DM 2 new

53
Hubungan Metabolisme Glukosa dan Diabetes Melitus Ratna Tri Permata Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana NIM 102010265 / Kelompok B5 Email: [email protected] 12 November 2012 Pendahuluan Diabetes melitus tipe 2 atau sering juga disebut dengan Non Insuline Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) merupakan penyakit diabetes yang disebabkan oleh karena terjadinya resistensi tubuh terhadap efek insulin yang diproduksi oleh sel beta pancreas dan produksi sel beta pancreas yang berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan kadar gula dalam darah menjadi naik tidak terkendali. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta yang terdapat dalam pankreas. Pada keadaan normal, kadar insulin dalam darah akan berfluktuasi tergantung kadar gula dalam darah. Kadar insulin akan meningkat sesaat setelah makan dan akan menurun begitu kita tidak memakan sesuatu. Fungsi utama insulin adalah mendistribusikan glukosa yang terdapat dalam darah ke seluruh tubuh guna di metabolisme untuk menghasilkan energi. Bila kadar gula atau glukosa yang ada melebihi kebutuhan maka kelebihan itu akan disimpan dalam hati. Simpanan glukosa ini 1

Transcript of DM 2 new

Hubungan Metabolisme Glukosa dan Diabetes MelitusRatna Tri PermataMahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida WacanaNIM 102010265 / Kelompok B5Email: [email protected] November 2012

PendahuluanDiabetes melitus tipe 2 atau sering juga disebut dengan Non Insuline Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) merupakan penyakit diabetes yang disebabkan oleh karena terjadinya resistensi tubuh terhadap efek insulin yang diproduksi oleh sel beta pancreas dan produksi sel beta pancreas yang berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan kadar gula dalam darah menjadi naik tidak terkendali.Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh sel beta yang terdapat dalam pankreas. Pada keadaan normal, kadar insulin dalam darah akan berfluktuasi tergantung kadar gula dalam darah. Kadar insulin akan meningkat sesaat setelah makan dan akan menurun begitu kita tidak memakan sesuatu. Fungsi utama insulin adalah mendistribusikan glukosa yang terdapat dalam darah ke seluruh tubuh guna di metabolisme untuk menghasilkan energi. Bila kadar gula atau glukosa yang ada melebihi kebutuhan maka kelebihan itu akan disimpan dalam hati. Simpanan glukosa ini akan dilepaskan jika diperlukan misalnya saat tubuh kita kelaparan.

ANAMNESIS1. Identitas PasienNama, Usia, Pekerjaan, Tempat tinggal1. Keluhan UtamaMenanyakan keluhan utama pasien1. Riwayat Penyakit SekarangSejak kapan?Aktivitas sehari-hari bagaimana?Apakah banyak makan ,minum, dan kencing?Pernah pingsan saat lupa makan setelah minum obat, aktivitas berat, atau diare berlebihan?Keluhan lainnya, pandangan buram, mata terasa sakit, ketika melihat seperti di lubang kunci, ada selaput putih? Bengkak pada kaki, Kesemutan, maag? 11. Riwayat Penyakit DahuluApakah pernah terkena penyakit berat sebelumnya, sakit jantung, darah tinggi, luka susah sembuh?1. Riwayat Penyakit Dalam KeluargaApakah pada keluarga ada yang pernah mengalami penyakit berat seperti jantung, darah tinggi, kencing manis? 1Dari hasil anamnesis diatas didapatkan informasi sebagai berikut:Nama: -Usia: 37 tahunKeluhan Utama: Sering lemas dan BB menurun 6 kg selama 5 bulan.RPS : Sejak 1,5 tahun yang lalu, pasien merasa keluhan sering muncul, pasien juga merasa beratnya menurun jauh dalam 5 bulan terakhir. Pasien juga mengeluhkan dirinya sering bangun pada malam hari untuk buang air kecil dan merasa betis sering keram.

PEMERIKSAAN FISIKPemeriksaan fisik selalu dimulai dari pemeriksaan kesadaran,tanda-tanda vital, baru melakukan pemeriksaan fisik pada thorak. Pemeriksaan kesadaran dilakukan untuk memeriksa kesadaran dari pasien. Ada 6 tingkat kesadaran yaitu:1,2 Compos Mentis: kesadaran penuh dengan memberikan respons yang cukup terhadap stimulus. Apatis : tingkat kesadaran dimana orang orang bersikap acuh tak acuh terhadap lingkungan sekitarnya. Somnolen: tingkat kesadaran yang lebih rendah ditandai dengan orang tampak mengantuk, dan tidak responsif terhadap rangsangan ringan. Sopor : orang tidak memberikan respon pada rangsangan ringan sampai sedang namun masih memberi respon sedikit pada rangsang berat. Koma : orang tidak dapat bereaksi terhadap rangsang apapun sehingga refleks pupil terhadap cahaya pun tidak ada. Delirium : tingkat kesadaran yang paling rendah, ditandai dengan disorientasi yang sangat iritatif, kacau dan salah persepsi terhadap rangsang sensorik.Kemudian pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital yang terdiri dari suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi pernapasan, dan tekanan darah. Untuk kasus diabetes mellitus kemudian pemeriksaan dilanjutkan dengan melakukan pemeriksaan fisik kulit ekstremitas bawah yang sering mengalami ulcus diabetik, yaitu inspeksi, palpasi, dan tes sensoris. Inspeksi dilakukan dengan maksud untuk melihat bagaimana keadaan kulit dan otot. Pada inspeksi kita lihat apakah adanya atrofi dan hipertrofi otot (dilihat pada M.Gastrocnemius). lalu dilihat juga apakah ada lesi kulit, biasanya berupa ulkus, abses atau gangren. Kemudian pada palpasi kita lihat bagaimana kondisi kulitnya kering, atau normal, atau lembab, lalu memeriksan kuat pulsasi dari A. dorsalis pedis dan tibialis posterior. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan sensibilitas dengan monofilament (bisa dilakukan dengan 1 helai sapu ijuk). Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat adanya komplikasi neuropati atau tidak.1-3

PEMERIKSAAN PENUNJANGBerikut adalah beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis: Hematologi dan urinalisisPemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk melihat keadaan dari darah pasien. Biasanya untuk penderita dm dilihat kadar gula di darahnya. Pada hematologi juga harus dilihat bagaimana profil lipidnya, tingginya kolesterol pada penderita diabetes mellitus dapat menyebabkan Silent miokard infark yaitu miokard infark yang tidak disertai dengan nyeri dada. Untuk urinalisisnya sendiri digunakan untuk melihat apakah ada glukosuria, mikroalbuminuria, atau bisa juga melihat fungsi faal ginjal apakah terdapat komplikasi nefropati diabetik. Selain itu urinalisis juga dapat digunakan untuk melihat kadar benda keton dalam urin. Tingginya kadar keton dapat menyebabkan keto asidosis diabetik.1,4-7 Gula darah sewaktu dan puasaNilai rujukan gula darah puasa adalah 126 mg/dL, dan nilai rujukan normal gula darah sewaktu adalah 200 mg/dL/2 jam. Bila hasil berada diantara kadar normal sampai kadar batas minimal diabetes maka harus dipemeriksaan lebih lanjut.Kadar glukosa darah puasa memberikan petunjuk terbaik mengenai homeostatis glukosa keseluruhan, dan sebagian besar pengukuran rutin harus dilakukan pada sampel puasa. Respons metabolic terhadap pemberian karbohidrat dapat dinilai dengan pengukuran kadar glukosa postprandial yang diambil 2 jam setelah makan atau pemberian glukosa. Selain itu, uji toleransi glukosa, yang terdiri dari serangkaian pengukuran (dengan interval tertentu) setelah asupan glukosa dalam jumlah tertentu, dapat digunakan untuk membantu diagnosis diabetes. 1,4,6-8 Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)Tes toleransi glukosa oral dilakukan jika hasil pemeriksaan gula darah puasa dan sewaktu berada diatas kadar normal tapi di bawah kadar minimal untuk diabetes. Berikut adalah cara pelaksanaan TTGO: 7 Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari dan tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Berpuasa paling sedikit 8 jam sebelum pemeriksaan, hanya boleh minum air putih tanpa gula. Periksa kadar glukosa puasa Diberikan glukosa 75gram atau 1,75 g/kgBB, dilarutkan dalam air 250mL dan diminum dalam 5 menit. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai. Diperiksa kadar gula darah 2 jam sesudah minum larutan glukosa Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa harus tetap istirahat dan tidak merokok.Untuk hasilnya, apa bila kadar gula 200 maka subyek positif diabetes. HbA1cPembentukan HbA1c terjadi apabila kondisi tubuh mengalami hiperglikemi. Hiperglikemi merangsang terjadinya proses non-enzimatik dari ikatan glukosa dengan berbagai protein (glikasi). Proses ini bersifat irreversible dan konsentrasi dari protein yang terglikasi (HbA1c) menunjukkan kadar glukosa selama masa hidup proteinnya (Hb). Hemoglobin yang terglikasi menunjukkan refleksi dari kadar gula selama hemoglobin hidup sekitar 2-3 bulan. Presentase dari total HbA1c dibawah 7% merupakan pertanda bahwa adanya kontrol gula darah yang baik dari pasien. Hasil yang palsu dapat ditemui dengan pasien yang mengalami gangguan struktural hemoglobin.3 Pemeriksaan HbA1c digunakan untuk melihat bagaimana kontrol kadar gula darah dari pasien selama 2-3bulan terakhir. 1,4,6,7 Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida) Kreatinin serum Albuminuria Keton, sedimen dan protein dalam urin Elektrokardiogram Foto rontgen dada

