LAPORAN KASUS
DYPSNEA PADA PASIEN MULTIPEL FRAKTUR
EKSTREMITAS POST ORIF PS
dr. Made Agus Kresna Sucandra, Sp.An.KIC
PROGRAM STUDI ILMU ANESTESI DAN REANIMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Dispnea adalah keluhan yang sering memerlukan penanganan darurat tetapi intensitas
dan tingkatannya berbeda-beda. Ada yang berupa rasa tidak nyaman di dada yang bisa
membaik sendiri, atau yang membutuhkan bantuan nafas yang serius, hingga yang dapat
berakibat fatal. Dispnea merupakan keluhan subjektif yang timbul bila ada perasaan tidak
nyaman maupun gangguan/kesulitan lainnya saat bernafas, yang tidak sebanding dengan
tingkat aktivitas.
Dispnea dapat ditemukan pada penyakit kardiovaskular, emboli paru, Saluran Napas
seperti asma, emfisema Adult respiratory distress syndrome (ARDS), bronkitis kronik,
penyakit parenkimal, Penyakit Vaskular Paru seperti Hipertensi paru primer, Penyakit pleura
seperti Pneumotoraks, penyakit Dinding Paru seperti trauma, Penyakit venooklusi paru seperti
fibrosis, dll.
Berdasarkan waktu terjadinya dispnea dibagi menjadi 3 yaitu dispnea mendadak (akut)
disebabkan oleh pneumotoraks, emboli paru masif, asma, aspirasi benda asing; dispnea
bertahap dan semakin berat dalam beberapa jam atau hari terdapat pada pneumonia, asma,
PPOK, eksaserbasi akut; dispnea bertahap dan semakin berat dalam beberapa minggu, bulan,
atau tahun terjadi pada efusi pleura, PPOK, TB paru, anemia, gangguan otot-otot pernafasan.
Anamnesis yang lengkap sangat penting untuk memperoleh kepastian apakah pasien
benar-benar menderita dispnea. Apabila dispnea telah ditegakkan, maka sangat penting untuk
memperoleh data-data mengenai penyebab dispnea dan menilai gejala dan tanda lain yang
berhubungan dengan dispnea. Dengan mendapatkan data yang lengkap kita dapat melakukan
penanganan dispneu secara cepat dan tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 EMBOLI PARU
Emboli paru merupakan alasan bagi 300.000 - 600.000 penderita untuk dirawat di
rumah sakit dan menjadi penyebab kematian 50.000 orang setiap tahunnya1. Di Amerika
angka prevalensi emboli paru yang dirawat 1% dan menjadi penyebab kematian 10%
penderita dimana 30% terdeteksi dari otopsi. Diagnosis pasti antemortem hanya pada 1/3
kasus2. Tidak ada data yang pasti dan sistematik Emboli Paru di Asia, tetapi dilaporkan di
China 76,83% dari 82 kasus emboli paru dikelirukan sebagai Pneumonia (82,54%),
Pleuritis (14,29%) dan Infark Miokard Akut (3,17%)3. Kematian akibat emboli paru tidak
menghilang dalam kurung waktu dua puluh tahun terakhir bahkan semakin tinggi angka
kejadiannya. Penelitian dari otopsi mengenai tromboemboli paru di Hongkong
menunjukkan peningkatan insidens dari 0,58% menjadi 2,08% dalam kurun waktu lima
tahun, dibandingkan dengan 12,8% di Eropa dan 3,8%-9,3% di Amerika4. Harus disadari
bahwa emboli paru merupakan problem umum pada penderita yang dirawat dan sering
tidak terdiagnosa. Emboli paru harus diwaspadai pada seluruh penderita dengan penyakit
paru yang disertai adanya faktor resiko yang dapat berupa imobilisasi, pembedahana atau
keadaan hiperkoagulabilitas5. Resiko emboli paru dari Deep Vein Thrombosis (DVT) yang
tidak teratasi berkisar 50% dan resiko kematian dari emboli paru yang tidak diterapi
berkisar 8%. Resiko emboli paru meningkat pada kehamilan dan paska persalinan,
sedangkan pada penderita lanjut usia sering tidak terdeteksi, dan menyebabkan kematian6.
Selain itu kehamilan meningkatkan insiden trombo emboli 1-2 kasus setiap 100.000
kehamilan atau kasus setiap 200 persalinan. Penggunaan kontrasepsi oral dan terapi sulit
estrogen meningkatkan insiden thromboemboli 20-30 kasus setiap 100.000 orang per
tahun. Keganasan diidentifikasi pada 17% pasien dengan troboemboli vena, dimana yang
tersering adalah Ca pancreas, Ca bronkogenik, Ca saluran urogenital, colon, lambung,
payudara5.
Emboli paru mempunyai efek patofisiologis berupa peningkatan tahanan vaskuler
paru akibat timbulnya obstruksi vaskuler, adanya neurohormonal atau baroreseptor arteri
pulmonal, terjadi gangguan pertukaran gas akibat peningkatan dead space alveoli,
rendahnya ventilasi-perfusi dan shunting, hiperventilasi alveoli akibat rangsangan rekleks
pada reseptor sensorik, peningkatan resistensi jalan napas akibat bronkokonstriksi,
penurunan compliance pulmoner akibat edema paru, perdarahan paru dan hilangnya
surfaktan7,8.
Meskipun 95% emboli paru muncul akibat thrombus dari stretemitas bawah, DVT
terdeteksi hanya pada 40% kasus, bahkan pada penderita dengan emboli paru yang fatal
hanya dapat terdeteksi DVT pada 50% kasus. DVT pada vena femoralis dan iliaka 45%
akan menyebabkan embolisasi ke paru8.
2.1.a. Patofisiologi
Penyebab emboli paru merupakan multifaktorial diantaranya adalah statis
pembuluh vena, hiperkoagulabilitas, imobilitas, pembedahan dan trauma berupa
luka bakar hebat atau fraktur femur dan tibia8.
Virchow telah telah mengidentifikasi tiga faktor yang menyebabkan
timbulnya trombosis vena yang dikenal sebagai Trias Virchow yaitu statis vena,
kerusakan lapisan intima dan perubahan faktor pembekuan dalam darah. Trombosis
biasanya berupa gumpalan trombosit di daerah katub pembuluh darah vena yang
terletak di vena ekstremitas bawah. Gumpalan thrombus tersebut akan terlepas dan
mengakibatkan oklusi total dari pembuluh darah vena9,10.
Emboli paru biasanya muncul dari thrombus yang berasal dari sistem
pembuluh vena dari ekstremitas bawah, bisa pula berasal dari vena pelvis, ginjal atau
ekstremitas atas dan bilik jantung kanan. Insidens tromboemboli berkisar 5-30%11.
Setelah masuk ke dalam paru, thrombus yang besar menempati percabangan arteri
pulmonal atau cabang lobar dan terjadi gangguan hemodinamik. Trombus yang lebih
kecil meneruskan perjalanan ke distal, menghambat vena kecil di paru. Hal tersebut
menyebabkan keluhan nyeri pleritik karena mengawali respon peradangan di plera
parietalis12.
Emboli paru dapat juga berupa cairan aminon. Jarang didapatkan, muncul
pada 1 dari 40.000 sampai 60.000 persalinan tetapi angka kematian mencapai 85%
dapat muncul selama persalinan tapi dapat pula pada awal minggu ke dua puluh
kehamilan sampai dengan 32 jam setelah persalinan13.
Emboli paru yang berupa udara dapat disebabkan penyumbatan oleh
sejumlah besar udara yang terkumpul di ventrikel kanan, dapat menyebabkan
kematian mendadak dengan hambatan total pada saluran keluar13.
Sejumlah besar lemak dapat masuk ke dalam sistem pembuluh darah vena,
terkumpul di pembuluh kapiler paru dan menuju ke otak, menyebabkan iskemia dan
peradangan14.
Gangguan pernapasan akut yang ditimbulkan berupa peningkatan alveolar
dead space, hipoksemia dan hiperventilasi. Kemudian akan terjadi infark paru dan
hilangnya surfaktan. Infark paru merupakan hal yang jarang terjadi karena adanya
sirkulasi arteri kolateral12.
Emboli paru akan mengganggu hemodinamik karena terjadi penurunan
daerah yang mendapat vaskularisasi sehingga terjadi peningkatan tahanan pembuluh
darah paru dan akibatnya terjadi peningkatan afterload ventrikel kanan terjadi gagal
jantung kanan12,15.
2.1.b. Gejala klinis
Emboli paru dapat dikategorikan dalam 4 golongan berdasarkan beratnya
oklusi arteri pulmonal, yaitu emboli paru masif infar pulmonal akut, emboli akut
tanpa infar dan emboli paru multiple16. Penyebab emboli paru merupakan
multifaktorial diantaranya adalah statis pembuluh vena, hiperkoagulabilitas,
imobilitas, pembedahan dan trauma berupa luka bakar hebat atau fraktur femur dan
tibia.
Sesuai ICOPER (International Co Operative Pulmonary Embolism Registry)
gejala klinis yang menonjol adalah dyspnea (82%), takipnea (60%) takikardia
(40%), nyeri dada (49%), batuk (20%), sinkop (14%) dan hemotysis (7%), Korx
Pulmonale muncul jika lebih dari 65% pembuluh darah tertutup akibat emboli paru.
Gejala akut penderita dengan emboli paru dikelompokkan dalam empat
kategori berdasar beratnya oklusi arteri pulmonal. Pada emboli paru masih
didapatkan emboli yang besar sehingga menyebabkan kolaps pembuluh darah yang
ditandai hipotensi, lemah, pusat, berkeringat, oligouria dan gangguan mental. Pada
Infark Pulmonal akut ditandai adanya nyeri pleritik, sesak dan batuk darah. Pada
emboli paru akut tanpa infark tidak didapatkan gejala yang khas tetapi berupa sesak
dan atau nyeri substernal. Pada emboli paru multiple didapatkan gejala sesak yang
progresif, nyeri dada dan hipertensi pulmonal dan kor pulmonal6.
Diagnosa banding untuk kondisi tersebut adalah Infark Miokard Akut,
Penyakit Paru Obstruktif Kronis, penyakit pericardial, Pneumonia Pneumotoraks.
2.1.c. Pendekatan diagnostik
Karena gejala klinik tidak khas penderita diduga mengalami emboli paru
harus menjalani tes diagnostik sehingga diagnosis dapat ditegakkan atau
disingkirkan. Pemeriksaan laboratorium tidak spesifik dan kurang membantu
penegakan diagnosa meskipun pemeriksaan tersebut sering mengarah pada diagnosa
lain. Pemeriksaan gas darah menunjukkan hipoksemia, hipokapnea, dan alkalosis
respiratorik. Baik PaO2 maupun pengukuran gradien Oksigen alveolar - arterial
menunjang penegakan diagnosa. Pada kondisi penderita dengan resiko tinggi paska
operasi dimana penyulit pernapasan lain dapat disingkirkan, PaO2 yang rendah
disertai sesak mempunyai nilai prediksi positif yang sangat tinggi. Pemeriksaan D-
dimer, suatu produk degradasi fibrin, hanya menunjukkan 30% penderita yang
pemeriksaannya positif merupakan penderita emboli paru. Karena itu pemeriksaan
tersebut tidak digunakan rutin digunakan sendirian dalam menegakkan diagnosa
pasti maupun sebagai pengarah dalam memulai terapi penderita dengan dugaan
emboli paru5.
Peningkatan abnormal kadar plasma D-dimer, mempunyai sensitivitas 90%
dibuktikan dengan scan paru atau angiogram. Pada tromboemboli vena akut, aktivasi
simultan antara faktor koagulasi dan enzim fibrinolitik mengakibatkan peningkatan
D-dimmer plasma, suatu produk pemecahan dari fibrin dan merupakan indikator
sensitif dari proses fibrinolisis. Kadar protein normal mempunyai nilai prediktif
negatif tinggi, jika kadar D-dimmer < 500 mikrogram/liter. Peningkatan kadar D-
dimer tidak selalu menunjukkan adanya emboli paru. Sejumlah kondisi seperti
infeksi, inflamasi nekrosis, kanker dan trauma juga dapat memicu aktifitas
fibrinolitik. Sehingga tidak rutin digunakan sebagai satu-satunya metode penegakan
diagnosa definitif atau untuk memulai terapi Emboli Paru1.
Tahap penting pada diagnosa klinis menurut studi PIOPED adalah mengenali
penderita yang mempunyai satu dari tiga gejala infark paru, Kor Pulmonal Akut dan
Dispnea Akut12.
2.1.d. Pencitraan
2.1.d.i. Elektrokardiografi
Berguna untuk menyingkirkan infark akut. Kelainan yang umum adalah
perubahan non spesifik (80%). Gambaran overload ventrikel kanan berkisar 76%.
Pada klasik S1Q3 hanya 15%. Inverse gelombang T pada sandapan diagnosis
berhubungan dengan kegawatan emboli paru. Abnormalitas lain berupa
takikardia disertai non – spesifik gelombang ST – T. temuan khas regangan
jantung kanan tampak dari pola klasik SI-Q3-T3 hanya pada penderita yang
terbukti emboli paru sehingga pemeriksaan ini tidak cukup spesifik untuk
menegakkan 7iagnose8.
2.1.d.ii.PEMERIKSAAN FOTO TORAKS
Merupakan prosedur awal pada penderita dengan sesak. Pada studi terbaru
pasien dengan emboli paru tanpa penyakit paru atau jantung yang muncul, hanya
14% foto toraks yang normal.
Gambaran foto toraks :
a) Atelektasis dan densitas parenkimal. Daerah atelektasis sering muncul pada
lobus bawah demikian pula halnya dengan densitas parenkimal. Penyebab
tersering dari densitas tersebut adalah pendarahan dan edema dan dapat
diinterpretasikan sebagai suatu infiltrate akibat infeksi atau keganasan.
b) Efusi Pleura sering muncul unilateral, meskipun kenyataannya gumpalan
darah sering bilateral. Biasanya kecil menutup < 15% hemitoraks and jarang
meningkat ukurannya setelah 3 hari. Peningkatan jumlah efusi setelah 3-4
hari harus dicurigai sebagai infeksi paru atau re-embolisasi.
c) Hampton's Hump yaitu opasitas didasar paru dengan batas medial yang
cembung. Merupakan indikasi infark paru. Daerah perdarahan paru dan
edema membaik dalam beberapa hari sampai satu minggu. Densitas yang
disebabkan daerah infark akan berkurang perlahan setelah beberapa minggu
sampai bulan dan meningkatkan scarlinear.
d) Diafragma bisa meninggi, menunjukkan hilangnya volume paru yang
terkena.
e) Arteri paru sentral bisa menonjol baik akibat hipertensi pulmonal maupun
gumpalan darah pada arteri tersebut.
f) Tanda Westermark menunjukkan daerah yang mengalami penurunan
vaskularisasi dan perfusi akibat pembesaran arteri pulmonal sentral pada sisi
yang terkena
g) Kardiomegali merupakan temuan tidak khas tapi menunjukkan pelebaran
ventrikel kanan
h) Edema paru jarang muncul dan biasanya didiagnosa sebagai edema paru
padahal kenyataannya merupakan daerah infark yang luas. Jadi foto toraks
bisa normal pada sedikit kasus, dan jika muncul suatu kelainan merupakan
tanda tidak khas2,7,17.
2.1.d.iii. VENTILATION / PERFUSION SCANNING
Merupakan model diagnostik yang penting untuk menegakkan diagnosa.
Klasifikasi PIOPED mempermudah penegakan diagnosa dan pengobatan
antikoagulasi dengan interpretasi V/Q scan. Tidak adanya defek perfusi
mempunyai nilai prediksi negatif yang tinggi dan adanya defek perfusi multiple
mismatched mempunyai nilai prediksi positif yang tinggi. Diagnosa definitif
dapat ditegakkan berdasarkan lung scan hanya pada 30% pasien. V/Q scan
umumnya dipakai sebagai alat diagnostik untuk emboli paru dengan spesifikasi
97% dan sensitivitas 41% scan yang normal benar-benar menyingkirkan emboli
paru 100% 18.
2.1.d.iv. SPIRAL COMPUTED TOMOGRAPHY
Mempunyai kelebihan menilai parenkim paru lebih detil dibandingkan
foto toraks. Dapat mendeteksi mulai 2 mm. Sensitivitas dan spesfisitas sangat
tinggi untuk emboli sentral (arteri lobar) yaitu > 95% dibandingkan untuk
subsegmental 80 - 90% dan segmental 65%. Keuntungan lainnya adalah dapat
menegakkan diagnosa alternatif sampai 57%. Pemeriksaan spiral CT dilakukan
segera setelah infus 150 - 200 cc bahan kontras, kemudian dilakukan setinggi
arkus aorta 2 cm di bawah vena pulmonal inferior saat penderita menahan napas
setelah inspirasi penuh. Jika penderita tidak mampu menahan napas selama 20
- 30 detik, pemeriksaan dilakukan saat napas panjang. Masalah yang
menyulitkan pemeriksaan adalah pada penderita dyspnea, interpretasi antara
pemeriksa, pembuluh darah yang berjalan secara oblik atau horizontal pada
lobus medius kanan dan lingual kiri. Gerakan jantung saat bernapas akan
tampak sebagai gambaran filling defects yang menyesatkan demikian pula
konsolidasi daerah unilateral yang luas akan tampak sebagai pseudo filling
defects karena terjadi penurunan bermakna dalam aliran darah pada arteri
pulmonal pada daerah ini. Gambaran infark paru berupa densitas dasar paru
dengan tepi cembung dan garis linier pada apex triangle. Batasnya membesar
pada awal proses karena lobus kedua terisi darah dan cairan edema. Garis linier
di apex biasanya munculdi arteri pulmonal distal terisi gumpalan darah. Pex
seing menonjol, not - wedge shaped. Daerah low attenuation dalam infark
menunjukkan paru yang normal. Gambaran ini tidak spesifik untuk infark
paru6,9. Diagnosis bandingnya berupa infark, perdarahan, pneumonia, fibrosis,
neoplasma, dan edema. Gambaran yang tidak spesifik ini sering menjadi
indikasi klinis pertama bahwa pasien mungkin mengalami embrolie paru. Pada
erah infark kita sering melihat gumpalan darah.
Jadi CT Scan sangat berguna pada pemeriksaan Penderita dengan
dyspnea kronik yang diketahui terdapat hipertensi arteri pulmonal19.
2.1.d.v. MAGNETIC RESONANCE IMAGING
Emboli Paru tampak sebagai peningkatan intensitas pada arteri
pulmonal. Mempunyai sensitifitas 85% spesifitas 96% untuk emboli sentral,
lobar dan segmental tapi tidak adekuat untuk diagnosa emboli subsemen. Tidak
membutuhkan radiasi ionik. Dapat dipakai untuk penderita gagal ginjal dan
dapat juga menentukan fungsi ventrikel. (Ramachandran, 2003).
