Dr Niken Naskah

9
Dampak poliposis hidung terhadap fungsi ventilasi paru *Niken Lestari Poerbonegoro, *Retno Sulistyo Wardani, *Umar Said Dharmabakti, **Martin Rumende, ***Agustin Kusumayati *Departement THT Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Dr Cipto Mangunkusumo **Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Dr Cipto Mangunkusumo ***Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia ABSTRAK Latar belakang: Beberapa dekade terakhir ini hubungan antara saluran napas atas dan bawah tetap hangat dibicarakan, ditandai dengan munculnya konsep “one airway one disease”. Poliposis hidung merupakan keadaan inflamasi kronis mukosa saluran napas atas. Bagaimana kaitan poliposis hidung dengan saluran napas bawah sampai saat ini masih dipertanyakan. Tujuan: Mengetahui dampak poliposis hidung terhadap fungsi ventilasi paru. Metode: Desain studi adalah potong lintang komparatif antara kelompok penderita poliposis hidung dan kelompok tanpa poliposis hidung. Jumlah percontoh setiap kelompok sebesar 29 orang. Dilakukan tes cukit kulit dan pemeriksaan spirometri untuk menilai fungsi ventilasi paru. Nilai persentase prediksi kapasitas vital paksa (KVP), volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP 1 ), dan rasio VEP 1 /KVP dicatat. Perhitungan statistik dilakukan dengan uji t-independen dan Pearson chi-square. Hasil: Hasil spirometri memperlihatkan nilai rerata % prediksi KVP dan nilai rerata % prediksi VEP 1 kelompok penderita poliposis hidung lebih rendah dari kelompok tanpa poliposis hidung (68,33% dan 62,36% banding 78,66% dan 70,65%; p< 0,05). Nilai rasio VEP 1 /KVP kelompok pasien poliposis hidung sedikit lebih tinggi dari kelompok tanpa poliposis hidung (83,88 banding 83,18; p>0,05). Data gambaran fungsi ventilasi paru memperlihatkan perbedaan yang bermakna pada proporsi gangguan fungsi ventilasi paru antara kedua kelompok (58,7% dan 31%, p<0,05). Dengan perhitungan tabel 2x2 didapatkan rasio prevalens sebesar 1,9 (IK 95% 0,002-0,498). Kesimpulan: kelompok dengan poliposis hidung memperlihatkan penurunan bermakna nilai % prediksi KVP dan % prediksi VEP 1 , namun rasio VEP 1 /KVP tidak menurun. Proporsi gangguan fungsi ventilasi paru pada kelompok poliposis hidung lebih besar daripada kelompok tanpa poliposis hidung. Laporan Penelitian

description

RSK

Transcript of Dr Niken Naskah

Page 1: Dr Niken Naskah

Dampak poliposis hidung terhadap fungsi ventilasi paru *Niken Lestari Poerbonegoro, *Retno Sulistyo Wardani, *Umar Said Dharmabakti,

**Martin Rumende, ***Agustin Kusumayati *Departement THT Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Dr Cipto Mangunkusumo

**Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

RS Dr Cipto Mangunkusumo

***Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

ABSTRAK

Latar belakang: Beberapa dekade terakhir ini hubungan antara saluran napas atas dan bawah

tetap hangat dibicarakan, ditandai dengan munculnya konsep “one airway one disease”.

Poliposis hidung merupakan keadaan inflamasi kronis mukosa saluran napas atas. Bagaimana

kaitan poliposis hidung dengan saluran napas bawah sampai saat ini masih dipertanyakan.

Tujuan: Mengetahui dampak poliposis hidung terhadap fungsi ventilasi paru. Metode:

Desain studi adalah potong lintang komparatif antara kelompok penderita poliposis hidung

dan kelompok tanpa poliposis hidung. Jumlah percontoh setiap kelompok sebesar 29 orang.

Dilakukan tes cukit kulit dan pemeriksaan spirometri untuk menilai fungsi ventilasi paru.

