DISKO IKGA.docx
-
Upload
nika-permata-dela -
Category
Documents
-
view
117 -
download
4
Transcript of DISKO IKGA.docx
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Wr.wb
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Tuhan atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Rasa syukur itu dapat kita wujudkan
dengan cara memelihara lingkungan dan menjaga kesehatan serta mengasah akal
budi untuk memanfaatkan karunia Tuhan itu dengan sebaik-baiknya. Jadi, rasa
syukur itu harus senstiasa kita wujudkan dengan rajin belajar dan mengikuti
perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan cara itu, kita akan menjadi generasi
bangsa yang tangguh dan berbobot serta pintar.
Atas berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah ini dengan baik dan dalam waktu yang relative singkat.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Kedokteran Gigi
Anak pada khususnya dan pembaca pada umumnya untuk menambah wawasan.
Penyusun juga mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang
telah banyak membantu penyusun agar dapat menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada
pembaca.Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan.Penyusun
mohon untuk saran dan kritiknya.Terimakasih
Padang, 14-12-14
PENULIS
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. 1
DAFTAR ISI ………………………..………………………………………… 2
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………..... 4
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………... 4
1.2 Tujuan …………………………………………………………...… 5
1.3 Manfaat ……………………………………………………………. 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………. 6
2.1 Pit dan Fissure Dalam …………………………………………...… 6
2.1.1 Histopatologi Karies pada Pit dan Fisure …………………. 6
2.1.2 Perawatan Pit dan Fisura ………………………………….. 7
2.1.3 Bahan Penutup Pit dan Fisure …………………………….. 9
2.1.4 Pengerasan Sealent Berbasis Resin ………………….…… 10
2.1.4.1 Pengerasan Sealent Berbasis Resin secara otomatis ... 10
2.1.4.2 Pengerasan Sealaent Berbasis resin dengan sinar .…. 10
2.1.5 Teknik Aplikasi Fissure Sealant Berbasis Resin ................ 11
2.2 Stainless Steel Crown ...................................................................... 13
2.2.1 Definisi Stainlees Steel Crown ............................................ 13
2.2.2 Indikasi ................................................................................ 13
2.2.3 Prosedur klinik .................................................................... 14
2.3 Penanganan Trauma pada Anak ..................................................... 14
2.3.1 Definisi Trauma pada Anak ............................................... 14
2.3.2 Penyebab Trauma ................................................................ 14
2.3.3 Klarifikasi trauma gigi ......................................................... 14
2.4 Perawatan Pulpa pada Anak ............................................................ 18
2.4.1 Definisi ................................................................................ 18
2.4.2 Evaluasi Perawatan Endodontik ......................................... 20
2.4.3 Perawatan Pulpa pada Anak ............................................... 20
BAB III PEMBAHASAN ………………………………………………..… 26
3.1 Pit dan Fisure Sealent …………………………………………… 26
2
3.2 Mahkota Stainless Steel pada gigi molar sulung terhadap kesehatan
gigi ……………………………………………………………… 27
3.3 Penanganan Trauma pada Anak ………………………………... 28
3.4 Perawatan Pulpa pada Anak ……………………………………. 40
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………… 41
4.1 Kesimpulan …………………………………………………….. 41
4.1.1 Pit dan Fissure ……………………………………… 41
4.1.2 Stainlees Steel Crown ………………………....…… 41
4.1.3 Trauma pada Anak …………………………….…… 41
4.1.4 Perawatan Pulpa pada anak ………………………... 41
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu kedokteran gigi anak, salah satu yang dipelajari adalah tentang suatu
metode pencegahan terhadap terjadinya karies pada gigi anak. Berbagai tindakan
pencegahan terjadinya karies telah diupayakan melalui fluoridasi air minum,
topikal aplikasi fluor pada fase perkembangan enamel, dan program kontrol plak
bagi masing-masing individu. Hal ini tidak terbukti efektif mengurangi insiden
karies pada pit dan fisura yang merupakan bagian yang rentan karies, karena
bentukan anatomisnya yang menyempit (Robert G.Craig: 1979: 28).
Fissure sealant merupakan bahan yang diletakkan pada pit dan fisura gigi
yang bertujuan untuk mencegah proses karies gigi (J.H. Nunn et al, 2000). Bentuk
pit dan fisura beragam, akan tetapi bentuk umumnya adalah sempit, melipat dan
tidak teratur. Bakteri dan sisa makanan menumpuk di daerah tersebut. Saliva dan
alat pembersih mekanis sulit menjangkaunya. Dengan diberikannya bahan
penutup pit dan fisura pada awal erupsi gigi, diharapkan dapat mencegah bakteri
sisa makanan berada dalam pit dan fisura (Sari Kervanto, 2009: 12).
Mahkota stainless steel (SSC = stainless steel crowns) pertama kali
digunakan di bidang Kedokteran Gigi Anak pada tahun 1950 yang ditujukan
sebagai restorasi gigi sulung yang dengan kerusakan berat (Sharaf, 2004). Selain
itu, ssc juga digunakan sebagai restorasi pilihan pada anak-anak dengan resiko
tinggi karies (Cameron, 2003).
Pengertian trauma secara umum adalah luka atau jejas baik fisik maupun
psikis. Trauma dengan kata lain disebut injury atau wound, dapat diartikan
sebagai kerusakan atau luka yang biasanya disebabkan oleh tindakan-tindakan
fisik dengan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur. Trauma juga diartikan
sebagai suatu kejadian tidak terduga atau suatu penyebab sakit, karena kontak
yang keras dengan suatu benda. Definisi lain menyebutkan bahwa trauma gigi
adalah kerusakan yang mengenai jaringan keras gigi dan atau periodontal karena
sebab mekanis. Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka trauma gigi anterior
merupakan kerusakan jaringan keras gigi dan atau periodontal karena kontak yang
4
keras dengan suatu benda yang tidak terduga sebelumnya pada gigi anterior baik
pada rahang atas maupun rahang bawah atau kedua-duanya. Penyebab trauma gigi
pada anak-anak yang paling sering adalah karena jatuh saat bermain, baik di luar
maupun di dalam rumah dan saat berolahraga
Ruang lingkup endodontik gigi anak adalah perawatan pulpa gigi desidui
dan gigi permanen muda. Tujuan endodontik pada gigi desidui mi untuk
mempertahankan fungsi gigi desidui tersebut sampai waktu tanggalnya gigi atau
paling sedikit untuk kepentingan perkembangan oklusi gigi geligi. Semua mi
diperlukan pengetahuan pulpa baik kondisi dan perawatannya dan juga
kepentingan gigi kearah perkembangan okiusal, dan lebih jauh lagi benih gigi
pengganti tidak mendapat gangguan resiko atau jejas dan infeksi pulpa atau
periradikular gigi desidui.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui aplikasi pit dan fisura
2. Mengevaluasi secara klinis penggunaan mahkota stainless steel pada
molar sulung terhadap kesehatan gusi.
3. Mengetahui penanganan trauma pada anak
4. Mengetahui perawatan pula pada anak
1.3 Manfaat
1. Mampu menentukan pilihan aplikasi bahan sealant baik berbasis resin
pit dan fisura.
2. Memberikan informasi mengenai efek klinis terhadap kesehatan gusi
penggunaan mahkota stainless steel pada molar sulung.
3. Mendapatkan informasi penanganan trauma pada anak
4. Mampu menentukan perawatan pulpa pada anak
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pit Fissure Dalam
Pit adalah titik terdalam berada pada pertemuan antar beberapa groove
atau akhir dari groove. Istilah pit sering berkaitan dengan fisura. Fisura adalah
garis berupa celah yang dalam pada permukaan gigi (Russel C.Wheeler, 1974).
Macam pit dan fisura bervariasi bentuk dan kedalamannya, dapat berupa tipe U
(terbuka cukup lebar); tipe V (terbuka, namun sempit); tipe I (bentuk seperti leher
botol).
Bentuk pit dan fisura bentuk U cenderung dangkal, lebar sehingga mudah
dibersihkan dan lebih tahan karies. Sedangkan bentuk pit dan fisura bentuk V atau
I cenderung dalam, sempit dan berkelok sehingga lebih rentan karies. Bentukan
ini mengakibatkan penumpukan plak, mikroorganisme dan debris.
Morfologi permukaan oklusal gigi bervariasi berbagai individu. Pada
umumnya bentuk oklusal pada premolar nampak dengan tiga atau empat pit. Pada
molar biasanya terdapat sepuluh pit terpisah dengan fisura tambahan (M. John
hick dalam J.R Pinkham, 1994: 454).
2.1.2 Histopatologi Karies pada Pit dan Fisure
Permukaan oklusal gigi posterior merupakan daerah yang paling rawan
untuk terjadinya karies. Bentuk anatiomis gigi ini yang memungkinkan terjadinya
retensi dan maturasi plak. Aktivitas bakteri dalam plak berakibat terjadinya
fluktuasi pH. Kondisi naiknya pH memberikan keuntungan terjadinya
penambahan mineral (remineralisasi) gigi, sedangkan turunnya pH akan berakibat
hilangnya mineral gigi. Kehilangan mineral ini merupakan suatu proses
demineralisasi jaringan keras yang menjadi tanda dan gejala sebuah penyakit (Sari
Kervanto, 2009: 9).
Gejala dini suatu karies enamel yang terlihat secra makroskopik adalah
berupa bercak putih. Bercak ini memiliki warna yang tampak sangat berbeda
dengan enamel sekitarnya yang masih sehat. Kadang-kadang lesi akan tampak
6
berwarna coklat disebabkan oleh materi di sekelilingnya yang terserap ke dalam
pori-porinya. Baik bercak putih maupun bercak coklat bisa bertahan tahunan
lamanya (Edwina A.M. Kidd, 1992:19).
Istilah karies fisura menggambarkan adanya karies pada pit dan fisura.
Karies berawal dari dinding-dinding fisura. Karies ini membesar ukurannya dan
menyatu pada dasar fisura. Karies enamel akan melebar kearah dentin dibawahnya
sesuai dengan arah prisma enamelnya. Arah perkembangan karies ke lateral
sehingga terbentuk karies yang menggaung (Edwina A.M. Kidd, 1992:25).
Awal pembentukan karies dimulai dari fisura, yaitu bagian terdalam dan
bagian paling dasar dari permukaan gigi. Kemudian karies berlanjut ke arah
lateral dinding fisura dan lereng cusp (M. John hick dalam J.R Pinkham, 1994:
454).
