ensefalitis
-
Upload
ramadhan-ananda-putra -
Category
Documents
-
view
64 -
download
0
Transcript of ensefalitis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Ensefalitis adalah inflamasi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
berbagai mikroorganisme ( virus, bakteri, jamur, protozoa ) dan disertai oleh defisit
neurologi. Penyakit ini berhubungan dengan gejala serebral seperti kejang, penurunan
kesadaran atau tanda neurologis lainnya.1,2
Angka kematian ensefalitis pada anak-anak saat ini masih tinggi. Penelitian
Wahed di Bangladesh tahun 2006-2008 mendapatkan puncak insiden ensefalitis
adalah pada usia 4 ± 2,4 tahun, lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan
dengan rasio 6,3 : 3,7. Angka kematian 44,56% dan gejala klinis lain didapatkan
koma (85%), kejang (75%), gangguan pernafasan (75%) dan demam (65%). Sekitar
98% anak berasal dari daerah pedesaan dengan sosio-ekonomi rendah dan 88%
mengalami malnutrisi. 3
Penyebab tersering pada ensefalitis adalah virus terutama virus Herpes
Simplek. Ensefalitis herpes simplek dapat menyebabkan ensefalitis akut dengan
kerusakan parenkim bervariasi dari ringan sampai sangat berat. 2 Diagnosis dini dan
tatalaksana yang tepat pada kasus ensefalitis merupakan hal yang sangat penting
dalam mengurangi angka morbiditas dan mortalitas. Pengobatan yang ada saat ini
masih belum memberikan hasil yang memuaskan tetapi penelusuran terhadap etiologi
penting untuk prognosis, penatalaksanaan, edukasi pasien dan anggota keluarga, dan
intervensi kesehatan masyarakat disekitarnya.1
Gejala klinis ensefalitis pada anak sangat tidak spesifik. Manifestasi klinis
dapat berupa demam,sakit kepala yang berat, mual, muntah, kejang dan penurunan
kesadaran. Gejala-gejala ini juga ditemukan pada meningitis sehingga sering
menyebabkan kesalahan dalam diagnosis dan terapi. Pasien yang sembuh dari
ensefalitis dapat mengalami gejala sisa neurologis yang berat termasuk hemiparesis,
spastisitas, ataksia, epilepsi, klonus, khorea, dan gangguan pernapasan.3,4 Oleh karena
1
itu, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai diagnosis dan
penatalaksanaan ensefalitis pada anak.
1.2. Batasan Masalah
Makalah ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,
diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis ensefalitis.
1.3. Tujuan
Penulisan referat ini ialah untuk menambah pengetahuan dan memahami
tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis,tatalaksana,
komplikasi dan prognosis ensefalitis.
1.4. Metode Penulisan
Penulisan makalah ini berdasarkan tinjauan pustaka dengan merujuk pada
berbagai literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Ensefalitis merupakan infeksi difus yang menyebabkan inflamasi jaringan parenkim
otak. 1,5 Ensefalitis dapat disebabkan oleh beberapa jenis virus,seperti virus herpes
dan beberapa jenis Arbo virus. Mikroorganisme lainnya juga dapat menyebabkan
ensefalitis diantaranya protozoa terutama Toxoplasmosis gondii dan bakteri seperti
Mycoplasma pneumonia. 5
Ensefalitis merupakan diagnosis patologi yang seharusnya ditegakkan dengan
mengkonfirmasi dari sampel jaringan otak baik dengan autopsi atau biopsi. Namun,
pada prakteknya diagnosis ensefalitis dapat ditegakkan jika pada pasien ditemukan
gejala-gejala berupa demam, nyeri kepala hebat, penurunan kesadaran, kejang dan
tanda-tanda neurologik fokal serta pada pemeriksaan penunjang ditemukan sel-sel
inflamasi pada cairan serebrospinal atau pencitraan yang menunjukkan adanya
inflamasi. Luasnya kerusakan jaringan otak dan munculan klinis tidak hanya
bergantung pada virulensi kuman tetapi juga status imunitas dari host. 5,6