Berikut ini adalah evaluasi medis yang dilakukan secara berkala : Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan sesuai dengan kebutuhan Pemeriksaan A1C dilakukan setiap (3-6) bulan Setiap 1 tahun dilakukan pemeriksaan : Jasmani lengkap Mikroalbuminuria Kreatinin Albumin / globulin dan ALT Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL dan trigliserida EKG Foto Rontgen dada FunduskopiDIFFERENTIAL DIAGNOSISDiabetes Mellitus tipe 2Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Melitus (bervariasi mulai dari predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin). Pada penderita Diabet Mellitus tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glikosa masuk kedalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin.Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset diabetes mellitus tipe ini perlahan lahan karena itu gejalanya tidak terlihat ( asimtomatik ). Adanya resistensi yang terjadi perlahan lahan akan mengakibatkan pula kesensitifan akan glukosa perlahan-lahan berkurang. Oleh karena itu, diabetes tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi. Komplikasi yang terjadi karena ketidakpatuhan pasien dalam menggunakan obat antibiotik oral.Gejala klinis: Cepat merasa lapar dan haus Sering buang air kecil terutama pada malam hari Gampang lelah, sering merasa mengantuk Penglihatan kabur Sering kesemutan terutama pada kaki dan tangan Kehilangan berat badan dengan cepat tanpa usaha apapun Gatal-gatal pada kelamin luar Gairah seksual menurun dan cenderung impotensi Jika terkena infeksi, sembuhnya lama Tidak rentan terhadap ketosis

Diabetes Mellitus tipe 1Diabetes melitus tipe 1 disebut juga DM Juvenile atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Merupakan suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah karena adanya kerusakan pada sel beta pankreas akibat reaksi autoimun yang disebabkan adanya peradanagan pada sel beta insulitis. Ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel beta yang disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA) yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel beta. Pada studi populasi ditemukan adanya hubungan kerja antara DM tepe 1 dengan HLA DR3 dan DR4. DM tipe 1 biasanya timbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya pada masa akil balig, tetapi ada juga yang timbul pada masa dewasa. Pengobatan pada DM tipe 1 ini sangat tergantung dengan insulin, jadi insulin diberikan seumur hidupnya karena tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis.Gejala klinis: Rasa haus yang sering Sering buang air kecil Berat badan yang terus turun, namun selera makan terus tinggi Biasanya usia anak atau muda Kelelahan Mual Muntah Rentan terhadap ketosis

Diabetes Melitus Tipe LainDiabetes mellitus yang disebabkan oleh sebab lain, misalnya penyakit eksokrin pankreas (pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati, fibro kalkulus ), endokrinopati (Akromegali, Sindrom cushing, Feokromositma, Hipertiroidisme, Somasostatinoma, Aldostreroma), karena obat atau zat kimia (vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid, agonis beta adrenergik, tiazid, dilantin, interferon alfa), infeksi (Rubella Kongenital), iimunologi antiiinsulin, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM (sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom turner, sindrom Wolframs).

WORKING DIAGNOSISDari hasil anamnesis, dapat dilihat adanya penurunan berat badan yang cukup drastis dalam 5 bulan terakhir, serta didapatkan keluhan banyaknya buang air kecil (polyuria) dan merasa kaki dan betis sering keram. Maka hampir dapat didiagnosis bahwa pada pasien terdapat gangguan metabolisme dari glukosa (diabetes mellitus). Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. Jika telah berkembang penuh secara klinis, maka diabetes melitus ditandai dengan hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit vaskular mikroangiopati, dan neuropati. Manifestasi klinis hiperglikemia biasanya sudah bertahun-tahun mendahului timbulnya kelainan klinis dari penyakit vaskularnya. Pasien dengan kelainan toleransi glukosa ringan (gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa) dapat tetap berisiko mengalami komplikasi metabolik diabetes.5-10Kadar glukosa darah normalnya dipertahankan dalam kisaran yang sangat sempit biasanya 70 sampai 120mg/dL. Diagnosis diabetes dipastikan oleh peningkatan glukosa darah yang memenuhi salah satu dari tiga kriteria berikut ini. 5,6,81. Glukosa darah sewaktu >200 mg/dL, dengan gejala dan tanda klasik.1. Glukosa darah puasa >126 mg/dL pada lebih dari satu pemeriksaan.1. Uji toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal jika glukosa >200 mg/dL 2 jam setelah pemberian karbohidrat standar.Kadar glukosa darah berada dalam suatu rangkaian. Orang dengan glukosa puasa kurang dari 110 mg/dL, atau kurang dari 140 mg/dL setelah OGTT, dianggap euglikemik. Namun, mereka yang glukosa puasanya lebih dari 110 mg/dL, tetapi kurang dari 126. Atau nilai OGTT lebih dari 140, tetapi kurang dari 200, yang dianggap mengalami gangguan toleransi glukosa (impaired glucose tolerante, IGT). Orang dengan IGT memiliki risiko signifikan untuk berkembang menjadi diabetes yang nyata seiring dengan waktu, dengan hampir 5% sampai 10% berkembang menjadi DM setiap tahun. Di samping itu, mereka dengan IGT berisiko mengalami penyakit kardiovaskular, akibat kelainan metabolisme karbohidrat dan adanya faktor risiko lain, misalnya HDLyang rendah, hipertrigliseridemia, dan meningkatnya inhibitor aktivator plasminogen 2 (PAI-1).6,8Peranan pankreas terhadap metabolisme glukosaKarbohidrat terdapat dalam berbagai bentuk, termasuk gula sederhana atau monosakarida, dan unit-unit kimia yang kompleks, seperti disakarida dan polisakarida. Karbohidrat yang sudah ditelan akan dicerna menjadi monosakarida dan diabsorpsi,terutama dalam duodenum dan jejunum proksimal. Sesudah diabsorpsi, kadar glukosa darah akan meningkat untuk sementara waktu dan akhirnya akan kembali lagi ke kadar semula. Pengaturan fisiologis kadar glukosa darah sebagian besar bergantung pada hati yang (1) mengekstraksi glukosa, (2) menyintesis glikogen, dan (3) melakukan glikogenolisis. Dalam jumlah yang lebih sedikit, jaringan perifer, otot, dan adiposa juga mempergunakan ekstrak glukosa sebagai sumber energi sehingga jaringan-jaringan ini ikut berperan dalam mempertahankan kadar glukosa darah. 5,6,9Jumlah glukosa yang diambil dan dilepaskan oleh hati dan yang digunakan oleh jaringan-jaringan perifer bergantung pada keseimbangan fisiologis beberapa hormon yaitu (1) hormon yang merendahkan kadar glukosa darah, atau (2) hormon yang meningkatkan kadar glukosa darah. Insulin merupakan hormon yang menurunkan glukosa darah, dibentuk oleh sel-sel beta pulau Langerhans pankreas. Hormon yang meningkatkan kadar glukosa darah, antara lain: (1) glukagon yang disekresi oleh sel-sel alfa pulau Langerhans, (2) epinefrin yang disekresi oleh medula adrenal dan jaringan kromafin lain, (3) glukokortikoid yang disekresi oleh korteks adrenal, dan (4) growth hormone yang disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior. Glukagon, epinefrin, glukokortikoid, dan growth hormone, membentuk suatu pelawan mekanisme regulator yang mencegah timbulnya hipoglikemia akibat pengaruh insulin. 5,6,9

ETIOLOGIAda bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes melitus. Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan respons terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus, dengan memproduksi autoantibodi terhadap sel-sel beta, yang akan mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin yang dirangsang oleh glukosa, Manifestasi klinis diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak. 5-10Pada diabetes melitus dalam bentuk yang lebih berat, sel-sel beta telah dirusak semuanya sehingga terjadi insulinopenia dan semua kelainan metabolik yang berkaitan dengan defisiensi insulin. Bukti unruk determinan genetik diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan dengan tipe-tipe histokompatibilitas (human leukocyte antigen [HLA]) spesifik. Tipe dari gen histokompatibilitas yang berkaitan dengan diabetes tipe 1 (DW3 dan DW4) adalah yang memberi kode kepada protein-protein yang berperanan penting dalam interaksi monosit-limfosit. Protein-protein ini mengatur respons sel T yang merupakan bagian normal dari respons imun. Jika terjadi kelainan, fungsi limfosit T yang terganggu akan berperan penting dalam patogenesis perusakan sel-sel pulau Langerhans. Juga terdapat bukti adanya peningkatan antibodi-antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans yang ditujukan terhadap komponen antigenik tertentu dari sel beta. Kejadian pemicu yang menentukan proses autoimun pada individu yang peka secara genetik dapat berupa infeksi virus Coxsackie B4 atau gondongan atau virus lain. Epidemi diabetes tipe 1 awitan baru telah diamati pada saat-saat tertentu dalam setahun pada anggota-anggota dari kelompok sosial yang sama. Obat-obat tertentu yang diketahui dapat memicu penyakit autoimun lain juga dapat memulai proses autoimun pada pasien-pasien diabetes tipe 1. Antibodi sel-sel pulau Langerhans memiliki presentasi yang tinggi pada pasien dengan diabetes tipe 1 awitan baru dan memberikan bukti yang kuat adanya mekanisme autoimun pada patogenesis penyakit. Penapisan imunologik dan pemeriksaan sekresi insulin pada orang-orang dengan risiko tinggi terhadap diabetes tipe 1 akan memberi jalan untuk pengobatan imunosupresif dini yang dapat menunda awitan manifestasi klinis defisiensi insulin. 5-10Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk diabetes tipe 2 pada kembar monozigot hampir 100%. Risiko berkembangnya diabetes tipe 2 pada saudara kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik adalah paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda (MODY), yaitu subtipe penyakit diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal dominan. Jika orang tua menderita diabetes tipe 2, rasio diabetes dan nondiabetes pada anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe 2. 5-10Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa. 5-10Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologi (ADA 2005)1.Diabetes Mellitus Tipe 1:Destruksi sel B umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik) B. Idiopatik

