DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

71
LAPORAN KASUS DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS POST ORIF PS dr. Made Agus Kresna Sucandra, Sp.An.KIC PROGRAM STUDI ILMU ANESTESI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2018

Transcript of DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Page 1: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

LAPORAN KASUS

DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR

EKSTREMITAS POST ORIF PS

dr. Made Agus Kresna Sucandra, Sp.An.KIC

PROGRAM STUDI ILMU ANESTESI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2018

Page 2: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

BAB I

PENDAHULUAN

Dispnea adalah keluhan yang sering memerlukan penanganan darurat tetapi intensitas

dan tingkatannya berbeda-beda. Ada yang berupa rasa tidak nyaman di dada yang bisa

membaik sendiri, atau yang membutuhkan bantuan nafas yang serius, hingga yang dapat

berakibat fatal. Dispnea merupakan keluhan subjektif yang timbul bila ada perasaan tidak

nyaman maupun gangguan/kesulitan lainnya saat bernafas, yang tidak sebanding dengan

tingkat aktivitas.

Dispnea dapat ditemukan pada penyakit kardiovaskular, emboli paru, Saluran Napas

seperti asma, emfisema Adult respiratory distress syndrome (ARDS), bronkitis kronik,

penyakit parenkimal, Penyakit Vaskular Paru seperti Hipertensi paru primer, Penyakit pleura

seperti Pneumotoraks, penyakit Dinding Paru seperti trauma, Penyakit venooklusi paru seperti

fibrosis, dll.

Berdasarkan waktu terjadinya dispnea dibagi menjadi 3 yaitu dispnea mendadak (akut)

disebabkan oleh pneumotoraks, emboli paru masif, asma, aspirasi benda asing; dispnea

bertahap dan semakin berat dalam beberapa jam atau hari terdapat pada pneumonia, asma,

PPOK, eksaserbasi akut; dispnea bertahap dan semakin berat dalam beberapa minggu, bulan,

atau tahun terjadi pada efusi pleura, PPOK, TB paru, anemia, gangguan otot-otot pernafasan.

Anamnesis yang lengkap sangat penting untuk memperoleh kepastian apakah pasien

benar-benar menderita dispnea. Apabila dispnea telah ditegakkan, maka sangat penting untuk

memperoleh data-data mengenai penyebab dispnea dan menilai gejala dan tanda lain yang

berhubungan dengan dispnea. Dengan mendapatkan data yang lengkap kita dapat melakukan

penanganan dispneu secara cepat dan tepat.

Page 3: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 EMBOLI PARU

Emboli paru merupakan alasan bagi 300.000 - 600.000 penderita untuk dirawat di

rumah sakit dan menjadi penyebab kematian 50.000 orang setiap tahunnya1. Di Amerika

angka prevalensi emboli paru yang dirawat 1% dan menjadi penyebab kematian 10%

penderita dimana 30% terdeteksi dari otopsi. Diagnosis pasti antemortem hanya pada 1/3

kasus2. Tidak ada data yang pasti dan sistematik Emboli Paru di Asia, tetapi dilaporkan di

China 76,83% dari 82 kasus emboli paru dikelirukan sebagai Pneumonia (82,54%),

Pleuritis (14,29%) dan Infark Miokard Akut (3,17%)3. Kematian akibat emboli paru tidak

menghilang dalam kurung waktu dua puluh tahun terakhir bahkan semakin tinggi angka

kejadiannya. Penelitian dari otopsi mengenai tromboemboli paru di Hongkong

menunjukkan peningkatan insidens dari 0,58% menjadi 2,08% dalam kurun waktu lima

tahun, dibandingkan dengan 12,8% di Eropa dan 3,8%-9,3% di Amerika4. Harus disadari

bahwa emboli paru merupakan problem umum pada penderita yang dirawat dan sering

tidak terdiagnosa. Emboli paru harus diwaspadai pada seluruh penderita dengan penyakit

paru yang disertai adanya faktor resiko yang dapat berupa imobilisasi, pembedahana atau

keadaan hiperkoagulabilitas5. Resiko emboli paru dari Deep Vein Thrombosis (DVT) yang

tidak teratasi berkisar 50% dan resiko kematian dari emboli paru yang tidak diterapi

berkisar 8%. Resiko emboli paru meningkat pada kehamilan dan paska persalinan,

sedangkan pada penderita lanjut usia sering tidak terdeteksi, dan menyebabkan kematian6.

Selain itu kehamilan meningkatkan insiden trombo emboli 1-2 kasus setiap 100.000

kehamilan atau kasus setiap 200 persalinan. Penggunaan kontrasepsi oral dan terapi sulit

estrogen meningkatkan insiden thromboemboli 20-30 kasus setiap 100.000 orang per

tahun. Keganasan diidentifikasi pada 17% pasien dengan troboemboli vena, dimana yang

tersering adalah Ca pancreas, Ca bronkogenik, Ca saluran urogenital, colon, lambung,

payudara5.

Emboli paru mempunyai efek patofisiologis berupa peningkatan tahanan vaskuler

paru akibat timbulnya obstruksi vaskuler, adanya neurohormonal atau baroreseptor arteri

pulmonal, terjadi gangguan pertukaran gas akibat peningkatan dead space alveoli,

rendahnya ventilasi-perfusi dan shunting, hiperventilasi alveoli akibat rangsangan rekleks

pada reseptor sensorik, peningkatan resistensi jalan napas akibat bronkokonstriksi,

Page 4: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

penurunan compliance pulmoner akibat edema paru, perdarahan paru dan hilangnya

surfaktan7,8.

Meskipun 95% emboli paru muncul akibat thrombus dari stretemitas bawah, DVT

terdeteksi hanya pada 40% kasus, bahkan pada penderita dengan emboli paru yang fatal

hanya dapat terdeteksi DVT pada 50% kasus. DVT pada vena femoralis dan iliaka 45%

akan menyebabkan embolisasi ke paru8.

2.1.a. Patofisiologi

Penyebab emboli paru merupakan multifaktorial diantaranya adalah statis

pembuluh vena, hiperkoagulabilitas, imobilitas, pembedahan dan trauma berupa

luka bakar hebat atau fraktur femur dan tibia8.

Virchow telah telah mengidentifikasi tiga faktor yang menyebabkan

timbulnya trombosis vena yang dikenal sebagai Trias Virchow yaitu statis vena,

kerusakan lapisan intima dan perubahan faktor pembekuan dalam darah. Trombosis

biasanya berupa gumpalan trombosit di daerah katub pembuluh darah vena yang

terletak di vena ekstremitas bawah. Gumpalan thrombus tersebut akan terlepas dan

mengakibatkan oklusi total dari pembuluh darah vena9,10.

Emboli paru biasanya muncul dari thrombus yang berasal dari sistem

pembuluh vena dari ekstremitas bawah, bisa pula berasal dari vena pelvis, ginjal atau

ekstremitas atas dan bilik jantung kanan. Insidens tromboemboli berkisar 5-30%11.

Setelah masuk ke dalam paru, thrombus yang besar menempati percabangan arteri

pulmonal atau cabang lobar dan terjadi gangguan hemodinamik. Trombus yang lebih

kecil meneruskan perjalanan ke distal, menghambat vena kecil di paru. Hal tersebut

menyebabkan keluhan nyeri pleritik karena mengawali respon peradangan di plera

parietalis12.

Emboli paru dapat juga berupa cairan aminon. Jarang didapatkan, muncul

pada 1 dari 40.000 sampai 60.000 persalinan tetapi angka kematian mencapai 85%

dapat muncul selama persalinan tapi dapat pula pada awal minggu ke dua puluh

kehamilan sampai dengan 32 jam setelah persalinan13.

Emboli paru yang berupa udara dapat disebabkan penyumbatan oleh

sejumlah besar udara yang terkumpul di ventrikel kanan, dapat menyebabkan

kematian mendadak dengan hambatan total pada saluran keluar13.

Page 5: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Sejumlah besar lemak dapat masuk ke dalam sistem pembuluh darah vena,

terkumpul di pembuluh kapiler paru dan menuju ke otak, menyebabkan iskemia dan

peradangan14.

Gangguan pernapasan akut yang ditimbulkan berupa peningkatan alveolar

dead space, hipoksemia dan hiperventilasi. Kemudian akan terjadi infark paru dan

hilangnya surfaktan. Infark paru merupakan hal yang jarang terjadi karena adanya

sirkulasi arteri kolateral12.

Emboli paru akan mengganggu hemodinamik karena terjadi penurunan

daerah yang mendapat vaskularisasi sehingga terjadi peningkatan tahanan pembuluh

darah paru dan akibatnya terjadi peningkatan afterload ventrikel kanan terjadi gagal

jantung kanan12,15.

2.1.b. Gejala klinis

Emboli paru dapat dikategorikan dalam 4 golongan berdasarkan beratnya

oklusi arteri pulmonal, yaitu emboli paru masif infar pulmonal akut, emboli akut

tanpa infar dan emboli paru multiple16. Penyebab emboli paru merupakan

multifaktorial diantaranya adalah statis pembuluh vena, hiperkoagulabilitas,

imobilitas, pembedahan dan trauma berupa luka bakar hebat atau fraktur femur dan

tibia.

Sesuai ICOPER (International Co Operative Pulmonary Embolism Registry)

gejala klinis yang menonjol adalah dyspnea (82%), takipnea (60%) takikardia

(40%), nyeri dada (49%), batuk (20%), sinkop (14%) dan hemotysis (7%), Korx

Pulmonale muncul jika lebih dari 65% pembuluh darah tertutup akibat emboli paru.

Gejala akut penderita dengan emboli paru dikelompokkan dalam empat

kategori berdasar beratnya oklusi arteri pulmonal. Pada emboli paru masih

didapatkan emboli yang besar sehingga menyebabkan kolaps pembuluh darah yang

ditandai hipotensi, lemah, pusat, berkeringat, oligouria dan gangguan mental. Pada

Infark Pulmonal akut ditandai adanya nyeri pleritik, sesak dan batuk darah. Pada

emboli paru akut tanpa infark tidak didapatkan gejala yang khas tetapi berupa sesak

dan atau nyeri substernal. Pada emboli paru multiple didapatkan gejala sesak yang

progresif, nyeri dada dan hipertensi pulmonal dan kor pulmonal6.

Diagnosa banding untuk kondisi tersebut adalah Infark Miokard Akut,

Penyakit Paru Obstruktif Kronis, penyakit pericardial, Pneumonia Pneumotoraks.

Page 6: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

2.1.c. Pendekatan diagnostik

Karena gejala klinik tidak khas penderita diduga mengalami emboli paru

harus menjalani tes diagnostik sehingga diagnosis dapat ditegakkan atau

disingkirkan. Pemeriksaan laboratorium tidak spesifik dan kurang membantu

penegakan diagnosa meskipun pemeriksaan tersebut sering mengarah pada diagnosa

lain. Pemeriksaan gas darah menunjukkan hipoksemia, hipokapnea, dan alkalosis

respiratorik. Baik PaO2 maupun pengukuran gradien Oksigen alveolar - arterial

menunjang penegakan diagnosa. Pada kondisi penderita dengan resiko tinggi paska

operasi dimana penyulit pernapasan lain dapat disingkirkan, PaO2 yang rendah

disertai sesak mempunyai nilai prediksi positif yang sangat tinggi. Pemeriksaan D-

dimer, suatu produk degradasi fibrin, hanya menunjukkan 30% penderita yang

pemeriksaannya positif merupakan penderita emboli paru. Karena itu pemeriksaan

tersebut tidak digunakan rutin digunakan sendirian dalam menegakkan diagnosa

pasti maupun sebagai pengarah dalam memulai terapi penderita dengan dugaan

emboli paru5.

Peningkatan abnormal kadar plasma D-dimer, mempunyai sensitivitas 90%

dibuktikan dengan scan paru atau angiogram. Pada tromboemboli vena akut, aktivasi

simultan antara faktor koagulasi dan enzim fibrinolitik mengakibatkan peningkatan

D-dimmer plasma, suatu produk pemecahan dari fibrin dan merupakan indikator

sensitif dari proses fibrinolisis. Kadar protein normal mempunyai nilai prediktif

negatif tinggi, jika kadar D-dimmer < 500 mikrogram/liter. Peningkatan kadar D-

dimer tidak selalu menunjukkan adanya emboli paru. Sejumlah kondisi seperti

infeksi, inflamasi nekrosis, kanker dan trauma juga dapat memicu aktifitas

fibrinolitik. Sehingga tidak rutin digunakan sebagai satu-satunya metode penegakan

diagnosa definitif atau untuk memulai terapi Emboli Paru1.

Tahap penting pada diagnosa klinis menurut studi PIOPED adalah mengenali

penderita yang mempunyai satu dari tiga gejala infark paru, Kor Pulmonal Akut dan

Dispnea Akut12.

2.1.d. Pencitraan

2.1.d.i. Elektrokardiografi

Berguna untuk menyingkirkan infark akut. Kelainan yang umum adalah

perubahan non spesifik (80%). Gambaran overload ventrikel kanan berkisar 76%.

Pada klasik S1Q3 hanya 15%. Inverse gelombang T pada sandapan diagnosis

Page 7: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

berhubungan dengan kegawatan emboli paru. Abnormalitas lain berupa

takikardia disertai non – spesifik gelombang ST – T. temuan khas regangan

jantung kanan tampak dari pola klasik SI-Q3-T3 hanya pada penderita yang

terbukti emboli paru sehingga pemeriksaan ini tidak cukup spesifik untuk

menegakkan 7iagnose8.

2.1.d.ii.PEMERIKSAAN FOTO TORAKS

Merupakan prosedur awal pada penderita dengan sesak. Pada studi terbaru

pasien dengan emboli paru tanpa penyakit paru atau jantung yang muncul, hanya

14% foto toraks yang normal.

Gambaran foto toraks :

a) Atelektasis dan densitas parenkimal. Daerah atelektasis sering muncul pada

lobus bawah demikian pula halnya dengan densitas parenkimal. Penyebab

tersering dari densitas tersebut adalah pendarahan dan edema dan dapat

diinterpretasikan sebagai suatu infiltrate akibat infeksi atau keganasan.

b) Efusi Pleura sering muncul unilateral, meskipun kenyataannya gumpalan

darah sering bilateral. Biasanya kecil menutup < 15% hemitoraks and jarang

meningkat ukurannya setelah 3 hari. Peningkatan jumlah efusi setelah 3-4

hari harus dicurigai sebagai infeksi paru atau re-embolisasi.

c) Hampton's Hump yaitu opasitas didasar paru dengan batas medial yang

cembung. Merupakan indikasi infark paru. Daerah perdarahan paru dan

edema membaik dalam beberapa hari sampai satu minggu. Densitas yang

disebabkan daerah infark akan berkurang perlahan setelah beberapa minggu

sampai bulan dan meningkatkan scarlinear.

d) Diafragma bisa meninggi, menunjukkan hilangnya volume paru yang

terkena.

e) Arteri paru sentral bisa menonjol baik akibat hipertensi pulmonal maupun

gumpalan darah pada arteri tersebut.

f) Tanda Westermark menunjukkan daerah yang mengalami penurunan

vaskularisasi dan perfusi akibat pembesaran arteri pulmonal sentral pada sisi

yang terkena

g) Kardiomegali merupakan temuan tidak khas tapi menunjukkan pelebaran

ventrikel kanan

Page 8: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

h) Edema paru jarang muncul dan biasanya didiagnosa sebagai edema paru

padahal kenyataannya merupakan daerah infark yang luas. Jadi foto toraks

bisa normal pada sedikit kasus, dan jika muncul suatu kelainan merupakan

tanda tidak khas2,7,17.

2.1.d.iii. VENTILATION / PERFUSION SCANNING

Merupakan model diagnostik yang penting untuk menegakkan diagnosa.

Klasifikasi PIOPED mempermudah penegakan diagnosa dan pengobatan

antikoagulasi dengan interpretasi V/Q scan. Tidak adanya defek perfusi

mempunyai nilai prediksi negatif yang tinggi dan adanya defek perfusi multiple

mismatched mempunyai nilai prediksi positif yang tinggi. Diagnosa definitif

dapat ditegakkan berdasarkan lung scan hanya pada 30% pasien. V/Q scan

umumnya dipakai sebagai alat diagnostik untuk emboli paru dengan spesifikasi

97% dan sensitivitas 41% scan yang normal benar-benar menyingkirkan emboli

paru 100% 18.

2.1.d.iv. SPIRAL COMPUTED TOMOGRAPHY

Mempunyai kelebihan menilai parenkim paru lebih detil dibandingkan

foto toraks. Dapat mendeteksi mulai 2 mm. Sensitivitas dan spesfisitas sangat

tinggi untuk emboli sentral (arteri lobar) yaitu > 95% dibandingkan untuk

subsegmental 80 - 90% dan segmental 65%. Keuntungan lainnya adalah dapat

menegakkan diagnosa alternatif sampai 57%. Pemeriksaan spiral CT dilakukan

segera setelah infus 150 - 200 cc bahan kontras, kemudian dilakukan setinggi

arkus aorta 2 cm di bawah vena pulmonal inferior saat penderita menahan napas

setelah inspirasi penuh. Jika penderita tidak mampu menahan napas selama 20

- 30 detik, pemeriksaan dilakukan saat napas panjang. Masalah yang

menyulitkan pemeriksaan adalah pada penderita dyspnea, interpretasi antara

pemeriksa, pembuluh darah yang berjalan secara oblik atau horizontal pada

lobus medius kanan dan lingual kiri. Gerakan jantung saat bernapas akan

tampak sebagai gambaran filling defects yang menyesatkan demikian pula

konsolidasi daerah unilateral yang luas akan tampak sebagai pseudo filling

defects karena terjadi penurunan bermakna dalam aliran darah pada arteri

pulmonal pada daerah ini. Gambaran infark paru berupa densitas dasar paru

dengan tepi cembung dan garis linier pada apex triangle. Batasnya membesar

Page 9: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

pada awal proses karena lobus kedua terisi darah dan cairan edema. Garis linier

di apex biasanya munculdi arteri pulmonal distal terisi gumpalan darah. Pex

seing menonjol, not - wedge shaped. Daerah low attenuation dalam infark

menunjukkan paru yang normal. Gambaran ini tidak spesifik untuk infark

paru6,9. Diagnosis bandingnya berupa infark, perdarahan, pneumonia, fibrosis,

neoplasma, dan edema. Gambaran yang tidak spesifik ini sering menjadi

indikasi klinis pertama bahwa pasien mungkin mengalami embrolie paru. Pada

erah infark kita sering melihat gumpalan darah.

Jadi CT Scan sangat berguna pada pemeriksaan Penderita dengan

dyspnea kronik yang diketahui terdapat hipertensi arteri pulmonal19.

