Multipel sklerosis

23
PENDAHULUAN Di SSP, selubung mielin berasal dari prosesus sitoplasma sel oligodendroglia, yang membungkus secara konsentris prosesus neuron dengan cara yang sama seperti sel schwan di sistem saraf perifer. Fungsi mielin di SSP, seperti di sistem saraf perifer, adalah memberikan isolasi bagi rosesus sel neuron sehingga ompuls saraf dapat dihantarkan dengan cepat di sepanjang membran sel. Sejumlah penyakit mungkin mengganggu integritas selubung mielin sehingga transmisi normal aktivitas listrik di dalam otak terganggu dan menyebabkan penyakit neurologik. Proses ini mungkin mengenai mielin secara primer, badan sel oligodendroglia, atau keduanya. Pada multipel sklerosis, mielin yang terbentuk normal mengalami cedera, dan apa yang disebut sebagai leukodistrofi, pada keadaan tersebut terjadi kesalahan metabolisme bawaan yang mengganggu pembentukan dan pemeliharaan mielin secara normal (Robbin, et al., 2007).

description

uugcj

Transcript of Multipel sklerosis

PENDAHULUAN

Di SSP, selubung mielin berasal dari prosesus sitoplasma sel oligodendroglia, yang

membungkus secara konsentris prosesus neuron dengan cara yang sama seperti sel schwan di

sistem saraf perifer. Fungsi mielin di SSP, seperti di sistem saraf perifer, adalah memberikan

isolasi bagi rosesus sel neuron sehingga ompuls saraf dapat dihantarkan dengan cepat di

sepanjang membran sel. Sejumlah penyakit mungkin mengganggu integritas selubung mielin

sehingga transmisi normal aktivitas listrik di dalam otak terganggu dan menyebabkan

penyakit neurologik. Proses ini mungkin mengenai mielin secara primer, badan sel

oligodendroglia, atau keduanya. Pada multipel sklerosis, mielin yang terbentuk normal

mengalami cedera, dan apa yang disebut sebagai leukodistrofi, pada keadaan tersebut terjadi

kesalahan metabolisme bawaan yang mengganggu pembentukan dan pemeliharaan mielin

secara normal (Robbin, et al., 2007).

DEFINISI

Multiple sclerosis (MS) adalah penyakit neurologis kronis yang berkembang pada orang tua

antara lima belas dan empat puluh tahun dan ditandai oleh gangguan dalam mielinasi. Oleh

karena itu, akan mempengaruhi konduksi impuls saraf dan integritas sinyal. Secara klinis, hal

ini ditandai sebagai perubahan dalam gerakan dan sensitivitas. Pada MS, batang otak adalah

zona utama yang berubah dalam sistem saraf pusat (SSP), diikuti oleh substansia alba medual

spinalis (Jimenez B.R, et al., 2011).

EPIDEMIOLOGI

Sklerosis multipel adalah salah satu gangguan neurologis yang paling sering

menyerang orang muda (Price, et al., 2005). Penyakit ini lebih sering ditemukan di daerah

dengan iklim sedang daripada di katulistiwa dan pada orang keturuna Eropa. (Robbins, et al.,

2007). Di Amerika serikat diperkirakan 250.000 hingga 350.000 oang yang terinfeksi, 1 dari

1000 atau kurang dari sepersepuluh dari 1%. Perempuan terinfeksi dua kali lipat daripada

laki-laki, walaupun rasio perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki pada MS awitan

yang lebih lambat. Gejala jarang muncul sebelum usia 15 tahun atau setelah usia 60 tahun.

Usia rata-rata timbulnya gejala adalah 30 tahun, dengan kisaran antara 18 tahun hingga 40

tahun pada sebagian besar pasien (Price, et al., 2005).

ETIOLOGI

Sejumlah virus telah diajukan sebagai agen penyebab yang myngkin pada MS.