Nilai persentase prediksi kapasitas vital paksa (KVP), volume ekspirasi paksa detik pertama

(VEP1), dan rasio VEP1/KVP dicatat. Perhitungan statistik dilakukan dengan uji t-independen

dan Pearson chi-square. Hasil: Hasil spirometri memperlihatkan nilai rerata % prediksi KVP

dan nilai rerata % prediksi VEP1 kelompok penderita poliposis hidung lebih rendah dari

kelompok tanpa poliposis hidung (68,33% dan 62,36% banding 78,66% dan 70,65%; p<

0,05). Nilai rasio VEP1/KVP kelompok pasien poliposis hidung sedikit lebih tinggi dari

kelompok tanpa poliposis hidung (83,88 banding 83,18; p>0,05). Data gambaran fungsi

ventilasi paru memperlihatkan perbedaan yang bermakna pada proporsi gangguan fungsi

ventilasi paru antara kedua kelompok (58,7% dan 31%, p<0,05). Dengan perhitungan tabel

2x2 didapatkan rasio prevalens sebesar 1,9 (IK 95% 0,002-0,498). Kesimpulan: kelompok

dengan poliposis hidung memperlihatkan penurunan bermakna nilai % prediksi KVP dan %

prediksi VEP1, namun rasio VEP1/KVP tidak menurun. Proporsi gangguan fungsi ventilasi

paru pada kelompok poliposis hidung lebih besar daripada kelompok tanpa poliposis hidung.

Laporan Penelitian

Page 2: Dr Niken Naskah

Kata kunci: poliposis hidung, fungsi ventilasi paru, spirometri, KVP, VEP1

ABSTRACT

Background: Correlation between upper and lower airway always been an interesting topic

in the past decades, showed by the emerging of “one airway one disease” concept. Nasal

polyposis is a chronic inflammatory disease of the upper respiratory tract mucosa. How

nasal polyposis affects or relates to the lower respiratory tract is still debatable. Purpose: to

evaluate the impact of nasal polyposis on the lower respiratory function. Methods: This study

was done in the ENT Department and Pulmonology - Internal Medicine Department Cipto

Mangunkusumo Hospital from March to December 2003. It was a comparative cross-

sectional study between polyposis group and non-polyposis group, with 29 subjects each.

Subjects underwent skin prick test and spirometry examinations. Vital capacity (VC), forced

expiratory volume at the first one second (FEV1) and FEV1/VC ratio values were gathered.

Statistic calculations performed using independents t-test and Pearson chi-square. Results:

Spirometry datas showed VC %prediction and FEV1 %prediction values in nasal polyposis

group were lower than in non-polyposis group (68.33% and 62.36% vs 78.66% and 70.65%,

p < 0.05), but not significant for FEV1/VC ratio score (83.88 vs 83.18, p > 0.05). Patterns of

lung ventilatory function, the percentage of lung ventilatory function disorder between the

polyposis group and the control group is significantly different (58.7% vs 31%, p< 0.05).

Using 2x2 table calculation, prevalence ratio was 1.9 (CI 95% 0.002-0.498).Conclusion:

Polyposis group showed significant lower values of VC % prediction and FEV1 % prediction.

Percentage of lung ventilatory function disorder in polyposis group is significantly higher

than control.

Keywords: nasal polyposis, lung ventilatory function, spirometry, VC, FEV1

Alamat korespondensi : Niken Lestari Poerbonegoro, Departemen THT Divisi Alergi-

Imunologi FKUI/RSCM, Jl. Diponegoro no. 71, Jakarta 10430. Email: [email protected]