Enamel pada dasar fisura merupakan daerah yang terkena karies paling
awal, karies akan menyebar sepanjang enamel, kemudian karies berlanjut hingga
dentinoenamel junction. Bila dentin terkena karies, maka perkembangan karies
menjadi lebih cepat dibandingkan saat enamel terkena lesi. Pada kavitas fisura
terjadi kehilangan mineral dan struktur pendukung dari enamel dan dentin,
sehingga secara klinis nampak karies (M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994:
455).
2.1.3 Perawatan Pit dan Fisure
Menurut M. John Hick (dalam J.R Pinkham, 1994: 456), sejumlah pilihan
perawatan bagi para dokter gigi dalam merawat pit dan fisura, meliputi:
a. Melalui pengamatan (observasi), menjaga oral higiene, dan pemberian
fluor
b. Pemberian sealant
Upaya pencegahan terjadinya karies permukaan gigi telah dilakukan
melalui fluoridasi air minum, aplikasi topikal fluor selama perkembangan enamel,
dan program plak kontrol. Namun tindakan ini tidak sepenuhnya efektif
menurunkan insiden karies pada pit dan fisura, dikarenakan adanya sisi anatomi
gigi yang sempit (Robert G.Craig:1979: 29).
7
Pemberian fluor secara topikal dan sistemik, tidak banyak berpengaruh
terhadap insidensi karies pit dan fisura. Hal ini karena pit dan fisura merupakan
daerah cekungan yang dalam dan sempit. Fluor yang telah diberikan tidak cukup
kuat untuk mencegah karies. (R.J Andlaw, 1992: 58). Pemberian fluor ini terbukti
efektif bila diberikan pada permukaan gigi yang halus, dengan pit dan fisura
minimal (M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994: 455).
Upaya lain dalam pencegahan karies pit dan fisura telah dilakukan pada
ujicoba klinis pada tahun 1965 melalui penggunaan sealant pada pit dan fisura.
Tujuan sealant pada pit dan fisura adalah agar sealant berpenetrasi dan menutup
semua celah, pit dan fisura pada permukaan oklusal baik gigi sulung maupun
permanent. Area tersebut diduga menjadi tempat awal terjadinya karies dan sulit
dilakukan pembersihan secara mekanis (Robert G.Craig :1979: 29).
Indikasi pemberian sealant pada pit dan fisura adalah sebagai berikut:
1. Dalam, pit dan fisura retentif
2. Pit dan fisura dengan dekalsifikasi minimal
3. Karies pada pit dan fisura atau restorasi pada gigi sulung atau permanen
lainnya
4. Tidak adanya karies interproximal
5. Memungkinkan isolasi adekuat terhadap kontaminasi saliva
6. Umur gigi erupsi kurang dari 4 tahun.
Sedangkan kontraindikasi pemberian sealant pada pit dan fisura adalah
a. Self cleansing yang baik pada pit dan fisura
b. Terdapat tanda klinis maupun radiografis adanya karies interproximal
yang memerlukan perawatan
c. Banyaknya karies interproximal dan restorasi
d. Gigi erupsi hanya sebagian dan tidak memungkinkan isolasi dari
kontaminasi saliva
e. Umur erupsi gigi lebih dari 4 tahun.
(M. John Hick dalam J.R Pinkham, 1994: 459-61)
Pertimbangan lain dalam pemberian sealant juga sebaiknya diperhatikan.
Umur anak berkaitan dengan waktu awal erupsi gigi-gigi tersebut. Umur 3-4
8
tahun merupakan waktu yang berharga untuk pemberian sealant pada geligi susu;
umur 6-7 tahun merupakan saat erupsi gigi permanen molar pertama; umur 11-13
tahun merupakan saatnya molar kedua dan premolar erupsi. Sealant segera dapat
diletakkan pada gigi tersebut secepatnya. Sealant juga seharusnya diberikan pada
gigi dewasa bila terbukti banyak konsumsi gula berlebih atau karena efek obat dan
radiasi yang mengakibatkan xerostomia (Norman O. Harris, 1999: 245-6). R
Pinkham, 1994: 471-2).
2.1.4 Bahan Penutup Pit dan Fisure
Terdapat beberapa bentukan pit dan fisura, seperti telah dijelaskan
sebelumnya. Bahan sealant yang ada diaplikasikan untuk menutupi bentukan
anatomi tersebut, guna mencegah masuknya bakteri, food debris ke dalam pit dan
fisura (Carline Paarmann, 1991:10).
Pencegahan karies pada permukaan gigi terutama, pit dan fisura perlu
perhatian khusus. Hal ini dikarenakan bagian ini merupakan daerah yang paling
rentan karies. Prevalensi karies oklusal pada anak-anak terbanyak ditemukan pada
permukaan pit dan fisura. Area ini sering tidak terjangkau oleh bulu sikat gigi.
Molar pertama merupakan gigi permanen yang memiliki waktu terlama berada
dalam rongga mulut.
Sealant diaplikasikan pada pit dan fisura guna menutup dan melindungi
dari karies. Bahan sealant dibedakan menurut bahan dasar yang digunakan,
metode polimerisasi, dan ada tidaknya kandungan fluoride. Meskipun kebanyakan
sealant di pasaran, bahan sealant berbahan dasar dan memiliki komposisi kimia
sama, namun hal ini penting guna mengetahui keefektifan dan kemampuan retensi
masing-masing bahan tersebut.
Kemampuan sealant untuk melepaskan fluoride, pada permukaan pit dan
fisura akan memberikan keuntungan tersendiri pada bahan sealant semen ionomer.
Semen ionomer disarankan sebagai bahan ideal untuk menutup pit dan fisura
karena memiliki kemampuan melepas fluoride dan melekat pada enamel
(Subramaniam, 2008).
9
2.1.5 Pengerasan Sealant Berbasis Resin
Terdapat dua tipe bis-GMA yaitu yang mengalami polimerisasi setelah
pencampuran komponen katalis dan yang mengalami polimerisasi hanya setelah
sumber sinar yang sesuai. Sampai sekarang sinar ultraviolet (panjang gelombang
365 nm) telah digunakan, tetapi telah banyak digantikan oleh sinar tampak (biru)
dengan panjang gelombang 430-490 nm (R.J Andlaw, 1992: 58).
2.1.5.1 Pengerasan Sealant Berbasis Resin secara Otomatis
Proses ini kadang disebut dengan cold curing, chemical curing, atau self
curing. Bahan yang dipasok dalam 2 pasta, satu mengandung inisiator benzoil
peroksida dan lainnya mengandung amin tersier. Bila kedua pasta diaduk, amin
bereaksi dengan benzoil peroksida untuk membentuk radikal bebas dan
polimerisasi tambahan dimulai (Kenneth J. Anusavice, 2004: 232).
Sealant bis-GMA dipolimerisasi oleh bahan amina organik akselerator
yang terdiri atas dua sistem komponen. Komponen pertama berisi bis-GMA tipe
monomer dan inisiator benzoil peroksida, dan komponen kedua berisi tipe
monomer bis-GMA dengan akselerator 5% amina organik. Monomer bis-GMA
dilarutkan dengan monomer metal metakrilat. Sebuah bahan sealant komersil
berisi pigmen putih, dimana mengandung 40% bahan partikel quartz dengan
diameter rata-rata 2 mikrometer. Kedua komponen tadi bercampur sebelum
diaplikasikan ke gigi dan berpolimerisasi ikatan silang sebagai reaksi sederhana
(Norman O.Harris, 1979: 30)
Pada bahan ini operator tidak memiliki kemampuan mengendalikan waktu
kerja setelah bahan diaduk. Jadi pembentukan kontur restorasi harus diselesaikan
begitu tahap inisiasi selesai. Jadi proses polimerisasi terus-menerus terganggu
sampai operator telah menyelesaikan proses pembentukan kontur restorasi
(Kenneth J. Anusavice, 2004: 235).
2.1.5.2 Pengerasan Sealant Berbasis Resin dengan Sinar
Radikal bebas pemula reaksi polimerisasi terdiri atas foto-inisiator dan
activator amin terdapat dalam satu pasta. Bila tidak terkena sinar, maka kedua
10
komponen tersebut tidak bereaksi. Pemaparan terhadap sinar dengan panjang
gelombang yang tepat (468 nm) merangsang fotoinisiator berinteraksi dengan
amin untuk membentuk radikal bebas yang mengawali polimerisasi tambahan.
Foto-inisiator yang digunakan adalah camphoroquinone. Sumber sinar
modern biasanya berasal dari bohlam tungsten halogen melalui suatu filter sinar
ultra merah dan spectrum sinar tampak dengan panjang gelombang 500 nm
(Gambar10). Waktu polimerisasi sekitar 20-60 detik. Untuk mengimbangi
penurunan intensitas sinar, waktu pemaparan harus diperpanjang 2 atau 3 kali
(Kenneth J. Anusavice, 2004: 232-5).
Saat ini telah tersedia bahan fissure sealant berbasis resin dalam syringe
yang akan berpolimerisasi setelah diaktivasi dengan sinar (Gambar 9). Sealant bis-
GMA berpolimerisasi dengan sinar ultraviolet (340-400 nm) adalah satu sistem
tanpa diperlukan adanya pencampuran. Tiga bahan kental monomer bis-GMA
dilarutkan dengan 1 bagian monomer metil metakrilat. Dengan aktivator berupa
2% benzoin metil eter (Robert G. Craig, 1979: 30).
2.1.6 Teknik Aplikasi Fissure Sealant Berbasis Resin
1. Pembersihan pit dan fisura pada gigi yang akan dilakukan aplikasi fissure
sealant menggunakan brush dan pumis (Gambar 1)
Syarat pumis yang digunakan dalam perawatan gigi:
a. Memiliki kemampuan abrasif ringan
b. Tanpa ada pencampur bahan perasa
c. Tidak mengandung minyak
d. Tidak mengandung Fluor
e. Mampu membersihkan dan menghilangkan debris, plak dan stain
f. Memiliki kemampuan poles yang bagus
2. Pembilasan dengan air
Syarat air:
a. Air bersih
b. Air tidak mengandung mineral
c. Air tidak mengandung bahan kontaminan
11
3. Isolasi gigi
Gunakan cotton roll atau gunakan rubber dam
4. Keringkan permukaan gigi selama 20-30 detik dengan udara.
Syarat udara :
a. Udara harus kering
b. Udara tidak membawa air (tidak lembab)
c. Udara tidak mengandung minyak
d. Udara sebaiknya tersimpan dalam syringe udara dan dihembuskan
langsung ke permukaan gigi.
