Dinamika Dan Potensi Konflik Masyarakat Kota Deden Ok

download Dinamika Dan Potensi Konflik Masyarakat Kota Deden Ok

of 39

Transcript of Dinamika Dan Potensi Konflik Masyarakat Kota Deden Ok

MAKALAHBUDAYA MASYARAKAT INDONESIA :JUDUL

Dinamika dan Potensi Konflik pada Masyarakat Kota

Disusun oleh : DEDEN HENDRADI D.1010446 KELAS : KERJASAMA PEMERINTAH KOTA

Dosen Pengasuh :

Dra. Andrie Indriawaty,M.Si

UNIVERSITAS DJUANDAFAKULTAS ILMU SOSIAL, ILMU POLITIK DAN ILMU KOMUNIKASI

PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NEGARAJalan Tol Ciawi 1, Kotak Pos 35 Ciawi Bogor 16720, Telp (0251) 8244773 Fax.(0251)8240985

BAB I PENDAHULUAN

Antropologi Sosial-Budaya Antropologi Sosial-Budaya atau lebih sering disebut Antropologi Budaya berhubungan dengan apa yang sering disebut dengan Etnologi. Ilmu ini mempelajari tingkah-laku manusia, baik itu tingkah-laku individu atau tingkah laku kelompok. Tingkah-laku yang dipelajari disini bukan hanya kegiatan yang bisa diamati dengan mata saja, akan tetapi juga apa yang ada dalam pikiran mereka. Pada manusia, tingkah-laku ini tergantung pada proses pembelajaran. Apa yang mereka lakukan adalah hasil dari proses belajar yang dilakukan oleh manusia sepanjang hidupnya disadari atau tidak. Mereka mempelajari bagaimana bertingkah-laku ini dengan cara mencontoh atau belajar dari generasi diatasnya dan juga dari lingkungan alam dan sosial yang ada disekelilingnya. Inilah yang oleh para ahli Antropologi disebut dengan kebudayaan. Kebudayaan dari kelompok-kelompok manusia, baik itu kelompok kecil maupun kelompok yang sangat besar inilah yang menjadi objek spesial dari penelitian-penelitian Antropologi Sosial Budaya. Dalam perkembangannya Antropologi Sosial-Budaya ini memecah lagi kedalam bentuk-bentuk spesialisasi atau pengkhususan disesuaikan dengan bidang kajian yang dipelajari atau diteliti. Antroplogi Hukum yang mempelajari bentuk-bentuk hukum pada kelompokkelompok masyarakat atau Antropologi Ekonomi yang mempelajari gejala-gejala serta bentukbentuk perekonomian pada kelompok-kelompok masyarakat adalah dua contoh dari sekian banyak bentuk spesialasi dalam Antropologi Sosial-Budaya.

KONSEP KEBUDAYAAN Kata Kebudayaan atau budaya adalah kata yang sering dikaitkan dengan Antropologi. Secara pasti, Antropologi tidak mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan istilah ini. Seniman seperti penari atau pelukis, juga memakai istilah ini atau diasosiasikan dengan istilah ini, bahkan pemerintah juga mempunyai departemen untuk ini. Konsep ini memang sangat sering digunakan oleh Antropologi dan telah tersebar kemasyarakat luas bahwa Antropologi bekerja atau meneliti apa yang sering disebut dengan kebudayaan. Seringnya istilah ini digunakan oleh Antropologi dalam pekerjaan-pekerjaannya bukan berarti para ahli Antropologi mempunyai pengertian yang sama tentang istilah tersebut. Seorang Ahli Antropologi yang mencoba mengumpulkan definisi yang pernah dibuat mengatakan ada sekitar 160 defenisi kebudayaan yang dibuat oleh para ahli Antropologi. Tetapi dari sekian banyak definisi tersebut ada suatu persetujuan bersama diantara para ahli Antropologi tentang arti dari istilah tersebut. Salah satu definisi kebudayaan dalam Antropologi dibuat seorang ahli bernama Ralph Linton yang memberikan defenisi kebudayaan yang berbeda dengan pengertian kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari: Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat dan tidak hanya mengenai sebagian tata cara hidup saja yang dianggap lebih tinggi dan lebih diinginkan. Jadi, kebudayaan menunjuk pada berbagai aspek kehidupan. Istilah ini meliputi caracara berlaku, kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap, dan juga hasil dari kegiatan manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu. Seperti semua konsep-konsep ilmiah, konsep kebudayaan berhubungan dengan beberapa aspek di luar sana yang hendak diteliti oleh seorang ilmuwan. Konsep-konsep

kebudayaan yang dibuat membantu peneliti dalam melakukan pekerjaannya sehingga ia tahu apa yang harus dipelajari. Salah satu hal yang diperhatikan dalam penelitian Antropologi adalah perbedaan dan persamaan mahluk manusia dengan mahluk bukan manusia seperti simpanse atau orang-utan yang secara fisik banyak mempunyai kesamaan-kesamaan. Bagaimana konsep kebudayaan membantu dalam membandingkan mahluk-mahluk ini? Isu yang sangat penting disini adalah kemampuan belajar dari berbagai mahluk hidup. Lebah melakukan aktifitasnya hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun dalam bentuk yang sama. Setiap jenis lebah mempunyai pekerjaan yang khusus dan melakukan kegiatannya secara kontinyu tanpa memperdulikan perubahan lingkungan disekitarnya. Lebah pekerja terus sibuk mengumpulkan madu untuk koloninya. Tingkah laku ini sudah terprogram dalam gen mereka yang berubah secara sangat lambat dalam mengikuti perubahan lingkungan di sekitarnya. Perubahan tingkah laku lebah akhirnya harus menunggu perubahan dalam gen nya. Hasilnya adalah tingkah-laku lebah menjadi tidak fleksibel. Berbeda dengan manusia, tingkah laku manusia sangat fleksibel. Hal ini terjadi karena kemampuan yang luar biasa dari manusia untuk belajar dari pengalamannya. Benar bahwa manusia tidak terlalu istimewa dalam belajar karena mahluk lainnya pun ada yang mampu belajar, tetapi kemampuan belajar dari manusia sangat luar-biasa dan hal lain yang juga sangat penting adalah kemampuannya untuk beradaptasi dengan apa yang telah dipelajari itu.

BAB II

PERUMUSAN MASALAH

2.1.Perumusan Masalah Kebudayaan 1.1. Macam Ragam Kebudayaan yang diperoleh Manusia 1.1.1. Kebudayaan Diperoleh dari Belajar Kebudayaan yang dimiliki oleh manusia juga dimiliki dengan cara belajar. Dia tidak diturunkan secara bilogis atau pewarisan melalui unsur genetis. Hal ini perlu ditegaskan untuk membedakan perilaku manusia yang digerakan oleh kebudayaan dengan perilaku mahluk lain yang tingkah-lakunya digerakan oleh insting. Ketika baru dilahirkan, semua tingkah laku manusia yang baru lahir tersebut digerakkan olen insting dan naluri. Insting atau naluri ini tidak termasuk dalam kebudayaan, tetapi mempengaruhi kebudayaan. Contohnya adalah kebutuhan akan makan. Makan adalah kebutuhan dasar yang tidak termasuk dalam kebudayaan. Tetapi bagaimana kebutuhan itu dipenuhi; apa yang dimakan, bagaimana cara memakan adalah bagian dari kebudayaan. Semua manusia perlu makan, tetapi kebudayaan yang berbeda dari kelompok-kelompoknya menyebabkan manusia melakukan kegiatan dasar itu dengan cara yang berbeda. Contohnya adalah cara makan yang berlaku sekarang. Pada masa dulu orang makan hanya dengan menggunakan tangannya saja, langsung menyuapkan makanan kedalam mulutnya, tetapi cara tersebut perlahan lahan berubah, manusia mulai menggunakan alat yang sederhana dari kayu untuk menyendok dan menyuapkan makanannya dan sekarang alat tersebut dibuat dari banyak bahan. Begitu juga tempat dimana manusia itu

makan. Dulu manusia makan disembarang tempat, tetapi sekarang ada tempattempat khusus dimana makanan itu dimakan. Hal ini semua terjadi karena manusia mempelajari atau mencontoh sesuatu yang dilakukan oleh generasi sebelumya atau lingkungan disekitarnya yang dianggap baik dan berguna dalam hidupnya. Sebaliknya kelakuan yang didorong oleh insting tidak dipelajari. Semut semut yang dikatakan bersifat sosial tidak dikatakan memiliki kebudayaan, walaupun mereka mempunyai tingkah-laku yang teratur. Mereka membagi pekerjaannya, membuat sarang dan mempunyai pasukan penyerbu yang semuanya dilakukan tanpa pernah diajari atau tanpa pernah meniru dari semut yang lain. Pola kelakuan seperti ini diwarisi secara genetis.

