DISUSUN OLEH : GINA HIKMATUR HEDHA -...
-
Upload
nguyenngoc -
Category
Documents
-
view
253 -
download
26
Transcript of DISUSUN OLEH : GINA HIKMATUR HEDHA -...
PERILAKU COPING IBU YANG MEMPUNYAI ANAK
PENDERITA THALASSAEMIA
DISUSUN OLEH :
GINA HIKMATUR HEDHA
104070002387
_FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HJUAYATULLAH
JAKARTA
2008
Perilaku Coping lbu yang Mempunyai Anak
Penderita Thalassaemia
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat
Memperoleh gelar sarjana psikologi
Pembimbing I
Oleh:
Gina Hikmatur Redha
NIM: 104070002397
Di Bawah Bimbingan
Pembimbing II
~~ /"
Neneng Tati Sumiati, M.Si, Psi
NIP. 150 300 679
Yufl'Anclriani, M.Si, Psi
FAKUL TAS PS!KOLOGI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H .I 2008 M
PENGESAHAN PANITIA U.JIAN
Skripsi yang berjudul PERILAKU COPING IBU YANG l\/IEMPUNYAI ANAK
PENOERITA THALASSAEMIA telah diajukan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 15 September 2008. Skripsi ini telah diterima s13bagai salah satu
syarat untuk memperolah gelar Sarjana Psikologi.
Jakarta, 15 September 2008
Dra. Ne t Hartati M. Si NIP 15 15938
1-~engUJI i
Ora. NIP.
Pembimbing I
M. $j
Neneng Tati Sumiati, Msi.Psi NIP: 150300679
Sidang Munaqasyah
Anggota:
Sekretaris Merangkap Anggota,
A,, Ora. Zahrotun N. ah M.Si NIP: 150238T/3
Penguji II
Neo~~;eti, M,;p,; NIP 150300679
Pembimbing II
Yufi And.ffi'..ani, Msi. Psi
MOTTC>
'Kita nen.tl.a.l<naa mug,ad.ll<an
c:/l.cualan aw"a Alta na l
fiehaaal ~at:ana pem/Jen.a.'14211 tl.lt:l
fiet:ta pen.s.uatJlwa
KATA MUTIARA
Kebanggaan; Hanyalah bagi mereka yang berilmu. Mereka adalah petunjuk bagi siapa saya yang meminta.
Harga diri; Terdapat pada tingkah lakunya yang baik. Orang-orang bodoh adalah musuh bagi mereka yang berilmu. Raihlah kemenangan dengan ilmumu. Niscaya ilmu adalah kekal. Semua manusia menanti mati, sedangkan ahli ilmu hidup abadi. (Ali ra)
Belajarlah llmu, karena belajar ilmu karena Allah itu merupakan suatu bukti takut kepadaNya,
menuntutnya adalah ibadah
mendiskusikan adalah tasbih
membahasnya adalah jihad
dan mengajarkan kepada orang yang belum mengetahuinya adalah sedekah
Dedicated to: Mamoy, papoy and all my family
ABSTRAKSI
(C). Gina Hikmatur Redha
(A.). Fakultas Psikologi (8). Agustus 2008
(D). Perilaku Coping ibu yang Mempunyai Anak Penderita Penyakit Thalassaemia
(E). xv +91 halaman (F). Thalassaemia adalah sejenis penyakit anemia yang juga penyakit
keturunan (genetis) yang tidak bisa disembuhkan, adapun penderita thalassaemia harus menjalani transfusi darah seumur hidupnya. Apabila penderita tidak melakukan transfusi darah secara rutin dapat menyebabkan kematian.
Bayangan kematian inilah yang selalu menghampiri perasaan ketakutan pada orang tua. Penyakit thalassaemia merupakan penyakit yang sangat menguras materi dan imateril. Menguras materi dalam kasus ini adalah biaya untuk transfusi darah yang nominalnya tidak sedikit. Sedangkan menguras imateril, dalam kasus ini orangtua senantiasa merasa bersalah kepada anaknya karena penyakit yang diderita oleh anaknya adalah penyakit yang diturunkannya (oran!;;itua). lbu yang keadaanya lebih mudal1 tertekan daripada ayah menyebabkannya lebih mudah depresi, karena desakan-desakan yang terjadi guna memperpanjang kehidupan anaknya, oleh karena itu ibu akan melakukan coping yaitu usaha menangani dan mengasai situasi penuh stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya yaitu penyakit thalassaemia yang diderita oleh anaknya dengan cara melakukan perubahan kognitif, maupun prilaku guna memperoleh rasa aman pada dirinya yaitu anaknya akan bertahan hiolup. Coping memiliki dua jenis strategi yaitu pertama problem-focused coping, yang terdiri dari active coping, planning, seeking social support for instrument reasoan, suppression of competing activities dan restraint coping. Sedangkan yang kedua yaitu emotional-focused coping yang terdiri dari seeking social support for emotional reason, positiv1:: reinterprntation and growth, denial dan acceptance.
Penelitian ini be1iujuan untul< mengetahui bagaimana coping ibu yang mempunyai anak yang menderita penyakit thalassaiamia. Dengan metode kualitatif diharapkan bisa mendapatkan hasil penelitian yang mendalam dengan teknik observasi dan wawancara. Sample terdiri dari satu ibu yang mempunyai anak menderita penyakit thalassaemia minor, dan dua ibu yang mempunyai anak menderita penyakita thalassaemia mayor.
Hasil penelitian yang diperoleh dari ketiga subjek menunjukkan bahwa penyakit thalassaemia yang diderita oleh anaknya menimbulkan masalah-masalah yang harus dihadapi olehnya, adapun masalahmasalah tersebut antara lain: Merasa bersalah, kanena menurunkan gen thalassaemia kepada anaknya, tidal< dapat meneffima kenyataan bahwa anaknya menderita penyakil thalassaemia, kesulitan membangkitkan rasa percaya diri anal<, kesulitan mendapatkan uang untuk biaya tmasfusi darah, stigma yang salah para tetangga mengenai penyakit thalassaemia, tidal< adanya obat, yang dapat meny•embuhkan penyakit thalassaemia, keadaan anak yang selalu menurun, anak menderita thalassaemia seumur hidup, perasaan tidal< tega melihat anak ketika melakukan transfusi darah, dan kekhawatiran mem~1enai kelanjutan hidup anaknya. Sehingga para subjek memilih menggunakan strategi coping problem focused coping dengan jenis restrain coping dan seeking social support for instrumental reasons, dan strategi emotion focused coping dengan jenis denial, seeking social support for emotional reasons, dan acceptance
Kesimpulan hasil penelitian menunjukan bahwa tidal< ada perbedaan antara ibu yang mempunyai anak dengan thalassaemia minor dan mayor dalam menggunakan strategi coping. Dari pe1nelitian yang diperoleh, diharapkan dapat di jadikan referensi apabila terdapat kasus atau masalah yang sama.
Saran bagi para peneliti dalam hal observasi responden hendaknya dilakukan tidal< l1anya pada saat wawancara berlan!;;isung untuk menghindari keadaan yang telah di kontrol oleh responden, dan menyebabkan peneliti tidal< mendapatkan keadaan sesungguhnya dari responden, sebaiknya juga mengobservasi perilaku anak dan bagaimana interaksi antara ibu dan anak un!uk melihat apakah coping yang dilakukan oleh ibu cukup berhasil atau tidak.
(G). Daftar Bacaan 23 buku, 1 skripsi, 1 tesis, 1 jurnal, 7 website
KATA PENGANTAR
Puji serta syul<ur tiada henti terucap kehadirat Allah SWr Dzat Yang Maha
Mutlak, karena dengan Rahmat dan HidayahNya yang te:lah dilimpahkan
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selawat
beserta salam kehadirat suri tauladan ummat sedunia, Nabi Muhammad
SAW, karena dengan segenap perjuangannya penulis dapat menikmati
nikmat keberagaman dunia.
Penulis skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan Akademik Fakultas
Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk
memperoleh gelar sarjana psikologi. Penulis menyadari dalam penulisan
skripsi yang berjudul "Perilaku Coping lbu yang Mempunyai Anak Penderita
Thalassaemia" tidak luput dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu pEmulis
mengucapkan terimakasih dan pengl1argaan yang tulus pada seluruh pihak
yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, khususnya
kepada:
1. lbu Ora. Netty Hartaty, M.si selaku Dekan Fakultas Psikologi dan lbu
Ora. Zahrotun nihayah, M.si. Psi selaku Pembantu Dekan beserta
jajarannya.
2. lbu Neneng Tati Sumiati, M.si. Psi dan lbu Yufi Andriani, M.si. Psi yang
telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dalam
melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Achmad Syahid selaku dosen penasehat kelas D angkatan
2004, yang telah memberikan arahan kepada penulis selama berkuliah
di Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
4. Papa dan Mamaku yang tersayang, untuk semua cinta, doa dan
dukungannya yang tak temilai dan tak akan pernah terbayar "I Love
You Both", karena alas semua cintah kasihnyalah skripsi ini bisa
selesai. Thanks ... mam and dad ...
5. l<eluarga besar Rasyid yang tercinta, untuk abang (Edooy, Gaox, lril),
kakak (Noenk, Maida), ade satu-satunya yang tersayang (Abon) dan
keponakan yang lucu-lucu dan kadang suka ngerecokin (Afi, Ciput,
Cuwa-cuwa, Ina, lntan, Indra, dan Cuna) "/Love you all and I am Very
lucky to be pan of you"
6. Saudara, sahabat, dan sekaligus teman baik ... (barudak kosan dan
barudak De-A salikur&salapan). Suka duka bareng-bareng, indah
bang et... jangan pada lupa kehidupan bareng-baneng di kosan oke
oke. Thanks . .for all.
7. Seluruh dosen dan Akademik Fakullas Psikologi, alas semua ilmu dan
pelayanan adminislratif yang diberikan kepada pEmulis selarna
penyelesaian kuliah di Fakullas Psikologi UIN Syafir Hidayatullah,
Jakarta.
8. Pelayanan Perpuslakaan Fakullas Psikologi, Perpustakaan utama UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan-perpustakaan urnurn
yang lainnya yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini
9. Partisipan dalan skripsi ini yaitu lbu E, ibu H dan ll:lu S, serta anak
anaknya yang menderila thalassaemia, makasih sudah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, dan moga kita letap menjaga
hubungan keluarga ini
10. Teman seperjuangan darma, cimoet, ulya, dan tarni, Thanks alas
sernua senyurn, kelawa, suka, cita, segala perhatian, dan supportnya
yang besar-besaran .. "You're the best I ever had"
11. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan dalarn rnenyelesaikan skripsi,
bersarna kita bangun dunia Psikologi yang tak terlupakan dalam
angkatan 2004. Kita masuk bareng, dan moga aja kita keluar bareng
juga. Amien ... amien. Ayo semangat...
12. Muhammad Amirul Mu'minin yang selalu memberikan dukungan, dan
perhatiannya kepada penulis, semoga Allah mericlloi hubungan kita,
Amin ...
Akhir kata penulis sangat mengharapkan kritik clan saran yang membangun
dan bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi kemajuan penulis di
masa akan da!ang, semoga Allah senantiasa memberikan petunjukNya
kepada penulis. Amin Yaa Robal Alamin.
Jakarta, 20 Agus!us 2008
Penulis
DAFTAR ISi
Halaman Judul ...................................................................................... .
Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. .. . . .. . . . . . . . .. . . . . . . ii
Halaman Pengesahan Panitia Ujian .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . iii
Motto...................................................................................................... iv
Kata Mutiara . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v
Abstrak ................................................................................................... vi
Kata Pengantar . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . .. .. . . . .. . . .. .. .. . . . . . .. viii
Daftar lsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . xi
Daftar Tabel ........................................................................................... xv
BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................... 1-14
1. 1 Latar Belakang Masai ah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
1.2 ldentifikasi Masalah ........ .. .................................. .............. 11
1.3 Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................. 11
1.3.1 Pembatasan Masalah .................... ..................... ... 11
1.3.2 Perumusan Masalah ..................... ........................ 12
1.4 Tujuan dan Manfaat Peneli!ian . . . . . . . . .. . . . . .. . .. .. . . . . . . . . . . . . . .. . . .. . 12
1.4.1 Tujuan Penelitian .................................................. 12
1.4.2 Manfaat Penelitian ..... ............. ....... ...... .. ............... 12
1.5 Sistematika Penulisan ... ..................... ........ ................ ....... 13
BAB 2 LANDASAN TEORI .................................................................. 15-38
\.;/.1 Perilaku Coping................................................................. 15
2.1.1 Pengertian Perilaku Coping.................................... 15
J2.1.2 Jenis-jenis Coping.................................................. 16
2.1.3 Fungsi-fungsi Coping ................... .................. ........ 21
2.1.4 Proses-proses Coping... .... ............... .. ............. .. .... 22
2.1.5 Faktor-faktor yang mernpengarul1i Strategi
Coping................................................................... 22
2.2 Pen yak it Thalassaemia . . . . . .. .. .. . . . . . . . . . . . . . .. . . .. . . .. . . . . . .. . . .. . . . . . . . . 25
2.2.1 Pengertian Penyeakit Thalassaemia ...................... 25
2.2.2 Jenis-jenis Penyakit Thalassaemia. .. . . . . . . . .. .. .. .. . . . . . . . 28
2.2.3 Faktor-faktor Penyebab Penyakit Thalassaemia ... 28
2.2.4 Aki bat Penyakit Thalassaemia .. ............................. 30
2.2.5 Cara-cara Mencegah Kelahiran Penderita
Thalassaemia........................................................ 31
2.2.6. Dampak Psikososial pada Anak dan Orang Tua
Aki bat Penyakit Thalassaeia. .. .. .. . . . . . .... .. .. ... . .. . .. . ... . . 32
2.3 lbu .................................................................................... 35
2.3.1 Pengertian lbu......................................................... 35
2.3.2 Karakteristik !bu .......................................... ......... ... 36
BAB 3 METODOLOGI PENEUTIAN ........................................... 39-48
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian. .. .. .. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . .. . .. . . . . 39
3.2 Metode Penelitian . . .. . . . . . . . . . .. .. .. . . . . .. . . .. . . . . . . . .. .. .. . . . . . .. .. .. . . . .. .. . 40
3.3 Subyek Penelitian ............................................................ 41
3.4 Teknik Pengumpulan Data ............................................... 42
3.5. lnstrumen Penelitian ............. ................ .............. .............. 44
3.5.1 Pedoman Wawancara ............. .... ............. .............. 44
3.5.2 Alat Perekam ......................................................... 45
3.5.4 Lem bar Observasi.................... ................. ............. 45
3.6 Teknik Analisa Data ......................................................... 45
3. 7 Prosedur Penelitian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . 46
3.7.1 Tahap persiapan .................................................... 46
3.5.4 Tahap Pelaksanaan ............................................... 47
BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISA DATA
4.1 Gambaran Umum Subyek Penelitian
4.2 Gambaran dan Analisa Kasus ......................................... .
4.2.1 Kasus E. .................................... "'···························
4.2.2 Kasus S ................................................................... .
4.2.3 Kasus H .................................................... : ........... .
4.3 Anal is is Perbandingan Kasus ......................................... .
4.3.1 Gambaran masalah-masalah yang dihadapi antar
subjek .................................................................. .
4.3.2 Gambaran Strategi Coping yang Dilakukan antar
49
51
51
59
69
78
78
su~ek ................................................................... 80
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan . . . . . . . . . . .. .. . . . . . . . . . . . . . . . . .. .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 84
5.2 Diskusi . .. . . .. .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. .. . . . . . . . . . . . . . . . .. .. .. . . .. . . . . . . . .. .. . . . . . . . 85
5.3 Saran ............... ............................... ................................. 89
DAFTAR PUSTAKA
lampiran-iampirnn
DAFTAR TABEL
Tabel 3.5.1. Kisi-kisi Pedoman Wawancara .......................................... 44
Tabel 4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ................................... 50
Tabel 4.3.1 Masalah-masalah yang dihadapi subjek .............................. 78
Tabel 4.3.2. Stategi Coping Antar Subjek ............................................. 80
BAB 1
PENDAHUlUAN
1.1. Lat~u Belakang Masalah
Pada umumnya, setiap orang tua mempunyai keinginan untuk memiliki anak
yang sehat, mandiri kelak dimasa dewasanya, serta dapat berguna bagi
agama, nusa dan bangsa. Setiap orang tua mempunyai tanggung jawab
untul< mengasuh dan mendidik anaknya, dengan didikan yang sebaik
baiknya. Namun dalam kenyatannya tidak semua analz dapat berkembang
dalam lingkungan dan kesehatan yang selalu baik. Sepe11i halnya yang
te1jadi pada Nafa. Nafa adalah salah satu anak dari ribuan pasien di
Indonesia yang memiliki kelainan thalassaemia di tubuhnya. Balita yang
masih berusia 19 bulan ini terpaksa harus merelakan kaki mungilnya ditusuk
jarum yang membawa darah baru bagi tubuhnya. Rutinitas wajib transfusi
bagi gadis mungil ini sudah dimulai sejak setahun lalu, kE;tika usianya baru
saja menginjak enam bulan. Kulitnya menghitam dan terlihat kisut, belum lagi
tubuhnya yang terlihat lebih kecil dibanding anak seusianya. Menurut kedua
orang iua Nafa, Halim dan Jumiati, kelainan yang diderita bocah mungil ini
terdeteksi sejak usianya enam bulan, kulitnya menghitam dan menjadi kisut.