Beberapa peneliti menduga virus campak (rubeola). Berbagai antibodi campak telah

ditemukan dalam serum dan cairan serebrospinalis pasien MS, dan bukti yang ada

mengesankan antibodi ini dihasilkan dalam otak. Bila virus campak terlibat, kemungkinan

virus itu menyerang dalam awal kehidupan, tidak aktif selama beberapa tahun, dan kemudian

merangsang respons auotoimun (Price, et al., 2005). Campak, Rubella, Epstein-Barr, herpes

tipe 6 dan virus Herpes Zoster-paling disebutkan dan terkait dengan asal-usul penyakit MS.

Dalam sebuah penelitian baru-baru ini di Meksiko, melalui PCR real time, Varicella Zoster-

virus DNA ditemukan pada 95% pasien dengan MS saat eksaserbasi penyakit terjadi

(Jimenez, et al., 2011)

Teori lain menduga bahwa faktor genetik tertentu menyebabkan beberapa orang lebih

peka terhadap invasi SSP dengan berbagai virus. Antigen histokompatibilitas tertentu (HLA-

A3, HLA-A7) telah ditemukan lebih sering pada pasien MS dibandingkan dengan subjek

terkontrol. Adanya antigen ini mungkin berkaitan dengan defisiensi pertahanan imunologis

dalam melawan infeksi virus (Price, et al., 2005).

Beberapa gen tertentu dapat mempengaruhi kerentanan dari satu orang tetapi bukan

dari yang lain. Oleh karena itu memerlukan unsur-unsur lingkungan untuk "mengaktifkan"

mereka. Di antara orang-orang ini, termasuk daerah "wilayah geografis" di mana MS lebih

sering, seperti di kutub, merupakan daerah dengan jumlah cahaya matahari yang kurang. Ada

beberapa penelitian yang mengaitkan fitur ini dengan sintesis dan fungsi "vitamin D" sintesis.

Telah didokumentasikan bahwa vitamin D berinteraksi dengan HLA-DRB1, yang

mempengaruhi ekspresinya. Di MS, telah menunjukkan bahwa pasien memiliki kadar rendah

vitamin D. Salah satu faktor lingkungan dipertimbangkan adalah mengonsumsi tembakau,

namun hal ini belum sepenuhnya dijelaskan meskipun ada hipotesis yang menyatakan bahwa

nikotin, zat-zat lain dari asap rokok, menghasilkan efek immunotoxic dan mengubah

sinyalisasi sel T antigen-dimediasi.

Penemuan penyebab tunggal yang dapat dipercaya dan terdapat pada semua kasus

telah membuat frustasi usaha keras selama ini. Bukti terbaik baru-baru ini mendukung

mekanisme etiologi berikut ini: toksin-toksin langsung (termasuk agen biologis), mekanisme

imun yang diperantarai humoral dan diperantarai sel, serta oligodendrogliopati primer yang

mengakibatkan dimielisasi dan cedera akson. Beberapa keadaan yang biasanya dianggap

sebagai faktor pencetus adalah kehamilan, infeksi (khususnya dengan demam, stress

emosional, dan cedera (Price, et al., 2005).

PATOGENESIS dan PATOLOGI

Patogenesis MS belum sepenuhnya dipahami. Namun, cukup banyak bukti tak-

langsung bahwa MS adalah suatu penyakit autoimun akibat cedera selubung mielin dan atau

sel oligodendroglia yang diperantarai oleh sel T. Di dalam lesi, ditemukan baik sel T CD4+

maupun CD8+, dan banyak yang reaktif terhadap myelin basic protein. Sel ini menyebabkan

cedera dengan memebaskan sitokin serta sitotoksisitas langsung yang diperantarai oleh sel T

CD8+. Cedera yang diperantarai oleh antibodi juga tampaknya berperan. Antibodi terhadap

protein oligodendrosit mielin dan myelic basic protein bersama dengan komplemen aktif

dapat ditemukan pada lesi yang mengalami dimielinisasi.

