Dr Niken Naskah
-
Upload
syafrina-dalimunthe -
Category
Documents
-
view
8 -
download
2
description
Transcript of Dr Niken Naskah
Dampak poliposis hidung terhadap fungsi ventilasi paru *Niken Lestari Poerbonegoro, *Retno Sulistyo Wardani, *Umar Said Dharmabakti,
**Martin Rumende, ***Agustin Kusumayati *Departement THT Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Dr Cipto Mangunkusumo
**Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RS Dr Cipto Mangunkusumo
***Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
ABSTRAK
Latar belakang: Beberapa dekade terakhir ini hubungan antara saluran napas atas dan bawah
tetap hangat dibicarakan, ditandai dengan munculnya konsep “one airway one disease”.
Poliposis hidung merupakan keadaan inflamasi kronis mukosa saluran napas atas. Bagaimana
kaitan poliposis hidung dengan saluran napas bawah sampai saat ini masih dipertanyakan.
Tujuan: Mengetahui dampak poliposis hidung terhadap fungsi ventilasi paru. Metode:
Desain studi adalah potong lintang komparatif antara kelompok penderita poliposis hidung
dan kelompok tanpa poliposis hidung. Jumlah percontoh setiap kelompok sebesar 29 orang.
Dilakukan tes cukit kulit dan pemeriksaan spirometri untuk menilai fungsi ventilasi paru.
Nilai persentase prediksi kapasitas vital paksa (KVP), volume ekspirasi paksa detik pertama
(VEP1), dan rasio VEP1/KVP dicatat. Perhitungan statistik dilakukan dengan uji t-independen
dan Pearson chi-square. Hasil: Hasil spirometri memperlihatkan nilai rerata % prediksi KVP
dan nilai rerata % prediksi VEP1 kelompok penderita poliposis hidung lebih rendah dari
kelompok tanpa poliposis hidung (68,33% dan 62,36% banding 78,66% dan 70,65%; p<
0,05). Nilai rasio VEP1/KVP kelompok pasien poliposis hidung sedikit lebih tinggi dari
kelompok tanpa poliposis hidung (83,88 banding 83,18; p>0,05). Data gambaran fungsi
ventilasi paru memperlihatkan perbedaan yang bermakna pada proporsi gangguan fungsi
ventilasi paru antara kedua kelompok (58,7% dan 31%, p<0,05). Dengan perhitungan tabel
2x2 didapatkan rasio prevalens sebesar 1,9 (IK 95% 0,002-0,498). Kesimpulan: kelompok
dengan poliposis hidung memperlihatkan penurunan bermakna nilai % prediksi KVP dan %
prediksi VEP1, namun rasio VEP1/KVP tidak menurun. Proporsi gangguan fungsi ventilasi
paru pada kelompok poliposis hidung lebih besar daripada kelompok tanpa poliposis hidung.
Laporan Penelitian
Kata kunci: poliposis hidung, fungsi ventilasi paru, spirometri, KVP, VEP1
ABSTRACT
Background: Correlation between upper and lower airway always been an interesting topic
in the past decades, showed by the emerging of “one airway one disease” concept. Nasal
polyposis is a chronic inflammatory disease of the upper respiratory tract mucosa. How
nasal polyposis affects or relates to the lower respiratory tract is still debatable. Purpose: to
evaluate the impact of nasal polyposis on the lower respiratory function. Methods: This study
was done in the ENT Department and Pulmonology - Internal Medicine Department Cipto
Mangunkusumo Hospital from March to December 2003. It was a comparative cross-
sectional study between polyposis group and non-polyposis group, with 29 subjects each.
Subjects underwent skin prick test and spirometry examinations. Vital capacity (VC), forced
expiratory volume at the first one second (FEV1) and FEV1/VC ratio values were gathered.
Statistic calculations performed using independents t-test and Pearson chi-square. Results:
Spirometry datas showed VC %prediction and FEV1 %prediction values in nasal polyposis
group were lower than in non-polyposis group (68.33% and 62.36% vs 78.66% and 70.65%,
p < 0.05), but not significant for FEV1/VC ratio score (83.88 vs 83.18, p > 0.05). Patterns of
lung ventilatory function, the percentage of lung ventilatory function disorder between the
polyposis group and the control group is significantly different (58.7% vs 31%, p< 0.05).
Using 2x2 table calculation, prevalence ratio was 1.9 (CI 95% 0.002-0.498).Conclusion:
Polyposis group showed significant lower values of VC % prediction and FEV1 % prediction.
