DISTRIBUSI PENDERITA RINITIS ALERGI DI POLI THT-KL RSUP ...
Transcript of DISTRIBUSI PENDERITA RINITIS ALERGI DI POLI THT-KL RSUP ...
1
Penelitian
DISTRIBUSI PENDERITA RINITIS ALERGI
DI POLI THT-KL RSUP SANGLAH DENPASAR TAHUN 2015
Oleh
I Made Sudipta
ABSTRAK
Tujuan : Untuk mengetahui distribusi penderita rinitis alergi yang datang ke poli
THT-KL RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2015.
Metode : Desain penelitian bersifat deskriptif dengan mengumpulkan data dari 80
pasien yang disangka menderita rinitis alergi kemudian menjalani tes cukit kulit
(Skin Prick Test) di poli THT-KL dari bulan Januari sampai dengan bulan
Desember 2015 sehingga didapatkan sampel penelitian. Pada penelitian dilakukan
tes cukit kulit menggunakan satu set alergen inhalan dan ingestan yang terdiri dari
empat belas macam alergen, termasuk di dalamnya kontrol positif (histamin) dan
kontrol negatif (buffer). Hasil positif pada tes cukit kulit adalah setiap diameter
bintul yang bernilai +3 dan +4 yang terjadi pada setiap alergen.
Hasil : Pola alergen berdasarkan umur, paling banyak dijumpai pada kelompok
umur 11-20 tahun dengan persentase 35,84%. Jenis kelamin laki-laki lebih
banyak ditemukan pada penderita rinitis alergi, yaitu sebanyak 28 penderita
dengan persentase yang mendekati seimbang yaitu 52,83% dibandingkan
persentase pada wanita sebesar 47,17%. Berdasarkan pekerjaan, didapatkan
penderita rinitis alergi paling banyak adalah pada pelajar, yaitu 20 penderita atau
sebesar 37,74%. Tungau debu rumah merupakan jenis alergen penyebab rinitis
2
alergi terbanyak yang ditemukan pada 31 penderita atau 58,49% dari total
penderita rinitis alergi. Berdasarkan sebaran jenis alergen penyebab rinitis alergi
dengan rentang umur, paling banyak ditemukan pada rentang umur 11-20 tahun
dengan sebaran yang sama antara debu rumah, serpihan kulit manusia dan tungau
debu rumah. Berdasarkan sebaran jenis alergen penyebab rinitis dengan jenis
pekerjaan didapatkan tertinggi pada pelajar dengan sebaran yang sama antara
serpihan kulit manusia dan tungau debu rumah masing-masing yang didapat pada
12 penderita.
Kesimpulan : Distribusi penderita rinitis alergi yang datang ke poli THT-KL
RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2015 yaitu terbanyak pada laki-laki dengan
rentang umur terbanyak di antara 11-20 tahun. Pelajar merupakan jenis pekerjaan
penderita rinitis alergi terbanyak dan alergen penyebab rinitis alergi terbanyak
adalah tungau debu rumah.
Kata kunci : rinitis alergi, tes cukit kulit, alergen.
3
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rinitis alergi adalah masalah kesehatan global. Lebih dari 500 juta
penduduk di dunia menderita penyakit ini karena dapat terjadi pada semua negara,
semua kelompok etnis maupun segala usia. Rinitis alergi dapat menyebabkan
gangguan tidur, gangguan pada aktivitas sehari-hari, gangguan bekerja serta dapat
meningkatkan keparahan asthma, sehingga hal ini secara langsung berpengaruh
pada kondisi sosial dan ekonomi penderita.1
Gejala rinitis alergi secara umum dapat mempengaruhi kesehatan
seseorang dan menurunkan kualitas hidup penderitanya. Penyakit ini bukan
penyakit fatal tapi dapat menganggu pekerjaan, konsentrasi dan kehidupan sehari-
hari. Selain pengobatannya yang relatif mahal, sifatnya yang sering mengalami
kekambuhan, dapat mengakibatkan keluhan yang bersifat sementara maupun
menetap. Diagnosis rinitis alergi dapat dengan mudah ditegakkan, namun dalam
beberapa kasus sering tidak terdiagnosis lebih awal, sehingga pasien datang
setelah timbulnya komplikasi. Hal ini sering disebabkan karena mereka tidak
merasakan gejala rinitis sebagai penyakit.2,3
Dilaporkan di seluruh dunia, rinitis alergi terjadi pada 10% sampai dengan
30% dari populasi, hal ini didukung oleh sebuah studi pada tahun 2012 yang
melaporkan sebanyak 9% atau 6,6 juta anak mengalami rinitis alergi. Prevalens
gejala rinitis dalam survei dari ISAAC (International Study Of Asthma And
Allergic In Childhood) bervariasi dari 0,8% sampai dengan 14,9% pada usia 6-7
tahun dan 1,4% sampai dengan 39,7% di usia 13-14 tahun.3,4
Di Indonesia, angka kejadian rinitis alergi yang pasti belum diketahui,
karena sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian multisenter.
Berdasarkan survei dari ISAAC (International Study Of Asthma And Allergic In
Childhood) pada siswa SMP umur 13-14 tahun di Semarang tahun 2001-2002,
prevalens rinitis alergi sebesar 18%. Penelitian Baratawidjaja dkk pada tahun 1990
di suatu daerah di Jakarta mendapatkan prevalens sebesar 23,7%, sedangkan
4
Madiadipoera dkk pada tahun 1991 di Bandung memperoleh prevalens sebesar
1,5%. Rinitis alergi biasa terjadi pada usia muda dengan prevalens yang sama
antara pria dan wanita. Riwayat keluarga dengan atopi mempunyai kecenderungan
terkena rinitis alergi lebih besar daripada yang tidak memiliki riwayat atopi.4-7
Dasar terapi dari penyakit rinitis alergi adalah dengan menghindari alergen
penyebab, untuk itu diperlukan pemeriksaan untuk mengetahui alergen spesifik
penyebab rinitis alergi sehingga dapat dihindari oleh pasien. Oleh karena itu
penulis terdorong untuk melakukan penelitian mini ini untuk mengetahui
distribusi penderita rinitis alergi alergi di Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah
Denpasar tahun 2015.
Permasalahan Penelitian
Bagaimana distribusi penderita rinitis alergi di Poliklinik THT-KL RSUP
Sanglah Denpasar tahun 2015.
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum :
Mengetahui distribusi penderita rinitis alergi pada pasien rawat jalan di
poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2015.