5. Lakukan pengetsaan pada permukaan gigi
a. Lama etsa tergantung petunjuk pabrik
b. Jika jenis etsa yang digunakan adalah gel, maka etsa bentuk gel tersebut
harus dipertahankan pada permukaan gigi yang dietsa hingga waktu etsa
telah cukup.
c. Jika jenis etsa yang digunakan adalah berbentuk cair, maka etsa bentuk
cair tersebut harus terus-menerus diberikan pada permukaan gigi yang
dietsa hingga waktu etsa telah cukup.
6. Pembilasan dengan air selama 60 detik
Syarat air sama dengan point 2.
7. Pengeringan dengan udara setelah pengetsaan permukaan pit dan fisura
a. Syarat udara sama dengan point 3.
b. Cek keberhasilan pengetsaan dengan mengeringkannya dengan udara,
permukaan yang teretsa akan tampak lebih putih
c. Jika tidak berhasil, ulangi proses etsa
d. Letakkan cotton roll baru, dan keringkan
e. Keringkan dengan udara selama 20-30 detik
8. Aplikasi bahan sealant
a. Self curing: campurkan kedua bagian komponen bahan, polimerisasi akan
terjadi selama 60-90 detik.
b. Light curing: aplikasi dengan alat pabrikan (semacam syringe), aplikasi
penyinaran pada bahan, polimerisasi akan terjadi dalam 20-30 detik.
12
9. Evaluasi permukaan oklusal
a. Cek oklusi dengan articulating paper
b. Penyesuaian dilakukan bila terdapat kontak berlebih (spot grinding)
(Donna Lesser, 2001)
2.2 STAINLESS STEEL CROWN
2.2.1 Definisi Stainless Steel Crown
Stainless-steel crown (SSC) adalah restorasi ekstrakoronal siap pakai yang sering
juga disebut sebagai chrome steel crown(Matthewson, 1995).Pertama kali
digunakan dalam kedokteran gigi anak oleh Humphrey pada tahun 1950
(Sharaf,2005; Welburry, 2001). Sejak saat itu, SSC menjadi teknik restoratif
pilihan untuk perawatan gigi sulung dengan kerusakan yang hebat (Sharaf, 2005).
2.2.2 Indikasi
Terdapat dua indikasi utama penggunaan SSC dalam kedokteran gigi anak,
yaitu untuk molar sulung dengan kerusakan yang hebat dan molar pertama
permanen dengan defek perkembangan yang parah (Raadal,2001). Pada kasus
pertama, SSC digunakan sebagai restorasi alternatif dibandingkan dengan
restorasi yang diketahui memiliki prognosis buruk dan memerlukan perbaikan
secara berkala. Jika digunakan dengan tepat, SSC memberikan resiko komplikasi
yang rendah hingga molar sulung tersebut tanggal. Pada molar permanen dengan
kerusakan pada seluruh permukaan mahkota karena defek perkembangan, SSC
digunakan sebagai retorasi sementara hingga mahkota yang lebih permanent dapat
dibuat (Raadal, 2001).
Secara terperinci, indikasi penggunaan SSC adalah gigi sulung atau
permanen dengan lesi karies yangluas atau gigi sulung dengan karies ditiga
permukaan, molar sulung yang telah dirawat pulpa, gigi sulung atau permanen
dengan defek pada email atau dentin (seperti hipoplasia email, amelogenesis
imperfekta, atau dentinogenesis imperfekta), gigi-gigi pada anak dengan resiko
tinggi karies atau rampan karies, gigi yang digunakan sebagai pejangkar space
13
maintainer, serta pasien handicapped dengan kebersihan mulut yang buruk
(Matthewson,1995; Drummond,2003;Sim,1991).
2.2.3 Prosedur Klinik
1. Preparasi Gigi
2. Pemilihan Mahkota
3. Adaptasi Mahkota
4. Sementasi Mahkota
2.3 Penanganan Trauma pada Anak
2.3.1 Definisi Trauma pada Anak
Trauma gigi dapat mengenai satu atau lebih dari dua gigi sulung maupun
gigi tetap. Perawatan yang dilakukan harus berdasarkan pada diagnosa yang
tepat. Penanganan dini trauma gigi sangat berpengaruh pada vitalitas dan proses
penyembuhan gigi serta jaringan sekitarnya
2.3.2 Penyebab trauma
Berbagai macam kondisi yang mengakibatkan terjadinya trauma pada gigi
anterior adalah kecelakaan lalu lintas yang dewasa ini banyak terjadi di jalan raya,
kecelakaan saat berolahraga, saat bermain, tindakan kriminalitas, child abuse,
dalam lingkungan rumah tangga (terkena pompa air, jatuh dari tangga, dan
lainlain), dalam lingkungan pekerjaan, perkelahian, dan bencana alam. Selain
faktor-faktor di atas ada beberapa faktor predisposisi terjadinya trauma gigi
anterior yaitu posisi dan keadaan gigi tertentu misalnya kelainan dentofasial
seperti maloklusi kelas I tipe 2, kelas II divisi 1 atau yang mengalami overjet lebih
dari 3 mm, keadaan yang memperlemah gigi seperti hypoplasia email, kelompok
anak penderita cerebral palsy, dan anak dengan kebiasaan mengisap ibu jari yang
menyebabkan gigi anterior protrusive
.
2.3.3 Klasifikasi Trauma Gigi
Para ahli mengklasifikasikan berbagai macam kelainan akibat trauma gigi
anterior. Klasifikasi trauma gigi yang telah diterima secara luas adalah klasifikasi
14
menurut Ellis dan Davey (1970) dan klasifikasi yang direkomendasikan dari
World Health Organization (WHO) dalam Application of International
Classification of Diseases to Dentistry and Stomatology. Ellis dan Davey
menyusun klasifikai trauma pada gigi anterior menurut banyaknya struktur gigi
yang terlibat, yaitu :
1. Kelas 1 : Fraktur mahkota sederhana yang hanya melibatkan jaringan
email.
2. Kelas 2 : Fraktur mahkota yang lebih luas yang telah melibatkan jaringan
dentin tetapi belum melibatkan pulpa.
3. Kelas 3 : Fraktur mahkota gigi yang melibatkan jaringan dentin dan
menyebabkan terbukanya pulpa.
4. Kelas 4 : Trauma pada gigi yang menyebabkan gigi menjadi non vital
dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota.
5. Kelas 5 : Trauma pada gigi yang menyebabkan kehilangan gigi atau
avulsi.
6. Kelas 6 : Fraktur akar dengan atau tanpa kehilangan struktur mahkota.
7. Kelas 7 : Perubahan posisi atau displacement gigi.
8. Kelas 8 : Kerusakan gigi akibat trauma atau benturan pada gigi sulung.
Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization
(WHO) dalam Application of International Classification of Diseases to
Dentistry and Stomatology diterapkan baik gigi sulung dan gigi tetap,
yang meliputi jaringan keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan
lunak rongga mulut yaitu sebagai berikut :
I. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa
1. Retak mahkota (enamel infraction), yaitu suatu fraktur yang tidak
sempurna pada email tanpa kehilangan struktur gigi dalam arah horizontal
atau vertikal.
2. Fraktur email yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture), yaitu
fraktur email yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) yaitu
suatu fraktur yang hanya mengenai lapisan email saja.
15
3. Fraktur email-dentin (uncomplicated crown fracture), yaitu fraktur pada
mahkota gigi yang hanya mengenai email dan dentin saja tanpa melibatkan
pulpa.
4. Fraktur mahkota yang kompleks (complicated crown fracture), yaitu
fraktur yang mengenai email, dentin, dan pulpa.
II. Kerusakan pada jaringan keras gigi, pulpa, dan tulang alveolar
1. Fraktur mahkota-akar, yaitu suatu fraktur yang mengenai email, dentin,
dan sementum. Fraktur mahkota akar yang melibatkan jaringan pulpa
disebut fraktur mahkota-akar yang kompleks (complicated crown-root
fracture) dan fraktur mahkota-akar yang tidak melibatkan jaringan pulpa
disebut fraktur mahkota-akar yang tidak kompleks (uncomplicated crown-
root fracture).
2. Fraktur akar, yaitu fraktur yang mengenai dentin, sementum, dan pulpa
tanpa melibatkan lapisan email.
3. Fraktur dinding soket gigi, yaitu fraktur tulang alveolar yang melibatkan
dinding soket labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual
dari dinding soket
4. Fraktur prosesus alveolaris, yaitu fraktur yang mengenai prosesus
alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket alveolar gigi.
5. Fraktur korpus mandibula atau maksila, yaitu fraktur pada korpus
mandibular atau maksila yang melibatkan prosesus alveolaris, dengan atau
tanpa melibatkan soket gigi.
III. Kerusakan pada jaringan periodontal
1. Concusion, yaitu trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi yang
menyebabkan gigi lebih sensitive terhadap tekanan dan perkusi tanpa
adanya kegoyangan atau perubahan posisi gigi.
2. Subluxation, yaitu kegoyangan gigi tanpa disertai perubahan posisi gigi
akibat trauma pada jaringan pendukung gigi.
16
3. Luksasi ekstrusi (partial displacement), yaitu pelepasan sebagian gigi ke
luar dari soketnya. Ekstrusi menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih
panjang.
4. Luksasi, merupakan perubahan letak gigi yang terjadi karena pergerakan
gigi ke arah labial, palatal maupun lateral, hal ini menyebabkan kerusakan
atau fraktur pada soket alveolar gigi tersebut. Trauma gigi yang
menyebabkan luksasi lateral menyebabkan mahkota bergerak ke arah
palatal
5. Luksasi intrusi, yaitu pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar, dimana
dapat menyebabkan kerusakan atau fraktur soket alveolar. Luksasi intrusi
menyebabkan mahkota gigi terlihat lebih pendek.
6. Laserasi (hilang atau ekstrartikulasi) yaitu pergerakan seluruh gigi ke luar
darim soket.
