Dr. Andi Adri Arief : kelembagaan masyarakat pesisir
description
Transcript of Dr. Andi Adri Arief : kelembagaan masyarakat pesisir
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT NELAYAN MELALUIPENDEKATAN KELEMBAGAAN LOKAL
(Studi Kasus Desa Pajukukang, Kecamatan Maros Utara, Kabupaten Maros)
Empowerment of Fisherman Community Through Local Institution Approach (Case Study on Pajukukang Village, North Maros Sub district, Maros
Regency)
Oleh : A. Adri Arief 1
ABSTRACK
This research aimed to know characteristic (type, function, and activity), existence (sustainability) of traditional fisherman community institution and to formulate the empowerment model of fisherman community institution in managing the fishery resources in order to incrase welfare and to preserve the biological resources by tradisional/local fisherman. The data was collected through interview and direct obeservation. The data was analysed by using qualitative and empowerment model by using SWOT analysis method. The result of this research showed the existence of imbalanced profit sharing in the traditional fisherman community institution of punggawa-sawi (fisher crew leader), namely 13 : 1, where punggawa received 20 share (60%), juragan received 2 share (6,06%), sawi pa’bas received 1,5 share (4,54%), sawi pakkaca received 1,5 share (4,54%), and each general sawi (8 person) received 1 share (3,03%). The old norms haw “adhesive ability” because they have economic dimension as well as social dimension. The effort of fisherman community empowerment has to be community oriented, community based, and community managerial.
Keywords : Fisherman community, Local institution, Empowerment.
PENDAHULUAN
Lembaga dalam suatu komunitas masyarakat pesisir terdiri dari organisasi
pada tingkat nelayan serta kelembagaan masyarakat desa yang diartikan sebagai
“norma lama” atau aturan-aturan sosial yang telah berkembang secara tradisional
dan terbangun atas budaya lokal sebagai komponen dan pedoman pada beberapa
jenis/tingkatan lembaga sosial yang saling berinteraksi dalam memenuhi kebutuhan
pokok masyarakat untuk mempertahankan nilai. Norma lama yang dimaksud yaitu
aturan-aturan sosial yang merupakan bagian dari lembaga sosial dan simbolisasi
yang mengatur kepentingan masyarakat di masa lalu (Sallatang, 1982).1)Dosen Sosek Perikanan, Fak. Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.
1
Di Sulawesi Selatan, kelompok kerja (working group) kenelayanan
punggawa-sawi dikenal sebagai salah satu bentuk kelembagaan desa yang bersifat
tradisional. Dalam eksistensinya, punggawa mempunyai berbagai hak istimewa,
sementara sawi berada pada posisi tawar yang sangat lemah, namun kelembagaan
ini masih tetap eksis sampai saat ini. Berkaitan dengan itu maka perlu adanya
pengkajian yang lebih mendalam untuk melihat sejauh mana peranan yang tersedia
dan perlu diciptakan, serta bagaimana seharusnya peranan-peranan (perangkat
peranan) itu dilakukan atau dijalankan untuk lebih mengaktualisasikan fungsi-
fungsi yang diemban masing-masing lembaga, agar dapat meningkatkan
kesejahteraan nelayan tradisional khususnya nelayan grassroot yang dibarengi
dengan kelestarian sumberdaya perikanan yang tetap dapat terjaga
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik (jenis, fungsi, dan
aktifitas) kelembagaan masyarakat nelayan, eksistensi kelembagaan, serta
merumuskan model pemberdayaan kelembagaan dalam mengelola sumberdaya
perikanan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat nelayan tradisional.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan pada bulan Juni – September 2002 di Desa
Pajukukang, Kecamatan Maros Utara, Kabupaten Maros. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui
wawancara dan observasi. Sedang strategi untuk mencapai tujuan penelitian
adalah dengan metode studi kasus. Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data
primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari hasil wawancara dengan informan (punggawa
darat (pa’palele), punggawa laut (juragan), sawi dan nelayan mandiri. Wawancara
singkat juga dilakukan dengan tokoh nelayan, tokoh adat, pemerintah setempat,
aparat instansi terkait, dan key informan. Prinsip triangulasi pengumpulan data
juga dipraktekkan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari instansi terkait,
laporan penelitian, literatur dan karya ilmiah.
