, dan kegagalaan
manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan.
2. Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View). Pandangan
ini menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang
wajar terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap
sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok
atau organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar
anggota. Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal
yang bermanfaat guna mendorong peningkatan kinerja organisasi.
Dengan kata lain, konflik harus dijadikan sebagai motivasi untuk
melakukan inovasi atau perubahan di dalam tubuh kelompok atau
organisasi.
3. Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini
cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya
14
konflik. Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang,
damai, dan serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan
tidak inovatif. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu
dipertahankan pada tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga
tiap anggota di dalam kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri,
dan kreatif.
Dari penjelasan diatas mengenai tata kelola konflik disini saya menitik
beratkan pada proses mediasi yang dilakukan pemerintah setempat dimana
Tata kelola konflik memiliki tujuan utama mengubah conflict tidak produktif
yang muncul dalam bentuk kekerasan menjadi bentuk konflik produktif yang
muncul dalam bentuk dialog dan negosiasi damai.
Lanjut dari pada itu, berbicara tentang konflik dimana konflik berasal
dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis,
konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa
juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Tidak satu
masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau
dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan
dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu
dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah
menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan
lain sebagainya. Dengan dibawasertanya ciri-ciri individual dalam interaksi
15
sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap masyarakat dan tidak
satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya
atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang
bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan
sebagai sebuah siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan
menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat
menciptakan konflik.
Winardi (2007:1) Konflik adalah oposisi atau pertentangan pendapat
antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi. Mengingat
bahwa konflik tidak dapat dihindari, maka approach yang baik untuk
diterapkan para manager adalah pendekatan mencoba-mencoba memanfaatkan
konflik demikian rupa, hingga tepat serta efektif untuk mencapai sasaran-
sasaran yang di inginkan.
Menurut Taquiri dalam Hersey dan Blanchard (1992:209), konflik
merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai
keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi
dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
Menurut Pece dan Faules (1994:249), Konflik merupakan ekspresi
pertikaian antara individu dengan individu lain, kelompok dengan kelompok
lain karena beberapa alasan. Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan
adanya perbedaan antara dua atau lebih individu yang diekspresikan, diingat,
dan dialami.
16
Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan
yang ingin dicapai, alokasi sumber–sumber yang dibagikan, keputusan yang
diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat Interaksi yang disebut
komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal
akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda – beda.
Konflik Menurut Myers konflik dipahami berdasarkan dua sudut
pandang, yaitu: tradisional dan kontemporer (Myers, 1993:234)
1. Dalam pandangan tradisional, konflik dianggap sebagai sesuatu yang
buruk yang harus dihindari. Pandangan ini sangat menghindari adanya
konflik karena dinilai sebagai faktor penyebab pecahnya suatu
kelompok atau organisasi. Bahkan seringkali konflik dikaitkan dengan
kemarahan, agresivitas, dan pertentangan baik secara fisik maupun
dengan kata-kata kasar. Apabila telah terjadi konflik, pasti akan
menimbulkan sikap emosi dari tiap orang di kelompok atau organisasi
itu sehingga akan menimbulkan konflik yang lebih besar. Oleh karena
itu, menurut pandangan tradisional, konflik haruslah dihindari.
2. Pandangan kontemporer mengenai konflik didasarkan pada anggapan
bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan sebagai
konsekuensi logis interaksi manusia. Namun, yang menjadi persoalan
adalah bukan bagaimana meredam konflik, tapi bagaimana
menanganinya secara tepat sehingga tidak merusak hubungan
antarpribadi bahkan merusak tujuan organisasi. Konflik dianggap
sebagai suatu hal yang wajar di dalam organisasi. Konflik bukan
17
dijadikan suatu hal yang destruktif, melainkan harus dijadikan suatu
hal konstruktif untuk membangun organisasi tersebut, misalnya
bagaimana cara peningkatan kinerja organisasi.
Adapun penyebab konflik secara umum adalah:
1) Perbedaan individu, yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan
Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang
memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan
lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau
lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik
sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu
sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas
musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan
berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada
pula yang merasa terhibur.
2) Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-
pribadi yang berbeda seseorang sedikit banyak akan terpengaruh
dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran
dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan
perbedaan individu yang dapat memicu konflik.
3) Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok. Manusia
memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang
berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing
orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda.
18
Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk
tujuan yang berbeda-beda. Sebagai contoh, misalnya perbedaan
kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat
menanggap hutan sebagai kekayaan budaya yang menjadi bagian dari
kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang.
Para petani menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai
penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para
pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayunya
diekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan
bagi pecinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga
harus dilestarikan. Di sini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan
antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan
mendatangkan konflik sosial di masyarakat. Konflik akibat perbedaan
kepentingan ini dapat pula menyangkut bidang politik, ekonomi,
sosial, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau
antara kelompok dengan individu, misalnya konflik antara kelompok
buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan di
antara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai,
sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk
dinikmati sendiri dan memperbesar bidang serta volume usaha mereka.
4) Perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam
masyarakat Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi,
tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak,
19
perubahan tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya,
pada masyarakat pedesaan yang mengalami proses industrialisasi yang
mendadak akan memunculkan konflik sosial sebab nilai-nilai lama
pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara
cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang
berubah itu seperti nilai kegotongroyongan berganti menjadi nilai
kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis
pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan
struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-
nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang
pemanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi
pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam
dunia industri. Perubahan-perubahan ini, jika terjadi secara cepat atau
mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial di
masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua
bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan
masyarakat yang telah ada.
Ada pertentangan pendapat mengenai perbedaan pandangan terhadap
peran konflik dalam organisasi yang disebut oleh Robbin dalam Ritzer dan
goodman (2010: 431) sebagai The Conflict Paradoks, yaitu pandangan bahwa
di sisi konflik dianggap dapat meningkatkan kinerja kelompok, tetapi di sisi
lain kebanyakan kelompok dan organisasi berusaha untuk meminimalisasikan
konflik. Pandangan ini dibagi menjadi tiga bagian, antara lain:
20
a) Pandangan tradisional (The Traditional View). Pandangan ini menyatakan
bahwa konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan
harus dihindari. Konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction,
dan irrationality. Konflik ini merupakan suatu hasil disfungsional akibat
komunikasi yang buruk, kurang kepercayaan, keterbukaan di antara orang-
orang, dan kegagalaan manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan
aspirasi karyawan.
b) Pandangan hubungan manusia (The Human Relation View). Pandangan ini
menyatakan bahwa konflik dianggap sebagai suatu peristiwa yang wajar
terjadi di dalam kelompok atau organisasi. Konflik dianggap sebagai
sesuatu yang tidak dapat dihindari karena di dalam kelompok atau
organisasi pasti terjadi perbedaan pandangan atau pendapat antar anggota.
Oleh karena itu, konflik harus dijadikan sebagai suatu hal yang bermanfaat
guna mendorong peningkatan kinerja organisasi. Dengan kata lain, konflik
harus dijadikan sebagai motivasi untuk melakukan inovasi atau perubahan
di dalam tubuh kelompok atau organisasi.
c) Pandangan interaksionis (The Interactionist View). Pandangan ini
cenderung mendorong suatu kelompok atau organisasi terjadinya konflik.
Hal ini disebabkan suatu organisasi yang kooperatif, tenang, damai, dan
serasi cenderung menjadi statis, apatis, tidak aspiratif, dan tidak inovatif.
Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konflik perlu dipertahankan pada
tingkat minimum secara berkelanjutan sehingga tiap anggota di dalam
kelompok tersebut tetap semangat, kritis – diri, dan kreatif.
21
Berdasarkan penjabaran pandangan - pandangan di atas, ada dua hal
penting yang bisa disorot mengenai konflik:
a. Konflik terjadi karena adanya interaksi yang disebut komunikasi. Hal
ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui konflik berarti kita
harus mengetahui kemampuan dan perilaku komunikasi. Semua
konflik mengandung komunikasi, tapi tidak semua konflik berakar
pada komunikasi yang buruk. Menurut Myers, Jika komunikasi adalah
suatu proses transaksi yang berupaya mempertemukan perbedaan
individu secara bersama-sama untuk mencari kesamaan makna, maka
dalam proses itu, pasti ada konflik. Konflik pun tidak hanya
diungkapkan secara verbal tapi juga diungkapkan secara nonverbal
seperti dalam bentuk raut muka, gerak badan, yang mengekspresikan
pertentangan. Konflik tidak selalu diidentifikasikan sebagai terjadinya
saling baku hantam antara dua pihak yang berseteru, tetapi juga
diidentifikasikan sebagai ‘perang dingin’ antara dua pihak karena
tidak diekspresikan langsung melalui kata – kata yang mengandung
amarah.
b. Konflik tidak selamanya berkonotasi buruk, tapi bisa menjadi sumber
pengalaman positif. Hal ini dimaksudkan bahwa konflik dapat
menjadi sarana pembelajaran dalam memanajemen suatu kelompok
atau organisasi. Konflik tidak selamanya membawa dampak buruk,
tetapi juga memberikan pelajaran dan hikmah di balik adanya
perseteruan pihak – pihak yang terkait. Pelajaran itu dapat berupa
22
bagaimana cara menghindari konflik yang sama supaya tidak terulang
kembali di masa yang akan datang dan bagaimana cara mengatasi
konflik yang sama apabila sewaktu – waktu terjadi kembali.
Hasil atau akibat dari sebuah konflik adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang
mengalami konflik dengan kelompok lain.
2. Keretakan hubungan antar kelompok yang bertikai.
3. Perubahan kepribadian pada individu, misalnya timbulnya rasa
dendam, benci, saling curiga dll.
4. Kerusakan harta benda dan hilangnya jiwa manusia.
5. Dominasi bahkan penaklukan salah satu pihak yang terlibat dalam
konflik.
Para pakar teori telah mengklaim bahwa pihak-pihak yang berkonflik
dapat menghasilkan respon terhadap konflik menurut sebuah skema dua-
dimensi; pengertian terhadap hasil tujuan kita dan pengertian terhadap hasil
tujuan pihak lainnya. Skema ini akan menghasilkan hipotesa sebagai berikut:
1. Pengertian yang tinggi untuk hasil kedua belah pihak akan
menghasilkan percobaan untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
2. Pengertian yang tinggi untuk hasil kita sendiri hanya akan
menghasilkan percobaan untuk "memenangkan" konflik.