2.Diabetes Mellitus Tipe 2Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin

3.Diabetes Mellitus Tipe LainA. Defek genetik fungsi sel : kromosom 12. HNF-1 alfa(dahulu disebut MODY 3), kromosom 7, glukokinase (dahulu disebut MODY 2) kromosom 20, HNF-4 alfa (dahulu disebut MODY 1) Kromosom 13, insulin promoter factor Kromosom `17, HNF-1 Kromosom 2, Neuro D1 DNA mitokondriaB. Defek genetik kerja insulin: resisten insulin tipe A, leprechaunism, Sindrom Rabson Medenhall, diabetes lipoatropikC. Penyakit eksokrin pankreas: Pankreatitis Trauma/Pankreatektomi Neoplasma Cistic Fibrosis Hemokromatosis Pankreatopati Fibro kalkulus (adanya jaringan ikat dan batu pada pankreas)D. Endokrinopati: Akromegali Sindroma Cushing Feokromositoma Hipertiroidisme Somasostatinoma AldostreromaE. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid, asam nikotinat, pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon alfa F. Diabetes karena infeksi: Rubella Kongenital G. Diabetes Imunologi (jarang): antibodi, antiiinsulin (tubuh menhasilkan zat anti terhadap insulin sehingga insulin tidak dapat bekerja memasukkan glukosa ke dalam sel) H. Sidroma genetik lain: sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolframs

4.Diabetes Mellitus GestasionalDiabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan,umumnya bersifat sementara, tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2

5.Pra-diabetes: A. IFG(Impaired Fasting Glucose) = GPT(Glukosa Puasa Terganggu) B. IGT(Impaired Glucose Tolerance) = TGT(Toleransi Glukosa Terganggu)

Klasifikasi Diabetes MelitusBeberapa klasifikasi diabetes melitus telah diperkenalkan, berdasarkan metode presentasi klinis, umur awitan, dan riwayat penyakit. Klasifikasi yang diperkenalkan oleh American Diabetes Association (ADA) berdasarkan pengetahuan mutakhir mengenai patogenesis sindrom diabetes dan gangguan toleransi glukosa, telah disahkan oleh World Health Organization (WHO) dan telah dipakai di seluruh dunia. Empat klasifikasi klinis gangguan toleransi glukosa: (1) diabetes melitus tipe 1 dan 2, (2) diabetes gestasional (diabetes kehamilan), dan (3) tipe khusus lain. Dua kategori lain dari toleransi glukosa abnormal adalah gangguan toleransi glukosa dan gangguan glukosa puasa. 5-10Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependen insulin; namun, kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua subtipe: (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui sumbernya. Subtipe ini lebih sering timbul pada etnik keturunan Afrika-Amerika dan Asia. Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan tipe nondependen insulin. Insidens diabetes tipe 2 sebesar 650.000 kasus baru setiap tahunnya. Obesitas sering dikaitkan dengan penyakit ini. 5-10Diabetes, gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat diabetes gestasional terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu keadaan diabetogenik. Pasien-pasien yang mempunyai predisposisi diabetes secara genetik mungkin akan memerlihatkan intoleransi glukosa atau manifestasi klinis diabetes pada kehamilan. Kriteria diagnosis biokimia diabetes kehamilan yang dianjurkan adalah kriteria yang diusulkan oleh O'Sullivan dan Mahan (1973). Menurut kriteria ini, GDM terjadi apabila dua atau lebih dari nilai berikut ini ditemukan atau dilampaui sesudah pemberian 75 g glukosa oral: puasa, 105 mg/dl; 1 jam, 190 mg/dl; 2 jam, 165 mg/dl; 3 jam, 145 mg/dl. Pengenalan diabetes seperti ini penting karena penderita berisiko tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas perinatal dan mempunyai frekuensi kematian janin viabel yang lebih tinggi. Kebanyakan perempuan hamil harus menjalani penapisan untuk diabetes selama usia kehamilan 24 hingga 28 minggu. 5-10Tipe khusus lain adalah (a) kelainan genetik dalam sel beta seperti yang dikenali pada MODY. Diabetes subtipe ini memiliki prevalensi familial yang tinggi dan bermanifestasi sebelum usia 14 tahun. Pasien seringkali obesitas dan resisten terhadap insulin. Kelainan genetik telah dikenali dengan baik dalam empat bentuk mutasi dan fenotif yang berbeda (MODY 1, MODY 2, MODY 3, MODY 4); (b) kelainan genetik pada kerja insulin, menyebabkan sindrom resistensi insulin berat dan akantosis Regrikans; (c) penyakit pada eksokrin pankreas menyebabkan pankreatitis kronik; (d) penyakit endokrin seperti sindrom Cushing dan akromegali; (e) obat-obat yang bersifat toksik terhadap sel-sel beta; dan (f) infeksi. 5,6Sesuai dengan kriteria ADA untuk orang dewasa yang tidak hamil, diagnosis diabetes melitus ditegakkan berdasarkan penemuan (1) gejala-gejala klasik diabetes dan hiperglikemia yang jelas, (2) kadar glukosa plasma puasa >126 mg/di (7 mmol/L) pada sekurang-kurangnya dua kesempatan, dan (3) kadar glukosa plasma yang didapat selama tes toleransi glukosa oral (OGTT) >200 mg/dl pada 2 jam dan paling sedikit satu kali antara 0 sampai 2 jam sesudah pasien makan glukosa. Kadar glukosa puasa yang ditentukan adalah 126 mg/di karena kadar tersebut merupakan indeks terbaik dengan nilai setelah 2 jam pemberian glukosa adalah 200 mg/dl dan pada kadar tersebut retinopati diabetik, yaitu suatu komplikasi diabetes muncul untuk pertama kalinya. Glukosa darah puasa merupakan metode yang dianjurkan untuk penapisan diabetes. 5,6-8Diagnosis diabetes melitus pada anak-anak juga didasarkan pada penemuan gejala-gejala klasik diabetes dan glukosa plasma secara acak adalah >200 mg/dl. Pasien dengan gangguan toleransi glukosa (IGT) tidak dapat memenuhi kriteria diabetes melitus yang telah dijelaskan di atas; tetapi, tes toleransi glukosanya memperlihatkan kelainan. Pasien-pasien ini asimtomatis. Dipandang dari sudut biokimia, pasien dengan IGT menunjukkan kadar glukosa plasma puasa (>110 dan < 126 mg/100 ml) namun nilai-nilai selama diadakan OGTT adalah >200 mg/dl pada menit ke-30, 60, atau 90, dan mencapai 140 sampai 200 mg/dl setelah 2 jam. Beberapa pasien dengan IGT mungkin menderita keadaan lain yang mungkin bertanggung jawab atas diabetes tipe sekunder. Pada individu lain, IGT mungkin menunjukkan adanya diabetes dalam stadium dini. Mereka ini tidak digolongkan sebagai penderita diabetes, tetapi dianggap berisiko lebih tinggi terhadap diabetes dibandingkan dengan masyarakat umum. Beberapa di antaranya mungkin tetap dalam golongan ini sampai bertahun-tahun lamanya. Banyak yang akan kembali spontan pada toleransi glukosa normal, tetapi setiap tahunnya 1% hingga 5% dari mereka dengan IGT dapat berlanjut menjadi diabetes. Meskipun pasien-pasien dengan IGT secara klinis tidak menderita komplikasi mikroangiopati retina dan ginjal yang nyata, tetapi dari hasil penyelidikan ternyata mereka memperlihatkan kecenderungan yang meningkat terhadap penyakit arteria, kelainan elektrokardiografi dan kematian akibat penyakit jantung atau peningkatan kepekaan terhadap penyakit aterosklerosis. Intervensi yang tepat antara lain dengan restriksi kalori dan mengurangi berat badan pada penderita yang obesitas, dapat memperbaiki toleransi glukosa dan mungkin mengurangi terjadinya komplikasi. Gangguan glukosa puasa ditetapkan dengan nilai antara 110 (diatas batas normal) dan 126 mg/100 ml. Pasien-pasien dengan gangguan glukosa puasa juga meningkat resikonya terhadap diabetes dan komplikasi metabolik akibat IGT. 5-10