2.1.2

Kebudayaan Milik Bersama Agar dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan seorang individu harus dimiliki bersama oleh suatu kelompok manusia. Para ahli Antropologi membatasi diri untuk berpendapat suatu kelompok mempunyai kebudayaan jika para warganya memiliki secara bersama sejumlah pola-pola berpikir dan berkelakuan yang sama yang didapat melalui proses belajar. Suatu kebudayaan dapat dirumuskan sebagai seperangkat kepercayaan, nilai-nilai dan cara berlaku atau kebiasaan yang dipelajari dan yang dimiliki bersama oleh para warga dari suatu kelompok masyarakat. Pengertian masyarakat sendiri dalam Antropologi adalah sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah dan yang memakai suatu bahasa yang biasanya tidak dimengerti oleh penduduk tetangganya.

2.1.3

Kebudayaan sebagai Pola Dalam setiap masyarakat, oleh para anggotanya dikembangkan sejumlah pola-pola budaya yang ideal dan pola-pola ini cenderung diperkuat dengan adanya pembatasan-pembatasan kebudayaan. Pola-pola kebudayaan yang ideal itu memuat hal-hal yang oleh sebagian besar dari masyarakat tersebut diakui sebagai kewajiban yang harus dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu. Pola-pola inilah yang sering disebut dengan norma-norma, Walaupun kita semua tahu bahwa tidak semua orang dalam kebudayaannya selalu berbuat seperti apa yang telah mereka patokkan bersama sebagai hal yang ideal tersebut. Sebab bila para warga masyarakat selalu mematuhi dan mengikuti norma-norma yang ada pada masyarakatnya maka tidak akan ada apa yang disebut dengan pembatasan-pembatasan kebudayaan. Sebagian dari pola-pola yang ideal tersebut dalam kenyataannya berbeda dengan perilaku sebenarnya karena pola-pola tersebut telah dikesampingkan oleh cara-cara yang dibiasakan oleh masyarakat. Pembatasan kebudayaan itu sendiri biasanya tidak selalu dirasakan oleh para pendukung suatu kebudayaan. Hal ini terjadi karena individu-individu pendukungnya selalu mengikuti cara-cara berlaku dan cara berpikir yang telah dituntut oleh kebudayaan itu. Pembatasan-pembatasan kebudayaan baru terasa kekuatannya ketika dia ditentang atau dilawan. Pembatasan kebudayaan terbagi kedalam 2 jenis yaitu pembatasan kebudayaan yang langsung dan pembatasan kebudayaan yang tidak langsung. Pembatasan langsung terjadi ketika kita mencoba melakukan suatu hal yang menurut kebiasaan dalam kebudayaan kita merupakan

hal yang tidak lazim atau bahkan hal yang dianggap melanggar tata kesopanan atau yang ada. Akan ada sindiran atau ejekan yang dialamatkan kepada sipelanggar kalau hal yang dilakukannya masih dianggap tidak terlalu berlawanan dengan kebiasaan yang ada, akan tetapi apabila hal yang dilakukannya tersebut sudah dianggap melanggar tata-tertib yang berlaku dimasyarakatnya, maka dia mungkin akan dihukum dengan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakatnya. Contoh dari pembatasan langsung misalnya ketika seseorang melakukan kegiatan seperti berpakaian yang tidak pantas kedalam Masjid. Ada sejumlah aturan dalam setiap kebudayaan yang mengatur tentang hal ini. Kalau si individu tersebut hanya tidak mengenakan baju saja ketika ke Masjid , mungkin dia hanya akan disindir atau ditegur dengan pelan. Akan tetapi bila si individu tadi adalah seorang wanita dan dia hanya mengenakan pakaian dalam untuk ke Masjid , dia mungkin akan di tangkap oleh pihak-pihak tertentu karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Dalam pembatasan-pembatasan tidak langsung, aktifitas yang dilakukan oleh orang yang melanggar tidak dihalangi atau dibatasi secara langsung akan tetapi kegiatan tersebut tidak akan mendapat respons atau tanggapan dari anggota kebudayaan yang lain karena tindakan tersebut tidak dipahami atau dimengerti oleh mereka. Contohnya: tidak akan ada orang yang melarang seseorang di pasar Anyar, Bogor untuk berbelanja dengan menggunakan bahasa Belanda, akan tetapi dia tidak akan dilayani karena tidak ada yang memahaminya. Pembatasan-pembatasan kebudayaan ini tidak berarti menghilangkan kepribadian seseorang dalam kebudayaannya. Memang kadang-kadang pembatasan kebudayaaan tersebut menjadi tekanan-tekanan sosial yang mengatur tata-

kehidupan yang berjalan dalam suatu kebudayaan, tetapi bukan berarti tekanantekanan sosial tersebut menghalangi individu-individu yang mempunyai pendirian bebas. Mereka yang mempunyai pendirian seperti ini akan tetap mempertahankan pendapat-pendapat mereka, sekalipun mereka mendapat tentangan dari pendapat yang mayoritas. Kenyataan bahwa banyak kebudayaan dapat bertahan dan berkembang menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh masyarakat pendukungnya disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari

lingkungannya. Ini terjadi sebagai suatu strategi dari kebudayaan untuk dapat terus bertahan, karena kalau sifat-sifat budaya tidak disesuaikan kepada beberapa keadaan tertentu, kemungkinan masyarakat untuk bertahan akan berkurang. Setiap adat yang meningkatkan ketahanan suatu masyarakat dalam lingkungan tertentu biasanya merupakan adat yang dapat disesuaikan, tetapi ini bukan berarti setiap ada mode yang baru atau sistim yang baru langsung diadopsi dan adat menyesuaikan diri dengan pembaruan itu. Karena dalam adat-istiadat itu ada konsep yang dikenal dengan sistim nilai budaya yang merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu kebudayaan tentang apa yang mereka anggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga ia memberi pedoman, arah serta orientasi kepada kehidupan warga masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. 2.1.4. Kebudayaan Bersifat Dinamis dan Adaptif Pada umumnya kebudayaan itu dikatakan bersifat adaptif, karena kebudayaan melengkapi manusia dengan cara-cara penyesuaian diri pada

kebutuhan-kebutuhan fisiologis dari badan mereka, dan penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik-geografis maupun pada lingkungan sosialnya. Banyak cara yang wajar dalam hubungan tertentu pada suatu kelompok masyarakat memberi kesan janggal pada kelompok masyarakat yang lain, tetapi jika dipandang dari hubungan masyarakat tersebut dengan lingkungannya, baru hubungan tersebut bisa dipahami. Misalnya, orang akan heran kenapa ada pantangan-pantangan pergaulan seks pada masyarakat tertentu pada kaum ibu sesudah melahirkan