Belum lagi nafsu makannya yang turun drastis. Kekhawatiran Jumiati
semakin kentara karena puteri sulungnya, Wiwi yang kini berusia sembilan
2
tahun juga mengidap gejala yang sama saat pertama kali didiagnosis
menderita thalassaemia. Sejak itulah, bersama sang kakak, Nafa terpaksa
menjadi pasien rutin Pusat Thalassaemia RS Cipto Mangunkusumo. Dalam
sebulan, Halim dan istrinya yang bermukim di Seman;an, Kalideres, Jakarta
Barat ini, bisa tiga kali mendatangi RSCM untuk menjalani proses transfusi
darah kedua buah hatinya. Sejak menikah pada akhir tahun 90-an, kedua
pasangan asal Betawi ini tidak pernah menyangka akan memiliki anak yang
menderita kelainan ini. Kini, Halim dan Jumiati hanya bisa bersabar menjalani
pengobatan kedua puterinya. Jumiati mengaku l<asihan dan tidak tega
melihat keadaan dua puterinya. Apalagi bila sudah waktunya transfusi darah,
nafsu makan Nafa menjadi berkurang, sering terjatuh se1:iap kali berjalan dan
suka merintih kesakitan karena Nafa merasa badanya mulai tidak enak
(http://www.republika.eo.id/koran_detail.asp).
Penyakit thalassaemia seperti yang dialami oleh Nafa adalah penyakil
kelainan darah yang diturunkan, yang di tandai oleh adanya sel darah merah
yang abnormal (ada kelainan). Kelainan darah yang diala1mi oleh penderita
thalassaemia ini menyebabkannya tidak bisa menghasilkan sel darah secara
normal. Akibatnya sel darahnya mudah sekali pecah sehingga harus terus
menerus ditransfusi darah. Seseorang yang menderita thalassaemia harus
mentransfusi darah secara teratur setiap tiga minggu sarnpai satu bulan
sekali. Penderita thalassaemia setiap bulannya akan me1ngeluarkan biaya
untuk pengobatan minimal 3-5 juta rupiah, antara lain, untuk biaya tranfusi
darah berikut peralatannya (Faisal Yatim, 2003).
3
Indonesia termasuk wilayah dengan penderita thalassaemia cukup banyak.
Data dari Rumah Saki! besar dan Rumah Saki! pendiclikan, gen pembawa
sifat thalassaemia berkisar 8-10%. Berarti ada 8-10% or:ang pembawa sifat
thalassaemia terdapat di antara 100 penduduk. Jumlah penderita
thalassaemia yang tercatat di seluruh Indonesia sebanyak 8000 orang. Di
Jakarta diperkirakan ada 1000 penderita thalassaemia. Di seluruh dunia,
jumlah pembawa sifat thalassaemia sebanyak 8-15%, se1dangkan di Jakarta
diperkirakan sekitar 5%. Dapat diperhitungkan bahwa dengan penduduk
Indonesia 200 juta berarti ada sel<itar 10 juta pembawa sifat thalassaemia
(Faisal Yatim, 2003). Ketua Harian Yayasan Thalassaemia Indonesia,
Ruswandi mengatakan jumlah penderita thalassaemia di Indonesia dari tahun
ke tahun cenderung meningkat. Menurutnya, penderita thalassaemia saat ini
masih kurang mendapat perhatian dari berbagai kalangan. Padahal
thalassaemia merupakan penyakit yang angka kematiannya cukup besar
(http://www.depkes.go.id/index.php).
4
Menurut Djayadiman thalassaemia belum bisa disembuhkan, dan sedikit
sekali penderita thalassaemia yang dapat menikmati hidup sampai usia 30
tahun meskipun rajin berobat dan memperoleh tranfusi darah secara teratur.
Transfusi darah menjadi satu-satunya jalan untuk memperpanjang kehidupan
penderitanya, karena apabila tidak menjalani tranfusi darah secara teratur
maka kinerja organ tubuh akan terganggu sehingga penderita thalassaemia
akan mengalami pembesaran pada perut seperti bengkak. Akan tetapi
transfusi darah dapat menyebabkan penumpukan zat besi di dalam tubuh
penderita thalassaemia. Kandungan zat besi yang menumpuk ini akan
menjadi racun yang dapat membahayakan nyawa penderitanya. Akibatnya,
selain transfusi darah, para penderita thalassaemia ini juga harus menjalani
pengobatan untuk mengeluarkan penumpukan zat beisi dari dalam tubuhnya.
Adapun cara mengeluarkan zat besi yang menumpuk dalam tubuh penderita
thalassaemia ini adalah dengan memberikan suntikan Deferasirox secara
rutin 5 kali dalam seminggu kepada penderita, akan tetapi kebanyakan
penderita tidak menjalankan rutinitas ini karena proses suntikan Deferasirox
ini sangat menyakitkan, membosankan clan untuk memperoleh suntikan ini,
penderita harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Biaya untuk tranfusi
darah dan untuk suntikan Deferasirox sangat sulit dijangkau oleh para
penderita thalassaemia yang 85 persen penderitanya berasal dari keluarga
kurang mampu. Sehingga mereka seringkali menghaclapi kebinggungan
untuk mendapatkan uang bagi anaknya yang menderita thalassaemia dan
juga untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya
(http://www.republika.eo.id/koran_detail.asp).
5
Penyakit thalassaemia ini selain membutuhkan biaya yang sangat mahal juga
dapat mengakibatkan dampak psikososial pada penderitanya. Menurut Hasto
Prianggoro (dalam http://www.tabloid-nakita.com/artikel.php) penderita
thalassaemia akan merasa lain dari anak-anak sebayanya yang normal,
misalnya pada anak perempuan akan mengalami keterlambatan dalam
pubertas (delay puberty), mengalami keterlambatan juga dalam menstruasi,
bahkan buah dada tidak tampak menonjol. Selain itu, karena sebentar
sebentar ditransfusi darah, anak juga bisa stres, sehingga anak tersebut akan
merasa kehilangan kepercayaan dirinya akibat mengganggap atau tahu
penyakitnya tidak dapat disembuhkan. Penderita thalassaemia ini tidak hanya
menganggung penderitaan akibat penyakitnya, tetapi juga menanggung
akibat dari transfusi darah yang rutin dilakukannya seperti kulit menjadi hitam
(gosong). Peran orang tua dalam membangkitkan perasaan percaya diri
anaknya sangat dibutuhkan oleh anak.
Orang tua yang memiliki anak menderita penyakit thalassaemia ini harus
memikirkan bagaimana kelanjutan hidup anaknya, mulai dari mencari biaya
untuk transfusi darah, suntikan dan obat bagi anaknya, orang tua juga harus
memikirkan bagaimana membuat anaknya percaya diri clan tidak merasa
berbeda dengan anak-anak sebayanya yang normal.
6
Selain pikiran di alas juga, orang tua yang mempunyai anak menderita
thalassaemia, selalu dihampiri oleh perasaan takut akan kehilangan anaknya
apabila ritual seperti transfusi darah, suntikan clan obat tidak terpenuhi.
Bayangan akan kematian inilah yang selalu menghampiri perasaan ketakutan
orang tua apabila suatu saat akan kehilangan anak yang disayanginya akibat
penyakit thalassaemia ini. Penyakit thalassaemia ini merupakan penyakit
yang sangat menguras materi dan imateril. Menguras materi dalam kasus ini
setiap transfusi darah membutuhkan dana yang tidak sedikit, sehingga cara
apasaja akan orang tua lakukan guna menyambung kehidupan sang anak.
Adapun cara-cara yang dilakukan orang tua antara lain mulai dari gaji yang di
peroleh bapak perbulannya akan ditukarkan dengan transfusi darah untuk
anaknya, selain itu uang tabungan, sampai harta benda apapun yang bisa
menghasilkan uang, akan ditukarkannya juga dengan transfusi darah untuk
anaknya. Sedangkan menguras imateril, dalam kasus ini orangtua senantiasa
7
meningkat dan mengancam kesehatan mentalnya. Karena desakan-desakan
yang terjadi guna memperpanjang kehidupan anaknya.
Orang tua menyadari akan l<edudukan anaknya antara l1oin anak sebagai
anugrah dari Allah, anak sebagai amanat dari Allah, anak sebagai bukti
kebesaran dan kasih sayang Allah dan anak sebagai peianjut, penerus dan
pewaris orang tua (Hartono, 1997). Dengan menyadari akan kedudukan
anaknya membuat orang tua menjadi lebih tabah dan sabar dalam
menghadapi penyakit yang diderita oleh anaknya kare:na anal< adalah milik
Allah yang dititipkan kepadanya, sehingga anak akan kembali kepada
pemiliknya yaitu Allah SWT. Seper!i dalam surat Al-Baqarah ayat 155-156
yang berbunyi:
Artinya: "Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah
kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) Orang-orang yang
apabila ditimpa musibah, mereka berkata: "innaa li/laahi wa innaa i/aihi
raajiuun (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali)"
8
Menurut Majdi As-Sayyid Ibrahim (2004, dalam http://lwww.as
syifa.blogspot.com/2004/12/keutamaan-sabar-menghadapi-cobaan.html)
Setiap orang akan menghadapi cobaan di dalam hidupnya, cobaan itu baik
yang menimpa langsung pada dirinya atau suaminya atau anaknya ataupun
anggota keluarga yang lainnya. Akan Tetapi justru disitulah akan tampak
kadar iman seseorang. Allah menurunkan cobaan kepacla umatnya, agar Dia
bisa menguji iman umatnya, apakah umatnya akan sabar dalam
menghadapinya atau kebalikannya yaitu menghadapinyi:i dengan marah
marah. Oleh l<arena itu l1endaknya orang tua menghadapi segala cobaan
yang terjadi pada anaknya dengan sabar dan memasrahkan segala
masalahnya kepada Allah. Menurut Carver, C.S & Schel<!r, M.F (1989), dengan
kita memasrahkan segala masalah kita kepada Tuhan itu adalah salah satu
bentuk coping yang masuk kedalam emotional focused coping yaitu turning
to religion.
Menurut Hurlock (2000), terdapat perbedaan antar jenis kelamin dalam
streotip peran seks tradisional pada ciri kepribadian yaitu wanita dengan
kepribadian feminim dan pria dengan kepribadian maskulin, yang mengarah
pada perbedaan peran pria dan wanita dalam keluarga. Pria sebagai ayah
sering diidentikkan sebagai sosok yang menjaga dan melindungi keluarga
(bekerja untuk mencari nafkah) dan tugas-tugas kepemimpinan, sehingga ia
9
memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk berintraksi dengan anak-anaknya
dan memiliki ikatan emosional yang lemah dengan anaknya. Peran pria
sebagai ayah berbanding terbalik dengan peran wanita sebagai ibu yang
sering diidentikkan sebagai penjaga lingkungan domestil~ dan Jebih
ditekankan pada kompetensinya memelihara, mengasuh anak serta
melakukan aktivitas rumah tangga lainnya, sehingga t1al ini, membuat ibu
akan mendapat banyak kesempatan untuk berintraksi deingan anaknya,
memiliki ikatan emosional yang kuat dan menjadi lebih perhatian kepada
keadaan anaknya menderita penyakit thalassaemia.
Dengan naluri agresif dan protektif yang dimiliki seorang ibu menjadikannya
hipe1waspada tentang semua aspek mengenai keselamatan dan kesehatan
anaknya. Sikap hiperwaspada yang dimiliki oleh ibu, menyebabkan
kecemasan empat kali lebih sering di temui pada ibu, stre,sor yang sangat
responsif pada perempuan membuatnya jauh lebih cepat cemas daripada
suaminya. Keadaan ini menyebabkan ibu terpusat pada bahaya yang
dihadapi dan bereaksi dengan cepat untuk melindungi anaknya (Lounann
Brizendine, 2006).
Abu Muhammad (1999) juga mengatakan bahwa wanita mempunyai
perbedaan dengan laki-laki dalam mengadapi problema kehidupan, wanita
10
lebih banyak rewel dan menggunakan perasaannya sehingga
menyebabkannya lebih mudah kacau dibandingkan den!~an laki-laki, dan laki
laki juga dalam menghadapi problema kehidupan lebih memakai logikanya.
Penelitian yang dilakukan oleh Bamaisaiye, Bakare, &. Olatawura (dalam
Midence, dkk,. 1993) menyatakan bahwa pengaruh kondisi anak yang
menderita penyakit kronis pada keluarga terutama dirasakan oleh ibu.
Penelitian mengenai efek dari kondisi anak yang menderita penyakit siklemia
terhadap orang tua ini menunjukan bahwa 93% ibu menyatakan bahwa
keadaan anak tersebut membuat perkawinan mereka tidak bahagia.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa 80% dari ibu men&1atakan bahwa
kondisi anak yang saki! berpengaruh terhadap kehidupan pekerjaan,
pendidikan dan kesehatan mental mereka. Sedangkan pengaruh bagi ayah
hanya 20%.
Hasil penelitian di atas terlihat bahwa kondisi anak yang menderita penyakit
kronis seperti thalassaemia memberikan pengaruh yang sangat besar
dirasakan oleh ibu. lbu merasakan perasaan tidak berdaya, frustasi dan
dapat mengancam kesehatan mentalnya.
11
Berdasarkan beberapa pembahasan di atas, penulis tertarik untuk
mengetahui lebih jauh bagaimanakah ibu dalam men1ihadapi masalahnya
agar terhindar dari distres psikologis akibat penyakit yang dialami oleh
anaknya. Karena itu judul dalam penelitian ini adalah "Perilaku Coping ibu
yang Mempunyai Anak Pem:lerita Thalassaemia".
1.2. lde11tifikasi Masaiah
Berkaitan dengan tema penelitian ini, maka dapat diketahui identifikasi
masalahnya sebagai berikut:
1. Masalah-masalah psikologis apa saja yang dialami ibu yang
mempunyai anak penderita thalassaemia?
2. Bagaimanakah pola-pola penyesuaian coping seorang ibu yang
mempunyai anak penderita thalassaemia sebagai solusi terhadap
masalah-masalah yang timbul karena penyakit th<dassaemia?
3. Bagaimanakah cara membangkitkan rasa percaya diri anak penderita
thalassaemia?
1.3. Pembatasa11 dan Perumusa11 Masalah
1.3.1. Pembatasan Masaiah
Dari identifikasi masalah di atas, maka dalam penelitian ini dibatasi dengan
permasalahan penelitian sebagai berikut:
l
1. Coping adalah suatu usaha untuk mengubah secara konstan aspek
kognitif dan perilaku untuk mengelola tuntutan-tuntutan eksternal
(berasal dari lingkungan) maupun internal (berasal dari indivudu) yang
dinilai sebagai beban dan atau telah melampaui sumber daya
individu.
2. lbu memiliki anak penyakit thalassaemia ini adalah ibu yan~1
mempunyai masalah-masalah yang timbul dari p1:inyakit
thalassaemia.
1.3.2. Perumusa111 Masaiah
Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
"Bagaimanakah perilaku coping ibu yang mempunyai arn>k penderita penyakit
thalassaemia?"
1.4. Tujua111 da111 Manfaat pe111elitia111
1.4.1. Tujuan Masalah
Untuk mengetahui coping ibu yang mempunyai anak penyakit thalassaemia
sehingga dapat membantu anaknya menjalani kehidupan dan dapat
menyelesaikan masalah yang dihadapinya sebagai orang tua yang
mempunyai anak menderita penyakit thalassaemia.
13
1.4.2. Manfaat Masalah
Diharapkan penelitian ini membawa manfaat, diantaranya:
a. Secara Teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi
dan wawasan bagi ilmu psikologi secara umum dan khususnya bagi
psikologi klinis untuk dijadikan wacana atau bahan bacaan yang
dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan.
b. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
para pembaca dalam menambah informasi atau masukan kepada
orang tua yang mempunyai anak menderita penyakit thalassaemia.
Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan
informasi perilaku coping orang tua yang mempunyai anak menderita
penyakit thalassaemia dan membantu orang tua dalam menangani
masalah yang timbul dari penyakit thalassaemia.
1.5. Sistematika Pen11.1iisa11
Untuk memudahkan pemahaman pada tulisan ini, mal<a penulis menyusun
dalam sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I :Bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian juga sistematika penulisan.
14
BAB II :Bab Landasan teori yaitu menguraikan pengertian perilaku coping,
jenis-jenis coping, fungsi-fungsi coping, proses-proses coping, faktor
faktor yang mempengaruhi strategi coping , peng1ertian penyakit
thalassaemia, jenis-jenis penyakit thalassaemia, faktor-faktor
penyebab penyakit thalassaemia, akibat penyakit thalassaemia, cara
cara mencegah kelahiran thalassaemia, dampak psikososial pada
anak dan orang tua akibat penyakit thalassaemia, pengertian ibu, dan
karakteristik ibu.
BAB Ill :Bab Metode Penelitian yang terdiri dari pendekatan dan metode
penelitian, subjek penelitian, teknik pengumpulan data, instrumen
penelitian, pedoman wawancara, ala! perekam, lembar observasi, dan
prosedur penelitian.
BAB IV : Bab Hasil Penelitian yang terdiri dari gambaran umum subjek
penelitian, riwayat kasus, analisa kasus, dan perbandingan antar
kasus.
BAB V : Bab Penutup yang terdiri dari kesimpulan, diskusi, saran
melodologis dan saran praktis.
BAB2
LANDASAN TEORI
Pada bab 2 ini akan penulis uraikan mengena landasan teori yang meliputi:
pengertian perilaku coping, jenis-jenis coping, fungsi-fungsi coping, proses
proses coping, faktor-faktor yang mempengaruhi strategi coping, penge1iian
penyakit thalassaemia, jenis-jenis penyakit thalassaemia, faktor-faktor
penyebab penyakit thalassaemia, akibat penyakit thalass.aemia, cara-cara
mencegah kelahiran penderita thalassaemia, dampak psikososial pada anak
dan orang tua dari penyakit thalassaemia, pemge1iian ibu dan karakteristik
ibu.