IV. Kerusakan pada gusi atau jaringan lunak rongga mulut
1. Laserasi merupakan suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang
disebabkan oleh benda tajam seperti pisau atau pecahan luka. Luka terbuka
tersebut berupa robeknya jaringan epitel dan subepitel. Kontusio yaitu luka
memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan benda tumpul dan
menyebabkan terjadinya perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai
sobeknya daerah mukosa.
2. Luka abrasi, yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena
gesekan atau goresan suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang
berdarah atau lecet. Trauma pada gigi sulung dapat menyebabkan
beberapa kelainan pada gigi tetap, antara lain hipoplasia email,
hipokalsifikasi, dan dilaserasi. Beberapa reaksi yang terjadi pada jaringan
pulpa setelah gigi mengalami trauma adalah hiperemi pulpa, diskolorisasi,
resorpsi internal, resorpsi eksternal, metamorfosis kalsifikasi pulpa gigi,
dan nekrosis pulpa.
17
2.4 Perawatan Pulpa pada anak
2.4.1 Definisi Penyakit Pulpa Gigi pada Anak
Beberapa hal yang diperlukan dalam menegakkan diagnosa suatu penyakit
pulpa baik pada gigi desidui maupun pada gigi permanen muda adalah
mengetahui keadaan umum penderita termasuk keadaan fisik anak. Kondisi ini
dapat dilihat dari status gizi, penyakit sistemik yang diderita. Pada anamnesa juga
ditanyakan latar belakang sara sakit. Perjalanan rasa sakit yang dimulai dari
awalnya rasa sakit yang timbul, penyebab rasa sakit, lamanya, lokasi dan
penyebaran rasa sakit perlu ditanyakan pada penderita. Selain itu pada
pemeriksaan ektra oral dilihat ada tidaknya pembengkaan baik internal, eksternal
maupun lokasi infeksi. Pada pemeriksaan intra oral, kondisi gigi perlu dicermati
seperti kedalaman karies, mobilitas gigi, perkusi, vitalitas. Pada gigi desidui
sering terlihat mobilitas yang bersifat fisiologis dan patologis Pada mobilitas yang
bersifat fisiologis karena adanya resorbsi akar desidui tersebut dan pada mobilitas
yang bersifat patologis kebanyakan karena invasi bakteri pada proses karies dan
pada proses yang lanjut diikuti dengàh kerusakan pada jaringan periodontal. Pada
gigi desidui dengan keruskaan periodontal kebanyakan disertai gigi dengan
mobilitas yang bersifat patologis.
Sensivitas pada perkusi menunjukkan ada tidaknya peradangan sekitar
jaringan periodontal. Rasa sakit timbul disebabkan tekanan eksudat (pada preoses
peradangan lebih lanjut) di dalamjaringan periodontal.
Untuk mengetahui vitalitas gigi diperlukan tes vitalitas balk secara elektris
maupun termis. Secara Minis beda pengetesan ini untuk gigi permanen muda
sangat jelas sedangkan pada gigi desidui kurang nyata. Maka untuk mengetahui
vitalitas gigi desidui kadang-kadang diperlukan kombinasi antara tes dan
rontgenografis. Gambaran radiografis sangat diperlukan untuk menegakkan
diagnosa atau membantu dalam perawatan gigi. Pada gigi anak informasi
perkembangan gigi sangat diutamakan sehubungan dengan rencana perawatan,
selama perawatan dan prognosa perawatan. Informasi yang diperlukan seperti
perkembangan gigi pengganti, resorbsi akar gigi desidui (internallekstemal),
18
kalsifikasi pulpa, resorbsi tulang alveolus dapat dilihat dan gambar rontgenologis.
Resorbsi akar secara internal pada gigi desidui sering terlihat pada kasus
adanya proses histopatologis seperti peningkatan aktivitas osteokias dan lokasi
resorbsi terjadi pada permukaan mesial/distal, bukal/lingual. Secara radiografis
deteksi resorbsi dengan rontgenpoto sangat sulit. Penyebab resorbsi akar dapat
dikelompokkan menjadi 4 ialah, sesorbsi karena fisiologis, idiopatik, infeksi dan
post pulpotomi.
Penyebab resorbsi internal secara patologis banyak disebabkan karena trauma
injuri, bruxism, trauma oklusi, penggunaan high speed, medikamen (pulpotomi
dan kaping pulpa) dan efek materi radioaktif. Selain resorbsi secara internal, dapat
juga dikenal resorbsi secara ekstrenal Proses ini dapat juga bersifat fisiologis atau
patologis.
Kalsifikasi pulpa adalah suatu proses degenerasi dalam pulpa dan pada
pemeriksaan radiologis akan terlihat bintik-bintik putih dalam pulpa kamar.
Dalam proses yang lebih lanjut kerusakan mi dapat menjalar kedalam saluran
akar, dan merupakan kontra indikasi untuk perawatan pulpotomi. Dalam
penelitian rontgen foto didaerah dekat ujung akar atau daerah biflirkasi gigi molar
desidui, kadang-kadang terlihat area radiolusent dan gambaran ini menunjukkan
adanya iitflamasi dengan perluasan ke jaringan periodontal secara klinis gigi dapat
vital atau gigi non vital. Kerusakan resorlsi tulang alveolar mi akan terlihat luas
sejalan dengan proses inflamasi yang terjadi. Karies gigi dengan kedalaman dentin
dengan dan tanpa pulpa terbuka perlu dicermati pada pemeriksaan klinis. Pada
diagnosa karies dentin gigi desidui yang dalam perlu diperhatikan tanda
perubahan klinis seperti diskolorisasi mahkota, mobilitas gigi dan pemeriksaan
rongen foto.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan gigi desidui dipertahankan
untuk perawatan endodontik:
1. Medical history, indikasi dan kontra indikasi dilihat dan penyakit sitemik
yang ada seperti kelainan jantung, imuno-defisiensi, anak-anak dengan
penyembuhan penyakit yang jelek. Untuk perawatan endodontik merupakan
kotra indikasi. Selain itu juga faktor behaviour anak perlu diperhatikan.
19
Keberhasilan perawatan gigi anak adalah penguasaan psychologi anak. Anak
yang sulit ditangani diperlukan penanganan yang khusus.
2. Beberapa faktor gigi yang akan menjadi pertimbangan lain adalah apakah gigi
dapat direstorasi, dan perlukah gigi dipertahankan dengan melihat
perkembangan gigi pengganti, posisi terhadap lengkung rahang serta jaringan
pendukung gigi.
2.4.2 Evaluasi perawatan endodontik
Dalam perawatan endodontik gigi desidui maupun gigi tetap muda sangat
diperlukan evaluasi hasil perawatan. Seperti pada gigi desidui yang telah
kehilangan proses resorbsi akar secara normal maka pada perawatan saluran akar
perlu evaluasi secara rutin untuk melihat perkembangan gigi pengganti. Hasil
perawatn saluran akar kebanyakan adanya gangguan arah erupsi gigi pengganti.
Dan hasil perawatan pulpa gigi desidui diharapkan fungsi gigi desidui tetap
terpenuhi sebagai perangsang untuk perkembangan gigi pengganti dan rahang.
Untuk evaluasi perawatan endodontik gigi tetap muda perlu diamati
perkembangan akar gigi seperti pada perawatan apeksogenesis gigi vital dan
aapeksifikasi gigi yang non vital. Evaluasi perawatan sebaiknya 1 bulan, 3 bulan,
6 bulan dan 1 tahun setelah perawatan.
Faktor yang perlu diperiksa dalam evaluasi perawatan pulpa adalah ada
tidaknya gejala, tanda kelainan, rasa tiak enak yang timbul sesudah peraatan dan
respon terhadap perawatan seperti rasa sakit, pembengkaan dan mobilitas gigi.
Beberapa periode kritis untuk peraatan endodontik adalah: periode kritis
untuk kaping pulpa ±8 minggu, periode kritis untuk pulpotomi ± 3 bulan, periode
knitis untuk pulpektomi ± 6-12 bulan.
2.4.3 Perawatan Pulpa Gigi pada Anak
Gigi vital : kaping pulpa (direk dan indirek), pulpotomi
Gigi non vital : mumifikasi (pulpotomi non vital) , pulpektomi dan
apeksifikasi
20
1. Perawatan kaping pulpa:
Perawatan kaping pulpa gigi desidui dan gigi permanen muda adalah
perawatan pulpa kaping secara indirek dan secara direk.
Kaping pulpa secara indirek dilakukan pada untuk gigi dengan kanies
dalam mendekati pulpa, belum ada rasa sakit pulpitis dan pulpa degenerasi
dan kaping pulpa secara direk dilakukan gigi karies yang dalam dan pulpa
terbuka secara mekanis serta steril.
a. Hasil perawatan kaping pulpa
Dalam perawatan dikatakan berhasil bila pulpa masih hidup dan
terbentuk bridge serta terjadi penutupan terhadap iritasi produk bakteri.
Perubahan lain adalah struktur gigi (dentin) dapat mengadakan remineralisasi
dan medikamen yang dipakai dapat membentuk repartif
b. Indikasi perawatan kaping pulpa
Pada gigi desidui/permanen yang masih muda dengan ruang pulpa yang
besar dengan [agnosa tipe akut. Indikasi lain adalah gigi mengalami karies
yang dalam dengan pulpa karena mekanis/belum terkontaminasi saliva,
traumatik yang masih baru atau perforasi KaniK sebesar pinpoin, tipe akut
c. Kontra indikasi perawatan kaping pulpa
Kontra indikasi perawatan pulpa adalah bila gigi tersebut potensi untuk
penyembuhan berialan lambat serta resorbsi akar desidul 2/3 atau lebih. Pada
jaringan pulpa mengalami Ltolo2is. Tanda klinis yang lain adalah riwayat
rasa sakit yang spontan, jaringan pulpa mengalami inflamasi dan ada kelainan
jaringan pulpa dilihat dari rontgen foto seperti adanya internal resorbsi,
kelainan jaringan periodontal, radiolucent bifurkasio. Pada perubahan dalam
periodontal seperti mobilitas patologis, fistula.
d. Bahan yang dipakai:
Kalsium hidroksida dan Zn okside eugenol
Ada 3 macam Ca(OH) yang dikenal: puldent, dycal, hydrex (MPC)
2. Perawatan pulpotomi
Definisi : suatu perawatan amputasi kamar pulpa pada gigi yang masih
pital perawatannya adalah agar supaya gigi dapat meneruskan pembentuka
21
akar, merawat kegagalan perawatan kaping pulpa
a. Bahan yang dipakai:
Bahan yang dipakai dalam perwatan pulpotomi gigi desidui dan
permanen muda adalah formokresol atau glutanol dehyde dan Ca(OH)2 untuk
gigi permanen.
b. Pulpotomi dengan formokresol
Tujuan perawatan ini untuk mendapatkan resorbsi akar gigi desidui
secara normal. Indikasi perawatan adalah pada gigi karies masih vital dengan
pulpa terbuka, dan belum dalarn dalam asimtomatis. Tidak ada kelainan
patologis pada lamina dura dan resorbsi internal dan eksternal. Tanda klinis
jaringan pulpa dalam saluran akar masih normal
c. Kontra indikasi
Kontra indikasi perawatan pulotomi formokresol adalah pada rontgen
foto terlihat: jaringan periapikal dan interradikuler ada kelainan, adanya
internal resorbsi dalam saluran akar dan ekstemal resorbsi yang banyak.