anaknya sampai anak tersebut mencapai usia tertentu. Bagi orang di luar kebudayaan tersebut, pantangan tersebut susah dimengerti, tetapi bagi masrakat pendukung kebudayaan yang melakukan pantangan-pantangan seperti itu, hal tersebut mungkin suatu cara menyesuaikan diri pada lingkungan fisik dimana mereka berada. Mungkin daerah dimana mereka tinggal tidak terlalu mudah memenuhi kebutuhan makan mereka, sehingga sebagai strategi memberikan gizi yang cukup bagi anak bayi dibuatlah pantangan-pantangan tersebut. Hal ini nampaknya merupakan hal yang sepele tetapi sebenarnya merupakan suatu pencapaian luar biasa dari kelompok masyarakat tersebut untuk memahami lingkungannya dan berinteraksi dengan cara melakukan pantangan-pantangan tersebut. Pemahaman akan lingkungan seperti ini dan penyesuaian yang dilakukan oleh kebudayaan tersebut membutuhkan suatu pengamatan yang seksama dan dilakukan oleh beberapa generasi untuk sampai pada suatu kebijakan yaitu melakukan pantangan tadi. Begitu juga dengan penyesuaian kepada lingkungan sosial suatu masyarakat; bagi orang awam mungkin akan merasa adalah suatu hal yang tidak perlu untuk membangun kampung jauh diatas bukit atau kampung di

atas air dan sebagainya, karena akan banyak sekali kesulitan-kesulitan praktis dalam memilih tempat-tempat seperti itu. Tetapi bila kita melihat mungkin pada hubungan-hubungan sosial yang terjadi di daerah itu, akan didapat sejumlah alasan mengapa pilihan tersebut harus dilakukan. Mungkin mereka mendapat tekanantekanan sosial dari kelompok-kelompok masyarakat disekitarnya dalam bentuk yang ekstrim sehingga mereka harus mempertahankan diri dan salah satu cara terbaik dalam pilihan mereka adalah membangun kampung di puncak bukit. Kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan cara penyesuaian masyarakat itu terhadap lingkungannya, akan tetapi cara penyesuaian tidak akan selalu sama. Kelompok masyarakat yang berlainan mungkin saja akan memilih cara-cara yang berbeda terhadap keadaan yang sama. Alasan mengapa masyarakat tersebut mengembangkan suatu jawaban terhadap suatu masalah dan bukan jawaban yang lain yang dapat dipilih tentu mempunyai sejumlah alasan dan argumen. Alasanalasan ini sangat banyak dan bervariasi dan ini memerlukan suatu penelitian untuk menjelaskannya. Tetapi harus diingat juga bahwa masyarakat itu tidak harus selalu menyesuaikan diri pada suatu keadaan yang khusus. Sebab walaupun pada umumnya orang akan mengubah tingkah-laku mereka sebagai jawaban atau

penyesuaian atas suatu keadaan yang baru sejalan dengan perkiraan hal itu akan berguna bagi mereka, hal itu tidak selalu terjadi. Malahan ada masyarakat yang dengan mengembangkan nilai budaya tertentu untuk menyesuaikan diri mereka malah mengurangi ketahanan masyarakatnya sendiri. Banyak kebudayaan yang punah karena hal-hal seperti ini. Mereka memakai kebiasaan-kebiasaan baru

sebagai bentuk penyesuaian terhadap keadaan-keadaan baru yang masuk kedalam atau dihadapi kebudayaannya tetapi mereka tidak sadar bahwa kebiasaan-kebiasaan yang baru yang dibuat sebagai penyesuaian terhadap unsur-unsur baru yang masuk dari luar kebudayaannya malah merugikan mereka sendiri. Disinilah pentingnya filter atau penyaring budaya dalam suatu kelompok masyarakat. Karena sekian banyak aturan, norma atau adat istiadat yang ada dan berlaku pada suatu kebudayaan bukanlah suatu hal yang baru saja dibuat atau dibuat dalam satu dua hari saja. Kebudayaan dengan sejumlah normanya itu merupakan suatu akumulasi dari hasil pengamatan, hasil belajar dari pendukung kebudayaan tersebut terhadap lingkungannya selama beratus-ratus tahun dan dijalankan hingga sekarang karena terbukti telah dapat mempertahankan kehidupan masyarakat tersebut. Siapa saja dalam masyakarat yang melakukan filterasi atau penyaringan ini tergantung dari masyarakat itu sendiri. Kesadaran akan melakukan penyaringan ini juga tidak selalu sama pada setiap masyarakat dan hasilnya juga berbeda pada setiap masyarakat. Akan terjadi pro-kontra antara berbagai elemen dalam masyarakat, perbedaan persepsi antara generasi tua dan muda, terpelajar dan yang kolot dan banyak lagi lainnya.

2.2. Tinjauan Pustaka 2.2.1. Masyarakat dan interaksi Sosial A. Masyarakat Masyarakat merupakan suatu sistem yang terorganisasi, dan sistem ini terjadi malalui interaksi antara individu dalam masyarakat. Oleh karena masyarakat merupakan

suatu sistem yang terorganisasi, maka interaksi yang terjadi dalam masyarakat memiliki suatu pola (Macionis, 1989:150-156, Schaefer, 2006: 104-111). Sebagai contoh keluarga merupakan suatu unit sosial yang tidak saja terdiri dari individu-individu, melainkan juga terdiri dari status dan peran. Artinya interaksi yang terjadi antara individu itu selalu terjadi dalam konteks peran dan status yang dimiliki oleh individu sebagai anggota keluarga itu. Ayah bukan sekedar pribadi yang berjenis kelamin laki-laki tetapi dalam konsep ayah itu sendiri terkandung peran dan status sosial, demikian halnya dengan ibu, anak dan anak-anak. Peran dan status dalam masyarakat atau dalam contoh kita keluarga membentuk struktur sosial dan oleh karenanya juga struktur interaksi. Seperti halnya dengan definisi sosiologi yang banyak jumlahnya kita dapati pula definisi definisi tentang masyarakat yang juga tidak sedikit. Definisi adalah sekedar alat ringkat untuk memberikan batasan-batasan mengenai sesuatu persoalan atau pengertian ditinjau daripada analisa. Analisa inilah yang memberikan arti yang jernih dan kokoh dari sesuatu pengertian. Mengenai arti masyarakat ini, ada beberapa definisi mengenai masyarakat itu, seperti misalnya : 1. R. Linton : Seorang ahli antropologi mengemukakan, bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka itu dapat mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu. 2. M.J. Herskovist : menulis bahwa masyarakat adalah kelompok individu yang diorganisasikan dan mengikuti satu cara hidup tertentu.

3. J.L. Gillin dan J.P. Gillin : mengatakan bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama. Masyarakat itu meliputi pengelompokan-pengelompokan yang lebih kecil. 4. S.R. Steinmetz : seorang sosiologi bangsa Belanda, mengatakan bahwa masyarakat adalahkelompok manusia yang terbesar yang meliputi

pengelompokkan-pengelompokkan manusia yang lebihkecil, yang mempunyai perhubungan yang erat danteratur. 5. Hasan Shadily : mendefinisikan masyarakat adalah golongan besar atau kecil dari beberapa manusia, dengan atau karena sendirinya, bertalian secara golongan dan mempunyai pengaruh kebatinan satu sama lain.

B. Interaksi Sosial 1. Pengertian Interaksi Sosial Menurut Robert M.Z.Lawang (1986) interaksi sosial adalah proses di mana orang-orang yang berkomunikasi saling pengaruh mempengaruhi dalam pikiran dan tindakan. Mengutip Gillin dan Gillin dalam Cultural Sociology (1954; 489) Soekanto (2006;55) menegaskan bahwa interaksi sosial merupakan hubunganhubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial (Soekanto: 2006; 54-55) merupakan kunci dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial, tak mungkin ada kehidupan

bersama. Bertemunya orang-perorangan secara badaniah belaka tidak akan menghasilkan pergaulan hidup. Pergaulan hidup baru akan terjadi apabila setiap orang dalam pergaulan itu terlibat dalam suatu interaksi. 2. Syarat-Syarat terjadinya Interaksi sosial Soekanto (2006;58) menyatkan bahwa interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat yakni kontak sosial dan adanya komunikasi. 2.1.Kontak Sosial Kontak sosial berasal dari bahasa Latin con atau cum yang berarti bersamasama atau tango yang berarti menyentuh. Kontak sosial dapat terjadi secara fisik, namun kemajuan teknologi informasi telah menghasilkan suatu bentuk kontak sosial yang baru. Orang dapat melakukan kontak sosial melalui telephone, telegraf, radio, surat dan lain sebagainya. Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk yakni: Kontak sosial antara orang perorangan. Antara Orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya antara sekelompok manusia dengan orang perorangan. Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia yang lainnya.