2.1. Perilaku Coping
2.1.1. Pengertian Perilaku Coping
Coping berasal dari kata cope yang berarti lawan, menghadapi, mengatasi.
Dalam kamus psikologi coping disebutkan seibagai setiap perbuatan atau
tindakan penanggulanggan, dimana individu melakukan interaksi dengan
lingkungan sekitarnya, dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah
(Chaplin, 1995).
Lazarus dan Folkman (1988, dalam Taylor 2003 dan Sheridan 1992)
mendefinisikan coping sebagai: suatu usaha untuk mengubah secara
konstan aspek kognitif dan perilal<u untuk mengelola tuntutan-tuntutan
eksternal (berasal dari lingkungan) maupun internal (berasal dari indivudu)
yang dinilai sebagai beban dan atau telah melampaui sumber daya
individu.
16
Kenneth Matheny (1986, dalam Rise 1999) menyatakan coping sebagai "any
effort, healtly or unhealtly, conscious or unconscious, to prevent, eliminate or
weaken stressor or to tolerate their effect in the least hurtful manner".
Kesimpulan dari definisi-definisi di atas bahwa coping adalah : usaha-usaha
kognitif dan tingkah laku individu untuk mengatasi dan mengurangi tuntutan
eksternal maupun internal.
2.1.2. Jenis-jenis Coping
Secara umum Lazarus dan Folkman (1979, dalam Sarafino; 1994) membagi
coping menjadi 2 dimensi yaitu:
1. Coping yang terpusat masalah (Problem Focused Coping)
Yaitu usaha berupa perilaku individu untuk mengatasi masalah,
tekanan, tantangan dengan mengubah kualitas hubungan dengan
17
lingkungan. Dalam hal ini individu secara aktif mencari penyelesaian
dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang
menimbulkan masalah. Tujuan dari tindakan ini adalah untuk
memecahkan masalah atau mengubah suatu situasi yang menjadi
sumber sires. Coping ini cendrung dipergunakan saat individu merasa
memiliki tenaga untuk mengatasi suatu situasi yang menimbulkan
stres dan merasa yakin bahwa hal tersebut dapat diubah dengan
melakukan sesuatu yang konstruktif.
2. Coping yang terpusat emosi (Emotion Focused Coping)
Dalam coping terpusat emosi, individu melakukan usaha-usaha yang
bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha
untuk mengubah stressorsecara langsung. Usahi1-usaha yang
ditampilkan digunakan untuk respon emosional te1~hadap stres.
Perilaku nyata seperti mengeluarkan uneg-uneg dengan orang yang
dirasa dekat, atau dalam bentuk strategi kognitif, seperti meniadakan
fakta-fakta yang tidak menyenangkan. Strategi coping seperti ini
seringkali digunakan apabila individu merasa tidak mampu untuk
mengubah situasi stres yang dihadapinya.
Sementara itu Carver, C.S & Scheler, M.F (1989) membagi 2 jenis coping
yang umum menjadi lebih variatif, yaitu:
a. Coping terpusat pada masalah (problem-focuseid coping)
18
i ). Active coping (perilaku aktif), suatu proses pengambilan tindakan aktif
untuk mencoba memindahkan atau menghindari sumber stress
(stressor) atau untuk memperbaiki efek dari stressortersebut. Active
coping termasuk melakukan suatu lindakan langsung, meningkatkan
usaha individu, dan mencoba untuk melaksanaka11 usaha coping
dengan langkah yang bijaksana. Contoh active coping: Saya
mengambil tindakan langsung untuk menghadapi masalah.
2). Planing (perencanaan) yaitu memikirkan tentang t>agaimana cara
untuk mengatasi sumber stress (Stressor). Planning juga melibatkan
pemikiran kedepan dengan strategi-strategi, meimi'kirkan tentang
langkah apa yang harus diambil dan seberapa baik kemungkinan
hasilnya dalam menangani masalah. Contoh Planning: saya berpikir
mengenai langkah-langkah apa yang harus saya ambil, untuk
memecahkan masalah .
3). Supression of competiting activities (penekanan kegiatan lain) yaitu
membatasi ruang gerak atau aktivitas individu yang tidak berhubungan
dengan masalah. Dalam hal ini individu mengesampingkan kegiatan
lain, mencoba untuk menolak atau menghindar dari gangguan
19
peristiwa lain yang tidak berhubungan dengan masalah, bahkan bila
perlu mengabaikannya, guna menghadapi sumber stress (stressor).
lndividu mengurangi keterlibatannya dalam kegiatan lain juga meminta
perhatian atau membatasi pengolahan informasi yang diterima guna
memfokuskan pada tantangan atau ancaman yang sedang
dihadapinya. Contoh jenis coping ini adalah: saya menyisihkan
kegiatan lain agar saya dapat berkonsentrasi pada masalah ini.
4). Restrain coping {penundaan perilaku mengatasi stress), yaitu latihan
untuk mengontrol atau mengendalikan diri. Dalam hal ini individu
menunggu kesempatan yang tepat untuk bertindak, dan tidak
bertindak secara terburu-buru. Contoh jenis coping ini adalah: saya
menahan diri agar tidal< melakukan sesuatu sampai situasinya
memungkinkan guna menghindari memperburuk keadaan.
5). Seeking social support for instrumental reasons {pencarian dukungan
sosial berupa bantuan), usaha individu untuk mendapatkan dukungan
sosial dengan cara meminta nasihat, bantuan, atau informasi dari
orang lain untuk membantu dalam menyelesaikan masalah. Contoh
jenis coping ini adalah: saya mencoba mendapatkan nasihat dari
seseorang tentang apa yang harus saya lakukan.
20
b. coping terpusat pada emosi (emotional-focused coping).
1 ). Seeking social support for emotional reasons (pencarian dukungan
untuk alasan emosional), yaitu mencari dukun~1an moral, simpati dan
pemahaman. Coping ini memiliki dua fungsi ganda yaitu pertama;
dapat menenangkan individu yang merasa tidak <1man oleh keadaan
stress yang dialami, kedua; dapat meningkatkan kemungkinan
dilakukannya coping terpusat masalah. Contoh jenis coping ini adalah:
saya berbicara kepada seseorang mengenai perasaan saya.
2). Positive reinterpretation and growth (interpretasi k.embali sec:ara positif
dan pendewasaan diri), disebut juga penilaian kembali yang positif.
lndividu bertujuan untuk lebih mengendalikan emosi-ernosi yang tidal<
rnenyenangkan daripada rnenghadapi surnber strnss secara langsung.
Contoh coping jenis ini adalah; saya mencoba rnengambil hikmahnya
dari apa yang telah terjadi, agar rnenjadi lebih posi!if.
3). Denial (penolakan), yaitu respon yang terkadang rnuncul pada
penilaian primer. Dalam denial dilaporkan adanya penyangkalan atau
penolakan untuk mempercai adanya surnber stress atau rnencoba
untuk bertindak seolah-olah sumber stress tersebut tidak ada. Contoh
jenis coping ini adalah: saya menolak untuk percaya bahwa hal ini
terjadi.
21
4). Acceptance (penerimaan), yaitu suatu respon coping yang fungsional
dimana individu yang menerima kenyataan dari situasi stress yang
dihadapi menjadi seperti individu yang terikat dalam usaha
menghadapi situasi yang ada. Contoh jenis coping ini adalah: saya
belajar untuk hidup dengan situasi ini.
5). Turning to religion (memasrahkan diri pada agama), individu mencoba
mencari ketenangan dalam ajaran agama. Contoh coping jenis ini
adalah: saya berdoa dan mencari pertolongan Tul1an.
2.1.l. Fungsi-fungsi Coping
Cohen dan Lazarus (1979, dalam Taylor 2003) mengeimukakan bahwa
coping memiliki lima tugas utama, yaitu:
1. Untuk mengurangi kondisi-kondisi lingkungan yang menyakitkan dan
memperbesar kemungkinan untuk mengalihkannya.
2. Untuk menerima dan menyesuail<an diri dengan p'eristiwa atau
kenyataan yang tidak menyenangkan.
3. Untuk mempertahankan citra diri yang positif.
4. Untuk mempertahankan keseimbangan emosional.
5. Untuk terus melanjutkan hubungan yang memuaskan dengan orang
lain.
Secara umum fungsi coping adalah: untuk menghilangkan kondisi
tertekan yang dirasakan agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan
serta dapat diterima oleh lingkungan secara positif, sehingga berada dalam
l<eadaan yang tidak tertekan lagi.
2.1.4. Proses-proses Coping
22
Lazarus (1976, dalam Blonna;2005) yang memandang coping sebagai
proses yang terjadi bila orang mengalami stress, menyatakan proses coping
di dahului oleh proses-proses stres, yaitu:
1. Penilaian primer, yaitu proses mempersepsikan adanya sesuatu
ancaman bagi seseorarng.
2. Penilain sekunder, yaitu proses pengolahan di otak tentang suatu
potensi respon terhadap ancaman.
3. Barulah pada tahap selanjutnya dilakukan coping yaitu: proses
yang memutuskan respon yang digunakan untuk mengiladapi
masalah.
2.1.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Strategi Coping
Zainun (2002, dalam www.e-psikologi.com), ada beberapa faktor yang
mempengaruhi individu dalam memiliil strategi coping yang akan digunakan
dalam mengatasi permasalahannya yaitu:
a. Kesehatan Fisik
Kesehatan merupakan hal yang penting, karena selarna dalam usaha
mengatasi stres individu dituntut untuk mengerahkan tenaga yang cul~up
besar .
b. Keyakinan atau pandangan positif
23
Keyakinan menjadi sumber daya psikologis yang san~1at penting, seperti
keyakinan akan nasib (eksternal locus of control) yang mengerahkan individu
pada penilaian ketidakberdayaan (helplessness) yang ak:an menurunkan
kemampuan strategi coping tipe : problem-solving focusc~d coping .
c. Keterampilan memecahkan masalah
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa
situasi, mengidentifikasi masalah dengan tujuan untuk mienghasilkan
alternatif tindakan, kemudian mempertimbangkan alternatif tersebut
sehubungan dengan hasil yang ingin dicapai, dan pada akhirnya
melaksanakan rencana dengan melakukan suatu tindakan yang tepat.
d. Keternmpilan sosiai
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah
laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku
dimasyarakat.
e. Duk1.mgan sosiai
24
Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan
emosional pada diri individu yang diberikan oleh oran~i tua, anggota keluarga
lain, saudara, teman, dan lingkungan masyarakat sekitarnya .
f. Materi
Dukungan ini meliputi sumber daya daya berupa uang, barang barang atau
layanan yang biasanya dapat dibeli.
Dapat diketahui bahwa setiap individu memilih strntegi coping yang
berbeda, sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan yang diperlukan untuk
menghadapi suatu permasalahan, karena tekanan-tekanan yang ditimbulkan
oleh permasalahan-permasalahan setiap individu memiliki tingkatan yang
berbeda-beda, sehingga dalam pemilihan strategi coping pun berbeda pula.
25
2.2. Penyakit Thalassaemia
2.2.1. Pengertian Penyakit Thalassaemia
Vullo (1995, dalam http//www.thalassaemia.org.cy/books/what_is/chapter_ 18.
htm) nama thalassaemia berasal dari kata yunani "Thalassa" yang berarti
"Laut". Nama ini diberil<an sesuai dengan kenyataan bahwa orang yang
berada di daerah laut mediterani seperti Italia, Yunani dan Syria memiliki
jumlah penderita penyakit tertinggi. Penyakit ini baru dikukuhkan secara
medis pada tahun 1925 oleh Dr. Thomas Looley dan Dr. Pearl Lee yang
menemukan 5 klien merek a menderita penyakit yang sama yang kini disebut
dengan penyakit thalassaemia .
Thalassaemia (Yayasan Thalassaemia Indonesia, 1987) adalah suatu
kelainan darah yang terdapat di banyak negara di dunia dan khususnya pada
orang-orang yang berasal dari daerah Laut Tengah, Timur Tengah atau Asia,
1-<elainan darah ini jarang ditemuil<an pada orang-orang yang berasal dari
Eropa Utara.
Menurut Yusuf Yudi Prayudi (2007, dalam
http://prayudi. word press. com/2007103/28/talasemia) Tt1alassaemia adalah
penyakit gangguan pembentukan haemoglobin sehingga menyebabkan
berkurangnya sel darail merah (eritrosit) dalam darah. Bila dalam kondisi
26
normal, eritrosit bisa be1iahan selama 3-4 bulan, sedangkan pada penderita
Thalassaemia, eritrosit berumur lebih pendek, bahkan bisa bertahan hanya
dalam waktu 1 bulan saja.
Thalassaemia merupakan sejenis penyakit anemia yang juga penyakit
keturunan (genetis) yang tidak bisa disembuhkan, penderita thalassaemia
pun harus menjalani transfusi darah seumur hidupnya. Gejala utamanya si
penderita terlihat pucat, peru! membesar karena pembengkakan limpa dan
hati, kelesuan, bibir, lidah, tangan, kaki dan bagian yang lainnya berwarna
puca!, sesak Nafas, hilang selera makan dan bengkak di bagian abdomen,
dan kecacatan tulang. Bila penderita thalassaemia tidal< diobati secara bail<,
akan terjadi perubahan bentuk muka dan warna kulit menghitam
(http://www.info-sehat.com/content.php).
Darah terdiri dari bermilyar-milyar sel merah, sel-sel tersebut berwarna merah
karena di isi oleh haemoglobin. Haemoglobin mempunyai peran penting bagi
darah yaitu sebagai benda yang membawa oksigen dari paru-paru ke semua
bagian dalam tubuh manusia. Dalam kasus thalassaemia, sel-sel m1eral1
terbentuk amat tidak sempurna, sel-selnya tidal< mengandung cukup
haemoglobin, sehingga tidal< mampu memberikan oksige11 yang dibutuhkan
oleh tubuh. Pada darah normal sel-sel merah rata-rata hanya hidup empat
27
bulan, kemudian akan memproduksi lagi sel-sel merah untuk menggantikan
yang mati, pada penderita thalassaemia sel-sel merah rnati lebih cepat
daripada darah normal dan satu-satunya jalan untuk rnenggantikan sel-sel
darah yang mati adalah dengan rnenjalankan transfusi darah. Transfusi darah
tersebut akan menjadi rutini!as seumur hidup yang harus dijalani oleh
penderita thalassaemia, l~arena sampai saat ini belum ada cara lain untuk
menyembuhkan penyakit thalassaemia (Yayasan thalassaemia Indonesia,
1987).
Transfusi darah mempunyai kendala bagi si penderita thalassaemia, yaitu
transfusi darah ditujukan untuk mendapatkan sel-sel damh merah yang baik,
menggantikan sel-sel merah yang mati, akan tetapi pada darah normal sel
sel merah yang mati mengandung zat besi yang akan dipergunakan lagi oleh
sel-sel merah baru, karena pada penderi!a thalassaemia tidak bisa
memproduksi sel-sel merah yang baru, maka zat besi yang terkandung
dalam sel-sel merah yang mati menumpuk, dan terus menumpuk dalam
badan, yang menjadi racun adalah besi yang ditumpukkan dimana-mana,
dalam jantung, dalam hati, dan lambat faun menjadi keras. Adapun obat
untuk mengeluarkan zat besi tersebut adalah suntikan yang selama 20
malam dalam sebulan terus disuntikan. Sunlil\an ini mHngandung obat yang
disebut Desferal, yang gunanya mengikat z.at besi yan9 tertumpuk di
·1. ~------·~-< J
PERPUSTAKAAN UTJ\MJ~ _JI UIN SYAHID JAKARTA [
28
badan dan dikeluarkannya melalui urin (Yayasan thalas~.aemia Indonesia,
1987).
2.2.2. Jenis-jenis Penyakit Thalassaemia
Adapun jenis-jenis penyakit thalassaemia (Yayasan Thalassaemia Indonesia,
1987) adalah:
1. Thalassaemia minor adalah thalassaemia bawaan. Orang demgan
thalassaemia bawaan ini adalah orang-orang yang tampak normal dan
sehat, tetapi dapat meneruskan thalassaemia mayor kepada anak-
anak mereka. Seorang pembawa sifat thalassaemia memerlukan
pengobatan yang tidak serumit thalassaemia mayor.
2. Thalassaemia mayor adalah penyakit darah serius yang bermula sejak
awal kanak-kanak, anak-anak yang memiliki thala~>saemia mayor tidak
dapat membentuk Haemoglobin yang cukup dalam darah,
memerlukan !ransfusi darah yang sering, dan p13rawatan medis.
2.2.3. Faktor-faktor Penyebab Penyakit Thaias•saemia
Menurut Yayasan Thalassaemia Indonesia (1987 ), peny13bab thalassaemia
adalah murni karena keturunan, adapun kemungkinan-kemungkinanya antara
lain:
1. Apabila ayah dan ibu masing-masing tidak mempunyai sifat
thalassaemia, maka semua anak-anak kandungnya akan
mempunyai darah normal, dan tidak ada kemungkinan anak
anaknya menderita thalassaemia.
29
2. Apabila ayah mempunyai sifat thalassaemia dan ibu mempunyai
darah normal, maka beberapa anak-anak kandungnya
kemungkinan mempunyai sifat thalassaemia (Thalassaemia minor),
tetapi tidal< seorangpun dari anak-anak tersebut mempunyai
thalassaemia mayor.
3. Apabila ayah mempunyai darah normal dan ibu mempunyai sifat
thalassaemia, maka beberapa dari anak-anak kandungnya
mungkin mempunyai sifat thalassaemia (thalassaemia minor),
tetapi tidak seorangpun dari anak-anak terseibut akan mempunyai
thalassaemia mayor.