Tanda klinis adalah perdarahan waktu amputasi abnormal dengan terlihat
perdarahan tak segar atau wama darah merah tua atau darah sulit dihentikan
juga adanya nekrose jaringan pulpa.
d. Teknik perawatan pulpotomi formokresol:
Pada perawatan pulpotomi formokresol pada gigi desidui dikenal dua
teknik perawatan yaitu dengan sekali kunjungan dari dua kali kunjungan.
e. Perawatan pulpotomi formokresol satu kali kunjungan adalah:
Pasien dilakukan anestesi kemudian dipasang rubber dam. Pada gigi yang
dirawat jaringan karies dihilangkan (fisur bur) dengan high speed, kemudian
setelah dekat pulpa gunakan low speed. Kavitas dibersihkan dengan saline
solution. Tindakan selanjutnya dilakukan amputasi jaringan pulpa seluruh
kamar pulpa dengan ronde bur atau sendok ekskavator yang steril. Perdarahan
dthentikan dengan cotton pelet steril dan kemudian cotton pelet diberi
formokresol selama 5 menit diletakan pada ujung jaringan pulpa yang
terpotong agar terjadi jaringan fixasi. Tindakan selanjutnya dresing diletakkan
carnpuran pasta dan Zn oksida + Eugenol (1 tetes) + Formokresol (1 tetes)
22
pada dasar kavitas (atau bagian teramputasi). Selanjutnya dikerjakan
permanen permanen filling dengan stainless steel crown
f. Perawatan pulpotomi formokresol untuk dua kunjungan
Tindakan perawatan ini sama dengan perawatan satu kunjungan, Iianya
dalam pemberian dresing kapas dan formokresol ditinggal dalam kamar pulpa
selama 3 - 7 hari. Baru pada kunjungan berikutnya dilakukan pemberian pasta
campuran Zn Oksida + Eugenol + Formokresol dan disertai restorasi gigi.
g. Reaksi formokresol terhadap jaringan
Pemakaian formokresol pada gigi desidui dibatasi untuk keperntingan
perkembangan oklusal gigi molar desidui. Formaldehyde adalah bahan
devitalisasi dalam formokresol dan berfungsi sebagai fixsasi jaringan dalam
pemeriksaan histologist. Bahan tersebut sangat kaustis dan dalam penelitian
diperlihatkan perubahan jaringan pulpa tergantung waktu dan banyaknya
formokresol yng diaplikasikan pada jaringan. Reaksi jaringan yang timbul
akibat pemakaian formokresol adalah perubahanjaringan seperti:
Zone acidophilic
A broad pale - staining zone dengan atropi dan fibrous
A broad zone of inflamatory cell dengan perluasan ke apikal
3. Perawatan pulpektomi
Perawatan pulpotomi adalah suatu tehnik perawatan saluran akar dengan
mengambil seluruh jaringan pulpa dalam saluran akar yang terinfeksi. Tujuan
perawatan ini untuk mempertahankan gigi terhadap infeksi saluran akar dan dapat
berfungsi seperti gigi normal dalam rongga mulut.
a. Macam Pulpektomi
Partial Pulpektomi:
Perawatan saluran akar dengan diagnosa pulpitis dan atau jaringan
pulpa dalam saluran akar masih memperlihatkan tanda hiperaemia
Complete Pulpektomi:
Perawatan saluran akar yang sudah terinfeksi (non vital)
b. Indikasi pulpektomi gigi desidul adalah
Saluran akar mengalami inflamasi kronis, rasa sakit spontan
23
Gigi masih dapat direstorasi
Tidak ada internal resorbsi
Mobilitas atau kerusakan intraradikuler minimal
Ada abses atau fistula
Perdarahan pada waktu pengambilan syaraf sukar terkontrol, warna darah
merah tua atau tidak ada perdarahan
Terutama pada gigi m2 (sebagai space maintainer) sehingga tidak terjadi
shifting ke mesial gigi M1
c. Kontra indikasi pulpektomi gigi desidui adalah
Kerusakan jaringan periapikal dan mobilitas gigi yang sangat
Resorbsi akar yang banyak
Adanya internal resorbsi
Kesehatan pasien yang jelek
Dipredeksi timbulnya gangguan perkembangan gigi permanen karena
proses infeksi gigi desidui yang berjalan lama
Behavior pasien tidak dapat dikuasai
d. Bahan yang digunakan
Root Canal Filling yang absorbable yang digunakan adalah Zn oside
eugenol, Oxpara pasta, Kasium hidroksida dan N2
Irigasi Solution yang digunakan pada gigi anak adalah Chioramine
solution, NaOCI dan H2O2 pengisian saluran akar pada gigi desidui dan gigi
permanen muda digunakan metode spiral lentulo atau teknik metode pres
syringe
4. Perawatan Apeksifikasi
Apeksifikasi adalah suatu perawatan gigi permanen muda dengan ujung
akar terbuka pada gigi non vital. Tujuan perawatan tersebut adalah untuk
memacu terbentuknya ujung akar supaya pengisian saluran akar gigi dapat
hermitis.
Bahan dan alat yang digunakan untuk perawatan apeksifikasi adalah
Instrumen standar, Anestesi, Rubber dam, High speed dan Fissur bur, Spoon
ekskavator, Wendodontik instrumen, Paper point steril, Kalsium hidroksid,
24
Camphorated Para Chloor Phenol, Cresatin, Irigasi saluran akar, Barium
sulfat.
a. Teknik perawatan
Pada kunjungan pertama perlu disiapkan rontegen foto pada gigi tersebut.
Pasien dilakukan anastesi dan pasang rubber dam kemudian pengambilan
seluruh jaringan karies dan untuk mengetahui panjang akar, gigi sebelumnya
dilakukan rontgen foto,. Kemudian gigi tersebut dilakukan preparasi
biomekanikal dan selanjutnya letakan kapas cresatinpada dasar kavitas
kemudian tutup Zn okside eugenol dan cavit.
Pada kunjungan kedua (± 2 minggu) dilakukan pengambilan dressing dan
kemudian ulangi preparasi chemico-mechanical dan letakkan campuran
Kalsium Hidroksida + Campph. Chl.Phenol + Cresatin + Barium sulfat ke
dalam saluran akar. Selanjutnya kavitas ditutup dengan butiran kapas dan
cavit. Evaluasi dilakukan 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun
b. Bentuk Penutupan ujung akar
Dari hasil evaluasi dengan rontgen foto terlihat ada perubahan pada ujung
akar gigi. enutupan ujung akar mi berasal dan aktivitas sel disekitar ujung dan
dapat berisi sel asteorid iu asiteodrilin. Bentuk pulpa dapat runcing, datar,
cembeng dan cekung.
c. Keberhasilan perawatan apeksifikasi ini tergantung dari:
Tingkat keparahan penyakit pulpa, cara kerja, bahan yang dipakai, dan
kondisi penderita.
25
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pit dan fissure Sealant
Sealant pada gigi telah terbukti memiliki keefektifan tinggi dalam
pencegahan karies oleh bahan sealant didasarkan penutupan pit dan fisura
sehingga mikroflora dalam pit dan fisura tdak dapat menjangkau nutrisi yang
dibutuhkan. Retensi adekuat sealant diperlukan untuk menutupi permukaan gigi
terutama pada area yang dalam, pit dan fisura yang tidak teratur, dan aplikasinya
dilakukan pada daerah yang bersih dan kering saat prosedur dilakukan.
Kebanyakan sealant yang tersedia di pasaran adalah berbasis resin.
Pemberian sealant berbasis resin memerlukan teknik khusus dan dipengaruhi
banyak faktor. Seperti kekooperatifan pasien, ketrampilan operator dan
kontaminasi area tindakan. Perlunya etsa pada prosedur sealant resin membuat
sulit dilakukannya etsa pada molar yang erupsinya sebagian (Subramaniam,
2008).
Menurut cara lama, etsa pada gigi sulung dilakukan selama 1 menit dan
1,5 menit pada gigi permanent. Pada studi klinis lain, diperoleh hasil bahwa lama
etsa dengan bahan etsa yang serupa selama 20 detik memiliki kemampuan yang
sama dengan etsa selam 1 dan 1,5 menit. selama 10 detik pada permukaan yang
dietsa. Pastikan aliran air benar-benar mengenai bahan etsa dan tidak teserap dulu
oleh cotton roll. Setelah dilakukan aliran air, dilakukan pengeringan dengan
semprot udara untuk menghilangkan air (Norman O. Harris, 1999: 247).
Menghindari kontaminasi saliva selama prosedur sealant sangat penting,
proteksi saliva saat melakukan etsa merupakan kunci sukses dalam perawatan.
Pada umumnya, isolasi dapat dilakukan melalui dua metode yaitu melalui
penggunaan rubber dam dan isolasi dengan cotton roll (M John Hick dalam J.R
Pinkham, 1994: 474)...
Pemberian sealant pada awal-awal erupsi memerlukan frekuensi lebih
sering untuk reaplikasi ulang pemberian fissure sealant.
Efek pencegahan karies dari sealant semen ionomer kaca tergantung pada
retensi dan kemampuan melepaskan fluoridenya. Fluoride yang dilepaskan
26
mencegah perkembangan karies setelah bahan sealant nampak menghilang. Secara
mikroskopis, kemampuan ion fluoride yang menyebar pada enamel memberikan
daya tahan terhadap proses demineralisasi (Subramaniam, 2008).