2.1.d.vi. ECHOCARDIAOGRAPHY
Mempunyai nilai akurasi rendah untuk menegakkan diagnosa emboli
Parusentral dengan sensitivitas 82%, sedangkan emboli perifer 77%,
Pemeriksaan ini menunjukkan disfungsi ventrikel kanan pada emboli paru akut
dan dapat memprediksi mortalitas dan keuntungan terapi trombolitik. Adanya
foramen ovale mengindikasikan resiko kematian yang tinggi atau emboli
sistemik. Mempunyai spesifitas 86% untuk mendiagnosa thrombus sentral8.
2.1.d.vii. ANGIOGRAFI PULMONAL
Merupakan kriteria standar yang aman dan vasif untuk menegakkan
diagnosa emboli paru, harus dilakukan dalam 24-48 false negatif berkisar 1-2%
kasus. Membutuhkan pemasangan kateter dari vena perifer melalui jantung
kanan termasuk atrium kanan, tricuspid dan vertikel kanan masuk arteri
pulmonal. Kateter diarahkan ke arteri pulmonal kanan atau kiri menggunakan
V/Q scan sebagai penuntun. Kemudian disuntikkan kontrak iodine, pemeriksaan
paru dilakukan secara anteroposterios, lateral dan obliq. Hasil positif jika
tampak filling defect atau sharp cut - off dari arteri yang terkena. Emboli non -
oklusi tampak se bagai gambaran tram track. Pemeriksaan V / Q scan yang
abnormal sebelum angiografi akan menuntut pemeriksa untuk mengarah pada
daerah abnormal. Angka kematian kurang dari 0,5% dan angka kesakitan
kurang dari 5% setelah menjalani prosedur tersebut. Penderita dengan hipertensi
arteri pulmonal dan gagal jantung kanan merupakan resiko tinggi. Hasil
angiogram negatif bahkan jika false negatif menyingkirkan dugaan emboli paru
adalah adanya filling defect intraluminal dan vena cabang yang terbuntu. Jika
gumpalan darah tidak ditemukan pada penderita yang terbukti menderita emboli
par uterbukti tidak didapatkan Deep Vein Thrombosis pada ekstremitas bawah.
Angiografi Pulmonal diterima sebagai Gold Standard Test, tetapi invasive dan
sulit diinterprestasikan dan memberikan hasil false negatif. Sehingga kombinasi
CT - Scan Spiral dan USG tungkai memberikan sensitivitas dan spesifitas yang
tepat untuk menyingkirkan emboli paru dan menghindari terapi anticoagulan
yang tidak perlu bagi penderita1,19.
2.1.e. Algoritma diagnostik
Penderita yang diduga mengalami emboli paru berdasarkan anamnese,
pemeriksaan fisik, gas darah dan foto toraks harus menjalani V / Q scan, menunjukkan
defek perfusi Segmen multiple atau besar dengan ventilasi normal, maka kemungkinan
emboli 85% dan terapi dengan heparin dapat dimulai. Pola lain V / Q scan yang tidak
menegaskan diagnosa membuat kita harus mencari thrombus di pembuluh vena kaki.
USG merupakan tes yang tepat untuk memeriksa vena di atas lutut. Vena normal
seharusnya mudah ditekan dan jika tidak berarti terdapat gumpalan daerah pada vena
tersebut, sehingga pasien dapat diterapi2.
Jika hasilnya negatif diagnosa lain harus dipertimbangkan karena kemungkinan
emboli paru mendekati nol2.
2.1.f. Strategi diagnostik
Kombinasi tes D - drimer, USG dan klinis lebih efektif daripada kombinasi
Ventilasi / perfusi Lung scan dan angiografi tidak hanya 70-85% pasien tidak perlu
mengalami prosedur invantif, tetapi biaya pemeriksaan menurun hingga 10 - 20%.
Kriteria Diagnostik Pada Suspek Emboli Paru
- Pulmonary angiogram negatif - Pulmonary angiogram positif
- Scan paru normal
- Kadar D - dimmer < 500 microgram
per liter
- Scan paru low probabilitas dan low
clinical probability assessment
- Scan paru high probability
- Scan paru low intermediate
probality dan USG terdapat DVT
Emboli paru negatif
SUSPECTED PULMONARY EMBOLISM
VENTILATION- PERFUSION SCAN
NORMAL SCAN HIGH PROPABILITY SCAN
CONSIDER OTHER DIAGNOSIS NON DIAGNOSTIC SCAN PULMONARY EMBOLISM
LOW OR MODERATE CLINICAL SUSPICION, ADEQUATE CARDIO-PULMONARY RESERVE
HIGH CLINICAL SUSPICION LOW CARDIO-PULMONARY RESERVE
NON-INVASIFE BILATERAL LOWER EXTERMITAS EVALUATION (US, IRP, MRI)
PULMONARY ANGIOGRAPHY
ABNORMAL RESULT
PULMONARY EMBOLISM NORMAL RESULT ABNORMAL STUDY NORMAL STUDY
LOW CLINICAL SUSPICION MODERATE CLINICAL SUSPICION PULMONARY EMBOLISM
PULMONARY EMBOLISM RULED OUT
SERIAL US OR IPG OVER 1 – 14 DAY PERIOD
NORMAL RESULT
ABNORMAL RESULT CONSIDER OTHER
DIAGNOSIS ANTI COAGULATION
Terapi tromboemboli vena harus segera dimulai jika :
1. Angiogram pulmonal positif, CT dada positif, V/Q scan high probability
2. Diagnosa echocardiografi berupa intracardial
3. Diagnosa echocardigrafi berupa bekuan daerah di arteri pumonal utama, arteri
pulmonal kanan, atau arteri pulmonal kiri dan dilatasi vertikel kanan
4. Diagnosa DVT dengan venogram, compression ultrasound, atau impedance
plethysmography1.
2.1.g. Terapi
Terapi pada penderita PE tergantung pada tempat dan luasnya obstruksi dan
kondisi hemodinamik pasien. Penanganan pertama adalah menghentikan proses
thrombotic dengan pemberian heparin yang sama pada penderita deep vein thrombosis.
Heparin merupakan drug of choice oleh karena mempunyai efek segera, aman, dan secara
spesifik menghambat system koagulasi. Heparin mengkatalisa anti trombón III,
menghambat koagulasi dengan cara menginaktifkan trombin dan factor Xa dan IXa .
Heparin juga menghambat aktivasi factor V dan VIII oleh trombin, Heparin tidak melysis
clot tetapi mencegah pembentukan dan perluasan clot10. Pemberian heparin dilakukan
secara intra vena overlap dengan pemberian warfarin oral selama 4-5 hari karena
prothrombin depletion delay pada saat periode ini. Secara bolus dosis heparin permulaan
sebesar 5000-10.000 U, dilanjutkandengan infus 18 U per kilogram berat badan per jam
atau tidak melebihi 1600 U per jam. Range terapi warfarin terendah ( a protrombin time
1,25-1,5 kali level control atau INR 2-3) masih efektif mencegah recurrent thrombosis.
Warfarin biasanya diberikan dalam dosis 5 mg dan dosis ditentukan berdasarkan INR.
Low Mollecular Weight Heparin (LMWH) dilaporkan memiliki banyak keuntungan
dibanding heparin, diantaranya bioavailability lebih besar, dapat diberikan secara
subkutan, fixed dose, mempunyai duration efek antikoagulan lebih lama dan tanpa
pemeriksaan laboratorium.( monitoring aPTT )5.
Pemberian thrombolytic diindikasikan pada pasien dengan massive PE atau
massive illeo femoral. Pada PE thrombolytic dapat mengakselerasi lysis sehingga
menurunkan tekanan arteri pulmonal dan memperbaiki gangguan fungsi ventrikel
kanan.Tiga thrombolytic agent yang disetujui untuk acute PE di US, yaitu streptokinase
250.000 U dalam waktu 30 menit kemudian dilanjutkan 100.000 U/ jam selama 24 jam
atau recombinant tissue plasminogen activator ( rt-PA ) 100 mg selama 2jam.
Untuk pasien dengan kontra indikasi terapi anti koagulan, gagal dengan
antikoagulan dan pasien dengan resiko tinggi mortalitas oleh karena recurrent PE, dalam
hal ini perlu dipertimbangkan terapi bedah ( surgical embolectomy ) dan intervensi yang
agressif dengan vena cava interruption yaitu, dengan pemasangan vena cava filter
devices secara percutan kedalam vena cava inferior pada level dibawah vena renalis.
Diperlukan pula terapi suportif yang sesuai dengan keadaan klinis pasien, jika
timbul hipoksia arterial suplemen oksigen harus diberikan. Analgesia mungkin juga
diperlukan untuk mengurangi rasa sakit. Terapi cairan untuk pasien dengan hipotensi dan
shock. Sering pasien membutuhkan ventilator mekanis oleh karena kerja pernafasan yang
tinggi, peningkatan dead space dan asidosis metabolik.
Alur Terapi PE Berdasarkan V/Q Scan
Dikutip Dari Chessnuts M.S 2001
2.1.h. Profilaksis
Profilaksis pada PE merupakan tindakan penting oleh karena kelainannya sulit
dideteksi dan terapi tidak seluruhnya berhasil. Pada pasien rawat inap profilaksis dapat
menurunkan morbiditas dan mortalitas PE20. Keuntungan profilakis tidak hanya pada
pasien bedah tetapi juga pada pasien medik. Profilaksis juga telah terbukti efektif dan
aman pada pasien thromboemboli dengan stroke ischemia, gagal jantung dan infeksi
paru.
Metode profilaksis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : physical dan
pharmacologic, metode physical membantu menurunkan stasis vena yang terdiri dari :
elastic and gradual stocking compression, compression pneumonic intermittent, dan early
ambulatoir. Metode pharmacologic meliputi : pemberian secara subcutan LMWH
overlap dengan pemberian warfarin oral selama 4 – 5 hari, kemudian dilanjutkan
warfarin dan anti platelet drug selama 3 – 6 bulan.
2.1.i. Komplikasi
Penyulit yang ditimbulkan oleh adanya emboli par adalah kematian mendadak,
syok obstruktif, aritmia, Hipertensi Pulmonal Sekunder, Kor Pulmonale, Hipoksemia,
Infark Paru, Efusi Plera dan embolisme paradoksal6. Emboli paru yang kecil akan diikuti
pengeluaran faktor humoral yang akan mengakibatkan ekstravasasi cairan melalui
membrane kapiler paru maupun akibat pelebaran pembuluh prekapiler yang disertai
peningkatan tekanan hidrostatik.
2.1.j. Progranosis
Tergantung pada beberapa faktor yaitu kondisi penyakit dasar sebelumnya dan
penegakan diagnosa serta saat pemberian terapi yang tepat. Pada hari ke lima terapi
anticoagulan, 36% kerusakan berdasarkan scan paru pulih, terapi pada minggu kedua
52% pulih, pada terapi bulan pertama 73% pulih. Angka kematian Emboli Paru yang
tidak terdiagnosa adalah 30%. Angka kematian 1 tahun berkisar 24% yang diakibatkan
penyakit jantung, emboli paru berulang, infeksi dan keganasan6.
2.2. ARDS
ARDS adalah suatu sindroma dengan bentuk kegagalan respirasi akut yang dapat
terjadi pada semua kelompok umur dan sering bersifat fatal, akibat kerusakan paru akut
karena berbagai macam gangguan yang mempunyai bentuk perubahan yang sama tanpa
kelainan paru yang mendasari sebelumnya, sehingga terjadi gangguan pertukaran gas pada
tingkat alveolar. Hal ini menunjukkan adanya kerusakan pada parenkim paru yang luas
disertai edema interstisial oleh berbagai sebab tanpa peningkatan tekanan hidrostatik
karena kelainan jantung.21,22,23,24
Karena ARDS dapat terjadi dalam latar belakang klinis yang luas, dan merupakan
diagnosis klinis primer, hal ini menyebabkan penggunaan sejumlah definisi oleh klinisi
maupun peneliti. Namun sejak tahun 1994 The American European Consensus Conference
Committee merekomendasikan definisi baru ARDS dan ALI sebagai syndrome inflamasi
dan peningkatan permeabilitas yang berhubungan dengan sekumpulan kelainan klinis,
radiologis dan fisiologis yaitu adanya infiltrate paru dan gangguan oksigenasi dengan latar
belakang onset akut gagal nafas25,26,27.
Meskipun sindrom ini dikenal dengan banyak nama lainnya, sepert wet lung, shock
lung, Adult Hyalin Membrane Disease, Stiff Lung syndrome, Post Traumatic Pulmonale
Insufficiency, Ventilator Lung dan Pump Lung, aspiration pneumonia, congestive
atelectase namun istilah ARDS lebih banyak diterima.25,28
Tabel 1. Definisi ARDS dan Acute Lung Injury (ALI) menurut American-European
Consensus Conference.26,29,30
Acute Lung Injury (ALI)
• Kegagalan respirasi dengan onset yang akut
• Terdapat infiltrat pada dada bilateral yang terlihat pada rontgen dada
• Tidak terdapat peningkatan tekanan jantung kiri, tidak ada bukti terjadinya
gagal jantung ( Pulmonary Artery Occlusion Pressure/PAOP < 18 mmHg )
• PaO2/FIO2 < 300 mmHg
Acute Respiratory Distress Syndrome
• Kegagalan respirasi dengan onset yang akut
• Terdapat infiltrat pada dada bilateral yang terlihat pada rontgen dada
• Tidak terdapat peningkatan tekanan jantung kiri, tidak ada bukti terjadinya
gagal jantung ( Pulmonary Artery Occlusion Pressure/PAOP < 18 mmHg )
• PaO2/FIO2 < 200 mmHg
2.2.a. Etiologi
ARDS terjadi jika paru-paru terkena cedera baik secara langsung maupun tidak
langsung oleh berbagai proses. Etiologi ARDS pada bayi berbeda dengan dewasa
dimana penyebab pada bayi berhubungan erat dengan imaturitas sedang pada dewasa
menyertai penyakit yang berat misalnya trauma, emboli lemak, pneumonia karena
aspirasi, atau virus, sepsis, gagal ginjal akut, polusi atau intoksikasi gas yang berat,
serta operasi jantung terbuka. Dari sumber yang lain dikatakan bahwa ARDS ini
merupakan suatu kegawatan yang disebabkan oleh berbagai proses yang akut baik
secara langsung maupun tidak langsung mencederai paru, misalnya sepsis, infeksi
primer virus atau bakteri, aspirasi isi lambung, trauma dada secara langsung, syok yang
berkepanjangan, luka bakar, emboli lemak, near drowning, transfusi darah masif,
cardiopulmonary bypass, keracunan Oksigen, pankreatitis hemoragik akut, terhirup
asap atau gas beracun dan akibat over dosis beberapa macam obat seperti narkotik, obat-
obat sedatif, atau aspirin (jarang). Insiden ARDS diperkirakan > 30 % dengan sepsis.
27,31,32,33
Masih belum jelas diketahui mengapa ARDS yang mempunyai sebab
bermacam-macam dapat berkembang menjadi sindrom klinis dan patofisiologis yang
sama. Penyebab dari ARDS ini bisa disebabkan karena kelainan paru itu sendiri maupun
penyebab dari faktor ekstrapulmoner. Beberapa keadaan yang sering mengakibatkan
ARDS dimuat dalam tabel 2.27,28
Secara klinis faktor-faktor risiko yang bisa menyebabkan terjadinya ARDS
dapat diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok, yaitu secara langsung (direct) dan tidak
langsung (indirect). Faktor risiko langsung antara lain pneumonia (46 %), Aspirasi isi
lambung (29%), kontusio pulmonum (34 %), emboli lemak, near drowning, trauma
inhalasi, reperfusion injury. Sedangkan faktor risiko tidak langsung antara lain sepsis
non-pulmonum (25%), trauma multiple (41 %), transfusi masif (34 %), pankreatitis (25
%), cardiopulmonary bypass.27,31
Petunjuk umum penyebab edema alveolar yang khas agaknya berupa cedera
membran kapiler-alveolar yang menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler.
Penyelidikan dengan mikroskop elektron menunjukkan pembatas udara-darah terdiri
dari pneumosit tipe I (sel-sel penyokong) dan pneumosit tipe II (sumber surfaktan)
bersama-sama dengan membran basalis dari sisi alveolar. Pembatas tersebut
bersinggungan dengan membran basalis kapiler dan sel-sel endotel. Selain itu, alveolus
juga memiliki sel-sel jaringan pengikat yang bekerja sebagai pembantu dan pengatur
volume. Membran kapiler alveolar dalam keadaan normal tidak mudah ditembus
partikel-partikel. Tetapi dengan adanya cedera maka terjadi perubahan pada
permeabilitasnya, sehingga dapat dilalui oleh cairan, sel darah merah, dan protein
darah. Mula-mula cairan akan berkumpul di dalam alveolus, sehingga mengakibatkan
atelektasis kongestif. Tempat-tempat lemah tampaknya pada interdigitasi (ruang-ruang
kecil selebar kira-kira 60 A) antar endotel kapiler yang melebar, sehingga partikel-
partikel kecil dapat masuk, dan terjadi perubahan dalam tekanan onkotik.25,26
Di samping itu, perubahan-perubahan dalam sistem surfaktan dapat dipastikan
memegang peranan penting dalam mikroatelektasis difus. Injuri yang terjadi tidak
homogeneus dan mempengaruhi keseluruhan zona paru yang dependent. Antara 2 – 3
hari, interstitial dan bronkoalveolar berkembang menjadi inflamasi, kemudian sel-sel
epitelial dan interstitial berproliferasi. Kemudian jaringan kolagen terbentuk dengan
cepat, menghasilkan fibrosis interstitial yang berat antara 2 – 3 minggu. Dengan
mikroskop cahaya dapat terlihat materi-materi protein yang membentuk membran
hialin yang melapisi alveolus. Gambaran patologi ini mirip dengan sindroma distres
pernafasan yang terjadi pada bayi. Perubahan-perubahan patologik ini akan
mengakibatkan penurunan compliance paru, penurunan fungsional Residual Capasity,
ketidakseimbangan rasio Ventilasi/Perfusi, peningkatan physiologic dead space,
hipoksemia berat dan hipertensi pulmoner. Akibat dari edema difus dan atelektasis ini
juga akan terjadi pirau intrapulmoner yang nyata, yang dapat mempengaruhi lebih dari
40% curah jantung.25,27
Tabel 2. Keadaan-keadaan yang Dapat Menyebabkan terjadinya ARDS 34
Syok
Semua tipe
Trauma
Trauma paru langsung
Trauma non torakal
Fraktur tulang iga
Inhalasi Zat yang Berbahaya
Aspirasi isi lambung
Near drowning (air tawar maupun air laut)
Gas iritan
Inhalasi asap
FiO2 tinggi (>50%-60%)
Infeksi
Pneumonia oleh karena virus maupun bakteri
Septikemia
Overdosis Obat
Heroin
Metadon
Asam asetilsalisilat (aspirin)
Barbiturat
Colchicine
Propoxyphene (Darvon)
Chlordiazepoxide (Librium)
Kelainan Hematologi
Transfusi darah yang masif
Disseminated Intravascular Coagulation
Prolonged Cardiopulmonary bypass
Thrombotic thromocytopenic purpura
Leukemia
Kelainan Metabolik
Ketoasidosis diabetik
Uremia
Pankreatitis
Lain-lain
Eklampsia
Emboli udara atau cairan amnion
Radiasi
Heat Stroke
2.2.b. Patofisiologi
Akibat injury pada endotel kapiler paru akan terjadi kebocoran cairan kapiler
yang kaya protein dan mengakibatkan gangguan pada surfactant mengakibatkan
sembab interstisial dan alveolar. Selanjutnya dinding alveoli menjadi lebih tebal karena
dinding sel alveoli yang sudah rusak yaitu sel-sel alveoli tipe I diganti oleh sel kuboid
mikrovillius tipe II. Jaringan interstitial terisi sel radang dan sel-sel yang lain sementara
itu banyak alveoli yang terisi oleh debris-debris, cairan protein dan darah. Keadaan
yang sering dijumpai adalah adanya membrane hialin, focal atelectasis dan
mikroemboli pada kapiler sehingga tampak jaringan paru yang fibrosis dan obliterasi,
termasuk mikrovaskulernya. Perubahan ini mengakibatkan penurunan kapasitas
fungsional residu paru, kenaikan shunt dan penurunan compliance paru serta
hipoksemia berat. Sehingga pada ARDS yang telah lanjut, meski dengan pemberian
oksigen 100% tidak akan memperbaiki status hipoksemianya. Penurunan surfactant
yang abnormal masih diperdebatkan dan dari pemeriksaan cairan bilasan
bronkoalveolar didapatkan banyak agregasi abnormal dan surfaktan-surfaktan yang
inaktif25,26.