3. Pengertian yang tinggi untuk hasil pihak lain hanya akan menghasilkan
percobaan yang memberikan "kemenangan" konflik bagi pihak
tersebut.
23
4. Tiada pengertian untuk kedua belah pihak akan menghasilkan
percobaan untuk menghindari konflik.
B. Konsep Konflik Antar Kelompok
Penanggulangan dalam bahasa sehari-hari ialah tindakan yang
dilakukan untuk mencegah sebuah kejadian. Biasanya kata ini diikuti oleh kata
yang akan dicegah tersebut. Sedangkan Konflik adalah kegiatan adu mulut
maupun fisik yang melibatkan dua orang atau lebih yang saling bertengkar.
Konflik antar kelompok bisa menimbulkan dua interpretasi, yang pertama ialah
kegiatan pencegahan sebelum konflik antar kelompok itu terjadi dan yang
kedua ialah bagaimana tindakan yang dilakukan untuk menghentikan ketika
konflik itu berlangsung. Mengenai konflik antar kelompok penulis
memasukkan kata dan mentitikberatkan penanggulangan pada interpretasi yang
pertama dengan asumsi, bahwa tugas itu memang diperankan oleh pemerintah.
Sedangkan interpretasi yang kedua merupakan tugas dari satuan pengamanan
negara seperti kepolisian.
Kita membicarakan di sini bukan kekerasan individual yaitu kekerasan
yang dilakukan oleh individu, seperti membunuh karena dendam pribadi, atau
merampok-melainkan kekerasan massa, yakni kekerasan yang dilakukan oleh
massa. Kekerasan jenis ini berbeda dari kekerasan yang dilakukan individu
karena para pelaku melakukan kekerasan itu tidak semata-mata atas dasar
dendam atau kebencian personal, melainkan banyak dipengaruhi dinamika
sebuah kelompok. Konflik antar kelompok merupakan salah satu bentuk
kekerasan massa atau kekerasan kolektif. Kekerasan individual terliput oleh
24
hukum pidana dan situasi sehari-hari, tetapi kekerasan massa sering melampaui
hukum positif itu.
Sulit menghukum demikian banyaknya pelaku. Semakin kurang
personal motif kekerasan dan semakin merasa benarlah para pelaku kekerasan
itu. Kekerasan massa tidak beroperasi di dalam hukum, tetapi melawan dan
melampaui tatanan hukum itu sendiri. Karena kompleksnya peristiwa ini, akar-
akar penyebabnya juga kompleks.
Namun, dalam ulasan ini saya akan menarik gagasan Budi Hardiman
yang banyak mengambil gagasan dari para pemikir psikoanalisa pada tiga akar
kekerasan yang terkait dengan condition human, yaitu: yang bersifat
epistemologis, antropologis, dan sosiologis.
Secara epistemologis kekerasan massa atau perkelahian antar kelompok
terjadi karena menganggap orang atau kelompok lain berada dari luar dirinya.
Jadi kekerasan dilakukan bukan terhadap yang sesama, melainkan yang lain.
Contoh: Mahasiswa Palopo yang dari tahun ke tahun dikenal sering
berbenturan dengan Mahasiswa Bulukumba, tentunya kedua kelompok tersebut
akan melihat kelompok yang lain berbeda dengan dirinya. Solidaritas etnis
kemudian menjadi tembok pemisah kedua kelompok hingga akhirnya benturan
pun terjadi. Kelompok-kelompok pelajar yang melakukan tawuran juga
mengalami kondisi yang sama. Dibumbui dengan semangat kesadaran-
kekamian mereka berkelompok berkelahi dengan kelompok yang lain untuk
mengangkat derajat kelompoknya. Dalam kondisi kelompok, manusia-manusia
25
tidak mengenal satu sama lain sebagai individu-individu, tetapi sebagai elemen
massa.
Perspektif antropologis, individu tidak akan bergabung ke dalam massa
dan melakukan kekerasan kolektif semata-mata spontan dan naluriah.
“Kewajaran” dalam melukai atau melakukan kekerasan dimungkinkan karena
individu-individu memandang tindakan kekerasannya sebagai sesuatu yang
bernilai. Karena itu, menemukan bagaimana sebuah sistem nilai memotivasi
manusia untuk melakukan kekerasan terhadap sesamanya adalah langkah
penting untuk menemukan akar psikologis kekerasan. Manusia akan
melakukan kekerasan tanpa merasa bersalah jika tindakan itu dipandang
sebagai realisasi suatu nilai. Kekerasan adalah bentuk realisasi diri.
Demonstrasi yang berujung pada bentrok dengan aparat pengamanan,
bagi para demonstran cenderung dianggap sebagai sesuatu yang tidak keliru.
Ini dikarenakan karena demonstrasi dianggap adalah wujud permintaan
masyarakat banyak, maka ketika ada sesuatu yang dianggap menghalangi maka
tindakan kekerasan pun akan cenderung muncul. Begitupun dengan kaum
fundamentalis yang bersedia mati demi agamanya, mereka membayangkan
kematian sebagai suatu jalan yang bernilai. Belum lagi dalam kasus di
Indonesia agama yang dirawat oleh masyarakat pun berubah menjadi salah satu
bagian dalam pembangunan, hingga tak jarang agama digunakan sebagai salah
satu pembenar kekerasan itu.
Kembali melihat bagaimana pertahanan nilai itu bisa menjadi embrio
kekerasan. Jika nilai-nilai moral kehilangan daya gigitnya karena oportunisme
26
merajalela, suatu disorientasi nilai akan dialami individu. Inkosistensi dan
inkoherensi nilai-nilai menimbulkan rasa ketidakpastian yang mendorong
panik massa. Kerinduan akan kepastian yang muncul merupakan bahan bakar
bagi setiap ideologi massa yang memotivasi kekerasan kolektif. Fanatisme
pendukung sepakbola, radikalisme demonstran, ataupun fundamentalisme
beragama adalah gaya berpikir untuk lari dari rasa ketidakpastian itu. Mereka
akan mencari jalan untuk mendapatkan kepastian itu dengan caranya terlebih
bila ada institusi yang diberi kepercayaan untuk menghilangkan rasa
ketidakpastian itu, namun tidak dapat mengemban amanah.
Memahami akar sosiologis kekerasan dimana kita harus bertolak dari
pengalaman isolasi itu karena isolasi yang menyentuh jiwa itu bersumber dari
kondisi-kondisi struktural masyarakat. Artinya, tatanan masyarakat itulah yang
menjadi sumber kekerasan . Banyak ahli yang menyatakan bahwa ketimpangan
sosial memicu aksi kekerasan massa dan perkelahian antar kelompok, karena
mereka yang dimarjinalisasikan, didikriminasikan dan direpresi lalu akan
memobilisasi diri sebagai massa. Tindakan kekerasan dapat dilihat di sini
sebagai strategi protes. Johan Galtung menyatakan bahwa represi, diskriminasi,
dan marjinalisasi adalah hasil kekerasan legitimatif atau yang biasa disebut
dengan negara.
Kondisi demikian membuat kita harus membaca gagasan Johan Galtung
tentang segitiga kekerasan yang mempertautkan kekerasan langsung, kekerasan
struktural, dan kekerasan kultural. Mereka yang tewas, korban-korban yang
27
terluka parah, harta benda yang terbakar, kaum terbuang, dan apa pun yang
menghancurkan peradaban adalah kekerasan langsung.
Kekerasan yang bersifat kasat mata itu tidaklah berdiri sendiri.
Kekerasan itu adalah akibat dari kekerasan struktural dan kekerasan kultural
yang tidak terlihat. Jalinan yang terjadi antara kekerasan yang tidak terlihat
dengan kekerasan yang konkret sebegitu akrab. Kekerasan struktural terbangun
dalam sistem sosial dan mengekspresikan dirinya pada distribusi kekuasaan
yang timpang. Kenyataan ini dapat diidentifikasi dengan merebaknya
kesenjangan untuk mendapatkan penghasilan, ketimpangan di bidang
pendidikan, atau eksploitasi yang tidak pernah berhenti. Kekerasan struktural
adalah nama lain dari ketidakadilan sosial. Sedangkan kekerasan kultural
merupakan aspek-aspek budaya yang dipakai untuk membenarkan dan
melegitimasi pemakaian kekerasan langsung atau kekerasan struktural. Setiap
pihak mempunyai nilai-nilai rujukan untuk mengobarkan kekerasan.
Konflik, perselesihan, percekcokan, pertentangan dan perkelahian,
merupakan pengalaman hidup yang cukup mendasar, karena meskipun tidak
harus, tetapi mungkin bahkan amat mungkin terjadi. Seperti pengalaman hidup
yang lain, konflik tidak dapat dirumuskan secara ketat. Lebih tepat bila konflik
itu diuraikan dan dilukiskan.
C. Kerangka Pikir
Sebagai wujud dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7
Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial yang menjelaskan tentang
keanekaragaman suku, agaman, ras, dan budaya Indonesia dengan jumlah
28
pendududk lebih dari 230 juta jiwa, pada satu sisi merupakan suatu kekayaan
bangsa yang secara langsug ataupun tidak langsung dapat memberikan
kontribusi positif bagi upaya menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Disamping itu, transisi Demokrasi dalam tatanan Dunia yang makin terbuka
mengakibatkan makin cepatnya dinamika sosial, termasuk faktor intervensi
asing.
Berdasarkan peraturan tersebut sebagai wujud kongkret dari Tata kelola
konflik antar kelompok pemuda dijalan Dangko, sebagaimana yang telah
penulis uraikan maka kerangka pikir yang akan menjadi acuan dalam penelitian
ini adalah:
FAKTOR YANGMENYEBABKAN
TERJADINYA KONFLIK
DENDAM ANTARKELOMPOK
TATA KELOLA KONFLIKANTAR KELOMPOK PEMUDA
DI JALAN DANGKO
- Pendekatan Keamanan- Pendekatan Demokratis- Pendekatan Rekonsiliasi
PERSELISIHANANTAR
KELOMPOK
KETERSINGGUNGANANTAR
KELOMPOK
29
D. Deskripsi Fokus Penelitian
Untuk memberikan keseragaman pengertian mengenai objek penelitian,
maka diuraikan beberapa deskripsi fokus sebagai berikut:
1. Tata Kelola Konflik adalah tujuan utama mengubah conflict tidak
produktif yang muncul dalam bentuk kekerasan menjadi bentuk konflik
produktif yang muncul dalam bentuk dialog dan negosiasi damai
2. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu dengan individu
lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan. Dalam
pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua
atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami. Konflik
senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang
ingin dicapai, alokasi sumber – sumber yang dibagikan, keputusan yang
diambil, maupun perilaku setiap pihak yang terlibat Interaksi yang
disebut komunikasi antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak
dapat disangkal akan menimbulkan konflik dalam level yang berbeda –
beda.