Ensefalitis harus dibedakan dengan ensefalopati berupa penurunan kesadaran
yang bisa saja diakibatkan oleh mikroorganisme lainnya, gangguan metabolik, obat-
obatan dan alkohol. Ensefalopati yang diakibatkan oleh gangguan metabolik atau
toksik dapat dibedakan dengan ensefalitis melalui munculan gejala demam akut,
onsetnya yang bertahap serta gambaran pleositosis pada cairan serebrospinal dan ada
tidaknya perubahan pada gambaran MRI otak. 5
2.2 Epidemiologi
Ensefalitis menyebabkan morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi. Insiden
ensefalitis beragam dari beberapa studi yang dilakukan namun secara umum berkisar
antara 3,5-7,4 per 100.000 pasien. Ensefalitis dapat menyerang kedua gender, baik
laki-laki ataupun perempuan, namun beberapa studi menunjukan insiden sedikit lebih
tinggi pada laki-laki dibanding perempuan. 8
3
Ensefalitis Herpes simplex diperkirakan terjadi pada 1 dari 250.000 hingga 1
dari 500.000 individu setiap tahunnya. Di Amerika perkiraan insiden sekitar 1 dari
300.000 individu, hampir sama dengan insiden di Inggris dan Swedia.8 Studi kasus
pada tahun 1991 – 1994 yang dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto
Mangunkusumo ,ditemukan 11 pasien ensefalitis Herpes simplex yang berusia antara
2,5 bulan sampai 11 tahun. 7 Ensefalitis pasca infeksi campak diperkirakan terjadi 1
dari 100.000 hingga 1 dari 500.000 individu setiap tahunnya, dengan perbandingan
laki-laki dan perempuan, 2-4:1 dan terbanyak menyerang anak usia 5-10 tahun. 27
2.3 Etiologi
Penyebab – penyebab ensefalitis akut berdasarkan kelompok virus : 8
a. Virus herpes : Herpes simplex virus tipe 1 dan 2, Varicella zoster, virus
Epstein-barr, Sitomegalovirus, Human herpes virus tipe 6 dan 7.
b. Enterovirus : virus kocksakie, echovirus, enterovirus 70 dan 71, parechovirus,
virus polio.
c. Paramyxovirus : virus campak, virus mumps.
d. Lain-lainnya : virus influenza, adenovirus, parvovirus, virus limfositik
khoreomeningitis, virus rubella.
Herpes Simplex Ensefalitis (HSE) adalah penyakit ensefalitis sporadik akut atau
subakut yang mengenai semua kelompok umur dan merupakan penyakit yang paling
umum mengakibatkan kerusakan fokal yang fatal. Penyebab ensefalitis yang utama
pada neonatus dan anak yang lebih muda adalah herpes simplex virus tipe-2 (HSV-
2, sering disebut herpes genital),sedangkan pada anak yang lebih tua disebabkan oleh
herpes simplex virus tipe 1 (HSV-1, umumnya disebut herpes oro-fasial) dimana
virus menetap laten di ganglion nervus trigeminal.9
Virus Herpes simplex tidak stabil dalam lingkungan eksternal, dan hanya mampu
bertahan 1.5-3 jam di udara luar dan tidak aktif pada suhu diatas 56 oC. Virus ini
dapat hidup selama 48 jam pada suhu 4OC dalam kondisi lembab. Selain itu, virus ini
juga sensitif terhadap enzim proteolitik, seperti tripsin, protease, dan
aminopeptidase.10
4
Japanese encephalitis (JE) adalah salah satu penyakit arbovirus yang disebabkan
oleh virus JE. Virus JE termasuk dalam anggota kelompok Flavi virus, family
flaviviridae. Virus ini mempunyai diameter antara 40-50 nm. Virus JE termasuk virus
ribonucleic acid (RNA) yang berkapsul, sehingga tidak tahan terhadap pelarut lemak
seperti eter, khlorofom, sodium deokshikholat dan enzim proteolitik atau enzim
lipolitik. Virus ini juga sangat sensitif terhadap detergen dan tripsin, tetapi tahan
terhadap aktinomisin D atau guanidine. Dalam keadaaan basa (pH 7-9) virus JE
stabil, tetapi dengan pemanasan 56 OC selama 30 menit dan penyinaran dengan sinar
ultra violet, virus JE menjadi inaktif. 4,11
Infeksi Mycoplasma