Tujuan Khusus :
a. Mengetahui distribusi penderita berdasarkan hasil tes cukit kulit.
b. Mengetahui distribusi penderita rinitis alergi berdasarkan kelompok umur.
c. Mengetahui distribusi penderita rinitis alergi berdasarkan jenis kelamin.
d. Mengetahui distribusi penderita rinitis alergi berdasarkan pekerjaan.
e. Mengetahui distribusi alergen berdasarkan hasil tes cukit kulit positif.
f. Mengetahui pola hasil tes cukit kulit berdasarkan kelompok umur.
g. Mengetahui pola hasil tes cukit kulit berdasarkan pekerjaan.
5
Manfaat Penelitian
a. Mengetahui distribusi penderita rinitis alergi yang datang ke poliklinik
THT-KL RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2015.
b. Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai referensi atau
pembanding untuk penelitian selanjutnya.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi dan Fisiologi Hidung
Anatomi Hidung
Hidung merupakan bagian wajah yang paling menonjol dan secara anatomi,
terbagi menjadi hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga hidung atau
kavum nasi. Struktur hidung luar dari atas ke bawah terdiri dari pangkal hidung
(nose bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi,
kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dilapisi oleh kerangka
tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot
kecil untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung.8
Gambar 1. Struktur tulang dan kartilago hidung8
Rongga hidung atau kavum nasi kanan dan kiri dipisahkan oleh septum
nasi di bagian tengah. Lubang masuk bagian depan disebut nares anterior dan
bagian belakang disebut nares posterior atau koana yang menghubungkan kavum
nasi dengan nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu
dinding medial, lateral, inferior dan posterior. Dinding medial terdiri dari septum
nasi. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu konka inferior, konka
7
media, konka superior dan konka suprema (biasanya rudimenter). Diantara konka-
konka dan dinding lateral terdapat rongga sempit yang disebut meatus.8
Gambar 2. Struktur anatomi hidung8
Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari tiga sumber utama yaitu
arteri etmoidalis anterior, arteri etmoidalis posterior dari arteri oftalmika dan arteri
sfenopalatina serta cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari
arteri karotis eksterna. Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari
cabang arteri maksilaris interna. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari
cabang-cabang arteri fasialis.8,9
Gambar 3. Sistem perdarahan hidung9
8
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri
sfenopalatina, arteri etmoidalis anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina
mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (little’s area). Vena hidung mempunyai
nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum
dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan
sinus kavernosus.8-10
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
nervus etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris yang
berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari
cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus.9
Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari
nervus maksilaris melalui ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum
selain memberi persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau
otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris
dari nervus maksilaris dan serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus.
9,10
Gambar 4. Sistem persarafan hidung.9
9
Fisiologi Hidung
Fungsi fisiologis dari hidung seperti menghangatkan, melembabkan dan
filtrasi berbagai partikel di udara merupakan fungsi saluran napas yang vital.
Hidung dengan jaringan erektil konka atau sinusoid dan septum berfungsi
membentuk aliran udara yang bervariasi dalam tahanan jalan napas serta mengatur
volume dan tekanan udara yang melewatinya. Pola aliran udara ini umumnya
membentuk suatu lengkungan di dekat konka media, dimana aliran turbulensi ini
akan mendukung fungsi filtrasi, melembabkan dan menghangatkan udara serta
mengatur tahanan jalan napas di hidung.9,10
Manusia dewasa menghirup kurang lebih 10 liter udara setiap harinya dan
tahanan jalan napas pada hidung berperan sebesar 50% dari tahanan jalan napas
pada manusia dewasa. Berbagai faktor, baik faktor lingkungan maupun faktor
intrinsik mempengaruhi tahanan jalan napas pada hidung. Aktivitas fisik seperti
berolahraga dan rinitis atrofi dapat menurunkan tahanan jalan napas hidung,
sedangkan kondisi seperti rinitis alergi, rinitis vasomotor, udara dingin, maupun
deviasi septum nasi sebaliknya akan meningkatkan tahanan jalan napas.9,10
Rinitis Alergi
Definisi rinitis alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan berulang dari
alergen spesifik tersebut. Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact
on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.11,12
Klasifikasi rinitis alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam dua macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) dan
rinitis alergi sepanjang tahun (perenial). Gejala keduanya hampir sama hanya
10
berbeda dalam sifat berlangsungnya. Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi
berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its
Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi
menjadi intermiten atau kadang-kadang (bila gejala kurang dari 4 hari dalam
seminggu atau kurang dari 4 minggu). Dan persisten/menetap (bila gejala lebih
dari 4 hari dalam seminggu dan atau lebih dari 4 minggu). Sedangkan untuk
tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi ringan bila tidak
ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga,
belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu, serta tingkat sedang atau berat
bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.8,10,11
Etiologi rinitis alergi
Rinitis alergi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien yang secara
genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara jelas memiliki
peran penting sebesar 20 – 30 % pada semua populasi dan 10 – 15 % pada anak
yang atopi. Apabila kedua orang tua atopi maka risiko atopi menjadi 4 kali lebih
besar atau mencapai 50 %.12,13
Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anak-anak.13
Inhalan Pollen,
Grasses
Weeds
Inhalan Debu rumah
Kutu debu
Kulit binatang
Bulu
Ingestan Tepung
Telur
Susu
Kacang
Rinitis
alergi
Seasonal
Rinitis
alergi
Perennial
Gambar 5. Alergen penyebab rinitis alergi14
11
Patofisiologi rinitis alergi.
Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang diawali oleh adanya proses
sensitisasi terhadap alergen sebelumnya. Melalui inhalasi partikel alergen akan
tertumpuk di mukosa hidung yang kemudian berdifusi pada jaringan hidung. Hal
ini menyebabkan Antigen Presenting Cell (APC) akan menangkap alergen yang
menempel tersebut. Antigen tersebut akan bergabung dengan HLA kelas II
membentuk suatu kompleks molekul MHC (Major Histocompability Complex)
kelas II. Kompleks molekul ini akan dipresentasikan terhadap sel T helper (Th 0).