4. Apabila ayah dan ibu masing-masing mempu1111ai sifat
thalassaemia, maka anak-anak kandungnya bisa dilahirkan dengan
thalassaemia mayor. Untuk setiap kelahiran ada 25% kemungkinan
anal< itu mempunyai thalassaemia mayor, tetapi anal< tersebut
mungkin saja punya sifat thalassaemia atau mungkin juga
mempunyai darah normal.
30
2.2.4. Akibat Penyakit Thalassae1nia
Adapun akibat dari penyakit thalassaemia (Yayasan Thalassaemia Indonesia,
1987) antara lain:
1. Muka terlihat pucat. Karena haemoglobin sebagai pemberi warna
merah pada sel-sel merah dan membawa oksi~1en ke seluruh tubuh
jumlahnya sangat kurang, sehingga menyebabkan berkurangnya
produksi haemoglobin dan mudah rusaknya sel darah merah.
2. Limpa membesar, dan diangkat. Limpa beriungsi untuk membersihkan
(menghancurkan) sel darah yang sudah rusak, selain itu limpa juga
beriungsi untuk membentuk sel darah merah pada janin. Pada
penderita thalassaemia, sel darah merah yang rusak sangat
berlebihan sehingga kerja limpa sangat berat. Akibatnya limpa
menjadi membengkak. Selain itu tugas limpa lebih diperberat untuk
memproduksi sel darah merah lebih banyak. Pada suatu saat limpa
dapat merugikan, hal ini terjadi bila aktifitas limpa berlebihan dalam
mengllancurkan sel darah. Akibatnya haemoglobin penderita cepat
turun, hal ini dapat terlihat dari lebih seringnya anal< mendapat
transfusi (1 bulan lebih dari 1 kali transfusi). Olell karena itu limpa
harus diangkat karena membahayakan penderila.
31
3. Terjadinya perubahan bentuk tulang muka. Surnsum tulang pipih
adalah tempat memproduksi sel darah. Tulang muka adalah salah
satu tulang pipih. Pada thalassaemia karena tubuh selalu kekurangan
darah, rnaka pabril< sel darah merah dalam sel sumsurn tulang pipih
akan berusaha memproduksi sel darah merah sebanyak-banyaknya.
Karena pekerjaannya yang meningkat maka sumsum tulang ini akan
membesar, pada tulang muka pembesaran ini dapat dilihat dengan
jelas dengan adanya penonjolan dahi, jarak antara kedua rnata
menjadi jauh, tulang pipi menonjol.
4. Transfusi darah dan suntikan obat Desferal seumur hidup.
5. Frekuensi penderita penyakit thalassaemian terus meningkat, dengan
penderita sekitar 2000 orang per tahun.
2.2.5. Cara-cara Mencegah Kelahiran Penderita Thalassaemia
Kelahiran penderita thalassaernia dapat dicegah dengan 2 cara (Yayasan
Thalassaemia Indonesia, 1987), yaitu:
1. Mencegah perkawinan antara 2 orang pembawa sifat thalassaernia
2. Merneriksa janin yang dikandung oleh pasangan pembawa sifat, dan
menghentikan kehamilan bila janin dinyatakan sebagai penderita
thalassaemia
32
Sebaiknya semua orang indonesia dalam masa subur diperiksa kemungkinan
membawa sifat thalassaemia. Karena frekuensi pembawa sifat thalassaemia
di Indonesia berkisar antara 6-10%, artinya setiap 100 orang ada 6 orang
sampai 10 orang pembawa sifat thalassaemia. Tetapi apabila ada riwayat
sepe1ii di bawah ini, pemeriksaan pembawa sifat thalassaemia sangat
dianjurkan:
1. Ada saudara sedarah yang menderita thalassaemia.
2. Kadar haemoglibin relatif rendah, walaupun sudah minum obat
penambah daral1 seperti zat besi.
3. Ukuran sel darah merah lebih kecil dari normal walaupun
haemoglobinnya normal, ini bisa diketahui dengan eek darah ke
dokter.
2.2.6. Dampak Psikososial pada Anak dan ()rang Tua Akibat
Penyakit Thalassaemia
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke-3
(dsingkat menjadi PPDGJ Ill) maupun Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders edisi ke-4 (disingkat menjadi DSM IV, dalam Kaplan 1997)
penyakit dalam keluarga dianggap sebagai stresor psikososial. Stresor
psikososial menurut PPDGJ II adalah setiap keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan perubahan dalam kehidupan seseorang (anak, remaja atau
dewasa) sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau
menanggulangi stresor yang timbul. DSM IV membagi stresor menjadi stresor
yang akut yang berlangsung kurang dari 6 bulan dan keadaan yang bertahan
yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Penyakit thalassaemia dapat
digolongkan sebagai stresor psikososial oleh karena pacla diri pasien te1jadi
perubahan yang berkesinambungan sehingga dapat dianggap sebagai
keadaan yang bertahan.
Penderita thalassaemia mengharuskannya transfusi darah tiap bu Ian,
keadaan ini merupakan stresor terberat karena mengancam kehidupan atau
eksistensi penderita thalassaemia. Keadaan ini merupakan stresor frsik bagi
penderita thalassaemia tetapi tidak bisa diatasi sendiri oleh penderita
thalassaemia tetapi harus ditanggulangi bersama orangtua, keluarga dan
rumah sakit, maka stresor ini juga merupakan stresor psikososial bagi
keluarga.
Di samping menghadapi stresor karena penyakitnya, anak yang menderita
thalassaemia menghadapi satu macam stresor lagi yaitu stresor yang
berhubungan dengan proses tumbuh kembang yang sedang berlangsung
dalam dirinya, contohnya adalah pendidikan (sekolah) yang tetap harus
dijalankannya meskipun berada dalam keadaan sakit.
34
Penurut penelitian Nash (dalam Edith, 2001) thalassaemia merupalzan
stresor seumur hidup bagi anak maupun orang tuanya. Hal ini disebabkan
karena anak bergantung baik secara fisik maupun psikis pada orang tuanya,
semua kebutuhannya harus dipenuhi dan disediakan oleh orang tuanya. Apa
yang terjadi pada anak akan berpengaruh terhadap orang tua dan sebaliknya
keadaan afektif, sikap dan perilaku orang tua akan berpengaruh terhadap
anak. Sehingga mental orang tua berpengaruh terhadap anak. Anak yang
menderita thalassaemia harus mampu menyesuaikan diri dengan
penyakitnya sedangkan orang tua harus dapat menerima mempunyai anak
yang menderi!a thalassaemia dan menyesuaikan diri clengan keaclaan
anaknya.
Selain itu Warclhani (2004, dalam Efriyani Djuwita, 2006) mengatakan anak
anak clengan penyakit kronis dalam hal ini thalassaemia memiliki self-esteem
yang rendah baik karena adanya perbedaan flsik yang mereka miliki dari
anak normal lainnya seperti kulit yang menghitam akibat penimbunan zat
besi atau terganggunya pertumbuhan fisik seperti tidak tumbuh buah dada
pada wanita juga dapat menjadi salah satu faktor yang menurunkan self
esteem mereka.
2.3. lbu
2.3.1. Pengertian ibu
35
Dalam kamus besar bahasa indonesia ( 1989) kata ibu didefinisikan sebagai
sebutan untuk orang perempuan yang telah melahirkan, wanita yang telah
bersuami, panggilan ta'zim bagi wanita.
Menurut Ali Qaimi (2002) ibu adalah sosok yang mulia, sehingga Ali Qaimi
mendefinisikan ibu dengan beberapa definisi antara lain yaitu:
1. lbu adalah sumber mata air terpenting yang mimgalirkan
ketenangan, kebahagiaan, dan kecintaan dalam keluarga. Sosok
seorang ibu sangat berperan penting dalam IT!Ellahirkan
ketentraman, kedamaian, kemampuan, kekuat<>n. dan kebebasan
dalam jiwa anak (Ali Qaimi, 2002).
2. lbu adalah penjelmaan cinta yang sungguh agung. Di dalam
rumah, ia ingin menjadi figur yang dicintai. Berkah belaian kasih
sayangnya, sebuah rumah akan menjadi surga; berkat kata
katanya yang merdu dan indah, segenap an1;igc>ta keluarga akan
diliputi kebahagiaan dan kedamaian, dan ber~:at tindakan
tindakannya, sebuah rumah akan menjadi kota impian.
36
Pengaruh ibu dalam pembentukan kepribadian sang anak sangatlah
dominan. Dengan jari-jarinya yang lembut, seorang ibu akan mengelus
anaknya. Dengan hati yang dilipu!i kecintaan, dirinya akan berusaha
menumbuhkan semangat dalam diri anak. Dengan belaianya yang halus, ibu
akan mampu menghilangkan kesedil1an dan meredakan kepiluan dalam
dalam hati anaknya (Ali Qaimi, 2002).
2.3.2. Karakteristik lbu
Sosok ibu adalah sosok cinta tanpa syarat, cinta dan perasaan, cinta tanpa
campur tangan akal, cinta yang ditopang kekuatan dan kt3dalaman yang
melebihi cinta jenis apapun. Cinta seorang ibu bukan dimaksudkan untuk
memperolah imbalan materi ataupun moril. ltulah cinta esensial yang
dicurahkan kepada sosok manusia mungil (bayi atau anak kecil) yang tak
berdaya, begitu lemah, dan yang tidak sanggup membela diri hanya untuk
menghadapi seekor nyamuk sekalipun. Oleh karena itu, ibu akan berusaha
keras mendidik anak-anaknya dengan baik dan menyelamatkan mereka dari
segenap bahaya kehidupan. Demi anaknya, seorang ibu dengan tegar dan
tanpa pamrih akan menghadapi berbagai bahaya seraya melupakan
kelezatan dan keindahan hidup (Ali Qaimi, 2002).
Seorang ibu akan rela berkorban, sifat pengorbanan ini merupakan
perwujudan dari nilai-nilai kemuliaan dirinya. Tanpa mempedulikan dirinya
sendiri, ia akan mengarahkan perhatian serta usahanya semata-mata demi
mewujudkan tujuan-tujuan anaknya (Ali Qaimi, 2002).
37
Kasih sayang ibu tidak ada batasnya kepada anak-anaknya, ibu bersedia
menanggung segala macam duka-derita, kalau saja s1~mua pengorbanan dan
kesenduannya itu bisa menumbuhkan kebahagiaan, kele1starian dan
keselamatan anaknya. Dengan segala upaya ibu akan berusalla untuk
melindungi anaknya dari segala macam mara bahaya yang bersifat
lahiriah seperti penyakit keturunan, cacat, dan buta maupun batiniall
seperti memberikan makanan yang sehat dan menyusui (Kartini kartono,
1992).
Di lladapan keindallan dan keballagian dunia, ia tidak melihat apapun selain
keadaan buah hatinya. Dirinya tak ingin menukar anaknya dengan apapun.
Ketika anak jatuh sakit, seorang ibu akan terjaga dan misngawasinya
sepanjang malam dengan hati yang pilu tanpa sedikitpun merasa lelah dan
letih (Ali Qaimi, 2002).
38
Kaum lbu mempunyai perasaan kasih sayang khusus yang tidak sama
dengan kaum bapak, karena ibu melahirkan anak, mein~1asuh anak. sehingga
ibu mempunyai k.esetaraan dengan anaknya yaitu ba!Ji ibu, kesenangan anak
adalah kesenangannya, permasalahan anak adalah permasalahannya. Hal
itu muncul dari dasar lubuk. hati ibu yang menjadikan ibu begitu cepat
bertindak berdasarkan perasaanya dan naluri kasih sayangnya, sedangkan
kaum bapak bertindak dalam hal menghidupi anaknya dan bertanggung
jawab kepada anak dan istrinya (Syaikh 'Ali, 2003).
BAB3
METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab 3 ini penulis akan uraikan rnengenai rnetodologi penelitian yang
rneliputi: pendekatan dan rnetode penelitian, teknik pengurnpulan data,
instrurnen penelitian, pedornan wawancara, alat perekarn, lernbar observasi,
dan prosedur penelitian
3.1. Pendekatan Penelitian
Perilaku coping yang ditarnpilkan oleh ibu yang rnernpunyai anak penderita
penyakit thalassaernia rnerupakan hal yang sifatnya subjektif pada setiap
individu, sehingga penggunaan pendekatan kualitatif clalarn penelitian ini
lebih tepat, karena peneliti berrnaksud rnernperoleh data yang rnendalam
untuk mengungkap tentang bagairnana perilaku coping ibu yang rnempunyai
anak penderita thalassaernia. Selain itu, peneliti tidak berusaha untuk
rnernanipulasi setting penelitian (natural setting) karena peneliti hanya
berorientasi pada penernuan, sehingga pendekatan kuali!atif lebih cocok
digunakan dalam penelitian ini. Menurut Bogdan clan Taylor dalarn Lexy
Moleong (2004) bahwa rnetodolagi kualitatif adalah prose1dur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan clari orang
orang dan perilaku yang diarnati.
40
3.2. Metode Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus, hal ini dipilih
karena seperti yang dikemukakan oleh Yin, "Penelitian tidak memiliki kontrol
atas kejadian-kejadian yang (telah) berlangsung, studi kasus sendiri dapat
pula memberi nilai tambah pada pengetahuan kita secara unik mengenai
fenornena individual serta dapat digeneralisasikan keproposisi teoritis".
Secara umurn study kasus sebagai salah satu rnetode yang dipakai dalam
penelitian di bidang ilmu-ilmu sosial, urnurnnya stucli kasus digunakan bila
pertanyaan-pertanyaan yang tirnbul dari topik penelitian sebagian besar
berupa "bagaimana dan mengapa". Peneliti tidak memiliki kontrol alas
kejadian-kejadian yang berlangsung, dan fokus dari penelitian adalah
fenomena saat ini dalam konteks kehidupan sesungguhnya (Yin, 2004 ).
Yin menyatakan dalam study kasus terdapat dua pola yaitu single case
design clan multiple case design. Dalam single case design digunakan pada
pengalaman tunggal, mewakili sebuah kasus yang unik atau ekstrim, dan
menganalisa kasus yang tidak dapat dianalisa secara penelitian ilmiah.
Sedangkan pada multiple case design menggunakan responden lebih dari
satu orang. Dalam hal ini peneliti harus hati-hati dalam menyertakan subjek,
41
karena setiap kasus memiliki replikasi pada masing-masing kasus. Setiap
kasus harus dipandang secara menyeluruh dan terfokus.
Pada penelitian ini menggunakan pola multiple case design karena
menggunakan lebih dari satu responden, dengan pola ini diharapkan dapat
memperoleh gambaran secara menyeluruh dan mendalam tentang
penghayatan responden terhadap keadaan yang dialaminya.
3.3. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah para ibu yang mempunyai anak menderita
thalassaemia, yang memiliki karakteristik sebagai berikut
1. lbu yang mempunyai anak yang menderita penyakit thalassaemia,
baik thalassaemia minor dan mayor.
2. Pendidikan minimal SMA/setara. Hal ini dimaksudkan agar subyek
lebih mudah memahami maksud pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan peneliti dan dapat memberikan jawaban yang cukup
jelas.
Pemilihan subjek dilakul<an dengan snowball. Menurut Poerwandari (2001)
pengambilan subjek dengan snowball adalah pengambilan subjek secara
berantai dengan meminta informasi pada orang yang telal1 diwawancarai
atau dihubungi sebelumnya.
42
Poerwandari (2001) mengutip dari Patton (1980) menyatakan bahwa
penelitian kualitatif tidak menentukan jumlah subjek yang digunakan, yang
terpenting adalah kekayaan data yang diperoleh, sehingga penelitian
kualitatif cendrung menggunakan subjel{ yang sedikit. SE:ilain itu juga karena
penelitian ini menekankan pada proses dan kedalaman yang dihayati secara
subjektif bukan pada generalisasi, maka penelitian ini ha.nya akan
menggunakan tiga orang ibu sebagai subjek penelitian yang terdiri dari satu
ibu yang mempunyai anak menderita penyakit thalassaemia minor dan dua
orang ibu yang mempunyai anak menderita penyakit thalassaemia mayor,
adapun penggolongan ini tidak bermaksud apa-apa, hanya saja peneliti ingin
memaparkan bagaimana perilaku coping ibu yang mempunyai anak
menderita penyakit thalassaemia minor dan thalassaemia mayor.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan wawancara secara mendalam.
Peneliti memilih metode wawancara secara mendalam karena dengan
metode ini peneliti dapat menggali berbagai informasi yang menyeluruh
mengenai penghayatan subjek terhadap masalah yang cliteliti. Selain itu
wawancara akan dilakukan dengan teknik terbuka terstruktur, dimana
pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan telah dibuat secara jelas dan
terinci dalam bentuk catatan (pedoman wawancara).
43
Banister (1994, dalam Poerwandari 2001) menyatakan wawancara
merupakan percakapan dan Tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai
tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilal<ukan untuk memahami mal<na
makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topil< yang diteliti,
dan bermal<sud untuk melakukan eksplorasi terhadap masalall tersebut
Wawancara bersifat flel<sibel, dapat diadaptasi sesuai kondisi subjek dan
l<ebutuhan peneliti sehingga ia dapat mengulang perti;myaan untuk
memastikan bahwa pertanyaan yang diajui<an telall dimengerti olell subjek.
Selain menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara,
penelitian ini juga menggunakan teknik pengumpulan data dengan observasi
sebagai penunjang. Observasi merupakan teknik pengurnpulan data esensial
dalam penelitian, apalagi penelitian dengan pendel<atan kualitatif, agar dapat
memberikan data yang akurat dan bermanfaat (Patton, dalam Poer;wandari
2001).
44
Adapun tujuan observasi dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan setting
atau situasi lingkungan dan juga mendeskripsikan sikap dan tingkah laku
subjek penelitian.
