Disfungsi otonom sirosis - USU Library :: Perpustakaan...

23
©2003 Digitized by USU digital library 1 DISFUNGSI AUTONOMIK DAN NEUROPATI PERIFER PADA PENDERITA SIROSIS HATI SUHAEMI BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA BAB I PENDAHULUAN Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat dan disertai nodul. Gambaran klinis pada sirosis hati muncul akibat kegagalan hepatoseluler dan terjadinya hipertensi portal. Hipertensi portal ini disebabkan oleh karena meningkatnya resistensi vaskular hati terhadap aliran darah portal dan diperberat oleh peningkatan aliran darah portal yang timbul akibat dilatasi arteri splanknik. Sirosis hati selalu dihubungkan dengan sirkulasi hiperdinamik yang ditandai dengan terjadinya vasodilatasi perifer, menurunnya resistensi vaskular sistemik dan splanknik, dan peningkatan curah jantung. Penyebab dari vasodilatasi sampai saat ini belum diketahui, tetapi dianggap sebagai ketidakseimbangan antara vasokontriktor endogen (Angiotensin II, vasopressin, nor epinefrin dan endotelin) dengan vasodilator (NO dan prostasiklin). Sistem saraf simpatis mempunyai peranan penting dalam terjadinya perubahan hemodinamik ini. Penelitian Trevisani dkk, Szalay melaporkan bahwa disfungsi sistem saraf autonomik yang terjadi pada sirosis hat i mempunyai peranan penting dalam patogenese terjadinya sirkulasi hiperdinamik, dan beratnya gangguan hemodinamik berhubungan dengan beratnya disfungsi autonomik. Beberapa peneliti mendapatkan adanya hubungan antara disfungsi autonomik dengan penyakit hati menahun, dimana juga didapatkan disfungsi autonomik baik pada penyakit hati menahun alkoholik atau non alkoholik. Chaudry dkk melaporkan disfungsi autonomik yang terjadi pada penderita sirosis hati merupakan bagian dari generalized sensory-motor polyneuropathy, dimana sebagian besar penderita disfungsi autonomik juga terbukti memiliki neuropati perifer. Trevisani dkk melaporkan 30 penderita sirosis hati, 80% menunjukkan adanya disfungsi autonomik, dimana disfungsi autonomik ini berhubungan dengan beratnya sirosis hati (berdasarkan kriteria Child-Pugh) dan tidak berhubungan dengan etiologi penyakit hati. Chaudry dkk melakukan pemeriksaan elektrofisiologi pada penderita sirosis hati mendapatkan hasil yang sesuai dengan “length-dependent axonal neuropathy” atau “dying back” neuropathy. Neuropati yang terjadi tidak tergantung pada penyebab penyakit hati, akan tetapi ada hubungan yang bermakna antara beratnya neuropati terhadap beratnya penyakit hati. Hasil pengamatan ini menyimpulkan bahwa disfungsi metabolik oleh karena kegagalan hati yang menyebabkan terjadinya neuropati. Pada penelitian prosfektif, penderita sirosis hati dengan disfungsi autonomik mempunyai prognosa yang jelek. Hal ini dapat menjelaskan bahwa meningkatnya mortalitas penderita sirosis hati oleh karena terjadi kerusakan pada arkus refleks autonom yang menyebabkan gagalnya merespon kejadian yang menimbulkan stres seperti: sepsis atau perdarahan.

Transcript of Disfungsi otonom sirosis - USU Library :: Perpustakaan...

©2003 Digitized by USU digital library 1

DISFUNGSI AUTONOMIK DAN NEUROPATI PERIFER PADA PENDERITA SIROSIS HATI

SUHAEMI

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN

Sirosis hati merupakan penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan

adanya pembentukan jaringan ikat dan disertai nodul. Gambaran klinis pada sirosis hati muncul akibat kegagalan hepatoseluler dan terjadinya hipertensi portal. Hipertensi portal ini disebabkan oleh karena meningkatnya resistensi vaskular hati terhadap aliran darah portal dan diperberat oleh peningkatan aliran darah portal yang timbul akibat dilatasi arteri splanknik.

Sirosis hati selalu dihubungkan dengan sirkulasi hiperdinamik yang ditandai dengan terjadinya vasodilatasi perifer, menurunnya resistensi vaskular sistemik dan splanknik, dan peningkatan curah jantung. Penyebab dari vasodilatasi sampai saat ini belum diketahui, tetapi dianggap sebagai ketidakseimbangan antara vasokontriktor endogen (Angiotensin II, vasopressin, nor epinefrin dan endotelin) dengan vasodilator (NO dan prostasiklin). Sistem saraf simpatis mempunyai peranan penting dalam terjadinya perubahan hemodinamik ini.

Penelitian Trevisani dkk, Szalay melaporkan bahwa disfungsi sistem saraf autonomik yang terjadi pada sirosis hat i mempunyai peranan penting dalam patogenese terjadinya sirkulasi hiperdinamik, dan beratnya gangguan hemodinamik berhubungan dengan beratnya disfungsi autonomik.

Beberapa peneliti mendapatkan adanya hubungan antara disfungsi autonomik dengan penyakit hati menahun, dimana juga didapatkan disfungsi autonomik baik pada penyakit hati menahun alkoholik atau non alkoholik. Chaudry dkk melaporkan disfungsi autonomik yang terjadi pada penderita sirosis hati merupakan bagian dari generalized sensory-motor polyneuropathy, dimana sebagian besar penderita disfungsi autonomik juga terbukti memiliki neuropati perifer.

Trevisani dkk melaporkan 30 penderita sirosis hati, 80% menunjukkan adanya disfungsi autonomik, dimana disfungsi autonomik ini berhubungan dengan beratnya sirosis hati (berdasarkan kriteria Child-Pugh) dan tidak berhubungan dengan etiologi penyakit hati. Chaudry dkk melakukan pemeriksaan elektrofisiologi pada penderita sirosis hati mendapatkan hasil yang sesuai dengan “length-dependent axonal neuropathy” atau “dying back” neuropathy. Neuropati yang terjadi tidak tergantung pada penyebab penyakit hati, akan tetapi ada hubungan yang bermakna antara beratnya neuropati terhadap beratnya penyakit hati. Hasil pengamatan ini menyimpulkan bahwa disfungsi metabolik oleh karena kegagalan hati yang menyebabkan terjadinya neuropati.

Pada penelitian prosfektif, penderita sirosis hati dengan disfungsi autonomik mempunyai prognosa yang jelek. Hal ini dapat menjelaskan bahwa meningkatnya mortalitas penderita sirosis hati oleh karena terjadi kerusakan pada arkus refleks autonom yang menyebabkan gagalnya merespon kejadian yang menimbulkan stres seperti: sepsis atau perdarahan.

©2003 Digitized by USU digital library 2

Dari uraian di atas penulis ingin meneliti penderita dengan sirosis hati yang mengalami kejadian disfungsi autonomik dan neuropati perifer (sensorimotor).

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. SISTEM SARAF AUTONOM

Sistem saraf autonom berhubungan dengan pengaturan otot jantung, otot polos pada viseral, dan kelenja r-kelenjar. Sistem saraf autonom membantu mempertahankan lingkungan dalam yang konstan dari tubuh (homeostasis). Sistem saraf autonom terdiri dari jaras aferen, eferen dan kumpulan sel saraf pada otak dan medulla spinalis yang mengatur fungsi sistem. Secara anatomis, sistem saraf autonom dibagi menjadi dua bagian dimana sebagian besar aktivitas keduanya bekerja secara berlawanan yaitu sistem saraf simpatis (torakolumbal) dan parasimpatis (kraniosakral).

Sistem saraf autonom juga berhubungan dengan saraf somatik; sebaliknya, kejadian somatik dapat mempengaruhi fungsi organ autonom. Pada susunan saraf pusat terdapat beberapa pusat saraf autonom, seperti medulla oblongata terdapat pengatur pernafasan dan tekanan darah. Hipotalamus dianggap sebagai pusat susunan saraf autonom. Walaupun demikian masih ada pusat yang lebih tinggi yang dapat mempengaruhinya yaitu korpus striatum dan korteks serebrum yang dianggap sebagai koordinator antara sistem autonom dan somatik.

Organ tubuh umumnya dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis, dan tonus yang terlihat merupakan hasil perimbangan kedua sistem tersebut. Sistem parasimpatis bersifat vital bagi tubuh. Sebaliknya mahluk dapat hidup setelah denervasi saraf simpatis asalkan dilindungi terhadap ancaman dari luar. Bila ada stres, mahluk yang telah didenervasi parasimpatis tersebut cenderung lebih cepat mati dibanding dengan mahluk yang sistem simpatisnya utuh.

2.1.1. Neuropati

Secara umum dapat disebutkan bahwa neuropati adalah suatu penyakit dengan gejala klinik yang timbul karena kelainan saraf perifer, umumnya berupa degenerasi non inflamasi yang luas dengan gejala yang meliputi kelemahan motorik, gangguan sensorik, gangguan autonom dan melemahnya refleks tendon. Saraf perifer yang terkena meliputi semua akar saraf spinalis, sel ganglion radiks dorsalis, semua saraf perifer dengan semua cabang terminalnya, susunan saraf autonom, dan saraf otak kecuali saraf optikus dan olfaktorius.