PATOFISIOLOGIMeskipun telah banyak yang dipelajari dalam tahun-tahun terakhir, patogenesis diabetes tipe 2 masih belum dipahami dengan pasti. Faktor lingkungan, misalnya gaya hidup yang tidak banyak bergerak dan kebiasaan makan, jelas berperan, seperti akan tampak ketika obesitas mulai diperhitungkan. Faktor genetik bahkan lebih penting dibandingkan pada diabetes tipe 1. Pada kembar identik, concordame rate adalah 50% ampai 90%, sedangkan pada anggota keluarga dekat dari pasien dengan diabetes tipe 2 (dan pada kembar fraternal), risiko mengalami diabetes adalah 20% sampai 40%, dibandingkan 5% sampai 7% pada populasi umum. Namun, tidak seperti diabetes tipe 1, penyakit tidak berkaitan dengan gen-gen yang berperan dalam toleransi dan regulasi imun, dan tidak terdapat bukti yang mengisyaratkan peran autoimunitas pada diabetes tipe 2. 6,8Dua defek metabolik yang menandai diabetes tipe 2 adalah (1) berkurangnya kemampuan jaringan perifer berespons terhaddap insulin (resistensi insulin) dan (2) disfungsi sel yang bermanifestasi sebagai kurang adekuatnya sekresi insulin dalam menghadapi resistensi insulin dan hiperglikemia. Pada sebagian besar kasus, resistensi insulin merupakan proses primer dan diikuti oleh disfungsi sel yang semakin parah. 6,8Resistensi InsulinResistensi insulin didefinisikan sebagai resistensi terhadap efek insulin pada penyerapan, metabolisme, atau penyimpanan glukosa. Resistensi insulin merupakan gambaran khas pada kebanyakan pasien diabetes tipe 2 dan hampir selalu ditemukan pada pengidap diabetes yang kegemukan. Peran resistensi insulin dalam patogenesis diabetes tipe 2 dapat diperkirakan dari temuan bahwa (1) resistensi insulin sering terdeteksi 10 sampai 20 tahun sebelum awitan diabetes pada orang dengan predisposisi (mis. anak dari pengidap diabetes tipe 2) dan (2) dalam penelitian prospektif, resistensi insulin adalah prediktor terbaik untuk timbulnya diabetes di masa mendatang. Resistensi insulin menyebabkan berkurangnya penyerapan glukosa di otot dan jaringan lemak dan ketidakmampuan hormon menekan glukoneogenesis di hati. Studi-studi fungsional pada orang dengan resistensi insulin memperlihatkan terjadinya banyak kelainan kuantitatif dan kualitatif dalam jalur pembentukan sinyal insulin, termasuk penurunan jumlah reseptor insulin; penurunan fosforilasi dan aktivitas tirosin kinase reseptor insulin; penurunan kadar zat antara aktif dalam jalur pembentukan sinyal insulin; dan gangguan translokasi, penambatan, dan fusi vesikel yang mengandung GLUT-4 ke membran plasma. 5-9Diketahui bahwa resistensi insulin adalah suatu fenomena kompleks. Di sini kita membahas sebagian dari faktor yang diduga berperan dalam penurunan sensitivitas terhadap insulin pada pasien diabetes. 8Defek Genetik pada Reseptor Insulin dan Jalur Pembentukan Sinyal Insulin. Kelainan loss-of-function di reseptor insulin atau zat-zat antara di bagian hilirnya merupakan kandidat untuk menjelaskan resistensi insulin pada diabetes tipe 2. Pada mencit, knockout gen (di jaringan tertentu) yang mengode berbagai protein pembentuk sinyal insulin menyebabkan resistensi insulin, hiperinsulinemia. dan hiperglikemia, menyerupai diabetes tipe 2 pada manusia. Sayangnya, ekstrapolasi model knockout gen-tunggal ini ke penyakit pada manusia kurang memuaskan. Mutasi titik nada reseptor insulin relatif jarang terjadi, menyebabkan tidak lebih dari 1% sampai 3% pasien dengan resistensi insulin. Analisis terhadap gen-gen kandidat yang berperan dalam sekresi insulin atau kerja insulin serta studi-studi keterkaitan genom secara keseluruhan pada keluarga yang terkena menghasilkan banyak polimorfisme yang berkaitan dengan fenotipe diabetes tipe 2, tetapi pada kebanyakan kasus, keterkaitan ini lemah, atau penelitian-penelitian tersebut tidak reproducible. Dari analisis-analisis ini, tampaknya meskipun risiko populasi yang mempunyai varian genetik tertentu (polimorfisme) mungkin signifikan, risiko timbulnya diabetes untuk individu tertentu yang memiliki varian tersebut kecil. Cukuplah dikatakan, meskipun tidak ada yang menyangkal peran komponen generik dalam resistensi insulin, gen-gen yang berperan masih belum teridentifikasi. Dasar genetik dari resistensi insulin, dan karenanya diabetes tipe 2 tetap merupakan teka-teki. 6,8-10Obesitas dan Resistensi Insulin. Keterkaitan obesitas dengan diabetes tipe 2 telah diketahui sejak beberapa dekade yang lalu, dan obesitas viseral merupakan fenomena yang umum ditemukan pada kebanyakan kasus diabetes tipe 2. Keterkaitan antara obesitas dan diabetes diperantarai oleh efek terhadap resistensi insulin. Resistensi insulin dapat dijumpai bahkan pada obesitas simpel tanpa disertai oleh hiperglikemia, menunjukkan bahwa dalam keadaan kelebihan lemak terdapat kelainan mendasar pada pembentukan sinyal insulin. Risiko diabetes meningkat seiring dengan peningkatan indeks massa tubuh (suatu ukuran kandungan lemak tubuh). Tidak hanya jumlah absolut, tetapi juga distribusi lemak tubuh memiliki efek pada sensitivitas terhadap insulin: Obesitas sentral (lemak abdomen) lebih besar kemungkinannya menyebabkan resistensi insulin dibandingkan dengan endapan lemak perifer (gluteus/subkutis). Meskipun banyak detil dari apa yang, disebut sebagai sumbu adipo-insulin perlu diuraikan, berikut ini adalah beberapa jalur yang diperkirakan berperan menyebabkan resistensi insulin. 6,8-101. Peran asam lemak hebat (free fatty acids, FFA); Studi-studi potong-lintang memperlihatkan korelasi terbalik antara FFA plasma puasa dan sensitivitas terhadap insulin. Selain itu, kadar trigliserida intrasel sering sangat meningkat di jaringan hati dan otot pada orang dengan obesitas, mungkin karena kelebihan FFA dalam darah mengendap di organ-organ ini. Trigliserida intrasel dan produk-produk metabolisme asam lemak merupakan inhibltor kuat pembentukan sinyal insulin dan menyebabkan keadaan resistensi insulin didapat. Efek lipotoksik FFA ini kemungkinan besar diperantarai oleh penurunan aktivitas protein-protein kunci pembentuk sinyal insulin.1. Peran adipokin dalam resistensi insulin: Semakin banyak diketahui bahwa jaringan lemak bukanlah sekedar depo penyimpanan lemak yang pasif, tetapi juga berfungsi sebagai organ endokrin yang mengeluarkan hormon sebagai respons pada perubahan status metabolik. Telah berhasil diidentifikasi berbagai protein yang dibebaskan ke dalam sirkulasi sistemik oleh jaringan adiposa, dan protein-protein ini secara kolektif disebut sebagai adipokin (atau sitokin adiposa). Disregulasi sekresi adipokin (baik meningkat atau menurun secara abnormal) merupakan salah satu mekanisme yang menghubungkan resistensi insulin dan obesitas, Beberapa adipokin diduga berperan dalam resistensi insulin, termasuk leptin, adiponektin, dan resistin. Untuk mempersingkat, hanya yang pertama yang dibahas. Leptin bekerja pada reseptor di susunan saraf pusat dan beberapa tempat lain dan berfungsi untuk mengurangi asupan makanan dan menimbulkan rasa kenyang. Hewan yang kekurangan leptin memperlihatkan resistensi insulin berat yang pulih dengan pemberian leptin. Meskipun banyak dari efek leptin pada sensitivitas terhadap insulin diperantarai reseptor di susunan saraf pusat, sebagian efek bekerja langsung di tingkat jaringan sasaran insulin. Peran leptin pada keadaan resistensi insulin pada manusia merupakan aspek yang sedang aktif diteliti.1. Peran peroxisome proliferator-activated receptor gamma (PPAR) dan tiazolidinedion (TZD): TZD adalah suatu kelas senyawa antidiabetes yang dikembangkan pada awal tahun 1980-an sebagai antioksidan. Reseptor sasaran untuk TZD diketahui adalah peroxisome proliferator-activated receptor gamma (PPAR) suatu reseptor nukleus dan faktor transkripsi. PPAR diekspresikan dalam jumlah besar di jaringan lemak, dan pengaktifan reseptor oleh TZD menyebabkan modulasi ekspresi gen di adiposit, yang akhirnya menyebabkan penurunan resistensi insulin. Sasaran pengaktifan PPAR antara lain adalah beberapa adipokin yang telah dibahas di atas. Pengaktifan PPAR juga menurunkan kadar asam lemak bebas yang seperti telah dibahas sebelumnya, ikut berperan dalam resistensi insulin pada obesitas.Secara singkat resistensi insulin pada diabetes tipe 2 merupakan suatu fenomena kompleks dan multifaktor. Defek genetik dalam pembentukan sinyal insulin tidak sering ditemukan dan, jika ada, lebih besar kemungkinannya merupakan polimorfisme dengan efek samar dan bukan mutasi yang menyebabkan inaktivasi. Pada sebagian besar pasien, resistensi insulin adalah fenomena didapat, dan obesitas merupakan hal utama dalam fenomena ini. 6,8-10Disfungsi Sel Disfungsi sel pada diabetes tipe 2 menyebabkan ketidakmampuan sel-sel ini beradaptasi terhadap kebutuhan jangka panjang resistensi insulin perifer dan peningkatan sekresi insulin. Pada keadaan resistensi insulin, sekresi insulin mula-mula meningkat untuk setiap kadar glukosa dibandingkan keadaan normal. Keadaan hiperinsulinemia ini adalah suatu kompensasi untuk resistensi perifer dan sering dapat mempertahankan glukosa plasma normal selama bertahun-tahun. Namun, akhirnya kompensasi sel menjadi tidak adekuat dan terjadi perkembangan hingga pasien mengalami diabetes yang nyata. Hal yang mendasari kegagalan adaptasi sel ini tidak diketahui, tetapi di postulasikan bahwa beberapa mekanisme, termasuk efek samping kadar asam lemak bebas yang tinggi dalam darah (lipotoksisitas) atau hiperglikemia kronik (glukotoksisitas), dapat berperan, Disfungsi sel pada diabetes tipe 2 bermanifestasi sebagai gangguan kualitatif dan kuantitatif. 6,81. Disfungsi sel kualitatif pada awalnya timbul samar, dan munrul sebagai hilangnya pola sekresi pulsasi insulin normal dan melemahnya fase cepat pertama sekresi insulin saat terjadi peningkatan glukosa plasma. Seiring dengan waktu, gangguan sekresi mengenai semua fase sekresi insulin, dan meskipun pada diabetes tipe 2 tetap terjadi sekresi basal insulin, tetapi sangat kurang memadai untuk mengatasi resistensi insulin.1. Disfungsi sel kuantitatif tercermin oleh penurunan massa sel , degeneresi islet, dan pengendapan amyloid di islet. Protein amiloid islet (amilin) adalah temuan khas pada pasien diabetets tipe 2 dan terdapat pada lebih dari 90% islet pengidap diabetes yang diperiksa. Amiloidosis islet dapat menyebabkan penurunan massa sel meskipun belum jelas apakah amiloid berperan atau hanya merupakan konsekuensi dari penurunan sel . Meskipun data pada studi manusia masih sedikit, studi-studi dari model diabetes pada hewan menunjang, rangkaian kejadian di atas dan menunjukkan hiperplasia sel pada keadaan pradiabetes diikuti oleh penurunan massa sel yang berbarengan dengan perkembangan ke diabetes klinis. Dalam konteks ini, perlu dicatat bahwa massa sel yang "normal" pada pengidap diabetes sebenarnya menunjukkan pengurangan relatif dibandingkan derajat resistensi insulinnya.