C. Persaingan Persaingan (Soekanto, p. 83) dapat diartikan sebagai proses sosial di mana individu atau kelompok bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang langka tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Udara misalnya bukan sumber daya yang langka, oleh karena itu tidak ada persaingan untuk

memperolehnya, tetapi lain halnya dengan kedudukan tertentu dalam suatu organisasi, atau kesempatan tertentu dalam bidang usaha. Kedudukan dan

kesempatan dalam berusaha tidak mudah diperoleh, karena itu ia bersifat langka. Oleh karena ia bersifat langka, maka orang atau kelompok akan bersaing untuk memperolehnya.

D. Kontravensi dan Konflik Kontravensi (Soekanto, p.87-88) pada hakekatnya merupakan bentuk proses sosial yang berada antara persaingan dan pertentangan atau pertikaian. Sebagaimana yang dikutip oleh Soekanto, Leopold von Wiese dan Howard Becker (1932, bab 19) merumuskan lima bentuk kontravensi yaitu: Perbuatan-perbuatan seperti penolakan, gangguan, perlawanan, perbuatan menghalang-halangi, protes, gangguan-gangguan, perbuatan kekerasan, dan mengacaukan rencan pihak lain; Menyangkal pernyataan orang lain di muka umum, memaki-maki melalui surat selebran, mencerca, memfitnah dan lain sebagainya; Mengumumkan rahasia pihak lain, perbuatan khianat dan seterusnya; Menganggu atau membingungkan pihak lain. Contoh lain adalah memaksa pihak lain untuk menyesuaikan diri. Kontravensi dapat menimbulkan konflik sosial Dahrendorf, salah seorang tokoh yang mengembangkan model konflik, melihat bahwa kehidupan rnanusia dalam bermasyarakat didasari oleh konflik kekuatan, yang bukan semata-mata dikarenakan oleh sebab-sebab ekonomi sebagaimana dikemukakan oleh Karl Marx, tetapi karena berbagai aspek yang ada dalam masyarakat; Yang dilihatnya sebagai

organisasi sosial. Lebih lanjut dikatakannya bahwa organisasi menyajikan pendistribusian kekuatan sosial kepada warganya secara tidak merata

BAB III DINAMIKA DAN POTENSI KONFLIK MASYARAKAT KOTA

A. Dinamika dan Kebudayaan Masyarakat Kota dan Desa Sebuah masyarakat merupakan sebuah struktur yang terdiri atas saling hubungan peranan-peranan dari para warganya, yang peranan-peran tersebut dijalankan sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Saling hubungan diantara peranan-peranan ini mewujudkan

struktur struktur peranan peranan yang biasanya terwujud sebagai pranata-pranata(lihat Suparlan 1986, 1996, 2004a). Dan setiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri yang berbeda dari kebudayaan yang dimliki oleh masyarakat lainnya. Kebudayaan (mengacu dari konsep Profesor Parsudi Suparlan, 2004b :58-61) dilihat sebagai : (1) pedoman bagi kehidupan masyarakat, yang secara bersama-sama berlaku,

tetapi penggunaannya sebagai acuan adalah berbeda- beda menurut konteks lingkungan kegiatannya; (2)Perangkat-perangkat pengetahuan dan keyakinan yang merupakan hasil interpretasi atau pedoman bagi kehidupan tersebut. Dan kehidupan masyarakat kota-kota di Indonesia terdapat tiga kebudayaan yaitu : kebudayaan nasional, kebudayaan suku bangsa, dan kebudayaan umum. Kebudayaan nasional yang operasional dalam kehidupan sehari-hari warga desa maupun kota melalui berbagai pranata yang tercakup dalam sistem nasional. Kebudayaan kedua, adalah kebudayaan-kebudayaan suku bangsa. Kebudayaan suku bangsa fungsional dan operasional dalam kehidupan sehari- hari di dalam suasana-suasana suku bangsa,terutama dalam hubungan- hubungan kekerabatan dan keluarga, dan dalam berbagai hubungan sosial dan pribadi yang suasananya adalah suasana suku bangsa. Kebudayaan yang ketiga yang ada dalam kehidupan warga masyarakat kota adalah kebudayaan umum, yang berlaku di tempat-tempat umum atau pasar. Kebudayaan umum muncul di dalam dan melalui interaksi-interaksi sosial yang berlangsung dari waktu ke waktu kepentingan secara spontan untuk kepentingan- kepentingan pribadi para pelakunya, kepentingan-kepentingan sosial.

ekonomi, kepentingan politik, ataupun

Kebudayan umum ini menekankan pada prinsip tawar-menawar dari para pelakuya, baik tawar-menawar secara sosial maupun secara ekonomi, yang dibakukan sebagai konvensi-konvensi sosial, yang menjadi pedoman bagi para pelaku dalam bertindak di

tempat- tempat umum dalam kehidupan kota.

B. Penduduk Kota dan Desa 3.1. Pengertian Masyarakat Kota dan Karakteristiknya Kota, menurut definisi universal, adalah sebuah area urban yang berbeda dari desa ataupun kampung berdasarkan ukurannya, kepadatan penduduk, kepentingan, atau status hukum. Dalam konteks administrasi pemerintahan di Indonesia, kota adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia setelah provinsi, yang dipimpin oleh seorang walikota. Selain kota, pembagian wilayah administratif setelah provinsi adalah kabupaten. Secara umum, baik kabupaten dan kota memiliki wewenang yang sama. Kabupaten bukanlah bawahan dari provinsi, karena itu bupati atau walikota tidak bertanggung jawab kepada gubernur. Kabupaten maupun kota merupakan daerah otonom yang diberi wewenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahannya sendiri. Pertentangan antara kota dan desa, awal mulanya bukan sesuatu hal yang harus dibesar-besarkan. Sifatnya komplemen. Kota acapkali merupakan tempat raja bersemayam, teritori dimana tidak lagi dijumpai sawah-sawah, tempat peribadatan, pusat perdagangan. Dua hal, desa dan kota, merupakan sebentuk kehidupan yang utuh dan saling melanjutkan. Namun ketika muncul gairah produksi ala modern, cara pandang dan gaya hidup berubah, menjadi era industri (produksi) manusia hanya unsur dari gegap sistem produksi:tenaga kerja. Hanya salah satu dari alat produksi yang lain seperti modal, SDA, teknologi dan lain-lain.

Lain halnya dengan kehidupan sebelumnya atau kehidupan desa yang menyebut manusia adalah sesama, keluarga, tetangga dan saudara. Dari sinilah dikotomi kota dan desa mulai muncul. Klasifikasi termasyhur Ferdinand Tonnies, membentangkan kota dan desa menjadi pengertian gamaenschaft dan gesselschaft merupakan penjelasan klasik yang popular untuk memaparkan definisi desa, kota di dunia ketiga.[1] [1] Eko Budiharjo dan Djoko Sujarto, Kota Berkelanjutan, (Bandung: Alumni, 1999). Hlm. 20

3.2. Ciri ciri untuk membedakan antara desa dan kota Ada beberapa ciri yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk untuk membedakan antara desa dan kota. Dengan melihat perbedaan-perbedaan yang ada mudah-mudahan akan dapat mengurangi kesulitan dalam menentukan apakah suatu masyarakat dapat disebut sebagai masyarakat pedesaan atau masyarakat perkotaan. Ciri-ciri tersebut antara lain : jumlah dan kepadatan penduduk; lingkungan hidup; mata pencaharian; corak kehidupan sosial; stratifikasi sosial; mobilitas .sosial; pola interaksi sosial; solidaritas sosial; dan kedudukan dalam hierarki sistem administrasi nasional.