Untuk merumuskan strategi pemberdayaan masyarakat nelayan melalui
pendekatan kelembagaan lokal dilakukan dengan analisis SWOT.
2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Lembaga Sosial Punggawa-Sawi
Masyarakat nelayan di Desa Pajukukang, terdiri atas kelompok-kelompok
sosial (social groups). Namun, yang dominan diantaranya ialah ”kelompok
nelayan” yang mengoperasikan berbagai jenis alat tangkap seperti rengge (purse
seine), rere (drift gill net), lanra (gill net), jolloro (motor tempel dengan alat
tangkap pancing). Kelompok ini adalah “kelompok kerja” (working groups) yang
dipimpin oleh seorang (bergelar) “punggawa” dan para pengikutnya disebut
“sawi”. Hubungan kerja antara punggawa dengan sawi itulah membentuk sistem
sosial nelayan, yang melibatkan warga masyarakat dan kelompok-kelompoknya.
Pembagian menurut lapangan pekerjaan dan peranan masing-masing
anggota kelompok, merupakan dasar pembentukan struktur dalam kelompok sosial.
Sedang dasar pembentukan struktur termaksud, tidak diketahui dengan pasti kapan
terwujudnya. Akan tetapi, diperkirakan kelompok sosial ini sudah ada sejak dahulu
dan melembaga sampai sekarang, dimana hal itu merupakan hasil interaksi dalam
masyarakat yang dilakukan secara berulang-ulang dan teratur, sehingga dengan
sendirinya memberikan hak-hak dan kewajiban tertentu dalam interaksinya baik
secara horisontal maupun secara vertikal.
Punggawa mempunyai peranan ; (1) memimpin dan mengorganisasikan
kelompok untuk menangkap ikan, (2) menyediakan modal, (3) menyediakan alat
tangkap (fishing gear), termasuk (5) menyediakan kapal tangkap atau perahu.
Sebagai bagian dari peranan pemimpin dan mengorganisasikan kelompok,
punggawa juga melakukan: perekrutan anggota kelompok, pembagian hasil,
pemberian pinjaman kepada para sawi dalam bentuk uang atau bahan sebagai biaya
hidup (cost of living) bagi mereka, termasuk keluarganya yang mereka tinggalkan
selama mereka berada di laut. Selanjutnya, sawi terdiri atas banyak orang (2 – 15),
yang juga sudah terspesialisasi seperti sawi juragan, sawi pakkaca, sawi pa’bas
serta sawi biasa tergantung dari jenis alat tangkap yang mereka ikuti.
Berdasarkan aturan pembagian hasil di dalam kelompok, dikenal adanya
bagian-bagian hasil untuk : (1) Kepemimpinan atau kepunggawaan, yaitu
memimpin dan mengorganisasikan kelompok; (2) menyediakan perahu; (3)
3
menyediakan alat tangkap; (4) menyediakan mesin atau motor pada perahu.
Keempat bagian hasil ini diperoleh atau diterima oleh punggawa yang
menggambarkan adanya 4 (empat) peranan yang dimainkan oleh punggawa.