PENDAHULUAN

Dalam beberapa dekade terakhir,

hubungan antara saluran napas atas dan

bawah selalu menjadi topik yang menarik

untuk dibicarakan. Para ahli telah

mengajukan beberapa konsep mengenai

hubungan saluran napas atas dan bawah,

yaitu: 1) konsep sekret belakang hidung

(post nasal drip), 2) konsep absorpsi

toksin dan mediator inflamasi, 3) konsep

Page 3: Dr Niken Naskah

mouth breathing, 4) konsep refleks

nasobronkial, dan 5) konsep united airway

disease.1-5

Poliposis hidung merupakan

penyakit inflamasi kronis pada saluran

napas atas yang prevalensinya belum

diketahui secara pasti. American General

Health Survey pada tahun 1980

melaporkan prevalensi poliposis hidung

adalah 0,3% dari populasi.3 Di Inggris,

diperkirakan sekitar 0,2-1% dari populasi

dewasa mempunyai polip hidung.4 Studi

pada kadaver menemukan adanya polip

hidung sebesar 42%.4,6

Poliposis hidung adalah penyakit

inflamasi kronis mukosa hidung dan sinus

paranasal yang ditandai dengan adanya

pembengkakan dan penonjolan mukosa

hidung bilateral.3,8,9,11 Beberapa faktor

diduga memiliki pengaruh pada terjadinya

poliposis hidung seperti usia, alergi,

infeksi dan inflamasi eosinofilik.6,7

Sampai saat ini, hubungan

poliposis hidung dan fungsi saluran napas

bawah masih menjadi topik riset yang

menarik. Beberapa studi deskriptif

melaporkan bahwa poliposis hidung dan

asma bronkial atau hipereaktifitas bronkus

sering ditemukan bersamaan.1,8,9 Satu studi

evaluasi jangka panjang menyatakan

bahwa poliposis hidung yang tidak

responsif terhadap steroid dapat menjadi

faktor risiko terjadinya penyakit saluran

napas bawah obstruktif.9 Kelainan pada

saluran napas bawah yang terjadi akibat

poliposis hidung akan berdampak buruk

terhadap kualitas hidup penderita.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

bagaimana pengaruh poliposis hidung

terhadap fungsi ventilasi paru.

METODE

Penelitian ini merupakan studi

potong lintang komparatif antara

kelompok penderita poliposis hidung dan

kelompok subyek tanpa poliposis hidung.

Penelitian ini dilakukan di Departemen

THT dan Divisi Pulmonologi-Penyakit

Dalam FKUI/ RSCM Jakarta sejak Maret

sampai Desember 2003.

Populasi penelitian adalah

penderita poliposis hidung usia 18-65

tahun yang datang ke poliklinik THT

RSCM, yang ditegakkan melalui

anamnesis gejala hidung dan pemeriksaan

nasoendoskopi yang memperlihatkan

adanya massa polip di kedua rongga

hidung. Populasi subyek tanpa poliposis

hidung adalah orang yang datang ke

RSCM dan tidak menderita poliposis

hidung. Percontoh penderita poliposis

hidung diambil secara berurutan

(consecutive sampling). Peneliti

mengeksklusi penderita poliposis hidung

yang mendapat terapi kortikosteroid oral

atau topikal dalam 3 bulan terakhir.

Percontoh subyek tanpa poliposis hidung

diambil secara matching terhadap usia dan

Page 4: Dr Niken Naskah

jenis kelamin percontoh penderita

poliposis hidung. Semua percontoh yang

menderita infeksi akut saluran napas atas,

memperlihatkan kelainan jantung, paru

dan tulang belakang pada pemeriksaan

foto polos dada, serta perokok aktif tidak

diikutsertakan dalam penelitian. Semua

percontoh yang memenuhi kriteria

penerimaan dan penolakan menjalani tes

cukit kulit untuk 10 alergen inhalan dan

pemeriksaan spirometri (Microspiro HI-

500) untuk menilai fungsi ventilasi paru

dengan hasil berupa nilai persentase

prediksi kapasitas vital paksa (KVP),

persentase prediksi volume ekspirasi paksa

detik pertama (VEP1), dan rasio

VEP1/KVP.

HASIL

Masing-masing kelompok terdiri dari 20

pria dan 9 wanita. Usia rerata pada

kelompok penderita poliposis hidung

adalah 31,3 tahun dan pada kelompok

subyek tanpa poliposis hidung adalah 31,9

tahun.

Pada kelompok penderita poliposis

hidung, tiga gejala terbanyak yang

dikeluhkan adalah hidung tersumbat pada

28 penderita, diikuti dengan hidung

beringus sebanyak 24 penderita, dan

gangguan penghidu pada 20 penderita.

Derajat poliposis merupakan penjumlahan

dari derajat polip (kriteria Lund dan

Mckay) kedua rongga hidung. Sembilan

belas penderita memperlihatkan derajat

ringan-sedang (derajat 2,3 dan 4) dan

sebanyak 10 penderita dengan derajat

berat (derajat 5 dan 6). Didapatkan hasil

tes cukit kulit positif pada 17 orang dari

kelompok penderita poliposis hidung dan

pada 12 orang dari kelompok subyek tanpa

(Pearson chi-square p>0,144).