3.5. Instrument Penelitian
3.5.1. Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara berisi sejumlah pertanyaan yang berkaitan dengan hal-
hal yang akan diteliti (Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara digunakan
dalam penelitian ini dibuat berdasarkan teori pada bab dua dan
permasalahan pada bab satu. Pedoman wawancara mengacu pada teori
yang dirangkum dari beberapa penelitian mengenai perilaku coping.
Pedoman wawancara yang telah dibuat, diajukan kepada dosen pembimbing
untuk diperiksa, kemudian diadakan perbaikan-perbaikan jika diperlukan.
Tabel 3.5.1. Kisi-kisi Pedoman Wancanwara
Perilaku coping
Coping pada masalah Coping pada emosi
-1 . Coping aktif 1. Mencari dukungan emosional 2. Perencanaan 2. Mengambil hikmah dibalik 3. Mengesampingkan kejadian aktivitas pesaing " Penolakan _).
4. Manahan diri 4. Penerimaan 5. Mencari dukungan 5. Kembali pada keyakinan/agama
/bantuan ·-
45
3.5.2. Alat Perekam
Alat perekam digunakan agar peneliti dapat berkonsentrasi penuh pada
proses wawancara. Penggunaaan alat perekam juga dapat meminimalkan
bias. Selain itu juga agar peneliti dapat memutar ulang hasil wawancara yang
telah dilakukan. Adanya alat perekam mungkin dapat membuat subjek
merasa tidak nyaman, oleh karena itu sebelum wawancara dilakukan peneliti
akan meminta izin kepada subjel< untuk menggunakan alat perekam
sehingga wawancara dapat berjalan dengan lancar. Dalam penelitian ini
menggunakan MP4 sebagai alat perekam.
3.5.3. Lembar Observasi
Lembar observasi digunakan sebagai pedoman untuk melakukan
pengarnatan terhadap gambaran fisik subjek, sikap, perilaku subjek selama
wawancara berlangsung, keadaan tempat wawancara, gambaran fisik subyek
dan hambatan-hambatan selama wawancara.
3.6. Teknik Analisa Data
Analisa data adalah tahapan setelah semua data dapat dikatakan terkumpul,
yang kemudian diolah menjadi suatu laporan. Analisa data adalah proses
pengorganisasian dan pengurutan data dalam pola, kategori dan uraian
46
dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja
(Lexy J. Moleong, 2000). Oleh karena itu, teknik analisa data yang penulis
lakukan adalah dengan menggambarkan data hasil rekaman secara kualitatif,
untuk memberikan makna pada data tersebut dan menjelaskan pola atau
kategori, dan mencari hubungan antar berbagai konsep. Kemudian hasil
wawancara yang telah dilaksanakan akan diverbatimkan kedalam lembar
yang telah disiapkan untuk dikelompokan-kelompokan kedalam teori
yang sesuai dengan keadaan subjek yang sebenamya. Dan pada tahap
akhir, semua data dapat diinterpretasikan dengan bahasa yang mudah
dipahami.
3.7. Prosedur Penelitian
3.7 .1. Ta hap persiapan
Sebelum melakukan tahap penelitian ini, maka peneliti melakukan persiapan
sebagai berikut:
1. Peneliti menyusun pedoman wawancara yimg berhubungan
dengan keadaan ibu dan anak penderita thalassaemia beserta
masalah-masalah yang terjadi dan coping.
2. Menunjukkan pedoman wawancara pada pembimbing skripsi
untuk mendapatkan masukan-masukan.
47
3. Melakukan perbaikan dan tambahan yang diperlukan terhadap
pedoman wawancara.
4. Merumuskan verbalisasi untuk wawancara.
5. Membuat surat kesedian responden untuk di wawancarai.
3.7.2. Tahap Pelaksanaan
Setelah persiapan untuk melauan wawancara dilakukan, kemudian langkah
selanjutnya yaitu:
a. Penelliti mencari subjek yang sesuai dengan judul
penelitian.
b. Peneliti mendatangi subjek penelitian dan meminta
kesediaannya untuk menjadi subjek penelitian, dengan mengisi
surat kesediaan.
c. Setelah subjek bersedia, peneliti menjelaskan kembali maksud
diadakannya penelitian ini dan peneliti meminta ijin untuk
menggunakan alat perekam pada saat wawancara
berlangsung.
d. Wawancara dilakukan di kediaman para subjek, hal ini
dilakukan agar subjek merasa nyaman ketika wawancara
berlangsung.
e. Penelitian di lapangan berlangsung dari pertengahan Juni
sampai akhir Juli 2008.
48
BAB4
Hasil Penelitian
Pada bab 4 akan penulis uraikan bagaimana l1asil pengolahan data yang
terkumpul, meliputi gambaran umum subjek penelitian, observasi umum
kasus, observasi khusus kasus, gambaran kasus, analisa kasus, dan
perbandingan antar kasus.
4.1. Gambaran Ummn Subjek Penelitian
Subjek yang diambil dalam penelitian ini berjumlah 3 orang, yaitu 1 ibu yang
mempunyai anak yang menderita thalassaernia minor dan 2 ibu yang
mempunyai anak yang menderita thalassaemia mayor. Data dalam penelitian
ini penulis dapatkan dari wawancara dengan subjek y;:1itu ibu yang
mempunyai anak yang menderita penyakit thalassaemia minor dan mayor.
Nama-nama subjek dalarn penelitian ini sengaja penulis samarkan dengan
menggunakan inisial huruf, sehingga kerahasiaan dan kenyamanan subjek
penelitian dapat terpenuhi, sebagaimana yang diisyaratkan dalam etika
penelitian. Berikut gambaran umum subjek:
50
Table 4.1. Gambara111 Umum Subjek Pe111elitian
Keterangan E s H
Usia 32 Tahun 50 Tahun 32 Tahun
Pekerjaan Guru TK Dagang lbu Rumah
Tangga
Agama Islam Islam Islam
Pendidikan 01 SMA SMA
Anak yang JK A F
Thalassaemia
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan LakHaki
Usia 10 Tahun 15 Tahun 15 bulan
Anak Ke 1 dari 1 4 dari 4 2 dari 2
bersaudara bersaudara bersaudara
Lama Penyakit 3 Tahun 9 Tahun 7 Bulan
Jen is Thalassaemia Thalassaemia Thalassaemia
Thalassemia minor mayor mayor
4.2. Gambaran dan Analisa kasus
4.2.1. Kasus E
51
E adalah seorang ibu berusia 32 tahun. Memiliki berat badan sekitar 48 kg
dan tinggi badan 154 cm. E cendrung memiliki bentuk muka tirus, bentuk
tubuh seimbang antara berat badan dan tinggi badan, berkulit sawo matang
dab rambut pendek sebahu berwarna hitam. E mengenakan kaos panjang
berwarna merah muda dan dipadukan dengan celana hitam, tidak
berkrudung, rambutnya tergerai dengan tidak menggunakan make-up dan
asesoris apapun.
Ketika diminta untuk menjadi responden dalam penelitian ini, E langsung
bersedia sambil tersenyum dan berkata:
"tapi nanyanya jangan yang susah-susah yah .. na .. "
Sebelum wawancara dilakul<an, penulis terlebih dahulu mengadakan
pendekatan dengan E dengan bersilaturahmi ke rumah E di Bandung
tepatnya di Soreang, agar E bersedia menjadi responden dalam penelitian.
Pendekatan penulis dengan E sangat dekat, karena antara penulis dengan E
ada ikatan kekeluargaan, sehingga E yang merupakan kaka supupu penulis
langsung bersedia membantu penulis untuk menjadi sampel penelitian.
Wawancara dilakukan pada tanggal 4 Juli 2008 mulai pukul 09.00 sampai
dengan 15.00 WIB. Wawancara dilakukan di tempat tinggal Edi sebuah
kontrakan berukuran 3 X 15 meter di kawasan padat penduduk.
Awai wawancara E kelihatan sedikit canggung dan malu-malu dalam
menjawab pertanyaan. Namun setelah dijelaskan bahwa pertanyaan yang
akan diberikan bukan untuk dinilai benar atau salah dan data yang diambil
akan benar-benar dijaga kerahasiaannya, E baru mengerti sehingga sedikit
santai dan tidak malu-malu dalam menjawab pertanyaan.
52
E mempunyai seorang suami dengan 1 orang anak yaitu JK yang rnenderita
penyakit Thalassaemia dan masih duduk di bangku sekc1lah dasar kelas 5. E
bekerja sehari-hari sebagai guru TK sejak tahun 2004, siedangkan suaminya
mempunyai pekerjaan yang tidal< menetap atau biasa di sebut dengan kerja
serabutan. Wawancara dilakukan terhadap Edan JK.
Anaknya yaitu JK adalah seorang anak laki-laki berusia ·to tahun yang telah
terdeteksi menderita thalassaemia minor pada akhir tahun 2004 yang lalu.
Pertama kali E mengetahui anaknya menderita thalassaE'lmia setelah E dan
JK mengalami hal yang rumit dan lama. Awalnya JK mengalami panas tinggi,
dan dirawat selama 5 hari, pada hari pe1iama JK di diagnosa mengalami
53
penyakit paru-paru, 2 hari kemudian JK di diagnosa mernpunyai penyakit
Bronhitis, dan setelah JK melakukan macarn-macam tes yang dianjurkan
oleh dokter barulah pada hari ke 5, JK terdeteksi mempunyai kelainan pada
darahnya dan diketahui JK menderita penyakit Thalassaemia.
Pada saat rnenjawab pertanyaan tentang awal mula anaknya terdeteksi
rnenderita penyakit thalassaemia, E merendahkan volume suaranya dan
terlihat sedikit rnengeluarkan air mata.
Pada waktu E diberi tahu oleh dokter mengenai penyakit thalassaemia, E
sebelumnya tidak pernah mendengar penyakit thalassaemia, E juga tidak
mengetahui darnpak apa yang akan terjadi pada anaknya. Akl1irnya dokter
menjelaskan kepada E dengan hati-hati dan perlahan-lahan rnengenai
penyakit thalassaemia, rnulai dari penyebab penyakit thalassaernia yaitu
karena faktor turunan, cara bertahan hidup dengan transfusi darah seurnur
hidup, sampai dampak apa yang akan te1jadi pada anaknya yang menderita
penyakit tl1alassae111ia seperti perut anak menjadi rnembesar karena lirnpa
rnernbengkak.
"waktu ibu dijelaskan oleh dokte1; ibu seakan tidak percaya, kenapa anak ibu kena? Soa/nya penyakit thalassaemia adalah penyakit y.:mg di turunkan oleh salah satu atau kedua orang tua, dari pihak ibu tidak ada keluarga yang mempunyai penyakit thalassaemia dan dari pihak suami ibu juga seperlinya
54
tidak ada, /alu dari siapa penyakit thalassaemia ini diturunkan? (suaranya melemah) ibu sempat binggung dan merasa bersalah ke>pada anak ibu karena mungkin karena ibu, JK menderita penyakit thalassaemia, penyakit y;:mg di derita oleh JK seumur hidupnya ... kemudian dokt.er juga menjelaskan kepada ibu bahwa penyakit thalassaemia be/um ada obatnya dan cara untuk mempertahankan hidup JK hanya dengan transfusi darah satu atau dua kali sebulan, ibu harus mencari cara bagaimana JK bisa di transfusi darah, dengan cara apapun akan ibu jalankan, asa/ JK tetap hicfup"(wawancara di rumah subkek, 4 juli 2008, pukul 11.05 wib).
E merasakan masalah yang paling berat saat itu adalah untuk menerima
kenyataan bahwa anaknya terdeteksi menderita penyakit thalassaemia.
Responnya pertama kali saat ia mengetahui anaknya menderita penyakit
thalassaemia adalah menangis, takut, kaget dan kesedihan yang mendalam.
"waktu itu ... (suaranya pelan dan berat) ibu merasa sedih ... sedih banget .. , sempet ga percaya, kenapa anak ibu menderita penyakit tha/assaemia? /bu ga tega, ngeliat JK darah daging ibu, tergolek lemas, pucat, dan teriak kesakitan pada waktu pe1tama kali JK menerima transfusi darah "(sambil menangis dan mencoba menirukan teriakan anaknya), ibu se/a/u menemani anak ibu, setiap ia transfusi darah" (wawancara di rumah subjek, 4 Juli 2008, pukul 11.20 WIB).
E sangat mengkhawatirkan kehidupan anaknya, karena pertama kali JK
mengetahui bahwa dia menderita penyakit thalassaemia dan dijelaskan oleh
E konsekuensi yang harus di terimanya karena dia meinderita penyakit
thalassaemia seperti tidak boleh lelah, harus sering istirahat, dan tidak boleh
main, karena bila JK cape dan lelah, JK akan pucat dan 11arus mendapatkan
transfusi darah. JK sempat minder dengan teman-temannya karena JK
merasa dirinya berbeda dengan teman-temanya, tidak. bisa bermain
55
bersama. JK jug a menjadi lebih pendiam, dalam belajar JK menjadi
menurun, dalam makan JK menjadi lebih susah makan, dan badan JK
menjadi lemas dan tak bergairah.
E merasakan beban ini sangat berat, karena E harus membangkitkan
semangat anaknya, selain itu juga E harus mencari jalan agar anaknya bisa
terus mendapatkan iransfusi darah secara rutin, rupiah demi rupiah E
kumpull~an untuk transfusi dan obat anakknya, dengan pendapatan bulanan
E sebagai guru TK di desa, dengan penghasilan suami yang tidak menentu
sampai dengan mencari-cari pinjaman kepada saudara. Selain itu juga E di
hadapkan dengan masalah tetangga yang rnenjauhkan diri dengan keluarga
E, karena ada anggapan dari tetangga yang menyebutkan bahwa penyakit
yang di derita oleh JK adalah penyakit yang rnenular yang dapat
menyebabkan anak atau anggota keluarga menjadi pucat, lemes, dan kurang
bergairah dalam hidup.
"/bu merahasiakan penyakit JK kepada tetangga karena untuk menghindari pandangan tetangga yang be/um memahami tentang penyakit thalassaemia dan ibu takut JK di kucilin ama tetangga soalnya pemah waktu itu, ibu ngasih makanan ke tetangga, eh ... tetangga ma/ah nolak pemberian ibu, tetangga bilang tar takut ketu/aran penyakit JK, yah .. .ibu mah, sama sekali ga ada maksud untuk ngeracunin atau apalah, niat ibu mah baik, ibu mah tabahin aja, walaupun sedih juga, suami ibu sering nguatin ibu .. keitanya udah sabar aja .. (sambil memperaktikan pada waktu suami membelai kepalanya dan menguatkannya), tapi tar ibu juga bakal bilang penyakit JK, kalo waktunya tar tepat, den JK bisa kuat menjalankan kehidupannya. /bu se/alu menguatkan
JK untuk tetap semangat" (wawancara di rumah subjelk, 4 Juli 2008, pukul 12.35).
E dalam menghadapi masalahnya selalu membutuhkan teman bicara untuk
sedikit mengurangi tekanan yang timbul dari masalah-masalahnya. Seperti
pada waktu pertama kali JK di deteksi menderita penyakit thalassaemia, E
56
menceritakannya kepada saudara apa yang dialami oleh anaknya, menurut E
dengan E menceritakan masalah-masalahnya kepada orang terdekat, E
merasa masalahnya menjadi lebih ringan.
"masalah-masalah yang ibu hadapi se/alu ibu serahkan kepada Allah, ibu bertawaka/ aja, karena ibu tahu Allah memberikan col>at:m kepada ibu yang berat karena ibu mampu menjalankan cobaan itu (sambil mata berkacakaca), suami ibupun se/alu menenangkan ibu, bi/a ibu sudah terlihat tidak kuat melihat keadaan JK, dengan menginggatkan ibu untuk mengembalikan sega/a yang tetjadi kepada Allah" (wawancara di rumah :subjek, 4 Juli 2008, pukul 13.40).
Hampir setiap malam E bangun untuk melaksanakan shalat tahajud meminta
kepada Allah agar anaknya selalu diberikan kesehatan dan umur yang
panjang sampai anaknya mempunyai keluarga. E yakin dengan adanya
masalah-masalah yang E hadapi, pasti ada hikmah yang bisa E petik.
Menurutnya kejadian ini mungkin dapat lebih mendekatkannya kepada sang
pencipta kehidupan.
57
"walaupun banyak masalah yang ibu hadapi, tetapi ibu senantiasa berharap bahwa anak ibu bisa hidup lebih lama sampai anak ib11 berkeluarga, dan bisa menjadi orang yang berguna bagi dunia dan akhirat, mejadi anak yang shaleh, dan bisa membanggakan keluarga. /bu senantiasa mendoakan yang terbaik untuk anak ibu".
Analisis Kasus
Coping yang ditampiikan
Masalah paling berat yang dirasakan oleh E adalah pe1nerimaan pertama kali
anaknya terdeteksi penyakit thalassaemia. E menunjukkan coping
penolakan (denial) dimana ia menolal' dan tidak percaya dengan apa yang
terjadi. Selain itu juga ia merasa bersalah kepada anaknya karena rnungkin
anaknya menderita penyakit thalassaemia disebabkan turunan darinya.
Untuk mengurangi bebannya, ia mencari dukungan em1:isi dengan bercerita
dan berbagi duka dengan saudara (seeking social support for emotion
reasons) yang termasuk kedalam coping yang berpusat pada masalah
(emotional focused coping).
