Entomologi forensik (referat)

download Entomologi forensik (referat)

of 10

Transcript of Entomologi forensik (referat)

Pendahuluan Perkiraan saat kematian dalam suatu kasus forensik adalah hal yang penting. Dalam ilmu kedokteran, memperkiraan saat kematian tidak dapat dilakukan dengan 1 metode saja, gabungan dari 2 atau lebih metode akan memberikan hasil perkiraan yang lebih akurat dengan rentang bisa yang lebih kecil. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah interpretasi aktifitas serangga (entomologi forensik). Menurut catatan sejarah, bangsa Cina sudah mulai mengembangkan teknik pemeriksaan mayat menggunakan serangga pada abad ke-12. Pada perkembangannya, kelompok-kelompok serangga yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi umur mayat berasal dari ordo Diptera, Coleoptera, Hymenoptera (terutama semut), dan beberapa Lepidoptera. Serangga-serangga tersebut dikatakan dapat menentukan waktu kematian mayat dengan lebih tepat berbanding metode lain. Cabang entomologi forensik memanfaatkan pengetahuan, adanya binatang yang langsung menyerbu mayat sesaat setelah meninggal. Faktor penariknya dapat berupa darah atau protein yang dikeluarkan oleh mayat. Misalnya, ada jenis lalat yang langsung bertelur pada luka terbuka atau organ tubuh terbuka lainnya, segera setelah seseorang meninggal. Namun, terdapat juga lalat jenis lainnya yang menunggu sampai mayat agak membusuk untuk bertelur. Larva lalat itu dengan cepat menetas menjadi belatung, dan memakan daging mayat. Dalam kondisi tertentu belatung mampu memakan habis daging dalam waktu hanya beberapa hari, misalnya jika cukup sinar matahari, cuaca hangat atau kelembaban cukup. Para ahli forensik entomologi biasanya memeriksa mayat korban pembunuhan, dengan mengambil makhluk hidup yang ada pada mayat tersebut. Belatung, lalat atau telur lalat atau kumbang dikumpulkan dan dianalisis di laboratorium. Pembagian serangga yang ditemukan pada entomologi forensik: a. Nekrofagus : serangga yang memakan jaringan tubuh mayat b. Predator-parasit : serangga yang memakan serangga nekrofagus c. Omnivor : serangga yang memakan jaringan tubuh mayat dan serangga lain

1

Kelompok nekrofagus merupakan kelompok serangga yang paling penting dalam membantu perkiraan waktu kematian. Segera setelah kematian, serangga tertentu akan mendatangi, memakan dan berkembang biak pada mayat. Definisi Entomologi adalah cabang sains yang mengkaji mengenai serangga. Berasal dari bahasa Latin - entomon bermakna serangga dan logos bermakna ilmu pengetahuan. Entomologi merupakan ilmu yang menjadi dasar bagi ilmu-ilmu lain yang memberikan data awal mengenai karakteristik, bentuk kehidupan, dan bermacam pengetahuan lain mengenai serangga yang selanjutnya dapat digunakan untuk menunjang ilmu lain dalam memanfaatkan keberadaan serangga. Entomologi forensik adalah aplikasi ilmu serangga yang memfokuskan kajian pada penyelidikan kematian manusia dengan menggunakan serangga sebagai petunjuk. Entomologi forensik mengevaluasi aktifitas serangga dengan berbagai teknik untuk membantu memperkirakan saat kematian dan menentukan apakah jaringan tubuh atau mayat telah dipindah dari suatu lokasi ke lokasi lain. Entomologi tidak hanya bergelut dengan biologi dan histologi artropoda, namun saat ini entomologi dalam metode-metodenya juga meliputi ilmu lain seperti kimia dan genetika. Dengan penggunaan pemeriksaan dan pengidentifikasi DNA pada tubuh serangga dalam entomologi forensik, maka dapat memungkinkan untuk mengidentifikasi jaringan tubuh atau mayat seseorang melalui serangga yang ditemukan pada tempat kejadian perkara. Tujuan entomologi forensik 1. Menentukan waktu dan lama kematian 2. Menentukan apakah mayat telah dipindahkan dari lokasi pembunuhan 3. Menentukan keterlibatan obat atau bahan toksik dalam kematian