Tabel 1. Gambaran parameter tes spirometri pada kedua kelompok

Parameter

fungsi ventilasi paru

n Rerata Standar

deviasi

t p

%prediksi KVP

- Poliposis

hidung

- Tanpa

poliposis hidung

29

29

68,33

78,66

11,65

13,80

-

3,08

0,003

%prediksi VEP1

- Poliposis

29

62,36

14,28

-

0,026

Page 5: Dr Niken Naskah

hidung

- Tanpa

poliposis hidung

29 70,65 13,26 2,29

Rasio VEP1/KVP

- Poliposis

hidung

- Tanpa

poliposis hidung

29

29

83,88

83,18

9,86

6,73

0,32

0,703

Hasil tes spirometri memperlihatkan nilai

rerata % prediksi KVP dan nilai rerata %

prediksi VEP1 pada kelompok penderita

poliposis hidung lebih rendah dari

kelompok subyek tanpa poliposis hidung

(68,33% dan 62,36% terhadap 78,66% dan

70,65%). Melalui uji t-independen

didapatkan adanya perbedaan yang

bermakna pada nilai % prediksi KVP dan

nilai % prediksi VEP1 antara kedua

kelompok. Nilai rasio VEP1/KVP pada

kelompok pasien poliposis hidung sedikit

lebih tinggi dari kelompok orang tanpa

poliposis hidung (83,88 terhadap 83,18),

dengan perbedaan yang tidak bermakna

secara uji t-independen.

Tabel 2. Distribusi gambaran fungsi ventilasi paru pada kedua kelompok

Gambaran fungsi

ventilasi paru

Kelompok penderita

poliposis hidung

Kelompok subyek

tanpa poliposis hidung

Jumlah Persentase Jumlah Persentase

Normal 12 41,3 20 69,0

Terganggu

restriksi 15 51,7 9 31,0

obstruksi 1 3,5 - -

campuran 1 3,5 - -

Dengan melihat gambaran fungsi ventilasi

paru, ditemukan gangguan fungsi ventilasi

paru pada 17 penderita poliposis hidung,

dengan perincian 15 penderita

memperlihatkan pola gangguan restriksi, 1

penderita dengan pola gangguan obstruksi,

dan 1 penderita dengan pola gangguan

campuran. Pada kelompok subyek tanpa

Page 6: Dr Niken Naskah

poliposis hidung ditemukan 9 orang

dengan gangguan fungsi ventilasi paru

yang seluruhnya berupa pola restriksi.

Terdapat perbedaan yang bermakna pada

proporsi gangguan fungsi ventilasi paru

antara kedua kelompok (58,7% dan 31%,

Pearson chi-square p=0,035). Dengan

perhitungan tabel 2x2 didapatkan rasio

prevalens sebesar 1,9 (IK 95% 0,002-

0,498)

DISKUSI

Pada penelitian ini didapatkan jumlah

penderita poliposis hidung pria lebih

banyak dari wanita. Hal ini serupa dengan

beberapa penelitian lain terdahulu. Larsen

dan Tos,10 meneliti 134 penderita polip

hidung, mendapatkan rasio pria terhadap

wanita sebesar 2,9:1. Lamblin dkk9

mendapatkan 31 pria dari 48 penderita

poliposis hidung. Namun demikian, belum

ada literatur yang menyatakan bahwa

insidens poliposis hidung dipengaruhi oleh

jenis kelamin atau meningkat pada jenis

kelamin pria.

Sebanyak 65,5% pasien poliposis

hidung ditemukan dalam keadaan derajat

ringan-sedang. Data ini cukup baik, karena

menyiratkan adanya peningkatan

kesadaran pasien untuk secara dini

memeriksakan penyakitnya.

Tidak berbeda dengan studi-studi

terdahulu, penelitian ini mendapatkan

proporsi atopi pada penderita poliposis

tidak berbeda bermakna dengan kelompok

kontrol. Literatur menyatakan bahwa

kejadian polip hidung pada populasi alergi

adalah rendah, sekitar 0,5-1,5%.6 Satu

studi oleh Laprise dan Boulet, dikutip

oleh Lamblin dkk,8 mengemukakan peran

atopi sebagai faktor timbulnya asma pada

pasien poliposis hidung dalam kurun

waktu evaluasi 3 tahun.