Makroskopis tampak paru menjadi lebih berat dan bengkak, bila dipotong
permukaan paru terdapat cairan hemoragis. Mikroskopis tampak adanya focal
atelectasis, emboli serta penebalan dinding alveoli. Dan banyal alveoli yang berisi
cairan menyerupai protein dan hemoragis, emboli lemak juga sering ditemukan.30
Patogenesis kerusakan paru pada ARDS masih kontroversial, karena sangat
kompleks dan bersifat multifaktoral.Tapi setidaknya konsep kebocoran kapiler non
kardiogenik dan respon inflamasi tidak terkontrol masih banyak diterima oleh kalangan
ahli.Respon hipoksia dan tingginya AaDO2 terhadap terapi peningkatan FiO2
sebanding dengan tingkat shunting arteri-vena paru. Beberapa studi binatang dan klinis
manusia postmortem berhasil menegakkan beberapa hipotesis tentang mekanisme atau
factor-faktor umum sebagai mediator kejadian kerusakan paru akut pada ARDS. Dalam
hipotesis aktivasi komplemen dan makrofag, diduga aktivasi inilah yang mengawali
kejadian ARDS yang mana akan menghasilkan komplemen dan mediator makrofag
seperti Tumor Necroting Factor (TNF), Interleukin dan Platelet Activating Factor
(PAF) yang memacu lekosit-PMN dan netrofil beragregasi dan menempel pada endotel
kapiler melalui pembebasan radikal bebas (superoksida).Agregat ini juga menghasilkan
protease yang bersama dengan aktivasi asam arakhidonat oleh tromboksan A2,
prostasiklin dan leukotrin menghancurkan struktur-struktur protein, misalnya kolagen,
elastin, fibronektin yang merupakan struktur dasar jaringan paru. Selain itu enzim
lisosomal (yang sebagian dihasilkan oleh agregat dari jaringan nekrotik/terinfeksi) juga
berperan dalam kerusakan struktur mitokondria dan pembengkakan endotel, sehingga
endotel-endotel saling lepas dan ruang intersel membesar progresif. Antiprotease
Pulmoner yang normal (1 antitripsin) diinaktivasi oleh radikal superoksid yang
menambah kerusakan paru. Pada ARDS edema paru dapat terjadi bila ada perubahan-
perubahan tiap aspek dari hukum Starling.26,30,32
Hukum Starling : Q = K (Pc – Pt) - d ( c-t )
Q = kecepatan filtrasi melewati membran kapiler
K = koefisien filtrasi
d = Koefisien refleksi
Pc = tekanan hidrostatik kapiler
Pt = tekanan hidrostatik interstisial
c = tekanan onkotik kapiler
t = tekanan onkotik interstisial
Secara sistematis urutan-urutan perubahan patofisiologi dapat dibagi dalam 4 fase
sebagai berikut35 :
a) Fase pertama : terjadi pembengkakan dan kerusakan mitokondria pada sel-sel
endotel, sehingga berlanjut terjadi pembengkakan dan terlepasnya sel-sel tersebut
dengan sel-sel yang berdampingan, menyebabkan ruang interseluler membesar
progresif.
b) Fase kedua : edema interstisiel meningkat, cairan keluar dari kapiler ke interstisiel
melalui defek antara sel endotel kapiler paru, sehingga paru menjadi lebih kaku
dan sukar diventilasi, mengurangi difusi oksigen, dan menyebabkan
pembengkakan mukosa bronkiolus yang selanjutnya cenderung menjadi
atelektasis.
c) Fase ketiga : meningkatnya atelektasis kongestif (secara klinis masalah pernapasan
biasanya terlihat). Kapiler paru menjadi lebih progresif dan terisi dengan sel darah
merah, dan dijumpai mikroatelektasis difus berat seluruh paru. Kerusakan endotel
dapat begitu hebat hingga sel darah merah bermigrasi masuk interstitiel
menyebabkan perdarahan peribronkial.
d) Fase keempat : kerusakan berlanjut ke sel- sel alveoli sehingga cairan masuk ke
dalam alveoli. Protein terutama fibrinogen ada dalam cairan ini dan dapat meng-
inaktifkan surfaktan, yang akan memperparah atelektasis. Bila penderita hidup
cukup lama, protein dan debris lainnya yang ada dalam alveoli akan mengendap
sebagai membran seperti hialin. Pneumonitis kemudian dapat terjadi akibat infeksi
lokal. Peningkatan atelektasis dan cairan alveoli merupakan media yang ideal
untuk pertumbuhan dan infasi kuman.
Dalam kepustakaan yang lain dijelaskan bahwa perjalanan penyakit / patogenesis ARDS
umumnya dikarakteristikkan menjadi 3 fase: 25,26,27
1) fase eksudasi ( initial phase )
2) fase proliferasi ( sub-acute )
3) fase fibrosis ( chronic )
Fase eksudasi (initial phase).
Terjadi pada hari ke 3-5. Dikarenakan adanya kerusakan alveolar yang difus
(Terjadinya kerusakan epitel alveolar dan endotel kapiler akan menyebabkan kebocoran
air, protein, terjadi proses inflamasi, yang akan menyebabkan eritrosit masuk ke
jaringan interstitiel dan lumen alveolar). Trauma pada endotel menyebabkan
peningkatan permeabilitas sehingga terjadi eksudasi cairan yang banyak di alveolus.
Terbentuk infiltrat di kedua lapangan paru. Terjadi proses inflamasi yang melibatkan
sel netrofil, juga perpindahan material semisolid dari darah ke jaringan paru
membentuk suatu membran hialin (pada bayi baru lahir menimbulkan suatu kelainan
yang disebut hyalin membrane disease). Kelainan yang tampak juga merupakan
aktifitas sitokin dan enzim lainnya. Dapat terjadi pemulihan atau berlanjut ke fase
proliferasi (sub-acute)
Fase proliferasi (sub-acute).
Terjadi setelah 5-7 hari. Pada fase ini terjadi proliferasi sel dengan regenerasi sel epitel, reaksi
fibroblastik dan remodeling. Terjadi peningkatan alveolar dead space dan penurunan
compliance paru yang menetap. Timbul penyumbatan dan penghancuran pada mikrosirkulasi
paru. Pada fase inipun masih mungkin untuk terjadi pemulihan. Jika tidak berhasil, maka akan
berlanjut ke fase fibrosis yang bersifat kronik.
Jaringan penyambung dan elemen-elemen struktural lainnya dalam paru berproliferasi atas
respon terhadap injuri awal, termasuk perkembangan dari sel-sel fibroblast. Dengan mikroskop
terlihat jaringan paru tampak sel-selnya memadat. Istilah “stiff lung” atau “shock lung” cocok
untuk fase ini. Dua sampai empat minggu setelah trauma paru, ketidaknormalan ruang udara
(air spaces) dan jaringan fibrotik (scarring) meningkat dengan jelas. Saat ini mudah terjadi
pneumothoraks akibat barotrauma atau volutrauma pada penggunaan ventilator. Saat ini juga
rentan untuk terjadi pneumonia dan bakteremia yang berlanjut menjadi sepsis. Banyak yang
meninggal pada fase ini akibat MOF (multiple organ failure) dan komplikasi infeksi. Fase ini
berlangsung 3 – 10 minggu. Dua fase pertama ini merupakan masa kritis yang menentukan
hidup atau matinya penderita yang terjun ke ARDS.
Fase fibrosis (chronic) dan Pemulihan (Healing stage)
Terjadi setelah 14 hari. Pada beberapa penderita yang berat atau lama tidak terjadi
perbaikan pada paru -paru , akan timbul jaringan parut akibat deposisi jaringan kolagen di
alveolus, pembuluh darah dan jaringan intersititial. Paru – paru menjadi tidak elastik sehingga
penderita menjadi lebih sulit bernafas. Dapat terjadi resolusi yang lengkap, tetapi lebih sering
menimbulkan sisa fibrosis.
Paru mengalami perbaikan dan pemulihan pada fase ini, yaitu terjadi suatu resolusi dari
inflamasi, debris-debris sel, dan berkurangnya fibrosis. Terapi oksigen dari ventilasi mekanik
memungkinkan berhasil. Fungsi paru dapat berlanjut menjadi bertambah baik dalam waktu 6
– 12 bulan sesudah onset gagal napas, tergantung dari beratnya kondisi penyakit dan beratnya
trauma awal yang terjadi.
Mekanisme cedera paru-paru akut tidak diketahui. Bone (1984) telah memeriksa sejumlah
mediator kimiawi yang berkaitan dengan patogenesis ARDS. Faktor-faktor ini terdiri dari
prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, hasil-hasil pemecahan fibrin, dan enzim-
enzim trombosit serta leukosit, yang diamati terdapat dalam jumlah abnormal dalam darah
atau sekret, atau pada paru-paru hewan atau manusia setelah mengalami sebab-sebab yang
dapat menimbulkan ARDS. Hubungan antara mediator-mediator yang dicurigai ini dengan
gangguan pada permeabilitas kapiler masih belum diketahui.28
Meskipun kerusakan paru pada ARDS masih kontroversial, namun dari hasil studi
beberapa binatang dan klinis manusia post mortem berhasil menegakkan beberapa hipotesis
yaitu diantaranya hipotesis “aktivasi komplemen dan makrofag” dan hipotesis “fibrinolisis
dan agregasi platelet”. Kedua hipotesis ini paling diterima dan tampaknya memang
merupakan mekanisme umum yang lebih mengacu pada dua kejadian penyebab ARDS
yang terbanyak yaitu sepsis dan trauma (dengan DIC).25,27
Gambar 1. Skema Patofisiologi ARDS 25
Kegagalan respirasi
Trauma
Gangguan Sel Tipe II
Endotel kapiler
Sel tipe I
Kebocoran kapiler pulmonal inaktivasi surfaktan
Edema alveolar dan interstisial Atelektasis Diferensiasi menjadi
Sel tpe I
Shunt, Complance menurun FRC menurun
Hipoksemia
Fibrosis pulmonar
Obliterasi mikrovaskular perbaikan membran kapilerr
Sepsis
Kegagalan multi organ
Kematian
2.2.c. Gambaran Klinis dan Diagnosis
Gejala klinik awal ARDS mungkin bervariasi. Tergantung proses penyakit dasar
penderita dan juga kondisi secara umum dari penderita. Penegakan diagnosis ARDS
tergantung juga dari amamnesis klinis yang tepat. Gambaran primer dari ARDS meliputi
pirau intra pulmoner yang nyata dengan hipoksemia, berkurangnya daya kembang
(compliance) paru-paru yang progresif, dan dispnea (napas dangkal) dan takipnea yang
berat akibat hipoksemia dan bertambahnya kerja pernapasan sekunder terhadap
penurunan daya kembang paru-paru. Kapasitas residu fungsional juga berkurang.
Gambaran-gambaran ini merupakan akibat edema alveolar dan interstisiel. Akibatnya
timbul paru-paru yang kaku dan sukar berventilasi. Pada penderita mungkin tampak
adanya retraksi intercostal dan suprasternal. Pada auskultasi dapat terdengar krepitasi,
ronkhi atau whezzing, atau bahkan bisa terdengar normal. Ciri khas dari ARDS ini adalah
penderita tampak sianotik dan hipoksemia yang tidak dapat diatasi dengan pemberian
oksigen selama bernafas spontan. Kesadaran penderita mungkin berubah/gelisah, dan
juga penderita biasanya takikardi serta mengalami hipotensi/syok (hal ini akan diikuti
kegagalan fungsi organ). Gambaran klinis lengkap dapat bermanifestasi 24 – 48 jam
setelah cedera. 28,29,33,36
Diagnosis dugaan telah terjadinya suatu ARDS dapat ditegakkan melalui
pemeriksaan analisa gas darah (AGD) dan foto thoraks. Hasil AGD awalnya
menunjukkan suatu alkalosis respiratorik yang akut : PaO2 yang sangat rendah, PaCO2
normal atau menurun, dan peningkatan nilai pH darah. Aa-DO2 meningkat, juga ratio
PaO2/FiO2 = 150 atau kurang. Foto thoraks biasanya menunjukkan infiltrat alveolar difus
bilateral, yang gambarannya mirip dengan edema paru akut pada gagal jantung, namun
gambaran jantung biasanya masih dalam batas normal. Pada pasien dengan penyakit
dasar di paru-paru, perubahan fokal mungkin terlihat sejak awal pada foto thoraks.
Namun pada pasien yang tidak mempunyai penyakit dasar di paru-paru, dari hasil foto
thoraks awal mungkin tidak spesifik atau mirip dengan gambaran congestive heart failure
dengan efusi ringan. Perkembangan selanjutnya terjadi edema pulmoner interstitiel
dengan infiltrat yang difus (gambar 1). Bila perjalanan penyakit berkembang secara
progresif, akan terlihat gambaran opak alveolar dan retikuler difus bilateral (gambar 2).
26,27,29,33
Perjalanan ARDS yang merupakan edema paru non kardiogenik, dapat dibagi
menjadi 4 tahap gambaran klinis yaitu 25,32 :
a) Tahap 1 (Cedera dan Resusitasi). Pada tahap ini terjadi injuri yang berat ditandai
dengan gangguan metabolisme dan perfusi jaringan. Karakteristik ditandai dengan
adanya alkalosis respiratorik akibat hiperventilasi (PaCO2 30-40 mmHg). PaO2
mungkin sedikit menurun atau normal dan A-aDO2 dengan udara kamar meningkat
sedikit atau sedang antara 20-40 mmHg. Tidak dijumpai kelainan pada pemeriksaan
radiologik, kadang-kadang hanya dijumpai kongesti atau atelektasis yang minimal.
b) Tahap 2 (Respiratory distress subklinik). Hiperventilasi terus berlangsung atau
sedikit lebih meningkat lagi, dengan PaCO2 25-35 mmHg. A-aDO2 udara kamar
meningkat 35-50 mmHg tetapi masih sedikit atau tidak ada masalah pernafasan.
Tahap ini disebut free interval dimana tekanan darah, perfusi jaringan dan fungsi
ginjal masih normal. Secara radiologis mungkin masih normal, atau ada infiltrat
difus yang minimal yang sesuai dengan daerah atelektasis kecil yang multipel dan
bendungan paru atau awal edema paru.
c) Tahap 3 (Respiratory Distress yang jelas). Hiperventilasi bertambah dan penderita
tampak mengalami gangguan pernafasan secara klinik. Kesannya timbul secara
mendadak. PaCO2 turun sampai 20-35 mmHg, PaO2 mulai menurun 50-60 mmHg
atau lebih rendah, A-aDO2 sering 40-60 mmHg atau lebih besar, shunting paru 20-
40% atau lebih. Pada foto thoraks tampak edema paru dan infiltrat difus bertambah
progresif. Kondisi pasien sangat gawat tetapi belum irreversible.
d) Tahap 4 (Gagal nafas berat). Insufisiensi menjadi berat dengan meningkatnya
akumulasi CO2 dalam darah. Pada tahap ini jumlah kapiler paru yang berfungsi
menurun drastis. Dipakai parameter PaCO2, sebab pada keadaan normal CO2
dikeluarkan dengan mudah sesuai dengan ventilasi alveolar. Manifestasi klinisnya
adalah dispnoe, takipnoe dan penurunan PaO2 yang cepat sehingga membutuhkan
bantuan ventilasi dengan tekanan tinggi. Ini merupakan kondisi yang fatal dan dapat
meninggal dalam 48 jam bila tidak diterapi. Pada tahap ini asidosis metabolik
bertambah berat dan penderita sangat memerlukan peningkatan konsentrasi Oksigen
untuk mempertahankan PaO2 diatas 60 mmHg. Shunting lebih besar dari 50-60 %
dan paru benar-benar gambaran opak pada foto thoraks.
Pada stadium terminal sesak nafas bertambah berat dengan penurunan volume tidal
dan kenaikan PCO2, hipoksemia berat, asidosis metabolik karena adanya hipoksia serta
tekanan darah sulit dipertahankan dan timbul gangguan kesadaran. 25,26
Penyulit yang memperberat keadaan ini adalah syok, sepsis, gagal ginjal akut atau
nekrosis tubular akut, kegagalan hati, hipoalbuminemia, hiponatremia, serta kelainan
metabolik yaitu asidosis metabolik. 25,27
Kriteria untuk menegakkan diagnosis untuk ARDS ini dilihat dari gambaran klinis,
pemeriksaan fisik dan penunjang seperti terlihat pada tabel 3.
