Edisi I Vol 12 Nomor 35

7
REVIEW ARTIKEL ARTI PENTING SURVEILANS DAN KARAKTERISASI MOLEKULAR VIRUS SWINE INFLUENZA DI INDONESIA Mario Lintang Pratama * * Medik Veteriner pada Laboratorium Bioteknologi – Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta ABSTRAK Artikel ini berisi studi pustaka mengenai perkembangan terbaru wabah influenza tahun 2009 di Meksiko dari beberapa literatur ilmiah, serta disajikan juga beberapa konsep mendasar akan pentingnya surveilans dan penelitian melalui karakterisasi molekuler virus swine influenzadi Indonesia. Tujuan surveilans adalah untuk melakukan investigasi kasus klinis sebagai langkah mencari hewan terbukti terdedah agen infeksi atau setidaknya berperan dalam melakukan kewaspadaan secara dini (early warning)terhadap wabah influenza A pada babi di Indonesia. Tindakan ini diawali denganmerancang metode pengambilan contoh (sampling methods), menentukan besaran sampeldan memproyeksikan kajian observasional analitik yang tepat untuk dilakukan dilapangan. Aktivitas dilaboratorium diagnostik terbatas untuk melakukan isolasi agen infeksius dari sampel lapangan, serta dilanjutkan dengan usaha menemukan lesi patognomonik infeksi virus swine influenza (H1N1) di organ paru babi.Lokasi terbaik untuk dilakukan surveilans swine influenza adalah rumah potong hewan (RPH) babi. Peningkatan kewaspadaan secara dini dilakukan dengan mengenalkan dan berlatih metode diagnosis swine influenza yang cepat, tepat dan akurat. Salah satu contoh dari metode tersebut, yaitukarakterisasi molekular melalui reverse transcriptase – polymerase chain reaction (RT – PCR) secara kualitatif dengan teknis konvensional ataupun secara kuantitatif dengan teknis realtime PCR (qRT – PCR). PENDAHULUAN Pada bulan April 2009,Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika melaporkan bahwa telah di isolasi virus influenza A (H1N1) dari manusia. Data pa- da tanggal 18 Mei 2009 melaporkan bah- wa dari 8829 laboratorium diagnostik di dunia mengkonfirmasikan telah terjadi ka- sus infeksi di 40 negara, dengan 74 lapor- an kematianpada manusia (Garten dkk, 2009; Wang dan Pallese, 2009). Menurut CDC Amerika, virus influenza A (H1N1) yang terisolasi dari manusia mempunyai karakteristik unik yang teramati pada seg- men gen yang terkombinasi. Detail me- ngenai segmen gen yang terkombinasi ini, yaitu dari segmen gen neuraminidase (NA) dan Matriks (M) memiliki kemiripan dengan lineage genetik babi di wilayah eu- rasia. Kombinasi berbeda untuk NA dan M, dikonfirmasi berasal dari segmen gen virus avian influenza yang telah menga- lami reassortant di tubuh babi. Lebih detail dilaporkan, reassortantpertama terjadi di tahun 1979 pada populasi babi di wilayah eurasia. sebelumnya belum pernah dila- porkan bahwa isolat virus pernah teriden- tifikasi keluar wilayah eurasia. Konfirmasi untuk segmen gen HA, nukleoprotein (NP) dan non – struktural (NS) mempunyai kemiripan dengan lineage genetik dengan classical swine influenza. Determinasi segmen gen HA, NP dan NS untuk clas- sical swine influenza (H1N1) dikonfirmasi berdasarkan sejarah yang awalnyaberasal dari kejadian triple reassortant pertama di tahun 1918. Untuk polimerase B2 (PB2) dan polimerase A(PA) merupakan segmen gen yang telah mengalami triple reas- sortantdi tahun 1968 dan tahun 1998. Be- rita mengenai lineage genetik segmen gen PA dan PB2 di informasikan masuk ke wilayah Amerika Selatan pada tahun 1998. Segmen gen terakhir yang dikonfir- masi mengalami triple reassortant, yaitu polimerase B1 (PB1). Untuk segmen gen PB1, identifikasi molekuler dan karakteri- sasi melalui filogenetik tree di konfirmasi

Transcript of Edisi I Vol 12 Nomor 35

  • REVIEW ARTIKEL

    ARTI PENTING SURVEILANS DAN KARAKTERISASI MOLEKULAR VIRUS SWINE INFLUENZA DI INDONESIA

    Mario Lintang Pratama *

    * Medik Veteriner pada Laboratorium Bioteknologi Balai Besar Veteriner Wates Jogjakarta

