ensefalitis

27
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Ensefalitis adalah inflamasi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme ( virus, bakteri, jamur, protozoa ) dan disertai oleh defisit neurologi. Penyakit ini berhubungan dengan gejala serebral seperti kejang, penurunan kesadaran atau tanda neurologis lainnya. 1,2 Angka kematian ensefalitis pada anak-anak saat ini masih tinggi. Penelitian Wahed di Bangladesh tahun 2006- 2008 mendapatkan puncak insiden ensefalitis adalah pada usia 4 ± 2,4 tahun, lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan rasio 6,3 : 3,7. Angka kematian 44,56% dan gejala klinis lain didapatkan koma (85%), kejang (75%), gangguan pernafasan (75%) dan demam (65%). Sekitar 98% anak berasal dari daerah pedesaan dengan sosio-ekonomi rendah dan 88% mengalami malnutrisi. 3 Penyebab tersering pada ensefalitis adalah virus terutama virus Herpes Simplek. Ensefalitis herpes simplek dapat menyebabkan ensefalitis akut dengan kerusakan parenkim bervariasi dari ringan sampai sangat berat. 2 Diagnosis dini dan tatalaksana yang tepat pada kasus ensefalitis merupakan hal yang sangat penting dalam 1

Transcript of ensefalitis

Page 1: ensefalitis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Ensefalitis adalah inflamasi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh

berbagai mikroorganisme ( virus, bakteri, jamur, protozoa ) dan disertai oleh defisit

neurologi. Penyakit ini berhubungan dengan gejala serebral seperti kejang, penurunan

kesadaran atau tanda neurologis lainnya.1,2

Angka kematian ensefalitis pada anak-anak saat ini masih tinggi. Penelitian

Wahed di Bangladesh tahun 2006-2008 mendapatkan puncak insiden ensefalitis

adalah pada usia 4 ± 2,4 tahun, lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan

dengan rasio 6,3 : 3,7. Angka kematian 44,56% dan gejala klinis lain didapatkan

koma (85%), kejang (75%), gangguan pernafasan (75%) dan demam (65%). Sekitar

98% anak berasal dari daerah pedesaan dengan sosio-ekonomi rendah dan 88%

mengalami malnutrisi. 3

Penyebab tersering pada ensefalitis adalah virus terutama virus Herpes

Simplek. Ensefalitis herpes simplek dapat menyebabkan ensefalitis akut dengan

kerusakan parenkim bervariasi dari ringan sampai sangat berat. 2 Diagnosis dini dan

tatalaksana yang tepat pada kasus ensefalitis merupakan hal yang sangat penting

dalam mengurangi angka morbiditas dan mortalitas. Pengobatan yang ada saat ini

masih belum memberikan hasil yang memuaskan tetapi penelusuran terhadap etiologi

penting untuk prognosis, penatalaksanaan, edukasi pasien dan anggota keluarga, dan

intervensi kesehatan masyarakat disekitarnya.1

Gejala klinis ensefalitis pada anak sangat tidak spesifik. Manifestasi klinis

dapat berupa demam,sakit kepala yang berat, mual, muntah, kejang dan penurunan

kesadaran. Gejala-gejala ini juga ditemukan pada meningitis sehingga sering

menyebabkan kesalahan dalam diagnosis dan terapi. Pasien yang sembuh dari

ensefalitis dapat mengalami gejala sisa neurologis yang berat termasuk hemiparesis,

spastisitas, ataksia, epilepsi, klonus, khorea, dan gangguan pernapasan.3,4 Oleh karena

1

Page 2: ensefalitis

itu, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai diagnosis dan

penatalaksanaan ensefalitis pada anak.

1.2. Batasan Masalah

Makalah ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,

diagnosis, tatalaksana, komplikasi dan prognosis ensefalitis.

 1.3. Tujuan

Penulisan referat ini ialah untuk menambah pengetahuan dan memahami

tentang definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis,tatalaksana,

komplikasi dan prognosis ensefalitis.

1.4. Metode Penulisan

Penulisan makalah ini berdasarkan tinjauan pustaka dengan merujuk pada

berbagai literatur.