3. Konflik Antar Kelompok Adalah proses atau keadaan dimana dua atau
lebih dari pihak-pihak itu melakukan persaingan, pertentangan,
perselisihan dan perseteruan. Berusaha menggagalkan tujuan masing-
masing pihak dan hal itu merupakan “kekuasaan yang kreatif dari sejarah
manusia”.
4. Kelompok (group) adalah dapat didefinisikan sebagai kumpulan dua
orang atau lebih yang berinteraksi satu sama lain sedemikian rupa
30
sehingga perilaku dan atau kinerja (performance) dari seseorang
dipengaruhi oleh perilaku / kinerja anggota yang lain. Kelompok
merupakan salah satu unit analisis, disamping unit analisis yang lain:
individu dan organisasi. Seperti halnya dengan individu, pemahaman
tentang perilaku kelompok perlu juga dimiliki oleh para anggota
organisasi, terlebih-lebih para pemimpin.
5. Ketersinggungan sosial adalah sebuah sistem sosial masyarakat yang
menjadi salah satu penyebab terjadinya perkelahian antar kelompok
dalam masyarakat. Solidaritas kelompok terbangun dalam pola
kehidupan sehari-hari. Interaksi antar warga mulai membangun
kedekatan dengan saling membantu dalam mengerjakan urusan bersama.
Sebuah pemukiman dengan corak masyarakat yang cenderung homogen
seperti pemukiman padat penduduk dengan tingkat ekonomi yang hampir
setara. Pola interaksi yang terbangun cenderung sangat intim.
6. Dendam antar kelompok adalah Salah satu faktor yang menjadi pemicu
timbulnya perkelahian antar kelompok ialah dendam yang kemudian
mengalir secara turun temurun diantara dua kelompok.
7. Perselisihan antar kelompok adalah Masalah kecil yang bersifat personal
dimulai maka seketika itu pula bantuan datang dalam proses
penyelesaiannya. Tetap pada kesadaran kelompok tadi perselisihan kecil
seperti pembangunan parit di pemukiman penduduk yang harus
menyenggol sedikit lahan pekarangan bisa menjadi embrio konflik.
31
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Jalan Dangko Kota Makassar,
dengan waktu penelitaian pada bulan Januari 2014. Penentuan lokasi ini antara
lain didasarkan atas pertimbangan karna di jalan Dangko merupakan daerah
yang rawan konflik dan sering terjadi konflik antar kelompok sehingga
membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di jalan Dangko sebagai
proses untuk merampungkan data-data penelitian tentang Tata kelola konflik
antar kelompok pemuda di jalan Dangko kota Makassar.
B. Jenis dan Tipe Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif. Hal ini dikarenakan penelitian ini berupaya untuk memahami
fenomena-fenomena konflik antar kelompok di kota Makassar khusunya di
jalan Dangko. Penggunaan lebih dari satu pendekatan pengumpulan data
mengijinkan evaluator menggabungkan kekuatan dan kebenaran dari suatu
sumber data.
Hal ini berangkat dari pemaknaan pendekatan penelitian kualitatif itu
sendiri dimana metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku
yang diamati.
32
Tipe penelitian ini merupakan tipe penelitian Deskriptif Kualitatif (studi
kasus) dimaksudkan untuk memberi gambaran secara jelas mengenai masalah-
masalah yang diteliti, menginterpretasikan serta menjelaskan data secara
sistematis. Dasar penelitian ini adalah wawancara, yaitu melakukan dialog
(wawancara) kepada informan yang berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai hal
yang berhubungan dengan penelitian.
C. Sumber Data
1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung melalui observasi dan
wawancara dengan, Pemerintah kota Makassar khusunya Pemerintah
Kecamatan Tamalate, Pelaku Konflik dan Kapolsek Tamalate selaku
aparat keamanan yang menangani kasus-kasus konflik yang terjadi di jalan
Dangko serta pihak yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan
dalam penelitian.
2. Data sekunder adalah data-data yang di peroleh dari buku-buku, dokumen
dan literatur serta bahan-bahan tertulis baik dari dalam maupun dari luar
wilayah jalan Dangko yang mendukung dan berhubungan dengan pokok
bahasan penelitian ini.
D. Fokus Penelitian dan Informan Penelitian
Fokus penelitian ini yaitu untuk mengetahui tata kelola dan faktor-
faktor penyebab konflik dan antar kelompok pemuda di jalan Dangko kota
Makassar. Informan sebagai salah satu sumber data yang urgen terhadap
penelitian harus menggunakan teknik yang tepat. Teknik pemilihan informan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah probability sampling. Yaitu suatu
33
teknik penarikan informan yang digunakan apabila unsur-unsur yang ada
dalam lokasi penelitian tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk ditarik/
dipilih menjadi informan dalam penelitian ini. Teknik pengambilan informan
adalah merupakan cara yang digunakan dalam hal memperoleh data primer
untuk bahan penelitian. Informan dalam penelitian ini diantaranya dari
Pemerintah Kesbang, Aparat Kepolisian dalam hal ini Polsek Tamalate dan
Pemuda yang terlibat konflik.
1. Kesbang Kota Makassar : 3 orang
2. Pihak Kelurahan : 2 orang
3. Pihak Kepolisian : 2 orang
4. Pemuda yang terlibat konflik : 4 orang
E. Teknik Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan para
informan sebagai data primer dan tulisan atau dokumen-dokumen yang
mendukung pernyataan informan dan selebihnya adalah data tambahan seperti
dokumen dan lain-lain. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah:
1. Metode Pustaka (Library method) yakni suatu bentuk penelitian untuk
memperoleh data-data dari berbagai sumber seperti literatur-literatur baik
berupa buku ataupun media lainnya yang berhubungan dengan penelitian
yang dilakukan.
2. Observasi yang meliputi pengamatan dan pencatatan sistematik tentang
gejala-gejala yang diamati . Pengumpulan data dalam penelitin ini
34
dilakukan dengan cara observasi langsung (direct observation) dan sebagai
peneliti yang menempatkan diri sebagai pengamat (rocegnized outsider)
sehingga interaksi peneliti dengan subjek penelitian bersifat terbatas.
Dengan melakukan observasi, peneliti mencatat apa saja yang dilihat dan
mengganti dari dokumen tertulis untuk memberikan gambaran secara utuh
tentang objek yang akan diteliti.
3. Wawancara atau diskusi langsung dengan pihak terkait dalam
mengumpulakan data dan informasi guna mempercepat dan
mengkongkritkan informasi yang dikumpulkan. Dan Narasumbernya
adalah Pemerintah Kecamatan Tamalate, Aparat Kepolisian dalam hal ini
Polsek Tamalate dan Pemuda yang terlibat Konflik antar Kelompok
Pemuda di jalan Dangko Kota Makassar.
Teknik ini dilakukan dengan cara mengadakan penelaahan terhadap
bahan-bahan yang tertulis yang meliputi hasil-hasil seminar maupun laporan
dari informan dan buku-buku serta majalah. Beberapa data sekunder yang
dicari dalam penelitian ini adalah Informasi tertulis baik dari dalam maupun
dari luar daerah jalan Dangko yang dianggap relevan.
F. Teknik Analisis Data
Teknik Peneliti menggunakan Data Kualitatif yaitu semua bahan,
keterangan, dan fakta-fakta yang tidak dapat diukur dan dihitung secara
sistematis karena wujudnya adalah keterangan verbal (kalimat dan data)
dengan teknik ini peneliti hanya mengumpulkan data-data, informasi-
informasi, fakta-fakta, keterangan-keterangan yang bersifat kalimat dan data
35
dari permasalahan yang peneliti anggap penting dan mendukung dalam hal
pengumpulan data di Kecamatan Tamalate, Polsek Tamalate dan instansi
terkait yang sudah dipersiapkan oleh peneliti.
Menurut Miles dan Huberman (2007:16) Analisis Data Kualitatif
adalah suatu proses anaisis yang terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi
bersamaan yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau
verifikasi. Proses Reduksi Data adalah merupakan suatu proses pemilihan pada
penyederhanaa, pengabstrakan dan transformasi kasar yang manual dari
catatan-catatan dilapangan. Penyajian Data adalah merupakan sekumpulan
informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan
dan pengambilan tindakan dengan melihat penyajian-penyajian kita akan dapat
memahami apa yang sedang terjadi dan yang harus dilakukan. Menarik
Kesimpulan adalah memulai mencari data dengan mencari arti benda, mencatat
keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin alur sebab akibat
dan proposisi (Miles dan Huberman,2007 teknik analisa data kualitatif ).
G. Keabsahan Data
Triangulasi bermakna yakni mengadakan pengecekan akan kebenaran
data yang akan dikumpulkan dari berbagai sumber data, dengan menggunakan
teiknik pengumpulan data yang lain, serta pengecekan pada waktu yang
berbeda.
1. Triangulasi sumber
Triangulasi sumber dilakukan dengan cara mengecek pada sumber lain
keabsahan data yang telah diperoleh sebelumnya.
36
2. Triangulasi metode
Triangulasi metode bermakana data yang diperoleh dari satu sumber
dengan menggunakan metode atau teknik tertentu , diuji keakuratan
atau ketidak akuratannya.
3. Triangulasi waktu
Triangulasi waktu berkenan dengan waktu pengambilan data.
37
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Objektif Lokasi Penelitian
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai daerah penelitian, penulis
kemudian memberikan gambaran umum daerah penelitian, dimana sangat
memberikan andil dalam pelaksanaan penelitian terutama pada saat
pengambilan data, dalam hal ini untuk menentukan teknik pengambilan data
yang digunakan terhadap suatu masalah yang diteliti. Di sisi lain pentingnya
mengetahui daerah penelitian, agar dalam pengambilan data dapat
memudahkan pelaksanaan penelitian dengan mengetahui situasi baik dari segi
kondisi wilayah, jarak tempuh dan karakteristik masyarakat sebagai objek
penelitian.