Lesi MS hanya timbul pada substansia alba SSP. Pemeriksaan autopsi

memperlihatkan bahwa lesi paling menonjol terdapat dalam traktus piramidalis dan kolumna

spinamis posterior, sekitar ventrikel otak, di dalam traktus dan saraf optikus, pada batang otak

dan pedunkulus serebelum, serta sekitar vena-vena besar. Pada fase akut, daerah yang terkena

mengalami edema, meradang, dan bewarna merah muda. Ukuran diameter dapat bervariasi

dari beberapa milimeter hingga beberapa sentimeter. Makrofag membuang daerah mielin

yang berdegenerasi, dan saat fase akut mereda, gliosis akan aktif kembali. Akibat akhir

adalah penciutan daerah yang mengalami demielinasi dan disebut sebagai plak. Akson

silinder dan sel tubuh tidak rusak, walaupun bekas luka tersebut dapat merusak serat akson

yang ada di bawahnya sehingga hantaran serabut saraf menjadi terganggu. Gejala MS

disebabkan oleh demielinasi yang menjadi ireversibel sesuai dengan makin memburuknya

penyakit.

KLASIFIKASI MULTIPLE SCLEROSIS

Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS:

1. Relapsing-remitting MS. Banyak kasus umumnya berawal dari bentuk MS yang

gejalanya bersifat hilang timbul terutama pada dewasa muda. Merupakan perjalanan

klinis yang klasik dari multipel sklerosis dimana terdapat fase relaps dan remisi. Gejala

hanya memburuk ketika adanya serangan meskipun dapat berkembang menjadi

secondary progressive multiple sclerosis.

2. Chronic progressive MS. Gejala secara bertahap memburuk setelah episode serangan

pertama dan terus terjadi peningkatan kecacatan tanpa diselingi fase remisi sama sekali.

Sering melibatkan penurunan gerakan motorik tubuh, atau kinerja sensorik (terutama

penglihatan).

3. Benign MS. Gejala yang relatif kecil, perkembangan sangat lambat sehingga hampir tak

terlihat secara klinis, atau ada sedikit serangan selama masa waktu yang panjang

biasanya 15 tahun setelah diagnosis. Ada bukti yang menyebutkan bahwa perjalanan

MS mungkin awalnya jinak. Namun, bukti dari penelitian jangka panjang menyebutkan

kasus benign MS akhirnya mengakibatkan gejala dan kecacatan yang signifikan,

meskipun ini mungkin tidak terjadi selama 20 atau 30 tahun setelah diagnosis.

4. Secondary progressive MS. Relapsing-remitting MS dapat berubah menjadi bentuk

secondary progressive MS dimana mulai terjadi penurunan yang relatif stabil namun

frekuensi remisi cukup jarang (Jeffrey, 2009).

MANIFESTASI KLINIS

Lokasi nyeri menentukan manifestasi klinis MS. Kombinasi gejala dan tanda yang dapat

terjadi antara lain:

Gangguan penglihatan

Banyak pasien mengalami masalah visual sebagai gejala awal. Sering dilaporkan

adanya diploplia (pandangan kabur), distorsi warna merah hijau, lapang pandang yang

abnormal dengan bintik buta (skotoma) baik pada satu maupun pada kedua mata. Salah satu

mata mungkin mengalami kebutaan total selama beberapa jam sampai beberapa hari.

Gangguan-gangguan visual ini mungkin diakibatkan oleh neuritis saraf optikus. Selain itu,

juga ditemukan diplopia akibat lesi pada batang otak yang menyerang nukleus atau serabut-

serabut traktus dari otot-otot ekstraokular dan nistagmus.