    ABSTRAK

    Artikel ini berisi studi pustaka mengenai perkembangan terbaru wabah influenza tahun 2009 di Meksiko dari beberapa literatur ilmiah, serta disajikan juga beberapa konsep mendasar akan pentingnya surveilans dan penelitian melalui karakterisasi molekuler virus swine influenzadi Indonesia. Tujuan surveilans adalah untuk melakukan investigasi kasus klinis sebagai langkah mencari hewan terbukti terdedah agen infeksi atau setidaknya berperan dalam melakukan kewaspadaan secara dini (early warning)terhadap wabah influenza A pada babi di Indonesia. Tindakan ini diawali denganmerancang metode pengambilan contoh (sampling methods), menentukan besaran sampeldan memproyeksikan kajian observasional analitik yang tepat untuk dilakukan dilapangan. Aktivitas dilaboratorium diagnostik terbatas untuk melakukan isolasi agen infeksius dari sampel lapangan, serta dilanjutkan dengan usaha menemukan lesi patognomonik infeksi virus swine influenza (H1N1) di organ paru babi.Lokasi terbaik untuk dilakukan surveilans swine influenza adalah rumah potong hewan (RPH) babi. Peningkatan kewaspadaan secara dini dilakukan dengan mengenalkan dan berlatih metode diagnosis swine influenza yang cepat, tepat dan akurat. Salah satu contoh dari metode tersebut, yaitukarakterisasi molekular melalui reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT PCR) secara kualitatif dengan teknis konvensional ataupun secara kuantitatif dengan teknis realtime PCR (qRT PCR).

    PENDAHULUAN

    Pada bulan April 2009,Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika melaporkan bahwa telah di isolasi virus influenza A (H1N1) dari manusia. Data pa-da tanggal 18 Mei 2009 melaporkan bah-wa dari 8829 laboratorium diagnostik di dunia mengkonfirmasikan telah terjadi ka-sus infeksi di 40 negara, dengan 74 lapor-an kematianpada manusia (Garten dkk, 2009; Wang dan Pallese, 2009). Menurut CDC Amerika, virus influenza A (H1N1) yang terisolasi dari manusia mempunyai karakteristik unik yang teramati pada seg-men gen yang terkombinasi. Detail me-ngenai segmen gen yang terkombinasi ini, yaitu dari segmen gen neuraminidase (NA) dan Matriks (M) memiliki kemiripan dengan lineage genetik babi di wilayah eu-rasia. Kombinasi berbeda untuk NA dan M, dikonfirmasi berasal dari segmen gen virus avian influenza yang telah menga-lami reassortant di tubuh babi. Lebih detail

    dilaporkan, reassortantpertama terjadi di tahun 1979 pada populasi babi di wilayah eurasia. sebelumnya belum pernah dila-porkan bahwa isolat virus pernah teriden-tifikasi keluar wilayah eurasia. Konfirmasi untuk segmen gen HA, nukleoprotein (NP) dan non struktural (NS) mempunyai kemiripan dengan lineage genetik dengan classical swine influenza. Determinasi segmen gen HA, NP dan NS untuk clas-sical swine influenza (H1N1) dikonfirmasi berdasarkan sejarah yang awalnyaberasal dari kejadian triple reassortant pertama di tahun 1918. Untuk polimerase B2 (PB2) dan polimerase A(PA) merupakan segmen gen yang telah mengalami triple reas-sortantdi tahun 1968 dan tahun 1998. Be-rita mengenai lineage genetik segmen gen PA dan PB2 di informasikan masuk ke wilayah Amerika Selatan pada tahun 1998. Segmen gen terakhir yang dikonfir-masi mengalami triple reassortant, yaitu polimerase B1 (PB1). Untuk segmen gen PB1, identifikasi molekuler dan karakteri-sasi melalui filogenetik tree di konfirmasi