1. Profil Kelurahan Balang Baru
Kondisi Umum Kelurahan Balang Baru adalah:
a. Secara Geografis
1. Letak dan Luas Wilayah
Kelurahan Balang Baru merupakan salah satu Kelurahan di
Kecamatan Tamalate Kota Makassar yang terletak 2 Km ke arah
Selatan Dari Kelurahan Parang Tambung. Kelurahan Balang Baru
mempunyai luas wilayah seluas ± 6,67 Hektar.
2. Iklim
Iklim Kelurahan Balang Baru sebagaimana Kelurahan lain di wilayah
Kota Makassar mempunyai Iklim Kemarau dan Penghujan, hal
38
tersebut mempunyai pengaruh langsung terhadap pola tanam yang
ada di Kelurahan Balang Baru.
b. Secara Administrasi
1. Letak wilayah administrasi berbatasan dengan :
Sebelah Utara : Kelurahan Maccini Sombala
Sebelah Timur : Kelurahan Mae
Sebelah Selatan: Kelurahan Parang Tambung
Sebelah Barat : Kelurahan Jongaya
c. Keadaan sosial Ekonomi Penduduk
1. Jumlah Penduduk
Kelurahan Balang Baru mempunyai Jumlah Penduduk 23.855 Jiwa,
yang dengan perincian sebagaimana tabel:
TABEL 1
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Laki-Laki Perempuan Jumlah
11.948 11.905 23.855
Sumber data: profil Kelurahan Balang Baru 2014
2. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan masayarakat Kelurahan Balang Baru adalah
sebagai berikut:
39
TABEL 2
Tingkat Pendidikan
Pra Sekolah SD SMP SMA Sarjana
560 org 715 org 659 org 587 org 250 org
Sumber data: profil Kelurahan Balang Baru 2014
3. Mata Pencaharian
Karena Kelurahan Balang Baru merupakan Kelurahan yang angka
pengangguran cukup tinggi, maka sebagian besar penduduknya
bermata pencaharian sebagai Buruh harian, selengkapnya sebagai
berikut:
TABEL 3
Mata Pencaharian
Buruh Harian Pedagang PNS Wira Usaha
955 org 32 org 238 org 139 org
Sumber data: profil Kelurahan Balang Baru 2014
d. Sarana dan Prasarana Kelurahan
Kondisi sarana dan prasarana umum Kelurahan Balang Baru secara
garis besar adalah sebagai berikut:
TABEL 5
Prasarana Kelurahan
Balai Kelurahan Jalan Kota Jalan Kecamatan Jalan Kelurahan Masjid
1 Unit 2,5 Km 10 Km 5 Km 4 Unit
40
Sumber data: profil Kelurahan Balang Baru 2014
e. Visi Dan Misi Kelurahan Balang Baru
1. Visi
Visi adalah suatu gambaran yang menantang tentang keadaan masa
depan yang diinginkan dengan melihat potensi dan kebutuhan Kelurahan.
Penyusunan Visi Kelurahan Balang Baru ini dilakukan dengan
pendekatan partisipatif, melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan di
Kelurahan baling Baru seperti pemerintah Kelurahan, Ormas, Tokoh
Masyarakat, Tokoh Agama, Lembaga Masyarakat Kelurahan dan
masyarakat Kelurahan pada umumnya. Pertimbangan kondisi eksternal di
Kelurahan seperti satuan kerja wilayah pembangunan di Kecamatan.
Maka berdasarkan pertimbangan diatas Visi Kelurahan Balang Baru
adalah: “Terwujudnya Kelurahan Balang Baru sebagai Kelurahan yang
Partisipatif melibatkan masyarakat dalam pelaksanaan roda
Pemerintahan”.
2. Misi
Selain Penyusunan Visi juga telah ditetapkan misi-misi yang memuat
sesuatu pernyataan yang harus dilaksanakan oleh Kelurahan agar
tercapainya visi Kelurahan tersebut. Visi berada di atas Misi, Pernyataan
Visi kemudian dijabarkan ke dalam misi agar dapat di operasionalkan /
dikerjakan. Sebagaimana penyusunan Visi, misipun dalam
penyusunannya menggunakan pendekatan partisipatif dan pertimbangan
41
potensi dan kebutuhan Kelurahan Balang Baru proses yang dilakukan
maka misi Kelurahan Balang Baru adalah:
1. Meningkatkan Kualiatas sumber daya manusia (SDM disegal
bidang).
2. Meningkatkan sarana dan prasarana transportasi.
3. Meningkatkan pendapatan masyarakat.
B. Faktor-Faktor Yang Menjadi Penyebab Terjadinya Konflik Antar
Kelompok Pemuda Di Jalan Dangko Kota Makassar.
Perkelahian antar kelompok kerap hanya dijadikan persoalan sepele
ketika persoalan tersebut bisa dikatakan belum berdampak besar pada kondisi
masyarakat perkotaan. Timbulnya korban jiwa dari perkelahian tersebut,
Justru baru akan mengundang tindakan pemerintah kota untuk segera
menyelesaikan persoalan. Seperti apa yang dipahami dalam kajian teoritis pada
bab sebelumnya. Konflik yang terjadi di Jalan Dangko semuanya tidak pernah
berdiri sendiri atau dalam artian terdapat penyebab yang menimbulkan
terjadinya konflik.
Kota Makassar dalam hal ini Kelurahan Balang Baru dengan segala
kondisi urban yang dimiliki terus mengemban beban sosial yang sangat besar.
Pembangunan yang bisa disaksikan begitu tidak berimbang dengan jumlah
pemukiman kumuh yang semrawut dalam tata kelolanya. Belum lagi ketika
para penduduk miskin harus dihadapkan pada kebutuhan yang sangat pelik.
Kekerasan kolektif menggores luka besar dalam pemerintahan di kota
ini, konflik antar kelompok pemuda di Jalan Dangko memberi bukti bahwa
42
kekerasan antar kelompok dalam bentuk perkelahian bisa saja dialami dan
dilakukan oleh berbagai pihak. Perkelahian antar kelompok tersebut kini di
kota Makassar sudah menyentuh berbagai kalangan.
Belum cukup sampai di situ selain perkelahian antar kelompok warga
yang memang kerap terjadi di wilayah pemukiman padat seperti kecamatan
Makassar tekhusus wilayah Jalan Maccini dan Abu Bakar Lambogo serta
wilayah sekitar areal belakang kampus Universitas Muslim Indonesia (UMI).
Perkelahian antar aparat yang melibatkan pihak kepolisian dan Tentara
Nasional Indonesia (TNI) pernah terjadi pada tahun 2010. Sebuah sajian miris
dan menurut peneliti itu adalah hal wajar ketika faktor-faktor yang
menimbulkan perkelahian kolektif itu telah terpenuhi.
Berikut adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik antar
kelompok pemuda di Jalan Dangko kota Makassar. konflik antar kelompok ini
ditinjau dari motif kejadian:
1. Ketersinggungan Antar Kelompok
Sejarah yang membekas dalam sistem sosial masyarakat
tertentu menjadi salah satu penyebab terjadinya perkelahian antar
kelompok dalam masyarakat kita. Solidaritas kelompok terbangun
dalam pola kehidupan sehari-hari. Interaksi antar warga mulai
membangun kedekatan dengan saling membantu dalam mengerjakan
urusan bersama. Sebuah pemukiman dengan corak masyarakat yang
cenderung homogen di Kelurahan Balang Baru pemukiman padat
43
penduduk dengan tingkat ekonomi yang hampir setara. Pola interaksi
yang terbangun cenderung sangat intim.
Peneliti yang menemukan kondisi ini di areal pemukiman
Rotas dan Dangko tepatnya kelurahan Balang Baru. Penduduk
kelurahan ini yang terbilang cukup padat, walaupun penduduknya
memiliki mata pencaharian yang berbeda-beda namun ikatan sosial
dan kekerabatan tetap terbangun. Ikatan sosial tersebut nampak
terlihat dari pola pergaulan mereka yang berumur di atas 18 hingga 25
tahun. Seringkali bila selepas maghrib beberapa pemuda sudah terlihat
duduk di pinggiran jalan. Hal yang lain pula nampak ketika mereka
mengerjakan beberapa pembangunan sarana penduduk untuk
kepentingan bersama seperti pembangunan polisi tidur, bahkan bila
salah satu penduduk meminta bantuan dari warga sekitar untuk
membantu mengerjakan pembangunan pagar rumah maka dengan
upah seadanya mereka rela untuk membantu penduduk yang meminta
bantuan tersebut.
Kehidupan sehari-sehari penduduk di pemukiman padat
dengan tingkat kemampuan ekonomi menengah ke bawah seperti yang
diceritakan bila mengutip kembali apa yang diutarakan oleh Soerjono
Soekanto tentang kesadaran in group. Maka kesadaran kesamaan
kondisi dengan masyarakat lain dalam areal maupun komunitas
tertentu tadi terbangun dengan sendirinya dan itu akan semakin kuat
bila terdapat tekanan maupun gangguan dari kelompok eksternal.
44
Gangguan yang datang dari kelompok luar tentunya juga memiliki
kondisi yang sama yakni kepemilikan akan solidaritas kelompok
untuk mempertahankan kelompoknya.
Persinggungan antar kelompok bagi masyarakat kota
merupakan hal lazim bagi kelompok Rotas dengan kelompok Dangko.
Bahkan hanya dengan dengungan suara motor yang keras dihadapan
beberapa pemuda yang sedang berkumpul maka perkelahian bisa
langsung terjadi.
“Biasa gara-gara gas motorji, atau pakai kata-kata kotor atau kalautidak saling kenal biasanya berkelahi mi” Ungkap SF salah satuinforman dari kelompok pemuda jalan Dangko.(Wawancara 27 Februari 2014)
Apa yang diungkapkan oleh SF sebagai salah salah satu
anggota kelompok pemuda jalan dangko, Perkelahian di Jalan Dangko
merupakan sebuah kejadian yang berulang-ulang. Masyarakat
kelurahan Balang Baru khususnya warga jalan Rotas dengan warga
Jalan Dangko yang memiliki kepadatan penduduk dan kelompok-
kelompok pemuda pengangguran sangat mudah terpicu konflik
dengan masalah sepele tersebut. Dalam teori Winardi, (2007,
Manajemen Konflik, Konflik Perubahan dan Pengembangan: Bila
salah seorang dari luar kelompoknya memicu amarah, maka kelompok
tersebut biasanya menghadirkan orang tersebut dan bila komunikasi
tidak berjalan baik yang bersangkutan kemudian juga memanggil
45
kelompoknya hingga akhirnya perkelahian antar kelompok pun
terjadi.