2

Page 3: ensefalitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Ensefalitis merupakan infeksi difus yang menyebabkan inflamasi jaringan parenkim

otak. 1,5 Ensefalitis dapat disebabkan oleh beberapa jenis virus,seperti virus herpes

dan beberapa jenis Arbo virus. Mikroorganisme lainnya juga dapat menyebabkan

ensefalitis diantaranya protozoa terutama Toxoplasmosis gondii dan bakteri seperti

Mycoplasma pneumonia. 5

Ensefalitis merupakan diagnosis patologi yang seharusnya ditegakkan dengan

mengkonfirmasi dari sampel jaringan otak baik dengan autopsi atau biopsi. Namun,

pada prakteknya diagnosis ensefalitis dapat ditegakkan jika pada pasien ditemukan

gejala-gejala berupa demam, nyeri kepala hebat, penurunan kesadaran, kejang dan

tanda-tanda neurologik fokal serta pada pemeriksaan penunjang ditemukan sel-sel

inflamasi pada cairan serebrospinal atau pencitraan yang menunjukkan adanya

inflamasi. Luasnya kerusakan jaringan otak dan munculan klinis tidak hanya

bergantung pada virulensi kuman tetapi juga status imunitas dari host. 5,6

Ensefalitis harus dibedakan dengan ensefalopati berupa penurunan kesadaran

yang bisa saja diakibatkan oleh mikroorganisme lainnya, gangguan metabolik, obat-

obatan dan alkohol. Ensefalopati yang diakibatkan oleh gangguan metabolik atau

toksik dapat dibedakan dengan ensefalitis melalui munculan gejala demam akut,

onsetnya yang bertahap serta gambaran pleositosis pada cairan serebrospinal dan ada

tidaknya perubahan pada gambaran MRI otak. 5

2.2 Epidemiologi

Ensefalitis menyebabkan morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi. Insiden

ensefalitis beragam dari beberapa studi yang dilakukan namun secara umum berkisar

antara 3,5-7,4 per 100.000 pasien. Ensefalitis dapat menyerang kedua gender, baik

laki-laki ataupun perempuan, namun beberapa studi menunjukan insiden sedikit lebih

tinggi pada laki-laki dibanding perempuan. 8

3

Page 4: ensefalitis

Ensefalitis Herpes simplex diperkirakan terjadi pada 1 dari 250.000 hingga 1

dari 500.000 individu setiap tahunnya. Di Amerika perkiraan insiden sekitar 1 dari

300.000 individu, hampir sama dengan insiden di Inggris dan Swedia.8 Studi kasus

pada tahun 1991 – 1994 yang dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Cipto

Mangunkusumo ,ditemukan 11 pasien ensefalitis Herpes simplex yang berusia antara

2,5 bulan sampai 11 tahun. 7 Ensefalitis pasca infeksi campak diperkirakan terjadi 1

dari 100.000 hingga 1 dari 500.000 individu setiap tahunnya, dengan perbandingan

laki-laki dan perempuan, 2-4:1 dan terbanyak menyerang anak usia 5-10 tahun. 27

2.3 Etiologi

Penyebab – penyebab ensefalitis akut berdasarkan kelompok virus : 8

a. Virus herpes : Herpes simplex virus tipe 1 dan 2, Varicella zoster, virus

Epstein-barr, Sitomegalovirus, Human herpes virus tipe 6 dan 7.

b. Enterovirus : virus kocksakie, echovirus, enterovirus 70 dan 71, parechovirus,

virus polio.

c. Paramyxovirus : virus campak, virus mumps.

d. Lain-lainnya : virus influenza, adenovirus, parvovirus, virus limfositik

khoreomeningitis, virus rubella.

Herpes Simplex Ensefalitis (HSE) adalah penyakit ensefalitis sporadik akut atau

subakut yang mengenai semua kelompok umur dan merupakan penyakit yang paling

umum mengakibatkan kerusakan fokal yang fatal. Penyebab ensefalitis yang utama

pada neonatus dan anak yang lebih muda adalah herpes simplex virus tipe-2 (HSV-

2, sering disebut herpes genital),sedangkan pada anak yang lebih tua disebabkan oleh

herpes simplex virus tipe 1 (HSV-1, umumnya disebut herpes oro-fasial) dimana

virus menetap laten di ganglion nervus trigeminal.9

Virus Herpes simplex tidak stabil dalam lingkungan eksternal, dan hanya mampu

bertahan 1.5-3 jam di udara luar dan tidak aktif pada suhu diatas 56 oC. Virus ini