Selanjutnya 1 (satu) peranan yang tersisa di dalam kelompok yaitu melaksanakan
kegiatan penangkapan oleh para sawi yang jumlahnya dua sampai lima belas orang
tergantung jenis alat tangkap yang digunakan. Selanjutnya, diantara para sawi
biasanya satu atau dua orang diantara mereka mendapat tambahan peranan yaitu
sawi yang memiliki keahlian tertentu misalnya sawi yang memimpin operasi,
menangani bagian mesin, melakukan penyelaman pada waktu pengoperasian alat
tangkap, dan juga sawi yang membersihkan mesin dan alat tangkap lainnya
setibanya di darat. Tambahan pehasilan peranan diberikan kepada sawi diistilahkan
sebagai bonus dari punggawa. Secara ringkas dapat terlihat pada gambar 1,
mengenai jenis, fungsi dan peranan kelembagaan punggawa-sawi
Gambar 1. Fungsi dan Peranan Kelembagaan Punggawa-Sawi di Desa Pajukukang
4
Kelembagaan punggawa-sawi
Juragan(1 org)
SawiPunggawa
Fungsi : Pengkreditan Asuransi Pembuka lap. Kerja Pendidikan informal
Sawi(8 org)
Pemimpin klp Menyiapkan
modal Persiapan Mencari &
menentukan sawi Menyiapkan
bekal Surat jalan Selamatan Memasarkan
Sawi Pakkaca(1 org)
SawiPa’bas(1 org)
Sebagaipengintai
ikan
Menangani bagian mesin
Melaksanakan berbagai
kegiatan yg berkaitan dng
keperluan operasi
penangkapan
Mencari sawi lain
Memimpin operasi
Menentukan lokasi
Memimpin & mengarahkan sawi
PERANANAN
Penerapan Sistem Bagi Hasil
Sistem bagi hasil dalam lembaga sosial punggawa-sawi, menerapkan sistem
“bagi tiga”, yaitu satu bagian pemiliki perahu (33,35%), satu bagian pemilik alat
tangkap (33,35%), semuanya dimiliki oleh punggawa,sehingga jika dikumulatif
bagian punggawa menjadi 66,7%, dan satu bagian tenaga operasional (sawi)
sebanyak 33,3% dibagi dengan 8 orang (masing-masing mendapat 3,03%).
Selanjutnya punggawa mengeluarkan sebanyak 6,06% dari bagiannya sebagai
bonus kepada juragan (satu bagian sawi = 3,03%), sawi pakkaca (setengah bagian
sawi = 1,51%) dan sawi pa’bas (setengah bagian sawi = 1,51%). Secara ringkas
dapat dilihat pada gambar 2.
Fungsi Norma Lama Sebagai Bagian Lembaga Sosial
Untuk mengetahui fungsi norma lama sebagai bagian lembaga sosial di
masa lalu, rancangan analisisnya adalah menginventarisasi norma lama yang
difokuskan pada kepentingan masyarakat nelayan dalam upaya mewujudkan
tatanan yang berprinsip keselarasan dengan alam berdasarkan persepsi informan
yang diuji secara konfirmabilitas. Dimana diterima jika persepsi informan sejalan
(signifikan) apa yang dikemukakan oleh pakar.
Tabel 1. Persepsi informan tentang norma lama yang masih relevan dalam keadaan sekarang di masyarakat pesisir.
5
Sawi Biasa
(3,03%)
Sawi Pakkaca(4,54%)
Sawi Pa’bas
(4,54%)Punggawa(60,6%)
Juragan(6,06%)
No Norma Lama Keterangan Fungsi1. Matike (mewaspadai) Nelayan memanfaatkan potensi laut sesuai
kebutuhannya baik untuk kepentingan sesaat, maupun untuk kepentingan masa yang akan datang
2. Mabbulo Sibatang (bersatu)
Terwujudnya interkoneksitas antara manusia dengan lingkungannya, adanya kepedulian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (perbaikan fasilitas umun dsb)
3. Sipakatongeng (saling mempercayai)
Hasil produksi yang diperoleh dibagi diantara punggawa (patron) dan sawi (klien) sesuai dengan kesepakatan yang tidak tertulis
4. Sipakatuju (saling membantu)
Punggawa memberikan panjar-panjar kepada sawinya pada saat dibutuhkan
5. Siparappe (saling peduli)
Punggawa memberikan jaminan dana kesehatan jika terdapat anggota keluarga sawi yang sakit
5. Sipatokkong (dukungan politis)
Sawi rela berkorban jika punggawa mendapat kesusahan, dan sawi melibatkan diri jika punggawa mengadakan pesta atau upacara adat
6. Taumalise (tingkat pengetahuan)
Pemimpin harus jujur dan terbuka serta berperanan dalam hal mempengaruhi aktivitas seseorang/kelompok, dan mengutamakan yang disepakati oleh orang banyak
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2002.
