Dio SSOR

3
#MISI1 [PLOT] [Kwon Miseu’s House, Kawasan kumuh di pinggiran Incheon, 22:00 KST] Dio meremas kuat ruas buku jarinya. Warna merah yang tercetak di sudut-sudut wajahnya sudah mengering dan membiru. Bertubi-tubi pukulan yang dihujamkan nyonya Kwon masih belum cukup untuk meredam amarah wanita itu jika dia ingat potongan kalimat yang sudah 45 menit lalu keluar dari mulut anak yang masih tegar berdiri sembari menunduk beradu pandang dengan lantai yang bisu. Tik.. Tok.. Tik.. Tok.. Detik jam terus memburu. Telah berkali –kali Dio mengatur nafasnya dan berusaha menyuarakan kembali keinginannya, tapi nyalinya selalu menciut mengingat perlakuan Nyonya Kwon tiap kali dia bicara. Sebenarnya hal ini akan menjadi pemandangan biasa jika hanya sedikit peralatan yang tercecer dan umpatan yang mengudara. Tetapi kali ini sudah menjadi pemandangan luar binasa karena dilihatnya ruangan pengap itu bagai habis dihantam bencana. Kokohnya perabotan seperti meja, kursi, almari, dan lainnya serta puluhan botol soju hijau yang awalnya tersusun rapih kini dibuat tak berdaya oleh nyonya Kwon dengan menyisakan serpihan beling yang memenuhi rongga jarak antara mereka dan siap memberikan besetan luka kecil jika ada yang berani bergerak. Umpatan kecil telah berubah menjadi makian- makian yang seharusnya tidak didengar oleh anak seusia Dio. Namun kali ini tekad Dio sudah bulat. Pikirannya selalu membayangkan secarik kertas pemberitahuan kelulusan via e-mail yang diberikan kepala sekolah padanya tadi siang. Dio kembali menarik nafas panjang-panjang lalu menghembuskannya bersama segenap keberanian yang telah ditumpuknya sedari tadi. “Aku akan keluar sekarang Kwon-miseu.” Dio membungkuk selayaknya pada majikannya itu lalu bergerak mengambil tas ransel kusamnya dan menyampirkan ke bahu.

description

form

Transcript of Dio SSOR

Page 1: Dio SSOR

#MISI1

[PLOT]

[Kwon Miseu’s House, Kawasan kumuh di pinggiran Incheon, 22:00 KST]

Dio meremas kuat ruas buku jarinya. Warna merah yang tercetak di sudut-sudut wajahnya sudah mengering dan membiru. Bertubi-tubi pukulan yang dihujamkan nyonya Kwon masih belum cukup untuk meredam amarah wanita itu jika dia ingat potongan kalimat yang sudah 45 menit lalu keluar dari mulut anak yang masih tegar berdiri sembari menunduk beradu pandang dengan lantai yang bisu.

Tik.. Tok.. Tik.. Tok.. Detik jam terus memburu. Telah berkali –kali Dio mengatur nafasnya dan berusaha menyuarakan kembali keinginannya, tapi nyalinya selalu menciut mengingat perlakuan Nyonya Kwon tiap kali dia bicara. Sebenarnya hal ini akan menjadi pemandangan biasa jika hanya sedikit peralatan yang tercecer dan umpatan yang mengudara. Tetapi kali ini sudah menjadi pemandangan luar binasa karena dilihatnya ruangan pengap itu bagai habis dihantam bencana. Kokohnya perabotan seperti meja, kursi, almari, dan lainnya serta puluhan botol soju hijau yang awalnya tersusun rapih kini dibuat tak berdaya oleh nyonya Kwon dengan menyisakan serpihan beling yang memenuhi rongga jarak antara mereka dan siap memberikan besetan luka kecil jika ada yang berani bergerak. Umpatan kecil telah berubah menjadi makian-makian yang seharusnya tidak didengar oleh anak seusia Dio. Namun kali ini tekad Dio sudah bulat. Pikirannya selalu membayangkan secarik kertas pemberitahuan kelulusan via e-mail yang diberikan kepala sekolah padanya tadi siang. Dio kembali menarik nafas panjang-panjang lalu menghembuskannya bersama segenap keberanian yang telah ditumpuknya sedari tadi.