dapat hidup selama 48 jam pada suhu 4OC dalam kondisi lembab. Selain itu, virus ini

juga sensitif terhadap enzim proteolitik, seperti tripsin, protease, dan

aminopeptidase.10

4

Page 5: ensefalitis

Japanese encephalitis (JE) adalah salah satu penyakit arbovirus yang disebabkan

oleh virus JE. Virus JE termasuk dalam anggota kelompok Flavi virus, family

flaviviridae. Virus ini mempunyai diameter antara 40-50 nm. Virus JE termasuk virus

ribonucleic acid (RNA) yang berkapsul, sehingga tidak tahan terhadap pelarut lemak

seperti eter, khlorofom, sodium deokshikholat dan enzim proteolitik atau enzim

lipolitik. Virus ini juga sangat sensitif terhadap detergen dan tripsin, tetapi tahan

terhadap aktinomisin D atau guanidine. Dalam keadaaan basa (pH 7-9) virus JE

stabil, tetapi dengan pemanasan 56 OC selama 30 menit dan penyinaran dengan sinar

ultra violet, virus JE menjadi inaktif. 4,11

Infeksi Mycoplasma

Meskipun secara umum Mycoplasma pneumonia lebih sering menginfeksi traktus

respiratorik, namun mikroorganisme ini juga menyebabkan gangguan pada sistem

saraf hingga 0.1% dari semua infeksi dan 7% dari kasus infeksi mikoplasma yang

dirawat di rumah sakit.24

Trichinosis

Trichinosis disebabkan oleh golongan nematoda, Trichinella spiralis yang paling

sering ditemukan pada babi dan dapat ditularkan melalui daging babi yang masih

mentah atau belum sempurna dimasak. Larva trichinella dapat menyebar ke seluruh

bagian tubuh melalui aliran darah, namun dapat bertahan dan tumbuh hanya di otot-

otot skeletal. Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan parasit yang hidup di serat otot

dan parasit ini dapat menyebabkan inflamasi fokal. Di dalam sistem saraf pusat larva

filiform ditemukan di kapiler serta parenkim otak dan menyebabkan terjadinya respon

inflamasi. 24

Gnathostomiasis

Gnathostoma spinigerum dapat menyebabkan infeksi sistem saraf pusat yang cukup

serius yang masuk saat memakan daging binatang yang mentah atau belum matang

sempurna. Larva yang sangat motil menginvasi serabut saraf dan bermigrasi ke

kanalis spinalis atau medula spinalis lalu naik ke jaringan otak. 24

5

Page 6: ensefalitis

2.4 Patogenesis

Patogenesis ensefalitis berhubungan dengan virulensi virus yang menyebabkan

kerusakan secara sitopatologi (dekstruksi sel oleh virus) dan inflamasi yang

berhubungan dengan respon imun (imun mediated). Umumnya virus langsung

menginfeksi parenkim otak dan sel saraf. Sebelum menyebabkan peradangan

parenkim otak virus terlebih dahulu harus melewati sawar darah otak. Beberapa virus

dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah (vaskulitis) dan dapat

menyebabkan terjadinya demielinisasi sel syaraf. 12

Infeksi primer virus Herpes simpleks tipe I (HSV-I) terjadi pada mukosa

mulut dan bisa menyebabkan herpes labialis dan faringitis. Selanjutnya HSV-I akan

bereplikasi di tempat lesi primernya dan menyebabkan kerusakan jaringan sekitar,

seperti ginggivo stomatitis. HSV-I akan menginvasi susunan saraf pusat melalui

nervus olfaktorius di mukosa nasal, nervus trigeminalis dan ganglion Gasseri. HSV-I

akan laten di ganglion dorsal nervus trigeminal yang nantinya akan mengalami

reaktivasi. 13

Berdasarkan penelitian pada hewan, didapatkan fakta bahwa HSV-I

ditemukan pada susunan saraf pusat, terutama pada nervus olfaktorius dan nervus

trigeminal.13Kemudian virus akan menyebar ke lobus temporal medial. Kecendrungan

HSV-I menetap di korteks lobus temporal medial ini masih belum diketahui

penyebabnya. Virus dapat menyebar sepanjang meningen dan korteks serebri hingga

ke sistem limbik.14 Penyebaran hematogen juga dapat terjadi, virus melewati sawar

darah otak dan plexus khoroideus, bersamaan dengan migrasi limfosit menuju daerah