3.3. Hubungan Penduduk Kota dan Desa Masyarakat pedesaan dan perkotaan bukanlah dua komunitas yang terpisah sama sekali satu sama lain. Bahkan dalam keadaan yang wajar di antara keduanya terdapat hubungan yang erat, bersifat ketergantungan, karena di antara mereka saling membutuhkan. Kota tergantung pada desa dalam memenuhi kebutuhan warganya akan bahan-bahan pangan seperti beras, sayurmayur, daging dan ikan.Desa juga merupakan sumber tenaga kasar bagi jenisjenis pekerjaan tertentu di kota, misalnya saja buruh bangunan dalam proyekproyek perumahan, proyek pembangunan atau perbaikan jalan raya atau jembatan dan tukang becak. Mereka ini biasanya adalah pekerja-pekerja musiman. Pada saat musim tanam mereka, sibuk bekerja di sawah. Bila pekerjaan di bidang pertanian mulai menyurut, sementara menunggu masa panen mereka merantau ke kota terdekat untuk melakukan pekerjaan apa saja yang tersedia. Sebaliknya, kota menghasilkan barang-barang yang juga diperlukan oleh orang desa seperti bahan-bahan pakaian, alat dan obat-obatan pembasmi hama pertanian, minyak tanah, obat-obatan untuk memelihara kesehatan dan alat transportasi. Kota juga menyediakan tenaga-tenaga yang melayani bidangbidang jasa yang dibutuhkan oleh orang desa tetapi tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya saja tenaga-tenaga di bidang medis atau kesehatan, montirmontir, elektronika dan alat transportasi serta tenaga yang mampu memberikan bimbingan dalam upaya peningkatan hasil budi daya pertanian, peternakan ataupun perikanan darat.

C.

Konflik dan Permasalahan Kehidupan Masyarakat Kota

Suatu masyarakat dapat bertahan dan berkembang bila ada produktifitas. Yaitu warganya dapat menghasilkan sesuatu produk atau setidak-tidaknya dapat menghidupi dirinya sendiri. Dan bagi yang tidak produktif akan menjadi benalu yang dapat menghambat bahkan mematikan produktifitas tersebut.Dalam proses produktivitas

tersebut ada berbagai ancaman, gangguan yang dapat mengganggu jalannya usaha dan bahkan mematikan produktivitas.Untuk melindungi atau menjaga warga masyarakat

dalam melaksanakan produktivitasnya diperlukan adanya aturan, hukum maupun normanorma. Dan untuk menegakkannya serta mengajak warga masyarakat untuk

mentaatinya diperlukan institusi/pranata yang menanganinya salah satunya adalah polisi. Masalah-masalah perkotaan begitu kompleks antara lain : penggunaan kekuatan sosial untuk menduduki tanah-tanah dalam wilayah kota yang bukan miliknya atau fasilitas-fasilitas lainnya, dan muncul wilayah-wilayah pemukiman liar dan kumuh di daerah perkotaan yang berfungsi sebagai kantong-kantong kemiskinan dan

pensosialisasian kriminalitas, pelacuran, kenakalan dan kejahatan remaja, alkoholisme, narkoba dan berbagai permasalahan sosial lainya. Secara keseluruhan masalah-masalah

tersebut juga turut mendorong terwujudnya lingkungan hidup perkotaan yang tidak kondusif bahkan dapat meresahkan akan terus muncul, berkembang, dan menjadi laten dalam kehidupan masyarakat. Konflik dapat dilihat sebagai sebuah perjuangan antar individu atau kelompok untuk memenangkan sesuatu tujuan yang sama-sama ingin mereka capai. Kekalahan atau kehancuran pihak Iawan dilihat oleh yang bersangkutan sebagai sesuatu tujuan utama untuk memenangkan tujuan yang ingin dicapai. Berbeda dengan persaingan atau kompetisi, dimana tujuan utama adalah pencapaian kemenangan melalui keunggulan prestasi dan yang

bersaing, maka dalam konflik tujuannya adalah penghancuran pihak lawan sehingga seringkaIi tujuan untuk memenangkan sesuatu yang ingin dicapai menjadi tidak sepenting keinginan untuk menghancurkan pihak lawan. Konflik sosial yang merupakan perluasan dari konflik individual, biasanya terwujud dalam bentuk konflik fisik atau perang antar dua kelompok atau Iebih, yang biasanya selalu terjadi dalam keadaan berulang. Sesuatu konflik fisik atau perang biasanya berhenti untuk sementara karena harus istirahat supaya dapat melepaskan lelah atau bila jumlah korban pihak lawan sudah seimbang dengan jumlah korban pihak sendiri. Setelah istirahat konflik diteruskan atau diulang lagi pada waktu atau kesempatan yang lain setelah itu. Para ahli sosiologi konflik, melihat gejala-gejala sosial, termasuk tindakan-tindakan sosial manusia, adalah sebagai hasil dan konflik. Menurut para ahli sosiologi konflik,kepentingan-kepentingan yang dipunyai orang perorang atau kelompok berada di atas norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Usaha-usaha pencapaian kepentingan kepentingan itu didorong oleh konflik-konflik antar individu dan kelompok sebagai aspek-aspek yang biasa ada dalam kehidupan sosial manusia. Sedangkan model lain yang bertentangan tetapi relevan dengan model konflik adalah model ketaraturan yang digunakan untuk melihat berbagai bentuk kompetisi dan konflik dalam olahraga dan politik sebagai sebuah bentuk keteraturan. warga sebuah masyarakat akan tergolong dalam mereka yang mempunyai dan yang miskin dalam kaitannya dengan kekuatan sosial atau kekuasaan. Karena organisasi itu juga membatasi berbagai tindakan manusia maka pembatasan-pembatasan tersebut juga hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai kekuasaan. Sedangkan mereka yang miskin kekuasaan, yang terkena oleh pembatasan pembatasan secara organisasi oleh yang

mempunyai kekuasaan, akan berada dalam konflik dengan mereka yang mempunyai kekuasaan. Oleh Dahrendorf konflik dilihat sebagai sesuatu yang endemik atau yang selalu ada dalam kehidupan manusia bermasyarakat. Bila kita mengikuti model Dahrendorf (BAB II Tinjauan Pustaka), maka secara hipotetis kita ketahui bahwa dalam setiap masyarakat terdapat potensi-potensi konflik karena setiap warga masyarakat akan mempunyai kepentingan yang harus dipenuhi yang dalam pemenuhannya akan harus mengorbankan kepentingan warga masyarakat lainnya. Upaya pemenuhan kepentingan yang dilakukan oleh seseorang yang mengorbankan kepentingan seseorang lainnya dapat merupakan potensi konflik, bila dilakukan tanpa mengikuti aturan main (yang terwujud sebagai hukum, hukum adat, adat, atau konvensi sosial yang berlaku setempat) yang dianggap adil dan beradab. Sedangkan bila dalam masyarakat tersebut ada aturan-aturan main yang diakui bersama oleh warga masayarakat tersebut sebagai adil dan beradab, maka potensi-potensi konflik akan mentransformasikan diri dalam berbagai bentuk persaingan. Jadi, potensipotensi konflik tumbuh dan berkembang pada waktu dalam hubungan antar individu muncul dan berkembang serta mantapnya perasaan-perasaan yang dipunyai oleh salah seorang pelaku akan adanya perlakuan sewenangwenang dan tindakan-tindakan tidak adil serta biadab yang dideritanya yang diakibatkan oleh perbuatan pihak lawannya. Adanya potensi konflik dalam diri seseorang atau sekelompok orang ditandai oleh adanya perasaan tertekan karena perbuatan pihak lawan, yang dalam keadaan mana si pelaku tidak mampu untuk melawan atau menolaknya, dan bahkan tidak mampu untuk menghindarinya. Dalam keadaan tersebut si pelaku mengembangkan perasaan kebencian yang terpendam terhadap pihak lawan, yang perasaan kebencian tersebut bersifat