  • berasal dari virus dari influenza A yang menyerang unggas di tahun 1968 (Easterday, 2003; Ma dkk.,2008). Virus swine flu atau lebih dikenal sebagai swine-origin influenzaA (H1N1) (S-OIV) mempunyai kesamaan jalur transmisi de-ngan kejadian flu musiman. Transmisi ma-nusia ke manusia biasa terjadi melalui in-halasi droplet infeksius, utamanya berasal dari kontak langsung sekresi massa ae-rosol. Jalur transmisi lain yang sangat di-mungkinkan, yaitu penularan dari babi ke manusia (Sinha, 2009). Menurut informasi dari MenteriKesehatanRepublik Indonesia padatanggal 9 Juli 2009, berbagai rumah sakit di Indonesia melaporkan sebanyak 52 manusiapositifterinfeksi S-OIV (Kom-pas, 10 Juli 2009).Dari statement tersebut, maka tidak menutup kemungkinan di Indo-nesia telah ada masterseed S-OIV yang telah menular ke spesies babi dan siap menular ke manusia. Untuk itu, penelitian melalui karakterisasi molekular virus swine influenza di Indonesia sangat perlu dilaku-kan. Dengan penelitian, diharapkan dapat memberi data subtipe virus influenzaA yang sering menginfeksi babidi Indonesia yang kemungkinan juga dapat menginfeksi manusia.

    STUDI PUSTAKA

    Kejadian Penyakit

    Swine influenza merupakan penyakit per-nafasan pada babi yang ditandai dengan gejala klinis, berupa demam, tachypnea, anoreksia dan dipsnoe (Murphy dkk.,1999; Yoon dan Janke, 2002; Jo dkk.,2007). Fasilitas mixing vessel yang diperantarai oleh tubuh babi telah dipublikasikan dan diterima secara ilmiah sebagai faktor pre-disposisi penyebab pandemik virus influ-enza A di manusia (Kida dkk.,1994). Tiga subtipe virus swine influenza yang penye-barannya hampir ada di seluruh negara di dunia, yaitu H1N1, H3N2, dan H1N2 (Brown, 2000).

    Di Eropa, virus influenza A (H1N1) secara antigenik berbeda dengan virus swine in-fluenza (H1N1) klasik yang secara perda-na di identifikasi pada tahun 1979 (Pen-saert, 1981).Virus influenza A (H1N2) per-tama di identifikasi pada awal tahun 1990, mayoritas kejadian penyakit influenza pa-da babi disebabkan oleh subtipe ini (Brown, 2000). Determinan antigenik dari

    H1N2 di konfirmasimempunyai kedekatan genetik dengan virus influenza A yang ber-asal dari manusia. Determinasi kesamaan genetik ini berada pada segmen gen HA (H1N2) yang serupa dengan segmen gen HA (H1N1). Sedangkan untuk segmen gen NA (H1N2), dikonfirmasi mempunyai kesamaan genetik dengan human-like N2 neuraminidase (NA). Di Amerika, agen pe-nyebab swine influenzapada babi, di domi-nasi oleh virus dengan subtipe H1N2 dan H3N2. Konfirmasi lineage genetik virus swine influenza yang berada di Amerika, utamanya merupakan derivat gen virus in-fluenza A yang berasal dari manusia, babi dan unggas. Kejadian triple reassortant vi-rus influenza A yang terjadi di Amerika, di-konfirmasi awalnya terjadi pada tahun 1998 (Ito dkk.,1998; Garten dkk.,2009). Di Asia, informasi mengenai epidemi swine influenza terbatas untuk negara Jepang dan Korea. Untuk negara Jepang dan Ko-rea, tidak ada dominasi subtipe virus influ-enza A yang menyerang populasi babi. Subtipe virus swine influenza di negara tersebut, agen penyebab penyakit merata teridentifikasi sebagai subtipe H1N1, H1N2, dan H3N2 (Choi dkk.,2004; Ito dkk.,1998; Song dkk.,2003).

    Terminasi Residu Asam Sialat Sebagai Reseptor Virus Influenza

    Virus influenza A diinformasikan mampu berikatan dengan terminasi reseptor Neu-Ac 2,3 yang banyak ditemukan di salu-ran pencernaan unggas. Reseptor virus influenza unggas bersifat spesifik dan ber-beda dengan terminasi reseptor virus influ-enza pada manusia, yaitu NeuAc 2,6 yang banyak ditemukan pada saluran per-nafasan manusia. Deskripsi tersebut memberikan wawasan kepadaahli patologi dan virologi diseluruh dunia bahwa resep-tor bukanlah alasan yang absolut bahwa penularan virus influenza A lintas spesies tidak dapat terjadi (Webby dan Webster, 2001).