2.1.d.v. MAGNETIC RESONANCE IMAGING

Emboli Paru tampak sebagai peningkatan intensitas pada arteri

pulmonal. Mempunyai sensitifitas 85% spesifitas 96% untuk emboli sentral,

lobar dan segmental tapi tidak adekuat untuk diagnosa emboli subsemen. Tidak

membutuhkan radiasi ionik. Dapat dipakai untuk penderita gagal ginjal dan

dapat juga menentukan fungsi ventrikel. (Ramachandran, 2003).

2.1.d.vi. ECHOCARDIAOGRAPHY

Mempunyai nilai akurasi rendah untuk menegakkan diagnosa emboli

Parusentral dengan sensitivitas 82%, sedangkan emboli perifer 77%,

Pemeriksaan ini menunjukkan disfungsi ventrikel kanan pada emboli paru akut

dan dapat memprediksi mortalitas dan keuntungan terapi trombolitik. Adanya

foramen ovale mengindikasikan resiko kematian yang tinggi atau emboli

sistemik. Mempunyai spesifitas 86% untuk mendiagnosa thrombus sentral8.

2.1.d.vii. ANGIOGRAFI PULMONAL

Merupakan kriteria standar yang aman dan vasif untuk menegakkan

diagnosa emboli paru, harus dilakukan dalam 24-48 false negatif berkisar 1-2%

kasus. Membutuhkan pemasangan kateter dari vena perifer melalui jantung

kanan termasuk atrium kanan, tricuspid dan vertikel kanan masuk arteri

pulmonal. Kateter diarahkan ke arteri pulmonal kanan atau kiri menggunakan

V/Q scan sebagai penuntun. Kemudian disuntikkan kontrak iodine, pemeriksaan

paru dilakukan secara anteroposterios, lateral dan obliq. Hasil positif jika

Page 10: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

tampak filling defect atau sharp cut - off dari arteri yang terkena. Emboli non -

oklusi tampak se bagai gambaran tram track. Pemeriksaan V / Q scan yang

abnormal sebelum angiografi akan menuntut pemeriksa untuk mengarah pada

daerah abnormal. Angka kematian kurang dari 0,5% dan angka kesakitan

kurang dari 5% setelah menjalani prosedur tersebut. Penderita dengan hipertensi

arteri pulmonal dan gagal jantung kanan merupakan resiko tinggi. Hasil

angiogram negatif bahkan jika false negatif menyingkirkan dugaan emboli paru

adalah adanya filling defect intraluminal dan vena cabang yang terbuntu. Jika

gumpalan darah tidak ditemukan pada penderita yang terbukti menderita emboli

par uterbukti tidak didapatkan Deep Vein Thrombosis pada ekstremitas bawah.

Angiografi Pulmonal diterima sebagai Gold Standard Test, tetapi invasive dan

sulit diinterprestasikan dan memberikan hasil false negatif. Sehingga kombinasi

CT - Scan Spiral dan USG tungkai memberikan sensitivitas dan spesifitas yang

tepat untuk menyingkirkan emboli paru dan menghindari terapi anticoagulan

yang tidak perlu bagi penderita1,19.

2.1.e. Algoritma diagnostik

Penderita yang diduga mengalami emboli paru berdasarkan anamnese,

pemeriksaan fisik, gas darah dan foto toraks harus menjalani V / Q scan, menunjukkan

defek perfusi Segmen multiple atau besar dengan ventilasi normal, maka kemungkinan

emboli 85% dan terapi dengan heparin dapat dimulai. Pola lain V / Q scan yang tidak

menegaskan diagnosa membuat kita harus mencari thrombus di pembuluh vena kaki.

USG merupakan tes yang tepat untuk memeriksa vena di atas lutut. Vena normal

seharusnya mudah ditekan dan jika tidak berarti terdapat gumpalan daerah pada vena

tersebut, sehingga pasien dapat diterapi2.

Jika hasilnya negatif diagnosa lain harus dipertimbangkan karena kemungkinan

emboli paru mendekati nol2.

Page 11: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

2.1.f. Strategi diagnostik

Kombinasi tes D - drimer, USG dan klinis lebih efektif daripada kombinasi

Ventilasi / perfusi Lung scan dan angiografi tidak hanya 70-85% pasien tidak perlu

mengalami prosedur invantif, tetapi biaya pemeriksaan menurun hingga 10 - 20%.

Kriteria Diagnostik Pada Suspek Emboli Paru

- Pulmonary angiogram negatif - Pulmonary angiogram positif

- Scan paru normal

- Kadar D - dimmer < 500 microgram

per liter

- Scan paru low probabilitas dan low

clinical probability assessment

- Scan paru high probability

- Scan paru low intermediate

probality dan USG terdapat DVT

Emboli paru negatif

SUSPECTED PULMONARY EMBOLISM

VENTILATION- PERFUSION SCAN

NORMAL SCAN HIGH PROPABILITY SCAN

CONSIDER OTHER DIAGNOSIS NON DIAGNOSTIC SCAN PULMONARY EMBOLISM

LOW OR MODERATE CLINICAL SUSPICION, ADEQUATE CARDIO-PULMONARY RESERVE

HIGH CLINICAL SUSPICION LOW CARDIO-PULMONARY RESERVE

NON-INVASIFE BILATERAL LOWER EXTERMITAS EVALUATION (US, IRP, MRI)

PULMONARY ANGIOGRAPHY

ABNORMAL RESULT

PULMONARY EMBOLISM NORMAL RESULT ABNORMAL STUDY NORMAL STUDY

LOW CLINICAL SUSPICION MODERATE CLINICAL SUSPICION PULMONARY EMBOLISM

PULMONARY EMBOLISM RULED OUT

SERIAL US OR IPG OVER 1 – 14 DAY PERIOD

NORMAL RESULT

ABNORMAL RESULT CONSIDER OTHER

DIAGNOSIS ANTI COAGULATION

Page 12: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Terapi tromboemboli vena harus segera dimulai jika :

1. Angiogram pulmonal positif, CT dada positif, V/Q scan high probability

2. Diagnosa echocardiografi berupa intracardial

3. Diagnosa echocardigrafi berupa bekuan daerah di arteri pumonal utama, arteri

pulmonal kanan, atau arteri pulmonal kiri dan dilatasi vertikel kanan

4. Diagnosa DVT dengan venogram, compression ultrasound, atau impedance

plethysmography1.

2.1.g. Terapi

Terapi pada penderita PE tergantung pada tempat dan luasnya obstruksi dan

kondisi hemodinamik pasien. Penanganan pertama adalah menghentikan proses

thrombotic dengan pemberian heparin yang sama pada penderita deep vein thrombosis.

Heparin merupakan drug of choice oleh karena mempunyai efek segera, aman, dan secara

spesifik menghambat system koagulasi. Heparin mengkatalisa anti trombón III,

menghambat koagulasi dengan cara menginaktifkan trombin dan factor Xa dan IXa .

Heparin juga menghambat aktivasi factor V dan VIII oleh trombin, Heparin tidak melysis

clot tetapi mencegah pembentukan dan perluasan clot10. Pemberian heparin dilakukan

secara intra vena overlap dengan pemberian warfarin oral selama 4-5 hari karena

prothrombin depletion delay pada saat periode ini. Secara bolus dosis heparin permulaan

sebesar 5000-10.000 U, dilanjutkandengan infus 18 U per kilogram berat badan per jam

atau tidak melebihi 1600 U per jam. Range terapi warfarin terendah ( a protrombin time

1,25-1,5 kali level control atau INR 2-3) masih efektif mencegah recurrent thrombosis.

Warfarin biasanya diberikan dalam dosis 5 mg dan dosis ditentukan berdasarkan INR.

Low Mollecular Weight Heparin (LMWH) dilaporkan memiliki banyak keuntungan

dibanding heparin, diantaranya bioavailability lebih besar, dapat diberikan secara

subkutan, fixed dose, mempunyai duration efek antikoagulan lebih lama dan tanpa

pemeriksaan laboratorium.( monitoring aPTT )5.

Pemberian thrombolytic diindikasikan pada pasien dengan massive PE atau

massive illeo femoral. Pada PE thrombolytic dapat mengakselerasi lysis sehingga

menurunkan tekanan arteri pulmonal dan memperbaiki gangguan fungsi ventrikel

kanan.Tiga thrombolytic agent yang disetujui untuk acute PE di US, yaitu streptokinase

250.000 U dalam waktu 30 menit kemudian dilanjutkan 100.000 U/ jam selama 24 jam

atau recombinant tissue plasminogen activator ( rt-PA ) 100 mg selama 2jam.

Page 13: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Untuk pasien dengan kontra indikasi terapi anti koagulan, gagal dengan

antikoagulan dan pasien dengan resiko tinggi mortalitas oleh karena recurrent PE, dalam

hal ini perlu dipertimbangkan terapi bedah ( surgical embolectomy ) dan intervensi yang

agressif dengan vena cava interruption yaitu, dengan pemasangan vena cava filter

devices secara percutan kedalam vena cava inferior pada level dibawah vena renalis.

Diperlukan pula terapi suportif yang sesuai dengan keadaan klinis pasien, jika

timbul hipoksia arterial suplemen oksigen harus diberikan. Analgesia mungkin juga

diperlukan untuk mengurangi rasa sakit. Terapi cairan untuk pasien dengan hipotensi dan

shock. Sering pasien membutuhkan ventilator mekanis oleh karena kerja pernafasan yang

tinggi, peningkatan dead space dan asidosis metabolik.

Alur Terapi PE Berdasarkan V/Q Scan

Dikutip Dari Chessnuts M.S 2001

2.1.h. Profilaksis

Profilaksis pada PE merupakan tindakan penting oleh karena kelainannya sulit

dideteksi dan terapi tidak seluruhnya berhasil. Pada pasien rawat inap profilaksis dapat

menurunkan morbiditas dan mortalitas PE20. Keuntungan profilakis tidak hanya pada

pasien bedah tetapi juga pada pasien medik. Profilaksis juga telah terbukti efektif dan

aman pada pasien thromboemboli dengan stroke ischemia, gagal jantung dan infeksi

paru.

Page 14: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Metode profilaksis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : physical dan

pharmacologic, metode physical membantu menurunkan stasis vena yang terdiri dari :

elastic and gradual stocking compression, compression pneumonic intermittent, dan early

ambulatoir. Metode pharmacologic meliputi : pemberian secara subcutan LMWH

overlap dengan pemberian warfarin oral selama 4 – 5 hari, kemudian dilanjutkan

warfarin dan anti platelet drug selama 3 – 6 bulan.

2.1.i. Komplikasi

Penyulit yang ditimbulkan oleh adanya emboli par adalah kematian mendadak,

syok obstruktif, aritmia, Hipertensi Pulmonal Sekunder, Kor Pulmonale, Hipoksemia,

Infark Paru, Efusi Plera dan embolisme paradoksal6. Emboli paru yang kecil akan diikuti

pengeluaran faktor humoral yang akan mengakibatkan ekstravasasi cairan melalui

membrane kapiler paru maupun akibat pelebaran pembuluh prekapiler yang disertai

peningkatan tekanan hidrostatik.

2.1.j. Progranosis

Tergantung pada beberapa faktor yaitu kondisi penyakit dasar sebelumnya dan

penegakan diagnosa serta saat pemberian terapi yang tepat. Pada hari ke lima terapi

anticoagulan, 36% kerusakan berdasarkan scan paru pulih, terapi pada minggu kedua

52% pulih, pada terapi bulan pertama 73% pulih. Angka kematian Emboli Paru yang

tidak terdiagnosa adalah 30%. Angka kematian 1 tahun berkisar 24% yang diakibatkan

penyakit jantung, emboli paru berulang, infeksi dan keganasan6.

2.2. ARDS

ARDS adalah suatu sindroma dengan bentuk kegagalan respirasi akut yang dapat

terjadi pada semua kelompok umur dan sering bersifat fatal, akibat kerusakan paru akut

karena berbagai macam gangguan yang mempunyai bentuk perubahan yang sama tanpa

kelainan paru yang mendasari sebelumnya, sehingga terjadi gangguan pertukaran gas pada

tingkat alveolar. Hal ini menunjukkan adanya kerusakan pada parenkim paru yang luas

disertai edema interstisial oleh berbagai sebab tanpa peningkatan tekanan hidrostatik

karena kelainan jantung.21,22,23,24

Karena ARDS dapat terjadi dalam latar belakang klinis yang luas, dan merupakan

diagnosis klinis primer, hal ini menyebabkan penggunaan sejumlah definisi oleh klinisi

Page 15: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

maupun peneliti. Namun sejak tahun 1994 The American European Consensus Conference

Committee merekomendasikan definisi baru ARDS dan ALI sebagai syndrome inflamasi

dan peningkatan permeabilitas yang berhubungan dengan sekumpulan kelainan klinis,

radiologis dan fisiologis yaitu adanya infiltrate paru dan gangguan oksigenasi dengan latar

belakang onset akut gagal nafas25,26,27.

Meskipun sindrom ini dikenal dengan banyak nama lainnya, sepert wet lung, shock

lung, Adult Hyalin Membrane Disease, Stiff Lung syndrome, Post Traumatic Pulmonale

Insufficiency, Ventilator Lung dan Pump Lung, aspiration pneumonia, congestive

atelectase namun istilah ARDS lebih banyak diterima.25,28

Tabel 1. Definisi ARDS dan Acute Lung Injury (ALI) menurut American-European

Consensus Conference.26,29,30

Acute Lung Injury (ALI)

• Kegagalan respirasi dengan onset yang akut

• Terdapat infiltrat pada dada bilateral yang terlihat pada rontgen dada

• Tidak terdapat peningkatan tekanan jantung kiri, tidak ada bukti terjadinya

gagal jantung ( Pulmonary Artery Occlusion Pressure/PAOP < 18 mmHg )

• PaO2/FIO2 < 300 mmHg

Acute Respiratory Distress Syndrome

• Kegagalan respirasi dengan onset yang akut

• Terdapat infiltrat pada dada bilateral yang terlihat pada rontgen dada

• Tidak terdapat peningkatan tekanan jantung kiri, tidak ada bukti terjadinya

gagal jantung ( Pulmonary Artery Occlusion Pressure/PAOP < 18 mmHg )

• PaO2/FIO2 < 200 mmHg

2.2.a. Etiologi

ARDS terjadi jika paru-paru terkena cedera baik secara langsung maupun tidak

langsung oleh berbagai proses. Etiologi ARDS pada bayi berbeda dengan dewasa

dimana penyebab pada bayi berhubungan erat dengan imaturitas sedang pada dewasa

menyertai penyakit yang berat misalnya trauma, emboli lemak, pneumonia karena

aspirasi, atau virus, sepsis, gagal ginjal akut, polusi atau intoksikasi gas yang berat,

serta operasi jantung terbuka. Dari sumber yang lain dikatakan bahwa ARDS ini

Page 16: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

merupakan suatu kegawatan yang disebabkan oleh berbagai proses yang akut baik

secara langsung maupun tidak langsung mencederai paru, misalnya sepsis, infeksi

primer virus atau bakteri, aspirasi isi lambung, trauma dada secara langsung, syok yang

berkepanjangan, luka bakar, emboli lemak, near drowning, transfusi darah masif,

cardiopulmonary bypass, keracunan Oksigen, pankreatitis hemoragik akut, terhirup

asap atau gas beracun dan akibat over dosis beberapa macam obat seperti narkotik, obat-

obat sedatif, atau aspirin (jarang). Insiden ARDS diperkirakan > 30 % dengan sepsis.

27,31,32,33

Masih belum jelas diketahui mengapa ARDS yang mempunyai sebab

bermacam-macam dapat berkembang menjadi sindrom klinis dan patofisiologis yang

sama. Penyebab dari ARDS ini bisa disebabkan karena kelainan paru itu sendiri maupun

penyebab dari faktor ekstrapulmoner. Beberapa keadaan yang sering mengakibatkan

ARDS dimuat dalam tabel 2.27,28

Secara klinis faktor-faktor risiko yang bisa menyebabkan terjadinya ARDS

dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok, yaitu secara langsung (direct) dan tidak

langsung (indirect). Faktor risiko langsung antara lain pneumonia (46 %), Aspirasi isi

lambung (29%), kontusio pulmonum (34 %), emboli lemak, near drowning, trauma

inhalasi, reperfusion injury. Sedangkan faktor risiko tidak langsung antara lain sepsis

non-pulmonum (25%), trauma multiple (41 %), transfusi masif (34 %), pankreatitis (25

%), cardiopulmonary bypass.27,31

Petunjuk umum penyebab edema alveolar yang khas agaknya berupa cedera

membran kapiler-alveolar yang menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler.