“Aku akan keluar sekarang Kwon-miseu.” Dio membungkuk selayaknya pada majikannya itu lalu bergerak mengambil tas ransel kusamnya dan menyampirkan ke bahu.

“Beraninya kau melangkahkan kaki mu keluar dari rumah ini, nappeun sekya! kau budakku, kau harus mengabdikan dirimu padaku sampai mati!! YAAKK!”

Sahutan tidak mengenakkan tadi berusaha anak laki-laki itu abaikan bagai angin lalu. Peralatan make-up yang beterbangan mengenai tubuh dan kepalanya pun dia hiraukan. Tetapi belum sempat Dio memegang knop pintu rambutnya sudah dijambak paksa untuk kembali masuk kedalam. Untuk kali ini Dio tidak akan berlutut menangis memohon ampun seperti yang sudah-sudah sebab Dio benar-benar ingin merdeka, ingin segera angkat kaki dari neraka ini. Dio menghempaskan tangan kotor wanita itu

Page 2: Dio SSOR

dan segera berlari keluar rumah.

“Yaakk! Neo! Aku akan membunuhmu!!”

Baru saja wanita itu keluar dari rumahnya untuk mengejar, Dio sudah tak tertangkap retina. Wanita itu mengedarkan pandangannya ke penjuru jalan mencari jejak tersisa yang dibuat Dio. Terselip proyeksi bayangan yang mengganjal matanya dipersimpangan jalan dan wanita itu yakini bahwa disana Dio sedang bersembunyi. Bersegera wanita itu berlari mengejar, tapi dipenghujung jalan wanita itu terhenti setelah menyadari bahwa ada seorang pria paruh baya menjadi perisai untuk Dio yang sedang bersembunyi dibalik badannya yang tambun.

“Neo pikyeo!!”

Wanita itu mendorong pria tambun itu sekuat tenaga dan tangannya berusaha meraih-raih Dio. Mata bulat Dio terpejam tidak ingin menatap ataupun melihat Nyonya Kwon. Dio menggenggam erat kemeja pria yang kini dia harapkan kebenarannya untuk menolong dirinya. Sedang si pria hanya diam mencari celah untuk angkat bicara disaat wanita dihadapannya ini sedikit mereda.

“Lepaskan dia, atau kulaporkan polisi atas penyiksaan anak dibawah umur.” Ucapan tegas pria barusan membuat mulut wanita itu terkunci rapat lalu dia mundur beberapa sambil melempar tatapan tajamnya kemudian dia berbalik frustasi ke arah rumahnya.

[Jo Jae Il's House, Incheon 21:47 KST]

"Kyojangnim, aku tidak perlu barang sebanyak itu."

Dio kembali menundukkan kepalanya. Dia jadi merasa tidak enak akan hal-hal yang sedang di lakukan kepala sekolahnya ini. Setelah menyelamatkannya saat itu, kepala sekolah memberikan perhatian berlebih pada Dio. Sifat kebapakannya muncul begitu saja dan menggiring Dio untuk sementara tinggal di rumahnya sampai Dio memasuki asrama dan tinggal dengan layak. Dan sekarang dia semakin tidak enak melihat beberapa tumpukan baju baru serta ransel, sepatu, dan peralatan tulis lainnya.

Page 3: Dio SSOR

"Gwenchana, anggaplah ini hak mu yang harusnya kau terima selama ini. Susunlah segera barang mu dan periksa apakah ada yang kurang dan laporkan padaku kekurangannya." Setelah menepuk pelan pundak Dio, Jo kyojangnim meninggalkan kamar Dio.

Dio memandangi punggung pria itu sampai hilang dibalik pintu, lalu menatap kosong ke sisi sebelumnya. Beradu diam dengan heningnya malam sampai pagi datang menyongsong sang fajar.