    Analisis molekular dari residu asam sialat di trachea babi memberikan informasi bah-wa hewan ini memiliki 2 reseptor virus in-fluenza, yaituNeuAc 2,3 dan NeuAc 2,6. Situasi ini menjadikan babi sebagai hospes perantara dalam merubah struktur antigenik epitope HA dan NA (antigenic drift) virus influenza A yang berasal dari unggas dan mammalia.Tidak sebatas me-

  • rubah struktur protein HA dan NA, selan-jutnya hospes perantara ini juga mem-fasilitasi kejadian rekombinan genetik (ge-netic reassortment) beberapa gen lain. Proses rekombinan genetik dalam tubuh babi menghasilkan virus influenza A baru dengan keragaman gen yang berasal dari virus avian influenza, classical swine influ-enza dan human influenza. Virus hasil re-kombinan genetik dalam tubuh babi ini yang diinformasikan selalu menjadi pan-demi influenza di manusia (Ito dkk.,1998).

    Perlu diketahui dalam memahami rekom-binan genetik virus influenza A, setiap ke-jadian pandemi influenza A pada manusia memerlukan periode waktu yang ber-langsung puluhan tahun. Sebagai contoh, pandemi influenza A pertama terjadi di Spanyol pada tahun 1918, selanjutnya di-susul pada tahun 1957, 1977 dan 2009 (Garten dkk., 2009).

    Influenza Pada Babi

    Swine influenza merupakan penyakit viral pada babi yang disebabkan oleh virus influenza (Cox dan Kawaoka, 1998). Virus influenza termasuk anggota keluarga or-thomyxoviridae, virus ini mempunyai mate-ri genetik berpolaritas negatif, memiliki amplop dan terklasifikasikan menjadi tipe A, B dan C (Voyle, 2002; Murphy dkk.,1999). Setiap tipe virus influenza di-klasifikasikan menurut perbedaan sifat an-tigenisitas struktur protein internal, dipe-rantarai oleh nukleoprotein dan protein matriks (Murphy dkk.,1999).

    Virus influenza A merupakan agen penye-bab penyakit influenzapada beberapa spe-sies yang utamanya merupakan agen etio-logi swine influenza pada babi. Dua tipe lain dari virus influenza, yaitu virus influ-enza B dan C. Virus influenza tipe B dan C dapat di isolasi dari manusia dan umum-nya bersifat kurang patogen dibandingkan virus influenzaA. Determinan antigen uta-ma virus influenza A dan B adalah gliko-protein transmembran hemagglutinin (HA) dan neuraminidase (NA). Protein HA berfungsi sebagai agen perlekatan virus dengan sel tropisme, dan merupakan anti-gen utama pembentukkan antibodi protek-tif. Protein NA berfungsi pada akhir repli-kasi virus, yaitu dengan memindahkan re-sidu asam sialat dari glikoprotein mem-bran sel hospes, sehingga mempermudah pelepasan partikel virus dan mencegah

    agregasi mereka. Kedua glikoprotein, HA dan NA mampu menstimulasi terjadinya respon imun spesifik terhadap subtipe vi-rus. Respon kekebalan yang terbentuk da-lam tubuh babi sepenuhnya bersifat pro-tektif untuk virus dengan subtipe sejenis, dan bersifat partial untuk subtipe yang ber-beda. Berdasarkan sifat antigenisitas dari HA dan NA, saat ini virus influenza dite-tapkan sesuai dengan analisis filogenik nukleotida dan sequencing gen HA dan NA melalui identifikasi urutan asam amino (Cox dan Kawaoka, 1998; Voyle, 2002).

    Virion spesifik virus influenza A adalah bundar, berukuran medium (80-90 nm), beramplop dengan lapisan lipid bilayer yang berasal dari hospes, dan ditutupi se-kitar 500 tonjolan glikoprotein yang me-miliki aktivitas hemagglutinin dan neura-minidase. Selain itu, virus swine influenza mempunyai segmen yang tersusun dalam rangkaian RNA, tiap segmen merupakan gen yang akan menghasilkan protein un-tuk mempertahankan kemampuan viabili-tas. Kedelapan segmen ini terdiri dari gen HA, NA, NP, M, PA, PB1, NS, PB1, PB2 dan PA. Dari 8 segmen gen tersebut, ter-dapat 5 segmen gen yang berfungsi untuk menyandi protein struktural (HA, NA, NP, M dan NS), dan 3 segmen gen yang men-jandi protein polimerase (PA, PB1 dan PB2). Komponen protein terbanyak adalah protein matriks (M1) yang susunannya ter-diri dari banyak monomer sejenis dan ter-asosiasi pada bagian internal lapisan lipid bilayer (Cox dan Kawaoka, 1998; Horio-moto dan Kawaoka, 1997).