Penyebab dari neuropati sangat banyak diantaranya adalah proses inflamasi,kelainan endokrin dan metabolik, infeksi, disproteinemia, vaskulitis, defesiensi nutrisi, toksin, obat obatan dan idiopatik. Bentuk kelainan yang dijumpai dapat berupa degenerasi Walleri, demielinisasi segmental, atau degenerasi aksonal. Degenerasi fokal selubung mielin disebut demielinisasi segmental. Degenerasi selubung mielin sebagai akibat dari kelainan pada akson disebut degenerasi Walleri. Pada degenerasi akson dan Walleri, perbaikannya lambat karena menunggu regenerasi akson.

©2003 Digitized by USU digital library 3

2.1.2. Neuropati Perifer

Sistem saraf perifer adalah struktur yang berada diluar susunan saraf pusat yang berupa: saraf motorik, sensorik dan autonomik. Sebagaimana susunan saraf pusat, fungsi saraf perifer tergantung kepada keutuhan akson dan mielin, kelainan saraf perifer dapat pada akson (aksonal neuropati), mielin (degenerasi mielin). Klasifikasi neuropati perifer adalah : Polineuropati (bilateral simetris, dimulai didaerah distal, stocking and glove pattern), Mononeuropati (mengenai satu saraf), Mononeuropati multipel, Radikulopati (mengenai radiks), Demielinisasi (mengenai proksimal dan distal), Degenerasi aksonal dimulai dari distal menuju proksimal.

Manifestasi neuropati perifer dapat merupakan campuran sensorik- motorik dan ketidak seimbangan saraf autonom, nyeri, parestesi, weakness, atrofi otot, refleks tendon menghilang, anhidrosis, hipotensi ortostatik, impotensi, diare, konstipasi.

2.2. HUBUNGAN SISTEM SARAF AUTONOM DENGAN HATI DAN INTESTINAL

Hati dan intestinal menerima suplai saraf dari sistem saraf autonom. Diduga hubungan saraf ini menunjukkan jalur yang penting adanya hubungan dua arah antara hati dan intestinal. Jalur transmisi sinyal meliputi vagal aferen yang membawa informasi sensorik dari area portohepatik ke intestinal melalui brain stem secara berurutan menyesuaikan keluaran vagus melalui ganglion celiac atau secara langsung hubungan saraf ke intestinal. Hal ini membuktikan adanya interaksi yang erat antara hati dan intestinal melalui sistem saraf autonom. Kemungkinan hal ini yang dapat menjelaskan antara kejadian disfungsi autonomik pada penyakit hati menahun.

Penyakit hati dihubungkan dengan kelainan neuro-endokrin, di antaranya yang paling penting adalah perubahan aktivitas dan fungsi sistem saraf simpatis.

Telah terbukti bahwa hiperaktivitas saraf simpatis mempunyai peranan penting dalam gangguan kardiovaskular, homeostatis, dan metabolik pada penyakit hati menahun. Peningkatan sistem simpatis dapat dinilai dengan meningkatnya kadar nor epinefrin dalam sirkulasi. Telah terbukti pada penderita sirosis hati, ada hubungan langsung antara hiperaktivitas sistem saraf simpatis dengan beratnya penyakit hati.

Sirkulasi hiperdinamik adalah keadaan yang timbul pada penderita sirosis hati dimana terjadi peningkatan denyut jantung dan cardiac output serta berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer dan menurunnya tekanan darah sistemik. Patogenese vasodilatasi masih dalam perdebatan. Hal ini diduga sebagai akibat dari kelebihan produksi berbagai zat vasoaktif seperti, histamin, adenosin, gut -derived peptides, endothelial cell derived vasodilators, dan retensi asam empedu yang menyebabkan berkurangnya kemampuan dalam menghadapi perubahan vaskular bed terhadap stimulasi vasokontriktor endogen. Sistem saraf autonom mempunyai peranan penting dalam mengatur performans jantung dan aktivitas vasomotor. Adanya disfungsi autonomik pada sirosis hati telah jelas terlihat melalui beberapa pendekatan eksperimental, termasuk penilaian respon kardiovaskular dan respon sudomotor terhadap stimulasi fisiologis dan farmakologis.

2.3. HUBUNGAN DISFUNGSI AUTONOMIK DENGAN SIRKULASI HIPERDINAMIK

Dua hal yang dipertimbangkan dalam menentukan hubungan antara sirkulasi yang hiperdinamik dengan adanya disfungsi autonomik. Pertama, sistem saraf autonom mempunyai peranan penting dalam mempertahankan homeostatis kardiovaskular,

©2003 Digitized by USU digital library 4

dimana disfungsi autonomik ini yang diduga menyebabkan gangguan hemodinamik. Kedua, disfungsi autonomik sering ditemukan pada penderita sirosis hati dan prevalensinya akan meningkat sejalan dengan beratnya penyakit hati.

Trevisani dkk mendapatkan disfungsi autonomik yang terjadi pada penderita sirosis hati mempunyai peran penting dalam patogenese terjadinya sirkulasi hiperdinamik. Beratnya gangguan hemodinamik berhubungan dengan beratnya disfungsi autonomik. Kejadian lain yang bersamaan dalam terjadinya disfungsi autonomik, termasuk faktor yang mempengaruhi integritas saraf seperti metabolisme lipid, defisiensi vitamin E, alkohol, proses autoimun dan retensi metabolik yang toksik. 2.4. HUBUNGAN DISFUNGSI AUTONOMIK DENGAN PENYAKIT HATI KRONIK

Beberapa peneliti mendapatkan adanya hubungan antara disfungsi autonom dengan penyakit hati menahun. Trevisani dkk mendapatkan pada 80% penderita sirosis hati, ditemukan disfungsi autonomik (terutama disfungsi vagal). Sebagian besar dijumpai adanya kelainan pada denyut jantung dengan bernapas dalam dan valsava manuver. Hal ini sesuai dengan adanya neuropati autonomik terutama disfungsi parasimpatis. Tidak ditemukan adanya penurunan tekanan darah pada perubahan posisi, hal ini menunjukkan bahwa diduga fungsi simpatis masih baik. Sebagaimana yang diduga bahwa fungsi parasimpatis lebih sering terlibat daripada fungsi simpatis, keadaan ini menggambarkan kerusakan yang terjadi lebih awal pada cabang vagal. Kemungkinan besar lebih mudah timbulnya kerusakan pada serabut parasimpatis, kemudian diikuti disfungsi simpatis. Urutan kerusakan ini dapat menunjukkan bahwa uji disfungsi parasimpatis lebih sensitif daripada uji disfungsi simpatis sebab kelainan fungsi vagus lebih mudah dideteksi jika dijumpai kelainan pada kedua sirkuit parasimpatis dan simpatis. Hal ini sesuai dengan yang diteliti Thuluvath dan Kempler dimana disfungsi autonomik ditemukan pada penyakit hati alkoholik maupun non alkoholik.

Fungsi dari saraf parasimpatis dapat dinilai dengan metode tidak invasif yaitu dengan menilai kontrol vagal denyut jantung terhadap stimulasi pernapasan, valsava manuver atau perubahan posisi dari berbaring ke berdiri. Uji klinis untuk mendeteksi disfungsi dari saraf parasimpatis bisa dilakukan dengan elektrokardiografi dan monitoring Holter. Penilaian terhadap fungsi simpatis dapat dinilai dari respon tekanan darah dari posisi berbaring ke posisi berdiri, dan terhadap tegangan tangan dipertahankan (handgrip), pengukuran interval QT dengan elektrokardiografi.

2.4.1. Patogenese Neuropati pada Penderita Sirosis Hati

Meskipun neuropati perifer (sensorimotor) sering terjadi pada penderita penyakit hati, masih ada kontroversi mengenai penyebab dan akibat dari neuropati perifer ini. Beberapa peneliti meragukan terjadinya ”hepatik neuropati“ ini, tetapi peneliti lain melaporkan insiden berkisar 19 – 100%. Hampir semua peneliti menyatakan bahwa neuropati perifer yang terjadi pada penyakit hati umumnya gejala klinis ringan atau subklinis, karakteristik yang terperinci mengenai jenis neuropati dan hubungannya dengan kegagalan hepatoseluler masih kurang.

Chopra meneliti peranan portosistemik shunt dan kegagalan sel hati sebagai penyebab terjadinya neuropati pada penyakit hati kronik. Dua dari 14 pasien sirosis hati non alkoholik terbukti secara klinis dijumpai neuropati, sedangkan pasien dengan fibrosis portal idiopatik tidak ditemukan neuropati. Terdapat penurunan kecepatan hantaran saraf pada sirosis hati non alkoholik maupun fibrosis portal idiopatik. Terdapat lebih dari 90% perubahan morfologi saraf pada biopsi yang berupa demielinisasi dan

©2003 Digitized by USU digital library 5

remielinisasi. Tidak ada hubungan antara perubahan histologi dengan beberapa parameter penelitian. Neuropati yang terjadi ini disebabkan oleh adanya hubungan kolateral dan kegagalan sel hati yang kemungkinan berhubungan dengan gangguan metabolisme nitrogen. Tetapi sebaliknya penelitian pada mencit percobaan yang mengalami kerusakan pada sel hati yang dilakukan anastomosis portokarval, menunjukkan bahwa kegagalan sel hati merupakan patofisiologi neuropati pada penyakit hati kronis.