Meskipun secara umum Mycoplasma pneumonia lebih sering menginfeksi traktus
respiratorik, namun mikroorganisme ini juga menyebabkan gangguan pada sistem
saraf hingga 0.1% dari semua infeksi dan 7% dari kasus infeksi mikoplasma yang
dirawat di rumah sakit.24
Trichinosis
Trichinosis disebabkan oleh golongan nematoda, Trichinella spiralis yang paling
sering ditemukan pada babi dan dapat ditularkan melalui daging babi yang masih
mentah atau belum sempurna dimasak. Larva trichinella dapat menyebar ke seluruh
bagian tubuh melalui aliran darah, namun dapat bertahan dan tumbuh hanya di otot-
otot skeletal. Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan parasit yang hidup di serat otot
dan parasit ini dapat menyebabkan inflamasi fokal. Di dalam sistem saraf pusat larva
filiform ditemukan di kapiler serta parenkim otak dan menyebabkan terjadinya respon
inflamasi. 24
Gnathostomiasis
Gnathostoma spinigerum dapat menyebabkan infeksi sistem saraf pusat yang cukup
serius yang masuk saat memakan daging binatang yang mentah atau belum matang
sempurna. Larva yang sangat motil menginvasi serabut saraf dan bermigrasi ke
kanalis spinalis atau medula spinalis lalu naik ke jaringan otak. 24
5
2.4 Patogenesis
Patogenesis ensefalitis berhubungan dengan virulensi virus yang menyebabkan
kerusakan secara sitopatologi (dekstruksi sel oleh virus) dan inflamasi yang
berhubungan dengan respon imun (imun mediated). Umumnya virus langsung
menginfeksi parenkim otak dan sel saraf. Sebelum menyebabkan peradangan
parenkim otak virus terlebih dahulu harus melewati sawar darah otak. Beberapa virus
dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah (vaskulitis) dan dapat
menyebabkan terjadinya demielinisasi sel syaraf. 12
Infeksi primer virus Herpes simpleks tipe I (HSV-I) terjadi pada mukosa
mulut dan bisa menyebabkan herpes labialis dan faringitis. Selanjutnya HSV-I akan
bereplikasi di tempat lesi primernya dan menyebabkan kerusakan jaringan sekitar,
seperti ginggivo stomatitis. HSV-I akan menginvasi susunan saraf pusat melalui
nervus olfaktorius di mukosa nasal, nervus trigeminalis dan ganglion Gasseri. HSV-I
akan laten di ganglion dorsal nervus trigeminal yang nantinya akan mengalami
reaktivasi. 13
Berdasarkan penelitian pada hewan, didapatkan fakta bahwa HSV-I
ditemukan pada susunan saraf pusat, terutama pada nervus olfaktorius dan nervus
trigeminal.13Kemudian virus akan menyebar ke lobus temporal medial. Kecendrungan
HSV-I menetap di korteks lobus temporal medial ini masih belum diketahui
penyebabnya. Virus dapat menyebar sepanjang meningen dan korteks serebri hingga
ke sistem limbik.14 Penyebaran hematogen juga dapat terjadi, virus melewati sawar
darah otak dan plexus khoroideus, bersamaan dengan migrasi limfosit menuju daerah
glial dan vaskular. Studi neuro imaging pada bayi dan balita dengan ensefalitis,
ditemukan adanya abnormalitas pada distribusi pembuluh darah arteri serebri
anterior, media ataupun posterior karena adanya perforasi. Hal ini menunjukkan
adanya penyebaran hematogen dari partikel virus yang mungkin merupakan rute
utama akses virus ke susunan saraf pusat.15
Setiap proses infeksi pada jaringan, akan menimbulkan respon imun host
berupa migrasi sel-sel mononuklear. Fase akut ditandai adanya kongesti ataupun
perdarahan terutama pada lobus temporal. Hal yang sama juga terjadi pada sistem
6
limbik. Akibat infeksi virus dapat terjadi perubahan pada tingkat sel berupa nekrosis
substansia alba dan grisea, khususnya di inferomedial dari lobus temporal. Di tingkat
jaringan, terjadi kongesti meningeal dan infiltrasi mononuklear, nekrosis perivaskular