glial dan vaskular. Studi neuro imaging pada bayi dan balita dengan ensefalitis,

ditemukan adanya abnormalitas pada distribusi pembuluh darah arteri serebri

anterior, media ataupun posterior karena adanya perforasi. Hal ini menunjukkan

adanya penyebaran hematogen dari partikel virus yang mungkin merupakan rute

utama akses virus ke susunan saraf pusat.15

Setiap proses infeksi pada jaringan, akan menimbulkan respon imun host

berupa migrasi sel-sel mononuklear. Fase akut ditandai adanya kongesti ataupun

perdarahan terutama pada lobus temporal. Hal yang sama juga terjadi pada sistem

6

Page 7: ensefalitis

limbik. Akibat infeksi virus dapat terjadi perubahan pada tingkat sel berupa nekrosis

substansia alba dan grisea, khususnya di inferomedial dari lobus temporal. Di tingkat

jaringan, terjadi kongesti meningeal dan infiltrasi mononuklear, nekrosis perivaskular

dengan kerusakan mielin dan gangguan transmisi sel neuron. Beberapa literatur juga

mengatakan dapat terjadi kerusakan ganglia basalis, talamus, dan nukleus subtalamus

yang menyebabkan gangguan gerak yang bersifat permanen. 13

Replikasi virus akan mengakibatkan pecahnya sel sehingga partikel-partikel

virus akan tersebar ekstraselular. Setelah proses invasi, replikasi dan penyebaran

virus berhasil, timbullah manifestasi toksemia yang kemudian diikuti oleh manifestasi

lokalisatorik. Gejala toksemia terdiri dari sakit kepala, demam, lemah letih seluruh

tubuh. Sedangkan manifestasi lokalisatorik akibat kerusakan susunan saraf pusat

berupa gangguan sensorik, motorik (gangguan penglihatan, gangguan bicara,

gangguan pendengaran dan kelemahan anggota gerak) serta gangguan neurologis

yaitu penurunan kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial yang

lain seperti nyeri kepala dan muntah proyektil. Herpes simpleks virus tipe 2 (HSV-2)

biasanya ditransmisikan melalui mukosa genitalia, menyebabkan herpes genetalia

pada dewasa. Pada neonatus akan terinfeksi dengan HSV-2 saat proses kelahiran.13

Penyebab terbanyak ensefalitis viral di Asia adalah Flavivirus. Dikenal

dengan Japanese encephalitis. Japanese ensefalitis virus (JEV) diperantarai oleh

nyamuk, burung liar dan babi. Vektor utamanya yaitu Culex tritaeniorhynchus .11

Gambar 1. Patofisiologi ensefalitis viral.11

7

Page 8: ensefalitis

Virus lain yang menyebabkan ensefalitis adalah Influenza tipe A. Infeksi virus

influenza A terjadi di saluran pernapasan manusia. Sel-sel epitel torak saluran

pernapasan rentan bila ada reseptor virus yang berfungsi. Diikuti inflamasi akut dan

difus di saluran bronkoalveolar. Mekanisme imun berperan menimbulkan efek lokal

dan sistemik. Cara penyebaran virus influenza A ke otak masih belum jelas dan masih

dalam perdebatan. Penyebaran bisa lewat darah (hematogen), lewat jalur neuronal

melalui sistem saraf olfaktorius dan trigeminus, serta pelepasan sitokin dari sel glial

yang terstimulasi virus. Jalur neuronal lewat saraf olfaktorius dan saraf trigeminus ini

baru dalam tahap pembuktian in vitro, kemungkinan melalui ujung saraf bebas di

dekat sel-sel epitel yang terinfeksi inluenza pada saluran napas atas. Tanaka H et al

(2002) berpendapat bahwa virus ini menyebar ke SSP melalui jalur akson, misalnya

saraf vagus, seperti jalur yang dilalui oleh virus rabies. Jalur penyebaran ini sekarang

dikenal dengan istilah invasi transneural.16 Mekanisme lain yaitu respons sitokin. Baik

respons sitokin sistemik maupun sel glial. Di dalam saluran pernapasan, terdapat

mekanisme proteksi terhadap infeksi ini, yaitu mekanisme imun yang mengawali

inflamasi mukosa dan masuknya sel-sel polimorfonuklear, limfosit, dan makrofag

pada mukosa saluran pernapasan. Sitokin-sitokin proinflamasi (seperti IL-6 dan TNF-