Gangguan sensorik

Gangguan sensorik merupakan manifestasi klinis awal yang juga sering dialami oleh

21-55% pasien MS. Umumnya gejala yang timbul berupa rasa baal (hipestesi), kesemutan

(parestesi), rasa terbakar (disestesi) maupun hiperestesi. Kelainan tersebut dapat timbul pada

satu ekstremitas atau lebih, dan pada tubuh atau wajah. Selain itu proprioseptif, rasa vibrasi,

dan diskriminasi dua titik juga dapat terganggu sehingga menimbulkan kesulitan menulis,

mengetik atau mengancing baju. Gejala proprioseptif ini umumnya timbul bilateral dan bila

terdapat lesi di daerah lemniskus gangguan proprioseptif tersebut hanya mengenai lengan

yang dinamakan useless hand syndrome. Gejala tersebut umumnya mengalami remisi dalam

beberapa bulan. Tanda yang sering terjadi pada penderita MS meskipun tidak karakteristik

adalah tanda Lhermitte; bila kepala difleksikan secara pasif, timbul parestesi sepanjang bahu,

punggung dan lengan. Hal ini mungkin disebabkan akson yang mengalami demyelinisasi

sensitivitasnya meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan fleksi kepala.

Kelemahan spastik anggota gerak

Keluhan yang sering didapatkan adalah kelemahan satu anggota gerak pada satu sisi

tubuh atau terbagi secara asimetris pada keempat anggota gerak. Pasien mungkin mengeluh

merasa lelah dan berat pada satu tungkai, dan pada waktu berjalan terlihat jelas kaki yang

sebelah terseret maju, dan pengontrolannya kurang sekali. Pasien dapat mengeluh tungkainya

kadang-kadang seakan–akan meloncat secara spontan terutama apabila ia sedang berada di

tempat tidur. Keadaan spatis yang lebih berat disertai dengan spame otot yang nyeri. Refleks

tendon mungkin hiperaktif dan refleks-refleks abdominal tidak ada. Respons plantar berupa

ekstensor (tanda Babinski). Tanda-tanda ini merupakan indikasi terserangnya lintasan

kortikospinal.

Tanda-tanda serebelum

Gejala-gejala lain yang juga sering ditemukan adalah nistagmus (gerakan osilasi bola

mata yang cepat dalam arah horisontal atau vertikal) dan ataksia serebelar dimanifestasikan

oleh gerakan-gerakan volunter, intention tremor, gangguan keseimbangan dan disartria

(bicara dengan kata terputus-putus menjadi suku-suku kata dan tersendat-sendat).

Disfungsi kandung kemih

Lesi pada traktus kortikospinalis seringkali menimbulkan gangguan pengaturan sfingter

sehingga timbul keraguan, frekuensi dan urgensi yang menunjukkan berkurangnya kapasitas

kandung kemih yang spastis. Kecuali itu juga timbul retensi akut dan inkontinensia.

Gangguan afek

Banyak pasien menderita euforia, suatu perasaan senang yang tidak realistik. Hal ini

diduga disebabkan terserangnya substansia alba lobus frontalis. Tanda lain gangguan serebral

dapat berupa hilangnya daya ingat dan demensia.

PENEGAKAN DIAGNOSIS

Sadarilah bahwa presentasi klinis pada multiple sclerosis (MS) meliputi:

kehilangan atau pengurangan penglihatan 1 mata dengan gerakan mata yang

menyakitkan

penglihatan ganda

gangguan sensorik dan / atau kelemahan

masalah dengan keseimbangan, kegoyangan atau kejanggalan

.Sadarilah bahwa biasanya orang dengan MS hadir dengan gejala neurologis atau tanda-tanda

seperti yang dijelaskan dalam rekomendasi sebelumnya yang telah disebutkan dan:

sering berusia di bawah 50 dan

mungkin memiliki riwayat gejala neurologis sebelumnya dan

emiliki gejala yang telah berkembang selama lebih dari 24 jam dan

memiliki gejala yang dapat bertahan selama beberapa hari atau minggu dan kemudian

meningkatkan.

Jangan rutin menduga MS jika gejala utama seseorang adalah kelelahan, depresi atau

pusing kecuali mereka memiliki sejarah atau bukti gejala neurologis fokal atau tanda-tanda.