3.2 Mahkota stainless steel pada gigi molar sulung terhadap kesehatan
gusi
Hubungan antara penggunaan SSC dengan gingivitis belum pernah diteliti,
namun hasil penelitian menunjukkan bahwa SSCyang tidak beradaptasi dengan
baik menunjukkan adanya tanda-tanda gingivitis. Hal tersebut diperkuat dengan
hasil penelitian Sharaf yang menunjukkan bahwa sekitar 45% SSC yang
beradaptasi baik tidak menunjukkan adanya gingivitis (Sharaf, 2004).
Akumulasi plak dapat menimbulkan gingivitis. Hal tersebut terlihat dari
hasil penelitian bahwa anak-anak yang mempunyai oral hygiene yang buruk
seluruhnya menunjukkan tanda-tanda gingivitis. Plak dianggap sebagai faktor
etiologi terpenting penyakit jaringan periodontal, termasuk gingivitis, karena plak
mengandung sejumlah bakteri patogen dengan produk-produk metabolisme yang
melekat erat pada permukaan gigi dan gusi (Manson, 1995).
Perlekatan plak pada permukaangigi dapat lebih terbantu dengan adanya
adaptasi margin SSC yang buruk. Hal tersebut dapat memperparah gingivitis yang
timbul. Penelitian yang dilakukan oleh Webber, Durr, dan Machen pada tahun
2001, menunjukkan tidak adanya hubungan antara peningkatan akumulasi plak
supragingival dengan pemakaian SSC. Namun mahkota dengan tepi yang kurang
baik atau mahkota dengan semen berlebih dapat menimbulkan peningkatan
akumulasi plak (Sharaf, 2004).
Henderson, Myers, dan Checcio melaporkan tingginya insidensi gingivitis
sekitar mahkota yang tidak beradaptasi dengan baik. Hal tersebut disebabkan
karena kegagalan untuk mempertahankan daerah yang bersih sekeliling mahkota.
Selain itu, Durr juga melaporkan bahwa plak subgingival yang tidak terdeteksi
dapat berakumulasi dalam ruangan antara margin mahkota dan gigi yang
selanjutnya dapat menimbulkan inflamasi gingiva (Sharaf, 2004).
27
Individu dengan kebersihan mulut yang buruk menunjukkan degenerasi
jaringan yang mencolok. Hal tersebut membuat gingiva sangat rentan terhadap
iritasi yang berasal dari mahkota yang kurang baik beradaptasi. Inflamasi inisial
karena iritasi lokal dapat terjadi setelah penempatan SSC. Inflamasi tersbut dapat
mereda seiring dengan waktu saat jaringan dapat beradaptasi dengan iritasi lokal
(Sharaf, 2004).Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya efek signifikan antara
waktu dengan kejadian gingivitis.
3.3 Penanganan Trauma pada Anak
Penanganan Umum, ditujukan untuk menegakkan diagnosis yang tepat meliputi:
1. Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang. Salah satu cara untuk
memeriksa bayi dan anak-anak yang terkena trauma yaitu menidurkan anak pada
pangkuan ibu/ayah/atau pengasuh dengan pandangan ke atas. Tangan anak
diletakkan di bawah tangan ibu dan dokter gigi duduk di depan ibu dengan
kepala anak terletak pada pangkuannya. Posisi demikian dapat memungkinkan
dokter gigi untuk dapat melihat kedua rahang anak. Dokter gigi dapat
menggunakan molt mouth-prop atau mengikat jari tangannya dengan
menggunakan bantalan dan adhesive tape.
2. Anamnesis secara lengkap dengan menanyakan hal-hal yang berhubungan
dengan riwayat terjadinya trauma dilakukan dengan memberikan pertanyaan
kapan terjadinya trauma, bagaimana trauma bisa terjadi, apakah ada luka di
bagian tubuh lainnya, perawatan apa yang telah dilakukan, apakah pernah terjadi
trauma gigi pada masa lalu, dan imunisasi apa saja yang telah diberikan pada
anak. Pemeriksaan luka ekstra oral dilakukan dengan cara palpasi pada bagian -
bagian wajah sekitar. Palpasi dilakukan pada alveolus dan gigi, tes mobilitas,
reaksi terhadap perkusi, transiluminasi, tes vitalitas baik konvensional maupun
menggunakan vitalitester, gigi-gigi yang bergeser diperiksa dan dicatat, apakah
terjadi maloklusi akibat trauma, apakah terdapat pulpa yang terbuka, perubahan
warna, maupun kegoyangan. Gigi yang mengalami trauma akan
memberikanreaksi yang sangat sensitif terhadap tes vitalitas, oleh karena itu tes
28
vitalitas hendaknya dilakukan beberapa kali dengan waktu yang berbeda-beda.
Pembuatan foto periapikal dengan beberapa sudut pemotretan ataupun panoramik
sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosa.
3. Perawatan darurat merupakan awal dari perawatan. Pertolongan pertama
dilakukan untuk semua luka pada wajah dan mulut. Jaringan lunak harus dirawat
dengan baik. Pembersihan luka dengan baik merupakan tolak ukur pertolongan
pertama. Pembersihan dan irigasi yang perlahan dengan saline akan membantu
mengurangi jumlah jaringan yang mati dan resiko adanya keadaan anaerobik.
Antiseptik permukaan juga digunakan untuk mengurangi jumlah bakteri,
khususnya stafilokokus dan streptokokus patogen pada kulit atau mukosa daerah
luka.
4. Imunisasi Tetanus. Salah satu tindakan pencegahan yang dapat dilakukan
pada anak yang mengalami trauma yaitu melakukan imunisasi tetanus.
Pencegahan tetanus dilakukan dengan membersihkan luka sebaik-baiknya,
menghilangkan benda asing, dan eksisi jaringan nekrotik. Dokter gigi
bertanggung jawab untuk memutuskan apakah pencegahan tetanus diperlukan
bagi pasien anak-anak yang mengalami avulsi gigi, kerusakan jaringan lunak
yang parah, luka karena objek yang terkontaminasi tanah atau luka berlubang.
Riwayat imunisasi sebaiknya didapatkan dari orang tua penderita. Pada
umumnya anak-anak telah mendapatkan proteksi yang memadai dari imunisasi
aktif berupa serangkaian injeksi tetanus toksoid. Apabila imunisasi aktif belum
didapatkan, maka dokter gigi sebaiknya segera menghubungi dokter keluarga
untuk perlindungan ini. Imunisasi dengan antitoksin tetanus dapat diberikan,
tetapi imunisasi pasif ini bukan tanpa bahaya karena dapat menimbulkan
anafilaktik syok. Pemberian antibiotik diperlukan hanya sebagai profilaksis bila
terdapat luka pada jaringan lunak sekitar. Apabila luka telah dibersihkan dengan
benar maka pemberian antibiotik harus dipertimbangkan kembali.
Penangan Gigi dan Jaringan Sekitar
Penanganan untuk gigi dan jaringan sekitar dilakukan bila keadaan umum
pasien telah baik dan seluruh langkah-langkah penanganan umum telah
29
dilakukan. Penentuan rencana perawatan yang tepat didasarkan pada
diagnosa serta anamnesa yang lengkap.
1. Perawatan segera pada trauma gigi sulung
Pada awal perkembangan gigi tetap, gigi insisif terletak pada palatal dan
sangat dekat dengan apeks gigi insisif sulung. Oleh karena itu bila terjadi trauma
pada gigi sulung maka dokter gigi harus benar-benar mempertimbangkan
kemungkinan terjadi kerusakan pada gigi tetap di bawahnya.
1.1 Fraktur Email dan Email-Dentin
Perawatan fraktur yang terjadi pada email dan email-dentin pada anak yang
tidak kooperatif cukup dengan menghilangkan bagian-bagian yang tajam, namun
bila anak kooperatif dapat dilakukan penambalan dengan menggunakan semen
glass ionomer atau kompomer.
1.2 Fraktur Mahkota Lengkap
Pencabutan gigi merupakan perawatan yang terbaik namun bila pasien
kooperatif maka dapat dilakukan perawatan saluran akar dan dilanjutkan dengan
penambalan.
1.3 Fraktur Mahkota-Akar
Perawatan terbaik adalah ekstraksi, karena umumnya kamar pulpa akan
terbuka dan keberhasilan perawatan kurang memuaskan.
1.4 Fraktur Akar
Apabila pergeseran mahkota terlihat menjauh dari posisi seharusnya maka
pencabutan adalah perawatan terbaik. Bagian akar yang tertinggal hendaknya
tidak dicabut agar tidak mengganggu gigi tetap di bawahnya. Pada beberapa kasus
terlihat bila bagian mahkota menjadi nekrosis namun pada bagian akar tetap vital,
oleh karena itu resorpsi akar oleh gigi tetap dapat terjadi dan pertumbuhannya
tidak terganggu.
30
1.5 Concussion
Concussion umumnya tidak terlihat pada saat setelah terjadinya trauma.
Keluhan akan muncul bila telah timbul perubahan warna pada gigi. Daerah sekitar
umumnya akan terjadi luka (bibir, lidah), pembersihan daerah luka dengan
mengoleskan kapas yang dicelupkan pada cairan klorheksidin 0,1% sehari 2 kali
selama 1-2 minggu.
1.6 Subluksasi
Orang tua dianjurkan untuk membersihkan daerah luka dan memberikan
makanan lunak beberapa hari. Kegoyangan akan berkurang dalam 1-2 minggu.
1.7 Extrusive luxation
Perawatan terbaik adalah dengan mencabut gigi yang mengalami trauma.
1.8 Lateral luxation
Luksasi mahkota ke arah palatal akan menyebabkan akar bergeser ke arah
bukal, sehingga tidak terjadi gangguan pada benih gigi tetap di bawahnya.
Perawatan terbaik adalah dengan mengevaluasi gigi tersebut. Gigi akan kembali
pada posisi semula dalam waktu 1-2 bulan oleh karena tekanan lidah.
Pada gigi yang mengalami luksasi mahkota ke arah bukal perawatan terbaik
adalah melakukan pencabutan, oleh karena akar akan mengarah ke palatal
sehingga mengganggu benih gigi tetap di bawahnya.