EPIDEMIOLOGITingkat prevalensi diabetes melitus adalah tinggi. Diduga terdapat sekitar 16 juta kasus diabetes di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru. Diabetes merupakan penyebab kematian ketiga di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia yang sama, penderita diabetes paling sedikit 2 kali lebih sering terkena serangan jantung dibandingkan dengan mereka yang tidak menderita diabetes. 5,6Tujuh puluh lima persen penderita diabetes akhirnya meninggal karena penyakit vaskular. Serangan jantung, gagal ginjal, stroke dan gangren adalah komplikasi yang paling utama. Selain itu, kematian fetus intrauterin pada ibu-ibu yang menderita diabetes tidak terkontrol juga meningkat. Dampak ekonomi pada diabetes jelas terlihat berakibat pada biaya pengobatan dan hilangnya pendapatan, selain konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti kebutaan dan penyakit vaskular. 5,6

FAKTOR RISIKODM TIPE 2Riwayat Diabetes dalam keluargaDiabetes GestasionalMelahirkan bayi dengan berat badan > 4 kgKista ovarium (Polycysdc every syndrome)IFG atau IGT

Obesitas> 120% berat badan ideal

Umur20-59 tahun: 8,7% >65 tahun : 18%

Etnik/RasHispanik, Afrika Amerika, penduduk asli Amerika, dan Asia

Hipertensi> 140/90 mmHg

HiperlipidemiaKadar HDL 250 mg/dl

Faktor-faktor lainKurang olan ragaPola makan rendah serat

MANIFESTASI KLINISManifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine, maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk. 5-10Poliuri disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak kencing. Polidipsi disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi klien lebih banyak minum. Polifagi disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi (lapar). Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun klien banyak makan, tetap saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada pembuluh darah.Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka tubuh berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada di jaringan otot dan lemak sehingga klien dengan DM walaupun banyak makan akan tetap kurus.Penglihatan kabur disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa sarbitol fruktasi) yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga menyebabkan pembentukan katarak.Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin. Sebaliknya, pasien dengan diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemik oral, mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya. Pasien ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer terhadap insulin. Kadar insulin pada pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi, tetapi tetap tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa darah normal. Penderita juga resisten terhadap insulin eksogen. 5-10

Penilaian Pengontrolan GlukosaMetode yang digunakan untuk menentukan pengontrolan glukosa pada semua tipe diabetes adalah pengukuran glikat hemoglobin. Hemoglobin pada keadaan normal tidak mengandung glukosa ketika pertama kali keluar dari sumsum tulang. Selama 120 hari masa hidup hemoglobin dalam eritrosit, normalnya hemoglobin sudah mengandung glukosa. Bila kadar glukosa meningkat di atas normal, maka jumlah glikat hemoglobin juga akan meningkat. Karena pergantian hemoglobin yang lambat, nilai hemoglobin yang tinggi menunjukkan bahwa kadar glukosa darah tinggi selama 4 hingga 8 minggu. Nilai normal glikat hemoglobin bergantung pada metode pengukuran yang dipakai, namun berkisar antara 3,5% hingga 5,5%. Disarankan untuk menentukan referensi nilai untuk setiap laboratorium. Tabel 63-1 meringkas nilai glikat hemoglobin yang dipantau pada pasien-pasien diabetes. Tes tersebut dapat dilakukan di klinik rawat jalan dalam waktu beberapa menit dan merupakan indikator pengontrolan kadar glukosa yang cepat dan dapat dipercaya untuk 4 hingga 8 minggu sebelumnya. 5,6,8

PENATALAKSANAANPilar utama pengelolaan DM :

35

1. Edukasi2. Perencanaan makan3. Latihan jasmani4. Obat-obatan

Pada dasarnya, pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan disertai dengan latihan jasmani yang cukup selama beberapa waktu (2-4 minggu).Bila setelah itu kadar glukosa darah masih belum dapat memenuhi kadarsasaran metabolik yang diinginkan, baru dilakukan intervensifarmakologik dengan obat-obat anti diabetes oral atau suntikan insulinsesuai dengan indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,misalnya ketoasidosis, DM dengan stres berat, berat badan yang menurundengan cepat, insulin dapat segera diberikan. Pada keadaan tertentuobat-obat anti diabetes juga dapat digunakan sesuai dengan indikasi dandosis menurut petunjuk dokter. Pemantauan kadar glukosa darah biladimungkinkan dapat dilakukan sendiri di rumah, setelah mendapatpelatihan khusus untuk itu.Penatalaksanaan diabetes melitus didasarkan pada (1) rencana diet, (2) latihan fisik dan pengaturan aktivitas fisik, (3) agen-agen hipoglikemik oral, (4) terapi insulin, (5) pengawasan glukosa di rumah, dan (6) pengetahuan tentang diabetes dan perawatan diri. Diabetes adalah penyakit kronik, dan pasien perlu menguasai pengobatan dan belajar bagaimana menyesuaikannya agar tercapai kontrol metabolik yang optimal. Pasien dengan diabetes tipe 1 adalah defisiensi insulin dan selalu membutuhkan terapi insulin. Pada pasien diabetes tipe 2 terdapat resistensi insulin dan defisisiensi insulin relatif dan dapat ditangani tanpa insulin. 5-7Rencana diet pada pasien diabetes dimaksudkan untuk mengatur jumlah kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang disarankan bervariasi, bergantung pada kebutuhan apakah untuk mempertahankan, menurunkan atau meningkatkan berat tubuh. Sebagai contoh, pada pasien obesitas, dapat ditentukan diet dengan kalori yang dibatasi hingga berat badan pasien turun hingga kekisaran optimal untuk pasien tersebut. Sebaliknya, pada pasien muda dengan diabetes tipe 1, berat badannya dapat menurun selama keadaan dekompensasi. Pasien ini harus menerima kalori yang cukup untuk mengembalikan berat badan mereka ke keadaan semula dan untuk pertumbuhan. Rencana diet harus didapat dengan berkonsultasi dahulu dengan ahli gizi yang terdaftar dan berdasarkan pada riwayat diet pasien, makanan yang lebih disukai, gaya hidup, latar belakang budaya, dan aktivitas fisik. 5-7,10Untuk mencegah hiperglikemia postprandial dan glikosuria, pasien-pasien diabetik tidak boleh makan karbohidrat berlebihan. Umumnya karbohidrat merupakan 50% dari jumlah total kalori per hari yang diizinkan. Karbohidrat ini harus dibagi rata sedemikian rupa sehingga apa yang dimakan oleh pasien sesuai dengan kebutuhannya sepanjang hari. Contohnya, jumlah yang lebih besar harus dimakan pada waktu melakukan kegiatan fisik yang lebih berat. Lemak yang dimakan harus dibatasi sampai 30% dari total kalori per hari yang diizinkan, dan sekurang-kurangnya setengah dari lemak itu harus dari jenis polyunsaturated. Sistem makanan penukar telah dikembangkan untuk membantu pasien menangani dietnya sendiri. Sistem ini mengelompokkan makanan-makanan dengan kadar karbohidrat, protein, dan lemak yang hampir sama, sehingga kalorinya pun sama. Cara ini akan memungkinan pasien "menukar" makanannya dengan makanan lain dalam kelompok yang sesuai. Pendekatan lain dalam merencanakan diet untuk menghitung karbohidrat dan disesuaikan dengan dosis insulin kerja pendek yang sesuai. 5-10Pasien dapat menghitung jumlah karbohidrat yang disajikan maupun gram karbohidrat total. Insulin dapat digunakan dengan rasio 1 unit per 15 gram karbohidrat total. Rasio ini dapat ditingkatkan bergantung pada respons pasien. Pasien dengan diabetes tipe 2 yang resisten terhadap insulin mungkin membutuhkan 2 hingga 5 unit untuk setiap karbohidrat yang disajikan atau untuk setiap 15 gram karbohidrat total. 5Latihan fisik kelihatannya mempermudah transpor glukosa ke dalam sel-sel dan meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin menurun selama latihan fisik sehingga hipoglikemia dapat dihindarkan. Namun, pasien yang mendapat suntikan insulin, tidak mampu untuk memakai cara ini, dan peningkatan ambilan glukosa selama latihan fisik dapat menimbulkan hipoglikemia. Faktor ini penting khususnya ketika pasien melakukan latihan fisik saat insulin telah mencapai kadar maksimal atau puncaknya. Dengan menyesuaikan waktu pasien dalam melakukan latihan fisik, pasien mungkin dapat meningkatkan pengontrolan kadar glukosa mereka. Contohnya, bila pasien melakukan latihan fisik saat kadar glukosa darahnya tinggi, mereka mungkin dapat menurunkan kadar glukosa hanya dengan latihan fisik itu sendiri. Sebaliknya, bila pasien merasa perlu melakukan latihan fisik ketika kadar glukosa rendah, mereka mungkin harus mendapat karbohirat tambahan untuk mencegah hipoglikemia. 5-10Jenis-jenis olahraga yang baik untuk pasien DM antara lain:11AerobikOlahraga harus dilakukan secara rutin agar kondisi tubuh Anda menjadi stabil. Terutama bagi penderita DM, aerobik merupakan jenis olahraga yang sangat baik. Latihan aerobik membuat jantung dan tulang kuat, mengurangi stress dan meningkatan aliran darah. Aerobik juga menurunkan risiko DM tipe 2, penyakit jantung dan stroke dengan menjaga kadar gula, kolesterol dan tekanan darah dalam rentang normal. Lakukan latihan aerobik selama 30 menit minimal 5 kali seminggu. Jika Anda belum terbiasa berolah raga, lakukan 5- 10 menit sehari, lalu tingkatkan secara bertahap setiap minggu. Contoh latihan aerobik yang dapat dilakukan adalah berjalan cepat, berdansa atau mengikuti kelas aerobik. Jika Anda memiliki masalah pada saraf kaki atau sendi lutut, sebaiknya Anda mengurangi beban pada kaki dengan memilih berenang, bersepeda atau mendayung.