2. Dendam Antar Kelompok
Salah satu faktor yang menjadi pemicu timbulnya
perkelahian antar kelompok ialah dendam yang kemudian mengalir
secara turun temurun diantara dua kelompok. Kita ingat saja apa yang
kemudian menjadikan fakultas FISIP dan Teknik di Universitas
Hasanuddin begitu gampang tersulut walau hanya diawali dengan
persoalan yang sangat sepele. Dendam lama yang sudah terawat sejak
puluhan tahun hingga ditandai dengan beberapa peristiwa besar seperti
black september membuat stimulus yang mampu menjadikan
pertikaian dua kelompok terus bergulir hingga saat ini.
Hal serupa juga yang kemudian menjadi faktor pemicu
terjadinya konflik antar kelompok pemuda di jalan dangko dimana
sejak terjadinya pertikaian pertama anatara kelompok pemuda jalan
rotas dengan kelompok pemuda jalan dangko yang terjadi pada tahun
2010 lalu telah menanam embrio dendam anatar kedua kelompok ini
untuk saling memusuhi. Namaun yang menjadikan kondisi semakin
fatal dimana ada beberapa kelompok yang karena telah menanam
dendam lama pada kelompok pemuda di jalan dangko membuat
kelompok tersebut ikut serta membantu kelompok rotas karena
persoalan dendam lama itu terhadap kelompok pemuda jalan dangko.
“Kalau berkelahi biasanya ada bantuan dari luar seperti anak Abdulkadir yang datang membantu anak rotas karena persoalan dendamnya
46
anak Abdul kadir kepada anak dangko” Ungakp MY informan wargajalan dangko.(Wawancara 27 Februari 2014)
Faktor dendam lama pada kondisi diantara kedua kelompok
pemuda ini menunjukkan bukti bahwa belum ada upaya maksimal
untuk menghalangi ritual perkelahian yang terus terjadi. Perbincangan
dengan beberapa pemuda di jalan dangko yang ditengarai oleh
pemerintah kota dalam hal ini Kesbang tentang perkelahian antar
kelompok pemuda jalan dangko ditemukan sebuah kondisi yang
menunjukkan bahwa minuman keras menjadi salah satu motif yang
nampak untuk menimbulkan perkelahian antar kelompok. Untuk kota
besar seperti Makassar, minuman keras merupakan hal yang lazim.
Dalam Teori delinquen (kenakalan), minuman keras pada awalnya
hanya sebagai bahan pengisi waktu senggang untuk melepas penat
dalam kelaziman aktivitas sehari-hari.
Beberapa tempat penjualan minuman keras yang begitu
tersohor di kota ini membuka gerainya selama 24 jam yang kapanpun
bisa diakses oleh para konsumen. Ditambah lagi dengan beberapa
distributor minuman keras yang belum memperoleh izin sangat mudah
untuk didapatkan melalui informasi mulut ke mulut. Jalan batu putih
bagi para pemuda yang biasa menenggak minuman keras tentunya
sudah sangat terkenal. Disana berbagai jenis minuman keras bisa
diperoleh juga dengan beragam harga sesuai kemampuan. Beberapa
pemuda yang bermukim jauh dari jalan batu putih tersebut biasanya
47
hanya mendatangi gerai kecil di sekitar pemukiman mereka. Cara
menemukan gerai tersebut pun sangatlah gampang, cukup dengan
menanyakan gerai kecil yang masih buka hingga dini hari kepada
orang yang berlalu lalang di luar rumah juga pada waktu tersebut.
Penulis mendapatkan data ini dari Kesbang dengan beberapa data
wawancara yang di sinkronkan dengan observasi langsung di
lapangan.
“Kalo kumpul-kumpulmi itu anak-anak pastimi minum itu baru kalomabukmi semua pergimi ugal-ugalan naik motor dan sangat tipiskemungkinan tidak dapat masalah kalo pergimi balap-balap kelurlorong” Ujar HS informan dari jalan Rotas.(Wawancara 28 Februari 2014)
HS yang sejak tahun 90-an sudah mulai menenggak minuman
keras begitu cakap ketika menceritakan berbagai tempat dimana
minuman keras sangat mudah untuk didapatkan. Harga minuman yang
sangat murah menjadi salah satu variabel para pemuda semakin sering
menjadikan minuman keras sebagai alat solidaritas mempertemukan
cerita-cerita mereka. Mengumpulkan uang dari kantong masing-
masing menjadi awal cerita minum, bila uang yang terkumpul tidak
mencapai harga untuk membeli harga beberapa botol minuman yang
memang harganya telah melonjak sekitar tahun 2010, maka ballo’ bisa
menjadi pilihan. Cukup dengan Rp. 5000,- maka sekitar 2 liter ballo’
sudah bisa diperoleh.
Berikut adalah cerita MY salah satu pemuda yang sempat
terlibat konflik pada tahun 2011 tentang bagaimana minuman keras
48
menjadi faktor penyebab perkelahian anatara kelompok pemuda
dijalan dangko:
“Waktu habis minum di depan lorong Jalan Dangko, ada cewek lewatsama pacarnya. Diganggumi toh, memang mabuk itu waktu. Langsungmarah cowoknya. Anak jalan Rotas cowoknya itu. Keluar mi kata-kata kotor toh. Itu cowoknya pergimi panggil temannya anak Rotas.Berkelahi mi orang, adami badiq, kayu dipakai. Tapi tidak adaji yangkena badiq. Pas datang polisi lari semua miki. Tapi kebetulanditangkap ka’ saya sendiri sama polisi waktu itu. Menginap ka’ itumalam di Polsek Tamalte. Waktu itu saya sama anak Dangko sekitar10 orang terus anak Rotas ada mungkin diatas 10 orang. Warga yangkasih tahu polisi itu. Waktu diperiksa, dipaksaka’ sebut teman-temanku tapi tidak kubilang. Dipukuli ka’ sama polisi, disuruhka’ jugabersihkan WC”.(Wawancara 28 Februari 2014)
Minuman keras dari unsur yang terdapat dalam ragam cairan
didalamnya memang menghilangkan kesadaran. Sehingga kadang
tindakan di luar kontrol tersebut keluar dengan sendirinya. Kadang
pula bila sedang ingin melakukan sesuatu yang membutuhkan nyali
ekstra maka biasanya minuman keras digunakan untuk memperbesar
nyali tersebut.
3. Perselisihan Antar Kelompok
Ketika masalah kecil yang bersifat personal dimulai maka
seketika itu pula bantuan datang dalam proses penyelesaiannya. Tetap
pada kesadaran kelompok tadi perselisihan kecil seperti pembangunan
parit di pemukiman penduduk yang harus menyenggol sedikit lahan
pekarangan bisa menjadi embrio konflik. Ataupun persoalan anak
kecil yang kemudian berkelahi. Bagaimana tidak seorang anak
49
berumur sekitar 8 tahun mampu membuat perkelahian antar kelompok
menjadi besar.
Ego yang terbangun untuk saling mempertahankan pendapat
maupun harga diri ataupun siri’ yang disalahgunakan menjadi akar
dari perselisihan personal. Dan kelompoknya pun secara spontan
terbangun kesadarannya. Hampis serupa dengan bagaimana
ketersinggungan kelompok itu terjadi pada faktor yang pertama,
namun yang membedakan persoalan perselisihan lebih mendekati
persoalan personal pada awal kejadiannya.
Ada beberapa alasan mengapa tindak penganiayaan atau
pengeroyokan oleh massa terjadi dalam masyarakat di kota Makassar.
Beberapa petinggi kantor Kesbang mencoba menanggapi akan
beberapa tudingan yang dilayangkan kepada pemerintah kota tentang
keterlambatannya untuk menangani beberapa kasus tertentu. Adapula
tudingan kepolisian setempat yang cenderung memandang remeh
laporan warga bila ditemukan indikasi tindakan kriminal. Kembali
pada sumber penganiayaan atau pengeroyokan. Sebuah tindakan
kriminal seperti pencurian maupun tindak kriminal personal lainnya
tentunya akan sangat meresahkan masyarakat. Biasanya masyarakat
akan menghubungi pihak kepolisian atau mengadakan upaya
pengamanan sendiri seperti membuat pos keamanan lingkungan (Pos
Kamling) dan mengadakan ronda setiap hari dengan jadwal ronda
yang sudah diatur.
50
Berikut hasil wawancara dari SH salah satu pemuda dari jalan
Dangko yang sempat berselisih faham dengan salah satu pemuda dari
jalan Rotas:
“Tepatnya pada malam minggu, kami nongkrong di depan lorong tiba-tiba ada orang yang lewat pake motor knalpot bogar baru na gas-gasdi depan ta, langsungmi saya teriaki (pelan-pelan ko bos kalo naikmotor) dengan suara yang lantang dan saya sempat mengelurkanbahasa kotor. Satu jam kemudian orang itu kembali bersama teman-temannya yang lebih banyak dari jumlah kami pada saat itu dan kamiterlibat tawuran hingga 15 menit polisi datang menghentikan tawuranitu, ujar SH saat wawancara di jalan Dangko”.(Wawancara 28 februari 2014).
Dari hasil wawancara diatas ketika ada kondisi yang
dianggap mengganggu keamanan kampung maka tindak main hakim
sendiri pada pelaku kejahatan yang tertangkap akan terlahir dengan
sendirinya. Pelaku kejahatan tersebut akan mendapat “pidana” versi
kampung setempat. Pelaku kejahatan akan pulang dan melapor pada
kelompoknya ketika apa yang dilakukan oleh kelompok yang telah
memberikan sanksi tersebut tidak diterima. Maka perkelahian antar
kelompok pun kadang terjadi.
Berbeda lagi dengan kondisi pengeroyokan seorang pemuda
yang masuk pada wilayah kelompok tertentu, dari situ pula seorang
pemuda yang bersangkutan akan memanggil kawanya sebagai bentuk
pembalasan dari tindakan kelompok lawan.
Di kota Makassar sudah banyak data mengenai tindak
penganiayaan itu sendiri, baik yang berupa pengeroyokan massa
51
maupun yang berujung pada perkelahian antar kelompok dari
penganiayaan yang berlanjut pada penghadiran massa.