    Amplop virus berasal dari dinding sel hos-pes yang mengelilingi partikel virus (vi-rion). Dua segmen gen, yaitu gen HA dan NA disandi untuk menjadi glikoprotein yang tersisip di permukaan amplop dan tersingkap sebagai tonjolan dengan pan-jang 60 nm pada permukaan virion. Kedua glikoprotein ini merupakan antigen penting dalam menentukan variasi antigen virus influenza dan immunitas hospes. Hem-agglutinin mewakili 25% protein virion, dan NA sekitar 5%. Protein saluran ion M2 ju-ga berada di amplop, tetapi jumlah protein tersebut terbatas (Fouchier dkk., 2005).

    Resistensi virus swine influenza

  • Di alam, resistensi virus influenza dipe-ngaruhi oleh temperatur dan tingkat ke-lembaban. Temperatur yang rendah dan kelembaban tinggi, biasanya menjadikan resistensi virus influenza diperpanjang. Beberapa penelitian terkait resistensi virus untuk bertahan di alam, antara lain : virus influenza masih efektif di dalam feses se-lama 30-35 hari pada temperatur 4oC dan selama 7 hari pada temperatur 20oC (Webster et al.,1978), serta pada lingku-ngan peternakan infektivitas virus dapat bertahan selama 4 hari pada temperatur 22oC dan lebih dari 30 hari pada tempe-ratur 0oC (Webster dkk.,1978;Hinshaw dkk.,1984).

    Virus influenza merupakan virus beram-plop, kondisi ini menjadikan virus influenza relatif sensitif terhadap inaktivasi oleh pe-larut lemak, seperti deterjen. Infektivitas vi-rus juga dapat dirusak dengan cepat, oleh formalin, -propiolakton, agen oksidan, di-lute acid, ether, sodium desoxycholate, hi-droksilamin, sodium desoksilsulfat dan ion ammonium. Keadaan lain yang mendu-kung inaktivasi virus influenza berdasar-kan instabilitas struktur virus, antara lain panas, pH terlalu tinggi, kondisi non iso-tonik dan kekeringan (Easterday dkk.,1997).

    Diagnosis

    Gold standard untuk diagnosa penyakit swine influenza adalah berdasarkan iso-lasi dan identifikasi virus. Hingga saat ini, standar kultivasi virus swine influenza ma-sih mengacu pada pemakaian teknik kultur di telur ayam bertunas (TAB) atau melalui teknik kultur sel dengan memakai madin darby canine kidney (MDCK) cell line. Efek sitopatologi di media kultur tidak terlihat secara nyata, tetapi pertumbuhan virus di media biasa ditandai dengan adanya he-madsorbsi di hari ke-3 dan ke-7 pasca ino-kulasi. Prosedur identifikasi isolat virus swine influenza biasanya dilakukan mela-lui metode immunoassay dengan menggu-nakan antibodi monoklonal yang telah di label dengan enzim spesifik untuk virus in-fluenza yang telah di sesuaikan tipe dan subtipenya (Murphy dkk.,1999).

    Untuk kejadian di lapangan yang menuntut diagnosis secara tepat dan cepat, infeksi virus swine influenza dapat di konfirmasi berdasarkan kombinasi dari pengamatan gejala klinis, perubahan spesifik untuk lesi

    makroskopis dan histopatologi, diagnostic kit (rapid test), asam nukleat virus (anti-gen) dan uji serologis. Swab nasal dan tra-chea untuk babi yang terinfeksi swine in-fluenza secara akut, merupakan prosedur awal teknik pengambilan sampel untuk isolasi virus. Babi dengan gejala klinis de-mam dengan temperatur 41oC dan tam-pak adanya leleran nasal yang berwarna bening merupakan jenis sampel yang baik untuk di pilih. Umumnya, immunitas babi untuk menghadapi kehadiran virus swine influenza akan timbul secara cepat. Ini di-karenakan, sheding virus swine influenza dalam tubuh babi hanya mampu bertahan 5 sampai 7 hari masa infeksi (Yoon dan Janke, 2002; Spronk, 2001).