α) terinduksi, kemudian dilepaskan oleh sel-sel ini dalam saluran pernapasan. TNF-α

merupakan sitokin proinflamasi yang menyebabkan proses apoptosis dan inhibitor

poten proses respirasi mitokondria. Peningkatan konsentrasi TNF-α yang mendadak

setelah infeksi virus pada sirkulasi sistemik menginduksi mitochondrial permeability

transition (MPT) sistemik pada berbagai organ, dan MPT pada sel-sel kapiler otak

menyebabkan edema otak pada ensefalopati dan ensefalitis virus influenza A. Selain

TNF-α, sitokin-sitokin yang juga berperan pada proses inflamasi ini adalah IL-1, IL-

6, dan IL-8. 17

Ensefalitis dapat terjadi paska infeksi campak. Dikenal sebagai subacute

sclerosing panencephalitis (SSPE). SSPE merupakan inflamasi subakut yang terjadi

di otak dan susunan saraf pusat disebabkan reaktivasi infeksi virus campak.

Patogenesis belum diketahui dengan jelas. SSPE (Dawson’s disease) merupakan

8

Page 9: ensefalitis

kelainan neurodegeneratif yang disebabkan oleh infeksi virus campak yang persisten.

Sebagian besar antigen campak terdapat dalam badan inklusi dan sel otak yang

terinfeksi, tetapi tidak ada partikel virus matur. Keberadaan virus campak intraseluler

laten dalam sel otak pasien dengan SSPE menandakan kegagalan sistem imun untuk

membersihkan infeksi primernya. 27

2.5 Diagnosis

Diagnosis ensefalitis ditegakan berdasarkan manifestasi klinis dan pemeriksaan

penunjang.

2.5.1 Gejala klinis

Masa inkubasi kurang lebih 5-10 hari. Pada fase prodromal, pasien mengalami

malaise, dan demam yang berlangsung 1-7 hari. Manifestasi ensefalitis dimulai

dengan sakit kepala, muntah, perubahan personalitas dan gangguan daya ingat yang

sulit di deteksi terutama pada anak kecil,kemudian pasien dapat mengalami kejang

dan penurunan kesadaran,kejang dapat berupa kejang fokal atau umum. Kejang pada

HSV dapat diawali oleh kejang fokal yang berkembang menjadi kejang umum. 18

Pemeriksaan neurologis biasanya menunjukkan adanya hemiparesis.

Hemiparesis ini adalah manifestasi fokal yang terpenting. Gejala lain dapat berupa

disfasia, ataksia, gangguan sistem otonom, paresis saraf kranialis, dan edema papil N

II. Dapat juga ditemukan tanda rangsangan SSP (koma, stupor, letargi), kaku kuduk,

dan peningkatan reflek tendon.18

Gejala klinis yang muncul pada Japanese ensefalitis hampir sama dengan

ensefalitis lainnya seperti demam, nyeri kepala, muntah, meningismus dan koma.

Kejang dilaporkan terjadi pada 85% pasien anak. Gambaran muka topeng dengan

pandangan kosong atau meringis bisa saja di temukan serta paralisis yang menyerupai

poliomyelitis akut dapat terjadi.24

Subakut sklerosing panencephalitis memiliki gejala klinis yang hampir sama.

Penelitian Saha, dkk di Bangladesh pada 20 kasus ditemukan gangguan kognitif

(85%), kejang mioklonik (80%), gangguan bicara (70%), gangguan berjalan (60%),

disfagia (50%) dan kebutaan (20%).27

9

Page 10: ensefalitis

2.5.2 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah tepi

Pemeriksaan darah tepi rutin pada HSV tidak spesifik. Jumlah leukosit darah

tepi dapat normal atau sedikit meningkat, kadang-kadang dengan pergeseran

ke kiri.7

b. Analisis Cairan Serebrospinal

Cairan serebrospinal normal didapatkan pada seperempat jumlah pasien,

sisanya abnormal. Pada fase awal, leukosit PNM predominan, kemudian

berubah menjadi limfositosis. Penelitian Zhang di Shanghai dari bulan Mei

sampai Juni 2008, pada 19 pasien dengan ensefalitis didapatkan abnormalitas

cairan cerebrospinal pada 15 pasien (78,9%). Tiga belas pasien memiliki

peningkatan jumlah sel darah putih LCS (12-800 x 10⁶/L), dan 12 pasien

memiliki kadar protein LCS yang tinggi (600-1163 g/L) tetapi kadar glukosa

LCS normal. 1

Analisis LCS pada pasien ensefalitis umumnya menunjukkan adanya pleositosis

mononuklear ringan. Konsentrasi protein biasanya meningkat ringan atau sedang.