Hasil penelitian tersebut dapat dikatakan signifikan, sebab sejalan dengan
hasil kajian berikut ini :
“Menurut Ali (2000). Petani/nelayan tidak melihat alam sebagai sesuatu
yang harus dikuras untuk mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya, tetapi
petani/nelayan berusaha untuk menjaganya melalui aturan-aturan yang sangat
dihormati oleh sesamanya”.
Tabel 2. Persepsi Informan tentang Norma Lama di Desa sebagai Bagian Lembaga Sosial di Tingkat Nelayan.
6
No. Lembaga Sosial Jenis Kegiatan (Norma Lama)1. Lembaga Upacara adat
(Mappasawe) fungsi pokoknya pemeliharaan (Latensi)
Melakukan upacara adat dengan cara “lapakkoro” (tafakur), yang mengharuskan mereka untuk selalu mensucikan hati dari sifat-sifat tercela, seperti dengki,takabur dsb. Dengan tidak berumahnya sifat-sifat buruk tersebut, berarti akhlak mereka menjadi makin mulia sehingga menjadi modal terbinanya persatuan dan kesatuan diantara mereka
2. Lembaga musyawarah masyarakat, fungsinya pokoknya pencapaian tujuan
Kesadaran spiritual terhadap pemanfaatan potensi laut, yakni lautan ditempatkan bagaikan penguasa (matike), yang menimbulkan kesadaran ekologis
3. Lembaga kekerabatan (Mabbulo sibatang), fungsi pokoknya integrasi
Anggota masyarakat harus selalu dalam keadaan harmonis dan bersatu padu
4. Lembaga punggawa-sawi, fungsi pokoknya adaptasi lingkungan
Setiap kegiatan harus diputuskan/ disepakati melalui proses saling menghargai (sipakatuju/sipakatau)
5. Lembaga kepemimpinan, fungsi pokonya pemeliharaan pola (latensi)
Figur pemimpin harus cerdas, jujur dan terbuka (malise)
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2002.
Hasil penelitian tersebut dapat dikatakan signifikan, sebab sejalan dengan
hasil kajian berikut ini.
Menurut Burger (1986), petani/nelayan tidak melihat alam sebagai sesuatu
yang harus dikuras untuk mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya, tetapi
berusaha untuk menjaganya melalui aturan-aturan yang sangat dihormati oleh
sesama. Petani/nelayan sering melakukan upacara ritual dalam setiap kegiatannya
sebagai simbolisasi dari harapan dan kehendak agar Yang Maha Agung dapat
bijaksana dan tetap membuat alam bersahabat dengannya.
Strategi Pemberdayaan Masyarakat Nelayan
Tabel 3. Matriks Analisis SWOT (Rangkuti, 2001).