Selain itu, ia juga menampilkan coping menahan diri (restraint coping) yang
termasuk ke dalam coping yang berpusat pada masalah (problem focused
coping) dengan merahasiakan penyakit JK kepada tetangga. Sambil
menunggu waktu yang tepat untuk memberitahukan penyakit JK kepada
tetangga. lni juga dilakukannya agar anaknya tidak minder dan kuat
59
Sehingga dapat disimpulkan, E dalam menghadapi masalahnya
menampilkan coping yang terpusat pada masalah dan coping yang berpusat
pada emosi. Adapun coping yang berpusat pada masalah yang ditampilkan
oleh E antara lain: menahan diri (restraint coping) dan meminta bantuan
(seeking social support for instrumental reasons), sedangkan coping yang
berpusat pada emosi yang ditampilkan oleh E antara lain: penolakan
(denial), mencari dukungan emosi (seeking social support for emotion
reasons), memasrahkan diri pada agama (turning to relii7ion), mengambil
hikmah (positive reinterpretation and growth), dan penerimaan
(acceptance).
4.2.2. Kasus S
S adalah seorang wanita paruh baya yang berusia 50 tal1un. Memiliki berat
badan sekitar 55 kg dan tinggi badan 148. S cendrung m1amiliki bentuk muka
oval, bentuk tubuh sedikit gemuk, berkulit sawo matang dan rambut lurus
panjang. S menggunakan baju daster batik terkesan sepE~rti umumnya
penampilan ibu rumah tangga lainnya, rambutnya dikuncir dengan tidak
menggunakan make-up dan asesoris apapun.
60
Sebelum kegiatan wawancara di lakukan, penulis terlEibih dahulu
mengadakan pendekatan dengan S dengan cara datang kerumahnya 3 hari
sebelum wawancara guna mendapatkan kenyamanan dan keakrabatan
antara penulis dengan S, sehingga pada saat penulis meminta kesediaan S
untuk menjadi responden dalam penelitian, S langsung bersedia membantu
penulis untuk menjadi sampel penelitian.
Wawancara dilakukan selama dua harL Wawancara pertama dilakukan pada
hari Jumat 11 Juli 2008 pukul 10.00 sampai pukul 12.00 \NIB, wawancara
pertama ilanya sebentar karena S mempunyai kesibukan yang tidak bisa
diganggu, sehingga wawancara dilanjutkan keesokan harinya yaitu pada hari
Sabtu 12 Juli 2008 mulai pukul 08.00 sampai dengan 14.00 WIB. Wawancara
pertama dan kedua dilakukan di tempat tinggal responden, di sebuah
kontrakan 3 petak, !epatnya di petak pertama yaitu ruang tamu yan~l
merangkap sebagai ruang santai keluarga karena ada sebuah televisi
berukuran 14 in.
Awai wawancara E terlihat tidak canggung, dan menjawalD pertanyaan
pertanyaan yang diberikan oleil penulis dengan antusias, jelas dan tegas. E
bersikap sangat keibuan kepada penulis karena E selalu menggunakan
kontak mata dan terkadang membelai penulis ketika menjawab
pertanyaan.
61
S seorang janda yang telah di tinggal oleh suaminya 3 tahun yang lalu karena
sakit komplikasi, S memiliki 4 orang anak. Anaknya terdiri dari tiga orang laki
laki dan satu orang perempuan. Ketiga anak tertua telah menikah dan
mendapatkan 4 orang cucu dari mereka, sedangkan anal< bungsunya tinggal
bersamanya.
Pada saat S menceritakan kehidupannya yang secara tiba-tiba di tinggal oleh
suaminya dan harus menjadi tulang punggung menggantikan suaminya, S
bercerita dengan volume suara yang rendah, dan makin lama suaranya
terdengar semakin gemetar, selain itu S mengusap matanya yang saat itu
terlihat sedikit mengeluarkan air mata.
S adalah seorang ibu yang setiap hari berjualan nasi uduk, dan lontong, di
ujung gang rumahnya. S tinggal bersama anak bungsunya yang perempuan
yaitu A.
Anak keempatnya, yaitu A adalah seorang anak remaja perempuan yang
berumur 15 tahun, yang telah terdeteksi menderita penyakit thalassaemia
mayor pada waktu umurnya 6 tahun. Pada saat itu suhu badan A sangat
panas, sehingga membuat S untuk langsung membawanya ke Rumah Saki!
kecil pinggiran kota Bogor. Setelah A diperiksa oleh dokter, A diberikan obat
62
•penrnucm rpE1rras, BkElrn ttetapi setelalfl ttil!Ja !lrraTii ikamiwtiiarn \ke.ooaarnAttmlk juga
merribalk, melairlkan 'keaaaarn A menjadi meniburLik 'karena 'batian A 'terlihat
biru seperti kehabisan darah. Akhirnya S membawa A ke~ Rumah Sakit besar
di Bogor, A langsung mendapatkan perawatan intensif dari dokter, karena S
tidak mengetahui penyakit apa yang sebenarnya diderita oleh A,
membuatnya di marahi oleh dokter, karena apabila S terlambat sedikit
membawa A ke Rumah Saki!, A bisa kehilangan nyawanya akibat
kekurangan darah.
Akhirnya A dirawat di Rumah Saki!, A menjalani beberapa tes darah, dari tes
darah tersebut barulah S mengetahui bahwa A menderita penyakit
thalassaemia, sehingga A harus ditransfusi darah. setelah A mendapatkan
transfusi darah, badan A panasnya tidak turun juga. Kemudian S mencari
obat turun panas, setelah A diberi obat turun panas, badan A panasnya tidak
turun-turun juga. S mengompres badan A, badan A panasnya tidak juga
turun. Sampai S memandikan A dengan air mawar yang dipercayanya dapat
menurunkan panas, tetapi pada kenyataannya badan A panasnya tidak juga
turun. A diharuskan oleh dokter untuk transfusi darah, setelah A
mendapatkan transfusi darah ke dua kalinya, badan A panasnya tidak turun
juga. Pada hari ketiga, S menebus obat, dan susu. Akhirnya panas badan A
turun setelah A meminum susu yang di anjurl~an oleh clokter. Karena
keadaan A sudah semakin membaik, A sudal1 diizinkan untuk pulang, akan
63
tetapi sebelum A pulang dari Rumah Saki!, dokter menjelaskan kepacla S
mengenai penyakit yang diderita oleh A.
Pada waktu S di jelaskan oleh dokter mengenai penyakit yang diderita oleh
A, S belum pernah mendengar nama penyakit thalassaemia, sehingga
membuat S terus menanyakan seperti apa penyakit thalassaemia itu, apakah
berbahaya atau tidak? dokter menjelaskan bahwa penyakit thalassaemia
adalah penyakit kelainan darah yang paling banyak te1jadi pada orang-orang
di seluruh dunia, akan tetapi penyakit thalassaemia tidak seganas penyakit
darah lainnya seperti leukemia, hanya saja apabila penderita terlambat
mendapatkan transfusi darah, penderita bisa lemas, dan tidak ada gairah
apapun, termasuk nafsu makan.
"waktu saya di kasih talw oleh dokter mengenai penyakit thalassaemia, saya kaget banget, sedih dan menolak, kenapa anak saya? (suaranya memberat dan berjeda), apa/agi waktu dokter menjelaskan kepada saya penderita thalassaemia limpanya bisa membengkang, dan harus dioperasi, selain itu kata dokter penyakit thalassaemia jug a penyakit yang di derita seumur hidup, karena be/um ada cara menyembuhkannya, kalaupun ada cara untuk bertahan hidup dengan transfusi dara/1 secara rutin" (wawancara di rumah subjek, 12 Juli 2008, pukul 09.00 WIB)
Pada awal penyakit thalassaemia terdeteksi pada A, S mengalami masa-
masa sangat sulit, karena S setiap bulan harus membawa A ke Rumah Saki!
untuk transfusi darah dengan biaya yang sangat tinggi, karena S belum
mengeiahui cara untuk melakukan transfusi darah dengan biaya yang lebih
64
ringan. Kemudian S bertemu dengan seorang suster yang
memberitahukannya untuk pindah ke Rumah Sakit milik pemerintah di
daerah Bogar, dan memintanya untuk membuat surat jarninan untuk keluarga
kurang mampu, agar biaya transfusi menjadi lebih ringan. S sangat berterima
kasih sekali kepada suster di Rumah Saki! yang telah mernberitahukan
kepadanya mengenai cara untuk melakukan transfusi darah dengan biaya
yang lebih ringan. Akhirnya S mengikuti apa yang dikatal<an oleh suster
ptersebut untuk pindah ke Rumah Sakit pemerintah dan membuat kartu
berobat untuk kelurga tidak mampu. Setelah S pindah ke Rumah Sakit
pemerintah dan mendapatkan l<artu berobat untuk keluarga tidak mampu, S
tetap saja merasa berat, walaupun biaya untuk pengobatan anaknya sudah
menjadi lebih ringan, tetapi dengan keadaan suami yang kerjanya serabutan
menyebabkan l<euangannya tidak dapat diprediksikan sehingga apabila
sudah waktu anaknya transfusi darah, maka S kebingun~ian mencari uang
tambahan karena penghasilan dari suami sudah habis untuk biaya hidup
sehari-hari. Sewaktu S belum di tinggal oleh suami yang kerjanya serabutan
saja, keuangan keluarga sudah sangat susah, apalagi tiga tahun terakhir ini,
setelah S ditinggal suami dan menjadi janda, kehidupan S menjadi sangat
sulit karena S harus sendiri memenuhi kebutuhan anaknya untuk transfusi
darah secara rutin dan S juga harus sendiri memenuhi keibutuhan hidup dan
anaknya sehari-hari.
65
"cara apapun saya ja/anin buat kehidupan anak saya, saya minjem uang kesana kemari dari saudara, tetangga sampai bank keliling, saya lakonin. Orang waktu itu saya di Rumah Sakit pemah kekurangan uang buat transfusi dan obat anak saya, jadi saya telepon ke saudara buat ke Rumah Sakit bawa uang pinjaman (sambil tertawa kecil). Apa aja dah saya lakuin buat anak saya, nah yah kan kalo transfusi darah anak saya biasanya abis tuh 4 kantong darah, nah Anak saya ka/o udah di transfusi darah barang dapet satu kantong aja matanya /angsung berwama, ga pucet lagi, kalo fiat anak kayak gitu, saya jadi sedikit /ega, tapi kalo saya inget utang saya, saya cuman bisa ngelus dada dan berharap bisa segera saya lunasi" (wawancara di rumafl subjek, 12 Juli 2008, pukul 09.40).
S selalu cerita kepada saudara dan orang-orang terdekat mengenai penyakit
yang diderita olefl A, seperti masalah kekurangan biaya untuk transfusi darah
A, dan kebutuhan sehari-hari. Selain masalah keuangan juga, S selalu
menceritakan kesedihannya kepada orang terdekat ketik.a menemani A untuk
menjalankan transfusi darah, karena dengan S menceritakan masalah dan
kesedihannya, S selalu mendapatkan dukungan dari orang terdekat, untuk
lebih kuat dan lebih sabar dalam menghadapi cobaan yang terjadi pada
anaknya dan keluarganya.
Pada saat S menemani anaknya un!uk transfusi darah, S sering menangis,
ketika melihat anaknya menjalani transfusi darah, karena pada waktu
transfusi darah, tangan anal<nya yang kecil ditusuk-tusuk jarum berulang-
ulang kali untuk menemukan urat. A selalu menangis bila tangannya sudah
ditusuk jarum untuk transfusi darah, hal ini membuat S sedil1 dan tidal< tega
lihat anaknya, tetapi S selalu menguatkan dirinya sendiri dengan mengkontrol
dirinya dengan mengingat hasil setelal1 A mendapatkan transfusi darah,
misalnya A bisa ceria lagi, bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya tanpa
ada hambatan.
66
Terkadang A apabila sudah melakukan transfusi darah, badannya suka gatal
gatal, di badannya terdapat bentol-bentol kecil seperti ada nanah di
dalamnya, sehingga menyebabkan A tidak bisa tidur karnna kegatelannya
dan terkadang perih. Oleh karena itu S aktif menanyakan ke Rumah Sakit
mengenai apa yang menyebabkan anaknya setelah di transfusi darah
badannya suka gatel2, akhirnya S mengetahui kenapa A setelah transfusi
darah terkadang suka gatal, karena darah yang didapatnya tidak cocok
dengannya sehingga pada badan A terdapat bentol-bentol dan gatal. Untuk
menghindari anaknya gatal-gatal dan bentol-bentol kecil seperti ada
nanahnya, S suka memperhatikan darah yang S dapat dari PMI, bila darah
yang didapatnya berkerak, itu tandanya darahnya jelek dan tidak cocok
dengan A, maka S meminta untuk menukarkan darah ternebut dengan darah
yang lebih bagus, dan yang lebih cocok dengan A. Karena A sering gatal
gatal, bentol-bentol kecil seperti ada nanahnya dan muka sering terlihat pucat
menyebabkannya malu untuk sekolah, karena tidak jarang teman-temannya
mengejeknya dengan drakula yang mukanya pucat dan hidup dari darah, S
hanya bisa menguatkan perasaan A, dan mengabulkan permintaan A untuk
berhenti sekolah di kelas 5 SD.
67
"walaupun saya merasa tidak kuat menghadapi apa yang tetjadi dengan anak saya, tetapi saya setidaknya merasa bersyukur karena saya datang ke Ru mah Sakit dengan anak saya, dan saya pulang juga dengan anak saya, tidak seperti orang-orang yang datang ke Rumah Sakit, clan pulang hanya tinggal nama. Sa ya Jadin ya sadar kalau mungkin ini semua yang tetjadi memang sudah jalannya saya dan anak saya, saya harus bersabar menjalankan kehidupan ini, karena anak saya hanya bersandar kepada saya dan kalau saya tidak kuat, menjalankan semuanya, bagaimana dengan kehidupan anak saya. Harapan saya moga aja anak saya tetap hidup dan sehat sampai besar'' (wawancara di lakukan di rumah subjek, 12 Juli 2008, pukul 10.25 WIB).
Analisis kasus S
Coping yang di tampilkan
Ketika pertama kali S mengetahui penyakit yang diderita oleh A, perilaku
coping yang ditunjukkan oleh S adalah penolakan (denial) , dimana S
menolak penyakit yang diderita olel1 anaknya dan merasa tidak percaya
dengan apa yang terjadi dengan anaknya.
S meminta bantuan (seeking social support for instrumental reasons)
berupa meminjan uang yaitu dengan meminjam uang kepada siapa saja yang
dekat dengannya untuk biaya transfusi darah, obat, dan kehidupan sehari-
harinya.
Untuk mengurangi beban yang dirasakan oleh S, S mEm<:ari dukungan
emosi (seeking social support for emotional reasons) dengan menceritakan
masalah yang dihadapi olehnya dan anaknya kepada orang-orang
terdekatnya seperti saudara, tetangga dan teman. S selalu menangis bila
69
4.2.3. Kasus H
H adalah seorang wanila berumur 32 tahun. Memiliki berat badan sekitar 47
kg dan linggi badan 148 cm. H cendrung memiliki wajah bulat, bentuk tubuh
sedikit gemuk, berkulit putih, rambut lurus pendek sebahu, dan
berpenampilan menarik dengan menggunakan baju kaos pendek berwarna
biru muda yang dipadukan dengan celana panjang berwarna biru tua, tidak
berkrudung, rambutnya tergerai, sedikit menggunakan make-up tetapi tidak
memakai asesoris apapun.
Sebelum kegiatan wawancara di lakukan, penulis terlebih dahulu
mengadakan pendekatan dengan H dengan datang sehari sebelum dilakukan
wawancara, guna mendapatkan gambaran keadaan kehidupan H dan
menjalin keakrabatan, sehingga ketika penulis memin!a l<esediaan untuk
menjadi responden dalam penelitian, H bersedia membantu penulis untuk
menjadi sampel penelitian.
Wawancara dilakukan pada tanggal 18 Juli 2008 mulai pukul 09.00 sampai
dengan 13.00 WIB dan tanggal 22 Juli 2008 mulai pukul ·11.00 sampai 12.00.
Wawancara dilakukan di rumah responden, tepatnya di ruang TV keluarga
yang berdekatan dengan ruang tamu.
Pada saat wawancara berlangsung H terlihat sangat antusias dalam
menjawab pertanyaan dan bersikap sangat bersahabal d1:mgan penulis,
sehingga antara E dan penulis tidak ada perasaan cang!Jung selama
wawancara berlangsung.
Ketiak wawancara, H sambil mengajak anaknya yang berusia 15 bulan
bermain. Beberapa anak berumur 7 tahun lalu lalang disekitar ruang tv
keluarga dan ruang tamu, sehingga terkadang membuat wawancara agak
sedikit terganggu namun wawancara tetap berjalan dengan baik.
70
Pada saat E menjelaskan awal mula bayinya terdeteksi menderita penyakit
thalassaemia, E terlihat sangat sedih dan bersuara rendah, karena bayi
mungilnya hampir meninggal bila tidak mendapatkan pertolongan pada saat
itu.
H memiliki 2 orang anak laki-laki, anak yang pertama usianya 7 tahun dan
anak yang kedua usianya baru 15 bulan. F adalah anak kedua yang berumur
15 bulan yang menderita penyakit thalassaemia mayor, yang terdeteksi pada
usianya 8 bulan yang lalu.
Suami H berusia 33 tahun, mempunyai peketjaan sebagai kuli bangunan.
Menurut H, suaminya akan bekerja apa saja mencari uang untuk keluarga
kecilnya terutama untuk memenuhi kebutuhan F yang menderita penyakit
thalassaemia, sedangkan untuk urusan rumah tangga H yang bertanggung
jawab penuh.