Th 0 ini akan diaktifkan oleh sitokin yang dilepaskan oleh APC menjadi Th1 dan
Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9, IL10,
IL13 dan lainnya. IL4 dan IL13 dapat diikat reseptornya di permukaan sel limfosit
B, sehingga sel B menjadi aktif dan memproduksi IgE. IgE yang bersirkulasi
dalam darah ini akan terikat dengan sel mast dan basofil yang mana kedua sel ini
merupakan sel mediator. Adanya IgE yang terikat ini menyebabkan teraktifasinya
kedua sel tersebut.9,11
1. Reaksi Alergi Fase Cepat 9,11,13
Reaksi cepat terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak
kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan
pada fase ini yaitu histamin, triptase dan mediator lain seperti leukotrien,
prostaglandin (PGD2) dan bradikinin. Mediator-mediator tersebut
menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh darah dan dilatasi dari
anastomosis arteriovenula hidung yang menyebabkan terjadinya edema.
Terkumpulnya darah pada kavernosus sinusoid dengan gejala klinis
berupa hidung tersumbat dan oklusi dari saluran hidung. Rangsangan
terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet menyebabkan hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Rangsangan
pada ujung saraf sensoris (n.vidianus) menyebabkan rasa gatal pada
hidung dan bersin-bersin.
2. Reaksi Alergi Fase Lambat.9,11,13
Reaksi alergi fase cepat terjadi setelah 4-8 jam setelah fase cepat. Reaksi
ini disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi
12
terhadap sel endotel post kapiler yang akan menghasilkan suatu Vascular
Cell Adhesion Mollecule (VCAM) dimana molekul ini menyebabkan sel
leukosit seperti eosinofil menempel pada sel endotel. Faktor kemotaktik
seperti IL5 menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast, limfosit,
basofil, neutrofil dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel ini
kemudian menjadi teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinophilic Derived Protein
(EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO)
yang menyebabkan gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih
didominasi oleh sumbatan hidung.
Antigen
Antigen adalah zat yang dapat memicu respon imun yang menyebabkan
produksi antibodi sebagai bagian dari pertahanan tubuh terhadap infeksi dan
penyakit. Antigen dapat merupakan zat asing dari lingkungan seperti bahan
kimia, bakteri, virus dan serbuk sari atau dapat juga terbentuk dari dalam
tubuh, seperti toksin bakteri dan sel-sel jaringan.11,12
Gejala klinik rinitis alergi
Gejala rinitis alergi yang khas yaitu serangan bersin berulang. Pada
dasarnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila
terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
dianggap patologis bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan sebagai akibat
dilepaskannya histamin. Gejala lain seperti keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, kadang-kadang dapat disertai
dengan banyak keluar air mata atau hiperlakrimasi.13.15
13
Gambar 6. Anatomi hidung pada keadaan normal dan rinitis alergi.12
Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.
Tanda pada hidung terdapat garis melintang pada dorsum nasi akibat sering
menggosok-gosok hidung ke atas (allergic salute), pucat dan udem pada mukosa
hidung sampai tampak kebiruan. Lubang hidung bengkak disertai dengan sekret
mukoid atau cair. Tanda pada mata termasuk edema kelopak mata, kongesti
konjungtiva dan garis hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga
termasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai tanda dari
adanya sumbatan pada tuba Eustachius. Tanda pada faring tampak faringitis
granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda pada laring
terdapat suara serak dan edema pita suara. Gejala lain yang tidak khas dapat
berupa batuk, sakit kepala, gangguan penciuman, mengi, nyeri wajah dan post
nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah, lesu, mudah marah,
kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.12,15,16
Diagnosis rinitis alergi
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis yang baik, karena
sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis
dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang
encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
14
disertai dengan banyak keluar air mata atau hiperlakrimasi. Kadang-kadang
keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala
yang dikeluhkan oleh pasien. Perlu ditanyakan pola gejala seperti apakah keluhan
hilang timbul atau menetap beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor
predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi
rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan.6,11,13
Pemeriksaan fisik biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan, allergic shinner
dan allergic crease. Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung
basah, berwarna pucat atau livid dengan konka udem, sekret yang encer dan
banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat
memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu dapat pula ditemukan
konjungtivis bilateral atau penyakit lain yang berhubungan seperti sinusitis dan
otitis media.11,13
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ada 2 cara yaitu:
1. Secara in vitro dengan menghitung eosinofil dalam darah tepi didapatkan
nilai normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (Prist-
Paper Radio Imunosorbent Test) sering kali menunjukkan nilai normal,
kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau
urtikaria.11,13
2. Secara in vivo yaitu alergen penyebab dapat dicari dengan cara
pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal
atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan untuk
alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai tingkatan
konsentrasi atau kepekatannya. Keuntungan SET selain alergen penyebab
juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat
diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari
tubuh dalam waktu lima hari, karena itu pada Challenge Test makanan
15
yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari,
selanjutnya diamati reaksinya.11-15
Tes cukit kulit ( Skin Prick Test).
a. Definisi tes cukit kulit
Tes cukit kulit adalah salah satu jenis tes kulit sebagai alat diagnosis yang
banyak digunakan oleh para klinisi untuk membuktikan adanya IgE spesifik
yang terikat pada sel mastosit kulit. Terikatnya IgE pada mastosit ini
menyebabkan keluarnya histamin dan mediator lainnya yang dapat
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah
akibatnya timbul kemerahan (flare) dan bentol (wheal) pada kulit
tersebut.15,16
b. Kelebihan tes cukit kulit
Kelebihan tes cukit kulit dibanding tes kulit yang lain adalah zat
pembawanya adalah gliserin maka lebih stabil jika dibandingkan dengan zat
pembawa berupa air. Sedangkan kelebihan yang lain yaitu mudah
dilaksanakan dan bisa diulang bila perlu. Tidak terlalu sakit dibandingkan
suntik intradermal. Resiko terjadinya alergi sistemik sangat kecil, karena
volume yang masuk ke kulit sangat kecil. Pada pasien yang memiliki alergi
terhadap banyak alergen tes ini mampu dilaksanakan kurang dari 1 jam.15,16
c. Tujuan tes cukit kulit
Tujuan tes cukit kulit pada alergi adalah untuk menentukan macam
alergen, sehingga di kemudian hari alergen tersebut bisa dihindari dan juga
untuk menentukan dasar pemberian imunoterapi.15,16
d. Indikasi tes cukit kulit.
Indikasi tes cukit kulit antara lain pada rinitis alergi dengan gejala yang
tidak dapat dikontrol dengan medikamentosa sehingga perlu dipastikan jenis
alergennya, asma yang persisten pada penderita yang terpapar alergen
(perenial), kecurigaan alergi terhadap makanan untuk mengetahui makanan
yang menimbulkan reaksi alergi sehingga bisa dihindari dan reaksi alergi
yang dicurigai karena sengatan serangga.6,8,11
16
e. Persiapan tes cukit kulit.8,11-13
- Jelaskan apa yang akan dilakukan pada penderita dan tujuannya.