Angkat beban (weight lifting)Latihan angkat beban dapat membantu meningkatkan kekuatan tulang dan otot sambil membakar lemak, serta menjaga kepadatan tulang. Lakukan latihan beban 2-3 kali seminggu sebagai tambahan latihan aerobik. Latihan beban dapat dilakukan dengan sit up, push up, mengangkat barbel di rumah atau menggunakan alat-alat latihan di pusat kebugaran.

Peregangan (stretching)Stretching atau peregangan dapat mencegah kram otot, kekakuan dan cedera otot. Beberapa jenis latihan fleksibilitas seperti yoga dan tai chi melibatkan meditasi dan teknik bernapas sehingga mengurangi stress. Lakukan latihan peregangan 510 menit sebelum berolah raga (pemanasan) dan lakukan lagi setelah berolah raga (pendinginan).Selain berolah raga, aktivitas fisik dapat juga dilakukan sambil melakukan kegiatan sehari-hari secara ekstra, misalnya: Memilih naik tangga dari pada naik escalator atau elevator Parkir mobil di tempat yang jauh dari pintu masuk mal Berjalan cepat atau bersepeda saat ada kesempatan Bermain dengan anak-anak Mengajak anjing peliharaan berjalan-jalan Bangun dari tempat duduk untuk mengganti saluran TV daripada menggunakan remote Berkebun, membersihkan rumah dan mencuci mobil sendiri Saat di pasar swalayan, berjalan menyusuri setiap lorong yang ada

Pasien-pasien dengan gejala diabetes melitus tipe 2 dini dapat mempertahankan kadar glukosa darah normal hanya dengan menjalankan rencana diet dan latihan fisik saja. Tetapi, sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik juga dianjurkan. Obat-obatan yang digunakan adalah pensensitif insulin dan sulfonilurea. Dua tipe pensensitif yang tersedia adalah metformin dan tiazolidinedion. Metformin yang merupakan suatu biguanid, dapat diberikan sebagai terapi tunggal pertama dengan dosis 500 hingga 1700 mg/hari. Metformin menurunkan produksi glukosa hepatik, menurunkan absorbsi glukosa pada usus, dan meningkatkan kepekaan insulin, khususnya di hati. Metformin tidak meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas. Asidosis laktat jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang serius, khususnya pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung kongestif. Tiazolidinedion meningkatkan kepekaan insulin perifer dan menurunkan produksi glukosa hepatik. Efek obat-obatan ini kelihatannya menjadi perantara interaksi dengan proliferator peroksisom reseptor inti yang mengaktifkan reseptor gamma (PPAR-gamma). 5,6Dua analog tiazolidinedion, yaitu rosiglitazon dan dengan dosis 4 hingga 8 mg/hari dan pioglitazon dengan dosis 30 hingga 45 mg/hari dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan metformin, sulfonilurea, atau insulin. Obat-obatan ini dapat menyebabkan retensi air dan tidak dianjurkan untuk diberikan pada pasien dengan gagal jantung kongestif. 5Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan menggunakan cara-cara yang sudah dijelaskan, pasien-pasien diabetik tipe 2 dengan sisa sel-sel pulau Langerhans yang masih berfungsi, merupakan calon yang tepat untuk menggunakan sulfonilurea. Obat-obat ini merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya, pasien-pasien dengan diabetes tipe 1 yang telah kehilangan kemampuannya untuk menyekresi insulin, pengobatan dengan sulfonilurea menjadi tidak efektif. Efek potensial yang merugikan akibat penggunaan agen-agen hipoglikemik oral dapat dilihat pada Tabel 63-2. Namun, sulfonilurea generasi kedua menyebabkan sedikit retensi air atau tidak ada sama sekali, yang merupakan masalah potensial dengan beberapa agen generasi pertama. 5-7Dua bahan campuran sulfonilurea yang paling sering digunakan adalah glipizid, 2,5 hingga 40 mg/hari, dan gliburid, 2,5 hingga 25 mg/hari. Gliburid memiliki waktu paruh yang lebih lama daripada glipizid, dan dosis total hariannya dapat diberikan sekali sehari. Gabungan sulfonilurea dengan pensensitif insulin adalah terapi obat yang paling sering digunakan untuk pasien-pasien dengan diabetes tipe 2. Untuk menurunkan peningkatan kadar glukosa posprandial pada pasien ini, absorbsi karbohidrat dapat diturunkan atau diperlambat dengan mengonsumsi akarbosa preprandial, yaitu penghambat alfa glukosida yang bekerja pada usus halus dengan menyekat pencernaan kompleks karbohidrat. 5-8Pemberian InsulinPada individu sehat, sekresi insulin mengimbangi jumlah asupan makanan yang bermacam-macam dengan latihan fisik. Sebaiknya, individu yang menderita diabetes tidak mampu menyekresi jumlah insulin yang cukup untuk mempertahankan euglikemia. Sebagai akibatnya, kadar glukosa darah meningkat tinggi sebagai respons terhadap makanan, dan tetap tinggi pada keadaan puasa. Pasien dengan insufisiensi insulin berat membutuhkan suntikan insulin selain rencana makanan. 5-10Insulin diklasifikasikan sebagai insulin masa kerja pendek, masa kerja sedang, atau masa kerja panjang, berdasarkan waktu yang digunakan untuk mencapai efek penurunan glukosa plasma yang maksimal yaitu waktu untuk meringankan efek yang terjadi setelah pemberian suntikan. Insulin masa kerja pendek mencapai kerja maksimal dalam waktu beberapa menit hingga 6 jam setelah penyuntikan dan digunakan untuk mengontrol hiperglikemia postprandial. Insulin masa kerja pendek juga digunakan untuk pengobatan intravena dan penatalaksanaan pasien dengan ketoasidosis diabetik. Insulin masa kerja pendek juga dapat dikombinasikan dengan insulin masa kerja panjang. Insulin masa kerja sedang mencapai kerja maksimal antara 6 hingga 8 jam setelah penyuntikan dan digunakan untuk pengontrolan harian pasien dengan diabetes. Insulin masa kerja panjang mencapai kadar puncaknya dalam waktu 14 hingga 20 jam setelah pemberian dan jarang digunakan untuk pemakaian rutin pada pasien-pasien diabetes. Satu dari dua analog insulin yang terbaru adalah lispro, yaitu analog insulin dengan masa kerja sangat singkat yang menurunkan kemampuan gabungan dan absorbsinya yang lebih cepat; lispro memiliki awitan kerja yang sangat cepat dan dapat digunakan sesaat sebelum atau sesudah makan. Jika diberikan setelah makan, dosis dapat disesuaikan untuk menutupi makanan yang dimakan, dan memenuhi fleksibilitas pasien dalam pilihan makanan mereka. Tipe lain insulin adalah glargine, yaitu pada posisi 21 rantai A, asparagin digantikan oleh glisin dan dua molekul orginin telah ditambahkan pada posisi 30 rantai B. Analog insulin ini memiliki masa kerja yang sangat panjang tanpa puncak dan dapat digunakan untuk menetapkan kadar basal insulin pada pasien dalam program terapi insulin yang intensif. 5-10Pengendalian glukosa darah pada pasien-pasien diabetes yang memerlukan insulin dapat dicapai dengan pemberian insulin masa kerja sedang sebelum sarapan dan makan malam, dengan dosis yang lebih besar diberikan sebelum sarapan. Insulin dengan masa kerja singkat sering dikombinasi dengan insulin masa kerja sedang untuk pengaturan fisiologis dari glukosa pada fase postprandial, khususnya pada pasien diabetes tipe 1. Pasien dapat mempersiapkan kombinasi ini dengan mencampur dua tipe insulin dalam jumlah yang tidak sama atau dapat diberikan sebagai campuran yang sudah tersedia yang terdiri dari 70% NPH, 30% insulin regular (70/30), atau 75% NPH, 25 insulin lispro (75/25). Terapi insulin yang lebih tepat dapat dicapai dengan suntikan insulin yang lebih sering atau sistem infus insulin subkutan yang terus menerus. Jika sering diberikan suntikan insulin, insulin regular masa kerja cepat diberikan setiap kali sebelum makan, sedangkan insulin NPH masa kerja sedang diberikan saat menjelang tidur. Pilihan yang tepat untuk pengobatan jenis ini adalah insulin glargine yang diberikan sekali sehari menjelang tidur dikombinasikan dengan lispro dosis multipel pada saat makan. Dosis regular insulin disesuaikan sebelum ditentukan algoritme yang menghitung kadar glukosa secara luas dan jumlah makanan. Pasien-pasien membutuhkan spuit insulin dan jarum yang harus dibeli untuk menyuntikan insulin secara subkutan pada dirinya sendiri. Pen yang diisi insulin dengan jumlah yang sudah ditetapkan juga tersedia untuk digunakan secara tepat bagi pasien. Suntikan biasanya diberikan di abdomen atau di lengan. Pastikan bahwa tempat penyuntikan tersebut bergerak dan insulin tidak disuntikan masuk ke dalam pembuluh darah atau ke dalam jaringan parut. 5Terapi insulin yang intensif dapat diberikan melalui pompa infus insulin subkutan. Beberapa pompa infus insulin yang ringan dan mudah dibawa telah tersedia sehingga dapat diberikan infus basal yang terus menerus dan bolus preprandial yang diberikan 30 menit sebelum makan. Pemakaian sistem ini seringkali menghasilkan kontrol glukosa yang lebih baik. Pasien yang sedang diterapi insulin harus diawasi kadar glukosa mereka sebelum diberikan setiap dosis insulin. Penilaian ini dilakukan pada ujung jari, yang dapat menghasilkan darah kapiler yang menetes. Darah diletakkan pada sebuah uji strip dan dibaca dengan pengukur glukosa. Alat tersebut dapat menyimpan nilai glukosa dalam memorinya, dan informasi ini dapat dilihat oleh ahli kesehatan untuk saran selanjutnya dalam program insulin. Terapi insulin yang intensif seringkali berakibat pada perbaikan kontrol glukosa. 5,6,9Pasien diabetes relatif dapat hidup normal asalkan mereka mengetahui dengan baik keadaan dan cara penatalaksanaan penyakit yang dideritanya. Mereka dapat belajar menyuntikkan sendiri insulin, memantau kadar glukosa darah mereka, dan memanfaatkan informasi ini untuk mengatur dosis insulin dan merencanakan diet serta latihannya sedemikian rupa sehingga dapat mengurangi hiperglikemia atau hipoglikemia. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 yang mengalami obesitas, asimtomatik, dan mempunyai kadar glukosa yang cukup tinggi, pengobatan pilihan adalah pembatasan diet dan penurunan berat badan. Namun, tingkat keberhasilan penurunan berat badan di antara pasien-pasien ini rendah, dan pada akhirnya mereka membutuhkan terapi dengan agen hipoglikemik. 5-10