Tabel 3. Kriteria Diagnosis ARDS 25
A. Gambaran Klinis
1. Catastrophic event
a. Pulmoner
b. Non pulmoner (contoh: syok)
2. Eksklusi
a. Penyakit paru kronis
b. Abnormalitas jantung kiri
3. Respiratory Distress (dibuktikan secara klinis)
a. Takipnoe > 20 kali permenit
b. Sulit bernafas
B. Foto Thoraks : Infiltrat paru yang difus
1. Interstisial (pada fase awal)
2. Alveolar (fase lanjut)
C. Fisiologik
1. PaO2 <50 mmHg dengan FiO2 >0,6
2. Compliance keseluruhan <50 ml/cm, biasanya 20-30 ml/cm
3. Peningkatan fraksi shunt Qs/Qt dan ventilasi deadspace Vd/Vt
D. Patologik
1. Paru-paru berat, biasanya >1000 gram
2. Atelektasis kongestif
3. Membran hyalin
4. Fibrosis
Secara ringkas kriteria diagnosis ARDS adalah sebagai berikut (Rinaldo) :
a) Adanya infiltrat difus pada foto toraks
b) Rasio oksigen arterial dan alveolar <0,3
c) Tekanan baji arteri pulmonal <18 mmHg
d) Total komplemen statik torak <40 ml/cmH2O
Ada juga yang menggunakan skore Trauma Paru Akut (Acute Lung Injury), dimana bila
nilai > 2,5 berarti merupakan trauma paru berat (ARDS). Gagal organ multipel sering
menyertai dan bahkan lebih dari 75% penderita ARDS meninggal justru lebih diakibatkan
oleh gagal organ multipel ini dibandingkan dengan disfungsi parunya sendiri.25
Tabel 4. Scoring System for ARDS :
Ω Chest Roentgenogram score
• No alveolar consolidation
• 1 quadran consolidation
• 2 quadran consolidation
• 3 quadran consolidation
• 4 quadran consolidation
Ω Hypoxemia score
• PaO2/FiO2 ≥ 300
• PaO2/FiO2 225 – 299
• PaO2/FiO2 175 – 224
• PaO2/FiO2 100 – 174
• PaO2/FiO2 ≤ 100
Ω Compliance (when ventilated) (ml/cmH2O)
• ≥ 80
• 60 – 79
• 40 – 59
• 20 – 39
• ≤ 19
Ω PEEP required ~when ventilated (cmH2O)
• ≤ 5
Score
0
1
2
3
4
0
1
2
3
4
0
1
2
3
4
0
• 6 – 8
• 9 – 11
• 12 – 14
• ≥ 15
Final value is obtained by dividing the aggregate sum by the number
of components used.
Score
- No injury
- Mild to moderate injury
- Severe injury
1
2
3
4
0
0,1 – 2,5
> 2,5
Tabel 5. Definisi ARDS (Berlin 2012) :
2.2.d. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: 25
a) infeksi paru
b) emboli dan infark paru
c) barotrauma akibat PEEP
d) pendarahan gastro intestinal, ileus, distensi maupun pneumoperitoneum
e) kardiovaskuler: aritmia, hipotensi, penurunan curah jantung
f) kegagalan multi organ
2.2.e. Prognosis
Prognosisnya kurang baik karena mortalitasnya masih tinggi walaupun dengan
terapi yang intensif. Penderita yang bisa bertahan hidup biasanya waktu rata-rata 2
minggu sejak terjadinya ARDS sampai terjadi pemulihan, dan ternyata setelah
dievaluasi fungsi paru mereka sudah terjadi kecacatan. Angka mortalitas sekarang
sekitar 32-45 %, dibandingkan dengan 53-68 % pada tahun 1980-an. Penyebab
kematian akibat MOF yang progresif lebih sering dibandingkan karena masalah pada
respirasinya sendiri. Populasi tertinggi kematian akibat ARDS adalah pada mereka
yang mempunyai kelompok umur tua, immunocompromise persons, dan pasien
dengan penyakit hati kronis. 26,36
2.2.f. Penatalaksanaan
Target utama pengelolaan penderita ARDS adalah mengembangkan alveoli secara
optimal untuk mempertahankankan gas arteri dan oksigenasi jaringan yang adekuat,
keseimbangan cairan dan asam basa serta sirkulasi yang memadai sampai integritas
membran kapiler utuh kembali. Selain itu juga ditujukan untuk mengatasi faktor-
faktor pencetus dan hal-hal lain serta memberikan terapi penunjang. Ventilasi
selalunya diberikan melalui oro trakeal intubasi atau dengan trakeostomi apabila
terdapat ventilasi untuk jangka masa yang panjang yaitu lebih dari 2 minggu.25,27
Faktor-faktor penting dalam pengobatan ARDS setelah trauma, syok, atau sepsis
berat adalah sebagai berikut:32
a) Mengendalikan masalah primer
b) Dehidrasi progresif hati-hati sementara perfusi jaringan dipertahankan
dengan baik.
c) Distensi optimal alveoli untuk meningkatkan kapasitas residu fungsional
dan mengoreksi atelektasis progresif.
2.2.f.i. Ventilasi Mekanik pada ARDS
Pasien dengan kegagalan respiratorik dengan hipoksemia akut, dan
peningkatan usaha nafas, memerlukan ventilasi mekanik. Apabila dengan
penggunaan oksigen nasal/sungkup hasil pemeriksaan gas darah PaO2 <50
mmHg, maka sebaiknya dilakukan intubasi dan pemasangan ventilator
mekanik2,4. Jika oksigenasi tidak dapat dipertahankan pada tingkat yang
adekuat dengan FiO2 60%, maka digunakan PEEP (positive end expiratory
pressure), oleh karena PEEP dapat membantu mempertahankan paru tetap
terbuka pada daerah yang kolaps dan sebagian meningkatkan/memperbaiki
penurunan kapasitas residu fungsional, jadi memperbaiki transpor oksigen
melalui paru. Penggunaan PEEP pada stadium awal mungkin dapat sebagai
profilaksis dalam mencegah ARDS.25,31,36,37
Efek samping yang kurang menguntungkan pada penggunaan PEEP
adalah penurunan curah jantung karena berkurangnya venous return,
peninggian tekanan intrapleura, resistensi kapiler meningkat serta
komplikasi barotrauma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, dan
emfisema subkutan.25,26,34,38
Secara konvensional, dulu pengelolaan ini menggunakan IPPV
(Intermittent Positive Pressure Ventilation) siklus volume dengan
pengaturan volume tidal yang besar (12 ml/kgBB) dengan tujuan untuk
mendapatkan oksigenasi sebesar-besarnya dalam rangka mengejar
hipoksemia yang terjadi, mengatasi penurunan compliance paru dan untuk
mendorong cairan inter dan intra alveolar kembali ke dalam kapiler. Namun
menurut studi terakhir, ternyata untuk mendapatkan volume tidal sebesar itu
dibutuhkan aplikasi tekanan yang sangat tinggi dengan konsekuensi akan
terjadi ekspansi berlebihan dari sisa paru yang masih mempunyai compliance
dan mampu melakukan pertukaran gas. Sebab ternyata injuri ARDS
meskipun difus tetapi sifatnya tidak seragam. Hanya sebagian kecil paru
yang terisi udara, sehingga bila diberikan volume tidal yang besar, maka
sama saja dengan memberikan 4 kali volume tidal ini pada paru yang masih
mempunyai compliance tersebut. Saat ini penanganan ARDS dengan tidal
volume yang besar yang dikombinasi dengan peak airway pressure (P peak
= tekanan puncak inspirasi) yang tinggi seharusnya dihindari. Penggunaan
tidal volume yang dianjurkan sebesar 6 mL/kgbb dan mempertahankan
plateau pressure atau p peak < 30 cmH2O akan menurunkan angka mortalitas
sebesar 9 % (dibandingkan menggunakan tidal volume 12 mL/kgbb).26,34,36,38
Kepustakaan lain menyebutkan bahwa penggunaan tidal volume yang kecil
akan menurunkan angka kematian dari 40 % menjadi 31 %. 31,33
Terdapat bukti-bukti peak airway pressure (P peak) yaitu tekanan
puncak inspirasi bila terlalu tinggi dapat merusak endotel dan menambah
edema paru tipe high permeability pada ARDS. Pertimbangan inilah yang
menyebabkan perubahan strategi ventilasi mekanik ke arah modus pressure
control dengan inverse ratio ventilation (PC-IRV). 25,26,27,31 Pada modus ini
terdapat pembatasan P peak sehingga volume tidal yang dicapai juga
kecil/terbatas. Sehingga untuk mencapai 3 tujuan dukungan ventilasi
mekanik dibutuhkan PEEP dan pembalikan rasio inspirasi : expirasi.26 PEEP
dapat membantu pemulihan alveoli yang kolaps dan mempertahankannya
agar tetap terbuka dan mengembalikan sebagian FRC yang menurun,
sehingga akan memperbaiki transpor O2 dalam paru. Biasanya digunakan
PEEP dengan nilai rentang 5-10 cmH2O.27,31 Level PEEP yang lebih tinggi
kadang dianjurkan tetapi hasil yang lebih baik tidak selalu didapatkan.
Bahkan dapat menimbulkan komplikasi berupa barotrauma dan penurunan
curah jantung.25,31,33
Level minimal O2 untuk mencapai oksigenasi adekuat (FiO2 sekitar 60
%) perlu diantisipasi, sebab O2 konsentrasi tinggi sangat toksik untuk paru
yang akan menambah kerusakan pada paru yang mengalami cedera. 25,27,36
PEEP dapat menurunkan kebutuhan FiO2 yang sebisanya dipertahankan <60-
70%. Namun, pada hipoksemia berat PEEP dengan 100% O2 mungkin
diperlukan. Pada modus inverse ratio ini masa ekspirasi jadi pendek sehingga
dada tetap terinflasi parsial pada setiap inspirasi berikutnya dimulai. Hal ini
mengakibatkan timbulnya fenomena air trapping, sehingga tekanan akhir
ekspirasi akan melebihi PEEP yang disetting. Untuk selanjutnya tekanan ini
disebut intrinsic PEEP (PEEP-i) dan selisih tekanannya bila dikurangi PEEP
set disebut auto PEEP. Tingkat auto PEEP yang masih bisa ditolerir adalah
berkisar antara 2-5 cmH2O.27,36 Dengan PC-IRV, PEEP-i ini diatur untuk
memperbaiki oksigenasi dengan pengaturan masa ekspirasi melalui 4
variabel ventilasi, yaitu: rasio inspirasi-ekspirasi, laju ventilator, setting
PEEP dan Peak Airway Pressure (P peak). P peak disini sebagai indikator
untuk mencegah komplikasi barotrauma. P peak yang diduga menimbulkan
barotrauma bervariasi antara 35-45 cmH2O sehingga perlu menset batas atas
pada 35 cmH2O sebagai pressure control untuk mempertahankan P peak
kurang dari 35 cmH2O. Namun modus ini konsekuensinya akan menawarkan
tingkat ventilasi yang kecil, sehingga seringkali pula terjadi perburukan
pertukaran gas CO2.25,27,36
Dalam batas-batas tertentu penambahan laju ventilator dapat mengatasi
masalah ini tetapi bila P peak terus meningkat sampai hampir mencapai
batas atas tersebut, maka lebih dipilih membiarkan PaCO2 yang meningkat.
Jadi pendekatan terbaik adalah kombinasi PC-IRV dengan permissive
hypercapnia (PH). Konsep PH ini juga merupakan cara untuk menurunkan
beban kerja ventilasi yang cukup besar, sebab tenaga ventilasi dan juga
tekanan transpulmoner berbanding lurus dengan kuadrat volume semenitnya.
PaCO2 dibiarkan meningkat secara gradual, untuk memberikan kesempatan
proses kompensasi pada ginjal untuk meretensi bikarbonat atau dapat juga
dengan infus buffer. Peningkatan tersebut kadang sampai 70 mmHg, sebab
asalkan PaCO2 <80 mmHg, atau pH>7,15 efek patologik yang tak
diinginkan umumnya masih reversibel. Bila PaCO2 mencapai 120 mmHg
atau lebih, maka asidosis yang terjadi biasanya tidak terkoreksi lagi. Konsep
ini dikontraindikasikan pemakaiannya pada penderita dengan kelainan otak,
dimana peningkatan tekanan intrakranial akan sangat membahayakan
misalnya pada pendarahan serebral, tumor otak, dan lain-lain dan juga
penderita gagal ginjal. 25,27,34
Jadi dapat disimpulkan strategi kita dalam aplikasi ventilasi mekanik
pada penderita ARDS menurut The American-European Consensus
Conference on ARDS adalah sebagai berikut :
1. Tujuan manajemen ventilasi mekanik adalah tercapainya Oksigen
Delivery pada organ-organ vital dan penyesuaian pengeluaran Karbon
dioksida untuk mempertahankan suatu keadaan yang homeostasis.
2. Minimalkan terjadinya Oksigen toxicity. Gunakan fraksi oksigen
serendah mungkin (< 60 %) untuk mencapai tujuan ventilasi mekanik,
dengan memanipulasi/mengoptimalisasi faktor-faktor yang lain.
3. Alveoli dipertahankan tetap mengembang (terbuka). Untuk tujuan ini
kita dapat menggunakan positive end expiratory pressure (PEEP). Total
PEEP 10 – 15 cmH2O.
4. Meminimalkan high airway pressure. Tehnik yang digunakan
permissive hypercapnia (PH), pressure-controlled ventilation, dan
pressure limited, volume-cycled ventilation. Tekanan di dalam
transalveolar tidak boleh melebihi 25-30 cmH2O dalam setiap siklus
tidal. Tapi biasanya ada yang memerlukan 30-40 cmH2O, tergantung
compliance paru dan dinding dada.
5. Cegah terjadinya atelektasis. Untuk hal ini kita bisa menggunakan tidal
volume yang besar secara periodik. Tekanan saluran napas yang tinggi
dengan durasi inspirasi yang lebih panjang dapat mencegah terjadinya
atelektasis bila kita menggunakan tidal volume yang kecil atau PEEP
yang rendah.
6. Gunakan sedasi dan obat pelumpuh otot jika diperlukan, untuk
meminimalkan oksigen demands, terutama pada penggunaan PC-IRV.
Tabel 6. Protokol protective lung ventilation dari ARDS Net Study
Procedure Value
Ventilator mode Volume assist/control
Tidal volume goal 6 ml/kg of predicted body weight
(maximum 8 ml/kg)
Plateau pressure goal < 30 cmH2O (adjusted TV as
necessary)
Ventilator rate and pH goal 6-35, adjusted to achieve arterial, and
pH > 7,30 if possible
Inspiration : Expiration time 1:1 – 1:3
Oxygenation goal
PaO2
SpO2
55-80 mmHg
88-95%
Keep FiO2 < 60% (minimize O2 toxicity)
Utilize PEEP 5-15 cmH2O (recrit alveoli)
Permissive hypercapnia
PaCO2 60-100
Weaning Weaning attempted by means of
pressure support when level of arterial
oxygenation acceptable with PEEP ≤8
cm of water and FiO2 ≤0.40
Protokol protective lung ventilation dari ARDS Sesuai Definisi Berlin
2.2.f.ii. Farmakoterapi
Terapi obat-obatan pada ARDS sebagian masih bersifat kontroversial. Berikut ini
diuraikan berbagai macam terapi farmakologi yang sering diberikan pada penderita
ARDS, termasuk temuan-temuan baru yang kebanyakan masih kontroversi
penggunaannya.
• Recombinant Human Activated Protein C (rhAPC)rhAPC direkomendasikan
untuk pasien resiko tinggi untuk mati (Acute Physiology and Chronic Health
Evaluation II ≥ 25, sepsis-induced MOF, septic shock, atau ARDS) dan ada kontra
indikasi absolut seperti resiko terjadinya perdarahan, atau kontra indikasi relatif.
ARDS selalu diasosiasikan dengan keadaan sepsis yang berat. Kemampuan bertahan
hidup ditingkatkan dengan pemberian protein C (Xigris) ini, namun pemberian
protein C ini diasosiasikan dengan meningkatnya resiko perdarahan21,23,39,40. Kontra
indikasi terdiri atas perdarahan dalam yang aktif, riwayat stroke hemoragik dalam 3
bulan terakhir, 2 bulan terakhir ada riwayat operasi intra spinal atau intra kranial atau
pernah mengalami cedera kepala berat, trauma dengan ancaman perdarahan, sedang
terpasang kateter epidural, keganasan intra kranial, atau lesi masa atau adanya bukti
hernia cerebral39.
• Anti-endotoxin immunotherapy
Meskipun ada bermacam-macam pendekatan potensial terhadap antagonis endotoksin,
hanya antibodi monoklonal yang telah diterima secara luas. Berbagai uji klinik yang
menggunakan monoklonal ini memperlihatkan sedikit atau tidak ada keuntungan bagi
pasien dengan sindroma sepsis. 38
• Kortikosteroid
Kortikosteroid tidak digunakan sepenuhnya dalam penatalaksanaan sepsis dan ARDS
karena kortikosteroid tidak terbukti dapat menurunkan angka mortalitas dan insiden
terjadinya ARDS. Kortikosteroid mungkin berguna pada varian ARDS seperti sindrom
emboli lemak dan pneumocystic carinii pneumonia dimana kortikosteroid berguna
sebagai profilaksis atau terapi. Jadi sebenarnya pemakaian kortikosteroid masih
kontroversial. Kortikosteroid dikatakan dapat mengurangi kerusakan paru dan
permeabilitas kapiler bila diberikan sejak awal. Namun beberapa kepustakaan lain
menyebutkan bahwa kortikosteroid tidak diindikasikan pada fase awal, namun
sebaiknya diberikan pada fase lanjut atau pada fase fibroproliferatif, karena dari suatu
hasil randomized study lebih banyak memberikan keuntungan.26,36 Yang sering
digunakan adalah metil prednisolon 1-2 gr/hari selama 24-48 jam atau 30 mg/BB iv tiap
6 jam. Sedangkan untuk septic shock bisa diberikan kortikosteroid intra vena infus
kontinyu dengan hidrocortison 200-300 mg / hari dibagi dalam 3 atau 4 kali pemberian,
selama 7 hari.25,28,38
• Cyclo-oxygenase inhibitorMetabolit siklooksigenase asam arakidonat memegang
peranan pada patogenesis sepsis dari ARDS. Tromboxan A2 (TxA2) sebuah
vasokostriktor dan pemicu agregasi platelet, prostasiklin (PGI2) sebuah vasodilator dan
inhibitor agregasi platelet, dan prostaglandin (PGE2) sebuah vasodilator dengan efek
imunosupresif pada leukotrien. Penggunaan ibuprofen pada pasien sepsis menunjukkan
penurunan level dari mediator-mediator tersebut di atas41,42,43.