- Pastikan penderita tidak mengkonsumsi obat atau makanan yang
mempunyai efek anti alergi seperti antihistamin minimal dalam 72 jam dan
steroid sistemik dalam 2 minggu.
- Periksa tekanan darah sebelum tes alergi untuk membandingkan jika
sewaktu-waktu terjadi reaksi sistemik.
- Pastikan tidak mengalami serangan alergi berat 24 jam sebelumnya seperti
asma bronkhial.
- Sediakan spuit 1 cc dan epineprin ampul.
- Jelaskan kemungkinan timbul tanda dan gejala reaksi alergi sistemik dari
yang ringan sampai yang berat selama tes alergi
- Tanda tangan surat persetujuan tindakan.
- Desinfeksi daerah lokasi tes kulit yaitu bagian volar lengan bawah.
f. Prosedur Tes Cukit.11,13
- Teteskan larutan kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (bufer
fosfat), biasakan untuk histamin sebelah radial dan bufer sisi ulnar
dengan jarak minimal 2 jari.
- Tusuk dengan jarum disposible ukuran no 26 G atau lanset sedalam
lapisan epikutan, dicukit tepat ditempat tetesan, jangan sampai berdarah.
Reaksi ditunggu selama 5-10 menit. Jika sudah terbentuk bentol merah
minimal diameter 3 mm pada tempat histamin dan tidak terbentuk pada
bufer atau maksimal diameter bentol 1 mm maka dilanjutkan dengan
penetesan alergen yang akan diperiksa. Biasakan selalu mulai dari
proksimal sisi radial ke distal dengan jarak kurang lebih 1 jari, kemudian
naik ke sisi ulnar. Reaksi tes kulit dibaca 10-15 menit.
- Penilaian hasil dibandingkan dengan reaksi histamin pada masing-masing
penderita. Hasil tes kulit dianggap positip jika terjadi bentol pada alergen
sedikitnya sama dengan bentol dari reaksi histamin.
- Jika gejala sangat mendukung tetapi tes kulit hasil lebih kecil dari
histamin atau diameter bentol < 3 mm dapat diulang atau dilanjutkan
17
dengan tes kulit intrakutan atau pemeriksaan penunjang lain seperti
pemeriksaan IgE dan eosinofil sekret hidung.
- Perhatikan selama tes kulit kemungkinan terjadi reaksi alergi sistemik
dengan gejala pasien tiba-tiba mengeluh lemas, mual, seperti mau pingsan
atau penderita tampak pucat. Bila terdapat gejala tersebut penderita
diminta segera lapor. Pada kondisi tersebut dapat dilakukan tindakan
dengan menidurkan penderita tanpa bantal, periksa tensi dan nadi. Bila ada
gejala shok suntikan epineprin 0.2cc subkutan atau intramuskular.
Perhatikan denyut nadi, tensi dan pernapasan dalam 5 menit. Jika belum
ada perbaikan dapat ulangi epineprin setelah 10 menit diikuti pemberian
steroid intramuskular dan pasang infus.
g. Mekanisme Reaksi pada Skin Test.11,13
Dibawah permukaan kulit terdapat sel mast dimana terdapat granula-granula
yang berisi histamin. Sel mast ini juga memiliki reseptor yang berikatan
dengan IgE. Ketika lengan IgE ini mengenali alergen misalnya house dust
mite, maka sel mast terpicu untuk melepaskan granula-granulanya ke jaringan
setempat sehingga timbul reaksi alergi berupa bentol (wheal) dan kemerahan
(flare).
A B C
Gambar 7. A. Cara menandai ekstrak alergen yang diteteskan pada lengan
15
B. Sudut melakukan cukit pada kulit dengan lancet
C. Contoh reaksi hasil positif pada tes cukit
18
h. Kesalahan tes cukit kulit.
Kesalahan yang sering terjadi pada tes cukit kulit adalah tes dilakukan
pada jarak yang sangat berdekatan yaitu < 2 cm, terjadi perdarahan yang
memungkinkan terjadi false positive, teknik cukitan yang kurang benar
sehingga penetrasi ekstrak ke kulit kurang memungkinkan terjadinya false-
negative dan penguapan sehingga memudarnya larutan alergen selama tes.
i. Faktor-faktor yang mempengaruhi tes cukit kulit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tes cukit kulit yaitu; area tubuh tempat
dilakukannya tes, umur, jenis kelamin, ras, irama sirkardian, musim, penyakit
yang diderita dan obat-obatan yang dikonsumsi.
j. Interpretasi tes cukit kulit.
Penilaiannya dengan pengukuran ukuran bentol dilakukan berdasarkan The
Standardization Committee of Northern (Scandinavian) Society of
Allergology dengan membandingkan bentol yang timbul akibat alergen
dengan bentol positif histamin dan bentol negatif larutan kontrol. Adapun
penilaiannya sebagai berikut: 11,12
- Bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)
- Bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)
- Derajat bentol + (+1) dan ++ (+2) digunakan bila bentol yang timbul
besarnya antara bentol histamin dan larutan kontrol.
- Untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bentol
histamin dinilai ++++ (+4).
Di Amerika cara menilai ukuran bentol menurut Bousquet (2001) adalah
sebagai berikut :6,15
- 0 : reaksi (-)
- 1+ : diameter bentol 1 mm > dari kontrol (-)
- 2+ : diameter bentol 1-3mm> dari kontrol (-)
- 3+ : diameter bentol 3-5 mm > dari kontrol (-)
- 4+ : diameter bentol 5 mm > dari kontrol (-) disertai eritema.
19
Tes cukit kulit dapat memberikan hasil positif palsu maupun negatif palsu
karena teknik yang kurang baik. Histamin (kontrol positif) tidak menunjukkan
gambaran bentol (wheal) atau hiperemi (flare) maka interpretasi harus
dipertanyakan, apakah karena sedang mengkonsumsi obat-obat anti alergi berupa
anti histamin, steroid dan tricyclic antidepresan seperti phenothiazine yang sejenis
dengan anti histamin. Hasil negatif palsu dapat disebabkan karena kualitas dan
potensi alergen yang buruk, pengaruh obat yang dapat mempengaruhi reaksi
alergi, penyakit-penyakit tertentu, penurunan reaktivitas kulit pada bayi dan orang
tua, teknik cukitan yang salah seperti tidak ada cukitan atau cukitan yang lemah.