Kardel dan Nielsen mendapatkan pada 31 dari 34 pasien sirosis hati dengan kelainan ringan saraf perifer baik secara klinis atau pengukuran secara elektrofisiologis ataupun keduanya, menyimpulkan bahwa pada dasarnya terjadi inhibisi metabolik terhadap membran akson. Chari dkk menyimpulkan neuropati yang terjadi pada penderita sirosis hati disebabkan oleh kelainan metabolik atau toksin yang belum diketahui. Keresztes melaporkan terjadi perbaikan yang bermakna disfungsi autonomik dan kecepatan hantaran saraf sensorik setelah dilakukan transplantasi hati, dimana perbaikan terjadi lebih awal pada fungsi parasimpatis, kemudian diikuti perbaikan simpatis.

Seneviratne dan Peiris meneliti fungsi saraf perifer secara elektrofisiologis pada 50 pasien dengan penyakit hati kronik. Tiga puluh empat dari 50 orang memperlihatkan keadaan yang laten atau pengurangan amplitudo gelombang sensoris saraf medianus, walaupun secara klinis neuropati hanya terbukti pada 4 pasien. Penelitian ini menyimpulkan terjadi peningkatan resistensi saraf oleh karena iskemia yang mengakibatkan berkurangnya kecepatan hantaran saraf sebagai akibat dari proses demielinisasi.

Penelitian Dayan dan Williams , demielinisasi segmental pada saraf perifer pada penderita penyakit hati kronik disebabkan penimbunan metabolik toksik hasil kerusakan sel hati yang belum dapat diidentifikasi, keadaan ini yang menyebabkan kerusakan pada sel Schwann.

Penilaian neuropati perifer (sensorimotor) pada penderita sirosis hati dapat digunakan dengan sistem skore klinis, walaupun umumnya neuropat i ini bersifat subklinis. Oliver dkk dengan pemeriksaan kecepatan hantaran saraf mendapatkan 17 terbukti adanya kelainan pada parameter konduksi saraf, dimana 12 di antaranya dengan pemeriksaan fisik dinyatakan normal. Pada pemeriksaan elektrofisiologi pada penderita sirosis hati yang dilakukan dengan terperinci didapatkan sebagian besar penderita sesuai dengan ”leght-dependent axonal neuropathy“ atau ”dying back neuropathy “. Hal ini bertentangan dengan laporan elektrofisiologi sebelumnya, dimana neuropati yang terjadi oleh karena demielinisasi, terutama berdasarkan dengan berkurangnya kecepatan hantaran saraf pada saraf median, ulnaris dan peroneus.

2.5. SIROSIS HATI

2.5.1. Definisi

Secara histopatologis sirosis hati didefinisikan sebagai penyakit hati menahun yang ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat yang difus dan disertai adanya nodul.

2.5.2. Patogenesis

Penyebab terbanyak sirosis hati di Asia Tenggara adalah virus hepatitis B dan C,dan juga merupakan penyebab terbanyak untuk kejadian karsinoma hepatoseluler, yang merupakan kelanjutan sirosis hati.39 Demikian juga di Indonesia, pada penderita

©2003 Digitized by USU digital library 6

sirosis hati prevalensi virus hepatitis berkisar 21,2 - 46,9% dan virus hepatitis C 38,7-73,9%. Penyebaran hepatitis B terbanyak adalah secara horisontal (parenteral) dan sebagian secara vertikal (merupakan jenis penyebaran yang dianggap penting karena sering menyebabkan kronisitas). Hepatitis C kebanyakan menyebar melalui transfusi darah, tetapi dapat juga ditemui tanpa adanya riwayat transfusi yang jelas.

Infeksi virus hepatitis B dan C akan menimbulkan peradangan sel hati. Peradangan ini menyebabkan nekrosis yang meliputi daerah yang luas, terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan kolagen. Tingkat awal yang terjadi adalah terbentuknya septa yang pasif oleh jaringan retikulum penyangga yang mengalami kolaps dan kemudian berubah bentuk menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan daerah porta yang satu dengan lainnya atau porta dengan sentral (bridging necrosis). Pada tahap berikut kerusakan parenkim dan peradangan yang terjadi pada sel duktus, sinusoid dan sel retikuloendotelial di dalam hati, akan memacu terjadinya fibrogenesis sehingga terbentuk septa aktif. Sel limfosit T dan makrofag juga mungkin berperan dengan mengeluarkan limfokin yang dianggap sebagai mediator dari fibrogenesis.

Septa aktif ini akan menjalar menuju kedalam parenkim hati dan berakhir di daerah portal. Pembentukan septa tingkat kedua ini yang sangat menentukan perjalanan progresivitas dari sirosi hati. Pada tingkat yang bersamaan nekrosis jaringan parenkim akan memacu proses regenerasi sel-sel hati. Regenerasi yang timbul akan mengganggu pembentukan susunan jaringan ikat tadi. Keadaan ini yaitu fibrogenesis dan regenerasi sel yang terjadi terus menerus dalam hubungannya peradangan dan perubahan vaskular intrahepatik serta gangguan kemampuan faal hati, pada akhirnya menghasilkan susunan hati yang dapat dilihat pada sirosis hati. Walaupun etiologinya berbeda, gambaran histologis hati sama atau hampir sama.

2.5.3. Gambaran Klinis

Gambaran klinis dari sirosis hati, secara umum adalah akibat terjadinya kegagalan hati (hepatoseluler) dan hipertensi portal.

2.5.3.1. Kegagalan Hati (Kegagalan Hepatoseluler)

Dijumpai gejala subjektif berupa lemah, berat badan menurun, kembung, mual dan lain lain. Pada pemeriksaan fisik dijumpai spider nevi, eritema palmaris, asites, pertumbuhan rambut yang berkurang, atrofi testis dan ginekomastia pada pria, ikterus, ensefalopati hepatik, hipoalbumin disertai terbaliknya rasio albumin dan globulin serum.

2.5.3.2. Hipertensi Portal

Hipertensi portal adalah sindroma klinik umum yang berhubungan dengan penyakit hati kronik dan dijumpai peningkatan tekanan portal yang patologis. Tekanan portal normal berkisar antara 5-10 mmHg. Hipertensi portal timbul bila terdapat kenaikan tekanan dalam sistem portal yang sifatnya menetap di atas harga normal. Disebut hipertensi portal bila tekanan portal lebih dari 15 mmHg.

2.5.3.2.1.Sirkulasi Hiperdinamik pada Sirosis hati

Hipertensi portal pada sirosis hati diuhubungkan dengan sirkulasi hiperdinamik yang ditandai dengan penurunan tahanan arterial, vasodilatasi perifer dan regional. Vasodilatasi yang disertai dengan peningkatan kardiak indeks dan aliran darah regional.

©2003 Digitized by USU digital library 7

Aliran darah yang hiperkinetik dijumpai pada daerah splanknik dan sirkulasi sistemik dengan aliran darah ke intestinal, lambung, limpa dan pankreas meningkat lebih 50% diatas nilai kontrol. Sirkulasi hiperdinamik splanknik adalah konstribusi yang utama menyebabkan gejala hipertensi portal. Meskipun sistem kolateral sistemik terbentuk untuk mengurangi sirkulasi portal, tetapi komplikasi hipertensi portal masih dapat terjadi, yang paling sering adalah timbulnya varises esofagus dan perdarahan varises.

Sirkulasi hiperdinamik tampak pada pasien dengan ekstremitas hangat, nadi yang kuat, denyut jantung yang cepat, cardiac output meningkat dan volume darah meningkat. Bila terjadi progesivitas penyakit, tahanan vaskular semakin menurun: vasodilatasi menjamin perfusi jaringan yang adekuat, tetapi jika menetap, tekanan arteri yang rendah akan menyebabkan gangguan sekunder pada ginjal. Ekspansi volume darah ini diikuti dengan ginjal menahan natrium dan air yang menimbulkan hiperaldosteronism sekunder, teraktivasinya sistem saraf simpatis, meningkatnya sekresi arginin vasopresin yang akhinya mengurangi aliran darah ke ginjal.

2.5.4. Diagnosa

Diagnosa sirosis hati ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium dan pemeriksaan penunjang antara lain seperti ultrasonografi. Pada stadium kompensasi sempurna kadang-kadang sangat sulit menegakkan diagnosa sirosis hati. Pada stadium dekompensasi tidak sulit untuk menegakkan diagnosa. Pada stadium ini sudah dijumpai gejala kegagalan sel hati dan hipertensi portal yaiyu: adanya asites, edema pretibial, splenomegali, vena kolateral, eritema palmaris dan albumin serum yang menurun.

Pemeriksaan ultrasonografi merupakan pemeriksaan tidak invasif, aman dan mempunyai ketepatan akurasi yang tinggi. Needlemann et al mendapatkan bahwa ketepatan diagnostik dengan ultrasonografi sekitar 80%, Taylor mendapatkan ketepatan sekitar 93%, sedangkan Sujono Hadi dan beberapa peneliti lain mendapatkan ketepatan diagnosa sirosis hati dengan ultrasonografi sekitar 88-100%. Gambaran ultrasonografi pada sirosis hati tergantung pada berat ringannya penyakit. Diagnosa pasti dari sirosis hati ditegakkan melalui pemeriksaan histopatologi ( biopsi hati ).