2

A. Menentukan waktu dan lama kematian Penentuan waktu kematian dapat dilakukan dengan mengidentifikasi umur serangga maupun telur yang ada pada mayat, sehingga para patologis dapat memperkirakan dengan lebih tepat waktu kematian mayat tersebut. Asumsi pokok bahwa mayat manusia yang masih baru belum dikerumuni serangga dan serangga tersebut belum berkembang dalam mayat. Dengan demikian umur serangga yang semakin tua beserta telur yang ditemukan pada mayat dapat dijadikan dasar perkiraan interval post-mortem minimum. Untuk mengetahuinya, dapat digunakan 2 metode yaitu: a. Using successional waves of insects Metode ini adalah melihat lama waktu kematian dengan mengidentifikasi serangga yang ada pada mayat tersebut. Hal ini dapat dilakukan karena ada jenis serangga yang menyukai mayat yang masih baru, namun ada juga serangga yang menyukai mayat yang sudah membusuk, salah satunya Piophilidae yang datang ke mayat setelah terjadi proses fermentasi. Secara kronologis, jika ada mayat yang mati dan masih baru, serangga yang menyukainya akan langsung menuju mayat tersebut, melakukan reaksi enzimatis pada mayat tersebut (dapat berupa proses fermentasi) dan apabila sudah selesai, maka gelombang serangga yang berikutnya akan datang, dan melakukan reaksi enzimatis pula, begitu seterusnya.

b. Using maggot age and development Dengan adanya telur, larva, pupa, maupun imago pada mayat tersebut, dapat diketahui berapa lama waktu meninggal pada mayat tersebut, karena pada serangga, tiap perubahan dari satu fase ke fase lain mempunyai waktu-waktu tertentu yang pasti, sehingga dapat mengidentifikasi mayat dengan metode tersebut. Walau tetap terdapat kemungkinan tidak akurat karena adanya berbagai faktor, salah satunya perpindahan yang menyebabkan perbedaan suhu yang berimbas pada metabolisme perkembangbiakan serangga tersebut.

3

B. Menentukan apakah mayat telah dipindahkan dari lokasi pembunuhan Untuk menentukan apakah suatu mayat telah dipindahkan dari lokasi pembunuhan yang sebenarnya dapat dilakukan dengan mengidentifikasi serangga yang terdapat pada mayat dan dibandingkan dengan serangga serupa yang terdapat di sekitarnya. Identifikasi terutama secara molekular akan diperoleh data apakah serangga yang terdapat pada mayat berasal dari daerah tempat mayat tersebut ditemukan atau berasal dari tempat lain, karena pada dasarnya bahkan serangga yang sejenis dapat memiliki variasi genetik yang berbeda antara lokasi satu dengan yang lain. C. Menentukan keterlibatan obat atau bahan toksik terhadap kematian Pertama terjadi dekomposisi jaringan lunak dan setiap bukti toksikologi hilang bersama jaringan lunak tersebut. Apabila mayat terlambat ditemukan, dan sudah tidak ada lagi jaringan lunak yang bisa dijadikan sampel, terdapat cara lain untuk menguji obat atau toksin. Serangga yang didapat pada mayat mungkin mengandung bahan toksikologi yang diperlukan untuk menyelesaikan kasus itu. Contoh Family Lalat dan Kumbang

Lalat Family Calliphoridae: Blow Flies Family Sarcophagidae: Flesh Flies Family Muscidae: Muscid Flies Family Piophilidae: Skipper Flies Family Scathophagidae: Dung Flies Family Sepsidae: Black Scavenger Flies Family Sphaeroceridae: Small Dung Flies and Minute Dung Flies Family Stratiomyidae: Soldier Flies Family Phoridae: Humpbacked Flies or Scuttle Flies Family Psychodidae: Moth Flies, Sand Flies and Owl Midges4

Kumbang Family Silphidae: Carrion Beetles Family Dermestidae: Skin Beetles, Leather Beetles, Hide Beetles, Carpet Beetles and Larder Beetles Family Staphylinidae: Rove Beetles Family Histeridae: Clown Beetles Family Cleridae: Checkered Beetles Family Trogidae: Hide Beetles Family Scarabaeidae: Scarab Beetles Family Nitidulidae: Sap Beetles

Siklus hidup serangga

Setiap jenis serangga yang berkembang biak pada mayat, menggambarkan tahapan waktu dari mulai meninggalnya korban. Ibaratnya jam yang dapat dilacak dan diketahui, kapan titik nolnya. Dengan begitu perkiraan waktu kematian dapat ditegakkan dengan akurat, dalam kisaran ketepatan beberapa jam. Dua jenis serangga yang pertama mendatangi mayat adalah Blow flies (Calliphoridae) dan flesh flies (Sarcophagidae). Blow flies mendatangi mayat dengan hanya melalui bau walaupun dari jarak jauh sekitar beberapa menit sehingga beberapa jam setelah kematian. Tetapi blow flies tidak mendatangi mayat yang sudah mengalami mumifikasi dan pengeringan.