akumulatif oleh perbuatan perbuatan lain yang merugikan dari pihak Iawannya. Kebencian yang mendaiam dari sipelaku yang selalu kalah biasanya terwujud dalam bentuk menghindar atau melarikan diri dari si pelaku. Tetapi kebencian tersebut secara umum biasanya terungkap dalam bentuk kemarahan atau amuk, yaitu pada waktu si pelaku yang selalu kalah tidak dapat menghindar lagi dari pilihan harus melawan atau mati, yang dapat dilihat dalam bentuk konflik fisik dan verbal diantara dua pelaku yang berlawanan tersebut. Konflik fisik yang menyebabkan kekalahannya oleh lawan akan menghentikan tindakan perlawanannya. Tidak berarti bahwa berhentinya perlawanan tersebut menghentikan kebenciannya ataupun dorongannya untuk menghancurkan pihak lawannya. Kebencian yang mendalam masih disimpan dalam hatinya, yang akan merupakan landasan semangat untuk menghancurkan pihak lawan. Sewaktu-waktu bila pihak lawan lengah atau situasi yang dihadapi memungkinkan maka dia akan berusaha untuk menghancurkannya. Yaitu, agar merasa telah menang atau setidak-tidaknya telah seimbang dengan kekalahan yang telah dideritanya dari pihak lawan tersebut. Ketidakadilan dan kesewenang-wenangan biasanya dilihat oleh pelaku yang bersangkutan dalam kaitannya dengan konsep hak yang dimiliki (harta, jatidiri, kehormatan, keselamatan, dan nyawa) oleh diri pribadi, keluarga, kerabat, dan komuniti atau masyarakatnya. Sesuatu pelanggaran atau perampasan atas hak milik yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang akan dapat diterima oleh seseorang atau sekelompok orang tersebut bila sesuai menurut norma-norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku daiam masyarakat setempat, atau memang seharusnya demikian. Tetapi tidak dapat diterima oleh yang bersangkutan bila perbuatan tersebut tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai budaya yang berlaku. Dalam hubungan antar sukubangsa, konsep hipotesa kebudayaan

dominan dari Bruner (lihat Suparlan 1999d : 13-20) menjadi relevan sebagai acuan untuk memahami keberadaan aturan-aturan main atau konvensi-konvensi sosial yang berlaku diantara dua sukubangsa atan lebih yang bersama-sama menempati sebuah wilayah dan membentuk kehidupan bersama dalam sebuah masyarakat setempat. Perlakuan sewenang-wenang oleh orang atau kelompok lain yang diderita oleh seseorang atau sebuah kelompok atau masyarakat, bila tidak mampu diatasi dalam bentuk perlawanan oleh yang diperlakukan sewenang-wenang akan membekas dalam bentuk kebencian, dan kebencian tersebut pada waktu terjadinya peristiwa tersebut akan disimpan atau terpendam dalam hati, karena tidak berani atau tidak mampu untuk melawannya, atau karena tertutup oleh berbagai kesibukan dalam suatu jangka waktu tertentu. Peristiwa kesewenangwenangan yang terpendam seperti ini akan muncul dan terungkap dalam bentuk stereotip dan prasangka. Stereotip atau prasangka tersebut akan terwujud dalam bentuk simbol-simbol yang menjadi atribut dari keburukan atau kerendahan martabat pelaku yang sewenang-wenang tersebut. Konflik sosial terjadi antara dua kelompok atau lebih, yang terwujud dalam bentuk konflik fisik antara mereka yang tergolong sebagai anggota-anggota dari

kelompokkelompok yang berlawanan. Dalam konfik sosial, jatidiri dari orang perorang yang terlibat dalam konflik tersebut tidak lagi diakui keberadaannya. Jatidiri orang perorang tersebut diganti oleh jatidiri golongan atau kelompok. Dengan kata-kata lain, dala konflik sosial yang ada bukanlah konflik antara orang perorang dengan jatidiri masing masing tetapi antara orang perorang yang mewakili jatidiri golongan atau kelompoknya. Atribut-atribut yang menunjukkan ciri-ciri jatidiri orang perorang tersebut berasal dari stereotip yang berlaku dalam kehidupan antar golongan yang mewakili oleh kelompok-

kelompok konflik. Dalam konflik sosial tidak ada tindakan memilah-milah atau menyeleksi siapasiapa pihak lawan yang harus dihancurkan. Sasarannya adalah keseluruhan kelompok yang tergolong dalam golongan yang menjadi musuh atau lawannya, sehingga penghancuran atas diri dan harta milik orang perorang dari pihak Iawan mereka lihat sama dengan penghancuran kelompok pihak lawan. Dalam konflik fisik yang terjadi, orang dan golongan sosial atau sukubangsa yang berbeda yang semula adalah teman baik, akan menghapus hubungan pertemanan yang baik tersebut menjadi hubungan permusuhan atau setidak-tidaknya menjadi hubungan penghindaran. Hubungan mereka menjadi hubungan golongan, yaitu masing-masing mewakili golongannya dalam hubungan konflik yang terjadi. Orang-orang luar, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan kelompok-kelompok yang sedang dalam konflik fisik tersebut bila mempunyai atribut-atribut yang memperlihatkan kesamaan dengan ciri-cirii dari pihak lawan akan digolongkan sebagai lawan dan tanpa permisi atau meminta penjelasan mengenai jatidiri golongannya akan juga dihancurkan. Diantara berbagai konflik sosial yang yang terwujud sebagai konflik fisik, konflik antar suku bangsa adalah konflik yang tidak dapat dengan mudah didamaikan. Karena, konflik yang terjadi, yang disebabkan oleh rasa aketidakadilan atau kesewenang-wenangan ataupun kekalahan telah dipahami sebagai urkannya harga diri dan kehorrnatan. Berbagai potensi konflik yang timbul dan dihadapi di dalam masyarakat Kota antara lain menyangkut : a) Masalah Lalu lintas, baik kemacetan, rawan kecelakaan maupun pelanggaran yang kesemuanya diperlukan keterpaduan, baik petugas maupun para pemakai jalan serta keseimbangan sarana dan perasarana.

b) Masalah pembebasan tanah masih sering menimbulkan protes dan tidak puasnya masyarakat terhadap ganti rugi dan timbulnya kasus penipuan/penggelapan surat-surat tanah yang dapat menimbulkan gangguan kamtibmas. c) Faktor korelatif kriminogen kejadian-kejadian yang dapat menjurus pada masalah SARA. d) Masalah pengangguran yang merupakan masalah nasional yang menonjol, hal ini disebabkan karena krisis moneter yang berkepanjangan sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja,dan meningkatnya permintaan instansi maupun perusahaan akan kualitas Tenaga kerja yang memiliki mutu tinggi secara pendidikan, sedangkan anak-anak putus sekolah tiap tahun meningkat jumlahnya. Pengembangan daerah industri dan pemukiman, hal ini mengandung berbagai dampak di dalam masyarakat, antara lain : (1) Masalah pemilikan tanah (a) Pemalsuan sertifikat. (b) Penipuan dan penggelapan sertifikat. (c) Masalah ganti rugi. (d) Sengketa hak kepemilikan tanah. e).Masalah transportasi baik berupa sarana maupun prasarana yang belum seimbang dengan perkembangan penduduk. f).Meningkatnya kasus kriminalitas akibat berkembangnya daerah pemukiman khususnya di wilayah Padat Penduduk. Perkembangan daerah industri, hal ini mempunyai dampak terhadap : (a) Masalah tenaga kerja (b) Masalah lingkungan (pencemaran udara dan air sekitarnya)

g) Pengembangan daerah pariwisata mempunyai dampak terhadap : (a) Berkembangnya nilai budaya yang bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia. (b) Timbulnya penyalahgunaan peruntukan sarana dan prasarana bidang wisata (hotel, penginapan/losmen dan sejenisnya) yang memerlukan pengawasan. h)Sarana-sarana ibadah, disamping tempat melaksanakan ibadah sesuai dengan agama masing-masing, dapat pula digunakan kelompok tertentu untuk kegiatan yang bersifat politis praktis (ekstrim). i)Peningkatan sarana pendidikan akan menambah pula kerawanan terhadap gangguan Kamtibmas baik dalam bentuk : (a) Kenakalan remaja (Trektrekan Mobil/Motor dan penyalah-gunaan Narkotika). (b) Perkelahian pelajar. (c) Aksi corat-coret dan unjuk rasa. (d) Tindakan lainnya. j) Pedagang asongan dan kaki lima merupakan dampak negatif dengan meningkatnya urbanisasi serta sulitnya mencari lapangan kerja sehingga menjadi titik rawan yang dapat menimbulkan gangguan