1.9 Intrusive luxation
Pada gigi yang mengalami intrusi ke arah palatal perawatan terbaik adalah
ekstraksi. Alat yang digunakan untuk ekstraksi hendaknya hanya tang ekstraksi
dan daerah pencabutan dilakukan sedikit penekanan untuk mengembalikan tulang
yang bergeser. Apabila intrusi ke arah bukal cukup dilakukan evaluasi karena gigi
akan erupsi kembali ke arah semula. Orang tua dianjurkan untuk membersihkan
daerah trauma dengan menggunakan cairan klorheksidin 0,1%. Daerah trauma
rawan terjadi infeksi terutama pada 2-3 minggu pertama selama proses reerupsi.
Apabila tanda-tanda inflamasi terlihat pada periode ini maka perawatan terbaik
adalah ekstraksi. Waktu yang diperlukan untuk reerupsi umumnya antara 2-6
31
bulan. Bila reerupsi gagal terjadi akan timbul ankilosis dan pada kasus ini
ekstraksi adalah pilihan yang terbaik.
1.10Avulsi
Pada gigi sulung yang mengalami avulsi replantasi merupakan kontraindikasi
oleh karena koagulum yang terbentuk akan mengganggu benih gigi tetap.
Perawatan segera pada trauma gigi tetap Trauma pada gigi tetap umumnya terjadi
pada anak antara usia 8-11 tahun. Pada usia ini apeks gigi tetap belum tertutup
sempurna, sehingga perawatan yang dilakukan diharapkan dapat tetap
mempertahankan proses penutupan apeks dan vitalitas gigi dapat dipertahankan.
2. Perawatan segera pada trauma gigi tetap
Trauma pada gigi tetap umumnya terjadi pada anak antara usia 8-11 tahun.
Pada usia ini apeks gigi tetap belum tertutup sempurna, sehingga perawatan yang
dilakukan diharapkan dapat tetap mempertahankan proses penutupan apeks dan
vitalitas gigi dapat dipertahankan.
2.1 Fraktur mahkota
Fraktur mahkota yang terjadi dapat berupa infraksi email, fraktur email, dan
fraktur email-dentin.
2.1.1Infraksi email
Infraksi adalah fraktu inkomplit tanpa hilangnya substansi gigi dan garis
fraktur berujung pada enamel dentinal junction. Garis infraksi akan terlihat jelas
dengan menggunakan cahaya langsung dengan arah paralel terhadap sumbu
panjang gigi. Tidak diperlukan perawatan khusus pada kasus ini dan pasien hanya
disarankan untuk kontrol rutin untuk pemeriksaan gigi. Fraktur email Pada fraktur
ini akan tampak sedikit bagian email hilang. Tidak semua fraktur email dilakukan
penambalan oleh karena pada beberapa kasus batas sudut fraktur memberikan
gambaran yang baik sehingga hanya dilakukan penyesuaian pada gigi kontra
lateral agar tampak simetris.
I.1.2 Fraktur email-dentin
32
Fraktur email-dentin akan mengakibatkan terbukanya tubuli dentin sehingga
memungkinkan masuknya toksin bakteri yang berakibat inflamasi pulpa. Oleha
karena itu perlu dilakukan beberapa tindakan agar nekrosis pulpa tidak terjadi.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah:
1. Pembuatan restorasi mahkota sementara Pemberian kalsium hidroksida
pada dasar kavitas gigi dan penutupan email dengan menggunakan resin
komposit merupakan langkah sederhana dan mudah dilakukan. Penutupan
ditujukan untuk melindungi pulpa.
2. Melekatkan kembali fragmen mahkota
Perlu disosialisasikan bagi masyarakat untuk menyimpan dengan benar
fragmen mahkota gigi yang mengalami fraktur. Cara terbaik untuk
menyimpan fragmen tersebut adalah dengan merendam di dalam air atau
ke dalam NaCl fisiologis bila tidak dapat dilakukan tindakan secara
langsung. Preparasi permukaan fraktur dan dilakukan etsa serta pemberian
bonding agent dan resin komposit guna melekatkan kembali fragmen
tersebut.
3. Composite crown build up
Dilakukan bila fragmen mahkota tidak ditemukan. Prosedur yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
1) Preparasi kira-kira 2 mm pada email sekitar permukaan daerah fraktur.
2) Letakkan mahkota seluloid dan beri 2 lubang sebagai jalan keluar udara
saat dilakukan insersi.
3) Pilih warna resin komposit yang sesuai.
4) Agar daerah kerja tetap kering hendaknya menggunakan rubber dam.
5) Lakukan etsa kira-kira 2-3 mm pada email permukaan fraktur lalu bilas
dan keringkan.
6) Ulaskan bonding agent.
7) Masukkan resin komposit ke dalam mahkota seluloid dan letakkan
mahkota seluloid pada posisi yang benar.
8) Lakukan penyinaran dari arah bukal dan palatal.
33
9) Lepas rubber dam dan mahkota seluloid dengan menggunakan scalpel lalu
poles dengan menggunakan bur diamond dan disk.
I.1.3 Complicated crown fracture
Fraktur ini melibatkan email dan dentin dengan disertai terlibatnya sedikit
kamar pulpa. Tujuan perawatan adalah untuk mempertahankan vitalitas.
Jenis perawatan yang dapat dilakukan adalah direct pulp capping dan pulpotomi
parsial.
1. Direct pulp capping
Indikasi perawatan ini adalah keadaan pulpa baik, tidak terjadi lukasi yang
disertai kerusakan pada suplai darah di daerah apeks, bagian pulpa terbuka kurang
dari 1 mm, jarak waktu antara terbukanya pulpa dan perawatan kurang dari 24
jam, dan restorasi yang akan dibuat dapat mencegah masuknya bakteri. Langkah-
langkah direct pulp capping adalah:
1) Isolasi gigi dengan menggunakan rubber dam atau cotton roll.
2) Bersihkan permukaan fraktur menggunakan cotton pellets lembab yang
telah dicelupkan pada NaCl fisiologis atau klorheksidin.
3) Keringkan bagian pulpa yang terbuka dengan menggunakan cotton pellets
steril.
4) Daerah perforasi tutup dengan pasta kalsium hidroksida.
5) Tutup dengan restorasi pelindung seperti restorasi sementara, melekatkan
kembali fragmen mahkota atau composite build-up.
2. Pulpotomi parsial
Perawatan ini ditujukan untuk menghilangkan jaringan pulpa yang mengalami
inflamasi. Umumnya amputasi dilakukan kira-kira 2 mm di bawah daerah
tereksponasi. Indikasi perawatan ini adalah untuk gigi yang akarnya sudah
terbentuk lengkap ataupun belum dengan gambaran adanya warna pulpa merah
terang. Langkah-langkah pulpotomi parsial:
1) Lakukan anesthesi lokal.
34
2) Isolasi menggunakan rubber dam atau cotton roll dan bersihkan
permukaan fraktur dengan cotton pellets basah dan lembab yang telah
dicelupkan pada NaCl fisiologis atau klorheksidin.
3) Preparasi seperti bentuk box pada daerah eksponasi.
4) Gunakan contra angle dengan bur diamond silindris dan semprotan air.
5) Buang jaringan pulpa sedalam kurang lebih 2 mm.
6) Pertahankan hemostasis menggunakan irigasi NaCl fisiologis tekanan
ringan .
7) Tutup daerah tersebut dengan menggunakan pasta kalsium hidroksida dan
semen.
8) Berikan restorasi pelindung seperti restorasi sementara, pelekatan kembali
fragmen mahkota atau composite build up.
2.2 Fraktur Mahkota Akar
Perawatan fraktur mahkota akar dilakukan pada gigi yang masih bias
dilakukan restorasi. Apabila bagian akar masih cukup panjang maka dapat
dilakukan prosedur seperti di bawah ini:
1) Menghilangkan fragmen dan melekatkan gusi kembali
Fragmen mahkota dibuang dan gusi dibiarkan untuk melekat pada dentin
yang terbuka. Setelah beberapa minggu gigi dapat direstorasi sampai batas
gusi.
2) Menghilangkan fragmen dan melakukan bedah exposure pada
fraktursubgingiva.Setelah fragmen mahkota dibuang maka fraktur
subgingiva hendaknya dilebarkan melalui tindakan gingivektomi dan atau
alveolektomi. Bila gusi telah terlihat menutup maka gigi direstorasi
dengan post retained crown.
3) Menghilangkan fragmen dan orthodontic extrusion
Pada mulanya dilakukan stabilisasi fragmen mahkota pada gigi
sebelahnya. Kunjungan berikutnya dilakukan ekstirpasi pulpa dan
pengisian saluran akar. Bila telah selesai maka fragmen mahkota dibuah
dan dilakukan ekstrusi kira-kira 0,5 mm agar tidak terjadi relaps. Setelah
35
itu dilakukan gingivektomi pada permukaan bukal dan gigi siap untuk
direstorasi.
4) Menghilangkan fragmen dan surgical extrusion
Fragmen mahkota dilepaskan kemudian dengan menggunakan bein dan
tang ekstraksi kembalikan gigi ke posis sejajar dengan garis insisal.
Lakukan stabilisasi fragmen akar dengan melakukan penjahitan atau splint
non rigid. Kemudian lakukan ekstirpasi pulpa tanpa diisi dengan gutta
perca setelah itu tutup dengan tambalan sementara. Setelah 4 minggu
perawatan endodontik diselesaikan dan kira-kira 4-5 minggu kemudian
lakukan restorasi tetap.
2.3 Fraktur Akar
Gigi yang mengalami fraktur akar umumnya akan terjadi ekstrusi fragmen
mahkota atau bergesernya mahkota ke arah palatal, oleh karena itu maka
perawatan yang dilakukan harus meliputi reposisi fragmen mahkota segera dan
stabilisasi. Langkah-langkah perawatan fraktur akar:
1) Berikan anesthesi lokal pada daerah sekitar fraktur.
2) Lakukan reposisi fragmen mahkota secara perlahan-lahan dan tekanan
ringan.
3) Apabila dinding soket bukal juga mengalami fraktur maka tulang yang
bergeser perlu dilakukan reposisi sebelum reposisi fragmen mahkota.
Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan instrumen kecil dan rata
yang diletakkan antara permukaan akar dan dinding soket.
4) Pembuatan foto rontgen perlu dilakukan untuk memastikan reposisi telah
optimal.
5) Gigi distabilisasi dengan menggunakan splint.
6) Pertahankan splint selama 2-3 bulan.