dengan kerusakan mielin dan gangguan transmisi sel neuron. Beberapa literatur juga
mengatakan dapat terjadi kerusakan ganglia basalis, talamus, dan nukleus subtalamus
yang menyebabkan gangguan gerak yang bersifat permanen. 13
Replikasi virus akan mengakibatkan pecahnya sel sehingga partikel-partikel
virus akan tersebar ekstraselular. Setelah proses invasi, replikasi dan penyebaran
virus berhasil, timbullah manifestasi toksemia yang kemudian diikuti oleh manifestasi
lokalisatorik. Gejala toksemia terdiri dari sakit kepala, demam, lemah letih seluruh
tubuh. Sedangkan manifestasi lokalisatorik akibat kerusakan susunan saraf pusat
berupa gangguan sensorik, motorik (gangguan penglihatan, gangguan bicara,
gangguan pendengaran dan kelemahan anggota gerak) serta gangguan neurologis
yaitu penurunan kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial yang
lain seperti nyeri kepala dan muntah proyektil. Herpes simpleks virus tipe 2 (HSV-2)
biasanya ditransmisikan melalui mukosa genitalia, menyebabkan herpes genetalia
pada dewasa. Pada neonatus akan terinfeksi dengan HSV-2 saat proses kelahiran.13
Penyebab terbanyak ensefalitis viral di Asia adalah Flavivirus. Dikenal
dengan Japanese encephalitis. Japanese ensefalitis virus (JEV) diperantarai oleh
nyamuk, burung liar dan babi. Vektor utamanya yaitu Culex tritaeniorhynchus .11
Gambar 1. Patofisiologi ensefalitis viral.11
7
Virus lain yang menyebabkan ensefalitis adalah Influenza tipe A. Infeksi virus
influenza A terjadi di saluran pernapasan manusia. Sel-sel epitel torak saluran
pernapasan rentan bila ada reseptor virus yang berfungsi. Diikuti inflamasi akut dan
difus di saluran bronkoalveolar. Mekanisme imun berperan menimbulkan efek lokal
dan sistemik. Cara penyebaran virus influenza A ke otak masih belum jelas dan masih
dalam perdebatan. Penyebaran bisa lewat darah (hematogen), lewat jalur neuronal
melalui sistem saraf olfaktorius dan trigeminus, serta pelepasan sitokin dari sel glial
yang terstimulasi virus. Jalur neuronal lewat saraf olfaktorius dan saraf trigeminus ini
baru dalam tahap pembuktian in vitro, kemungkinan melalui ujung saraf bebas di
dekat sel-sel epitel yang terinfeksi inluenza pada saluran napas atas. Tanaka H et al
(2002) berpendapat bahwa virus ini menyebar ke SSP melalui jalur akson, misalnya
saraf vagus, seperti jalur yang dilalui oleh virus rabies. Jalur penyebaran ini sekarang
dikenal dengan istilah invasi transneural.16 Mekanisme lain yaitu respons sitokin. Baik
respons sitokin sistemik maupun sel glial. Di dalam saluran pernapasan, terdapat
mekanisme proteksi terhadap infeksi ini, yaitu mekanisme imun yang mengawali
inflamasi mukosa dan masuknya sel-sel polimorfonuklear, limfosit, dan makrofag
pada mukosa saluran pernapasan. Sitokin-sitokin proinflamasi (seperti IL-6 dan TNF-
α) terinduksi, kemudian dilepaskan oleh sel-sel ini dalam saluran pernapasan. TNF-α
merupakan sitokin proinflamasi yang menyebabkan proses apoptosis dan inhibitor
poten proses respirasi mitokondria. Peningkatan konsentrasi TNF-α yang mendadak
setelah infeksi virus pada sirkulasi sistemik menginduksi mitochondrial permeability
transition (MPT) sistemik pada berbagai organ, dan MPT pada sel-sel kapiler otak
menyebabkan edema otak pada ensefalopati dan ensefalitis virus influenza A. Selain
TNF-α, sitokin-sitokin yang juga berperan pada proses inflamasi ini adalah IL-1, IL-
6, dan IL-8. 17
Ensefalitis dapat terjadi paska infeksi campak. Dikenal sebagai subacute
sclerosing panencephalitis (SSPE). SSPE merupakan inflamasi subakut yang terjadi
di otak dan susunan saraf pusat disebabkan reaktivasi infeksi virus campak.