Penyelidikan dengan mikroskop elektron menunjukkan pembatas udara-darah terdiri

dari pneumosit tipe I (sel-sel penyokong) dan pneumosit tipe II (sumber surfaktan)

bersama-sama dengan membran basalis dari sisi alveolar. Pembatas tersebut

bersinggungan dengan membran basalis kapiler dan sel-sel endotel. Selain itu, alveolus

juga memiliki sel-sel jaringan pengikat yang bekerja sebagai pembantu dan pengatur

volume. Membran kapiler alveolar dalam keadaan normal tidak mudah ditembus

partikel-partikel. Tetapi dengan adanya cedera maka terjadi perubahan pada

permeabilitasnya, sehingga dapat dilalui oleh cairan, sel darah merah, dan protein

darah. Mula-mula cairan akan berkumpul di dalam alveolus, sehingga mengakibatkan

atelektasis kongestif. Tempat-tempat lemah tampaknya pada interdigitasi (ruang-ruang

kecil selebar kira-kira 60 A) antar endotel kapiler yang melebar, sehingga partikel-

partikel kecil dapat masuk, dan terjadi perubahan dalam tekanan onkotik.25,26

Page 17: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Di samping itu, perubahan-perubahan dalam sistem surfaktan dapat dipastikan

memegang peranan penting dalam mikroatelektasis difus. Injuri yang terjadi tidak

homogeneus dan mempengaruhi keseluruhan zona paru yang dependent. Antara 2 – 3

hari, interstitial dan bronkoalveolar berkembang menjadi inflamasi, kemudian sel-sel

epitelial dan interstitial berproliferasi. Kemudian jaringan kolagen terbentuk dengan

cepat, menghasilkan fibrosis interstitial yang berat antara 2 – 3 minggu. Dengan

mikroskop cahaya dapat terlihat materi-materi protein yang membentuk membran

hialin yang melapisi alveolus. Gambaran patologi ini mirip dengan sindroma distres

pernafasan yang terjadi pada bayi. Perubahan-perubahan patologik ini akan

mengakibatkan penurunan compliance paru, penurunan fungsional Residual Capasity,

ketidakseimbangan rasio Ventilasi/Perfusi, peningkatan physiologic dead space,

hipoksemia berat dan hipertensi pulmoner. Akibat dari edema difus dan atelektasis ini

juga akan terjadi pirau intrapulmoner yang nyata, yang dapat mempengaruhi lebih dari

40% curah jantung.25,27

Tabel 2. Keadaan-keadaan yang Dapat Menyebabkan terjadinya ARDS 34

Syok

Semua tipe

Trauma

Trauma paru langsung

Trauma non torakal

Fraktur tulang iga

Inhalasi Zat yang Berbahaya

Aspirasi isi lambung

Near drowning (air tawar maupun air laut)

Gas iritan

Inhalasi asap

FiO2 tinggi (>50%-60%)

Infeksi

Pneumonia oleh karena virus maupun bakteri

Septikemia

Overdosis Obat

Heroin

Page 18: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Metadon

Asam asetilsalisilat (aspirin)

Barbiturat

Colchicine

Propoxyphene (Darvon)

Chlordiazepoxide (Librium)

Kelainan Hematologi

Transfusi darah yang masif

Disseminated Intravascular Coagulation

Prolonged Cardiopulmonary bypass

Thrombotic thromocytopenic purpura

Leukemia

Kelainan Metabolik

Ketoasidosis diabetik

Uremia

Pankreatitis

Lain-lain

Eklampsia

Emboli udara atau cairan amnion

Radiasi

Heat Stroke

2.2.b. Patofisiologi

Akibat injury pada endotel kapiler paru akan terjadi kebocoran cairan kapiler

yang kaya protein dan mengakibatkan gangguan pada surfactant mengakibatkan

sembab interstisial dan alveolar. Selanjutnya dinding alveoli menjadi lebih tebal karena

dinding sel alveoli yang sudah rusak yaitu sel-sel alveoli tipe I diganti oleh sel kuboid

mikrovillius tipe II. Jaringan interstitial terisi sel radang dan sel-sel yang lain sementara

itu banyak alveoli yang terisi oleh debris-debris, cairan protein dan darah. Keadaan

yang sering dijumpai adalah adanya membrane hialin, focal atelectasis dan

mikroemboli pada kapiler sehingga tampak jaringan paru yang fibrosis dan obliterasi,

termasuk mikrovaskulernya. Perubahan ini mengakibatkan penurunan kapasitas

fungsional residu paru, kenaikan shunt dan penurunan compliance paru serta

hipoksemia berat. Sehingga pada ARDS yang telah lanjut, meski dengan pemberian

Page 19: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

oksigen 100% tidak akan memperbaiki status hipoksemianya. Penurunan surfactant

yang abnormal masih diperdebatkan dan dari pemeriksaan cairan bilasan

bronkoalveolar didapatkan banyak agregasi abnormal dan surfaktan-surfaktan yang

inaktif25,26.

Makroskopis tampak paru menjadi lebih berat dan bengkak, bila dipotong

permukaan paru terdapat cairan hemoragis. Mikroskopis tampak adanya focal

atelectasis, emboli serta penebalan dinding alveoli. Dan banyal alveoli yang berisi

cairan menyerupai protein dan hemoragis, emboli lemak juga sering ditemukan.30

Patogenesis kerusakan paru pada ARDS masih kontroversial, karena sangat

kompleks dan bersifat multifaktoral.Tapi setidaknya konsep kebocoran kapiler non

kardiogenik dan respon inflamasi tidak terkontrol masih banyak diterima oleh kalangan

ahli.Respon hipoksia dan tingginya AaDO2 terhadap terapi peningkatan FiO2

sebanding dengan tingkat shunting arteri-vena paru. Beberapa studi binatang dan klinis

manusia postmortem berhasil menegakkan beberapa hipotesis tentang mekanisme atau

factor-faktor umum sebagai mediator kejadian kerusakan paru akut pada ARDS. Dalam

hipotesis aktivasi komplemen dan makrofag, diduga aktivasi inilah yang mengawali

kejadian ARDS yang mana akan menghasilkan komplemen dan mediator makrofag

seperti Tumor Necroting Factor (TNF), Interleukin dan Platelet Activating Factor

(PAF) yang memacu lekosit-PMN dan netrofil beragregasi dan menempel pada endotel

kapiler melalui pembebasan radikal bebas (superoksida).Agregat ini juga menghasilkan

protease yang bersama dengan aktivasi asam arakhidonat oleh tromboksan A2,

prostasiklin dan leukotrin menghancurkan struktur-struktur protein, misalnya kolagen,

elastin, fibronektin yang merupakan struktur dasar jaringan paru. Selain itu enzim

lisosomal (yang sebagian dihasilkan oleh agregat dari jaringan nekrotik/terinfeksi) juga

berperan dalam kerusakan struktur mitokondria dan pembengkakan endotel, sehingga

endotel-endotel saling lepas dan ruang intersel membesar progresif. Antiprotease

Pulmoner yang normal (1 antitripsin) diinaktivasi oleh radikal superoksid yang

menambah kerusakan paru. Pada ARDS edema paru dapat terjadi bila ada perubahan-

perubahan tiap aspek dari hukum Starling.26,30,32

Hukum Starling : Q = K (Pc – Pt) - d ( c-t )

Q = kecepatan filtrasi melewati membran kapiler

K = koefisien filtrasi

d = Koefisien refleksi

Pc = tekanan hidrostatik kapiler

Page 20: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Pt = tekanan hidrostatik interstisial

c = tekanan onkotik kapiler

t = tekanan onkotik interstisial

Secara sistematis urutan-urutan perubahan patofisiologi dapat dibagi dalam 4 fase

sebagai berikut35 :

a) Fase pertama : terjadi pembengkakan dan kerusakan mitokondria pada sel-sel

endotel, sehingga berlanjut terjadi pembengkakan dan terlepasnya sel-sel tersebut

dengan sel-sel yang berdampingan, menyebabkan ruang interseluler membesar

progresif.

b) Fase kedua : edema interstisiel meningkat, cairan keluar dari kapiler ke interstisiel

melalui defek antara sel endotel kapiler paru, sehingga paru menjadi lebih kaku

dan sukar diventilasi, mengurangi difusi oksigen, dan menyebabkan

pembengkakan mukosa bronkiolus yang selanjutnya cenderung menjadi

atelektasis.

c) Fase ketiga : meningkatnya atelektasis kongestif (secara klinis masalah pernapasan

biasanya terlihat). Kapiler paru menjadi lebih progresif dan terisi dengan sel darah

merah, dan dijumpai mikroatelektasis difus berat seluruh paru. Kerusakan endotel

dapat begitu hebat hingga sel darah merah bermigrasi masuk interstitiel

menyebabkan perdarahan peribronkial.

d) Fase keempat : kerusakan berlanjut ke sel- sel alveoli sehingga cairan masuk ke

dalam alveoli. Protein terutama fibrinogen ada dalam cairan ini dan dapat meng-

inaktifkan surfaktan, yang akan memperparah atelektasis. Bila penderita hidup

cukup lama, protein dan debris lainnya yang ada dalam alveoli akan mengendap

sebagai membran seperti hialin. Pneumonitis kemudian dapat terjadi akibat infeksi

lokal. Peningkatan atelektasis dan cairan alveoli merupakan media yang ideal

untuk pertumbuhan dan infasi kuman.

Dalam kepustakaan yang lain dijelaskan bahwa perjalanan penyakit / patogenesis ARDS

umumnya dikarakteristikkan menjadi 3 fase: 25,26,27

1) fase eksudasi ( initial phase )

2) fase proliferasi ( sub-acute )

3) fase fibrosis ( chronic )

Page 21: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Fase eksudasi (initial phase).

Terjadi pada hari ke 3-5. Dikarenakan adanya kerusakan alveolar yang difus

(Terjadinya kerusakan epitel alveolar dan endotel kapiler akan menyebabkan kebocoran

air, protein, terjadi proses inflamasi, yang akan menyebabkan eritrosit masuk ke

jaringan interstitiel dan lumen alveolar). Trauma pada endotel menyebabkan

peningkatan permeabilitas sehingga terjadi eksudasi cairan yang banyak di alveolus.

Terbentuk infiltrat di kedua lapangan paru. Terjadi proses inflamasi yang melibatkan

sel netrofil, juga perpindahan material semisolid dari darah ke jaringan paru

membentuk suatu membran hialin (pada bayi baru lahir menimbulkan suatu kelainan

yang disebut hyalin membrane disease). Kelainan yang tampak juga merupakan

aktifitas sitokin dan enzim lainnya. Dapat terjadi pemulihan atau berlanjut ke fase

proliferasi (sub-acute)

Fase proliferasi (sub-acute).

Terjadi setelah 5-7 hari. Pada fase ini terjadi proliferasi sel dengan regenerasi sel epitel, reaksi

fibroblastik dan remodeling. Terjadi peningkatan alveolar dead space dan penurunan

compliance paru yang menetap. Timbul penyumbatan dan penghancuran pada mikrosirkulasi

paru. Pada fase inipun masih mungkin untuk terjadi pemulihan. Jika tidak berhasil, maka akan

berlanjut ke fase fibrosis yang bersifat kronik.

Page 22: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Jaringan penyambung dan elemen-elemen struktural lainnya dalam paru berproliferasi atas

respon terhadap injuri awal, termasuk perkembangan dari sel-sel fibroblast. Dengan mikroskop

terlihat jaringan paru tampak sel-selnya memadat. Istilah “stiff lung” atau “shock lung” cocok

untuk fase ini. Dua sampai empat minggu setelah trauma paru, ketidaknormalan ruang udara

(air spaces) dan jaringan fibrotik (scarring) meningkat dengan jelas. Saat ini mudah terjadi

pneumothoraks akibat barotrauma atau volutrauma pada penggunaan ventilator. Saat ini juga

rentan untuk terjadi pneumonia dan bakteremia yang berlanjut menjadi sepsis. Banyak yang

meninggal pada fase ini akibat MOF (multiple organ failure) dan komplikasi infeksi. Fase ini

berlangsung 3 – 10 minggu. Dua fase pertama ini merupakan masa kritis yang menentukan

hidup atau matinya penderita yang terjun ke ARDS.

Fase fibrosis (chronic) dan Pemulihan (Healing stage)

Terjadi setelah 14 hari. Pada beberapa penderita yang berat atau lama tidak terjadi

perbaikan pada paru -paru , akan timbul jaringan parut akibat deposisi jaringan kolagen di

alveolus, pembuluh darah dan jaringan intersititial. Paru – paru menjadi tidak elastik sehingga

penderita menjadi lebih sulit bernafas. Dapat terjadi resolusi yang lengkap, tetapi lebih sering

menimbulkan sisa fibrosis.

Paru mengalami perbaikan dan pemulihan pada fase ini, yaitu terjadi suatu resolusi dari

inflamasi, debris-debris sel, dan berkurangnya fibrosis. Terapi oksigen dari ventilasi mekanik

memungkinkan berhasil. Fungsi paru dapat berlanjut menjadi bertambah baik dalam waktu 6

– 12 bulan sesudah onset gagal napas, tergantung dari beratnya kondisi penyakit dan beratnya

trauma awal yang terjadi.

Mekanisme cedera paru-paru akut tidak diketahui. Bone (1984) telah memeriksa sejumlah

mediator kimiawi yang berkaitan dengan patogenesis ARDS. Faktor-faktor ini terdiri dari

Page 23: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, hasil-hasil pemecahan fibrin, dan enzim-

enzim trombosit serta leukosit, yang diamati terdapat dalam jumlah abnormal dalam darah

atau sekret, atau pada paru-paru hewan atau manusia setelah mengalami sebab-sebab yang

dapat menimbulkan ARDS. Hubungan antara mediator-mediator yang dicurigai ini dengan

gangguan pada permeabilitas kapiler masih belum diketahui.28

Meskipun kerusakan paru pada ARDS masih kontroversial, namun dari hasil studi

beberapa binatang dan klinis manusia post mortem berhasil menegakkan beberapa hipotesis

yaitu diantaranya hipotesis “aktivasi komplemen dan makrofag” dan hipotesis “fibrinolisis

dan agregasi platelet”. Kedua hipotesis ini paling diterima dan tampaknya memang

merupakan mekanisme umum yang lebih mengacu pada dua kejadian penyebab ARDS

yang terbanyak yaitu sepsis dan trauma (dengan DIC).25,27

Gambar 1. Skema Patofisiologi ARDS 25

Kegagalan respirasi

Trauma

Gangguan Sel Tipe II

Endotel kapiler

Sel tipe I

Kebocoran kapiler pulmonal inaktivasi surfaktan

Edema alveolar dan interstisial Atelektasis Diferensiasi menjadi

Sel tpe I

Shunt, Complance menurun FRC menurun

Hipoksemia

Fibrosis pulmonar

Obliterasi mikrovaskular perbaikan membran kapilerr

Sepsis

Kegagalan multi organ

Kematian

Page 24: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

2.2.c. Gambaran Klinis dan Diagnosis

Gejala klinik awal ARDS mungkin bervariasi. Tergantung proses penyakit dasar

penderita dan juga kondisi secara umum dari penderita. Penegakan diagnosis ARDS

tergantung juga dari amamnesis klinis yang tepat. Gambaran primer dari ARDS meliputi

pirau intra pulmoner yang nyata dengan hipoksemia, berkurangnya daya kembang

(compliance) paru-paru yang progresif, dan dispnea (napas dangkal) dan takipnea yang

berat akibat hipoksemia dan bertambahnya kerja pernapasan sekunder terhadap

penurunan daya kembang paru-paru. Kapasitas residu fungsional juga berkurang.

Gambaran-gambaran ini merupakan akibat edema alveolar dan interstisiel. Akibatnya

timbul paru-paru yang kaku dan sukar berventilasi. Pada penderita mungkin tampak

adanya retraksi intercostal dan suprasternal. Pada auskultasi dapat terdengar krepitasi,

ronkhi atau whezzing, atau bahkan bisa terdengar normal. Ciri khas dari ARDS ini adalah

penderita tampak sianotik dan hipoksemia yang tidak dapat diatasi dengan pemberian

oksigen selama bernafas spontan. Kesadaran penderita mungkin berubah/gelisah, dan

juga penderita biasanya takikardi serta mengalami hipotensi/syok (hal ini akan diikuti

kegagalan fungsi organ). Gambaran klinis lengkap dapat bermanifestasi 24 – 48 jam

setelah cedera. 28,29,33,36

Diagnosis dugaan telah terjadinya suatu ARDS dapat ditegakkan melalui

pemeriksaan analisa gas darah (AGD) dan foto thoraks. Hasil AGD awalnya

menunjukkan suatu alkalosis respiratorik yang akut : PaO2 yang sangat rendah, PaCO2

normal atau menurun, dan peningkatan nilai pH darah. Aa-DO2 meningkat, juga ratio

PaO2/FiO2 = 150 atau kurang. Foto thoraks biasanya menunjukkan infiltrat alveolar difus

bilateral, yang gambarannya mirip dengan edema paru akut pada gagal jantung, namun

gambaran jantung biasanya masih dalam batas normal. Pada pasien dengan penyakit

dasar di paru-paru, perubahan fokal mungkin terlihat sejak awal pada foto thoraks.

Namun pada pasien yang tidak mempunyai penyakit dasar di paru-paru, dari hasil foto

thoraks awal mungkin tidak spesifik atau mirip dengan gambaran congestive heart failure

dengan efusi ringan. Perkembangan selanjutnya terjadi edema pulmoner interstitiel

dengan infiltrat yang difus (gambar 1). Bila perjalanan penyakit berkembang secara

progresif, akan terlihat gambaran opak alveolar dan retikuler difus bilateral (gambar 2).

26,27,29,33

Perjalanan ARDS yang merupakan edema paru non kardiogenik, dapat dibagi

menjadi 4 tahap gambaran klinis yaitu 25,32 :

Page 25: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

a) Tahap 1 (Cedera dan Resusitasi). Pada tahap ini terjadi injuri yang berat ditandai

dengan gangguan metabolisme dan perfusi jaringan. Karakteristik ditandai dengan

adanya alkalosis respiratorik akibat hiperventilasi (PaCO2 30-40 mmHg). PaO2

mungkin sedikit menurun atau normal dan A-aDO2 dengan udara kamar meningkat

sedikit atau sedang antara 20-40 mmHg. Tidak dijumpai kelainan pada pemeriksaan

radiologik, kadang-kadang hanya dijumpai kongesti atau atelektasis yang minimal.

b) Tahap 2 (Respiratory distress subklinik). Hiperventilasi terus berlangsung atau

sedikit lebih meningkat lagi, dengan PaCO2 25-35 mmHg. A-aDO2 udara kamar

meningkat 35-50 mmHg tetapi masih sedikit atau tidak ada masalah pernafasan.

Tahap ini disebut free interval dimana tekanan darah, perfusi jaringan dan fungsi

ginjal masih normal. Secara radiologis mungkin masih normal, atau ada infiltrat

difus yang minimal yang sesuai dengan daerah atelektasis kecil yang multipel dan

bendungan paru atau awal edema paru.

c) Tahap 3 (Respiratory Distress yang jelas). Hiperventilasi bertambah dan penderita

tampak mengalami gangguan pernafasan secara klinik. Kesannya timbul secara

mendadak. PaCO2 turun sampai 20-35 mmHg, PaO2 mulai menurun 50-60 mmHg

atau lebih rendah, A-aDO2 sering 40-60 mmHg atau lebih besar, shunting paru 20-

40% atau lebih. Pada foto thoraks tampak edema paru dan infiltrat difus bertambah

progresif. Kondisi pasien sangat gawat tetapi belum irreversible.

d) Tahap 4 (Gagal nafas berat). Insufisiensi menjadi berat dengan meningkatnya

akumulasi CO2 dalam darah. Pada tahap ini jumlah kapiler paru yang berfungsi

menurun drastis. Dipakai parameter PaCO2, sebab pada keadaan normal CO2

dikeluarkan dengan mudah sesuai dengan ventilasi alveolar. Manifestasi klinisnya

adalah dispnoe, takipnoe dan penurunan PaO2 yang cepat sehingga membutuhkan

bantuan ventilasi dengan tekanan tinggi. Ini merupakan kondisi yang fatal dan dapat

meninggal dalam 48 jam bila tidak diterapi. Pada tahap ini asidosis metabolik

bertambah berat dan penderita sangat memerlukan peningkatan konsentrasi Oksigen

untuk mempertahankan PaO2 diatas 60 mmHg. Shunting lebih besar dari 50-60 %

dan paru benar-benar gambaran opak pada foto thoraks.

Pada stadium terminal sesak nafas bertambah berat dengan penurunan volume tidal

dan kenaikan PCO2, hipoksemia berat, asidosis metabolik karena adanya hipoksia serta

tekanan darah sulit dipertahankan dan timbul gangguan kesadaran. 25,26

Page 26: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Penyulit yang memperberat keadaan ini adalah syok, sepsis, gagal ginjal akut atau

nekrosis tubular akut, kegagalan hati, hipoalbuminemia, hiponatremia, serta kelainan

metabolik yaitu asidosis metabolik. 25,27

Kriteria untuk menegakkan diagnosis untuk ARDS ini dilihat dari gambaran klinis,

pemeriksaan fisik dan penunjang seperti terlihat pada tabel 3.