Sebelum merujuk orang yang dicurigai memiliki MS ke ahli saraf, termasuk

diagnosis alternatif dengan melakukan tes darah termasuk:

hitung darah lengkap

penanda inflamasi untuk tingkat sedimentasi eritrosit misalnya, C-reaktif

protein

tes fungsi hati

tes fungsi ginjal

kalsium

glukosa

Tes fungsi tiroid

vitamin B12

Serologi HIV.

Jangan mendiagnosa MS atas dasar temuan MRI saja. Hanya seorang ahli saraf

konsultan harus membuat diagnosis MS atas dasar kriteria McDonald.

(NICE, 2014)

Kriteria diagnostik yang umum dipakai adalah kriteria McDonald yang merupakan

kriteria MS dengan konsep asli tahun 2001 dan revisi terakhir tahun 2010. Kriteria McDonald

menekankan adanya pemisahan menurut waktu/disseminated in time (dua serangan atau

lebih) dan pemisahan oleh ruang/disseminated in space (dua atau lebih diagnosa topis yang

berbeda). Seseorang dinyatakan definite menderita MS bila terjadi pemisahan waktu dan

ruang yang dibuktikan secara klinis atau bila bukti secara klinis tidak lengkap tetapi didukung

oleh pemeriksaan penunjang (MRI, LCS atau VEP).

(Polman, et al., 2010)

Pemisahan secara waktu maksudnya adalah terjadinya dua serangan atau lebih dimana

jarak antara dua serangan minimal 30 hari dan satu episode serangan minimal berlangsung 24

jam. Sedangkan pemisahan oleh ruang adalah terdapatnya dua atau lebih gejala neurologis

obyektif yang mencerminkan dua lesi yang diagnosis topisnya berbeda.

Kriteria definite (disseminated in space) MRI harus meliputi 3 dari 4 kriteria:

1. Adanya 1 lesi yang besar atau minimal 9 lesi yang kecil

2. Minimal 1 lesi infratentorial

3. Minimal 1 lesi juxtakortikal

4. Minimal 3 lesi periventrikel.

Selain itu pada MRI dapat terlihat gambaran atrofi korteks yang didahului oleh

pembesaran ventrikel.

Gambar 2.2. MRI Otak Wanita 25 Tahun dengan Relapsing-Remitting MS

Pemeriksaan oligoclonal band dari cairan serebrospinalis/LCS sangat membantu

diagnosis MS. Sensitifitas pemeriksaan ini dikatakan dapat mencapai 95% dan bila terdapat

peningkatan oligoclonal band pada LCS maka hanya dibutuhkan 2 lesi pada MRI untuk

memenuhi kriteria disseminated in space.

Pemeriksaan VEP (visual evoked potential) merupakan pemeriksaan penunjang yang

cukup sensitif (dibandingkan pemeriksaan evoked potential lain) untuk MS dimana terjadi

pemanjangan latensi VEP yang disebabkan adanya demyelinisasi pada nervus optikus. VEP

secara dini dapat mendeteksi kelainan meskipun pada pasien MS yang secara klinis belum

terdapat gejala klinis neuritis optika.

PENATALAKSANAAN MULTIPLE SCLEROSIS

Managemen dan tatalaksana multiple sklerosis mengikuti Clinical Guideline 8

Multiple Sclerosis National Institute for Clinical Excellence tahun 2003. Pola klasifikasi

menggunakan tingkatan rekomendasi (A, B, C, D, DS, HSC).

Tabel 2.2. Tingkatan rekomendasi

Grade Keterangan

A Kategori I

B Kategori II atau dengan penambahan kategori I

C Kategori III atau dengan penambahan kategori I atau II

D Kategori IV atau dengan penambahan kategori I, II atau III

DS Berdasarkan bukti diagnostic

HSC Berdasarkan pelayanan kesehatan 2002/2004

Kondisi Grade

Setiap yang mengalami episode akut (termasuk neuritis optik) menyebabkan

distres atau keterbatasan fisik harus diberikan kortikosteroid dosis tinggi. Hal

ini sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah muncul relaps :

intravena metilprednisolon, 500 mg - 1 g sehari, selama 3 - 5 hari

atau

dosis tinggi metilprednisolon oral 500 mg - 2 g sehari, selama 3 - 5

hari.