KOMPLIKASIKomplikasi Metabolik AkutKomplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik yang paling serius pada diabetes tipe 1 adalah ketoasidosis diabetik (DKA). 5-10Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis, dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat, dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami syok. Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal. Koma dan kematian akibat DKA saat ini jarang terjadi, karena pasien maupun tenaga kesehatan telah menyadari potensi bahaya komplikasi ini dan pengobatan DKA dapat dilakukan sedini mungkin. 5-10DKA ditangani dengan (1) perbaikan kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin, (2) pemulihan keseimbangan air dan elektrolit, dan (3) pengobatan keadaan yang mungkin mempercepat ketoasidosis. Pengobatan dengan insulin (regular) masa kerja singkat diberikan melalui infus intravena kontinu atau suntikan intramuskular yang sering dan infus glukosa dalam air atau salin akan meningkatkan penggunaan glukosa, mengurangi lipolisis dan pembentukan benda keton, serta memulihkan keseimbangan asam-basa. Selain itu, pasien juga memerlukan penggantian kalium. Karena infeksi berulang dapat meningkatkan kebutuhan insulin pada penderita diabetes, maka tidak mengherankan kalau infeksi dapat mempercepat terjadinya dekompensasi diabetik akut dan DKA. Dengan demikian, pasien dalam keadaan ini mungkin perlu diberi pengobatan antibiotika. 5-10Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK) adalah komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada penderita diabetes tipe 2 yang lebih tua. Bukan karena defisiensi insulin absolut, namun relatif, hiperglikemia muncul tanpa ketosis. Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih besar dari 600 mg/dl. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi hingga 50%. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi, penggantian elektrolit, dan insulin regular. Perbedaan utama antara. HHNK dan DKA adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis. 5-10Komplikasi metabolik lain yang sering dari diabetes adalah hipoglikemia (reaksi insulin, syok insulin), terutama komplikasi terapi insulin. Pasien diabetes dependen insulin mungkin suatu saat menerima insulin yang jumlahnya lebih banyak daripada yang dibutuhkannya untuk mempertahankan kadar glukosa normal yang mengakibatkan terjadi hipoglikemia. Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul, dan koma). Harus ditekankan bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam waktu yang lama, dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen atau bahkan kematian. Penatalaksanaan hipoglikemia adalah perlu segera diberikan karbohidrat, baik oral maupun intravena. Kadang-kadang diberikan glukagon, suatu hormon glikogenolisis secara intramuskular untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Hipoglikemia akibat pemberian insulin pada pasien diabetes dapat memicu pelepasan hormon pelawan regulator (glukagon, epinefrin, kortisol, hormon pertumbuhan) yang seringkali meningkatkan kadar glukosa dalam kisaran hiperglikemia (efek Somogyi). Kadar glukosa yang naik turun menyebabkan pengontrolan diabetik yang buruk. Mencegah hipoglikemia adalah dengan menurunkan dosis insulin, dan dengan demikiart menurunkan hiperglikemia. 5-10Komplikasi Kronik Jangka PanjangKomplikasi vaskular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh-pembuluh kecil (mikroangiopati) dan pembuluh-pembuluh sedang dan besar (makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi ini ditandai dengan peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu, karena senyawa kimia dari membran dasar dapat berasal dari glukosa, maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan pembentukan sel-sel membran dasar. Penggunaan glukosa dari sel-sel ini tidak membutuhkan insulin. Bukti histologik mikroangiopati sudah tampak nyata pada penderita IGT. Namun, manifestasi klinis penyakit vaskular, retinopati atau nefropati biasanya baru timbul 15 sampai 20 tahun sesudah awitan diabetes. 5-10Ada kaitan yang kuat antara hiperglikemia dengan insidens dan berkembangnya retinopati. Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma (pelebaran sakular yang kecil) dari arteriola retina. Akibatnya, perdarahan, neovaskularisasi dan jaringan parut retina dapat mengakibatkan kebutaan (Gbr. 63-2). Pengobatan yang paling berhasil untuk retinopati adalah fotokoagulasi keseluruhan retina. Sinar laser difokuskan pada retina, menghasilkan parut korioretinal. Setelah pemberian sinar beberapa seri, maka akan dihasilkan sekitar 1800 parut yang ditempatkan pada kutub posterior retina. Pengobatan dengan cara ini nampaknya dapat menekan neovaskularisasi dan perdarahan yang menyertainya. 5-10Manifestasi dini nefropati berupa proteinuria dan hipertensi. Jika hilangnya fungsi nefron terus berlanjut, pasien akan menderita insufisiensi ginjal dan uremia. Pada tahap ini, pasien mungkin memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal. 5,6,8Neuropati dan katarak disebabkan oleh gangguan jalur poliol (glukosa sorbitol fruktosa) akibat kekurangan insulin. Terdapat penimbunan sorbitol dalam lensa sehingga mengakibatkan pembentukan katarak dan kebutaan. Pada jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan metabolik sel-sel Schwann dan menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik akan berkurang pada tahap dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul nyeri, parestesia, berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik, dan gangguan motorik yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dalam, kelemahan otot dan atrofi. Neuropati dapat menyerang saraf-saraf perifer (mononeuropati dan polineuropati) (lihat Gambar Berwarna 38), saraf-saraf kranial atau sistem saraf otonom. Terserangnya sistem saraf otonom dapat disertai diare nokturnal, keterlambatan pengosongan lambung dengan gastroparesis, hipotensi postural dan impotensi. Pasien dengan neuropati otonom diabetik dapat menderita infark miokardial akut tanpa nyeri. Pasien ini juga dapat kehilangan respons katekolamin terhadap hipoglikemia dan tidak menyadari reaksi-reaksi hipoglikemia. 5-10Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gabungan dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat menjadi penyebab jenis penyakit vaskular ini. Gangguan-gangguan ini berupa: (1) penimbunan sorbitol dalam intima vaskular, (2) hiperlipoproteinemia, dan (3) kelainan pembekuan darah. Pada akhirnya, makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan gangren pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteria koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium. 5-10Diabetes juga mengganggu kehamilan. Perempuan yang menderita diabetes dan hamil, cenderung mengalami abortus spontan, kematian janin intrauterin, ukuran janin besar, dan bayi prematur dengan insidens sindrom distres pernapasan yang tinggi, serta malformasi janin. Tetapi, sekarang ini kehamilan ibu-ibu dengan diabetes telah mengalami perbaikan berkat pengontrolan glukosa darah yang lebih ketat selama kehamilan, kelahiran yang dibuat lebih dini, dan kemajuan-kemajuan- di bidang neonatologi dan penatalaksanaaan komplikasi pada neonatus. Perubahan lingkungan hormonal selama hamil menyebabkan peningkatan kebutuhan insulin yang progresif, yang mencapai puncaknya pada semester ketiga, dan penurunan tajam kebutuhan insulin setelah melahirkan. 5,7Bukti klinis dan percobaan sekarang ini menunjukkan bahwa timbulnya komplikasi diabetik jangka panjang karena kelainan kronik metabolisme disebabkan oleh insufisiensi sekresi insulin. Komplikasi diabetik dapat dikurangi atau dicegah jika pengobatan diabetes cukup efektif untuk membawa kadar glukosa ke dalam kisaran normal seperti yang diindikasikan oleh hemoglobin glikat. Pentingnya pengontrolan glukosa dalam menurunkan atau mencegah komplikasi diabetes telah disoroti oleh Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) yang merupakan pusat penelitian selama lebih dari 10 tahun. Pasien dengan diabetes tipe I yang menerima terapi insulin secara efektif dan menurunkan kadar hemoglobin glikat hingga < 70%, 50% hingga 75% mengalami penurunan dalam komplikasi mikroangiopati mayor termasuk retinopati, nefropati, dan neuropati. Penelitian selama 10 tahun yang dilakukan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS), memperlihatkan pentingnya pengontrolan glukosa untuk menurunkan risiko komplikasi pasien dengan diabetes tipe 2.5Objektif akhir dari pengobatan diabetes adalah pencegahan. Pengenalan individu berisiko terhadap diabetes tipe 1 dapat mengarahkan pada deteksi dini dari proses autoimun yang mengakibatkan kerusakan sel-sel beta, serta pengobatannya dengan agen imunosupresif yang spesifik. Jika penyakit telah terjadi, transplantasi pankreas mungkin akan memulihkan kapasitas sekresi insulin. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2, pengertian yang lebih baik mengenai mekanisme molekular resistensi insulin dapat mengarahkan untuk dikembangkannya agen farmakologik yang secara spesifik dapat memperbaiki kerja insulin. Riset dalam bidang-bidang ini masih terus berjalan. 5