Tabel 3. Kriteria Diagnosis ARDS 25

A. Gambaran Klinis

1. Catastrophic event

a. Pulmoner

b. Non pulmoner (contoh: syok)

2. Eksklusi

a. Penyakit paru kronis

b. Abnormalitas jantung kiri

3. Respiratory Distress (dibuktikan secara klinis)

a. Takipnoe > 20 kali permenit

b. Sulit bernafas

B. Foto Thoraks : Infiltrat paru yang difus

1. Interstisial (pada fase awal)

2. Alveolar (fase lanjut)

C. Fisiologik

1. PaO2 <50 mmHg dengan FiO2 >0,6

2. Compliance keseluruhan <50 ml/cm, biasanya 20-30 ml/cm

3. Peningkatan fraksi shunt Qs/Qt dan ventilasi deadspace Vd/Vt

D. Patologik

1. Paru-paru berat, biasanya >1000 gram

2. Atelektasis kongestif

3. Membran hyalin

4. Fibrosis

Secara ringkas kriteria diagnosis ARDS adalah sebagai berikut (Rinaldo) :

a) Adanya infiltrat difus pada foto toraks

b) Rasio oksigen arterial dan alveolar <0,3

Page 27: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

c) Tekanan baji arteri pulmonal <18 mmHg

d) Total komplemen statik torak <40 ml/cmH2O

Ada juga yang menggunakan skore Trauma Paru Akut (Acute Lung Injury), dimana bila

nilai > 2,5 berarti merupakan trauma paru berat (ARDS). Gagal organ multipel sering

menyertai dan bahkan lebih dari 75% penderita ARDS meninggal justru lebih diakibatkan

oleh gagal organ multipel ini dibandingkan dengan disfungsi parunya sendiri.25

Tabel 4. Scoring System for ARDS :

Ω Chest Roentgenogram score

• No alveolar consolidation

• 1 quadran consolidation

• 2 quadran consolidation

• 3 quadran consolidation

• 4 quadran consolidation

Ω Hypoxemia score

• PaO2/FiO2 ≥ 300

• PaO2/FiO2 225 – 299

• PaO2/FiO2 175 – 224

• PaO2/FiO2 100 – 174

• PaO2/FiO2 ≤ 100

Ω Compliance (when ventilated) (ml/cmH2O)

• ≥ 80

• 60 – 79

• 40 – 59

• 20 – 39

• ≤ 19

Ω PEEP required ~when ventilated (cmH2O)

• ≤ 5

Score

0

1

2

3

4

0

1

2

3

4

0

1

2

3

4

0

Page 28: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

• 6 – 8

• 9 – 11

• 12 – 14

• ≥ 15

Final value is obtained by dividing the aggregate sum by the number

of components used.

Score

- No injury

- Mild to moderate injury

- Severe injury

1

2

3

4

0

0,1 – 2,5

> 2,5

Tabel 5. Definisi ARDS (Berlin 2012) :

2.2.d. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: 25

a) infeksi paru

b) emboli dan infark paru

c) barotrauma akibat PEEP

d) pendarahan gastro intestinal, ileus, distensi maupun pneumoperitoneum

e) kardiovaskuler: aritmia, hipotensi, penurunan curah jantung

f) kegagalan multi organ

2.2.e. Prognosis

Prognosisnya kurang baik karena mortalitasnya masih tinggi walaupun dengan

terapi yang intensif. Penderita yang bisa bertahan hidup biasanya waktu rata-rata 2

minggu sejak terjadinya ARDS sampai terjadi pemulihan, dan ternyata setelah

dievaluasi fungsi paru mereka sudah terjadi kecacatan. Angka mortalitas sekarang

sekitar 32-45 %, dibandingkan dengan 53-68 % pada tahun 1980-an. Penyebab

kematian akibat MOF yang progresif lebih sering dibandingkan karena masalah pada

Page 29: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

respirasinya sendiri. Populasi tertinggi kematian akibat ARDS adalah pada mereka

yang mempunyai kelompok umur tua, immunocompromise persons, dan pasien

dengan penyakit hati kronis. 26,36

2.2.f. Penatalaksanaan

Target utama pengelolaan penderita ARDS adalah mengembangkan alveoli secara

optimal untuk mempertahankankan gas arteri dan oksigenasi jaringan yang adekuat,

keseimbangan cairan dan asam basa serta sirkulasi yang memadai sampai integritas

membran kapiler utuh kembali. Selain itu juga ditujukan untuk mengatasi faktor-

faktor pencetus dan hal-hal lain serta memberikan terapi penunjang. Ventilasi

selalunya diberikan melalui oro trakeal intubasi atau dengan trakeostomi apabila

terdapat ventilasi untuk jangka masa yang panjang yaitu lebih dari 2 minggu.25,27

Faktor-faktor penting dalam pengobatan ARDS setelah trauma, syok, atau sepsis

berat adalah sebagai berikut:32

a) Mengendalikan masalah primer

b) Dehidrasi progresif hati-hati sementara perfusi jaringan dipertahankan

dengan baik.

c) Distensi optimal alveoli untuk meningkatkan kapasitas residu fungsional

dan mengoreksi atelektasis progresif.

2.2.f.i. Ventilasi Mekanik pada ARDS

Pasien dengan kegagalan respiratorik dengan hipoksemia akut, dan

peningkatan usaha nafas, memerlukan ventilasi mekanik. Apabila dengan

penggunaan oksigen nasal/sungkup hasil pemeriksaan gas darah PaO2 <50

mmHg, maka sebaiknya dilakukan intubasi dan pemasangan ventilator

mekanik2,4. Jika oksigenasi tidak dapat dipertahankan pada tingkat yang

adekuat dengan FiO2 60%, maka digunakan PEEP (positive end expiratory

pressure), oleh karena PEEP dapat membantu mempertahankan paru tetap

terbuka pada daerah yang kolaps dan sebagian meningkatkan/memperbaiki

penurunan kapasitas residu fungsional, jadi memperbaiki transpor oksigen

melalui paru. Penggunaan PEEP pada stadium awal mungkin dapat sebagai

profilaksis dalam mencegah ARDS.25,31,36,37

Efek samping yang kurang menguntungkan pada penggunaan PEEP

adalah penurunan curah jantung karena berkurangnya venous return,

peninggian tekanan intrapleura, resistensi kapiler meningkat serta

Page 30: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

komplikasi barotrauma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, dan

emfisema subkutan.25,26,34,38

Secara konvensional, dulu pengelolaan ini menggunakan IPPV

(Intermittent Positive Pressure Ventilation) siklus volume dengan

pengaturan volume tidal yang besar (12 ml/kgBB) dengan tujuan untuk

mendapatkan oksigenasi sebesar-besarnya dalam rangka mengejar

hipoksemia yang terjadi, mengatasi penurunan compliance paru dan untuk

mendorong cairan inter dan intra alveolar kembali ke dalam kapiler. Namun

menurut studi terakhir, ternyata untuk mendapatkan volume tidal sebesar itu

dibutuhkan aplikasi tekanan yang sangat tinggi dengan konsekuensi akan

terjadi ekspansi berlebihan dari sisa paru yang masih mempunyai compliance

dan mampu melakukan pertukaran gas. Sebab ternyata injuri ARDS

meskipun difus tetapi sifatnya tidak seragam. Hanya sebagian kecil paru

yang terisi udara, sehingga bila diberikan volume tidal yang besar, maka

sama saja dengan memberikan 4 kali volume tidal ini pada paru yang masih

mempunyai compliance tersebut. Saat ini penanganan ARDS dengan tidal

volume yang besar yang dikombinasi dengan peak airway pressure (P peak

= tekanan puncak inspirasi) yang tinggi seharusnya dihindari. Penggunaan

tidal volume yang dianjurkan sebesar 6 mL/kgbb dan mempertahankan

plateau pressure atau p peak < 30 cmH2O akan menurunkan angka mortalitas

sebesar 9 % (dibandingkan menggunakan tidal volume 12 mL/kgbb).26,34,36,38

Kepustakaan lain menyebutkan bahwa penggunaan tidal volume yang kecil

akan menurunkan angka kematian dari 40 % menjadi 31 %. 31,33

Terdapat bukti-bukti peak airway pressure (P peak) yaitu tekanan

puncak inspirasi bila terlalu tinggi dapat merusak endotel dan menambah

edema paru tipe high permeability pada ARDS. Pertimbangan inilah yang

menyebabkan perubahan strategi ventilasi mekanik ke arah modus pressure

control dengan inverse ratio ventilation (PC-IRV). 25,26,27,31 Pada modus ini

terdapat pembatasan P peak sehingga volume tidal yang dicapai juga

kecil/terbatas. Sehingga untuk mencapai 3 tujuan dukungan ventilasi

mekanik dibutuhkan PEEP dan pembalikan rasio inspirasi : expirasi.26 PEEP

dapat membantu pemulihan alveoli yang kolaps dan mempertahankannya

agar tetap terbuka dan mengembalikan sebagian FRC yang menurun,

sehingga akan memperbaiki transpor O2 dalam paru. Biasanya digunakan

Page 31: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

PEEP dengan nilai rentang 5-10 cmH2O.27,31 Level PEEP yang lebih tinggi

kadang dianjurkan tetapi hasil yang lebih baik tidak selalu didapatkan.

Bahkan dapat menimbulkan komplikasi berupa barotrauma dan penurunan

curah jantung.25,31,33

Level minimal O2 untuk mencapai oksigenasi adekuat (FiO2 sekitar 60

%) perlu diantisipasi, sebab O2 konsentrasi tinggi sangat toksik untuk paru

yang akan menambah kerusakan pada paru yang mengalami cedera. 25,27,36

PEEP dapat menurunkan kebutuhan FiO2 yang sebisanya dipertahankan <60-

70%. Namun, pada hipoksemia berat PEEP dengan 100% O2 mungkin

diperlukan. Pada modus inverse ratio ini masa ekspirasi jadi pendek sehingga

dada tetap terinflasi parsial pada setiap inspirasi berikutnya dimulai. Hal ini

mengakibatkan timbulnya fenomena air trapping, sehingga tekanan akhir

ekspirasi akan melebihi PEEP yang disetting. Untuk selanjutnya tekanan ini

disebut intrinsic PEEP (PEEP-i) dan selisih tekanannya bila dikurangi PEEP

set disebut auto PEEP. Tingkat auto PEEP yang masih bisa ditolerir adalah

berkisar antara 2-5 cmH2O.27,36 Dengan PC-IRV, PEEP-i ini diatur untuk

memperbaiki oksigenasi dengan pengaturan masa ekspirasi melalui 4

variabel ventilasi, yaitu: rasio inspirasi-ekspirasi, laju ventilator, setting

PEEP dan Peak Airway Pressure (P peak). P peak disini sebagai indikator

untuk mencegah komplikasi barotrauma. P peak yang diduga menimbulkan

barotrauma bervariasi antara 35-45 cmH2O sehingga perlu menset batas atas

pada 35 cmH2O sebagai pressure control untuk mempertahankan P peak

kurang dari 35 cmH2O. Namun modus ini konsekuensinya akan menawarkan

tingkat ventilasi yang kecil, sehingga seringkali pula terjadi perburukan

pertukaran gas CO2.25,27,36

Dalam batas-batas tertentu penambahan laju ventilator dapat mengatasi

masalah ini tetapi bila P peak terus meningkat sampai hampir mencapai

batas atas tersebut, maka lebih dipilih membiarkan PaCO2 yang meningkat.

Jadi pendekatan terbaik adalah kombinasi PC-IRV dengan permissive

hypercapnia (PH). Konsep PH ini juga merupakan cara untuk menurunkan

beban kerja ventilasi yang cukup besar, sebab tenaga ventilasi dan juga

tekanan transpulmoner berbanding lurus dengan kuadrat volume semenitnya.

PaCO2 dibiarkan meningkat secara gradual, untuk memberikan kesempatan

proses kompensasi pada ginjal untuk meretensi bikarbonat atau dapat juga

Page 32: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

dengan infus buffer. Peningkatan tersebut kadang sampai 70 mmHg, sebab

asalkan PaCO2 <80 mmHg, atau pH>7,15 efek patologik yang tak

diinginkan umumnya masih reversibel. Bila PaCO2 mencapai 120 mmHg

atau lebih, maka asidosis yang terjadi biasanya tidak terkoreksi lagi. Konsep

ini dikontraindikasikan pemakaiannya pada penderita dengan kelainan otak,

dimana peningkatan tekanan intrakranial akan sangat membahayakan

misalnya pada pendarahan serebral, tumor otak, dan lain-lain dan juga

penderita gagal ginjal. 25,27,34

Jadi dapat disimpulkan strategi kita dalam aplikasi ventilasi mekanik

pada penderita ARDS menurut The American-European Consensus

Conference on ARDS adalah sebagai berikut :

1. Tujuan manajemen ventilasi mekanik adalah tercapainya Oksigen

Delivery pada organ-organ vital dan penyesuaian pengeluaran Karbon

dioksida untuk mempertahankan suatu keadaan yang homeostasis.

2. Minimalkan terjadinya Oksigen toxicity. Gunakan fraksi oksigen

serendah mungkin (< 60 %) untuk mencapai tujuan ventilasi mekanik,

dengan memanipulasi/mengoptimalisasi faktor-faktor yang lain.

3. Alveoli dipertahankan tetap mengembang (terbuka). Untuk tujuan ini

kita dapat menggunakan positive end expiratory pressure (PEEP). Total

PEEP 10 – 15 cmH2O.

4. Meminimalkan high airway pressure. Tehnik yang digunakan

permissive hypercapnia (PH), pressure-controlled ventilation, dan

pressure limited, volume-cycled ventilation. Tekanan di dalam

transalveolar tidak boleh melebihi 25-30 cmH2O dalam setiap siklus

tidal. Tapi biasanya ada yang memerlukan 30-40 cmH2O, tergantung

compliance paru dan dinding dada.

5. Cegah terjadinya atelektasis. Untuk hal ini kita bisa menggunakan tidal

volume yang besar secara periodik. Tekanan saluran napas yang tinggi

dengan durasi inspirasi yang lebih panjang dapat mencegah terjadinya

atelektasis bila kita menggunakan tidal volume yang kecil atau PEEP

yang rendah.

6. Gunakan sedasi dan obat pelumpuh otot jika diperlukan, untuk

meminimalkan oksigen demands, terutama pada penggunaan PC-IRV.

Page 33: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Tabel 6. Protokol protective lung ventilation dari ARDS Net Study

Procedure Value

Ventilator mode Volume assist/control

Tidal volume goal 6 ml/kg of predicted body weight

(maximum 8 ml/kg)

Plateau pressure goal < 30 cmH2O (adjusted TV as

necessary)

Ventilator rate and pH goal 6-35, adjusted to achieve arterial, and

pH > 7,30 if possible

Inspiration : Expiration time 1:1 – 1:3

Oxygenation goal

PaO2

SpO2

55-80 mmHg

88-95%

Keep FiO2 < 60% (minimize O2 toxicity)

Utilize PEEP 5-15 cmH2O (recrit alveoli)

Permissive hypercapnia

PaCO2 60-100

Weaning Weaning attempted by means of

pressure support when level of arterial

oxygenation acceptable with PEEP ≤8

cm of water and FiO2 ≤0.40

Protokol protective lung ventilation dari ARDS Sesuai Definisi Berlin

Page 34: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

2.2.f.ii. Farmakoterapi

Terapi obat-obatan pada ARDS sebagian masih bersifat kontroversial. Berikut ini

diuraikan berbagai macam terapi farmakologi yang sering diberikan pada penderita

ARDS, termasuk temuan-temuan baru yang kebanyakan masih kontroversi

penggunaannya.

• Recombinant Human Activated Protein C (rhAPC)rhAPC direkomendasikan

untuk pasien resiko tinggi untuk mati (Acute Physiology and Chronic Health

Evaluation II ≥ 25, sepsis-induced MOF, septic shock, atau ARDS) dan ada kontra

indikasi absolut seperti resiko terjadinya perdarahan, atau kontra indikasi relatif.

ARDS selalu diasosiasikan dengan keadaan sepsis yang berat. Kemampuan bertahan

hidup ditingkatkan dengan pemberian protein C (Xigris) ini, namun pemberian

protein C ini diasosiasikan dengan meningkatnya resiko perdarahan21,23,39,40. Kontra

indikasi terdiri atas perdarahan dalam yang aktif, riwayat stroke hemoragik dalam 3

bulan terakhir, 2 bulan terakhir ada riwayat operasi intra spinal atau intra kranial atau

pernah mengalami cedera kepala berat, trauma dengan ancaman perdarahan, sedang

terpasang kateter epidural, keganasan intra kranial, atau lesi masa atau adanya bukti

hernia cerebral39.

• Anti-endotoxin immunotherapy

Meskipun ada bermacam-macam pendekatan potensial terhadap antagonis endotoksin,

hanya antibodi monoklonal yang telah diterima secara luas. Berbagai uji klinik yang

Page 35: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

menggunakan monoklonal ini memperlihatkan sedikit atau tidak ada keuntungan bagi

pasien dengan sindroma sepsis. 38

• Kortikosteroid

Kortikosteroid tidak digunakan sepenuhnya dalam penatalaksanaan sepsis dan ARDS

karena kortikosteroid tidak terbukti dapat menurunkan angka mortalitas dan insiden

terjadinya ARDS. Kortikosteroid mungkin berguna pada varian ARDS seperti sindrom

emboli lemak dan pneumocystic carinii pneumonia dimana kortikosteroid berguna

sebagai profilaksis atau terapi. Jadi sebenarnya pemakaian kortikosteroid masih

kontroversial. Kortikosteroid dikatakan dapat mengurangi kerusakan paru dan

permeabilitas kapiler bila diberikan sejak awal. Namun beberapa kepustakaan lain

menyebutkan bahwa kortikosteroid tidak diindikasikan pada fase awal, namun

sebaiknya diberikan pada fase lanjut atau pada fase fibroproliferatif, karena dari suatu

hasil randomized study lebih banyak memberikan keuntungan.26,36 Yang sering

digunakan adalah metil prednisolon 1-2 gr/hari selama 24-48 jam atau 30 mg/BB iv tiap

6 jam. Sedangkan untuk septic shock bisa diberikan kortikosteroid intra vena infus

kontinyu dengan hidrocortison 200-300 mg / hari dibagi dalam 3 atau 4 kali pemberian,

selama 7 hari.25,28,38

• Cyclo-oxygenase inhibitorMetabolit siklooksigenase asam arakidonat memegang

peranan pada patogenesis sepsis dari ARDS. Tromboxan A2 (TxA2) sebuah

vasokostriktor dan pemicu agregasi platelet, prostasiklin (PGI2) sebuah vasodilator dan

inhibitor agregasi platelet, dan prostaglandin (PGE2) sebuah vasodilator dengan efek

imunosupresif pada leukotrien. Penggunaan ibuprofen pada pasien sepsis menunjukkan

penurunan level dari mediator-mediator tersebut di atas41,42,43.