Percentage of lung ventilatory function disorder in polyposis group is significantly higher
than control.
Keywords: nasal polyposis, lung ventilatory function, spirometry, VC, FEV1
Alamat korespondensi : Niken Lestari Poerbonegoro, Departemen THT Divisi Alergi-
Imunologi FKUI/RSCM, Jl. Diponegoro no. 71, Jakarta 10430. Email: [email protected]
PENDAHULUAN
Dalam beberapa dekade terakhir,
hubungan antara saluran napas atas dan
bawah selalu menjadi topik yang menarik
untuk dibicarakan. Para ahli telah
mengajukan beberapa konsep mengenai
hubungan saluran napas atas dan bawah,
yaitu: 1) konsep sekret belakang hidung
(post nasal drip), 2) konsep absorpsi
toksin dan mediator inflamasi, 3) konsep
mouth breathing, 4) konsep refleks
nasobronkial, dan 5) konsep united airway
disease.1-5
Poliposis hidung merupakan
penyakit inflamasi kronis pada saluran
napas atas yang prevalensinya belum
diketahui secara pasti. American General
Health Survey pada tahun 1980
melaporkan prevalensi poliposis hidung
adalah 0,3% dari populasi.3 Di Inggris,
diperkirakan sekitar 0,2-1% dari populasi
dewasa mempunyai polip hidung.4 Studi
pada kadaver menemukan adanya polip
hidung sebesar 42%.4,6
Poliposis hidung adalah penyakit
inflamasi kronis mukosa hidung dan sinus
paranasal yang ditandai dengan adanya
pembengkakan dan penonjolan mukosa
hidung bilateral.3,8,9,11 Beberapa faktor
diduga memiliki pengaruh pada terjadinya
poliposis hidung seperti usia, alergi,
infeksi dan inflamasi eosinofilik.6,7
Sampai saat ini, hubungan
poliposis hidung dan fungsi saluran napas
bawah masih menjadi topik riset yang
menarik. Beberapa studi deskriptif
melaporkan bahwa poliposis hidung dan
asma bronkial atau hipereaktifitas bronkus
sering ditemukan bersamaan.1,8,9 Satu studi
evaluasi jangka panjang menyatakan
bahwa poliposis hidung yang tidak
responsif terhadap steroid dapat menjadi
faktor risiko terjadinya penyakit saluran
napas bawah obstruktif.9 Kelainan pada
saluran napas bawah yang terjadi akibat
poliposis hidung akan berdampak buruk
terhadap kualitas hidup penderita.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana pengaruh poliposis hidung
terhadap fungsi ventilasi paru.
METODE
Penelitian ini merupakan studi
potong lintang komparatif antara
kelompok penderita poliposis hidung dan
kelompok subyek tanpa poliposis hidung.
Penelitian ini dilakukan di Departemen
THT dan Divisi Pulmonologi-Penyakit
Dalam FKUI/ RSCM Jakarta sejak Maret
sampai Desember 2003.
Populasi penelitian adalah
penderita poliposis hidung usia 18-65
tahun yang datang ke poliklinik THT
RSCM, yang ditegakkan melalui
anamnesis gejala hidung dan pemeriksaan
nasoendoskopi yang memperlihatkan
adanya massa polip di kedua rongga
hidung. Populasi subyek tanpa poliposis
hidung adalah orang yang datang ke
RSCM dan tidak menderita poliposis
hidung. Percontoh penderita poliposis
hidung diambil secara berurutan
(consecutive sampling). Peneliti
mengeksklusi penderita poliposis hidung
yang mendapat terapi kortikosteroid oral
atau topikal dalam 3 bulan terakhir.
Percontoh subyek tanpa poliposis hidung
diambil secara matching terhadap usia dan
jenis kelamin percontoh penderita
poliposis hidung. Semua percontoh yang
menderita infeksi akut saluran napas atas,
memperlihatkan kelainan jantung, paru
dan tulang belakang pada pemeriksaan
foto polos dada, serta perokok aktif tidak
diikutsertakan dalam penelitian. Semua
percontoh yang memenuhi kriteria
penerimaan dan penolakan menjalani tes
cukit kulit untuk 10 alergen inhalan dan
pemeriksaan spirometri (Microspiro HI-
500) untuk menilai fungsi ventilasi paru
dengan hasil berupa nilai persentase
prediksi kapasitas vital paksa (KVP),
persentase prediksi volume ekspirasi paksa
detik pertama (VEP1), dan rasio
VEP1/KVP.