2.5.5. Prognosis

Prognosis sirosis hati tergantung dari beberapa hal dan tidak selamanya buruk. Parameter yang dipakai untuk menentukan prognosis sirosis hati adalah kriteria Child, yang dikaitkan dengan kemungkinan bila penderita menghadapi tindakan operasi. Mortalitas Child A pada operasi berkisar 10-15%, Child B 30% dan Child C diatas 60%. Oleh Pugh dan kawan kawan, kriteria Child ini diganti dengan pemanjangan masa protrombin (PT). Parameter yang diukur pada kriteria Child-Pugh dapat dilihat pada tabel dibawah.

©2003 Digitized by USU digital library 8

Tabel 1. Kriteria modifikasi Child-Pugh

Grade (1) (2) (3)

Bilirubin serum (mg/dl) Albumin serum (mg/dl) Asites Ensefalopati Protrombin time (detik)

< 2,0 > 3,5

- -

< 4

2,0 – 3,0 28 – 3,5

Mudah dikontrol Minimal

4 – 6

> 3,0 < 2,8

Sulit dikontrol Berat/koma

> 6

Grade A : Skor 5-6 Grade B : Skor 7-9 Grade C : Skor 10-15

2.6. PEMERIKSAAN ELEKTROMIOGRAFI (EMG) Pemeriksaan untuk menilai neuropati perifer( sensorimotor ) secara objektif dengan alat elektromiografi (EMG). Elektromiografi (EMG) adalah suatu tehnik pemeriksaan dengan menggunakan elektroda jarum yang ditusukkan ke dalam otot rangka untuk mempelajari perubahan perubahan potensial listriknya. EMG merupakan salah satu pemeriksaan elektrodiagnosis untuk memeriksa fungsi saraf perifer dan otot. Pemeriksaan EMG dilakukan pada keadaan relaksasi otot maksimum dan pada aktivitas otot volunter dengan berbagai tingkatan.

Penyebab gangguan saraf perifer beraneka ragam dengan manifestasi yang berbeda beda, sehingga membutuhkan suatu pendekatan yang sistematik untuk menentukan suatu diagnosis.

2.6.1. Jenis Pemeriksaan

Pemeriksaan neurofisiologis yang dapat dilakukan pada gangguan saraf perifer adalah: 1) EMG elementer (EMG konvensional atau elektromiografi klinik) yaitu mempelajari dan merekam potensial yang terjadi bila saraf perifer dan otot sedang aktif, dan juga mencari aktivitas spontan sewaktu otot sedang istirahat; 2) Elektroneurografi yaitu stimulasi listrik yang diberikan secara artifisial pada saraf perifer untuk mengukur kecepatan hantaran saraf (KHS) / (Nerve Conduction Velocity/NCV) motorik dan sensorik, F wave, H.Reflex dan Blink-reflex; 3) Pemeriksaan potensial cetusan Somato-Sensory Evoked Potential (SSEP) digunakan untuk memeriksa lesi-lesi yang letaknya lebih proksimal, sepanjang jaras somato-sensorik.

2.6.2. Tujuan pemeriksaan Elektromiografi

Memeriksa gangguan lower motor neuron yang lesinya terletak di kornu anterior medula spinalis (motorneuron), radiks, pleksus, saraf perifer, neuromuskular junction dan otot dengan tujuan sebagai berikut: 1) Membantu menegakkan diagnosis; 2) Membantu menentukan letak lesi ; 3) Membedakan lesi saraf atau otot; 4) Menentukan lesi saraf yang terkena parsial atau total; 5) Menentukan apakah terkena serabut motorik atau sensorik atau keduanya; 6) Melakukan evaluasi efek pengobatan bila

©2003 Digitized by USU digital library 9

dilakukan sebelum dan sesudah diberikan terapi; 7) Membantu menentukan prognosis, apakah masih bisa membaik ,atau proses penyembuhan telah selesai.

2.6.3. Pemeriksaan Kecepatan Hantaran Saraf

Pemeriksaan hantar saraf menilai kecepatan hantar melalui saraf-saraf motorik dan sensorik perifer dan pleksus. Pemeriksaan menilai fungsi saraf berdiameter besar.

2.6.4.1. Pemeriksaan Kecepatan Hantaran Saraf Motorik

Latensi untuk memeriksa transmisi melalui persimpangan mioneuron (myoneural junction) depolarisasi dari membran sel, dan rangsangan pada ototnya sendiri. Kecepatan hantaran saraf menjadi lambat pada demielinasi dari serabut saraf motorik. Amplitudo dari compound muscle action potential (CMAP) berhubungan dengan banyaknya akson saraf motorik yang terkena, jadi berkurang bila ada konduksi terganggu pada kerusakan selubung mielin karena blok konduksi atau kerusakan akson. Kecepatan hantaran saraf yang menurun didapatkan CMAP akan bertambah dan amplitudo berkurang.

2.6.4.2. Pemeriksaan Kecepatan Hantaran Saraf Sensorik

Kecepatan hantar saraf sensorik berkurang pada demielinasi serat saraf sensorik. Amplitudo dari sensoric nerve action potential (SNAP) berhubungan dengan banyaknya serabut aferen bermielin yang berfungsi. Lamanya SNAP adalah indikasi uniformitas dari kecepatan hantar dari akson besar. Pengukuran ini akan lebih pasti dilakukan dengan menggunakan elektrode jarum. Pemeriksaan SNAP ini dipakai untuk membedakan antara radikulopati dan lesi saraf lebih distal.

2.6.4.2. Pengukuran dan Nilai Normal Kecepatan Hantaran Saraf (KHS)

Pengukuran KHS dapat dilakukan secara ortodromik (mengikuti arus impuls saraf) atau secara antidromik (melawan arus impuls saraf) yang umumnya dilakukan pada KHS sensorik. Saraf tepi yang diperiksa adalah N. Medianus, N. Ulnaris, N. Radialis di lengan dan N. Peroneus dan N. Tibialis di tungkai. Kecepatan hantaran (m/det) = Jarak hantaran (mm) dibagi dengan Waktu hantaran (m.det).

Hasil pemeriksaan kecepatan hantaran saraf ditentukan dalam meter per detik yang diukur berdasarkan prosedur yang standar. Dinyatakan positif neuropati perifer (sensorimotor) bila didapatkan penurunan kecepatan hantaran saraf. 1) KHS motorik n. Median, abn < 48, n. Peroneus, abn < 40, n. Tibialis < 40 2) KHS sensorik n. Median abn < 40, n. Peroneus < 35, n. Suralis < 36 m/detik.

©2003 Digitized by USU digital library 10

BAB III PENELITIAN SENDIRI

3.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Sirosis hati adalah penyakit hati kronis yang progresif, yang dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi. Salah satunya adalah komplikasi persarafan sebagai manifestasi ekstrahepatik berupa neuropati perifer. Beratnya neuropati perifer berhubungan dengan keparahan sirosis hati.

Selama bertahun tahun telah diketahui bahwa neuropati perifer sering menyertai berbagai penyakit hati. Contoh yang paling jelas adalah polineuropati yang disebabkan penyakit hati kronik oleh karena alkohol. Banyak penyakit dimana dijumpai kelainan hati dan dan saraf dapat ditemukan secara bersamaan yaitu: mononukleosis infeksiosus, intermitten porphyria akut, poliarteritis nodosa , penyakit vaskulitis dan keracunan arsen yang akut. Gambaran terpenting dari semua ini adalah bahwa secara keseluruhan hal tersebut merupakan kelainan sistemik yang primer mengenai kerusakan hati dan saraf.

Sistem saraf perifer terdiri dari saraf sensorik, motorik dan autonom yang kesemuanya mempunyai: 1) Akson (neuron); 2) Sel Schwann (sel neurolemma); 3) Endoneurium, perineurium dan epineurium. Saraf perifer terdiri dari large myelinated, small myelinated dan unmyelinated. Neurelomma yang menghasilkan mielin yaitu suatu lapisan lipid dan protein yang mengelilingi sumbu silinder. Hampir semua serabut saraf dengan diameter > 2 um bermielin dan < 2 um tanpa myelin.

Hati dan intestinal mendapatkan persarafan dari sistem saraf autonom. Hal yang dapat menjelaskan hubungan saraf ini menunjukkan pentingnya hubungan timbal balik antara hati dan intestinal. Jalur transmisi sinyal meliputi vagal aferen yang membawa informasi sensorik dari daerah portohepatik ke intestinal melalui brain stem secara berurutan menyesuaikan keluaran vagus, melalui ganglion celiac atau secara langsung berhubungan ke intestinal. Bukti ini yang dapat menjelaskan hubungan antara hati dan intestinal melalui sistem saraf autonom. Sehingga ini dapat menjelaskan adanya hubungan disfungsi autonomik dengan penyakit hati kronik. Ini didukung beberapa penelitian disfungsi vagal sering dijumpai pada penyakit hati kronik, dan beratnya keparahan penyakit hati menyebabkan semakin besarnya prevalensi kelainan autonom. Disfungsi autonomik merupakan prediktor mortalitas yang independen dan tidak tergantung pada nilai Child-Pugh.

Pada tahun 1967 Dayan dan Williams melaporkan adanya demielinisasi dan remielinisasi segmental pada 10 bahan biopsi nervus sural pada pasien dengan berbagai lesi penyakit hati kronik. Degenerasi aksonal sangat jarang, hanya dijumpai pada pasien yang diketahui mempunyai riwayat minum alkohol, hemokromatosis, dan diabetes mellitus. Enam dari 10 pasien yang diteliti didapati manifestasi gejala motorik atau dengan kelainan sensorik pada ektremitas bawah.