• Antagonis dari sitokin pro inflamasiSitokin-sitokin pada sepsis dan ARDS antara lain

TNFα, interleukin-1b (IL-1), IL-6, dan IL-8. normalnya sitokin tersebut didapatkan

dalam jumlah yang sedikit dan dipengaruhi oleh pertahanan tubuh host. Peningkatan

TNFα dapat mengakibatkan sepsis dan berhubungan dengan mortalitas pasien. Dengan

pemberian antibodi terhadap TNFα dapat menurunkan mortalitas pasien dengan sepsis,

meskipun tidak spesifik sepsis yang timbul karena ARDS42.

• PentoxyfilineMerupakan derivat xantin yang digunakan untuk meningkatkan perfusi

pada pasien dengan penyakit vaskular perifer, menghambat pelepasan oksigen radikal,

agregasi platelet dan fagositosis juga respon terhadap PAF. Obat ini juga menghambat

pelepasan TNF ke dalam sirkulasi pada tikus dan manusia bila diberikan secara

Page 36: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

intravena. Data tersebut di atas menyimpulkan bahwa pentoxyfiline dapat berguna pada

pasien sepsis dan ARDS, namun perlu uji yang lebih mendalam lagi untuk

membuktikannya41,42.

• Mediator lipid (Prostaglandin E1 dan E2)

ARDS berhubungan dengan perubahan hemodinamik pulmonar yang mengakibatkan

vasokonstriksi aktif dan kehilangan mikrovaskuler. Prostaglandin E1 merupakan

vasodilator mediator lipid yang dapat menurunkan tekanan arteri pulmoner dan

akumulasi cairan ekstravaskuler paru, meningkatkan pertukaran gas, pelepasan

leukotrien B4, radikal oksigen dan enzim sitotoksik dari aktivasi granulosit. Sebuah uji

prospektif pada pasien bedah menunjukkan angka survival yang signifikan tetapi belum

ada uji prospektif mengenai ARDS.26,27,38

• Antioksidan

Hidrogen peroksida (H2O2) dan radikal hidroksil (OH) dilepas dari aktivasi fagosit

inflamasi. Komponen-komponen tersebut secara normal dikeluarkan dari paru melalui

mekanisme pertahanan, melalui sistem enzim, juga vitamin E, betacaroten, vitamin C,

dan asam urat. Pada ARDS, mekanisme pertahanan ini gagal sehingga paru dan jaringan

lainnya terpapar oleh radikal bebas. Terapi untuk meningkatkan pertahanan pulmoner

terhadap oksidan dapat dilakukan dengan 3 cara antara lain dengan meningkatkan

simpanan enzim anti oksidan, peningkatan simpanan glutathione (N-acetylcistein,

glutathione), dan penambahan vitamin E.36

Terapi antioksidan terhadap metabolit O2 yang toksik dapat meningkatkan angka

penyembuhan, misalnya vitamin E 400 IU peroral, vitamin C 1 gr iv/8 jam, N-asetil

sistein 6 gr oral/6 jam dan Selenium 50 mcg iv/6 jam. 25

• AntiproteaseEnzim-enzim seperti protease serin, elastase, kolagenase, dan gelatinase

merupakan produk penting dari sel fagositik inflamasi dan dapat terlibat dalam ARDS.

Pada pasien dengan ARDS didapatkan peningkatan enzim proteolitik. Ada data-data

pada hewan dimana pemberian anti protease eksogen dapat memblok injuri paru42.

• Inhaled pulmonary vasodilators (nitric oxide)

Nitric oxide merupakan relaksan otot polos yang berasal dari endotelium. Nitric oxide

memiliki peranan penting dalam neurotransmisi, pertahanan tubuh host , agregasi

pletelet, adhesi leukosit, dan bronkodilatasi. Dalam dosis 60 bagian per miliar inhaled

Nitric oxide (iNO) dapat meningkatkan oksigenasi. Tetapi pada penanganan ARDS

hanya diperlukan 1-40 bagian per juta. iNO dapat diberikan terus menerus atau

Page 37: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

menggunakan injeksi inspirasi intermiten. Hanya 40-70% pasien ARDS yang mengalami

perbaikan oksigenasi dengan menggunakan iNO, hal ini kemungkinan karena

vasokonstriksi pulmoner aktif.26,31,38

• Pendekatan pro inflamasiAda bukti bahwa peningkatan agen yang meningkatkan

respon inflamasi dapat terjadi pada ARDS. Mekanisme pendekatan pro inflamasi adalah

dengan menurunkan atau membatasi infeksi untuk mencegah perluasan respon inflamasi

yang dapat membahayakan paru42.

• Surfactant replacement therapy

Apoprotein surfaktan penting untuk mencegah inaktivasi surfaktan pada paru-paru yang

meradang dan meningkatkan fungsi biofisikal. Studi saat ini difokuskan untuk membuat

surfaktan sintetis yang berisikan apoprotein atau analog apoprotein. Terapi replacement

ini potensial untuk digunakan pada neonatus dengan respiratory distress syndrome.

Telah dilakukan studi uji coba terhadap hewan, namun penggunaan terapi replacement

pada manusia memerlukan studi lebih lanjut. 27,31,38

• KetokonazoleKetokonazole merupakan obat anti fungal yang juga menghambat

sintesa tromboksan dan 5-lipooksigenase. Meski demikian hasil yang lebih menjanjikan

dari studi kecil mengenai pasien yang berisiko belum dapat dikonfirmasikan dalam studi

yang lebih besar23,41.

• HeparinHeparinisasi biasanya kita berikan bila terjadi Disseminated Intravascular

Coagulation (DIC)22.

• Terapi genPengetahuan biologi molekuler telah maju dimana pada beberapa tahun

terakhir intervensi terapeutik dengan DNA merupakan teknik yang dapat dijalankan.

Teknik ini sukses dilakukan terhadap binatang pada beberapa uji klinik42.

2.2.f.iii.General Supportif Care

a) Cardiac, Circulation Support dan Transport Oksigen/Delivery Oxygen

(DO2)

Resusitasi cairan yang adekuat adalah suatu aspek yang fundamental

dalam management hemodinamik pada pasien-pasien yang sakit kritis, dan

sebaiknya masalah keadekuatan cairan ini harus teratasi dulu sebelum kita

menggunakan vasopresor. Tetapi pada keadaan emergensi kadang-kadang

digunakan vasopresor lebih dini, misalnya pada keadaan syok yang berat. 38

Epinefrin potensial menyebabkan takikardia, dan kemungkinan efek yang

tidak menguntungkan buat sirkulasi splanik, sedangkan phenilefrin berefek

Page 38: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

menurunkan stroke volume. 13 Preload yang opimal dicapai dengan pemberian

cairan yang cukup, dapat dilihat dari monitor CVP. Apabila terjadi suatu

kegagalan sirkulasi maka bisa diberikan obat-obat inotropik bahkan obat-obat

vasodilator bila terdapat peninggian dari afterload.25

Data-data non spesifik terdahulu memperlihatkan bahwa DO2 dapat

meningkatkan outcome penderita ARDS. Meski demikian, banyak ilmuan

mengatakan bahwa tidak ada target level dari DO2 global yang cukup. Hal ini

disebabkan karena hubungan yang kompleks antara aliran darah global, aliran

darah regional, oksigenasi jaringan dan kebutuhan metabolik lokal. Lebih jauh

lagi, akibat dari interaksi yang kompleks ini dan koeksistensi dari disfungsi

sistem organ yang berhubungan, tidak mungkin untuk mengetahui tekanan

pengisian ventrikel kiri yang optimal, hemoglobin dan hematokrit minimal atau

optimal atau pilihan cairan (kristaloid atau koloid) untuk replacement therapy.

Meski demikian, terdapat standarisasi terapi berdasarkan prinsip-prinsip

patofisiologi dan data klinik yang penting untuk memaksimalkan terapi. 31,34

b) Terapi Cairan

Untuk mempertahankan hemodinamik maka diperlukan terapi cairan yang

cukup dan sebaiknya dipasang CVC. Pemakaian koloid untuk memperbaiki

tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik sering kali digunakan. Penggunaan

garam konsentrat rendah albumin dengan diuretik (furosemid) seringkali

bermanfaat untuk mengurangi resiko terjadinya kelebihan cairan.25,27,28 Pada

keadaan dimana dicurigai terjadi hipovolemia (tidak adekuatnya sirkulasi

arterial) dapat diberikan 500 – 1000 mL kristaloid atau 300 – 500 mL koloid

dalam waktu lebih dari 30 menit dan diulangi sampai ada respon (tekanan darah

meningkat dan produksi urine juga meningkat). 38 Penggunaan albumin atau

jenis koloid yang lain selain produk darah pada penderita ARDS sampai saat ini

masih kontroversial. Jika terapi cairan yang diberikan jenis albumin,

pengukuran pulmonary artery occlusion pressure (PAOP) dan pulmonary

artery pressure (PAP) seharusnya digunakan sebagai panduan dalam

penatalaksanaan. Keduanya sangat penting untuk mengetahui adanya

transudasi cairan yang melewati membran kapiler pulmoner.

c) Kontrol terhadap Infeksi Nosokomial

Higiene rumah sakit yang baik dan penggunaan teknik aseptik standar

merupakan hal yang penting dan mendasar dalam mencegah infeksi

Page 39: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

nosokomial. Penggantian kateter hendaknya dilakukan secara rutin untuk

mencegah infeksi. Penggantian endotracheal tube secara rutin tidak

direkomendasikan. Posisi supine pada pasien merupakan faktor risiko

terjadinya superinfeksi pulmoner. Penggunaan antibiotika profilaksis secara

rutin pada pasien non immunocompromised tidak dibenarkan. Pemberian

antibiotika sebaiknya diberikan berdasarkan hasil kultur. Pengecetan sekret

dari bronkus dan kultur sebaiknya dilakukan 2-3 hari sekali.25,27,36

d) Terapi nutrisi

Nutrisi perlu diberikan untuk menjaga agar tidak terjadi kelemahan otot,

penurunan imunitas yang memudahkan infeksi, serta hipoalbumin yang

memperberat edema paru.25 Tiga komponen nutrisi yaitu karbohidrat, lipid, dan

protein harus diberikan. trace elements dan vitamin juga dimasukkan dalam

terapi nutrisi. Secara umum, pasien dengan penyakit yang akut mungkin tidak

mampu untuk menyesuaikan diri dengan kapabilitas metabolik dalam tubuhnya

sehingga dapat terjadi disfungsi hati, overload, dan hiperglikemia. Bila

memungkinkan, makanan sebaiknya diberikan secara enteral, karena dapat

menurunkan insiden kolonisasi gaster oleh basil gram negatif, stress ulcer, dan

atrofi mukosal. Pemberian nutrisi secara enteral dapat meningkatkan respon

imun host. 26,37

e) Non Pulmonary Organ Support

Penggunaan secara rutin dari agen dopeminergik untuk memelihara aliran darah

ginjal merupakan terapi yang belum terbukti. Manuver-manuver yang dapat

meningkatkan tekanan intrakranial seperti PEEP, terapi respiratori, dan posisi-

posisi tubuh tertentu, dapat menyebabkan penurunan perfusi serebral. Sebagian

besar penyakit kritis, pasien dengan dependent ventilator memerlukan sedatif

dan/atau analgetik untuk meningkatkan kenyamanan pasien, memfasilitasi

ventilasi, dan menidurkan pasien. Perubahan posisi tubuh dapat melancarkan

pertukaran gas dan meminimalisir masalah kulit (dekubitus). Penggunaan rutin

antitrombotik juga direkomendasikan. Profilaksis terhadap stress ulcer secara

rutin mungkin berguna untuk pencegahan. 36,37

f) Fisioterapi

Fisioterapi yang adekuat penting untuk mengeluarkan sekret dari paru. Secara

berkala posisi pasien diubah-ubah untuk menurunkan risiko pneumonia

orthostatik dan atelektasis. Manuver-manuver sederhana, misalnya secara

Page 40: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

berkala dan bergantian posisi penderita diposisikan prone dan supine, atau

lateral (kinetic therapy) sangat membantu memperbaiki pertukaran gas di paru-

paru, namun manuver ini perlu pengawasan yang sangat ketat. Kinetic therapy

dapat diaplikasikan dengan menggunakan tempat tidur pasien yang khusus.

25,26,27,31

g) Extra-Corporal Membrane Oxygenator (ECMO)Tehnik Extra-Corporal gas

exchange dengan menggunakan Extra-Corporal Membrane Oxygenator

(ECMO), diharapkan paru-paru dapat beristirahat untuk beberapa hari sehingga

ada kesempatan untuk sembuh. Kanulasi yang biasa dilakukan adalah di vena

femoralis (drainage cannula) dan di vena jugularis interna (return cannula)

atau biasa disebut femoro-jugular bypass. Hal ini masih dalam penelitian lebih

lanjut oleh para ahli22,43,44,45.

h) High Frequency Ventilation (HFV)43,45 HFV adalah istilah umum yang

digunakan untuk semua tehnik ventilasi yang menggunakan metode frekuensi

tinggi. Tidal volume yang diaplikasikan adalah lebih kecil dari ruang rugi

anatomi / anatomical dead space (= 2 mL/kgbb). Tehnik ini tidak umum

digunakan di klinik. Berdasarkan frekuensi ventilasinya, HFV ini terbagi atas :

High Frequency Positive Pressure Ventilation (HFPPV). Frekuensi

ventilasi 60-110 / menit (1-2 Hz).

High Frequency Jet Ventilation (HFJV). Frekuensi ventilasi 110-600 /

menit (2-10 Hz).

High Frequency Oscillation (HFO). Frekuensi ventilasi 600- 2400 / menit

(10-50 Hz).

Tehnik HFV ini biasanya digunakan pada kasus ARDS pada neonatus. Selain

pada ARDS juga dapat diaplikasikan pada kasus-kasus fistula bronkopleural,

trauma serebro-kranial, operasi laring, thoraco-lung surgery (reseksi trakea,

stent- implantation), bedah saraf, jet-broncoscopy, dan breathing therapy-

mucolysis.

i) IntraVenous OxygenationSebagai alternatif untuk dimungkinkannya

pertukaran gas secara extra-corporeal dengan menggunakan Intravenous

Membrane Oxygenator (IVOX). Tehnik ini masih dalam taraf uji klinik dan

belum digunakan secara umum.

Page 41: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

2.2.g. PENCEGAHAN

Pencegahan yang dilakukan ditujukan untuk menurunkan angka mortalitas. Pengelolaan

yang cepat dengan mengenali faktor penyebab, penanganan infeksi yang tepat, tidak

menambah trauma terhadap paru-paru karena penggunaan ventilator yang tidak tepat,

monitoring kebutuhan cairan secara tepat dan memberikan nutrisi yang cukup diharapkan

dapat mengurangi tingkat mortalitas.

Secara umum lakukan pengelolaan sejak awal 21,22,45:

• Kenali sejak awal adanya tanda-tanda distress respirasi,

• Berikan tambahan oksigen dan monitoring saturasi

• Pastikan apakah penderita memerlukan tindakan intubasi dan pemasangan ventilasi

mekanis. Jika ya, maka lakukan segera dan pengaturan ( setting ) ventilator dengan

tepat untuk tidak menambah cedera paru,

• Lakukan foto toraks dan analisa gas darah,

• Cari faktor resiko ,

• Optimalisasi status cairan dengan pemasangan CVP,

• Atasi komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul.

2.2.h. PROGNOSA

Jika proses yang terjadi di paru - paru semakin berkembang, maka akan timbul

hipoksemia yang semakin berat yang akan mengakibatkan oksigenasi yang tidak

adekuat22. Dan selanjutnya secara tidak langsung keadaan ini akan mengakibatkan

kerusakan pada organ lain. Jika ini terjadi maka prognosa akan semakin buruk.

Pasien yang dikelola dengan baik, biasanya sudah menunjukkan perbaikan pada 2

minggu pertama sejak diagnosa ditegakkan. Resolusi dapat terjadi dalam waktu 6 - 12

bulan, dan gambaran foto toraks dapat menjadi normal kembali23. Fungsi paru-paru yang

mulanya terganggu , kemungkinan besar dapat kembali normal seperti sedia kala.

Tingkat mortalitas penderita sindroma ini berkisar antara 32 - 45 %. Dan angka

mortalitas ini dapat diperberat akibat penggunaan ventilator yang tidak tepat, yang akan

menambah parah kerusakan paru-paru. Perburukan akibat ventilator ini dikenal dengan

Ventilator induce Lung injury 24,47.

Page 42: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

BAB III

LAPORAN KASUS

EVALUASI PRA—ICU

1. Identitas

Identitas : I Kadek Medi Sukadana

Umur : 19/01/1997 (19 tahun)

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Hindu

Bangsa : Indonesia

Status : Belum menikah

Pekerjaan : Pelajar

RM : 16038835

MRS : 08/09/2016

Tanggal OP : 09/09/2016

Diagnosis : ARDS post ORIF ec. Open fraktur right tibia middle third grade II;

Open fraktur right fibula segmental; Closed fraktur left distal radius

frykman VIII; Closed fraktur right distal radius frykman VIII

Masuk RTI : 11/09/2016

2. Anamnesis

a. Anamnesis Khusus

Pasien dikonsulkan dari ruangan angsoka dengan sesak nafas dan penurunan

kesadaran post ORIF ec. Open fraktur right tibia middle third grade II; Open

fraktur right fibula segmental; Closed fraktur left distal radius frykman VIII;

Closed fraktur right distal radius frykman VIII (09/09/2016). Perjalanan penyakit:

Pasien datang dengan keluhan nyeri di kedua lengan dan tungkai bawah kanan

setelah mengalami kecelakaan 5 jam SMRS (08/09/2016 pkl 17.00 WITA). MOI

: pasien mengendarai sepeda motor dengan menggunakan helm. Saat hendak

berhenti, rem motor rusak dan pasien menabrak pembatas jalan. Pasien lalu

terjatuh dengan posisi lengan dan tungkai menahan tubuh. Riwayat kepala

terbentur, pingsan, kejang, ataupun muntah disangkal.

b. Anamnesis Umum

Riwayat penyakit sistemik : tidak ada

Page 43: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Riwayat operasi/anestesi sebelumnya : ada, dengan Anestesi Umum

Riwayat alergi obat : tidak ada

Riwayat merokok/minum alkohol : tidak

3. Pemeriksaan Fisik

Berat badan: 75 kg ; Tinggi badan 175 cm ; IMT 24,48 kg/m2

Sistem saraf pusat : GCS E4V5M6

Respirasi : frekuensi nafas 34 kali permenit, ada rhonki dan tidak ada

wheezing, saturasi oksigen perifer 88% face mask non

rebreathing

Kardiovaskuler : tekanan darah 140/80 mmHg; nadi 140 kali permenit, Bunyi

jantung 1 dan 2 tunggal, reguler, tidak ada murmur

Urogenital : Terpasang DK, residu (+)

Gastrointestinal : Distensi (-), BU(+) N

Muskuloskeletal : akral dingin

Pada pukul 17.00 Pasien dilakukan resus call

A: Clear

B: Thoracoabdominal RR 32 x/menit, saturasi oksigen perifer 68% face mask non

rebreathing, AGD (11/09/2016) FM NRB pukul 15.02 : pH 7.49; pCO2 31,3 mmHg;

pO2 40,60 mmHg; BE -0.4 mmol/l; HCO3 23 mmol/l; SO2 80,6 %; Na 132 mmol/L

(136-145); K 3,81 mmol/L (3,5-5,1) ; Cl 93 mmol/L (96-108) kesan gagal nafas tipe 1

C: tekanan darah 140/80 mmHg; nadi 140 kali permenit, Bunyi jantung 1 dan 2 tunggal,

reguler, tidak ada murmur

D: GCS E3V5M6

Pasien kemudian dilakukan intubasi.