• Antagonis dari sitokin pro inflamasiSitokin-sitokin pada sepsis dan ARDS antara lain
TNFα, interleukin-1b (IL-1), IL-6, dan IL-8. normalnya sitokin tersebut didapatkan
dalam jumlah yang sedikit dan dipengaruhi oleh pertahanan tubuh host. Peningkatan
TNFα dapat mengakibatkan sepsis dan berhubungan dengan mortalitas pasien. Dengan
pemberian antibodi terhadap TNFα dapat menurunkan mortalitas pasien dengan sepsis,
meskipun tidak spesifik sepsis yang timbul karena ARDS42.
• PentoxyfilineMerupakan derivat xantin yang digunakan untuk meningkatkan perfusi
pada pasien dengan penyakit vaskular perifer, menghambat pelepasan oksigen radikal,
agregasi platelet dan fagositosis juga respon terhadap PAF. Obat ini juga menghambat
pelepasan TNF ke dalam sirkulasi pada tikus dan manusia bila diberikan secara
intravena. Data tersebut di atas menyimpulkan bahwa pentoxyfiline dapat berguna pada
pasien sepsis dan ARDS, namun perlu uji yang lebih mendalam lagi untuk
membuktikannya41,42.
• Mediator lipid (Prostaglandin E1 dan E2)
ARDS berhubungan dengan perubahan hemodinamik pulmonar yang mengakibatkan
vasokonstriksi aktif dan kehilangan mikrovaskuler. Prostaglandin E1 merupakan
vasodilator mediator lipid yang dapat menurunkan tekanan arteri pulmoner dan
akumulasi cairan ekstravaskuler paru, meningkatkan pertukaran gas, pelepasan
leukotrien B4, radikal oksigen dan enzim sitotoksik dari aktivasi granulosit. Sebuah uji
prospektif pada pasien bedah menunjukkan angka survival yang signifikan tetapi belum
ada uji prospektif mengenai ARDS.26,27,38
• Antioksidan
Hidrogen peroksida (H2O2) dan radikal hidroksil (OH) dilepas dari aktivasi fagosit
inflamasi. Komponen-komponen tersebut secara normal dikeluarkan dari paru melalui
mekanisme pertahanan, melalui sistem enzim, juga vitamin E, betacaroten, vitamin C,
dan asam urat. Pada ARDS, mekanisme pertahanan ini gagal sehingga paru dan jaringan
lainnya terpapar oleh radikal bebas. Terapi untuk meningkatkan pertahanan pulmoner
terhadap oksidan dapat dilakukan dengan 3 cara antara lain dengan meningkatkan
simpanan enzim anti oksidan, peningkatan simpanan glutathione (N-acetylcistein,
glutathione), dan penambahan vitamin E.36
Terapi antioksidan terhadap metabolit O2 yang toksik dapat meningkatkan angka
penyembuhan, misalnya vitamin E 400 IU peroral, vitamin C 1 gr iv/8 jam, N-asetil
sistein 6 gr oral/6 jam dan Selenium 50 mcg iv/6 jam. 25
• AntiproteaseEnzim-enzim seperti protease serin, elastase, kolagenase, dan gelatinase
merupakan produk penting dari sel fagositik inflamasi dan dapat terlibat dalam ARDS.
Pada pasien dengan ARDS didapatkan peningkatan enzim proteolitik. Ada data-data
pada hewan dimana pemberian anti protease eksogen dapat memblok injuri paru42.
• Inhaled pulmonary vasodilators (nitric oxide)
Nitric oxide merupakan relaksan otot polos yang berasal dari endotelium. Nitric oxide
memiliki peranan penting dalam neurotransmisi, pertahanan tubuh host , agregasi
pletelet, adhesi leukosit, dan bronkodilatasi. Dalam dosis 60 bagian per miliar inhaled
Nitric oxide (iNO) dapat meningkatkan oksigenasi. Tetapi pada penanganan ARDS
hanya diperlukan 1-40 bagian per juta. iNO dapat diberikan terus menerus atau
menggunakan injeksi inspirasi intermiten. Hanya 40-70% pasien ARDS yang mengalami
perbaikan oksigenasi dengan menggunakan iNO, hal ini kemungkinan karena
vasokonstriksi pulmoner aktif.26,31,38
• Pendekatan pro inflamasiAda bukti bahwa peningkatan agen yang meningkatkan
respon inflamasi dapat terjadi pada ARDS. Mekanisme pendekatan pro inflamasi adalah
dengan menurunkan atau membatasi infeksi untuk mencegah perluasan respon inflamasi
yang dapat membahayakan paru42.
• Surfactant replacement therapy
Apoprotein surfaktan penting untuk mencegah inaktivasi surfaktan pada paru-paru yang
meradang dan meningkatkan fungsi biofisikal. Studi saat ini difokuskan untuk membuat
surfaktan sintetis yang berisikan apoprotein atau analog apoprotein. Terapi replacement
ini potensial untuk digunakan pada neonatus dengan respiratory distress syndrome.
Telah dilakukan studi uji coba terhadap hewan, namun penggunaan terapi replacement
pada manusia memerlukan studi lebih lanjut. 27,31,38
• KetokonazoleKetokonazole merupakan obat anti fungal yang juga menghambat
sintesa tromboksan dan 5-lipooksigenase. Meski demikian hasil yang lebih menjanjikan
dari studi kecil mengenai pasien yang berisiko belum dapat dikonfirmasikan dalam studi
yang lebih besar23,41.
• HeparinHeparinisasi biasanya kita berikan bila terjadi Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC)22.
• Terapi genPengetahuan biologi molekuler telah maju dimana pada beberapa tahun
terakhir intervensi terapeutik dengan DNA merupakan teknik yang dapat dijalankan.
Teknik ini sukses dilakukan terhadap binatang pada beberapa uji klinik42.
2.2.f.iii.General Supportif Care
a) Cardiac, Circulation Support dan Transport Oksigen/Delivery Oxygen
(DO2)
Resusitasi cairan yang adekuat adalah suatu aspek yang fundamental
dalam management hemodinamik pada pasien-pasien yang sakit kritis, dan
sebaiknya masalah keadekuatan cairan ini harus teratasi dulu sebelum kita
menggunakan vasopresor. Tetapi pada keadaan emergensi kadang-kadang
digunakan vasopresor lebih dini, misalnya pada keadaan syok yang berat. 38
Epinefrin potensial menyebabkan takikardia, dan kemungkinan efek yang
tidak menguntungkan buat sirkulasi splanik, sedangkan phenilefrin berefek
menurunkan stroke volume. 13 Preload yang opimal dicapai dengan pemberian
cairan yang cukup, dapat dilihat dari monitor CVP. Apabila terjadi suatu
kegagalan sirkulasi maka bisa diberikan obat-obat inotropik bahkan obat-obat
vasodilator bila terdapat peninggian dari afterload.25
Data-data non spesifik terdahulu memperlihatkan bahwa DO2 dapat
meningkatkan outcome penderita ARDS. Meski demikian, banyak ilmuan
mengatakan bahwa tidak ada target level dari DO2 global yang cukup. Hal ini
disebabkan karena hubungan yang kompleks antara aliran darah global, aliran
darah regional, oksigenasi jaringan dan kebutuhan metabolik lokal. Lebih jauh
lagi, akibat dari interaksi yang kompleks ini dan koeksistensi dari disfungsi
sistem organ yang berhubungan, tidak mungkin untuk mengetahui tekanan
pengisian ventrikel kiri yang optimal, hemoglobin dan hematokrit minimal atau
optimal atau pilihan cairan (kristaloid atau koloid) untuk replacement therapy.
Meski demikian, terdapat standarisasi terapi berdasarkan prinsip-prinsip
patofisiologi dan data klinik yang penting untuk memaksimalkan terapi. 31,34
b) Terapi Cairan
Untuk mempertahankan hemodinamik maka diperlukan terapi cairan yang
cukup dan sebaiknya dipasang CVC. Pemakaian koloid untuk memperbaiki
tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik sering kali digunakan. Penggunaan
garam konsentrat rendah albumin dengan diuretik (furosemid) seringkali
bermanfaat untuk mengurangi resiko terjadinya kelebihan cairan.25,27,28 Pada
keadaan dimana dicurigai terjadi hipovolemia (tidak adekuatnya sirkulasi
arterial) dapat diberikan 500 – 1000 mL kristaloid atau 300 – 500 mL koloid
dalam waktu lebih dari 30 menit dan diulangi sampai ada respon (tekanan darah
meningkat dan produksi urine juga meningkat). 38 Penggunaan albumin atau
jenis koloid yang lain selain produk darah pada penderita ARDS sampai saat ini
masih kontroversial. Jika terapi cairan yang diberikan jenis albumin,
pengukuran pulmonary artery occlusion pressure (PAOP) dan pulmonary
artery pressure (PAP) seharusnya digunakan sebagai panduan dalam
penatalaksanaan. Keduanya sangat penting untuk mengetahui adanya
transudasi cairan yang melewati membran kapiler pulmoner.
c) Kontrol terhadap Infeksi Nosokomial
Higiene rumah sakit yang baik dan penggunaan teknik aseptik standar
merupakan hal yang penting dan mendasar dalam mencegah infeksi
nosokomial. Penggantian kateter hendaknya dilakukan secara rutin untuk
mencegah infeksi. Penggantian endotracheal tube secara rutin tidak
direkomendasikan. Posisi supine pada pasien merupakan faktor risiko
terjadinya superinfeksi pulmoner. Penggunaan antibiotika profilaksis secara
rutin pada pasien non immunocompromised tidak dibenarkan. Pemberian
antibiotika sebaiknya diberikan berdasarkan hasil kultur. Pengecetan sekret
dari bronkus dan kultur sebaiknya dilakukan 2-3 hari sekali.25,27,36
d) Terapi nutrisi
Nutrisi perlu diberikan untuk menjaga agar tidak terjadi kelemahan otot,
penurunan imunitas yang memudahkan infeksi, serta hipoalbumin yang
memperberat edema paru.25 Tiga komponen nutrisi yaitu karbohidrat, lipid, dan
protein harus diberikan. trace elements dan vitamin juga dimasukkan dalam
terapi nutrisi. Secara umum, pasien dengan penyakit yang akut mungkin tidak
mampu untuk menyesuaikan diri dengan kapabilitas metabolik dalam tubuhnya
sehingga dapat terjadi disfungsi hati, overload, dan hiperglikemia. Bila
memungkinkan, makanan sebaiknya diberikan secara enteral, karena dapat
menurunkan insiden kolonisasi gaster oleh basil gram negatif, stress ulcer, dan
atrofi mukosal. Pemberian nutrisi secara enteral dapat meningkatkan respon
imun host. 26,37
e) Non Pulmonary Organ Support
Penggunaan secara rutin dari agen dopeminergik untuk memelihara aliran darah
ginjal merupakan terapi yang belum terbukti. Manuver-manuver yang dapat
meningkatkan tekanan intrakranial seperti PEEP, terapi respiratori, dan posisi-
posisi tubuh tertentu, dapat menyebabkan penurunan perfusi serebral. Sebagian
besar penyakit kritis, pasien dengan dependent ventilator memerlukan sedatif
dan/atau analgetik untuk meningkatkan kenyamanan pasien, memfasilitasi
ventilasi, dan menidurkan pasien. Perubahan posisi tubuh dapat melancarkan
pertukaran gas dan meminimalisir masalah kulit (dekubitus). Penggunaan rutin
antitrombotik juga direkomendasikan. Profilaksis terhadap stress ulcer secara
rutin mungkin berguna untuk pencegahan. 36,37
f) Fisioterapi
Fisioterapi yang adekuat penting untuk mengeluarkan sekret dari paru. Secara
berkala posisi pasien diubah-ubah untuk menurunkan risiko pneumonia
orthostatik dan atelektasis. Manuver-manuver sederhana, misalnya secara
berkala dan bergantian posisi penderita diposisikan prone dan supine, atau
lateral (kinetic therapy) sangat membantu memperbaiki pertukaran gas di paru-
paru, namun manuver ini perlu pengawasan yang sangat ketat. Kinetic therapy
dapat diaplikasikan dengan menggunakan tempat tidur pasien yang khusus.
25,26,27,31
g) Extra-Corporal Membrane Oxygenator (ECMO)Tehnik Extra-Corporal gas
exchange dengan menggunakan Extra-Corporal Membrane Oxygenator
(ECMO), diharapkan paru-paru dapat beristirahat untuk beberapa hari sehingga
ada kesempatan untuk sembuh. Kanulasi yang biasa dilakukan adalah di vena
femoralis (drainage cannula) dan di vena jugularis interna (return cannula)
atau biasa disebut femoro-jugular bypass. Hal ini masih dalam penelitian lebih
lanjut oleh para ahli22,43,44,45.
h) High Frequency Ventilation (HFV)43,45 HFV adalah istilah umum yang
digunakan untuk semua tehnik ventilasi yang menggunakan metode frekuensi
tinggi. Tidal volume yang diaplikasikan adalah lebih kecil dari ruang rugi
anatomi / anatomical dead space (= 2 mL/kgbb). Tehnik ini tidak umum
digunakan di klinik. Berdasarkan frekuensi ventilasinya, HFV ini terbagi atas :
High Frequency Positive Pressure Ventilation (HFPPV). Frekuensi
ventilasi 60-110 / menit (1-2 Hz).
High Frequency Jet Ventilation (HFJV). Frekuensi ventilasi 110-600 /
menit (2-10 Hz).
High Frequency Oscillation (HFO). Frekuensi ventilasi 600- 2400 / menit
(10-50 Hz).
Tehnik HFV ini biasanya digunakan pada kasus ARDS pada neonatus. Selain
pada ARDS juga dapat diaplikasikan pada kasus-kasus fistula bronkopleural,
trauma serebro-kranial, operasi laring, thoraco-lung surgery (reseksi trakea,
stent- implantation), bedah saraf, jet-broncoscopy, dan breathing therapy-
mucolysis.
i) IntraVenous OxygenationSebagai alternatif untuk dimungkinkannya
pertukaran gas secara extra-corporeal dengan menggunakan Intravenous
Membrane Oxygenator (IVOX). Tehnik ini masih dalam taraf uji klinik dan
belum digunakan secara umum.
2.2.g. PENCEGAHAN
Pencegahan yang dilakukan ditujukan untuk menurunkan angka mortalitas. Pengelolaan
yang cepat dengan mengenali faktor penyebab, penanganan infeksi yang tepat, tidak
menambah trauma terhadap paru-paru karena penggunaan ventilator yang tidak tepat,
monitoring kebutuhan cairan secara tepat dan memberikan nutrisi yang cukup diharapkan
dapat mengurangi tingkat mortalitas.
Secara umum lakukan pengelolaan sejak awal 21,22,45:
• Kenali sejak awal adanya tanda-tanda distress respirasi,
• Berikan tambahan oksigen dan monitoring saturasi
• Pastikan apakah penderita memerlukan tindakan intubasi dan pemasangan ventilasi
mekanis. Jika ya, maka lakukan segera dan pengaturan ( setting ) ventilator dengan
tepat untuk tidak menambah cedera paru,
• Lakukan foto toraks dan analisa gas darah,
• Cari faktor resiko ,
• Optimalisasi status cairan dengan pemasangan CVP,
• Atasi komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul.
2.2.h. PROGNOSA
Jika proses yang terjadi di paru - paru semakin berkembang, maka akan timbul
hipoksemia yang semakin berat yang akan mengakibatkan oksigenasi yang tidak
adekuat22. Dan selanjutnya secara tidak langsung keadaan ini akan mengakibatkan
kerusakan pada organ lain. Jika ini terjadi maka prognosa akan semakin buruk.
Pasien yang dikelola dengan baik, biasanya sudah menunjukkan perbaikan pada 2
minggu pertama sejak diagnosa ditegakkan. Resolusi dapat terjadi dalam waktu 6 - 12
bulan, dan gambaran foto toraks dapat menjadi normal kembali23. Fungsi paru-paru yang
mulanya terganggu , kemungkinan besar dapat kembali normal seperti sedia kala.
Tingkat mortalitas penderita sindroma ini berkisar antara 32 - 45 %. Dan angka
mortalitas ini dapat diperberat akibat penggunaan ventilator yang tidak tepat, yang akan
menambah parah kerusakan paru-paru. Perburukan akibat ventilator ini dikenal dengan
Ventilator induce Lung injury 24,47.
BAB III
LAPORAN KASUS
EVALUASI PRA—ICU
1. Identitas
Identitas : I Kadek Medi Sukadana
Umur : 19/01/1997 (19 tahun)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Hindu
Bangsa : Indonesia
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Pelajar
RM : 16038835
MRS : 08/09/2016
Tanggal OP : 09/09/2016
Diagnosis : ARDS post ORIF ec. Open fraktur right tibia middle third grade II;
Open fraktur right fibula segmental; Closed fraktur left distal radius
frykman VIII; Closed fraktur right distal radius frykman VIII
Masuk RTI : 11/09/2016
2. Anamnesis
a. Anamnesis Khusus
Pasien dikonsulkan dari ruangan angsoka dengan sesak nafas dan penurunan
kesadaran post ORIF ec. Open fraktur right tibia middle third grade II; Open
fraktur right fibula segmental; Closed fraktur left distal radius frykman VIII;
Closed fraktur right distal radius frykman VIII (09/09/2016). Perjalanan penyakit:
Pasien datang dengan keluhan nyeri di kedua lengan dan tungkai bawah kanan
setelah mengalami kecelakaan 5 jam SMRS (08/09/2016 pkl 17.00 WITA). MOI
: pasien mengendarai sepeda motor dengan menggunakan helm. Saat hendak
berhenti, rem motor rusak dan pasien menabrak pembatas jalan. Pasien lalu
terjatuh dengan posisi lengan dan tungkai menahan tubuh. Riwayat kepala
terbentur, pingsan, kejang, ataupun muntah disangkal.
b. Anamnesis Umum
Riwayat penyakit sistemik : tidak ada
Riwayat operasi/anestesi sebelumnya : ada, dengan Anestesi Umum
Riwayat alergi obat : tidak ada
Riwayat merokok/minum alkohol : tidak
3. Pemeriksaan Fisik
Berat badan: 75 kg ; Tinggi badan 175 cm ; IMT 24,48 kg/m2
Sistem saraf pusat : GCS E4V5M6
Respirasi : frekuensi nafas 34 kali permenit, ada rhonki dan tidak ada
wheezing, saturasi oksigen perifer 88% face mask non
rebreathing
Kardiovaskuler : tekanan darah 140/80 mmHg; nadi 140 kali permenit, Bunyi
jantung 1 dan 2 tunggal, reguler, tidak ada murmur
Urogenital : Terpasang DK, residu (+)
Gastrointestinal : Distensi (-), BU(+) N
Muskuloskeletal : akral dingin
Pada pukul 17.00 Pasien dilakukan resus call
A: Clear
B: Thoracoabdominal RR 32 x/menit, saturasi oksigen perifer 68% face mask non
rebreathing, AGD (11/09/2016) FM NRB pukul 15.02 : pH 7.49; pCO2 31,3 mmHg;
pO2 40,60 mmHg; BE -0.4 mmol/l; HCO3 23 mmol/l; SO2 80,6 %; Na 132 mmol/L
(136-145); K 3,81 mmol/L (3,5-5,1) ; Cl 93 mmol/L (96-108) kesan gagal nafas tipe 1
C: tekanan darah 140/80 mmHg; nadi 140 kali permenit, Bunyi jantung 1 dan 2 tunggal,
reguler, tidak ada murmur
D: GCS E3V5M6
Pasien kemudian dilakukan intubasi.