Patogenesis belum diketahui dengan jelas. SSPE (Dawson’s disease) merupakan
8
kelainan neurodegeneratif yang disebabkan oleh infeksi virus campak yang persisten.
Sebagian besar antigen campak terdapat dalam badan inklusi dan sel otak yang
terinfeksi, tetapi tidak ada partikel virus matur. Keberadaan virus campak intraseluler
laten dalam sel otak pasien dengan SSPE menandakan kegagalan sistem imun untuk
membersihkan infeksi primernya. 27
2.5 Diagnosis
Diagnosis ensefalitis ditegakan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan
penunjang.
2.5.1 Gejala klinis
Masa inkubasi kurang lebih 5-10 hari. Pada fase prodromal, pasien mengalami
malaise, dan demam yang berlangsung 1-7 hari. Manifestasi ensefalitis dimulai
dengan sakit kepala, muntah, perubahan personalitas dan gangguan daya ingat yang
sulit di deteksi terutama pada anak kecil,kemudian pasien dapat mengalami kejang
dan penurunan kesadaran,kejang dapat berupa kejang fokal atau umum. Kejang pada
HSV dapat diawali oleh kejang fokal yang berkembang menjadi kejang umum. 18
Pemeriksaan neurologis biasanya menunjukkan adanya hemiparesis.
Hemiparesis ini adalah manifestasi fokal yang terpenting. Gejala lain dapat berupa
disfasia, ataksia, gangguan sistem otonom, paresis saraf kranialis, dan edema papil N
II. Dapat juga ditemukan tanda rangsangan SSP (koma, stupor, letargi), kaku kuduk,
dan peningkatan reflek tendon.18
Gejala klinis yang muncul pada Japanese ensefalitis hampir sama dengan
ensefalitis lainnya seperti demam, nyeri kepala, muntah, meningismus dan koma.
Kejang dilaporkan terjadi pada 85% pasien anak. Gambaran muka topeng dengan
pandangan kosong atau meringis bisa saja di temukan serta paralisis yang menyerupai
poliomyelitis akut dapat terjadi.24
Subakut sklerosing panencephalitis memiliki gejala klinis yang hampir sama.
Penelitian Saha, dkk di Bangladesh pada 20 kasus ditemukan gangguan kognitif
(85%), kejang mioklonik (80%), gangguan bicara (70%), gangguan berjalan (60%),
disfagia (50%) dan kebutaan (20%).27
9
2.5.2 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah tepi
Pemeriksaan darah tepi rutin pada HSV tidak spesifik. Jumlah leukosit darah
tepi dapat normal atau sedikit meningkat, kadang-kadang dengan pergeseran
ke kiri.7
b. Analisis Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal normal didapatkan pada seperempat jumlah pasien,
sisanya abnormal. Pada fase awal, leukosit PNM predominan, kemudian
berubah menjadi limfositosis. Penelitian Zhang di Shanghai dari bulan Mei
sampai Juni 2008, pada 19 pasien dengan ensefalitis didapatkan abnormalitas
cairan cerebrospinal pada 15 pasien (78,9%). Tiga belas pasien memiliki
peningkatan jumlah sel darah putih LCS (12-800 x 10⁶/L), dan 12 pasien
memiliki kadar protein LCS yang tinggi (600-1163 g/L) tetapi kadar glukosa
LCS normal. 1
Analisis LCS pada pasien ensefalitis umumnya menunjukkan adanya pleositosis
mononuklear ringan. Konsentrasi protein biasanya meningkat ringan atau sedang.