Page 44: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

4. Perkembangan selama di RTI

Tanggal OBYEKTIF

LABORATORY

PLANNING

11

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: DPO

Respirasi: PC BIPAP

Pins 30, RR 24, PEEP

10, ASB 10, FiO2

100%; vesikuler +/+,

rhonki +/+, whz -/-,

SaO2 99- 100%

Kardiovasculer: TD

120-150/80-90 mmHg

; HR 120-130

x/mnt reguler, S1S2

tunggal murmur (-)

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

Musculoskeletal :

Akral hangat

Echocardiografi

(11/9/2016) : EDV 71,8

mL ; ESV 22,64 mL ; EF

TRICH 68,5 % ; TAPSE

1,8 cm ; Mc Connel Sing (-

) ; IVC Max 1,62 ; IVC min

1,16 ; COMP 28%; ERAP

8 ; D Shape LV (-); Dilatasi

RV (-)

Kimia Klinik

(11/09/2016) : SGOT

37,80 U/L (11-33); SGPT

19 U/L (11-50); BUN 15

mg/dL (8-23) ; SC 0,93

mg/dL (0,7-1,2) ; BS acak

134 mg/dL (70-140)

Darah lengkap

(11/09/2016) : WBC

24,60x103/µL (4,1-11);

HGB 10,36 g/dL (13.5-

17.5); HCT 31,52% (41-

53); PLT 275,80x103µL

(150-440)

Faal Hemostasis

(11/09/2016) : PT

14,2(10,8-14,4) detik ;

aPTT 25,50(24-36) detik ;

INR 1,17 (0,9-1,1)

AGD (11/09/2016) Post

intubasi pukul 20,58 : pH

F: Balance

Ringer Laktat :

NaCl 0,9 % 1500

ml/24 jam;

Enteral Ensure

100 ml tiap 6 jam

A: Morfin 20

mg/24 jam,,

Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: Midazolam 5

mg/jam

T: Heparin 6400

unit loading

kemudian

dilanjutkan 1500

unit/jam

H: Head up 30-

45oC

U: Lansoprazole

30 mg tiap 12 jam

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Ceftriaxone 2

gram tiap 24 jam

IV

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

Page 45: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

7.34; pCO2 50,6 mmHg;

pO2 89,90 mmHg; BE 0.7

mmol/l; HCO3- 26,50

mmol/l; SO2 96,3 %; Na

131 mmol/L (136-145); K

4,33 mmol/L (3,5-5,1) ; Cl

97 mmol/L (96-108)

11/09/2016: D-Dimer 2,57

(<0,5); Fibrinogen 600

mg/dL (140-450);

Troponin T < 50 ng/mL

(<50 = negative; 50-100 =

Low; >100 = AMI)

Darah lengkap

(11/09/2016) 20.58: WBC

28,15x103/µL (4,1-11);

HGB 9,61 g/dL (13.5-

17.5); HCT 29,62% (41-

53); PLT 283,40x103µL

(150-440)

Faal Hemostasis

(11/09/2016) 20.58: PT

14,1(10,8-14,4) detik ;

aPTT 49,10(24-36) detik ;

INR 1,16 (0,9-1,1)

Thorax AP (11/09/2016):

Cor besar dan bentuk kesan

normal, Pulmo tampak

infiltrat dengan air

bronchogram pada

parahilar kanan kiri.

Corakan bronchovaskuler

sangat meningkat, sinus

Oral hygiene

dengan

chlorhexidine

tiap 12 jam

Oral hygiene

dengan air putih

tiap 2 jam

Page 46: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

pleura kanan kiri tajam,

diaphragm kanan kiri

normal, tulang-tulang tidak

tampak kelainan. Kesan:

Curiga emboli pulmonum

dd/ pneumonia (klinis?)

12

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: DPO

Respirasi: PC BIPAP

Pins 30, RR 24, PEEP

10, ASB 10, FiO2

80%; vesikuler +/+,

rhonki +/+, whz -/-,

SaO2 99-100%

Kardiovasculer: TD

120-150/80-90 mmHg

; HR 120-130 x/mnt,

reguler, S1S2

tunggal murmur (-)

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

Musculoskeletal :

Akral hangat

CM 1675 ml

AGD (12/09/2016) pukul

07.12 : pH 7.44; pCO2 38

mmHg; pO2 154,80

mmHg; BE 1,2 mmol/l;

HCO3- 25,30 mmol/l; SO2

99,1 %; Na 132 mmol/L

(136-145); K 4,60 mmol/L

(3,5-5,1) ; Cl 108 mmol/L

(96-108)

Faal Hemostasis

(12/09/2016) 11.59: PT

14,2(10,8-14,4) detik ;

aPTT 24,50(24-36) detik ;

INR 1,17 (0,9-1,1)

AGD Vena (12/09/2016)

pukul 15.26 : pH 7.40;

pCO2 45,5 mmHg; pO2

67,70 mmHg; BE 2,3

mmol/l; HCO3- 27,20

mmol/l; SO2 93,3 %; Na

132 mmol/L (136-145); K

F: Balance

Ringer Laktat :

NaCl 0,9 % 1500

ml/24 jam;

Enteral Ensure

100 ml tiap 6 jam

A: Morfin 20

mg/24 jam,,

Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: Midazolam 5

mg/jam

T: Heparin1500

unit/jam

H: Head up 30-

45oC

U: Lansoprazole

30 mg tiap 12 jam

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Page 47: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

CK 1500 ml

IWL - ml

BC 24 Jam - ml

4,41 mmol/L (3,5-5,1) ; Cl

95 mmol/L (96-108)

Ceftriaxone 2

gram tiap 24 jam

IV

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

13

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: DPO

Respirasi: PC BIPAP

Pins 30, RR 24, PEEP

10, ASB 10, FiO2

80%; vesikuler +/+,

rhonki +/+, whz -/-,

SaO2 99-100%

Kardiovasculer: TD

150/90 mmHg ; HR

136 x/mnt, reguler,

S1S2 tunggal murmur

(-)

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

Musculoskeletal :

Akral hangat

CM 3453 ml

CK 1950 ml

IWL 800 ml

BC 24 Jam +703 ml

Faal Hemostasis

(13/09/2016) 00.33: PT

13,1(10,8-14,4) detik ;

aPTT 24,60(24-36) detik ;

INR 1,06 (0,9-1,1)

AGD (13/09/2016) pukul

08.05 : pH 7.41; pCO2 41,9

mmHg; pO2 66 mmHg;

BE 1,2 mmol/l; HCO3-

25,90 mmol/l; SO2 93,2 %;

Na 131 mmol/L (136-145);

K 4,72 mmol/L (3,5-5,1) ;

Cl 97 mmol/L (96-108)

Faal Hemostasis

(13/09/2016) 08.05: PT

15,4(10,8-14,4) detik ;

aPTT 26,70(24-36) detik ;

INR 1,30 (0,9-1,1)

Kimia Klinik

(13/09/2016) 08.05: BUN

17 mg/dL (8-23) ; SC 0,80

mg/dL (0,7-1,2)

AGD (13/09/2016) pukul

18.05 : pH 7.35; pCO2 50,9

mmHg; pO2 64,40 mmHg;

BE 2,1 mmol/l; HCO3-

F: Balance

Ringer Laktat :

NaCl 0,9 % 1500

ml/24 jam;

Enteral Peptisol

50 gram 200 ml

tiap 4 jam

A: Morfin 20

mg/24 jam,,

Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: Midazolam 5

mg/jam

T: Heparin 1500

unit/jam

H: Head up 30-

45oC

U: Lansoprazole

30 mg tiap 12 jam

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Ceftriaxone 2

gram tiap 24 jam

IV

Page 48: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

27,60 mmol/l; SO2 91,4 %;

Na 131 mmol/L (136-145);

K 5,34 mmol/L (3,5-5,1) ;

Cl 99 mmol/L (96-108)

Faal Hemostasis

(13/09/2016) 18.05: PT

16(10,8-14,4) detik ; aPTT

43,30(24-36) detik ; INR

1,37 (0,9-1,1)

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

14

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: DPO

Respirasi: PC BIPAP

Pins 26, RR 18, PEEP

10, ASB 10, FiO2

100%; vesikuler +/+,

rhonki -/-, whz -/-,

SaO2 98-99%

Kardiovasculer: TD

148/70 mmHg ; HR

130 x/mnt, reguler,

S1S2 tunggal murmur

(-)

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

Musculoskeletal :

Akral hangat

CM 5163 ml

CK 3000 ml

IWL 800 ml

BC 24 Jam +1363 ml

AGD (14/09/2016) pukul

00.51 : pH 7.35; pCO2 50,9

mmHg; pO2 64,40 mmHg;

BE 2,1 mmol/l; HCO3-

27,60 mmol/l; SO2 91,4 %;

Na 131 mmol/L (136-145);

K 5,34 mmol/L (3,5-5,1) ;

Cl 99 mmol/L (96-108)

Faal Hemostasis

(14/09/2016) 00.51: PT

16(10,8-14,4) detik ; aPTT

43,30(24-36) detik ; INR

1,37 (0,9-1,1)

Darah lengkap

(14/09/2016) 00.51: WBC

28,15x103/µL (4,1-11);

HGB 9,61 g/dL (13.5-

17.5); HCT 29,62% (41-

53); PLT 283,40x103µL

(150-440)

AGD (14/09/2016) pukul

06.43 : pH 7.33; pCO2 54,7

mmHg; pO2 120,9 mmHg;

BE 2,4 mmol/l; HCO3-

F: Balance

Ringer Laktat :

NaCl 0,9 % 1500

ml/24 jam;

Enteral Peptisol

50 gram 200 ml

tiap 4 jam

A: Morfin 20

mg/24 jam,,

Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: Propofol 50

mcg/kgbb/menit

T: Heparin 1760

unit/jam

H: Head up 30-

45oC

U: Pantoprazole

30 mg tiap 12 jam

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Page 49: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

28,30 mmol/l; SO2 98,1 %;

Na 134 mmol/L (136-145);

K 4,08 mmol/L (3,5-5,1) ;

Cl 98 mmol/L (96-108)

Faal Hemostasis

(14/09/2016) 06.43: PT

15,4 (10,8-14,4) detik ;

aPTT 32,90 (24-36) detik ;

INR 1,30 (0,9-1,1)

AGD (14/09/2016) pukul

12.43: pH 7.37; pCO2 55,3

mmHg; pO2 40,90 mmHg;

BE 5,6 mmol/l; HCO3-

30,90 mmol/l; SO2 73,4 %;

Na 135 mmol/L (136-145);

K 4,51 mmol/L (3,5-5,1) ;

Cl 94 mmol/L (96-108)

Faal Hemostasis

(14/09/2016) 12.43: PT

16,1 (10,8-14,4) detik;

aPTT 25,10 (24-36) detik ;

INR 1,37 (0,9-1,1)

Kimia Klinik

(14/09/2016) 12.43:

Albumin 3,02 g/dL (3,4-

4,8)

Faal Hemostasis

(14/09/2016) 17.25: PT

14,6 (10,8-14,4) detik;

aPTT 23,70 (24-36) detik ;

INR 1,21 (0,9-1,1)

Ceftriaxone 2

gram tiap 24 jam

IV

Rocuronium 10

mcg/kgbb/menit

Metilprednisolon

125 mg tiap 8 jam

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

Page 50: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

15

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: DPO

Respirasi: PC BIPAP

Pins 23, RR 18, PEEP

10, ASB 10, FiO2

70%; vesikuler +/+,

rhonki -/-, whz -/-,

SaO2 98-99%

Kardiovasculer: TD

152/76 mmHg ; HR

96 x/mnt, reguler,

S1S2 tunggal murmur

(-)

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

Musculoskeletal :

Akral hangat

CM 4395 ml

CK 3150 ml

IWL 800 ml

BC 24 Jam +445 ml

Faal Hemostasis

(15/09/2016) 00.20: PT

14,6 (10,8-14,4) detik;

aPTT 22,80 (24-36) detik ;

INR 1,21 (0,9-1,1)

AGD (15/09/2016) pukul

08.33 : pH 7.44; pCO2 45,5

mmHg; pO2 91,70 mmHg;

BE 6 mmol/l; HCO3-

30,10 mmol/l; SO2 97,2 %;

Na 136 mmol/L (136-145);

K 4,58 mmol/L (3,5-5,1) ;

Cl 103 mmol/L (96-108)

Darah lengkap

(15/09/2016) pukul 08.33:

WBC 27,82x103/µL (4,1-

11); HGB 7,39 g/dL (13.5-

17.5); HCT 22,38% (41-

53); PLT 291,20x103µL

(150-440)

Thorax AP (15/09/2016):

dibanding foto thorax AP

tanggal 11/09/2016 kondisi

kedua foto relative sama,

Hasil: Tampak terpasang

CVC dengan ujung berada

diproyeksi paravertebrae

kanan setinggi VTh 6; Tak

tampak lagi gambaran

oedema pulmonal;

Konsolidasi homogeny,

batas tegas diparacardial

kanan, dengan

F: Balance

Ringer Laktat :

NaCl 0,9 % 1500

ml/24 jam;

Enteral Peptisol

70 gram 300 ml

tiap 6 jam +

Virgin Coconut

Oil 10 ml tiap 8

jam

A: Morfin 20

mg/24 jam,,

Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: Propofol 50

mcg/kgbb/menit

T: Heparin 10000

unit/24jam

H: Head up 30-

45oC

U: Pantoprazole

30 mg tiap 12 jam

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Ceftazidim 1

gram tiap 8 jam

Amikasin 1,5

gram tiap 24 jam

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

Page 51: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

airbronchograndan

silhouette sign (-); lain-lain

menetap; Kesan: dibanding

foto thorax AP tanggal

11/09/2016 pneumonia

lobaris (di lobus inferior

pulmo dextra), tak tampak

lagi gambaran oedema

pulmonal, CVC dengan

ujung berada diproyeksi

paravertebrae kanan

setinggi VTh 6

Faal Hemostasis

(15/09/2016) 12.15: PT

14,1 (10,8-14,4) detik;

aPTT 23,40 (24-36) detik ;

INR 1,16 (0,9-1,1)

Faal Hemostasis

(15/09/2016) 19.03: PT

13,3 (10,8-14,4) detik;

aPTT 21,30 (24-36) detik ;

INR 1,09 (0,9-1,1)

Faal Hemostasis

(15/09/2016) 23.17: PT

12,9 (10,8-14,4) detik;

aPTT 110,20 (24-36) detik

; INR 104

Furosemid 10 mg

tiap 8 jam apabila

balance positif

Page 52: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

16

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: DPO

Respirasi: PC BIPAP

Pins 23, RR 18, PEEP

10, ASB 10, FiO2

70%; vesikuler +/+,

rhonki -/-, whz -/-,

SaO2 98-99%

Kardiovasculer: TD

120/76 mmHg ; HR

110 x/mnt, reguler,

S1S2 tunggal murmur

(-)

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

Musculoskeletal :

Akral hangat

CM 4387 ml

CK 6800 ml

IWL -800 ml

BC 24 Jam -2713 ml

AGD (16/09/2016) pukul

06.52 : pH 7.26; pCO2 82,6

mmHg; pO2 68,30 mmHg;

BE 8,9 mmol/l; HCO3- 36

mmol/l; SO2 89,8 %; Na

134 mmol/L (136-145); K

4,56 mmol/L (3,5-5,1) ; Cl

102 mmol/L (96-108)

Faal Hemostasis

(16/09/2016) pukul 06.52:

PT 13,3 (10,8-14,4) detik ;

aPTT 53,80(24-36) detik ;

INR 1,08 (0,9-1,1)

Kimia Klinik

(16/09/2016) pukul 06.52:

BUN 26 mg/dL (8-23) ; SC

0,68 mg/dL (0,7-1,2)

Darah lengkap

(16/09/2016) pukul 06.52:

WBC 35,15x103/µL (4,1-

11); HGB 10,97 g/dL

(13.5-17.5); HCT 36,20%

(41-53); PLT 416x103µL

(150-440)

AGD (16/09/2016) pukul

12.08 : pH 7.32; pCO2 69,9

mmHg; pO2 60,20 mmHg;

BE 9,2 mmol/l; HCO3-

35,30 mmol/l; SO2 88,1 %;

Na 130 mmol/L (136-145);

K 4,89 mmol/L (3,5-5,1) ;

Cl 87 mmol/L (96-108)

Faal Hemostasis

F: Balance

Ringer Laktat :

NaCl 0,9 % 1500

ml/24 jam;

Enteral Peptisol

70 gram 300 ml

tiap 6 jam +

Virgin Coconut

Oil 10 ml tiap 8

jam

A: Morfin 10

mg/24 jam,,

Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: Propofol 50

mcg/kgbb/menit

T: Heparin 10000

unit/24 jam

H: Head up 30-

45oC

U: Pantoprazole

30 mg tiap 12 jam

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Ceftazidim 1

gram tiap 8 jam

Amikasin 1,5

gram tiap 24 jam

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

Page 53: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

(16/09/2016) pukul 12.08:

PT 14,0 (10,8-14,4) detik ;

aPTT 24 (24-36) detik ;

INR 1,15 (0,9-1,1)

Faal Hemostasis

(16/09/2016) pukul 18.14:

PT 13,1 (10,8-14,4) detik ;

aPTT 21 (24-36) detik ;

INR 1,06 (0,9-1,1)

17

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: DPO

Respirasi: PC BIPAP

Pins 23, RR 20, PEEP

10, ASB 10, FiO2

60%; vesikuler +/+,

rhonki -/-, whz -/-,

SaO2 98-99%

Kardiovasculer: TD

150/96 mmHg ; HR

115 x/mnt, reguler,

S1S2 tunggal murmur

(-)