Knill dan Jones melaporkan pada 70 pasien yang diambil secara acak pada penyakit hati kronik mendapatkan ada 13 orang yang terbukti secara klinis neuropati dan ditemukan adanya perlambatan kecepatan hantaran saraf tanpa adanya gejala lain. Penemuan ini hanya menunjukkan gejala yang ringan dan hanya 2 pasien yang mengeluhkan disestesis , motor weakness. Pada 14 orang pasien ditemukan secara biopsi terbukti adanya neuropati, dimana 6 diantaranya secara klinis dan elektrofisiologis tidak terbukti mengalami disfungsi saraf. Hal ini dapat menjelaskan bahwa neuropati subklinik sering ditemukan pada penyakit hati kronik.

©2003 Digitized by USU digital library 11

Kardel dan Nielsen melaporkan bahwa pada 34 pasien penyakit hati kronik yang berat dijumpai adanya kelainan saraf perifer baik secara klinis maupun secara elektrofisiologis ataupun keduanya pada 31 orang pasien. Dilaporkan bahwa gangguan metabolik yang menyebabkan terganggunya fungsi membran akson. Penelitian lain mendapatkan bahwa kejadian portosistemik shunt merupakan penyebab terjadinya kelainan saraf.

Seneviratne dan Peiris meneliti fungsi saraf perifer secara elektrofisiologis pada 50 pasien penyakit hati kronik. Dijumpai sebanyak 34 pasien menunjukkan adanya peningkatan keadaan laten atau pengurangan amplitudo evoked sensory potential of the median nerve. Secara kinis gejala neuropati hanya terdeteksi pada 4 pasien .

Beberapa peneliti mendapatkan adanya hubungan antara disfungsi autonomik dengan penyakit hati menahun. Dimana juga didapatkan disfungsi autonomik baik pada penyakit hati menahun alkoholik atau non alkoholik. Chaudry dkk melaporkan disfungsi autonomik yang terjadi pada penderita sirosis hati merupakan bagian dari generalized sensory-motor polineuropathy. Dimana sebagian besar penderita disfungsi autonomik juga terbukti memiliki neuropati perifer.

Trevisani dkk melaporkan 30 penderita sirosis hati, 80% menunjukkan adanya disfungsi autonomik, dimana disfungsi autonomik ini berhubungan dengan beratnya sirosis hati (berdasarkan kriteria Child-Pugh) dan tidak berhubungan dengan etiologi penyakit hati.

Dari uraian di atas penulis ingin meneliti apakah ada hubungan beratnya penyakit hati dengan disfungsi autonomik dan neuropati perifer pada penderita sirosis hati , sepengetahuan kami belum pernah dilakukan di Medan.

3.2. PERUMUSAN MASALAH

3.2.1. Apakah ada hubungan beratnya disfungsi autonomik dengan beratnya sirosis hati (berdasarkan kriteria Child-Pugh)

3.2.2. Apakah ada hubungan neuropati perifer (sensorimotor) dengan beratnya sirosis hati (berdasarkan kriteria Child-Pugh)

3.2.3. Apakah ada korelasi antara disfungsi autonomik dengan neuropati perifer (sensorimotor) pada penderita sirosis hati.

3.3. HIPOTESA

3.3.1. Ada hubungan beratnya disfungsi autonomik dengan beratnya sirosis hati (berdasarkan kriteria Child-Pugh)

3.3.2. Ada hubungan neuropati perifer (sensorimotor) dengan beratnya sirosis hati (berdasarkan kriteria Child-Pugh)

3.3.3. Ada korelasi antara disfungsi autonomik dengan neuropati perifer (sensorimotor) pada penderita sirosis hati.

3.4. TUJUAN PENELITIAN

3.4.1. Menilai adanya hubungan disfungsi autonomik pada penderita sirosis hati 3.4.2. Menilai adanya hubungan neuropati perifer (sensorimotor) pada penderita sirosis

hati 3.4.3. Mencari korelasi antara disfungsi autonomik dan neuropati perifer pada

penderita sirosis hati.

©2003 Digitized by USU digital library 12

3.5. MANFAAT PENELITIAN

Dengan ditemukannya disfungsi autonomik sebagai faktor resiko yang penting terhadap mortalitas pada penderita sirosis hati. Hasil ini dapat digunakan untuk menentukan prognosa penyakit yang jelek. 3.6. BAHAN DAN CARA PENELITIAN 3.6.1. Disain Penelitian

Penelitian ini bersifat studi cross sectional.

3.6.2. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2001 sampai April 2002. Tempat penelitian Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan.

3.6.3. Subjek Kelompok kasus adalah penderita sirosis hati yang berobat jalan dan rawat inap, dilakukan pemeriksaan laboratorium: darah rutin, KGD N/2PP, SGOT, SGPT, alkalin fosfatase, gamma GT, bilirubin total, bilirubin direk, serum protein elektroforesis, protrombin time, viral marker, USG hati, endoskopi, elektrokardiografi, dan EMG (elektromiografi).

3.6.4. Kriteria yang Diikutkan dalam Penelitian

Penderita sirosis hati yang ditegakkan berdasarkan klinis, laboratorium, dan USG.

3.6.5. Kriteria yang Dikeluarkan

Penderita sirosis hati dengan diabetes mellitus, ensefalopati, anemia berat (Hb < 6 gr/dl), riwayat perdarahan 2 bulan sebelumnya, sedang diterapi dengan beta bloker.

3.6.6. Jumlah Sampel

Sampel yang diikutkan dalam penelitian adalah semua penderita sirosis hati yang berobat jalan maupun yang opname di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria penelitian dan sesuai waktu penelitian.

Prevalensi disfungsi autonomik pada penderita sirosis hati 80%.

n = 27,31 è 30 orang

Dimana: Zα =1,96; P: proporsi (80% atau 0,8); Q=(1-P)= 0,2 dan d : presisi atau besar penyimpangan pengukuran yang masih dapat ditolerir = 15%. a : taraf signifikansi sebesar 5%.

Z a2 PQ d2

1,96 2 X 0,8 X 0,2 0,152

Besar sample 53 : n = =

©2003 Digitized by USU digital library 13

3.6.7. Analisa Data

Uji Signifikansi dengan Chi-square test. Uji korelasi dengan Spearman Rank correlation.

3.7. Persiapan Penderita

Tidak ada persiapan khusus untuk penderita. Hanya diperlukan penerangan yang baik kepada pasien bahwa akan dilakukan pemeriksaan saraf perifer dan ototnya. Untuk memproleh hasil yang sempurna diperlukan kerjasama yang baik antara pasien dengan pemeriksa untuk melakukan kontraksi otot yang akan diperiksa. Perlu diberitahukan bahwa pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan stimulasi listrik dan kadang-kadang dengan jarum. Diterangkan bahwa pemeriksaan EMG tidak berbahaya sehingga tidak perlu takut untuk diperiksa.

3.8. PEMERIKSAN DISFUNGSI AUTONOMIK

Merupakan pemeriksaan test khusus yang sederhana dan tidak invasif yang dipakai untuk mendeteksi adanya disfungsi autonomik.

3.8.1. Test Menguji Kerusakan Saraf Parasimpatis

3.8.1.1.Respon denyut jantung terhadap manuver valsava

Pasien meniup melalui manometer aneroid atau spigmomanometer yang dimodifikasi hingga tekanan 40 mmHg, dan dipertahankan selama 15 detik. Denyut jantung diukur dengan rekaman EKG. Hasil ditunjukkan dengan rasio valsava yaitu perbandingan R-R terpanjang setelah manuver dengan RR terpendek selama manuver. Hasil normal jika rasio valsava > 1,21, border line 1,11 – 1,20, abnormal < 1,10.

3.8.1.2. Variasi denyut jantung (R-R interval) selama bernafas dalam(∆ R6)

Cara pemeriksaan: Penderita duduk atau berbaring dengan tenang dan bernafas dalam sebanyak 6 kali per menit (5 detik inspirasi dan 5 detik ekspirasi). Bersamaan dengan itu dilakukan EKG. Dihitung selisih denyut jantung maksimal dengan denyut jantung minimal. Interpretasi hasil: normal, selisih > 14 x/menit; border line, selisih 11 – 14 x/menit; abnormal, selisih < 11 x per menit.

3.8.1.3. Respon denyut jantung setelah penderita berdiri (RR 30/15)

Cara pemeriksaan: Penderita berbaring dengan tenang lebih kurang tiga menit, kemudian berdiri tanpa bantuan. Pantauan denyut jantung dengan EKG dilakukan sampai 15 denyut , kemudian tanpa berhenti dilanjutkan sampai dengan 30 denyut setelah berdiri. Dihitung panjang R-R antara denyut 30 dan 15, lalu bandingkan. Perbandingan antara denyut 30 dan 15 disebut dengan rasio 30/15. Interpretasi hasil: normal, rasio 30/15 : > 1.03; border line, rasio 30/ 15: 1.01 – 1.03; abnormal, rasio 30/15: < 1.01.