D. Upaya Pemecahan Konflik dalam konteks ini dilihat pemecahan konflik melalui peran dan fungsi polisi dalam masyarakat. Keberadaan Polisi dalam masyarakat salah satunya adalah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Suatu masyarakat dapat hidup tumbuh dan berkembang bila ada produktifitas. Dalam masyarakat demokratis yang ditekankan adalah produktifitas, atau setidaktidaknya dapat menghidupi dirinya sendiri. Bagi yang tidak produktif akan menjadi benalu atau

menjadi beban warga lainnya. Dalam proses produktifitas tersebut ada hambatan, gangguan, konflik yang dapat mengganggu bahkan menghancurkan produktifitas tersebut. Untuk melindungi harkat dan martabat manusia yang produktif tersebut diperlukan adanya atauran, hukum, nilai-nilai, moral dsb. Untuk menegakannya dan mengajak masyarakat mentaatinya diperlukan adanya institusi yang menanganinya salah satunya adalah polisi. Dengan demikian fungsi polisi dalam mendukung produktifitas masyarakat adalah memberikan pelayanan keamanan. Dengan adanya rasa aman maka warga masyarakat akan dapat melakukan aktifitas dan menghasilkan produksi yang mensejahterakan mereka. Upaya menyelesaikan konflik adalah untuk mewujudkan keamanan dan rasa aman ini dalam pelaksanaannya ada baiknya digulirkan kembali. Alat penggulir bagi proses-proses reformasi sebaiknya secara model dapat dioperasionalkan dan dimonitor, yaitu mengaktifkan model multikulturalisme untuk meninggalkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indoneaia. Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika yang multikultural, yang melandasi corak struktur masyarakat Indonesia pada tingkat nasional dan lokal. Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur kegiatan dan manajemen. hukum. Upaya-upaya tersebut diatas tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila pemerintah nasional maupun pemerintah-pemerintah daerah dalam berbagai tingkatnya tidak Pedoman etika ini akan membantu upaya-upaya pemberantasan KKN secara

menginginkannya atau tidak menyetujuinya.

Ketidak inginan merubah tatanan yang ada

biasanya berkaitan dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber-sumber daya yang ada dan pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang ada berkenaan dengan itu harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatkan gaji dan pendapatan para pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat dibatasi atau ditiadakan. Untuk mewujudkan hal itu juga diperlukan tata hukum yang wajar.Tata hukum berasal dari kata dalam bahasa Belanda recht orde adalah Hukum positif sebagai lembaga penata normatif di dalam kehidupan masyarakat. Fungsi hukum yang paling dasar adalah mencegah bahwa konflik kepentingan itu dipecahkan dalam konflik terbuka artinya, semata-mata atas dasar kekuatan dan kelemahan pihak-pihak yang terlibat. Dengan adanya hukum konflik kepentingan tidak lagi dipecahkan menurut siapa yang paling kuat, melainkan berdasarkan aturan yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai obyektif tidak membedakan antara yang kuat dan lemah. Orientasi itu disebut keadilan. Menurut Coing yang dikutip Franz Magnis Suseno (1998: 78) dalam bukunya Etika Politik,: Ubi societas ibi ius (dimana ada masyarakat di sana ada hukum). Dari fungsi hukum dapat ditarik kesimpulan bahwa yang hakiki dari hukum adalah harus pasti dan adil karena pedoman perilaku itu menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar dan dapat dilaksanakan fungsinya dengan pasti.

Kepastian hukum Kepastian hukum berarti kepastian dalam pelaksanaannya ialah hukum yang yang resmi diperundangkan dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu dipenuhi, dan setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenai sanksi menurut hukum

juga. Dalam hal ini termasuk bahwa alat-alat negara akan menjamin pelaksanaan hukum dan bertindak sesuai dengan norma dari hukum yang berlaku. Keadilan Dalam arti formal keadilan menuntut bahwa hukum berlaku umum. Dalam arti material dituntut agar hukum sesuai mungkin dengan citacita keadilan dalam masyarakat. Keadilan menuntut agar semua orang dalam situasi yang sama diperlakukan dengan sama. Dalam bidang hukum itu berarti bahwa hukum berlaku umum atau bahwa hukum tidak mengenal kekecualian. Kalau ada kekecualian itu maka kekecualian itu harus tercantum dalam aturan hukum itu. Jadi dihadapan hukum, semua orang sama derajatnya, dan berhak mendapatkan perlindungan hukum serta tidak ada yang kebal terhadap hukum Ini yang dimaksud asas kesamaan hukum (rechtsgleichheit ). Keadilan hukum juga berarti material hukum (isi hukum) harus adil untuk mewujudkan tatanan kehidupan bersama yang adil termasuk tatanan hukum itu sendiri. Yang tentunya diakui dan dikehendaki oleh masyarakat, bukan sembarang tatanan normatif, tetapi juga menunjang kehidupan bersama berdasar apa yang dinilai baik dan wajar. Yang juga tak kalah pentingnya adalah dengan membangun Kebudayaan institusi yang berkaitan dengan masalah keamanan dan rasa aman masyarakat hendaknya berorientasi pada masyarakat yang dilayaninya dengan berpedoman : 1. Kebenaran, kebebasan, kejujuran.

2. Keadilan atau komunitas atau toleransi. 3. Cinta dan kasih. 4. Tanggung jawab dan 5. Penghargaan terhadap kehidupan.

Untuk menghadapi krisis kepercayaan dan situasi yang kurang kondusif saat ini perlu memperhatikan dan membangun sikap-sikap kepribadian yang kuat sbb : A. Etika dan moral1) Etika yang menjadi pokok bahasan di sini dapat dipandang sebagai sarana orientasi bagi usaha

manusia untuk menjawab suatu pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ?Etika membantu kita untuk mengetahui bagaimana saya harus bertindak ,mengapa saya harus bertindak begini atau begitu serta kita dapat

mempertanggungjawabkan kehidupan kita tidak asal-asalan ataupun ikut-ikutan(franz magnis suseno 1985 :14). 2) Moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia 3) saebagai manusia.Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikan manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas. Ada banyak macam norma yang harus kita perhatikan, norma norma umum dan norma norma khusus yang hanya belaku dalam bidang dan situasi yang khusus. Norma umum ada tiga macam : Norma- norma sopan santun : menyangkut sikap lahiriah manusia .Meskipun sikap lahiriah dapat mengungkapkan sikap hati karena itu mempunyai kualitas moral,namun sikap lahiriah sendiri tidak bersifat moral. Norma- norma hukum adalah norma yang tidak dibiarkan bila dilanggar .Orang yang melanggar hukum pasti dikenai hukuman sebagai sangsi.Hukum tidak dipakai untuk mengukur baik buruknya seseorang sebagai manusia ,melainkan untuk menjamin tertib umum.