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

Musculoskeletal :

Akral hangat

CM 5769 ml

CK 4640 ml

IWL 800 ml

BC 24 Jam +329 ml

AGD (17/09/2016) pukul

06.05 : pH 7.29; pCO2 77,5

mmHg; pO2 81,50 mmHg;

BE 9,5 mmol/l; HCO3-

36,20 mmol/l; SO2 94,20

%; Na 131 mmol/L (136-

145); K 4,19 mmol/L (3,5-

5,1) ; Cl 93 mmol/L (96-

108)

Faal Hemostasis

(17/09/2016) pukul 06.05:

PT 13,6 (10,8-14,4) detik ;

aPTT 24 (24-36) detik ;

INR 1,11 (0,9-1,1)

Faal Hemostasis

(17/09/2016) pukul 12.14:

PT 14,2 (10,8-14,4) detik ;

aPTT 25,70 (24-36) detik ;

INR 1,17 (0,9-1,1)

Faal Hemostasis

(17/09/2016) pukul 17.51:

PT 13,5 (10,8-14,4) detik ;

aPTT 25,70 (24-36) detik ;

INR 1,09 (0,9-1,1)

F: Balance

Ringer Laktat :

NaCl 0,9 % 1500

ml/24 jam;

Enteral Peptisol

70 gram 300 ml

tiap 6 jam +

Virgin Coconut

Oil 10 ml tiap 8

jam

A: Morfin 10

mg/24 jam,,

Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: Propofol 50

mcg/kgbb/menit

T: Heparin 10000

unit/24 jam

H: Head up 30-

45oC

U: Pantoprazole

30 mg tiap 12 jam

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Page 54: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Ceftazidim 1

gram tiap 8 jam

Amikasin 1,5

gram tiap 24 jam

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

18

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: DPO

Respirasi: PC BIPAP

Pins 24, RR 22, PEEP

10, ASB 10, FiO2

60%; vesikuler +/+,

rhonki -/-, whz -/-,

SaO2 98-99%

Kardiovasculer: TD

142/69 mmHg ; HR

100 x/mnt, reguler,

S1S2 tunggal murmur

(-)

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

Musculoskeletal :

Akral hangat

CM 4812 ml

CK 4400 ml

IWL 800 ml

BC 24 Jam -388 ml

AGD (18/09/2016) pukul

05.59 : pH 7.39; pCO2 61,5

mmHg; pO2 90,50 mmHg;

BE 11,2 mmol/l; HCO3-

36,20 mmol/l; SO2 96,6 %;

Na 133 mmol/L (136-145);

K 4,22 mmol/L (3,5-5,1) ;

Cl 96 mmol/L (96-108)

Faal Hemostasis

(18/09/2016) pukul 05.59:

PT 13,3 (10,8-14,4) detik ;

aPTT 25 (24-36) detik ;

INR 1,13 (0,9-1,1)

Faal Hemostasis

(18/09/2016) pukul 16.07:

PT 13,8 (10,8-14,4) detik ;

aPTT 26,70(24-36) detik ;

INR 1,12 (0,9-1,1)

F: Balance

Ringer Laktat :

NaCl 0,9 % 1500

ml/24 jam;

Enteral Peptisol

70 gram 300 ml

tiap 6 jam +

Virgin Coconut

Oil 10 ml tiap 8

jam

A: Morfin 10

mg/24 jam,,

Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: Propofol 50

mcg/kgbb/menit

T: Heparin 10000

unit/24 jam

H: Head up 30-

45oC

U: Pantoprazole

30 mg tiap 12 jam

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Ceftazidim 1

gram tiap 8 jam

Page 55: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Amikasin 1,5

gram tiap 24 jam

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

Furosemid 10 mg

tiap 6 jam apabila

balance positif

19

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: DPO

Respirasi: PC BIPAP

Pins 24, RR 22, PEEP

10, ASB 10, FiO2

60%; vesikuler +/+,

rhonki -/-, whz -/-,

SaO2 98-99%

Kardiovasculer: TD

136/62 mmHg ; HR

90 x/mnt, reguler,

S1S2 tunggal murmur

(-)

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

Musculoskeletal :

Akral hangat

CM 5769 ml

CK 4640 ml

IWL 800 ml

BC 24 Jam +329 ml

AGD (19/09/2016) pukul

08.42 : pH 7.38; pCO2 44,8

mmHg; pO2 89,90 mmHg;

BE 1,1 mmol/l; HCO3-

26,20 mmol/l; SO2 96,7 %;

Na 133 mmol/L (136-145);

K 3,78 mmol/L (3,5-5,1) ;

Cl 101 mmol/L (96-108)

Faal Hemostasis

(19/09/2016) pukul 08.42:

PT 13,7 (10,8-14,4) detik ;

aPTT 26,70(24-36) detik ;

INR 1,12 (0,9-1,1)

Kimia Klinik

(19/09/2016) pukul 08.42:

BUN 26 mg/dL (8-23) ; SC

0,59 mg/dL (0,7-1,2);

Kolesterol total 138 mg/dL

(140-199); Kolesterol HDL

15 mg/dL (40-65);

Kolesterol LDL 77 mg/dL

(<130)

Thorax AP (19/09/2016):

Cor besar dan bentuk kesan

normal, Pulmo tampak

F: Balance

Ringer Laktat :

NaCl 0,9 % 1500

ml/24 jam;

Enteral Peptisol

70 gram 300 ml

tiap 6 jam +

Virgin Coconut

Oil 10 ml tiap 8

jam

A: Morfin 10

mg/24 jam,,

Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: -

T: Heparin 10000

unit/24 jam

H: Head up 30-

45oC

U: Pantoprazole

30 mg tiap 12 jam

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Page 56: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

infiltrat di parakardial

kanan kiri. Tampak

terpasang CVC dengan tip

setinggi T7, sinus pleura

kanan kiri tajam,

diaphragm kanan kiri

normal, tulang-tulang tidak

tampak kelainan. Kesan:

Pneumonia, Tampak

terpasang CVC dengan tip

setinggi T7

Darah lengkap

(19/09/2016) pukul 10.47:

WBC 28,15x103/µL (4,1-

11); HGB 9,62 g/dL (13.5-

17.5); HCT 31,34% (41-

53); PLT 370,40x103µL

(150-440)

Levofloxacin 750

mg tiap 24 jam

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

Furosemid 10 mg

tiap 6 jam apabila

balance positif

20

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: DPO

Respirasi: PC BIPAP

Pins 24, RR 22, PEEP

10, ASB 10, FiO2

60%; vesikuler +/+,

rhonki -/-, whz -/-,

SaO2 98-99%

AGD (20/09/2016) pukul

00.30 : pH 7.42; pCO2 47,4

mmHg; pO2 116,10

mmHg; BE 5,6 mmol/l;

HCO3- 30,10 mmol/l; SO2

98,3 %; Na 127 mmol/L

(136-145); K 4,87 mmol/L

(3,5-5,1) ; Cl 92 mmol/L

(96-108)

F: Balance

Ringer Laktat :

NaCl 0,9 % 1500

ml/24 jam;

Enteral Peptisol

70 gram 300 ml

tiap 6 jam +

Virgin Coconut

Page 57: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Kardiovasculer: TD

130/67 mmHg ; HR

92 x/mnt, reguler,

S1S2 tunggal murmur

(-)

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

Musculoskeletal :

Akral hangat

CM 4430 ml

CK 2900 ml

IWL 800 ml

BC 24 Jam +730 ml

AGD (20/09/2016) pukul

06.58 : pH 7.38; pCO2 54,8

mmHg; pO2 125,40

mmHg; BE 6,3 mmol/l;

HCO3- 31,40 mmol/l; SO2

98,4 %; Na 128 mmol/L

(136-145); K 4,18 mmol/L

(3,5-5,1) ; Cl 97 mmol/L

(96-108)

AGD (20/09/2016) pukul

13.47 : pH 7.43; pCO2 48,7

mmHg; pO2 128,90

mmHg; BE 6,9 mmol/l;

HCO3- 31,20 mmol/l; SO2

98,6 %; Na 130 mmol/L

(136-145); K 3,97 mmol/L

(3,5-5,1) ; Cl 96 mmol/L

(96-108)

Oil 10 ml tiap 8

jam

A: Morfin 10

mg/24 jam,,

Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: -

T: Heparin 10000

unit/24 jam

H: Head up 30-

45oC

U: Pantoprazole

30 mg tiap 12 jam

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Levofloxacin 750

mg tiap 24 jam

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

Furosemid 10 mg

tiap 6 jam apabila

balance positif

21

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: GCS E4VxM6

Respirasi: PC BIPAP

Pins 18, RR 12, PEEP

10, ASB 10, FiO2

40%; vesikuler +/+,

rhonki -/-, whz -/-,

SaO2 98-99%

AGD (21/09/2016) pukul

07.45 : pH 7.44; pCO2 45,5

mmHg; pO2 139,70

mmHg; BE 5,7 mmol/l;

HCO3- 29,90 mmol/l; SO2

98,8 %; Na 131 mmol/L

(136-145); K 4,61 mmol/L

(3,5-5,1) ; Cl 90 mmol/L

(96-108)

F: Balance NaCl

0,9 % 900 ml/24

jam; Enteral

Peptisol 70 gram

300 ml tiap 6 jam

+ Virgin Coconut

Oil 10 ml tiap 8

jam

A: Morfin 10

mg/24 jam,,

Page 58: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Kardiovasculer: TD

128/74 mmHg ; HR

105 x/mnt, reguler,

S1S2 tunggal murmur

(-)

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

Musculoskeletal :

Akral hangat

CM 5206 ml

CK 4630 ml

IWL 800 ml

BC 24 Jam -224 ml

AGD (21/09/2016) pukul

12.42 : pH 7.46; pCO2 41,7

mmHg; pO2 120,90

mmHg; BE 5,4 mmol/l;

HCO3- 29,20 mmol/l; SO2

98,5 %; Na 130 mmol/L

(136-145); K 4,35 mmol/L

(3,5-5,1) ; Cl 101 mmol/L

(96-108)

Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: -

T: Heparin 10000

unit/24 jam

H: Head up 30-

45oC

U: -

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Levofloxacin 750

mg tiap 24 jam

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

Furosemid 10 mg

tiap 6 jam apabila

balance positif

22

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: GCS E4VxM6

Respirasi: PC BIPAP

Pins 18, RR 12, PEEP

10, ASB 10, FiO2

40%; vesikuler +/+,

rhonki -/-, whz -/-,

SaO2 98-99%

Kardiovasculer: TD

137/68 mmHg ; HR

95 x/mnt, reguler,

S1S2 tunggal murmur

(-)

AGD (22/09/2016) pukul

07.30 : pH 7.41; pCO2 52,6

mmHg; pO2 120,30

mmHg; BE 7,9 mmol/l;

HCO3- 32,60 mmol/l; SO2

98,3 %; Na 130 mmol/L

(136-145); K 4,57 mmol/L

(3,5-5,1) ; Cl 94 mmol/L

(96-108)

Kimia Klinik

(22/09/2016) pukul 07.30:

BUN 19 mg/dL (8-23) ; SC

0,56 mg/dL (0,7-1,2)

AGD (22/09/2016) pukul

17.19 : pH 7.26; pCO2 62,5

F: Balance NaCl

0,9 % 900 ml/24

jam; Enteral

Peptisol 70 gram

300 ml tiap 6 jam

+ Virgin Coconut

Oil 10 ml tiap 8

jam

A: Morfin 10

mg/24 jam,,

Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: -

T: Heparin 10000

unit/24 jam

Page 59: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

Musculoskeletal :

Akral hangat

CM 4929 ml

CK 4500 ml

IWL 800 ml

BC 24 Jam -371 ml

mmHg; pO2 82,60 mmHg;

BE 0,3 mmol/l; HCO3-

27,40 mmol/l; SO2 94,3 %;

Na 133 mmol/L (136-145);

K 4,08 mmol/L (3,5-5,1) ;

Cl 91 mmol/L (96-108)

H: Head up 30-

45oC

U: -

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Levofloxacin 750

mg tiap 24 jam

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

Furosemid 10 mg

tiap 6 jam apabila

balance positif

23

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: GCS E4VxM6

Respirasi: CPAP,

PEEP 10, ASB 0, FiO2

40%; vesikuler +/+,

rhonki -/-, whz -/-,

SaO2 98-99%

Kardiovasculer: TD

153/88 mmHg ; HR

83 x/mnt, reguler,

S1S2 tunggal murmur

(-)

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

Musculoskeletal :

Akral hangat

CM 4454 ml

AGD (23/09/2016) pukul

08.09 : pH 7.49; pCO2 34,8

mmHg; pO2 162,20

mmHg; BE 2,3 mmol/l;

HCO3- 25,70 mmol/l; SO2

99,2 %; Na 131 mmol/L

(136-145); K 4,11 mmol/L

(3,5-5,1) ; Cl 93 mmol/L

(96-108)

Faal Hemostasis

(23/09/2016) pukul 08.09:

PT 13,0 (10,8-14,4) detik ;

aPTT 25,90(24-36) detik ;

INR 1,04 (0,9-1,1)

Darah lengkap

(23/09/2016) pukul 08.09:

WBC 17,31x103/µL (4,1-

11); HGB 10,05 g/dL

(13.5-17.5); HCT 31,83%

(41-53); PLT

F: Balance NaCl

0,9 % 900 ml/24

jam; Enteral

Peptisol 70 gram

300 ml tiap 6 jam

+ Virgin Coconut

Oil 10 ml tiap 8

jam

A: Morfin 10

mg/24 jam,,

Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: -

T: Heparin 10000

unit/24 jam

H: Head up 30-

45oC

U: -

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Page 60: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

CK 4300 ml

IWL 800 ml

BC 24 Jam -646 ml

387,90x103µL (150-440)

AGD (23/09/2016) pukul

15.23 : pH 7.41; pCO2 41,8

mmHg; pO2 128,80

mmHg; BE 1,0 mmol/l;

HCO3- 25,70 mmol/l; SO2

98,6 %; Na 126 mmol/L

(136-145); K 4,36 mmol/L

(3,5-5,1) ; Cl 90 mmol/L

(96-108)

AGD (23/09/2016) Vena

pukul 18.56 : pH 7.38;

pCO2 50,7 mmHg; pO2

35,80 mmHg; BE 3,7

mmol/l; HCO3- 29,00

mmol/l; SO2 66,3 %; Na

128 mmol/L (136-145); K

4,74 mmol/L (3,5-5,1) ; Cl

90 mmol/L (96-108)

Levofloxacin 750

mg tiap 24 jam

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

Furosemid 10 mg

tiap 6 jam apabila

balance positif

24

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: GCS E4V5M6

Respirasi: SPN NRM

10 lpm, RR

16x/menit; vesikuler

+/+, rhonki -/-, whz -/-

, SaO2 98-99%

Kardiovasculer: TD

132/71 mmHg ; HR

110 x/mnt, reguler,

S1S2 tunggal murmur

(-)

AGD (24/09/2016) pukul

06.41 : pH 7.45; pCO2 39,3

mmHg; pO2 160,50

mmHg; BE 3,0 mmol/l;

HCO3- 26,90 mmol/l; SO2

99,1 %; Na 129 mmol/L

(136-145); K 4,28 mmol/L

(3,5-5,1) ; Cl 92 mmol/L

(96-108)

F: Balance NaCl

0,9 % 900 ml/24

jam; Enteral

Peptisol 70 gram

300 ml tiap 6 jam

+ Virgin Coconut

Oil 10 ml tiap 8

jam

A: Morfin 10

mg/24 jam,,

Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: -

Page 61: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

Musculoskeletal :

Akral hangat

CM 4145 ml

CK 4450 ml

IWL 800 ml

BC 24 Jam -1105 ml

T: Heparin 10000

unit/24 jam

H: Head up 30-

45oC

U: -

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Levofloxacin 750

mg tiap 24 jam

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

Furosemid 10 mg

tiap 6 jam apabila

balance positif

25

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: GCS E4V5M6

Respirasi: SPN NRM

10 lpm, RR

18x/menit; vesikuler

+/+, rhonki -/-, whz -/-

, SaO2 98-99%

Kardiovasculer: TD

119/61 mmHg ; HR

94 x/mnt, reguler,

S1S2 tunggal murmur

(-)

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

AGD (25/09/2016) pukul

06.52 : pH 7.44; pCO2 38,8

mmHg; pO2 181,20

mmHg; BE 1,4 mmol/l;

HCO3- 25,60 mmol/l; SO2

99,3 %; Na 130 mmol/L

(136-145); K 4,15 mmol/L

(3,5-5,1) ; Cl 93 mmol/L

(96-108)

F: Balance NaCl

0,9 % 900 ml/24

jam; Enteral

Peptisol 70 gram

300 ml tiap 6 jam

+ Virgin Coconut

Oil 10 ml tiap 8

jam

A: Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: -

T: Heparin 10000

unit/24 jam

H: Head up 30-

45oC

U: -

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Page 62: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Musculoskeletal :

Akral hangat

CM 4045 ml

CK 2900 ml

IWL 800 ml

BC 24 Jam +345 ml

Levofloxacin 750

mg tiap 24 jam

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

Furosemid 10 mg

tiap 6 jam apabila

balance positif

26

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: GCS E4V5M6

Respirasi: SPN NRM

10 lpm, RR

16x/menit; vesikuler

+/+, rhonki -/-, whz -/-

, SaO2 98-99%

Kardiovasculer: TD

122/72 mmHg ; HR

90 x/mnt, reguler,

S1S2 tunggal murmur

(-)

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

Musculoskeletal :

Akral hangat

CM 4353 ml

CK 3400 ml

IWL 800 ml

BC 24 Jam +153 ml

AGD (26/09/2016) pukul

09.29 : pH 7.37; pCO2 41,4

mmHg; pO2 109,80

mmHg; BE -1,7 mmol/l;

HCO3- 25,70 mmol/l; SO2

99,2 %; Na 131 mmol/L

(136-145); K 4,11 mmol/L

(3,5-5,1) ; Cl 93 mmol/L

(96-108)

Faal Hemostasis

(26/09/2016) pukul 09.29:

PT 14,7 (10,8-14,4) detik ;

aPTT 24,80(24-36) detik ;

INR 1,23 (0,9-1,1)

Kimia Klinik

(26/09/2016) pukul 09.29:

BUN 19 mg/dL (8-23) ; SC

0,6 mg/dL (0,7-1,2)

F: Balance NaCl

0,9 % 900 ml/24

jam; Enteral

Peptisol 70 gram

300 ml tiap 6 jam

+ Virgin Coconut

Oil 10 ml tiap 8

jam

A: Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: -

T: Heparin 10000

unit/24 jam

H: Head up 30-

45oC

U: -

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Levofloxacin 750

mg tiap 24 jam

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

Page 63: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Furosemid 10 mg

tiap 6 jam apabila

balance positif

27

September

2016

BB 80 kg; TB 175 cm;

Tax 36,5 ˚C

SSP: GCS E4V5M6

Respirasi: SPN Nasal

Kanul 2lpm, RR

16x/menit; vesikuler

+/+, rhonki -/-, whz -/-

, SaO2 98-99%

Kardiovasculer: TD

112/59 mmHg ; HR

80 x/mnt, reguler,

S1S2 tunggal murmur

(-)

Abdomen: Distensi (-),

BU (-)

Urogenital: Terpasang

DK

Musculoskeletal :

Akral hangat

CM 3349 ml

CK 2400 ml

IWL 800 ml

BC 24 Jam +149 ml

PINDAH RUANGAN F: Balance NaCl

0,9 % 900 ml/24

jam; Enteral

Peptisol 70 gram

300 ml tiap 6 jam

+ Virgin Coconut

Oil 10 ml tiap 8

jam

A: Paracetamol 1

gram tiap 8 jam

S: -

T: Heparin 10000

unit/24 jam

H: Head up 30-

45oC

U: -

G: BS tiap 24 jam

Terapi lain:

Levofloxacin 750

mg tiap 24 jam

Nebulizer

Ventolin tiap 8

jam

Ambroxol 30 mg

tiap 8 jam oral

Furosemid 10 mg

tiap 6 jam apabila

balance positif

Page 64: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada bab ini kami akan membahas satu persatu hal-hal yang sesuai maupun yang tidak

sesuai antara teori dengan kenyataannya pada pasien ini. Kami mulai dengan penegakan

diagnose ARDS pada pasien ini, dimana menurut American-European Consensus

Conference.3,6,7 bahwa ARDS harus memenuhi 4 kriteria yaitu kegagalan respirasi dengan

onset akut, terdapat infiltrate pada dada bilateral yang terlihat pada rontgen dada, tidak terdapat

peningkatan tekanan jantung kiri dan perbandingan PaO2/FiO2 <200 mmHg. Pada pasien ini

keempat kriteria,yaitu terjadi kegagalan respirasi dengan onset akut, tidak terjadi peningkatan

tekanan pada jantung kiri dan rasio PaO2/FiO2 <300 (yaitu 89,90) dan adanya gambaran

infiltrate bilateral pada rontgen dada. Pada pasien ini terdapat resiko yang sangat besar untuk

terjadinya ARDS yaitu faktor resiko tidak langsung yaitu trauma multiple (resiko sekitar

41%)4,9.