Ditemukan juga peningkatan eosinofil yang menunjukkan agent penyebab

(terbanyak pada infeksi cacing, T.pallidum, M.pneumoniae, ricketsiia, C.immitis

dan T.gondii). Kadar glukosa biasanya menurun secara signifikan pada

ensefalitis bakteri, sedangkan pada ensefalitis virus bisa menurun ataupun

normal. 1

Tabel 1. Cairan serebrospinal pada infeksi susunan saraf pusat. 5

Meningo-ensefalitis virus

Meningitis bacterial akut

Meningitis tuberkulosa

Fungi Normal

Tekanan

Warna

Normal/↑

Jernih

Keruh

Keruh/

kekuningan

↑/↑↑

Jernih/keruh

10-20 cm

Jernih

10

Page 11: ensefalitis

Sel/mm3

Diff count

LCS/glukosa plasma rasio

Protein(g/l)

5-1000

Limfosit

N

N/↑

0.5-1

100-50000

Netrofil

>1

25-500

Limfosit

↓-↓↓(<30%)

↑-↑↑

1.0-5.0

0-1000

Limfosit

N-↓

N-↑

0.2-0.5

<5

Limfosit

66%

<0.45

c. Neuroimaging

Brain CT Scan dan MRI berguna untuk menyingkirkan kemungkinan

penyakit lain yang memiliki gejala yang mirip dengan gejala ensefalitis. CT scan

( dengan atau tanpa kontras) hanya bisa dilakukan jika MRI tidak bisa dilakukan,

atau tidak tersedia. Walaupun sebenarnya MRI merupakan pemeriksaan yang

dapat mendeteksi secara cepat terjadinya ensefalitis. 1

Setiap agen penyebab biasanya memiliki ciri tersendiri dalam

penampakan secara neuroimaging. Pada pasien dengan ensefalitis herpes

simpleks, terdapat edema dan perdarahan yang signifikan pada bagian temporal;

keterlibatan lobus temporal bilateral adalah ciri yang patognomonis pada

ensefalitis herpes simpleks. Pada pasien dengan ensefalitis yang disebabkan oleh

flavivirus, MRI menunjukkan pola intensitas campuran atau lesi hipodens pada

thalamus, ganglia basalis, dan otak tengah. Pada pasien dengan ensefalitis

enterovirus, MRI memperlihatkan “FLAIR lesions” pada otak tengah, pons dan

medulla.1

11

Page 12: ensefalitis

Gambar 2. Gambaran MRI pada Ensefalitis herpes simpleks26

d. EEG

EEG adalah indikator yang sensitif pada disfungsi otak dan dapat

menunjukkan keterlibatan otak selama tahap awal ensefalitis. Hasil EEG

biasanya tidak spesifik tapi bisa membantu dalam menunjukkan diagnosis

etiologi dari ensefalitis. Sensitifitas EEG kira-kira 84%, tetapi spesifisitasnya

hanya 32,5%. Lebih dari 80% pasien dengan ensefalitis herpes simpleks,

memberikan gambaran periodic lateralizing epileptiform discharges

(perlambatan fokal di daerah temporal atau frontotemporal). Gelombang tajam

dan lambat yang stereotip terjadi pada interval 2-3 detik dan terlihat pada hari 2-

14 setelah onset gejala.1 Sedangkan pada Subacute sklerosing panencephalitis

ditemukan gambaran periodic complexes (kompleks gelombang lambat dan

gelombang dengan amplitudo tinggi yang timbul secara periodik) .27

12

Page 13: ensefalitis

Gambar 3. Periodic lateralizing epileptiform discharges pada ensefalitis herpes simplek.