Bentol terhadap histamin atau alergen mencapai puncak pada sore hari
dibandingkan pada pagi hari tetapi perbedaan ini sangat minimal.6,15
Hasil positif palsu disebabkan karena dermografisme, reaksi iritan, reaksi
penyangat non spesifik dari reaksi kuat alergen yang berdekatan, atau perdarahan
akibat cukitan yang terlalu dalam. Dermografisme terjadi pada seseorang yang
apabila hanya dengan penekanan saja bisa menimbulkan bentol (wheal) dan
kemerahan (flare). Dalam rangka mengetahui ada tidaknya dermografisme ini
maka kita menggunakan larutan garam sebagai kontrol negatif. Jika Larutan
garam memberikan reaksi positif maka disebut dermografisme.6,15
Semakin besar bentol maka semakin besar sensitifitas terhadap alergen
tersebut, namun tidak selalu menggambarkan beratnya gejala klinis yang
ditimbulkan. Pada reaksi positif biasanya rasa gatal masih berlanjut 30-60 menit
setelah tes. Tes cukit kulit untuk alergen makanan kurang dapat diandalkan
kesahihannya dibandingkan alergen inhalan seperti debu rumah dan polen. Tes
cukit kulit untuk alergen makanan seringkali negatif palsu.6,15
Penatalaksanaan rinitis alergi
Secara garis besar penatalaksanaan rinitis terdiri dari tiga cara yaitu
menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi dan
imunoterapi. Sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi
komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung.12,14
20
Terapi rinitis alergi umumnya berdasarkan tahap-tahap reaksi alergi yaitu
tahap terjadinya kontak antara alergen dengan kulit atau mukosa hidung, di terapi
dengan penghindaran terhadap alergen penyebab. Tahap penetrasi alergen ke
dalam jaringan subkutan atau submukosa menuju IgE pada permukaan sel mast
atau basofil, di terapi secara kompetitif dengan imunoterapi. Tahapan ikatan Ag-
IgE di permukaan mastosit atau basofil sebagai akibat lebih lanjut reaksi Ag-IgE,
dimana dilepaskan histamin sebagai mediator, dinetralisir dengan obat–obatan
antihistamin yang secara kompetitif memperebutkan reseptor H1 dengan histamin.
Tahap manifestasi klinis dalam organ target ditandai dengan timbulnya gejala
rinitis alergi, dapat diterapi dengan obat-obatan dekongestan sistematik atau
lokal.6,12
Pada dasarnya pencegahan penyakit alergi dapat dibagi menjadi tiga tahap
yaitu pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini
terhadap alergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang
mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil diberikan diet restriksi makanan tanpa
susu, ikan laut dan kacang, mulai trimester 3 dan selama menyusui. Bayi
mendapat ASI eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol lingkungan
dilakukan untuk mencegah paparan terhadap alergen inhalan dan polutan.6,12
Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak
berupa asma dan pilek. Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan
derajat beratnya penyakit alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan.12
Komplikasi rinitis alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah polip hidung, otitis media yang
sering residif terutama pada anak-anak dan sinusitis paranasal yang merupakan
inflamasi pada satu atau lebih mukosa sinus paranasal yang dapat terjadi karena
udema ostium sinus oleh proses alergi dalam mukosa sehingga menyebabkan
sumbatan ostium.15
21
BAB III
METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan mengumpulkan data dari semua
penderita rinitis alergi yang menjalani tes cukit di poli THT-KL RSUP
Sanglah Denpasar.
Tempat Dan Waktu Penelitian
Pengambilan sampel dan pengerjaan tes cukit kulit dilakukan di poliklinik
THT-KL RSUP Sanglah Denpasar dari Januari sampai dengan Desember
2015.
Populasi Dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah semua penderita yang diduga menderita rinitis
alergi yang datang ke poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar.
Sampel Penelitian adalah bagian dari populasi penelitian yang memenuhi
kreteria inklusi.
Kreteria inklusi :
a. Penderita yang mempunyai gejala rinitis alergi.
b. Mengikuti tes cukit kulit.
c. Bebas obat anti alergi selama 5 hari.
d. Tes cukit kulit positif adalah setiap diameter bintul +3 dan +4
yang terjadi pada setiap alergen.
Kreteria eksklusi :
a. Tes cukit kulit negatif adalah setiap diameter bintul +1 dan
+2 yang terjadi pada setiap alergen.
b. Penderita yang tidak mengikuti tes cukit kulit.
22
Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dengan cara berurutan yaitu setiap pasien yang
memenuhi kreteria inklusi yang datang ke poliklinik THT-KL RSUP
Sanglah Denpasar.
Kerangka Konsepsional
Batasan Operasional
a. Rinitis alergi secara klinis didefinisikan sebagai gangguan fungsi hidung
yang timbul karena paparan alergen baik melalui inhalan atau ingestan.
b. Alergen adalah substansi antigenik yang dapat menyebabkan reaksi
hipersensitivitas yang cepat (alergi). Pada penelitian ini dipakai satu set
alergen yang terdiri dari 7 alergen inhalan, 7 alergen ingestan termasuk
kontrol posistif (histamin) dan kontrol negatif (buffer).
c. Tes Cukit Kulit merupakan suatu tes alergi dengan menggunakan ekstrak
alergen, respon posistif dapat berarti suatu keadaan hipersensitifitas yang
sangat tinggi, nilai tes ini memiliki sensitifitas dan spesifitas yang baik
terhadap IgE RAST.
d. Umur dihitung dalam tahun menurut ulang tahun terakhir, perhitungannya
berdasarkan kalender Masehi.
e. Jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan.
f. Pekerjaan yaitu jenis pekerjaan utama yang dimiliki setiap sampel
penelitian.
Jenis Alergen Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Alergen Rinitis Alergi Tes Cukit Kulit Positip
23
Kerangka Kerja
Analisis Data
Semua data yang diperoleh disusun dalam bentuk tabel.
Jenis Alergen
Tes Cukit Kulit
Pasien disangka Rinitis Alergi
Pasien THT ;
• Anamnesis
• Pemeriksaan THT
Tes Cukit Kulit (+) Tes Cukit Kulit (-)
24
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di poliklinik THT-KL RSUP Sanglah Denpasar
dari bulan Januari sampai dengan bulan Desember 2015. Terdapat 80 orang yang
disangka menderita rinitis alergi kemudian menjalani tes cukit kulit, sehingga
pada akhirya akan didapatkan sampel yang sesuai dengan kriteria sampel
penelitian.