HASIL
Masing-masing kelompok terdiri dari 20
pria dan 9 wanita. Usia rerata pada
kelompok penderita poliposis hidung
adalah 31,3 tahun dan pada kelompok
subyek tanpa poliposis hidung adalah 31,9
tahun.
Pada kelompok penderita poliposis
hidung, tiga gejala terbanyak yang
dikeluhkan adalah hidung tersumbat pada
28 penderita, diikuti dengan hidung
beringus sebanyak 24 penderita, dan
gangguan penghidu pada 20 penderita.
Derajat poliposis merupakan penjumlahan
dari derajat polip (kriteria Lund dan
Mckay) kedua rongga hidung. Sembilan
belas penderita memperlihatkan derajat
ringan-sedang (derajat 2,3 dan 4) dan
sebanyak 10 penderita dengan derajat
berat (derajat 5 dan 6). Didapatkan hasil
tes cukit kulit positif pada 17 orang dari
kelompok penderita poliposis hidung dan
pada 12 orang dari kelompok subyek tanpa
(Pearson chi-square p>0,144).
Tabel 1. Gambaran parameter tes spirometri pada kedua kelompok
Parameter
fungsi ventilasi paru
n Rerata Standar
deviasi
t p
%prediksi KVP
- Poliposis
hidung
- Tanpa
poliposis hidung
29
29
68,33
78,66
11,65
13,80
-
3,08
0,003
%prediksi VEP1
- Poliposis
29
62,36
14,28
-
0,026
hidung
- Tanpa
poliposis hidung
29 70,65 13,26 2,29
Rasio VEP1/KVP
- Poliposis
hidung
- Tanpa
poliposis hidung
29
29
83,88
83,18
9,86
6,73
0,32
0,703
Hasil tes spirometri memperlihatkan nilai
rerata % prediksi KVP dan nilai rerata %
prediksi VEP1 pada kelompok penderita
poliposis hidung lebih rendah dari
kelompok subyek tanpa poliposis hidung
(68,33% dan 62,36% terhadap 78,66% dan
70,65%). Melalui uji t-independen
didapatkan adanya perbedaan yang
bermakna pada nilai % prediksi KVP dan
nilai % prediksi VEP1 antara kedua
kelompok. Nilai rasio VEP1/KVP pada
kelompok pasien poliposis hidung sedikit
lebih tinggi dari kelompok orang tanpa
poliposis hidung (83,88 terhadap 83,18),
dengan perbedaan yang tidak bermakna
secara uji t-independen.
Tabel 2. Distribusi gambaran fungsi ventilasi paru pada kedua kelompok
Gambaran fungsi
ventilasi paru
Kelompok penderita
poliposis hidung
Kelompok subyek
tanpa poliposis hidung
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Normal 12 41,3 20 69,0
Terganggu
restriksi 15 51,7 9 31,0
obstruksi 1 3,5 - -
campuran 1 3,5 - -
Dengan melihat gambaran fungsi ventilasi
paru, ditemukan gangguan fungsi ventilasi
paru pada 17 penderita poliposis hidung,
dengan perincian 15 penderita
memperlihatkan pola gangguan restriksi, 1
penderita dengan pola gangguan obstruksi,
dan 1 penderita dengan pola gangguan
campuran. Pada kelompok subyek tanpa
poliposis hidung ditemukan 9 orang
dengan gangguan fungsi ventilasi paru
yang seluruhnya berupa pola restriksi.
Terdapat perbedaan yang bermakna pada
proporsi gangguan fungsi ventilasi paru
antara kedua kelompok (58,7% dan 31%,
Pearson chi-square p=0,035). Dengan
perhitungan tabel 2x2 didapatkan rasio
prevalens sebesar 1,9 (IK 95% 0,002-
0,498)
DISKUSI
Pada penelitian ini didapatkan jumlah
penderita poliposis hidung pria lebih
banyak dari wanita. Hal ini serupa dengan
beberapa penelitian lain terdahulu. Larsen
dan Tos,10 meneliti 134 penderita polip
hidung, mendapatkan rasio pria terhadap
wanita sebesar 2,9:1. Lamblin dkk9
mendapatkan 31 pria dari 48 penderita
poliposis hidung. Namun demikian, belum
ada literatur yang menyatakan bahwa
insidens poliposis hidung dipengaruhi oleh
jenis kelamin atau meningkat pada jenis
kelamin pria.