7
ExsternalFactor Analysis
Strategy
InternalFactor AnalysisStrategy
PELUANG (Opportunities = O)
ANCAMAN(Threats = T)
Regulasi pemerintah UU No 16 thn 1964, tentang Bagi Hasil. UU. No 22/99 Otonomi Daerah
Terbentuknya Departemen Kelautan & Perikanan
Modernisasi Perikanan Nilai-nilai norma lama yg
dapat disinergikan dengan norma baru
Kebijakan Pemerintah yg masih bersipat top down
Norma lama yg masih dipertahankan namun sudah tidak sesuai dng perkembangan zaman
Terbatasnya infra struktur yg mendukung usaha nelayan
Norma baru yang tidak mampu melembaga dalam masyarakat
KEKUATAN(Strength = S)
Strategi (S = O) Strategi (S = T)
Tenaga kerja produktif yg masih banyak tersedia
Etos kerja yang tinggi
Respon positif terhadap inovasi baru dibidang perikanan
Peran serta wanita dapat diandalkan
Sosialisasi, intervensi dan implementasi regulasi pemerintah (UU.No 16 /64, UU. No 22/99)
Penyuluhan, pelatihan kepada nelayan dan keluarga nelayan dalam peningkatan ekonomi keluarga
Inovasi di bidang perikanan
Memadukan norma lama dengan norma baru
Nelayan dilibatkan dalam kegiatan perencanaan kebijakan (bottom up)
Identifikasi sarana dan prasarana yang dibutuhkan
Memanfaatkan waktu luang wanita nelayan untuk menambah penghasilan keluarga
Meningkatkan persepsi/ pengetahuan nelayan dalam mendukung norma-norma baru yang terbentuk
KELEMAHAN(Weaknesses = W)
Strategi ( W = O) Strategi (W = T)
Pendidikan formal yang rendah
Aspek pengelolaan yang lemah (modal, skill, teknologi)
Manajemen usaha masih bersifat tradisional
Norma lama yang sudah tidak relevan lagi masih tetap dipertahankan
Pelatihan, bimbingan, serta bantuan yg intensif mengenai aspek pengolahan
Penyempurnaan manajemen lokal yg mengarah keperbaikan
Pembentukan lembaga baru yg bersumber dari nilai lama
Deferiansi fungsional yang masih berkaitan dengan bidang usaha nelayan
Menciptakan kemitraan dengan lembaga
Sinergi lembaga baru dengan nilai-nilai lama perlu dikembangkan
Kebijakan pembangunan perikanan harus memihak pada kepentingan nelayan
Peningkatan pendapatan nelayan dan keluarga nelayan melalui upaya pelatihan keterampilan yang sifatnya berkelanjutan
Meningkatkan persepsi tentang nilai lama yang sudah tidak relevan
8
perbankan yang difasilitasi oleh lembaga baru
lagi dengan tuntutan zaman (efektif dan efisien)
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2002.
KESIMPULAN
1. Kelembagaan nelayan tradisional terdiri dari kelembagaan kerja (punggawa-
sawi), kelembagaan bagi hasil, dan kelembagaan yang berasal dari nilai lama
dalam bentuk paseng (pesan) yang memiliki daya rekat karena selain
berdimensi ekonomi, juga sekaligus berdimensi sosial.
2. Berdasarkan Undang-undang Bagi Hasil Perikanan No. 16 tahun 1964,
menyangkut keseimbangan distribusi pendapatan antara yang tertinggi
(punggawa) dan yang terendah (sawi), menunjukkan ketidakseimbangan
distribusi pendapatan dimana perbandingan yang terjadi adalah 13 : 1 (netto
pendapatan)
3. Pembentukan lembaga-lembaga baru untuk pemberdayaan masyarakat
nelayan harus bersumber dari nilai-nilai lokal, agar dapat melembaga dan
bersinergi dengan norma-norma lama.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, S. 2000. Pengetahuan Lokal dan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Perspektif dari Kaum Marjinal. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Anonimous. 1964. Undang-Undang No. 16 Tahun 1964 Tentang Bagi Hasil Perikananan. Sekretariat Negara. Jakarta.
Burger, D. 1998. The Vision of Sustainable Development Agricultural Development. Vol. 5 No. 1 April.
Rangkuti, F. 2001. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Sallatang, A. 1982. Punggawa-Sawi Suatu Studi Sosiologi Kelompok Kecil, Disertasi. Universitas Hasanuddin. Makassar.
9
10