Tabel 1. Hasil pemeriksaan tes cukit kulit terhadap penderita terduga rinitis alergi
Hasil Pemeriksaan Jumlah %
Tes cukit kulit positif
Tes cukit kulit negatif
53
27
66,25
33,75
Pada tabel 1 didapatkan dari 80 penderita rinitis alergi yang menjalani tes
cukit kulit, sebanyak 53 penderita (66,25%) didapatkan dengan hasil tes cukit
kulit positif
Tabel 2. Penderita rinitis alergi dengan tes cukit kulit positif berdasarkan umur
Umur Jumlah %
1-10 3 5,67
11-20 19 35,84
21-30 10 18,86
31-40 9 16,98
41-50 6 11,32
51-60 3 5,67
61-70 3 5,67
Jumlah 53 100
25
Dari tabel 2 didapatkan penderita rinitis alergi paling banyak dijumpai
pada kelompok umur 11-20 tahun, yaitu sebanyak 19 penderita (35,84%) dan
yang paling sedikit dijumpai pada kelompok umur 1-10 tahun, 51-60 tahun serta
61-70 tahun dengan persentase masing-masing sebesar 5,67%.
Tabel 3. Penderita rinitis alergi dengan hasil tes cukit kulit positif berdasarkan
jenis kelamin
Jenis Kelamin Jumlah %
Pria
Wanita
28
25
52,83
47,17
Jumlah 53 100
Dari tabel 3 didapat sampel penelitian penderita rinitis alergi lebih banyak
ditemukan jenis kelamin pria, yaitu sebanyak 28 penderita dengan persentase yang
mendekati seimbang sebesar 52,83% dibandingkan persentase pada wanita
sebesar 47,17%.
Tabel 4. Penderita rinitis alergi berdasarkan jenis pekerjaan
Pekerjaan JUMLAH %
Pegawai Negeri (PNS) 8 15,09
Karyawan swasta 13 24,53
Wiraswasta 6 11,32
Pelajar 20 37,74
Ibu Rumah Tangga (IRT) 6 11,32
Jumlah 53 100
Dari tabel 4. didapatkan penderita rinitis alergi paling banyak pada pelajar
sebanyak 20 penderita (37,74%) dan paling sedikit pada wiraswasta serta ibu
rumah tangga masing- masing sebanyak 6 penderita (11,32%).
26
Tabel 5. Jenis alergen berdasarkan hasil Tes Cukit Kulit
Alergen Jumlah Penderita
Debu rumah 28
Serpihan kulit manusia 28
Tungau debu rumah 31
Serpihan kulit kucing 6
Serpihan kulit anjing 4
Serpihan kulit ayam 2
Kecoa 10
Bandeng 2
Udang 13
Kakap 5
Kepiting 25
Putih telur 0
Kuning telur 0
Ayam 0
Dari tabel 5. didapatkan jenis alergen penyebab rinitis alergi paling banyak
adalah tungau debu rumah sebanyak 31 penderita atau 58,49% dari total sampel
dan yang paling sedikit atau tidak ada yaitu putih telur, kuning telur dan ayam.
27
Tabel 6. Jenis alergen pada penderita rinitis alergi berdasarkan kelompok umur
Alergen Kelompok Umur
1-10 11-20 21-30 31-40 41-50 51-60 61-70
Debu rumah 2 12 3 5 5 2 0
Serpihan klt manusia 1 12 5 5 2 2 0
Tungau debu rumah 1 12 6 6 2 2 2
Serpihan kulit kucing 0 1 1 4 0 0 0
Serpihan kulit anjing 0 2 2 0 0 0 0
Serpihan kulit ayam 1 1 0 0 0 0 0
Kecoa 2 6 3 0 0 0 1
Bandeng 0 1 0 1 0 0 0
Udang 0 6 5 1 1 0 0
Kakap 0 2 2 1 0 0 0
Kepiting 4 11 7 3 1 1 0
Putih telur 0 0 0 0 0 0 0
Kuning telur 0 0 0 0 0 0 0
Ayam 0 0 0 0 0 0 0
Dari tabel 6 didapatkan bahwa sebaran jenis alergen penyebab rinitis alergi
paling banyak ditemukan pada rentang umur 11-20 tahun dengan sebaran yang
sama antara debu rumah, serpihan kulit manusia dan tungau debu rumah masing-
masing terdapat pada 12 penderita.
28
Tabel 7 Jenis alergen pada penderita rinitis alergi berdasarkan jenis pekerjaan
Alergen
Jenis pekerjaan
IRT PNS Pegawai
Swasta
Wira
swasta
Pelajar
Debu rumah 4 3 7 2 11
Serpihan kulit manusia 4 2 6 3 12
Tungau debu rumah 3 5 8 3 12
Serpihan kulit kucing 1 0 2 2 1
Serpihan kulit anjing 0 1 1 0 2
Serpihan kulit ayam 0 0 0 0 1
Kecoa 0 1 1 1 7
Bandeng 1 0 0 0 2
Udang 1 1 4 0 6
Kakap 1 1 0 0 3
Kepiting 3 1 6 1 10
Putih telur 0 0 0 0 0
Kuning telur 0 0 0 0 0
Ayam 0 0 0 0 0
Dari tabel 7 didapatkan bahwa sebaran jenis alergen penyebab rinitis alergi
paling banyak ditemukan pada pelajar dengan sebaran yang sama antara serpihan
kulit manusia dan tungau debu rumah masing-masing terdapat pada 12 penderita.
29
BAB IV
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui distribusi penderita rinitis alergi
di poli THT-KL RSUP Sanglah Denpasar tahun 2015. Penelitian ini dilakukan
sejak bulan Januari sampai dengan Desember 2015. Dari 80 penderita rinitis alergi
yang menjalani tes cukit kulit, didapatkan 53 orang penderita dengan hasil tes
cukit kulit positif dan yang terdiri dari 28 pria dan 25 wanita. Pemilihan kreteria
umur diatas 1 tahun, karena pada umur tersebut sudah menunjukan gejala-gejala
alergi.
Dari tabel 2 didapatkan penderita rinitis alergi paling banyak dijumpai
pada kelompok umur 11-20 tahun, yaitu sebanyak 19 penderita (35,84%).