Norma-norma moral adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur

kebaikan seseorang.Maka dengan norma moral kita benarbenar dinilai.Itulah sebabnya penilian moral selalu berbobot.Kita tidak dilihat dari salah satu segi ,melainkan sebagai manusia. Stake holders yang berkaitan dengan masalah keamanan adalah sebagai bagian dari masyarakatnya yang mempunyai tugas danggung jawab : 1. memberikan pelayanan keamanan hendaknya bisa menjawabpertanyaan untuk hidup dan menyikapi hal tersebut ?dan bagaimana kita harus mempertanggungjawabkannya ?serta bagaimana suara hati menyatakan diri? 2. Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah3. kejujuran.Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak bisa maju selangkahpun karena kita

belum bisa menjadi diri kita sendiri dan kita belum mampu untuk mengambil sikap yang lurus.Tanpa kejujuran nilai-nilai moral lainnya akan tidak berarti/bernilai.Sebagai contoh kita berbuat baik kepada orang lain tanpa kejujuran yang timbul adalah kemunafikan,sikap yang terpuji seperti Sepi ing pamrih rame ing gawe (bahasa jawa ) akan menjadi kelicikan.Orang yang tidak jujur senantiasa dalam pelarian : ia lari dari orang lain karena takut atau merasa terancam, lari dari dirinya sendiri karena tidak berani menghadapi dirinya sendiri. 4. Bersikap jujur terhadap orang lain berarti adanya sikap terbuka dan 5. fair:kita bersikap sesuai hati nurani dan bersikap wajar. Kita tidak menyembunyikan diri kita.kita bersperilaku sesuai standart-standart/norma norma yang dilakukan orang lain kepada kita. Kita menyesuaikan bukan karena ketakutan atau kemunafikan , kebohongan, munafik melainkan sesuai hati nurani dan menghormati orang lain.

Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi operasional dalam kesediaan bertanggung jawab, melakukan apa yang seharusnya dilakukan dengan sebaik

mungkin.Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang harus kita selesaikan dengan sebaik-baiknya dan juga mengatasi etika pertaturan, membuka wawasan secara luas, bersikap positif, kreatif, kritis dan obyektif.Kesediaan untuk bertanggung jawab menunjukan sikap batin yang kuat dan mantap. Sekarang ini Polri menerapkan strategi Community policing melalui Polmas. Mengapa kita perlu mengadopsi community policing dalam penyelenggaraan tugas Polri, sebagai alternatif pemolisiannya? Karena adanya perubahan sosial yang begitu cepat. Polisi menyadari akan kekurangan dan keterbatasannya dalam memelihara keteraturan sosial dan polisi tidak tahu kapan, dimana, siapa pelaku kejahatan. Untuk menciptakan dan memelihara keterturan sosial polisi memerlukan bantuan atau peran serta warga masyarakat yang ikut berperan serta secara aktif. Dan untuk merespon kebutuhan masyarakat adanya rasa aman. Yang ditekankan dalam community policing adalah komunikasi dari hati-ke hati antar warga dalam lingkup kecil (komuniti). Sejalan dengan pemikiran di atas untuk memahami community policing, adalah dengan memperhatikan hubungan fungsional antara masyarakat dan polisi. Karena, keberadaan polisi beserta fungsi-fungsinya ditentukan oleh corak masyarakat dan corak kebutuhan-kebutuhan akan pengayoman akan rasa aman.

BAB IV PENUTUP

Benar bahwa unsur-unsur dari suatu kebudayaan tidak dapat dimasukan kedalam kebudayaan lain tanpa mengakibatkan sejumlah perubahan pada kebudayaan itu. Tetapi harus dingat bahwa kebudayaan itu tidak bersifat statis, ia selalu berubah. Tanpa adanya gangguan dari kebudayaan lain atau asing pun dia akan berubah dengan berlalunya waktu. Bila tidak dari luar, akan ada individu-individu dalam kebudayaan itu sendiri yang akan memperkenalkan variasivariasi baru dalam tingkah-laku yang akhirnya akan menjadi milik bersama dan dikemudian hari akan menjadi bagian dari kebudayaannya. Dapat juga terjadi karena beberapa aspek dalam lingkungan kebudayaan tersebut mengalami perubahan dan pada akhirnya akan membuat kebudayaan tersebut secara lambat laun menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi tersebut. Sebagai penutup dapat kita pikirkan bersama bahwa penyelesaian konflik tidak lagi dengan cara cara kekerasan tetapi dengan dialog atau komunikasi dan mencari solusi yang terbaik sebagai wujud masyarakat madani( civil society) .yang juga merupakan cita-cita demokrasi dalam membangun manusia Indonesia menuju tata kehidupan sodsial yang adil dan beradab.

Penyelesaian konflik dalam mewujudkan keamanan dan rasa aman merupakan tanggung jawab kita bersama yang secara hakiki mencakup : 1. Berdasarkan pada Supremasi Hukum. 2. Memberikan jaminan dan perlindungan HAM (hak asasi manusia). 3. Adanya transparansi.4. Adanya pertanggung jawaban publik (acountabilitas public).

5. Pembatasan dan Pengawasan kewenangan kepolisian. 6. Berorientasi pada masyarakat. Dan bagi polisi dalam mengemberikan pelayanan keamanan dan rasa aman warga masyarakat Community policing merupakan salah satu model yang dapat diacu sebagai model pemolisian yang proaktif dan problem solving dalam masyarakat yang demokratis. Yaitu (1) Polisi dan masyarakat bekerja sama untuk menyelesaikan berbagai masalah social yang terjadi di dalam masyarakat (2) Polisi berupaya untuk mengurangi rasa ketakutan masyarakat akan ganngguan kriminalitas atau dengan kata lain berupaya memberikan jaminan keamanan, (3) lebih menekankan tindakan pencegahan kriminalitas (crime prevention), (4) berorientasi pada masyarakat dan (5) Senantiasa berupaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.

Daftar Pustaka

Peta Konsep Ilmu Budaya Dasar Bayley Wiliiam G, 1995, The Encyclopedia of Police Science ( second edition ), Newyork & London, Garland Publishing.

Bayley David H , 1994, Police for the Future (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto),jakarta, Cipta Manunggal.

---------------------, 1991, Forces of Order Policing Modern Japan, University of california Press.

---------------------, 1998, What Work in Policing, New York, Oxford University. Beetham david dan Kevin Boyle, 2000, Demokrasi, Yogyakarta, Kanisius. Chandra, Eka dkk, 2003, Membangun Forum Warga, Emplementasi Partisipasi dan Penguatan Msyarakat Sipil, Bandung,akatiga

Cula Adi Suryadi, 1999, Masyarakat madani, Jakarta, Rajawali Press.

Djamin,Awaloedin, 1999, Menuju Polri Mandiri yang profesional, Jakarta, Yayasan Tenaga Kerja.

Friedmann Robert, 1992, Community Policing, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Jakarta, Cipta Manunggal.

Hikam Muhammad AS, 1998, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta, LP3ES. Kuper Adam, & Jessica Kuper (2000), Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (terjemahan Rajawali Press, jakarta, Rajawali Press.

Mangun Wijaya YB, 1999, Menuju Indonesia yang serba baru, Jakarta, Gramedia. Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia,1999, Reformasi menuju Polri yang Mandiri.

Meliala, Adrianus, 2002, Problema reformasi Polri, Jakarta, Trio repro. Niti Baskara / Tubagus Ronny Rahman, 2000, Pembenahan Moralitas Sebagai Prasarat Perubahan Kinerja dan Perilaku Polri, Makalah yang disampaikan pada Sarasehan tentang Perubahan Pertahanan dan Kinerja Polri Menghadapi Tantangan Tugas dan Harapan Masyarakat Dalam Era Demokratitasi, Jakarta, KIK UI-PTIK.

Rahardjo, Satjipto, , 2002, Polisi Sipil,Jakarta, Gramedia Sindhunata,2000, Sakitnya Melahirkan Demokrasi, Yogyakarta, Kanisius.