    Pengambilan organ paru segar, serta or-gan paru yang telah di fiksasi dengan for-malin merupakan teknik pengambilan sampel post-mortem yang umum dilaku-kan untuk mendiagnosis virus swine influ-enza pada babi (Yoon dan Janke, 2002). Inisiasi awal dari patogenesis virus swine influenza, dimulai dengan mekanisme in-feksi di epithelium yang melapisi saluran pernafasan (Morin dkk.,1990; Jung dkk., 2009; Yoon dan Janke, 2002). Lesi patog-nomonik dari kejadian infeksi adalah bron-chopneumonia. Karakteristik khas dari lesi bronchopneumonia, biasa di tandai de-ngan adanya multiple coalescing foci dari lobus yang mengalami konsolidasi di ba-gian cranioventral organ paru. Virus tetap terdeteksi di bronchiole dan alveoli pada 48-72 jam dari masa infeksi. Studi yang menarik, identifikasi virus melalui flou-rescent antibodi dan immunohistokimiadi masa 72 jam pasca infeksi virus swine in-fluenza, selalu mengidentifikasikan kuan-titas jumlah virus yang sedikit (Yoon dan Janke, 2002).

    Spesimen diagnostik mampu untuk di uji secara molekular, salah satunya dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR). Uji molekuler yang berba-sis PCR mampu di aplikasikan untuk men-diagnosis spesimen biologis yang berasal dari swab nasal (antemortem) dan organ paru (postmortem). Uji molekuler ini, di-konfirmasi mempunyai nilai spesifitas yang sempurna dan sensitivitas yang baik. Diagnosis molekuler melalui PCR dikon-firmasi mampu membedakan subtipe virus secara langsung (Yoon dan Janke, 2002; Voyle, 2002). Beberapa penelitian menge-

  • nai swine influenza telah memakai tekno-logi PCR untuk mendefinisikan banyak as-pek di dunia kesehatan hewan, seperti de-teksi pandemi influenza A (H1N1) melalui realtime PCR (Wu dkk.,2009; Gunson dkk.,2009), maupun aplikasi multipleks PCR yang mensequence 4 gen dalam sa-tu kali running (Jindal dkk.,2009).

    Teknik RT PCR merupakan modifikasi dari teknik PCR, karena dalam aplikasinya tidak memerlukan isolasi molekul DNA. Proses reverse trancriptase umum dilaku-kan di bidang molekular, khususnya untuk pencetakan pustaka complementary DNA (cDNA library). Teknik ini, biasa digunakan untuk mendapatkan protein rekombinan. Protein rekombinan merupakan teknik mo-lekular pensintesisan protein spesifik un-tuk organisme eukaryotik. Pengertian pus-taka cDNA, spesifik ditujukan untuk orga-nisme eukaryotik, karena segmen gen dalam genom organisme ini dipisahkan menjadi segmen gen fungsional (exon) dan segmen gen yang tidak disandi men-jadi mRNA (intron). Berbeda dengan pro-karyotik, segmen gen pada DNA diwhole genometidak dipisahkan menjadi exon dan intron (polisistronik) (Capua dan Alexan-der, 2009; Ptashne danGann, 2002; Sam-brook dkk.,2001; Yuwono, 2006; 2008; Sudjadi, 2008). Enzim reverse trancriptase merupakan substrat protein yang terkan-

    dung di kelompok virus RNA (Capua dan Alexander, 2009; Lodish dkk.,2000).

    Enzim reverse trancriptase, diperlukan un-tuk aktivitas retrotranskripsi molekul RNA menjadi cDNA. Berdasarkan teknis opera-sional reverse trancriptase, saat ini RT PCR untuk virus influenza A dapat di aplikasikan menjadi 2 tipe reaksi, yaitu re-aksi one step dan reaksi two step. Secara teknis laboratorium, prosedur one step le-bih menguntungkan dibandingkan prose-dur two step. Konfirmasi menguntungkan dari prosedur one step dibandingkan two step, yaitu aplikasinya lebih mudah dan le-bih cepat. Selain itu, prosedur one step di-konfirmasi memiliki nilai resiko lebih minim untuk terkontaminasi (Capua dan Alexan-der, 2009; Voyle, 2002).

    Sequencing merupakan teknik untuk pe-ngurutan nukleotida secara cepat dan te-pat. Untuk biologi molekular ada 2 metode sequencing DNA, yaitu metode Maxam-Gilbert atau lebih dikenal sebagai sequen-cing fragmen DNA secara kimiawi, serta metode Sanger atau dikenal sebagai tek-nik sequencing fragmen DNA secara en-zimatis. Kedua metode ini memiliki kesa-maan, karena untuk keduanya mengguna-kan polyacrilamide gel electrophoresis un-tuk memisahkan fragmen DNA yang ber-beda ukuran (Lodish dkk.,2000).