Blow flies Pada tahap awal, sekitar 23 jam, telur menetas menjadi larva berupa belatung yang kerjanya hanya makan. Sekitar 27 jam kemudian, belatung memasuki tahapan kedua dan mulai menyiapkan diri untuk menjadi kempompong. Belatung tahapan kedua ini umurnya sekitar 50 jam, setelah itu memasuki tahapan ketiga, dengan kesiapan menjadi kepompong bertambah matang. Tahapan ketiga ini umurnya sekitar 72 jam. Tahapan selanjutnya belatung menjadi kepompong. Pada tahapan ini diperlukan waktu sekitar 273 jam untuk menetas menjadi lalat.

5

Seekor lalat dewasa di sekitar mayat korban pembunuhan, dipastikan sudah berumur sekitar 500 jam. Jadi jika dalam penelitian ditemukan belatung pada fase akhir tahap ketiga misalnya, berarti korban sudah meninggal sekitar 160 jam atau sekitar seminggu. Dengan mengetahui identitas lainnya dari korban, dapat dilacak dimana seminggu lalu terakhir kali ia berada, bersama siapa atau melakukan apa. Jika semua daging pada mayat sudah habis dimakan belatung, penelitian kerangka manusia dari sudut ilmu forensik entomologi masih dapat dilakukan. Para pakar mengatakan, semua proses kegiatan serangga atau binatang lainnya pasti meninggalkan jejak. Misalnya cangkang kepompong dan kulit luar lainnya. Dengan meneliti sisa-sisa serangga tadi, para pakar forensik entomologi masih dapat menentukan umur kerangka bersangkutan. Pakar ilmu forensik entomologi dari AS, William Rodriguez mengatakan, terdapat pola khas dari pembusukan mayat. Pola khas ini jika dikaitkan dengan fase perkembangan serangga yang juga khas pada mayat, akan mampu menunjukkan saat kematian. Misalnya saja lalat yang biasa berkerumun di tempat sampah, memerlukan waktu metamorfosa sekitar 500 jam untuk menjadi lalat sempurna. Itupun dalam kondisi ideal, yakni suhu rata-rata 23 derajat Celsius dan kelembapan cukup.6

Penelitian Jiron dan Cartin (1981) pada bangkai anjing menjelaskan bahwa kelompokkelompok serangga tertentu akan muncul pada tahap-tahap pembusukan bangkai. 1. Pada tahap pertama, disebut discoloration stage (berlangsung selama kurang lebih 3-4 hari), muncul serangga semut (Camponotus sp.), lalat muscoid, lalat sarcophagid, lalat drosophilid, dan banyak lalat calliphorid (Phaenicia eximia). 2. Pada tahap berikut, disebut emphysematic stage (berlangsung mulai hari ke-4 sampai ke8). Pada tahap ini muncul serangga P. eximia dalam jumlah besar, kumbang histerid, Euspilotus aenicollis, beberapa kumbang scarabid, dan beberapa lalat muscoid. 3. Tahap berikut disebut liquefaction yang berlangsung pada hari ke-8 sampai ke-28. Pada tahap ini serangga yang datang paling melimpah adalah dua spesies lalat calliphorid, yaitu P. eximia dan Hemilucilia segmentaria, lalat piophilid, kumbang staphylinid, histerid, Dermaptera, tawon ichneumonid, lipas, lebah (genus Trigona) dan dua famili ngengat (pyralid dan noctuid). 4. Tahap yang terakhir adalah mummified, yang didominasi oleh kumbang dermestid. Meskipun demikian, teknik ini juga mempunyai kelemahan yang cukup mendasar, yaitu sangat tergantung dari keadaan cuaca, misalnya suhu, kelembaban, dan curah hujan, atau oleh perlakuan manusia, yang secara langsung akan menentukan proses dekomposisi yang menjadi dasar kehadiran serangga-serangga tersebut (Goff, 2003). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan kerusakan tubuh mayat dan tipe serta jumlah serangga yang mendatangi mayat adalah: a. Suhu Serangga memerlukan suhu tertentu untuk berkembangbiak dari satu fase ke satu fase. Seperti perkembangan lalat, suhu harus di antara suhu minimum dan suhu maksimum. Luar dari batas suhu tersebut, ia tidak dapat berkembang baik atau perkembangannya menurun.