Bila dikaji dari segi gambaran klinis ARDS, yang secara teori menunjukkan pirau intra

pulmoner yang nyata dengan hipoksemia, berkurangnya daya kembang (compliance) paru-

paru yang progresif, dan dispnea (napas dangkal) dan takipnea yang berat akibat hipoksemia

dan bertambahnya kerja pernapasan sekunder terhadap penurunan daya kembang paru-paru

serta pada auskultasi dapat terdengar krepitasi, ronkhi atau wheezing, penderita tampak

sianotik dan hipoksemia yang tidak dapat diatasi dengan pemberian oksigen selama bernafas

spontan. Kesadaran akan berubah/gelisah, dan juga penderita biasanya takikardi serta

mengalami hipotensi/syok3,5,10. Pada pasien ini semua gejala klinis diatas memang ditemukan,

terbukti dengan pada saat pasien dikonsulkan dari ruang angsoka memang terdapat tanda tanda

desaturasi, takipnoe, takikardi, pasien tampak gelisah dan hipotensi, pada pemeriksaan fisik

ditemukan ronkhi di kedua lapangan paru serta dari gambaran AGD pasien yang diambil sesaat

sebelum pasien dikirim ke RTI menunjukkan gambaran hipoksemia dengan PaO2 40,60 dan

SaO2 80,6%.

Pada penatalaksanaan ARDS dikatakan bahwa pasien dengan kegagalan respiratorik

dengan hipoksemia akut, dan peningkatan usaha nafas, memerlukan ventilasi mekanik. Apabila

dengan penggunaan oksigen nasal/sungkup hasil pemeriksaan gas darah PaO2 <50 mmHg,

maka sebaiknya dilakukan intubasi dan pemasangan ventilator mekanik2,4. Pada pasien ini

melihat kondisi di ruangan dengan desaturasi, takipneu dan hipoksemia akut dengan O2 SM

non rebreathing 15 lpm, masih ditemukan PaO2 40,60 sehingga diputuskan untuk dilakukan

intubasi dan kemudian pasien dirawat di RTI.

Page 65: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

Dalam kepustakaan disebutkan bahwa saat ini penanganan ARDS dengan tidal volume

yang besar yang dikombinasi dengan peak airway pressure (P peak = tekanan puncak

inspirasi) yang tinggi seharusnya dihindari. Penggunaan tidal volume yang dianjurkan sebesar

6 mL/kgbb dan mempertahankan plateau pressure atau p peak < 30 cmH2O akan menurunkan

angka mortalitas sebesar 9 % (dibandingkan menggunakan tidal volume 12 mL/kgbb).1,6,12,13

Kepustakaan lain menyebutkan bahwa penggunaan tidal volume yang kecil akan menurunkan

angka kematian dari 40 % menjadi 31 %. 4,10. Pada pasien ini kita praktekkan dengan

memberikan p peak <30 cmH2O, (pola ventilasi BiPAP Pinps 30 dan pada hari ke 4 kami

menggunakan Pinps 26) dan low volume tidal, volume tidal yang tercapai pada pasien ini 500

ml (6x75kg=450 ml) dan terbukti memberikan respon yang sangat baik. Salah satu strategi

dalam aplikasi ventilasi mekanik pada ARDS menurut The American-European Consensus

Conference on ARDS adalah meminimalkan terjadinya Oksigen toxicity. Gunakan fraksi

oksigen serendah mungkin (< 60 %) untuk mencapai tujuan ventilasi mekanik, dengan

memanipulasi/mengoptimalisasi faktor-faktor yang lain8,9. Pada pasien ini tidak langsung

menggunakan fraksi oksigen <60%, pasien diawal masuk RTI dengan fraksi O2 100%

kemudian diturunkan bertahap setiap hari hingga pada hari ke-11 dipertahankan 40% selama 3

hari. Dalam kepustakaan juga dijelaskan bahwa penatalaksanaan dengan ventilasi mekanik

juga bertujuan untuk mempertahankan alveoli untuk tetap mengembang atau terbuka kita dapat

menggunakan positive end expiratory pressure (PEEP). Total PEEP 10 – 15 cmH2O8,9. Pada

pasien ini, kami menggunakan metode high PEEP, dimana pada awalnya kami menggunakan

PEEP 10. Hal ini sesuai dengan manajemen ARDS dengan menggunakan metode PEEP 10-15

untuk mempertahankan pengembangan alveoli.

Pada pasien kita menggunakan kortikosteroid 125 mg tiap 8 jam. Secara teori,

penggunaan kortikosteroid pada pasien ARDS masih kontroversi, karena kortikosteroid tidak

terbukti dapat menurunkan angka mortalitas dan insiden terjadinya ARDS. Kortikosteroid

mungkin berguna pada varian ARDS seperti sindrom emboli lemak dan pneumocystic carinii

pneumonia dimana kortikosteroid berguna sebagai profilaksis atau terapi 4,12. Namun beberapa

literature mengatakan kortikosteroid dapat mengurangi kerusakan paru dan permeabilitas

kapiler bila diberikan sejak awal. Namun pada pasien ini kondisi paru paru mengalami

perbaikan pesat yang mungkin saja tidak hanya disebabkan oleh pemakaian kortikosteroid,

tetapi juga mungkin karena factor-faktor lain yang segera dikoreksi secepat mungkin.

Yang tidak kalah penting harus diperhatikan pada penatalaksanaan ARDS adalah

mempertahankan kestabilan hemodinamik dengan pemberian terapi cairan yang cukup dan

sebaiknya dipasang CVC. Pemakaian koloid untuk memperbaiki tekanan hidrostatik dan

Page 66: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

tekanan osmotik sering kali digunakan. Penggunaan diuretik (furosemid) seringkali bermanfaat

untuk mengurangi resiko terjadinya kelebihan cairan.2,5,9. Pada pasien ini manajemen terapi

cairannya sudah sesuai dengan teori yang dijabarkan. Terbukti dengan telah dipasangnya CVC

di awal pasien masuk serta penggunaan furosemide bolus sejak hari ketujuh pasien dirawat.

Balance cairan selama dirawat dipertahankan tetap negative dengan tetap menjaga keadekuatan

perfusi ke jaringan.

Kontrol terhadap infeksi nosokomial merupakan salah satu farmakoterapi pada

penatalaksanaan ARDS. Pemberian antibiotika sebaiknya diberikan berdasarkan hasil kultur.

Pengecetan sekret dari bronkus dan kultur sebaiknya dilakukan 2-3 hari sekali.2,9,12. Pada

pasien ini diberika antibiotic spectrum luas Ceftriaxone 2 gram tiap 24 jam sejak awal sebelum

dilakukan kultur kuman. Pada hari ke5 baru diketahui hasil kultur sputum, dan ternyata

Klebsiella Pneumonia terisolasi merupakan kuman lingkungan yang bisa mengkolonisasi

pasien. Dan antibiotika diganti sesuai dengan hasil kultur yaitu Ceftazidim 1 gram tiap 8 jam

Amikasin 1,5 gram tiap 24 jam.

Page 67: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

BAB V

PENUTUP

ARDS merupakan suatu kondisi penyakit yang umum kita jumpai di Intensive Care Unit (ICU).

Insiden penyakit ini cukup sering dengan angka kematian yang diketahui dari beberapa studi

berkisar antara 32 – 45 %. Sampai saat ini belum diketahui dengan jelas mengapa ARDS

mempunyai bermacam-macam sebab akan tetapi dapat berkembang menjadi sindroma klinis

dan patofisiologis yang sama.

Gagal organ multipel sering menyertai dan bahkan lebih dari 75 % penderita ARDS

justru meninggal lebih banyak diakibatkan oleh karena gagal organ multipel ini dibandingkan

dengan disfungsi parunya sendiri.

Populasi tertinggi kematian akibat ARDS adalah pada mereka yang mempunyai

kelompok umur tua, penderita immunocompromise dan pasien dengan penyakit hati kronis.

Angka kematian yang masih tinggi ini menyebabkan prognosisnya kurang baik walaupun

dengan terapi yang intensif. Walaupun ada yang berhasil bertahan hidup, namun sebagian

besar dari mereka setelah dievaluasi fungsi parunya sudah terjadi kecacatan.

Target utama penatalaksanaan ARDS adalah mengembangkan alveoli secara optimal

untuk mempertahankan gas arteri dan oksigenasi jaringan yang adekuat, keseimbangan cairan

dan asam basa serta sirkulasi yang memadai sampai integritas membran kapiler utuh kembali.

Selain itu juga ditujukan untuk mengatasi faktor-faktor pencetus dan hal-hal lain serta

memberikan terapi penunjang.

Page 68: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

DAFTAR PUSTAKA

1. BTS Guidelines (2003). British thoracic society guidelines for the management of

suspected acute pulmonary embolism. Thorax 58, 470.

2. Musset D (2002). Diagnostic strategy for patienrs wirh suspected pulmonary embolism

: a prospective multicentre outcome study. Lancet 36, 1914.

3. Cheng XS, Wang Q (1994). Experience of pulmonary embolism in China. In :

Pulmonary Embolism Ed : Mario Marpugo.1st ed, Marcel Dekker Inc, New York, p.

88.

4. Chau KY, Yuen ST, Ng THK, Ng WF (1991). An autopsy study of pulmonary

thromboembolism in Hongkong Chineese. Pathology 23, 181.

5. Sharma S (2003). Pulmonary embolism. Available from

http://www.Emedicine.com/med/topic 1958.htm. last updated April 8, 2003

6. Tapson VF (1997). Pulmonary embolism-new diagnostic approaches. N Engl J Med

336 (20), 1449.

7. Elliot CG, Goldhaber SZ, VIsani L, Derosa M (2000). Chest radiographs in acute

pulmonary embolism. Chest 118, 33.

8. Ramachandran P, Ooman A (2003). Pulmonary embolism : an overview. JIMA issue

101 (4), 1

9. Dalen JE (2002). Pulmonary embolism : what have we learned since virchow ?

Treatment and prevention. Chest 122, 1801.

10. Goldhaber SZ, Visani L, De Rosa M, for ICOPER (1999). Acute pulmonary embolism

: clinical outcomes in the International Cooperative Pulmonary Embolism Registry

(ICOPER). Lancel 353, 1386.

11. Wagenvoort CA (1994). Pathomorphology of pulmonary thromboembolism. n :

Pulmonary Embolism. Ed : Mario Marpugo. 1st ed, Marcel Dekker Inc, New York, p.

55.

12. Dalen JE (1994). Clinical diagnostic of acute pulmonary embolism. In : Pulmonary

Embolism. Ed : Mario Marpugo. 1st ed, Marcel Dekker Inc, New York, p. 66.

13. More LE, Ware D (2002). Amniotic fluid embolism. Available from http:

//www.Emedice.com/emerg/topic 787.htm. Last updated March 21, 2002.

Page 69: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

14. Kirkland L (2004). Fat embolism. Available from http

://www.Emedicine.com/med/topic652.htm.last updated 2004

15. Hyers TM (1997). Venous thromboembolism. Am J Respir Crit Care Med 159 (1), 1

16. Wells PS. Anderson DR, Rodger M, Stiell I (2001). Excluding pulmonary embolism at

the bedside without diagnostic imaging : management of patients with suspected

pulmonary embolism

17. Fennerty T (1997). Fortnightly review : the diagnosis of pulmonary embolism. BMJ

314, 425.

18. PIOPED Investigators (1990). Value of the ventilation - perfusion scan in acute

pulmonary embolism. JAMA 263, 2753.

19. Haage P, Piroth W. Krombach G, et al (2003). Pulmonary embolism : comparison of

angiography with spiral computed tomography, magnetic resonance angiography, and

real time magnetic resonance imaging. Am J Respir Crit Care Med 167, 729.

20. Goldhaber SZ (2001). Pulmonary embolism. In : Hear Disease; a textbook of

cardiovascular medicine. Eds : Braunwald E. Zipes DP, Libby P. 6th ed, WB Sauders

Company, Philadelphia, p. 1886.

21. Gloria O.D., William R. Acute Respiratory Failure. In: Hemodinamic Monitoring. 2nd

editon. Saunders. San Diego, California. 2004: 244-73

22. Marwoto. Management of Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS). In: The

Indonesian Journal of Anaesthesiology and Critical Care. Vol 23 no. 1 Jan 2005: 87-

93

23. Bersten A.D. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Oh’s Intensive Care Manual.

5th

edition. Elsevier. Western Australia. 2004: 329-39

24. Wilson L.M. Cardiovasculer and Pulmonalis Disease. In: Pathophysiology-Clinical

Consepts of Disease Processes. 4th

edition. EGC. Michigan. 1992: 720-44

25. Marwoto. Management of Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS). In: The

Indonesian Journal of Anaesthesiology and Critical Care. Vol 23 no. 1 Jan 2005: 87-

93

26. Muhardi, Masdjid A.S. Adult Respiratory Distress Syndrome. In: Penatalaksanaan

Pasien di Intensive Care Unit. Ed. Muhardi M. Sagung Seto, Jakarta, 2001: 59-65

27. Learn About ARDS. Available at http://ards.org/learnaboutards. accesed on July 17th

2012

28. Udobi K.F., Childs E. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: The American

Academy of Family Physicians. Vol. 67/ no. 2

Page 70: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

29. Papadacos P.J., Haitsma J.J. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Critical Care-

The Requisites in Anaesthesiology. Elsevier Mosby. Philadelphia. 2005: 176-80

30. Adult Respiratory Distress Syndrome. Available at

http://shop.store.yahoo.com/mrashad/adredisy.htm 1. accesed on July 17th 2012

31. Bersten A.D. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Oh’s Intensive Care Manual.

5th edition. Elsevier. Western Australia. 2004: 329-39

32. Adult Respiratory Distress Syndrome. Available at

http://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/ency/adult respiratory distress

syndrome.jps. accesed on August 10th 2012

33. ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Available at http://health.allrefer

com/health/ ards-acute-respiratory-distress-syndrome-info.html. accesed on July 17th

2012

34. Gloria O.D., William R. Acute Respiratory Failure. In: Hemodinamic Monitoring. 2nd

editon. Saunders. San Diego, California. 2004: 244-73

35. Muhardi, Masdjid A.S. Adult Respiratory Distress Syndrome. In: Penatalaksanaan

Pasien di Intensive Care Unit. Ed. Muhardi M. Sagung Seto, Jakarta, 2001: 59-65

36. http://www.medscape.com/viewarticle/498155. accesed on 17th July 2012

37. Dellinger R.P., Carlet J.M., Masur H. Et al. Surviving Sepsis Campaign Guidelines for

Management of Severe Sepsis and Septic Shock. In: Critical Care Medicine 2004 vol.

32 no. 3

38. Kim M.S., Stier G.R. Fluid and Electrolite Therapy. In: Adult Perioperative

Anaesthesia. Editor: Hines R.L. Elsevier Mosby. Philadelpia. 2004: 189-201

39. Dellinger R.P., Carlet J.M., Masur H. Et al. Surviving Sepsis Campaign Guidelines

for Management of Severe Sepsis and Septic Shock. In: Critical Care Medicine 2004

vol. 32 no. 3

40. http://www.medscape.com/viewarticle/498155. accesed on 17th

April 2006

41. Respiratory Distress Syndrome. Available at

http://shop.store.yahoo.com/mrashad/adredisy.htm 1. accesed on april 17th

2006

42. Artigas A., Bernard G.R., Carlet J. Et al. Conference Report-The American-European

Consensus Conference ARDS, part 2. in: American Journal of Respiratory and

Critical Care Medicine. Vol. 157. pp 1332-47, 1998

43. Kvetan V., Mustafa Iqbal. Acute Lung Injury-Second Asia Pacific Consensus

Conference in Critical Care Medicine. In: Critical Care and Shock. Vol. 2 no. 3 1999:

119-33

Page 71: DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR EKSTREMITAS …

44. Lee K.H., Barbara A.K., Miro A.M. Respiratory Function-Adult Respiratory Distress

Syndrome in: Textbook of Critical Care. Editor: Shoemaker. W.B. Saunders

Company. Philadelpia. 1996: 189-299

45. Wolfgang O., Werba A., Andel H. Breathing and Mechanical Support. Blackwell

Science. Vienna. 1997: 163-94

46. Papadacos P.J., Haitsma J.J. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Critical Care-

The Requisites in Anaesthesiology. Elsevier Mosby. Philadelphia. 2005: 176-80

47. Udobi K.F., Childs E. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: The American

Academy of Family Physicians. Vol. 67/ no. 2