    DAFTAR PUSTAKA

    Alexander, D.J., dan Capua, I. 2009. Avian Influenza and Newcastle Disease : A Field and Laboratory Manual. Springer-Verlag, Italia.

    Brown, I.H. 2000. The Epidemiology and Evolution of Influenza Viruses in Pigs. Veterinary Microbiology, Vol. : 74, Hal : 29 46.

    Choi, Y.K., Lee, J.H., Erickson, G., Goyal, S.M., Joo, H.S., Webster, R.G., dan Webby, R.J. 2004. H3N2 Influenza Virus Transmission From Swine to Turkey, United States.

    Emerging Infectious Disease, Vol. : 10, No. : 12, Hal. : 2156 2160.

    Cox, N.J., dan Kawaoka, Y. 1998. Orthomyxoviruses: Influenza. DalamTopley and Wilsons Microbiology and Microbial Infections. 9th edition. Hal : 385-421.

    Easterday, B.C., Hinshaw, V.S., and. Halvorson,D.A. 1997. Influenza. DalamDisease of Poultry. Tenth edition. Iowa State University Press. Hal. : 583-605

    Easterday, B.C. 2003. Swine Influenza : Historical Perspective. Proceeding 4th International Symposium Emerging and Re emerging Pig Disease, Rome June 29th July 2nd 2003.

  • Fouchier Ron, A.M., Osterhaus, A.D.M.E.,danOlsen, B.,2003. Animal influenza virus surveillance.Vaccine, Vol : 21, Hal : 17541757.

    Garten, R.J., Davis, C.T., Russel, C.A.,Shu, B., Lindstrom, S., Balish, A., Sessions, W.M., Xu, X., Skepner, E., Deyde, V., Okomo-Adhiambo, M., Gubareva, L., Barnes,J., Smith, C.B., Emery,S.L., Hillman, M.J., Rivaille, P., Smagala, J., de Graaf, M., Burke, D.F., Fouchier Ron, A.M.,Pappas, C., Alpuche-Aranda, C.M., Lpez-Gatell, H., Olivera, H., Lpez, I., Myers, C.A., Faix, D., Blair,P.J., Yu, C., Keene, K.M., Dotson Jr. P.D., Boxrud, D., Sambol, A.R., Abid, S.H., St. George, K., Bannerman, T., Moore, A.L., Stringer, D.J., Blevins, P., Demmler-Harrison,G.J., Ginsberg, M., Kriner,P., Waterman, S., Smole, S., Guevara., H.F., Belongia, E.A., Clark, P.A., Beatrice, S.T., Donis, R., Katz, J., Finelli, Lyn., Bridges, C.B., Shaw, M., Jernigan, D.B., Uyeki, T.M., Smith, D.J., Klimov, A.I., danCox, N.J. 2009. Antigenic and Genetic Characteristics of Swine Origin Influenza A

    Viruses (H1N1) Circulating in Human. Science, Vol. : 325, Hal. : 197-201.

    Gunson, R., Mac Lean, A., dan Davies, E. 2009. Development of Multiplex Real-Time RT-PCR That Allows Universal Detection of Influenza A Viruses and Simultaneous Typing of Influenza A (H1N1) 2009 Viruses. Virus Research, Vol : 163 (2), Hal : 258261.

    Hinshaw, V.S., Alexander, D.J., dan Aymard, M. 1984. Antigenic Comparison of Swine Influenza Like H1N1 Isolate from Pigs, Birds, and Humans: An International Collaborative Study. Bulletin of the World Health Organization, Vol : 62, Hal : 871-878.

    Horiomoto, T., dan Kawaoka, Y. 1997. A Possible Mechanism for Selection of Virulent Influenza Viruses in 14-Day-Old Embryonated Eggs. J. Vet. Med. Sci. Vol : 60 (2), Hal : 273-275.

    Ito, T., Couceiro, J.N., Kelm, S., Baum, L.G., Krauss, S., Castrucci,M.R., Donatelli, I., Kida, H., Paulson, J.C., Webster, R.G.,Kawaoka, Y., 1998. Molecular Basis for the

    Generation in Pigs of Influenza A Viruses with Pandemic Potential. J. Virol.Vol. :72, Hal. : 73677373.

    Jindal, N., Chander, Y., dan Abin, M. 2009. Amplification of four Genes of Influenza A Viruses using A Degenerate Primer Set in One Step RT-PCR Method.J. Virology Methods, Vol : 60, Hal : 163-166.