4. Perkembangan selama di RTI
Tanggal OBYEKTIF
LABORATORY
PLANNING
11
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: DPO
Respirasi: PC BIPAP
Pins 30, RR 24, PEEP
10, ASB 10, FiO2
100%; vesikuler +/+,
rhonki +/+, whz -/-,
SaO2 99- 100%
Kardiovasculer: TD
120-150/80-90 mmHg
; HR 120-130
x/mnt reguler, S1S2
tunggal murmur (-)
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
Musculoskeletal :
Akral hangat
Echocardiografi
(11/9/2016) : EDV 71,8
mL ; ESV 22,64 mL ; EF
TRICH 68,5 % ; TAPSE
1,8 cm ; Mc Connel Sing (-
) ; IVC Max 1,62 ; IVC min
1,16 ; COMP 28%; ERAP
8 ; D Shape LV (-); Dilatasi
RV (-)
Kimia Klinik
(11/09/2016) : SGOT
37,80 U/L (11-33); SGPT
19 U/L (11-50); BUN 15
mg/dL (8-23) ; SC 0,93
mg/dL (0,7-1,2) ; BS acak
134 mg/dL (70-140)
Darah lengkap
(11/09/2016) : WBC
24,60x103/µL (4,1-11);
HGB 10,36 g/dL (13.5-
17.5); HCT 31,52% (41-
53); PLT 275,80x103µL
(150-440)
Faal Hemostasis
(11/09/2016) : PT
14,2(10,8-14,4) detik ;
aPTT 25,50(24-36) detik ;
INR 1,17 (0,9-1,1)
AGD (11/09/2016) Post
intubasi pukul 20,58 : pH
F: Balance
Ringer Laktat :
NaCl 0,9 % 1500
ml/24 jam;
Enteral Ensure
100 ml tiap 6 jam
A: Morfin 20
mg/24 jam,,
Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: Midazolam 5
mg/jam
T: Heparin 6400
unit loading
kemudian
dilanjutkan 1500
unit/jam
H: Head up 30-
45oC
U: Lansoprazole
30 mg tiap 12 jam
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
Ceftriaxone 2
gram tiap 24 jam
IV
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
7.34; pCO2 50,6 mmHg;
pO2 89,90 mmHg; BE 0.7
mmol/l; HCO3- 26,50
mmol/l; SO2 96,3 %; Na
131 mmol/L (136-145); K
4,33 mmol/L (3,5-5,1) ; Cl
97 mmol/L (96-108)
11/09/2016: D-Dimer 2,57
(<0,5); Fibrinogen 600
mg/dL (140-450);
Troponin T < 50 ng/mL
(<50 = negative; 50-100 =
Low; >100 = AMI)
Darah lengkap
(11/09/2016) 20.58: WBC
28,15x103/µL (4,1-11);
HGB 9,61 g/dL (13.5-
17.5); HCT 29,62% (41-
53); PLT 283,40x103µL
(150-440)
Faal Hemostasis
(11/09/2016) 20.58: PT
14,1(10,8-14,4) detik ;
aPTT 49,10(24-36) detik ;
INR 1,16 (0,9-1,1)
Thorax AP (11/09/2016):
Cor besar dan bentuk kesan
normal, Pulmo tampak
infiltrat dengan air
bronchogram pada
parahilar kanan kiri.
Corakan bronchovaskuler
sangat meningkat, sinus
Oral hygiene
dengan
chlorhexidine
tiap 12 jam
Oral hygiene
dengan air putih
tiap 2 jam
pleura kanan kiri tajam,
diaphragm kanan kiri
normal, tulang-tulang tidak
tampak kelainan. Kesan:
Curiga emboli pulmonum
dd/ pneumonia (klinis?)
12
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: DPO
Respirasi: PC BIPAP
Pins 30, RR 24, PEEP
10, ASB 10, FiO2
80%; vesikuler +/+,
rhonki +/+, whz -/-,
SaO2 99-100%
Kardiovasculer: TD
120-150/80-90 mmHg
; HR 120-130 x/mnt,
reguler, S1S2
tunggal murmur (-)
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
Musculoskeletal :
Akral hangat
CM 1675 ml
AGD (12/09/2016) pukul
07.12 : pH 7.44; pCO2 38
mmHg; pO2 154,80
mmHg; BE 1,2 mmol/l;
HCO3- 25,30 mmol/l; SO2
99,1 %; Na 132 mmol/L
(136-145); K 4,60 mmol/L
(3,5-5,1) ; Cl 108 mmol/L
(96-108)
Faal Hemostasis
(12/09/2016) 11.59: PT
14,2(10,8-14,4) detik ;
aPTT 24,50(24-36) detik ;
INR 1,17 (0,9-1,1)
AGD Vena (12/09/2016)
pukul 15.26 : pH 7.40;
pCO2 45,5 mmHg; pO2
67,70 mmHg; BE 2,3
mmol/l; HCO3- 27,20
mmol/l; SO2 93,3 %; Na
132 mmol/L (136-145); K
F: Balance
Ringer Laktat :
NaCl 0,9 % 1500
ml/24 jam;
Enteral Ensure
100 ml tiap 6 jam
A: Morfin 20
mg/24 jam,,
Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: Midazolam 5
mg/jam
T: Heparin1500
unit/jam
H: Head up 30-
45oC
U: Lansoprazole
30 mg tiap 12 jam
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
CK 1500 ml
IWL - ml
BC 24 Jam - ml
4,41 mmol/L (3,5-5,1) ; Cl
95 mmol/L (96-108)
Ceftriaxone 2
gram tiap 24 jam
IV
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
13
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: DPO
Respirasi: PC BIPAP
Pins 30, RR 24, PEEP
10, ASB 10, FiO2
80%; vesikuler +/+,
rhonki +/+, whz -/-,
SaO2 99-100%
Kardiovasculer: TD
150/90 mmHg ; HR
136 x/mnt, reguler,
S1S2 tunggal murmur
(-)
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
Musculoskeletal :
Akral hangat
CM 3453 ml
CK 1950 ml
IWL 800 ml
BC 24 Jam +703 ml
Faal Hemostasis
(13/09/2016) 00.33: PT
13,1(10,8-14,4) detik ;
aPTT 24,60(24-36) detik ;
INR 1,06 (0,9-1,1)
AGD (13/09/2016) pukul
08.05 : pH 7.41; pCO2 41,9
mmHg; pO2 66 mmHg;
BE 1,2 mmol/l; HCO3-
25,90 mmol/l; SO2 93,2 %;
Na 131 mmol/L (136-145);
K 4,72 mmol/L (3,5-5,1) ;
Cl 97 mmol/L (96-108)
Faal Hemostasis
(13/09/2016) 08.05: PT
15,4(10,8-14,4) detik ;
aPTT 26,70(24-36) detik ;
INR 1,30 (0,9-1,1)
Kimia Klinik
(13/09/2016) 08.05: BUN
17 mg/dL (8-23) ; SC 0,80
mg/dL (0,7-1,2)
AGD (13/09/2016) pukul
18.05 : pH 7.35; pCO2 50,9
mmHg; pO2 64,40 mmHg;
BE 2,1 mmol/l; HCO3-
F: Balance
Ringer Laktat :
NaCl 0,9 % 1500
ml/24 jam;
Enteral Peptisol
50 gram 200 ml
tiap 4 jam
A: Morfin 20
mg/24 jam,,
Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: Midazolam 5
mg/jam
T: Heparin 1500
unit/jam
H: Head up 30-
45oC
U: Lansoprazole
30 mg tiap 12 jam
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
Ceftriaxone 2
gram tiap 24 jam
IV
27,60 mmol/l; SO2 91,4 %;
Na 131 mmol/L (136-145);
K 5,34 mmol/L (3,5-5,1) ;
Cl 99 mmol/L (96-108)
Faal Hemostasis
(13/09/2016) 18.05: PT
16(10,8-14,4) detik ; aPTT
43,30(24-36) detik ; INR
1,37 (0,9-1,1)
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
14
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: DPO
Respirasi: PC BIPAP
Pins 26, RR 18, PEEP
10, ASB 10, FiO2
100%; vesikuler +/+,
rhonki -/-, whz -/-,
SaO2 98-99%
Kardiovasculer: TD
148/70 mmHg ; HR
130 x/mnt, reguler,
S1S2 tunggal murmur
(-)
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
Musculoskeletal :
Akral hangat
CM 5163 ml
CK 3000 ml
IWL 800 ml
BC 24 Jam +1363 ml
AGD (14/09/2016) pukul
00.51 : pH 7.35; pCO2 50,9
mmHg; pO2 64,40 mmHg;
BE 2,1 mmol/l; HCO3-
27,60 mmol/l; SO2 91,4 %;
Na 131 mmol/L (136-145);
K 5,34 mmol/L (3,5-5,1) ;
Cl 99 mmol/L (96-108)
Faal Hemostasis
(14/09/2016) 00.51: PT
16(10,8-14,4) detik ; aPTT
43,30(24-36) detik ; INR
1,37 (0,9-1,1)
Darah lengkap
(14/09/2016) 00.51: WBC
28,15x103/µL (4,1-11);
HGB 9,61 g/dL (13.5-
17.5); HCT 29,62% (41-
53); PLT 283,40x103µL
(150-440)
AGD (14/09/2016) pukul
06.43 : pH 7.33; pCO2 54,7
mmHg; pO2 120,9 mmHg;
BE 2,4 mmol/l; HCO3-
F: Balance
Ringer Laktat :
NaCl 0,9 % 1500
ml/24 jam;
Enteral Peptisol
50 gram 200 ml
tiap 4 jam
A: Morfin 20
mg/24 jam,,
Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: Propofol 50
mcg/kgbb/menit
T: Heparin 1760
unit/jam
H: Head up 30-
45oC
U: Pantoprazole
30 mg tiap 12 jam
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
28,30 mmol/l; SO2 98,1 %;
Na 134 mmol/L (136-145);
K 4,08 mmol/L (3,5-5,1) ;
Cl 98 mmol/L (96-108)
Faal Hemostasis
(14/09/2016) 06.43: PT
15,4 (10,8-14,4) detik ;
aPTT 32,90 (24-36) detik ;
INR 1,30 (0,9-1,1)
AGD (14/09/2016) pukul
12.43: pH 7.37; pCO2 55,3
mmHg; pO2 40,90 mmHg;
BE 5,6 mmol/l; HCO3-
30,90 mmol/l; SO2 73,4 %;
Na 135 mmol/L (136-145);
K 4,51 mmol/L (3,5-5,1) ;
Cl 94 mmol/L (96-108)
Faal Hemostasis
(14/09/2016) 12.43: PT
16,1 (10,8-14,4) detik;
aPTT 25,10 (24-36) detik ;
INR 1,37 (0,9-1,1)
Kimia Klinik
(14/09/2016) 12.43:
Albumin 3,02 g/dL (3,4-
4,8)
Faal Hemostasis
(14/09/2016) 17.25: PT
14,6 (10,8-14,4) detik;
aPTT 23,70 (24-36) detik ;
INR 1,21 (0,9-1,1)
Ceftriaxone 2
gram tiap 24 jam
IV
Rocuronium 10
mcg/kgbb/menit
Metilprednisolon
125 mg tiap 8 jam
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
15
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: DPO
Respirasi: PC BIPAP
Pins 23, RR 18, PEEP
10, ASB 10, FiO2
70%; vesikuler +/+,
rhonki -/-, whz -/-,
SaO2 98-99%
Kardiovasculer: TD
152/76 mmHg ; HR
96 x/mnt, reguler,
S1S2 tunggal murmur
(-)
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
Musculoskeletal :
Akral hangat
CM 4395 ml
CK 3150 ml
IWL 800 ml
BC 24 Jam +445 ml
Faal Hemostasis
(15/09/2016) 00.20: PT
14,6 (10,8-14,4) detik;
aPTT 22,80 (24-36) detik ;
INR 1,21 (0,9-1,1)
AGD (15/09/2016) pukul
08.33 : pH 7.44; pCO2 45,5
mmHg; pO2 91,70 mmHg;
BE 6 mmol/l; HCO3-
30,10 mmol/l; SO2 97,2 %;
Na 136 mmol/L (136-145);
K 4,58 mmol/L (3,5-5,1) ;
Cl 103 mmol/L (96-108)
Darah lengkap
(15/09/2016) pukul 08.33:
WBC 27,82x103/µL (4,1-
11); HGB 7,39 g/dL (13.5-
17.5); HCT 22,38% (41-
53); PLT 291,20x103µL
(150-440)
Thorax AP (15/09/2016):
dibanding foto thorax AP
tanggal 11/09/2016 kondisi
kedua foto relative sama,
Hasil: Tampak terpasang
CVC dengan ujung berada
diproyeksi paravertebrae
kanan setinggi VTh 6; Tak
tampak lagi gambaran
oedema pulmonal;
Konsolidasi homogeny,
batas tegas diparacardial
kanan, dengan
F: Balance
Ringer Laktat :
NaCl 0,9 % 1500
ml/24 jam;
Enteral Peptisol
70 gram 300 ml
tiap 6 jam +
Virgin Coconut
Oil 10 ml tiap 8
jam
A: Morfin 20
mg/24 jam,,
Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: Propofol 50
mcg/kgbb/menit
T: Heparin 10000
unit/24jam
H: Head up 30-
45oC
U: Pantoprazole
30 mg tiap 12 jam
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
Ceftazidim 1
gram tiap 8 jam
Amikasin 1,5
gram tiap 24 jam
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
airbronchograndan
silhouette sign (-); lain-lain
menetap; Kesan: dibanding
foto thorax AP tanggal
11/09/2016 pneumonia
lobaris (di lobus inferior
pulmo dextra), tak tampak
lagi gambaran oedema
pulmonal, CVC dengan
ujung berada diproyeksi
paravertebrae kanan
setinggi VTh 6
Faal Hemostasis
(15/09/2016) 12.15: PT
14,1 (10,8-14,4) detik;
aPTT 23,40 (24-36) detik ;
INR 1,16 (0,9-1,1)
Faal Hemostasis
(15/09/2016) 19.03: PT
13,3 (10,8-14,4) detik;
aPTT 21,30 (24-36) detik ;
INR 1,09 (0,9-1,1)
Faal Hemostasis
(15/09/2016) 23.17: PT
12,9 (10,8-14,4) detik;
aPTT 110,20 (24-36) detik
; INR 104
Furosemid 10 mg
tiap 8 jam apabila
balance positif
16
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: DPO
Respirasi: PC BIPAP
Pins 23, RR 18, PEEP
10, ASB 10, FiO2
70%; vesikuler +/+,
rhonki -/-, whz -/-,
SaO2 98-99%
Kardiovasculer: TD
120/76 mmHg ; HR
110 x/mnt, reguler,
S1S2 tunggal murmur
(-)
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
Musculoskeletal :
Akral hangat
CM 4387 ml
CK 6800 ml
IWL -800 ml
BC 24 Jam -2713 ml
AGD (16/09/2016) pukul
06.52 : pH 7.26; pCO2 82,6
mmHg; pO2 68,30 mmHg;
BE 8,9 mmol/l; HCO3- 36
mmol/l; SO2 89,8 %; Na
134 mmol/L (136-145); K
4,56 mmol/L (3,5-5,1) ; Cl
102 mmol/L (96-108)
Faal Hemostasis
(16/09/2016) pukul 06.52:
PT 13,3 (10,8-14,4) detik ;
aPTT 53,80(24-36) detik ;
INR 1,08 (0,9-1,1)
Kimia Klinik
(16/09/2016) pukul 06.52:
BUN 26 mg/dL (8-23) ; SC
0,68 mg/dL (0,7-1,2)
Darah lengkap
(16/09/2016) pukul 06.52:
WBC 35,15x103/µL (4,1-
11); HGB 10,97 g/dL
(13.5-17.5); HCT 36,20%
(41-53); PLT 416x103µL
(150-440)
AGD (16/09/2016) pukul
12.08 : pH 7.32; pCO2 69,9
mmHg; pO2 60,20 mmHg;
BE 9,2 mmol/l; HCO3-
35,30 mmol/l; SO2 88,1 %;
Na 130 mmol/L (136-145);
K 4,89 mmol/L (3,5-5,1) ;
Cl 87 mmol/L (96-108)
Faal Hemostasis
F: Balance
Ringer Laktat :
NaCl 0,9 % 1500
ml/24 jam;
Enteral Peptisol
70 gram 300 ml
tiap 6 jam +
Virgin Coconut
Oil 10 ml tiap 8
jam
A: Morfin 10
mg/24 jam,,
Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: Propofol 50
mcg/kgbb/menit
T: Heparin 10000
unit/24 jam
H: Head up 30-
45oC
U: Pantoprazole
30 mg tiap 12 jam
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
Ceftazidim 1
gram tiap 8 jam
Amikasin 1,5
gram tiap 24 jam
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
(16/09/2016) pukul 12.08:
PT 14,0 (10,8-14,4) detik ;
aPTT 24 (24-36) detik ;
INR 1,15 (0,9-1,1)
Faal Hemostasis
(16/09/2016) pukul 18.14:
PT 13,1 (10,8-14,4) detik ;
aPTT 21 (24-36) detik ;
INR 1,06 (0,9-1,1)
17
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: DPO
Respirasi: PC BIPAP
Pins 23, RR 20, PEEP
10, ASB 10, FiO2
60%; vesikuler +/+,
rhonki -/-, whz -/-,
SaO2 98-99%
Kardiovasculer: TD
150/96 mmHg ; HR
115 x/mnt, reguler,
S1S2 tunggal murmur
(-)
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
Musculoskeletal :
Akral hangat
CM 5769 ml
CK 4640 ml
IWL 800 ml
BC 24 Jam +329 ml
AGD (17/09/2016) pukul
06.05 : pH 7.29; pCO2 77,5
mmHg; pO2 81,50 mmHg;
BE 9,5 mmol/l; HCO3-
36,20 mmol/l; SO2 94,20
%; Na 131 mmol/L (136-
145); K 4,19 mmol/L (3,5-
5,1) ; Cl 93 mmol/L (96-
108)
Faal Hemostasis
(17/09/2016) pukul 06.05:
PT 13,6 (10,8-14,4) detik ;
aPTT 24 (24-36) detik ;
INR 1,11 (0,9-1,1)
Faal Hemostasis
(17/09/2016) pukul 12.14:
PT 14,2 (10,8-14,4) detik ;
aPTT 25,70 (24-36) detik ;
INR 1,17 (0,9-1,1)
Faal Hemostasis
(17/09/2016) pukul 17.51:
PT 13,5 (10,8-14,4) detik ;
aPTT 25,70 (24-36) detik ;
INR 1,09 (0,9-1,1)
F: Balance
Ringer Laktat :
NaCl 0,9 % 1500
ml/24 jam;
Enteral Peptisol
70 gram 300 ml
tiap 6 jam +
Virgin Coconut
Oil 10 ml tiap 8
jam
A: Morfin 10
mg/24 jam,,
Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: Propofol 50
mcg/kgbb/menit
T: Heparin 10000
unit/24 jam
H: Head up 30-
45oC
U: Pantoprazole
30 mg tiap 12 jam
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
Ceftazidim 1
gram tiap 8 jam
Amikasin 1,5
gram tiap 24 jam
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
18
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: DPO
Respirasi: PC BIPAP
Pins 24, RR 22, PEEP
10, ASB 10, FiO2
60%; vesikuler +/+,
rhonki -/-, whz -/-,
SaO2 98-99%
Kardiovasculer: TD
142/69 mmHg ; HR
100 x/mnt, reguler,
S1S2 tunggal murmur
(-)
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
Musculoskeletal :
Akral hangat
CM 4812 ml
CK 4400 ml
IWL 800 ml
BC 24 Jam -388 ml
AGD (18/09/2016) pukul