Gambar 4. Gambaran EEG pada subacute sclerosing panencephalitis. 28

e. Test Serologi

Titer antibodi terhadap ensefalitis herpes simplek dapat diperiksa dalam serum

dan cairan cerebrospinal. Titer antibodi dalam serum tergantung apakah infeksi

13

Page 14: ensefalitis

merupakan infeksi primer atau infeksi rekuren. Pada infeksi primer, antibodi

dalam serum menjadi positif setelah satu sampai beberapa minggu, sedangkan

pada infeksi rekuren kita dapat menemukan peningkatan titer antibodi dalam dua

pemeriksaan, fase akut dan rekonvalesen. Kenaikan titer 4 kali lipat pada fase

rekonvalesen merupakan tanda bahwa infeksi ensefalitis herpes simplek sedang

aktif.1

Titer antibodi dalam cairan cerebrospinal merupakan indikator yang lebih baik,

karena hanya bisa diproduksi bila terjadi kerusakan sawar darah otak. Namun

kemunculan antibodi dalam cairan cerebrospinal sering terlambat, dan baru dapat

dideteksi pada hari 10-12 setelah permulaan sakit.1 Subacute sklerosing

panencephalitis juga dapat dilakukan pemeriksaan antibody measles pada LCS

dan serum.27

f. Biopsi otak

Baku emas dalam diagnosis EHS adalah biopsi otak dan isolasi virus dari

jaringan otak. Banyak pusat penelitian yang tidak mengerjakan prosedur ini

karena bahaya dan kurangnya fasilitas untuk isolasi virus. Kelemahan lainnya

adalah kesulitan yang tinggi dan kemungkinan ditemukannya hasil negatif palsu

karena biopsi dilakukan bukan pada tempat yang tepat. Secara makroskopis pada

biopsi ditemukan perdarahan dan nekrosis pada lobus frontal inferior dan lobus

temporal. Pemeriksaan mikroskopik pada fase akut menunjukkan adanya

inflamasi pada daerah perivaskuler. Kemudian peningkatan aktifitas mikroglia,

mikroglia nodul, dan badan inklusi intranuklear. Jika tidak diberikan terapi yang

adekuat, akan terjadi nekrosis yang kuat, peningkatan aktifitas makrofag, dan

neovaskularisasi. Pada tahap lanjut akan terjadi brain atrofi dan gliosis. Derajat

kerusakan otak pada ensefalitis herpes simplek lebih berat dibandingkan

penyebab ensefalitis lainnya.1

14

Page 15: ensefalitis

Gambar 5. Gambaran makroskopis dan mikroskopis ensefalitis herpes simpleks. 29

2.6. Diagnosis banding

Ada beberapa kondisi medis yang munculan klinisnya menyerupai ensefalitis

virus diantaranya meningitis dan abses serebri. Ensefalitis adalah infeksi di otak,

sedangkan meningitis adalah infeksi yang terjadi di selaput otak (leptomeningen).

Ensefalitis dapat dibedakan dengan meningitis dengan melakukan pemeriksaan tanda

rangsangan meningeal. Penyebab terbanyak abses otak adalah bakteri piogenik,

sedangkan ensefalitis disebabkan oleh virus.

2.7. Tata laksana

Pengobatan simtomatik dan suportif meliputi pengobatan kejang, edema otak,

peninggian tekanan intrakranial, hiperpireksia, gangguan respirasi dan infeksi

sekunder. Pada ensefalitis herpes simpleks (EHS) kita dapat memberikan antivirus

yang spesifik. Pengobatan dengan antivirus harus dimulai sedini mungkin untuk

mencegah terjadinya nekrosis hemoragis yang ireversibel yang biasanya terjadi 4 hari

setelah awitan ensefalitis. Hal ini menimbulkan kesulitan, karena pada fase awal tidak

terdapat cara untuk membuktikan diagnosis. Patokan yang dianut saat ini adalah

pengobatan segera pada pasien yang dicurigai mengalami EHS, kemudian

pengobatan dapat dilanjutkan atau dihentikan sesuai konfirmasi laboratorium.7

15

Page 16: ensefalitis

Vidarabin telah diteliti pada tahun 70-an dan dapat menurunkan mortalitas

dari 70% sampai 40%. Saat ini, acyclovir intravena telah terbukti lebih baik

dibandingkan vidarabin dan merupakan obat pilihan pertama. Acyclovir relatif lebih

