EBM PCOS

11
Skenario Seorang wanita 26 tahun, berat badan 61 kg dan tinggi badan 160cm datang dengan keluhan tidak menstruasi sudah 1 tahun ini. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu USG. Dokter mendiagnosis wanita tersebut terkena Polikistik Ovarium Sindrome. Dokter memberikan obat clomiphene sitrat dan dianjurkan untuk kontrol kembali pada hari ke-10-14 haid. Selama 2 tahun dokter tersebut memberikan clomiphene sitrat namun tidak ada perubahan yang signifikan. Sehingga pada kontrol berikutnya wanita tersebut diberi letrozole namun wanita tersebut pernah membaca dari artikel kesehatan bahwa seseorang yang terkena PCOS dapat dilakukan laparoskopi diathermy ovarium. Dokter tidak yakin akan efektifitas dari laparoskopi diathermy ovarium tersebut dan memerlukan waktu untuk mencari tahu tentang kegunaan laparoskopi diathermy ovarium sebelum menjawab pertanyaan wanita tersebut. Pertanyaan (foreground) Apakah seorang wanita dengan diberi letrozole atau hanya dengan dilakukan laparoskopi diathermy ovarium dapat lebih efektif untuk menginduksi ovulasi? PICO Patient/problem : Seorang wanita dengan PCOS Indicator : Diberi letrozole Comparison : Dilakukan laparoskopi diathermy ovarium Outcome : Efektif untuk menginduksi ovulasi 1

description

ebm

Transcript of EBM PCOS

SkenarioSeorang wanita 26 tahun, berat badan 61 kg dan tinggi badan 160cm datang dengan keluhan tidak menstruasi sudah 1 tahun ini. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu USG. Dokter mendiagnosis wanita tersebut terkena Polikistik Ovarium Sindrome. Dokter memberikan obat clomiphene sitrat dan dianjurkan untuk kontrol kembali pada hari ke-10-14 haid.Selama 2 tahun dokter tersebut memberikan clomiphene sitrat namun tidak ada perubahan yang signifikan. Sehingga pada kontrol berikutnya wanita tersebut diberi letrozole namun wanita tersebut pernah membaca dari artikel kesehatan bahwa seseorang yang terkena PCOS dapat dilakukan laparoskopi diathermy ovarium. Dokter tidak yakin akan efektifitas dari laparoskopi diathermy ovarium tersebut dan memerlukan waktu untuk mencari tahu tentang kegunaan laparoskopi diathermy ovarium sebelum menjawab pertanyaan wanita tersebut.

Pertanyaan (foreground)Apakah seorang wanita dengan diberi letrozole atau hanya dengan dilakukan laparoskopi diathermy ovarium dapat lebih efektif untuk menginduksi ovulasi?

PICOPatient/problem: Seorang wanita dengan PCOSIndicator: Diberi letrozoleComparison: Dilakukan laparoskopi diathermy ovariumOutcome: Efektif untuk menginduksi ovulasi

Type of Question : PrognosisType of Study: Randomized Controlled TrialKeywords: Polycystic ovary syndrome and letrozole and laparoscopicSumber: Ebsco Host, Limitation: 2010-2015Search results: 6

Title :1. Hashim A. 2010. Letrozole versus laparoscopic ovarian diathermy for ovulation induction in clomiphene-resistant women with polycystic ovary syndrome: a randomized controlled trial. 282 (5), 567-71.2. Sayed A. 2011. Reproductive outcome after letrozole versus laparoscopic ovarian drilling for clomiphene-resistant polycystic ovary syndrome. 113 (3), 218-21.3. Franik S. 2014. Aromatase inhibitors for subfertile women with polycystic ovary syndrome. 2.4. Spritzer PM. 2015. Novel strategies in the management of polycystic ovary syndrome. 5. Usadi RS. 2012. Reproductive impact of polycystic ovary syndrome. 19 (6), 505-11. 6. Sirmans SM. 2013. Epidemiology, diagnosis, and management of polycystic ovary syndrome. 6, 1-13.

Critical Appraisal

VALIDITY

1. Apakah terdapat sampel pasien yang representatif dan didefinisikan secara jelas pada titik yang sama (Similar point) dalam perjalanan penyakit (course of the disease) ?

Pada hal. 568, paragraf ke 3, baris ke 1-6 dijelaskan bahwa 260 wanita yang tidak mengalami ovulasi dengan resisten clomiphene sitrat dipilih dalam penelitian ini.

2. Apakah follow-up lengkap dan cukup lama (sufficiently long and complete) ?

(hal. 567, paragraf ke 2, baris ke 3-5)

(hal. 569, paragraph ke 1, baris ke 3-5)

(hal. 569)Dari tiga lampiran di atas dijelaskan bahwa follow-up dilakukan selama 6 bulan dan tidak ada lost follow up.

3. Apakah digunakan kriteria outcome yang obyektif dan tersamar/tidak berbias?

(hal. 569, paragraf ke 1, baris ke 1-4)

(hal. 568, paragraf ke 1, baris ke 5-7)

Dari kedua lampiran tersebut terlihat bahwa hasil pengukuran primernya adalah saat masa ovulasi, outcome objektif dan tidak berbias.

4. Apakah diidentifikasi kelompok dengan prognosis yang berbeda dan dilakukan penyesuaian/adjusment terhadap faktor prognostik yang penting ?

(hal. 569, paragraf ke 3, baris ke 3-6)

(hal. 569, tabel 1)

Pada kedua lampiran diatas terlihat bahwa karakteristik kedua kelompok tidak ada perbedaan yang signifikan.

IMPORTANCE5. Bagaimana gambaran outcome dari waktu ke waktu?

(hal. 570, tabel 2)

(hal. 569, paragraf ke 4, baris ke 2-9)

(hal. 569, paragraf ke 4, baris ke 10-12)

(hal. 570, paragraf ke 1, baris ke 1-7)

Dari keempat lampiran diatas terlihat bahwa hasilnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

6. Seberapa tepat perkiraan prognosis?

(hal. 570, tabel 2)

(hal 569, paragraf ke 4, baris ke 8-10)

Perkiraan prognosisnya kurang tepat karena dari kedua lampiran diatas terlihat bahwa hasil dari pemberian letrozole dan dilakukan laparoskopi tidak signifikan kecuali dalam hal penebalan dinding endometrium saja. Pada penebalan dinding endometrium dijelaskan bahwa P