Ditemukan juga peningkatan eosinofil yang menunjukkan agent penyebab
(terbanyak pada infeksi cacing, T.pallidum, M.pneumoniae, ricketsiia, C.immitis
dan T.gondii). Kadar glukosa biasanya menurun secara signifikan pada
ensefalitis bakteri, sedangkan pada ensefalitis virus bisa menurun ataupun
normal. 1
Tabel 1. Cairan serebrospinal pada infeksi susunan saraf pusat. 5
Meningo-ensefalitis virus
Meningitis bacterial akut
Meningitis tuberkulosa
Fungi Normal
Tekanan
Warna
Normal/↑
Jernih
↑
Keruh
↑
Keruh/
kekuningan
↑/↑↑
Jernih/keruh
10-20 cm
Jernih
10
Sel/mm3
Diff count
LCS/glukosa plasma rasio
Protein(g/l)
5-1000
Limfosit
N
N/↑
0.5-1
100-50000
Netrofil
↓
↑
>1
25-500
Limfosit
↓-↓↓(<30%)
↑-↑↑
1.0-5.0
0-1000
Limfosit
N-↓
N-↑
0.2-0.5
<5
Limfosit
66%
<0.45
c. Neuroimaging
Brain CT Scan dan MRI berguna untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit lain yang memiliki gejala yang mirip dengan gejala ensefalitis. CT scan
( dengan atau tanpa kontras) hanya bisa dilakukan jika MRI tidak bisa dilakukan,
atau tidak tersedia. Walaupun sebenarnya MRI merupakan pemeriksaan yang
dapat mendeteksi secara cepat terjadinya ensefalitis. 1
Setiap agen penyebab biasanya memiliki ciri tersendiri dalam
penampakan secara neuroimaging. Pada pasien dengan ensefalitis herpes
simpleks, terdapat edema dan perdarahan yang signifikan pada bagian temporal;
keterlibatan lobus temporal bilateral adalah ciri yang patognomonis pada
ensefalitis herpes simpleks. Pada pasien dengan ensefalitis yang disebabkan oleh
flavivirus, MRI menunjukkan pola intensitas campuran atau lesi hipodens pada
thalamus, ganglia basalis, dan otak tengah. Pada pasien dengan ensefalitis
enterovirus, MRI memperlihatkan “FLAIR lesions” pada otak tengah, pons dan
medulla.1
11
Gambar 2. Gambaran MRI pada Ensefalitis herpes simpleks26
d. EEG
EEG adalah indikator yang sensitif pada disfungsi otak dan dapat
menunjukkan keterlibatan otak selama tahap awal ensefalitis. Hasil EEG
biasanya tidak spesifik tapi bisa membantu dalam menunjukkan diagnosis
etiologi dari ensefalitis. Sensitifitas EEG kira-kira 84%, tetapi spesifisitasnya
hanya 32,5%. Lebih dari 80% pasien dengan ensefalitis herpes simpleks,
memberikan gambaran periodic lateralizing epileptiform discharges
(perlambatan fokal di daerah temporal atau frontotemporal). Gelombang tajam
dan lambat yang stereotip terjadi pada interval 2-3 detik dan terlihat pada hari 2-
14 setelah onset gejala.1 Sedangkan pada Subacute sklerosing panencephalitis
ditemukan gambaran periodic complexes (kompleks gelombang lambat dan
gelombang dengan amplitudo tinggi yang timbul secara periodik) .27
12
Gambar 3. Periodic lateralizing epileptiform discharges pada ensefalitis herpes simplek.