©2003 Digitized by USU digital library 14

3.9. Test Menguji Kerusakan Saraf Simpatis

3.9.1. Respon tekanan darah dari berbaring lalu berdiri

Perubahan posisi dari posisi berbaring ke berdiri akan menyebabkan terjadinya akumulasi sebagian besar darah di ekstremitas bawah dan daerah splangnikus, sehingga terjadi penurunan curah jantung dan penurunan tekan darah. Pada orang normal keadaan ini akan menyebabkan terjadinya kompensasi sistim saraf simpatis melalui refleks baroreseptor . Adanya kegagalan sistim simpatis oleh karena neuropati akan menyebabkan menurunnya tekanan darah sistolik maupun diastolik.

Cara pemeriksaan: Pasien berbaring tenang dan diukur tekanan darah sistolik. Kemudian pasien disuruh berdiri tanpa bantuan dan diukur tekanan darahnya. Tentukan penurunan tekanan sistolik dari berbaring ke berdiri. Normal < 10 mmHg, border line 11 – 29 mmHg, abnormal > 30 mmHg. Uji ini disebut dengan Schelong test.

3.9.2. Respon tekanan darah terhadap Handgrip

Tes ini menggunakan alat Handgrip dinamometer dengan membuat tegangan sampai 30% dari maksimal selama 5 menit, tekanan darah diukur 3 kali yaitu sebelum interval 1 menit selama beban handgrip. Hasilnya berupa perbedaan di antara tingginya tekanan diastolik selama beban handgrip dengan rata-rata tekanan diastolik sebelum dimulai handgrip. Respon normal jika dijumpai peningkatan tekanan darah diastolik > 16 mmHg. border line: 11 – 15 mmHg, abnormal < 10 mmHg. Pemeriksaan ini memerlukan peralatan handgrip dinamometer untuk membuat pergerakan tangan dan dipertahankan dengan tekanan 30% dari tekanan maksimal.

4. Alat Pemeriksaan/ Pengukuran 4.1 Pemeriksaan Disfungsi Autonom :EKG “Logos serie 8821”

Early disfungsi autonom : Ditemukan 1 dari uji diatas hasil abnormal atau 2 borderline Definite disfungsi autonom: Ditemukan 1 abnormal dengan 2 borderline atau 2 uji abnormal.

4.2. Pemeriksaan Elektroneurografi : EMG “Medelec / TECA Sapphire II” Dilakukan pemeriksaan untuk menilai neuropati perifer secara objektif. Pemeriksaan dilakukan di Instalasi Diagnostik Terpadu RS . H.Adam Malik

Medan, oleh dokter ahli saraf. KHS motorik n. Median, abn < 48, n. Peroneus, abn < 40, n. Tibialis < 40 KHS sensorik n. Median abn < 40, n. Peroneus < 35, n. Suralis < 36 m/detik.

4.8.HASIL PENELITIAN

Dari 30 orang penderita sirosis hati yang masuk penelitian terdiri dari 27 orang laki laki dan 3 orang perempuan dengan umur rata rata 49,1 ± 19,9 tahun, dimana umur termuda 23 tahun dan tertua 70 tahun.

Dari 30 orang penderita sirosis hati, dimana 8 (26,6%) termasuk dalam klasifikasi Child -Pugh A, 12 (40 %) Child- Pugh B dan 10 (33,3%) Child- Pugh C. Dari 30 penderita 17 ( 56,6 %) dengan asites dan 13 (40,3 %) tanpa asites.

©2003 Digitized by USU digital library 15

4.8.1. Hasil Pemeriksaan Fungsi Autonom

Tabel.2 Uji fungsi autonom pada penderita sirosis hati

Uji Fungsi autonom Normal Borderline Abnormal Total

? R6 15 11 4 30 RR 30/15 13 15 2 30 TD Berbaring-berdiri 24 5 1 30

Dari tabel diatas tampak 13,3 % pemeriksaan fungsi autonom ? R6 abnormal , 6,7 % RR 30/15 dan hanya 3,3 % TD Berbaring-berdiri. Kerusakan lebih sering pada saraf parasimpatis daripada simpatis.

Tabel 3. Hubungan Beratnya Disfungsi Autonom dengan Beratnya Sirosis Hati

Child -Pugh Disfungsi Autonom A B C

Total

Normal 8 6 4 18 Early 0 6 4 10 Definite 0 0 2 2

Total 8 12 10 30

Chi-Square . X2 = 10.8 df 4 p= 0.029

Dari tabel diatas tampak 12 (40%) yang didapatkan disfungsi autonomik , dimana 10 early (6 Child B dan 4 Child C) dan 2 definite Child C. Dengan uji statistik didapat p< 0.05. Ada hubungan beratnya disfungsi autonomik dengan beratnya sirosis hati

4.8.2. Hasil Pemeriksaan Kecepatan Hantaran Saraf

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Kecepatan Hantaran Saraf pada Penderita Sirosis Hati Neuropati Perifer (Sensorimotor) Abnormal

Motorik n. Median 16,7% Motorik n. Peroneus 23,3% Motorik n. Tibialis 23,3 % Sensorik n. Median 56,7% Sensorik n. Suralis 66,7% Sensorik n. Ulnaris 33,3%

Dari tabel diatas pada penderita sirosis yang terbanyak neuropati perifer sebanyak 66,7% mengenai saraf sensorik Suralis, 56,7% mengenai sensorik Median dan 33,3% sensorik Ulnaris, 23,3% masing masing saraf motorik Tibia dan Peroneus , hanya 16,7% mengenai motorik Media.

©2003 Digitized by USU digital library 16

Tabel 5.Hub.Neuropati Perifer (motorik n. Median ) dengan Beratnya Sirosis Hati

Child Pugh

A B C Total

Motorik n. Median: Normal 6 10 9 25 Abnormal 2 2 1 5

Total 8 12 10 30 Chi-Square . X2 =13,3 df 2 p=0.004

Dari tabel diatas ada 5 (16,5 %) yang mendapatkan neuropati perifer pada saraf motorik Median dan dengan uji statistik didapat p<0,05. Didapat ada hubungan neuropati perifer ( motorik n.Median ) dengan beratnya sirosis hati.

Tabel 6. Hub.Neuropati Perifer ( Motorik n.Peroneus) dgn Beratnya Sirosis Hati

Child -Pugh

A B C Total

Motorik n.Peroneus Normal 6 8 9 23 Abnormal 2 4 1 7

Total 8 12 10 30

Chi-Square . X2 =8,53 df 2 p=0,03

Dari tabel diatas ada 7 (23,3%) neuropati perifer ( motorik n.Peroneus ) dan dengan uji statistik didapat p<0,05 . Ada hubungan neuropati perifer ( motorik n.Peroneus ) dengan beratnya beratnya hati.

Tabel 7. Hub.Neuropati Perifer (Motorik n.Tibialis) dengan Beratnya Sirosis Hati

Child -Pugh

A B C Total

Motorik n. Tibialis: Normal 5 9 9 23 Abnormal 3 3 1 7

Total 8 12 10 30 Chi-Square . X2 =8,53 df 2 p=0,03 Dari tabel diatas ada 7 (23,3%) neuropati perifer ( motorik n. Tibialis ) dan dengan uji statistik didapat p <0,05 . Ada hubungan neuropati perifer ( motorik n.Tibialis ) dengan beratnya sirosis hati. Tabel 8.Hub.Neuropati Perifer ( Sensoris n. Median ) dgn Beratnya Sirosis Hati

Child- Pugh A B C

Total

Sensorik n.Median: Normal 3 5 5 13 Abnormal 5 7 5 17 Total 8 12 10 30

Chi-Square . X2 = 0,53 df 2 p= 0,465

©2003 Digitized by USU digital library 17

Dari tabel diatas didapat 17 (56,7%) neuropati perifer( sensorik n. Median ) dan dengan uji statistik diadapat p >0,05. Tidak ada hubungan antara neuropati perifer (sensorik n. Median ) dengan beratnya sirosis hati.

Tabel 9. Hub.Neuropati Perifer(Sensorik n. Suralis) dengan Beratnya Sirosis Hati

Child- Pugh

A B C Total

Sensorik n.Suralis : Normal 2 5 3 10 Abnormal 6 7 7 20

Total 8 12 10 30

Chi-Square . X2 =3,33 df 2 p=0,680 Dari tabel diatas didapat 20 (66,7%) neuropati perifer (sensorik n.Suralis ) dan dengan uji statistik didapat p>0,05. Tidak ada hubungan neuropati perifer ( sensorik n.Suralis) dengan beratnya sirosis hati.