71
Pada waktu umur F 3 bulan, F sering sekali batuk-batuk, H membawa F ke
Rumah Sakit daerah Fatmawati untuk diperiksa, kemudian pihak Rumah
Sakit menganjurkan F untuk di transfusi darah. Pada wal<:tu itu H belum
mengetahui penyakit apa yang diderita oleh F, karena dari pihak Rumah
Sakit hanya memberitahukan bahwa F kekurangan zat besi, dan bisa
dibilang anemia ringan. Dari umur F 3 bulan sampai 8 bulan, keadaannya
terus menerus menurun mulai dari muka pucat, perut kembung, sampai
badannya F yang mungil tergolek lemas tak berdaya. Me•lil1at keadaan F tiap
hari semakin memburuk, H membawanya ke Rumah Sa~;it daerah
Tanggerang. F diperiksa oleh dokter di sana, dan diberikan transfusi darah, H
menanyakan keadaan F kepada dokter, tapi dokter belum memberitahukan
apa yang sebenarnya terjadi pada F, baru setelah F menerima transfusi
darah yang kedua kalinya dokter memberitahukan mengi:mai apa yang terjadi
pada F. Dokter memberitahukan bahwa F menderita penyakit thalassaemia
yaitu penyakit kelainan sel darah merah. Kernudian H meinanyakan kepada
dokter apakah penyakit yang diderita anaknya adalah kanker? dan apakah
penyakit thalassaemia bisa sembuh? H sangat menghawatirkan keadaan
bayi mungilnya, dokter rnenjelaskan kepada H perihal penyakit yang diderita
oleh anaknya adalah bukan sejenis kanker, hanya saja k.arena sel darah
merah pada penderita thalassaernia urnurnya lebih pendE~k daripada sel
darah rnerah pada orang normal, maka penderita thalassaemia harus
72
melakukan transfusi darah rutin untuk menggantikan sel darah merah yang
mati. Rutinitas transfusi darah ini harus senantiasa dilakukan karena apabila
rutinitas transfusi darah tidak dilakukan maka anak atau penderita
thalassaemia bisa jatuh lemas dan keadaannya bisa menurun drastis atau
bahkan penderita thalassaemia bisa meninggal. Sampai saat ini
thalassaemia belum ada obatnya, jadi tindakan yang bisa menyelamatkannya
hanya transfusi darah rutin, dan dokter juga memberitahukan kepada H
bahwa thalassaemia adalah penyakit kelainan darah yang diturunkan oleh
orang tua, bisa dari ayah atau ibu atau keduanya.
Mendengar penjelasan dari dokter, H langsung terkaget-l<aget, badannya
menjadi lemes, dan H sedikit terguncang, karena menurutnya mana mungkin
bayi kecil mungil seperti F yang tidak mempunyai dosa apa-apa, bisa
menderita penyakit seumur hidupnya, dan bayangan kematian F langsung
terlintas di pikiran H. H juga merasa bersalah, karena H merasa mungkin dari
dirinya bayi mungilnya yang tanpa dosa terkena thalassaemia.
"saya sefafu berdoa, Ya Allah ... sehatkan F, jangan ambit F dari sisi hamba ... (matanya berkaca-kaca) saya sefafu meminta yang ter.baik buat anak saya, saya udah berusalla semampu saya untuk menjaga anak saya, semua tergantung Allah yang menakdirkan kehidupan anak saya" (wawancara dilakukan di rumah subjek , 18 Juli 2008, pukul 10.40 WIB).
Setelah 1-1 mengetahui anaknya menderita penyakit thalassaemia, 1-1 aktif
mencari informasi mengenai penyakit thalassaemia, karena H tidak
menginginkan melihat F tergolek lemas seperti waktu F telat melakukan
transfusi darah karena H tidak mengetahui rutinitas harus dilakukan oleh F,
akhirnya H mendapatkan buku mengenai penyakit thalassaemia dari
tetangganya yang kuliah di kedokteran, sehingga H dapat mengetahui
penyakit thalassaemia lebih mendalam.
73
H selalu cerita ke semua orang mengenai penyakit F, karena menurutnya
dengan H menceritakan tentang masalahnya bisa mernbuatnya lega. Setiap
ada orang yang menanyakan kenapa F terlihat pucat, H langsung
menceritakan apa yang terjadi dengan F. orang-orang yang H ceritakan
kebanyakan dari mereka tidak mengetahui penyakit thalassaemia, yang
mereka tahu penyakit yang parah itu seperti kanker, dan leukemia. H
menceritakan apa yang dijelaskan oleh dokter kepada orang-orang, sehingga
orang-orang menjadi tahu mengenai penyakit thalassaemia.
Semenjak F didiagnosis menderita penyakit thalassaemia, H harus memutar
otak memikirkan bagaimana dengan kerjaan dan penghasilan suami sebagai
tukang bangunan yang tidak besar harus membawa anak secara rutin untuk
transfusi darah, akhirnya dengan informasi yang H dapat dari orang-orang
untuk mendapatkan keringanan biaya transfusi darah H harus membuat kartu
berobat untuk keluarga tidak mampu.
74
"setelah saya buat kartu berobat untuk keluarga tidak mampu, biaya transfusi darah untuk anak saya menjadi gratis, tetapi karena bi/a anak saya transfusi darah di Rumah Sakit, saya harus menginap 2 sampai 3 hari, jadi saya harus mencari uang untuk biaya menginap saya, suami dan anak saya se/ama di Rumah Sakit, akhimya suami saya mendapatkan care untuk memenuhi biaya menginap di Rumah Sakit, yaitu merencanakan keuangan yang tiap minggunya suami saya dapatkan dari upah kerjanya, disisihkan untuk biaya menginap di Rumah Sakit, kami selalu merencanakan kE~uemgan saya dan suami dengan care seperti itu, karena bi/a tidak begitu, bagaimana saya membawa anak saya untuk transfusi darah? saya ga mau punya utang dimana-mana tar kan repot bayarnya gimana, udah pEmghasi/an suami paspasan buat sehari-hari dan pengobatan F, eh,, kudu mikirin utang /agi, aduhaduh ga sanggup dah saya, lebi/1 baik begini" (wawancara dilakukan di rumah subjek, 18 Juli 2008, pukul 11. 1 O WIB).
Melihat F di transfusi darah, H selalu sedih, karena F yang masih bayi harus
merasakan suntikan dengan jarum yang besar-besar clengan berulang-ulang
ketika transfusi clarah, F selalu menangis tersedu-seclu, itu yang
menyebabkan H selalu sedih melihat anaklrnya transfusi clarah, bapaknya F
selalu tidak mau melihat anaknya ketika ditransfusi darah karena ticlak tega,
sehingga hanya Hlah yang menemani F pada waktu transfusi.
" anak saya sering di sebut drakula oleh tetangga, mungkin maksudnya becanda, tetapi kalau panggilan ini terus berlangsung sampai anak .saya besar, saya talwt anak saya menjadi mindet; dan ga mau bergaul dengan teman-temanya /agi, be/um lagi kalo tetanggga membanding-bandingkan perkembangan anak saya dengan anaknya yang normal, saya suka kesel, orang-orang kan tahu anak saya sakit, jadi pasti ada pf,,bedaannya dari ankanak yang normal, anak saya sekrang umur ·t 5 bu/an, tete1pi be/um ilisa jalan, saya juga suka sedih melihat anak saya, kok be/um bisa }a/an juga ... (sambil menunjuk ke arah F), saya pasra/1 aja dah, nerima apa adanya anak saya, saya juga udah berusaha semampu saya untuk anak saya ... " (wawancara clilakukan cli rumah subjek, 18 Juli 2008, pukul 11.50 WIB).
75
Harapan H untuk anaknya adalah semoga anaknya bisa bertahan hidup
sampai besar, cara apapun akan H tempuh bersama suami untuk kebaikkan
F. H mengakui bahwa memang anak titipan tuhan jadi memang sudah
seharusnya dijaga. H mengambil hikmah dari apa yang terjadi pada anaknya
dengan mungkin dengan kejadian ini H bisa lebih sabar, dan tabah dalam
menjalani hidup.
Analisis kasus
Perilaku coping yang muncul
Masalah pertama yang H hadapi adalah pada waktu H mengetahui bahwa
bayinya yang mungil terkena penyakit thalassaemia mayor, sehingga H
menunujukkan coping penolakan {denial) dimana H menolak dan tidak
percaya akan apa yang terjadi pada anaknya.
H menunjukkan coping kembali pada agama (turning to religion) dengan
selalu berdoa dan meminta kepada Allah yang terbaik buat kehidupannya,
keluarganya dan anaknya.
H menunjukkan coping active dengan mencari secara af\tif informasi
mengenai seluk-beluk penyakit thalassaemia, agar kejadian yang hampir
76
membuat nyawa anaknya menghilang tidak terjadi lagi dan membuat H lebih
memahami benar seperti apa penyakit thalassaemia.
Untuk mengurangi bebannya, ia mencari dulmngan ~m1osi dengan bercerita
dan membagi duka kepada siapa saja yang menanyakan keadaan anaknya
(seeking social support for emotional reasons) yang termasuk ke dalam
coping yang berpusat pada emosi (emotional focused coping).
Selain itu, untuk menghadapi masalah keuangan untuk pengobatan F, H dan
suami memiliki perencanaan (planning) yaitu merencanakan keuangan
dengan selalu menyisihkan penghasilan suami tiap ming9unya untuk
transfusi darah anaknya.
Akhirnya H menunjukkan coping penerimaan (acceptance) yang termasuk
ke dalam coping yang berpusat pada emosi (emotional focused coping)
dengan menerima apa pun kondisi F dan memasrahkan kepada Allah yang
menentukkan takdirnya dan anaknya. H menampilkan coping mengambil
hikmah dari kejadian (positive reinterpretation and growth) dengan
menganggap semua hal yang terjadi pada anaknya supaya dia bisa lebih
bersabar dan tabah dalam menjalani kehidupannya.
Sehingga dapat disimpulkan, H dalam menghadapi masalahnya
menampilkan coping yang berpusat pada rnasalah dan coping yang berpusat
pada emosi. Adapun coping yang berpusat pada masalah yang ditampilkan
oleh H adalah perencanaan (planning), sedangkan coping yang berpusat
pada emosi yang ditampilkan oleh H adalah penolakan (denial), kembali
pada agama (turning to religion), mencari dukungan emosi (seeking social
support for emotional reasons), penerimaan (Acceptanc<i) dan mengambil
hikmah (positive reinterpretation and growth).
77
78
4.3. Analisa Perbandingan Antar Kasus
4.3.1. Gambaran anasalah-masalah yang dihadapi aritar subjek
Tabe! 4.3.1. masalah-masalah yang dihadapi
>-----------------1--E -rs-r H l Masa!ah-masalah yang dihadapi Tl -i
1 _ Merasa bersalah, karena menurunkan gen
thalassaemia kepada anaknya
2_ Tidak dapat menerima kenyataan,
anaknya menderita penyakit thalassaemia
3. Kesulitan membangkitkan rasa percaya
diri anak
4. Kesulitan mendapatkan uang untuk biaya
trnasfusi darah
5. Stigma yang salah para tetangga
mengenai penyakit thalassaemia
6. Tidak adanya obat, yang dapat
menyembuhkan penyakit thalassaemia
7. Keadaan anak yang selalu menurun
8. Anak menderita thalassaemia seumur
hid up
9. Perasaan tidak tega melihat anak ketika
melakukan transfusi darah
10. Kekhawatiran mengenai kelanjutan ilidup
anaknya
'11'11'1
, I ,
__J_J
79
Keterangan : '1 berarti dialami, - berarti tidak dialami.
Dari label di atas dapat diketahui bahwa masalah yang dialami E antara lain:
Merasa bersalah, karena menurunkan gen thalassaemia kepada anaknya,
tidak dapat menerima kenyataan, anaknya menderita penyakit thalassaemia,
kesulitan membangkitkan rasa percaya diri anak, kesulitan mendapatkan
uang untuk biaya trnasfusi darah dan stigma yang salah para tetangga
mengenai penyakit thalassaemia. S mengalami masalah antara lain: Merasa
bersalah, karena menurunkan gen thalassaemia kepada anaknya, tidak
dapat menerima kenyataan, anaknya menderita penyakit thalassaemia,
kesulitan membangkitkan rasa percaya diri anak, kesulitan mendapatkan
uang untuk biaya trnasfusi darah, tidak adanya obat, yang dapat
menyembuhkan penyakit thalassaemia, anak menderita thalassaemia
seumur hidup dan perasaan tidak tega melihat anak keitika melakukan
transfusi darah. H mengalami masalah antara lain: Merasa bersalah, karena
menurunkan gen thalassaemia kepada anaknya, tidak dapat menerima
kenyataan, anaknya menderita penyakit thalassaemia, stigma yang salah
para tetangga mengenai penyakit thalassaemia, tidal< adanya obat, yang
dapat menyembuhkan penyakit thalassaemia, keadaan anak yang selalu
menurun, anak menderita thalassaemia seumur hidup. perasaan tidal< tega
melihat anak ketika melakukan transfusi darah dan kekhawatiran mengenai
kelanjutan hidup anaknya
80
4.3.2. Gambaran strategi coping yang dilakukan antar subjek
4.3.2. tabel strategi coping antar subjek
Subyek Subyek Subyek Strategi Coping
E s H
Active coping (coping - y y
aktif)
Planning - - v
(Perencanaan)
Suppression of Problem
competing activities focused - - -
(penekanan kegiatan coping
lain) (coping yang
Restrain coping terpusat
(Penundaan perilaku y y -pad a
mengatasi stress) masalah)
Seeking social support
for instrumental
reasons (mencari y y -dukungan sosial
berupa bantuan)
PERPUST;.'\f<Ar'\N UT/\MA I UIN SYAHID JAKARTA I
Subyek Subyek Strategi Coping
E s
Seeking social support
for emotional reasons
(pencarian dukungan -J -J
untuk alasan
emosional)
-Emotion Positive
focused reinterpretation and
coping growth (interpretasi -J -
(coping yang kembali secara positif
terpusat dan pendewasaan diri)
pada emosi) Denial (Penolakan) " " Acceptance
-J -J (penerimaan)
Turning to religion
(memasrahkan diri -J -pada agama)
Keterangan: Y berarti dipakai, - berarti tidak dipakai
81
Subyek
H
-J
-J
-J
-J
-J
82
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa para ibu menggunakan 2 strategi
coping yang dikemukakan oleh Carver, C.S & Scheler, M.F yaitu problem
focused coping (coping terpusat pada masalah) dan emotion-focus19d coping
(coping terpusat pada emosi). Sebagian besar strategi coping yang
digunakan oleh semua subyek penelitian sama. Strategi coping yang
digunakan olel1 E dalam bentuk problem-focused coping (coping terpusat
pada masalah) yaitu Restrain coping (Penundaan perilaku mengatasi stress)
dan Seeking social support for instrumental reasons (mencari dukungan
sosial berupa bantuan), sedangkan dalam bentuk emotion-focused coping
(coping terpusat pada emosi) yaitu Seeking social support for emotional
reasons (pencarian dukungan untuk alasan emosional), Positive
reinterpretation and growth (interpretasi kembali secara positif dan
pendewasaan diri}, Denial (Penolakan), AccE1ptance (penerimaan), dan
Turning to religion (memasrahkan diri pada agama). Strategi coping yang
digunakan oleh S dalam bentuk problem-focused coping (coping terpusat
pada masalah) yaitu Active coping (coping aktif), Restrain coping
(Penundaan perilaku mengatasi stress}, dan Seeking social support for
instrumental reasons (mencari dukungan sosial berupa bantuan}, sedangkan
dalam bentuk emotion-focused coping (coping terpusat pada emosi) yaitu
Seeking social support for emotional reasons (pencarian dukungan untuk
alasan emosional), Denial (Penolakan), dan Acceptance (penerimaan).
83
Strategi coping yang digunakan oleh H dalam bentuk problem-focused coping
(coping terpusat pada masalah) yaitu Active coping (coping aktif), Planning
(Perencanaan), sedangkan dalam bentuk emotion-focusc'd coping (coping
terpusat pada emosi) yaitu Seeking social support for 1-;;motional reasons
(pencarian dukungan untuk alasan emosional), Positive reinterpretation and
growth (interpretasi kembali secara positif dan pendewasaan diri), Denial
(Penolakan), Acceptance (penerimaan), dan Turning to rr;;figion
(memasrahkan diri pada agama).
BAB5
PENUTUP
Pada bab terakhir ini akan diuraikan kesimpulan dari penelitian yang telah
dilakukan, kemudian dilanjutkan dengan diskusi, pada bagian akhir
dikemukakan saran-saran yang mungkin menjadi masukan dan berguna bagi
penelitian selanjutnya.
5.1. Kesimpuian
Berdasarkan hasil data wawancara dan observasi yang diperolah dari
analisis yang dilakukan, maka kesimpulan yang dapat diambil dalam
penelitian ini adalah para ibu pertama kali meinampilkan strategi coping
dengan coping yang berpusat pada emosi (emotional focused coping) yaitu
ketika para ibu menghadapi permasalahan yang tidak dapat dicari
pemecahannya. Kemudian barulah para ibu menampilkan coping yang
berpusat pada masalah (problem focused coping) yaitu ketika para ibu
menghadapi masalah yang masih dapat dicari penyelesaiannya.
Adapun Mayoritas para ibu menampilkan strategi coping berpusat pada
emosi (emotional focused coping) dengan penolakan (denial) dengan
85
menolak kenyataan bahwa anaknya menderita penyakit seumur hidupnya
dan belum ada obat yang dapat menyembuhkannya, mencari dukungan
emosi (seeking social support for emotion reasons) dengan membicarakan
masalah-masalahnya kepada orang terdekat dan terakhir dengan
penerimaan (acceptance), al<an apa yang terjadi pada anaknya. Sedangkan
untuk strategi coping yang berpusat pada masalah (problem focused coping)
mayoritas para ibu melakukan dengan meminta bantuan (seeking social
support for instrumental reasons), berupa meminjam uang untuk biaya
transfusi darah anaknya.