05.59 : pH 7.39; pCO2 61,5
mmHg; pO2 90,50 mmHg;
BE 11,2 mmol/l; HCO3-
36,20 mmol/l; SO2 96,6 %;
Na 133 mmol/L (136-145);
K 4,22 mmol/L (3,5-5,1) ;
Cl 96 mmol/L (96-108)
Faal Hemostasis
(18/09/2016) pukul 05.59:
PT 13,3 (10,8-14,4) detik ;
aPTT 25 (24-36) detik ;
INR 1,13 (0,9-1,1)
Faal Hemostasis
(18/09/2016) pukul 16.07:
PT 13,8 (10,8-14,4) detik ;
aPTT 26,70(24-36) detik ;
INR 1,12 (0,9-1,1)
F: Balance
Ringer Laktat :
NaCl 0,9 % 1500
ml/24 jam;
Enteral Peptisol
70 gram 300 ml
tiap 6 jam +
Virgin Coconut
Oil 10 ml tiap 8
jam
A: Morfin 10
mg/24 jam,,
Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: Propofol 50
mcg/kgbb/menit
T: Heparin 10000
unit/24 jam
H: Head up 30-
45oC
U: Pantoprazole
30 mg tiap 12 jam
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
Ceftazidim 1
gram tiap 8 jam
Amikasin 1,5
gram tiap 24 jam
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
Furosemid 10 mg
tiap 6 jam apabila
balance positif
19
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: DPO
Respirasi: PC BIPAP
Pins 24, RR 22, PEEP
10, ASB 10, FiO2
60%; vesikuler +/+,
rhonki -/-, whz -/-,
SaO2 98-99%
Kardiovasculer: TD
136/62 mmHg ; HR
90 x/mnt, reguler,
S1S2 tunggal murmur
(-)
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
Musculoskeletal :
Akral hangat
CM 5769 ml
CK 4640 ml
IWL 800 ml
BC 24 Jam +329 ml
AGD (19/09/2016) pukul
08.42 : pH 7.38; pCO2 44,8
mmHg; pO2 89,90 mmHg;
BE 1,1 mmol/l; HCO3-
26,20 mmol/l; SO2 96,7 %;
Na 133 mmol/L (136-145);
K 3,78 mmol/L (3,5-5,1) ;
Cl 101 mmol/L (96-108)
Faal Hemostasis
(19/09/2016) pukul 08.42:
PT 13,7 (10,8-14,4) detik ;
aPTT 26,70(24-36) detik ;
INR 1,12 (0,9-1,1)
Kimia Klinik
(19/09/2016) pukul 08.42:
BUN 26 mg/dL (8-23) ; SC
0,59 mg/dL (0,7-1,2);
Kolesterol total 138 mg/dL
(140-199); Kolesterol HDL
15 mg/dL (40-65);
Kolesterol LDL 77 mg/dL
(<130)
Thorax AP (19/09/2016):
Cor besar dan bentuk kesan
normal, Pulmo tampak
F: Balance
Ringer Laktat :
NaCl 0,9 % 1500
ml/24 jam;
Enteral Peptisol
70 gram 300 ml
tiap 6 jam +
Virgin Coconut
Oil 10 ml tiap 8
jam
A: Morfin 10
mg/24 jam,,
Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: -
T: Heparin 10000
unit/24 jam
H: Head up 30-
45oC
U: Pantoprazole
30 mg tiap 12 jam
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
infiltrat di parakardial
kanan kiri. Tampak
terpasang CVC dengan tip
setinggi T7, sinus pleura
kanan kiri tajam,
diaphragm kanan kiri
normal, tulang-tulang tidak
tampak kelainan. Kesan:
Pneumonia, Tampak
terpasang CVC dengan tip
setinggi T7
Darah lengkap
(19/09/2016) pukul 10.47:
WBC 28,15x103/µL (4,1-
11); HGB 9,62 g/dL (13.5-
17.5); HCT 31,34% (41-
53); PLT 370,40x103µL
(150-440)
Levofloxacin 750
mg tiap 24 jam
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
Furosemid 10 mg
tiap 6 jam apabila
balance positif
20
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: DPO
Respirasi: PC BIPAP
Pins 24, RR 22, PEEP
10, ASB 10, FiO2
60%; vesikuler +/+,
rhonki -/-, whz -/-,
SaO2 98-99%
AGD (20/09/2016) pukul
00.30 : pH 7.42; pCO2 47,4
mmHg; pO2 116,10
mmHg; BE 5,6 mmol/l;
HCO3- 30,10 mmol/l; SO2
98,3 %; Na 127 mmol/L
(136-145); K 4,87 mmol/L
(3,5-5,1) ; Cl 92 mmol/L
(96-108)
F: Balance
Ringer Laktat :
NaCl 0,9 % 1500
ml/24 jam;
Enteral Peptisol
70 gram 300 ml
tiap 6 jam +
Virgin Coconut
Kardiovasculer: TD
130/67 mmHg ; HR
92 x/mnt, reguler,
S1S2 tunggal murmur
(-)
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
Musculoskeletal :
Akral hangat
CM 4430 ml
CK 2900 ml
IWL 800 ml
BC 24 Jam +730 ml
AGD (20/09/2016) pukul
06.58 : pH 7.38; pCO2 54,8
mmHg; pO2 125,40
mmHg; BE 6,3 mmol/l;
HCO3- 31,40 mmol/l; SO2
98,4 %; Na 128 mmol/L
(136-145); K 4,18 mmol/L
(3,5-5,1) ; Cl 97 mmol/L
(96-108)
AGD (20/09/2016) pukul
13.47 : pH 7.43; pCO2 48,7
mmHg; pO2 128,90
mmHg; BE 6,9 mmol/l;
HCO3- 31,20 mmol/l; SO2
98,6 %; Na 130 mmol/L
(136-145); K 3,97 mmol/L
(3,5-5,1) ; Cl 96 mmol/L
(96-108)
Oil 10 ml tiap 8
jam
A: Morfin 10
mg/24 jam,,
Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: -
T: Heparin 10000
unit/24 jam
H: Head up 30-
45oC
U: Pantoprazole
30 mg tiap 12 jam
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
Levofloxacin 750
mg tiap 24 jam
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
Furosemid 10 mg
tiap 6 jam apabila
balance positif
21
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: GCS E4VxM6
Respirasi: PC BIPAP
Pins 18, RR 12, PEEP
10, ASB 10, FiO2
40%; vesikuler +/+,
rhonki -/-, whz -/-,
SaO2 98-99%
AGD (21/09/2016) pukul
07.45 : pH 7.44; pCO2 45,5
mmHg; pO2 139,70
mmHg; BE 5,7 mmol/l;
HCO3- 29,90 mmol/l; SO2
98,8 %; Na 131 mmol/L
(136-145); K 4,61 mmol/L
(3,5-5,1) ; Cl 90 mmol/L
(96-108)
F: Balance NaCl
0,9 % 900 ml/24
jam; Enteral
Peptisol 70 gram
300 ml tiap 6 jam
+ Virgin Coconut
Oil 10 ml tiap 8
jam
A: Morfin 10
mg/24 jam,,
Kardiovasculer: TD
128/74 mmHg ; HR
105 x/mnt, reguler,
S1S2 tunggal murmur
(-)
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
Musculoskeletal :
Akral hangat
CM 5206 ml
CK 4630 ml
IWL 800 ml
BC 24 Jam -224 ml
AGD (21/09/2016) pukul
12.42 : pH 7.46; pCO2 41,7
mmHg; pO2 120,90
mmHg; BE 5,4 mmol/l;
HCO3- 29,20 mmol/l; SO2
98,5 %; Na 130 mmol/L
(136-145); K 4,35 mmol/L
(3,5-5,1) ; Cl 101 mmol/L
(96-108)
Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: -
T: Heparin 10000
unit/24 jam
H: Head up 30-
45oC
U: -
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
Levofloxacin 750
mg tiap 24 jam
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
Furosemid 10 mg
tiap 6 jam apabila
balance positif
22
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: GCS E4VxM6
Respirasi: PC BIPAP
Pins 18, RR 12, PEEP
10, ASB 10, FiO2
40%; vesikuler +/+,
rhonki -/-, whz -/-,
SaO2 98-99%
Kardiovasculer: TD
137/68 mmHg ; HR
95 x/mnt, reguler,
S1S2 tunggal murmur
(-)
AGD (22/09/2016) pukul
07.30 : pH 7.41; pCO2 52,6
mmHg; pO2 120,30
mmHg; BE 7,9 mmol/l;
HCO3- 32,60 mmol/l; SO2
98,3 %; Na 130 mmol/L
(136-145); K 4,57 mmol/L
(3,5-5,1) ; Cl 94 mmol/L
(96-108)
Kimia Klinik
(22/09/2016) pukul 07.30:
BUN 19 mg/dL (8-23) ; SC
0,56 mg/dL (0,7-1,2)
AGD (22/09/2016) pukul
17.19 : pH 7.26; pCO2 62,5
F: Balance NaCl
0,9 % 900 ml/24
jam; Enteral
Peptisol 70 gram
300 ml tiap 6 jam
+ Virgin Coconut
Oil 10 ml tiap 8
jam
A: Morfin 10
mg/24 jam,,
Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: -
T: Heparin 10000
unit/24 jam
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
Musculoskeletal :
Akral hangat
CM 4929 ml
CK 4500 ml
IWL 800 ml
BC 24 Jam -371 ml
mmHg; pO2 82,60 mmHg;
BE 0,3 mmol/l; HCO3-
27,40 mmol/l; SO2 94,3 %;
Na 133 mmol/L (136-145);
K 4,08 mmol/L (3,5-5,1) ;
Cl 91 mmol/L (96-108)
H: Head up 30-
45oC
U: -
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
Levofloxacin 750
mg tiap 24 jam
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
Furosemid 10 mg
tiap 6 jam apabila
balance positif
23
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: GCS E4VxM6
Respirasi: CPAP,
PEEP 10, ASB 0, FiO2
40%; vesikuler +/+,
rhonki -/-, whz -/-,
SaO2 98-99%
Kardiovasculer: TD
153/88 mmHg ; HR
83 x/mnt, reguler,
S1S2 tunggal murmur
(-)
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
Musculoskeletal :
Akral hangat
CM 4454 ml
AGD (23/09/2016) pukul
08.09 : pH 7.49; pCO2 34,8
mmHg; pO2 162,20
mmHg; BE 2,3 mmol/l;
HCO3- 25,70 mmol/l; SO2
99,2 %; Na 131 mmol/L
(136-145); K 4,11 mmol/L
(3,5-5,1) ; Cl 93 mmol/L
(96-108)
Faal Hemostasis
(23/09/2016) pukul 08.09:
PT 13,0 (10,8-14,4) detik ;
aPTT 25,90(24-36) detik ;
INR 1,04 (0,9-1,1)
Darah lengkap
(23/09/2016) pukul 08.09:
WBC 17,31x103/µL (4,1-
11); HGB 10,05 g/dL
(13.5-17.5); HCT 31,83%
(41-53); PLT
F: Balance NaCl
0,9 % 900 ml/24
jam; Enteral
Peptisol 70 gram
300 ml tiap 6 jam
+ Virgin Coconut
Oil 10 ml tiap 8
jam
A: Morfin 10
mg/24 jam,,
Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: -
T: Heparin 10000
unit/24 jam
H: Head up 30-
45oC
U: -
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
CK 4300 ml
IWL 800 ml
BC 24 Jam -646 ml
387,90x103µL (150-440)
AGD (23/09/2016) pukul
15.23 : pH 7.41; pCO2 41,8
mmHg; pO2 128,80
mmHg; BE 1,0 mmol/l;
HCO3- 25,70 mmol/l; SO2
98,6 %; Na 126 mmol/L
(136-145); K 4,36 mmol/L
(3,5-5,1) ; Cl 90 mmol/L
(96-108)
AGD (23/09/2016) Vena
pukul 18.56 : pH 7.38;
pCO2 50,7 mmHg; pO2
35,80 mmHg; BE 3,7
mmol/l; HCO3- 29,00
mmol/l; SO2 66,3 %; Na
128 mmol/L (136-145); K
4,74 mmol/L (3,5-5,1) ; Cl
90 mmol/L (96-108)
Levofloxacin 750
mg tiap 24 jam
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
Furosemid 10 mg
tiap 6 jam apabila
balance positif
24
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: GCS E4V5M6
Respirasi: SPN NRM
10 lpm, RR
16x/menit; vesikuler
+/+, rhonki -/-, whz -/-
, SaO2 98-99%
Kardiovasculer: TD
132/71 mmHg ; HR
110 x/mnt, reguler,
S1S2 tunggal murmur
(-)
AGD (24/09/2016) pukul
06.41 : pH 7.45; pCO2 39,3
mmHg; pO2 160,50
mmHg; BE 3,0 mmol/l;
HCO3- 26,90 mmol/l; SO2
99,1 %; Na 129 mmol/L
(136-145); K 4,28 mmol/L
(3,5-5,1) ; Cl 92 mmol/L
(96-108)
F: Balance NaCl
0,9 % 900 ml/24
jam; Enteral
Peptisol 70 gram
300 ml tiap 6 jam
+ Virgin Coconut
Oil 10 ml tiap 8
jam
A: Morfin 10
mg/24 jam,,
Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: -
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
Musculoskeletal :
Akral hangat
CM 4145 ml
CK 4450 ml
IWL 800 ml
BC 24 Jam -1105 ml
T: Heparin 10000
unit/24 jam
H: Head up 30-
45oC
U: -
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
Levofloxacin 750
mg tiap 24 jam
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
Furosemid 10 mg
tiap 6 jam apabila
balance positif
25
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: GCS E4V5M6
Respirasi: SPN NRM
10 lpm, RR
18x/menit; vesikuler
+/+, rhonki -/-, whz -/-
, SaO2 98-99%
Kardiovasculer: TD
119/61 mmHg ; HR
94 x/mnt, reguler,
S1S2 tunggal murmur
(-)
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
AGD (25/09/2016) pukul
06.52 : pH 7.44; pCO2 38,8
mmHg; pO2 181,20
mmHg; BE 1,4 mmol/l;
HCO3- 25,60 mmol/l; SO2
99,3 %; Na 130 mmol/L
(136-145); K 4,15 mmol/L
(3,5-5,1) ; Cl 93 mmol/L
(96-108)
F: Balance NaCl
0,9 % 900 ml/24
jam; Enteral
Peptisol 70 gram
300 ml tiap 6 jam
+ Virgin Coconut
Oil 10 ml tiap 8
jam
A: Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: -
T: Heparin 10000
unit/24 jam
H: Head up 30-
45oC
U: -
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
Musculoskeletal :
Akral hangat
CM 4045 ml
CK 2900 ml
IWL 800 ml
BC 24 Jam +345 ml
Levofloxacin 750
mg tiap 24 jam
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
Furosemid 10 mg
tiap 6 jam apabila
balance positif
26
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: GCS E4V5M6
Respirasi: SPN NRM
10 lpm, RR
16x/menit; vesikuler
+/+, rhonki -/-, whz -/-
, SaO2 98-99%
Kardiovasculer: TD
122/72 mmHg ; HR
90 x/mnt, reguler,
S1S2 tunggal murmur
(-)
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
Musculoskeletal :
Akral hangat
CM 4353 ml
CK 3400 ml
IWL 800 ml
BC 24 Jam +153 ml
AGD (26/09/2016) pukul
09.29 : pH 7.37; pCO2 41,4
mmHg; pO2 109,80
mmHg; BE -1,7 mmol/l;
HCO3- 25,70 mmol/l; SO2
99,2 %; Na 131 mmol/L
(136-145); K 4,11 mmol/L
(3,5-5,1) ; Cl 93 mmol/L
(96-108)
Faal Hemostasis
(26/09/2016) pukul 09.29:
PT 14,7 (10,8-14,4) detik ;
aPTT 24,80(24-36) detik ;
INR 1,23 (0,9-1,1)
Kimia Klinik
(26/09/2016) pukul 09.29:
BUN 19 mg/dL (8-23) ; SC
0,6 mg/dL (0,7-1,2)
F: Balance NaCl
0,9 % 900 ml/24
jam; Enteral
Peptisol 70 gram
300 ml tiap 6 jam
+ Virgin Coconut
Oil 10 ml tiap 8
jam
A: Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: -
T: Heparin 10000
unit/24 jam
H: Head up 30-
45oC
U: -
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
Levofloxacin 750
mg tiap 24 jam
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
Furosemid 10 mg
tiap 6 jam apabila
balance positif
27
September
2016
BB 80 kg; TB 175 cm;
Tax 36,5 ˚C
SSP: GCS E4V5M6
Respirasi: SPN Nasal
Kanul 2lpm, RR
16x/menit; vesikuler
+/+, rhonki -/-, whz -/-
, SaO2 98-99%
Kardiovasculer: TD
112/59 mmHg ; HR
80 x/mnt, reguler,
S1S2 tunggal murmur
(-)
Abdomen: Distensi (-),
BU (-)
Urogenital: Terpasang
DK
Musculoskeletal :
Akral hangat
CM 3349 ml
CK 2400 ml
IWL 800 ml
BC 24 Jam +149 ml
PINDAH RUANGAN F: Balance NaCl
0,9 % 900 ml/24
jam; Enteral
Peptisol 70 gram
300 ml tiap 6 jam
+ Virgin Coconut
Oil 10 ml tiap 8
jam
A: Paracetamol 1
gram tiap 8 jam
S: -
T: Heparin 10000
unit/24 jam
H: Head up 30-
45oC
U: -
G: BS tiap 24 jam
Terapi lain:
Levofloxacin 750
mg tiap 24 jam
Nebulizer
Ventolin tiap 8
jam
Ambroxol 30 mg
tiap 8 jam oral
Furosemid 10 mg
tiap 6 jam apabila
balance positif
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini kami akan membahas satu persatu hal-hal yang sesuai maupun yang tidak
sesuai antara teori dengan kenyataannya pada pasien ini. Kami mulai dengan penegakan
diagnose ARDS pada pasien ini, dimana menurut American-European Consensus
Conference.3,6,7 bahwa ARDS harus memenuhi 4 kriteria yaitu kegagalan respirasi dengan
onset akut, terdapat infiltrate pada dada bilateral yang terlihat pada rontgen dada, tidak terdapat
peningkatan tekanan jantung kiri dan perbandingan PaO2/FiO2 <200 mmHg. Pada pasien ini
keempat kriteria,yaitu terjadi kegagalan respirasi dengan onset akut, tidak terjadi peningkatan
tekanan pada jantung kiri dan rasio PaO2/FiO2 <300 (yaitu 89,90) dan adanya gambaran
infiltrate bilateral pada rontgen dada. Pada pasien ini terdapat resiko yang sangat besar untuk
terjadinya ARDS yaitu faktor resiko tidak langsung yaitu trauma multiple (resiko sekitar
41%)4,9.