A

Pasien harus diberi penjelasan tentang risiko dan keuntungan penggunaan

kortikosteroid. D

Frekuensi penggunaan kortikosteroid lebih dari 3 minggu dan lebih dari 3 kali

setahun harus dihindari D

Penggunaan obat lain pada terapi akut saat relaps sebaiknya tidak digunakan

kecuali ada protokol lainD

Penderita MS harus disarankan mengkonsumsi asam linoleat 17-23 g/hari agar

mengurangi perkembangan kecacatan. Sumber makanan kaya akan asam

linoleat termasuk bunga matahari, jagung, kedelai dan minyak safflower.

A

Tatalaksana berikut tidak boleh dilakukan kecuali dalam

keadaan khusus:

setelah diskusi lengkap dan melalui pertimbangan semua risiko

dengan evaluasi, sebaiknya dengan studi prospektif lain

dilakuakan oleh eorang pakar dalam penggunaan obat-obat dibawah ini

dengan pemantauan ketat untuk efek samping.

D

pengobatan:

azathioprine

mitoxantrone

intravena imunoglobulin

plasma exchange

intermiten (4-bulan) pendek (1-9 hari) program

metilprednisolon dosis tinggi.A

Tatalaksana berikut tidak boleh digunakan karena bukti penelitian tidak

menunjukkan efek menguntungkan pada:

siklofosfamid

anti-virus (misalnya, asiklovir, tuberkulin)

cladribine

pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid

hiperbarik oksigen

linomide

iradiasi seluruh tubuh

basic protein myelin (tipe apapun).

A

Terapi simptomatik

Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan diantaranya adalah :

1. Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan program exercise

seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan ketika ada kekakuan,

spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur. Baclofen, tizanidine, gabapentin,

dan benzodiazepine efektif sebagai agen antispastik.

2. Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin memberikan

respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat diberikan antikonvulsan

atau amitriptilin.

3. Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan pemberian terapi

infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan ada mendeteksi problem

apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder atau menyimpan urin. Obat

antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine efektif untuk kegagalan dalam menyimpan

urin diluar adanya infeksi.

4. Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS dan harus

diterapi sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi. Inkontinensia fekal cukup

jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat memperkeras tinja sehingga dapat

membantu spingter yang inkompeten dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan

antikolinergik atau antidiare cukup efektif pada inkontinensia dan diare yang terjadi

bersamaan.

5. Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan libido, gangguan

disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa sensasi panas dapat

terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi ereksi dapat diatasi dengan

sildenafil.

6. Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien dengan MS.

Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi suportif. Pasien dengan

depresi berat sebaiknya diberikan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang

memiliki efek sedative yang lebih kecil disbanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat

digunakan bagi pasien yang memiliki kesulitan tidur atau memiliki sakit kepala.

7. Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan medikasi.

Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat narcolepsy yang

bekerja sebagai stimulant SSP telah ditemukan memiliki efek yang bagus pada pasien

MS. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga

dapat menghilangkan kelelahan pada pasien MS. Amantadine memiliki efek anti

influenza A dan baik diberikan pada Oktober hingga Maret.

Terapi relaps

1. Adrenal Kortikosteroid. Kortikosteroid merupakan terapi andalan dalam mengurangi

gejala-gejala MS relaps akut. Agen ini bekerja melalui efek imunomodulator dan

antiinflamasi, pemulihan blood brain barier, dan pengurangi edema. kortikosteroid juga

dapat meningkatkan konduksi aksonal. Terapi kortikosteroid memperpendek durasi

relaps akut dan mempercepat pemulihan. Namun, kortikosteroid belum bisa

meningkatkan pemulihan secara keseluruhan MS.