Gambar 4. Gambaran EEG pada subacute sclerosing panencephalitis. 28
e. Test Serologi
Titer antibodi terhadap ensefalitis herpes simplek dapat diperiksa dalam serum
dan cairan cerebrospinal. Titer antibodi dalam serum tergantung apakah infeksi
13
merupakan infeksi primer atau infeksi rekuren. Pada infeksi primer, antibodi
dalam serum menjadi positif setelah satu sampai beberapa minggu, sedangkan
pada infeksi rekuren kita dapat menemukan peningkatan titer antibodi dalam dua
pemeriksaan, fase akut dan rekonvalesen. Kenaikan titer 4 kali lipat pada fase
rekonvalesen merupakan tanda bahwa infeksi ensefalitis herpes simplek sedang
aktif.1
Titer antibodi dalam cairan cerebrospinal merupakan indikator yang lebih baik,
karena hanya bisa diproduksi bila terjadi kerusakan sawar darah otak. Namun
kemunculan antibodi dalam cairan cerebrospinal sering terlambat, dan baru dapat
dideteksi pada hari 10-12 setelah permulaan sakit.1 Subacute sklerosing
panencephalitis juga dapat dilakukan pemeriksaan antibody measles pada LCS
dan serum.27
f. Biopsi otak
Baku emas dalam diagnosis EHS adalah biopsi otak dan isolasi virus dari
jaringan otak. Banyak pusat penelitian yang tidak mengerjakan prosedur ini
karena bahaya dan kurangnya fasilitas untuk isolasi virus. Kelemahan lainnya
adalah kesulitan yang tinggi dan kemungkinan ditemukannya hasil negatif palsu
karena biopsi dilakukan bukan pada tempat yang tepat. Secara makroskopis pada
biopsi ditemukan perdarahan dan nekrosis pada lobus frontal inferior dan lobus
temporal. Pemeriksaan mikroskopik pada fase akut menunjukkan adanya
inflamasi pada daerah perivaskuler. Kemudian peningkatan aktifitas mikroglia,
mikroglia nodul, dan badan inklusi intranuklear. Jika tidak diberikan terapi yang
adekuat, akan terjadi nekrosis yang kuat, peningkatan aktifitas makrofag, dan
neovaskularisasi. Pada tahap lanjut akan terjadi brain atrofi dan gliosis. Derajat
kerusakan otak pada ensefalitis herpes simplek lebih berat dibandingkan
penyebab ensefalitis lainnya.1
14
Gambar 5. Gambaran makroskopis dan mikroskopis ensefalitis herpes simpleks. 29
2.6. Diagnosis banding
Ada beberapa kondisi medis yang munculan klinisnya menyerupai ensefalitis
virus diantaranya meningitis dan abses serebri. Ensefalitis adalah infeksi di otak,
sedangkan meningitis adalah infeksi yang terjadi di selaput otak (leptomeningen).
Ensefalitis dapat dibedakan dengan meningitis dengan melakukan pemeriksaan tanda
rangsangan meningeal. Penyebab terbanyak abses otak adalah bakteri piogenik,
sedangkan ensefalitis disebabkan oleh virus.
2.7. Tata laksana
Pengobatan simtomatik dan suportif meliputi pengobatan kejang, edema otak,
peninggian tekanan intrakranial, hiperpireksia, gangguan respirasi dan infeksi
sekunder. Pada ensefalitis herpes simpleks (EHS) kita dapat memberikan antivirus
yang spesifik. Pengobatan dengan antivirus harus dimulai sedini mungkin untuk
mencegah terjadinya nekrosis hemoragis yang ireversibel yang biasanya terjadi 4 hari
setelah awitan ensefalitis. Hal ini menimbulkan kesulitan, karena pada fase awal tidak
terdapat cara untuk membuktikan diagnosis. Patokan yang dianut saat ini adalah
pengobatan segera pada pasien yang dicurigai mengalami EHS, kemudian
pengobatan dapat dilanjutkan atau dihentikan sesuai konfirmasi laboratorium.7
15
Vidarabin telah diteliti pada tahun 70-an dan dapat menurunkan mortalitas
dari 70% sampai 40%. Saat ini, acyclovir intravena telah terbukti lebih baik
dibandingkan vidarabin dan merupakan obat pilihan pertama. Acyclovir relatif lebih
aman dan cara pemberian lebih mudah, tersedia dalam sediaan 250 mg dan 500 mg,
yang harus diencerkan dengan akuades atau larutan garam fisiologis. Dosis yang