aman dan cara pemberian lebih mudah, tersedia dalam sediaan 250 mg dan 500 mg,

yang harus diencerkan dengan akuades atau larutan garam fisiologis. Dosis yang

digunakan adalah 30 mg/kgbb/ 24jam dibagi dalam 3 dosis. Cara pemberian secara

perlahan-lahan dengan pompa suntik atau diencerkan lagi menjadi 100ml dalam

larutan glukosa 5% diberikan selama 1 jam. Efek samping adalah peningkatan kadar

ureum dan kreatinin, tergantung kadar obat dalam plasma. Pemberian acyclovir

perlahan-lahan akan mengurangi efek samping ini.7

Neonatus yang dicuriga terbukti terinfeksi herpes harus segera diberikan

terapi asiklovir 20 mg / kgbb setiap 8 jam selama 14-21 hari. Jika penyakitnya

mengenai kulit, mata dan mulut tetapi belum mengenai sistem saraf pusat diberikan

selama 14 hari. Tetapi jika telah mengenai saraf pusat lama pengobatan selama 21

hari.18

Beberapa penelitian menunjukan asiklovir dan vidarabin dapat mengurangi

mortalitas dan morbiditas ensefalitis akibat infeksi HSV, suatu penelitian yang

membandingkan pemakaian asiklovir 10 mg/kgbb setiap 8 jam selama 12 hari

dibandingkan dengan vidarabin dengan dosis dan lama terapi yang sama menunjukan,

bahwa kedua regimen pengobatan dapat menurunkan angka kematian 14% pada

infeksi virus yang telah mengenai system saraf pusat dan 50% infeksi HSV

diseaminata.20

Penelitian pada neonatus yang mengalami infeksi HSV membuktikan bahwa

pemberian Asiklovir dosis tinggi dan pengobatan jangka lama terbukti cukup aman.

Suatu penelitian pada bayi berusia ≤ 1 bulan dengan infeksi HSV (baik yang

mengenai susunan saraf pusat ataupun disaminata) dan diberikan asiklovir 45-60 mg /

kgBB/ hari dibagi dalam tiga dosis selama 21 hari. Dalam pengamatan selama 4

tahun pasien yang mnerima asiklovir dosis tinggi (60 mg/kgBB/hari) terbukti

memilki angka ketahanan hidup lebih tinggi dibanding bayi yang mendapat dosis 30

mg/kgBB/hari.21

16

Page 17: ensefalitis

2.8. Komplikasi dan prognosis

Komplikasi yang umum dijumpai pada ensefalitis adalah epilepsi. Pasien yang

mengalami ensefalitis memiliki kemungkinan 22% mengalami epilepsi 20 tahun

paska onset. Di antara banyak virus penyebab ensefalitis, ensefalitis herpes simpleks

paling sering menyebabkan epilepsi. Ensefalitis juga dapat mnyebabkan status

epileptikus sehingga memerlukan pengobatan yang agresif. 14

Ensefalitis juga dapat menyebakan gangguan kejiwaan pada anak, berupa

kegelisahan, heiperaktif, delirium, halusinasi penciuman, amnesia dan retardasi

mental. 31 Gejala deficit neurologis yang umum dijumpai paska ensefalitis adalah

gangguan perkembangan dan perilaku, gangguan berbahasa, defisit neurologis dan

epilepsi. Relaps dapat terjadi pada 5-30% kasusa dan beberapa kasus dapat menjadi

ensefalitis kronis. 26

Angka mortalitas ensefalitis pada anak cukup tinggi (35-50%), jika diberikan

terapi asiklovir, angka mortalitas menurun berkisar 0-10%. 26 Prognosis ensefalitis

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur pasien (prognosis akan lebih buruk

untuk anak berumur < 12 bulan), status imun, defisit neurologis yang terjadi paska

onset, dan virulensi virus. 26

17

Page 18: ensefalitis

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Ensefalitis merupakan proses infeksi yang menyerang parenkim otak. Etiologi utama

Ensefalitis pada anak adalah virus, terutama virus herpes simpleks. Gejala klinis

ensefalitis tidak spesifik berupa demam, penurunan kesadaran dan defisit neurologis

(kejang ataupun hemiparese). Untuk dapat menegakkan diagnosis ensefalitis, perlu

dilakukan pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya seperti analisis cairan

serebrospinal, Brain CT Scan, MRI, EEG, serologi virus, dan biopsy otak.

Penatalaksanaan ensefalitis mencakup terapi suportif dan medikamentosa (asiklovir).

Terapi yang adekuat dapat meminimalisir gejala sisa ataupun komplikasi ensefalitis.

18