Jika seorang pasien menjadi cacat setalah mendapat serangan akut, dokter harus

mempertimbangkan pengobatan dengan intravena metilprednisolon selama tiga hingga

lima hari (atau kortikosteroid yang setara) dalam dosis 1 g diberikan secara intravena

dalam 100 mL normal salin selama 60 menit sekali sehari di pagi hari.

2. Perawatan lainnya. Pada pasien dengan MS, fisoterapi harus selalu dilakukan untuk

meningkatkan fungsi dan kualitas hidup dari ketergantungan obat therapy. Perawatan

pendukung berupa konseling, terapi okupasi, saran dari sosial, masukan dari perawat,

dan partisipasi dalam patient support group merupakan bagian dari perawatan kesehatan

dengan pendekatan tim dalam pengelolaan MS.

Pasien dengan MS sering tergoda untuk mencoba terapi alternatif seperti diet khusus,

vitamin, sengatan lebah, atau akupunktur. Meskipun bukti definitif efektivitas perawatan

ini kurang.

Disease-Modifying Therapies

Terapi yang diberikan hanya meminimalkan timbulnya serangan, mengurangi efek

serangan, dan memperpanjang masa remisi. Disease-modifying therapies untuk pengelolaan

awal MS saat ini yang tersedia di Amerika Serikat: intramuskular interferon beta-1a

(Avonex), subkutan interferon beta-1a (Rebif), interferon beta-1b (Betaseron), dan glatiramer

asetat (Copaxone). Agen kelima, mitoxantrone (Novantrone), telah disetujui oleh Food and

Drug Administration (FDA) untuk pengobatan relapsing–remitting MS dan sekunder

progresif MS yang memburuk.

1. Interferon beta. Interferon beta merupakan sitokin alami yang berfungsi sebagai

imunomodulasi dan memiliki aktivitas antivirus. Tiga interferon beta disetujui FDA yang

digunakan untuk MS telah terbukti mengurangi kekambuhan sekitar sepertiga dan

direkomendasikan sebagai terapi lini pertama atau untuk pasien yang intoleran dengan

glatiramer pada relapsing-remitting MS. Pada studi randomized double blind placebo

control trial, penggunaan interferon beta dapat mengurangi 50 sampai 80 persen lesi

inflamasi yang divisualisasikan pada MRI otak. Ada juga bukti bahwa obat ini

meningkatkan kualitas hidup dan fungsi kognitif.

Influenza-like symptom seperti demam, menggigil, malaise, nyeri otot, dan kelelahan,

terjadi pada sekitar 60 persen pasien yang diobati dengan interferon beta-1a atau

interferon beta-1b. Gejala ini biasanya menghilang dengan terapi lanjutan dan

premedikasi dengan obat anti-inflamasi non-steroid. Untuk mengurangi gejala dapat

dilakukan dengan pengaturan dosis titrasi pada waktu inisial terapi interferon beta.

Efek samping lain dari interferon beta termasuk reaksi alergi pada tempat injeksi,

depresi, anemia ringan, trombositopenia, dan meningkatnya kadar transaminase. Efek

samping ini biasanya tidak berat dan jarang menyebabkan penghentian pengobatan.

2. Glatiramer. Obat ini merupakan campuran polipeptida yang pada awalnya dirancang

untuk meyerupai dan bersaing dengan protein dasar myelin. Glatiramer dalam dosis 20

mg subkutan sekali sehari telah terbukti mengurangi frekuensi kambuh MS sekitar

sepertiga. Obat ini juga direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama pada pasien

dengan Relapsing-Remitting MS dan bagi pasien yang tidak dapat mentolerir interferon

beta. Hasil terapi glatiramer mampu mengurangi sepertiga proses inflamasi yang terlihat

pada MRI.

Glatiramer umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan tidak menimbulkan influenza-

like symptoms. Reaksi post injeksi termasuk peradangan lokal dan reaksi yang tidak

umum seperti flushing, sesak dada dengan jantung berdebar, gelisah, atau dispnea dapat

sembuh spontan tanpa gejala sisa. Pemantauan rutin laboratorium tidak diperlukan pada

pasien yang diobati dengan glatiramer, dan kempuan antibodi dalam mengikat antigen

juga tidak terganggu.