Sebanyak 65,5% pasien poliposis
hidung ditemukan dalam keadaan derajat
ringan-sedang. Data ini cukup baik, karena
menyiratkan adanya peningkatan
kesadaran pasien untuk secara dini
memeriksakan penyakitnya.
Tidak berbeda dengan studi-studi
terdahulu, penelitian ini mendapatkan
proporsi atopi pada penderita poliposis
tidak berbeda bermakna dengan kelompok
kontrol. Literatur menyatakan bahwa
kejadian polip hidung pada populasi alergi
adalah rendah, sekitar 0,5-1,5%.6 Satu
studi oleh Laprise dan Boulet, dikutip
oleh Lamblin dkk,8 mengemukakan peran
atopi sebagai faktor timbulnya asma pada
pasien poliposis hidung dalam kurun
waktu evaluasi 3 tahun.
Penelitian ini mencoba untuk
mempelajari fungsi saluran napas bawah
yang berhubungan dengan poliposis
hidung, yaitu dengan melihat adanya
perubahan fungsi ventilasi paru. Pada
kelompok poliposis hidung terlihat adanya
penurunan nilai % prediksi KVP (68,33%)
dan % prediksi VEP1 (62,36%). Temuan
ini tidak sejalan dengan studi Radenne
dkk11 yang mengevaluasi kualitas hidup
pasien poliposis hidung, dan mendapatkan
nilai % prediksi KVP dan % prediksi
VEP1 yang masih baik (103% dan 92%).
Lamblin dkk12 juga mendapatkan nilai %
prediksi VEP1 pada pasien poliposis
hidung dengan hiperreaktifitas bronkus
yang masih baik (97,2%). Pada dua studi
tersebut tidak terdapat informasi mengenai
lama sakit maupun derajat ringan-beratnya
penyakit, sehingga kemungkinan
perbedaan hasil spirometri pada penelitian
ini mungkin disebabkan oleh perbedaan
karakteristik lama penyakit dan derajat
penyakit.
Gambaran gangguan fungsi
ventilasi paru dapat berupa pola restriktif
atau obstruktif. Bila mengacu pada teori
united airway disease, penderita poliposis
hidung diperkirakan mengalami pula
proses inflamasi berulang di saluran napas
bawah. Hal ini akan diikuti dengan proses
remodeling saluran napas bawah berupa
penebalan lamina propia atau penebalan
otot bronkus. Pada kondisi patologis yang
berat, hal ini dapat bermanifestasi sebagai
gangguan fungsi ventilasi paru pola
obstruktif akibat adanya peningkatan
tahanan bronkus.13,14 Penelitian ini
mendapatkan proporsi gangguan fungsi
ventilasi paru pada kelompok poliposis
hidung lebih besar dari kelompok kontrol.
Penelitian ini juga mendapatkan hasil yang
tidak sejalan dengan teori tersebut, yaitu
ditemukannya gangguan fungsi ventilasi
paru pola restriktif pada 15 penderita dan
dan pola obstruktif hanya pada 1 penderita.
Perbedaan temuan ini dapat diterangkan
dengan beberapa alasan. Pertama, tipe
histopatologik poliposis hidung di Asia
dan Indonesia didominasi oleh tipe
neutrofilik, berbeda dengan dominasi tipe
eosinofilik di Eropa, sehingga
kemungkinan terjadi tipe inflamasi yang
berbeda pula di saluran napas bawah.15,16
Kedua, pada penelitian ini proses inflamasi
kronis yang terjadi di saluran napas bawah
mungkin belum diikuti dengan terjadinya
kelainan morfologi saluran napas bawah.
Pemeriksaan spirometri baik untuk
mendeteksi adanya gangguan fungsi
ventilasi, namun tidak dapat mendeteksi
kelainan morfologi, anatomi atau patologi
secara tepat.17 Ketiga, pasien dengan
gejala hidung tersumbat akibat poliposis
hidung cenderung untuk bernapas cepat
dan dangkal (rapidly low tidal volume),
bernapas dengan usaha (effort breathing),
dan memerlukan waktu lebih lama untuk
pengisian volume paru.17 Pada keadaan
seperti ini kemungkinan akan terjadi
penurunan volume paru yang
dipresentasikan dengan penurunan nilai %
prediksi KVP dan nilai % prediksi VEP1.