Tabel 10.Hub.Neuropati Perifer (Sensorik n. Ulnaris) dgn Beratnya Sirosis Hati

Child- Pugh

A B C Total

Sensorik n. Ulnaris : Normal 4 9 7 20 Abnormal 4 3 3 10 Total 8 12 10 30

Chi-Square . X2 = 3,33 df 2 p=0,680 Dari tabel diatas didapat 10 ( 33 %) neuropati perifer ( sensorik n. Ulnaris ) dengan uji statistik didapat p>0,05. Tidak ada hubungan neuropati perifer ( sensorik n.Ulnaris ) dengan beratnya sirosis hati. 4.8.3. Korelasi Antara Disfungsi Autonomik dengan Neuropati Perifer

(Sensorimotor) pada Penderita Sirosis Hati

Neuropati autonomik yang merupakan bagian dari generalized sensori-motor polineuropathy, penderita dengan disfungsi autonomik juga mengalami neuropati perifer ( sensorimotor ). Pada penelitian ini dari 12 penderita yang didapati disfungsi autonomik, 11 diantaranya juga didapati neuropati perifer ( sensorimotor ). Pada pemeriksaan uji fungsi autonom , variasi denyut jantung selama bernafas dalam ( ∆ R6 ) dengan neuropati perifer ( sensorik n. Suralis ) pada uji korelasi Spearman dengan r = 0,527 p= 0,003 . Ini menyatakan adanya korelasi yang kuat antara variasi denyut jantung bernafas dalam (∆ R6 ) dengan neuropati perifer. Begitu juga dengan respon denyut jantung dari berbaring ke berdiri ( RR 30/15 ) dengan neuropati perifer ( sensorik n. Suralis ) , r = 0,456 p = 0,010. Ini menyatakan ada korelasi antara RR 30/15 dengan neuropati perifer ( sensorik n. Suralis ). Respon tekanan darah dari berbaring ke berdiri dengan neuropati perifer ( sensorik n. Suralis ), r = 0,275 p= 0,142. Tidak didapat korelasi antara respon TD Berbaring-berdiri dengan neuropati perifer ( sensorik n. Suralis ). Juga tidak didapat adanya korelasi antara disfungsi autonomik dengan neuropati perifer ( sensorik n Suralis ) , r = 0.253 p = 0,505.

©2003 Digitized by USU digital library 18

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada tahun 1967 Dayan dan Williams melaporkan ditemukan demielinisasi dan remielinisasi segmental pada 10 bahan biopsi nervus suralis pada pasien dengan berbagai penyakit hati kronik. Beberapa peneliti mendapatkan adanya hubungan antara disfungsi autonomik dengan penyakit hati menahun, baik pada penyakit hati menahun alkoholik atau non alkoholik.

Trevisani dkk melaporkan 80% dari 30 penderita sirosis hati menunjukkan adanya disfungsi autonomik, dimana disfungsi autonomik berhubungan dengan berat sirosis hati ( berdasarkan kriteria Child-Pugh ) dan tidak berhubungan dengan etiologi penyakit hat i. Chaudry dkk dengan pemeriksaan elektrofisiologi pada penderita sirosis hati mendapatkan hasil yang sesuai dengan “ length-dependent axonal neuropathy” atau “ dying back neuropathy”. Dimana sebagian besar penderita sirosis hati dengan disfungsi autonomik juga terbukti mengalami neuropati perifer.

Neuropati yang terjadi tidak tergantung kepada etiologi penyakit hati, ada hubungan yang bermakna antara beratnya neuropati terhadap beratnya penyakit hati. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa disfungsi metabolik oleh karena kegagalan fungsi hati menyebabkan terjadinya neuropati.

Pada penelitian ini pemeriksaan fungsi autonom variasi denyut jantung selama bernafas dalam ( ∆ R6 ) sebanyak 17,3%, respon segera denyut jantung setelah penderita berdiri ( RR 30/15 ) 6,7% dan respon tekanan darah dari berbaring ke berdiri ( TD Berbaring-berdiri ) 3,3%. Hendrickse11 mendapatkan 45% ∆ R6, 5% TD Berbaring – berdiri, Oliver mendapatkan 36,6% ∆ R6 dan 3,3 % RR 30/15 yang abnormal.

Penelitian ini mendapatkan uji fungsi parasimpatis lebih sering dari pada simpatis ( tabel.5 ), menggambarkan kerusakan lebih awal pada vagal kemungkinan besar lebih mudahnya kerusakan serabut parasimpatis kemudian berikutnya simpatis. Urutan kerusakan menunjukkan uji disfungsi parasimpatis lebih sensitif dari pada uji simpatis. Keresztes dkk, didapat perbaikan yang signifikan disfungsi autonomik setelah transplantasi hati, dimana perbaikan terjadi lebih awal pada fungsi parasimpatis, kemudian perbaikan simpatis.

Disfungsi autonomik yang didapat pada penelitian ini sebanyak 12 (40%) dimana 10 early ( 6 Child B dan 4 Child C ) dan 2 definite( 2 Child C) ( tabel. 6 ). Trevisani mendapatkan 80% disfungsi autonomik , definite sebanyak 40 %,. Chaudry mendapatkan disfungsi autonomik 48%, Fleckenstein 67 %, early 31 % , definite 36%

Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan antara beratnya disfungsi autonomik dengan beratnya keparahan penyakit hati ( Child-Pugh ) p< 0.05 ( tabel.6 ) , sesuai dengan yang dilaporkan Trevisani, Oliver, Hendrickse, Chaudry, Thuluvath, Kempler.

Pada pemeriksaan kecepatan hantaran saraf untuk menilai neuropati perifer(sensorimotor), pada penelitian ini didapatkan motorik n.median yang abnormal 16,7%, n. peroneus 23,3% dan n. tibialis 23,3% sedangkan sensorik n. suralis 66,7%,

©2003 Digitized by USU digital library 19

n. ulnaris 33,3% dan n. median 56,7%. ( tabel.7 ) Saraf sensori neuropati lebih banyak dijumpai daripada saraf motorik neuropati. Oliver pada motorik n. median 13,3%, sensorik n. suralis 16,6 %, sensorik n. median 6,6%., Chaudry mendapatkan neuropati perifer sebanyak 24% pada motorik n. peroneus, Kardel 67,6%, Knill- Jones 14,2%, dan Hakim 73,9%.

Penelitian ini mendapatkan adanya hubungan antara neuropati perifer dengan beratnya penyakit hati, motorik n. median, peroneus dan tibialis p<0,05 (tabel.8,9,10 ), Sama yang didapatkan Trevisani, Oliver dan Hakim, sedangkan dengan sensorik n. median, suralis dan ulnaris tidak didapat adanya hubungan, p > 0,05 (tabel.11,12,13 )

Pada kepustakaan terdapat variasi prevalensi neuropati perifer berkisar antara 0-90%. Perbedaan ini disebabkan karena beragamnya kriteria yang digunakan dalam mendeteksi neuropati dan beratnya neuropati yang digunakan untuk menentukan neuropati perifer.

Neuropati autonomik yang merupakan bagian dari generalized sensori-motor

polineuropathy , penderita dengan disfungsi autonomik juga mengalami neuropati perifer ( sensorimotor ). Pada penelitian ini dari 12 penderita disfungsi autonomik, 11 diantaranya juga dijumpai neuropati perifer , 84%. Chaudry mendapatkan 91%. Pada penelitian ini didapatkan adanya korelasi antara variasi denyut jantung selama bernafas dalam (∆ R6 ) dengan sensorik n. suralis ; r= 0,057; p < 0,05, RR 30/15 r= 0,456 ; p < 0,05 sedangkan dengan respon tekanan darah berbaring ke berdiri, r= 0,275 ; p > 0,05. Oliver10 mendapatkan korelasi antara ∆ R6 dengan sensorik n. median r =0,35 ; p < 0,05, RR 30/15 dengan motorik n. peroneus r= 0,50; p < 0,01.

Pada penelitian ini tidak didapat adanya korelasi antara disfungsi autonomik dengan neuropati perifer sensorik n. suralis r =0,253 ; p> 0,05 .

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN 5.1.1. Pada penderita sirosis hati dijumpai adanya disfungsi autonomik dan beratnya disfungsi autonomik ini berhubungan dengan beratnya sirosis hati. 5.1.2. Pada penderita sirosis hati dijumpai prevalensi yang tinggi untuk terjadinya neuropati perifer ( sensorimotor ) dan berhubungan dengan beratnya sirosis hati, terutama saraf motorik. 5.1.3 Tidak dijumpai adanya korelasi antara disfungsi autonomik dengan neuropati

perifer ( sensorimotor ) pada penderita sirosis hati.

©2003 Digitized by USU digital library 20

5.2 SARAN Perlu penelitian lanjutan dengan cara kohort dengan penderita yang lebih banyak agar disfungsi autonomik dapat dipakai sebagai prediktor prognostik mortalitas pada penderita sirosis hati.

BAB VI

KEPUSTAKAAN

Abergel A, Braillon A, Gaudin C, Kleber G, Lebrec D. Persistence of a hyperdynamic circulation in cirrhotic rats following removal of the sympathetic nervous system. Am J Gastroenterology 1992; 102:616-60.

Asbury AK. Hepatic neuropathy. In: Dick PJ, Thomas PK, Lambert EH, Bunge R. Peripheral neuropathy. 2th Ed. WB Saunders company, Philadelphia, 1984; 1826-1831.

Chari VR, Katiyar BC, Rastogi BL, Bhattacharya SK. Neuropathy in hepatic disorders: a clinical, electrophysiological and histopathological appraisal. Journal of the Neurological Sciences,1977,31:93-111.

Chaudhry V, Corse AM, O’Brien R, Cornblath DR, Klein AS, Thuluvath PJ. Autonomic and peripheral (sensorimotor) neuropathy in chronic liver disease: a clinical and electrophysiology study. Hepatology 1999; 29:1689-1703.

Chopra JS, Samantha AK, Murthy JM et al. Role of porta systemic shunt and hepatocellular damaged in the genesis of hepatic neuropathy. Cin Neurol Neurosurg 1980;82;37-44. abstrak

Consensus statement. Standarized measures in diabetic neuropathy. Diabetes Care. Suppl 1995;18: 59-82

Darmansjah I, Setiawati A, Gan S. Susunan saraf otonom dan transmisi neurohumoral. Dalam: Gan S. Ed, Farmakologi Terapi, Ed. IV. Jakarta,Balai Penerbit FKUI, 1995; 25

Daube JR. Electrophysiologik testing in diabetic neuropathy. In: Dyck PJ, Thomas PKI, Asbury A, Winergrad A, Porte D (eds). Diabetic Neuropathy, Philadelphia: WB Saunders, 1987; 162-76.