Penelitian ini mencoba untuk

mempelajari fungsi saluran napas bawah

yang berhubungan dengan poliposis

hidung, yaitu dengan melihat adanya

perubahan fungsi ventilasi paru. Pada

kelompok poliposis hidung terlihat adanya

penurunan nilai % prediksi KVP (68,33%)

dan % prediksi VEP1 (62,36%). Temuan

ini tidak sejalan dengan studi Radenne

dkk11 yang mengevaluasi kualitas hidup

pasien poliposis hidung, dan mendapatkan

nilai % prediksi KVP dan % prediksi

VEP1 yang masih baik (103% dan 92%).

Lamblin dkk12 juga mendapatkan nilai %

prediksi VEP1 pada pasien poliposis

hidung dengan hiperreaktifitas bronkus

yang masih baik (97,2%). Pada dua studi

tersebut tidak terdapat informasi mengenai

lama sakit maupun derajat ringan-beratnya

penyakit, sehingga kemungkinan

perbedaan hasil spirometri pada penelitian

ini mungkin disebabkan oleh perbedaan

karakteristik lama penyakit dan derajat

penyakit.

Page 7: Dr Niken Naskah

Gambaran gangguan fungsi

ventilasi paru dapat berupa pola restriktif

atau obstruktif. Bila mengacu pada teori

united airway disease, penderita poliposis

hidung diperkirakan mengalami pula

proses inflamasi berulang di saluran napas

bawah. Hal ini akan diikuti dengan proses

remodeling saluran napas bawah berupa

penebalan lamina propia atau penebalan

otot bronkus. Pada kondisi patologis yang

berat, hal ini dapat bermanifestasi sebagai

gangguan fungsi ventilasi paru pola

obstruktif akibat adanya peningkatan

tahanan bronkus.13,14 Penelitian ini

mendapatkan proporsi gangguan fungsi

ventilasi paru pada kelompok poliposis

hidung lebih besar dari kelompok kontrol.

Penelitian ini juga mendapatkan hasil yang

tidak sejalan dengan teori tersebut, yaitu

ditemukannya gangguan fungsi ventilasi

paru pola restriktif pada 15 penderita dan

dan pola obstruktif hanya pada 1 penderita.

Perbedaan temuan ini dapat diterangkan

dengan beberapa alasan. Pertama, tipe

histopatologik poliposis hidung di Asia

dan Indonesia didominasi oleh tipe

neutrofilik, berbeda dengan dominasi tipe

eosinofilik di Eropa, sehingga

kemungkinan terjadi tipe inflamasi yang

berbeda pula di saluran napas bawah.15,16

Kedua, pada penelitian ini proses inflamasi

kronis yang terjadi di saluran napas bawah

mungkin belum diikuti dengan terjadinya

kelainan morfologi saluran napas bawah.

Pemeriksaan spirometri baik untuk

mendeteksi adanya gangguan fungsi

ventilasi, namun tidak dapat mendeteksi

kelainan morfologi, anatomi atau patologi

secara tepat.17 Ketiga, pasien dengan

gejala hidung tersumbat akibat poliposis

hidung cenderung untuk bernapas cepat

dan dangkal (rapidly low tidal volume),

bernapas dengan usaha (effort breathing),

dan memerlukan waktu lebih lama untuk

pengisian volume paru.17 Pada keadaan

seperti ini kemungkinan akan terjadi

penurunan volume paru yang

dipresentasikan dengan penurunan nilai %

prediksi KVP dan nilai % prediksi VEP1.

Sebagai kesimpulan, penelitian ini

mendapatkan adanya perubahan fungsi

ventilasi paru pada kelompok poliposis

hidung. Berdasarkan hal tersebut, dapat

dikemukakan bahwa poliposis hidung

merupakan salah satu dari beberapa

kelainan ekstra-pulmoner yang dapat

menyebabkan timbulnya gangguan fungsi

ventilasi paru. Penelitian ini memperkuat

pemikiran bahwa adanya kelainan di

saluran napas atas harus selalu

dipertimbangkan pada setiap penderita

yang mengalami masalah pernapasan

ataupun gangguan fungsi ventilasi paru.