Penulis kemudian mengolah dari data yang ditemukan dari
kantor Kesbang dan akhirnya mengambil kesimpulan mengenai
faktor-faktor apa yang dimiliki oleh sebuah masyarakat untuk
kemudian menanam embrio perkelahian di dalamnya khusunya
konflik di jalan dangko.
C. Tata Kelola Konflik Antar Kelompok Pemuda Di Jalan Dangko Kota
Makassar
Perkelahian antar kelompok tidak begitu mendapat perhitungan. Ketika
sebuah perkelahian hanya terjadi sekali tidak berdampak pada citra buruk
pemerintahan maka perilaku itu dipandang sebagai sesuatu yang tidak
berbahaya. Namun ketika perkelahian dalam sebuah wilayah terjadi berulang
kali dan berujung pada cap buruk pemerintahan yang berkuasa pada wilayah
tersebut barulah perkelahian mendapatkan perhatian.
Pemerintahan pada hakekatnya dibutuhkan untuk menjaga harmonisasi
dalam masyarakat serta lepas dari segala persinggungan internal masyarakat.
Perkelahian dalam faktor penyebab yang telah disimpulkan oleh penulis bisa
diakibatkan oleh beberapa elemen di luar masyarakat itu sendiri. Adanya aktor
luar bisa memicu perkelahian itu terjadi. Bila dilihat dari pola kemiskinan yang
mendera di Kota Makassar, peran pemerintah tentunya tidak lepas dari situ.
Mendistribusikan kekayaan secara adil adalah bagian tugas dari pemerintah
sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakatnya. Namun yang tampak jelas
52
pada kecamatan Tamalate khususnya di Kelurahan Balang Baru dengan rasio
peningkatan. Jumlah penduduk yang tinggi ternyata diikuti dengan jumlah
penduduk miskin dan pengangguruan khususnya pemuda sehingga hal ini
yang mendasari kenakalan remaja dengan membentuk kelompok yang
berlandaskan ego masing-masing sehingga hal ini lah yang akan menjadi
dampak buruk bagi kalangan remaja untuk berselisih paham dengan kelompok
lain sehingga sedikit terjadinya perselisihan akan berujung pada konflik seperti
yang kita saksikan di Jalan Dangko.
Pada bagian ini penulis mengembangkan uraian instrumen wawancara
dan data-data lapangan yang berkaitan dengan pokok permasalahan sehingga
dalam hal ini penulis membagi ruang lingkup pengambilan data baik melalui
wawancara maupun observasi langsung di lokasi penelitian dalam hal ini
penulis memfokuskan koordinasi kepada beberapa instansi yakni kepolisian
dalam hal ini Polrestabes dan Pemerintah Kota Makassar. Penulis tidak
memasukkan lembaga peradilan sebagai representasi yudikasi di negeri ini
mengingat perkelahian antar kelompok sangat sulit untuk diadili karena
banyaknya jumlah orang yang terlibat. Selain itu penulis juga menemukan
adanya jalinan kerjasama antar pemerintah kota dengan pihak kepolisian untuk
bahu membahu menangani kasus perkelahian antar kelompok ini.
Meninjau konflik antar kelompok pemuda yang terjadi di jalan Dangko
menimbulkan sebuah teka-teki dari resolusi penyelesain konflik antar kedua
kelompok yang terlibat dalam konflik tersebut. Tata kelola konflik merupakan
kunci utama untuk mengetahui sejauhmana proses penyelesaian yang telah
53
dilakukan oleh Pemerintah kota Makassar dalam hal ini Kesbang, selaku
instansi yang berfungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban kota agar
potensi-potensi konflik susulan di Jalan Dangko bisa teratasi hingga ke akar
permasalahan.
Sesuai lokus penelitian terkait Tata Kelola Konflik antar kelompok
pemuda dijalan Dangko kota Makassar, terdapat dua lembaga dalam lingkup
pemerintahan kota Makassar yang berhubungan tentang perilaku sosial yang
dicap buruk oleh masyarakat dan pemerintah itu sendiri. Dua lembaga tersebut
ialah kantor kesatuan bangsa (Kesbang) dan Dinas Sosial. Berikut adalah
uraian Tata Kelola yang dilakukan oleh dua lembaga tersebut dalam menangani
perkelahian antar kelompok pemuda di Jalan Dangko.
1. Pendekatan Keamanan
Seperti apa yang telah dipaparkan di atas tentang tugas dan
fungsi Kesbang, tentunya segala program menjaga ketertiban dan
keamanan dalam masyarakat disesuaikan dengan tugas dan
fungsinya. Tugas Kesbang ialah menjaga keamanan dan ketertiban
kota. Sedangkan pola tindakan yang dilakukan lebih dalam
dijelaskan oleh beliau bahwa kantor yang dipimpinnya itu lebih
bersifat konsep dan preventif selanjutnya dalam penerapan di
lapangan terkait Konflik Antar Kelompok Pemuda di Jalan Dangko
merupakan tugas dari kepolisian.
Melengkapi pernyataan diatas, salah satu staf administrasi
di kantor ini berujar bahwa Kesbang juga bertindak memfasilitasi
54
hubungan antar lembaga terkhusus untuk pencapaian ketahanan
internal dalam masyarakat. Selain itu menurutnya Kesbang
merupakan organisasi penegak kewaspadaan nasional, penegakan
hak asasi manusia (HAM) serta upaya ketahanan sosial ekonomi.
Lebih dalam lagi Muchlis S.Sos menyatakan bahwa Kesbang
bertugas untuk mengantisipasi dua bentuk bencana yakni bencana
alam dan bencana sosial.
Lembaga pemerintah di bawah naungan Pemerintah Kota
Makassar ini lebih mengutamakan pola penyampaian konsep
masyarakat damai kepada berbagai elemen serta bersifat investigatif
terhadap potensi konflik yang akan terjadi. Selain itu, program juga
dikhususkan pada beberapa wilayah yang memang dekat dengan
siklus perkelahian antar kelompok.
Namun selain dari program pelatihan dan sosialisasi,
Kesbang juga mengadakan kerjasama dengan beberapa pihak untuk
mewaspadai terjadinya tindak perkelahian sebelum konflik itu
terjadi. Oleh karena itu Kesbang bersama lembaga kepolisian
(Polrestabes), bahu membahu mengupayakan cara penanganan kasus
konflik antar kelompok pemuda di jalan dangko. Adapun upaya yang
dilakukan pihak Kesbang terkait Tata Kelola konflik antar kelompok
pemuda di Jalan Dangko dikategorikan menjadi dua yakni upaya
preventif dan investigasi:
55
a. Upaya Preventif dan Pasca Kejadian
Penulis menyebutnya dengan istilah preventif karena
program yang akan dijabarkan berikut bersifat mendahului sebelum
terjadinya sebuah perkelahian. Selain itu, pada kategori program ini
dimasukkan pula beberapa program dari upaya preventif untuk
menjaga konflik tersebut untuk tidak terjadi lagi:
Sosialisasi regulasi
Kegiatan ini dilakukan ketika turunnya sebuah
kebijakan dalam bentuk regulasi hukum yang mengatur dan
bersinggungan dengan keamanan dan ketertiban masyarakat.
Konflik antar kelompok pemuda di Jalan Dangko jelas terkait di
dalamnya, sebagai representase regulasi hukum yang telah
disosialisasikan dapat menjadi penekanan bagi kedua kelompok
yang terlibat konflik di Jalan Dangko.
Dalam mengadakan program ini, pihak Kesbang tidak
mengadakan kerja sama dengan pihak manapun, pihak luar
hanya dibutuhkan sebagai pembicara dalam diskusi saat
diadakannya sosialisasi regulasi.
Tujuan dari kegiatan ini adalah memberikan upaya
pemahaman peraturan kepada masyarakat. Sementara bentuk
kegiatan sosialisasi regulasi ini menyerupai seminar dengan
menghadirkan peserta sesuai dengan keterkaitan jenis regulasi
yang disosialisasikan. Beberapa organ maupun yang bersifat
56
personal pernah ikut dalam proses sosialisasi ini diantaranya
ormas keagamaan, tokoh masyarakat, kelompok pemuda,
pejabat pemerintahan hingga tingkatan terendah ataupun
masyarakat yang diundang untuk mengadiri acara tersebut.
Pembinaan Teknis Resolusi Konflik
Inilah satu-satunya kegiatan yang berbentuk seremonial
yang diadakan oleh kantor Kesbang khusus untuk menangani
masalah konflik antar kelompok pemuda di jalan dangko.
Kegiatan yang disingkat dengan Bintek resolusi konflik ini
bertujuan agar kiranya perserta kegiatan dalam bentuk seminar
sehari ini pada garis besarnya mampu meredam konflik yang
timbul di masyarakat.
b. Upaya investigasi
Kategori kedua program yang dilaksanakan oleh Kesbang
ini merupakan program kerja sama dengan Polrestabes Makassar.
Bersama institusi ini Kesbang mengadakan pola investigasi ketika
konflik telah terdapat di permukaan. Dengan kerja intelijen konflik
yang terlihat di lapangan itu sebisa mungkin dikendalikan sebelum
meledak pada perkelahian.
Dari kedua lembaga ini pun melalui Kesbang mampu
mengumpulkan data pelaku konflik dilengkapi dengan motif serta
dalang perkelahian. Dalam proses pengerjaannya bagi institusi
selain Kesbang yang lebih dulu menemukan potensi konflik maka
57
akan segera melaporkannya kepada Pemerintah Kota dalam hal ini
Kesbang. Selanjutnya bila potensi konflik tersebut meledak maka
Pemerintah Kota membawa laporan kepada pihak kepolisian untuk
segera mengadakan penangkapan atau pun pengamanan.
“Karena intelijen tidak bisa menangkap, maka itu dilaporkan kepihak yang berwajib ,kepada pihak kepolisian” ujar Muchlis S.Sosstaf Linmas Kesbang Kota Makassar.(Wawancara 21 Februari 2014)
2. Pendekatan Demokratis
Berbicara tentang Pendekatan Demokratis yang di arahkan ke
rana Tata Kelola Konflik antar Kelompok Pemuda di Jalan Dangko
Kota Makassar menjadi suatu hal yang sangat krusial sebab kondisi
rill d lokasi penelitian, Kelurahan Balang Baru dalam hal ini kedua
wilayah yang terlibat konflik yakni Kelompok Pemuda Jalan Rotas
dan Kelompok Pemuda Jalan Dangko hampir nihil tidak terciptannya
Demokratisasi antar Kelompok itu disebabkan karena kurangnya
perhatian Pemerintah setempat khusunya dalam bidang pemberdayaan
dan pengembangan Sumber Daya Manusia dan kegiatan-kegiatan
yang sifatnya mampu mempererat tali silahturahmi antara kelompok-
kelompok pemuda yang ada di Balang Baru.