PENCEGAHANUpaya pencegahan penyakit diabetes mellitus dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 12a. Pencegahan PrimerCara ini adalah cara yang paling sulit karena sasarannya orang sehat. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah agar DM tidak terjadi pada orang atau populasi yang rentan (risiko tinggi), yang dilakukan sebelum timbul tanda-tanda klinis dengan cara: Makan seimbang artinya yang dimakan dan yang dikeluarkan seimbang disesuiakan dengan aktifitas fisik dan kondisi tubuh, dengan menghindari makanan yang mengandung tinggi lemak karena bisa menyebabkan penyusutan konsumsi energi. Mengkonsusmsi makanan dengan kandungan karbohidrat yang berserat tinggi dan bukan olahan. Meningkatkan kegiatan olah raga yang berpengaruh pada sensitifitas insulin dan menjaga berat badan agar tetap ideal. Kerjasama dan tanggung jawab antara instansi kesehatan, masyarakat, swasta dan pemerintah, untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakatb. Pencegahan Sekunder Ditujukan pada pendeteksian dini DM serta penanganan segera dan efektif, sehingga komplikasi dapat dicegah. Hal ini dapat dilakukan dengan skrining, untuk menemukan penderita sedini mungkin terutama individu/populasi. Kalaupun ada komplikasi masih reversible / kembali seperti semula. Penyuluhan kesehatan secara profesional dengan memberikan materi penyuluhan seperti : apakah itu DM, bagaimana penatalaksanaan DM, obat-obatan untuk mengontrol glukosa darah, perencanaan makan, dan olah raga.c. Pencegahan Tersier Upaya dilakukan untuk semua penderita DM untuk mencegah komplikasi. Mencegah progresi dari komplikasi supaya tidak terjadi kegagalan organ. Mencegah kecacatan akibat komplikasi yang ditimbulkan.Strategi yang bisa dilakukan untuk pencegahan DM adalah:a. Population/Community Approach (Pendekatan Komunitas): 12Mendidik masyarakat menjalankan gaya hidup sehat dengan cara: Mengendalikan berat badan, glukosa darah, lipid, tekanan darah, asam urat. Menghindari gaya hidup berisiko. Kerjasama dengan semua lapisan masyarakat.b. Individual High Risk Approach (Pendekatan Individu):12 Umur > 40th Obesitas Hipertensi Riwayat keluarga / keturunan Dislipidemia / timbunan lemak dalam darah yang berlebihan Riwayat melahirkan dengan BBL > 4 kg, abortus spontan berulang, kelahiran cacat Riwayat DM pada saat kehamilanPROGNOSISDiabetes mellitus sangat berisiko menimbulkan penyakit vaskuler, termasuk kardiovaskuler. Berdasarkan pada suatu studi, wanita dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) 3 kali lebih sering menderita diabetes tipe 2 dibandingkan dengan wanita dengan tekanan darah normal, setelah disesuaikan dengan beberapa variasi faktor seperti umur, etnik, kebiasaan merokok, asupan alkohol, BMI, pengendalian yang dilakukan, dan riwayat diabetes dalam keluarga, dsb. Penelitian ini dilakukan pada 38.000 wanita sehat yang dilakukan secara kohort pada 10 tahun. Kecuali dalam kasus diabetes tipe 1, dimana kasus tersebut selalu membutuhkan penggantian insulin, untuk memanage diabetes tipe 2 dilakukan berdasarkan umur atau dengan kata lain jenis terapi dan manajemen berbeda menurut umur. 13Produksi insulin menurun karena bertambahnya umur, dihubungkan dengan kerusakan atau memburuknya fungsi beta sel pangkreas. Ditambahkan juga, peningkatan resistensi insulin bisa dikarenakan kehilangan lemak-lemak jaringan dan akumulasi lemak, terutama pada bagian intra-abdomial, dan penurunan sensitivitas jaringan terhadap insulin. Toleransi terhadap glukosa secara progresif menurun karena faktor umur, hal ini mendorong terjadi tingginya prevalensi diabetes tipe 2 dan kejadian hiperglikemia pada populasi penduduk usia tua. Umur memang berhubungan dengan intoleransi glukosa pada manusia dan sering hal tersebut terjadi bersamaan dengan resistensi insulin, akan tetapi sirkulasi kadar insulin pada orang tua sama dengan pada orang dengan usia muda. Treatmen ditujukan untuk pasien dengan usia tua yang menderita diabetes berbeda-beda menurut masing-masing individu, tergantung status kesehatan individu, seperti usia harapan hidup, derajat ketergantungan, dan kemauan untuk mengkonsumsi obat obatan untuk penyembuh. Kadar glikogen dalam hemoglobin lebih baik digunakan sebagai acuan dibandingkan kadar glukosa puasa untuk menentukan besarnya risiko kejadian penyakit kardiovakular dan kematian akibat diabetes dilihat dari banyaknya penyebab kematian pada penyakit ini.13Periode 10 sampai 20 tahun sesudah awitan diabetes tampaknya merupakan masa yang kritis. Jika pasien dapat bertahan pada periode ini tanpa komplikasi mikrovaskular yang berat, maka besar kemungkinan kesehatan yang baik akan terus berlanjut. Intelegensi, motivasi dan keperdulian pasien akan komplikasi penyakit merupakan faktor - faktor utama yang berperan dalam mencapai keberhasilan terapi. Di samping itu, pendidikan pasien diabetes untuk memberi pengetahuan, panduan dan sarana yang dapat membantu mereka menjalankan penanganan diabetes dari hari ke hari adalah penting dalam perbaikan prognosis jangka panjang.

PENUTUPDiabetes mellitus adalah penyakit yang ditandai dengan kadar gula darah yang tinggi yang disebabkan oleh gangguan pada sekresi insulin atau gangguan kerja insulin atau keduanya. Tubuh pasien dengan diabetes mellitus tidak dapat memproduksi atau tidak dapat merespon hormon insulin yang dihasilkan oleh organ pankreas, sehingga kadar gula darah meningkat dan dapat menyebabkan komplikasi jangka pendek maupun jangka panjang.

DAFTAR PUSTAKA1. Arisman. Obesitas, diabetes mellitus, dan dyslipidemia: konsep, teori, dan penanganan aplikatif. Jakarta: EGC, 2010.h.54-63.2. Gleadle, Jonathan. At a glance: anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga.h.76.3. Brashers, Valentina L. Aplikasi klinis patofisiologi: pemeriksaan & manajemen. Edisi ke-2. Jakarta: EGC, 2007.h157-70.4. Sacher, Ronald A. Tinjauan klinis hasil pemeriksaan laboratorium. Edisi ke-11. Jakarta: EGC, 2004.h.519-25.5. Price, SA. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Volume ke-2. Edisi ke-6. Jakarta: EGC, 2005.h.1259-70.6. Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrisons principle of internal medicine. 18th edition. Volume 2. USA: McGrawHill; 2008.p.2968-3003.7. Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, K Marcellus S, Setiati Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi ke-5. Jakarta: Internal Publishing,2009.h.1877-992.8. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins & Contran Dasar Patologis Penyakit. Edisi ke-7. Jakarta: EGC; 2010.h.1214-25.9. Corwin, Elizabeth J. Patofisiologi: buku saku. Edisi-3. Jakarta: EGC, 2009.h.620-41.10. Gibney, Michael J. Gizi kesehatan masyarakat. Jakarta: EGC, 2008.h.407-18.11. Regina. Diunduh dari http://diabetesmelitus.org/olahraga-untuk-penderita-diabetes/ pada tanggal 10 November 2012.12. Anonim. Diunduh dari http://www.smallcrab.com/diabetes/509-pencegahan-diabetes. Diakses tanggal 10 November 2012.13. Anonim. Diabetes Mellitus. Diunduh dari Http://wikipedia.org/diabetesmellitus/. Diakses tanggal 11 November 2012.