Sebagai kesimpulan, penelitian ini
mendapatkan adanya perubahan fungsi
ventilasi paru pada kelompok poliposis
hidung. Berdasarkan hal tersebut, dapat
dikemukakan bahwa poliposis hidung
merupakan salah satu dari beberapa
kelainan ekstra-pulmoner yang dapat
menyebabkan timbulnya gangguan fungsi
ventilasi paru. Penelitian ini memperkuat
pemikiran bahwa adanya kelainan di
saluran napas atas harus selalu
dipertimbangkan pada setiap penderita
yang mengalami masalah pernapasan
ataupun gangguan fungsi ventilasi paru.
DAFTAR PUSTAKA 1. Corren J. The link between allergic rhinitis
and asthma, otitis media, sinusitis and
nasal polyposis. Immunology and Allergy
Clinics of North America 2000; 20(2):
445-460.
2. Borrish L. Sinusitis and asthma: entering
the realm of evidence based medicine. J
Allergy Clin Immunol 2002; 109:606-8.
3. Jankowski R. Nasal polyposis and asthma.
In: Mygind N, Lindholt T, eds. Nasal
Polyposis. An inflammatory disease and
its treatment, 1 st ed. Copenhagen:
Munksgaard; 1997. p. 112-9.
4. Larsen K. The clinical relationship of
nasal polyps to asthma. In: Settipane GA,
Lund VJ, Bernstein JM, Tos M, eds. Nasal
polyps: Epidemiology, pathogenesis and
treatment, 1st ed. Rhode Island: Oceanside
Publications Inc.; 1997. p. 97-104.
5. CorrenJ, Adinoff AD, Irvin CG. Changes
in bronchial responsiveness following
nasal provocation with allergen. J Allergy
Clin Immunol 1992; 89:611-8.
6. Van der Baan B. Epidemiology and
natural history. In: Mygind N, Lindholt T,
eds. Nasal Polyposis. An inflammatory
disease and its treatment, 1 st ed.
Copenhagen: Munksgaard; 1997. p. 13-6.
7. Drake-Lee A. The pathogenesis of nasal
polyps. In: Settipane GA, Lund VJ,
Bernstein JM, Tos M, eds. Nasal polyps:
Epidemiology, pathogenesis and
treatment, 1st ed. Rhode Island: Oceanside
Publications Inc.; 1997. p. 57-64.
8. Lamblin C, Gosset P, Salez F,
Vandezande LM, Perez T, Darras J, et al.
Eosinophilic airway inflammation in nasal
polyposis. J Allergy Clin Immunol 1999;
104: 85-92.
9. Lamblin C, Brichet A, Perez T, Darras J,
Tonnel AB, Wallaert B. Long-term
follow-up of pulmonary functions in
patients with nasal polyposis. Am J Respir
Crit Care Med 2000; 161(2): 406-413.
10. Larsen K, Tos M. Clinical course of
patients with primary nasal polyps. Acta
Otolaryngology 1994; 114:556-9.
11. Radenne F, Lamblin C, Vandezande LM,
Tillie-Leblond I, Darras J, Tonnel AB, et
al. Quality of life in nasal polyposis. J
Allergy Clin Immunol 1999; 103:79-84.
12. Lamblin C, Tiilie-Leblond I, Darras J,
Dubrulle F, Chevalier D, cardo E, et al.
Sequential evaluation of pulmonary
function and bronchial
hyperresponsiveness in patients with nasal
polyposis: a prospective study. Am J
Respir Crit Care Med 1997; 155:99-103.
13. West JB. Disturbances of respiratory
function. In: Braunwald E, Isselbacher KJ,
Petersdorf RG, Wilson JD, Martin JB,
Fauci AS, eds. Harrison’s principles of
internal medicine, 11th ed. USA: McGraw-
Hill Book Co.; 1987. p. 1049-1056.
14. Pierce R, Johns DP. Spirometry. The
measurement and interpretation of
ventilatory function in clinical practice.
Available from: URL: http//
www.nationalasthma.org.au/
publications/spiro/index.htm.
15. Jareonchasri P. Histopathologic structures
of nasal polyps in Thailand. In: Bunnag C,
Muntarbhan K,eds. Bangkok: Asian
Rhinological Practice; 1997. p. 54-63.
16. Hamadi F. Gambaran histopatologi polip
nasi di Departemen THT RS Dr. Cipto
Mangunkusumo. Thesis PPDS bidang
THT. Jakarta: FKUI; 2004. p. 61.
17. Hughes DTD, Empey DW. Lung function
for clinician. London: Academic Press
Inc.; 1981. p. 1-112.