    Jo, S.K., Kim, H.S., Cho, S.W., dan See, S.H. 2007. Pathogenesis and Inflamatory Response of Swine H1N2 Influenza Viruses in Pigs. Virus Research, Vol : 129, Hal : 64-70.

    Jung, K., Lee, C.S., dan Kang, B.K. 2009. Pathology in Dogs With Experimental Canine H3N2 Influenza Viruses Infection. Res. Vet. Sci: Vol. : xxx, Hal. : xxx xxx.

    Lodish, H., Berk, A., Zipursky, S., Matsudaira, P., Baltimore, D., Sanes, D.H., Reh, T.A., and Harris, W.A. (2000). Molecular Cell Biology. Fourth Edition.: W. H. Freeman and

    Company, Basingstoke, UK.

    Kida, H., Ito, T., Yasuda, J., Shimizu, Y., Itakura, C., Shortridge, K. F.,Kawaoka, Y., and Webster, R. G. (1994). Potential for Transmission of Avian Influenza Viruses to Pigs.J. Gen.

    Virol. Vol. : 75, Hal. : 2183 2188.

    Ma, W., Kahn, R.E., Richt, J.A. 2009. The Pig as a Mixing Vessel for Influenza Viruses: Human and Veterinary Implications. J Mol. Gen. Med. Vol : 3, Hal : 158-166.

    Morin, M., Girard, C., El Azhary, Y. 1990. Severe Proliferative and Necrotizing Pneumonia in Pigs: A Newly Recognized Disease. Can. Vet. J.Vol : 31, Hal : 837-839.

  • Murphy, F. A., Gibbs, E. P. J., Horzinek, M. C., danStuddert, M. J. 1999. Laboratory diagnosis of viral diseases, DalamVeterinary Virology, 3rd ed. New York: Academic Press.

    Pensaert, M., K. Otis, J. Vandeputte, M.M. Kaplan, dan P.A. Bachmann. 1981. Evidence for the natural transmission of influenza A viruses from wild ducks to swine and its potential impor-tance for man. Bulletin of the World Health Organization. Vol. : 59, Hal. : 7578.

    Ptashne, M., dan Gann, A. 2002. Lesson From Bacteria. DalamGenes and Signals. 1st Edition. Coldspring-Harbour Laboratory Press, US. Hal : 11-25.

    Sambrook, C., Fritch, E.F., dan Maniatis, T. 2001. Molecular Cloning Laboratory Manual. 3rd Editions. Coldspring-Harbour Laboratory Press, UK.

    Song, D.S., Lee, C.S., dan Jung, K. 2006. Isolation and Phylogenetic Analysis of H1N1 Swine Influenza Virus Isolated in Korea. Virus Research, Vol : 125, Hal : 98-103.

    Spronk, G.D. 2001. Swine Influenza Virus. Advance in Pork Production, Vol : 12, Hal : 51-54.

    Sudjadi. 2008. Teknik Biokimia Molekular. DalamBioteknologi Kesehatan. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Hal : 91-146.

    Voyle, B.A. 2002. Effect of Viral Infections on Host Cells : Cytological and Inductive Effects. Dalam The Biology of Viruses. McGraw Hills Higher Education. A Division of the McGraw Hill Companies. Hal : 235 371.

    Wang, T.T., dan Pallese, P. 2009. Unravelling the Mystery of Swine Influenza Virus. Cell, Vol. : 137, Hal : 983-985.

    Webster R. G., Yakhno, M.A., Hinshaw, V. S., Bean, W. J., dan Murti, K. G. 1978. Intestinal Influenza Replication and characterization of Influenza Virues in Duck. Virology, Vol : 84, Hal : 268 278.

    Wu, W., Kang, X., Bai, Z. 2009. Detection of Pandemic Influenza A/ H1N1/2009 Virus by Real Time Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction. J Virology Methods, Vol. :160, Hal : 210 213.

    Yoon, K.J., Janke, B.H. 2002. Swine Influenza: Etiology, Epidemiology and Diagnosis. DalamTrends in Emerging Viral Infection of Swine. IOWA State University Press, US. Hal : 23-28.

    Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reactions. Edisi Pertama. Andi Publishing, Yogyakarta-Indonesia.

    Yuwono, T. 2008. Replikasi Bahan Genetik. Dalam Biologi Molekular. Edisi Pertama. Penerbit Erlangga, Jakarta-Indonesia.

    ----- =o0o= -----