Persentase terkecil dijumpai pada kelompok umur 1-10 tahun, 51-60 tahun dan
61-70 tahun dengan persentase masing-masing sebesar 5,67%. Hal ini sesuai
dengan penelitian oleh Rezkiawan di Jambi pada tahun 2012 dengan angka
kejadian rinitis alergi berdasarkan umur dengan persentase tertinggi sebesar
44.9% pada responden berumur 16-21 tahun dan didukung oleh penelitian Denny
S.U di RSUP. Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2010 dengan persentase tertinggi
sebesar 44,6% pada usia 16 tahun. Berbeda dengan hasil penelitian di atas, oleh
Novitasari dkk, di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado pada tahun 2009
mendapatkan prevalensi rinitis alergi tertinggi pada usia 51-60 tahun dengan
persentase sebesar 27,94%.16,17,18
Dari tabel 3 didapat sampel penelitian penderita rinitis alergi lebih banyak
ditemukan jenis kelamin pria, yaitu sebanyak 28 penderita dengan persentase yang
mendekati seimbang sebesar 52,83% dibandingkan persentase pada wanita
sebesar 47,17%. Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Harsono dkk, di Divisi
Alergi-Imunologi FK UI/RSCM Jakarta tahun 2012 dan Soewito pada tahun 2006
di Makasar dengan persentase penderita rinitis alergi pada laki-laki lebih tinggi
dari perempuan. Hasil yang berbeda didapatkan oleh Novitasari dkk, di Manado
pada tahun 2009, Reinhard pada tahun 2013 dan Khan dkk, di India dengan
persentase penderita perempuan lebih tinggi dari laki-laki.18,19,20,21,22
30
Dari tabel 4. didapatkan penderita rinitis alergi paling banyak pada pelajar
sebanyak 20 penderita (37,74%) dan paling sedikit pada wiraswasta serta ibu
rumah tangga masing- masing sebanyak 6 penderita (11,32%). Hal ini sesuai
dengan penelitian oleh Reinhard di Manado pada tahun 2013, mendapatkan
distribusi pekerjaan penderita rinitis alergi terbanyak adalah pelajar dengan
persentase kasus sebesar 38,5% dan terendah pada ibu rumah tangga dengan
persentase sebesar 3,8%. Pada beberapa penelitian lainnya didapatkan variasi hasil
karakteristik penderita rinitis berdasarkan pekerjaan seperti Novitasari dkk, di
Manado mendapatkan pekerjaan PNS sebagai persentase tertinggi dan penelitian
oleh Lumbanraja dengan persentase kasus tertinggi pada ibu rumah tangga
(IRT).18,22,23
Dari tabel 5. didapatkan jenis alergen penyebab rinitis alergi paling banyak
adalah tungau debu rumah sebanyak 31 penderita (58,49%) dan yang paling
sedikit atau tidak ada yaitu putih telur, kuning telur dan ayam. Hal ini sesuai
dengan penelitian Rahmawati dkk pada unit rawat jalan Alergi Imunologi THT
RS dr Wahidin Sudirohusodo Makassar tahun 2007 yang melaporkan jenis alergen
inhalan positif yang terbanyak yaitu debu rumah sebesar (60%) dan tungau debu
rumah (75%). Alimah Y dalam penelitiannya di Makassar melaporkan jenis
alergen yang paling banyak positif pada tes cukit kulit adalah debu rumah
(77,27%) dan tungau debu rumah (54,55%). Ganung dkk, pada penelitiannya di
RS Cipto Jakarta dengan melakukan tes cukit kulit pada alergen udara dan
makanan didapatkan persentase tungau debu rumah sebesar 36%, serpihan kulit
anjing 30%, debu rumah 24%, udang sebesar 40%, kuning telur 24%, putih telur
12% dan kepiting 8%.19,24,25
Dari tabel 6 didapatkan bahwa sebaran jenis alergen penyebab rinitis alergi
paling banyak ditemukan pada rentang umur 11-20 tahun dengan sebaran yang
sama antara debu rumah, serpihan kulit manusia dan tungau debu rumah masing-
masing terdapat pada 12 penderita. Hasil penelitian oleh Lumbanraja pada tahun
2008 menemukan kasus rinitis alergi terbanyak pada kelompok umur 21-30 tahun
dengan kecoa sebagai alergen terbanyak yaitu 14 kasus (22,58%).23
31
Dari tabel 7 didapatkan bahwa sebaran jenis alergen penyebab rinitis alergi
paling banyak ditemukan pada pelajar dengan sebaran yang sama antara serpihan
kulit manusia dan tungau debu rumah masing-masing terdapat pada 12 penderita.
Pada beberapa penelitian, tidak ada hasil yang seragam mengenai sebaran alergen
penyebab rinitis alergi dan jenis pekerjaan.
Hasil tes cukit kulit positip mengindikasikan bahwa didalam tubuh
penderita sudah dihasilkan antibodi IgE terhadap alergen spesifik yang berarti
sudah terjadi proses pengenalan antara antigen spesifik dengan antibodi atau
sudah terjadi proses sensitisasi. Hasil tes cukit kulit yang negatip pada penelitian
ini selain menunjukkan belum terjadi proses sensitisasi pada tubuh penderita,
tetapi juga menunjukan kemungkinan alergen yang tersensitisasi pada tubuh
penderita bukanlah alergen yang berasal dari 12 jenis alergen yang digunakan
pada tes cukit kulit dalam penelitian ini.1113,14
32
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Pola alergen berdasarkan umur didapatkan paling banyak dijumpai pada
kelompok umur 11-20 tahun dengan persentase 35,84%.
2. Jenis kelamin laki-laki lebih banyak ditemukan menderita rinitis alergi,
yaitu sebanyak 28 penderita, dengan persentase yang mendekati seimbang
yaitu 52,83% dibandingkan persentase pada wanita sebesar 47,17%.
3. Berdasarkan pekerjaan, didapatkan penderita rinitis alergi paling banyak
pada pelajar, yaitu 20 penderita atau sebesar 37,74%.
4. Tungau debu rumah merupakan jenis alergen penyebab rinitis alergi
terbanyak yang ditemukan pada 31 penderita dengan persentase 58,49%.
5. Berdasarkan sebaran jenis alergen penyebab rinitis alergi dengan rentang
umur, paling banyak ditemukan pada rentang umur 11-20 tahun dengan
sebaran yang sama antara debu rumah, serpihan kulit manusia dan tungau
debu rumah.