digunakan adalah 30 mg/kgbb/ 24jam dibagi dalam 3 dosis. Cara pemberian secara
perlahan-lahan dengan pompa suntik atau diencerkan lagi menjadi 100ml dalam
larutan glukosa 5% diberikan selama 1 jam. Efek samping adalah peningkatan kadar
ureum dan kreatinin, tergantung kadar obat dalam plasma. Pemberian acyclovir
perlahan-lahan akan mengurangi efek samping ini.7
Neonatus yang dicuriga terbukti terinfeksi herpes harus segera diberikan
terapi asiklovir 20 mg / kgbb setiap 8 jam selama 14-21 hari. Jika penyakitnya
mengenai kulit, mata dan mulut tetapi belum mengenai sistem saraf pusat diberikan
selama 14 hari. Tetapi jika telah mengenai saraf pusat lama pengobatan selama 21
hari.18
Beberapa penelitian menunjukan asiklovir dan vidarabin dapat mengurangi
mortalitas dan morbiditas ensefalitis akibat infeksi HSV, suatu penelitian yang
membandingkan pemakaian asiklovir 10 mg/kgbb setiap 8 jam selama 12 hari
dibandingkan dengan vidarabin dengan dosis dan lama terapi yang sama menunjukan,
bahwa kedua regimen pengobatan dapat menurunkan angka kematian 14% pada
infeksi virus yang telah mengenai system saraf pusat dan 50% infeksi HSV
diseaminata.20
Penelitian pada neonatus yang mengalami infeksi HSV membuktikan bahwa
pemberian Asiklovir dosis tinggi dan pengobatan jangka lama terbukti cukup aman.
Suatu penelitian pada bayi berusia ≤ 1 bulan dengan infeksi HSV (baik yang
mengenai susunan saraf pusat ataupun disaminata) dan diberikan asiklovir 45-60 mg /
kgBB/ hari dibagi dalam tiga dosis selama 21 hari. Dalam pengamatan selama 4
tahun pasien yang mnerima asiklovir dosis tinggi (60 mg/kgBB/hari) terbukti
memilki angka ketahanan hidup lebih tinggi dibanding bayi yang mendapat dosis 30
mg/kgBB/hari.21
16
2.8. Komplikasi dan prognosis
Komplikasi yang umum dijumpai pada ensefalitis adalah epilepsi. Pasien yang
mengalami ensefalitis memiliki kemungkinan 22% mengalami epilepsi 20 tahun
paska onset. Di antara banyak virus penyebab ensefalitis, ensefalitis herpes simpleks
paling sering menyebabkan epilepsi. Ensefalitis juga dapat mnyebabkan status
epileptikus sehingga memerlukan pengobatan yang agresif. 14
Ensefalitis juga dapat menyebakan gangguan kejiwaan pada anak, berupa
kegelisahan, heiperaktif, delirium, halusinasi penciuman, amnesia dan retardasi
mental. 31 Gejala deficit neurologis yang umum dijumpai paska ensefalitis adalah
gangguan perkembangan dan perilaku, gangguan berbahasa, defisit neurologis dan
epilepsi. Relaps dapat terjadi pada 5-30% kasusa dan beberapa kasus dapat menjadi
ensefalitis kronis. 26
Angka mortalitas ensefalitis pada anak cukup tinggi (35-50%), jika diberikan
terapi asiklovir, angka mortalitas menurun berkisar 0-10%. 26 Prognosis ensefalitis
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur pasien (prognosis akan lebih buruk
untuk anak berumur < 12 bulan), status imun, defisit neurologis yang terjadi paska
onset, dan virulensi virus. 26
17
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Ensefalitis merupakan proses infeksi yang menyerang parenkim otak. Etiologi utama
Ensefalitis pada anak adalah virus, terutama virus herpes simpleks. Gejala klinis
ensefalitis tidak spesifik berupa demam, penurunan kesadaran dan defisit neurologis
(kejang ataupun hemiparese). Untuk dapat menegakkan diagnosis ensefalitis, perlu
dilakukan pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya seperti analisis cairan
serebrospinal, Brain CT Scan, MRI, EEG, serologi virus, dan biopsy otak.
Penatalaksanaan ensefalitis mencakup terapi suportif dan medikamentosa (asiklovir).
Terapi yang adekuat dapat meminimalisir gejala sisa ataupun komplikasi ensefalitis.
18