3. Mitoxantrone. Sebuah studi klinis menemukan bahwa mitoxantrone, sebuah agen

antineoplastik anthracenedione, dapat mengurangi jumlah relaps MS sebesar 67 persen

dan memperlambat perkembangan. Mitoxantrone dianjurkan untuk digunakan pada

pasien dengan bentuk Progressive MS.

Efek samping akut mitoxantrone termasuk mual dan alopecia. Karena juga adanya

cardiotoxicity kumulatif, obat dapat digunakan hanya untuk dua sampai tiga tahun (atau

untuk dosis kumulatif 120-140 mg per m2). Mitoxantrone adalah agen kemoterapi yang

harus diresepkan dan dikelola oleh para perawat kesehatan profesional yang

berpengalaman (NICE,2014)

KOMPLIKASI

1. Depresi

2. Kesulitan dalam menelan

3. Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi

4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri

5. Membutuhkan kateter

6. Osteoporosis

7. Infeksi saluran kemih

PROGNOSIS

Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki cacat fisik yang

signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang dari 5-10% dari pasien memiliki

fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada cacat fisik yang signifikan terakumulasi

meskipun berlalu beberapa dekade setelah onset (kadang-kadang terlepas dari lesi baru

yang terlihat pada MRI). Pemeriksaan rinci dalam banyak kasus, mengungkapkan

beberapa tingkat kerusakan kognitif.

Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis terburuk, dengan

respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan cepat menimbulkan kecacatan.

Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum tulang belakang di MS progresif primer juga

merupakan faktor dalam perkembangan pesat dari kecacatan.

Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan MS, dan tingkat

kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan. Kematian biasanya terjadi akibat komplikasi

sekunder (50-66%), seperti penyebab paru atau ginjal, tetapi juga dapat disebabkan oleh

komplikasi utama, bunuh diri, dan menyebabkan tidak berhubungan dengan MS. Marburg

varian dari MS adalah bentuk akut dan klinis fulminan penyakit yang dapat menyebabkan

koma atau kematian dalam beberapa hari.

DAFTAR PUSTAKA

Bennet JL. 2009. MULTIPLE SCLEROSIS PATHOPHYSIOLOGY. Colorado:

Departments of Neurology and Ophthalmology, University of Colorado Denver School of

Medicine, Aurora, Colorado. Available at

http://www.utasip.com/files/articlefiles/pdf/asip_issue_6_3p58_62.pdf. (accessed 7 April

2014)

Jimenez BR, dkk. 2010. Multiple sclerosis: An overview of the disease and current

concepts of its pathophysiology. Mexico: Journal of Neuroscience and Behavioural

Health. available at http://www.academicjournals.org/article/article1379672860_Bola

%C3%B1os-Jim%C3%A9nez%20et%20al.pdf (accessed 7 April 2014)

Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. 2007. Buku ajar patologi .7 nd ed, Vol. 2. Jakarta :

EGC

National Institute for Health and Care Excellence. 2014. Multiple sclerosis

management of multiple sclerosis in primary and secondary care.

Multiple sclerosis. 2012. Medscape References. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1146199-overview (accessed 7 April 2014)

Multiple Sclerosis. Pubmed Health Medicine. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001747/ (accessed 7 April 2014)

Polman CH, dkk. 2011. Diagnostic Criteria for Multiple Sclerosis: 2010 Revisions to

the McDonald Criteria. Amsterdam: Department of Neurology, VU Medical Center

Amsterdam. available at

http://onlinelibrary.wiley.com/store/10.1002/ana.22366/asset/22366_ftp.pdf?

v=1&t=i89wn6m4&s=cf6d8ddaabc86d56a85543b9f905fdc971feae6a (accessed 7 April

2014)

Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2. Jakarta

: EGC.