Page 8: Dr Niken Naskah

DAFTAR PUSTAKA 1. Corren J. The link between allergic rhinitis

and asthma, otitis media, sinusitis and

nasal polyposis. Immunology and Allergy

Clinics of North America 2000; 20(2):

445-460.

2. Borrish L. Sinusitis and asthma: entering

the realm of evidence based medicine. J

Allergy Clin Immunol 2002; 109:606-8.

3. Jankowski R. Nasal polyposis and asthma.

In: Mygind N, Lindholt T, eds. Nasal

Polyposis. An inflammatory disease and

its treatment, 1 st ed. Copenhagen:

Munksgaard; 1997. p. 112-9.

4. Larsen K. The clinical relationship of

nasal polyps to asthma. In: Settipane GA,

Lund VJ, Bernstein JM, Tos M, eds. Nasal

polyps: Epidemiology, pathogenesis and

treatment, 1st ed. Rhode Island: Oceanside

Publications Inc.; 1997. p. 97-104.

5. CorrenJ, Adinoff AD, Irvin CG. Changes

in bronchial responsiveness following

nasal provocation with allergen. J Allergy

Clin Immunol 1992; 89:611-8.

6. Van der Baan B. Epidemiology and

natural history. In: Mygind N, Lindholt T,

eds. Nasal Polyposis. An inflammatory

disease and its treatment, 1 st ed.

Copenhagen: Munksgaard; 1997. p. 13-6.

7. Drake-Lee A. The pathogenesis of nasal

polyps. In: Settipane GA, Lund VJ,

Bernstein JM, Tos M, eds. Nasal polyps:

Epidemiology, pathogenesis and

treatment, 1st ed. Rhode Island: Oceanside

Publications Inc.; 1997. p. 57-64.

8. Lamblin C, Gosset P, Salez F,

Vandezande LM, Perez T, Darras J, et al.

Eosinophilic airway inflammation in nasal

polyposis. J Allergy Clin Immunol 1999;

104: 85-92.

9. Lamblin C, Brichet A, Perez T, Darras J,

Tonnel AB, Wallaert B. Long-term

follow-up of pulmonary functions in

patients with nasal polyposis. Am J Respir

Crit Care Med 2000; 161(2): 406-413.

10. Larsen K, Tos M. Clinical course of

patients with primary nasal polyps. Acta

Otolaryngology 1994; 114:556-9.

11. Radenne F, Lamblin C, Vandezande LM,

Tillie-Leblond I, Darras J, Tonnel AB, et

al. Quality of life in nasal polyposis. J

Allergy Clin Immunol 1999; 103:79-84.

12. Lamblin C, Tiilie-Leblond I, Darras J,

Dubrulle F, Chevalier D, cardo E, et al.

Sequential evaluation of pulmonary

function and bronchial

hyperresponsiveness in patients with nasal

polyposis: a prospective study. Am J

Respir Crit Care Med 1997; 155:99-103.

13. West JB. Disturbances of respiratory

function. In: Braunwald E, Isselbacher KJ,

Petersdorf RG, Wilson JD, Martin JB,

Fauci AS, eds. Harrison’s principles of

internal medicine, 11th ed. USA: McGraw-

Hill Book Co.; 1987. p. 1049-1056.

14. Pierce R, Johns DP. Spirometry. The

measurement and interpretation of

ventilatory function in clinical practice.

Available from: URL: http//

www.nationalasthma.org.au/

publications/spiro/index.htm.

15. Jareonchasri P. Histopathologic structures

of nasal polyps in Thailand. In: Bunnag C,

Page 9: Dr Niken Naskah

Muntarbhan K,eds. Bangkok: Asian

Rhinological Practice; 1997. p. 54-63.

16. Hamadi F. Gambaran histopatologi polip

nasi di Departemen THT RS Dr. Cipto

Mangunkusumo. Thesis PPDS bidang

THT. Jakarta: FKUI; 2004. p. 61.

17. Hughes DTD, Empey DW. Lung function

for clinician. London: Academic Press

Inc.; 1981. p. 1-112.