Perkelahian antar kelompok pemuda kerap terjadi di
Kelurahan Balang Baru karena tidak terciptanya Demokratisasi dan
tingginya angka pengangguran, anak terlantar karena putus sekolah.
Secara tidak langsung menangani persoalan perkelahian antar
58
kelompok namun Dinas Sosial ternyata mengurusi pelaku tindak
kriminal yang juga merupakan pelaku tindak perkelahian antar
kelompok di masyarakat. Dinas Sosial kemudian menggolongkan
beberapa kategori anak yang dianggap terlantar dan nakal. Setidaknya
pada pembahasan ini kita dapat mengetahui bahwa pelaku dari konflik
antar kelompok pemuda di jalan dangko kota Makassar.
“Anak-anak SMP biasa, diatas 25 tahun itu jarang mi pelakunya, danrata-rata itu tidak sekolah” Ujar A.M warga Balang Baru yang ditemuidi kediamannya.(Wawancara 23 Februari 2014)
Berikut wawancara dari salah satu staf Dinas Sosial tentang
anak mana saja yang dikategorikan sebagai anak terlantar dan anak
nakal.
“Anak terlantar menurut A. Taty sebagai salah satu staf di DinasSosial Kota Makassar yang ditemui di ruang kerjanya ialah anakdibawah umur 18 tahun yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnyaseperti sandang maupun pangan. Sedangkan menurutnya pula anaknakal ialah mereka yang juga berumur dibawah delapan belas tahunuang sering terlibat dalam tindak kriminal atau berpotensi melakukantindak kriminal”.(Wawancara 25 Februari 2014)
Pada petunjuk teknis pelaksanaan masalah sosial anak nakal
yang menjadi bahan rujukan Dinas Sosial Kota Makassar dalam
pembuatan program pembinaan terhadap anak nakal, disitu dinyatakan
bahwa anak nakal ialah anak yang berperilaku menyimpang dari
norma-norma masyarakat, mengganggu ketertiban namun masih
dibawah kategori yang dapat dituntut secara hukum.
59
3. Pendekatan Rekonsiliasi
Dalam menangani biang masalah sosial yaitu konflik
pemuda, Pendekatan Rekonsiliasi dilakukan dalam bentuk
Rehabilitasi Pelayanan Sosial Kenakalan Anak Dan Remaji.
Rehabilitasi sosial sendiri dalam pengertiannya merupakan proses
pemulihan harga diri, kesadaran, serta tanggung jawab sosial pelaku
kenakalan sehingga terbebas dari perbuatan kenakalan secara wajar.
Sedangkan kenakalan remaja ialah perilaku remaja yang menyimpang
atau melanggar nilai-nilai atau norma-norma masyarakat. Dinas Sosial
dengan kegiatan ini bertujuan untuk memulihkan kondisi psikologi
dan kondisi sosial serta pulihnya fungsi kualitas sosial remaja
sehingga mereka dapat hidup wajar di masyarakat serta menjadi
sumber daya manusia yang berguna produktif dan berkualitas tinggi.
Jadi pada dasarnya kegiatan ini dibuat untuk mereka anak nakal dan
remaja yang dianggap berpotensi melakukan atau telah melakukan
tindakan kriminal termasuk salah satunya tindak perkelahian antar
kelompok yag sering mereka lakukan.
Orang tua serta lingkungan sosial mereka juga diikutkan
dalam program ini seperti lingkungan sebaya, lingkungan sekolah atau
pekerjaan dan keluarga serta tetangga. Untuk mereka anak nakal dan
remaja yang dilibatkan dalam proram ini lebih sering disebut dengan
istilah korban. Oleh karena itu bisa dianalisa bahwa ada yang menjadi
penyebab kerusakan nilai sosial dan mental mereka.
60
Keseluruhan rangkaian proses rehabilitasi ini terdiri atas 6
tahapan yang harus dilalui berikut tahapannya:
a. Tahap pendekatan awal
Ini merupakan awal dari program rehabilitasi pada
bagian ini akan diawali dengan orinetasi dan konsultasi yang
melibatkan Pemerintah Kota Makassar, Dinas Sosial itu
sendiri, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Departemen
Agama, Departemen Kehakiman, Departemen Tenaga Kerja,
perguruan tinggi di Makassar, Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), tokoh masyarakat serta orang tua anak yang
bersangkutan. Tahap ini menjadi tahap proses pencarian
dukungan dan bantuan dari Pemerintah Kota dan lembaga
terkait. Setelah mendapatkan dukungan maka mulailah
dengan tahap mengidentifikasi calon korban yang akan
direhabilitasi.
“Data diambil dari kepolisian, bila belum ada maka ada stafyang diutus, tenaga kesejahteraan sosial kecamatan (TKSK)untuk mengambil data di kelurahan”ujar Andi Taty salah satustaf Dinsos Kota Makassar.(Wawancara 25 Februari 2014)
Data yang sudah didapatkan kemudian dianalisa dan
dikelompokkan, setelah itu barulah kunjungan tehadap rumah
korban/klien dilakukan selain itu ada pula observasi
dilakukan terhadap lingkungan tempat tingal korban.
Menemui calon korban/klien tentunya ditemukan beberapa
61
kendala diantaranya keengganan calon klien untuk mengikti
program rehabilitasi. Maka biasanya akan dilakukan upaya
motivasi dan penyadaran bagi calon klien, misalnya dengan
menemui secara langsung atupun berbicara dengan orang tua
mereka.
b. Tahap Penerimaan
Pada tahap ini klien yang sudah diidentifikasi maka
akan melalui proses registrasi dan pengungkapan masalah
yang diderita. Diantara informasi yang biasanya dicari oleh
Dinas Sosial antara lain mengenai tingkah laku sehari-hari
klien, pergaulan dengan rekan sebaya, keadaan keluarga
dengan keadaan lingkungan. Banyak cara yang digunakan
untuk mengetahui informasi-informasi tersebut dari para
anak/remaja nakal yang sudah didaftarkan masuk dalam
program rehabilitasi, dua diantaranya seperti dengan
wawancara atau mengunjungi langsung kediaman
anak/remaja tersebut.
c. Tahap Assesment
Barulah setelah mendapatkan informasi maka
anak/remaja tersebut akan diwawancarai untuk mengetahui
latar belakang masalah sosial yang dialami. Selain itu pula
akan digali informasi mengenai bakat, potensi-potensi yang
dimiliki, kemampuan dan renacana masa depan mereka.
62
Dinas Sosial menyediakan panti khusus untuk prgram
rehabilitasi ini untuk menampung para anak/remaja nakal.
Disanalah mereka selanjutnya akan mendapatkan rehabilitasi
sosial.
d. Tahap Pembinaan dan bimbingan sosial
Pembinaan yang dimaksud lebih mengarah pada
pembinaan fisik. Anak/remaja tersebut akan dibina untuk
kembali pulih kesehatan dan kesegaran jasmaninya. Biasanya
mereka yang mendapatkan pembinaan seperti ini adalah
anak/remaja yang pernah terlibat dalam praktek minum-
minuman keras atau mengkonsumsi obat-obat terlarang.
Selain pembinaan fisik para peserta yang telah ditampung
akan mendapatkan bimbingan mental, psikologis, agama dan
sosial. Untuk pembinaan keagamaan Dinas Sosial yang sudah
bekerja sama dengan Departemen Agama akan
mendatangkan tokoh-tokoh agama dari anggota masyarakat
atau organisasi sosial keagamaan.
Ada pula pembelajaran yang diberikan sehingga
para peserta mau bertingkah lau yang baik dan kembali
memainkan peran sosialnya secara wajar serta kembali
berbaur dengan anggota keluarga yang lain dan
masyarakatnya.
63
Mereka pun akan diberikan pelatihan keterampilan
seperti keterampilan usaha dan bagi mereka yang berumur
sekolah akan disekolahkan dengan harapan masa depan
mereka akan kembali cerah.
e. Tahap resosialisasi/Integrasi
Pada tahap kelima ini Dinas Sosial dengan program
rehabilitasi ini akan meminta kesiapan keluarga, sekolah dan
masyarakat untuk menerimanya kembali para anak/remaja
yang sudah melalui proses pembinaan. Harapannya semua
lembaga sosial tersebut akan membantu proses integrasi
anak/remaja sehingga timbul kepercayaan dirinya serta
tanggung jawab sosial. Dalam masyarakat, kiranya akan
menerima mereka dengan wajar sebagai manusia yang tidak
lagi bermasalah.
f. Tahap rujukan dan pembinaan lanjut
Ini merupakan tahap terakhir pada tahap ini
diharapkan para peserta rehabilitasi telah mantap dari segi
kesembuhan sehingga tidak akan kembali lagi menjadi nakal.
Pada tahap ini para peserta yang telah dipulangkan akan
dikunjungi secara berkala untuk melihat apakah klien telah
mampu mandiri dan telah mampu melaksanakan fungsi
sosialnya dalam tatanan kehidupan dan penghidupan
masyarakat.
64
Berikut diatas tahapan kegiatan dalam progrm
rehabilitasi oleh Dinas Sosial, kegiatan yang biasa
dilaksanakan dalam jangka waktu 6-12 bulan ini mendapat
dana dari Pemerintah Kota Makassar melalui alokasi APBD.
Tiap tahunnya Dinas Sosial akan memasukkan nama, alamat
serta masalah yang bersangkutan untuk direhabilitasi.
Selanjutnya pendanaan akan keluar sesuai dengan pendanaan
yang diminta.