Bila dikaji dari segi gambaran klinis ARDS, yang secara teori menunjukkan pirau intra
pulmoner yang nyata dengan hipoksemia, berkurangnya daya kembang (compliance) paru-
paru yang progresif, dan dispnea (napas dangkal) dan takipnea yang berat akibat hipoksemia
dan bertambahnya kerja pernapasan sekunder terhadap penurunan daya kembang paru-paru
serta pada auskultasi dapat terdengar krepitasi, ronkhi atau wheezing, penderita tampak
sianotik dan hipoksemia yang tidak dapat diatasi dengan pemberian oksigen selama bernafas
spontan. Kesadaran akan berubah/gelisah, dan juga penderita biasanya takikardi serta
mengalami hipotensi/syok3,5,10. Pada pasien ini semua gejala klinis diatas memang ditemukan,
terbukti dengan pada saat pasien dikonsulkan dari ruang angsoka memang terdapat tanda tanda
desaturasi, takipnoe, takikardi, pasien tampak gelisah dan hipotensi, pada pemeriksaan fisik
ditemukan ronkhi di kedua lapangan paru serta dari gambaran AGD pasien yang diambil sesaat
sebelum pasien dikirim ke RTI menunjukkan gambaran hipoksemia dengan PaO2 40,60 dan
SaO2 80,6%.
Pada penatalaksanaan ARDS dikatakan bahwa pasien dengan kegagalan respiratorik
dengan hipoksemia akut, dan peningkatan usaha nafas, memerlukan ventilasi mekanik. Apabila
dengan penggunaan oksigen nasal/sungkup hasil pemeriksaan gas darah PaO2 <50 mmHg,
maka sebaiknya dilakukan intubasi dan pemasangan ventilator mekanik2,4. Pada pasien ini
melihat kondisi di ruangan dengan desaturasi, takipneu dan hipoksemia akut dengan O2 SM
non rebreathing 15 lpm, masih ditemukan PaO2 40,60 sehingga diputuskan untuk dilakukan
intubasi dan kemudian pasien dirawat di RTI.
Dalam kepustakaan disebutkan bahwa saat ini penanganan ARDS dengan tidal volume
yang besar yang dikombinasi dengan peak airway pressure (P peak = tekanan puncak
inspirasi) yang tinggi seharusnya dihindari. Penggunaan tidal volume yang dianjurkan sebesar
6 mL/kgbb dan mempertahankan plateau pressure atau p peak < 30 cmH2O akan menurunkan
angka mortalitas sebesar 9 % (dibandingkan menggunakan tidal volume 12 mL/kgbb).1,6,12,13
Kepustakaan lain menyebutkan bahwa penggunaan tidal volume yang kecil akan menurunkan
angka kematian dari 40 % menjadi 31 %. 4,10. Pada pasien ini kita praktekkan dengan
memberikan p peak <30 cmH2O, (pola ventilasi BiPAP Pinps 30 dan pada hari ke 4 kami
menggunakan Pinps 26) dan low volume tidal, volume tidal yang tercapai pada pasien ini 500
ml (6x75kg=450 ml) dan terbukti memberikan respon yang sangat baik. Salah satu strategi
dalam aplikasi ventilasi mekanik pada ARDS menurut The American-European Consensus
Conference on ARDS adalah meminimalkan terjadinya Oksigen toxicity. Gunakan fraksi
oksigen serendah mungkin (< 60 %) untuk mencapai tujuan ventilasi mekanik, dengan
memanipulasi/mengoptimalisasi faktor-faktor yang lain8,9. Pada pasien ini tidak langsung
menggunakan fraksi oksigen <60%, pasien diawal masuk RTI dengan fraksi O2 100%
kemudian diturunkan bertahap setiap hari hingga pada hari ke-11 dipertahankan 40% selama 3
hari. Dalam kepustakaan juga dijelaskan bahwa penatalaksanaan dengan ventilasi mekanik
juga bertujuan untuk mempertahankan alveoli untuk tetap mengembang atau terbuka kita dapat
menggunakan positive end expiratory pressure (PEEP). Total PEEP 10 – 15 cmH2O8,9. Pada
pasien ini, kami menggunakan metode high PEEP, dimana pada awalnya kami menggunakan
PEEP 10. Hal ini sesuai dengan manajemen ARDS dengan menggunakan metode PEEP 10-15
untuk mempertahankan pengembangan alveoli.
Pada pasien kita menggunakan kortikosteroid 125 mg tiap 8 jam. Secara teori,
penggunaan kortikosteroid pada pasien ARDS masih kontroversi, karena kortikosteroid tidak
terbukti dapat menurunkan angka mortalitas dan insiden terjadinya ARDS. Kortikosteroid
mungkin berguna pada varian ARDS seperti sindrom emboli lemak dan pneumocystic carinii
pneumonia dimana kortikosteroid berguna sebagai profilaksis atau terapi 4,12. Namun beberapa
literature mengatakan kortikosteroid dapat mengurangi kerusakan paru dan permeabilitas
kapiler bila diberikan sejak awal. Namun pada pasien ini kondisi paru paru mengalami
perbaikan pesat yang mungkin saja tidak hanya disebabkan oleh pemakaian kortikosteroid,
tetapi juga mungkin karena factor-faktor lain yang segera dikoreksi secepat mungkin.
Yang tidak kalah penting harus diperhatikan pada penatalaksanaan ARDS adalah
mempertahankan kestabilan hemodinamik dengan pemberian terapi cairan yang cukup dan
sebaiknya dipasang CVC. Pemakaian koloid untuk memperbaiki tekanan hidrostatik dan
tekanan osmotik sering kali digunakan. Penggunaan diuretik (furosemid) seringkali bermanfaat
untuk mengurangi resiko terjadinya kelebihan cairan.2,5,9. Pada pasien ini manajemen terapi
cairannya sudah sesuai dengan teori yang dijabarkan. Terbukti dengan telah dipasangnya CVC
di awal pasien masuk serta penggunaan furosemide bolus sejak hari ketujuh pasien dirawat.
Balance cairan selama dirawat dipertahankan tetap negative dengan tetap menjaga keadekuatan
perfusi ke jaringan.
Kontrol terhadap infeksi nosokomial merupakan salah satu farmakoterapi pada
penatalaksanaan ARDS. Pemberian antibiotika sebaiknya diberikan berdasarkan hasil kultur.
Pengecetan sekret dari bronkus dan kultur sebaiknya dilakukan 2-3 hari sekali.2,9,12. Pada
pasien ini diberika antibiotic spectrum luas Ceftriaxone 2 gram tiap 24 jam sejak awal sebelum
dilakukan kultur kuman. Pada hari ke5 baru diketahui hasil kultur sputum, dan ternyata
Klebsiella Pneumonia terisolasi merupakan kuman lingkungan yang bisa mengkolonisasi
pasien. Dan antibiotika diganti sesuai dengan hasil kultur yaitu Ceftazidim 1 gram tiap 8 jam
Amikasin 1,5 gram tiap 24 jam.
BAB V
PENUTUP
ARDS merupakan suatu kondisi penyakit yang umum kita jumpai di Intensive Care Unit (ICU).
Insiden penyakit ini cukup sering dengan angka kematian yang diketahui dari beberapa studi
berkisar antara 32 – 45 %. Sampai saat ini belum diketahui dengan jelas mengapa ARDS
mempunyai bermacam-macam sebab akan tetapi dapat berkembang menjadi sindroma klinis
dan patofisiologis yang sama.
Gagal organ multipel sering menyertai dan bahkan lebih dari 75 % penderita ARDS
justru meninggal lebih banyak diakibatkan oleh karena gagal organ multipel ini dibandingkan
dengan disfungsi parunya sendiri.
Populasi tertinggi kematian akibat ARDS adalah pada mereka yang mempunyai
kelompok umur tua, penderita immunocompromise dan pasien dengan penyakit hati kronis.
Angka kematian yang masih tinggi ini menyebabkan prognosisnya kurang baik walaupun
dengan terapi yang intensif. Walaupun ada yang berhasil bertahan hidup, namun sebagian
besar dari mereka setelah dievaluasi fungsi parunya sudah terjadi kecacatan.
Target utama penatalaksanaan ARDS adalah mengembangkan alveoli secara optimal
untuk mempertahankan gas arteri dan oksigenasi jaringan yang adekuat, keseimbangan cairan
dan asam basa serta sirkulasi yang memadai sampai integritas membran kapiler utuh kembali.
Selain itu juga ditujukan untuk mengatasi faktor-faktor pencetus dan hal-hal lain serta
memberikan terapi penunjang.
DAFTAR PUSTAKA
1. BTS Guidelines (2003). British thoracic society guidelines for the management of
suspected acute pulmonary embolism. Thorax 58, 470.
2. Musset D (2002). Diagnostic strategy for patienrs wirh suspected pulmonary embolism
: a prospective multicentre outcome study. Lancet 36, 1914.
3. Cheng XS, Wang Q (1994). Experience of pulmonary embolism in China. In :
Pulmonary Embolism Ed : Mario Marpugo.1st ed, Marcel Dekker Inc, New York, p.
88.
4. Chau KY, Yuen ST, Ng THK, Ng WF (1991). An autopsy study of pulmonary
thromboembolism in Hongkong Chineese. Pathology 23, 181.
5. Sharma S (2003). Pulmonary embolism. Available from
http://www.Emedicine.com/med/topic 1958.htm. last updated April 8, 2003
6. Tapson VF (1997). Pulmonary embolism-new diagnostic approaches. N Engl J Med
336 (20), 1449.
7. Elliot CG, Goldhaber SZ, VIsani L, Derosa M (2000). Chest radiographs in acute
pulmonary embolism. Chest 118, 33.
8. Ramachandran P, Ooman A (2003). Pulmonary embolism : an overview. JIMA issue
101 (4), 1
9. Dalen JE (2002). Pulmonary embolism : what have we learned since virchow ?
Treatment and prevention. Chest 122, 1801.
10. Goldhaber SZ, Visani L, De Rosa M, for ICOPER (1999). Acute pulmonary embolism
: clinical outcomes in the International Cooperative Pulmonary Embolism Registry
(ICOPER). Lancel 353, 1386.
11. Wagenvoort CA (1994). Pathomorphology of pulmonary thromboembolism. n :
Pulmonary Embolism. Ed : Mario Marpugo. 1st ed, Marcel Dekker Inc, New York, p.
55.
12. Dalen JE (1994). Clinical diagnostic of acute pulmonary embolism. In : Pulmonary
Embolism. Ed : Mario Marpugo. 1st ed, Marcel Dekker Inc, New York, p. 66.
13. More LE, Ware D (2002). Amniotic fluid embolism. Available from http:
//www.Emedice.com/emerg/topic 787.htm. Last updated March 21, 2002.
14. Kirkland L (2004). Fat embolism. Available from http
://www.Emedicine.com/med/topic652.htm.last updated 2004
15. Hyers TM (1997). Venous thromboembolism. Am J Respir Crit Care Med 159 (1), 1
16. Wells PS. Anderson DR, Rodger M, Stiell I (2001). Excluding pulmonary embolism at
the bedside without diagnostic imaging : management of patients with suspected
pulmonary embolism
17. Fennerty T (1997). Fortnightly review : the diagnosis of pulmonary embolism. BMJ
314, 425.
18. PIOPED Investigators (1990). Value of the ventilation - perfusion scan in acute
pulmonary embolism. JAMA 263, 2753.
19. Haage P, Piroth W. Krombach G, et al (2003). Pulmonary embolism : comparison of
angiography with spiral computed tomography, magnetic resonance angiography, and
real time magnetic resonance imaging. Am J Respir Crit Care Med 167, 729.
20. Goldhaber SZ (2001). Pulmonary embolism. In : Hear Disease; a textbook of
cardiovascular medicine. Eds : Braunwald E. Zipes DP, Libby P. 6th ed, WB Sauders
Company, Philadelphia, p. 1886.
21. Gloria O.D., William R. Acute Respiratory Failure. In: Hemodinamic Monitoring. 2nd
editon. Saunders. San Diego, California. 2004: 244-73
22. Marwoto. Management of Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS). In: The
Indonesian Journal of Anaesthesiology and Critical Care. Vol 23 no. 1 Jan 2005: 87-
93
23. Bersten A.D. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Oh’s Intensive Care Manual.
5th
edition. Elsevier. Western Australia. 2004: 329-39
24. Wilson L.M. Cardiovasculer and Pulmonalis Disease. In: Pathophysiology-Clinical
Consepts of Disease Processes. 4th
edition. EGC. Michigan. 1992: 720-44
25. Marwoto. Management of Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS). In: The
Indonesian Journal of Anaesthesiology and Critical Care. Vol 23 no. 1 Jan 2005: 87-
93
26. Muhardi, Masdjid A.S. Adult Respiratory Distress Syndrome. In: Penatalaksanaan
Pasien di Intensive Care Unit. Ed. Muhardi M. Sagung Seto, Jakarta, 2001: 59-65
27. Learn About ARDS. Available at http://ards.org/learnaboutards. accesed on July 17th
2012
28. Udobi K.F., Childs E. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: The American
Academy of Family Physicians. Vol. 67/ no. 2
29. Papadacos P.J., Haitsma J.J. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Critical Care-
The Requisites in Anaesthesiology. Elsevier Mosby. Philadelphia. 2005: 176-80
30. Adult Respiratory Distress Syndrome. Available at
http://shop.store.yahoo.com/mrashad/adredisy.htm 1. accesed on July 17th 2012
31. Bersten A.D. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Oh’s Intensive Care Manual.
5th edition. Elsevier. Western Australia. 2004: 329-39
32. Adult Respiratory Distress Syndrome. Available at
http://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/ency/adult respiratory distress
syndrome.jps. accesed on August 10th 2012
33. ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Available at http://health.allrefer
com/health/ ards-acute-respiratory-distress-syndrome-info.html. accesed on July 17th
2012
34. Gloria O.D., William R. Acute Respiratory Failure. In: Hemodinamic Monitoring. 2nd
editon. Saunders. San Diego, California. 2004: 244-73
35. Muhardi, Masdjid A.S. Adult Respiratory Distress Syndrome. In: Penatalaksanaan
Pasien di Intensive Care Unit. Ed. Muhardi M. Sagung Seto, Jakarta, 2001: 59-65
36. http://www.medscape.com/viewarticle/498155. accesed on 17th July 2012
37. Dellinger R.P., Carlet J.M., Masur H. Et al. Surviving Sepsis Campaign Guidelines for
Management of Severe Sepsis and Septic Shock. In: Critical Care Medicine 2004 vol.
32 no. 3
38. Kim M.S., Stier G.R. Fluid and Electrolite Therapy. In: Adult Perioperative
Anaesthesia. Editor: Hines R.L. Elsevier Mosby. Philadelpia. 2004: 189-201
39. Dellinger R.P., Carlet J.M., Masur H. Et al. Surviving Sepsis Campaign Guidelines
for Management of Severe Sepsis and Septic Shock. In: Critical Care Medicine 2004
vol. 32 no. 3
40. http://www.medscape.com/viewarticle/498155. accesed on 17th
April 2006
41. Respiratory Distress Syndrome. Available at
http://shop.store.yahoo.com/mrashad/adredisy.htm 1. accesed on april 17th
2006
42. Artigas A., Bernard G.R., Carlet J. Et al. Conference Report-The American-European
Consensus Conference ARDS, part 2. in: American Journal of Respiratory and
Critical Care Medicine. Vol. 157. pp 1332-47, 1998
43. Kvetan V., Mustafa Iqbal. Acute Lung Injury-Second Asia Pacific Consensus
Conference in Critical Care Medicine. In: Critical Care and Shock. Vol. 2 no. 3 1999:
119-33
44. Lee K.H., Barbara A.K., Miro A.M. Respiratory Function-Adult Respiratory Distress
Syndrome in: Textbook of Critical Care. Editor: Shoemaker. W.B. Saunders
Company. Philadelpia. 1996: 189-299
45. Wolfgang O., Werba A., Andel H. Breathing and Mechanical Support. Blackwell
Science. Vienna. 1997: 163-94
46. Papadacos P.J., Haitsma J.J. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Critical Care-
The Requisites in Anaesthesiology. Elsevier Mosby. Philadelphia. 2005: 176-80
47. Udobi K.F., Childs E. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: The American
Academy of Family Physicians. Vol. 67/ no. 2
Top Related