Teknik memasang splint:
1) Gunakan kawat ortodontik dengan panjang kira-kira 0,032 inci dan
letakkan kira-kira pada sepertiga tengah permukaan bukal gigi yang
mengalami trauma dan beberapa gigi sebelah kanan dan kirinya.
36
2) Aplikasikan asam fosfat selama 15-20 detik pada permukaan bukal gigi
yang akan dilakukan splinting.
3) Bilas dengan menggunakan air hangat.
4) Aplikasikan selapis tipis resin komposit light curing.
5) Tempelkan kawat pada gigi yang tidak mengalami trauma selanjutnya
pada gigi yang mengalami trauma dan pastikan bahwa posisinya sudah
dalam keadaan baik.
6) Pasien diminta untuk berkumur sehari 2 kali dengan menggunakan larutan
klorheksidin 0,1%.
2.4 Concusion
Gigi yang mengalami concusion sering memberikan respon positif bila
dilakukan pekusi. Tidak diperlukan perawatan yang segera namun
pemeriksaan lanjutan perlu dilakukan untuk memastikan tidak terjadi jejas
pada pulpa.
2.5 Subluksasi
Lakukan splinting dan pasien diminta untuk memakan makanan lunak
selama selama 1-2 minggu. Agar plak tidak meningkat maka pasien
diinstruksikan untuk berkumur menggunakan klorheksidin.
2.6 Extrusive luxation
Prinsip perawatan yang diberikan adalah reposisi segera dan fiksasi.
Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1) Lakukan anestesi lokal.
2) Reposisi gigi dengan menggunakan jari perlahan-lahan dan tekanan ringan
sampai batas insisal sama dengan gigi kontralateral.
3) Periksa posisi dengan membuat foto rontgen.
4) Lakukan stabilisasi dengan menggunakan splint.
5) Pertahanakan splint selama 2-3 minggu. Lateral luxation
Lateral luxation umumnya terjadi pada arah palatal, bukal, mesial atau
distal. Arah bukal merupakan keadaan yang paling sering terjadi. Pada
beberapa kasus sering terjadi bony lock sehingga reposisi sulit dilakukan.
Langkah-langkah reposisi luksasi palatal:
37
1) Lakukan anestesi lokal.
2) Palpasi daerah lekukan sulkus dan pastikan letak apeks. Lakukan
penekanan dengan perlahan dan tekan daerah insisal agar gigi dapat
bergerak ke arah asal melalui fenestrasi di dalam soket.
3) Reposisi gigi kembali ke posisi asal melalui arah tekan yang berlawanan.
4) Lakukan reposisi tulang yang fraktur menggunakan tekanan jari.
5) Lakukan foto rontgen untuk memastikan posisi yang benar.
6) Stabilisasi gigi dengan menggunakan splint.
7) Pertahankan splint minimal 3-4 minggu.
8) Pembuatan foto rontgen setelah kira-kira 3 minggu bila tidak
menunjukkan
9) keretakan pada tulang marginal maka splint dipertahankan sampai 3-4
minggu berikutnya.
2.8. Intrusive luxation
Intrusive luxation merupakan kasus luksasi yang sulit dan keberhasilan
perawatan masih diperdebatkan. Beberapa petunjuk dalam merawat intrusive
luxation adalah sebagai berikut:
1) Reposisi segera melalui tindakan pembedahan merupakan tindakan
beresiko olah karena dapat menyebabkan resorpsi akar eksternal dan
hilangnya jaringan pendukung marginal. Reposisi secara bedah hendaknya
dihindari apabila gigi masuk ke dalam dasar hidung atau keluar dari
jaringan lunak vestibulum.
2) Beberapa kasus gigi intrusi dapat dikembalikan ke posisi semula melalui
perawatan ortodontik dan reerupsi spontan. Pemilihan teknik perawatan
bergantung pada tingkat keparahan intrusi dan kemungkinan terjadinya
resorpsi eksternal. Perawatan endodontik dapat mulai dilakukan setelah 2-
3 minggu kemudian. Apabila reerupsi spontan dirasakan cukup memakan
waktu lama maka dipertimbangkan untuk dilakukan dengan menggunakan
alat-alat ortodontik.
38
2.9 Avulsi
Cara-cara replantasi gigi avulsi yang dilakukan di tempat terjadinya trauma:
1) Tekan gigi yang mengalami avulsi dalam posisi yang benar pada soketnya
sesegera mungkin.
2) Cara lain adalah menempatkan gigi diantara bibir bawah dan gigi atau bila
tidak memungkinkan letakkan gigi pada segelas air susu.
3) Periksakan ke dokter gigi sesegera mungkin.
Cara-cara replantasi gigi di ruang praktek:
1) Lakukan anestesi lokal.
2) Bilas gigi perlahan-lahan dengan NaCl fisiologis menggunakan syringe.
3) Soket diirigasi menggunakan cairan NaCl fisiologis.
4) Letakkan gigi perlahan-lahan dengan tekanan jari.
5) Apabila fragmen tulang alveolar menghalangi replantasi maka lepaskan
kembali gigi dan tempatkan pada NaCl fisiologis. Kembalikan tulang pada
posisinya dan ulangi kembali replantasi.
6) Pembuatan foto rontgen dilakukan untuk memeriksa apakah posisi sudah
benar.
7) Stabilisasi gigi dengan menggunakan splint.
8) Berikan antibiotika selama 4-5 hari.
9) Berikan profilaksis tetanus bila gigi yang avulsi telah berkontak dengan
sesuatu.(10). Pasien diinstruksikan untuk berkumur menggunakan
klorheksidin 0,1% sehari 2 kali selama 1 minggu.
10) Lepaskan splint setelah 1-2 minggu.
11) Perawatan saluran akar dipertimbangkan bila tampak adanya kelainan
pada pulpa.
Pertimbangan perawatan saluran akar pada gigi yang mengalami avulsi:
1) Perawatan saluran akar dapat dilakukan setelah 7-10 hari kemudian atau
setelah splint dilepas.
2) Saluran akar diisi pasta kalsium hidroksida untuk sementara.
39
3) Pada gigi dengan foramen apikal yang masih terbuka kemungkinan akan
terjadi revaskularisasi pada pulpa sehingga perawatan saluran akar
hendaknya ditangguhkan.
4) Apabila pada foto rontgen terlihat tanda-tanda nekrosis pulpa dan adanya
gambaran radiolusen di daerah apikal dengan atau tanpa disertai resorpsi
akar eksternal maka perawatan saluran akar harus segera dilakukan.
5) Pada gigi dengan apeks belum tertutup dianjurkan untuk dilakukan
pembuatan foto rontgen setiap 2 minggu sekali sampai terlihat pulpa tidak
nekrosis dan penutupan apeks terjadi.
3.4 Perawatan Pulpa pada Anak
Trauma gigi tetap insisif sentral atas pada anak usia 10 tahun sering terjadi.
Hal ini dikarenakan pada usia tersebut anak sedang aktif bermain, berolahraga,
berlari dan bersepeda. Dan didukung juga oleh keadaan gigi pasien yang protusif
anterior. Pada kasus ini trauma terjadi saat anak sedang jatuh di dalam rumah.
Berdasarkan riwayat dimana terjadinya trauma maka pada pasien ini tidak
dianjurkan untuk pemberian ATS.
Alternatif perawatan yang dipilih pada kasus ini adalah pulpotomi.
Keuntungan pemilihan perawatan pulpotomi adalah pengambilan jaringan pulpa
terinfeksi seluruhnya pada kamar pulpa dan dapat mempertahankan pulpa vital
dalam saluran akar.
Keberhasilan perawatan pulpotomi dengan kalsium hidroksida tergantung dari
pemilihan kasus yang tepat dan prosedur perawatan yang benar. Pada kasus ini
perawatan dilakukan setelah trauma terjadi selama seminggu. Pada minggu
keempat setelah perawatan, hasil rontgen menunjukkan terbentuknya dentin
sekunder. Dan 6 bulan setelah perawatan pemeriksaan radiograpik menunjukkan
apeks tertutup sempurna. Kontrol secara periodik masih perlu dilakukan untuk
melihat keadaan pulpa gigi tersebut.
40
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
4.1.1 Pit dan fisura sealant
a. Sealant berbasis resin memiliki kemampuan retensi yang lebih baik
daripada glass ionomer
b. Bahan sealant berbasis resin digunakan pada gigi dengan beban kunyah
besar, dan mahkota gigi telah erupsi sempurna.
c. Bahan sealant semen ionomer kaca digunakan pada gigi dengan beban
kunyah ringan, dan mahkota gigi belum erupsi sempurna
4.1.2 Stainless Steel Crown
1. Penggunaan restorasi ssc dapatmenimbulkan efek pada kesehatan gusi
2. Adaptasi margin ssc yang burukmemberikan efek berupa gingivitis
3. Tingkat kebersihan mulut juga memberikan efek pada kesehatangusi.
Makin rendah tingkat kebersihan mulut, makin besar kemungkinan
timbulnya gingivitis
4.1.3 Trauma pada anak
Perawatan trauma gigi pada anak merupakan suatu tindakan yang segera
harus dilakukan dengan memperhatikan beberapa kendala yang muncul.
Penanganan tingkah laku anak meliputi teknik saat pemeriksaan, perawatan, dan
evaluasi hendaknya juga menjadi perhatian bagi para orang tua dan dokter gigi.
Oleh karena keberhasilan perawatan sangat ditentukan oleh cara-cara tersebut.
4.1.4 Perawatan pulpa pada Anak
Penyakit pulpa pada gigi anak ada resorbsi akar patologik dan pulpitis.
Perawatan saluran akar berguna untuk mengembalikan fungsi gigi yang masih
vital dan mempertahankan gigi yang non vital. Perawatan saluran akar ada
bermacam-macam seperti pulpotomi, pulpektomi, pulp caping dan apeksifikasi.
41
Masing -masing perawatan tersebut memiliki cara dan indikasi serta kontra
indikasi yang berbeda-beda.
Perawatan saluran akar tidak dapat dilakukan pada semua gigi tergantung
bagaimana tingkat keparahan karies dan penyakit pulpa yang dialami pasien.
Sebelum memutuskan dilakukan perawatan saluran akar, dokter harus melakukan
pemeriksaan intraoral dan pemeriksaan penunjang seperti rontgen. Gigi vital
maupun non vital dapat dilakukan perawatan saluran akar, namun apabila akar
telah resorbsi 2/3nya dengan karies yang sangat dalam lebih baik dicabut
42
43