6. Berdasarkan sebaran jenis alergen penyebab rinitis dengan jenis pekerjaan,
didapatkan tertinggi pada pelajar dengan sebaran yang sama antara
serpihan kulit manusia dan tungau debu rumah masing-masing yang
didapat pada 12 penderita
Saran
1. Mengoptimalkan cara pemeriksaan invivo seperti tes cukit kulit, tes
provokasi hidung dan invitro seperti pemeriksaan morfologi, pemeriksaan
Ig E, pemeriksaan IgE spesifik atau RAST dan modifikasi dari RAST
untuk menegakkan diagnosa rinitis alergi.
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan atau multisenter dengan jumlah sampel
lebih banyak sebagai standarisasi alergen yang lebih spesifik di indonesia.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Bosquet et al. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma In : World
Health Organization Initiative Management of Alergic Rhinitis and its
Impact on Asthma ( ARIA):WHO;3-7.2000
2. Gerhard. G. Allergy and Immunology. American Academy Of Allergy
Asthma And Immunology. New York. 2015. Available at URL
http://www.aaaai.org. Accsess on 28 December 2015
3. Sibald B. Epidemiology of Seasonal and Perennial Rhinitis. Clinical
Presentation and Medical Hystory. World Allergy Organisation. America.
2015. Available at www.worldallergy.org. Accsess on 28 December 2015
4. Lumbanraja P. Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi Di
Departemen THT-KL USU RS. Adam Malik Medan. Indonesia. :FK USU;
2007.
5. Probs Rudolf, Greves Gerhard. Basic Otolarhingology. New York. 2006.
hal.50-53
6. Madiadipoera T. Diagnosis Rinitis Alergi, Dalam: Kumpulan Naskah
Ilmiah Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunana Dokter Spesialis Telinga
Hidung Tenggorok Indonesia. Batu Malang. 1996. hal 79
7. DanandjajaS. Nasacort. What Makes the Difference. A Pharmacological
Review. Dalam : Kumpulan Makalah Symposium “Current and Future
Approach in Treatment of Allergic Rhinitis”. Bagian THT FK UI/RSCM.
Jakarta. hal 1-5
8. Ballenger JJ. Anatomy And Physiology Of The Nose And Paranasal
Sinuses. In: Ballenger’s Otorhinolaryngology Head And Neck Surgery.
6th ed. Hamilton: BC Decker Inc; 2003. hal.547-60.
9. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR,1994, Clinical Aspects of Diseases of
the Nose, Sinuses and Faes, In : Bbuckingham RA, ed Ear, Nose and
Throat Diseases. A Pocket Reference. Second Revised Edition. New York:
Thieme Medical Publishers Inc; hal. 208-10
34
10. Walsh WE, Korn RC. Sinonasal Anatomy, Fungtion, And Evaluation. In:
Bailey BJ, Johnson JT. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. 4th ed,
Vol.1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. hal.307-19.
11. Kaplan A, Cauwenberge P.V. Allergic Rhinitis In : GLORIA Global
Resources in Allergy Allergic Rhinitis and Allergic Conjungtivitis.
Revised Guidelines. Milwaukee. USA. 2011. hal12
12. Higler et al. Allergic Rhinitis. In : J. World Health Organization Initiative
Management of Alergic Rhinitis and its Impact on Asthma. New York.
2000
13. Krouse J.H. Immunology and Allergy. In: Essentian Otolaryngology Head
& Neck Surgery-Otolaryngology. Fourth Edition. Vol.One. USA:
Lippincott-Raven Publisher; hal.351-63
14. Jackola DR, Mullany LP, Blumental MN, et al. Allergen Skin Reaction
Patterns In Children Under 10 Years Old From Atopic Families Suggest
Age-Dependent Changes In Allergen-Ige Binding In Early Life. J
International Allergy And Immunology. Vol.132.No.4.2001.hal.354-71
15. Mulyarjo. Penanganan Rinitis Alergi. Pendekatan Berorientasi pada
Simptom. Dalam : Kumpulan Naskah Simposium Nasional Perkembangan
Terkini Penatalaksanaan Beberapa Penyakit Penyerta Rinitis Alergi dan
Kursus Demo Rinotomi Lateral, Maksilektomi dan Septorinoplasti,
Malang, 2006.
16. Rezkiawan D, Fadlan I, Taher A. Prevalensi Penderita Rinitis Alergi Pada
Mahasiswa Prodi Kedokteran Universitas Jambi. FK Unej. 2012
17. Utama D.S. Hubungan Antara Jenis Aeroalergen Dengan Manifestasi
Klinis Rinitis Alergika. Semarang. Bagian THT RSUP dr. Kariadi. 2010
18. Novitasari, Sorisi A, Wahongan G. Profil Penderita Alergi Dengan Hasil
Skin Prick Test TDR Positif Di Poliklinik Alergi Imunologi RSUP
Prof.DR.R.D.Kandau. FK Sam Ratulangi. Manado. 2009.
19. Soewito MY, Aziz M. Gambaran Umum Penderita Suspek Rinitis Alergi
Yang Dilakukan Tes Cukit Kulit di Poli Imunologi RSWS tahun 2006.
35
Kumpulan Abstrak KONAS Perhimpunan Dokter Spesialis T.H.T.K.L
.Makasar. 2007
20. Harsono G, Munasir Z, Siregar P. Faktor Yang Diduga Menjadi Resiko
Pada Anak Dengan Rinitis Alergi. Divisi Alergi-Imunologi, Departemen
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RSU
Cipto Mangunkusumo. Jakarta. 2012
21. Khan M. Association Of Allergic Rhinitis With Gender And Asthma. J
Ayub Med Coll Abbottabad. India. 2013. 251-2. hal.120–2
22. Reinhard, E. Palandeng O, Pelealu C. Rinitis Alergi Di Poliklinik Tht-Kl
Blu RSU Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari 2010. Ejournal
Universitas Sam Ratulangi. Jurnal E-Clinic Vol. 1, No. 2. 2013
23. Lumbanraja P. Distribusi Alergen pada Penderita Rinitis Alergi di
Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Universitas
Sumatra Utara. 2007
24. Rahmawati, Punagi AQ, Savitri E. Hubungan Antara Beratnya Rinitis,
Reaktivitas Tes Cukit Kulit dan Kadar Imunoglobulin E Tungau Debu
Rumah pada Pasien Rinitis Alergi di Makasar. Departemen THT Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanudin, RS Dr. Wahidin Sudirohusodo. The
Indonesian Journal of Medical Science 2008.1. hal.. 1-9.
25. Alimah Y. Hubungan Jumlah Eosinofil Mukosa Hidung Dengan Gejala
Rinitis Alergi Sesuai Klasifikasi ARIA. WHO2001.Universitas Hasanudin
Makasar. 2001