“Tiap tahun ada pembahasan konsep program untukmengambil dana APBD dengan melengkapi by the name, theaddress dan by problem” Ujar Andi Taty.(Wawancara 25 Februari2014)
Dari uraian di atas jelas digambarkan bahwa Tata
kelola konflik antar kelompok pemuda di jalan dangko sudah
menjadi tanggung jawab pemerintah kota melalui instansi
yang memang konek dengan persoalan penangan konflik
yakni Kesatuan Bangsa (Kesbang) dan Dinas Sosial. Tata
Kelola yang dilakukan oleh kedua instansi tersebut sudah
nampak jelas berdasarkan porsi masing-masing berbagai
macam konsep yang sudah terealisasi seperti yang telah
dilakukan pihak Kesbang yaitu upaya preventif pasca konflik
dan investigasi guna untuk mengcounter potensi-potensi
konflik susulan dengan mengarahkan sasaran ke lokasi
konflik termasuk pelaku dan korban konflik sedangkan
konsep yang di realisasikan pihak Dinas Sosial adalah dengan
65
merealisasikan konsep Pelayanan Rehabilitasi Sosial
Kenakalan Anak dan Remaja juga melakukan sosialisasi
regulasi hukum tentang Konflik dalam bentuk seminar dan
pesertanya langsung diambil dari warga Balang Baru
khususnya kelompok-kelompok pemuda yang terindikasi
baik yang terlibat maupun yang berpotensi terlibat dalam
konflik tersebut.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik antar kelompok
pemuda di Jalan Dangko, peneliti kemudian mengambarkan kesimpulan dari
penelusuran pustaka sesuai dengan kerangka pikir adalah:
1. Ketersinggungan antar kelompok
Untuk mencegah ketersinggungan antar kelompok maka perlu
dilakukan konsiliasi, resolusi ini terwujud dengan pelibatan lembaga-
lembaga tertentu yang memungkinkan munculnya urung rembuk dalam
pihak yang bertikai. Dimungkinkan dari sini akan terlihat pengambilan
keputusan pemerintah kota atau setidaknya bagian terkecil dalam hal ini
pemerintah kelurahan balang baru hingga tingkatan tokoh masyarakat
yang merupakan lembaga paling cocok untuk memainkan peran ini
guna untuk menghindari terjadinya ketersinggungan antar dua
kelompok.
2. Dendam antar kelompok
Dendam antar kelompok merupakan salah satu indikasi vital terjadinya
konflik yang berkepanjangan sehingga dalam hal ini perlu diadakan
pertemuan antar kelompok yang terlibat konflik dalam suatu wadah
untuk sepakat berdamai dan tidak akan melahirkan konflik susulan
melalui jalur litigasi, kemudian melibatkan pihak yang sama sekali
tidak memiliki kapasitas pelaksanaan hukum formal.
67
3. Perselisihan antar kelompok
Perselisihan antar kelompok pemuda yang terlibat konflik di Jalan
Dangko sangat diperlukan adanya mediasi pihak ketiga sebagai bagian
yang melihat konflik dengan kacamata berimbang sangat berguna untuk
memunculkan win-win solution. Untuk ini juga sebaiknya diperankan
oleh pemerintah kota tanpa harus memperlambat langkah dengan
memainkan struktur pemerintahan terdekat dari wilayah konflik. Pada
solusi ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk
menerima hadirnya pihak ketiga yang akan memberikan keputusan-
keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang diantara mereka.
Pertikaian antar kelompok yang dikatikan dengan suku, agama, ras, dan
antar kelompok merupakan konflik yang sangat gampang untuk terulang di
tempat yang sama. Dari pembahasan hasil penelitian, peneliti kemudian
menjabarkan Tata Kelola Konflik Pemuda dengan Indikator:
1. Pendekatan Keamanan
Pendekatan Keamanan merupakan suatu pendekatan yang harus bersifat
dinamis guna untuk memperkecil terbukanya keran-keran konflik.
Pemerintah Kota Makassar dalam hal ini Kesbang lebih mengutamakan
pola penyampaian konsep masyarakat damai kepada berbagai elemen
serta bersifat investigatif terhadap potensi konflik yang akan terjadi.
Selain itu, program juga dikhususkan pada beberapa wilayah yang
memang dekat dengan siklus perkelahian antar kelompok. Kesbang juga
mengadakan kerjasama dengan beberapa pihak untuk mewaspadai
68
terjadinya tindak perkelahian sebelum konflik itu terjadi. Oleh karena itu
Kesbang bersama lembaga kepolisian (Polrestabes), bahu membahu
mengupayakan cara penanganan kasus konflik antar kelompok pemuda
di jalan dangko
2. Pendekatan Demokratis
Pendekatan Demokratis yang di arahkan ke rana Tata Kelola Konflik
antar Kelompok Pemuda di Jalan Dangko Kota Makassar menjadi suatu
hal yang sangat krusial sebab kondisi rill d lokasi penelitian, Kelurahan
Balang Baru dalam hal ini kedua wilayah yang terlibat konflik yakni
Kelompok Pemuda Jalan Rotas dan Kelompok Pemuda Jalan Dangko
hampir nihil tidak terciptannya Demokratisasi antar Kelompok itu
disebabkan karena kurangnya perhatian Pemerintah setempat khusunya
dalam bidang pemberdayaan dan pengembangan Sumber Daya Manusia
dan kegiatan-kegiatan yang sifatnya mampu mempererat tali
silahturahmi antara kelompok-kelompok pemuda yang ada di Balang
Baru
3. Pendekatan Rekonsiliasi
Dalam menangani biang masalah sosial yaitu konflik pemuda,
Pendekatan Rekonsiliasi dilakukan dalam bentuk Rehabilitasi Pelayanan
Sosial Kenakalan Anak Dan Remaji. Rehabilitasi sosial sendiri dalam
pengertiannya merupakan proses pemulihan harga diri, kesadaran, serta
tanggung jawab sosial pelaku kenakalan sehingga terbebas dari
perbuatan kenakalan secara wajar. Sedangkan kenakalan remaja ialah
69
perilaku remaja yang menyimpang atau melanggar nilai-nilai atau
norma-norma masyarakat.
Dari ketiga pendekatan diatas peneliti kemudian melakukan analisis
terkait pendekatan yang paling mendominasi resolusi konflik pemuda di Jalan
Dangko. Konstalasi konflik di Jalan Dangko sangat membutuhkan Pendekatan
Rekonsiliasi dari seluruh kalangan, baik itu tokoh maupun kelompok pemuda
yang ada di kelurahan Balang Baru khususnya pemuda Jalan Rotas dan
Pemuda Jalan Dangko yang merupakan aktor dari konflik yang terjadi di Jalan
Dangko.
Sesungguhnya, di balik berulangnya tindak kekerasan perkelahian
massa tersimpan persoalan yang sangat pelik. Itu menunjukkan bahwa sebuah
wilayah telah kehilangan modal sosial, nilai kemasyarakatan yang dianut,
musyawarah dan toleransi antar sesama yang diakui sebagai perekat nilai
kebangsaan kita. Maka dari itu Rekonsiliasi sangat bermanfaat bagi kalangan
pemuda yang ada di Balang Baru, sebab dengan Rekonsiliasi mereka merasa
bahwa perhatian pemerintah kepada mereka selaku regenerasi penerus bangsa
itu sangat prihatin melihat kondisi yang kerap sekali terjadi sehingga perlu di
adakan Rekonsiliasi guna untuk lebih mempererat tali silaturrahmi antar
sesama pemuda Kelurahan Balang Baru khususnya Pemuda Jalan Rotas dan
Pemuda Jalan Dangko.
B. Saran-saran
1. Pemerintah Kota Makassar khususnya kelurahan Balang Baru yang
bertugas melindungi dan mengayomi warga ternyata belum dapat
70
menemukan solusi yang pas dalam menangani perkelahian antar
kelompok pemuda di Jalan Dangko. Pemerintah Kota Makassar
khususnya Kelurahan Balang Baru seharusnya melakukan rekonsiliasi
dengan beragam kegiatan yang bersifat mempererat tali silahturahmi
antar sesama kelompok pemuda yang terlibat konflik di Jalan Dangko
guna untuk menjaga harmonisasi antar sesama kelompok pemuda serta
lepas dari segala persinggungan internal antar kelompok pemuda.
2. Penegakan hukum dalam hal ini Kepolisian seharusnya meningkatkan
pengamanan di segala sektor yang berpotensi terjadinya konflik
khususnya daerah-daerah yang menjadi tempat nongkrong kelompok-
kelompok pemuda.
DAFTAR PUSTAKA
Budi Hardiman, Memahami akar-akar kekerasan massa, 28 Juli 2008 Warta TitianDamai, Februari 2009.
Hersey, Blanchard.,1992.Manajemen Perilaku Organisasi, PendayagunaanSumber Daya Manusia.PT. Gelora Aksara Pratama: Jakarta.
Kartini, Kartono.,2010. Kenakalan Remaja (Patologi sosial 2). Rajawali Press.Jakarta.
Koentjaraningrat., 2003 Pengantar Antropologi I, Rieneka Cipta, Jakarta.
Lawang, Robert M Z.,1985. Pengantar Sosiologi, PT. Karunika Universitasterbuka, Jakarta.
Mifta Thoha.,2010.Perilaku Organisasi, Konsep Dasar dan Aplikasinya. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Nimran Umar.,2009. perilaku organisasi. Penerbit laros: Malang.
Pedoman Penulisan Proposal dan Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik.,2013. Citra Fotocopy: Makassar.
Ritzer dan Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern. Kencana: Jakarta
Soekanto, Soerjono.,1982. Memperkenalkan Sosiologi, PT. Raja GrafindoPersada, Jakarta.
Soekanto, Soerjono.,2007. Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta.
Sopiah.,2008.Perilaku Organisasi.C.V Andi Offset: Yokyakarta.
Sugiyono., 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta:Bandung.
Suharto, Edy., 2009.Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat; RefikaAditama. Bandung.
Susan,Novri.2012.Negara Gagal Mengelola Konflik.Penerbit PustakaPelajar:Jogyakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 Tentang PenangananKonflik Sosial, Citra Umbara: Bandung, 2012.
William Hendricks.,2012. Bagaimana Mengelolah Konflik, Petunjuk PraktisUntuk Manajemen Konflik Yang Efektif. Bumi Aksara: Jakarta.
Winardi.,2007. Manajemen Konflik, Konflik Perubahan dan Pengembangan. CV.Mandar Maju: Bandung.
Internet:
Anonim,2013.Ruang dan Konflik Wilayah Cerita dari Enam Desa.Diakses padatanggal 22 Juli 2013.http://csps.ugm.ac.id/Ruang-dan-Konflik-Wilayah-Cerita-dari-Enam- Desa.html.
Anonim,2013. Manajemen Konflik Cara Mengelola Konflik Secara Efektif.Diakses pada tanggal 22 Juli 2013.http://rajapresentasi.com/2009/05/manajemen-konflik-cara-mengelola-konflik-secara-efektif.