5.2. Diskusi
Dari hasil penelitian yang telah didapat, strategi coping yang pertama muncul
dari para ibu yang mempunyai anak menderita thalassaernia adalah tidak
rnenerima atau menolak (denial), yang termasuk kedalarn coping yang
terpusat pada emosi, seperti yang dikatakan oleh Carver et al. (1989) bahwa
respon ini rnuncul pada penilaian primer yaitu pada saat pertama kali para ibu
mendengar dan mendapat penjelasan mengenai penyakit yang diderita oleh
anaknya.
Kemudian karena para ibu tidak dapat mengubah situasi tersebut , mereka
mencari dukungan moral dan simpati dari sahabat, saudara ataupun orang
90
atau tidak percaya diri karena fisiknya berbeda dengan anal< normal. Peran
ibu dalam membangkitl<an rasa percaya diri anak sangatlah dibutuhkan oleh
anaknya, guna menghadapi kehidupan sosial anaknya, oleh karena itu ibu
harus bisa mengatasi masalah-masalah yang menekan hidupnya. Para ibu
bisa mengatasi masalah-masalahnya dengan menggunakan coping, baik
coping yang berpusat pada masalah ataupu n coping yang berpusat pad a
emosi.
Diantara 2 jenis coping tersebut tidak ada yang lebih baik atau lebih unggul,
keduanya sama-sama memillki kelebihan dan kekurangan dalam mengatasi
permasalahan yang dihadapi oleh para ibu yang memiliki anak penderita
penyakit thalassaemia.
Saran praktis sehubungan dengan thalassaernia
Untuk menghindari penyakit thalassaemia diderita olet1 ainak pada masa
kehamilan hendaknya para ibu pada minggu ke 9 sampai minggu 13
memeriksakan kandungan, dimaksudkan untuk mengetahui apakah anak
yang sedang dikandung bebas dari kelainan darah thalassaemia atau tidak.
Bila anak yang dikandung membawa gen thalassaemia, para orang tua bisa
mendiskusikan kelanjutan kehamilan, apakah dilanjutkan atau tidak.
Apabila kehamilan dilanjutkan para orang tua harus siap menghadapi
kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari anak yang rnenderita
thalassaemia, tetapi bila kehamilan tidak dilanjutkan, bisa menekan angka
penderita thalassaemia di Indonesia yang tiap tahun selalu meningkat,
sehingga dalam hal ini sudah tentu keputusan keluarga sangat
mempengaruhi kelanjutan kehidupan keluarganya.
91
Penyakit thalassaemia merupakan penyakit yang tiap tahunnya mengalami
peningkatan pada penderitanya, oleh karena itu sangat diperlukan suatu
bentuk promosi kesehatan dalam bentuk pemberian informasi selengkap
lengkapnya atau penyuluhan tentang penyakit thalassaemia. Usaha ini
dilakukan sebagai upaya penekanan angka penderita tha!lassaemia yang tiap
tahun selalu meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Muhammad Jibril. (1999). Karakteristik Le/aki Sfwlih. Yogyakarta: Wihdah Press.
Ali Qaimi. (2002). Buaian /bu di Antara Surge dan Neraka; Peran /bu dalam Mendidik Anak. Bogor: Cahaya.
Bloona, Richard Ed.D., C.H.ES. (2005). Coping With Streiss in a Changing World, Third Edition. New York : Mc Graw Hill
Brizendine, Lounann. (2007). The Female Brain. Jakarta: PT. Cahaya lnsan Suci.
Carver, C. S. & Scheier, 1111.F. (1989). Assessing Coping Strategis; a theoretically based Approach. Journal of Personality end Social Psychology.
Chaplin. (2004). Kamus Lengkap Psiko/ogi. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Echols, John M & Hasan Shadily. (1994). Kamus lngris-lndonesia; edisi ketiga. Jakarta: PT. Gramedia.
Efriyani Djuwita. (2006). Masalah Perilaku dan Emosi Anak Penderite Thalassaemia Mayor Usia Sekolah, di Rumah Sakit Cipto Mangukusumo.Skripsi: Fakultas Psikologi Universitas lndone1sia, Depok.
Faisal Yatim. (2003). Talasemia, Leukemia, dan Anemia. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Hartono Ahmad Jaiz. (1997). Ragam Berkeluarga: Serasi Tapi Sesat. Jakarta: Pustaka Al-Kausar.
Hasto Prianggoro. Dampak Psikososial. http://www.tabloidnakita.com/artikel.php. (22/05/08).
Hurlock, Elizabeth 8. (2000). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendeikatan Sepanjang Rentang Kehidupan, edisi kelima. Jakarta : Erlan!ma.
Kaplan & Sadock. (1997). Sinopsis Psikiatri: I/mu Pengetahuan Prilaku Psikiatri Kfinis, edisi ketuju/J, jifid kedua. Jakarta : Binarupa Aksara
Kartini Kartono. (1992). Psikofogi Wanitajifid2; Mengenal Wanita SE?bagai !bu clan Nenek. Bandung: Mandor Maju.
Kristi Poerwandari. (1998). Penefitian Kuafitatif dalam Penefitian Psikologi. Jakarta: LP3 UI Perss.
Lexy J Moleong. (2004). Metoclo/ogi Penefitian Kuafitatif Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Midence.,K.Fuggle, P., Davies,S.C. (1993). Psychosocial Aspect of Sicle Cell Disease (SCD) in chifdhoocl and Adolescent: A Review. British Journal of Psychology, 32, 271-280.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. ( 1995). Ka mus Besar Bahasa Indonesia; Eclisi kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
Rice, Phillip.L. (1999). Stress and Healt, third edition. Brooks: Cole Publishing Company.
Rusdi Maslim, Dr. (1993). Diagnostik Gangguan Jiwa PPDGJ; Edisi Ketiga. Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa, Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI.
Sarafino, Edward P. (1994). Health Psychology: Biopsychosocial Interaction. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Sheridan, Charles L. (1992). Health Psychology: Challenging The Biomedical. USA: John Wiley & Sons, Inc.
Syaikh 'Ali Al-Qadhi. (2003). Rumah Tanggaku Karirku. Jakarta: Mustaqiim.
Taylor, Shelley E. (2003). Health Psychology, fifth edition. New York: The McGraw-Hill Companies.
Yayasan Thalassaemia Indonesia (1987). Apakah Thalassaemia itu; Bagaimana Menanganinya. Jakarta: PT. Bumi Prakarsa Cipta.
Yayasan Thalassaemia Indonesia (1987). Apakah Thalassaemia itu; Mengapa Te!jadi clan Bagaimana penegahanny.s. ,Jakarta: PT. Bumi Prakarsa Cipta.
Yin, Robert K. (2004). Studi Kasus: Desain dan Metod19 . . Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Vullo. (1995). What is thalassaemia. http/ /www.thalassaemia.org. cy/books/what_is/chapter _ 18. htm. (28/05/08).
W. Edith Humris. (2001 ). Penyakit Thalassaemia Mayor Sebagai Faktor Pencetus Psikopatolodi pada Anak dan Orang Tu;;1 (Studi Kasus Mengenai Pasien Thalassaemia Mayor yang berumur 1-17 Tahun Beserta Orang Tuanya di Jakarta). Tesis Program Pasca Sarjana Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia, Depok.
Zainun Mu'tadin. 2002, Strategi Coping. http:/fwww.epsikologi.com/remaja/220702.htm. (22/05/08).
http://www. republika. co. id/koran_ detail. asp
http://www. depkes. go. id/index. php
http://www.info-sehat.com/content.php
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Pedoman wawancara
a. bagaimana gambaran masalah yang dihadapi ibu yanri mempunyai anak
menderita thalassaemia?
1. Sebelum ibu mengetahui anak ibu menderita pe:nyakit thalassaemia,
apa yang ibu ketahui mengenai penyaki thalassaemia?
2. Gejala-gejala apa saja yang tampak pada anak ibu ketika ibu belum
mengetahui bahwa anak ibu menderita penyakit thalassaemia?
3. Kapan dan pada umur berapa anak ibu terdeteksi menderita penyakit
thalassaemia
4. Bagaimana perasaan ibu, pada waktu ibu mengetahui anak ibu
menderita penyakit thalassaemia?
5. Setelah ibu mengetahui anak ibu menderita penyakit thalassaemia,
adakah masalah-masalah yang timbul?
6. Masalah-masalah apa saja yang terjadi setelah ibu mengetahui anak
ibu menderita penyakit thalassaemia?
7. Menurut ibu dari masalah-masalah yang timbul karena anak ibu
menderita penyakit thalassaemia, masalah apaf<ah yang paling berat
bagi ibu?
8. Mengapa masalah yang timbul tersebut, menurut ibu paling berat?
9. Apal<ah masalah yang timbul tersebut menjadi tekanan bagi ibu?
10. Apa yang ibu rasakan dengan adanya masalah-masalah yan1~ timbul
karena anak ibu menderita penyakit thalassaemia?
11. Sejauh apa dampak masalah-masalah tersebut terhadap kehidupan
sehari-hari i bu?
14.Siapa orang tersebut? Dan mengapa ibu membicarakan masalah
masalah ibu kepadanya?apakah dengan ibu membicarakan masalah
masalah ibu kepadanya membuat ibu menjadi l1:ibih baik dari
sebelumnya?mengapa begitu?
15. Apakah ibu pernah mencari sisi baiknya dari masalah-masalah yang
ibu hadapi? sisi baik apa?
16.Apal<ah ibu pernah menolak untul< percaya bahwa hal ini terjadi pada
l<ehidupan anak ibu?
17. Mengapa ibu menolal< untuk percaya akan apa yang terjadi pada
kehidupan ibu?pada saat apa yang menyebabl<an ibu tidak percaya
hal tersebut terjadi pada kehidapan anak ibu?
18. Adal<ah usaha keagamaan yang ibu lakukan untuk. menghadapi
masalah-masalah yang timbul karena anak ibu menderita penyakit
thalassaemia?
19. Upaya keagamaan apa yang ibu Jakukan dalam m1enghadapi masalah
yang timbul karena anak ibu menderita penyakit
thalassaemia?mengapa ibu melakukan upaya kea!~aman tersebut?)
20. Bagaimana aktivitas keagaman ibu setelah mengalami semua ini?
21. Bagaimana harapan ibu bagi anak ibu dan kehidupan ibu kedepan?
Pemyataan Kesediaan
Na ma
TTL
Pekerjaan
Ala mat
Bersedia untuk diwawancarai dan memberikan keterangan sebenar-·
benarnya untuk keperluan pembuatan skripsi dengan judul "Perilaku
Coping lbu yang Mempunyai Anak menderita Thalasi1aemia" yang
disusun oleh Gina Hikmatur Redha (Mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta)
Wawancara ini berkaitan dengan aspek pengalaman tingkah laku,
keadaan psil<ologis, dan emosi ibu yang berkaitan dengan keadaan anak
yang menderita penyakit thalassaemia.
Adapun data pribadi saya dan hasil wawancara merupakan rahasia dan
semata-mata untuk keperluan skripsi ini. Apabila ditemukan data yang
masih kurang lengkap, saya bersedia untuk diwawancarai kembali.
Wasalam,
Jakarta, Juli 2008
Interviewee interviewer
(inisial) (Gina l-likmatur R)
lembar observasi
Subjek
Tempat
Tanggal
Jam
Catatan lapangan
: 1/2/3 (inisial)
s/d
1. keadaan tempat wawancara, cuaca, dan kehadiran pihak lain di sekitar
tempat wawancara
2. gambaran fisik dan penampilan subjel<
3. ringkasan sikap subjek selama berlangsungnya proses wawancara
(suara, intonasi, posisi tubuh, antusiasme, sikap k€,pada interviewer,
kontak mata , dan lain-lain)
4. gambaran dan hambatan selama wawancara
5. catatan khusus selama wawancara
PERNYATAAN KESEDIAAN
Nama
TTL
Pekerjaan
Alam at
: ~ \\JrA '>u ('() fo-t. i : )OW°'- I f;D -l:£c \1U..(\
: ~c<le;o Na~ v c\vl\ /
:J/0 lfende" IOdah 2
Bersedia untuk diwawancarai dan memberikan keterangan sebenar-benamya
untuk kepertuan pembuatan skripsi dengan judul "Perilaku Coping lbu yang
Mempunyai Anak menderita Thalassaemia" yang disusun oleh Gina
Hikmatur Redha (Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta)
Wawancara ini berkaitan dengan aspek pengalaman tingkal1 laku, keadaan
psikologis, dan emosi ibu yang berkaitan dengan keadaan anak yang
menderita penyakit thalassaemia.
Adapun data pribadi saya dan hasil wawancara merupakan rahasia dan
semata-mata untuk keperluan skripsi ini. Apabila ditemukan data yang masih
kurang lengkap, saya bersedia untuk diwawancarai kembali.
Wasalam,
Jakarta, Juli 2008
Interviewee interviewer
(inisial) (Gina Hikmatur R)
PERNYATAAN KESEDIAAN
Nama
TTL
: t,RiVA 1,AJAT1 Ct:FN) : \0 jut-J\ \Cjl {,
Pekerjaan
Alamat
?G"T\c c C)\)\U T~ \)1-
: jl j;t\-'1--AJA F0!2JJ\!:,-AY\/L! "--1 qi
Bersedia untuk diwawancarai dan memberikan keterangan sebenar-benamya
untuk keperluan pembuatan skripsi dengan judul "Perilaku Coping lbu yang
Mernpunyai Anak rnenderita Thalassaernia" yang disusun oleh Gina
Hikrnatur Redha (Mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta)
Wawancara ini berkaitan dengan aspek pengalaman tingkal1 laku, keadaan
psikologis, dan emosi ibu yang berkaitan dengan keadaan anak yang
menderita penyakit thalassaemia.
Adapun data pribadi saya dan hasil wawancara merupakan rahasia dan
semata-mata untuk keperluan skripsi ini. Apabila ditemukan data yang masih
kurang lengkap, saya bersedia untuk diwawancarai kembali.
Wasalam,
Jakarta, Juli 2008
Interviewee interviewer J
~MUtjz (inisial) (Gina Hikmatur R)
Lembar observasi
Subjek
Tempat
Tanggal
Jam
: 1 /2/3 (inisial)
Ll m0 J e v..-\2 ,?Jt;: 2ot~
: 0'6uos1d \3 L\S
Catalan lapangan
1. keadaan tempat wawancara, cuaca, dan kehadiran pihak lain di sekitar
tempat wawancara
2. gambaran fisik dan penampilan subjek
3. ringkasan sikap subjek selama berlangsungnya proses wawancara
(suara, intonasi, posisi tubuh, antusiasme, sikap kepada interviewer,
kontak mata , dan lain-lain)
4. gambaran dan hambatan selama wawancara
5. catatan khusus selama wawancara
YO.n0 t"nerooC]f::o_(' Se(:;cc<?JkC \VO.(\Cj <Y\GA"'Cl\\ "'--D Ci -'c V ee·uLr
p(>'-lCc.~ \(et' go... Jct()wcf dcu' L<cnw=<-1' rr1 ecf\ oi U.e ~ t, C 0<1. co..
cF \Cc.\\u\"\Cc!\ ckl'\'=-,Ct\"\ J.; te1Y"i'"-f'\ o.Occtcnc1 c\ LJCCl\"l
M'CW\ f\~1K \,ulo )e_\( : 1-1_\.\t,:_-'c 5C\w0 N\4,tC\fl'"J• .\:\c\o.(:\ -\::,n00; do,0 ~eclJ0.;·\
-'c Ol2f\<JC\.{\ ~loo\"--tt.o.\\ ,los+er co\:<:: lq_"'= P'-'+\\., , c~C\I\ 1"'e."a."'°'\"'\\e<._c'
\1
i L 'c•(\-cr•~ 1'C?.(\6C\f\ c\C{C,\<:'.Ckr . l'.J\..\ ru.1"11C\.h \:Glf\0:5c:t. \ui.\\\\c.Jc'- LXD-\.L.' 1e1G..i\o._-, ~ ~ ., '""'"'
cl:tpC\lcw(Yj!A., ronobu.-1-"yo. ()C\0j'«i1S> c\e>0 J' \"\ufl Ck 1l)a.. JdC\S, \:C10to...n0 .Tu U.tso:.0 1t'0czs j l\u1"\'JC1r\ 11\\-onci.h c,jctl\:::> -tor ~a.cl«11< J ['-..\:!\ , OOC'\ 1 • L ' .. h \ ' I k T h~ I • \ I \ >"' T•\O\.A\' c\'.01d0\'= S,C\r\-ta.i. cO..I'\ """°'-" cecG.I'"'-' l:.:;_cC\\'- 0-jQ\'Y)C<.(\,
IY\ Q.1\ ct(lO) Cj ci._('\
ltl\t<".r Ulewe r
WC\VV Cl\f\ (Cc( 0.. 'An00..1c C\.(\ ~~ 1,-:C{\; c\C\ (\ b er- h~o..p i{Q\. b(Aec_.CI
\cl\ '<10~ c\. \.el C\.\L.C VY\Q\\ 5 Su. (\e<.\=c.t1'°' le OI"\. \71.11. \'11C-\.:tc:\ c\ o,\\ f '2\ Ir qdq
vV t.\c,;r;c(\ CuSO... o 6Jc,1.,('.u.Ko.(\ d; ''~" ( () A/)(\ ('_.\()(J\C l A) I l>o..\C\'Y\
iVl\.IY8 '=""-"'1 \.,\ , GJ"'-"" "5 ·\C\.\' c\ci\: Jc>vf 1
<A.Jn"'-' on cc<Jo, <:'; J:A_(J te-OcAC\p oc.;>\ \-\a.n1l'.'t'I 'icW ',,,...