7

b. Penguburan Mayat yang dikubur di tanah, umumnya membusuk delapan kali lebih lama daripada mayat yang berada di udara terbuka. Ini disebabkan karena suhu di dalam tanah yang lebih rendah terutama bila dikubur di tempat yang dalam, terlindung dari binatang perosak, dan rendahnya oksigen menghambat berkembang biaknya organisme aerobik. c. Adanya air (mayat terendam dalam air) d. Proses mumifikasi e. Kondisi geografi y Zona geografi mempengaruhi vegetasi, jenis tanah, cuaca dan sumber makanan yang akhirnya dapat mempengaruhi spesies serangga di daerah tersebut. Sebagai contoh, Western Goldenhaired Blow fly hanya ditemukan pada mayat di Perth tetapi tidak ditemukan pada mayat di Sydney. Mayat di Sydney didatangi oleh spesies Blow fly yang lain. y Ia juga mempengaruhi waktu kedatangan serangga. Contohnya di Amerika Utara, dermestid beetles berkolonisasi lewat yaitu sekitar sebulan selepas kematian tetapi di Hawaii, ia berkolonisasi sejak hari ketiga hingga hari kesepuluh kematian.

8

Poin-poin penting: 1. Serangga yang datang ke mayat adalah serangga betina karena mayat digunakan sebagi tempat untuk telur serangga. 2. Di tiap daerah, serangga yang digunakan sebagai sebagai entomologi forensik dapat berbeda spesies, bergantung pada karakternya, ketertarikan pada mayat baru, maupun pada mayat yang sudah membusuk. 3. Serangga pada entomologi forensik ini digunakan untuk mengetahui lama waktu kematian si mayat. Untuk mengetahui hal lain seperti bagaimana mayat tersebut mati, jenis luka pada pada mayat itu, tidak dibahas pada kajian ini karena relevansinya kurang. Cara pengumpulan bahan entomologi. 1. Dilakukan pengamatan secara visual terhadap lokasi kematian. Catatan harus diambil tentang habitat, kondisi cuaca, lokasi dan orientasi tubuh. 2. Pengumpulan data meteorologi pada adegan kematian. Ini harus mencakup suhu sekeliling, kelembaban, dan paparan sinar matahari. 3. Koleksi spesimen dari tubuh. Ini harus mencakup 2 sampel dari setiap lokasi kolonisasi yaitu satu sampel spesimen serangga diawetkan di tempat kematian dan satu sampel spesimen hidup untuk dibiakkan di laboratorium. 4. Mengumpulkan spesimen dari lingkungan sekitarnya yaitu 20-30 kaki dari tubuh mayat. Hal ini juga harus mencakup 2 sampel dari setiap area aktivitas serangga yaitu serangga spesimen diawetkan di tempat kematian dan spesimen hidup untuk dibiakkan di laboratorium. 5. Mengumpulkan spesimen dari daerah langsung di bawah tubuh setelah mayat dipindahkan dari tempat kejadian. Ini harus mencakup minimal 3 sampel tanah yang diambil dari bawah kepala, dada, dan daerah panggul dan disimpan terpisah dan diberi label. 6. Koleksi spesimen selama otopsi pada pemeriksaan medis atau kantor koroner. Sebuah pemeriksaan rinci dari pakaian dan benda-benda dalam kontak langsung dengan tubuh untuk spesies serangga tambahan dari adegan kematian harus terjadi. Langkah ini harus

9

mencakup spesimen serangga diawetkan pada saat pemeriksaan dan spesimen hidup untuk dibiakkan di laboratorium.

Kesimpulan Perkiraan saat kematian dalam suatu kasus forensik adalah hal yang penting. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah interpretasi aktifitas serangga (entomologi forensik). Entomologi forensik mengevaluasi aktifitas serangga dengan berbagai teknik untuk membantu memperkirakan saat kematian dan menentukan apakah jaringan tubuh atau mayat telah dipindah dari suatu lokasi ke lokasi lain. Penentuan waktu kematian dapat dilakukan dengan mengidentifikasi umur serangga maupun telur yang ada pada mayat, sehingga para patologis dapat memperkirakan dengan lebih tepat waktu kematian mayat tersebut. Umur serangga yang semakin tua beserta telur yang ditemukan pada mayat dapat dijadikan dasar perkiraan interval post-mortem minimum.

10