Dayan AD, Williams R. Demyelinating peripheral neuropathy and liver disease. Lancet 1967: 15; 133 -4.

Decaux G, Gauchie P, Soupart A, Kruger M, Delwiche F. Role of vagal neuropathy in the hyponatraemia of alcoholic cirrosis, Br Med J 1986; 293:1534-36

©2003 Digitized by USU digital library 21

Ewing DJ, Clarke BF. Diagnisis and management of diabetic autonomic neuropathy. BMJ 1982; 285:916-8

Ewing DJ, Martyn CN, Young RJ, Clarke BF. The value of cardiovascular autonomic function test: 10 years experience in diabetes. Diabetes Care 1985; 8:491-8.

Fleckenstein JF, Frank SM, Thuluvath PJ, Pre sence of autonomic neuropathy is a poor prognostic indicator in patients with advanced liver disease. Hepatology 1996; 23:471-5. .

Frieling T. Autonomic dysfunction and liver disease. In: Liver and nervous system. Disampaikan pada: Part III of the liver week freiburg. Falk symposium no. 103, Freiburg (Germany), 4-5 Oktober, 1997.

Griffin J. Disorder of the peripheralnervous system. Johns Hopkins School of Medicine Lecture Notes, The Johns Hopkins University 1997.

Groszmann RJ. de Francis R, Portal hypertension. In: Schiff ER, Sorell MF, Madrey WC.Eds .Schiff disease of the liver. Lippincot Raven Publisher. Philadelphia 1999:1:387-93

Groszmann RJ. Hyperdynamic circulation of liver disease 40 years later: Pathophysiology and clinical consequences. Hepatology 1994; 20:1359-63.

Hadi S. Sirosis Hati. Dalam : Gastroenterologi. Edisi I, Bandung. Alumni ,1991:494-529.

Hadi S. Prevalensi hepatitis B dan C pada penderita penyakit hati kronis. Acta Medica Indonesiana 1994, XXVI; 111-119.

Hakim M, Wibowo BS, Purba JS, Husodo UB. Peripheral neuropathy in cirrhosis patient: Correlation between the severity of liver dysfunction and the degree of peripheral neuropathy. ASNA ,Kuala Lumpur 22-24 Maret 2001.abstrak

Hendrickse MT, Thuluvath PJ, Triger DR. Natural history of autonomic neuropathy in chronic liver disease. Lancet 1992; 332:1462-4

Hendrickse MT, Triger DR. autonomic dysfunction in chronic liver disease.. Clin Auton Res 1993;3:227-31.abstrak

Henriksen JH, Moller S, Larsen HR, Christensen NJ. Sympathetic nervous system in liver disease. Part III of the liver week freiburg. Falk symposium no 103, Freiburg (Germany), 4-5 Oktober, 1997. abstrak

Kempler P, Varadi A, Szalay F. Autonomic neuropathy in liver disease. Lancet 1989; 2:1332.

Kennet RP. Nerve conduction and electromyography.Medicine 1996;10:26-28

Keresztes K, Marton A, Hermanyi ZS, et al. Improvement of cardiovascular autonomic and peripheral sensori nerve function after orthotopic liver transplantation. In:

©2003 Digitized by USU digital library 22

Liver and nervous system. Disampaikan pada: Part III of the liver week freiburg. Falk symposium no. 103, Freiburg (Germany), 4-5 Oktober, 1997. abstrak

Knill-Jones RP, Goodwill CJ, Dayan AD, Williams R. Peripheral neuropathy in chronic liver disease: clinical, electrodiagnostic, and nerve biopsy findings. J Neurol Neurosurg Psych 1972; 35:22-30.

Madiyono B, Moeslichan D, Budiman I, Purwanto SH. Perkiraan besar sample. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S (eds). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta, Binarupa Aksara, 1995; 187-212.

Meh D, Denislic M. Complex rehabilitation, Peripheral neuropathy: neurology and psychiatry hand in hand. In: Invited Symposium. 6th Internet world congress for biomedical sciences.

Merican I. Complication of Chirrosis. In: Guam R, Kang JY, Ng HS. (Eds). Management of Common Gastroenterological problems a Malaysia and Singapore perspective 2nd Ed, Singapore Medimedia Asia, 1995:166-82.

Murti B. Memilih uji statistik yang sesuai. Dalam Murti B Ed. Penerapan metode statistik non parametrik dalam ilmu kesehatan.Jakarta,Gramedia, 1996:20-2

Noback CR, Demarest RJ. Anatomi mikroskopik dasar. In: Anatomi susunan saraf manusia: Prinsip-prinsip dasar neurobiologi. 2th Ed.Jakarta, EGC; 35-64.

O Brien IA, OHare P, Corrall RJM. Heart rate variability in health subjects: effect of age and variation of normal ranges for test of autonomic function. Br Heart J 1986;55:348-54

Oliver MI, Miralles R, Rubies-Part J, Navarro X, Espadaler JM, Sola R, Andreu M. Autonomic dysfunction in patients with non alcoholic chronic liver disease. J Hepatol 1997; 26:1242-8.

Pagan JCG, Santos C, Barbera JA. Physical exercise increases portal pressure in patients with cirrhosis and portal hypertension. J Gastroenterol 1996; 111:1300-6

Perdossi. Neuropati. Dalam: Harsono Ed. Buku ajar neurologi klinis. Yogjakarta, Gajah Mada Univesity Press. 1999.303-6

Poncelet AN. An algorithm for the evaluation of peripheral neuropathy.American Family Physician. 15 Feb. 1998

Pugh RN, Murray-Lyon IM, Dawson JL, Pietroni MC, Williams R. Transection of the oesophagus for bleeding oesophageal varices. Br J Surg 1973; 60:646-9.

Puthumana L, Chaudry V, Thuluvath PJ. Prolong QTc interval and its relationship to autonomic cardiovascular reflexes in patients with cirrhosis. Journal of Hepatology 2001;3:733-738

Seneviratne KN, Peiris OA. Peripheral nerve function in chronic liver disease.J.Neurol Neurosurg Psychiat 1970;33,609-614.

©2003 Digitized by USU digital library 23

Seong NH. Acute hepatitis In Guan R. Kang JY, Ng HS (Eds) Management of Common Gastroenterological problems a Malaysia and Singapore perspective 2nd Ed, Singapore, Medimedia Asia, 1995:123-136

Sherlock S, Dooley J. Hepatic cirrhosis. In: Disease of the Liver and Billiary System, 10thEd. Malden,Blackwell Science, 1997; 371-84.

Sherlock S, Dooley J. Hepatocellular failure. In: Disease of the Liver and Billiary System, 10th Ed. Malden, Blackwell Science, 1997: 71-4.

Sherlock S, Dooley J. The portal venous system and hypertension. In : Disease of the liver and billiary system. Tenth Ed, Melden, Blackwell Scientific Publication,1997, 135-78.

Sulaiman HA. Hepatitis B virus infection in liver cirrhosis and hepatocellular carcinoma in Jakarta, Indonesia. Dalam: Sulaiman HA Ed. Virus hepatitis B, sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler.Jakarta. Infomedika , 1990: 139-154

Szalay F,Marton A, Kersztes K, Hermanyi ZS, Kempler P. Neuropathy as an extra hepatic manifestation of chronic liver diseases. Scand J Gastroenterol Suppl 1998;228:130-132.abstrak

Tarigan P. Sirosis hati. Dalam: Sjaifoellah Noer (Ed) Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I, Edisi ke-3,Jakarta, Balai Penerbit FK-UI, 1996; 271-9.

Trevisani F, Sica G, Mainqua P, Santese G, DE Notariis S, Caraceni P, et al. Autonomic dysfunction and hyperdynamic circulation in cirrhosis with ascites. Hepatology 1999; 30.

Tuluvath PJ, Triger DR, Autonomic neuropathy and chronic liver disease. Q J Med 1989; 72:737-47. abstrak

Waxman SG. The autonomic nervous system. In: Correlative neuroanatomi 23th, Ed. Prentice-Hall International, Connecticut, 1996; 259.

Wibowo BS. Pemeriksaan elektromiografi. Dalam: Pusponegoro HD, Passat J, Mangunatmadja I, Soetomenggolo TS, Ismael S. Kelainan neurologis dalam praktek sehari-hari.Jakarta, Balai Penerbit FKUI, 1995; 121-137.

Wibowo S. Hubungan antara lama menderita diabetes melitus, lama gejala neuropati perifer, dan kadar HbA1C dengan terjadinya neuropati otonom. MKI 2000; 50:183-187.

Wiclund MP, Mendell JR.Peripheral neuropathy. In: Conn`s Current Therapy 2002, 54 ed.http://www.md consult.com

Widjaja D. Pemeriksaan neurofisiologik pada sindroma nyeri akut dan menahun. Dalam: Meliala KRTL, Suryamiharja A, Purba JS, Sadeli HA. Nyeri neuropatik: Patofisiologi dan penatalaksanaan. Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI 2001; 23-63.

Winer JB. Neuropathy. Medicine 1996; 10:103-109